- Repository UNPAD

advertisement
ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI
YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN
HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
INDONESIA
Oleh :
Yulia Emri Tambusai
110120110002
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Guna memperoleh gelar Magister Hukum
Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Hukum
Konsentrasi Hukum Pidana
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2013
ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI
YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN
HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
INDONESIA
Oleh :
Yulia Emri Tambusai
110120110002
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Guna memperoleh gelar Magister Hukum
Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Hukum ini
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal
Seperti tertera di bawah ini
Bandung,
Mei 2013
Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, S,H., M.S
Rohaenah Padmadinata, S.H. M.H
Ketua Tim Pembimbing
Anggota Tim Pembimbing
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis saya, tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik sarjana dan magister, baik di Universitas
Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukkan
Tim Peguji.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karna karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang
berlaku diperguruan tinggi ini.
Bandung,
Mei 2013
Yulia Emri Tambusai
110120110002
iii
ABSTRACT
Act No. 30 of 2002 concerning the criminal offence of corruption eradication
Commission, the KPK is given the authority to do in the process of blocking the
investigation. On one side of the KPK investigation stages of blocking is done in the
interest of the process of law enforcement corruption a criminal offence which is an
extra ordinary crime that requires law enforcement in extraordinary through the
establishment of specialized agencies that have broad authority, but a debate when
the other hand, it is considered contrary to the principle of the law of criminal
procedure that applies the principle of presumption of innocence. In addition, there
is a concern when there are no limits, rules and or benchmarks that can be made
into a reference on overseas prevention reasons that surely will open the opportunity
of discrimination that ultimately broke the basic equality before the law and the
legal certainty of a fair which is set in the Constitution, Act No. 8 of 1981 on the
KUHAP and Act No. 39 of 2009 on human rights. The aspects influenced the
problems in research of this thesis by raising some of the problems which are
blocking against the KPK authority conduct a witness in the inquiry process is
contrary to HUMAN RIGHTS and how can benchmarks KPK to conduct blocking
against a witness in the inquiry process.
To address all the problems that exist, research is done by using the juridical
normative approach which is a method of research conducted with drip at a series of
data libraries called secondary data through legal principles and legal norms
contained in the legislation.
Departing from the results of research of these problems then you can take the
conclusion that the authorities of the KPK to conduct blocking against a witness in
the proceedings is not incompatible with HUMAN RIGHTS as freedom of movement
is not a HAM that can not be reduced under any circumstances. There is no
legislation governing the benchmark subject anyone who should not have been
prevented in this stage. That is, all a person's status of witnesses then people can be
prevented from exiting the country. In connection with the above, the expected use of
authorities blocking KPK has to do with reason and rasionil based on the law for
reasons of national security, public order, health and morals of society and the
interests of the community. In addition, the required presence of the setting of
benchmarks or criteria of the KPK to conduct blocking against someone in the status
as a witness in the investigation so as not to conflict with the principle of
presumption of innocence or the presumption of innocence, the principle of equality
before the law and guarantee a fair legal certainty for citizens and the public at its
Indonesia for a person who is a witness to the crime of corruption in particular.
iv
ABSTRAK
Berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberikan kewenangan untuk
melakukan pencekalan dalam proses penyelidikan. Disatu sisi pencekalan KPK
dalam tahap penyelidikan ini dilakukan demi kepentingan proses penegakan hukum
tindak pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime yang membutuhkan
penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang
mempunyai kewenangan luas, namun menjadi perdebatan ketika disisi yang lain hal
ini dinilai bertentangan dengan asas hukum acara pidana yang berlaku yakni asas
praduga tak bersalah atau presumption of innocence. Selain itu, adanya kekhawatiran
apabila tidak ada batasan, aturan dan atau tolok ukur yang dapat dijadikan rujukan
perihal alasan pencegahan ke luar negeri hal tersebut tentunya akan membuka
peluang terjadinya diskriminasi yang pada akhirnya melanggar asas equality before
the law dan kepastian hukum yang adil yang diatur dalam Konstitusi, UndangUndang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang-Undang No. 39 Tahun
2009 Tentang Hak Asasi Manusia. Hal yang melatarbelakangi permasalahan dalam
penelitian tesis ini dengan mengangkat beberapa masalah yaitu apakah kewenangan
KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan bertentangan
dengan HAM dan bagaimanakah tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan
terhadap saksi dalam proses penyelidikan.
Untuk menjawab semua permasalahan yang ada, maka penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu suatu metode penelitian
yang dilakukan dengan menitik beratkan pada data kepustakaan atau disebut dengan
data sekunder melalui asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum yang terkandung
dalam peraturan perundang-undangan.
Berangkat dari hasil penelitian terhadap permasalahan ini kemudian dapat di
ambil kesimpulan bahwa kewenangan KPK dalam melakukan pencekalan terhadap
saksi pada proses penyelidikan tidak bertentangan dengan HAM sebab kebebasan
bergerak bukanlah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Tidak
ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tolok ukur perihal
siapa saja yang tidak boleh dicegah dalam tahap ini. Artinya, sepanjang seseorang
berstatus saksi maka orang tersebut dapat dicegah keluar negeri. Sehubungan dengan
hal diatas, diharapkan penggunaan kewenangan pencekalan KPK ini harus dilakukan
dengan alasan yang kuat dan rasionil yang berlandaskan hukum untuk alasan
keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan
kepentingan masyarakat. Selain itu, diperlukan adanya pengaturan yang lebih jelas
mengenai tolok ukur atau kriteria KPK untuk melakukan pencekalan terhadap
seseorang dalam status sebagai saksi dalam tahap penyelidikan agar tidak
bertentangan dengan yakni asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence,
asas equality before the law dan menjamin adanya kepastian hukum yang adil bagi
masyarakat Indonesia pada umum nya dan bagi seseorang yang berstatus saksi
tindak pidana korupsi pada khususnya.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas berkat dan anugrah_Nya penulis dapat menyelesaikan
tesis ini dalam rangka untuk melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar
Magister Hukum (MH), Strata 2 (S2) pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Bandung. Adapun judul dari tesis ini adalah :
ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI YANG
DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM TAHAP
PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA
DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari bahwa banyak kesulitan dan
hambatan karena kurangnya pengetahuan penulisan mengenai masalah yang hendak
diungkapkan, Selain itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah memberikan dukungan, petunjuk, pengarahan, dan ilmu pengetahuan serta
motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
Pada kesempatan ini dengan tulus penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Rektor Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Ganjar Kurnia, Ir DEA.,
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu
di Pascasarjana Universitas Padjajaran.
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Dr. Ida
Nurlinda,S.H.,M.H, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menyelesai tesis ini.
3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Padjajaran Bandung, Dr. Ali Abdurahman, S.H,.M.H.
4. Ibu Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, S,H., M.H selaku dosen pembimbing
yang telah meluangkan waktu dan pikiran serta dengan sabar memberikan
pengarahan
dan
bimbingan
vi
dalam
penyusunan
tesis
ini.
5. Ibu Rohaenah Padmadinata, S.H. M.H selaku dosen pembimbing yang
telah meluangkan waktu dan pikiran serta dengan sabar memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.
6. Bapak
Dr.
Sigid
Suseno,
S.H,.M.H.,
Bapak
Aman
sembiring
Meliala,S.H,.M.H., Ibu Widati Wulandari, S.H., M.Crim. yang telah
memberikan petunjuk-petunjuk dan saran berkenaan dengan materi tesis
ini pada saat Seminal Usulan Penelitian.
7. Seluruh Guru Besar, Dosen dan staf sekretaris Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran Bandung, pada Program Pendidikan Magister
Studi Ilmu Hukum Bidang Kajian Utama Hukum Pidana, yang telah
banyak memberikan ilmu pengetahuan dan menumbuhkan semangat
keilmuan bagi penulis, sehingga mempertajam analisa penulis terhadap
berbagai hal yang berkaitan dengan keilmuan yang dipelajari.
8. Bapak Rooseno selaku Biro Hukum KPK yang telah memberikan arahan
dan atau pengetahuan terkait kewenangan institusi KPK pada saat
wawancara penulis berkaitan dengan pengembangan materi dalam
penelitian tesis ini.
Selanjutnya, selain kepada Civitas Akademika tersebut diatas, ucapan
terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis haturkan kepada :
1.
Kedua orangtua penulis yakni Drs. Emrizal Mahidin Tamboesai, MSc,.
M.H. dan Elvita Indra yang selalu memberikan doa dan restu nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
2.
Kedua adik-adik penulis yakni Awang Tambusai dan Nina Emri
Tambusai yang telah memberikan dorongan semangat dan telah menjadi
motivasi terbesar bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
3.
Rekan-rekan mahasiswa Program Pendidikan Magister Studi Ilmu
Hukum Bidang Kajian Utama Hukum Pidana Universitas Padjadjaran
vii
Bandung angkatan tahun 2011 yang telah memberikan dorongan moril
selama menjalani perkuliahan hingga terselesainya tesis ini.
4.
Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik yang
terlibat langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam
penulisan tesis ini. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
konstruktif demi kesempurnaan penulisan tesis ini dan dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.
Bandung,
Mei 2013
Yulia Emri Tambusai
110120110002
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL.....................................................................................................
i
LEMBAR PERSETUJUAN........................................................................................
ii
PERNYATAAN............................................................................................................
iii
ABSTRACT.................................................................................................................
iv
ABSTRAK....................................................................................................................
v
KATA PENGANTAR..................................................................................................
vi
DAFTAR ISI.................................................................................................................
ix
DAFTAR SINGKATAN..............................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ..................................................................................................
1
1.2. Identifikansi Masalah........................................................................................ 17
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 17
1.4. Kegunaan Penelitian ......................................................................................... 17
1.5. Kerangka Pemikiran ......................................................................................... 18
1.6. Metode Penelitian. ............................................................................................ 34
1.7. Sistematika Penulisan ....................................................................................... 38
BAB II
TINJAUAN UMUM PENCEKALAN SAKSI KPK DALAM TAHAP
PENYELIDIKAN
2.1. Korupsi Sebagai Extra ordinary crime ............................................................. 41
2.2. Teori Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi ............................................ 50
2.3. Asas Legalitas. .................................................................................................. 55
ix
2.4. KPK Dalam Sistem Peradilan Pidana ............................................................... 61
2.5. Pencekalan Dalam Hukum Acara Pidana ......................................................... 70
2.6. Teori Penyelidikan ............................................................................................ 77
2.7. Teori HAM ....................................................................................................... 83
BAB III KASUS PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KPK DALAM
TAHAP PENYELIDIKAN
3.1. Pencekalan Gubernur Riau terkait PON XVIII di Provinsi Riau .................... 97
3.2. Pencekalan Mahfud Suroso Terkait Kasus Hambalang................................... 106
3.3. Pencekalan Ridwan Hakim terkait kasus Pengurusan Kuota Impor Daging
Sapi ................................................................................................................. 118
BAB IV ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI YANG
DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM
TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN HAK
ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
INDONESIA
4.1. Kewenangan KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses
penyelidikan dikaitkan dengan HAM ............................................................ 129
4.2. Tolok ukur KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses
penyelidikan ................................................................................................... 151
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan ..................................................................................................... 169
5.2. Saran ............................................................................................................... 171
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
x
DAFTAR SINGKATAN
APBN
:
Anggaran Pembelanjaan Negara
Aspidi
:
Asosiasi pengusaha importir daging Indonesia
Baleg
:
Badan Legislatif
BNN
:
Badan Narkotika Nasional
BPN
: Badan Pertanahan Nasional
BUMD
: Badan Usaha Milik Daerah
BUMN
: Badan Usaha Milik Negara
CICP
: Centre for International Crime Prevention
CAC
: Commission of Anty Corruption
CV
: Comanditaire Venootschap
Depdikbud
: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Dispora
:
DPP
:
Dinas Pemuda dan Olahraga
Dewan Pimpinan Pusat
DPRD
: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Ditjen
: Direktorat Jendral
Golkar
: Golongan Karya
HAM
: Hak Asasi Manusia
ICCPR
:
ICW
: Indonesia Corruption Watch
IMB
: Izin Mendirikan Bangunan
International Covenant on Civil and Political Rights
xi
JICT
: Jakarta International Container Terminal
KASI
Kemendag
: Kepala Seksi
: Kementerian Perdagangan
Kemendikbud
: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kemenkeu
: Kementerian Keuangan
KemenkumHAM
: Kementerian Hukum dan HAM
Kemenpora
: Kementerian Pemuda dan Olahraga
Kementan
: Kementerian Pertanian
Kepres
: Keputusan Presiden
KPK
: Komisi Pemberantasan Korupsi
KKN
: Korupsi Kolusi Nepotisme
KSO
: Kerjasama Operasi
KUHP
: Kitab Undang-undang Hukum Pidana
KUHAP
: Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
PAN
: Partai Amanat Nasional
Pansus
:
PBB
Panitia Khusus
: Perserikatan Bangsa-Bangsa
PDIP
:
PEPERPU
: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Perda
:
PKS
:
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Peraturan Daerah
Partai Keadilan Sejahtera
xii
PON
PP
: Pekan Olahraga Nasional
: Peraturan Pemerintah
PPP
: Partai Persatuan Pembangunan
PT
: Perseroan Terbatas
Ranperda
: Rancangan Peraturan Daerah
RI
: Republik Indonesia
SOP
: Standard Operational Prosedure
SPN
: Sekolah Polisi Negara
Sprindik
: Surat perintah penyidikan
TPI
: Tempat Pemeriksaan Imigrasi
UU
: Undang-Undang
UUD
: Undang-Undang Dasar
UDHR
: Universal Declaration of Human Right
WamenkumHam
: Wakil Mentri Hukum dan HAM
WIKA
: Wijaya Karya
xiii
ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI
YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN
HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
INDONESIA
1.1. Latar Belakang
Pembangunan nasional Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat
Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata secara materiil dan spirituil
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan
masyarakat Indonesia yang sejahtera diperlukan peningkatkan secara terus menerus
dalam berbagai bidang salah satunya adalah dalam hal pemberantasan dan
penanganan tindak pidana korupsi. Korupsi merupakan tindak pidana yang unik,
multi dimensi, dan sangat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.1 Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang
dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan.
Korupsi merupakan sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)2, untuk itu
diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan
khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan
manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanakannya
dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serta berkesinambungan.
1
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar
Maju, Bandung, 2001, hlm.98.
2
Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance & Komisi anti Korupsi di Indonesia. Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002, hlm.9.
1
2
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum khususnya mengenai tindak
pidana korupsi, pemerintah Indonesia telah melakukan langkah-langkah yang
dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa
perubahan peraturan perundang-undangan. Istilah korupsi pertama sekali hadir
dalam khasanah hukum di Indonesia yakni dalam Peraturan Penguasa Perang No.
Prt/Perpu/013/1958
tentang
Peraturan
Pemberantasan
Korupsi.
Kemudian,
dimasukkan juga dalam Undang-Undang No. 24/Prp/1960 tentang Pengusutan
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini kemudian
dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindang Pidana Korupsi, yang kemudian tanggal 16 Agustus 1999
digantikan oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif
paling lambat 2 (dua) tahun kemudian (16 Agustus 2001) dan kemudian diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001.3
Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia sebenarnya
sudah ada sejak lama yaitu sejak berlakunya KUHP pada tanggal 1 januari 1918.
KUHP sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia
sesuai dengan asas konkordansi.4 Ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi yang
terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan
mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu
peraturan perundang-undangan guna memberantas masalah korupsi dengan harapan
dapat menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP.
3
Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002, hlm.1.
