1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra ialah citra kehidupan atau dapat kita sebut dengan gambaran kehidupan.
Gambaran kehidupan yang dapat dipahami sebagai gambaran nyata tentang
model-model kehidupan yang telah kita jumpai di kehidupan yang berdasarkan
kenyataan dan mengandung kebenaran (Saxby, 1991:4). Kemudian karya sastra
merupakan produk sosial budaya yang mencerminkan kehidupan serta
perkembangan masyarakat. Isu-isu sosial kemanusiaan terdapat di dalamnya,
termasuk isu tentang perempuan. Isu tentang perempuan dapat dihadirkan melalui
citra.
Citra sendiri memiliki banyak definisi, ada yang menyebutkan citra adalah
gambaran angan-angan, gambar-gambar dalam pikiran yang dihasilkan terhadap
sebuah objek yang dapat dihubungkan dengan pengalaman inderaan atas objekobjek tersebut. Ada juga yang menyebutkan bahwa citra merupakan gambaran,
kesan, atau bayang-bayang; satu pengalaman sentral atau yang disadari, yang
mirip dengan pengalaman sensoris, tetapi sifatnya kurang hidup dan dianggap
muncul dari ingatan, dan citra juga didefinisikan secara singkat dengan diartikan
sebagai respons visual terhadap karya sastra.
Citra perempuan di dalam karya sastra Indonesia sudah mulai ditampakkan
sejak terbitnya sebuah novel pada tahun 1920, yakni Azab dan Sengsara yang
1
2
ditulis oleh Merari Siregar. Mariamin, tokoh perempuan di dalam novel tersebut,
bersedia menikah dengan Kasibun, seorang laki-laki yang berhasil mempengaruhi
dan memperalat ibu Mariamin agar Mariamin bersedia menikah dengannya. Atas
bujukan ibunya, Mariamin akhirnya bersedia menikah dengan Kasibun meskipun
Kasibun berwajah buruk, ditambah perilaku yang juga buruk, yakni suka mabukmabukan, melacur, dan sering menyiksa.
Selanjutnya adalah tulisan karangan Marah Rusli yang terbit tahun 1922, Sitti
Nurbaya. Novel Sitti Nurbaya juga menggambarkan kesedihan tokoh perempuan,
Sitti Nubaya, menikah dengan Datuk Maringgih, lelaki serakah berwajah buruk
yang pandai melakukan kamuflase. Apabila Sitti Nurbaya menolak lamaran yang
diajukan kepadanya, berarti ia menjebloskan ayahnya ke penjara karena tidak
mampu membayar hutang-hutangnya kepada Datuk Maringgih. Faruk (2006:3839) menyebut sikap Mariamin dan Sitti Nurbaya tersebut sebagai ketaklukkan
patriarki
disebabkan
kepintaran
tokoh
lelaki
menaklukkan
hati
tokoh
perempuannya.
Citra perempuan kemudian mulai mengalami perubahan dengan terbitnya
Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana melalui hadirnya tokoh
perempuan, Tuti, yang aktif dalam kegiatan organisasi dan memiliki cita-cita
untuk memajukan kaum perempuan. Keberadaan Tuti merupakan perwujudan
kesadaran perempuan mengambil bentuk kegiatan yang pada zamannya tidak
lazim dikaitkan dengan keperempuanan, yaitu berorganisasi, mengingat posisi
tradisional perempuan pada saat itu adalah di dalam lingkup keluarga sehingga
membatasi langkah perempuan untuk mengembangkan dirinya. Akan tetapi,
3
perubahan citra perempuan domestik ke ruang publik tersebut masih disertai
dengan keberadaan tokoh perempuan lain, yaitu Maria, yang hadir dengan
membawa stereotipe umum perempuan yang suka bersolek dan bersifat
melankolik. Pelekatan pada sifat Maria itu ternyata membuat tokoh laki-laki di
Indonesia tertarik, bukan kepada Tuti yang merupakan aktivis perempuan.
Maksud dari stereotipe di atas ialah pelabelan atau penanda terhadap suatu
kelompok tertentu. Dalam hubungannya dengan perempuan, stereotipe dipandang
merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Misalnya, stereotipe perempuan
sebagai pelayan suami akhirnya berakibat pada penomorduaan pendidikan
perempuan (Fakih, 2007-16-17).
Selanjutnya citra juga selalu ditampakkan dalam beberapa karya sastra yang
muncul pada tahun-tahun berikutnya, seperti novel Bumi Manusia karangan
Pramoedya Anantatoer yang hadir pada tahun 1980. Menampilkan tokoh
perempuan Nyai Ontosoroh. Diceritakan Nyai pada saat itu dianggap sebagai
perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai istri
simpanan. Statusnya sebagai seorang Nyai telah membuatnya sangat menderita,
karena ia tidak memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. Tetapi, yang
menariknya adalah Nyai Ontosoroh sadar akan kondisi tersebut sehingga dia
berusaha keras dengan terus-menerus belajar, agar dapat diakui sebagai seorang
manusia. Nyai Ontosoroh berpendapat, untuk melawan penghinaan, kebodohan,
kemiskinan, dan sebagainya hanyalah dengan belajar. Dalam novel Bumi
Manusia,
perempuan
telah
dicitrakan
sebagai
perempuan
yang
aktif
mengembangkan dirinya di ruang publik dengan belajar, agar menjadi seseorang
4
yang diakui sebagai seorang manusia. Ini memperlihatkan ada kesinambungan
dalam menampakkan citra perempuan dalam karya sastra dengan karya sastra
sebelumnya. Yakni mulai menampilkan perempuan yang aktif di ruang publik.
Kemudian citra juga ditampakkan di novel Tiga Orang Perempuan karya
Maria A. Sardjono yang hadir pada tahun 1983, novel Saman karya Ayu Utami
terbit tahun 1998, novel Perempuan Jogja terbit tahun 2001, novel Biola Tak
Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma terbit tahun 2004, novel Sinden karya
Purwadmadi Admawipura terbit pada tahun 2005, dan tentunya citra juga diduga
tampak dalam novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan yang terbit pada tahun
2013 yang akan menjadi objek dari penelitian ini.
