ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA Oleh : Yulia Emri Tambusai 110120110002 TESIS Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Magister Hukum Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2013 ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA Oleh : Yulia Emri Tambusai 110120110002 TESIS Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Magister Hukum Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Hukum ini Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal Seperti tertera di bawah ini Bandung, Mei 2013 Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, S,H., M.S Rohaenah Padmadinata, S.H. M.H Ketua Tim Pembimbing Anggota Tim Pembimbing ii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Karya tulis saya, tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana dan magister, baik di Universitas Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain. 2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukkan Tim Peguji. 3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karna karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku diperguruan tinggi ini. Bandung, Mei 2013 Yulia Emri Tambusai 110120110002 iii ABSTRACT Act No. 30 of 2002 concerning the criminal offence of corruption eradication Commission, the KPK is given the authority to do in the process of blocking the investigation. On one side of the KPK investigation stages of blocking is done in the interest of the process of law enforcement corruption a criminal offence which is an extra ordinary crime that requires law enforcement in extraordinary through the establishment of specialized agencies that have broad authority, but a debate when the other hand, it is considered contrary to the principle of the law of criminal procedure that applies the principle of presumption of innocence. In addition, there is a concern when there are no limits, rules and or benchmarks that can be made into a reference on overseas prevention reasons that surely will open the opportunity of discrimination that ultimately broke the basic equality before the law and the legal certainty of a fair which is set in the Constitution, Act No. 8 of 1981 on the KUHAP and Act No. 39 of 2009 on human rights. The aspects influenced the problems in research of this thesis by raising some of the problems which are blocking against the KPK authority conduct a witness in the inquiry process is contrary to HUMAN RIGHTS and how can benchmarks KPK to conduct blocking against a witness in the inquiry process. To address all the problems that exist, research is done by using the juridical normative approach which is a method of research conducted with drip at a series of data libraries called secondary data through legal principles and legal norms contained in the legislation. Departing from the results of research of these problems then you can take the conclusion that the authorities of the KPK to conduct blocking against a witness in the proceedings is not incompatible with HUMAN RIGHTS as freedom of movement is not a HAM that can not be reduced under any circumstances. There is no legislation governing the benchmark subject anyone who should not have been prevented in this stage. That is, all a person's status of witnesses then people can be prevented from exiting the country. In connection with the above, the expected use of authorities blocking KPK has to do with reason and rasionil based on the law for reasons of national security, public order, health and morals of society and the interests of the community. In addition, the required presence of the setting of benchmarks or criteria of the KPK to conduct blocking against someone in the status as a witness in the investigation so as not to conflict with the principle of presumption of innocence or the presumption of innocence, the principle of equality before the law and guarantee a fair legal certainty for citizens and the public at its Indonesia for a person who is a witness to the crime of corruption in particular. iv ABSTRAK Berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberikan kewenangan untuk melakukan pencekalan dalam proses penyelidikan. Disatu sisi pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan ini dilakukan demi kepentingan proses penegakan hukum tindak pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime yang membutuhkan penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, namun menjadi perdebatan ketika disisi yang lain hal ini dinilai bertentangan dengan asas hukum acara pidana yang berlaku yakni asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence. Selain itu, adanya kekhawatiran apabila tidak ada batasan, aturan dan atau tolok ukur yang dapat dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri hal tersebut tentunya akan membuka peluang terjadinya diskriminasi yang pada akhirnya melanggar asas equality before the law dan kepastian hukum yang adil yang diatur dalam Konstitusi, UndangUndang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 Tentang Hak Asasi Manusia. Hal yang melatarbelakangi permasalahan dalam penelitian tesis ini dengan mengangkat beberapa masalah yaitu apakah kewenangan KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan bertentangan dengan HAM dan bagaimanakah tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan. Untuk menjawab semua permasalahan yang ada, maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan menitik beratkan pada data kepustakaan atau disebut dengan data sekunder melalui asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan. Berangkat dari hasil penelitian terhadap permasalahan ini kemudian dapat di ambil kesimpulan bahwa kewenangan KPK dalam melakukan pencekalan terhadap saksi pada proses penyelidikan tidak bertentangan dengan HAM sebab kebebasan bergerak bukanlah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tolok ukur perihal siapa saja yang tidak boleh dicegah dalam tahap ini. Artinya, sepanjang seseorang berstatus saksi maka orang tersebut dapat dicegah keluar negeri. Sehubungan dengan hal diatas, diharapkan penggunaan kewenangan pencekalan KPK ini harus dilakukan dengan alasan yang kuat dan rasionil yang berlandaskan hukum untuk alasan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat. Selain itu, diperlukan adanya pengaturan yang lebih jelas mengenai tolok ukur atau kriteria KPK untuk melakukan pencekalan terhadap seseorang dalam status sebagai saksi dalam tahap penyelidikan agar tidak bertentangan dengan yakni asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, asas equality before the law dan menjamin adanya kepastian hukum yang adil bagi masyarakat Indonesia pada umum nya dan bagi seseorang yang berstatus saksi tindak pidana korupsi pada khususnya. v KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan anugrah_Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dalam rangka untuk melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar Magister Hukum (MH), Strata 2 (S2) pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Adapun judul dari tesis ini adalah : ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari bahwa banyak kesulitan dan hambatan karena kurangnya pengetahuan penulisan mengenai masalah yang hendak diungkapkan, Selain itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, petunjuk, pengarahan, dan ilmu pengetahuan serta motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Pada kesempatan ini dengan tulus penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Rektor Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Ganjar Kurnia, Ir DEA., yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Pascasarjana Universitas Padjajaran. 2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Dr. Ida Nurlinda,S.H.,M.H, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesai tesis ini. 3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Dr. Ali Abdurahman, S.H,.M.H. 4. Ibu Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, S,H., M.H selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran serta dengan sabar memberikan pengarahan dan bimbingan vi dalam penyusunan tesis ini. 5. Ibu Rohaenah Padmadinata, S.H. M.H selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran serta dengan sabar memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini. 6. Bapak Dr. Sigid Suseno, S.H,.M.H., Bapak Aman sembiring Meliala,S.H,.M.H., Ibu Widati Wulandari, S.H., M.Crim. yang telah memberikan petunjuk-petunjuk dan saran berkenaan dengan materi tesis ini pada saat Seminal Usulan Penelitian. 7. Seluruh Guru Besar, Dosen dan staf sekretaris Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, pada Program Pendidikan Magister Studi Ilmu Hukum Bidang Kajian Utama Hukum Pidana, yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan dan menumbuhkan semangat keilmuan bagi penulis, sehingga mempertajam analisa penulis terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan keilmuan yang dipelajari. 8. Bapak Rooseno selaku Biro Hukum KPK yang telah memberikan arahan dan atau pengetahuan terkait kewenangan institusi KPK pada saat wawancara penulis berkaitan dengan pengembangan materi dalam penelitian tesis ini. Selanjutnya, selain kepada Civitas Akademika tersebut diatas, ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis haturkan kepada : 1. Kedua orangtua penulis yakni Drs. Emrizal Mahidin Tamboesai, MSc,. M.H. dan Elvita Indra yang selalu memberikan doa dan restu nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 2. Kedua adik-adik penulis yakni Awang Tambusai dan Nina Emri Tambusai yang telah memberikan dorongan semangat dan telah menjadi motivasi terbesar bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 3. Rekan-rekan mahasiswa Program Pendidikan Magister Studi Ilmu Hukum Bidang Kajian Utama Hukum Pidana Universitas Padjadjaran vii Bandung angkatan tahun 2011 yang telah memberikan dorongan moril selama menjalani perkuliahan hingga terselesainya tesis ini. 4. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan tesis ini. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan penulisan tesis ini dan dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Bandung, Mei 2013 Yulia Emri Tambusai 110120110002 viii DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL..................................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN........................................................................................ ii PERNYATAAN............................................................................................................ iii ABSTRACT................................................................................................................. iv ABSTRAK.................................................................................................................... v KATA PENGANTAR.................................................................................................. vi DAFTAR ISI................................................................................................................. ix DAFTAR SINGKATAN.............................................................................................. xi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .................................................................................................. 1 1.2. Identifikansi Masalah........................................................................................ 17 1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 17 1.4. Kegunaan Penelitian ......................................................................................... 17 1.5. Kerangka Pemikiran ......................................................................................... 18 1.6. Metode Penelitian. ............................................................................................ 34 1.7. Sistematika Penulisan ....................................................................................... 38 BAB II TINJAUAN UMUM PENCEKALAN SAKSI KPK DALAM TAHAP PENYELIDIKAN 2.1. Korupsi Sebagai Extra ordinary crime ............................................................. 41 2.2. Teori Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi ............................................ 50 2.3. Asas Legalitas. .................................................................................................. 55 ix 2.4. KPK Dalam Sistem Peradilan Pidana ............................................................... 61 2.5. Pencekalan Dalam Hukum Acara Pidana ......................................................... 70 2.6. Teori Penyelidikan ............................................................................................ 77 2.7. Teori HAM ....................................................................................................... 83 BAB III KASUS PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KPK DALAM TAHAP PENYELIDIKAN 3.1. Pencekalan Gubernur Riau terkait PON XVIII di Provinsi Riau .................... 97 3.2. Pencekalan Mahfud Suroso Terkait Kasus Hambalang................................... 106 3.3. Pencekalan Ridwan Hakim terkait kasus Pengurusan Kuota Impor Daging Sapi ................................................................................................................. 118 BAB IV ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA 4.1. Kewenangan KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan dikaitkan dengan HAM ............................................................ 129 4.2. Tolok ukur KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan ................................................................................................... 151 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ..................................................................................................... 169 5.2. Saran ............................................................................................................... 171 DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP x DAFTAR SINGKATAN APBN : Anggaran Pembelanjaan Negara Aspidi : Asosiasi pengusaha importir daging Indonesia Baleg : Badan Legislatif BNN : Badan Narkotika Nasional BPN : Badan Pertanahan Nasional BUMD : Badan Usaha Milik Daerah BUMN : Badan Usaha Milik Negara CICP : Centre for International Crime Prevention CAC : Commission of Anty Corruption CV : Comanditaire Venootschap Depdikbud : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dispora : DPP : Dinas Pemuda dan Olahraga Dewan Pimpinan Pusat DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Ditjen : Direktorat Jendral Golkar : Golongan Karya HAM : Hak Asasi Manusia ICCPR : ICW : Indonesia Corruption Watch IMB : Izin Mendirikan Bangunan International Covenant on Civil and Political Rights xi JICT : Jakarta International Container Terminal KASI Kemendag : Kepala Seksi : Kementerian Perdagangan Kemendikbud : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kemenkeu : Kementerian Keuangan KemenkumHAM : Kementerian Hukum dan HAM Kemenpora : Kementerian Pemuda dan Olahraga Kementan : Kementerian Pertanian Kepres : Keputusan Presiden KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi KKN : Korupsi Kolusi Nepotisme KSO : Kerjasama Operasi KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHAP : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana PAN : Partai Amanat Nasional Pansus : PBB Panitia Khusus : Perserikatan Bangsa-Bangsa PDIP : PEPERPU : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Perda : PKS : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Peraturan Daerah Partai Keadilan Sejahtera xii PON PP : Pekan Olahraga Nasional : Peraturan Pemerintah PPP : Partai Persatuan Pembangunan PT : Perseroan Terbatas Ranperda : Rancangan Peraturan Daerah RI : Republik Indonesia SOP : Standard Operational Prosedure SPN : Sekolah Polisi Negara Sprindik : Surat perintah penyidikan TPI : Tempat Pemeriksaan Imigrasi UU : Undang-Undang UUD : Undang-Undang Dasar UDHR : Universal Declaration of Human Right WamenkumHam : Wakil Mentri Hukum dan HAM WIKA : Wijaya Karya xiii ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata secara materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera diperlukan peningkatkan secara terus menerus dalam berbagai bidang salah satunya adalah dalam hal pemberantasan dan penanganan tindak pidana korupsi. Korupsi merupakan tindak pidana yang unik, multi dimensi, dan sangat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.1 Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Korupsi merupakan sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)2, untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanakannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serta berkesinambungan. 1 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm.98. 2 Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance & Komisi anti Korupsi di Indonesia. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002, hlm.9. 1 2 Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum khususnya mengenai tindak pidana korupsi, pemerintah Indonesia telah melakukan langkah-langkah yang dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa perubahan peraturan perundang-undangan. Istilah korupsi pertama sekali hadir dalam khasanah hukum di Indonesia yakni dalam Peraturan Penguasa Perang No. Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian, dimasukkan juga dalam Undang-Undang No. 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindang Pidana Korupsi, yang kemudian tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif paling lambat 2 (dua) tahun kemudian (16 Agustus 2001) dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001.3 Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama yaitu sejak berlakunya KUHP pada tanggal 1 januari 1918. KUHP sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi.4 Ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan guna memberantas masalah korupsi dengan harapan dapat menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP. 3 Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.1. 4 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, 2002, hlm.29. 3 Salah satu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah guna memberantas tindak pidana korupsi yang diharapkan mampu menyempurnakan kekurangan dari peraturan yang bersifat konvensional tersebut adalah dengan dibentuknya Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan UndangUndang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, dibentuk badan khusus yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mana dalam Pasal 43 Undang-undang ini berbunyi sebagai berikut : “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” “Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” “Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat” “Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-undang” Badan khusus yang selanjutnya disebut KPK memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Dalam hal tugas dan wewenang dari instansi KPK ini juga diatur dalam Pasal 6 Huruf c Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi (KPK) yang berbunyi : 4 “Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi” Melakukan penyelidikan merupakan salah satu kewenangan dari KPK dalam rangka untuk mengetahui suatu perbuatan merupakan tindak pidana atau bukan. Kewenangan penyelidikan dilakukan oleh aparat penegak hukum yang disebut penyelidik. Berkenaan dengan hal diatas dapat kita ketahui bahwa pengertian penyelidikan yang termaktub dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 5 butir (1) yang berbunyi sebagai berikut : “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” Guna memberantas tindak pidana korupsi yang semakin merajalela ini KPK diberikan kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK diberikan kewenangan untuk dapat melakukan tindakan pencekalan, baik pencekalan yang dilakukan dalam tahap penyelidikan maupun dalam tahap penyidikan guna membantu proses penegakan hukum. Berkenaan dengan hal diatas, penulis akan membatasi penelitian ini pada tahap penyelidikan. Adapun yang menjadi alasan pembatasan penelitian hanya pada tahap penyelidikan dikarenakan tindakan penyelidikan merupakan pintu gerbang mengenai dapat atau tidaknya suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana atau bukan. Pencekalan KPK dalam tahap penyidikan dirasa wajar karena sudah ada bukti awal yang cukup dan ketika penegak hukum telah menetapkan tersangka, pencekalan 5 boleh dilakukan karena kekhawatiran ada upaya menghilangkan barang bukti atau melarikan diri ke luar negeri. Namun menjadi hal yang menarik adalah ketika dilakukannya pencekalan dalam tahap penyelidikan yang mana indikasi keterlibatan seseorang terhadap suatu tindak pidana masih sangat prematur dan dengan tidak adanya tolok ukur atau kriteria yang jelas mengenai pencekalan seseorang dalam tahap penyelidikan tentunya akan dapat menimbulkan gesekan antara kepentingan proses penegakan hukum dengan masalah HAM seorang individu yang dilindungi oleh konstitusi negara kita. Tindakan pencekalan merupakan serangkaian tindakan dalam rangka mencegah pihak yang diduga terlibat kasus pidana korupsi untuk pergi ke luar negeri. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk keluar negeri dari wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu, sedangkan penangkalan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orangorang tertentu untuk masuk kewilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu.5 Berdasarkan putusan No. 40/PUU-IX/2011, majelis MK menyatakan pencekalan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum saat mereka sedang melakukan penyelidikan atas sebuah perkara pidana sebagai inkonstitusional. Dalam sidang putusan uji materi terhadap Pasal 16 ayat 1 huruf (b) Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, MK menyatakan pencegahan yang dilakukan oleh penegak hukum bagi seseorang untuk berpergian ke luar negeri sementara kasusnya masih dalam tahap penyelidikan bisa disalahgunakan untuk kepentingan di luar penegakan hukum. Menurut MK, hal itu berpotensi melanggar hak konstitusi 5 Koerniatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indoneisa, PT. Gramedia Pusaka Utama, Jakarta, 1996, hlm.80. 6 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28E UUD 1945.6 Namun KPK masih diperbolehkan mengajukan pencekalan dalam proses penyelidikan karena UndangUndang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK memang mengatur secara khusus soal itu. KPK boleh mencekal karena UU KPK bersifat khusus atau disebut lex spesialis. Putusan MK yang membatalkan kata “penyelidikan” dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyangkut tindak pidana umum, sehingga putusan MK itu bukan untuk kasus korupsi yang ditangani KPK. UU KPK bersifat khusus yang berarti memiliki kewenangan khusus pula, sama halnya seperti KPK tak berwenang mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) dan diperbolehkan menyadap. UU yang dilakukan yudicial review adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian bukan UndangUndang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga secara otomatis KPK masih tetap berwenang melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan. Di dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ini khususnya dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pencekalan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c” : “Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri” 6 WebsiteGOOGLE,http//www.beritasatu.com/.../30595-mk-nyatakan-pencekalan-saat penyelidikan(terakhir kali dikunjungi tanggal 26 September 2012 Pukul 16.00). 7 Pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh instansi KPK dianggap sah dan dapat dilakukan oleh KPK berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun pengaturan mengenai pencekalan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam proses penyelidikan yang diatur dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dinilai bertentangan dengan asas hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia yakni asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau Equality before the law, dan bertentangan pula dengan kepastian hukum yang adil. Asas-asas hukum pidana tersebut yakni Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau Equality before the law, dan asas kepastian hukum yang adil diatur dalam UUD tahun 1945, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain diatur dalam peraturan perundang-undangan diatas, asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence dan asas persamaan didepan hukum atau Equality before the law juga dimuat dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga pada Pasal 10 Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. HAM diartikan sebagai hak yang melekat pada sifat manusia yang tanpa hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.7 Mencegah seseorang pergi ke luar negeri dalam tahap penyelidikan dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar penegakan hukum. Hal ini dinilai melanggar hak seseorang yang dijamin 7 Yesmil Anwar, Pembaharuan Hukum Pidana, PT Gramedia widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008, hlm.283. 8 konstitusi yaitu hak yang ditentukan dalam UUD 1945 yang terdapat pada Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D, Pasal 28 E ayat (1), Pasal 28I ayat (4) yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah negara hukum” “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memili pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali” “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah” Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau equality before the law dan kepastian hukum yang adil tidak secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, namun asas-asas tersebut tersirat baik dalam bagian Menimbang huruf a, kemudian juga pada bagian Penjelasan Umum angka 2 dan angka 3 KUHAP. Pada bagian Menimbang huruf a dari KUHAP berbunyi sebagai berikut: “Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum...” Pada bagian Penjelasan Umum KUHAP dikemukaan adanya sepuluh asas yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia. Dari kesepuluh asas tersebut, asas yang berkaitan dengan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan adalah Asas praduga tak bersalah atau Presumption of innocent dan mengenai perlakuan sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun. 9 Sehubungan dengan hal diatas, pengaturan yang juga mencantumkan ketentuan mengenai perlindungan HAM dihubungkan dengan pencekalan dalam tahap penyelidikan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM ialah pada Pasal 3 ayat (2) dan (3), kemudian Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum” “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi” “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. Bila kita melihat dari logika hukum, pencekalan seseorang sebelum ditetapkan sebagai tersangka atau dalam proses penyelidikan dirasa tidak tepat, hal ini bertentangan dengan asas hukum pidana yang berlaku yakni asas praduga tak bersalah. Seseorang yang masih dalam tahap penyelidikan, indikasi keterlibatannya dalam suatu kasus tindak pidana korupsi masih sangat mentah. Hal ini berarti belum ada bukti yang cukup untuk diajukan ke pengadilan apabila cekal dilakukan pada saat proses penyelidikan. Tindakan pencekalan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi sebaiknya hanya dapat dilakukan bila kasusnya sudah masuk dalam tahap penyidikan, hal ini dikarenakan jika orang yang diduga melakukan tindak pidana sudah disidik itu berarti bukti awal sudah cukup. 10 Apabila seseorang dicekal dalam tahap penyelidikan, maka aturan itu akan merugikan banyak orang. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan, "Kalau seseorang baru diselidiki sudah dicekal, akan ada ribuan orang yang dirugikan aturan itu. Oleh sebab itu, kalau memang sudah cukup bukti segera saja dijadikan tersangka, sehingga disidik, agar bisa langsung dicekal. Kalau masih kirakira, diduga-duga, belum tersangka, tidak boleh dicekal, karena tindakan itu melanggar HAM”.8 Penegak hukum yang dalam hal ini adalah KPK dapat melakukan tindakan pencegahan ketika proses penyelidikan telah dimulai. Tidak ada batasan siapa saja yang tidak perbolehkan untuk dicegah pada tahap ini. Artinya, sepanjang seseorang berstatus sebagai saksi maka orang tersebut dapat dicegah keluar negeri. Berkenaan dengan hal ini sudah banyak tindakan pencekalan yang dilakukan oleh KPK pada tahap penyelidikan. Pada penelitian ini penulis akan memaparkan 3 (tiga) kasus pencekalan KPK pada tahap penyelidikan yakni Pencekalan Gubernur Provinsi Riau M. Rusli Zainal, pencekalan terhadap Direktur Dutasari Citralaras yakni Mahfud Suroso dan pencekalan yang dilakukan institusi KPK pada kasus pengurusan kuora impor daging sapi Berkenaan dengan pencekalan KPK pada tahap penyelidikan dapat dilihat pada kasus Pencekalan Gubernur Provinsi Riau M. Rusli Zainal yang menjadi saksi dalam perkara dugaan suap pembangunan venue PON 2012 yang terjadi di daerahnya. Tanpa penjelasan yang dapat dipahami oleh publik, Gubernur Provinsi Riau M. Rusli Zainal telah dicegah ke luar negeri oleh KPK. Penjelasan itu penting agar kemudian publik dapat mengetahui dan memahami tolok ukur yang dijadikan pegangan oleh 8 WebsiteGOOGLE,http//berita.liputan6.com/read/.../mahfud-md-kecam-masalah pencekalan.../(terakhir kali dikunjungi tanggal 7 Mei 2012 Pukul 17.00). 11 KPK dalam mencegah seseorang keluar negeri. Tanpa tolok ukur atau kriteria dan juga aturan yang dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara dugaan suap pembangunan venue PON 2012 itu tidak dicegah ke luar negeri? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama terhadap para saksi seperti Ketua DPRD Johar Firdaus dari Fraksi Golkar beserta anggotanya, yakni Iwa dari Fraksi Golkar,Amri Ali dari Fraksi Gabungan, Adrian Ali dari Fraksi PAN, Zulfan Her dari Fraksi Golkar, serta Ketua Bapedda Ramli Walid. Pada kasus berbeda KPK pun juga melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan terkait kasus hambalang, KPK menyelidiki proyek Hambalang sejak Agustus tahun 2011. Dalam kasus ini, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) telah melakukan cekal terhadap Direktur Dutasari Citralaras yakni Mahfud Suroso agar yang bersangkutan tidak bepergian ke luar negeri. Pencekalan Mahfud ini dilakukan atas permintaan KPK untuk kepentingan penyelidikan kasus Hambalang. Juru Bicara KPK, Johan Budi SP pada Selasa (22/05/2012) lalu mengatakan permintaan cekal tersebut diajukan KPK sejak tanggal 27 April. Pihak Imigrasi sendiri, lanjut Johan mencekal Mahfud selama enam bulan ke depan.9 Tanpa tolok ukur atau aturan yang dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara Hambalang itu tidak dicegah keluar negeri ? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama 9 Website GOOGLE, http//www.beritabogor.com/2012/06/kronologis kasushambalang.html) terakhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 15.00). 12 terhadap pihak-pihak yang juga diperiksa dalam tahap penyelidikan seperti Menteri Pemuda dan Olahraga yakni Andi Mallarangeng, pengurus PT Dutasari Citralaras yakni istri Anas Urbaningrum bernama Athiyyah Laila, pejabat Partai Demokrat bernama Munadi Herlambang, mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional bernama Joyo Winoto, anggota Komisi II DPR yakni Ignatius Mulyono dan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.10 Selain dua kasus diatas kemudian KPK juga melakukan pencekalan terhadap beberapa saksi terkait kasus pengurusan kuota impor daging sapi. Adapun nama saksi-saksi yang dikenai pencekalan pada tahap ini yakni Ridwan Hakim (putra Ketua Majelis Syuro PKS bernama Hilmi Aminuddin), Ahmad Zaky (Swasta), Rudy Susanto (Swasta), Jerry Roger (Swasta), Soraya Kusuma Effendy (Komisaris PT. Indoguna Utama), Maria Elizabeth Liman (Dirut PT. Indoguna Utama). Sedangkan nama saksi yang tidak dikenai pencekalan pada kasus ini seperti Agus Suganda (Pegawai Negeri Sipil), Ahmad Junaedi (Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca panen Kementerian Pertanian), Syahrudin (swasta), Elda Deviane Adiningrat (swasta), Soewarso (swasta), Melani (karyawan PT. Indoguna Utama), Dina zelvia (swasta), Eka Pratiwi (swasta), Anna Retnowati (swasta), Mimin Juni Atin (swasta). 10 Website GOOGLE,http//www.beritawmc.com/2012/06/.../soal-hambalang-kpk-dinilaitidak-jelas)terakhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 14.00). 