4
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, Pusat Studi Hukum
Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, 2002, hlm.29.
3
Salah satu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah guna
memberantas tindak pidana korupsi yang diharapkan mampu menyempurnakan
kekurangan dari peraturan yang bersifat konvensional tersebut adalah dengan
dibentuknya Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan UndangUndang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, dibentuk
badan khusus yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
mana dalam Pasal 43 Undang-undang ini berbunyi sebagai berikut :
“Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini
mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi”
“Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan
wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”
“Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas
unsur Pemerintah dan unsur masyarakat”
“Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja,
pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). ayat (2), dan ayat (3) diatur
dengan Undang-undang”
Badan khusus yang selanjutnya disebut KPK memiliki kewenangan melakukan
koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan. Dalam hal tugas dan wewenang dari instansi KPK ini juga diatur dalam
Pasal 6 Huruf c Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi (KPK) yang
berbunyi :
4
“Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi”
Melakukan penyelidikan merupakan salah satu kewenangan dari KPK dalam
rangka untuk mengetahui suatu perbuatan merupakan tindak pidana atau bukan.
Kewenangan penyelidikan dilakukan oleh aparat penegak hukum yang disebut
penyelidik. Berkenaan dengan hal diatas dapat kita ketahui bahwa pengertian
penyelidikan yang termaktub dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 5 butir (1) yang berbunyi sebagai
berikut :
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini”
Guna memberantas tindak pidana korupsi yang semakin merajalela ini KPK
diberikan kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Dalam
rangka melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK diberikan
kewenangan untuk dapat melakukan tindakan pencekalan, baik pencekalan yang
dilakukan dalam tahap penyelidikan maupun dalam tahap penyidikan guna
membantu proses penegakan hukum.
Berkenaan dengan hal diatas, penulis akan membatasi penelitian ini pada tahap
penyelidikan. Adapun yang menjadi alasan pembatasan penelitian hanya pada tahap
penyelidikan dikarenakan tindakan penyelidikan merupakan pintu gerbang mengenai
dapat atau tidaknya suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana atau bukan.
Pencekalan KPK dalam tahap penyidikan dirasa wajar karena sudah ada bukti awal
yang cukup dan ketika penegak hukum telah menetapkan tersangka, pencekalan
5
boleh dilakukan karena kekhawatiran ada upaya menghilangkan barang bukti atau
melarikan diri ke luar negeri. Namun menjadi hal yang menarik adalah ketika
dilakukannya pencekalan dalam tahap penyelidikan yang mana indikasi keterlibatan
seseorang terhadap suatu tindak pidana masih sangat prematur dan dengan tidak
adanya tolok ukur atau kriteria yang jelas mengenai pencekalan seseorang dalam
tahap penyelidikan tentunya akan dapat menimbulkan gesekan antara kepentingan
proses penegakan hukum dengan masalah HAM seorang individu yang dilindungi
oleh konstitusi negara kita.
Tindakan pencekalan merupakan serangkaian tindakan dalam rangka
mencegah pihak yang diduga terlibat kasus pidana korupsi untuk pergi ke luar
negeri. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang
tertentu untuk keluar negeri dari wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu,
sedangkan penangkalan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orangorang tertentu untuk masuk kewilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu.5
Berdasarkan putusan No. 40/PUU-IX/2011, majelis MK menyatakan pencekalan
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum saat mereka sedang melakukan
penyelidikan atas sebuah perkara pidana sebagai inkonstitusional. Dalam sidang
putusan uji materi terhadap Pasal 16 ayat 1 huruf (b) Undang-Undang No. 6 Tahun
2011 tentang Keimigrasian, MK menyatakan pencegahan yang dilakukan oleh
penegak hukum bagi seseorang untuk berpergian ke luar negeri sementara kasusnya
masih dalam tahap penyelidikan bisa disalahgunakan untuk kepentingan di luar
penegakan hukum. Menurut MK, hal itu berpotensi melanggar hak konstitusi
5
Koerniatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indoneisa, PT.
Gramedia Pusaka Utama, Jakarta, 1996, hlm.80.
6
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28E UUD 1945.6 Namun KPK masih
diperbolehkan mengajukan pencekalan dalam proses penyelidikan karena UndangUndang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK memang mengatur secara khusus soal itu.
KPK boleh mencekal karena UU KPK bersifat khusus atau disebut lex spesialis.
Putusan MK yang membatalkan kata “penyelidikan” dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf b Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyangkut tindak
pidana umum, sehingga putusan MK itu bukan untuk kasus korupsi yang ditangani
KPK. UU KPK bersifat khusus yang berarti memiliki kewenangan khusus pula, sama
halnya seperti KPK tak berwenang mengeluarkan surat penghentian penyidikan
perkara (SP3) dan diperbolehkan menyadap. UU yang dilakukan yudicial review
adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian bukan UndangUndang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sehingga secara otomatis KPK masih tetap berwenang melakukan pencekalan dalam
tahap penyelidikan.
Di
dalam
Undang-Undang
No.
30
Tahun
2002
Tentang
Komisi
Pemberantasan Korupsi ini khususnya dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, Komisi
Pemberantasan Korupsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pencekalan
terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proses
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang berbunyi sebagai berikut:
“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c” :
“Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
bepergian ke luar negeri”
6
WebsiteGOOGLE,http//www.beritasatu.com/.../30595-mk-nyatakan-pencekalan-saat
penyelidikan(terakhir kali dikunjungi tanggal 26 September 2012 Pukul 16.00).
7
Pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh instansi KPK
dianggap sah dan dapat dilakukan oleh KPK berdasarkan Undang-Undang No.30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun
pengaturan mengenai pencekalan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam proses penyelidikan yang diatur dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dinilai bertentangan
dengan asas hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia yakni asas praduga tak
bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau
Equality before the law, dan bertentangan pula dengan kepastian hukum yang adil.
Asas-asas hukum pidana tersebut yakni Asas praduga tak bersalah atau presumption
of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau Equality before the law, dan asas
kepastian hukum yang adil diatur dalam UUD tahun 1945, Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang KUHAP, dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM. Selain diatur dalam peraturan perundang-undangan diatas, asas praduga tak
bersalah atau presumption of innocence dan asas persamaan didepan hukum atau
Equality before the law juga dimuat dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga pada Pasal 10 Undang-Undang
No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
HAM diartikan sebagai hak yang melekat pada sifat manusia yang tanpa hak
tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.7 Mencegah seseorang pergi
ke luar negeri dalam tahap penyelidikan dapat disalahgunakan untuk kepentingan di
luar penegakan hukum. Hal ini dinilai melanggar hak seseorang yang dijamin
7
Yesmil Anwar, Pembaharuan Hukum Pidana, PT Gramedia widiasarana Indonesia, Jakarta,
2008, hlm.283.
8
konstitusi yaitu hak yang ditentukan dalam UUD 1945 yang terdapat pada Pasal 1
ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D, Pasal 28 E ayat (1), Pasal 28I ayat (4) yang
berbunyi :
“Negara Indonesia adalah negara hukum”
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memili pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali”
“Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”
Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan
didepan hukum atau equality before the law dan kepastian hukum yang adil tidak
secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang KUHAP, namun asas-asas tersebut tersirat baik dalam bagian Menimbang
huruf a, kemudian juga pada bagian Penjelasan Umum angka 2 dan angka 3
KUHAP. Pada bagian Menimbang huruf a dari KUHAP berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan
kedudukannya di depan hukum...”
Pada bagian Penjelasan Umum KUHAP dikemukaan adanya sepuluh asas
yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap keluhuran harkat dan martabat
manusia. Dari kesepuluh asas tersebut, asas yang berkaitan dengan pencekalan KPK
dalam tahap penyelidikan adalah Asas praduga tak bersalah atau Presumption of
innocent dan mengenai perlakuan sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun.
9
Sehubungan dengan hal diatas, pengaturan yang juga mencantumkan ketentuan
mengenai perlindungan HAM dihubungkan dengan pencekalan dalam tahap
penyelidikan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM ialah pada Pasal 3 ayat (2) dan (3), kemudian Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi
sebagai berikut :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan hukum”
“Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar manusia, tanpa diskriminasi”
“Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka
melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah,
sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang
pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”.
Bila kita melihat dari logika hukum, pencekalan seseorang sebelum ditetapkan
sebagai tersangka atau dalam proses penyelidikan dirasa tidak tepat, hal ini
bertentangan dengan asas hukum pidana yang berlaku yakni asas praduga tak
bersalah. Seseorang yang masih dalam tahap penyelidikan, indikasi keterlibatannya
dalam suatu kasus tindak pidana korupsi masih sangat mentah. Hal ini berarti belum
ada bukti yang cukup untuk diajukan ke pengadilan apabila cekal dilakukan pada
saat proses penyelidikan. Tindakan pencekalan terhadap seseorang yang diduga
melakukan tindak pidana korupsi sebaiknya hanya dapat dilakukan bila kasusnya
sudah masuk dalam tahap penyidikan, hal ini dikarenakan jika orang yang diduga
melakukan tindak pidana sudah disidik itu berarti bukti awal sudah cukup.
10
Apabila seseorang dicekal dalam tahap penyelidikan, maka aturan itu akan
merugikan banyak orang. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan,
"Kalau seseorang baru diselidiki sudah dicekal, akan ada ribuan orang yang
dirugikan aturan itu. Oleh sebab itu, kalau memang sudah cukup bukti segera saja
dijadikan tersangka, sehingga disidik, agar bisa langsung dicekal. Kalau masih kirakira, diduga-duga, belum tersangka, tidak boleh dicekal, karena tindakan itu
melanggar HAM”.8 Penegak hukum yang dalam hal ini adalah KPK dapat
melakukan tindakan pencegahan ketika proses penyelidikan telah dimulai. Tidak ada
batasan siapa saja yang tidak perbolehkan untuk dicegah pada tahap ini. Artinya,
sepanjang seseorang berstatus sebagai saksi maka orang tersebut dapat dicegah
keluar negeri. Berkenaan dengan hal ini sudah banyak tindakan pencekalan yang
dilakukan oleh KPK pada tahap penyelidikan. Pada penelitian ini penulis akan
memaparkan 3 (tiga) kasus pencekalan KPK pada tahap penyelidikan yakni
Pencekalan Gubernur Provinsi Riau M. Rusli Zainal, pencekalan terhadap Direktur
Dutasari Citralaras yakni Mahfud Suroso dan pencekalan yang dilakukan institusi
KPK pada kasus pengurusan kuora impor daging sapi
Berkenaan dengan pencekalan KPK pada tahap penyelidikan dapat dilihat pada
kasus Pencekalan Gubernur Provinsi Riau M. Rusli Zainal yang menjadi saksi dalam
perkara dugaan suap pembangunan venue PON 2012 yang terjadi di daerahnya.
Tanpa penjelasan yang dapat dipahami oleh publik, Gubernur Provinsi Riau M. Rusli
Zainal telah dicegah ke luar negeri oleh KPK. Penjelasan itu penting agar kemudian
publik dapat mengetahui dan memahami tolok ukur yang dijadikan pegangan oleh
8
WebsiteGOOGLE,http//berita.liputan6.com/read/.../mahfud-md-kecam-masalah
pencekalan.../(terakhir kali dikunjungi tanggal 7 Mei 2012 Pukul 17.00).
11
KPK dalam mencegah seseorang keluar negeri. Tanpa tolok ukur atau kriteria dan
juga aturan yang dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka
publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam
perkara dugaan suap pembangunan venue PON 2012 itu tidak dicegah ke luar
negeri? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama
terhadap para saksi seperti Ketua DPRD Johar Firdaus dari Fraksi Golkar beserta
anggotanya, yakni Iwa dari Fraksi Golkar,Amri Ali dari Fraksi Gabungan, Adrian
Ali dari Fraksi PAN, Zulfan Her dari Fraksi Golkar, serta Ketua Bapedda Ramli
Walid.
Pada kasus berbeda KPK pun juga melakukan pencekalan dalam tahap
penyelidikan terkait kasus hambalang, KPK menyelidiki proyek Hambalang sejak
Agustus tahun 2011. Dalam kasus ini, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian
Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) telah melakukan cekal terhadap Direktur
Dutasari Citralaras yakni Mahfud Suroso agar yang bersangkutan tidak bepergian ke
luar negeri. Pencekalan Mahfud ini dilakukan atas permintaan KPK untuk
kepentingan penyelidikan kasus Hambalang. Juru Bicara KPK, Johan Budi SP pada
Selasa (22/05/2012) lalu mengatakan permintaan cekal tersebut diajukan KPK sejak
tanggal 27 April. Pihak Imigrasi sendiri, lanjut Johan mencekal Mahfud selama
enam bulan ke depan.9 Tanpa tolok ukur atau aturan yang dijadikan rujukan perihal
alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa
semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara Hambalang itu tidak dicegah keluar
negeri ? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama
9
Website GOOGLE, http//www.beritabogor.com/2012/06/kronologis kasushambalang.html)
terakhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 15.00).
12
terhadap pihak-pihak yang juga diperiksa dalam tahap penyelidikan seperti Menteri
Pemuda dan Olahraga yakni Andi Mallarangeng, pengurus PT Dutasari Citralaras
yakni istri Anas Urbaningrum bernama Athiyyah Laila, pejabat Partai Demokrat
bernama Munadi Herlambang, mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional bernama
Joyo Winoto, anggota Komisi II DPR yakni Ignatius Mulyono dan mantan
Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.10
Selain dua kasus diatas kemudian KPK juga melakukan pencekalan terhadap
beberapa saksi terkait kasus pengurusan kuota impor daging sapi. Adapun nama
saksi-saksi yang dikenai pencekalan pada tahap ini yakni Ridwan Hakim (putra
Ketua Majelis Syuro PKS bernama Hilmi Aminuddin), Ahmad Zaky (Swasta), Rudy
Susanto (Swasta), Jerry Roger (Swasta), Soraya Kusuma Effendy (Komisaris PT.
Indoguna Utama), Maria Elizabeth Liman (Dirut PT. Indoguna Utama). Sedangkan
nama saksi yang tidak dikenai pencekalan pada kasus ini seperti Agus Suganda
(Pegawai Negeri Sipil), Ahmad Junaedi (Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner
dan Pasca panen Kementerian Pertanian), Syahrudin (swasta), Elda Deviane
Adiningrat (swasta), Soewarso (swasta), Melani (karyawan PT. Indoguna Utama),
Dina zelvia (swasta), Eka Pratiwi (swasta), Anna Retnowati (swasta), Mimin Juni
Atin (swasta).
10
Website GOOGLE,http//www.beritawmc.com/2012/06/.../soal-hambalang-kpk-dinilaitidak-jelas)terakhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 14.00).
13
Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa KPK
dapat melakukan pencekalan baik pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Dengan
dipaparkannya nama saksi-saksi yang dikenai pencekalan dan nama-nama saksi yang
tidak dikenai pencekalan pada kasus pengurusan kuota impor daging sapi ini, maka
dapat kita simpulkan bahwa tidak semua saksi dalam kasus tindak pidana korupsi ini
dapat dikenai pencekalan. Dengan tidak adanya tolok ukur atau kriteria yang diatur
secara jelas dan transparan dalan peraturan perundang-undangan yang tentunya dapat
dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula
mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara
pengurusan kuota impor daging sapi itu tidak dicegah keluar negeri ? Mengapa
kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama terhadap pihakpihak yang juga diperiksa dalam tahap penyelidikan seperti Agus Suganda (Pegawai
Negeri Sipil), Ahmad Junaedi (Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca
panen Kementerian Pertanian), Syahrudin (swasta), Elda Deviane Adiningrat
(swasta), Soewarso (swasta), Melani (karyawan PT. Indoguna Utama), Dina zelvia
(swasta), Eka Pratiwi (swasta), Anna Retnowati (swasta), Mimin Juni Atin (swasta).
