BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra ialah citra kehidupan atau dapat kita sebut dengan gambaran kehidupan. Gambaran kehidupan yang dapat dipahami sebagai gambaran nyata tentang model-model kehidupan yang telah kita jumpai di kehidupan yang berdasarkan kenyataan dan mengandung kebenaran (Saxby, 1991:4). Kemudian karya sastra merupakan produk sosial budaya yang mencerminkan kehidupan serta perkembangan masyarakat. Isu-isu sosial kemanusiaan terdapat di dalamnya, termasuk isu tentang perempuan. Isu tentang perempuan dapat dihadirkan melalui citra. Citra sendiri memiliki banyak definisi, ada yang menyebutkan citra adalah gambaran angan-angan, gambar-gambar dalam pikiran yang dihasilkan terhadap sebuah objek yang dapat dihubungkan dengan pengalaman inderaan atas objekobjek tersebut. Ada juga yang menyebutkan bahwa citra merupakan gambaran, kesan, atau bayang-bayang; satu pengalaman sentral atau yang disadari, yang mirip dengan pengalaman sensoris, tetapi sifatnya kurang hidup dan dianggap muncul dari ingatan, dan citra juga didefinisikan secara singkat dengan diartikan sebagai respons visual terhadap karya sastra. Citra perempuan di dalam karya sastra Indonesia sudah mulai ditampakkan sejak terbitnya sebuah novel pada tahun 1920, yakni Azab dan Sengsara yang 1 2 ditulis oleh Merari Siregar. Mariamin, tokoh perempuan di dalam novel tersebut, bersedia menikah dengan Kasibun, seorang laki-laki yang berhasil mempengaruhi dan memperalat ibu Mariamin agar Mariamin bersedia menikah dengannya. Atas bujukan ibunya, Mariamin akhirnya bersedia menikah dengan Kasibun meskipun Kasibun berwajah buruk, ditambah perilaku yang juga buruk, yakni suka mabukmabukan, melacur, dan sering menyiksa. Selanjutnya adalah tulisan karangan Marah Rusli yang terbit tahun 1922, Sitti Nurbaya. Novel Sitti Nurbaya juga menggambarkan kesedihan tokoh perempuan, Sitti Nubaya, menikah dengan Datuk Maringgih, lelaki serakah berwajah buruk yang pandai melakukan kamuflase. Apabila Sitti Nurbaya menolak lamaran yang diajukan kepadanya, berarti ia menjebloskan ayahnya ke penjara karena tidak mampu membayar hutang-hutangnya kepada Datuk Maringgih. Faruk (2006:3839) menyebut sikap Mariamin dan Sitti Nurbaya tersebut sebagai ketaklukkan patriarki disebabkan kepintaran tokoh lelaki menaklukkan hati tokoh perempuannya. Citra perempuan kemudian mulai mengalami perubahan dengan terbitnya Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana melalui hadirnya tokoh perempuan, Tuti, yang aktif dalam kegiatan organisasi dan memiliki cita-cita untuk memajukan kaum perempuan. Keberadaan Tuti merupakan perwujudan kesadaran perempuan mengambil bentuk kegiatan yang pada zamannya tidak lazim dikaitkan dengan keperempuanan, yaitu berorganisasi, mengingat posisi tradisional perempuan pada saat itu adalah di dalam lingkup keluarga sehingga membatasi langkah perempuan untuk mengembangkan dirinya. Akan tetapi, 3 perubahan citra perempuan domestik ke ruang publik tersebut masih disertai dengan keberadaan tokoh perempuan lain, yaitu Maria, yang hadir dengan membawa stereotipe umum perempuan yang suka bersolek dan bersifat melankolik. Pelekatan pada sifat Maria itu ternyata membuat tokoh laki-laki di Indonesia tertarik, bukan kepada Tuti yang merupakan aktivis perempuan. Maksud dari stereotipe di atas ialah pelabelan atau penanda terhadap suatu kelompok tertentu. Dalam hubungannya dengan perempuan, stereotipe dipandang merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Misalnya, stereotipe perempuan sebagai pelayan suami akhirnya berakibat pada penomorduaan pendidikan perempuan (Fakih, 2007-16-17). Selanjutnya citra juga selalu ditampakkan dalam beberapa karya sastra yang muncul pada tahun-tahun berikutnya, seperti novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Anantatoer yang hadir pada tahun 1980. Menampilkan tokoh perempuan Nyai Ontosoroh. Diceritakan Nyai pada saat itu dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai istri simpanan. Statusnya sebagai seorang Nyai telah membuatnya sangat menderita, karena ia tidak memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. Tetapi, yang menariknya adalah Nyai Ontosoroh sadar akan kondisi tersebut sehingga dia berusaha keras dengan terus-menerus belajar, agar dapat diakui sebagai seorang manusia. Nyai Ontosoroh berpendapat, untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan, dan sebagainya hanyalah dengan belajar. Dalam novel Bumi Manusia, perempuan telah dicitrakan sebagai perempuan yang aktif mengembangkan dirinya di ruang publik dengan belajar, agar menjadi seseorang 4 yang diakui sebagai seorang manusia. Ini memperlihatkan ada kesinambungan dalam menampakkan citra perempuan dalam karya sastra dengan karya sastra sebelumnya. Yakni mulai menampilkan perempuan yang aktif di ruang publik. Kemudian citra juga ditampakkan di novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono yang hadir pada tahun 1983, novel Saman karya Ayu Utami terbit tahun 1998, novel Perempuan Jogja terbit tahun 2001, novel Biola Tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma terbit tahun 2004, novel Sinden karya Purwadmadi Admawipura terbit pada tahun 2005, dan tentunya citra juga diduga tampak dalam novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan yang terbit pada tahun 