Citra perempuan dalam karya sastra Indonesia yang telah dikemukakan di atas
menunjukkan bahwa perempuan berada dalam kekuasaan laki-laki. Perempuan
mengalami ketidakberdayaan ketika dihadapkan dengan laki-laki di dalam
kehidupan sehingga perempuan lebih banyak mengalah atas kejadian yang
menimpa dirinya demi kesenangan laki-laki. Perempuan lebih cenderung
dicitrakan sebagai penghuni ruang domestik daripada ruang publik. Keberadaan
perempuan ini menguatkan posisi perempuan sebagai pelayan, yaitu mahluk yang
selalu memberikan servis atau pelayanan kepada laki-laki.
Secara hierarki, dapat disimpulkan bahwa posisi perempuan berada di bawah
laki-laki karena perempuan hanya dipandang sebagai pelengkap. Perempuan ideal
yang disukai laki-laki adalah perempuan yang feminin, seperti suka bersolek dan
melankolik yang ditunjukkan oleh tokoh Maria di dalam novel Layar Terkembang
5
karangan Sutan Takdir Alisjahbana. Selain itu, perempuan ideal yang disukai lakilaki adalah perempuan yang akrab dengan kegiatan di dalam rumah atau kegiatan
di ruang domestik, bukan perempuan yang aktif di luar rumah atau kegiatan di
ruang publik seperti tokoh Tuti.
Citra perempuan sebagai mahluk kelas dua (second class). Dengan demikian,
telah terlihat atau telah ditunjukkan pada saat awal terbitnya novel-novel produk
sastra Indonesia modern pada tahun 1920-an. Karya-karya yang telah dibicarakan
sebelumnya, yaitu Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, dan Layar Terkembang
menegaskan hal tersebut. Tokoh-tokoh perempuan dihadirkan di dalamnya
merepresentasikan perempuan yang berada di dalam kekuasaan laki-laki dan tidak
berdaya atau menjadi objek di dalam kehidupannya sendiri.
Dalam perkembangannya, citra perempuan yang dihadirkan kembali pada
tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia memperlihatkan bahwa
perempuan masih sangat erat dengan kecantikan, keindahan, kelembutan,
kesedihan dan penderitaan. Dengan kata lain, perempuan lebih banyak
dikonstruksi sebagai manusia yang masih didominasi oleh norma-norma patriarki
sehingga citra perempuan adalah sebagai pelengkap laki-laki (Helwig, 1994). Hal
ini sesuai dengan pernyataan Newtom (1988: 266) bahwa kebanyakan karya sastra
pada kenyataannya memberikan gambaran tertentu atau stereotipe umum
mengenai perempuan yang selalu diulang-ulang, yaitu perempuan sebagai pelayan
yang menimbulkan ketertarikan laki-laki.
6
Fenomena mengenai perempuan dalam karya sastra yang telah dikemukakan
di atas merupakan refleksi dari masyarakat yang cenderung menempatkan
perempuan secara sosial dan kultural berbeda dengan laki-laki atau yang biasa
disebut dengan istilah gender. Sementara, perbincangan masalah gender seringkali
menimbulkan suasana yang kurang nyaman, bahkan terkesan konfrontatif karena
gender dianggap identik dengan perempuan sehingga dapat merugikan perempuan
dan masyarakat umum.
Sebenarnya, gender adalah masalah bersama perempuan dan laki-laki karena
menyangkut peran, fungsi, dan relasi antara kedua jenis kelamin tersebut, baik di
dalam ranah publik maupun di dalam ranah domestik (Sumbulan dalam
Febriasih:ix). Dengan demikian, diperlukan kepekaan dalam menyikapi
fenomena-fenomena perempuan dalam karya sastra, mengingat konsep gender
yang ditujukan kepada perempuan dan laki-laki itu masih terus berlangsung dalam
tradisi sastra Indonesia.
Di antara sekian banyak karya sastra Indonesia yang mengungkapkan
keberadaan dan isu-isu mengenai perempuan, beberapa lahir dari tangan Sari
Safitri Mohan (selanjutnya disingkat SSM). SSM merupakan pengarang
perempuan yang muncul pada tahun 2000-an. Karya-karya yang dihasilkan SSM
mulai hadir pada bulan Juli tahun 2004 dengan novel pertamanya yang berjudul
Tak Akan Habis Duniaku yang di terbitkan oleh penerbit Totem. Setelah novel
pertamanya yang diterbitkan oleh penerbit Totem, tiga novel SSM selanjutnya di
terbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama, yakni Rembulan Gading pada
tahun 2010, Negeri Neri pada tahun 2012 dan Penari Kecil pada tahun 2013.
7
Sari Safitri Mohan atau yang selanjutnya kita sebut dengan SSM, lahir di
Yogyakarta 21 Februari 1976, ia adalah alumnus dari Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Selain aktif menulis novel-novel
yang mengungkapkan keberadaan dan isu-isu mengenai perempuan, SSM yang
saat ini tinggal di New York juga memiliki pekerjaan lain yakni sebagai editor dan
News Dispatcher di Joyonews New York.
Perempuan mandiri yang saat ini tengah mengerjakan draft novel terbarunya
ini juga memiliki pengalaman pekerjaan yang terbilang cukup banyak, yakni
sebagai penyiar dan produser acara talk show di Radio Unisi FM Yogyakarta,
penyiar dan produser di Radio Woman Radio Jakarta, penyiar berita di Televisi
Pendidikan Indonesia, reporter feature dan narator Jejak Petualang di TV7, editor
di IndoProgress.com, asisten editor di Working USA Journal (New York) dan
Encyclopedia of Global Human Migration (New York).
Riwayat pekerjaan SSM yang terbilang cukup banyak ini menginspirasi
dirinya untuk mengungkapkan keberadaan dan isu-isu mengenai perempuan
dalam setiap novel-novelnya. Sebut saja novel Penari Kecil yang muncul pada
tahun 2013, novel ini menceritakan tokoh utama bernama Ira yang memiliki ciriciri perempuan yang dicitrakan mandiri, aktif di ruang public, dan berani
mengambil keputusan besar dalam hidupnya tanpa didominasi oleh siapapun.