13 Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa KPK dapat melakukan pencekalan baik pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Dengan dipaparkannya nama saksi-saksi yang dikenai pencekalan dan nama-nama saksi yang tidak dikenai pencekalan pada kasus pengurusan kuota impor daging sapi ini, maka dapat kita simpulkan bahwa tidak semua saksi dalam kasus tindak pidana korupsi ini dapat dikenai pencekalan. Dengan tidak adanya tolok ukur atau kriteria yang diatur secara jelas dan transparan dalan peraturan perundang-undangan yang tentunya dapat dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara pengurusan kuota impor daging sapi itu tidak dicegah keluar negeri ? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama terhadap pihakpihak yang juga diperiksa dalam tahap penyelidikan seperti Agus Suganda (Pegawai Negeri Sipil), Ahmad Junaedi (Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca panen Kementerian Pertanian), Syahrudin (swasta), Elda Deviane Adiningrat (swasta), Soewarso (swasta), Melani (karyawan PT. Indoguna Utama), Dina zelvia (swasta), Eka Pratiwi (swasta), Anna Retnowati (swasta), Mimin Juni Atin (swasta). Berkenaan dengan penjelasan diatas, hal tersebut yang dimaksud dengan peluang untuk berbuat diskriminasi. Hal ini tentunya bertentangan dengan asas persamaan di depan hukum atau equality before the law. Apalagi jika dipahami bahwa tidak setiap pemeriksaan pada tahap penyidikan memiliki relevansi untuk kemudian dimasukkan keterangannya dalam berkas perkara. Terlebih lagi bila dengan niat tertentu, penyidik memanggil seseorang untuk kemudian diperiksa lalu dikenakan tindakan pencegahan padahal orang yang sama tidak ada kaitannya 14 dengan penyidikan. Konsep persamaan kedudukan dalam hukum menurut UUD 1945 adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukannya masing-masing dan kesamaan dihadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh pemerintah.11 Masalah HAM merupakan masalah yang akan tetap berkembang selama manusia masih hidup didunia ini karena adanya rangkaian yang tidak terlepaskan antara yang memerintah dan yang diperintah, antara negara dan warga negaranya. Sementara pihak yang memerintah terkadang bahkan sering bertindak melampaui batas kewenangannya. Di pihak lain, pihak yang diperintah selalu menginginkan keadilan dan kemakmuran dirasakan oleh mereka.12 Pengenaan tindakan pencegahan dan penangkalan pada seorang saksi adalah tindakan yang sangat melanggar HAM dan bertentangan dengan konstitusi pada Bab khusus tentang HAM, KUHAP dan juga Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Seseorang yang hanya karena terkait (belum tentu pula jadi tersangka) dengan sesuatu masalah kemudian kehilangan hak untuk bepergian ke luar negeri. Mengingat hampir tidak ada upaya paksa dalam sistem hukum negara ini yang dapat dipaksakan pada seorang saksi selain keharusan untuk hadir apabila dipanggil bahkan harus melalui tahapan-tahapan yang manusiawi dan proses secara patut. Namun yang menjadi perdebatan adalah ketika pencekalan dalam proses penyelidikan ini dilakukan oleh KPK dalam rangka penegakan hukum tindak pidana korupsi. Pada dasarnya pencegahan dan penangkalan seseorang untuk melakukan 11 Mien Rukmini, Perlindungan Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2007, hlm.24. 12 Bambang Poernomo dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan HAM, Mandar Maju, Jakarta, 2001, hlm.72. 15 perjalanan dari dan ke wilayah Republik Indonesia merupakan pembatasan terhadap hak dan kebebasan seseorang yang dilindungi undang-undang. Namun dengan tujuan untuk melindungi kepentingan negara dan negara masyarakat, perlu dilakukan pencegahan dan penangkalan terhadap orang-orang yang mengganggu dan mengancam stabilitas nasional.13 Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan undang-undang, walaupun di dalam kenyataannya di Indonesia kecenderungannya adalah demikian sehingga pengertian law enforcement begitu popular, selain itu ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusankeputusan hakim.14 Korupsi dapat dikatakan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), karena korupsi berakibat secara signifikan terhadap segala aspek kehidupan khususnya aspek sosial dan ekonomi. Dengan demikian Masalah ini juga harus jadi prioritas negara untuk mengatasinya. Berdasarkan penjabaran diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan atau analisa mengenai tolok ukur atau kriteria pencekalan yang dilakukan KPK dalam tahap penyelidikan dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia karena seperti yang penulis uraikan di atas KPK untuk melakukan pencekalan dalam proses penyelidikan menggunakan dasar hukum yakni Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun hal ini dinilai bertentangan dengan asas hukum acara pidana yakni asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence. Selain itu, adanya kekhawatiran apabila tidak ada batasan, aturan dan atau tolok ukur yang dapat 13 Ajat Sudrajat Havid, Formalitas Keimigrasian Dalam Perspektif Sejarah, Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2008, hlm.105. 14 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.7-8. 16 dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, hal tersebut tentunya akan membuka peluang terjadinya diskriminasi yang pada akhirnya melanggar asas equality before the law dan kepastian hukum yang adil dan juga berujung pada pelanggaran HAM yang diatur dalam Konstitusi dan Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 Tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut dalam bentuk tesis dengan judul : ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. 17 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan Pembahasan yang telah diuraikan diatas, identifikasi masalah yang penulis dapat kemukakan antara lain sebagai berikut : 1) Apakah kewenangan KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan bertentangan dengan HAM ? 2) Bagaimanakah tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan ? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah: 1) Untuk mengkaji dan memahami kewenangan KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan dikaitkan dengan HAM. 2) Untuk mengkaji dan memahami tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan. 1.4. Kegunaan Penelitian Kegunaan yang diharapkan penulis dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.4.1. Kegunaan Teoritis Sebagai sumbangan pemikiran yang dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya mengenai tolok ukur pencekalan terhadap saksi yang dilakukan KPK dalam tahap penyelidikan dihubungkan dengan HAM dalam sistem peradilan pidana Indonesia. 18 1.4.2. Kegunaan praktis Diharapkan penulisan tesis ini juga dapat memperluas dan meningkatkan pengetahuan penulis dalam hal yang berkaitan dengan karya ilmiah, serta mempunyai nilai kemanfaatan untuk kepentingan penegakan hukum sehingga dapat dijadikan masukan dalam cara berfikir dan bertindak dalam melakukan pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh KPK. 1.5. Kerangka Pemikiran Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Dengan kata lain, Para penyusun UUD 1945 secara tegas mengatakan bahwa Negara Republik Indonesia tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka atau machtsstaat yang dalam bahasa Jerman mengandung arti bahwa negara itu dijalankan semata-mata berdasarkan kekuasaan bukan berdasarkan atas hukum. Dalam machtsstaat penyelenggara negara dapat bertindak sewenang-wenang sesuai seleranya sendiri, Indonesia tentu bukan negara seperti itu. Digunakannya istilah rechtsstaat ini menunjukkan bahwa para penyusun UUD 1945 menggunakan konsep negara hukum. Untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum tentunya negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin perlindungan terhadap hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh 19 cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat pada semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Penyebutan Indonesia sebagai sebuah negara hukum atau rechtsstaat ini mengandung implikasi bahwa di negara ini penyelenggara negara harus dilandaskan atas UUD 1945 dan penyelenggara negara juga tentunya berkewajiban melindungi HAM. Indonesia sebagai negara hukum tentunya wajib menjamin hak asasi warga negaranya secara konstitusional.15 Pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap HAM tentunya akan selalu menjadi bagian terpenting dalam sebuah negara hukum dan juga dalam rangka pelaksanaan pembangunan hukum karena masyarakat akan menilai keberhasilan pembangunan hukum dengan melihat pada implementasinya berupa pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan penalaran yang logis dan pernyataan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara hukum juga membawa implikasi berkenaan dengan aparatur penyelenggara negara tidak diperbolehkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganegaranya. Pada saat yang sama, pernyataan sebagai negara hukum juga membawa implikasi bahwa di negara ini tidak boleh ada peraturan perundangundangan yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat membuka peluang bagi penyelenggara negara untuk dapat bertindak sewenang-wenang dan diberi landasan hukum oleh norma undang-undang tersebut untuk melakukannya. 15 Bagir Manan, Negara Hukum Yang Berkeadilan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung, 2011, hlm.355. 20 Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat dua belas prinsip pokok negara hukum. Kedua belas prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara modern sehingga dapat disebut negara hukum dalam arti yang sebenarnya. Adapun dua belas prinsip tersebut adalah sebagai berikut : Supermasi hukum (supermacy of law), persamaan dalam hukum (equality before the law), asas legalitas (due process of law), pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara (constitusional court), peradilan hak asasi manusia, bersifat demokratis (democratische rechtsstaat), berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara (welfare rechtsstaat), dan transparansi dan kontrol sosial.16 Berkenaan dengan dua belas prinsip pokok negara hukum yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie diatas dan dikaitkan dengan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan, maka terdapat beberapa prinsip pokok yang berhubungan dengan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan yakni berkenaan dengan supermasi hukum (supermacy of law), persamaan dalam hukum (equality before the law), asas legalitas (due process of law), berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara (welfare rechtsstaat), transparansi dan kontrol sosial. Aris toteles mengemukakan adanya perbedaan keadilan abstrak dan kepatutan yang mana menyatakan bahwa hukum terpaksa melakukan atau membuat aturanaturan yang berlaku umum dan sering kali bertindak kejam terhadap soal-soal 16 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariatan Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 154-161. 21 perseorangan.17 Sehingga yang dapat kita dipahami disini adalah hukum merupakan suatu kaidah tertulis yang berwujud perundang-undangan ataupun peraturan yang mengatur dan berlaku demi untuk kepentingan umum yang mana selanjutnya hukum tersebut memiliki sanksi, paksaan ataupun upaya paksa yang dapat memaksa seseorang atau perorangan untuk taat terhadap aturan yang ada pada hukum tersebut atau bahkan dapat menghapuskan hak-hak seseorang (kepentingan individu) demi tercapainya penegakan hukum guna melindungi kepentingan umum. Dari pemikiran Aristoteles diatas, dapat kita perluas pengertiannya yaitu bahwa hukum ataupun peraturan perundang-undangan adalah norma-norma yang berlaku untuk umum (masyarakat luas) dan mampu mengenyampingkan kepentingan individu sehingga disini posisi hukum tingkatannya lebih tinggi dari kepentingan individu. Hukum bertujuan guna menjamin kepentingan umum, maka hal tersebut sejalan dengan konsep hukum yaitu lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan perorangan atau individu. Untuk mewujudkan suatu kepastian dan keadilan hukum tentunya harus menyelaraskan antara substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum dengan hukum yang dibutuhkan masyarakat. Realitas objektif didalam kehidupan sehari-hari sering kali terjadi benturan antara materi hukum (substansi) dengan kebutuhan hukum masyarakat yang terkadang belum terakomodir dalam hukum positif Indonesia. Asas legalitas yang menjadi salah satu ciri negara hukum dimana suatu perbuatan dapat dikenakan sanksi apabila telah ada pengaturannya. 17 Catatan perkuliahan pada mata kuliah Hukum Pidana, dengan dosen pengajar David Ramadhan, di Ruang E Fakultas Hukum UR, Pada hari Jumat pukul 14.00 WIB. 22 Asas legalitas merupakan asas yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang merupakan terjemahan dari principle of legality. Asas legalitas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dengan perundang-undangan, Biasanya ini dikenal dalam bahasan Latin sebagai “Nullum delictum nulla poena sina praevia lege” yang artinya “Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu”.18Asas legalitas ini merupakan perlindungan kepada perorangan terhadap kesewenang-wenangan yang mungkin dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, asas legalitas merupakan asas yang esensiel di dalam penerapan hukum pidana. Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHP mencantumkan asas legalitas ini sebagai berikut : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuanketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Asas legalitas tersebut tercermin dari adanya pengaturan mengenai kewenangan KPK dalam melakukan pencekalan pada proses penyelidikan, hal ini di atur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ini khususnya dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, Komisi pemberantasan Korupsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pencekalan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang berbunyi sebagai berikut: 18 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. 23 “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c” : “Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri” Selain substransi hukum, struktur atau aparat hukum juga merupakan suatu komponen yang penting dalam pembangunan hukum yang mana diciptakannya lembaga-lembaga hukum dengan personil-personil yang berkwalitas. Dalam artian bahwa bukan hanya memahami hukum namun diperlukan pula integritas moral yang tinggi, dapat dicari pada proses rekrutmen, dan kemudian dibentuk lebih lanjut dalam proses pendidikan, khusus dirancang untuk penugasan tersebut.19 Dengan banyaknya kasus korupsi saat ini, mengisyaratkan bahwa masih adanya perbuatan anggota masyarakat yang tidak sejalan dengan peraturanperaturan. Hukum berfungsi sebagai social control yang bersifat memaksa agar masyarakat mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku untuk mengatur mengenai korupsi sebagai suatu pengaturan yang wajib ditaati. Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan undang-undang walaupun di dalam kenyataannya di Indonesia kecenderungannya adalah demikian sehingga pengertian law enforcement begitu popular. Selain itu ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.20 Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan dengan penilaian yang mantap, mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir 19 Moh Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, hlm.160. 20 Soerjono Soekanto, Op.cit. hlm.7. 24 untuk menciptakan (sebagai “social engineering”, memelihara dan mempertahankan (sebagai “social control”) kedamaian pergaulan hidup.21 Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang disebabkan karena : 1) Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, 2) Belum ada peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang, dan 3) Ketidakjelasan arti kata-kata didalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penafsiran serta penerapannya. Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau keadilan. Hukum diadakan dengan tujuan agar menimbulkan tata atau damai dan yang lebih dalam lagi yaitu keadilan didalam masyarakat mendapatkan bagian yang sama.22 Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia agar kepentingan manusia terlindungi dan hukum harus dilaksanakan. Sejalan dengan perkembangan masyarakat bertambah banyak pula peraturan-peraturan yang disusun untuk menata kehidupan yang modern sehingga persoalan penegakan hukum atau masalah Law Enforcement dan Rule of Law menjadi sangat krusial.23 21 Soenarto, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977, hlm.80. 22 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm.27. Asri Muhammad Saleh, Menegakkan Hukum atau Mendirikan Hukum, Bina Mandiri Press, Pekanbaru, 2003, hlm.29-30. 23 25 Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia tampak tersendat dan bahkan sering terjadi stagnasi sehingga telah menimbulkan citra yang negatif terhadap aparatur penegak hukum pada khususnya dan pemerintah pada umumnya yang merupakan salah satu faktor yang melatar belakangi di bentuknya komisi-komisi untuk masing-masing instrumen atau sub sistem dalam sistem peradilan pidana.24 Upaya penegakan hukum dalam hukum pidana tidak dapat dipandang sebagai tanggung jawab secara parsial dari pihak tertentu, hal tersebut dikarenakan adanya keterkaitan berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu sistem. Oleh karenanya, sebagai suatu sistem perlu dipahami mengenai sistem peradilan pidana itu sendiri. Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkatan tertentu, di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan. Efektivitas sistem peradilan pidana tergantung sepenuhnya pada kemampuan infrastruktur pendukung sarana dan prasarananya, kemampuan profesional aparat penegak hukumnya serta budaya hukum masyarakatnya25. Pembentukan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dimaksudkan untuk memerangi korupsi sekaligus untuk menjawab tantangan ketidak berdayaan sistem peradilan pidana di Indonesia. Di Indonesia Sistem peradilan Pidana setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mempunyai 4 (empat) subsistem, yaitu : subsistem Kepolisian yang secara administratif di bawah Presiden, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan 24 25 Romli Atmasasmita, Op.cit. Muladi, Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995, hlm.25. 26 di bawah Mahkamah agung dan Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen Kehakiman. Dengan dibentuknya KPK berdasarkan Undang Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai komisi yang dibentuk guna memberantas korupsi secara otomatis KPK yang juga berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tentunya dapat dinyatakan sebagai salah satu lembaga penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Sistem peradilan pidana di Indonesia yang berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1981, memiliki sepuluh asas sebagai berikut26 : 1) Perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun. 2) Asas praduga tak bersalah. 3) Hak untuk memperoleh kompensasi(ganti rugi)dan rehabilitasi. 4) Hak untuk memperoleh bantuan hukum. 5) Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan. 6) Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana. 7) Peradilan yang terbuka untuk umum. 8) Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis). 9) Hak seorang tersangka untuk diberikan bantuan tentang prasangkaan dan pendakwaan terhadapnya. 26 Yesmil Anwar & Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen & Peaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Widya Padjadjaran, 2009, hlm.67. 27 10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan putusannya. Berkenaan dengan tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan dihubungkan dengan asas-asas dalam sistem peradilan pidana, KPK dalam melakukan pencekalan pada tahap penyelidikan dapat dikatakan bertentangan dengan asas perlakuan yang sama dimuka hukum (equality before the law) dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Sebagaimana yang telah penulis bahas diatas, KPK sebagai sebuah lembaga penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana Indonesia merupakan suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UndangUndang No. 20 Tahun 2001 dan secara lebih dalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Secara tegas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tunduk kepada hukum acara yang berlaku. Pada penelitian ini, penulis akan mengerucutkan pembahasan dari seluruh kewenangan yang dmiliki KPK dan terfokus pada tolak ukur KPK untuk melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan. Pasal 1 butir 5 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP mencantumkan bahwa : “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan/ penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” 28 Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan dimulai. Kemudian hal yang perlu digaris bawahi kalimat “mencari dan menemukan” tersebut adalah “suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana”. Dengan kata lain, “mencari dan menemukan” berarti penyelidik berupaya atas inisiatif sendiri untuk menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.27 Pembatasan penelitian ini hanya pada tahap penyelidikan dikarenakan tindakan penyelidikan merupakan pintu gerbang mengenai dapat atau tidaknya suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana atau bukan. Pencekalan KPK dalam tahap penyidikan dirasa wajar karena sudah ada bukti awal yang cukup dan ketika penegak hukum telah menetapkan tersangka, pencekalan boleh dilakukan karena kekhawatiran ada upaya menghilangkan barang bukti atau melarikan diri ke luar negeri. Namun yang menarik ketika dilakukannya pencekalan dalam tahap penyelidikan yang mana indikasi keterlibatan seseorang terhadap suatu tindak pidana masih sangat mentah dan dengan tidak adanya tolak ukur yang jelas mengenai pencekalan seseorang dalam tahap penyelidikan tentunya akan dapat menimbulkan gesekan antara kepentingan proses penegakan hukum dengan masalah HAM seorang individu yang dilindungi oleh UUD 1945. Berdasarkan pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dikatakan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan 27 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan), Sinar Grafika, 2008, hlm.6. 29 setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM). Dimana ada manusia disitu ada HAM yang harus dihargai dan dijunjung tinggi.28 Ketika kita berbicara mengenai HAM tentunya akan menjadi pembahasan yang sangat luas, namun dalam penelitian ini penulis akan berfokus kajian pelanggaran HAM yang diakibatkan pada pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dalam sistem peradilan pidana. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan, "Kalau seseorang baru diselidiki sudah dicekal, akan ada ribuan orang yang dirugikan aturan itu. Oleh sebab itu, kalau memang sudah cukup bukti segera saja dijadikan tersangka, sehingga disidik, agar bisa langsung dicekal. Kalau masih kira-kira, diduga-duga, belum tersangka, tidak boleh dicekal, karena tindakan itu melanggar HAM”.29 28 Gunawan Setiadirdja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm.75. 29 WebsiteGOOGLE,http//berita.liputan6.com/read/.../mahfud-md-kecam-masalah pencekalan.../(terakhir kali dikunjungi tanggal 7 Mei 2012 Pukul 17.00). 30 APTB atau Presumption of innocent dan APKDH atau equality before the law bersumber dan berakar dari sumber atau akar yang sama yaitu HAM yang bersifat universal serta mendapat pengaturan baik di dalam peraturan perundang-undangan nasional maupun di dalam dokumen internasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaturan suatu asas dalam hal ini APTB atau Presumption of innocent dan APKDH atau equality before the law sebagai HAM untuk menegakkan dan melindunginya sesuai dengan negara hukum yang demokratis adalah diperlukan.30 Pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh instansi KPK dianggap sah dan dapat dilakukan oleh KPK berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun pengaturan mengenai pencekalan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam proses penyelidikan yang diatur dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dinilai bertentangan dengan asas hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia yakni asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau Equality before the law, dan bertentangan pula dengan kepastian hukum yang adil. Pencekalan yang dilakukan KPK dalam tahap penyelidikan yang mana keterlibatan seseorang atas suatu kasus masih mentah namun sudah dilakukan pembatasan hak nya untuk bepergian keluar negri dapat dinilai bertentangan dengan asas praduga tak bersalah atau Presumption of innocent. Selain itu, Pencekalan yang dilakukan KPK tanpa adanya batasan atau tolak ukur yang jelas mengenai siapa saja 30 Mien Rukmini, Op.cit. 31 yang diperbolehkan untuk dicekal menurut analisis penulis akan bertentangan dengan APKDH atau equality before the law dan juga kepastian hukum yang adil. Asas-asas hukum pidana tersebut yakni Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau Equality before the law, dan asas kepastian hukum yang adil diatur dalam UUD tahun 1945, UndangUndang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain diatur dalam peraturan perundang-undangan diatas, asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence dan asas persamaan didepan hukum atau Equality before the law juga dimuat dalam Pasal 8 ayat 1 UndangUndang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga pada Pasal 10 Undang-Undang No. 26 Tahun 200 tentang Pengadilan HAM. HAM diartikan sebagai hak yang melekat pada sifat manusia yang tanpa hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.31 Mencegah seseorang pergi ke luar negeri dalam tahap penyelidikan dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar penegakan hukum. Hal ini dinilai melanggar hak seseorang yang dijamin konstitusi, yaitu hak yang ditentukan dalam UUD 1945 yang terdapat pada Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D, Pasal 28 E ayat (1), Pasal 28I ayat (4) yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah negara hukum” “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” 31 Yesmil Anwar, Op.cit.. 32 “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memili pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali” “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah” Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau equality before the law dan kepastian hukum yang adil tidak secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, namun asas-asas tersebut tersirat baik dalam bagian Menimbang huruf a, kemudian juga pada bagian Penjelasan Umum angka 2 dan angka 3 KUHAP. Pada bagian Menimbang huruf a dari KUHAP berbunyi sebagai berikut: “Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum...” Pada bagian Penjelasan Umum KUHAP dikemukaan adanya sepuluh asas yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia. Dari kesepuluh asas tersebut, asas yang berkaitan dengan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan adalah Asas praduga tak bersalah (Presumption of innocent) dan mengenai perlakuan sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun. Sehubungan dengan hal diatas, pengaturan yang juga mencantumkan ketentuan mengenai perlindungan HAM dihubungkan dengan pencekalan dalam tahap penyelidikan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM ialah pada Pasal 3 ayat (2) dan (3), kemudian Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut : 33 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum” “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi” “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. Tindakan pencegahan dan penangkalan terhadap seseorang sebelum ditetapkan sebagai tersangka atau dalam proses penyelidikan merupakan tindakan yang melanggar HAM. Selain melanggar asas hukum pidana yakni asas Presumption of innocent dan asas equality before the law yang tersirat dalam pasal 3 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Hal ini juga tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang berbunyi : “Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia” “Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Selain melihat peraturan perundang-undangan diatas, terdapat pengaturan lain mengenai hal ini yang tercantum dalam Pasal 13 dari Universal Declaration Of Humas Rights yang mana Republik Indonesia sendiri sebagai anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sangat menjunjung tinggi United Declaration of Human Rights. Pasal 13 dari Universal Declaration Of Humas Rights yang berbunyi sebagai berikut : 34 “1) Everyone has the right to freedom of movement and residence. Within the borders of each state. 2) Everyone has the right to leave any country, including his own, and to return to his country.” Terjemahan pasal di atas adalah sebagai berikut : 1) Setiap orang memiliki hak untuk bergerak dan memilih tempat tinggal sepanjang berada dalam batas-batas wilayah negara, negara masingmasing. 2) Setiap orang memiliki hak untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk negaranya sendiri, serta untuk kembali kenegaranya sendiri. Di Indonesia, dalam praktik belum terdapat kesepakatan mengenai makna yang terkandung didalamnya dan sering terjadi penyimpangan atau pelanggaran ditambah lagi dengan pengaturan yang tidak jelas dan sering terjadi kerancuan bahkan perbenturan dengan adanya tindakan upaya paksa yang tidak sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan.32 1.6. Metode Penelitian Metode adalah tata cara atau prosedur yang harus ditempuh dalam melakukan suatu kegiatan, dalam hal ini kegiatan tersebut adalah kegiatan penelitian hukum.33 Berkenaan dengan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian bersifat yuridis normatif yaitu penelitian yang digunakan dengan cara meneliti bahan hukum sekunder atau penelitian berdasarkan aturan-aturan baku yang telah dibukukan disebut juga dengan penelitian kepustakaan34. Dengan demikian, dalam penulisan tesis ini digunakan metode penelitian antara lain sebagai berikut : 32 33 Ibid, hlm.69. Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, Universitas Atma Jaya, Jakarta, hlm.9. 34 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.13-14. 35 1.6.1 Metode Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research) atau penelitian hukum dogmatik (dogmatic law research) atau biasa disebut penelitian doktrinal. Dikatakan sebagai suatu kegiatan penelitian hukum maka metode pendekatan yang diterapkan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini adalah menggunakan penelitian yuridis normatif yakni dengan melalui suatu pendekatan konseptual (analytical and conceptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan menggunakan pola penalaran deduktif guna menemukan kebenaran yang obyektif. 1.6.2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yang berupa penggambaran, penelaahan dan penganalisaan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Metode ini memiliki tujuan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh tentang tolok ukur pencekalan terhadap saksi yang dilakukan KPK dalam tahap penyelidikan dihubungkan dengan HAM dalam sistem peradilan pidana Indonesia. 1.6.3. Tahap Penelitian Penelitian ini dilakukan oleh penulis dalam proses tahapan sebagai berikut: 1) Studi kepustakaan, dalam hal ini penelitian dilakukan dengan mempelajari dan menelaah data sekunder yang berkaitan dengan objek penelitian. 2) Studi lapangan, dalam hal ini penelitian dilakukan dengan mempelajari dan menelaah data primer yaitu melalui wawancara (interview) untuk 36 mendengar pendapat dan pemikiran dari pihak KPK yang menjadi narasumber dalam penelitian ini. Instrumen yang digunakan dalam wawancara ini adalah pedoman wawancara (inverview guidelines), dimana instrumen tersebut disusun dengan mengacu pada masalah hukum yang akan di teliti. 1.6.4. Teknik Pengumpulan Data Data-data penelitian yang telah diperoleh kemudian dikelompokkan dengan menggunakan pola atau teknik sebagai berikut : 1) Studi Dokumen Studi ini dilakukan menggunakan teknik penelusuran secara sistematis terhadap data-data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat atau data pokok dari permasalahan yang akan diteliti antara lain sebagai berikut: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang keimigrasian, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan wewenang KPK untuk melakukan pencekalan dalam proses penyelidikan. b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti : buku, catatan kuliah, artikel, internet dan lain 37 sebagainya yang tentunya berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. c. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti : kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia. 2) Wawancara Dimaksudkan untuk melengkapi data yang bersumber dari data sekunder yakni : bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Teknik yang digunakan melalui wawancara terbuka (open interview) yang kemudian dipandu dengan serangkaian konsep dan subjeknya adalah para pakar hukum pidana dan aparat penegak hukum yang terkait dalam kewenangan KPK untuk melakukan pencekalan terhadap saksi dalam tahap penyelidikan. 1.6.5. Analisis Data Berdasarkan rumusan permasalahan dan pembahasan atas permasalahan yang dipergunakan maka analisis data dilakukan secara kualitatif dalam artian suatu metode analisis data yang tidak menampilkan angka-angka sebagai hasil penelitiannya melainkan disajikan dalam bentuk pembahasan dengan uraian kalimatkalimat dan dipaparkan dalam bentuk tulisan.35 Hasil penelitian akan dianalisis secara yuridis kualitatif dengan cara melakukan penggabungan data hasil studi literatur atau kepustakaan dan studi lapangan. Data tersebut kemudian diolah dan 35 Bambang waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm.62. 38 dicari keterkaitan serta hubungannya antara satu dengan yang lainnya sehingga diperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian.36 1.6.6. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Riau, Jakarta dan Bandung dengan mengumpulkan data dan bahan hukum sekunder dari beberapa perpustakaan, diantaranya ialah perpustakaan pada Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, dan beberapa perpustakaan hukum yang tersebar diberbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta di Riau. Selain itu, pengumpulan bahan-bahan dalam penelitian ini juga diperoleh dari KPK yang berkantor di Jakarta. 1.7. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini, maka sistematika penulisan akan diuraikan dalam beberapa bab yang terdiri dari : BAB I PENDAHULUAN Bab satu berisikan pendahuluan yang membahas secara umum dan singkat mengenai latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan. 36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Cetakan Keenam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.19-20. 39 BAB II TINJAUAN UMUM PENCEKALAN SAKSI KPK DALAM TAHAP PENYELIDIKAN Bab dua berisikan uraian mengenai teori yang berkenaan dengan pencekalan terhadap saksi yang dilakukan KPK dalam tahap penyelidikan dikaitkan dengan HAM dalam sistem peradilan pidana. Bab ini berisikan 7 sub-bab. Sub-bab pertama mengenai korupsi sebagai extra ordinary crime. Sub-bab kedua mengenai teori penegakan hukum tindak pidana korupsi. Sub-bab ketiga mengenai asas legalitas. Sub-bab keempat mengenai KPK dalam sistem peradilan pidana. Subbab kelima mengenai teori pencekalan dalam hukum acara pidana, Subbab keenam mengenai penyelidikan, Sub-bab ketujuh mengenai teori HAM. BAB III KASUS PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KPK DALAM TAHAP PENYELIDIKAN BAB tiga berisikan 3 sub-bab. Sub-bab pertama adalah pencekalan yang dilakukan KPK terhadap Gubernur Riau H.M. Rusli zainal terkait dengan kasus PON yang diselenggarakan di Provinsi Riau. Sub-bab kedua mengenai pencekalan yang dilakukan KPK terhadap Direktur Dutasari Citralaras yakni Mahfud Suroso terkait penyelidikan kasus hambalang. Sub-bab ketiga mengenai pencekalan Ridwan Hakim terkait kasus pengurusan kuota impor daging sapi. BAB IV ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM 40 TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. Bab empat berisikan uraian mengenai analisis terhadap tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan saksi dalam tahap penyelidikan dihubungkan dengan HAM dalam sistem peradilan pidana. Sub-bab pertama mengenai kewenangan KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan dikaitkan dengan HAM. Sub-bab kedua mengenai tolok ukur KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan. BAB V PENUTUP Bab lima akan berisi penutup yang terdiri dari dua sub-bab. Sub-bab pertama yakni kesimpulan dan sub-bab kedua berisi saran dari hasil penelitian ini. BAB II TINJAUAN UMUM TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA 2.1. Korupsi Sebagai Extra ordinary Crime Sebelum berbicara lebih jauh mengenai tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime, penulis terlebih dahulu akan memaparkan mengenai pengertian dari korupsi itu sendiri. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur. Berdasarkan Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin : corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyelahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.37 Secara harfiah, korupsi dapat diartikan sebagai penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan untuk keuntungan pribadi atau oranglain. Sedangkan kata “korup” berarti buruk, rusak, busuk, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya) untuk kepentingan pribadi.37 Menurut Poerwadarminta, korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.38 Rumusan lain dari korupsi dikemukakan oleh Robert C. Brooks yang menyatakan bahwa 38 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, dalam krisna harahap, Memberantas Korupsi Jalan Tiada Ujung, Bandung, Grafiti, 2006, hlm.1. 38 WJS. Poerwardarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1998, hlm.10. 41 42 dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban atau hak menggunakan kekuasaan dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.39 Dari beberapa pengertian tersebut diatas maka dapat dijelaskan bahwa korupsi itu adalah suatu perbuatan yang sengaja dilakukan secara melawan hukum untuk kepentingan diri sendiri atau oranglain dengan merugikan keuangan atau perekonomian negara. Ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut :40 1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. 2) Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan. 3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. 4) Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum. 5) Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mempengaruhi keputusan-keputusan itu. 6) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum. 7) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan. 39 40 Syed Husin Alatas, Korupsi, Sifat Sebab dan Fungsi, Jakarta, LP3ES, 1991, hlm.7. Syed Husin Alatas, Sosiologi Korupsi, Jakarta, LP3ES, 1998, hlm.12-14. 43 8) Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu. 9) Korupsi itu melanggar norma-norma tugas dan penanggungjawaban dalam tatanan masyarakat. Tindak pidana korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lain di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah yang sangat serius. Tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya. Hasil dari UN Convention Against Corruption 2003 diantaranya menyatakan bahwa korupsi adalah ancaman bagi keamanan dan kestabilan masyarakat, merusak nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi, merusak nilai-nilai moral dan keadilan, membahayakan pembangunan yang berkelanjutan, rule of law dan mengancam stabilitas politik. Tidak jauh berbeda dengan hasil konvensi tersebut, Kongres PBB XI tahun 2005 juga menyatakan tentang hakikat bahaya korupsi yaitu merintangi kemajuan sosial, ekonomi dan politik, sumber daya masyarakat dialokasikan tidak efisien, meningkatnya ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga politik, produktivitas menurun, efisiensi administratif berkurang, merusak atau mengurangi legitimasi tatanan politik dan mengganggu pembangunan ekonomi yang berakibat pada ketidakstabilan politik, lemahnya infrastruktur, sistem pendidikan dan 44 kesehatan dan pelayanan sosial lainnya. Dengan melihat multi effect dari korupsi di atas, sangatlah wajar jika korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime dengan berbagai dimensinya seperti economic crime, organized crime, white collar crime dan political crime. Dengan bentuknya yang extra ordinary crime, maka upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi harus ditempuh dengan cara-cara yang luar biasa pula. Tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime, menurut Romli Atmasasmita dikarenakan : 41 1) Masalah korupsi di Indonesia sudah berurat berakar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan ternyata salah satu program pemerintah adalah penegakan hukum secara konsisten dan pemberantasan KKN. Masalah korupsi pada tingkat dunia diakui merupakan kejahatan yang sangat kompleks, bersifat sistemik dan meluas dan sudah merupakan suatu binatang gurita yang mencengkeram seluruh tatanan sosial dan pemerintahan. Centre for International Crime Prevention (CICP) adalah salah satu organ Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkedudukan di Wina telah secara luas mendefinisikan korupsi sebagai “misusse of (public) power to privat gain”. Berbagai wajah korupsi oleh CICP sudah diuraikan termasuk tindak pidana suap (bribery), penggelapan (embezzlement), penipuan (freud), pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (extortion), penyalahgunaan wewenang (abuse of discretion), pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict 41 Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm.4-5. 45 interest, insider trading), nepotisme (nepotism), komisi yang diterima pejabat publik dalam kaitan bisnis (illegal commision), dan kontribusi uang secara illegal untuk partai politik. 2) Korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan hanya merupakan masalah hukum semata-mata melainkan sesungguhnya merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia. 3) Kebocoran APBN selama 4 (empat) Pelita sebesar 30 persen telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar dalam kehidupan masyarakat karena sebagian rakyat tidak dapat menikmati hak yang seharusnya ia peroleh. Konsekuensi logis dari keadaan sedemikian, maka korupsi telah melemahkan ketahanan sosial bangsa dan negara Republik Indonesia. 4) Penegakan hukum terhadap korupsi dalam kenyataannya telah diberlakukan secara diskriminatif baik berdasarkan status sosial maupun berdasarkan latar belakang politik seseorang tersangka atau terdakwa. 5) Korupsi di Indonesia bukan lagi Commission of Anti Corruption (CAC) di Hongkong telah membuktikan bahwa korupsi dalam era perdagangan global dewasa ini adalah merupakan hasil kolaborasi antara sektor publik dan sektor swasta. Dan justru menurut penelitian tersebut pemberantasan korupsi jenis ini merupakan yang tersulit dibandingkan dengan korupsi yang hanya terjadi di sektor publik. Kita menyaksikan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan kolaborasi antara pelaku di sektor publik dan 46 sektor swasta. Perkembangan kelima cocok dengan perkembangan di tanah air, karena kebijakan pemerintah dalam pembentukan BUMN atau BUMD atau pernyataan modal pemerintah kepada sektor swasta, sehingga pemberantasan korupsi di Indonesia jauh lebih sulit dari Hongkong, Australia dan negara-negara lain”. Menurut Muladi, dampak luas korupsi terhadap Indonesia berupa :42 1) Merendahkan martabat bangsa di forum internasional. 2) Menurunkan kepercayaan investor, baik domestik maupun asing. 3) Bersifat meluas (widespread) di segala sektor pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), baik di sektor pusat maupun daerah. 4) Bersifat transnasional dan bukan lagi masalah per negara. 5) Cenderung merugikan keuangan negara dalam jumlah yang signifikan. 6) Merusak moral bangsa (moral and value damage). 7) Menghianati agenda reformasi. 8) Menggangu stabilitas dan keamanan negara. 9) Mencederai keadilan dan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). 10) Menodai supremasi hukum (jeopardizing the rule of law). 42 Muladi, Makalah Konsep Total Enforcement dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Kerangka Politik Hukum, forum koordinasi dan konsultasi dalam rangka intersifikasi pemberantasan tindak pidana korupsi, Jakarta, 2006, hlm.14. 47 11) Semakin berbahaya karena bersinergi negatif dengan kejahatan ekonomi lain, seperti “money laundering”. 12) Bersifat terorganisasi (organize crime) yang cenderung transnasional. 13) Melanggar HAM. Masalah korupsi bukan lagi masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk juga di Indonesia. Korupsi telah merayap dan meyelinap dalam berbagai bentuk atau modus operandi sehingga menggerogoti keuangan negara, perekonomian negara dan merugikan kepentingan masyarakat.43 Menyadari hal tersebut pemerintah Indonesia telah melakukan langkah-langkah yang dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa perubahan peraturan perundang-undangan. Istilah korupsi pertama sekali hadir dalam khasanah hukum di Indonesia yakni dalam Peraturan Penguasa Perang No. Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian, dimasukkan juga dalam Undang-Undang No. 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindang Pidana Korupsi, yang kemudian tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif 43 Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1991, hlm.2. 48 paling lambat 2 (dua) tahun kemudian (16 Agustus 2001) dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001.44 Merebaknya praktik korupsi di indonesia telah mengancam upaya negara dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, bahkan dalam kehidupan bernegara praktik korupsi melemahkan institusi dan nilai-nilai demokrasi serta institusi penegakan hukum. Kini perkembangan tindak pidana korupsi sudah begitu masif, baik dalam jumlah kerugian keuangan negara maupun kualitas tindak pidana yang dilakukan. Dalam sudut pandang HAM, praktik korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh karena itu korupsi tidak lagi dimaknai ordinary crime melainkan dipahami sebagai extra ordinary crime. Pembicaraan mengenai korupsi memang akan menemukan kenyataan yang buruk karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat, keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan kedalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya.45 Kausa atau sebab orang melakukan perbuatan korupsi di Indonesia46 : 1) Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai neggeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat. 2) Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi. 44 Darwan Prinst, Op.cit, hlm.1. Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.9. 46 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.13-20. 45 49 3) Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien. 4) Penyebab korupsi adalah Modernisasi. Ganasnya cengkeraman gurita korupsi yang menghisap kekayaan negara dan melemahkan perekonomian nasional mengakibatkan banyak rakyat tidak dapat menikmati distribusi kekayaan negara secara adil. Masih banyaknya rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan dan pada saat yang sama beberapa orang memakan uang negara trilyun rupiah merupakan potret pelanggaran hak asasi yang sistemik. Gurita korupsi juga mengakibatkan rakyat miskin terhalang mendapatkan akses terhadap keadilan. Rakyat yang lemah juga akan sulit mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Racun gurita korupsi akan membuat lemas organ tubuh institusi penegak hukum. Masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia hingga saat ini adalah merajalelanya korupsi, terutama yang berkualifikasi korupsi politik. Korupsi merupakan faktor penghalang pembangunan ekonomi, sosial, politik dan budaya bangsa. Negara Indonesia sejak tahun 2002 dengan diberlakukannya UndangUndang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) mengklasifikasikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), hal ini dikarenakan korupsi di Indonesia sudah meluas dan sistematis yang melanggar hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan cara-cara pemberantasan korupsi yang luar biasa. 50 2.2. Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Menurut Lawrence Meir Fridman, bahwa sistem hukum itu harus memenuhi : Struktur (Structure), Substansi (Subtance), dan Kultur hukum (Legal Culture).47 Sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) subsistem yang terdiri dari : 1) Substansi hukum, yang berupa peraturan perundang-undangan atau isi dari sebuah peraturan. 2) Struktur hukum, adalah aparat penegak hukum beserta sarana dan prasarananya. 3) Budaya hukum, berupa prilaku dari anggota masyarakat itu sendiri. Dari ketiga subsistem ini yang akan dikaji sesuai dengan teori diatas adalah mengenai struktur hukumnya. Struktur atau aparat hukum merupakan suatu komponen yang penting dalam pembangunan hukum yang mana diciptakannya lembaga-lembaga hukum dengan personil-personil yang berkwalitas dalam arti bukan hanya memahami hukum namun diperlukan pula integritas moral yang tinggi yang tentunya dapat dicari pada proses rekrutmen dan kemudian dibentuk lebih lanjut dalam proses pendidikan khusus yang dirancang untuk penugasan tersebut.48 Dengan banyaknya kasus korupsi belakangan ini, mengisyaratkan bahwa masih adanya perbuatan anggota masyarakat yang tidak sejalan dengan peraturanperaturan yang berlaku di negara ini. Hukum berfungsi sebagai sosial control yang bersifat memaksa agar masyarakat mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku untuk mengatur mengenai korupsi sebagai suatu pengaturan yang wajib ditaati. Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan undang-undang walaupun di 47 48 Yesmil Anwar & Adang, Op.cit. Moh Hatta, Op.cit. 51 dalam kenyataannya di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu popular selain itu ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.49 Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan dengan menilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (sebagai “social engineering”), memelihara dan mempertahankan (sebagai “social control”) kedamaian pergaulan hidup.50 Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah : 1) Faktor hukumnya sendiri, yang didalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undangnya saja. 2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.51 Gangguan terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi yang berasal dari undang-undang disebabkan karena tidak diikutinya asas-asas berlakunya undangundang, belum ada peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang dan ketidakjelasan arti kata-kata didalam undang-undang yang 49 50 Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm.7-8. Soenarto, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977, hlm.80. 51 Soerjono Soekanto, Op.cit. hlm.8. 52 mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penafsiran serta penerapannya.52 Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau keadilan. Hukum diadakan dengan tujuan agar menimbulkan tata atau damai dan yang lebih dalam lagi yaitu keadilan didalam masyarakat mendapatkan bagian yang sama.53 Sedangkan hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang, dengan disertai dengan ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggarnya. Sehingga tidak ada lagi masyarakat yang merasa bahwa keadilan tersebut hanya ditujukan untuk sebagian orang saja.54 Menurut Satjipto Raharjo, Secara konsepsional efektivitas penegakan hukum sekurang-kurangnya dipengaruhi oleh lima faktor utama, yaitu : 55 1) Sumber daya peraturan perundang-undangan. 2) Sumber daya manusia penegak hukum. 3) Sumber daya fisik (sarana dan prasarana) penegakan hukum. 4) Sumber daya keuangan. 5) Sumber daya pendukung lainnya berupa kesadaran hukum masyarakat dan pra kondisi yang dipersiapkan untuk mengefektifkan penegakan hukum. 52 Ibid, hlm.17. R. Soeroso, Op.cit, hlm.27. 54 Moeljatno, Op.cit, hlm.1. 55 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi, Sinar Baru, Jakarta, 1983, hlm.18. 53 53 Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.56 Konsep keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum, serta asas proporsionalitas antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.57 Penerapan keadilan dan kepastian hukum dapat saja terjadi gesekan. Kepastian hukum yang menghendaki persamaan di hadapan hukum tentu lebih cenderung menghendaki hukum yang statis. Aturan hukum harus dilaksanakan untuk semua kasus yang terjadi, sedangkan keadilan memiliki sifat dinamis harus selalu melihat konteks peristiwa dan masyarakat di mana peristiwa itu terjadi. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia agar kepentingan manusia terlindungi dan hukum harus dilaksanakan. Sejalan dengan perkembangan masyarakat bertambah banyak pula peraturan-peraturan yang disusun untuk menata kehidupan yang modern sehingga persoalan penegakan hukum atau masalah Law Enforcement dan Rule of Law menjadi sangat krusial.58 Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai terjabarkan didalam kaedah-kaedah yang mantap dan mengejawantan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan 56 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm.145. 57 Mohammad Mahfud MD, Makalah “Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik”, hlm.4. 58 Asri Muhammad Saleh, Op.cit , hlm.29-30. 54 kedamaian pergaulan hidup,59sehingga dalam penegakan hukum tersebut harus diperhatikan unsur-unsur kepastian hukum, keadilan dan manfaatnya. Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia tampak tersendat dan bahkan sering terjadi stagnasi sehingga telah menimbulkan citra yang negatif terhadap aparatur penegak hukum pada khususnya dan pemerintah pada umumnya yang merupakan salah satu faktor yang melatar belakangi di bentuknya komisi-komisi untuk masing-masing instrumen atau sub sistem dalam sistem peradilan pidana.60 Upaya penegakan hukum dalam hukum pidana tidak dapat dipandang sebagai tanggung jawab secara parsial dari pihak tertentu, hal tersebut dikarenakan adanya keterkaitan berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu sistem. Oleh karenanya, sebagai suatu sistem perlu dipahami mengenai sistem peradilan pidana itu sendiri. Faktor yang menyebabkan tumpulnya penegakan hukum juga disebabkan oleh sulitnya menemukan formula yang ampuh dalam memberantas korupsi yang sudah membudaya. Hal ini disebabkan karena korupsi sudah bersifat endemik dan sistematik. Pengertian dari endemik adalah dimana korupsi sudah menyebar secara luas (widespread) keseluruh lapisan birokrasi, khususnya lembaga peradilan (Judicial corruption), dan definisi dari sistematik adalah korupsi sudah masuk ke seluruh sistem pemerintahan dan perekonomian negara Indonesia. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga diakibatkan oleh belum adanya keinginan dari aparat penegak hukum sendiri untuk melakukan perubahan internal, dimana telah bergesernya nilai-nilai yang dianut pengembang profesi hukum dan degradasi 59 60 Soerjono Soekanto, Op.cit. Romli Atmasasmita, Op.cit. 55 kualitas penegak hukum sendiri, dan belum adanya niat untuk melakukan perubahan (reform) terhadap instansinya masing-masing. 2.3. Asas Legalitas Asas legalitas yang menjadi salah satu ciri negara hukum dimana suatu perbuatan dapat dikenakan sanksi apabila telah ada pengaturannya. Asas legalitas merupakan asas yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang merupakan terjemahan dari principle of legality. Asas legalitas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dengan perundangundangan, Biasanya ini dikenal dalam bahasan Latin sebagai “Nullum delictum nulla poena sina praevia lege” yang artinya “Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu”.61 Asas legalitas ini merupakan perlindungan kepada perorangan terhadap kesewenang-wenangan yang mungkin dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, asas legalitas merupakan asas yang esensiel di dalam penerapan hukum pidana. Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHP mencantumkan asas legalitas ini sebagai berikut : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Perumusan asas legalitas menurut Nyoman Serikat Putra Jaya menyebutkan bahwa dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah undang- 61 Moeljatno, Op.cit, hlm.23. 56 undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”, artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut. Asas legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of criminal laws and criminal sanctions).62 Sedangkan Andi Hamzah menerjemahkan dengan terminologi asas legalitas yakni “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.63 Moeljatno menyebutkan pula bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. 64 Asas legalitas di samping dikenal dalam ketentuan hukum pidana materiel juga dikenal dalam ketentuan hukum acara pidana (hukum pidana formal). Andi Hamzah kemudian lebih lanjut menyebutkan bahwa dengan demikian, asas legalitas dalam hukum acara pidana lebih ketat daripada dalam hukum pidana materiel, karena istilah dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP (sama dengan Belanda) “ketentuan perundangundangan” (wettelijk strafbepaling) sedangkan dalam hukum acara pidana disebut undang-undang pidana. Jadi, suatu peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tetapi tidak boleh membuat aturan acara pidana.65 62 Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm.1. 63 Andi Hamzah, Op.cit, hlm.41. 64 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm.3. 65 Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.43. 57 Hakikat ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan tentang pemberlakuan hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana (tempus delicti). Konkritnya, untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan agar dipidana maka ketentuan pidana tersebut harus ada terlebih dahulu diatur sebelum perbuatan dilakukan. Menurut Lamintang, asas legalitas ini yang dalam rumusan bahasa latin yaitu nullum crimen noela poena sine praevia lege poenali yang diciptakan oleh Paul Johan Anselm von Feuerbach” pada abad ke-19 dalam bukunya yang berjudul lehrbuch des Peinlichen Rechts (1801), yang artinya tidak ada (nullum) delik, tiada pidana (poena) tanpa (sine) terlebih dahulu diadakan (preavia) ketentuan (lege poenali). Ajaran Feuerbach ini dikemukannya sehubungan dengan pembatasan keinginan manusia untuk melakukan suatu kejahatan, ajaran ini dikenal dengan teori Psychoolgise zwang yang memuat tiga ketentuan yaitu : 1) Nulla puna sine lege, yang bermakna bahwa setiap penjatuhan hukuman haruslah didasarkan pada suatu undang-undang pidana. 2) Nulla Poena Sine Crimine, yang artinya bahwa suatu penjatuhan hukuman hanyalah dapat dilakukan, apabila perbuatan yang bersangkutan telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang. 3) Nullum Crimen Sine Poena Legali, yang artinya bahwa perbutan yang telah diancam dengan hukuman oleh undang-undang itu apabila 58 dilanggar dapat berakibat dijatuhkannya hukuman seperti yang diancamkan undang-undang terhadap pelanggarnya.66 Moeljatno menyebutkan bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu: 1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. 2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas). 3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.67 Selain itu, menurut Jan Remmelink menyebutkan tiga hal tentang makna asas legalitas, antara lain : 1) Konsep perundang-undang yang diandaikan ketentuan Pasal 1 : Ketentuan Pasal 1 Sv (KUH Pidana Belanda maupun Indonesia, berdasarkan. Pasal 3 KUHP) menetapkan bahwa hanya perundangundangan dalam arti formal yang dapat memberi pengaturan di bidang pemidanaan. Kata perundang-undangan (wettelijk) dalam ketentuan Pasal 1 KUHP menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara legitimate. Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa pelbagai bentuk perundangundangan tercakup di dalamnya, termasuk peraturan yang dibuat oleh 66 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.132-134. 67 Moeljatno , Asas–Asas Hukum Pidana, Cet. Ke – VII, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm.25. 59 pemerintah daerah (tingkat provinsi maupun kabupaten / kotamadya) dan seterusnya. 2) Lex Certa (undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat / nilai relatif dari ketentuan ini). Asas Lex Certa atau bestimmtheitsgebot merupakan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak akan berguna sebagai pedoman perilaku. 3) Dimensi analogi. Asas legalitas menyimpan larangan untuk menerapkan ketentuan pidana secara analogis (nullum crimen sine lege stricta: tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit / ketat di dalam peraturan perundang-undangan).68 Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa perumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung di dalamnya asas “legalitas formal”, asas “lex certa”, dan asas “Lex Temporis Delicti” atau asas “non retroaktif”. Asas legalitas formal (lex scripta) dalam tradisi civil law sebagai penghukuman harus didasarkan pada ketentuan Undang-Undang atau hukum tertulis. Undang-Undang (statutory, law) harus mengatur terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai tindak pidana. Lex Certa atau bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam merumuskan undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege 68 J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, CV Rajawali, Jakarta, 1982, hlm.220. 60 stricta).69 Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Kemudian asas nonretroaktif menentukan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut (retroaktif) akan tetapi harus bersifat prospectif. Oleh karena itu maka makna asas legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak ada 4 (empat) larangan (prohibitions) yang dapat dikembangkan asas tersebut, yaitu:70 1) “Nullum crimen, nulla poena sine lege scripta (larangan untuk memidana atas dasar hukum tidak tertulis-unwritten law). 2) “Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta (larangan untuk melakukan analogy). 3) “Nullum crimen, nulla poena sine lege praevia” (larangan terhadap pemberlakuan hukum pidana secara surut). 4) “Nullum crimen, nulla poena sine lege certa” (larangan terhadap perumusan hukum pidana yang tidak jelas. 69 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 1. 70 Ibid. 61 2.4. KPK Dalam Sistem Peradilan Pidana Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk juga penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, selain dibutuhkan seperangkat peraturan perundangundangan tentunya dibutuhkan juga instrumen penggeraknya yaitu institusi-institusi penegak hukum dan implementasinya melalui mekanisme kerja dalam sebuah sistem yang disebut sebagai sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sistem peradilan pidana yang merupakan terjemahan dari Criminal Justice System yang merupakan sistem kekuasaan atau kewenangan menegakkan hukum pidana. Sistem peradilan pidana dapat dikatakan juga sebagai suatu rangkaian antara satu lembaga dengan lembaga lainnya dimana kesemuanya saling berkait yang pada hakikatnya juga identik dengan sistem kekuasaan kehakiman dibidang hukum pidana yang diimplementasikan dalam 4 (empat) subsistem, yaitu : kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik, kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum, kekuasaan mengadili atau menjatuhkan putusan oleh badan peradilan, dan kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi.71 Hagan membedakan pengertian antara Criminal Justice Process dan Criminal Justice System. Criminal Justice Process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya, sedangkan Criminal Justice System adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.72 71 72 Moh Hatta, Op.cit, hlm.42. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2010, hlm.2. 62 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana menganut sistem yang disebut Integrated Criminal Justice System. Sistem tersebut setiap tahap dari pada proses penyelesaian perkara berkait erat dan saling mendukung satu sama lain. Tahap dalam proses penyelesaian yang dimaksud adalah suatu proses bekerjanya lembaga-lembaga yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Penanganan suatu perkara pidana yang terjadi, seorang tersangka akan diperiksa melalui tahap-tahap yakni penyidikan oleh Polisi, Penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, Sidang Pengadilan oleh Hakim, dan Pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Keempat subsistem peradilan pidana yaitu subsistem penyidikan, subsistem penuntutan, subsistem pengadilan dan subsistem pelaksanaan putusan sebagaimana tersebut di atas merupakan suatu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau yang sering dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System). Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan maka diperkirakan akan terdapat tiga kerugian sebagai berikut : 1) Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasialn atau kegagalan masingmasing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama. 2) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masingmasing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana). 3) Disebabkan tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana. 63 Upaya penegakan hukum dalam hukum pidana tidak dapat dipandang sebagai tanggung jawab secara parsial dari pihak tertentu, hal tersebut dikarenakan adanya keterkaitan berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu sistem. Oleh karenanya, sebagai suatu sistem perlu dipahami mengenai sistem peradilan pidana itu sendiri. Dari keempat subsistem yang telah disebutkan diatas cara kerja subsistem harus terintegrasi (terpadu) dengan subsistem lainnya. Presepsi atau pandangan dalam mencapai tujuan pokok sistem peradilan pidana haruslah sama. Bila tidak adanya kesepahaman antara subsistem ini akan menghilangkan kepercayaan masyarakat pada institusi dalam arti sempit dan Sistem Peradilan Pidana dalam artian lebih luas. Sesuai dengan subsistem yang ada dalam sistem peradilan pidana yaitu pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan dapat dipahami bahwa diantara subsistem tersebut mempunyai fungsinya masing-masing menghadapi dan atau menangani tindakan criminal yang terjadi. Sebagai suatu rangkaian bekerjanya sistem peradian pidana, hal yang paling utama yang dilakukan oleh pihak kepolisian adalah memberikan penyelidikan. Dengan dilakukannya penyelidikan maka akan diketahui apakah kasus tersebut mengandung unsur tindak pidana atau tidak, apabila mengandung unsur tindak pidana maka selanjutnya akan dilakukan penyidikan oleh penyidik. Dalam penyelidikan atau penyidikan didalamnya terdapat berbagai rangkaian kegiatan yang masing-masing dibuatkan berita acaranya, contoh : berita acara penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan, penyadapan dan lain sebagainya. Berita acara yang telah dibuatkan tersebut dimasukkan dalan berkas kemudian dikirimkan kepada penuntut umum 64 dengan tidak disertai dengan tersangka dan barang buktinya. Dengan berakhirnya pekerjaan dari subsistem kepolisian ini menandakan dimulainya pekerjaan dari subsistem dari kejaksaan. Namun apabila terjadi kekurangan pada saat penyidikan yang memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik yang disebut dengan pra penuntutan yang mana dilakukan sebelum penuntutan ke pengadilan. Penuntut umum sebagai organ dari kejaksaan yang mendapat tugas menangani perkara pidana setelah selesai melakukan prapenuntutan, penuntut umum selanjutnya membuat surat dakwaan yang mana bahan-bahannya dirumuskan dari berkas perkara yang diajukan oleh penyidik yang mana dilanjutkan dengan penuntutan. Dengan adanya pelimpahan perkara dari penuntut umum maka hal ini menandakan dimulainya pekerjaan dari subsistem pengadilan kemudian dilanjutkan dengan memeriksa dan diakhiri dengan memutuskan perkara perkara pidana. Adanya putusan dari pengadilan mengenai perkara pidana maka berakhirlah pekerjaan dari subsistem pengadilan dan dilanjutkan dengan pekerjaan dari subsistem yang terakhir dari seluruh subsistem dari sistem peradilan pidana yaitu subsistem permasyarakatan. Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan (crime containment system) pada tingkatan tertentu, di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan (secondary prevention). Efektivitas sistem peradilan pidana tergantung sepenuhnya pada kemampuan infrastruktur pendukung sarana dan prasarananya, kemampuan profesional aparat penegak hukumnya serta 65 budaya hukum masyarakatnya73. Pada hakekatnya dibentuknya sistem peradilan pidana mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan internal sistem dan tujuan eksternal. Tujuan internal dilakukan agar terciptanya keterpaduan atau sinkronisasi antar subsistem-subsistem dalam tugas menegakkan hukum. Sedangkan tujuan eksternal yakni untuk melindungi hak-hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana sejak proses penyelidikan sampai proses pemidanaan. Dengan demikian, sebenarnya tujuan dari sistem peradilan pidana baru selesai apabila pelaku kejahatan telah kembali terintegrasi ke dalam masyarakat, hidup sebagai anggota masyarakat umumnya yang taat pada hukum. Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Korupsi merupakan sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)74, untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanakannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serta berkesinambungan. Berkenaan dengan hal ini, pemerintah Indonesia telah memperlihatkan keseriusannya dalam percepatan pemberantasan korupsi di Indonesia. Keseriusan itu terlihat dengan dikeluarkannya berbagai macam kebijakan baik dalam hal pencegahan (preventif) maupun penanganan (represif) tindak pidana korupsi antara lain ada nya Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK. Memperhatikan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 maka terdapat lembaga lain yang berwenang 73 74 Muladi, Op.cit, hlm.25. Romli Atmasasmita,Op.cit , hlm.9. 66 dalam hal penanganan perkara tindak pidana korupsi di luar sistem peradilan pidana yang ada di Indonesia selama ini yaitu KPK. Dalam hal ini, KPK sudah cukup banyak mengungkap kasus-kasus korupsi kelas kakap di Indonesia. Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia tampak tersendat dan bahkan sering terjadi stagnasi sehingga telah menimbulkan citra yang negatif terhadap aparatur penegak hukum pada khususnya dan pemerintah pada umumnya yang merupakan salah satu faktor yang melatar belakangi di bentuknya komisi-komisi untuk masing-masing instrumen atau sub sistem dalam sistem peradilan pidana.75 Pembentukan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dimaksudkan untuk memerangi korupsi sekaligus untuk menjawab tantangan ketidak berdayaan sistem peradilan pidana di Indonesia. Di Indonesia Sistem peradilan Pidana setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mempunyai 4 (empat) subsistem, yaitu : subsistem Kepolisian yang secara administratif di bawah Presiden, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan di bawah Mahkamah agung dan Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen Kehakiman. Dengan dibentuknya KPK berdasarkan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai komisi yang dibentuk guna memberantas korupsi secara otomatis KPK yang juga berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tentunya dapat dinyatakan sebagai salah satu lembaga penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana Indonesia. 75 Romli Atmasasmita, Op.cit. 67 Sistem peradilan pidana di Indonesia yang berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1981, memiliki sepuluh asas sebagai berikut76 : 1) Perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun. 2) Asas praduga tak bersalah. 3) Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi. 4) Hak untuk memperoleh bantuan hukum. 5) Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan. 6) Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana. 7) Peradilan yang terbuka untuk umum. 8) Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis). 9) Hak seorang tersangka untuk diberikan bantuan tentang prasangkaan dan pendakwaan terhadapnya. 10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan putusannya. Sebagaimana yang telah penulis bahas diatas, KPK sebagai sebuah lembaga penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana Indonesia merupakan suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan secara lebih dalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi 76 Yesmil Anwar & Adang, Op.cit, hlm.67. 68 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, dibentuk badan khusus yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mana dalam Pasal 43 Undang-undang ini berbunyi sebagai berikut : “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” “Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” “Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat” “Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-undang”. Institusi KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan pada : 1) Kepastian Hukum “adalah asas dalam Negara hokum yang mengutamakan landasan peraturan perundang – undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang KPK. 69 2) Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan jujur serta tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. 3) Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggung– jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. 4) Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. 5) Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban. Tujuan dibentuknnya KPK tidak lain adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dibentuk karena institusi (Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Partai Politik dan Parlemen) yang seharusnya mencegah korupsi tidak berjalan bahkan larut dan terbuai dalam korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan secara professional, intensif, dan berkesinambungan. Karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Begitu parahnya maka korupsi di Indonesia sudah 70 dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime). Cara penanganan korupsi harus dengan cara yang luar biasa. Untuk itulah dibentuk KPK yang mempunyai wewenang luar biasa, sehingga kalangan hukum menyebutnya sebagai suatu lembaga super (super body). 2.5. Pencekalan Dalam Hukum Acara Pidana Tindakan pemolisian dapat berwujud tindakan pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan. Pada lingkup yang lebih luas, tindakan itu mencakup pula tindakan pencekalan dan penangkalan. Dalam KUHAP, tindakan pemolisian (minus pencekalan dan penangkalan yang diatur dalam UU No. 6 tahun 2011 tentang Imigrasi) tersebut dilakukan oleh Penyidik dan atau penyelidik (atas perintah penyidik). Meskipun merupakan bagian dari kewenangan penegak hukum, tindakan pemolisian tidak dapat dilakukan secara serampangan karena berkaitan dengan hak-hak asasi manusia/warga negara. Setiap tindakan pemolisian harus dilakukan atas dasar yang logis dan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Tindakan pemolisian tidak boleh didasarkan pada faktor like dan dislike yang cenderung subyektif dan tidak memiliki parameter yang jelas. Intinya, kewenangan yang dilakukan secara serampangan dan tidak terkontrol akan menghasilkan tindakan yang sewenang-wenang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Pengertian dari pencekalan adalah larangan sementara terhadap orang untuk keluar dari Wilayah Indonesia berdasarkan alasan keimigrasian atau alasan lain yang ditentukan oleh UU. Pencegahan merupakan larangan yang bersifat sementara 71 terhadap orang-orang tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu dalam waktu tertentu dan orang tertentu dalam pengertian di atas ditujukan kepada Warga Negara Asing maupun Warga Negara Indonesia yang akan keluar Wilayah Indonesia. Pengaturan mengenai pencekalan ini di tuangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pada saat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian ini mulai berlaku, maka peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini. Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dinyatakan bahwa Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar wilayah Indonesia ditujukan pada suatu kepentingan penyelidikan dan penyidikan oleh instansi atau lembaga penegak hukum. Konteks penolakan tersebut adalah dengan tidak memberangkatkan keluar wilayah Indonesia terhadap orang setelah adanya permintaan Pejabat yang berwenang. Pejabat yang berwenang yang dimaksud dalam Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 91 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian terdiri atas: a. Menteri Keuangan; b. Jaksa Agung; c. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; d. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; 72 e. Kepala Badan Narkotika Nasional; atau f. Pimpinan kementerian/lembaga yang berdasarkan undang-undang memiliki kewenangan Pencegahan. Kewenangan pejabat berwenang untuk meminta dan/atau memerintahkan pencekalan terhadap orang dalam tahap penyelidikan dan penyidikan tersebar dalam berbagai Undang-Undang yaitu: a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian pada Pasal 92 yang berbunyi: "Dalam keadaan yang mendesak pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) dapat meminta secara langsung kepada Pejabat Imigrasi tertentu untuk melakukan Pencegahan." b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 12 ayat (1) huruf b yang berbunyi: "(1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;" c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 16 ayat (1) huruf j yang berbunyi: "(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan 73 mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana." d. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Badan Narkotika Nasional Pasal 71 yang berbunyi: "Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika." e. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia Pasal 35 huruf f yang berbunyi: "Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: f. mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Setiap wewenang yang diberikan kepada pejabat-pejabat tersebut dan dalam menggunakan kewenangannya untuk melakukan pencegahan harus benar-benar didasarkan pada keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan, moral masyarakat dan kepentingan masyarakat dengan alasan yang rasionil dan jelas karena hal ini menyangkut hak asasi setiap orang. Alasan yang rasionil dan jelas ini bersifat relative, karena besarnya tingkat keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral dan kepentingan masyarakat itu relatif bergantung dari keadaan Negara tersebut. Disinilah kearifan dan kebijaksanaan para pejabat-pejabat tersebut dalam melaksanakan kewenangannya harus dilandaskan pada rasio yang matang dan hati nurani. 74 Permintaan pejabat yang berwenang disampaikan secara tertulis baik kepada Menteri untuk melaksanakan pencegahan dan/atau bersifat langsung kepada Pejabat Imigrasi yang bertugas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) atau unit pelaksana teknis yang membawahi TPI dalam keadaan mendesak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian pada Pasal 92 yang berbunyi sebagai berikut : "Dalam keadaan yang mendesak pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) dapat meminta secara langsung kepada Pejabat Imigrasi tertentu untuk melakukan Pencegahan." Keadaan yang mendesak yang dimaksud pada UU ini misalnya seseorang yang akan dikenakan pencegahan tersebut dikhawatirkan melarikan diri keluar negeri pada saat itu juga atau telah berada di Tempat Pemeriksaan Imigrasi untuk keluar negeri sebelum keputusan pencegahan ditetapkan. Kepentingan yang ingin dilindungi disini dengan pengaturan penolakan orang untuk keluar wilayah Indonesia di TPI berkaitan dengan kepentingan nasional meliputi keamanan nasional ketertiban umum, dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian penolakan oleh pejabat imigrasi kepada orang yang akan keluar wilayah Indonesia dilaksanakan dalam konteks pencegahan. Pencegahan yang dilaksanakan harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang diatur dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011tentang Keimigrasian, yaitu: 1. Harus ditetapkan dengan keputusan tertulis oleh Pejabat yang berwenang; 2. Keputusan tertulis tersebut memuat sekurang-kurangnya: a. nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir atau umur, serta foto yang dikenai Pencegahan; b. alasan Pencegahan; dan 75 c. jangka waktu Pencegahan. 3. Keputusan Pencegahan disampaikan kepada orang yang dikenai Pencegahan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal keputusan ditetapkan. 4. Dalam hal keputusan Pencegahan dikeluarkan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2), keputusan tersebut juga disampaikan kepada Menteri paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal keputusan ditetapkan dengan permintaan untuk dilaksanakan. 5. Menteri dapat menolak permintaan pelaksanaan Pencegahan apabila keputusan Pencegahan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 6. Pemberitahuan penolakan pelaksanaan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus disampaikan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal permohonan pencegahan diterima disertai dengan alasan penolakan. 7. Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk memasukkan identitas orang yang dikenai keputusan pencegahan ke dalam daftar Pencegahan melalui Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian. Apabila tidak dipenuhinya kriteria tersebut, menteri dapat menolak permintaan pelaksanaan Pencegahan yang akan disampaikan kepada pejabat yang berwenang dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal permohonan diterima disertai dengan alasan penolakan. Manusia merupakan makhluk yang mengalami pergerakan dari suatu tempat ketempat lain apapun itu alasannya. Dikarenakan hal ini sudah menjadi hak yang bersifat kodrati bagi manusia untuk mempunyai hak atas kebebasan bergerak. Kebebasan ini telah dinyatakan di dalam Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Namun kebebasan ini bukan berarti bebas sebebas-bebasnya bergerak tanpa adanya aturan yang 76 membatasinya. Dunia internasional juga memahami keberadaan setiap Negara mempunyai kepentingannya masing-masing, sehingga kebebasan bergerak itu diseimbangkan dengan kepentingan-kepentingan setiap negara. Dengan hal ini maka dunia internasional juga memberikan batasan terhadap kebebasan bergerak ini. Pembatasan hak atas kebebasan bergerak ini dapat dilakukan oleh setiap negara dengan cara pencegahan dan penangkalan, pencegahan dan penangkalan adalah untuk menghentikan seseorang untuk masuk atau keluar wilayah negara yang bersangkutan atas dasar alasan-alasan yang secara rasional untuk keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat. Definisi Pencegahan menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang keimigrasian adalah Larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk keluar dari wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu. Sedangkan penangkalan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk masuk kewilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu. Penggunaan pencegahan dan penangkalan ini tidak boleh digunakan sewenang-wenang oleh suatu Negara, Negara harus tetap menjamin hak atas kebebasan bergerak setiap individu namun juga harus menjalankan kepentingan nasionalnya. Penggunaan pencegahan dan penangkalan ini harus benar-benar dengan alasan yang kuat dan rasionil dan berlandaskan hukum untuk alasan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat yang sesuai dengan kovenan internasional dalam hak sipil dan politik. 77 Dalam rangka menghormati dan memenuhi hak asasi manusia dalam rangka penerapan dan penggunaan pencekalan sebaiknya adanya aturan yang menentukan kriteria-kriteria yang menjadi patokan dalam menentukan alasan terkait keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat, perlu adanya definisi lebih lanjut yang dituangkan didalam suatu peraturan. Hal ini berguna untuk membatasi setiap diskresi pejabat-pejabat yang berwenang yang terlampau jauh melanggar hak asasi manusia. Selain itu disisi lain pemerintah juga harus membangun sistem pencekalan yang efektif terhadap pelakupelaku tindak pidana agar pelaku-pelaku tindak pidana tidak dapat kabur keluar negeri. Dengan sistem pencekalan yang baik yang dapat terintegrasi langsung ke daftar pencekalan pusat disetiap wilayah kantor keimigrasian didaerah diharapkan langsung dapat melakukan kewenenangannya. Sehingga kejadian- kejadian seperti perginya pelaku tindak pidana keluar negeri dapat dicegah. 2.6. Teori Penyelidikan Apabila hukum acara pidana dipandang dari sudut pemeriksaan, hal ini dapat dirinci dalam dua bagian,yaitu pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan pada sidang pengadilan. Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan yang dilakukan pertama kali oleh polisi baik dalam melakukan penyelidikan maupun penyidikan apabila ada dugaan bahwa hukum pidana telah dilanggar. Sedangkan pemeriksaan pada sidang pengadilan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan apakah dugaan bahwa seseorang yang telah melakukan tindak pidana itu dapat dipidana atau tidak. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP menyebutkan bahwa 78 ”Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan. Dari batasan ini dapat dikonklusikan bahwa tampak jelas hubungan erat antara tugas dan fungsi penyidik dan penyelidik. Titik taut hubungan tersebut menurut pedoman pelaksanaan KUHAP disebutkan bahwa penyelidikan bukan merupakan fungsi yang berdiri sendiri atau terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan.77 Adapun mengenai latar belakang, motivasi dan urgensi diintrodusirnya fungsi penyelidikan antara lain sebagai perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaaan alat-alat pemaksa (dwangmiddelen).78 Tidak semua peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana, karena itu sebelum lebih lanjut dengan melakukan penyidikan sebagai konsekuensi dilakukannnya upaya paksa, perlu ditentukan terlebih dahulu berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya sebagai tindak pidana sehingga dapat dilakukan dengan tindakan penyidikan. Walaupun titik taut tersebut begitu erat, hal itu bukan berarti antara penyelidik dan penyidik tidak mempunyai perbedaan. Adapun pihak yang berwenang untuk melakukan penyelidikan menurut pasal 4 KUHAP adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. 77 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, PT. Alumni, Bandung, 2007, hlm.55. 78 Ibid, hlm.56. 79 Apabila didapati tertangkap tangan, tanpa harus menunggu perintah penyidik, penyelidik dapat segara melakukan tindakan yang diperlukan seperti penangkapan, larangan, meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan. Selain itu penyelidik juga dapat melakukan pemeriksaan surat dan penyitaan surat serta mengambil sidik jari dan memotret atau mengambil gambar orang atau kelompok yang tertangkap tangan tersebut. Selain itu penyelidik juga dapat membawa yang menghadapkan orang atau kelompok tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini Pasal 105 KUHAP menyatakan bahwa melaksanakan penyelidikan, penyidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik. Apabila setelah melalui tahap penyelidikan dapat ditentukan bahwa suatu peristiwa merupakan suatu peristiwa pidana, maka dilanjutkan dengan tahap penyidikan. Menurut pasal 1 butir 2 KUHAP serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pihak yang berwenang melakukan penyidikan menurut pasal 6 KUHAP adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Ketika melaksanakan penyelidikan dan penyidikan, para aparat penegak hukum melakukan suatu upaya paksa, yaitu serangkaian tindakan untuk kepentingan penyidikan yang terdiri dari penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan pemeriksaan surat, penjelasan mengenai hal ini adalah sebagai berikut : 80 1) Penangkapan, Menurut pasal 1 butir 20 KUHAP, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. 2) Penahanan. Menurut pasal 1 butir 21 KUHAP, penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. 3) Penyitaan. Menurut pasal 1 butir 16 KUHAP, penyitaan adalah serangkain tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,berwujud dan atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. 4) Penggeledahan rumah. Menurut pasal 1 butir 17 KUHAP, penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. 5) Penggeledahan badan. Menurut pasal 1 butir 18 KUHAP, penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita. 81 Berkenaan dengan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 5 KUHAP dapat dirinci terhadap wewenang penyelidik adalah sebagai berikut: (1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4: a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang : 1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2. mencari keterangan dan barang bukti; 3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: 1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; 2. pemeriksaan dan penyitaan surat; 3. mengambil sidik jari dan memotret seorang; 4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik. (2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik. Apabila dilihat dari hasil membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tindakan penyelidik kepada penyidik, penjelasan Pasal 5 huruf a angka 4 KUHAP menyebutkan yang dimaksudkan “tindakan lain” adalah tindakan penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat: 1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum. 2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannnya tindakan jabatan. 82 3) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. 4) Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa. 5) Menghormati HAM. Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana di sebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada penyidik. Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 5 dan Pasal 5 KUHAP, maka penyelidik tersebut dimaksudkan untuk lebih memastikan sesuatu peristiwa itu diduga keras sebagai tindak pidana. Akan tetapi, sebagian pakar berpendapat bahwa penyelidikan tersebut dimaksudkan untuk menemukan “bukti permulaan” dari pelaku (dader). Baik dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP maupun Pasal 5 KUHAP, tidak tercantum perkataan pelaku atau tersangka. Oleh karena itu, sudah tepat jika penyelidikan tersebut dimaksudkan untuk lebih memastikan suatu peristiwa diduga keras sebagai tindak pidana.79 79 Leden Marpaung, Op.cit, hlm.11. 83 2.7. Teori Hak Asasi Manusia Masyarakat dunia secara universal mengakui bahwa setiap manusia mempunyai sejumlah hak yang menjadi miliknya sejak keberadaannya sebagai manusia diakui sekalipun manusia itu belum dilahirkan ke dunia ini. Hak-hak tersebut melekat pada diri setiap manusia, bahkan berbentuk harkat manusia itu sendiri.80 Istilah hak asasi manusia merupakan alih bahasa dari “human right” (Inggris), “droit de I’homme” (Perancis) dan “menselijkerechten” (Belanda). Secara harfiah, HAM adalah hak pokok atau hak dasar. Jadi, hak asasi itu merupakan hak yang bersifat fundamental sehingga keberadaannya merupakan suatu keharusan (conditio sine qua non), tidak dapat di ganggu gugat. Bahkan, harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan dari segala macam ancaman, hambatan, dan gangguan dari sesamanya.81 Salah satu pengertian HAM disampaikan oleh Jan Matenson yakni hak-hak yang diwariskan dari kodrat kita yang tanpanya kita tidak dapat hidup sebagai manusia.82 Pada awalnya pengertian yang telah disebut diatas diterima secara universal tetapi dalam perkembangannya lebih khusus lagi dalam implementasi sistem hukum positif, teori dan konsep HAM telah menjadi perdebatan dan kontroversi antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Kontroversi tersebut terjadi sebab sejak awal terdapat kesulitan untuk menetapkan batasan yang nyata dan definitif dari HAM. Hak-hak tersebut berkisar pada pengertian kebebasan dan 80 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana Dalam Sistem Peradilan Pidana, Alumni, Jakarta, 2006, hlm.49. 81 Ibid, hlm.60. 82 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hlm.1. 84 prinsip persamaan. Prinsip-prinsip mana senantiasa menjadi arena perbedaan paham dan teori yang berbeda-beda. Akibatnya, pengertian dan batasan HAM pun menjadi relatif serta dipengaruhi oleh aliran-aliran pemikiran, agama, adat istiadat, kondisi dan situasi.83 Berangkat dari hasil amandemen UUD 1945, hal ini memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai HAM yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai HAM yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusinya. Anton Baker memberi batasan HAM sebagai hak yang ditemukan dalam hakikat manusia dan demi kemanusiaannya semua orang satu persatu dimilikinya, tidak dapat dicabut oleh siapapun dan tidak dapat dilepaskan oleh individu itu sendiri karena hal itu bukan sekedar hak milik saja tetapi lebih luas dari itu. Manusia memiliki kesadaran (berkehendak bebas dan berkesadaran moral) dan merupakan makhluk ciptaan yang tertinggi.84 HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.85 HAM tidak boleh dicabut oleh siapapun sebab pencabutan HAM berarti hilangnya harkat 83 Subhi Mahmassani, Konsep Dasar Hak Asasi Manusia, Suatu Perbandingan Dalam Syariat Islam dan Perundang-Undangan Modern, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1993, hlm.1-2. 84 O.C. Kaligis, Op.cit, hlm.62. 85 Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London, 2003, p. 7. 85 dan martabat manusia sebagai ciri khas kemanusiaan manusia tidak lagi dihormati dan diakui. HAM bersifat universal, namun HAM diseluruh kawasan dunia tidak sama. Pemahaman ini bergantung pada sudut pandang negara-negara maupun kelompok-kelompok bersifat non-pemerintah. Terdapat 4 kelompok pandangan mengenai HAM tersebut :86 1) Mereka yang berpandangan universal-absolite melihat HAM itu sebagai nilai-nilai universal belaka seperti dirumuskan dalam The Internasional Bill of Human Rights. Kelompok ini tidak menghargai sama sekali profil sosial budaya yang melekat pada masing-masing bangsa. Pandangan ini dianut oleh negara-negara maju. Bagi negara-negara yang sedang berkembang dalam urusan HAM, negara maju dipandang eksploitatif kerena menggunakannya sebagai alat untuk menekan dan instrumen penilai (tool of judgement). 2) Negara-negara atau kelompok yang memandang HAM secara universalrelative. Mereka memandang HAM sebagai masalah universal tetapi asasasas hukum internasional tetap diakui keberadaannya. Misalnya, ketentuan yang diatur dalam pasal 29 (2) Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang menyatakan : “Dalam melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya dapat dibatasi oleh hukum untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak dan kebebasan oranglain untuk memenuhi persyaratan 86 Kunarto, Hak Asasi Manusia dan Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997, hlm.105-106. 86 moral, ketertiban umum dan kepentingan masyarakat luas dalam bangsa yang berdemokrasi” 3) Negara atau kelompok yang berpandangan particularistic-absolute, bahwa HAM merupakan persoalan masing-masing bangsa sehingga mereka menolak berlakunya dokumen-dokumen internasional. Pandangan ini bersifat egois dan pasif terhadap HAM. 4) Negara atau kelompok yang berpandangan particularistic-relative melihat persoalan HAM disamping sebagai masalah universal juga merupakan persoalan masing-masing negara. Berlakunya dokumen-dokumen internasional diselaraskan dan diserasikan dengan budaya bangsa. Dari keempat pandangan diatas, negara Indonesia dapat dikategorikan kedalam golongan pandanagn Partikularistik Relative yang memahami pentingnya hak asasi manusia, tetapi pemberlakuannya harus disesuaikan dengan Pancasila dan UUD 1945.87 Menurut Universal Declaration of Human Rights (UDHR), terdapat 5 jenis hak asasi yang dimiliki setiap manusia, antara lain : 1) Hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi). 2) Hak legal (hak jaminan perlindungan hukum). 3) Hak sipil dan politik. 4) Hak subsistensi(hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan). 5) Hak ekonomi, sosial dan budaya. 87 Ibid, hlm.80. 87 Dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) juga memperinci hakhak asasi manusia sebagai berikut :88 “Bahwa tiap orang mempunyai hak untuk hidup, kemerdekaan dan keamanan badan, untuk diakui kepribadiannya menurut hukum, untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana seperti diperiksa dimuka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah untuk masuk dan keluar wilayah suatu negara, hak untuk mendapat asylum, hak untuk mendapat suatu kebangsaan, hak untuk mendapat milik atas benda, hak untuk bebas dalam mengutarakan pikiran dan perasaan, hak untuk bebas dalam memeluk agama dan mempunyai hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk berapat dan berkumpul, hak untuk mendapat jaminan sosial, hak untun mendapat pekerjaan, hak untuk berdagang, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat, hak untuk menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan.” Berdasarkan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM pada Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa HAM adalah : “Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM). 