Berkenaan dengan penjelasan diatas, hal tersebut yang dimaksud dengan
peluang untuk berbuat diskriminasi. Hal ini tentunya bertentangan dengan asas
persamaan di depan hukum atau equality before the law. Apalagi jika dipahami
bahwa tidak setiap pemeriksaan pada tahap penyidikan memiliki relevansi untuk
kemudian dimasukkan keterangannya dalam berkas perkara. Terlebih lagi bila
dengan niat tertentu, penyidik memanggil seseorang untuk kemudian diperiksa lalu
dikenakan tindakan pencegahan padahal orang yang sama tidak ada kaitannya
14
dengan penyidikan. Konsep persamaan kedudukan dalam hukum menurut UUD
1945 adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi
menurut kedudukannya masing-masing dan kesamaan dihadapan hukum berarti
setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh pemerintah.11
Masalah HAM merupakan masalah yang akan tetap berkembang selama
manusia masih hidup didunia ini karena adanya rangkaian yang tidak terlepaskan
antara yang memerintah dan yang diperintah, antara negara dan warga negaranya.
Sementara pihak yang memerintah terkadang bahkan sering bertindak melampaui
batas kewenangannya. Di pihak lain, pihak yang diperintah selalu menginginkan
keadilan dan kemakmuran dirasakan oleh mereka.12
Pengenaan tindakan pencegahan dan penangkalan pada seorang saksi adalah
tindakan yang sangat melanggar HAM dan bertentangan dengan konstitusi pada Bab
khusus tentang HAM, KUHAP dan juga Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
Tentang HAM. Seseorang yang hanya karena terkait (belum tentu pula jadi
tersangka) dengan sesuatu masalah kemudian kehilangan hak untuk bepergian ke
luar negeri. Mengingat hampir tidak ada upaya paksa dalam sistem hukum negara ini
yang dapat dipaksakan pada seorang saksi selain keharusan untuk hadir apabila
dipanggil bahkan harus melalui tahapan-tahapan yang manusiawi dan proses secara
patut. Namun yang menjadi perdebatan adalah ketika pencekalan dalam proses
penyelidikan ini dilakukan oleh KPK dalam rangka penegakan hukum tindak pidana
korupsi. Pada dasarnya pencegahan dan penangkalan seseorang untuk melakukan
11
Mien Rukmini, Perlindungan Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan
Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2007,
hlm.24.
12
Bambang Poernomo dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan HAM, Mandar Maju, Jakarta,
2001, hlm.72.
15
perjalanan dari dan ke wilayah Republik Indonesia merupakan pembatasan terhadap
hak dan kebebasan seseorang yang dilindungi undang-undang. Namun dengan tujuan
untuk melindungi kepentingan negara dan negara masyarakat, perlu dilakukan
pencegahan dan penangkalan terhadap orang-orang yang mengganggu dan
mengancam stabilitas nasional.13
Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan undang-undang,
walaupun di dalam kenyataannya di Indonesia kecenderungannya adalah demikian
sehingga pengertian law enforcement begitu popular, selain itu ada kecenderungan
yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusankeputusan hakim.14 Korupsi dapat dikatakan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra
ordinary crime), karena korupsi berakibat secara signifikan terhadap segala aspek
kehidupan khususnya aspek sosial dan ekonomi. Dengan demikian Masalah ini juga
harus jadi prioritas negara untuk mengatasinya.
Berdasarkan penjabaran diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penulisan atau analisa mengenai tolok ukur atau kriteria pencekalan yang dilakukan
KPK dalam tahap penyelidikan dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi di Indonesia karena seperti yang penulis uraikan di atas KPK untuk
melakukan pencekalan dalam proses penyelidikan menggunakan dasar hukum yakni
Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, namun hal ini dinilai bertentangan dengan asas hukum acara pidana yakni
asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence. Selain itu, adanya
kekhawatiran apabila tidak ada batasan, aturan dan atau tolok ukur yang dapat
13
Ajat Sudrajat Havid, Formalitas Keimigrasian Dalam Perspektif Sejarah, Direktorat
Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2008, hlm.105.
14
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.7-8.
16
dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, hal tersebut tentunya
akan membuka peluang terjadinya diskriminasi yang pada akhirnya melanggar asas
equality before the law dan kepastian hukum yang adil dan juga berujung pada
pelanggaran HAM yang diatur dalam Konstitusi dan Undang-Undang No. 39 Tahun
2009 Tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik
untuk mengangkat masalah tersebut dalam bentuk tesis dengan judul :
ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI
YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN
HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
INDONESIA.
17
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan Pembahasan yang telah diuraikan diatas, identifikasi masalah
yang penulis dapat kemukakan antara lain sebagai berikut :
1) Apakah kewenangan KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses
penyelidikan bertentangan dengan HAM ?
2) Bagaimanakah tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan terhadap saksi
dalam proses penyelidikan ?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah:
1) Untuk mengkaji dan memahami kewenangan KPK melakukan pencekalan
terhadap saksi dalam proses penyelidikan dikaitkan dengan HAM.
2) Untuk mengkaji dan memahami tolok ukur
KPK untuk melakukan
pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan.
1.4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diharapkan penulis dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1.4.1. Kegunaan Teoritis
Sebagai sumbangan pemikiran yang dapat berguna bagi pengembangan
ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya mengenai tolok
ukur pencekalan terhadap saksi yang dilakukan KPK dalam tahap penyelidikan
dihubungkan dengan HAM dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
18
1.4.2. Kegunaan praktis
Diharapkan penulisan tesis ini juga dapat memperluas dan meningkatkan
pengetahuan penulis dalam hal yang berkaitan dengan karya ilmiah, serta
mempunyai nilai kemanfaatan untuk kepentingan penegakan hukum sehingga
dapat dijadikan masukan dalam cara berfikir dan bertindak dalam melakukan
pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh KPK.
1.5. Kerangka Pemikiran
Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechtsstaat)
dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Dengan kata lain, Para
penyusun UUD 1945 secara tegas mengatakan bahwa Negara Republik Indonesia
tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka atau machtsstaat yang dalam bahasa Jerman
mengandung arti bahwa negara itu dijalankan semata-mata berdasarkan kekuasaan
bukan berdasarkan atas hukum. Dalam machtsstaat penyelenggara negara dapat
bertindak sewenang-wenang sesuai seleranya sendiri, Indonesia tentu bukan negara
seperti itu. Digunakannya istilah rechtsstaat ini menunjukkan bahwa para penyusun
UUD 1945 menggunakan konsep negara hukum.
Untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum tentunya negara
berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara
terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin
perlindungan terhadap hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan
peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka
pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh
19
cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat pada semua lembaga
yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.
Penyebutan Indonesia sebagai sebuah negara hukum atau rechtsstaat ini
mengandung implikasi bahwa di negara ini penyelenggara negara harus dilandaskan
atas UUD 1945 dan penyelenggara negara juga tentunya berkewajiban melindungi
HAM. Indonesia sebagai negara hukum tentunya wajib menjamin hak asasi warga
negaranya secara konstitusional.15 Pengakuan, penghormatan dan perlindungan
terhadap HAM tentunya akan selalu menjadi bagian terpenting dalam sebuah negara
hukum dan juga dalam rangka pelaksanaan pembangunan hukum karena masyarakat
akan
menilai
keberhasilan
pembangunan
hukum
dengan
melihat
pada
implementasinya berupa pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia.
Berdasarkan penalaran yang logis dan pernyataan bahwa Indonesia sebagai
sebuah negara hukum juga membawa implikasi berkenaan dengan aparatur
penyelenggara negara tidak diperbolehkan bertindak sewenang-wenang terhadap
warganegaranya. Pada saat yang sama, pernyataan sebagai negara hukum juga
membawa implikasi bahwa di negara ini tidak boleh ada peraturan perundangundangan yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat membuka peluang bagi
penyelenggara negara untuk dapat bertindak sewenang-wenang dan diberi landasan
hukum oleh norma undang-undang tersebut untuk melakukannya.
15
Bagir Manan, Negara Hukum Yang Berkeadilan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung, 2011, hlm.355.
20
Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat dua belas prinsip pokok negara hukum.
Kedua belas prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri
tegaknya suatu negara modern sehingga dapat disebut negara hukum dalam arti yang
sebenarnya. Adapun dua belas prinsip tersebut adalah sebagai berikut : Supermasi
hukum (supermacy of law), persamaan dalam hukum (equality before the law), asas
legalitas (due process of law), pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif
independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara,
peradilan tata negara (constitusional court), peradilan hak asasi manusia, bersifat
demokratis (democratische rechtsstaat), berfungsi sebagai sarana mewujudkan
tujuan negara (welfare rechtsstaat), dan transparansi dan kontrol sosial.16
Berkenaan dengan dua belas prinsip pokok negara hukum yang dikemukakan
oleh Jimly Asshiddiqie diatas dan dikaitkan dengan pencekalan KPK dalam tahap
penyelidikan, maka terdapat beberapa prinsip pokok yang berhubungan dengan
pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan yakni berkenaan dengan supermasi
hukum (supermacy of law), persamaan dalam hukum (equality before the law), asas
legalitas (due process of law), berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara
(welfare rechtsstaat), transparansi dan kontrol sosial.
Aris toteles mengemukakan adanya perbedaan keadilan abstrak dan kepatutan
yang mana menyatakan bahwa hukum terpaksa melakukan atau membuat aturanaturan yang berlaku umum dan sering kali bertindak kejam terhadap soal-soal
16
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariatan Jendral dan
Kepaniteraan Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 154-161.
21
perseorangan.17 Sehingga yang dapat kita dipahami disini adalah hukum merupakan
suatu kaidah tertulis yang berwujud perundang-undangan ataupun peraturan yang
mengatur dan berlaku demi untuk kepentingan umum yang mana selanjutnya hukum
tersebut memiliki sanksi, paksaan ataupun upaya paksa yang dapat memaksa
seseorang atau perorangan untuk taat terhadap aturan yang ada pada hukum tersebut
atau bahkan dapat menghapuskan hak-hak seseorang (kepentingan individu) demi
tercapainya penegakan hukum guna melindungi kepentingan umum. Dari pemikiran
Aristoteles diatas, dapat kita perluas pengertiannya yaitu bahwa hukum ataupun
peraturan perundang-undangan adalah norma-norma yang berlaku untuk umum
(masyarakat luas) dan mampu mengenyampingkan kepentingan individu sehingga
disini posisi hukum tingkatannya lebih tinggi dari kepentingan individu. Hukum
bertujuan guna menjamin kepentingan umum, maka hal tersebut sejalan dengan
konsep hukum yaitu lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan
perorangan atau individu.
Untuk mewujudkan suatu kepastian dan keadilan hukum tentunya harus
menyelaraskan antara substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum dengan
hukum yang dibutuhkan masyarakat. Realitas objektif didalam kehidupan sehari-hari
sering kali terjadi benturan antara materi hukum (substansi) dengan kebutuhan
hukum masyarakat yang terkadang belum terakomodir dalam hukum positif
Indonesia. Asas legalitas yang menjadi salah satu ciri negara hukum dimana suatu
perbuatan dapat dikenakan sanksi apabila telah ada pengaturannya.
17
Catatan perkuliahan pada mata kuliah Hukum Pidana, dengan dosen pengajar David
Ramadhan, di Ruang E Fakultas Hukum UR, Pada hari Jumat pukul 14.00 WIB.
22
Asas legalitas merupakan asas yang digunakan untuk menentukan suatu
perbuatan termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang merupakan terjemahan
dari principle of legality. Asas legalitas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu
dengan perundang-undangan, Biasanya ini dikenal dalam bahasan Latin sebagai
“Nullum delictum nulla poena sina praevia lege” yang artinya “Tidak ada delik,
tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu”.18Asas legalitas ini merupakan
perlindungan kepada perorangan terhadap kesewenang-wenangan yang mungkin
dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, asas legalitas merupakan
asas yang esensiel di dalam penerapan hukum pidana. Dalam pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHP mencantumkan asas legalitas ini
sebagai berikut : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuanketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan
dilakukan”.
Asas legalitas tersebut tercermin dari adanya pengaturan mengenai
kewenangan KPK dalam melakukan pencekalan pada proses penyelidikan, hal ini di
atur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi ini khususnya dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, Komisi pemberantasan
Korupsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pencekalan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan yang berbunyi sebagai berikut:
18
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
23
“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c” :
“Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
bepergian ke luar negeri”
Selain substransi hukum, struktur atau aparat hukum juga merupakan suatu
komponen yang penting dalam pembangunan hukum yang mana diciptakannya
lembaga-lembaga hukum dengan personil-personil yang berkwalitas. Dalam artian
bahwa bukan hanya memahami hukum namun diperlukan pula integritas moral yang
tinggi, dapat dicari pada proses rekrutmen, dan kemudian dibentuk lebih lanjut
dalam proses pendidikan, khusus dirancang untuk penugasan tersebut.19
Dengan banyaknya kasus korupsi saat ini, mengisyaratkan bahwa masih
adanya perbuatan anggota masyarakat yang tidak sejalan dengan peraturanperaturan. Hukum berfungsi sebagai social control yang bersifat memaksa agar
masyarakat mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku untuk mengatur mengenai
korupsi sebagai suatu pengaturan yang wajib ditaati. Penegakan hukum bukanlah
semata-mata berarti pelaksanaan undang-undang walaupun di dalam kenyataannya di
Indonesia kecenderungannya adalah demikian sehingga pengertian law enforcement
begitu popular. Selain itu ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan
penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.20 Penegakan
hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam
kaidah-kaidah
atau
pandangan-pandangan
dengan
penilaian
yang
mantap,
mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir
19
Moh Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus,
Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, hlm.160.
20
Soerjono Soekanto, Op.cit. hlm.7.
24
untuk menciptakan (sebagai “social engineering”, memelihara dan mempertahankan
(sebagai “social control”) kedamaian pergaulan hidup.21
Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang
disebabkan karena :
1) Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang,
2) Belum ada peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan
undang-undang, dan
3) Ketidakjelasan arti kata-kata didalam undang-undang yang mengakibatkan
kesimpangsiuran dalam penafsiran serta penerapannya.
Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan bagi kelakuan atau perbuatan
manusia di dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan
mendapatkan tata atau keadilan. Hukum diadakan dengan tujuan agar menimbulkan
tata atau damai dan yang lebih dalam lagi yaitu keadilan didalam masyarakat
mendapatkan bagian yang sama.22 Hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia agar kepentingan manusia terlindungi dan hukum harus
dilaksanakan. Sejalan dengan perkembangan masyarakat bertambah banyak pula
peraturan-peraturan yang disusun untuk menata kehidupan yang modern sehingga
persoalan penegakan hukum atau masalah Law Enforcement dan Rule of
Law
menjadi sangat krusial.23
21
Soenarto, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977,
hlm.80.
22
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm.27.
Asri Muhammad Saleh, Menegakkan Hukum atau Mendirikan Hukum, Bina Mandiri Press,
Pekanbaru, 2003, hlm.29-30.