2013 yang akan menjadi objek dari penelitian ini. Citra perempuan dalam karya sastra Indonesia yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa perempuan berada dalam kekuasaan laki-laki. Perempuan mengalami ketidakberdayaan ketika dihadapkan dengan laki-laki di dalam kehidupan sehingga perempuan lebih banyak mengalah atas kejadian yang menimpa dirinya demi kesenangan laki-laki. Perempuan lebih cenderung dicitrakan sebagai penghuni ruang domestik daripada ruang publik. Keberadaan perempuan ini menguatkan posisi perempuan sebagai pelayan, yaitu mahluk yang selalu memberikan servis atau pelayanan kepada laki-laki. Secara hierarki, dapat disimpulkan bahwa posisi perempuan berada di bawah laki-laki karena perempuan hanya dipandang sebagai pelengkap. Perempuan ideal yang disukai laki-laki adalah perempuan yang feminin, seperti suka bersolek dan melankolik yang ditunjukkan oleh tokoh Maria di dalam novel Layar Terkembang 5 karangan Sutan Takdir Alisjahbana. Selain itu, perempuan ideal yang disukai lakilaki adalah perempuan yang akrab dengan kegiatan di dalam rumah atau kegiatan di ruang domestik, bukan perempuan yang aktif di luar rumah atau kegiatan di ruang publik seperti tokoh Tuti. Citra perempuan sebagai mahluk kelas dua (second class). Dengan demikian, telah terlihat atau telah ditunjukkan pada saat awal terbitnya novel-novel produk sastra Indonesia modern pada tahun 1920-an. Karya-karya yang telah dibicarakan sebelumnya, yaitu Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, dan Layar Terkembang menegaskan hal tersebut. Tokoh-tokoh perempuan dihadirkan di dalamnya merepresentasikan perempuan yang berada di dalam kekuasaan laki-laki dan tidak berdaya atau menjadi objek di dalam kehidupannya sendiri. Dalam perkembangannya, citra perempuan yang dihadirkan kembali pada tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia memperlihatkan bahwa perempuan masih sangat erat dengan kecantikan, keindahan, kelembutan, kesedihan dan penderitaan. Dengan kata lain, perempuan lebih banyak dikonstruksi sebagai manusia yang masih didominasi oleh norma-norma patriarki sehingga citra perempuan adalah sebagai pelengkap laki-laki (Helwig, 1994). Hal ini sesuai dengan pernyataan Newtom (1988: 266) bahwa kebanyakan karya sastra pada kenyataannya memberikan gambaran tertentu atau stereotipe umum mengenai perempuan yang selalu diulang-ulang, yaitu perempuan sebagai pelayan yang menimbulkan ketertarikan laki-laki. 6 Fenomena mengenai perempuan dalam karya sastra yang telah dikemukakan di atas merupakan refleksi dari masyarakat yang cenderung menempatkan perempuan secara sosial dan kultural berbeda dengan laki-laki atau yang biasa disebut dengan istilah gender. Sementara, perbincangan masalah gender seringkali menimbulkan suasana yang kurang nyaman, bahkan terkesan konfrontatif karena gender dianggap identik dengan perempuan sehingga dapat merugikan perempuan dan masyarakat umum. Sebenarnya, gender adalah masalah bersama perempuan dan laki-laki karena menyangkut peran, fungsi, dan relasi antara kedua jenis kelamin tersebut, baik di dalam ranah publik maupun di dalam ranah domestik (Sumbulan dalam Febriasih:ix). Dengan demikian, diperlukan kepekaan dalam menyikapi fenomena-fenomena perempuan dalam karya sastra, mengingat konsep gender yang ditujukan kepada perempuan dan laki-laki itu masih terus berlangsung dalam tradisi sastra Indonesia. Di antara sekian banyak karya sastra Indonesia yang mengungkapkan keberadaan dan isu-isu mengenai perempuan, beberapa lahir dari tangan Sari Safitri Mohan (selanjutnya disingkat SSM). SSM merupakan pengarang perempuan yang muncul pada tahun 2000-an. Karya-karya yang dihasilkan SSM mulai hadir pada bulan Juli tahun 2004 dengan novel pertamanya yang berjudul Tak Akan Habis Duniaku yang di terbitkan oleh penerbit Totem. Setelah novel pertamanya yang diterbitkan oleh penerbit Totem, tiga novel SSM selanjutnya di terbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama, yakni Rembulan Gading pada tahun 2010, Negeri Neri pada tahun 2012 dan Penari Kecil pada tahun 2013. 7 Sari Safitri Mohan atau yang selanjutnya kita sebut dengan SSM, lahir di Yogyakarta 21 Februari 1976, ia adalah alumnus dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Selain aktif menulis novel-novel yang mengungkapkan keberadaan dan isu-isu mengenai perempuan, SSM yang saat ini tinggal di New York juga memiliki pekerjaan lain yakni sebagai editor dan News Dispatcher di Joyonews New York. Perempuan mandiri yang saat ini tengah mengerjakan draft novel terbarunya ini juga memiliki pengalaman pekerjaan yang terbilang cukup banyak, yakni sebagai penyiar dan produser acara talk show di Radio Unisi FM Yogyakarta, penyiar dan produser di Radio Woman Radio Jakarta, penyiar berita di Televisi Pendidikan Indonesia, reporter feature dan narator Jejak Petualang di TV7, editor di IndoProgress.com, asisten editor di Working USA Journal (New York) dan Encyclopedia of Global Human Migration (New York). Riwayat pekerjaan SSM yang terbilang cukup banyak ini menginspirasi dirinya untuk mengungkapkan keberadaan dan isu-isu mengenai perempuan dalam setiap novel-novelnya. Sebut saja novel Penari Kecil yang muncul pada tahun 2013, novel ini menceritakan tokoh utama bernama Ira yang memiliki ciriciri perempuan yang dicitrakan mandiri, aktif di ruang public, dan berani mengambil keputusan besar dalam hidupnya tanpa didominasi oleh siapapun. Dalam penelitian ini novel Penari Kecil akan dijadikan objek penelitian dan akan dieksplorasi dengan tinjauan kritik sastra feminis, dikarenakan novel Penari Kecil ini diduga bermuatan atau memenuhi prinsip-prinsip karya yang berperspektif feminisme. 