88 hlm.27. Erni Widhayati, Hak-Hak Tersangka di Dalam KUHAP, Liberty, Yogyakarta, 1988, 88 Negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang menghormati dan menjunjung tinggi HAM. Hal tersebut dapat ditelusuri dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang terdiri atas lima sila, ditambah dengan Pembukaan UUD 1945 dalam alinea pertama yang menyatakan bahwa “Kemerdekaan ialah hak segala bangsa serta penjajahan harus dihapuskan” serta dalam alinea kedua yang menyatakan bahwa “Kemerdekaan negara menghantarkan rakyat merdeka, bersatu, adil dan makmur”. Pemasukan unsur-unsur HAM dalam peraturan perundangundangan telah disadari oleh para pendiri negara Indonesia sebagai sesuatu yang wajib ada dalam negara yang berasaskan demokrasi. Dalam tataran makro, HAM telah digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Kemudian diformalkan dalam bentuk peraturan perundang-udangan oleh lembaga politik/DPR dan dioperasionalkan/dilaksanakan oleh pejabat/aparat negara dalam bentuk peraturan pemerintah/peraturan lainnya sebagai pegangan para pejabat.89 Sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep HAM yang berlaku secara universal melalui hukum Internasional membebankan kepada Indonesia sebagai salah satu anggota PBB untuk meratifikasi kedalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu contoh adalah Konvenan Internasional Hak-Hak Sipol (International Covenan on Civil and Political Rights). ICCPR dapat diklasifikasikan dalam dua bagian yakni: 89 Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2005, hlm.133. 89 1) Non Derogable Right Non Derogable Right adalah Hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak yang termasuk jenis ini, yakni: Hak atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari penahanan karena gagal dari memenuhi perjanjian (seperti: hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai subyek hukum, hak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan agama). Pelanggaran terhadap hak jenis ini akan mendapatkan kecaman sebagai pelanggaran serius HAM (Gross Violation of Human Rights). 2) Derogable Right Derogable Right adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Termasuk dalam jenis hak ini yakni: hak atas kebebasan berkumpul secara damai, hak atas kebebasan berserikat termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan (lisan-tulisan). Negaranegara pihak diperbolehkan mengurangi atas kewajiban dalam memenuhi hakhak tersebut. Akan tetapi pengurangan hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak diskriminatif yaitu demi menjaga keamanan nasional, ketertiban umum, menghormati hak atau kebebasan orang lain. 90 Di Indonesia, selain UUD 1945 keberadaan hak-hak sipil yang sesuai dengan Konvenan Sipil dan politik termuat dalam banyak peraturan perundang-undangan. Meskipun demikian secara material, peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibedakan atas : 1) Peraturan perundang-undangan yang khusus mengenai hukum HAM, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 2) Peraturan perundang-undangan lainya yang didalamnya memuat ketentuan yang berkaitan dengan HAM, baik secara eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat). Sehubungan dengan masih terdapatnya peraturan perundang-undangan diluar peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai HAM yang bertentangan dengan HAM. Sehingga perlu melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP dan KUHAP yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai Undang-Undang yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk beberapa UU yang dihasilkan dalam era reformasi. Hal ini sebagai konsekuensi dari karakter rejim sebelumnya yang memang anti HAM, sehingga dengan sendirinya produk perundang-undangan kurang atau sama sekali tidak mempertimbangan masalah HAM. Dalam konteks ini, maka agenda tersebut sejalan dan dapat disatukan dengan agenda reformasi hukum nasional dan ratifikasi konvensi/kovenan, internasional 91 tentang HAM yang paling mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut peraturan pelaksanaanya. Didalam UUD 1945, HAM meliputi hak politik dan hak sosial. Hak politik terkandung pada Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 30, sedangkan hak sosial terkandung pada Pasal 29, Pasal 31, Pasal 33, dan Pasal 34. Setelah perubahan atau amandemen kedua UUD 1945 mengenai hak politik dan hak sosial diatur lebih lanjut pada sepuluh pasal yaitu Pasal 28A sampai dengan Pasal 28 J.90 Pasal 27 berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” “Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” Di dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga dapat dipahami bahwa Indonesia sangat menekankan pentingnya perlindungan Hak Asasi Manusia. Di dalam Pasal 28 A UUD 1945 amandemen kedua dijelaskan bahwa ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Di dalam Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua dijelaskan mengenai hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum yang berlaku surat adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 28 A dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua merupakan 90 Mien Rukmini, Op.Cit, hlm.50. 92 pengaturan hak asasi manusia, perbedaanya pasal 28 A UUD 1945 amandemen kedua hanya mengatur tentang hak hidup seseorang tetapi Pasal 28 I UUD 1945 hak asasi manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Baik dalam keadaan normal (tidak dalam keadaan darurat, tidak dalam keadaan perang atau tidak dalam keadaan sengketa bersenjata) maupun dalam keadaan tidak normal (keadaan darurat, dalam keadaan perang dan dalam keadaan sengketa bersenjata) hak hidup tidak dapat dikurangi oleh negara, pemerintah, maupun masyarakat. Hak hidup bersifat non deregoble human right artinya hak hidup seseorang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun. Hak hidup tidak bersifat deregoble human right artinya dapat disimpangi dalam keadaan daraurat atau ada alasan yang diatur di dalam peraturan perundang undangan, misalnya melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati. Hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan 93 Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.” HAM di Indonesia merupakan masalah yang sangat erat kaitannya dengan sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, untuk mewujudkan sistem peradilan pidana yang adil dan benar sesuai dengan tujuan dan harapan masyarakat, sangat relevan apabila dilakukan kajian mengenai proses peradilan pidana baik tentang pengertiannya secara umum maupun tentang perkembangan proses peradilan pidana itu sendiri dalam menjamin dan melindungi hak asasi tersangka dan terdakwa. 94 Dalam penjelasan KUHAP ditemukan 10 (sepuluh) asas yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap “keluhuran harkat dan martabat manusia”. Adapun kesepuluh asas tersebut adalah :91 1) Perlakuan yang sama di muka umum, tanpa diskriminasi apapun. 2) Praduga tidak bersalah. 3) Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi. 4) Hak untuk mendapat bantuan hukum. 5) Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan. 6) Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana. 7) Peradilan yang terbuka untuk umum. 8) Pelanggaran atas hak-hak warga negara (panangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis). 9) Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberi tahu dakwaan dan dasar hukum apa yang di dakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum. 10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusan itu. 91 Ibid, hlm.84. 95 Kesepuluh asas diatas harus dikembangkan lebih lanjut dan dijadikan pedoman bagi pelaksanaan KUHAP yang benar-benar memperhatikan dan melindungi HAM. Inilah yang kemudian akan mendasari diperhatikan dan dilindunginya unsur-unsur HAM yang lain, seperti hak-hak politik dan hak-hak sosial. Berkaitan dengan adanya asas-asas yang menggambarkan penerapan HAM dalam proses peradilan pidana tersebut, asas yang paling penting adalah asas praduga tak bersalah (Presumption of innocent) dan asas persamaan kedudukan dalam hukum (Equality before the law). Pada dasarnya, kedua asas tersebut harus saling mengisi, sejalan dan harmonis yang kemudian diimplementasikan dalam peraturan-peraturan demi tegaknya hukum dan keadilan. Tanpa diterapkannya kedua asas ini mustahil peradilan yang adil dan benar dapat diwujudkan.92 92 Ibid, hlm.85. BAB III KASUS PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KPK DALAM TAHAP PENYELIDIKAN 3.1. Pencekalan Gubernur Riau terkait PON XVIII di Provinsi Riau Korupsi proyek PON ini tercium oleh KPK sejak April lalu. Kasus Tindak Pidana Korupsi Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau bermula dari penangkapan sejumlah anggota DPRD Riau , dua pegawai Dinas Pemuda dan Olahraga Riau dan empat pegawai swasta yang terjadi pada tanggal 13 April 2012. Saat penangkapan, KPK menyita uang senilai Rp 900 juta yang diduga sebagai uang suap proyek PON Riau. Dari hasil pemeriksaan KPK terkait penangkapan tersebut kemudian KPK menetapkan status tersangka kepada anggota DPRD Riau yakni Muhammad Faisal Aswan dan Muhammad Dunhir, Staf PT Pembangunan Perumahan (PP) Persero yakni Rahmat Syahputra dan Kepala Seksi Pengembangan Sarana dan Prasarana Dispora Riau bernama Eka Dharma Putra. Mereka diduga melakukan korupsi pada pembahasan revisi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang penambahan anggaran untuk venue menembak pada PON Riau senilai Rp19,4 miliar. Namun, belakangan KPK juga mencium adanya praktek korupsi pada pembahasan Perda Nomor 5 Tahun 2008 tentang pembangunan stadion utama PON Riau. Juru Bicara KPK Johan Budi menyatakan KPK mulai menyelidiki kasus suap korupsi pengadaan PON Riau. Menurutnya, pengadaan proyek venue menembak sudah dikembangkan penyelidikan terkait dengan pembangunannya. Terkait kasus yang melibatkan pemerintah pusat yaitu beberapa anggota DPR dan Pemerintah 96 97 daerah, KPK akan terus melakukan upaya pemeriksaan terkait Perda Nomor 6 tahun 2010 terkait pembangunan Pekan Olahraga Nasional tersebut.93 Pada tanggal 10 April 2012, KPK telah mengajukan permohonan pencekalan terhadap Gubernur Riau H.M Rusli Zainal dengan alasan pencekalan dilakukan untuk membantu KPK dalam kelancaran proses penyelidikan kasus dugaan korupsi pembangunan venue PON dan jika sewaktu-waktu yang bersangkutan dimintai keterangan tidak sedang berada di luar negeri. Informasi pencekalan ini disampaikan oleh Wamenkum HAM Denny Indrayana, Pencegahan diminta melalui surat KPK nomor R-1380/01-23/04/2012, tertanggal 10 April 2012. Pencegahan sudah efektif dan dilakukan untuk 6 bulan hingga 10 Oktober 2012.94 Sehubungan dengan dicekalnya Gubernur Riau H.M. Rusli Zainal dan Kadispora Lukman Abbas secara otomatis, akses keduanya ke luar negeri tidak diizinkan lagi. KPK juga mencegah ajudan Said Faisal, ajudan Gubernur Riau ke luar negeri. Kemudian ketua DPRD Riau Johar Firdaus diperiksa KPK terkait kasus suap PON ini bersama 5 anggota DPRD lainnya di Sekolah Polisi Negara (SPN) Polda Riau di Jl. Pattimura Pekanbaru. Mereka yang diperiksa KPK adalah Johar Firdaus (Ketua DPRD Riau), Zulfan Heri (Ketua Baleg), Iwa Bibra (anggota tim pansus). Ketiganya ini berasal dari Fraksi Golkar. Tiga anggota dewan lainnya, Adrian Ali (PAN), Ramli Sanur (PAN), Ramli FE partai PBR. 93 Website GOOGLE, http// www.haluankepri.com › News › Andalas (terakhir kali dikunjungi tanggal 22 September 2012 Pukul 14.00). 94 WebsiteGOOGLE,http//m.skalanews.com/.../gubernur-riau-dicekal-terkait-kasussuappon.ht. (terakhir kali dikunjungi tanggal 22 September 2012 Pukul 13.45). 98 Pada tanggal 8 Mei 2012, KPK lalu menetapkan status tersangka kepada mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau bernama Lukman Abbas dan Wakil Ketua DPRD Riau yakni Taufan Andoso Yakin. Masing-masing diduga telah melakukan transaksi suap terkait PON Riau. Kasus PON Riau ternyata menyeret banyak pihak, hal ini terbukti bahwa tujuh anggota DPRD Riau kemudian menyusul menjadi tersangka. Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa tujuh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau non aktif sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan suap pembahasan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Dana Pengikatan Tahun Jamak Pembangunan Venue Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau 2012, Selasa (15/1/2013).95 Ketujuhnya adalah Adrian Ali (Partai Amanat Nasional), Abu Bakar Siddik (Partai Golkar), Zulfan Heri (Partai Golkar), Syarif Hidayat (Partai Persatuan Pembangunan), Tengku Muazza (Partai Demokrat), Mohammad Roem Zein (Partai Persatuan Pembangunan), dan Turoechman Asy'ari (PDI-Perjuangan). KPK telah menetapkan 14 tersangka kasus suap proyek Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII di Pekanbaru, Riau. Enam di antara tersangka itu sudah menjalani persidangan yakni Eka Dharma Putra selaku Anggota Staf Dinas Pemuda dan Olahraga Riau serta Rahmat Syahputra selaku Anggota Staf Kerjasama Operasi tiga BUMN, yakni: PT Adhi Karya, PT Pembangunan Perumahan, dan PT Wijaya Karya) yang menjalankan perintah suap dan telah divonis 2 tahun 6 bulan penjara. 95 WebsiteGOOGLE, http// Kompas.com/KPK periksa 7 tersangka kasus PON Riau(terakhir kali dikunjungi tanggal 10 Februari 2013 Pukul 21.35). 99 Adapun dua anggota DPRD Riau yakni Faisal Aswan (Partai Golkar) dan Muhammad Dunir (Partai Kebangkitan Bangsa) dihukum masing-masing 4 tahun. Taufan Andoso Yakin adalah terdakwa kelima yang divonis dalam kasus suap Rp 900 juta untuk memuluskan revisi Perda No 6 tahun 2010 tentang penambahan anggaran gedung menembak PON Riau. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Pekanbaru masih dalam tahap akhir persidangan terhadap mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau bernama Lukman Abbas. Korupsi proyek PON ini terendus KPK sejak April lalu. KPK kini mengembangkan kasus suap senilai Rp 900 juta itu ke penyidikan pengembangan venue PON. Uang tunai senilai Rp 900 juta dijadikan bukti. Dalam empat bulan proses penyidikan KPK sudah menetapkan 13 tersangka kasus dugaan suap pembahasan revisi Perda Nomor 6 Tahun 2010. Gubernur Riau Rusli Zainal dipanggil KPK. Rusli Zainal menjalani dua kali pemeriksaan untuk melengkapi berkas tersangka Lukman Abbas. Rusli Zainal diperiksa sebagai saksi.96 KPK juga membidik keterlibatan Gubernur Riau H.M Rusli Zainal dalam kasus dugaan suap Revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2010 tentang Penambahan Biaya Arena Menembak PON Riau. Dalam kasus dugaan suap PON Riau ini, nama Rusli kerap disebut sebagai aktor yang juga diduga melakukan tindak pidana korupsi. Pada tanggal 8 Februari tahun 2013 Gubernur Riau H.M Rusli Zainal secara resmi ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juru Bicara KPK, Johan Budi mengatakan Rusli melakukan tindak pidana 96 WebsiteGOOGLE,http//www.sindonews.com/.../13/.../dua-tersangka-kasus-pon-riausegera-d.. (terakhir kali dikunjungi tanggal 22 September 2012 Pukul 14.00). 100 korupsi dalam dugaan suap dan korupsi perubahan peraturan daerah (Perda) terkait penyelenggaran Pekan Olah Raga Nasional (PON) Riau tahun 2012. Gubernur Riau H.M Rusli Zainal diduga melakukan suap dan melanggar Pasal 12 A dan B, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.97 Dalam surat dakwaan mantan Kepala Seksi (Kasi) Pengembangan Sarana dan Prasarana Olahraga Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Riau bernama Eka Dharma Putra, Rusli Zainal selaku Gubernur Riau disebut sebagai pihak yang diduga ikut menyuap. Eka Darma Putra baik sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dengan Lukman Abbas selaku Kepala Dispora Riau, Rusli Zainal selaku Gubernur Riau dan Rahmat Syahputra selaku Site Administrasi Manajer dalam Kerjasama Operasi (KSO) PT Pembangunan Perumahan, PT Adhi Karya, dan PT Wijaya Karya memberi uang Rp 900 juta dari yang dijanjikan Rp1,8 miliar kepada anggota DPRD Riau 2009-2014. Pemberian sejumlah uang tersebut dilakukan agar anggota DPRD Riau membahas dan menyetujui Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Revisi Perda Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pengikatan Dana Anggaran Kegiatan Tahun Jamak untuk Pembangunan Stadion Utama pada Kegiatan PON XVIII Riau dan Raperda tentang Perubahan Perda Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pengikatan Dana Anggaran Kegiatan Tahun Jamak untuk Pembangunan Venues pada Kegiatan PON XVIII Riau. 97 WebsiteGOOGLE, http// metrotvnews.com/metronews/vi...0725/Gubernur-Riau-Tersangka Kasus-Pon.(terakhir kali dikunjungi tanggal 10 Februari 2013 Pukul 11.35). 101 Surat dakwaan juga menyebutkan bahwa H.M Rusli Zainal menelepon Lukman Abbas dan menginstruksikan agar Lukman memenuhi permintaan anggota DPRD Riau untuk memberi "uang lelah" terkait pembahasan ranperda. Adapun Lukman sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka. Saat bersaksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Riau, Rusli Zainal mengaku mengetahui ada permintaan "uang lelah" untuk anggota DPRD Riau terkait pembahasan ranperda. Namun Gubernur Provinsi Riau H.M Rusli Zainal ini mengaku meminta Lukman membatalkan revisi peraturan daerah jika anggota Dewan meminta uang. Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, KPK memeriksa Rusli Zainal sebagai saksi. KPK juga membuka penyelidikan baru soal pengadaan barang dan jasa PON Riau, proses pengadaan tersebut melibatkan pemerintah daerah. Persidangan beberapa tersangka kasus PON Riau di Pengadilan Tipikor Riau juga mengungkapkan adanya aliran dana ke DPR. Lukman Abbas saat bersaksi beberapa waktu lalu mengaku menyerahkan uang sebesar 1.050.000 dollar AS (sekitar Rp9 miliar) kepada Kahar Muzakir, anggota Komisi X DPR dari Partai Golkar. Penyerahan uang merupakan langkah permintaan bantuan PON dari dana APBN Rp 290 miliar. Lukman mengatakan menemani Gubernur Riau Rusli Zainal untuk mengajukan proposal bantuan dana APBN untuk keperluan PON melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga senilai Rp 290 miliar. Proposal itu disampaikan Rusli kepada Setya Novanto dari Fraksi Partai Golkar. Untuk memuluskan langkah itu harus disediakan dana 1.050.000 dollar AS. Setya mengaku bertemu dengan Gubernur Riau Rusli Zainal namun membantah pertemuan itu membicarakan soal PON Riau. Lukman juga mengatakan, ada 12 anggota Komisi X DPR menerima 102 bingkisan kain sarung dan uang 5.000 dollar AS dalam amplop tertutup saat mengunjungi venue PON. Sejak KPK mengusut kasus dugaan suap revisi perda PON XVIII Riau. Pihak Imigrasi telah mengeluarkan surat pencekalan terhadap 9 orang tersangka, pihak yang dicekal tersebut antara lain : Gubernur Riau H.M Rusli Zainal, Said Faisal selaku Ajudan Gubernur Riau dan tujuh anggota DPRD juga telah dilakukan pencekalan yakni Abu Bakar Siddik (Golkar), Zulfan Heri (Golkar), Adrian Ali (PAN), Syarif Hidayat (PPP), M Roem Zein (PPP), Tengku Muhazza (Demokrat) dan Tourechan Ans’ari (PDIP). KPK telah mengajukan permohonan pencekalan terhadap Gubernur Riau H.M Rusli Zainal sejak tanggal 10 April 2012 dengan alasan pencekalan untuk membantu KPK dalam kelancaran proses penyelidikan kasus dugaan korupsi pembangunan venue PON. Sedangkan Said Faisal dicekal pada tanggal 22 juni 2012 yang mana sebelumnya Said Faisal telah menjalani pemeriksaan KPK pada tanggal 5 juni 2012. Selain itu, tujuh anggota DPRD juga yakni Abu Bakar Siddik (Golkar), Zulfan Heri (Golkar), Adrian Ali (PAN), Syarif Hidayat (PPP), M Roem Zein (PPP), Tengku Muhazza (Demokrat) dan Tourechan Ans’ari (PDIP) juga telah dicekal pada tanggal 23 Oktober hingga enam bulan kedepan yakni pada April 2012 mendatang.98 98 Website GOOGLE,www.riau terkini.com/hukumphp?arr=53414 (terakhir kali dikunjungi tanggal 13 Februari 2013 Pukul 13.25). 103 Berkenaan dengan kasus PON Riau yang telah penulis paparkan diatas, hal yang menjadi sentral penelitian tesis ini adalah mengenai pencekalan KPK terhadap Gubernur Riau H.M Rusli Zainal. KPK telah mengajukan permohonan pencekalan terhadap Gubernur Riau H.M Rusli Zainal sejak tanggal 10 April 2012 dengan alasan pencekalan untuk membantu KPK dalam kelancaran proses penyelidikan kasus dugaan korupsi pembangunan venue PON. KPK dapat melakukan tindakan pencegahan ketika proses penyelidikan telah dimulai. Tidak ada batasan siapa saja yang tidak boleh dicegah pada tahap ini. Artinya, sepanjang seseorang berstatus saksi maka orang tersebut dapat dicegah keluar negeri. Sebagai contoh, dapat dilihat pada kasus pencekalan Gubernur Provinsi Riau M Rusli Zainal yang menjadi saksi dalam perkara dugaan suap pembangunan venue PON 2012 yang terjadi di daerahnya. Tanpa penjelasan yang dapat dipahami oleh publik, Gubernur Provinsi Riau M Rusli Zainal telah dicegah keluar negeri oleh KPK. Penjelasan itu penting agar kemudian publik dapat memahami limitasi atau batasan yang dijadikan pegangan oleh KPK dalam mencegah seseorang keluar negeri. Walaupun kini diketahui bahwa Gubernur Riau H.M Rusli Zainal telah ditetapkan sebagai tersangka, namun pencegahan terhadap dirinya telah dilakukan pada statusnya sebagai saksi pada tahap penyelidikan. Tanpa batasan atau kriteria yang dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara dugaan suap pembangunan venue PON 2012 itu tidak dicegah keluar negeri. Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama terhadap para saksi seperti Johar Firdaus selaku Ketua DPRD 104 dari Fraksi Golkar dan anggota dewan lainnya yakni AB Purba (PDIP), Iwa Bibra (Golkar), Ramli FE, Ramli Sanur, Riky Hariansyah, Indra Isnaini, serta Ketua Bapedda Ramli Walid dan Wan syamsir selaku Sekda Provinsi Riau ? Salah satu contoh bahwa dalam persidangan Taufan Andoso Yakin pada tanggal 11 Desember 201, adanya dugaan keterlibatan Johar Firdaus dalam mengkondisikan uang lelah untuk sejumlah anggota Pansus Revisi Perda lapangan tembak PON Riau. Taufan juga menyebutkan bahwa Johar Firdaus pernah menelpon Zulfan Heri sebagai Ketua Badan Legislasi DPRD Riau untuk memasukan Revisi Perda No 5 Tahun 2006 dalam agenda rapat paripurna tanggal 3 April 2012 bersamaan dengan pengesahan Revisi Perda No 6 Tahun 2010. Hingga kini ketua DPRD Riau ini masih berstatus saksi dan tidak pernah dicekal, lain hal nya dengan Gubernur Riau yang dicekal dalam status nya sebagai saksi. Kekhawatiran apabila tidak ada batasan, aturan dan atau tolok ukur yang dapat dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, hal tersebut tentunya akan membuka peluang terjadinya diskriminasi yang pada akhirnya melanggar asas equality before the law dan kepastian hukum yang adil dan juga berujung pada pelanggaran HAM yang diatur dalam Konstitusi, Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 Tentang Hak Asasi Manusia. 105 Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK tentunya harus berdasarkan asas keterbukaan atau asas transparansi yang merupakan salah satu asas yang harus dipenuhi. Secara terbuka atau transparan artinya KPK dalam menyelesaikan kasus ini harus memberikan informasi yang jelas dan terang benderang kepada masyarakat Riau pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sehingga masyarakat bisa mengetahui dengan jelas proses yang sedang berlangsung terhadap pihak–pihak terkait dalam kasus ini. Hal yang perlu dihindari ketika kasus ini hanya menjadi konsumsi elit pejabat atau elit politik saja. Dengan informasi yang akurat maka masyarakat juga akan bisa mengawal dan memantau serta mendorong agar kasus ini bisa diselesaikan dengan seadil–adilnya yang pada akhir kita berharap bahwa prilaku suap bisa diubah dan dihentikan oleh oknum–oknum pejabat dan pemimpin kita. 3.2. Pencekalan Mahfud Suroso Terkait Kasus Hambalang. KPK mulai menyelidiki proyek Hambalang sejak Agustus tahun 2011. Jumlah anggaran proyek Hambalang tersebut senilai Rp 2,5 triliun yakni terdiri dari sekitar Rp 1,4 triliun untuk pengadaan barang dan Rp 1,1 triliun biaya pembangunan gedung. KPK mendalami tindak pidana korupsi di proyek Hambalang terindikasi pada dua peristiwa. Pertama, pada proses penerbitan sertifikat tanah Hambalang di Jawa Barat. Kedua, pelaksanaan proyek Hambalang yang dilakukan secara tahun jamak. KPK menyelidiki kasus Hambalang setelah mengembangkan penyidikan kasus suap proyek wisma atlet SEA Games. 106 Proyek Hambalang dimulai sekitar tahun 2003. Proyek yang dikabarkan ada dugaan korupsi seperti ‘nyanyian’ M. Nazaruddin ini ditargetkan selesai akhir tahun 2012. Proyek pusat olahraga di Hambalang Bogor Jawa Barat menjadi sorotan publik, apalagi dua bangunan telah ambruk dikarenakan tanahnya ambles. Secara kronologi, proyek ini bermula pada Oktober Tahun 2009. Saat itu Kemenpora (Kementerian Pemuda dan Olah Raga) menilai perlu ada Pusat Pendidikan Latihan dan Sekolah Olah Raga pada tingkat nasional. Maka, Kemenpora memandang perlu untuk melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan proyek pusat pendidikan pelatihan dan sekolah olahraga nasional di Hambalang, Bogor. Selain untuk meningkatkan dan menyempurnakan pembangunan proyek pusat pendidikan pelatihan dan sekolah olahraga nasional, hal ini juga dilakukan dalam rangka untuk mengimplementasikan UU Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Pada 20 Januari 2010, sertifikat hak pakai nomor 60 terbit atas nama Kemenpora dengan luas tanah 312.448 meter persegi. Pada 30 Desember 2010, terbit Keputusan Bupati Bogor nomor 641/003.21/00910/BPT 2010 yang berisi Izin Mendirikan Bangunan untuk Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional atas nama Kemenpora di desa Hambalang, Kecamatan Citeureup Bogor. Pembangunan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional mulai dilanjutkan pada tahun 2010 dan direncanakan selesai tahun 2012. Untuk membangun semua fasilitas dan prasarana sesuai dengan master plan yang telah disempurnakan, anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 1,75 triliun. Berdasarkan hasil perhitungan konsultan perencana Anggaran Rp 1,75 triliun ini sudah termasuk 107 bangunan sport science, asrama atlet senior, lapangan menembak, extreme sport, panggung terbuka, dan voli pasir. Sejak tahun 2009-2010 Kementerian Keuangan dan DPR menyetujui alokasi anggaran sebagai berikut : 1. APBN murni 2010 sebesar Rp 125 miliar yang telah diajukan pada tahun 2009. 2. APBNP 2010 sebesar Rp 150 miliar. 3. Pagu definitif APBN murni 2011 sebesar Rp 400 miliar Pada 6 Desember 2010 keluar surat persetujuan kontrak tahun jamak dari Kemenkeu RI nomor S-553/MK.2/2010. Pekerjaan pembangunan direncanakan selesai pada akhir tahun yakni 31 Desember 2012. Penerimaan siswa baru diharapkan akan dilaksanakan tahun 2013-2014. Pada tahun 2003-2004 masih di Direktorat Jenderal (Ditjen) Olahraga Depdikbud, Proyek ini digelontorkan pada tahun itu sesuai dengan kebutuhan akan pusat pendidikan dan pelatihan olahraga yang bertaraf internasional. Selain itu untuk menambah fasilitas olahraga. Pada tahun itu direkomendasikan 3 wilayah yaitu Hambalang Bogor, Desa Karang Pawitan, dan Cariuk Bogor. Akhirnya yang dipilih Hambalang. Pada Tahun 2004, Dilakukan pembayaran para penggarap lahan di lokasi tersebut dan sudah dibangun mesjid, asrama, lapangan sepakbola dan pagar. Tahun 2004-2009, Proyek di Ditjen Olahraga Kemendikbud dipindahkan di Kemenpora. Lalu dilaksanakan pengurusan sertifikat tanah Hambalang tapi tidak selesai. Penganggaran pembuatan maket dan masterplan dilakukan pada tahun 2006. Dari rencana awalnya pusat peningkatan olahraga nasional menjadi pusat untuk atlet nasional dan atlet elite. Pada tahun 2007, 108 Diusulkan perubahan nama dari Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga Nasional menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional. Pengajuan anggaran pembangunan dan mendapat alokasi sebesar Rp 125 miliar dilakukan pada tahun 2009, tapi tidak dapat dicairkan (dibintangi) karena surat tanah Hambalang belum selesai. Pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat Keputusan Kepala BPN RI Nomor 1/ HP/ BPN RI/2010 tentang Pemberian Hak Pakai atas nama Kemenpora atas tanah di Kabupaten Bogor- Jawa Barat dan berdasarkan Surat Keputusan tersebut kemudian pada tanggal 20 Januari diterbitkan sertifikat hak pakai nomor 60 atas nama Kemenpora dengan luas tanah 312.448 m2. Kemudian pada tanggal 30 Desember 2010 keluar IMB. Pada tahun 2010 juga ada perubahan kembali yakni penambahan fasilitas sarana dan prasarana antara lain bangunan sport sains, asrama atlet senior, lapangan menembak, ekstrem sport, panggung terbuka dan voli pasir dengan dibutuhkan anggaran Rp 1,75 triliun. Kemudian sejak 2009-2010 sudah dikeluarkan anggaran total Rp 675 miliar. Pada tanggal 6 Desember 2010 keluar surat kontrak tahun jamak dari Kemenkeu untuk pembangunan proyek sebesar Rp 1,75 triliun dan pengajuan pembelian alat- alat membengkak menjadi Rp 2,5 Triliun. Menurut penelusuran tim investigasi dari seputarnusantara.com, Pada awal Desember tahun 2009 Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Bendahara Fraksi Partai Demokrat M. Nazaruddin meminta tolong kepada Ignatius Mulyono selaku anggota Komisi II DPR yang juga menjabat sebagai Ketua Baleg DPR RI agar Ignatius Mulyono menanyakan kepada BPN (Badan Pertanahan 109 Nasional) lewat telepon perihal surat tanah Kemenpora yang belum kunjung selesai. BPN merupakan mitra kerja Komisi II DPR RI, oleh karena itu Ignatius Mulyono bersedia membantu menanyakan kepada BPN perihal sertifikat tanah Hambalang tersebut. Kemudian pada tanggal 6 Januari 2010, Surat Keputusan atas nama Kemenpora terbit dari BPN. Ignatius Mulyono ditelepon oleh Sestama BPN bahwa Surat Keputusan sudah selesai dan agar diambil ke BPN. Selanjutnya Ignatius Mulyono mengambil Surat Keputusan tanah tersebut dan langsung menyerahkan kepada Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Pada tanggal 6 Januari 2010, ternyata yang diterima oleh Ignatius Mulyono dari Sestama BPN bukanlah berupa Sertifikat tetapi hanya berupa Surat Keputusan Kepala BPN RI.99 Awal mula proyek Hambalang menjadi kasus publik adalah setelah keluarnya Sertifikat Hambalang Nomor 60 tanggal 20 Januari 2010. Pada Rapat Kerja Menpora dengan Komisi X DPR RI, Menpora mengajukan pencabutan bintang (anggaran Rp 125 Miliar) dan mengusulkan peningkatan program penambahan sarana dan prasarana sport centre dll, sehingga mengajukan anggaran menjadi Rp 1,75 Triliun. Bahkan usulan tambahan pembelian alat- alat menjadi proyek Hambalang membutuhkan dana sampai Rp 2,5 triliun. Kemudian yang menjadi tanda tanya besar adalah ketika proses perubahan besarnya anggaran dari Rp 125 Miliar menjadi Rp 1,175 Triliun bahkan berkembang untuk alokasi anggaran pengadaan alat olahraga senilai Rp 1,4 triliun sehingga total proyek menjadi Rp 2,57 Triliun tidak melalui tahapan- tahapan yang semestinya, dimana dalam pembahasannya seharusnya mengikutsertakan seluruh anggota Komisi X DPR RI. Masalah ini perlu terus 99 Website GOOGLE, www. seputarnusantara.com/?p=13559 (terakhir kali dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 17.55) 110 ditelusuri untuk membuka secara jelas dan gamblang siapa sebenarnya yang terlibat kasus Hambalang ini, termasuk membongkar siapa aktor intelektual yang mengendalikan serta pembongkaran terhadap pelaksanaan tender dan siapa yang menerima pembagian “penghargaan jasa” melicinkan kenaikan anggaran dan pemenangan kontraktor pada proses tender. Terkait kasus Hambalang, aktivis Indonesia Corruption Watch yakni Tama S Langkun menyatakan KPK belum jeli melakukan pemeriksaan. Aktivis muda ini merinci, ada tiga poin pemeriksaan yang belum didalami oleh penyidik KPK secara maksimal. Pertama, mengenai dampak kebijakan pengguna anggaran dalam proyek tersebut. Kedua, mengenai aturan main proses tender. Ketiga, pengubahan rentang waktu pengerjaan dari single years ke multi years yang diduga ilegal. Berkenaan dengan kebijakan pejabat pengguna anggaran dalam kasus ini adalah Menpora, Andi Mallarangeng sudah semestinya KPK dapat mengambil kesimpulan. Kebijakan apa saja yang telah dikeluarkan yang bersangkutan dalam proyek tersebut. Sehingga, ada upaya mensubkan ke kontraktor atau pihak lain. “Apakah memang Menteri yang meminta ke kontraktor pemenang tender untuk mensubkan atau tidak ”. Kedua, dalam proyek senilai Rp 2,5 trilun itu menjadi penting diselidiki mengenai mekanisme tender apakah sesuai dengan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Tentunya, proyek Hambalang ini wajib menempuh proses tender. Perlu untuk diselidiki alasan PT. Wijaya Karya (Wika) menjadi pemenang, alasan Wika mensubkan sebagian pekerjaannya ke PT. Dutasari Ciptalaras dan apakah sudah sesuai prosedur. Ketiga yang tak kalah penting yakni mengenai rentang waktu pengerjaan dari single years 111 menjadi multi years. “Apakah ini juga atas persetujuan Andi Mallarangeng? Karena seluruh perubahan tentang proyek instansi pemerintah harus dengan persetujuan pejabat kuasa anggaran di departemen yang bersangkutan.”