Dalam penelitian ini novel Penari Kecil akan dijadikan objek penelitian dan akan
dieksplorasi dengan tinjauan kritik sastra feminis, dikarenakan novel Penari Kecil
ini diduga bermuatan atau memenuhi prinsip-prinsip karya yang berperspektif
feminisme.
8
Prinsip-prinsip karya yang berperspektif feminis antara lain sebagai berikut.
Pertama, Perempuan adalah tokoh utama yang dibahas dalam novel ini Kedua,
karya sastra tersebut mempertanyakan relasi gender yang timpang dan
mempromosikan terciptanya tatanan sosial yang lebih seimbang antara perempuan
dan laki-laki. Karya sastra dapat saja tidak terlihat memihak perempuan atau lakilaki, tetapi dengan membacanya dengan perspektif feminis akan ditemukan
adanya resistensi atau perlawanan terhadap dominasi tatanan simbolik atau
wacana laki-laki yang ada di dalamnya. Ketiga, karya yang diambil lebih berpijak
pada penyuaraan terhadap perempuan untuk menyuarakan keinginan, kebutuhan,
dan haknya sehingga perempuan mampu menjadi subjek dalam kehidupan, bukan
menjadi objek bagi siapa pun.
Beberapa alasan pemilihan novel ini sebagai objek penelitian. Pertama,
diduga terdapat adanya keinginan tokoh perempuan untuk mengembangkan diri
dalam novel Penari Kecil. Perempuan yang berkeinginan untuk mengembangkan
diri merupakan salah satu gerakan feminis. Kedua, terdapat tokoh perempuan
yang diduga memperluas pembagian kerja dari ranah domestik ke ranah publik
agar tidak tersingkir dari sistem kapitalis dan budaya patriarkat. Ketiga, novel ini
ditulis oleh seorang perempuan. Penulis perempuan diasumsikan mampu
mengekspresikan perasaan keperempuanannya yang nantinya dapat menjadi objek
kuat untuk penelitian mengenai citra perempuan . Keempat, novel ini memiliki
perbedaan dari beberapa novel SSM lainnya, yaitu karena novel ini cenderung
menampilkan dengan jelas citra perempuan yang ingin tampil di ruang publik
9
serta menampilkan perlawanan tokoh-tokoh perempuan atas dominasi laki-laki
dalam hidupnya dibanding novel-novel SSM sebelumnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
rumusan masalah penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut. Pertama ialah
mengenai karakter khusus perempuan. Hal ini berkaitan dengan karakter yang
melekat pada perempuan, dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek
psikologis. Poin pertama ini adalah mengenai citra diri perempuan.Kedua
mengenai kedudukan, peran, atau posisi perempuan. Hal ini dihubungkan dengan
kedudukan, peran, atau posisi perempuan dalam keluarga maupun dalam
lingkungan sosialnya, juga menyangkut hubungan dengan tokoh-tokoh lain, baik
itu perempuan maupun laki-laki. Poin kedua adalah mengenai citra sosial
perempuan. Ketiga ialah ideologi yang membentuk pencitraan perempuan.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini ada dua, yaitu tujuan teoretis
dan tujuan praktis. Secara teoretis, penelitian ini berusaha untuk mengaplikasikan
kritik sastra feminis perspektif Ruthven pada novel Penari Kecil untuk
mendapatkan gambaran tentang citra perempuan dalam novel Penari Kecil karya
SSM. Dengan tinjauan kritik sastra feminis perspektif Ruthven, citra perempuan
10
yang diangkat dari novel SSM, yaitu Penari Kecil dapat digambarkan dengan
jelas serta memberi gambaran mengenai representasi perempuan melalui fakta
literer pada novel karya SSM serta relevansinya dengan ide-ide feminisme. Hal ini
berkaitan dengan konsep bahwa karya sastra merupakan produk sosial budaya
sehingga karya sastra dapat mengungkapkan persepsi atau ekpresi masyarakat
yang ditujukan terhadap perempuan.
Adapun tujuan praktis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
Memberi apresiasi terhadap novel karya SSM dan memberi pijakan pada
penelitian lebih lanjut terhadap novel-novel karya SSM pada masa yang akan
datang. Dengan demikian, penelitian ini dapat menjembatani pemahaman
pembaca dalam menerima pesan yang disampaikan dalam novel Penari Kecil,
melalui wadah berupa tokoh-tokoh perempuan yang membawa fungsi untuk
menggambarkan citra perempuan dalam perspektif gender.
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap citra perempuan telah banyak dilakukan sebelumnya.
Berikut ini adalah beberapa penelitian yang telah dilakukan tersebut.
Penelitian terhadap citra perempuan dilakukan Sofia (2005) dengan judul
Citra Perempuan Kuasa dalam 12 Cerita Karya Kuntowijoyo Tinjauan Kritik
Sastra Feminis. Pendekatan sosiofeminis digunakan sebagai acuan kerja dalam
mengungkap Images of woman serta menggunakan feminisme kekuasaan. Untuk
11
menganalisis cara perempuan menegakkan kekuasaannya. Dengan kedua
pendekatan tersebut, didapatkan tiga gambaran tokoh perempuan. Pertama, tokohtokoh perempuan yang mendapatkan ketidakadilan gender berupa anggapan
sebagai mahluk subordinat, pemegang urusan domestik, objek seks, dan objek
kekerasan fisik serta psikis. Kedua, tokoh-tokoh perempuan yang sempat larut
dalam kehidupan pascarevolusi seksual dan womans liberation di Amerika dengan
jalan seks bebas, bergabung dengan feminisme radikal, dan mengikuti komunitas
lesbian. Selain itu, mereka memperoleh kunci-kunci pembebasan berupa
kontrasepsi, aborsi, adopsi, dan pengalihan pemeliharaan anak. Ketiga, tokohtokoh perempuan yang berhadapan dengan pihak-pihak yang menyadari bahwa
perempuan itu kuasa untuk setara. Menghadapi semua hal tersebut, tokoh-tokoh
perempuan ini kuasa mengakhiri dominasi dengan strategi, kuasa mengakhiri
kebebasan tanpa batas, kuasa memposisikan diri setara dengan laki-laki, serta
kuasa menjalankan sinergi positif, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Di
samping itu, mereka juga mengedepankan formasi keluarga norma Timur, dan
ajaran Islam.
Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah Citra Wanita dalam Novel
Saman Karya Ayu Utami Sebuah Kajian Kritik Sastra Feminis oleh Sudiati
(2005). Disimpulkan bahwa wujud permasalahan yang dihadapi wanita dalam
novel Saman dikategorikan menjadi enam, yaitu pengalaman seksualitas wanita,
permasalahan virginitas, kebebasan reproduksi, sistem patriarki dalam keluarga,
pembagian kerja seksual, dan adat perkawinan Jawa. Wujud citra wanita dalam
novel Saman dapat dikenali berdasarkan aspek sosiologis dan psikologisnya.
12
Aspek sosiologisnya tampak pada kondisi lingkungan sosial dan citra wanita
dalam masyarakat. Kondisi lingkungan sosial meliputi latar sosial, latar sosial
keagamaan, dan latar pendidikan.
Citra Perempuan dalam Keluarga Kajian Novel Tiga Orang Perempuan
Karya Maria A. Sardjono: Tinjauan Kritik Sastra Feminis diteliti Triani (2007).
Penekanan yang dilakukan adalah pada citra perempuan dalam keluarga yang
diangkat dari fakta literer dalam novel Tiga Orang Perempuan. Perspektif feminis
yang digunakan untuk melihat representasi perempuan dalam karya sastra
menghasilkan kesimpulan bahwa pelestarian ekspresi masyarakat berupa
ungkapan atau mitos yang menyudutkan perempuan masih terjadi, seperti sebutan
istri sebagai konco wingking, swarga nunut neraka katut, nrimo ing pandum,
perjodohan berdasarkan bobot, bibit, bebet. Artinya, perempuan mengalami
ketidakadilan dalam manifestasi marjinalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan,
dan beban kerja. Kondisi ini membentuk kesadaran dalam diri perempuan dua
generasi terakhir untuk menunjukkan eksistensi diri sebagai manusia yang
bermartabat dan memiliki kesetaraan dengan laki-laki. Dengan menunjukkan
otoritas diri kepada laki-laki, diharapkan adanya pengakuan dan terhindar dari
dominasi yang cenderung merendahkan martabat perempuan. Citra perempuan
muncul dalam keluarga sebagai istri, ibu, anak, dan pembantu rumah tangga.
Dengan demikian, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah yang berkeadilan gender. Artinya, ada keseimbangan
peran antara laki-laki dam perempuan dalam keluarga.
13
Citra Perempuan dalam Novel Sinden Karya Purwadmadi Admawipurwa
Sebuah Tinjauan Kritik Sastra Feminis adalah penelitian selanjutnya yang
dilakukan oleh kurniati (2008). Penelitian ini bertumpu pada masalah citra
perempuan dalam novel Sinden, mengangkat gender dalam kaitannya dengan
kekuasaan dunia patriarki yang masih mendominasi kehidupan masyarakat Jawa
dengan menampilkan potret sosial yang berlatar alam pedesaan. Konsep citra
perempuan dalam budaya Jawa yang bertolak pada budaya patriarki adalah
makhluk yang halus, lembut, dan lemah. Oleh karena itu, laki-laki menganggap
perempuan cukup berdiam di rumah saja, mengurus dapur, dan mengurus anak
sehingga tidak perlu ikut campur di luar rumah. Tugas domestik yang diperankan
perempuan adalah bentuk pengabdian seorang perempuan sebagai istri. Selain itu,
citra perempuan sebagai istri yang dituntut untuk setia kepada suami membuat
perempuan semakin terpuruk pada posisi sebagai pelayan suami. Situasi tersebut
menjadi faktor lahirnya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam
rumah tangga, pelecehan seksual, dan pelacuran. Apabila dalam keluarga dan
masyarakat diakui adanya persamaan hak dalam pendidikan, kebebasan untuk
mengeluarkan pendapat, dan menentukan kehidupannya sendiri maka perempuan
dapat tampil sebagai pemimpin, pemberani, dan bertanggung jawab.
Selain penelitian yang telah dilakukan di atas, citra perempuan juga diangkat
dalam penelitian Anipudin (2009) berjudul Citra Perempuan dalam Novel Biola
Tak Berdawai Karya Seno Gumira Ajidarma: Tinjauan Sosiofemnis. Citra diri
perempuan dalam novel Biola Tak Berdawai masih berada dalam ketegangan,
keinginan untuk maju, berusaha keluar dari kebodohan, kemiskinan, dan
14
ketertindasan dari kaum laki-laki. Terdapat dinamisasi psikis, ada yang mampu
menentukan nasibnya sendiri ada yang tidak. Sementara itu citra perempuan
dalam keluarga dan masyarakat dalam novel Biola Tak Berdawai adalah peran
perempuan sebagai ibu, sebagai anak, sebagai tuan rumah. Citra perempuan dalam
masyarakat dilihat dari hubungan-hubungan antar individu dengan individu
dengan masyarakat. Perempuan digambarkan sebagai perempuan yang bebas dan
berpotensi. Sebagai anak, perempuan mencoba keluar dari budaya dengan
mengikuti kata hatinya. Tanggapan perempuan terhadap fenomena sosial yang ada
di masyarakat yaitu masalah pembuangan anak dan aborsi. Ideologi yang
membentuk pencitraan perempuan berkaitan dengan bidang ekonomi, sosial
budaya, pendidikan, dan spiritual yang ada di masyarakat. Potensi perempuan
terbuka, mampu berdialog mampu bekerja sebagai dokter dan perawat, perempuan
yang ingin mengubah diri melalui pendidikan.