8 Prinsip-prinsip karya yang berperspektif feminis antara lain sebagai berikut. Pertama, Perempuan adalah tokoh utama yang dibahas dalam novel ini Kedua, karya sastra tersebut mempertanyakan relasi gender yang timpang dan mempromosikan terciptanya tatanan sosial yang lebih seimbang antara perempuan dan laki-laki. Karya sastra dapat saja tidak terlihat memihak perempuan atau lakilaki, tetapi dengan membacanya dengan perspektif feminis akan ditemukan adanya resistensi atau perlawanan terhadap dominasi tatanan simbolik atau wacana laki-laki yang ada di dalamnya. Ketiga, karya yang diambil lebih berpijak pada penyuaraan terhadap perempuan untuk menyuarakan keinginan, kebutuhan, dan haknya sehingga perempuan mampu menjadi subjek dalam kehidupan, bukan menjadi objek bagi siapa pun. Beberapa alasan pemilihan novel ini sebagai objek penelitian. Pertama, diduga terdapat adanya keinginan tokoh perempuan untuk mengembangkan diri dalam novel Penari Kecil. Perempuan yang berkeinginan untuk mengembangkan diri merupakan salah satu gerakan feminis. Kedua, terdapat tokoh perempuan yang diduga memperluas pembagian kerja dari ranah domestik ke ranah publik agar tidak tersingkir dari sistem kapitalis dan budaya patriarkat. Ketiga, novel ini ditulis oleh seorang perempuan. Penulis perempuan diasumsikan mampu mengekspresikan perasaan keperempuanannya yang nantinya dapat menjadi objek kuat untuk penelitian mengenai citra perempuan . Keempat, novel ini memiliki perbedaan dari beberapa novel SSM lainnya, yaitu karena novel ini cenderung menampilkan dengan jelas citra perempuan yang ingin tampil di ruang publik 9 serta menampilkan perlawanan tokoh-tokoh perempuan atas dominasi laki-laki dalam hidupnya dibanding novel-novel SSM sebelumnya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut. Pertama ialah mengenai karakter khusus perempuan. Hal ini berkaitan dengan karakter yang melekat pada perempuan, dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek psikologis. Poin pertama ini adalah mengenai citra diri perempuan.Kedua mengenai kedudukan, peran, atau posisi perempuan. Hal ini dihubungkan dengan kedudukan, peran, atau posisi perempuan dalam keluarga maupun dalam lingkungan sosialnya, juga menyangkut hubungan dengan tokoh-tokoh lain, baik itu perempuan maupun laki-laki. Poin kedua adalah mengenai citra sosial perempuan. Ketiga ialah ideologi yang membentuk pencitraan perempuan. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini ada dua, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Secara teoretis, penelitian ini berusaha untuk mengaplikasikan kritik sastra feminis perspektif Ruthven pada novel Penari Kecil untuk mendapatkan gambaran tentang citra perempuan dalam novel Penari Kecil karya SSM. Dengan tinjauan kritik sastra feminis perspektif Ruthven, citra perempuan 10 yang diangkat dari novel SSM, yaitu Penari Kecil dapat digambarkan dengan jelas serta memberi gambaran mengenai representasi perempuan melalui fakta literer pada novel karya SSM serta relevansinya dengan ide-ide feminisme. Hal ini berkaitan dengan konsep bahwa karya sastra merupakan produk sosial budaya sehingga karya sastra dapat mengungkapkan persepsi atau ekpresi masyarakat yang ditujukan terhadap perempuan. Adapun tujuan praktis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. Memberi apresiasi terhadap novel karya SSM dan memberi pijakan pada penelitian lebih lanjut terhadap novel-novel karya SSM pada masa yang akan datang. Dengan demikian, penelitian ini dapat menjembatani pemahaman pembaca dalam menerima pesan yang disampaikan dalam novel Penari Kecil, melalui wadah berupa tokoh-tokoh perempuan yang membawa fungsi untuk menggambarkan citra perempuan dalam perspektif gender. 1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap citra perempuan telah banyak dilakukan sebelumnya. Berikut ini adalah beberapa penelitian yang telah dilakukan tersebut. Penelitian terhadap citra perempuan dilakukan Sofia (2005) dengan judul Citra Perempuan Kuasa dalam 12 Cerita Karya Kuntowijoyo Tinjauan Kritik Sastra Feminis. Pendekatan sosiofeminis digunakan sebagai acuan kerja dalam mengungkap Images of woman serta menggunakan feminisme kekuasaan. Untuk 11 menganalisis cara perempuan menegakkan kekuasaannya. Dengan kedua pendekatan tersebut, didapatkan tiga gambaran tokoh perempuan. Pertama, tokohtokoh perempuan yang mendapatkan ketidakadilan gender berupa anggapan sebagai mahluk subordinat, pemegang urusan domestik, objek seks, dan objek kekerasan fisik serta psikis. Kedua, tokoh-tokoh perempuan yang sempat larut dalam kehidupan pascarevolusi seksual dan womans liberation di Amerika dengan jalan seks bebas, bergabung dengan feminisme radikal, dan mengikuti komunitas lesbian. Selain itu, mereka memperoleh kunci-kunci pembebasan berupa kontrasepsi, aborsi, adopsi, dan pengalihan pemeliharaan anak. Ketiga, tokohtokoh perempuan yang berhadapan dengan pihak-pihak yang menyadari bahwa perempuan itu kuasa untuk setara. Menghadapi semua hal tersebut, tokoh-tokoh perempuan ini kuasa mengakhiri dominasi dengan strategi, kuasa mengakhiri kebebasan tanpa batas, kuasa memposisikan diri setara dengan laki-laki, serta kuasa menjalankan sinergi positif, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Di samping itu, mereka juga mengedepankan formasi keluarga norma Timur, dan ajaran Islam. Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah Citra Wanita dalam Novel Saman Karya Ayu Utami Sebuah Kajian Kritik Sastra Feminis oleh Sudiati (2005). Disimpulkan bahwa wujud permasalahan yang dihadapi wanita dalam novel Saman dikategorikan menjadi enam, yaitu pengalaman seksualitas wanita, permasalahan virginitas, kebebasan reproduksi, sistem patriarki dalam keluarga, pembagian kerja seksual, dan adat perkawinan Jawa. Wujud citra wanita dalam novel Saman dapat dikenali berdasarkan aspek sosiologis dan psikologisnya. 12 Aspek sosiologisnya tampak pada kondisi lingkungan sosial dan citra wanita dalam masyarakat. Kondisi lingkungan sosial meliputi latar sosial, latar sosial keagamaan, dan latar pendidikan. Citra Perempuan dalam Keluarga Kajian Novel Tiga Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono: Tinjauan Kritik Sastra Feminis diteliti Triani (2007). Penekanan yang dilakukan adalah pada citra perempuan dalam keluarga yang diangkat dari fakta literer dalam novel Tiga Orang Perempuan. Perspektif feminis yang digunakan untuk melihat representasi perempuan dalam karya sastra menghasilkan kesimpulan bahwa pelestarian ekspresi masyarakat berupa ungkapan atau mitos yang menyudutkan perempuan masih terjadi, seperti sebutan istri sebagai konco wingking, swarga nunut neraka katut, nrimo ing pandum, perjodohan berdasarkan bobot, bibit, bebet. Artinya, perempuan mengalami ketidakadilan dalam manifestasi marjinalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban kerja. Kondisi ini membentuk kesadaran dalam diri perempuan dua generasi terakhir untuk menunjukkan eksistensi diri sebagai manusia yang bermartabat dan memiliki kesetaraan dengan laki-laki. Dengan menunjukkan otoritas diri kepada laki-laki, diharapkan adanya pengakuan dan terhindar dari dominasi yang cenderung merendahkan martabat perempuan. Citra perempuan muncul dalam keluarga sebagai istri, ibu, anak, dan pembantu rumah tangga. Dengan demikian, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah yang berkeadilan gender. Artinya, ada keseimbangan peran antara laki-laki dam perempuan dalam keluarga. 13 Citra Perempuan dalam Novel Sinden Karya Purwadmadi Admawipurwa Sebuah Tinjauan Kritik Sastra Feminis adalah penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh kurniati (2008). Penelitian ini bertumpu pada masalah citra perempuan dalam novel Sinden, mengangkat gender dalam kaitannya dengan kekuasaan dunia patriarki yang masih mendominasi kehidupan masyarakat Jawa dengan menampilkan potret sosial yang berlatar alam pedesaan. Konsep citra perempuan dalam budaya Jawa yang bertolak pada budaya patriarki adalah makhluk yang halus, lembut, dan lemah. Oleh karena itu, laki-laki menganggap perempuan cukup berdiam di rumah saja, mengurus dapur, dan mengurus anak sehingga tidak perlu ikut campur di luar rumah. Tugas domestik yang diperankan perempuan adalah bentuk pengabdian seorang perempuan sebagai istri. Selain itu, citra perempuan sebagai istri yang dituntut untuk setia kepada suami membuat perempuan semakin terpuruk pada posisi sebagai pelayan suami. Situasi tersebut menjadi faktor lahirnya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan pelacuran. Apabila dalam keluarga dan masyarakat diakui adanya persamaan hak dalam pendidikan, kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, dan menentukan kehidupannya sendiri maka perempuan dapat tampil sebagai pemimpin, pemberani, dan bertanggung jawab. Selain penelitian yang telah dilakukan di atas, citra perempuan juga diangkat dalam penelitian Anipudin (2009) berjudul Citra Perempuan dalam Novel Biola Tak Berdawai Karya Seno Gumira Ajidarma: Tinjauan Sosiofemnis. Citra diri perempuan dalam novel Biola Tak Berdawai masih berada dalam ketegangan, keinginan untuk maju, berusaha keluar dari kebodohan, kemiskinan, dan 14 ketertindasan dari kaum laki-laki. Terdapat dinamisasi psikis, ada yang mampu menentukan nasibnya sendiri ada yang tidak. Sementara itu citra perempuan dalam keluarga dan masyarakat dalam novel Biola Tak Berdawai adalah peran perempuan sebagai ibu, sebagai anak, sebagai tuan rumah. Citra perempuan dalam masyarakat dilihat dari hubungan-hubungan antar individu dengan individu dengan masyarakat. Perempuan digambarkan sebagai perempuan yang bebas dan berpotensi. Sebagai anak, perempuan mencoba keluar dari budaya dengan mengikuti kata hatinya. Tanggapan perempuan terhadap fenomena sosial yang ada di masyarakat yaitu masalah pembuangan anak dan aborsi. Ideologi yang membentuk pencitraan perempuan berkaitan dengan bidang ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan spiritual yang ada di masyarakat. Potensi perempuan terbuka, mampu berdialog mampu bekerja sebagai dokter dan perawat, perempuan yang ingin mengubah diri melalui pendidikan. Selanjutnya, penelitian mengenai citra perempuan juga dilakukan Lestari (2009) dengan judul Citra Wanita dalam Karya Sastra: Tinjauan Kritik Sastra Ekofeminis terhadap Kumpulan Cerpen Jiwaku Adalah Wanita Karya Azimah Rahayu yang menegaskan bahwa persoalan citra wanita lahir dan berkembang dipengaruhi oleh kesenjangan gender dalam masyarakat. Adanya perbedaan seks dan jenis kelamin membuat ketidakadilan bagi salah satu jenis kelamin, terutama kaum wanita. Fenomena itu menyebabkan kaum feminis berjuang mencapai keadilan gender kaum wanita. Beberapa pandangan kaum wanita dalam mencapai kesetaraan ditemukan dalam penelitian ini. Sebagian wanita melakukan berbagai cara, seperti mengapdosi gaya pria, membebaskan diri dari perkawinan, 15 memisahkan diri dari urusan domestik, dan tidak mempedulikan masyarakat. Gerakan feminisme tersebut mendapatkan perlawanan dari kaum wanita. Mereka menganggap langkah-langkah tersebut adalah pengingkaran kaum wanita terhadap kodratnya sebagai dasar kerusakan atas keseimbangan alam. Hal ini melahirkan pandangan kaum wanita yang menyadarkan peran dalam menciptakan keseimbangan alam. Melalui kumpulan cerpen Jiwaku Adalah Wanita, kaum wanita disadarkan oleh perannya. Feminitas, perkawinan, kepeduliannya dengan urusan domestik, dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar merupakan bukti langkah yang dianggap tepat untuk menyetarakan kedudukan kaum wanita dengan pria. Selain peran domestik, kaum wanita juga berperan di publik. Berdasarkan hal tersebut, gambaran atau citra kaum wanita akan terbentuk, seperti citra istri dan ibu dalam sektor domestik dan peran publik melahirkan citra wanita pekerja. Kemudian Penilitian yang dilakukan oleh Etriany (2012) melalui skripsi di UGM berjudul “Citra Ibu pada Lirik Lagu “Ibu”, “Bunda”, dan “Siapa Bilang (Disko Mama)”: analisis Kritik Sastra Feminis”. Skripsi tersebut membahas representasi citra ibu dan ide-ide feminis yang terdapat di dalam ketiga lirik lagu tersebut. Metode yang digunakan ialah reading as woman dan berhasil menemulan citra Ibu dalam lingkup domestik, yang meliputi merawat dan mendidik anak, penjadi partner bagi suami, dan memelihara rumah, serta citra ibu dalam ranah publik, yang meliputi citra perempuan yang aktif, berwawasan luas, dan mampu mandiri secara ekonomi Sementara itu novel-novel karya SSM sebelumnya belum pernah diteliti. Oleh karena itu eksplorasi terhadap novel SSM yang berjudul Penari Kecil dengan 16 perspektif atau dengan tinjauan kritik sastra feminis jelas belum dilakukan. Hal ini menegaskan relevannya penelitian ini, mengingat isu-isu tentang perempuan sering ditampilkan SSM dalam karya-karyanya, termasuk novel Penari Kecil yang digunakan sebagai objek kajian dalam penelitian ini. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dapat memberikan masukan atau sumbangan besar terhadap penelitian ini, dan sebaliknya, penelitian ini juga dapat menjadi pelengkap atau pengayaan dari kajian feminis yang sudah ada karena pada akhirnya memberikan penekanan terhadap potensi-potensi yang dimiliki tokohtokoh perempuan dalam karya sastra yang terkadang, bahkan sering diabaikan atau kurang diperhatikan oleh peneliti sebelumnya. 1.5 Landasan Teori Landasan teori adalah seperangkat pertanyaan tentang hakikat, cara memandang, cara merumuskan, dan cara menjawab suatu persoalan dengan menggunakan cara dan tata urut tertentu yang akan dapat menghasilkan pernyataan tertentu tentang persoalan tersebut (Ahimsa-Putra, 2007: 5). Landasan teori diperlukan dalam penelitian sastra sebagai landasan kerja serta pengarah dalam kegiatan penelitian (Chamamah, 2001: 12-15). Penelitian sastra adalah suatu bentuk kegiatan ilmiah, maka memerlukan landasan kerja yang berupa teori. Teori sebagai hasil perenungan yang mendalam, tersistem, dan terstruktur terhadap gejala-gejala alam berfungsi sebagai pengarah dalam kegiatan penelitian. Teori memperlihatkan hubungan-hubungan antarfakta yang tampaknya berbeda 17 dan terpisah ke dalam satu persoalan dan menimformasikan proses pertalian yang terjadi di dalam kesatuan tersebut (Chamamah, 2006: 14).. Pemaparan sebelumnya eksplisit menekankan bahwa tinjauan kritik sastra Feminis digunakan dalam penelitian ini untuk melihat citra perempuan pada novel Penari Kecil karya SSM. 1.5.1 Feminisme Feminisme mengartikan bahwa perempuan harus memiliki persamaan hak dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial seperti laki-laki, atau bisa dikatakan sebagai gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Humm (2002: 158) menyatakan bahwa feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat pada perempuan adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Feminisme dalam bentuk gerakan merupakan gerakan yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta harus ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut (Fakih, 2007: 79). Feminisme adalah sebuah kesadaran perempuan akan adanya ketimpangan struktur yang dirasa tidak nyaman yang berlangsung di dalam tatanan masyarakat, baik yang berlangsung di ranah publik maupun yang berlangsung di ranah domestik, di ranah pribadi atau privat. Seharusnya, tidak ada stereotipe yang merugikan perempuan. Pemikiran feminis merupakan kriktik terhadap konstruksi patriarki yang melakukan dominasi dan opresi terhadap perempuan yang 18 berkembang di Eropa dan Amerika pada akhir tahun 1960an untuk menghidupkan isu politik dan sosial mengenai kebebasan