23
25
Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia tampak
tersendat dan bahkan sering terjadi stagnasi sehingga telah menimbulkan citra yang
negatif terhadap aparatur penegak hukum pada khususnya dan pemerintah pada
umumnya yang merupakan salah satu faktor yang melatar belakangi di bentuknya
komisi-komisi untuk masing-masing instrumen atau sub sistem dalam sistem
peradilan pidana.24 Upaya penegakan hukum dalam hukum pidana tidak dapat
dipandang sebagai tanggung jawab secara parsial dari pihak tertentu, hal tersebut
dikarenakan adanya keterkaitan berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu
sistem. Oleh karenanya, sebagai suatu sistem perlu dipahami mengenai sistem
peradilan pidana itu sendiri.
Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Di satu pihak
berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan
pada tingkatan tertentu, di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk
pencegahan. Efektivitas sistem peradilan pidana tergantung sepenuhnya pada
kemampuan infrastruktur pendukung sarana dan prasarananya, kemampuan
profesional aparat penegak hukumnya serta budaya hukum masyarakatnya25.
Pembentukan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dimaksudkan untuk
memerangi korupsi sekaligus untuk menjawab tantangan ketidak berdayaan sistem
peradilan pidana di Indonesia. Di Indonesia Sistem peradilan Pidana setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
mempunyai 4 (empat) subsistem, yaitu : subsistem Kepolisian yang secara
administratif di bawah Presiden, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan
24
25
Romli Atmasasmita, Op.cit.
Muladi, Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995, hlm.25.
26
di bawah Mahkamah agung dan Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen
Kehakiman. Dengan dibentuknya KPK berdasarkan Undang Undang No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai komisi yang dibentuk guna
memberantas korupsi secara otomatis KPK yang juga berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tentunya dapat dinyatakan sebagai salah
satu lembaga penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana
Indonesia.
Sistem peradilan pidana di Indonesia yang berdasarkan Undang-Undang No.8
Tahun 1981, memiliki sepuluh asas sebagai berikut26 :
1) Perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun.
2) Asas praduga tak bersalah.
3) Hak untuk memperoleh kompensasi(ganti rugi)dan rehabilitasi.
4) Hak untuk memperoleh bantuan hukum.
5) Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan.
6) Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana.
7) Peradilan yang terbuka untuk umum.
8) Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan
dilakukan dengan surat perintah (tertulis).
9) Hak seorang tersangka untuk diberikan bantuan tentang prasangkaan dan
pendakwaan terhadapnya.
26
Yesmil Anwar & Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen & Peaksanaannya
Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Widya Padjadjaran, 2009, hlm.67.
27
10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan putusannya.
Berkenaan dengan tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan dalam tahap
penyelidikan dihubungkan dengan asas-asas dalam sistem peradilan pidana, KPK
dalam melakukan pencekalan pada tahap penyelidikan dapat dikatakan bertentangan
dengan asas perlakuan yang sama dimuka hukum (equality before the law) dan asas
praduga tak bersalah (presumption of innocent).
Sebagaimana yang telah penulis bahas diatas, KPK sebagai sebuah lembaga
penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana Indonesia merupakan
suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang
No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UndangUndang No. 20 Tahun 2001 dan secara lebih dalam diatur dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK
adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Secara tegas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa KPK dalam
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tunduk kepada hukum acara
yang berlaku.
Pada penelitian ini, penulis akan mengerucutkan pembahasan dari seluruh
kewenangan yang dmiliki KPK dan terfokus pada tolak ukur KPK untuk melakukan
pencekalan dalam tahap penyelidikan. Pasal 1 butir 5 Undang-Undang No.8 Tahun
1981 tentang KUHAP mencantumkan bahwa :
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan/ penyelidikan untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini”
28
Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan dimulai. Kemudian hal yang perlu
digaris bawahi kalimat “mencari dan menemukan” tersebut adalah “suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana”. Dengan kata lain, “mencari dan menemukan”
berarti penyelidik berupaya atas inisiatif sendiri untuk menemukan peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana.27
Pembatasan penelitian ini hanya pada tahap penyelidikan dikarenakan tindakan
penyelidikan merupakan pintu gerbang mengenai dapat atau tidaknya suatu
perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana atau bukan. Pencekalan KPK dalam
tahap penyidikan dirasa wajar karena sudah ada bukti awal yang cukup dan ketika
penegak hukum telah menetapkan tersangka, pencekalan boleh dilakukan karena
kekhawatiran ada upaya menghilangkan barang bukti atau melarikan diri ke luar
negeri. Namun yang menarik ketika dilakukannya pencekalan dalam tahap
penyelidikan yang mana indikasi keterlibatan seseorang terhadap suatu tindak pidana
masih sangat mentah dan dengan tidak adanya tolak ukur yang jelas mengenai
pencekalan seseorang dalam tahap penyelidikan tentunya akan dapat menimbulkan
gesekan antara kepentingan proses penegakan hukum dengan masalah HAM seorang
individu yang dilindungi oleh UUD 1945.
Berdasarkan pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dikatakan bahwa HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan
27
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan), Sinar
Grafika, 2008, hlm.6.
29
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok
orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau
mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Dimana ada manusia disitu ada HAM yang harus dihargai dan dijunjung
tinggi.28 Ketika kita berbicara mengenai HAM tentunya akan menjadi pembahasan
yang sangat luas, namun dalam penelitian ini penulis akan berfokus kajian
pelanggaran HAM yang diakibatkan pada pencekalan KPK dalam tahap
penyelidikan dalam sistem peradilan pidana. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud
MD menyatakan, "Kalau seseorang baru diselidiki sudah dicekal, akan ada ribuan
orang yang dirugikan aturan itu. Oleh sebab itu, kalau memang sudah cukup bukti
segera saja dijadikan tersangka, sehingga disidik, agar bisa langsung dicekal. Kalau
masih kira-kira, diduga-duga, belum tersangka, tidak boleh dicekal, karena tindakan
itu melanggar HAM”.29
28
Gunawan Setiadirdja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius,
Yogyakarta, 1993, hlm.75.
29
WebsiteGOOGLE,http//berita.liputan6.com/read/.../mahfud-md-kecam-masalah
pencekalan.../(terakhir kali dikunjungi tanggal 7 Mei 2012 Pukul 17.00).
30
APTB atau Presumption of innocent dan APKDH atau equality before the law
bersumber dan berakar dari sumber atau akar yang sama yaitu HAM yang bersifat
universal serta mendapat pengaturan baik di dalam peraturan perundang-undangan
nasional maupun di dalam dokumen internasional. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa pengaturan suatu asas dalam hal ini APTB atau Presumption of
innocent dan APKDH atau equality before the law sebagai HAM untuk menegakkan
dan melindunginya sesuai dengan negara hukum yang demokratis adalah
diperlukan.30
Pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh instansi KPK
dianggap sah dan dapat dilakukan oleh KPK berdasarkan Undang-Undang No.30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun
pengaturan mengenai pencekalan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam proses penyelidikan yang diatur dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dinilai bertentangan
dengan asas hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia yakni asas praduga tak
bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau
Equality before the law, dan bertentangan pula dengan kepastian hukum yang adil.
Pencekalan yang dilakukan KPK dalam tahap penyelidikan yang mana
keterlibatan seseorang atas suatu kasus masih mentah namun sudah dilakukan
pembatasan hak nya untuk bepergian keluar negri dapat dinilai bertentangan dengan
asas praduga tak bersalah atau Presumption of innocent. Selain itu, Pencekalan yang
dilakukan KPK tanpa adanya batasan atau tolak ukur yang jelas mengenai siapa saja
30
Mien Rukmini, Op.cit.
31
yang diperbolehkan untuk dicekal menurut analisis penulis akan bertentangan
dengan APKDH atau equality before the law dan juga kepastian hukum yang adil.
Asas-asas hukum pidana tersebut yakni Asas praduga tak bersalah atau
presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau Equality before the
law, dan asas kepastian hukum yang adil diatur dalam UUD tahun 1945, UndangUndang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dan Undang-Undang No. 39 Tahun
1999 tentang HAM. Selain diatur dalam peraturan perundang-undangan diatas, asas
praduga tak bersalah atau presumption of innocence dan asas persamaan didepan
hukum atau Equality before the law juga dimuat dalam Pasal 8 ayat 1 UndangUndang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga pada Pasal 10
Undang-Undang No. 26 Tahun 200 tentang Pengadilan HAM.
HAM diartikan sebagai hak yang melekat pada sifat manusia yang tanpa hak
tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.31 Mencegah seseorang pergi
ke luar negeri dalam tahap penyelidikan dapat disalahgunakan untuk kepentingan di
luar penegakan hukum. Hal ini dinilai melanggar hak seseorang yang dijamin
konstitusi, yaitu hak yang ditentukan dalam UUD 1945 yang terdapat pada Pasal 1
ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D, Pasal 28 E ayat (1), Pasal 28I ayat (4) yang
berbunyi :
“Negara Indonesia adalah negara hukum”
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”
31
Yesmil Anwar, Op.cit..
32
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memili pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali”
“Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”
Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan
didepan hukum atau equality before the law dan kepastian hukum yang adil tidak
secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang KUHAP, namun asas-asas tersebut tersirat baik dalam bagian Menimbang
huruf a, kemudian juga pada bagian Penjelasan Umum angka 2 dan angka 3
KUHAP. Pada bagian Menimbang huruf a dari KUHAP berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan
kedudukannya di depan hukum...”
Pada bagian Penjelasan Umum KUHAP dikemukaan adanya sepuluh asas
yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap keluhuran harkat dan martabat
manusia. Dari kesepuluh asas tersebut, asas yang berkaitan dengan pencekalan KPK
dalam tahap penyelidikan adalah Asas praduga tak bersalah (Presumption of
innocent) dan mengenai perlakuan sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun.
Sehubungan dengan hal diatas, pengaturan yang juga mencantumkan
ketentuan mengenai perlindungan HAM dihubungkan dengan pencekalan dalam
tahap penyelidikan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang HAM ialah pada Pasal 3 ayat (2) dan (3), kemudian Pasal 18 ayat (1) yang
berbunyi sebagai berikut :
33
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan hukum”
“Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar manusia, tanpa diskriminasi”
“Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka
melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah,
sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang
pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”.
Tindakan pencegahan dan penangkalan terhadap seseorang sebelum ditetapkan
sebagai tersangka atau dalam proses penyelidikan merupakan tindakan yang
melanggar HAM. Selain melanggar asas hukum pidana yakni asas Presumption of
innocent dan asas equality before the law yang tersirat dalam pasal 3 ayat (2) dan (3)
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Hal ini juga tidak sesuai dengan
Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang
berbunyi :
“Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak,
berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik
Indonesia”
“Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk
kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Selain melihat peraturan perundang-undangan diatas, terdapat pengaturan lain
mengenai hal ini yang tercantum dalam Pasal 13 dari Universal Declaration Of
Humas Rights yang mana Republik Indonesia sendiri sebagai anggota dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa sangat menjunjung tinggi United Declaration of Human
Rights. Pasal 13 dari Universal Declaration Of Humas Rights yang berbunyi sebagai
berikut :
34
“1) Everyone has the right to freedom of movement and residence. Within the
borders of each state.
2) Everyone has the right to leave any country, including his own, and to
return to his country.”
Terjemahan pasal di atas adalah sebagai berikut :
1) Setiap orang memiliki hak untuk bergerak dan memilih tempat tinggal
sepanjang berada dalam batas-batas wilayah negara, negara masingmasing.
2) Setiap orang memiliki hak untuk meninggalkan negara mana pun,
termasuk negaranya sendiri, serta untuk kembali kenegaranya sendiri.
Di Indonesia, dalam praktik belum terdapat kesepakatan mengenai makna yang
terkandung didalamnya dan sering terjadi penyimpangan atau pelanggaran ditambah
lagi dengan pengaturan yang tidak jelas dan sering terjadi kerancuan bahkan
perbenturan dengan adanya tindakan upaya paksa yang tidak sesuai dengan prosedur
dan peraturan perundang-undangan.32
1.6. Metode Penelitian
Metode adalah tata cara atau prosedur yang harus ditempuh dalam melakukan
suatu kegiatan, dalam hal ini kegiatan tersebut adalah kegiatan penelitian hukum.33
Berkenaan dengan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian bersifat
yuridis normatif yaitu penelitian yang digunakan dengan cara meneliti bahan hukum
sekunder atau penelitian berdasarkan aturan-aturan baku yang telah dibukukan
disebut juga dengan penelitian kepustakaan34. Dengan demikian, dalam penulisan
tesis ini digunakan metode penelitian antara lain sebagai berikut :
32
33
Ibid, hlm.69.
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, Universitas Atma Jaya, Jakarta,
hlm.9.
34
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2004, hlm.13-14.
35
1.6.1
Metode Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research) atau penelitian
hukum dogmatik (dogmatic law research) atau biasa disebut penelitian
doktrinal. Dikatakan sebagai suatu kegiatan penelitian hukum maka metode
pendekatan yang diterapkan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini
adalah menggunakan penelitian yuridis normatif yakni dengan melalui suatu
pendekatan konseptual (analytical and conceptual approach) dan pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dengan menggunakan pola penalaran
deduktif guna menemukan kebenaran yang obyektif.
1.6.2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analitis yang berupa penggambaran, penelaahan dan penganalisaan
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Metode ini memiliki tujuan untuk
memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh tentang tolok
ukur pencekalan terhadap saksi yang dilakukan KPK dalam tahap penyelidikan
dihubungkan dengan HAM dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
1.6.3. Tahap Penelitian
Penelitian ini dilakukan oleh penulis dalam proses tahapan sebagai
berikut:
1) Studi kepustakaan, dalam hal ini penelitian dilakukan dengan
mempelajari dan menelaah data sekunder yang berkaitan dengan objek
penelitian.
2) Studi lapangan, dalam hal ini penelitian dilakukan dengan mempelajari
dan menelaah data primer yaitu melalui wawancara (interview) untuk
36
mendengar pendapat dan pemikiran dari pihak KPK yang menjadi
narasumber dalam penelitian ini. Instrumen yang digunakan dalam
wawancara ini adalah pedoman wawancara (inverview guidelines),
dimana instrumen tersebut disusun dengan mengacu pada masalah hukum
yang akan di teliti.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Data
Data-data penelitian yang telah diperoleh kemudian dikelompokkan
dengan menggunakan pola atau teknik sebagai berikut :
1) Studi Dokumen
Studi ini dilakukan menggunakan teknik penelusuran secara sistematis
terhadap data-data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum primer,
sekunder dan tertier. Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder
yang terdiri dari :
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat atau data pokok dari permasalahan yang akan diteliti antara
lain sebagai berikut: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang
keimigrasian, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
wewenang KPK untuk melakukan pencekalan dalam proses
penyelidikan.
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan
hukum primer seperti : buku, catatan kuliah, artikel, internet dan lain
37
sebagainya yang tentunya berkaitan dengan permasalahan yang akan
diteliti.
c. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti : kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia.
2) Wawancara
Dimaksudkan untuk melengkapi data yang bersumber dari data sekunder
yakni : bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tertier. Teknik yang digunakan melalui wawancara terbuka (open
interview) yang kemudian dipandu dengan serangkaian konsep dan
subjeknya adalah para pakar hukum pidana dan aparat penegak hukum
yang terkait dalam kewenangan KPK untuk melakukan pencekalan
terhadap saksi dalam tahap penyelidikan.
1.6.5. Analisis Data
Berdasarkan rumusan permasalahan dan pembahasan atas permasalahan
yang dipergunakan maka analisis data dilakukan secara kualitatif dalam artian suatu
metode analisis data yang tidak menampilkan angka-angka sebagai hasil
penelitiannya melainkan disajikan dalam bentuk pembahasan dengan uraian kalimatkalimat dan dipaparkan dalam bentuk tulisan.35 Hasil penelitian akan dianalisis
secara yuridis kualitatif dengan cara melakukan penggabungan data hasil studi
literatur atau kepustakaan dan studi lapangan. Data tersebut kemudian diolah dan
35
Bambang waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm.62.