Selanjutnya, penelitian mengenai citra perempuan juga dilakukan Lestari
(2009) dengan judul Citra Wanita dalam Karya Sastra: Tinjauan Kritik Sastra
Ekofeminis terhadap Kumpulan Cerpen Jiwaku Adalah Wanita Karya Azimah
Rahayu yang menegaskan bahwa persoalan citra wanita lahir dan berkembang
dipengaruhi oleh kesenjangan gender dalam masyarakat. Adanya perbedaan seks
dan jenis kelamin membuat ketidakadilan bagi salah satu jenis kelamin, terutama
kaum wanita. Fenomena itu menyebabkan kaum feminis berjuang mencapai
keadilan gender kaum wanita. Beberapa pandangan kaum wanita dalam mencapai
kesetaraan ditemukan dalam penelitian ini. Sebagian wanita melakukan berbagai
cara, seperti mengapdosi gaya pria, membebaskan diri dari perkawinan,
15
memisahkan diri dari urusan domestik, dan tidak mempedulikan masyarakat.
Gerakan feminisme tersebut mendapatkan perlawanan dari kaum wanita. Mereka
menganggap langkah-langkah tersebut adalah pengingkaran kaum wanita terhadap
kodratnya sebagai dasar kerusakan atas keseimbangan alam. Hal ini melahirkan
pandangan kaum wanita yang menyadarkan peran dalam menciptakan
keseimbangan alam. Melalui kumpulan cerpen Jiwaku Adalah Wanita, kaum
wanita disadarkan oleh perannya. Feminitas, perkawinan, kepeduliannya dengan
urusan domestik, dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar merupakan bukti
langkah yang dianggap tepat untuk menyetarakan kedudukan kaum wanita dengan
pria. Selain peran domestik, kaum wanita juga berperan di publik. Berdasarkan
hal tersebut, gambaran atau citra kaum wanita akan terbentuk, seperti citra istri
dan ibu dalam sektor domestik dan peran publik melahirkan citra wanita pekerja.
Kemudian Penilitian yang dilakukan oleh Etriany (2012) melalui skripsi di
UGM berjudul “Citra Ibu pada Lirik Lagu “Ibu”, “Bunda”, dan “Siapa Bilang
(Disko Mama)”: analisis Kritik Sastra Feminis”. Skripsi tersebut membahas
representasi citra ibu dan ide-ide feminis yang terdapat di dalam ketiga lirik lagu
tersebut. Metode yang digunakan ialah reading as woman dan berhasil
menemulan citra Ibu dalam lingkup domestik, yang meliputi merawat dan
mendidik anak, penjadi partner bagi suami, dan memelihara rumah, serta citra ibu
dalam ranah publik, yang meliputi citra perempuan yang aktif, berwawasan luas,
dan mampu mandiri secara ekonomi
Sementara itu novel-novel karya SSM sebelumnya belum pernah diteliti. Oleh
karena itu eksplorasi terhadap novel SSM yang berjudul Penari Kecil dengan
16
perspektif atau dengan tinjauan kritik sastra feminis jelas belum dilakukan. Hal ini
menegaskan relevannya penelitian ini, mengingat isu-isu tentang perempuan
sering ditampilkan SSM dalam karya-karyanya, termasuk novel Penari Kecil yang
digunakan sebagai objek kajian dalam penelitian ini. Penelitian-penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya dapat memberikan masukan atau sumbangan besar
terhadap penelitian ini, dan sebaliknya, penelitian ini juga dapat menjadi
pelengkap atau pengayaan dari kajian feminis yang sudah ada karena pada
akhirnya memberikan penekanan terhadap potensi-potensi yang dimiliki tokohtokoh perempuan dalam karya sastra yang terkadang, bahkan sering diabaikan
atau kurang diperhatikan oleh peneliti sebelumnya.
1.5 Landasan Teori
Landasan teori adalah seperangkat pertanyaan tentang hakikat, cara
memandang, cara merumuskan, dan cara menjawab suatu persoalan dengan
menggunakan cara dan tata urut tertentu yang akan dapat menghasilkan
pernyataan tertentu tentang persoalan tersebut (Ahimsa-Putra, 2007: 5). Landasan
teori diperlukan dalam penelitian sastra sebagai landasan kerja serta pengarah
dalam kegiatan penelitian (Chamamah, 2001: 12-15). Penelitian sastra adalah
suatu bentuk kegiatan ilmiah, maka memerlukan landasan kerja yang berupa teori.
Teori sebagai hasil perenungan yang mendalam, tersistem, dan terstruktur
terhadap gejala-gejala alam berfungsi sebagai pengarah dalam kegiatan penelitian.
Teori memperlihatkan hubungan-hubungan antarfakta yang tampaknya berbeda
17
dan terpisah ke dalam satu persoalan dan menimformasikan proses pertalian yang
terjadi di dalam kesatuan tersebut (Chamamah, 2006: 14).. Pemaparan
sebelumnya eksplisit menekankan bahwa tinjauan kritik sastra Feminis digunakan
dalam penelitian ini untuk melihat citra perempuan pada novel Penari Kecil karya
SSM.
1.5.1
Feminisme
Feminisme mengartikan bahwa perempuan harus memiliki persamaan hak
dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial seperti laki-laki, atau bisa dikatakan
sebagai gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Humm (2002: 158)
menyatakan bahwa feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan karena
yang melekat pada perempuan adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami
ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Feminisme dalam bentuk gerakan
merupakan gerakan yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum
perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta harus ada upaya
mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut (Fakih, 2007: 79).
Feminisme adalah sebuah kesadaran perempuan akan adanya ketimpangan
struktur yang dirasa tidak nyaman yang berlangsung di dalam tatanan masyarakat,
baik yang berlangsung di ranah publik maupun yang berlangsung di ranah
domestik, di ranah pribadi atau privat. Seharusnya, tidak ada stereotipe yang
merugikan perempuan. Pemikiran feminis merupakan kriktik terhadap konstruksi
patriarki yang melakukan dominasi dan opresi terhadap perempuan yang
18
berkembang di Eropa dan Amerika pada akhir tahun 1960an untuk menghidupkan
isu politik dan sosial mengenai kebebasan suara perempuan (Fowler, 1987: 9293). Opresi terhadap perempuan berupa konsep liyan (the other) karena
perempuan bukan laki-laki. Laki-laki adalah bebas, mahluk yang menentukan
dirinya sendiri yang mendefinisi makna eksistensinya, sementara perempuan
adalah objek yang tidak menentukan eksistensinya sendiri (dalam Tong, 2008: 9).