.100 Dalam kasus korupsi proyek Hambalang, KPK telah menetapkan Deddy Kusdinar selaku mantan Kepala Biro Perencanaan dan Rumah Tangga Kementerian Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng selaku mantan Menteri Pemuda dan Olahraga serta Anas Urbaningrum sebagai tersangka. Pada tanggal 3 Desember 2012 KPK sudah mengirim surat pencekalan terhadap Andi Malarangeng , Adik kandung dari menpora bernama Andi Zulkarnain Mallarangeng, dan M. Arief Taufiqurahman selaku Kepala divisi Konstruksi PT. Adhi Karya kepada Direktur Jendral Imigrasi Kementrian Hukum dan HAM dengan surat bernomor 4569/01-23-12-2012. Dalam surat pencekalan KPK tersebut diketahui bahwa Andi malarangeng di cekal dalam statusnya sebagai tersangka. Pencekalan Menpora Andi Mallarangeng ke luar negeri terkait pengembangan penyelidikan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan sarana olahraga nasional di Hambalang, Jawa Barat. Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) juga telah melakukan cekal terhadap Direktur PT. Dutasari Citralaras yang bernama Mahfud Suroso agar yang bersangkutan tidak bepergian ke luar negeri. Pencekalan terhadap Mahfud Suroso ini dilakukan atas permintaan KPK untuk membantu proses penyelidikan kasus Hambalang. Permintaan cekal tersebut diajukan KPK sejak tanggal 27 April dan berakhir setelah enam bulan kedepan yakni 100 Website GOOGLE, www.beritawmc.com/2012/06/.../soal-hambalang-kpk-dinilai-tidakjelas) terakhir kali dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 17.35) 112 pada bulan Oktober. Selain itu, KPK juga mencekal tiga Direktur terkait kasus pembangunan sport center di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat pada tanggal 25 Januari 2013. Mereka adalah Mandiri Santoso selaku Direktur PT. Ciriajasa Cipta, Yudi Wahyono selaku Direktur PT. Yodya Karya, serta Direktur CV. Rifa Medika bernama Lisa Lukitawati. PT. Ciriajasa Cipta merupakan perusahaan konsultan yang menawarkan jasa konsultasi di bidang manajemen proyek konstruksi. PT. Yodya Karya merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di jasa konstruksi dan CV. Rifa Medika adalah perusahaan konsultasi penyedia jasa perlengkapan kesehatan serta pelatihan simulasi pendidikan kesehatan. PT. Dutasari Citralaras merupakan perusahaan sub kontrak dari dua BUMN yakni PT. Adhi Karya dan PT Wijaya Karya yang melakukan join operation untuk menggarap proyek sarana olahraga di Hambalang, Jawa Barat. Menurut Wakil Ketua KPK lainnya Bambang Widjojanto, PT. Dutasari Citralaras mendapatkan pekerjaan sub kontraktor dari PT. Adhi Karya sebesar Rp 300 miliar. PT. Dutasari mengerjakan proyek Hambalang di bidang konstruksi. Nilai pekerjaan di bidang konstruksi proyek Hambalang sendiri menurut Bambang sebesar Rp 1,1 triliun. Kecurigaan KPK terhadap PT. Dutasari Citralaras ini terbukti dengan adanya sejumlah pemeriksaan terhadap petinggi dan mantan petinggi perusahaan ini.101 101 Website GOOGLE,www.konstruksi-stel.blogspot.com › hukum (terakhir kali dikunjungi tanggal 15 Februari 2013 Pukul 17.35) 113 Mahfud Suroso diduga berperan besar dalam proyek Hambalang, hal ini dikarenakan Mahfud Suroso juga terlibat mengurus sertifikat tanah di lokasi proyek seluas 31 hektare. Muhammad Nazaruddin selaku Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang membeberkan peran Mahfud Suroso tersebut. Menurut Nazar, Mahfud Suroso memberi uang pelicin kepada Joyo Winoto selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional agar pengurusan sertifikat Hambalang mulus. Mahfud Suroso juga memberi pelicin kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Komisi X DPR agar PT. Adhi Karya menjadi rekanan proyek berbiaya Rp 1,07 triliun itu. Pengurusan sertifikat Hambalang dilakukan sejak 2004, namun baru berhasil pada 2009. Diduga kuat, sertifikat tanah Hambalang dapat terbit karena peran Mahfud Suroso selaku Direktur PT. Dutasari Citralaras , Anas Urbaningrum selaku Ketua Umum Partai Demokrat, Ignatius Mulyono selaku anggota DPR dari Partai Demokrat dan Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat bernama M. Nazaruddin.102 Berkenaan dengan penyelidikan dalam kasus Hambalang ini, lebih dari 70 orang diperiksa telah KPK. Pihak-pihak yang telah diperiksa terkait penyelidikan kasus Hambalang ini antara lain : Menteri Pemuda dan Olahraga yakni Andi Mallarangeng, Mahfud Suroso selaku pengurus PT. Dutasari Citralaras, istri Anas Urbaningrum bernama Athiyyah Laila, Munadi Herlambang selaku pejabat Partai Demokrat, Joyo Winoto selaku mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional, anggota 102 Website GOOGLE, www.tempo.co/.../Terlibat-Kasus-Hambalang-Mahfud-Suroso Dicekal (terakhir kali dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 16.35). 114 Komisi II DPR bernama Ignatius Mulyono dan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yakni Muhammad Nazaruddin.103 Dalam mengembangkan penyelidikan kasus ini KPK juga telah memeriksa sejumlah pihak terkait selain yang telah penulis sebutkan di atas seperti Anas Urbaningrum. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum telah dua kali diminta keterangan dalam kasus ini. Mantan anggota Komisi X DPR ini dicecar soal pengurusan sertifikat Hambalang pada pemeriksaan perdana. Adapun dalam pemeriksaan kedua, Anas Urbaningrum dicecar mulai dari hubungannya dengan PT. Adhi Karya hingga kepemilikan mobil yang selama ini disebut Muhammad Nazaruddin diperoleh terkait proyek Hambalang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat lalu telah menetapkan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum sebagai tersangka pada kasus dugaan pemberian hadiah dan janji terkait proyek pembangunan pusat sarana dan prasarana olahraga Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Surat perintah penyidikan (Sprindik) atas nama tersangka Anas ini ditandatangani oleh Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Menurut Johan, penandatanganan ini dilakukan setelah seluruh pimpinan KPK bersama tim penyelidik melakukan gelar perkara (ekspose). Kemudian dari hasil pemaparan tim penyelidik, seluruh pimpinan KPK bersepakat untuk meningkatkan kasus ini dari tahap penyelidikan ke penyidikan dengan menetapkan Anas sebagai tersangka. Atas 103 Website GOOGLE, www.beritawmc.com/2012/06/.../soal-hambalang-kpk-dinilai-tidakjelas) terakhir kali dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 17.35). 115 perbuatannya itu, Anas disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b dan atau Pasal 11 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.104 Anas Urbaningrum diperiksa KPK pada tanggal 27 Juni 2012 dan pada tanggal 4 Juli 2012. Dalam pemeriksaan pertama, KPK mempertanyakan masalah yang terkait kepengurusan Demokrat dan kabar intervensinya dalam proses penerbitan sertifikat tanah di Hambalang. Untuk pemeriksaan kedua, Anas Urbaningrum dicecar soal proyek Hambalang dan dugaan penerimaan mobil Harrier dari duit proyek tersebut. Seluruh tudingan yang mengarah pada dugaan korupsi sudah dibantah Anas. Selain Anas Urbaningrum , KPK juga telah meminta keterangan istri Anas yang bernama Athiyyah Laila. Athiyyah Laila diperiksa dalam kapasitas sebagai mantan Komisaris PT. Dutasari Citralaras. Perusahaan tersebut merupakan pihak yang menjadi subkontraktor PT. Adhi Karya dalam proyek Hambalang. Mahfud Suroso yang juga merupakan pemegang saham PT. Dutasari Citralaras juga berkalikali diperiksa KPK. KPK pun telah melarang Mahfud Suroso bepergian ke luar negeri terkait penyelidikan kasus ini. Sementara Dirut PT. MSons Capital sekaligus Sekretaris Departemen Pemuda dan Olahraga DPP Partai Demokrat bernama Munadi Herlambang merupakan salah satu pemegang saham di PT. Dutasari Citralaras juga telah diminta keterangan. Kemudian, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto dan anggota Komisi II DPR Ignatius Mulyono juga pernah diminta keterangan. 104 Website GOOGLE, www.news.liputan6.com/anas+urbaningrum (terakhir kali dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 17.55). 116 Berkenaan dengan kasus hambalang yang telah penulis paparkan diatas tentunya sangat berkaitan dengan telah dilakukannya pencekalan terhadap Mahfud suroso. Tanpa tolok ukur atau kriteria yang dapat dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara Hambalang itu tidak dicegah keluar negeri ? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama terhadap pihak-pihak yang juga diperiksa dalam tahap penyelidikan seperti Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang telah diperiksa beberapa kali oleh KPK, pengurus PT. Dutasari Citralaras yakni istri Anas Urbaningrum bernama Athiyyah Laila, pejabat Partai Demokrat bernama Munadi Herlambang, mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional bernama Joyo Winoto, anggota Komisi II DPR yakni Ignatius Mulyono dan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.105 Hal tersebut yang dimaksud dengan peluang untuk berbuat diskriminasi dan tentunya bertentangan dengan asas persamaan di depan hukum atau equality before the law. Apalagi jika dipahami bahwa tidak setiap pemeriksaan di tahap penyidikan memiliki relevansi untuk kemudian dimasukkan keterangannya dalam berkas perkara. Terlebih lagi bila dengan niat tertentu, penyidik memanggil seseorang untuk kemudian diperiksa lalu dikenakan tindakan pencegahan padahal orang yang sama tidak ada kaitannya dengan penyidikan. 105 Website GOOGLE, http//www.beritawmc.com (terakhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 14.00). 117 C. Pencekalan Ridwan Hakim Terkait Kasus Pengurusan Kuota Impor Daging Sapi Mahalnya harga daging sapi di tengah obsesi pemerintah untuk mewujudkan swasembada menjadikan kasus korupsi yang melibatkan petinggi PKS bukan lagi sekadar masalah hukum semata namun isu kartel impor pangan juga mengemuka. Fakta menunjukkan bahwa pemerintah mengalami kesulitan yang sangat besar untuk mewujudkan swasembada pangan. Ini adalah realitas yang tidak terbantahkan. Dalam soal daging sapi, rencana pemerintah untuk mewujudkan swasembada daging sapi kini justru dinilai amburadul atau dapat dikatakan kacau. Hal ini di akibatkan oleh penurunan kuota impor daging sapi secara drastis rupanya tidak diikuti dengan pasokan daging sapi dari peternak dalam negeri secara memadai. Akibatnya, terjadi lonjakan harga di pasaran yang disebabkan timpangnya permintaan dan pasokan. Langkah pemerintah mencoba membatasi impor sebagai konsekuensi logis swasembada justru menimbulkan masalah baru.106 Realitas ini menimbulkan dampak ekonomi terhadap berbagai pihak, termasuk pedagang bakso. Pelaku bakso oplosan daging babi, yang menggemparkan publik beberapa waktu lalu mengaku melakukan tindakan itu karena harga daging sapi yang sangat mahal. Swasembada pangan adalah tujuan nasional yang mesti diwujudkan. Ketergantungan yang terlalu besar pada pangan impor sangat tidak menguntungkan dalam jangka panjang. Sejalan dengan itu, diingatkan bahwa perwujudan swasembada mutlak membutuhkan usaha positif. Tersedianya data sensus sapi yang akurat merupakan salah satu energi yang 106 Website GOOGLE, http//www.businessnews.co.id›Headline(terakhir kali dikunjungi tanggal 20 Maret 2013 Pukul 16.00). 118 sangat penting untuk mengatur kuota impor daging sapi atau apakah kran impor sudah mesti ditutup. Tiadanya data yang akurat menjadikan hasil sensus sapi pun diragukan berbagai pihak. Jika data sensus itu tidak akurat maka kebijakan terkait impor dipastikan akan menimbulkan masalah baru, antara lain kelangkaan di dalam negeri seperti yang terjadi pada daging sapi akhir-akhir ini. Tiadanya data yang akurat juga menjadi celah untuk mempermainkan kuota impor yang kemudian memberi peluang munculnya korupsi. Apa yang dikemukakan di sini yakni agar pembuat kebijakan menjadikan data sebagai instrumen analisis dalam membuat kebijakan semakin mendesak untuk diterapkan. Kebijakan terkait kuota impor daging mesti bertitik tolak dari kemampuan elemen dalam negeri. Selain data usaha energi yang juga sangat penting dalam perwujudan swasembada pangan ialah logistik. Pengalaman menunjukkan bahwa tidak teratasinya masalah logistik menyebabkan distribusi bahan pangan dari daerah produsen ke daerah konsumen seringkali terhambat. Kondisi tersebut lalu menyebabkan kelangkaan dan memicu kenaikan harga di daerah konsumen, meskipun di daerah produsen terjadi kelebihan pasokan. Logistik memang merupakan masalah yang sangat serius di negara kepulauan seperti Indonesia. Swasembada adalah soal kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dengan kekuatan sendiri, namun swasembada menjadi persoalan ketika ia tidak dapat melayani kebutuhan internal secara berkesinambungan yang menyebabkan kelangkaan pasokan dan kenaikan harga. Swasembada akan menjadi masalah jika penutupan kran impor justru memicu kelangkaan dan kenaikan harga di dalam negeri. Tentu, bukan ini yang kita harapkan dari upaya menciptakan swasembada daging sapi. 119 Dengan alasan untuk mendorong swasembada daging sapi lokal, Menteri Pertanian Suswono memotong kuota impor yang biasanya 120 ribu ton per tahun menjadi hanya 50 ribu ton pada Januari 2011. Pada semester pertama 2011, impor bahkan dibatasi hanya 25 ribu ton. Kuota impor ini meresahkan pengusaha apalagi ada kabar bahwa kuota ini dibagikan dengan tidak adil. Ada makelar yang bermain, juga pengusaha yang dekat dengan petinggi Kementerian. Kisruh impor daging ini mencuat ke publik ketika Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan menahan 143 kontainer berisi daging impor di Jakarta International Container Terminal (JICT) Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara pada pertengahan Januari 2011. Ternyata 2.750 ton daging impor itu bermasalah. Sebanyak 51 kontainer dalam pengawasan Badan Karantina Pertanian, sisanya di bawah penanganan kepabeanan. Badan Karantina tidak meloloskan karena ada ketidaksesuaian keterangan di dalam surat izin impor meliputi negara asal, perbedaan jenis barang, dan kelebihan tonase. Bea dan Cukai belum mengizinkan daging-daging impor ke luar lantaran dokumen pemberitahuan impor barangnya belum lengkap. 107 Ketidaksesuaian dokumen ini terjadi karena pengusaha daging nekat mengimpor daging sapi dengan dokumen yang tenggatnya sangat pendek. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) Thomas Sembiring menjelaskan izin impor (Surat Persetujuan Pemasukan Daging) baru diterbitkan Kementerian Pertanian pada 15 Desember 2010 dengan tenggat dua pekan. Itu pun hanya untuk 15 ribu ton daging. Tenggat itu jelas tak masuk akal. Pengiriman daging biasanya makan waktu 3-5 pekan. Namun pengusaha nekat 107 Website GOOGLE, http//www.tempo.co/read/.../Suap-Daging-PKS-Begini-Awal-Mulanya (terakhir kali dikunjungi tanggal 20 Maret 2013 Pukul 16.40). 120 mengimpor karena biasanya surat izin impor bisa diperpanjang. Dirjen Peternakan berganti dari Tjeppy D. Soedjana ke Prabowo Respatiyo. Dirjen yang baru tidak memperpanjang izin, dan tertahanlah ribuan ton daging itu di Tanjung Priok.108 Kisruh impor daging ini membuat pengusaha berebut mencari celah untuk mendapatkan izin impor Kementerian Pertanian. Dari sinilah, skandal suap PKS bermula. Para makelar yang dekat dengan petinggi partai itu diklaim bisa mengusahakan izin impor dan kuota impor khusus untuk pengusaha. Salah seorang tersangka yang ditangkap KPK, Ahmad Fathanah diduga adalah makelar atau penghubung anata pengimpor daging dalam kasus ini PT. Indoguna Utama dengan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq yang diduga juga berpengaruh dalam pengambilan keputusan yang diambil Kementan. Kelangkaan dan terungkapnya kasus dugaan suap impor daging sapi baru-baru ini hanya sebagian dari cermin karut-marut politik pangan Indonesia. Sebagai negara agraris dengan sumber daya alam melimpah, pemenuhan berbagai kebutuhan pangan, termasuk daging sapi, harus ditutup dari impor. Kelangkaan daging sapi yang membuat harga daging melonjak tertinggi di dunia saat ini dan dibiarkan berlarut-larut membuat berbagai pihak kelimpungan. Kementerian Pertanian (Kementan) yang dipimpin Suswono terkait dengan proyek impor daging sapi yang terindikasi praktik suap tersebut. Hal ini dikarenakan Kementan memiliki kewenangan menentukan kuota setiap perusahaan yang ingin mengimpor daging sapi. Sementara terkait perizinan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menentukan. Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq yang diduga juga 121 berpengaruh dalam pengambilan keputusan yang diambil Kementan telah menggunakan pengaruhnya sebagai petinggi PKS untuk mempengaruhi kebijakan Mentan yang juga sebagai kader PKS untuk memuluskan PT. Indoguna Utama memperoleh kuota impor daging. Trading in influence atau penjualan pengaruh yang Luthfi lakukan dikarenakan Mentan juga merupakan kader PKS. Dalam pertemuan di Hotel Aryaduta Medan pada awal Januari itu terjadi pertemuan dengan beberapa pihak seperti Dirut PT Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman yang berusaha meyakinkan Suswono agar menaikkan kuota impor daging sapi pada 2013. KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap dua direktur PT. Indoguna yaitu Juard Effendi dan Arya Arbi Effendi. Keduanya ditangkap di rumah Arya karena telah memberikan uang Rp1 miliar kepada Ahmad Fathanah. Ahmad Fathanah sendiri juga ikut ditangkap KPK di lokasi berbeda yaitu Hotel Le Meridien. Dalam operasi itu, KPK menciduk Ahmad Fathanah yang diduga sebagai operator atau makelar impor daging yang melibatkan bekas Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq. Ahmad Fathanah ditangkap setelah menerima uang imbalan pengurusan kouta impor daging sapi di kantor PT. Indoguna pada siang harinya. Kemudian sehari setelah penangkapan Juard Effendi, Arya Arbi Effendi dan Ahmad Fathanah, KPK lantas juga menangkap mantan Presiden PKS bernama Luthfi Hasan Ishaaq. Lutfhi Hasan Ishaaq diduga ikut terlibat dalam suap ini. Uang Rp1 miliar yang diberikan kepada Ahmad Fathanah sesungguhnya ditujukan kepada Lutfhi Hasan Ishaaq. KPK menyita barang bukti berupa uang yang dibungkus dalam tas kresek hitam senilai 1 miliar rupiah sebagai nilai komitmen awal untuk mengamankan komitmen kuota impor daging sapi, uang itu merupakan bagian nilai suap seluruhnya 122 diduga mencapai 40 miliar rupiah dengan perhitungan commitment fee per kilogram daging adalah 5.000 rupiah dengan PT. Indoguna meminta kuota impor hingga 8.000 ton. Dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus dugaan suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian itu, KPK telah menetapkan empat orang sebagai tersangka yaitu Presiden PKS yang juga anggota Komisi I DPR Luthfi Hasan Ishaaq, dua direktur PT Indoguna Utama yaitu Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi, serta orang dekat Lutfi, Ahmad Fathanah. Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 dan atau pasal 13 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Sementara untuk Lutfhi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathanah, KPK menersangkakan dengan pasal 12 huruf a atau huruf b dan atau pasal 5 ayat 2 dan atau pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Kuota impor daging sapi tahun 2013 diketahui berjumlah 80 ribu ton. PT Indoguna diduga mendapatkan kuota impor sekitar 24 ribu. Di bulan Januari, DPR kembali memutuskan menambah kuota impor sebanyak 15 ribu ton. PT. Indoguna diduga ingin mendapatkan 50 persen dari kuota tambahan tersebut.109 109 Website GOOGLE, http//www.beritasatu.com/hukum/102411-kpk-periksa-sejumlah-saksidan.. (terakhir kali dikunjungi tanggal 22 Maret 2013 Pukul 16.40). 123 Dalam melakukan pengembangan atas kasus dugaan suap penentuan kuota impor daging di Kementerian Pertanian, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memanggil beberapa pihak untuk diperiksa sebagai saksi antara lain sebagai berikut : Agus Suganda (Pegawai Negeri Sipil), Maria Elizabeth Liman (Dirut PT. Indoguna Utama), Ahmad Junaedi (Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca panen Kementerian Pertanian), Ahmad Zaky (swasta), Syahrudin (swasta), Elda Deviane Adiningrat (swasta), Soewarso (swasta), Melani (karyawan PT. Indoguna Utama), Dina zelvia (swasta), Eka Pratiwi (swasta), Anna Retnowati (swasta), Mimin Juni Atin (swasta). Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan saksi silang antara empat tersangka kasus dugaan suap daging impor. Kesaksian keempat tersangka digunakan untuk memperkuat bukti. Arya Abdi Effendy (swasta), Juard Effendi (swasta) saksi untuk AAE, Ahmad Fatanah (swasta) saksi untuk JE, dan Luthfi Hasan Ishaaq (mantan presiden PKS) saksi untuk AF. Berkenaan dengan kasus pengususan kuota impor daging yang mana telah ditetapkannya empat orang sebagai tersangka yaitu Presiden PKS yang juga anggota Komisi I DPR bernama Luthfi Hasan Ishaaq, dua direktur PT Indoguna Utama yaitu Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi, serta orang dekat Lutfi yakni Ahmad Fathanah tentu nya membuat KPK terus bersemangat untuk menguak mengenai apa yang terjadi terkait kasus ini serta menyeret pihak-pihak yang tentu nya bertanggung jawab atas kerugian negara yang ditimbulkannya. Salah satu cara KPK untuk melakukan tugas dan kewenangannya selaku institusi yang selama ini masih dipercaya masyarakat Indonesia dalam rangka penegakan hukum guna memberantas 124 tindak pidana korupsi dikaitkan dengan kasus pengurusan daging sapi impor ini ialah dengan melakukan pencekalan terhadap beberapa orang yang di duga mengetahui kasus pengurusan daging sapi impor ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah memeriksa Ridwan Hakim sebagai saksi yang merupakan putra Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bernama Hilmi Aminuddin terkait kasus dugaan suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian (Kementan) tahun 2013. Ridwan Hakim yang mangkir dari panggilan pertama diperiksa sebagai saksi untuk keempat orang tersangka. Terkait peran Ridwan dalam kasus yang melibatkan mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq serta sejumlah pihak swasta lainnya, KPK belum bisa menjelaskannya secara rinci. Akan tetapi melihat dari pencegahan yang telah dilakukan dan juga status Ridwan yang merupakan salah seorang putra dari Ketua Majelis Syuro PKS yakni Hilmi Aminuddin ini diduga banyak mengetahui seputar proses penentuan kuota impor daging melalui pertemuan-pertemuan yang kerap dilakukan mantan Presiden PKS yakni Luthfi Hasan Ishaaq dengan pihak dari Kementan dan swasta. 110 Sebelumnya, Ridwan Hakim dicegah berdasarkan surat keputusan KPK nomor KEP.107/01-23/02/2013 yang berlaku per tanggal 8 Februari 2013. Bersamaan dengan Ridwan, KPK juga melakukan pencegahan terhadap tiga orang lain dari pihak swasta, yakni Ahmad Zaky, Rudy Susanto dan Jerry Roger. Namun, sehari sebelum dikirimkannya surat cegah ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi, Ridwan terlebih dahulu kabur ke luar negeri dengan pesawat Turkies Air TK67 pada Kamis 110 Website GOOGLE, http//www.koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/113355 (terakhir kali dikunjungi tanggal 20 Maret 2013 Pukul 18.50). 125 (7/2) pukul 18.49 WIB melalui Bandara Internasional Soekarno Hatta tujuan Istanbul. Atas pelariannya tersebut, Ridwan dianggap telah mangkir dari pemeriksaan KPK pertama. Untuk itu KPK pun sempat mempertimbangkan upaya pemanggilan paksa jika Ridwan tetap mangkir dalam pemanggilan keduanya sebagai saksi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah mengeluarkan surat pencegahan ke luar negeri kepada dua petinggi PT. Indoguna Utama yakni Soraya Kusuma Effendy selaku Komisaris PT. Indoguna Utama dan Maria Elizabeth Liman selaku Direktur Utama PT. Indoguna Utama, terkait penyidikan kasus pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Mereka dilarang mengadakan perjalanan ke luar negeri hingga enam bulan ke depan dan dicegah agar sewaktuwaktu diperiksa yang bersangkutan tidak sedang berada di luar negeri. Selain mencegah dua pentolan PT. Indoguna Utama, KPK juga mengeluarkan surat cegah atas nama Denny P Adiningrat selaku swasta. Mereka dicegah untuk jangka waktu enam bulan sejak 5 Februari 2013. Nama saksi-saksi yang dikenai pencekalan yakni Ridwan Hakim (putra Ketua Majelis Syuro PKS bernama Hilmi Aminuddin), Ahmad Zaky (Swasta), Rudy Susanto (Swasta), Jerry Roger (Swasta), Soraya Kusuma Effendy (Komisaris PT. Indoguna Utama), Maria Elizabeth Liman (Dirut PT. Indoguna Utama). Sedangkan nama saksi yang tidak dikenai pencekalan seperti Agus Suganda (Pegawai Negeri Sipil), Ahmad Junaedi (Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca panen Kementerian Pertanian), Syahrudin (swasta), Elda Deviane Adiningrat (swasta), 126 Soewarso (swasta), Melani (karyawan PT. Indoguna Utama), Dina zelvia (swasta), Eka Pratiwi (swasta), Anna Retnowati (swasta), Mimin Juni Atin (swasta). Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa KPK dapat melakukan pencekalan baik pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Dengan dipaparkannya nama saksi-saksi yang dikenai pencekalan dan nama-nama saksi yang tidak dikenai pencekalan pada kasus pengurusan kuota impor daging sapi ini, maka dapat kita simpulkan bahwa tidak semua saksi dalam kasus tindak pidana korupsi ini dapat dikenai pencekalan. Dengan tidak adanya tolok ukur atau kriteria yang diatur secara jelas dan transparan yang tentunya dapat dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara pengurusan kuota impor daging sapi itu tidak dicegah keluar negeri ? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama terhadap pihak-pihak yang juga diperiksa dalam tahap penyelidikan seperti Agus Suganda (Pegawai Negeri Sipil), Ahmad Junaedi (Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca panen Kementerian Pertanian), Syahrudin (swasta), Elda Deviane Adiningrat (swasta), Soewarso (swasta), Melani (karyawan PT. Indoguna Utama), Dina zelvia (swasta), Eka Pratiwi (swasta), Anna Retnowati (swasta), Mimin Juni Atin (swasta). Hal ini yang penulis maksudkan bahwa apabila tidak ada batasan, aturan dan atau tolok ukur yang dapat dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, hal tersebut tentunya dikhawatirkan akan membuka peluang terjadinya diskriminasi yang pada akhirnya melanggar asas equality before the law dan kepastian hukum yang adil dan juga berujung pada pelanggaran HAM yang diatur dalam Konstitusi dan Undang-Undang 127 No. 39 Tahun 2009 Tentang Hak Asasi Manusia dan peraturan perundang-undangan lainnya. BAB IV ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA 4.1. Kewenangan KPK Melakukan Pencekalan Terhadap Saksi Dalam Proses Penyelidikan Dikaitkan Dengan HAM Korupsi di Indonesia telah merambah ke seluruh lini kehidupan masyarakat dan dilakukan secara sistematis, sehingga dapat merusak perekonomian dan menghambat pembangunan serta memunculkan stigma negatif bagi bangsa dan negara Indonesia di dalam pergaulan masyarakat internasional. Korupsi yang melanda negara Indonesia sudah sangat serius dan merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) serta menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini terjadi karena perilaku korupsi merusak berbagai macam tatanan dalam kehidupan seperti tatanan hukum, tatanan politik, dan tatanan sosial budaya dari negara yang bersangkutan. Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi terkendala dan terus berpacu dengan munculnya beragam modus operandi korupsi yang semakin canggih (sophisticated). Tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas sehingga tindak pidana korupsi tersebut digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (extra ordinary 128 129 crime, extra ordinary action, extra ordinary court). Penanganan tindak pidana korupsi ini tidak boleh hanya dilakukan dengan cara-cara biasa (ordinary action) seperti penanganan terhadap tindak pidana umum. Logikanya, kalau suatu tindak pidana sudah digolongkan ke dalam tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime), sedangkan penanganannya hanya dilakukan melalui cara-cara yang biasa (ordinary action) melalui pengadilan biasa (ordinary court) maka sudah pasti hasilnya tidak sebagaimana yang diharapkan. Untuk mewujudkan negara hukum, tidak hanya diperlukan norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan saja sebagai subtansi hukum tetapi juga diperlukan aparatur penegak hukum sebagai penggeraknya atau sebagai struktur hukum dengan didukung oleh perilaku seluruh komponen masyarakat sebagai budaya hukum. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga diakibatkan oleh belum adanya keinginan dari aparat penegak hukum sendiri untuk melakukan perubahan internal, dimana telah bergesernya nilai-nilai yang dianut pengembang profesi hukum dan degradasi kualitas penegak hukum sendiri dan belum adanya niat untuk melakukan perubahan terhadap instansinya masing-masing. Faktor penyebab tumpulnya penegakan hukum juga disebabkan oleh sulitnya menemukan formula yang ampuh dalam memberantas korupsi yang sudah membudaya. Hal ini disebabkan karena korupsi sudah bersifat endemik dan sistematik. endemik disini dimaksudkan bahwa korupsi sudah menyebar secara luas (widespread) keseluruh lapisan birokrasi, khususnya lembaga peradilan (Judicial corruption) dan definisi dari sistematik adalah korupsi sudah masuk ke seluruh sistem pemerintahan dan perekonomian negara Indonesia. 130 Pembersihan dan reformasi institusi hukum diperlukan untuk meningkatkan peranan penegak hukum dalam penegakan hukum (law enforcement), sehingga penegakan hukum tidak akan dapat dilakukan jika aparat penegak hukum itu sendiri melakukan korupsi dan tidak ada kemauan untuk menegakkan hukum. Maka manusia (SDM) disini sangat penting untuk mensukseskan pemberantasan korupsi. Kelambanan pemberantasan korupsi di Indonesia antara lain disebabkan faktor manusia yaitu aparat penegak hukum yang bertugas memberantas korupsi. Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia tampak tersendat dan bahkan sering terjadi stagnasi sehingga telah menimbulkan citra yang negatif terhadap aparatur penegak hukum pada khususnya dan pemerintah pada umumnya yang merupakan salah satu faktor yang melatar belakangi di bentuknya komisi-komisi untuk masing-masing instrumen atau sub sistem dalam sistem peradilan pidana.111 Aplikasi atau penegakan hukum pidana yang tersedia tersebut dilaksanakan oleh instrumen-instrumen yang diberi wewenang oleh UU untuk melaksanakan kewenangan dan kekuasaannya masing-masing dan harus dilakukan dalam suatu upaya yang sistematis untuk dapat mencapai tujuannya. Upaya yang sistematis ini dilakukan dengan mempergunakan segenap unsur yang terlibat di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan (interelasi), serta saling mempengaruhi satu sama lain. Upaya yang demikian harus diwujudkan dalam sebuah sistem yang bertugas menjalankan penegakan hukum pidana tersebut, yaitu 111 Romli Atmasasmita, Op.cit. 131 Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sytem) yang pada hakikatnya merupakan “sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana”.112 Upaya penegakan hukum dalam hukum pidana tidak dapat dipandang sebagai tanggung jawab secara parsial dari pihak tertentu, hal tersebut dikarenakan adanya keterkaitan berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu sistem. Oleh karenanya, sebagai suatu sistem perlu dipahami mengenai sistem peradilan pidana itu sendiri. Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk juga penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, selain dibutuhkan seperangkat peraturan perundangundangan tentunya dibutuhkan juga instrumen penggeraknya yaitu institusi-institusi penegak hukum dan implementasinya melalui mekanisme kerja dalam sebuah sistem yang disebut sebagai sistem peradilan pidana (criminal justice system). Berbicara mengenai konstelasi penegakan hukum tindak pidana korupsi tentunya semua akan kembali dalam suatu sistem yang kemudian kita sebut sebagai Criminal Justice System atau sistem peradilan Pidana di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia juga telah memperlihatkan keseriusannya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Keseriusan itu terlihat dengan dikeluarkannya berbagai macam kebijakan baik dalam hal pencegahan (preventif) maupun penanganan (represif) tindak pidana korupsi antara lain ada nya Undangundang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Memperhatikan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 maka terdapat lembaga lain yang berwenang dalam hal penanganan perkara tindak pidana korupsi di luar sistem peradilan pidana yang ada 112 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2001, hlm.28. 