suara perempuan (Fowler, 1987: 9293). Opresi terhadap perempuan berupa konsep liyan (the other) karena perempuan bukan laki-laki. Laki-laki adalah bebas, mahluk yang menentukan dirinya sendiri yang mendefinisi makna eksistensinya, sementara perempuan adalah objek yang tidak menentukan eksistensinya sendiri (dalam Tong, 2008: 9). Dengan demikian, apabila perempuan dipandang sebagai yang lain (other), sementara laki-laki sebagai dirinya (self) maka perempuan selalu diposisikan sebagai pelengkap bagi laki-laki (Beauvoir dalam Ruthven, 1990: 41).) Pemikiran ini terus bergerak tidak terbatas karena setiap pemikiran lahir dalam konteks tertentu. Secara keseluruhan, pemikiran feminis terdiri atas feminisme liberal, radikal, marxis dan sosialis, psikoanalisis dan gender, eksistensialis, postmodern, multikultural dan global, serta ekofeminisme (Tong, 2008:ix-xi). Dalam hal ini feminisme bukan merupakan ideologi yang monolitik. Artinya, feminis tidak berpikiran sama, dan seperti semua modus berpikir yang dihargai oleh waktu. Pemikiran feminis memiliki masa lalu, masa kini, dan masa depan. Pada dasarnya, feminisme memandang masyarakat mempunyai keyakinan yang keliru bahwa perempuan secara alamiah tidak secerdas dan sekuat laki-laki sehingga meminggirkan perempuan dari dunia pendidikan, politik, dan ekonomi. Sebagai akibat dari politik peminggiran ini, potensi yang sesungguhnya dari perempuan tidak terpenuhi. Perempuan dan laki-laki seharusnya diberikan kesempatan dan ruang yang sama dalam rangka keadilan gender (Tong, 2008: 2). 19 Opresi terhadap perempuan yang telah diutarakan sebelumnya, menurut Beauvoir (dalam Tong, 2008: 267-268) disebabkan karena setiap laki-laki selalu dalam pencarian akan perempuan ideal, yaitu perempuan yang akan menjadikannya lengkap. Perempuan ideal yang dicari laki-laki cenderung tampak sama, yaitu perempuan didorong untuk melupakan, mengabaikan, atau dengan cara tertentu, mengasingkan dirinya. Perempuan-perempuan tersebut mengorbankan mimpi mereka agar kekasih mereka dapat mencapai impian mereka, atau mengambil resiko mengorbankan hidup dan tubuh mereka sendiri dalam usaha yang sangat kuat untuk menyelamatkan kekasih mereka dari kehancuran, penjara, dan kematian. Secara ringkas, perempuan yang ideal, perempuan yang dipuja laki-laki adalah perempuan yang percaya bahwa tugas mereka untuk mengorbankan diri agar dapat menyelamatkan laki-laki. Perempuan tidak dapat menolak citra idealnya karena laki-laki memegang kendali dirinya. Sementara itu, Dworkin dalam Ruthven (1990: 6) menyebutkan bahwa feminisme lahir untuk mengakhiri dominasi laki-laki yang menempatkan posisi dan relasi perempuan dengan laki-laki tersubordinasi. Untuk itu, harus dihancurkan struktur budaya, seperti seni, gereja, hukum, keluarga inti yang berdasarkan pada kekuasaan ayah dan negara, juga semua citra, institusi, adatistiadat, dan kebiasaan yang menjadikan perempuan sebagai korban yang tidak dihargai dan tidak tampak. Lebih jauh lagi, Hawthron (1994: 67-68) mengemukakan bahwa feminisme adalah posisi politik, menanggalkan unsur biologi perempuan dan menjadikan keperempuanan sebagai konstruksi budaya 20 (kultural) yang didefinisikan secara karakteristik. Dengan demikian, feminisme adalah sifat perempuan yang berkembang menuju keadilan bagi perempuan. Sejalan dengan pendapat di atas, Humm (2007: 158-159) mendefinisikan feminisme sebagai doktrin persamaan hak bagi perempuan (gerakan terorganisir untuk mencapai hak asasi perempuan) dan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan. Secara umum, feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat pada sebuah pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta sederajat dengan laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki. Cara lain adalah membebaskan perempuan dari lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga (SoenarjatiDjajanegara, 2000: 4). Feminisme berbeda dengan emansipasi. Sofia dan Sugihastuti (2003: 24) menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang bahwa perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut. 21 1.5.2 Kritik Sastra Feminis Kritik sastra feminis merupakan pengaruh dari gerakan sosial politik di akhir 1960-an dan awal 1970-an, terutama di Eropa Barat dan Amerika, kebangkitan yang diikuti oleh negara-negara berkembang. Semenjak itu, feminisme menjadi gerakan internasional dan berkembanglah peran karya sastra. Keduanya berhubungan karena penulisan karya sastra sebelumnya telah merekam penekanan terhadap perempuan (Hawthron, 1994: 67). Hal ini disebabkan oleh nilai-nilai dan konvensi sastra telah dibentuk oleh laki-laki. Penulis laki-laki menunjukkan tulisan kepada pembacanya seolah-olah mereka semuanya adalah laki-laki sehingga terdapat kekaburan mengenai perspektif perempuan dalam karya sastra (Selden, 1991:1331). Sementara, pendapat yang sama menyebutkan bahwa kritik sastra feminis mendapat kontribusi dari pemikiran dan gerakan feminis. Kate Millet dalam Sexual Politics (dalam Humm, 1986: 4) memilih untuk melawan patriarki dengan kritik sastra feminis dengan melihat representasi perempuan dalam karya sastra. Newton (1988: 263-264) memberi penjelasan bahwa pada awalnya kritik feminis mengacu pada tujuan politik feminisme yang menekankan pengarang dan tulisannya agar dapat berperan dengan