16 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Luka Dekubitus 1.1. Pengertian Luka Dekubitus Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan diri yang didefinisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). NPUAP (1989) mengatakan dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan di antara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui darah. Beberapa faktor yang menggangu proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel dan fungsinya serta kehidupan dari sel. Tekanan mempengaruhi metabolisme sel dengan cara mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang menyebabkan iskemi jaringan. Iskemia jaringan adalah tidak adanya darah secara lokal atau penurunan aliran darah akibat obstruksi mekanika (Pires & Muller, 1991). Penurunan aliran darah menyebabkan daerah tubuh menjadi pucat. Pucat terlihat ketika adanya warna kemerahan pada pasien berkulit terang. Pucat tidak terjadi pada pasien berkulit pigmennya gelap (Potter & Perry, 2005). Kerusakan jaringan terjadi ketika tekanan mengenai kapiler yang cukup besar dan menutup kapiler tersebut. Tekanan pada kapiler merupakan tekanan 6 16 Universitas Sumatera Utara 17 yang dibutuhkan untuk menutup kapiler misalnya jika tekanan melebihi tekanan kapiler normal yang berada pada rentang 16 sampai 32 mmHg (Maklebust, 1987). Setelah periode iskemi, kulit yang terang mengalami satu atau dua perubahan hiperemi. Hiperemia reaktif normal (kemerahan) merupakan efek vasodilatasi lokal yang terlihat, respons tubuh normal terhadap kekurangan aliran darah pada jaringan dibawahnya, area pucat setelah dilakukan tekanan dengan ujung jari dan hiperemia reaktif akan menghilang dalam waktu kurang dari satu jam. Kelainan hyperemia reaktif adalah vasodilatasi dan indurasi yang berlebihan sebagai respons dari tekanan. Kulit terlihat berwarna merah muda terang hingga merah. Indurasi adalah area edema lokal dibawah kulit. Kelainan hiperemia reaktif dapat hilang dalam waktu antara lebih dari satu jam hingga dua minggu setelah tekanan dihilangkan (Pires & Muller, 1991). Ketika pasien berbaring atau duduk maka berat badan berpindah pada penonjolan tulang. Semakin lama tekanan diberikan, semakin besar resiko kerusakan kulit (Potter & Perry, 2005). Tekanan menyebabkan penurunan suplai darah pada jaringan sehingga terjadi iskemi. Apabila tekanan dilepaskan akan terdapat hiperemia reaktif, atau peningkatan aliran darah yang tiba-tiba ke daerah tersebut. Hyperemia reaktif merupakan suatu respons konpensasi dan hanya efektif jika tekanan di kulit dihilangkan sebelum terjadi nekrosis atau kerusakan. 1.2. Faktor Resiko Luka Dekubitus Menurut Potter & Perry (2005), ada berbagai faktor yang menjadi predisposisi terjadi luka dekubitus pada pasien yaitu : a. Gangguan Input Sensorik 17 Universitas Sumatera Utara 18 Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan tekanan berisiko tinggi mengalami gangguan integritas kulit daripada pasien yang sensansinya normal. Pasien yang mempunyai persepsi sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar. Sehingga ketika pasien sadar dan berorientasi, mereka dapat mengubah posisi atau meminta bantuan untuk mengubah posisi. b. Gangguan Fungsi Motorik Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri berisiko tinggi terjadi dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi, tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadi dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien yang mengalami cedera medula spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini (Reuler & Cooney, 1981). c. Perubahan Tingkat Kesadaran Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang lebih baik. Selain itu pada pasien yang mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah 18 Universitas Sumatera Utara 19 menjadi bingung. Beberapa contoh adalah pada pasien yang berada di ruang operasi dan untuk perawatan intensif dengan pemberian sedasi. d. Gips, Traksi, Alat Ortotik, dan Peralatan Lain Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstremitasnya. Pasien yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan atau jika ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik seperti penyangga leher digunakan pada pengobatan pasien yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus merupakan potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini. Sebuah studi yang dilakukan Plaiser et. al (1994) mengukur jumlah tekanan pada tulang tengkorak dan wajah yang diberikan oleh empat jenis penyangga leher yang beda dengan subjek berada posisi telentang dan upright (bagian atas lebih tinggi). Hasilnya menunjukkan bahwa pada beberapa penyangga leher, terdapat tekanan yang menutup kapiler. Perawat perlu waspada terhadap resiko kerusakan kulit pada klien yang menggunakan penyangga leher ini. Perawat harus mengkaji kulit yang berada di bawah penyangga leher, alat penopang (braces), atau alat ortotik lain untuk mengobservasi tanda-tanda kerusakan kulit. 1.3. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Luka Dekubitus Gangguan intregitas kulit yang terjadi pada dekubitus merupakan akibat tekanan. Tetapi, ada faktor-faktor tambahan yang dapat meningkatkan resiko terjadi luka dekubitus yang lebih lanjut pada pasien. Menurut Potter & Perry (2005) ada 10 faktor yang mempengaruhi pembentukan luka dekubitus di 19 Universitas Sumatera Utara 20 antaranya gaya gesek, friksi, kelembaban, nutrisi buruk, anemia, infeksi, demam, gangguan sirkulasi perifer, obsitas, kekeksia, dan usia. a. Gaya Gesek Gaya gesek merupakan tekanan yang diberikan pada kulit dengan arah pararel terhadap permukaan tubuh (AHCPR, 1994). Gaya ini terjadi saat pasien bergerak atau memperbaiki posisi tubuhnya di atas saat tempat tidur dengan cara didorong atau digeser ke bawah saat berada pada posisi fowler yang tinggi. Jika terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan menempel pada permukaan tempat tidur, dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai dengan arah gerakan tubuh. Tulang pasien bergeser ke arah kulit dan memberi gaya pada kulit (Maklebust & sieggren, 1991). Kapiler jaringan yang berada di bawahnya tertekan dan terbeban oleh tekanan tersebut. Akibatnya, tak lama setelah itu akan terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal kemudian menyebabkan hipoksi, perdarahan dan nekrosis pada lapisan jaringan. Selain itu, terdapat penurunan aliran darah kapiler akibat tekanan eksternal pada kulit. Lemak subkutan lebih rentan terhadap efek gesek dan hasil tekanan dari struktur tulang yang berada di bawahnya. Akhirnya pada kulit akan terbuka sebuah saluran sebagai ruang drainase dari area nekrotik. Perlu diingat bahwa cedera ini melibatkan lapisan jaringan bagian dalam dan paling sering dimulai dari rangka tulang yang berada di bawah jaringan rusak. Dengan mempertahankan tinggi bagian kepala tempat tidur dibawah 30 derajat dapat menghindarkan cedera yang diakibatkan gaya gesek (AHCPR, 1994). Bryant et al (1992) mengatakan juga bahwa gaya gesek tidak mungkin tanpa disertai friksi. 20 Universitas Sumatera Utara 21 b. Friksi Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan saat kulit digeser pada permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHCPR, 1994). Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epidermis atau lapisan kulit bagian atas, yang terkelupas ketika pasien mengubah posisinya. Seringkali terlihat cedera abrasi pada siku atau tumit (Wysocki & Bryant, 1992). Karena cara terjadi luka seperti ini, maka perawat sering menyebut luka bakar seprei “sheet burns” (Bryant et al, 1992). Cedera ini dapat terjadi pada pasien gelisah, pasien yang gerakannya tidak terkontrol, seperti kondis kejang, dan pasien yang kulitnya diseret daripada diangkat dari permukaan tempat tidur selama perubahan posisi (Maklebust & Sieggreen, 1991). Tindakan keperawatan bertujuan mencegah cedera friksi antara lain sebagai berikut: memindahkan klien secara tepat dengan menggunakan teknik mengangkat yang benar, meletakkan benda-benda di bawah siku dan tumit seperti pelindung dari kulit domba, penutup kulit, dan membran transparan atau balutan hidrokoloid untuk melindungi kulit, dan mengunakan pelembab untuk mempertahankan hidrasi epidermis. c. Kelembaban Adanya kelembaban pada kulit dan durasinya meningkatkan terjadinya kerusakan integritas kulit. Akibat kelembaban terjadi peningkatkan resiko pembentukan dekubitus sebanyak lima kali lipat (Reuler & Cooney, 1981). Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap faktor fisik lain seperti tekanan atau gaya gesek. Pasien immobilisasi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan higienisnya sendiri, tergantung perawatan untuk menjaga kulit pasien tetap kering 21 Universitas Sumatera Utara 22 dan utuh. Untuk itu perawat harus memasukkan higienis dalam rencana perawatan. Kelembaban kulit dapat berasal dari drainase luka, keringat, kondensasi dari sistem yang mengalirkan oksigen yang dilembabkan, muntah, dan inkontinensia. Beberapa cairan tubuh seperti urine, feses, dan drainase luka menyebabkan erosi kulit dan meningkatkan resiko terjadi luka akibat tekanan pada pasien. d. Nutrisi Buruk Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan penurunan jaringan subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut. Malnutrisi merupakan penyebab kedua hanya pada tekanan yang berlebihan dalam etiologi, patogenesis, dekubitus yang tidak sembuh (Hanan & Escheele, 1991). Pasien yang mengalami malnutrisi mengalami defisiensi protein dan keseimbangan nitrogen negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C (Shekleton & Litwack, 1991). Status nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat badan sama dengan atau lebih dari berat badan ideal. Pasien dengan status nutrisi buruk biasa mengalami hipoalbuminenia (level albumin serum dibawah 3 g/100 ml) dan anemia (Natlo, 1983; Steinberg 1990). Albumin adalah ukuran variabel yang biasa digunakan untuk mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang level albumin serumnya dibawah 3 g/100 ml lebih berisiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka (Kaminski et al, 1989; Hanan & Scheele, 1991). Walapun kadar albumin serum kurang tepat memperlihatkan perubahan 22 Universitas Sumatera Utara 23 protein visceral, tapi albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik untuk semua kelompok manusia (Hanan & Scheele, 1991). Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka dekubitus. Level total protein dibawah 5,4 g/100 ml menurunkan tekanan osmotik koloid, yang akan menyebabkan edema interstisial dan penurunan oksigen ke jaringan (Hanan & Scheele, 1991). Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang berada dibawahnya terhadap tekanan, friksi dan gaya gesek. Selain itu, penurunan level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera jaringan. Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada pasien yang mengalami kehilangan protein berat, hipoalbuminemia menyebabkan perpindahan volume cairan ekstra sel kedalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan risiko terjadi dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema menurun dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Shkleton & Litwalk,1991). e. Anemia Pasien anemia berisiko terjadi dekubitus. Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia juga mengganggu metabolisme sel dan menggangu penyembuhan luka. f. Kakesia Kakesia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai kelemahan dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan dengan penyakit berat seperti 23 Universitas Sumatera Utara 24 kanker dan penyakit kardiopulmonal tahap akhir. Kondisi ini meningkatkan resiko luka dekubitus pada pasien. Pada dasarnya pasien kakeksia mengalami kehilangan jaringan adipose yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari tekanan. g. Obesitas Obesitas dapat mengurangi dekubitus. Jaringan adipose pada jumlah kecil berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari tekanan. Pada obesitas sedang ke berat, jaringan adipose memperoleh vaskularisasi yang buruk, sehingga jaringan adipose dan jaringan lain yang berada dibawahnya semakin rentan mengalami kerusakan akibat iskemi. h. Demam Infeksi disebabkan adanya patogen didalam tubuh. Pasien infeksi biasa mengalami demam. Infeksi dan demam meningkatkan kebutuhan metabolik tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia (penurunan oksigen) semakin rentan mengalami cedera akibat iskemi (Skheleton & Litwack,1991). Selain itu demam menyebabkan diaporesis (keringatan) dan meningkatkan kelembaban kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit pasien. i. Gangguan Sirkulasi Perifer Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan mengalami kerusakan iskemia. Ganguan sirkulasi pada pasien yang menderita penyakit vaskuler faskuler, pasien syok, atau yang mendapatkan pengobatan sejenis vasopresor. j. Usia Studi yang dilakukan oleh Kane et al (1989) mencatat adanya luka dekubitus yang terbesar pada penduduk berusia lebih dari 75 tahun. Lansia 24 Universitas Sumatera Utara 25 mempunyai potensi besar untuk mengalami dekubitus Karena barkaitan dengan perubahan kulit akibat bertambahnya usia, kecedrungan lansia yang lebih sering berbaring pada satu posisi oleh karena itu immobilisasi akan memperbesar resiko terjadinya luka dekubitus pada lansia. Immobilisasi berlangsung lama hampir pasti dapat menyebabkan dekubitus (Roah, 2000). Menurut Pranaka (1999), ada tiga faktor penyebab dekubitus pada lansia yaitu: 1. Faktor kondisi fisik lansia itu sendiri (perubahan kulit, status gizi, penyakitpenyakit neurologik, pembuluh darah dan keadaan hidrasi atau cairan tubuh). 2. Faktor perawatan yang diberikan oleh petugas kesehatan. 3. Faktor kebersihan tempat tidur, alat tenun yang kusut dan kotor atau peralatan medik yang menyebabkan lansia terfiksasi pada suatu sikap tertentu. ↓ Mobilitas ↓ Aktivitas Tekanan ↓ Persepsi sensori Faktor ekstrinsik: ↑ Kelembapan ↑ Gesekan ↑ Tenaga yang merobek Faktor intrinsik: ↑ Nutrisi ↑ Umur ↑ Tekanan arteriolar Perkembangan luka dekubitus Toleransi jaringan Faktor hipotesis yang lain: Stres emosional Merokok Temperatur kulit Skema 1. Etiologi Luka Dekubitus 25 Universitas Sumatera Utara 26 1.4. Patogenesis Luka Dekubitus Tiga elemen yang menjadi dasar terjadi dekubitus yaitu: 1. Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler (Landis, 1930) 2. Durasi dan besarnya tekanan (Koziak, 1959) 3. Toleransi jaringan (Husain, 1953) Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antara waktu dengan tekanan (Stortts, 1988). Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula insiden terbentuknya luka. Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi, pada tekanan eksternal terbesar daripada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis (maklebust, 1987). Jika tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan tersebut akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus dimulai di tulang dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang akhirnya melebar ke epidermis (maklebust, 1995). Pembentukan luka dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral dan tumit merupakan area yang paling rentan (Maklebust, 1987). Efek tekanan juga dapat ditingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata. Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan tempatnya berada 26 Universitas Sumatera Utara 27 karena adanya gravitasi (Berecek, 1975). Jika tekanan tidak terdistribusi secara merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan. 1.5. Klasifikasi Luka Dekubitus Salah satu cara yang paling dini untuk mengklasifikasikan dekubitus adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan. Sistem ini pertama kali dikemukakan oleh Shea (1975) sebagai suatu cara untuk memperoleh metode jelas dan konsisten untuk menggambarkan dan mengklasifikasikan luka dekubitus. Sistem tahapan luka dekubitus berdasarkan gambaran kedalaman jaringan yang rusak (Maklebust, 1995). Luka yang tertutup dengan jaringan neukrotik seperti eschar tidak dapat dimasukkan dalam tahapan hingga jaringan tersebut dibuang dan kedalaman luka dekubitus dapat di observasi. Peralatan ortopedi dan braces dapat mempersulit pengkajian dilakukan (AHCPR, 1994). Ada beberapa sistem tahapan yang berbeda digunakan klinik (AHCPR, 1992). Penting dicatat bahwa untuk setiap sistem tahapan ini menggunakan defenisi yang berbeda. Oleh karena itu luka dekubitus yang sama dapat mempunyai nomor tahapan yang berbeda, tergantung sistem tahapan yang digunakan. Tahapan dibawah ini berasal dari NPUAP (1992), dan tahapan ini juga digunakan dalam Pedoman Pengobatan AHCPR (1994). Pada konferensi konsesus NPUAP (1995) mengubah defenisi untuk tahap I yang memperlihatkan karasteristik pengkajian pasien berulit gelap. Berbagai indikator selain warna kulit, seperti suhu, adanya pori-pori “kulit jeruk”, kekakuan atau ketegangan, kekerasan, dan data laboratorium, dapat membantu mengkaji pasien berkulit gelap 27 Universitas Sumatera Utara 28 (Maklebust & Seggreen, 1991). Bennett (1995) menyatakan saat mengkaji pasien berkulit gelap, memerlukan pencahayaan yang sesuai untuk mengkaji kulit secara akurat. Dianjurkan berupa cahaya alam atau halogen. Hal ini mencegah muncul warna biru yang dihasilkan dari sumber lampu pijar pada kulit berpigmen gelap, yang dapat mengganggu pengkajian yang akurat. Menurut NPUAP (1995) ada perbandingan luka dekubitus derajat I sampai derajat IV yaitu : I. Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator. II. Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan atau dermis. Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang dangkal. III. Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik yang mungkin akan melebar ke bawah tapi tidak melampaui fascia yang berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. IV. Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif; nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot, tulang dan kapsul sendi. 28 Universitas Sumatera Utara 29 Gambar 1. Derajat Luka Dekubitus menurut NPUAP (1995) Derajat I Derajat II Derajat III Derajat IV Dekubitus tidak berkembang dari derajat I sampai ke derajat IV (NPUAP, 1995). Maklebust (1995) peringatan klinik untuk di ingat walaupun sistem tahapan menggunakan urutan nomor untuk menggambarkan dekubitus, tetapi tidak berarti ada perkembangan tingkat keperahan luka dekubitus. Luka nekrotik diklasifikasikan dengan luka hitam, luka disertai eksudat dan debris berserat kuning diklasifikasikan dengan luka kuning, dan luka pada fase penyembuhan aktif dan bersih disertai dengan granulasi berwarna merah muda hingga merah dan jaringan epitel diklasfikasikan dengan luka merah. Luka dapat memiliki warna yang bercampur contohnya 25% kuning dan 75% merah (Krasner, 1995). 1.6. Komplikasi Luka Dekubitus Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun dapat juga terjadi pada luka yang superfisial. Menurut Sabandar (2008) komplikasi yang dapat terjadi antara lain: 29 Universitas Sumatera Utara 30 a. Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik yang aerobik maupun anaerobik. b. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteitis, osteomielitis dan arthritis septik. c. Septikemia. d. Anemia. e. Hipoalbuminemia. f. Kematian. 1.7. Tempat Terjadinya Luka Dekubitus Beberapa tempat yang paling sering terjadi dekubitus adalah sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trokanter besar, dan tuberostis iskial (Meehan, 1994). Menurut Bouwhuizen (1986) menyebutkan daerah tubuh yang sering terkena luka dekubitus adalah : a. Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang kepala, daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit. b. Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama daun telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki dan bagian atas jari-jari kaki. c. Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga, dan lutut. 