Dengan demikian, apabila perempuan dipandang sebagai yang lain (other),
sementara laki-laki sebagai dirinya (self) maka perempuan selalu diposisikan
sebagai pelengkap bagi laki-laki (Beauvoir dalam Ruthven, 1990: 41).) Pemikiran
ini terus bergerak tidak terbatas karena setiap pemikiran lahir dalam konteks
tertentu. Secara keseluruhan, pemikiran feminis terdiri atas feminisme liberal,
radikal, marxis dan sosialis, psikoanalisis dan gender, eksistensialis, postmodern,
multikultural dan global, serta ekofeminisme (Tong, 2008:ix-xi).
Dalam hal ini feminisme bukan merupakan ideologi yang monolitik. Artinya,
feminis tidak berpikiran sama, dan seperti semua modus berpikir yang dihargai
oleh waktu. Pemikiran feminis memiliki masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Pada dasarnya, feminisme memandang masyarakat mempunyai keyakinan yang
keliru bahwa perempuan secara alamiah tidak secerdas dan sekuat laki-laki
sehingga meminggirkan perempuan dari dunia pendidikan, politik, dan ekonomi.
Sebagai akibat dari politik peminggiran ini, potensi yang sesungguhnya dari
perempuan tidak terpenuhi. Perempuan dan laki-laki seharusnya diberikan
kesempatan dan ruang yang sama dalam rangka keadilan gender (Tong, 2008: 2).
19
Opresi terhadap perempuan yang telah diutarakan sebelumnya, menurut
Beauvoir (dalam Tong, 2008: 267-268) disebabkan karena setiap laki-laki selalu
dalam pencarian akan perempuan ideal,
yaitu perempuan
yang akan
menjadikannya lengkap. Perempuan ideal yang dicari laki-laki cenderung tampak
sama, yaitu perempuan didorong untuk melupakan, mengabaikan, atau dengan
cara
tertentu,
mengasingkan
dirinya.
Perempuan-perempuan
tersebut
mengorbankan mimpi mereka agar kekasih mereka dapat mencapai impian
mereka, atau mengambil resiko mengorbankan hidup dan tubuh mereka sendiri
dalam usaha yang sangat kuat untuk menyelamatkan kekasih mereka dari
kehancuran, penjara, dan kematian. Secara ringkas, perempuan yang ideal,
perempuan yang dipuja laki-laki adalah perempuan yang percaya bahwa tugas
mereka untuk mengorbankan diri agar dapat menyelamatkan laki-laki. Perempuan
tidak dapat menolak citra idealnya karena laki-laki memegang kendali dirinya.
Sementara itu, Dworkin dalam Ruthven (1990: 6) menyebutkan bahwa
feminisme lahir untuk mengakhiri dominasi laki-laki yang menempatkan posisi
dan relasi perempuan dengan laki-laki tersubordinasi. Untuk itu, harus
dihancurkan struktur budaya, seperti seni, gereja, hukum, keluarga inti yang
berdasarkan pada kekuasaan ayah dan negara, juga semua citra, institusi, adatistiadat, dan kebiasaan yang menjadikan perempuan sebagai korban yang tidak
dihargai dan tidak tampak. Lebih jauh lagi, Hawthron (1994: 67-68)
mengemukakan bahwa feminisme adalah posisi politik, menanggalkan unsur
biologi perempuan dan menjadikan keperempuanan sebagai konstruksi budaya
20
(kultural) yang didefinisikan secara karakteristik. Dengan demikian, feminisme
adalah sifat perempuan yang berkembang menuju keadilan bagi perempuan.
Sejalan dengan pendapat di atas, Humm (2007: 158-159) mendefinisikan
feminisme sebagai doktrin persamaan hak bagi perempuan (gerakan terorganisir
untuk mencapai hak asasi perempuan) dan sebuah ideologi transformasi sosial
yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan. Secara umum,
feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat pada
sebuah
pendekatannya
adalah
keyakinan
bahwa
perempuan
mengalami
ketidakadilan karena jenis kelaminnya.
Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan
agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta sederajat dengan laki-laki.
Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai
cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan
yang dimiliki laki-laki. Cara lain adalah membebaskan perempuan dari
lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga (SoenarjatiDjajanegara, 2000: 4).
Feminisme berbeda dengan emansipasi. Sofia dan Sugihastuti (2003: 24)
menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan
dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang
dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang bahwa perempuan memiliki
aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan
tersebut.
21
1.5.2
Kritik Sastra Feminis
Kritik sastra feminis merupakan pengaruh dari gerakan sosial politik di
akhir 1960-an dan awal 1970-an, terutama di Eropa Barat dan Amerika,
kebangkitan yang diikuti oleh negara-negara berkembang. Semenjak itu,
feminisme menjadi gerakan internasional dan berkembanglah peran karya sastra.
Keduanya berhubungan karena penulisan karya sastra sebelumnya telah merekam
penekanan terhadap perempuan (Hawthron, 1994: 67). Hal ini disebabkan oleh
nilai-nilai dan konvensi sastra telah dibentuk oleh laki-laki. Penulis laki-laki
menunjukkan tulisan kepada pembacanya seolah-olah mereka semuanya adalah
laki-laki sehingga terdapat kekaburan mengenai perspektif perempuan dalam
karya sastra (Selden, 1991:1331). Sementara, pendapat yang sama menyebutkan
bahwa kritik sastra feminis mendapat kontribusi dari pemikiran dan gerakan
feminis. Kate Millet dalam Sexual Politics (dalam Humm, 1986: 4) memilih untuk
melawan patriarki dengan kritik sastra feminis dengan melihat representasi
perempuan dalam karya sastra.