38
dicari keterkaitan serta hubungannya antara satu dengan yang lainnya sehingga
diperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian.36
1.6.6. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Riau, Jakarta dan Bandung dengan
mengumpulkan data dan bahan hukum sekunder dari beberapa perpustakaan,
diantaranya ialah perpustakaan pada Program Pasca Sarjana Universitas
Padjadjaran, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung,
dan beberapa perpustakaan hukum yang tersebar diberbagai perguruan tinggi
negeri maupun swasta di Riau. Selain itu, pengumpulan bahan-bahan dalam
penelitian ini juga diperoleh dari KPK yang berkantor di Jakarta.
1.7. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman permasalahan yang akan
dibahas dalam tesis ini, maka sistematika penulisan akan diuraikan dalam beberapa
bab yang terdiri dari :
BAB
I
PENDAHULUAN
Bab satu berisikan pendahuluan yang membahas secara umum dan
singkat mengenai latar belakang, identifikasi masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian
dan sistematika penulisan.
36
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
Cetakan Keenam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.19-20.
39
BAB II
TINJAUAN UMUM PENCEKALAN SAKSI KPK DALAM TAHAP
PENYELIDIKAN
Bab dua berisikan uraian mengenai teori yang berkenaan dengan
pencekalan terhadap saksi yang dilakukan KPK dalam tahap
penyelidikan dikaitkan dengan HAM dalam sistem peradilan pidana.
Bab ini berisikan 7 sub-bab. Sub-bab pertama mengenai korupsi
sebagai extra ordinary crime. Sub-bab kedua mengenai teori penegakan
hukum tindak pidana korupsi. Sub-bab ketiga mengenai asas legalitas.
Sub-bab keempat mengenai KPK dalam sistem peradilan pidana. Subbab kelima mengenai teori pencekalan dalam hukum acara pidana, Subbab keenam mengenai penyelidikan, Sub-bab ketujuh mengenai teori
HAM.
BAB III
KASUS PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KPK DALAM
TAHAP PENYELIDIKAN
BAB tiga berisikan 3 sub-bab. Sub-bab pertama adalah pencekalan
yang dilakukan KPK terhadap Gubernur Riau H.M. Rusli zainal terkait
dengan kasus PON yang diselenggarakan di Provinsi Riau. Sub-bab
kedua mengenai pencekalan yang dilakukan KPK terhadap Direktur
Dutasari Citralaras yakni Mahfud Suroso terkait penyelidikan kasus
hambalang. Sub-bab ketiga mengenai pencekalan Ridwan Hakim
terkait kasus pengurusan kuota impor daging sapi.
BAB IV
ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI YANG
DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM
40
TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN HAK ASASI
MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA.
Bab empat berisikan uraian mengenai analisis terhadap tolok ukur KPK
untuk melakukan pencekalan saksi dalam tahap penyelidikan
dihubungkan dengan HAM dalam sistem peradilan pidana. Sub-bab
pertama mengenai kewenangan KPK melakukan pencekalan terhadap
saksi dalam proses penyelidikan dikaitkan dengan HAM. Sub-bab
kedua mengenai tolok ukur KPK melakukan pencekalan terhadap saksi
dalam proses penyelidikan.
BAB V
PENUTUP
Bab lima akan berisi penutup yang terdiri dari dua sub-bab. Sub-bab
pertama yakni kesimpulan dan sub-bab kedua berisi saran dari hasil
penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN UMUM TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI YANG
DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM TAHAP
PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA
DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
2.1. Korupsi Sebagai Extra ordinary Crime
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai tindak pidana korupsi sebagai extra
ordinary crime, penulis terlebih dahulu akan memaparkan mengenai pengertian dari
korupsi itu sendiri. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju
masyarakat adil dan makmur. Berdasarkan Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi”
(dari bahasa Latin : corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana
para pejabat, badan-badan negara menyelahgunakan wewenang dengan terjadinya
penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.37
Secara harfiah, korupsi dapat diartikan sebagai penyelewengan atau
penggelapan uang negara atau perusahaan untuk keuntungan pribadi atau oranglain.
Sedangkan kata “korup” berarti buruk, rusak, busuk, suka memakai barang (uang)
yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya) untuk
kepentingan pribadi.37 Menurut Poerwadarminta, korupsi adalah perbuatan yang
buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.38 Rumusan
lain dari korupsi dikemukakan oleh Robert C. Brooks yang menyatakan bahwa
38
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, dalam krisna harahap,
Memberantas Korupsi Jalan Tiada Ujung, Bandung, Grafiti, 2006, hlm.1.
38
WJS. Poerwardarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1998,
hlm.10.
41
42
dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai
kewajiban atau hak menggunakan kekuasaan dengan tujuan memperoleh keuntungan
yang sedikit banyak bersifat pribadi.39 Dari beberapa pengertian tersebut diatas maka
dapat dijelaskan bahwa korupsi itu adalah suatu perbuatan yang sengaja dilakukan
secara melawan hukum untuk kepentingan diri sendiri atau oranglain dengan
merugikan keuangan atau perekonomian negara. Ciri-ciri korupsi antara lain sebagai
berikut :40
1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
2) Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan.
3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
4) Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran
hukum.
5) Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan
keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mempengaruhi
keputusan-keputusan itu.
6) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik
atau masyarakat umum.
7) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
39
40
Syed Husin Alatas, Korupsi, Sifat Sebab dan Fungsi, Jakarta, LP3ES, 1991, hlm.7.
Syed Husin Alatas, Sosiologi Korupsi, Jakarta, LP3ES, 1998, hlm.12-14.
43
8) Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari
mereka yang melakukan tindakan itu.
9) Korupsi itu melanggar norma-norma tugas dan penanggungjawaban dalam
tatanan masyarakat.
Tindak pidana korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan
dengan tindak pidana lain di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat dimaklumi
mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang
ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan
masalah yang sangat serius. Tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan
keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga
politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun
perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya.
Hasil dari UN Convention Against Corruption 2003 diantaranya menyatakan
bahwa korupsi adalah ancaman bagi keamanan dan kestabilan masyarakat, merusak
nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi, merusak nilai-nilai moral dan keadilan,
membahayakan pembangunan yang berkelanjutan, rule of law dan mengancam
stabilitas politik. Tidak jauh berbeda dengan hasil konvensi tersebut, Kongres PBB
XI tahun 2005 juga menyatakan tentang hakikat bahaya korupsi yaitu merintangi
kemajuan sosial, ekonomi dan politik, sumber daya masyarakat dialokasikan tidak
efisien,
meningkatnya
ketidakpercayaan
terhadap
lembaga-lembaga
politik,
produktivitas menurun, efisiensi administratif berkurang, merusak atau mengurangi
legitimasi tatanan politik dan mengganggu pembangunan ekonomi yang berakibat
pada ketidakstabilan politik, lemahnya infrastruktur, sistem pendidikan dan
44
kesehatan dan pelayanan sosial lainnya. Dengan melihat multi effect dari korupsi di
atas, sangatlah wajar jika korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime dengan
berbagai dimensinya seperti economic crime, organized crime, white collar crime
dan political crime. Dengan bentuknya yang extra ordinary crime, maka upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi harus ditempuh dengan cara-cara yang luar
biasa pula.
Tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah digolongkan sebagai kejahatan
luar biasa atau extra ordinary crime, menurut Romli Atmasasmita dikarenakan : 41
1) Masalah korupsi di Indonesia sudah berurat berakar dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, dan ternyata salah satu program pemerintah adalah
penegakan hukum secara konsisten dan pemberantasan KKN. Masalah
korupsi pada tingkat dunia diakui merupakan kejahatan yang sangat
kompleks, bersifat sistemik dan meluas dan sudah merupakan suatu binatang
gurita yang mencengkeram seluruh tatanan sosial dan pemerintahan. Centre
for International Crime Prevention (CICP) adalah salah satu organ
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkedudukan di Wina telah secara luas
mendefinisikan korupsi sebagai “misusse of (public) power to privat gain”.
Berbagai wajah korupsi oleh CICP sudah diuraikan termasuk tindak pidana
suap (bribery), penggelapan (embezzlement), penipuan (freud), pemerasan
yang berkaitan dengan jabatan (extortion), penyalahgunaan wewenang (abuse
of discretion), pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis
untuk kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict
41
Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional,
Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm.4-5.
45
interest, insider trading), nepotisme (nepotism), komisi yang diterima pejabat
publik dalam kaitan bisnis (illegal commision), dan kontribusi uang secara
illegal untuk partai politik.
2) Korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan hanya merupakan
masalah
hukum
semata-mata
melainkan
sesungguhnya
merupakan
pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia.
3) Kebocoran APBN selama 4 (empat) Pelita sebesar 30 persen telah
menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar dalam
kehidupan masyarakat karena sebagian rakyat tidak dapat menikmati hak
yang seharusnya ia peroleh. Konsekuensi logis dari keadaan sedemikian,
maka korupsi telah melemahkan ketahanan sosial bangsa dan negara
Republik Indonesia.
4) Penegakan hukum terhadap korupsi dalam kenyataannya telah diberlakukan
secara diskriminatif baik berdasarkan status sosial maupun berdasarkan latar
belakang politik seseorang tersangka atau terdakwa.
5) Korupsi di Indonesia bukan lagi Commission of Anti Corruption (CAC) di
Hongkong telah membuktikan bahwa korupsi dalam era perdagangan global
dewasa ini adalah merupakan hasil kolaborasi antara sektor publik dan
sektor swasta. Dan justru menurut penelitian tersebut pemberantasan
korupsi jenis ini merupakan yang tersulit dibandingkan dengan korupsi
yang hanya terjadi di sektor publik. Kita menyaksikan bahwa korupsi di
Indonesia sudah merupakan kolaborasi antara pelaku di sektor publik dan
46
sektor swasta. Perkembangan kelima cocok dengan perkembangan di tanah
air, karena kebijakan pemerintah dalam pembentukan BUMN atau BUMD
atau pernyataan modal pemerintah kepada sektor swasta, sehingga
pemberantasan korupsi di Indonesia jauh lebih sulit dari Hongkong,
Australia dan negara-negara lain”.
Menurut Muladi, dampak luas korupsi terhadap Indonesia berupa :42
1) Merendahkan martabat bangsa di forum internasional.
2) Menurunkan kepercayaan investor, baik domestik maupun asing.
3) Bersifat meluas (widespread) di segala sektor pemerintahan (eksekutif,
legislatif, dan yudikatif), baik di sektor pusat maupun daerah.
4) Bersifat transnasional dan bukan lagi masalah per negara.
5) Cenderung merugikan keuangan negara dalam jumlah yang signifikan.
6) Merusak moral bangsa (moral and value damage).
7) Menghianati agenda reformasi.
8) Menggangu stabilitas dan keamanan negara.
9) Mencederai keadilan dan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development).
10) Menodai supremasi hukum (jeopardizing the rule of law).
42
Muladi, Makalah Konsep Total Enforcement dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dalam Kerangka Politik Hukum, forum koordinasi dan konsultasi dalam rangka intersifikasi
pemberantasan tindak pidana korupsi, Jakarta, 2006, hlm.14.
47
11) Semakin berbahaya karena bersinergi negatif dengan kejahatan ekonomi
lain, seperti “money laundering”.
12) Bersifat terorganisasi (organize crime) yang cenderung transnasional.
13) Melanggar HAM.
Masalah korupsi bukan lagi masalah baru dalam persoalan hukum dan
ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang
lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk juga di Indonesia.
Korupsi telah merayap dan meyelinap dalam berbagai bentuk atau modus operandi
sehingga menggerogoti keuangan negara, perekonomian negara dan merugikan
kepentingan masyarakat.43 Menyadari hal tersebut pemerintah Indonesia telah
melakukan langkah-langkah yang dilakukan untuk memberantas tindak pidana
korupsi selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa
perubahan peraturan perundang-undangan. Istilah korupsi pertama sekali hadir
dalam khasanah hukum di Indonesia yakni dalam Peraturan Penguasa Perang No.
Prt/Perpu/013/1958
tentang
Peraturan
Pemberantasan
Korupsi.
Kemudian,
dimasukkan juga dalam Undang-Undang No. 24/Prp/1960 tentang Pengusutan
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini kemudian
dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindang Pidana Korupsi, yang kemudian tanggal 16 Agustus 1999
digantikan oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif
43
Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, 1991, hlm.2.
48
paling lambat 2 (dua) tahun kemudian (16 Agustus 2001) dan kemudian diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001.44
Merebaknya praktik korupsi di indonesia telah mengancam upaya negara
dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, bahkan dalam kehidupan bernegara
praktik korupsi melemahkan institusi dan nilai-nilai demokrasi serta institusi
penegakan hukum. Kini perkembangan tindak pidana korupsi sudah begitu masif,
baik dalam jumlah kerugian keuangan negara maupun kualitas tindak pidana yang
dilakukan. Dalam sudut pandang HAM, praktik korupsi yang meluas dan sistematis
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat. Oleh karena itu korupsi tidak lagi dimaknai ordinary crime melainkan
dipahami sebagai extra ordinary crime.
Pembicaraan mengenai korupsi memang akan menemukan kenyataan yang
buruk karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat, keadaan yang busuk,
jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam
jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga
atau golongan kedalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya.45
Kausa atau sebab orang melakukan perbuatan korupsi di Indonesia46 :
1) Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai neggeri dibandingkan
dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat.
2) Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan
sumber atau sebab meluasnya korupsi.
44
Darwan Prinst, Op.cit, hlm.1.
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.9.
46
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.13-20.
45
49
3) Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan
efisien.
4) Penyebab korupsi adalah Modernisasi.
Ganasnya cengkeraman gurita korupsi yang menghisap kekayaan negara dan
melemahkan perekonomian nasional mengakibatkan banyak rakyat tidak dapat
menikmati distribusi kekayaan negara secara adil. Masih banyaknya rakyat yang
hidup dibawah garis kemiskinan dan pada saat yang sama beberapa orang memakan
uang negara trilyun rupiah merupakan potret pelanggaran hak asasi yang sistemik.
Gurita korupsi juga mengakibatkan rakyat miskin terhalang mendapatkan akses
terhadap keadilan. Rakyat yang lemah juga akan sulit mendapatkan perlakuan yang
sama dihadapan hukum. Racun gurita korupsi akan membuat lemas organ tubuh
institusi penegak hukum.
Masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia hingga saat ini adalah
merajalelanya korupsi, terutama yang berkualifikasi korupsi politik. Korupsi
merupakan faktor penghalang pembangunan ekonomi, sosial, politik dan budaya
bangsa. Negara Indonesia sejak tahun 2002 dengan diberlakukannya UndangUndang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK) mengklasifikasikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra
ordinary crimes), hal ini dikarenakan korupsi di Indonesia sudah meluas dan
sistematis yang melanggar hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
cara-cara pemberantasan korupsi yang luar biasa.
50
2.2. Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi
Menurut Lawrence Meir Fridman, bahwa sistem hukum itu harus memenuhi :
Struktur (Structure), Substansi (Subtance), dan Kultur hukum (Legal Culture).47
Sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) subsistem yang terdiri dari :
1) Substansi hukum, yang berupa peraturan perundang-undangan atau isi
dari sebuah peraturan.
2) Struktur hukum, adalah aparat penegak hukum beserta sarana dan
prasarananya.
3) Budaya hukum, berupa prilaku dari anggota masyarakat itu sendiri.