1.8. Pengkajian Luka Dekubitus Data dasar pengkajian yang terus-menerus memberi informasi penting integritas kulit pasien dan peningkatan risiko terjadi dekubitus. Pengkajian dekubitus tidak terlepas pada kulit karena dekubitus mempunyai banyak faktor 30 Universitas Sumatera Utara 31 etiologi. Oleh karena itu, pengkajian awal pasien luka dekubitus memiliki beberapa dimensi. a. Ukuran Perkiraan Pada saat seseorang masuk ke rumah sakit perawatan akut dan rehabilitasi, rumah perawatan, program perawatan rumah, fasilitas perawatan lain maka pasien harus dikaji risiko terjadi luka dekubitus (AHCPR, 1992). Pengkajian resiko luka dekubitus harus dilakukan secara sistematis (NPUAP, 1989) seperti Tabel 1. Pengkajian Resiko Luka Dekubitus No 1. Langkah Pengkajian Keterangan Identifikasi risiko terjadi pada pasien: a. Paralisis atau immobilisasi yang disebabkan oleh alat-alat yang membatasi gerakan pasien b. Kehilangan sensorik c. Gangguan sirkulasi d. Penurunan tingkat kesadaran, sedasi, atau anastesi e. Gaya gesek, friksi f. Kelembaban: inkontinensia, keringat, drainase luka dan muntah. g. Malnutrisi h. Anemia i. Infeksi j. Obesitas k. Kakeksia l. Hidrasi: edema atau dehidrasi 31 Universitas Sumatera Utara 32 m. Lanjut usia n. Adanya dekubitus 2. Kaji kondisi kulit di sekitar daerah yang mengalami penekanan pada area sebagai berikut: a. Hiperemia reaktif normal b. Warna pucat c. Indurasi d. Pucat dan belang-belang e. Hilangnya lapisan kulit permukaan f. Borok, lecet, atau bintil-bintik 3. Kaji daerah tubuh pasien yang berpotensi mengalami tekanan: a. Lubang hidung b. Lidah, bibir c. Tempat pemasangan intervena d. Selang drainase e. Kateter foley 4. Observasi posisi yang lebih disukai pasien saat berada di atas tempat tidur atau kursi. 5. Observasi mobilisasi dan kemampuan pasien untuk melakukan dan membantu dalam mengubah posisi. 6. Tentukan nilai resiko: a. Skala Norton b. Skala Gosnell 32 Universitas Sumatera Utara 33 c. Skala Barden 7. Pantau lamanya waktu daerah kemerahan 8. Dapatkan data pengkajian nutrisi yang meliputi jumlah serum albumin, jumlah protein total, jumlah hemoglobin, dan persentasi berat badan ideal. 9. Kaji pemahaman pasien dan keluarga tentang resiko dekubitus. Keuntungan dari instrumen perkiraan adalah meningkatkan deteksi dini perawat pada pasien berisiko maka intervensi yang tepat diberikan untuk mempertahankan intergritas kulit. Pengkajian ulang untuk resiko luka dekubitus harus dilakukan secara teratur (AHCPR, 1992). Sangat dianjurkan menggunakan alat pengkajian yang tervalidasi untuk jenis populasi pasien tertentu. b. Kulit Perawat harus mengkaji kulit terus-menerus dari tanda-tanda munculnya luka pada kulit klien. Klien gangguan neurology, berpenyakit kronik dalam waktu lama, penurunan status mental, dan dirawat di ruang ICU, berpenyakit enkologi, terminal, dan orthopedi berpotensi tinggi terjadi luka dekubitus. Pengkajian untuk indikator tekanan jaringan meliputi inspeksi visual dan taktil pada kulit (Pires & Muller, 1991). Pengkajian dasar dilakukan untuk menentukan karasterstik kulit normal klien dan setiap area yang potensial atau aktual mengalami kerusakan. Perawat memberi perhatian khusus pada daerah dibawah gips, traksi, balutan, tongkat penopang, penyangga leher, atau peralatan 33 Universitas Sumatera Utara 34 orthopedi lain. Jumlah pemerikasaan tekanan tergantung jadwal pemakaian alat respons kulit terhadap tekanan eksternal. Ketika hiperemia ada maka perawat harus mencatat lokasi, ukuran, dan warna lalu mengkaji ulang area tersebut setelah satu jam. Apabila terlihat kelainan hiperemia reaktif maka perawat dapat menandai area tersebut agar pengkajian ulang menjadi lebih mudah. Tanda peringatan dini lain yang menunjukkan kerusakan jaringan akibat tekanan adalah lecet atau bintil-bintil pada area yang menanggung beban berat tubuh dan mungkin disertai hiperemia. Pires & Muller (1991) melaporkan bahwa tanda dini akibat tekanan yang sering diabaikan pada klien yang tidak mengalami trauma adalah borok di area yang menanggung beban berat badan. Semua tanda-tanda ini merupakan indikator dini gangguan integritas kulit, tapi kerusakan kulit yang berada di bawahnya mungkin menjadi lebih progesif. Pengkajian taktil memungkin perawat menggunakan teknik palpasi untuk memperoleh data lebih lanjut mengenai indurasi dan kerusakan kulit maupun jaringan yang di bawahnya. Perawat melakukan palpasi pada jaringan disekitarnya untuk mengobservasi area hiperemi, mengkaji adanya pucat dan kembali ke warna kulit normal pada klien berkulit terang. Selain itu, perawat mempalpasi indurasi, mencatat indurasi di sekitar area yang cedera dalam ukuran millimeter atau sentimeter. Perawat juga mencatat perubahan suhu di sekitar kulit dan jaringan (Pires & Muller, 1991). Perawat sering menginspeksi secara visual dan taktil pada area tubuh yang paling sering berisiko luka dekubitus. Jika pasien berbaring di tempat tidur atau duduk di atas kursi maka berat badan terletak pada tonjolan tulang tertentu. 34 Universitas Sumatera Utara 35 Permukaan tubuh yang paling terbebani berat badan ataupun tekanan merupakan area berisiko tinggi terjadi dekubitus (Helt, 1991). c. Mobilisasi Pengkajian meliputi pendokumentasikan tingkat mobilisasi pada integritas kulit. Pengkajian mobilisasi juga harus memperoleh data tentang kualitas tonus dan kekuatan otot. Klien yang mempunyai rentang gerak yang adekuat untuk bergerak secara mandiri ke bentuk posisi yang lebih terlindungi. Mobilisasi harus dikaji sebagai bagian dari data dasar. Jika pasien memiliki tingkat kemandirian mobilisasi maka perawat harus mendorong pasien agar sering mengubah posisinya dan melakukan tindakan untuk menghilangkan tekanan yang dialaminya. Frekuensi perubahan posisi berdasarkan pengkajian kulit yang terus menerus dan dianggap sebagai perubahan data. d. Status Nutrisi Pengkajian nutrisi klien harus menjadi bagian intregral dalam pengkajian data awal pada pasien berisiko gangguan integritas kulit (Breslow & Bergstrom, 1994; Water et al, 1994; Finucance, 1995;). Pasien malnutrisi atau kakeksia dan berat badan kurang dari 90% berat badan ideal atau pasien yang berat badan lebih dari 110% berat badan ideal lebih berisiko terjadi luka dekubitus (Hanan & Scheele, 1991). Walapun persentase berat badan bukan indikator yang baik, tapi jika ukuran ini digunakan bersama-sama dengan jumlah serum albumin atau protein total yang rendah, maka persentase berat badan ideal pasien dapat mempengaruhi timbulnya luka dekubitus. 