Newton (1988: 263-264) memberi penjelasan bahwa pada awalnya kritik
feminis mengacu pada tujuan politik feminisme yang menekankan pengarang dan
tulisannya agar dapat berperan dengan ideologi feminis. Citra perempuan
terutama dikaitkan dengan karakter-karakter perempuan yang dihadirkan dalam
karya sastra. Kritik sastra feminis berakar pada asas utama bahwa perempuan
berada pada kesadaran: merupakan diri sendiri, bukan orang lain atau yang lain.
22
Perempuan dalam karya sastra yang ditulis oleh laki-laki sebagian besar terlihat
seperti orang lain, sebagai objek, yang hanya melayani kepentingan laki-laki dan
tujuannya sebagai protagonis. Atas dasar itu, kritik sastra feminis pada dasarnya
menggunakan gender sebagai kategori penting dalam analisis karya sastra
(Showalter, 1985: 3).
Kritik sastra feminis merupakan pendekatan akademik yang mempelajari
karya sastra dengan pemikiran feminis untuk menganalisis teks sastra dan
konteksnya dengan produksi dan resepsi pembaca. Hal ini dihubungkan dengan
gender yang melihat representasi dan situasi manusia berdasarkan perbedaan seks.
Gender adalah kategori sosial dan budaya, dipengaruhi oleh stereotipe tentang
kebiasaan perempuan dan laki-laki yang eksis (bertahan) dalam perilaku dan
kepercayaan, seperti kepercayaan yang sering dikatakan produk budaya atau telah
dikonstruksikan (Goodman, 1996:vvi).
Lebih jelasnya, Humm (1986: 8) menyatakan ada tiga asumsi dasar kritik
sastra feminis, yaitu (1) karya sastra dan kritiknya adalah ideologi sejak tulisan
memanipulasi gender untuk tujuan simbolik, (2) adanya relasi seks dalam strategi
menulis, dan (3) tradisi sastra menggunakan norma laki-laki. Kemudian, kritik
sastra feminis dibagi dua aliran sebagai berikut (Showalter , 1985: 130-131).
1. Perempuan sebagai penulis (woman as a writer)
Memfokuskan kajian pada sejarah karya sastra perempuan (perempuan
sebagai penulis), gaya penulisan, tema, genre, struktur tulisan
23
perempuan, profesi penulis perempuan sebagai suatu perkumpulan,
serta perkembangan tradisi penulis perempuan.
2. Perempuan sebagai pembaca (woman as a reader)
Memfokuskan kajian pada citra dan stereotipe perempuan dalam
sastra, pengabaian dan kesalahpahaman tentang perempuan, dan celahcelah dalam sejarah sastra yang dibentuk laki-laki.
Pembagian kritik sastra feminis tersebut memperjelas arah penelitian ini, bahwa
konsep perempuan sebagai pembaca (woman as a reader) yang digunakan dalam
mengeksplorasi citra perempuan dalam perspektif gender pada novel karya SSM.
Kemudian lebih mengerucut lagi penelitian ini akan menggunakan teori kritik
sastra feminis Ruthven.
1.5.2.1 Kritik Sastra Feminis Ruthven
Analisis kritik sastra feminis dalam novel Penari Kecil tidak terlepas dari
konsep feminisme sebagai pendekatan analisis. Konsep feminisme digunakan
sebagai alat bantu pemahaman kritik feminis terhadap novel Penari Kecil. Hal
tersebut bertujuan untuk mengungkap opresi terhadap perempuan yang
diakibatkan oleh budaya patriarki. Dalam usaha mengkritisi karya sastra bernilai
feminis diperlukan usaha kritik lain yaitu kritik sastra feminis perspektif Ruthven.
Kritik ini memberikan alternatif lain dalam menelaah label perjuangan perempuan
dalam karya sastra. Kritik sastra feminis menurut Ruthven (1990: 4) berasal dari
istilah “kritik”, “sastra”, “feminis”. Kritik merupakan praktik diskursif yang
24
bertujuan untuk menjelaskan dan mengevaluasi karya sastra. Sastra merupakan
kumpulan teks yang memiliki nilai kesastraan. Oleh karena itu, istilah kritik sastra
feminis yang dijelaskan melalui “kritik”, “sastra”, “feminis” lebih terang karena
mengandung makna sebagai bentuk sekunder yang mengevaluasi dan menilai
bentuk primer berlandaskan suatu teori.
Praktik kritik sastra feminis menurut perspektif Ruthven (1990: 19)
memiliki berbagai ragam pendekatan, antara lain sosiofeminis, semiofeminis,
psikofeminis, feminis marxis, feminis lesbian dan feminisme kulit hitam. Novel
Penari Kecil akan diteliti menggunakan pendekatan sosiofeminisme yakni, praktik
feminis yang mengulas peran perempuan di masyarakat dengan pijakan teks-teks
sastra atau diulas sebagai citra perempuan.
Selanjutnya Ruthven (1990:31-32) juga mengemukakan adanya ideologi
seks yang bersifat patriarki dan memandang perempuan inferior terhadap lakilaki. Menurut Ruthven (1990: 44-45), subjeksi perempuan diangkat bukan karena
inferioritas „natural‟, tetapi karena klasifikasinya secara intrinsik sebagai inferior
menurut budaya yang didominasi laki-laki dan mereka (perempuan) tidak
menghindar untuk hidup di dalamnya. Perempuan tidak inferior menurut sifat,
tetapi diinferiorkan oleh budaya. Mereka diakulturasi (disesuaikan) ke dalam
inferioritas. Dengan demikian pembacaan terhadap teks dalam perspektif feminis
berarti berusaha untuk membongkar ideologi seks yang bersifat patriarki dalam
teks tersebut. Kerja kritik ini ialah meniliti karya sastra dengan melacak ideologi
yang
membentuknyadan
menunjukkan
perbedaan-perbedaan
antara
yang
25
dikatakan oleh karya dengan yang tampak dari sebuah pembacaan yang diteliti
(Ruthven, 1990: 32).