Dari ketiga subsistem ini yang akan dikaji sesuai dengan teori diatas adalah
mengenai struktur hukumnya. Struktur atau aparat hukum merupakan suatu
komponen yang penting dalam pembangunan hukum yang mana diciptakannya
lembaga-lembaga hukum dengan personil-personil yang berkwalitas dalam arti
bukan hanya memahami hukum namun diperlukan pula integritas moral yang tinggi
yang tentunya dapat dicari pada proses rekrutmen dan kemudian dibentuk lebih
lanjut dalam proses pendidikan khusus yang dirancang untuk penugasan tersebut.48
Dengan banyaknya kasus korupsi belakangan ini, mengisyaratkan bahwa
masih adanya perbuatan anggota masyarakat yang tidak sejalan dengan peraturanperaturan yang berlaku di negara ini. Hukum berfungsi sebagai sosial control yang
bersifat memaksa agar masyarakat mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku untuk
mengatur mengenai korupsi sebagai suatu pengaturan yang wajib ditaati. Penegakan
hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan undang-undang walaupun di
47
48
Yesmil Anwar & Adang, Op.cit.
Moh Hatta, Op.cit.
51
dalam kenyataannya di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga
pengertian law enforcement begitu popular selain itu ada kecenderungan yang kuat
untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan
hakim.49 Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan dengan menilai yang mantap
dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir
untuk menciptakan (sebagai “social engineering”), memelihara dan mempertahankan
(sebagai “social control”) kedamaian pergaulan hidup.50
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah :
1) Faktor hukumnya sendiri, yang didalam tulisan ini akan dibatasi pada
undang-undangnya saja.
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.51
Gangguan terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi yang berasal dari
undang-undang disebabkan karena tidak diikutinya asas-asas berlakunya undangundang, belum ada peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan
undang-undang dan ketidakjelasan arti kata-kata didalam undang-undang yang
49
50
Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm.7-8.
Soenarto, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977,
hlm.80.
51
Soerjono Soekanto, Op.cit. hlm.8.
52
mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penafsiran serta penerapannya.52 Hukum
adalah keseluruhan peraturan-peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di
dalam
masyarakat
yang pelaksanaannya dapat
dipaksakan
dan
bertujuan
mendapatkan tata atau keadilan.
Hukum diadakan dengan tujuan agar menimbulkan tata atau damai dan yang
lebih dalam lagi yaitu keadilan didalam masyarakat mendapatkan bagian yang
sama.53 Sedangkan hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang
berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk menentukan
perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang, dengan disertai dengan
ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggarnya. Sehingga
tidak ada lagi masyarakat yang merasa bahwa keadilan tersebut hanya ditujukan
untuk sebagian orang saja.54 Menurut Satjipto Raharjo, Secara konsepsional
efektivitas penegakan hukum sekurang-kurangnya dipengaruhi oleh lima faktor
utama, yaitu :
55
1) Sumber daya peraturan perundang-undangan.
2) Sumber daya manusia penegak hukum.
3) Sumber daya fisik (sarana dan prasarana) penegakan hukum.
4) Sumber daya keuangan.
5) Sumber daya pendukung lainnya berupa kesadaran hukum masyarakat dan
pra kondisi yang dipersiapkan untuk mengefektifkan penegakan hukum.
52
Ibid, hlm.17.
R. Soeroso, Op.cit, hlm.27.
54 Moeljatno, Op.cit, hlm.1.
55
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi, Sinar Baru,
Jakarta, 1983, hlm.18.
53
53
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan
yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.56 Konsep keadilan terkandung
makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum, serta
asas proporsionalitas antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. Kepastian
hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya
mewujudkan keadilan. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan
dihadapan hukum tanpa diskriminasi.57 Penerapan keadilan dan kepastian hukum
dapat saja terjadi gesekan. Kepastian hukum yang menghendaki persamaan di
hadapan hukum tentu lebih cenderung menghendaki hukum yang statis. Aturan
hukum harus dilaksanakan untuk semua kasus yang terjadi, sedangkan keadilan
memiliki sifat dinamis harus selalu melihat konteks peristiwa dan masyarakat di
mana peristiwa itu terjadi.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia agar kepentingan
manusia terlindungi dan hukum harus dilaksanakan. Sejalan dengan perkembangan
masyarakat bertambah banyak pula peraturan-peraturan yang disusun untuk menata
kehidupan yang modern sehingga persoalan penegakan hukum atau masalah Law
Enforcement dan Rule of Law menjadi sangat krusial.58 Menurut Soerjono Soekanto,
penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai terjabarkan
didalam kaedah-kaedah yang mantap dan mengejawantan dan sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan
56
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
1999, hlm.145.
57
Mohammad Mahfud MD, Makalah “Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang
Baik”, hlm.4.
58
Asri Muhammad Saleh, Op.cit , hlm.29-30.
54
kedamaian pergaulan hidup,59sehingga dalam penegakan hukum tersebut harus
diperhatikan unsur-unsur kepastian hukum, keadilan dan manfaatnya.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia tampak
tersendat dan bahkan sering terjadi stagnasi sehingga telah menimbulkan citra yang
negatif terhadap aparatur penegak hukum pada khususnya dan pemerintah pada
umumnya yang merupakan salah satu faktor yang melatar belakangi di bentuknya
komisi-komisi untuk masing-masing instrumen atau sub sistem dalam sistem
peradilan pidana.60 Upaya penegakan hukum dalam hukum pidana tidak dapat
dipandang sebagai tanggung jawab secara parsial dari pihak tertentu, hal tersebut
dikarenakan adanya keterkaitan berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu
sistem. Oleh karenanya, sebagai suatu sistem perlu dipahami mengenai sistem
peradilan pidana itu sendiri.
Faktor yang menyebabkan tumpulnya penegakan hukum juga disebabkan oleh
sulitnya menemukan formula yang ampuh dalam memberantas korupsi yang sudah
membudaya. Hal ini disebabkan karena korupsi sudah bersifat endemik dan
sistematik. Pengertian dari endemik adalah dimana korupsi sudah menyebar secara
luas (widespread) keseluruh lapisan birokrasi, khususnya lembaga peradilan
(Judicial corruption), dan definisi dari sistematik adalah korupsi sudah masuk ke
seluruh sistem pemerintahan dan perekonomian negara Indonesia. Lemahnya
penegakan hukum di Indonesia juga diakibatkan oleh belum adanya keinginan dari
aparat penegak hukum sendiri untuk melakukan perubahan internal, dimana telah
bergesernya nilai-nilai yang dianut pengembang profesi hukum dan degradasi
59
60
Soerjono Soekanto, Op.cit.
Romli Atmasasmita, Op.cit.
55
kualitas penegak hukum sendiri, dan belum adanya niat untuk melakukan perubahan
(reform) terhadap instansinya masing-masing.
2.3. Asas Legalitas
Asas legalitas yang menjadi salah satu ciri negara hukum dimana suatu
perbuatan dapat dikenakan sanksi apabila telah ada pengaturannya. Asas legalitas
merupakan asas yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan termasuk dalam
kategori perbuatan pidana yang merupakan terjemahan dari principle of legality.
Asas legalitas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dengan perundangundangan, Biasanya ini dikenal dalam bahasan Latin sebagai “Nullum delictum nulla
poena sina praevia lege” yang artinya “Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
peraturan terlebih dahulu”.61 Asas legalitas ini merupakan perlindungan kepada
perorangan terhadap kesewenang-wenangan yang mungkin dilakukan penguasa
terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, asas legalitas merupakan asas yang esensiel di
dalam penerapan hukum pidana.
Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHP
mencantumkan asas legalitas ini sebagai berikut : “Tiada suatu perbuatan dapat
dipidana kecuali atas ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang
telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Perumusan asas legalitas menurut Nyoman
Serikat Putra Jaya menyebutkan bahwa dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung
makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah undang-
61
Moeljatno, Op.cit, hlm.23.
56
undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”,
artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut. Asas
legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan
larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive
application of criminal laws and criminal sanctions).62 Sedangkan Andi Hamzah
menerjemahkan dengan terminologi asas legalitas yakni “Tiada suatu perbuatan (feit)
yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang mendahuluinya”.63 Moeljatno menyebutkan pula bahwa, “Tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. 64
Asas legalitas di samping dikenal dalam ketentuan hukum pidana materiel juga
dikenal dalam ketentuan hukum acara pidana (hukum pidana formal). Andi Hamzah
kemudian lebih lanjut menyebutkan bahwa dengan demikian, asas legalitas dalam
hukum acara pidana lebih ketat daripada dalam hukum pidana materiel, karena
istilah dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP (sama dengan Belanda) “ketentuan perundangundangan” (wettelijk strafbepaling) sedangkan dalam hukum acara pidana disebut
undang-undang pidana. Jadi, suatu peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat menentukan suatu perbuatan dapat dipidana
tetapi tidak boleh membuat aturan acara pidana.65
62
Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm.1.
63
Andi Hamzah, Op.cit, hlm.41.
64
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm.3.
65
Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.43.
57
Hakikat ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan tentang
pemberlakuan hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana (tempus delicti).
Konkritnya, untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan agar dipidana
maka ketentuan pidana tersebut harus ada terlebih dahulu diatur sebelum perbuatan
dilakukan.
Menurut Lamintang, asas legalitas ini yang dalam rumusan bahasa latin yaitu
nullum crimen noela poena sine praevia lege poenali yang diciptakan oleh Paul
Johan Anselm von Feuerbach” pada abad ke-19 dalam bukunya yang berjudul
lehrbuch des Peinlichen Rechts (1801), yang artinya tidak ada (nullum) delik, tiada
pidana (poena) tanpa (sine) terlebih dahulu diadakan (preavia) ketentuan (lege
poenali). Ajaran Feuerbach ini dikemukannya sehubungan dengan pembatasan
keinginan manusia untuk melakukan suatu kejahatan, ajaran ini dikenal dengan teori
Psychoolgise zwang yang memuat tiga ketentuan yaitu :
1)
Nulla puna sine lege, yang bermakna bahwa setiap penjatuhan hukuman
haruslah didasarkan pada suatu undang-undang pidana.
2) Nulla Poena Sine Crimine, yang artinya bahwa suatu penjatuhan
hukuman
hanyalah
dapat
dilakukan,
apabila
perbuatan
yang
bersangkutan telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang.
3) Nullum Crimen Sine Poena Legali, yang artinya bahwa perbutan yang
telah diancam dengan hukuman oleh undang-undang itu apabila
58
dilanggar dapat berakibat dijatuhkannya hukuman seperti yang
diancamkan undang-undang terhadap pelanggarnya.66
Moeljatno menyebutkan bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian,
yaitu:
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal
itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (kiyas).
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.67
Selain itu, menurut Jan Remmelink menyebutkan tiga hal tentang makna asas
legalitas, antara lain :
1) Konsep perundang-undang yang diandaikan ketentuan Pasal 1 :
Ketentuan Pasal 1 Sv (KUH Pidana Belanda maupun Indonesia,
berdasarkan. Pasal 3 KUHP) menetapkan bahwa hanya perundangundangan dalam arti formal yang dapat memberi pengaturan di bidang
pemidanaan. Kata perundang-undangan (wettelijk) dalam ketentuan
Pasal 1 KUHP menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup
pemahaman
bahwa
pidana
akan
ditetapkan
secara
legitimate.
Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa pelbagai bentuk perundangundangan tercakup di dalamnya, termasuk peraturan yang dibuat oleh
66
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. III, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, hlm.132-134.
67
Moeljatno , Asas–Asas Hukum Pidana, Cet. Ke – VII, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm.25.
59
pemerintah daerah (tingkat provinsi maupun kabupaten / kotamadya) dan
seterusnya.
2) Lex Certa (undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat / nilai
relatif dari ketentuan ini). Asas Lex Certa atau bestimmtheitsgebot
merupakan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu
rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi
keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat
membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak akan berguna
sebagai pedoman perilaku.
3) Dimensi analogi. Asas legalitas menyimpan larangan untuk menerapkan
ketentuan pidana secara analogis (nullum crimen sine lege stricta: tiada
ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit / ketat di dalam
peraturan perundang-undangan).68
Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa perumusan ketentuan Pasal 1 ayat
(1) KUHP mengandung di dalamnya asas “legalitas formal”, asas “lex certa”,
dan asas “Lex Temporis Delicti” atau asas “non retroaktif”. Asas legalitas formal
(lex scripta) dalam tradisi civil law sebagai penghukuman harus didasarkan pada
ketentuan Undang-Undang atau hukum tertulis. Undang-Undang (statutory, law)
harus mengatur terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai tindak pidana. Lex
Certa atau bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam merumuskan
undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege
68
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan
Berencana, CV Rajawali, Jakarta, 1982, hlm.220.
60
stricta).69 Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan
ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana)
karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu
tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Kemudian asas nonretroaktif menentukan
peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut
(retroaktif) akan tetapi harus bersifat prospectif. Oleh karena itu maka makna asas
legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak ada 4 (empat) larangan
(prohibitions) yang dapat dikembangkan asas tersebut, yaitu:70
1) “Nullum crimen, nulla poena sine lege scripta (larangan untuk memidana
atas dasar hukum tidak tertulis-unwritten law).
2) “Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta (larangan untuk melakukan
analogy).
3) “Nullum crimen, nulla poena sine lege praevia” (larangan terhadap
pemberlakuan hukum pidana secara surut).
4) “Nullum crimen, nulla poena sine lege certa” (larangan terhadap
perumusan hukum pidana yang tidak jelas.
69
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003, hlm. 1.
70
Ibid.
61
2.4. KPK Dalam Sistem Peradilan Pidana
Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk juga penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi, selain dibutuhkan seperangkat peraturan perundangundangan tentunya dibutuhkan juga instrumen penggeraknya yaitu institusi-institusi
penegak hukum dan implementasinya melalui mekanisme kerja dalam sebuah sistem
yang disebut sebagai sistem peradilan pidana (criminal justice system).
Sistem peradilan pidana yang merupakan terjemahan dari Criminal Justice
System yang merupakan sistem kekuasaan atau kewenangan menegakkan hukum
pidana. Sistem peradilan pidana dapat dikatakan juga sebagai suatu rangkaian antara
satu lembaga dengan lembaga lainnya dimana kesemuanya saling berkait yang pada
hakikatnya juga identik dengan sistem kekuasaan kehakiman dibidang hukum pidana
yang diimplementasikan dalam 4 (empat) subsistem, yaitu : kekuasaan penyidikan
oleh lembaga penyidik, kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum,
kekuasaan mengadili atau menjatuhkan putusan oleh badan peradilan, dan kekuasaan
pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi.71 Hagan membedakan
pengertian antara Criminal Justice Process dan Criminal Justice System. Criminal
Justice Process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang
tersangka dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya,
sedangkan Criminal Justice System adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap
instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.72
71
72
Moh Hatta, Op.cit, hlm.42.
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2010, hlm.2.
62
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana menganut
sistem yang disebut Integrated Criminal Justice System. Sistem tersebut setiap tahap
dari pada proses penyelesaian perkara berkait erat dan saling mendukung satu sama
lain. Tahap dalam proses penyelesaian yang dimaksud adalah suatu proses
bekerjanya lembaga-lembaga yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan
dan Lembaga Pemasyarakatan. Penanganan suatu perkara pidana yang terjadi,
seorang tersangka akan diperiksa melalui tahap-tahap yakni penyidikan oleh Polisi,
Penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, Sidang Pengadilan oleh Hakim, dan
Pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan.