132 di Indonesia selama ini yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam hal ini, KPK sudah cukup banyak mengungkap kasus-kasus korupsi kelas kakap di Indonesia. KPK sebagai sebuah lembaga penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana Indonesia merupakan suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dan secara lebih dalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyelesaian korupsi tidak dapat dilaksanakan hanya dengan menggunakan metode dan lembaga yang konvensional, tetapi harus dengan metode baru dan lembaga baru.113 KPK hadir sebagai lembaga yang memiliki tugas yang sangat besar. Masyarakat menumpukkan harapan pemberantasan korupsi kepada KPK. Pemberian kewenangan yang begitu luas, mengakibatkan KPK disebut-sebut sebagai superbody. Guna memberantas tindak pidana korupsi yang semakin merajalela ini KPK diberikan kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Pada penelitian tesis ini, penulis akan membatasi penelitian pada tahap penyelidikan. Adapun yang menjadi alasan pembatasan penelitian hanya pada tahap penyelidikan dikarenakan tindakan penyelidikan merupakan pintu gerbang mengenai dapat atau tidaknya suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana atau bukan. Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana di sebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. 113 Romli Atmasasmita, Op.cit, hlm.40. 133 Dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK ini khususnya dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, KPK diberikan kewenangan untuk dapat melakukan tindakan pencekalan, baik pencekalan yang dilakukan dalam tahap penyelidikan maupun dalam tahap penyidikan guna membantu proses penegakan hukum. Pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh instansi KPK dianggap sah dan dapat dilakukan oleh KPK berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi pemberantasan Korupsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pencekalan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c” : “Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri” Disatu sisi pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dilakukan untuk membantu proses penegakan hukum yang mana korupsi merupakan extraordinary crime maka diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa. Namun disisi yang lain pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dirasa bertentangan dengan asas hukum pidana yang berlaku yakni asas praduga tak bersalah, equality before the law, asas kepastian hukum yang adil, yang mana kesemua asas ini diatur dalam bab khusus konstitusi (BAB XA tentang HAM), Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain diatur dalam peraturan perundang-undangan diatas, asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence dan asas persamaan didepan hukum atau Equality before 134 the law juga dimuat dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga pada Pasal 10 Undang-Undang No 26 Tahun 200 tentang Pengadilan HAM. HAM diartikan sebagai hak yang melekat pada sifat manusia yang tanpa hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.114 Mencegah seseorang pergi ke luar negeri dalam tahap penyelidikan dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar penegakan hukum. Hal ini dinilai melanggar hak seseorang yang dijamin konstitusi, yaitu hak yang ditentukan dalam UUD 1945 yang terdapat pada Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D, Pasal 28 E ayat (1), Pasal 28I ayat (4) yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah negara hukum” “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memili pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali” “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah” Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau equality before the law dan kepastian hukum yang adil tidak secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, namun asas-asas tersebut tersirat baik dalam bagian Menimbang 114 Yesmil Anwar, Op.cit. 135 huruf a, kemudian juga pada bagian Penjelasan Umum angka 2 dan angka 3 KUHAP. Pada bagian Menimbang huruf a dari KUHAP berbunyi sebagai berikut: “Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum...” Pada bagian Penjelasan Umum KUHAP dikemukaan adanya sepuluh asas yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia. Dari kesepuluh asas tersebut, asas yang berkaitan dengan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan adalah Asas praduga tak bersalah (Presumption of innocent) dan mengenai perlakuan sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun. Sehubungan dengan hal diatas, pengaturan yang juga mencantumkan ketentuan mengenai perlindungan HAM dihubungkan dengan pencekalan dalam tahap penyelidikan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM ialah pada Pasal 3 ayat (2) dan (3), kemudian Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum” “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi” “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. 136 Tindakan pencegahan dan penangkalan terhadap seseorang sebelum ditetapkan sebagai tersangka atau dalam proses penyelidikan dinilai merupakan tindakan yang melanggar HAM. Selain melanggar asas hukum pidana yakni asas Presumption of innocent dan asas equality before the law yang tersirat dalam pasal 3 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Hal ini juga tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang berbunyi : “Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia” “Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Melihat Peraturan perundang-undangan diatas, terdapat pengaturan lain mengenai hal ini yang tercantum dalam Pasal 13 dari Universal Declaration Of Human Rights yang mana Republik Indonesia sendiri sebagai anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sangat menjunjung tinggi Universal Declaration of Human Rights. Pasal 13 dari Universal Declaration Of Human Rights yang berbunyi sebagai berikut : “(1) Everyone has the right to freedom of movement and residence. Within the borders of each state” “(2) Everyone has the right to leave any country, including his own, and to return to his country.” Terjemahan pasal di atas adalah sebagai berikut : “(1) Setiap orang memiliki hak untuk bergerak dan memilih tempat tinggal sepanjang berada dalam batas-batas wilayah negara, negara masing-masing. 137 ”(2) Setiap orang memiliki hak untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk negaranya sendiri, serta untuk kembali kenegaranya sendiri” Bila kita melihat dari logika hukum, hal ini dirasa tidak tepat pencekalan seseorang sebelum ditetapkan sebagai tersangka atau dalam proses penyelidikan hal ini bertentangan dengan asas hukum pidana yang berlaku yakni asas praduga tak bersalah. Seseorang yang masih dalam tahap penyelidikan, indikasi keterlibatan dalam suatu kasus masih sangat mentah atau prematur. Pada pasal 16 ayat (1) UU Keimigrasian dan UU tentang KPK, maka dapatlah ditarik penafsiran bahwa pejabat Imigrasi dan atau KPK menolak untuk keluar wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelidikan, pejabat imigrasi dapat menolak orang untuk keluar wilayah Indonesia jika ada dugaan tindak pidana. Hal ini bertentangan dengan hukum mengingat sifatnya yang sangat prematur atau dini. Bagaimana mungkin semata-mata karena adanya dugaan tindak pidana, seseorang dapat ditolak untuk keluar wilayah Indonesia. Belum berarti belum ada bukti yang cukup untuk diajukan ke pengadilan apabila cekal dilakukan pada saat proses penyelidikan. Sehubungan dengan hal ini, tentunya akan dapat menimbulkan gesekan antara kepentingan proses penegakan hukum dengan masalah HAM seorang individu yang dilindungi oleh UUD 1945. Secara harfiah, HAM adalah hak pokok atau hak dasar. Jadi, hak asasi itu merupakan hak yang bersifat fundamental sehingga keberadaannya merupakan suatu keharusan (conditio sine qua non) dan tidak dapat di ganggu gugat. Bahkan, harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan dari segala macam ancaman, hambatan, 138 dan gangguan dari sesamanya.115 Mencegah seseorang pergi ke luar negeri dalam tahap penyelidikan dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar penegakan hukum. Penolakan terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia ketika statusnya belum pasti menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana karena masih dalam tahap penyelidikan akan mudah dijadikan alasan untuk menghalangi gerak seseorang untuk keluar negeri. Apalagi dalam tahap penyelidikan, seseorang belum mengetahui apakah dirinya sedang dalam proses penyelidikan atau tidak dan proses penyelidikan itu tidak ada jangka waktu yang pasti sehingga tidak diketahui kapan harus berakhir. Pengenaan tindakan pencegahan dan penangkalan pada seorang saksi adalah tindakan yang melanggar HAM dan bertentangan dengan konstitusi pada Bab khusus tentang HAM, KUHAP dan juga Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Seseorang yang hanya karena terkait (belum tentu pula jadi tersangka) dengan sesuatu masalah kemudian kehilangan hak untuk bepergian ke luar negeri. Mengingat hampir tidak ada upaya paksa dalam sistem hukum negara ini yang dapat dipaksakan pada seorang saksi selain keharusan untuk hadir apabila dipanggil bahkan harus melalui tahapan-tahapan yang manusiawi dan proses secara patut. Ketentuan tersebut di atas sangat membuka ruang dan peluang bagi lembagalembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dengan mudahnya melarang hak asasi seseorang untuk bepergian dalam rangka melangsungkan hidup dan kehidupannya. 115 Ibid, hlm.60. 139 Berkaitan dengan adanya asas-asas yang menggambarkan penerapan HAM dalam proses peradilan pidana tersebut, asas yang paling penting adalah asas praduga tak bersalah (Presumption of innocent) dan asas persamaan kedudukan dalam hukum (Equality before the law). Pada dasarnya, kedua asas tersebut harus saling mengisi, sejalan dan harmonis yang kemudian diimplementasikan dalam peraturan-peraturan demi tegaknya hukum dan keadilan.Tanpa diterapkannya kedua asas ini mustahil peradilan yang adil dan benar dapat diwujudkan.116 Korupsi sebagai kejahatan luar biasa, yang dikenal dengan kejahatan ”kerah putih” (extra ordinary crime) sangat sulit untuk menemukan buktinya, maka dari itu harus pula dihadapi dengan upaya luar biasa juga, salah satunya adalah dengan cara pencekalan. Gangguan terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi yang berasal dari undang-undang disebabkan karena tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang dan belum ada peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang. Jika dikaitkan dengan penelitian ini, pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan tidak mencerminkan perhatian terhadap asas hukum pidana yang berlaku seperti yang telah dijelaskan diatas. Kemudian mengenai Peraturan pelaksana dari pengaturan pencekalan yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian ini belum ada, sehingga pada saat UndangUndang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian ini mulai berlaku, maka peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474) dinyatakan berlaku. 116 Ibid, hlm.85. 140 KPK sebagai lembaga yang termasuk dalam sistem peradilan pidana di Indonesia tentunya harus memperhatikan asas-asas yang terkandung dalam sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana di Indonesia yang berdasarkan UndangUndang No.8 Tahun 1981, memiliki sepuluh asas yang diantaranya adalah perlakuan yang sama dimuka hukum atau tanpa diskriminasi (equality before the law) apapun dan juga asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Berkenaan dengan pencekalan KPK dikaitan dengan teori penyelidikan, Bila dilihat dari hasil membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tindakan penyelidik kepada penyidik, salah satu syarat “tindakan lain” yang merupakan tindakan penyelidik untuk kepentingan penyelidikan berdasarkan penjelasan Pasal 5 huruf a angka 4 KUHAP adalah harus Menghormati HAM. Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana di sebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada penyidik. Selain ketidakberlakuannya asas Equality before the law dan Presumption of innocent merupakan gangguan penegakan hukum, kemudian termasuk sebagai asasasas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dan juga sebagai pedoman penyelidik untuk melakukan penyelidikan seperti yang dimaksud dalam Pasal 5 huruf a angka 4 KUHAP dan penjelasan umum butir 3c KUHAP, asas Equality before the law dan Presumption of innocent juga termaktub pada penjelasan 141 KUHAP yang mana ditemukan 10 (sepuluh) asas yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap “keluhuran harkat dan martabat manusia”. Berdasarkan putusan No. 40/PUU-IX/2011, majelis MK menyatakan pencekalan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum saat mereka sedang melakukan penyelidikan atas sebuah perkara pidana sebagai inkonstitusional. Dalam sidang putusan uji materi terhadap Pasal 16 ayat 1 huruf (b) Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, MK menyatakan pencegahan yang dilakukan oleh penegak hukum bagi seseorang untuk berpergian ke luar negeri sementara kasusnya masih dalam tahap penyelidikan bisa disalahgunakan untuk kepentingan di luar penegakan hukum. Menurut MK, hal itu berpotensi melanggar hak konstitusi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28E UUD 1945.117 Namun menurut analisis penulis disertai dengan adanya kegiatan wawancara langsung penulis dengan salah satu staf biro hukum KPK, Institusi KPK masih diperbolehkan mengajukan pencekalan dalam proses penyelidikan karena Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK memang mengatur secara khusus soal itu. KPK boleh mencekal karena UU KPK bersifat khusus atau disebut lex spesialis derogate lex generalis. Putusan MK yang membatalkan kata “penyelidikan” dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyangkut tindak pidana umum, sehingga putusan MK itu bukan untuk kasus korupsi yang ditangani KPK. Undang-Undang KPK bersifat khusus yang berarti memiliki kewenangan khusus pula, sama halnya seperti KPK tak berwenang mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) dan diperbolehkan menyadap. Undang- 117 Website GOOGLE, http//www.beritasatu.com/.../30595-mk-nyatakan-pencekalan-saat penyelidikan (terakhir kali dikunjungi tanggal 26 September 2012 Pukul 16.00). 142 Undang yang dilakukan yudicial review adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian bukan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga secara otomatis KPK masih tetap berwenang melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan. Kewenangan pencekalan KPK pada tahap penyelidikan sebagaimana yang telah diatur dalam UU no. 30 tahun 2002 ini telah di implementasikan oleh KPK pada beberapa kasus, diantaranya seperti yang telah penulis paparkan pada BAB terdahulu mengenai pencekalan terhadap Gubernur Riau bernama H.M. Rusli Zainal terkait PON XVIII di Provinsi Riau dan pencekalan KPK terhadap Mahfud Suroso terkait kasus Hambalang. Pada tanggal 10 April 2012, KPK telah mengajukan permohonan pencekalan terhadap Gubernur Riau H.M Rusli Zainal dengan alasan pencekalan dilakukan untuk membantu KPK dalam kelancaran proses penyelidikan kasus dugaan korupsi pembangunan venue PON dan jika sewaktu-waktu yang bersangkutan dimintai keterangan tidak sedang berada di luar negeri. Gubernur Riau H.M Rusli Zainal dicekal oleh KPK dalam status nya sebagai saksi. Tidak jauh berbeda dengan Gubernur Riau H.M Rusli Zainal dicekal oleh KPK dalam status nya sebagai saksi, Direkur PT. Dutasari Citralaras bernama Mahfud Suroso juga dicekal pada tanggal 27 April dan berakhir setelah enam bulan kedepan yakni pada bulan Oktober untuk membantu proses penyelidikan kasus Hambalang. Selain dua kasus diatas kemudian KPK juga melakukan pencekalan terhadap beberapa saksi terkait kasus pengurusan kuota impor daging sapi. Adapun nama saksi-saksi yang dikenai pencekalan pada tahap ini yakni Ridwan Hakim (putra Ketua Majelis Syuro PKS bernama Hilmi Aminuddin), Ahmad Zaky (Swasta), Rudy Susanto (Swasta), Jerry 143 Roger (Swasta), Soraya Kusuma Effendy (Komisaris PT. Indoguna Utama), Maria Elizabeth Liman (Dirut PT. Indoguna Utama). Sehubungan dengan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan yang dinilai bertentangan dengan HAM seperti yang telah penulis paparkan diatas, maka dengan penelitian ini penulis akan memberi edukasi dan pandangan yang lebih luas pada khalayak pembaca dan tentunya juga berdasarkan hukum mengenai apakah pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan ini benar-benar telah mencederai hak dasar setiap manusia atau tidak. Berangkat dari pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dirasa bertentangan dengan asas hukum pidana yang berlaku yakni asas praduga tak bersalah (Presumption of innocent), asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law), asas kepastian hukum yang adil, yang mana kesemua asas ini diatur dalam bab khusus konstitusi (BAB XA tentang HAM) UUD tahun 1945, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM seperti yang telah penulis paparkan diatas, akhirnya perlu kita pahami bahwa asas-asas hukum pidana yakni asas praduga tak bersalah (Presumption of innocent), asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law), asas kepastian hukum yang adil ini merupakan salah satu hak yang bisa dikurangi atau dibatasi (derogable right) dengan UU sebagaimana diatur Pasal 28I ayat (1) jo Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. 144 Manusia merupakan makhluk yang mengalami pergerakan dari suatu tempat ketempat lain apapun itu alasannya. Dikarenakan hal ini sudah menjadi hak yang bersifat kodrati bagi manusia untuk mempunyai hak atas kebebasan bergerak. Kebebasan ini telah dinyatakan di dalam Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Namun kebebasan ini bukan berarti bebas sebebas-bebasnya bergerak tanpa adanya aturan yang membatasinya. Dunia internasional juga memahami keberadaan setiap negara mempunyai kepentingannya masing-masing, sehingga kebebasan bergerak itu diseimbangkan dengan kepentingan-kepentingan setiap negara. Dengan hal ini maka dunia internasional juga memberikan batasan terhadap kebebasan bergerak ini. Pembatasan hak atas kebebasan bergerak ini dapat dilakukan oleh setiap negara dengan cara pencegahan dan penangkalan Hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan 145 Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2). Pengklasifikasian non-derogable rights dan derogable rights adalah sesuai Konvenan internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR). Pasal 12 International Covenant On Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), bunyi Pasal 12 ICCPR adalah sebagai berikut: 1) Setiap orang yang berada dalam wilayah suatunegara secara sah, memiliki hak atas kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggal di dalam wilayah negara tersebut. 2) Setiap bebas untuk meninggalkan negara manapun, termasuk negaranya, sendiri. 3) Hak-hak yang telah disebutkan di atas tidak dapat dilarang kecuali jika diatur oleh hukum, dianggap perlu untuk melindungi keamanan nasional, 146 keamanan publik, kesehatan, atau moral publik, hak dan kebebasan orang lain, dan sesuai dengan hak-hak lain yang diakui oleh kovenan ini. 4) Tidak seorangpun dapat melarang hak warga negara untuk memasuki negaranya sendiri secara sewenang-wenang. Dalam konteks international human rights, hak kebebasan bergerak dibatasi Pasal 12 poin 3 International Covenant on Civil and Political Rights. Keseluruhannya menunjuk pada suatu pembatasan kebebasan bergerak harus berdasarkan alasan yang jelas secara hukum dan rasional berkaitan dengan upaya melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum. Kebebasan bergerak setiap orang yang diakui sebagai hak asasi manusia sebagaimana dicantumkan dalam konvensi internasional antara lain Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights, juga dalam ketentuan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meskipun hak asasi manusia mengakui dan menjamin kebebasan setiap orang untuk bergerak namun kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya (kebebasan mutlak). Dalam hal ini negara dapat membatasi kebebasan bergerak manusia didasarkan pada pertimbangan kepentingan suatu negara berdasarkan alasan yang jelas secara hukum dan rasional yakni antara lain untuk alasan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat. Berdasarkan penjelasan diatas, penulis akan membahas lebih jauh mengenai kewenangan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dihubungkan dengan HAM dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dikaitkan dengan teori-teori yang dipakai sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi pisau analisis 147 dalam penelitian ini antara lain ialah : korupsi sebagai ekstraordinary crime, penegakan hukum tindak pidana korupsi, KPK dalam sistem peradilan pidana, teori penyelidikan, dan teori HAM. Kewenangan KPK yang begitu luas salah satu nya adalah pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan ini tentunya tidak terlepas dari alasan bahwa korupsi merupakan salah satu kejahatan extraordinary crime yang mana korupsi telah merusak seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas. Disatu sisi pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dilakukan untuk mempermudah proses penegakan hukum, namun yang perlu menjadi perhatian adalah diperlukannya pengaturan yang lebih jelas dan transparan mengenai siapa saja yang dapat dilakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan dan siapa saja yang tidak diperlukan dilakukannya pencekalan terhadap saksi dalam tahap penyelidikan tersebut sehingga asas kepastian hukum yang adil, transparansi, dan equality before the law yang dilindungi oleh konstitusi dan peraturan perundangundangan lainnya sebagai HAM dapat terpenuhi. Dengan diberikannya kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan termasuk wewenang melakukan pencekalan oleh UU baik dalam tahap penyelidikan maupun dalam tahap penyidikan, KPK secara otomatis termasuk dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang tentunya mempunyai tugas dan atau tujuan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang sudah merajalela ini. Pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh instansi KPK dianggap 148 sah dan dapat dilakukan oleh KPK berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut analisis penulis, latar belakang dilakukannya pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan adalah sebagai berikut : 1) Agar seseorang yang dikenai pencekalan ini tidak melarikan diri keluar negeri. 2) Untuk membantu proses penyelidikan yang dilakukan oleh KPK. 3) Agar seseorang yang dikenai pencekalan ini tidak menghilangkan barang bukti. 4) Terlibat kasus yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 1 Miliar atau lebih. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, KPK sebagai lembaga yang termasuk dalam sistem peradilan pidana tentu nya harus melindungi dan menghormati hak asasi setiap warga negaranya artinya bahwa KPK harus memperhatikan dengan jeli mengenai pengenaan upaya paksa pencekalan dalam tahap penyelidikan terhadap seseorang tersebut. Hal ini dikarenakan keterlibatan seseorang dalam tahap penyelidikan itu masih sangat prematur dan tidak semua peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana. Penggunaan pencegahan dan penangkalan ini tidak boleh digunakan sewenang-wenang oleh suatu negara, negara harus tetap menjamin hak atas kebebasan bergerak setiap individu namun juga harus menjalankan kepentingan nasionalnya. Penggunaan pencegahan dan penangkalan ini harus benar-benar dengan 149 alasan yang kuat dan rasionil dan berlandaskan hukum untuk alasan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat yang sesuai dengan kovenan internasional dalam hak sipil dan politik. Selama KPK melakukan pencekalan demi kepentingan hukum dan pengungkapan kasus pidana, maka hal tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM. Pencekalan memang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang kecuali dengan alasan yang dibenarkan hukum, karena orang dapat melakukan pencekalan dengan maksudmaksud tertentu diluar kepentikan penegakan hukum. Dalam rangka menghormati dan memenuhi hak asasi manusia dalam rangka penerapan dan penggunaan pencekalan sebaiknya adanya aturan yang menentukan kriteria-kriteria yang menjadi patokan dalam menentukan alasan terkait keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat, perlu adanya definisi lebih lanjut yang dituangkan didalam suatu peraturan. Hal ini berguna untuk membatasi setiap diskresi pejabat-pejabat yang berwenang yang terlampau jauh melanggar hak asasi manusia. Selain itu disisi lain pemerintah juga harus membangun sistem pencekalan yang efektif terhadap orang yang dikenakan pencekalan agar tidak dapat kabur keluar negeri. Dengan sistem pencekalan yang baik yang dapat terintegrasi langsung ke daftar pencekalan pusat disetiap wilayah kantor keimigrasian didaerah diharapkan langsung dapat melakukan kewenenangannya. Sehingga kejadian-kejadian seperti perginya orang yang dikenai pencekalan keluar negeri dapat dicegah 150 Pada dasarnya pencegahan dan penangkalan seseorang untuk melakukan perjalanan dari dan ke wilayah Republik Indonesia merupakan pembatasan terhadap hak dan kebebasan seseorang yang dilindungi undang-undang. Namun dengan tujuan untuk melindungi kepentingan negara dan negara masyarakat, perlu dilakukan pencegahan dan penangkalan terhadap orang-orang yang mengganggu dan mengancam stabilitas nasional.118 Pembatasan kebebasan bergerak dalam hal ini adalah pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan yang dilakukan oleh KPK merupakan pembatasan dalam suatu proses hukum dan diatur secara tegas oleh undang-undang, tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab kebebasan bergerak bukanlah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. 4.2. Tolok Ukur KPK Melakukan Pencekalan Terhadap Saksi Dalam Proses Penyelidikan Berkenaan dengan tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan terhadap seseorang pada tahap penyelidikan dikaitkan dengan teori-teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini, teori yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah teori penegakan hukum, asas legalitas, teori penyelidikan dan pencekalan dalam hukum acara pidana di Indonesia. Analisis penulis mengenai tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan terhadap seseorang pada tahap penyelidikan berkaitan dengan teori penegakan hukum adalah sebagai berikut : 118 Ajat Sudrajat Havid, Op.cit, hlm.105. 151 Korupsi merupakan tindak pidana yang unik, multi dimensi, dan sangat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.119 Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Korupsi merupakan sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)120, untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanakannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serta berkesinambungan. Dalam rangka melakukan penegakan hukum diperlukan adanya harmonisasi dari unsur-unsur yakni mulai dari substansi, struktur/aparaturnya, dan juga didukung oleh kulturnya. Menurut Lawrence Meir Fridman menyatakan bahwa sistem hukum itu harus memenuhi : Substansi (Subtance) yang berupa peraturan perundangundangan atau isi dari sebuah peraturan, Struktur (Structure) adalah aparat penegak hukum beserta sarana dan prasarananya., dan Kultur hukum (Legal Culture) berupa prilaku dari anggota masyarakat itu sendiri.121 Pada penelitian ini, penulis akan mengerucutkan pembahasan dari seluruh kewenangan luas yang dimiliki badan khusus yakni KPK ini dan terfokus pada tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan. Sehubungan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa, kewenangan yang diberikan oleh UU kepada KPK dalam melakukan pencekalan pada tahap penyelidikan ini tentunya dilakukan untuk meningkatkan 119 Romli Atmasasmita, Op.cit, hlm.98. Romli Atmasasmita, Op.cit, hlm.9. 121 Yesmil Anwar & Adang, Op.cit. 120 152 kualitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia, namun jika kewenangan tersebut dilakukan tanpa adanya batasan, tolok ukur atau pun kriteria yang dapat dijadikan patokan atau pedoman yang lebih dapat menjamin kepastian dan keadilan bagi masyarakat yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam melakukan kewenangannya yakni pencekalan pada tahap penyelidikan khusus nya dalam hal ini adalah KPK, maka tentunya dikhawatirkan institusi KPK ini akan berpotensi melakukan kesewenang-wenangan dengan mengatasnamakan kewenangannya yang diberikan UU dalam melakukan pencekalan pada tahap penyelidikan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pihak KPK, sebenarnya pada institusi KPK ini memang telah dirumuskan dan telah ada pengaturan mengenai tolok ukur ataupun kriteria yang dijadikan pegangan bagi pihak KPK dalam melakukan pencekalan. Hal ini tertuang dalam Standard Operational Procedure (SOP) internal KPK, namun pengaturan mengenai tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan pada proses penyelidikan ini bersifat rahasia. Masyarakat dalam hal ini tidak diperkenankan untuk mengetahui secara jelas mengenai tolok ukur pencekalan tersebut, hal ini menurut analisis penulis bertentangan dengan asas-asas yang dianut oleh institusi KPK itu sendiri yakni mengenai asas keterbukaan atau transparansi. Dengan suatu kewenangan melakukan pencekalan pada proses penyelidikan yang notabenenya belum tentu seseorang yang dikenai pencekalan tersebut terlibat dalam suatu tindak pidana korupsi, ditambah lagi dengan tidak adanya tolak ukur yang jelas dan trasparan mengenai siapa saja yang boleh dilakukan pencekalan pada tahap ini maka hal ini tentu nya dapat mencederai penegakan hukum itu sendiri. 153 Pembahasan mengenai tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan terhadap seseorang pada tahap penyelidikan dikaitkan dengan asas legalitas adalah sebagai berikut : Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.122 Untuk mewujudkan suatu kepastian dan keadilan hukum tentunya harus menyelaraskan antara substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum dengan hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat. Didalam konsep keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law), serta asas proporsionalitas antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.123 Penerapan keadilan dan kepastian hukum dapat saja terjadi gesekan. Kepastian hukum yang menghendaki persamaan di hadapan hukum tentu lebih cenderung menghendaki hukum yang statis. Aturan hukum harus dilaksanakan untuk semua kasus yang terjadi, sedangkan keadilan memiliki sifat dinamis harus selalu melihat konteks peristiwa dan masyarakat di mana peristiwa itu terjadi. Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum terdapat tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). 122 Soedikno Mertokusumo, Op.cit, hlm.145. Mohammad Mahfud MD, Makalah “Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik”, Jakarta, 2005, hlm.4. 