ideologi feminis. Citra perempuan terutama dikaitkan dengan karakter-karakter perempuan yang dihadirkan dalam karya sastra. Kritik sastra feminis berakar pada asas utama bahwa perempuan berada pada kesadaran: merupakan diri sendiri, bukan orang lain atau yang lain. 22 Perempuan dalam karya sastra yang ditulis oleh laki-laki sebagian besar terlihat seperti orang lain, sebagai objek, yang hanya melayani kepentingan laki-laki dan tujuannya sebagai protagonis. Atas dasar itu, kritik sastra feminis pada dasarnya menggunakan gender sebagai kategori penting dalam analisis karya sastra (Showalter, 1985: 3). Kritik sastra feminis merupakan pendekatan akademik yang mempelajari karya sastra dengan pemikiran feminis untuk menganalisis teks sastra dan konteksnya dengan produksi dan resepsi pembaca. Hal ini dihubungkan dengan gender yang melihat representasi dan situasi manusia berdasarkan perbedaan seks. Gender adalah kategori sosial dan budaya, dipengaruhi oleh stereotipe tentang kebiasaan perempuan dan laki-laki yang eksis (bertahan) dalam perilaku dan kepercayaan, seperti kepercayaan yang sering dikatakan produk budaya atau telah dikonstruksikan (Goodman, 1996:vvi). Lebih jelasnya, Humm (1986: 8) menyatakan ada tiga asumsi dasar kritik sastra feminis, yaitu (1) karya sastra dan kritiknya adalah ideologi sejak tulisan memanipulasi gender untuk tujuan simbolik, (2) adanya relasi seks dalam strategi menulis, dan (3) tradisi sastra menggunakan norma laki-laki. Kemudian, kritik sastra feminis dibagi dua aliran sebagai berikut (Showalter , 1985: 130-131). 1. Perempuan sebagai penulis (woman as a writer) Memfokuskan kajian pada sejarah karya sastra perempuan (perempuan sebagai penulis), gaya penulisan, tema, genre, struktur tulisan 23 perempuan, profesi penulis perempuan sebagai suatu perkumpulan, serta perkembangan tradisi penulis perempuan. 2. Perempuan sebagai pembaca (woman as a reader) Memfokuskan kajian pada citra dan stereotipe perempuan dalam sastra, pengabaian dan kesalahpahaman tentang perempuan, dan celahcelah dalam sejarah sastra yang dibentuk laki-laki. Pembagian kritik sastra feminis tersebut memperjelas arah penelitian ini, bahwa konsep perempuan sebagai pembaca (woman as a reader) yang digunakan dalam mengeksplorasi citra perempuan dalam perspektif gender pada novel karya SSM. Kemudian lebih mengerucut lagi penelitian ini akan menggunakan teori kritik sastra feminis Ruthven. 1.5.2.1 Kritik Sastra Feminis Ruthven Analisis kritik sastra feminis dalam novel Penari Kecil tidak terlepas dari konsep feminisme sebagai pendekatan analisis. Konsep feminisme digunakan sebagai alat bantu pemahaman kritik feminis terhadap novel Penari Kecil. Hal tersebut bertujuan untuk mengungkap opresi terhadap perempuan yang diakibatkan oleh budaya patriarki. Dalam usaha mengkritisi karya sastra bernilai feminis diperlukan usaha kritik lain yaitu kritik sastra feminis perspektif Ruthven. Kritik ini memberikan alternatif lain dalam menelaah label perjuangan perempuan dalam karya sastra. Kritik sastra feminis menurut Ruthven (1990: 4) berasal dari istilah “kritik”, “sastra”, “feminis”. Kritik merupakan praktik diskursif yang 24 bertujuan untuk menjelaskan dan mengevaluasi karya sastra. Sastra merupakan kumpulan teks yang memiliki nilai kesastraan. Oleh karena itu, istilah kritik sastra feminis yang dijelaskan melalui “kritik”, “sastra”, “feminis” lebih terang karena mengandung makna sebagai bentuk sekunder yang mengevaluasi dan menilai bentuk primer berlandaskan suatu teori. Praktik kritik sastra feminis menurut perspektif Ruthven (1990: 19) memiliki berbagai ragam pendekatan, antara lain sosiofeminis, semiofeminis, psikofeminis, feminis marxis, feminis lesbian dan feminisme kulit hitam. Novel Penari Kecil akan diteliti menggunakan pendekatan sosiofeminisme yakni, praktik feminis yang mengulas peran perempuan di masyarakat dengan pijakan teks-teks sastra atau diulas sebagai citra perempuan. Selanjutnya Ruthven (1990:31-32) juga mengemukakan adanya ideologi seks yang bersifat patriarki dan memandang perempuan inferior terhadap lakilaki. Menurut Ruthven (1990: 44-45), subjeksi perempuan diangkat bukan karena inferioritas „natural‟, tetapi karena klasifikasinya secara intrinsik sebagai inferior menurut budaya yang didominasi laki-laki dan mereka (perempuan) tidak menghindar untuk hidup di dalamnya. Perempuan tidak inferior menurut sifat, tetapi diinferiorkan oleh budaya. Mereka diakulturasi (disesuaikan) ke dalam inferioritas. Dengan demikian pembacaan terhadap teks dalam perspektif feminis berarti berusaha untuk membongkar ideologi seks yang bersifat patriarki dalam teks tersebut. Kerja kritik ini ialah meniliti karya sastra dengan melacak ideologi yang membentuknyadan menunjukkan perbedaan-perbedaan antara yang 25 dikatakan oleh karya dengan yang tampak dari sebuah pembacaan yang diteliti (Ruthven, 1990: 32). Ruthven (1990: 40) mengemukakan bahwa kritik sastra feminis meliputi penelitian tentang bagaimana perempuan digambarkan dengan bagaiaman potensi perempuan di tengah kekuasaan patriarki. Dengan teori feminis, diharapkan mampu membuka pandangan-pandangn baru, terutama berkaitan dengan bagaimana karakter-karakter perempuan diwakili dalam sastra. Model analisis yang mempertanyakan keadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin adalah analisis gender. Analisis tersebut merupakan suatu bentuk kajian yang menjadi alat kritik sastra feminis. Menurut Ruthven (1990: 70), salah satu bentuk kritik feminis yang berfokus pada masalah di atas adalah images of woman. Dalam konsep ini, teksteks sastra dapat digunakan sebagai bukti untuk melihat jenis dan bentuk peran yang disediakan untuk perempuan. Tujuan yang berlawanan berkaitan dengan pemberian peran tersebut. Di satu sisi, ada keinginan untuk mengungkapkan sifat representasi stereotipe yang menindas. Di sisi lain, peran tersebut memberi peluang untuk berfikir tentang perempuan dengan membandingkan bagaimana perempuan direpresentasikan dengan hal yang sebenarnya. Dalam pendekatan images of woman, kritikus menentukan bagaimana karakter-karakter perempuan dipresentasikan di dalam teks, kemudian diadakan evaluasi terhadap tokoh cerita, apakah telah memiliki kesadaran kritis, reflektif, atau tidak sebagai agen moral yang mampu melakukan gerak yang ditentukan oleh 26 dirinya sendiri bukan orang lain. Pemikiran feminis , yang dipakai untuk mengkaji karya sastra, melahirkan beberapa ragam kritik sastra feminis (Ruthven, 1990: 17) Karya sastra yang menghadirkan images of woman digunakan untuk melihat permasalahan wanita. Tujuan penelitian images of woman menurut Ruthven (1990: 70-71) adalah membicarakan hakikat representasi stereotipe yang menindas yang diubah dalam model-model peran serta menawarkan pandangan yang sangat terbatas dari hal-hal yang diharapkan oleh seorang perempuan. Selain itu, penelitian citra perempuan juga memberikan peluang berpikir tentang perempuan dengan membandingkan perempuan yang telah direpresentasikan dan perempuan yang seharusnya dipresentasikan. Karya sastra seharusnya memberikan contoh, menanamkan perasaan positif bagi tumbuhnya identitas keperempuanan dengan memperlihatkan gambaran perempuan yang dapat mengaktualisasikan dirinya, yang identitasnya tidak tergantung kepada laki-laki. Anggapan utama dari kritik images of woman yang harus dibuat adalah evaluasi dari keaslian karakter perempuan yang menunjukkan bahwa seseorang individu mempunyai kesadaran sendiri, seperti ketidaksetujuan pada identitas stereotipikal (Ruthven, 1990:73). Dengan demikian, citra perempuan dalam yang dihadirkan dalam penelitian ini adalah gambaran mengenai perempuan secara lebih seimbang, baik citra negatif sebagai the second sex, maupun citra positif yang memperlihatkan kualitas perempuan pada novel Penari Kecil karya SSM. 27 1.5.2.2 Citra Perempuan Citra perempuan adalah gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi perempuan. Menurut Pradopo (2002: 78-80) Citra adalah gambaran angan-angan, gambar-gambar dalam pikiran yang dihasilkan terhadap sebuah objek yang dapat dihubungkan dengan pengalaman inderaan atas objek-objek tersebut. Chaplin (1968: 239) juga menyebutkan bahwa citra merupakan gambaran, kesan, atau bayang-bayang; satu pengalaman sentral atau yang disadari, yang mirip dengan pengalaman sensoris, akan tetapi sifatnya kurang hidup dan dianggap muncul dari ingatan. Citra secara singkat dapat diartikan sebagai respon visual terhadap karya sastra (Fowler, 1987: 119). Dari penjelasan di atas pengertian citra perempuan dapat disebut sebagai semua wujud gambaran mental, spiritual, dan tingkah laku perempuan yang menunjukkan ciri khas perempuan. 1.6 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis novel ini adalah metode pengumpulan data. Selain menggunakan metode analisis, penelitian ini menggunakan metode reading as a woman. Metode ini menempatkan pembaca sebagai perempuan sehingga memperlihatkan dirinya dari sudut pandang perempuan. Metode ini memiliki konsep sebagai berikut. 1. Ketika memosisikan sebagai pembaca perempuan maka yang perlu diperhatikan secara substansial adalah dengan melihat pengalaman 28 yang sedang dilihatnya, melihat sebagai “seorang perempuan” yang dibatasi dan dimarginalkan. 2. Konsep dari pembaca perempuan adalah kontinuitas pengalaman perempuan pada sosial dan struktur familial serta pengalaman sebagai pembaca. Dalil kontinuitas diperlukan dengan memperhatikan keadaan dan situasi psikologi pada karakter perempuan untuk mengungkap sikap dan imaji tentang perempuan dalam kerangka seorang pengarang. 3. Mengidentifikasikan karakter perempuan, kemudian karakter laki-laki yang telah melawan kepentingan mereka sebagai perempuan. 4. Melakukan proses pembacaan untuk mengungkap ideologi dan asumsi politis yang berkamuflase dalam karya sastra. 1.7 Sistematika Penyajian Penelitian ini disusun menjadi lima bab sebagai berikut. Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri atas (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Rumusan Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Tinjauan Pustaka, (5) Landasan Teori, (6) Metode Penelitian, (7) Sistematika Penyajian. Sementara itu, Bab II mengemukakan citra diri perempuan, yaitu menyangkut aspek biologis dan psikologis yang dimiliki perempuan. Bab III Mengetengahkan citra sosial perempuan, yaitu kedudukan, peran, atau posisi perempuan di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Bab IV mengemukakan ideologi yang membentuk pencitraan perempuan. Terakhir, Bab V adalah kesimpulan. Bab ini memuat simpulan berisi pokok utama yang diangkat dari hasil pembahasan.