Ruthven (1990: 40) mengemukakan bahwa kritik sastra feminis meliputi
penelitian tentang bagaimana perempuan digambarkan dengan bagaiaman potensi
perempuan di tengah kekuasaan patriarki. Dengan teori feminis, diharapkan
mampu membuka pandangan-pandangn baru, terutama berkaitan dengan
bagaimana karakter-karakter perempuan diwakili dalam sastra. Model analisis
yang mempertanyakan keadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin
adalah analisis gender. Analisis tersebut merupakan suatu bentuk kajian yang
menjadi alat kritik sastra feminis.
Menurut Ruthven (1990: 70), salah satu bentuk kritik feminis yang
berfokus pada masalah di atas adalah images of woman. Dalam konsep ini, teksteks sastra dapat digunakan sebagai bukti untuk melihat jenis dan bentuk peran
yang disediakan untuk perempuan. Tujuan yang berlawanan berkaitan dengan
pemberian peran tersebut. Di satu sisi, ada keinginan untuk mengungkapkan sifat
representasi stereotipe yang menindas. Di sisi lain, peran tersebut memberi
peluang untuk berfikir tentang perempuan dengan membandingkan bagaimana
perempuan direpresentasikan dengan hal yang sebenarnya.
Dalam pendekatan images of woman, kritikus menentukan bagaimana
karakter-karakter perempuan dipresentasikan di dalam teks, kemudian diadakan
evaluasi terhadap tokoh cerita, apakah telah memiliki kesadaran kritis, reflektif,
atau tidak sebagai agen moral yang mampu melakukan gerak yang ditentukan oleh
26
dirinya sendiri bukan orang lain. Pemikiran feminis , yang dipakai untuk mengkaji
karya sastra, melahirkan beberapa ragam kritik sastra feminis (Ruthven, 1990: 17)
Karya sastra yang menghadirkan images of woman digunakan untuk melihat
permasalahan wanita. Tujuan penelitian images of woman menurut Ruthven
(1990: 70-71) adalah membicarakan hakikat representasi stereotipe yang
menindas yang diubah dalam model-model peran serta menawarkan pandangan
yang sangat terbatas dari hal-hal yang diharapkan oleh seorang perempuan. Selain
itu, penelitian citra perempuan juga memberikan peluang berpikir tentang
perempuan dengan membandingkan perempuan yang telah direpresentasikan dan
perempuan
yang
seharusnya
dipresentasikan.
Karya
sastra
seharusnya
memberikan contoh, menanamkan perasaan positif bagi tumbuhnya identitas
keperempuanan dengan memperlihatkan gambaran perempuan yang dapat
mengaktualisasikan dirinya, yang identitasnya tidak tergantung kepada laki-laki.
Anggapan utama dari kritik images of woman yang harus dibuat adalah
evaluasi dari keaslian karakter perempuan yang menunjukkan bahwa seseorang
individu mempunyai kesadaran sendiri, seperti ketidaksetujuan pada identitas
stereotipikal (Ruthven, 1990:73). Dengan demikian, citra perempuan dalam yang
dihadirkan dalam penelitian ini adalah gambaran mengenai perempuan secara
lebih seimbang, baik citra negatif sebagai the second sex, maupun citra positif
yang memperlihatkan kualitas perempuan pada novel Penari Kecil karya SSM.
27
1.5.2.2 Citra Perempuan
Citra perempuan adalah gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai
pribadi perempuan. Menurut Pradopo (2002: 78-80) Citra adalah gambaran
angan-angan, gambar-gambar dalam pikiran yang dihasilkan terhadap sebuah
objek yang dapat dihubungkan dengan pengalaman inderaan atas objek-objek
tersebut. Chaplin (1968: 239) juga menyebutkan bahwa citra merupakan
gambaran, kesan, atau bayang-bayang; satu pengalaman sentral atau yang
disadari, yang mirip dengan pengalaman sensoris, akan tetapi sifatnya kurang
hidup dan dianggap muncul dari ingatan. Citra secara singkat dapat diartikan
sebagai respon visual terhadap karya sastra (Fowler, 1987: 119). Dari penjelasan
di atas pengertian citra perempuan dapat disebut sebagai semua wujud gambaran
mental, spiritual, dan tingkah laku perempuan yang menunjukkan ciri khas
perempuan.
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis novel ini adalah
metode pengumpulan data. Selain menggunakan metode analisis, penelitian ini
menggunakan metode reading as a woman. Metode ini menempatkan pembaca
sebagai perempuan sehingga memperlihatkan dirinya dari sudut pandang
perempuan. Metode ini memiliki konsep sebagai berikut.
1. Ketika memosisikan sebagai pembaca perempuan maka yang perlu
diperhatikan secara substansial adalah dengan melihat pengalaman
28
yang sedang dilihatnya, melihat sebagai “seorang perempuan” yang
dibatasi dan dimarginalkan.
2. Konsep dari pembaca perempuan adalah kontinuitas pengalaman
perempuan pada sosial dan struktur familial serta pengalaman sebagai
pembaca. Dalil kontinuitas diperlukan dengan memperhatikan keadaan
dan situasi psikologi pada karakter perempuan untuk mengungkap
sikap dan imaji tentang perempuan dalam kerangka seorang pengarang.
3. Mengidentifikasikan karakter perempuan, kemudian karakter laki-laki
yang telah melawan kepentingan mereka sebagai perempuan.
4. Melakukan proses pembacaan untuk mengungkap ideologi dan asumsi
politis yang berkamuflase dalam karya sastra.
1.7 Sistematika Penyajian
Penelitian ini disusun menjadi lima bab sebagai berikut. Bab I merupakan
pendahuluan yang terdiri atas (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Rumusan
Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Tinjauan Pustaka, (5) Landasan Teori, (6)
Metode Penelitian, (7) Sistematika Penyajian. Sementara itu, Bab
II
mengemukakan citra diri perempuan, yaitu menyangkut aspek biologis dan
psikologis yang dimiliki perempuan. Bab III Mengetengahkan citra sosial
perempuan, yaitu kedudukan, peran, atau posisi perempuan di dalam keluarga
maupun di dalam masyarakat. Bab IV mengemukakan ideologi yang membentuk
pencitraan perempuan. Terakhir, Bab V adalah kesimpulan. Bab ini memuat
simpulan berisi pokok utama yang diangkat dari hasil pembahasan.
Download