123 154 Prinsip penegakan hukum yang mendasarkan pada prinsip the rule of law harus selalu menjunjung tinggi asas legalitas. Asas atau prinsip legalitas dengan tegas disebut dalam konsideran KUHAP seperti yang dapat dibaca pada huruf a, yang berbunyi : “Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjun.jung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dalam konteks hukum acara pidana berlaku prinsip lex scripta bahwa hukum itu harus tertulis, berlaku prinsip lex certa hukum itu harus jelas dan berlaku lex stricta bahwa hukum itu ketat dan tidak boleh di interpretasikan lain selain apa yang tertulis. Ini adalah wujud dari asas legalitas dalam hukum pidana. Realitas objektif didalam kehidupan sehari-hari sering kali terjadi benturan antara materi hukum (substansi) dengan kebutuhan hukum masyarakat yang terkadang belum terakomodir dalam hukum positif Indonesia. Salah satu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah guna memberantas tindak pidana korupsi yang diharapkan mampu menyempurnakan kekurangan dari peraturan yang bersifat konvensional tersebut adalah dengan dibentuknya Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan UndangUndang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 pada Pasal 43, dibentuk badan khusus yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi 155 (KPK) dan secara lebih dalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Asas legalitas tersebut juga tercermin dari adanya pengaturan mengenai kewenangan KPK dalam melakukan pencekalan pada proses penyelidikan, hal ini di atur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ini khususnya dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, Komisi pemberantasan Korupsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pencekalan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c” : “Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri” Seperti yang telah diketahui bahwa KPK diberi kewenangan melakukan pencekalan pada tahap penyelidikan, namun mengenai tolok ukur atau kriteria KPK dalam menentukan siapa yang boleh dicekal dan yang tidak boleh cekal pada tahap ini tidak diatur secara jelas dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Asas legalitas yang menjadi salah satu ciri negara hukum dimana suatu perbuatan dapat dikenakan sanksi apabila telah ada pengaturannya. Asas legalitas ini merupakan perlindungan kepada perorangan terhadap kesewenang-wenangan yang mungkin dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, asas legalitas merupakan asas yang esensiel di dalam penerapan hukum pidana. 156 Dalam rangka menghormati dan memenuhi hak asasi manusia dalam rangka penerapan dan penggunaan pencekalan yang juga dilakukan untuk meningkatkan upaya penegakan hukum di Indonesia sebaiknya adanya aturan yang menentukan kriteria-kriteria yang menjadi patokan dalam menentukan alasan terkait keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat diperlukan adanya definisi lebih lanjut yang dituangkan didalam suatu peraturan. Hal ini berguna untuk membatasi setiap tindakan aparat penegak hukum yang berwenang sehingga meminimalisir terjadinya kesewenang-wenangan yang dapat melanggar hak asasi seseorang. Aturan sebagaimana yang dimaksud diatas adalah aturan mengenai tolok ukur atau kriteria seseorang pada tahap penyelidikan dapat dikenai pencekalan. Menurut analisis penulis, kriteria atau alasan seseorang yang dapat dikenakan pencekalan adalah sebagai berikut : 1) Orang yang diduga dapat melarikan diri keluar negri. 2) Orang yang diduga berpergian keluar untuk menghilangkan barang bukti. 3) Seseorang yang diduga terlibat kasus korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp. 1 Miliar atau lebih. Selain mengenai kriteria orang yang dapat dikenai pencekalan, hal yang perlu dirumuskan lebih lanjut dalam UU adalah pengecualian terhadap orang yang dikenai pencekalan antara lain sebagai berikut : 1) Tidak terindikasi keterlibatannya dalam suatu tindak pidana korupsi. 2) Telah 2x (dua kali) dikenai pencekalan oleh KPK. 157 3) Berpergian keluar negeri terkait tugas negara yang tidak bisa diwakilkan oleh pihak manapun. 4) Menderita sakit yang mengharuskan orang yang dikenai pencekalan tersebut berobat keluar negri (tidak ada obat dan atau dokter untuk penyakit itu di Indonesia dan tergolong penyakit parah yang dapat membahayakan nyawa). Untuk pengecualian terhadap orang yang dikenai pencekalan khusus nya pada poin ke 3 dan ke 4, pihak tersebut diharuskan untuk mengajukan surat permohonan kepada pimpinan KPK agar surat pencekalannya tersebut dapat dicabut atau dilonggarkan. Berkenaan dengan pendapat penulis mengenai kriteria seseorang yang dapat dikenai pencekalan di sertai dengan pengecualian dari tindakan upaya paksa pencekalan ini, penulis berharap hal tersebut dapat dijadikan masukan bagi pembentuk undang-undang dan atau mahkamah konstitusi agar dapat memasukkan rumusan tersebut dalam peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pencekalan KPK pada tahap penyelidikan sehingga asas transparansi dan kepastian hukum yang adil dapat terpenuhi. Pembahasan mengenai tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan terhadap seseorang pada tahap penyelidikan dikaitkan dengan teori penyelidikan adalah sebagai berikut : Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk juga penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, selain dibutuhkan seperangkat peraturan perundangundangan tentunya dibutuhkan juga instrumen penggeraknya yaitu institusi-institusi 158 penegak hukum dan implementasinya melalui mekanisme kerja dalam sebuah sistem yang disebut sebagai sistem peradilan pidana (criminal justice system). Aplikasi atau penegakan hukum pidana yang tersedia tersebut dilaksanakan oleh instrumeninstrumen yang diberi wewenang oleh UU untuk melaksanakan kewenangan dan kekuasaannya masing-masing dan harus dilakukan dalam suatu upaya yang sistematis untuk dapat mencapai tujuannya. Dengan dibentuknya KPK berdasarkan Undang Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai komisi yang dibentuk guna memberantas korupsi secara otomatis KPK yang juga berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tentunya dapat dinyatakan sebagai salah satu lembaga penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Kewenangan menolak orang bepergian keluar wilayah Indonesia yang sedang diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan adalah merupakan bagian kecil dari proses penegakan hukum pidana di Indonesia yang dikenal dengan mekanisme integrated criminal justice system. Bahwa mekanisme integrated criminal justice system adalah sistem yang memandang proses penyelesaian perkara pidana sebagai satu kesatuan sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemutusan perkara, sampai dengan pemidanaan dan penyelesaiannya di tingkat pemasyarakatan, yang didalamnya terdapat kewenangan-kewenangan pembatasan berupa tindakan pencegahan dan/atau penahanan. 159 Dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK ini khususnya dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, KPK diberikan kewenangan untuk dapat melakukan tindakan pencekalan, baik pencekalan yang dilakukan dalam tahap penyelidikan maupun dalam tahap penyidikan guna membantu proses penegakan hukum. Pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh instansi KPK dianggap sah dan dapat dilakukan oleh KPK berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada penelitian ini, penulis akan mengerucutkan pembahasan dari seluruh kewenangan yang dimiliki KPK dan tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan yang terfokus pada dalam tahap penyelidikan. Pencekalan KPK dalam tahap penyidikan dirasa wajar karena sudah ada bukti awal yang cukup dan ketika penegak hukum telah menetapkan tersangka, pencekalan boleh dilakukan karena kekhawatiran ada upaya menghilangkan barang bukti atau melarikan diri ke luar negeri. Namun yang menjadi permasalahan yakni ketika pencekalan dilakukan dalam tahap penyelidikan yang mana indikasi keterlibatan seseorang terhadap suatu tindak pidana masih sangat mentah dan dengan tidak adanya tolok ukur yang jelas mengenai pencekalan seseorang dalam tahap penyelidikan maka pemberlakuan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dam kepastian yang adil tentu diragukan untuk dapat diaplikasikan oleh masyarakat melalui UU ini. 160 Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana di sebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak seseorang dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Hal tersebut yang menjadi alasan diperlukannya suatu pengaturan yang jelas mengenai tolak ukur, batasan atau kriteria pencekalan yang dilakukan oleh KPK dalam tahap penyelidikan. Pembahasan mengenai tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan terhadap seseorang pada tahap penyelidikan dikaitkan dengan pencekalan dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah sebagai berikut : Selain diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK ini khususnya dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, dasar hukum seseorang dikenai pencekalan juga dilakukan berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dinyatakan bahwa Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar wilayah Indonesia ditujukan pada suatu kepentingan penyelidikan dan penyidikan oleh instansi atau lembaga penegak hukum. Namun berdasarkan putusan No. 40/PUU-IX/2011, majelis MK menyatakan pencekalan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum saat mereka sedang melakukan penyelidikan atas sebuah perkara pidana sebagai inkonstitusional. Putusan MK yang membatalkan kata “penyelidikan” dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyangkut tindak pidana umum, sehingga putusan MK itu bukan untuk kasus korupsi yang ditangani KPK maka secara 161 otomatis KPK masih tetap berwenang melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan. Konteks penolakan pada Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian tersebut adalah dengan tidak memberangkatkan keluar wilayah Indonesia terhadap orang setelah adanya permintaan Pejabat yang berwenang. Berdasarkan Undang-Undang No. 6 tahun 2011, menteri atau pejabat imigrasi dapat melakukan pencekalan berdasarkan permintaan atau keputusan dari : Menteri Keuangan, Jaksa Agung, Kepala kepolisian RI, Ketua KPK, Kepala BNN. Namun, pencekalan yg dilakukan KPK lah yang menjadi sentral dalam penelitian ini. Penggunaan pencekalan ini tidak boleh digunakan sewenang-wenang oleh suatu negara, negara harus tetap menjamin hak atas kebebasan bergerak setiap individu namun juga harus menjalankan kepentingan nasionalnya. Penggunaan pencegahan dan penangkalan ini harus benar-benar dengan alasan yang kuat dan rasionil dan berlandaskan hukum untuk alasan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat yang sesuai dengan kovenan internasional dalam hak sipil dan politik. Adapun dasar hukum yang digunakan untuk melakukan pencekalan KPK ini merujuk pada beberapa peraturan diantaranya adalah Undang-Undang No.6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, Putusan MK tentang jangka waktu pencekalan, PP No. 30 tahun 1994 tentang tata cara pelaksanaan pencekalan dan penangkalan, Mou KPK dengan 162 KemenkumHAM yang mengatur mengenai koordinasi antara keduanya, dan juga standard operational procedure (SOP) internal KPK. Mengenai mekanisme dilakukannya pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dapat dimulai dari adanya laporan masyarakat. Laporan dari masyarakat ini dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti “petunjuk” seperti yang tertuang pada Pasal 184 UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Setelah itu dilakukan verifikasi yakni pembuktikan kebenaran atau untuk menentukan atau menguji akurasi, pada tahap penyelidikan ini pihak KPK mencari dan menemukan mengenai apakah suatu peristiwa tersebut merupakan tindak pidana atau tidak. Kemudian dilakukan gelar perkara yang melibatkan pimpinan KPK, penyelidik dan penyidik guna menentukan apakah seseorang yang terkait tersebut dapat dikenai pencekalan atau tidak. Dalam menentukan seseorang dapat dikenai pencekalan atau tidak, KPK berpedoman pada Standard Operational Procedure (SOP) internal KPK. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pihak KPK, Standard Operational Procedure (SOP) merupakan alur atau tindakan yang dijalani untuk melaksanakan kewenangan yang mana KPK harus menelaah lebih lanjut mengenai pantas atau tidak nya seseorang dikenai pencekalan, tentunya di dalam SOP tersebut tertera syarat-syarat mengenai siapa yang harus dicekal. Standard Operational Procedure (SOP) internal KPK ini bersifat rahasia kecuali ada permintaan tertulis kepada pimpinan KPK atau sejken mengenai hal ini, namun presentase kemungkinan diketahui oleh masyarakat sangat tipis. 163 Jika berdasarkan hasil gelar perkara menentukan bahwa seseorang tersebut pantas dikenai pencekalan, maka pimpinan KPK akan segera mengirim surat permohonan cekal kepada Dirjen Imigrasi dan termaktub juga didalam nya mengenai jangka waktu pencekalan tersebut. Berdasarkan pasal 97 ayat 1 UU No. 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian, Jangka waktu pencekalan dilakukan paling lama 6 bulan dan dapat diperpanjang selama 6 bulan berikutnya atau 2 kali pencekalan berdasarkan putusan MK pada pencekalan kasus Mantan Meteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra. Pengajuan permohonan pencekalan yang dilakukan secara manual rentan terhadap kebocoran informasi. Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat mengajukan permohonan pencegahan ke Direktorat Imigrasi secara online melalui surat elektronik alias email. Sistem online ini bisa mengantisipasi terjadinya kebocoran informasi. Dengan sistem online status pencegahan seseorang langsung tersambung ke semua pintu perlintasan ke luar negeri. Mengingat modus operandi tindak pidana semakin canggih, maka keputusan eksekusi pencegahan pun harus cepat. Pencekalan secara manual rentan terhadap kebocoran informasi. Seperti yang terjadi pada pencegahan terhadap bekas Bendahara Umum Demokrat M Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti, istri dari bekas Wakapolri Adang Darajatun yang berhasil kabur sebelum surat cekal diterbitkan. Ditjen Imigrasi hanya bisa menerbitkan surat pencekalan apabila ada permohonan pengajuan dan memenuhi persyaratan. masa pencekalan hanya berlaku selama enam bulan. Jika dilakukan perpanjangan pencekalan maka harus ada permintaan dari lembaga pemohon. Perpanjangan pencekalan disesuaikan dengan 164 kebutuhan lembaga pemohon. Kalau tidak diperpanjang, maka otomatis cekalnya berakhir. Pencabutan cekal berasal dari lembaga yang mengusulkan. Kalau masa berlakunya sudah berakhir. Maka harus dicabut pencekalannya untuk menghargai hak asasi manusia seseorang. Penegak hukum yang dalam hal ini adalah KPK dapat melakukan tindakan pencegahan ketika proses penyelidikan telah dimulai. Tidak ada batasan siapa saja yang tidak perbolehkan untuk dicegah pada tahap ini. Artinya, sepanjang seseorang berstatus sebagai saksi maka orang tersebut dapat dicegah keluar negeri. Sebagai contoh, dapat dilihat pada kasus Pencekalan Gubernur Provinsi Riau M.Rusli Zainal yang menjadi saksi dalam perkara dugaan suap pembangunan venue PON 2012 yang terjadi di daerahnya. Tanpa penjelasan yang dapat dipahami oleh publik, Gubernur Provinsi Riau M. Rusli Zainal telah dicegah ke luar negeri oleh KPK. Penjelasan itu penting agar kemudian publik dapat mengetahui dan memahami tolok ukur ataupun kriteria yang dapat dijadikan pegangan oleh KPK dalam mencegah seseorang keluar negeri. Tanpa tolok ukur atau kriteria dan juga aturan yang dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara dugaan suap pembangunan venue PON 2012 itu tidak dicegah ke luar negeri ? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama terhadap para saksi seperti Ketua DPRD Johar Firdaus dari Fraksi Golkar beserta anggotanya, yakni Iwa dari Fraksi Golkar, Amri Ali dari Fraksi Gabungan, Adrian Ali dari Fraksi PAN, Zulfan Her dari Fraksi Golkar, serta Ketua Bapedda Ramli Walid. 165 Pada kasus lain KPK pun juga melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan terkait kasus hambalang, KPK menyelidiki proyek Hambalang sejak Agustus tahun 2011. Dalam kasus ini, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) telah melakukan cekal terhadap Direktur Dutasari Citralaras yakni Mahfud Suroso agar yang bersangkutan tidak bepergian ke luar negeri. Pencekalan Mahfud ini dilakukan atas permintaan KPK untuk kepentingan penyelidikan kasus Hambalang. Juru Bicara KPK, Johan Budi SP pada Selasa (22/05/2012) lalu mengatakan permintaan cekal tersebut diajukan KPK sejak tanggal 27 April. Pihak Imigrasi sendiri, lanjut Johan mencekal Mahfud selama enam bulan ke depan.124 Tanpa tolok ukur atau aturan yang dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara Hambalang itu tidak dicegah keluar negeri ? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama terhadap pihak-pihak yang juga diperiksa dalam tahap penyelidikan seperti Menteri Pemuda dan Olahraga yakni Andi Mallarangeng, pengurus PT Dutasari Citralaras yakni istri Anas Urbaningrum bernama Athiyyah Laila, pejabat Partai Demokrat bernama Munadi Herlambang, mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional bernama Joyo Winoto, anggota Komisi II DPR yakni Ignatius Mulyono dan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.125 124 WebsiteGOOGLE,http//www.beritabogor.com/2012/06/kronologiskasushambalang.html(ter akhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 15.00). 125 Website GOOGLE,http//www.beritawmc.com/2012/06/.../soal-hambalang-kpk-dinilaitidak-jelas(terakhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 14.00). 166 Selain dua kasus diatas kemudian KPK juga melakukan pencekalan terhadap beberapa saksi terkait kasus pengurusan kuota impor daging sapi. Adapun nama saksi-saksi yang dikenai pencekalan yakni Ridwan Hakim (putra Ketua Majelis Syuro PKS bernama Hilmi Aminuddin), Ahmad Zaky (Swasta), Rudy Susanto (Swasta), Jerry Roger (Swasta), Soraya Kusuma Effendy (Komisaris PT. Indoguna Utama), Maria Elizabeth Liman (Dirut PT. Indoguna Utama). Sedangkan nama saksi yang tidak dikenai pencekalan pada kasus ini seperti Agus Suganda (Pegawai Negeri Sipil), Ahmad Junaedi (Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca panen Kementerian Pertanian), Syahrudin (swasta), Elda Deviane Adiningrat (swasta), Soewarso (swasta), Melani (karyawan PT. Indoguna Utama), Dina zelvia (swasta), Eka Pratiwi (swasta), Anna Retnowati (swasta), Mimin Juni Atin (swasta). Berkenaan dengan penjelasan diatas, hal tersebut yang dimaksud dengan peluang untuk berbuat diskriminasi. Hal ini tentunya bertentangan dengan asas persamaan di depan hukum atau equality before the law. Apalagi jika dipahami bahwa tidak setiap pemeriksaan pada tahap penyidikan memiliki relevansi untuk kemudian dimasukkan keterangannya dalam berkas perkara. Terlebih lagi bila dengan niat tertentu, penyidik memanggil seseorang untuk kemudian diperiksa lalu dikenakan tindakan pencegahan padahal orang yang sama tidak ada kaitannya dengan penyidikan. Konsep persamaan kedudukan dalam hukum menurut UUD 1945 adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukannya masing-masing dan kesamaan dihadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh pemerintah.126 126 Mien Rukmini, Op.cit, hlm.24. 167 Berkenaan dengan pembahasan terdahulu mengenai kewenangan KPK dalam melakukan pencekalan pada tahap penyelidikan dikaitkan dengan HAM dalam sistem peradilan pidana, tentu nya dapat kita ketahui bahwa tindakan pembatasan kebebasan seseorang untuk bepergian keluar negri dapat dibatasi oleh negara atas dasar untuk kepentingan umum, menjaga stabilitas keamanan negara dan untuk mempermudah proses penegakan hukum di Indonesia. Hal yang lebih lanjut yang akan dibahas pada penelitan tesis ini mengenai kriteria atau tolak ukur yang dapat dijadikan pedoman oleh KPK untuk melakukan pencekalan terhadap seseorang pada proses penyelidikan. Seperti yang kita ketahui dan sebagai mana yang telah penulis paparkan diatas dalam bentuk kasus terlihat bahwa tidak semua orang yang dikenai pencekalan pada tahap penyelidikan, artinya bahwa terhadap seseorang individu dalam status nya sebagai saksi dapat dikenai pencekalan, namun pada kasus yang sama terhadap seorang individu yang lain tindakan pencekalan ini dilakukan pada status nya sebagai tersangka. Tentu nya hal yang semacam ini akan menimbulkan suatu permasalahan dalam konteks hukum pidana itu sendiri yakni mencederai asas persamaan kedudukan dihadapan hukum. Dengan tidak diatur secara jelas dan transparan mengenai batasan atau tolok ukur dilakukannya pencekalan dalam tahap penyelidikan, maka hal ini tentunya bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil. Hal ini yang menjadi alasan untuk dapat memperjelas ketentuan mengenai tolok ukur atau kriteria bagi KPK dalam melakukan tindakan pencekalan terhadap seseorang pada tahap penyelidikan agar kemudian asas kepastian hukum yang adil, transparansi dan persamaan kedudukan dihadapan hukum dapat terpenuhi. BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan 1. Kewenangan KPK dalam melakukan pencekalan terhadap saksi pada proses penyelidikan tidak bertentangan dengan HAM sebagaimana yang diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya sebab kebebasan bergerak bukanlah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Pembatasan kebebasan bergerak dalam hal ini adalah pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan yang dilakukan oleh KPK merupakan pembatasan dalam suatu proses hukum dan diatur oleh undangundang. Pencekalan seseorang untuk melakukan perjalanan keluar negeri merupakan pembatasan kebebasan seseorang untuk bepergian keluar negri yang dibatasi oleh negara atas dasar untuk kepentingan umum, menjaga stabilitas keamanan negara dan untuk mempermudah proses penegakan hukum di Indonesia. Selama KPK melakukan pencekalan demi kepentingan hukum dan pengungkapan kasus pidana, maka hal tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM. Pencekalan memang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang kecuali dengan alasan yang dibenarkan hukum, karena orang dapat melakukan pencekalan dengan maksud-maksud tertentu diluar kepentikan penegakan hukum. Pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan disatu sisi dirasa bertentangan dengan asas hukum pidana yang berlaku yakni asas praduga tak bersalah (Presumption of innocent), asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law), asas kepastian hukum yang adil, yang mana kesemua asas ini diatur dalam bab khusus konstitusi (BAB XA 168 169 tentang HAM) UUD tahun 1945, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, namun disisi lain pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dilakukan guna mempermudah proses penegakan hukum. Akhirnya perlu kita pahami bahwa asas-asas hukum pidana yakni asas praduga tak bersalah (Presumption of innocent), asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law), asas kepastian hukum yang adil ini merupakan salah satu hak yang bisa dikurangi atau dibatasi (derogable right) dengan UU sebagaimana diatur Pasal 28I ayat (1) jo Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. 2. Tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun KPK dalam melakukan pencekalan pada tahap penyelidikan ini berpedoman pada Standard Operational Procedure (SOP) internal KPK itu sendiri. Standard Operational Procedure (SOP) internal KPK bersifat rahasia sehingga masyarakat dalam hal ini tidak diperkenankan untuk mengetahui secara jelas mengenai tolok ukur pencekalan tersebut, hal ini menurut analisis penulis bertentangan dengan asas-asas yang dianut oleh institusi KPK itu sendiri yakni mengenai asas keterbukaan atau transparansi. Dengan suatu kewenangan melakukan pencekalan pada proses penyelidikan yang notabenenya belum tentu seorang saksi yang dikenai pencekalan tersebut terlibat dalam suatu tindak pidana korupsi, ditambah lagi dengan tidak adanya tolok ukur yang jelas dan transparan mengenai siapa saja yang boleh 170 dilakukan pencekalan pada tahap ini maka hal ini tentu nya dapat mencederai penegakan hukum itu sendiri. 5.2. Saran 1. Negara harus tetap menjamin hak atas kebebasan bergerak setiap individu namun juga harus menjalankan kepentingan nasionalnya. Penggunaan kewenangan pencekalan KPK ini harus benar-benar dilakukan dengan alasan yang kuat dan rasionil yang berlandaskan hukum untuk alasan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat yang sesuai dengan kovenan internasional dalam hak sipil dan politik, hal ini dilakukan agar tindakan pencekalan KPK pada tahap penyelidikan ini tidak keluar dari konteks penegakan hukum yang dapat melanggar hak asasi yang dilindungi oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Dalam rangka menghormati dan memenuhi hak asasi manusia dalam rangka penerapan dan penggunaan pencekalan sebaiknya adanya aturan yang menentukan tolok ukur atau kriteria-kriteria yang menjadi patokan dalam menentukan alasan terkait keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat, perlu adanya definisi lebih lanjut yang dituangkan didalam suatu peraturan perundang-undangan yang jelas dan transparan. Hal ini berguna untuk membatasi setiap kewenangan pejabat-pejabat yang berwenang yang terlampau jauh melanggar hak asasi manusia. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Ajat Sudrajat Havid, Formalitas Keimigrasian Dalam Perspektif Sejarah, Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2008. Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1991. --------------------, Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, 2002. --------------------, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, Asri Muhammad Saleh, Menegakkan Hukum atau Mendirikan Hukum, Bina Mandiri Press, Pekanbaru, 2003. Bagir Manan, Negara Hukum Yang Berkeadilan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung, 2011. Bambang waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2001. Bambang Poernomo dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan HAM, Mandar Maju, Jakarta, 2001. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2001. ----------------------------, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Erni Widhayati, Hak-Hak Tersangka di Dalam KUHAP, Liberty, Yogyakarta, 1988. Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Gunawan Setiadirdja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, 1993. J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, CV Rajawali, Jakarta, 1982. Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London, 2003. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariatan Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi RI, Jakarta, 2006. Koerniatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan Indoneisa, PT. Gramedia Pusaka Utama, Jakarta, 1996. dan Keimigrasian Kunarto, Hak Asasi Manusia dan Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997. Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan& Penyidikan), Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Permasalahannya, PT. Alumni, Bandung, 2007. Teoritis, Praktik dan Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2005. Mien Rukmini, Perlindungan Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2007. Muladi, Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995. ---------, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997. ---------, Makalah Konsep Total Enforcement dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Kerangka Politik Hukum, forum koordinasi dan konsultasi dalam rangka intersifikasi pemberantasan tindak pidana korupsi, Jakarta, 2006. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. -------------, Perbuatan Pidana dan Pertanggung-jawab Dalam Hukum Pidana, Gajah Mada, Yogyakarta, 1955. -------------, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2001. -------------, Asas–Asas Hukum Pidana, Cet. Ke – VII, Rineka Cipta, Jakarta, 2002. Moh Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2002. Mohammad Mahfud MD, Makalah “Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik”, Jakarta, 2005. Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008. O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana Dalam Sistem Peradilan Pidana, Alumni, Jakarta, 2006. P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004. Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2001. --------------------------, Korupsi, Good Governance & Komisi anti Korupsi di Indonesia. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002. --------------------------, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2004. --------------------------, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2010. Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi, Sinar Baru, Jakarta, 1983. Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999. Soenarto, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977. Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. --------------------------------------------------, Penelitian Hukum Normatif Tinjauan Singkat), Cetakan Keenam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. (Suatu Subhi Mahmassani, Konsep Dasar Hak Asasi Manusia, Suatu Perbandingan Dalam Syariat Islam dan Perundang-Undangan Modern, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1993. Syed Husin Alatas, Korupsi, Sifat Sebab dan Fungsi, Jakarta, LP3ES, 1991. -----------------------, Sosiologi Korupsi, Jakarta, LP3ES, 1998. Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, Universitas Atma Jaya, Jakarta. WJS. Poerwardarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1998. Yesmil Anwar, Pembaharuan Hukum Pidana, PT Gramedia widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008. -------------------- & Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen & Peaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Widya Padjadjaran, 2009. B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209. Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874. Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886. Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250. Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216. C. Sumber Lain Catatan perkuliahan pada mata kuliah Hukum Pidana, dengan dosen pengajar David Ramadhan, di Ruang E Fakultas Hukum UR, Pada hari Jumat pukul 14.00 WIB. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, dalam krisna harahap, Memberantas Korupsi Jalan Tiada Ujung, Bandung, Grafiti, 2006. Website GOOGLE, http//www.beritasatu.com/.../30595-mk-nyatakan-pencekalansaat penyelidikan (terakhir kali dikunjungi tanggal 26 September 2012 Pukul 16.00). Website GOOGLE, http//berita.liputan6.com/read/.../mahfud-md-kecam-masalah pencekalan.../ (terakhir kali dikunjungi tanggal 7 Mei 2012 Pukul 17.00). Website GOOGLE, http//www.beritabogor.com/2012/06/kronologis kasushambalang.html (terakhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 15.00). Website GOOGLE, http//www.beritawmc.com/2012/06/.../soal-hambalang-kpkdinilai-tidak-jelas)terakhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 14.00). Website GOOGLE, http//www.haluankepri.com › News › Andalas (terakhir kali dikunjungi tanggal 22 September 2012 Pukul 14.00). Website GOOGLE, http//m.skalanews.com/.../gubernur-riau-dicekal-terkait-kasussuappon.ht. (terakhir kali dikunjungi tanggal 22 September 2012 Pukul 13.45). Website GOOGLE, http//Kompas.com/KPK periksa 7 tersangka kasus PON Riau(terakhir kali dikunjungi tanggal 10 Februari 2013 Pukul 21.35). Website GOOGLE, http//www.sindonews.com/.../13/.../dua-tersangka-kasus-ponriau-segera-d.. (terakhir kali dikunjungi tanggal 22 September 2012 Pukul 14.00). Website GOOGLE, http//metrotvnews.com/metronews/vi...0725/Gubernur-RiauTersangka -Kasus-Pon.(terakhir kali dikunjungi tanggal 10 Februari 2013 Pukul 11.35). Website GOOGLE, www.riau terkini.com/hukumphp?arr=53414 (terakhir kali dikunjungi tanggal 13 Februari 2013 Pukul 13.25). Website GOOGLE, www.seputarnusantara.com/?p=13559 dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 17.55) (terakhir kali Website GOOGLE, www.tempo.co/.../Terlibat-Kasus-Hambalang-Mahfud-Suroso Dicekal (terakhir kali dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 16.35). Website GOOGLE, www.news.liputan6.com/anas+urbaningrum (terakhir kali dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 17.55). Website GOOGLE, http//www.businessnews.co.id›Headline(terakhir kali dikunjungi tanggal 20 Maret 2013 Pukul 16.00). Website GOOGLE, http//www.tempo.co/read/.../Suap-Daging-PKS-Begini-AwalMulanya (terakhir kali dikunjungi tanggal 20 Maret 2013 Pukul 16.40). Website GOOGLE, http//www.koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/113355 (terakhir kali dikunjungi tanggal 20 Maret 2013 Pukul 18.50). RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama : Yulia Emri Tambusai, S.H. NPM : 110120110002 Jenis Kelamin : Perempuan Tempat/Tgl lahir : Pekanbaru, 8 Juli 1989 Alamat : Jl.Ciheulang baru 15 D, Bandung. No.Telp /HP : 0852 9595 0292 Email : [email protected] PENDIDIKAN FORMAL ● Sekolah Dasar : SD 001 Depok. ● SLTP : SLTP 21 Pekanbaru. ● SMAN : SMAN 4 Pekanbaru. ●Perguruan Tinggi : Fakultas Hukum, Program Kekhususan Hukum Pidana Universitas Riau PENGALAMAN ORGANISASI 1. Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Raya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Riau. 2. Sekertaris Bidang Sosial dan Budaya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Riau. Demikianlah riwayat hidup atau data pribadi ini saya buat dengan sebenarnya. Bandung, Juni 2013 YULIA EMRI TAMBUSAI, S.H.