35 Universitas Sumatera Utara 36 e. Nyeri Sampai saat ini, hanya sedikit tulisan atau penelitian yang dilakukan tentang nyeri dan luka dekubitus. AHCPR (1994) telah merekomendasi pengkajian dan manajemen nyeri termasuk dalam perawatan pasien luka dekubitus. Selain itu AHCPR (1994) menegaskan perlunya penelitian tentang nyeri pada pasien luka dekubitus. Salah satu studi yang pertama kali menghitung pengalaman nyeri pasien yang dirawat di rumah sakit karena luka dekubitus telah dilakukan oleh Dallam et al (1995). Pada studi ini 59,1% pasien melaporkan adanya nyeri dengan menggunakan skala analog visual, 68,2% melaporkan adanya nyeri akibat luka dekubitus dengan menggunakan skala urutan nyeri faces. Berlawanan dengan banyaknya nyeri yang dilaporkan, obat-obatan nyeri yang telah digunakan klien sebesar 2,3%. Beberapa implikasi praktik yang disarankan para peneneliti (Dallam et al, 1995) adalah menambah evaluasi tingkat nyeri pasien ke dalam pengkajian dekubitus, yaitu pengontrolan nyeri memerlukan pengkajian ulang yang teratur untuk mengevaluasi efektifitas, dan bahwa program pendidikan diperlukan untuk meningkatkan sensitifitas pemberi pelayanan kesehatan terhadap nyeri akibat luka dekubitus. 2. Immobilisasi 2.1. Pengertian Immobilisasi Konsep immobilisasi merupakan hal relatif dalam arti tidak saja kehilangan pergerakan total tetapi juga terjadi penurunan aktivitas dari normalnya. Pada keadaan immobilisasi, pasien tidak dapat menghindari pembatasan gerakan pada setiap aspek kehidupan. Jadi, immobilisasi adalah ketidakmampuan untuk 36 Universitas Sumatera Utara 37 bergerak bebas yang disebabkan oleh kondisi dimana gerakan terganggu atau dibatasi secara terapeutik (Potter & Perry, 2006). Menurut Garrison (2004) keadaan immobilisasi adalah suatu pembatasan gerak atau keterbatasan fisik dari anggota badan dan tubuh itu sendiri dalam berputar, duduk dan berjalan, hal ini salah satunya disebabkan oleh berada pada posisi tetap dengan gravitasi berkurang seperti saat duduk atau berbaring. Dalam hubunganya dengan perawatan pasien, maka immobilisasi adalah keadaan dimana pasien berbaring lama di tempat tidur, tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktifitas). Immobilisasi pada pasien tersebut dapat disebabkan oleh penyakit yang dideritanya misalnya terjadi trauma fraktur pada ekstermitas atau menderita kecacatan (Asmadi, 2008). Immobilisasi merupakan salah satu faktor dalam perkembangan luka dekubitus, yang diakibatkan oleh paralisis, anestesia, nyeri, maupun melalui sedasi (Morison, 2003). Faktor eksaserbasi lainnya termasuk inkontinensia, malnutrisi, dan hilangnya fungsi sensoris akibat paraplegia atau hemiparesis. Terdapat hubungan yang kuat anatara inkontinesia dan luka dekubitus (Exton & Smith, 1987). Urine dapat menyebabkan maserasi dan ekskoriasi kulit, serta abrasi superfisial akibat gesekan menjadi jauh lebih mudah terjadi. Malnutrisi tidak secara langsung menyebabkan luka dekubitus, tetapi malnutrisi merupakan faktor eksaserbasi yang sangat penting di dalam perkembangan dekubitus (Agarwal et al, 1985). Menurut Aziz (2006), secara umum kondisi yang di hadapi pasien, ada beberapa macam keadaan immobilitas, antara lain : 37 Universitas Sumatera Utara 38 1. Immobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di daerah paralysis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan. 2. Immobilisasi intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit. 3. Immobilisasi emosional, keadan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadan stress berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami sebagian anggota tubuhnya, atau kehilangan sesuatu yang paling dicintai. 4. Immobilisasi sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga dapat mempengaruhi perannya dalam kehidupan sosial. 2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Immobilisasi Menurut Tarwoto & Wartonah (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi kurangnya pergerakan atau immobilisasi adalah sebagai berikut : a. Gangguan Muskuloskletal Gangguan pada muskuloskletal biasanya dipengaruhi oleh beberapa keadaan tentu yang mengganggu pergerakan tubuh seseorang, misalnya osteoporosis, atropi, kontraktur, kekakuan sendi dan sakit sendi. 38 Universitas Sumatera Utara 39 b. Gangguan Kardiovaskuler Beberapa kasus kardiovaskuler yang dapat berpengaruh terhadap mobilitas fisik seseorang antara lain: postural hipotensi, vasodilatasi, dan peningkatan valsalva maneuver. c. Gangguan Sistem Pernafasan Beberapa keadaan gangguan respirasi yang dapat berpengaruh terhadap mobilitas seseorang antara lain penurunan gerak pernafasan, bertambahnya sekresi paru, atelektasis, dan hipostatis pneumonia. Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi menurut Kozier (1995), antara lain: a. Gaya Hidup Gaya hidup seseorang sangat tergantung dari tingkat pendidikannya. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan diikuti oleh perilaku yang dapat meningkatkan kesehatannya. Demikian halnya dengan pengetahuan kesehatan tentang mobilitas seseorang akan senantiasa melakukan mobilisasi dengan cara yang sehat. b. Proses Penyakit dan Injury Adanya penyakit tertentu yang diderita seseorang akan mempengaruhi mobilitasnya, misalnya seorang yang patah tulang akan kesulitan untuk mobilisasi secara bebas. Demikian pula orang yang baru menjalani operasi, karena adanya rasa sakit yang menjadi alasan mereka cenderung untuk bergerak lebih lambat. Ada kalanya pasien harus istirahat di tempat tidur karena menderita penyakit tertentu. 39 Universitas Sumatera Utara 40 c. Kebudayaan Kebudayaan dapat mempengaruhi pola dan sikap dalam melakukan aktifitas, misalnya pasien setelah operasi dilarang bergerak karena kepercayaan kalau banyak bergerak nanti luka atau jahitan tidak jadi. d. Tingkat Energi Seseorang melakukan mobilisasi jelas membutuhkan energi atau tenaga. Orang yang sedang sakit akan berbeda mobilitasnya dibandingkan dengan orang dalam keadaan sehat. e. Usia dan Status Perkembangan Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasnya dibandingkan dengan seorang remaja dan juga pada lansia. 2.3. Tingkat Immobilisasi Menurut Braden & Bergstrom (1989), dalam skala Braden tingkat mobilisasi terbagi atas empat tingkatan yaitu: 1. Tidak terbatas: Melakukan perubahan posisi yang bermakna dan sering tanpa bantuan. 2. Agak terbatas: Sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas secara mandiri tetapi memiliki derajat keterbatasan. 3. Sangat terbatas: kadang-kadang melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas tapi tidak mampu melakukan perubahan yang sering. 4. Immobilisasi total: Tidak dapat melakukan perubahan posisi tubuh atau ekstremitas tanpa bantuan. 40 Universitas Sumatera Utara 41 2.4. Efek Samping Immobilisasi Potter & Perry (2005), menyatakan ada pengaruh fisiologis yang ditimbulkan oleh keadaan immobilisasi yaitu apabila ada perubahan immobilisasi maka setiap sistem tubuh akan beresiko terjadi gangguan. Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung pada umur pasien, dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat immobilisasi yang dialami. Ada tujuh perubahan yang terjadi yaitu: perubahan metabolik, perubahan sistem respiratori, perubahan sistem kardiovaskuler, perubahan sistem muskuloskletal, perubahan sistem integumen, perubahan eliminasi urine, dan perubahan psikososial. Menurut Asmadi (2008), ada beberapa masalah yang dapat ditimbulkan akibat immobiliosasi fisik ini antara lain: a. Sistem Integumen Immobilisasi yang lama dapat menyebabkan kerusakan integritas kulit, seperti abrasi dan luka dekubitus. Hal tersebut disebabkan oleh karena pada immobilisasi terjadi gesekan, tekanan, jaringan bergeser satu dengan yang lain, dan penurunan sirkulasi darah pada area yang tertekan, sehingga terjadi iskemia pada jaringan yang tertekan. Kondisi yang ada dapat diperburuk lagi dengan adanya infeksi, trauma, kegemukan, berkeringat, dan nutrisi yang buruk. b. Sistem Kardivaskuler Sistem kardiovaskuler juga dipengaruhi oleh immobilisasi. Ada tiga perubahan utama yaitu hipotensi, ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan pembentukan thrombus. 41 Universitas Sumatera Utara 42 c. Sistem Respirasi Immobilisasi menyebabkan terjadinya perubahan sistem pernafasan. Akibat immmobilitas, kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan terjadinya lemah otot yang dapat menyebabkan proses metabolisme terganggu. Terjadinya penurunan kadar hemoglobin dapat menyebabkan penurunan aliran oksigen dari alveoli ke jaringan, sehingga mengakibatkan anemia. Penurunan ekspansi paru dapat terjadi karena tekanan yang meningkat oleh permukaan paru. Pasien immobilisasi beresiko tinggi mengalami kompikasi paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum adalah etelektasis dan pneumonia hipostatik. d. Sistem Perkemihan Immobilisasi menyebabkan perubahan pada eliminasi urine. Dalam kondisi normal urine mengalir dari pelvis renal masuk ke ureter lalu ke bladder yang disebabkan adanya gaya gravitasi. Namun pada posisi terlentang, ginjal dan ureter berada pada posisi yang sama sehingga urine tidak dapat melewati ureter dengan baik (urine menjadi statis). Akibatnya urine banyak tersimpan dalam pelvis renal. Kondisi ini resiko tinggi terjadinya infeksi saluran kemih dan batu ginjal. e. Sistem Muskuloskletal Immobilisasi menyebabkan penurunan massa otot (atropi otot) sebagai akibat dari kecepatan metabolisme yang turun dan kurangnya aktifitas sehingga mengakibatkan berkurangnya kekuatan otot sampai akhirnya memburuknya koordinasi pergerakan. Immobilisasi juga dapat menyebabkan perubahan jaringan pada sistem muskuloskletal sehingga terjadi hiperkalsemia dan hiperkalsiuria 42 