Keempat subsistem peradilan pidana yaitu subsistem penyidikan, subsistem
penuntutan, subsistem pengadilan dan subsistem pelaksanaan putusan sebagaimana
tersebut di atas merupakan suatu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang
integral atau yang sering dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu
(Integrated Criminal Justice System). Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem
tidak dilakukan maka diperkirakan akan terdapat tiga kerugian sebagai berikut :
1) Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasialn atau kegagalan masingmasing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama.
2) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masingmasing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana).
3) Disebabkan tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas
terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas
menyeluruh dari sistem peradilan pidana.
63
Upaya penegakan hukum dalam hukum pidana tidak dapat dipandang sebagai
tanggung jawab secara parsial dari pihak tertentu, hal tersebut dikarenakan adanya
keterkaitan berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu sistem. Oleh
karenanya, sebagai suatu sistem perlu dipahami mengenai sistem peradilan pidana
itu sendiri. Dari keempat subsistem yang telah disebutkan diatas cara kerja subsistem
harus terintegrasi (terpadu) dengan subsistem lainnya. Presepsi atau pandangan
dalam mencapai tujuan pokok sistem peradilan pidana haruslah sama. Bila tidak
adanya kesepahaman antara subsistem ini akan menghilangkan kepercayaan
masyarakat pada institusi dalam arti sempit dan Sistem Peradilan Pidana dalam
artian lebih luas.
Sesuai dengan subsistem yang ada dalam sistem peradilan pidana yaitu pihak
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan dapat dipahami
bahwa
diantara
subsistem
tersebut
mempunyai
fungsinya
masing-masing
menghadapi dan atau menangani tindakan criminal yang terjadi. Sebagai suatu
rangkaian bekerjanya sistem peradian pidana, hal yang paling utama yang dilakukan
oleh pihak kepolisian adalah memberikan penyelidikan. Dengan dilakukannya
penyelidikan maka akan diketahui apakah kasus tersebut mengandung unsur tindak
pidana atau tidak, apabila mengandung unsur tindak pidana maka selanjutnya akan
dilakukan penyidikan oleh penyidik. Dalam penyelidikan atau penyidikan
didalamnya terdapat berbagai rangkaian kegiatan yang masing-masing dibuatkan
berita acaranya, contoh : berita acara penangkapan, penahanan, penggeledahan atau
penyitaan, penyadapan dan lain sebagainya. Berita acara yang telah dibuatkan
tersebut dimasukkan dalan berkas kemudian dikirimkan kepada penuntut umum
64
dengan tidak disertai dengan tersangka dan barang buktinya. Dengan berakhirnya
pekerjaan dari subsistem kepolisian ini menandakan dimulainya pekerjaan dari
subsistem dari kejaksaan. Namun apabila terjadi kekurangan pada saat penyidikan
yang memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik
yang disebut dengan pra penuntutan yang mana dilakukan sebelum penuntutan ke
pengadilan.
Penuntut umum sebagai organ dari kejaksaan yang mendapat tugas menangani
perkara pidana setelah selesai melakukan prapenuntutan, penuntut umum selanjutnya
membuat surat dakwaan yang mana bahan-bahannya dirumuskan dari berkas perkara
yang diajukan oleh penyidik yang mana dilanjutkan dengan penuntutan. Dengan
adanya pelimpahan perkara dari penuntut umum maka hal ini menandakan
dimulainya pekerjaan dari subsistem pengadilan kemudian dilanjutkan dengan
memeriksa dan diakhiri dengan memutuskan perkara perkara pidana. Adanya
putusan dari pengadilan mengenai perkara pidana maka berakhirlah pekerjaan dari
subsistem pengadilan dan dilanjutkan dengan pekerjaan dari subsistem yang terakhir
dari seluruh subsistem dari sistem peradilan pidana yaitu subsistem permasyarakatan.
Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Di satu pihak
berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan
(crime containment system) pada tingkatan tertentu, di lain pihak sistem peradilan
pidana juga berfungsi untuk pencegahan (secondary prevention). Efektivitas sistem
peradilan pidana tergantung sepenuhnya pada kemampuan infrastruktur pendukung
sarana dan prasarananya, kemampuan profesional aparat penegak hukumnya serta
65
budaya hukum masyarakatnya73. Pada hakekatnya dibentuknya sistem peradilan
pidana mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan internal sistem dan tujuan eksternal.
Tujuan internal dilakukan agar terciptanya keterpaduan atau sinkronisasi antar
subsistem-subsistem dalam tugas menegakkan hukum. Sedangkan tujuan eksternal
yakni untuk melindungi hak-hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana sejak
proses penyelidikan sampai proses pemidanaan. Dengan demikian, sebenarnya
tujuan dari sistem peradilan pidana baru selesai apabila pelaku kejahatan telah
kembali terintegrasi ke dalam masyarakat, hidup sebagai anggota masyarakat
umumnya yang taat pada hukum.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan
secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Korupsi
merupakan sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)74, untuk itu
diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan
khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan
manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanakannya
dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serta berkesinambungan.
Berkenaan dengan hal ini, pemerintah Indonesia telah memperlihatkan
keseriusannya dalam percepatan pemberantasan korupsi di Indonesia. Keseriusan itu
terlihat dengan dikeluarkannya berbagai macam kebijakan baik dalam hal
pencegahan (preventif) maupun penanganan (represif) tindak pidana korupsi antara
lain ada nya Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK. Memperhatikan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 maka terdapat lembaga lain yang berwenang
73
74
Muladi, Op.cit, hlm.25.
Romli Atmasasmita,Op.cit , hlm.9.
66
dalam hal penanganan perkara tindak pidana korupsi di luar sistem peradilan pidana
yang ada di Indonesia selama ini yaitu KPK. Dalam hal ini, KPK sudah cukup
banyak mengungkap kasus-kasus korupsi kelas kakap di Indonesia. Penegakan
hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia tampak tersendat dan bahkan
sering terjadi stagnasi sehingga telah menimbulkan citra yang negatif terhadap
aparatur penegak hukum pada khususnya dan pemerintah pada umumnya yang
merupakan salah satu faktor yang melatar belakangi di bentuknya komisi-komisi
untuk masing-masing instrumen atau sub sistem dalam sistem peradilan pidana.75
Pembentukan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dimaksudkan untuk
memerangi korupsi sekaligus untuk menjawab tantangan ketidak berdayaan sistem
peradilan pidana di Indonesia. Di Indonesia Sistem peradilan Pidana setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
mempunyai 4 (empat) subsistem, yaitu : subsistem Kepolisian yang secara
administratif di bawah Presiden, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan
di bawah Mahkamah agung dan Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen
Kehakiman. Dengan dibentuknya KPK berdasarkan Undang-Undang No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai komisi yang dibentuk guna
memberantas korupsi secara otomatis KPK yang juga berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tentunya dapat dinyatakan sebagai salah
satu lembaga penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana
Indonesia.
75
Romli Atmasasmita, Op.cit.
67
Sistem peradilan pidana di Indonesia yang berdasarkan Undang-Undang No.8
Tahun 1981, memiliki sepuluh asas sebagai berikut76 :
1) Perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun.
2) Asas praduga tak bersalah.
3) Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi.
4) Hak untuk memperoleh bantuan hukum.
5) Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan.
6) Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana.
7) Peradilan yang terbuka untuk umum.
8) Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan
dilakukan dengan surat perintah (tertulis).
9) Hak seorang tersangka untuk diberikan bantuan tentang prasangkaan dan
pendakwaan terhadapnya.
10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan putusannya.
Sebagaimana yang telah penulis bahas diatas, KPK sebagai sebuah lembaga
penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana Indonesia merupakan
suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan secara
lebih dalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
76
Yesmil Anwar & Adang, Op.cit, hlm.67.
68
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, dibentuk badan khusus yang
selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mana dalam Pasal
43 Undang-undang ini berbunyi sebagai berikut :
“Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini
mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi”
“Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan
wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”
“Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas
unsur Pemerintah dan unsur masyarakat”
“Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja,
pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). ayat (2), dan ayat (3) diatur
dengan Undang-undang”.
Institusi KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi
berdasarkan pada :
1) Kepastian Hukum “adalah asas dalam Negara hokum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang – undangan, kepatutan, dan keadilan dalam
setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang KPK.
69
2) Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar dan jujur serta tidak diskriminatif
tentang kinerja Komisi pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas
dan fungsinya.
3) Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir kegiatan komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggung–
jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi Negara sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang
berlaku.
4) Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
5) Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara
tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban.
Tujuan dibentuknnya KPK tidak lain adalah meningkatkan daya guna dan hasil
guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dibentuk karena
institusi (Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Partai Politik dan Parlemen) yang
seharusnya mencegah korupsi tidak berjalan bahkan larut dan terbuai dalam korupsi.
Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat
dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan korupsi perlu
ditingkatkan secara professional, intensif, dan berkesinambungan. Karena korupsi
telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat
pembangunan nasional. Begitu parahnya maka korupsi di Indonesia sudah
70
dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime). Cara
penanganan korupsi harus dengan cara yang luar biasa. Untuk itulah dibentuk KPK
yang mempunyai wewenang luar biasa, sehingga kalangan hukum menyebutnya
sebagai suatu lembaga super (super body).
2.5. Pencekalan Dalam Hukum Acara Pidana
Tindakan pemolisian dapat berwujud tindakan pemeriksaan, penangkapan,
penahanan, penyitaan dan penggeledahan. Pada lingkup yang lebih luas, tindakan itu
mencakup pula tindakan pencekalan dan penangkalan. Dalam KUHAP, tindakan
pemolisian (minus pencekalan dan penangkalan yang diatur dalam UU No. 6 tahun
2011 tentang Imigrasi) tersebut dilakukan oleh Penyidik dan atau penyelidik (atas
perintah penyidik). Meskipun merupakan bagian dari kewenangan penegak hukum,
tindakan pemolisian tidak dapat dilakukan secara serampangan karena berkaitan
dengan hak-hak asasi manusia/warga negara. Setiap tindakan pemolisian harus
dilakukan atas dasar yang logis dan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang
ada. Tindakan pemolisian tidak boleh didasarkan pada faktor like dan dislike yang
cenderung subyektif dan tidak memiliki parameter yang jelas. Intinya, kewenangan
yang dilakukan secara serampangan dan tidak terkontrol akan menghasilkan
tindakan yang sewenang-wenang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian,
Pengertian dari pencekalan adalah larangan sementara terhadap orang untuk keluar
dari Wilayah Indonesia berdasarkan alasan keimigrasian atau alasan lain yang
ditentukan oleh UU. Pencegahan merupakan larangan yang bersifat sementara
71
terhadap orang-orang tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia
berdasarkan alasan tertentu dalam waktu tertentu
dan orang tertentu dalam
pengertian di atas ditujukan kepada Warga Negara Asing maupun Warga Negara
Indonesia yang akan keluar Wilayah Indonesia. Pengaturan mengenai pencekalan ini
di tuangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Pada saat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian ini mulai
berlaku, maka peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992
tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474) dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru
berdasarkan Undang-Undang ini.
Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian dinyatakan bahwa Pejabat Imigrasi menolak orang untuk
keluar wilayah Indonesia ditujukan pada suatu kepentingan penyelidikan dan
penyidikan oleh instansi atau lembaga penegak hukum. Konteks penolakan tersebut
adalah dengan tidak memberangkatkan keluar wilayah Indonesia terhadap orang
setelah adanya permintaan Pejabat yang berwenang. Pejabat yang berwenang yang
dimaksud dalam Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 91 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian terdiri atas:
a. Menteri Keuangan;
b. Jaksa Agung;
c. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
d. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
72
e. Kepala Badan Narkotika Nasional; atau
f. Pimpinan kementerian/lembaga yang berdasarkan undang-undang
memiliki kewenangan Pencegahan.
Kewenangan pejabat berwenang untuk meminta dan/atau memerintahkan
pencekalan terhadap orang dalam tahap penyelidikan dan penyidikan tersebar dalam
berbagai Undang-Undang yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian pada Pasal 92
yang berbunyi:
"Dalam keadaan yang mendesak pejabat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 91 ayat (2) dapat meminta secara langsung kepada Pejabat
Imigrasi tertentu untuk melakukan Pencegahan."
b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi Pasal 12 ayat (1) huruf b yang berbunyi:
"(1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang:
b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang
seseorang bepergian ke luar negeri;"
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia Pasal 16 ayat (1) huruf j yang berbunyi:
"(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan 14 dibidang proses pidana, Kepolisian Negara
Republik Indonesia berwenang untuk:
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi
yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan
73
mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang
yang disangka melakukan tindak pidana."
d. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Badan Narkotika Nasional Pasal 71
yang berbunyi:
"Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang
melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika."
e. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung Republik
Indonesia Pasal 35 huruf f yang berbunyi:
"Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:
f. mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam
perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Setiap wewenang yang diberikan kepada pejabat-pejabat tersebut dan dalam
menggunakan kewenangannya untuk melakukan pencegahan harus benar-benar
didasarkan pada keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan, moral masyarakat
dan kepentingan masyarakat dengan alasan yang rasionil dan jelas karena hal ini
menyangkut hak asasi setiap orang. Alasan yang rasionil dan jelas ini bersifat
relative, karena besarnya tingkat keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan
dan moral dan kepentingan masyarakat itu relatif bergantung dari keadaan Negara
tersebut. Disinilah kearifan dan kebijaksanaan para pejabat-pejabat tersebut dalam
melaksanakan kewenangannya harus dilandaskan pada rasio yang matang dan hati
nurani.
74
Permintaan pejabat yang berwenang disampaikan secara tertulis baik kepada
Menteri untuk melaksanakan pencegahan dan/atau bersifat langsung kepada Pejabat
Imigrasi yang bertugas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) atau unit pelaksana
teknis yang membawahi TPI dalam keadaan mendesak sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian pada Pasal 92 yang
berbunyi sebagai berikut :
"Dalam keadaan yang mendesak pejabat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 91 ayat (2) dapat meminta secara langsung kepada Pejabat
Imigrasi tertentu untuk melakukan Pencegahan."
Keadaan yang mendesak yang dimaksud pada UU ini misalnya seseorang yang
akan dikenakan pencegahan tersebut dikhawatirkan melarikan diri keluar negeri pada
saat itu juga atau telah berada di Tempat Pemeriksaan Imigrasi untuk keluar negeri
sebelum keputusan pencegahan ditetapkan. Kepentingan yang ingin dilindungi disini
dengan pengaturan penolakan orang untuk keluar wilayah Indonesia di TPI berkaitan
dengan kepentingan nasional meliputi keamanan nasional ketertiban umum, dan
kepentingan masyarakat. Dengan demikian penolakan oleh pejabat imigrasi kepada
orang yang akan keluar wilayah Indonesia dilaksanakan dalam konteks pencegahan.
Pencegahan yang dilaksanakan harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang diatur
dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011tentang Keimigrasian, yaitu:
1. Harus ditetapkan dengan keputusan tertulis oleh Pejabat yang
berwenang;
2. Keputusan tertulis tersebut memuat sekurang-kurangnya:
a. nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir atau umur, serta
foto yang dikenai Pencegahan;
b. alasan Pencegahan; dan
75
c. jangka waktu Pencegahan.
3. Keputusan Pencegahan disampaikan kepada orang yang dikenai
Pencegahan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal keputusan
ditetapkan.
4.
Dalam hal keputusan Pencegahan dikeluarkan oleh pejabat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2), keputusan tersebut
juga disampaikan kepada Menteri paling lambat 3 (tiga) hari sejak
tanggal keputusan ditetapkan dengan permintaan untuk
dilaksanakan.