Universitas Sumatera Utara 43 yang kemudian menyebabkan osteoporosis. Selain terjadi atropi otot, immobilisasi juga dapat menyebabkan pemendekan serat otot dan gangguan mobilisasi sendi. f. Sistem Neurosensoris Dampak terhadap sistem neurosensoris tampak nyata pada pasien immobilisasi yang dipasang gips akibat fraktur. Pemasangan gips pada ekstremitas dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan menimbulkan gangguan saraf pada bagian distal dari gips. Hal tersebut dapat menyebabkan pasien tidak dapat menggerakkan bagian anggota tubuh yang distal dari gips, mengeluh terjadi sensasi yang berlebihan atau berkurang dan timbul rasa nyeri yang hebat. g. Perubahan Perilaku Perubahan perilaku akibat immobilitas, antara lain timbulnya rasa bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan siklus tidur, menurunnya koping mekanisme dan menurunya perhatian serta kemampuan terhadap pemeliharaan kebersihan diri serta perubahan status emosional biasa terjadi bertahap. 3. Lama Hari Rawat 3.1. Pengertian Lama Hari Rawat Lama hari rawat merupakan salah satu unsur atau aspek asuhan dan pelayanan di rumah sakit yang dapat dinilai atau diukur. Bila seseorang dirawat di rumah sakit, maka yang diharapkan tentunya ada perubahan akan derajat kesehatannya. Bila yang diharapkan baik oleh tenaga medis maupun oleh penderita itu sudah tercapai maka tentunya tidak ada seorang pun yang ingin berlama-lama di rumah sakit (Heryati, 1993) . 43 Universitas Sumatera Utara 44 Lama hari rawat secara signifikan berkurang sejak adanya pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan diagnosa yang tepat (Edward, 1992). Untuk menentukan apakah penurunan lama hari rawat itu meningkatkan efisiensi atau perawatan yang tidak tepat, dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut berhubungan dengan keparahan atas penyakit dan hasil dari perawatan. Menurut Edward (1992), Peratuaran untuk menghitung hari pasien, kontrak pulang dan (normal) hari keluar dan menentukan lama rawat. Ada dua metode logis untuk menghitung lama hari rawat : 1. Retrospektif : Tanggal keluaran dikurang tanggal masuk dikurang total (normal) hari keluar. 2. Progessif : Jumlah hari pasien (termasuk kontrak hari keluar) dijumlahkan ke tanggal. Dalam penghitungan statistik pelayanan rawat inap di rumah sakit dikenal istilah yang lama dirawat (LD) yang memiliki karakteristik cara pencatatan, penghitungan, dan penggunaan yang berbeda (Indradi, 2007). LD menunjukkan berapa hari lamanya seorang pasien dirawat inap pada satu episode perawatan. Satuan untuk LD adalah hari. Cara menghitung LD yaitu dengan menghitung selisih antara tanggal pulang (keluar dari rumah sakit, hidup maupun mati) dengan tanggal masuk rumah sakit. Dalam hal ini, untuk pasien yang masuk dan keluar pada hari yang sama – lama dirawatnya dihitung sebagai 1 hari dan Pasien yang belum pulang atau keluar belum bisa dihitung lama dirawatnya (Indradi, 2007). 44 Universitas Sumatera Utara 45 3.2. Waktu Terjadinya Luka Dekubitus Menurut suatu penelitian di Amerika ada sekitar 70% pasien yang mengalami luka dekubitus di rumah sakit terjadi pada minggu pertama sampai minggu ke dua salama di rawat (Cooney & Reuler, 1991). Menurut Kadir (2007) luka dekubitus terjadi dalam dua minggu pertama dalam perawatan. Sabandar (2008) mengatakan tanda-tanda luka dekubitus terjadi akibat posisi pasien yang tidak berubah (immobilisasi) dalam jangka waktu lebih dari 6 jam. Menurut Yuniarti (2007), jika aliran darah, nutrisi dan oksigenasi terhambat lebih dari 2 – 3 jam, maka kulit akan mati yang dimulai pada lapisan kulit paling atas (epidermis). Daniel et al (1981) menyatakan bahwa iskmia primer terjadi pada otot dan kerusakan jaringan kulit terjadi sesuai dengan kenaikan besar dan lamanya tekanan. Menurut Kadir (2007), tekanan daerah pada kapiler berkisar antara 16 mmHg – 33 mmHg. Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga, bila tekanan padanya masih berkisar pada batas-batas tersebut. Tetapi sebagai contoh bila pasien immobilisasi pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring diatas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan mencapai 60–70 mmHg dan di daerah tumit mencapai 30–45 mmHg. Keadaan ini dapat menimbulkan perubahan degeneratif secara mikroskopik pada semua lapisan jaringan mulai dari kulit sampai tulang. Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nokrosis jaringan kulit. Menurut Wim de Jong (2004), mula-mula kulit tampak kemerahan yang tidak hilang setelah tekanan dihilangkan. Pada tahap dini ini, tidak terlihat nekrosis karena permukaan kulit masih utuh. Iskemia dan nekrosis sudah terjadi 45 Universitas Sumatera Utara 46 pada lapisan subkutis, tetapi baru terlihat setelah beberapa hari berupa kulit yang kemerahan dan mengelupas sedikit, kemudian terlihat suatu defek kulit. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia. Setelah satu minggu atau 10 hari, luas nekrosisi ini mencapai tulang atau fasia di dasarnya. Nekrosis sudah terjadi pada hari pertama, hanya batas kulit pada waktu itu belum jelas, umumnya luas nekrosis di lapisan subkutis lebih luas daripada permukaan kulit. 46 Universitas Sumatera Utara