5. Menteri dapat menolak permintaan pelaksanaan Pencegahan apabila
keputusan Pencegahan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
6. Pemberitahuan penolakan pelaksanaan pencegahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) harus disampaikan kepada pejabat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) paling lambat 7
(tujuh) hari sejak tanggal permohonan pencegahan diterima disertai
dengan alasan penolakan.
7. Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk memasukkan identitas
orang yang dikenai keputusan pencegahan ke dalam daftar
Pencegahan melalui Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian.
Apabila tidak dipenuhinya kriteria tersebut, menteri dapat menolak permintaan
pelaksanaan Pencegahan yang akan disampaikan kepada pejabat yang berwenang
dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal permohonan diterima disertai
dengan alasan penolakan.
Manusia merupakan makhluk yang mengalami pergerakan dari suatu tempat
ketempat lain apapun itu alasannya. Dikarenakan hal ini sudah menjadi hak yang
bersifat kodrati bagi manusia untuk mempunyai hak atas kebebasan bergerak.
Kebebasan ini telah dinyatakan di dalam Universal Declaration of Human Rights
dan International Covenant on Civil and Political Rights. Namun kebebasan ini
bukan berarti bebas sebebas-bebasnya bergerak tanpa adanya aturan yang
76
membatasinya. Dunia internasional juga memahami keberadaan setiap Negara
mempunyai kepentingannya masing-masing, sehingga kebebasan bergerak itu
diseimbangkan dengan kepentingan-kepentingan setiap negara. Dengan hal ini maka
dunia internasional juga memberikan batasan terhadap kebebasan bergerak ini.
Pembatasan hak atas kebebasan bergerak ini dapat dilakukan oleh setiap
negara dengan cara pencegahan dan penangkalan, pencegahan dan penangkalan
adalah untuk menghentikan seseorang untuk masuk atau keluar wilayah negara yang
bersangkutan atas dasar alasan-alasan yang secara rasional untuk keamanan nasional,
ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat.
Definisi Pencegahan menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang
keimigrasian adalah Larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu
untuk keluar dari wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu. Sedangkan
penangkalan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu
untuk masuk kewilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu.
Penggunaan pencegahan dan penangkalan ini tidak boleh digunakan
sewenang-wenang oleh suatu Negara, Negara harus tetap menjamin hak atas
kebebasan bergerak setiap individu namun juga harus menjalankan kepentingan
nasionalnya. Penggunaan pencegahan dan penangkalan ini harus benar-benar dengan
alasan yang kuat dan rasionil dan berlandaskan hukum untuk alasan keamanan
nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan
masyarakat yang sesuai dengan kovenan internasional dalam hak sipil dan politik.
77
Dalam rangka menghormati dan memenuhi hak asasi manusia dalam rangka
penerapan dan penggunaan pencekalan sebaiknya adanya aturan yang menentukan
kriteria-kriteria yang menjadi patokan dalam menentukan alasan terkait keamanan
nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan
masyarakat, perlu adanya definisi lebih lanjut yang dituangkan didalam suatu
peraturan. Hal ini berguna untuk membatasi setiap diskresi pejabat-pejabat yang
berwenang yang terlampau jauh melanggar hak asasi manusia. Selain itu disisi lain
pemerintah juga harus membangun sistem pencekalan yang efektif terhadap pelakupelaku tindak pidana agar pelaku-pelaku tindak pidana tidak dapat kabur keluar
negeri. Dengan sistem pencekalan yang baik yang dapat terintegrasi langsung ke
daftar pencekalan pusat disetiap wilayah kantor keimigrasian didaerah diharapkan
langsung dapat melakukan kewenenangannya. Sehingga kejadian- kejadian seperti
perginya pelaku tindak pidana keluar negeri dapat dicegah.
2.6. Teori Penyelidikan
Apabila hukum acara pidana dipandang dari sudut pemeriksaan, hal ini dapat
dirinci dalam dua bagian,yaitu pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan pada
sidang pengadilan. Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan yang dilakukan
pertama kali oleh polisi baik dalam melakukan penyelidikan maupun penyidikan
apabila ada dugaan bahwa hukum pidana telah dilanggar. Sedangkan pemeriksaan
pada sidang pengadilan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan
apakah dugaan bahwa seseorang yang telah melakukan tindak pidana itu dapat
dipidana atau tidak. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 8 tahun 1981
tentang KUHAP menyebutkan bahwa
78
”Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini”
Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan. Dari batasan ini dapat
dikonklusikan bahwa tampak jelas hubungan erat antara tugas dan fungsi penyidik
dan penyelidik. Titik taut hubungan tersebut menurut pedoman pelaksanaan KUHAP
disebutkan bahwa penyelidikan bukan merupakan fungsi yang berdiri sendiri atau
terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya salah satu cara atau metode atau
sub daripada fungsi penyidikan.77 Adapun mengenai latar belakang, motivasi dan
urgensi diintrodusirnya fungsi penyelidikan antara lain sebagai perlindungan dan
jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat
dalam penggunaaan alat-alat pemaksa (dwangmiddelen).78 Tidak semua peristiwa
yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara
jelas sebagai tindak pidana, karena itu sebelum lebih lanjut dengan melakukan
penyidikan sebagai konsekuensi dilakukannnya upaya paksa, perlu ditentukan
terlebih dahulu berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil
penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu
benar adanya sebagai tindak pidana sehingga dapat dilakukan dengan tindakan
penyidikan. Walaupun titik taut tersebut begitu erat, hal itu bukan berarti antara
penyelidik dan penyidik tidak mempunyai perbedaan. Adapun pihak yang
berwenang untuk melakukan penyelidikan menurut pasal 4 KUHAP adalah setiap
pejabat polisi negara Republik Indonesia.
77
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, PT.
Alumni, Bandung, 2007, hlm.55.
78
Ibid, hlm.56.
79
Apabila didapati tertangkap tangan, tanpa harus menunggu perintah penyidik,
penyelidik dapat segara melakukan tindakan yang diperlukan seperti penangkapan,
larangan, meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan. Selain itu penyelidik
juga dapat melakukan pemeriksaan surat dan penyitaan surat serta mengambil sidik
jari dan memotret atau mengambil gambar orang atau kelompok yang tertangkap
tangan tersebut. Selain itu penyelidik juga dapat membawa yang menghadapkan
orang atau kelompok tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini Pasal 105 KUHAP
menyatakan
bahwa
melaksanakan
penyelidikan,
penyidikan,
penyelidik
dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik.
Apabila setelah melalui tahap penyelidikan dapat ditentukan bahwa suatu
peristiwa merupakan suatu peristiwa pidana, maka dilanjutkan dengan tahap
penyidikan. Menurut pasal 1 butir 2 KUHAP serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pihak yang berwenang melakukan
penyidikan menurut pasal 6 KUHAP adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang. Ketika melaksanakan penyelidikan dan penyidikan, para aparat
penegak hukum melakukan suatu upaya paksa, yaitu serangkaian tindakan untuk
kepentingan penyidikan yang terdiri dari penangkapan, penahanan, penyitaan,
penggeledahan dan pemeriksaan surat, penjelasan mengenai hal ini adalah sebagai
berikut :
80
1) Penangkapan, Menurut pasal 1 butir 20 KUHAP, penangkapan adalah
suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang.
2) Penahanan. Menurut pasal 1 butir 21 KUHAP, penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang.
3) Penyitaan. Menurut pasal 1 butir 16 KUHAP, penyitaan adalah serangkain
tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,berwujud dan atau tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan
dan peradilan.
4) Penggeledahan rumah. Menurut pasal 1 butir 17 KUHAP, penggeledahan
rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan
tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau
penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang.
5) Penggeledahan badan. Menurut pasal 1 butir 18 KUHAP, penggeledahan
badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan
atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada
badannya atau dibawanya serta, untuk disita.
81
Berkenaan dengan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 5 KUHAP dapat dirinci terhadap
wewenang penyelidik adalah sebagai berikut:
(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana;
2. mencari keterangan dan barang bukti;
3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan
dan penyitaan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan
tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b
kepada penyidik.
Apabila dilihat dari hasil membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan
tindakan penyelidik kepada penyidik, penjelasan Pasal 5 huruf a angka 4 KUHAP
menyebutkan yang dimaksudkan “tindakan lain” adalah tindakan penyelidik untuk
kepentingan penyelidikan dengan syarat:
1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannnya
tindakan jabatan.
82
3) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya.
4) Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.
5) Menghormati HAM.
Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati
asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana di sebutkan
dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk
melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan
kekuasaan para aparat penegak hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan
ini disampaikan kepada penyidik.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 5 dan Pasal 5 KUHAP, maka penyelidik
tersebut dimaksudkan untuk lebih memastikan sesuatu peristiwa itu diduga keras
sebagai tindak pidana. Akan tetapi, sebagian pakar berpendapat bahwa penyelidikan
tersebut dimaksudkan untuk menemukan “bukti permulaan” dari pelaku (dader).
Baik dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP maupun Pasal 5 KUHAP, tidak tercantum
perkataan pelaku atau tersangka. Oleh karena itu, sudah tepat jika penyelidikan
tersebut dimaksudkan untuk lebih memastikan suatu peristiwa diduga keras sebagai
tindak pidana.79
79
Leden Marpaung, Op.cit, hlm.11.
83
2.7. Teori Hak Asasi Manusia
Masyarakat dunia secara universal mengakui bahwa setiap manusia
mempunyai sejumlah hak yang menjadi miliknya sejak keberadaannya sebagai
manusia diakui sekalipun manusia itu belum dilahirkan ke dunia ini. Hak-hak
tersebut melekat pada diri setiap manusia, bahkan berbentuk harkat manusia itu
sendiri.80 Istilah hak asasi manusia merupakan alih bahasa dari “human right”
(Inggris), “droit de I’homme” (Perancis) dan “menselijkerechten” (Belanda). Secara
harfiah, HAM adalah hak pokok atau hak dasar. Jadi, hak asasi itu merupakan hak
yang bersifat fundamental sehingga keberadaannya merupakan suatu keharusan
(conditio sine qua non), tidak dapat di ganggu gugat. Bahkan, harus dilindungi,
dihormati, dan dipertahankan dari segala macam ancaman, hambatan, dan gangguan
dari sesamanya.81
Salah satu pengertian HAM disampaikan oleh Jan Matenson yakni hak-hak
yang diwariskan dari kodrat kita yang tanpanya kita tidak dapat hidup sebagai
manusia.82 Pada awalnya pengertian yang telah disebut diatas diterima secara
universal tetapi dalam perkembangannya lebih khusus lagi dalam implementasi
sistem hukum positif, teori dan konsep HAM telah menjadi perdebatan dan
kontroversi antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Kontroversi tersebut terjadi
sebab sejak awal terdapat kesulitan untuk menetapkan batasan yang nyata dan
definitif dari HAM. Hak-hak tersebut berkisar pada pengertian kebebasan dan
80
O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana
Dalam Sistem Peradilan Pidana, Alumni, Jakarta, 2006, hlm.49.
81
Ibid, hlm.60.
82
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hlm.1.
84
prinsip persamaan. Prinsip-prinsip mana senantiasa menjadi arena perbedaan paham
dan teori yang berbeda-beda. Akibatnya, pengertian dan batasan HAM pun menjadi
relatif serta dipengaruhi oleh aliran-aliran pemikiran, agama, adat istiadat, kondisi
dan situasi.83
Berangkat dari hasil amandemen UUD 1945, hal ini memberikan suatu titik
terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai HAM
yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua
bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai HAM yaitu pada Bab XA.
Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara
lain, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab
tidak banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus dan tersendiri
mengenai HAM dalam konstitusinya. Anton Baker memberi batasan HAM sebagai
hak yang ditemukan dalam hakikat manusia dan demi kemanusiaannya semua orang
satu persatu dimilikinya, tidak dapat dicabut oleh siapapun dan tidak dapat
dilepaskan oleh individu itu sendiri karena hal itu bukan sekedar hak milik saja tetapi
lebih luas dari itu. Manusia memiliki kesadaran (berkehendak bebas dan
berkesadaran moral) dan merupakan makhluk ciptaan yang tertinggi.84 HAM adalah
hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena manusia. Umat manusia
memilikinya bukan karena diberikan oleh masyarakat atau berdasarkan hukum
positif melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.85 HAM
tidak boleh dicabut oleh siapapun sebab pencabutan HAM berarti hilangnya harkat
83
Subhi Mahmassani, Konsep Dasar Hak Asasi Manusia, Suatu Perbandingan Dalam Syariat
Islam dan Perundang-Undangan Modern, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1993, hlm.1-2.
84
O.C. Kaligis, Op.cit, hlm.62.
85
Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press,
Ithaca and London, 2003, p. 7.
85
dan martabat manusia sebagai ciri khas kemanusiaan manusia tidak lagi dihormati
dan diakui. HAM bersifat universal, namun HAM diseluruh kawasan dunia tidak
sama. Pemahaman ini bergantung pada sudut pandang negara-negara maupun
kelompok-kelompok bersifat non-pemerintah. Terdapat 4 kelompok pandangan
mengenai HAM tersebut :86
1) Mereka yang berpandangan universal-absolite melihat HAM itu sebagai
nilai-nilai universal belaka seperti dirumuskan dalam The Internasional
Bill of Human Rights. Kelompok ini tidak menghargai sama sekali profil
sosial budaya yang melekat pada masing-masing bangsa. Pandangan ini
dianut oleh negara-negara maju. Bagi negara-negara yang sedang
berkembang dalam urusan HAM, negara maju dipandang eksploitatif
kerena menggunakannya sebagai alat untuk menekan dan instrumen penilai
(tool of judgement).
2) Negara-negara atau kelompok yang memandang HAM secara universalrelative. Mereka memandang HAM sebagai masalah universal tetapi asasasas hukum internasional tetap diakui keberadaannya. Misalnya, ketentuan
yang diatur dalam pasal 29 (2) Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) yang menyatakan :
“Dalam melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya dapat
dibatasi oleh hukum untuk menjamin pengakuan dan penghargaan
terhadap hak dan kebebasan oranglain untuk memenuhi persyaratan
86
Kunarto, Hak Asasi Manusia dan Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997, hlm.105-106.
86
moral, ketertiban umum dan kepentingan masyarakat luas dalam
bangsa yang berdemokrasi”
3) Negara atau kelompok yang berpandangan particularistic-absolute, bahwa
HAM merupakan persoalan masing-masing bangsa sehingga mereka
menolak berlakunya dokumen-dokumen internasional. Pandangan ini
bersifat egois dan pasif terhadap HAM.
4) Negara atau kelompok yang berpandangan particularistic-relative melihat
persoalan HAM disamping sebagai masalah universal juga merupakan
persoalan
masing-masing
negara.
Berlakunya
dokumen-dokumen
internasional diselaraskan dan diserasikan dengan budaya bangsa.
Dari keempat pandangan diatas, negara Indonesia dapat dikategorikan kedalam
golongan pandanagn Partikularistik Relative yang memahami pentingnya hak asasi
manusia, tetapi pemberlakuannya harus disesuaikan dengan Pancasila dan UUD
1945.87 Menurut Universal Declaration of Human Rights (UDHR), terdapat 5 jenis
hak asasi yang dimiliki setiap manusia, antara lain :
1) Hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi).
2) Hak legal (hak jaminan perlindungan hukum).
3) Hak sipil dan politik.
4) Hak subsistensi(hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang
kehidupan).
5) Hak ekonomi, sosial dan budaya.
87
Ibid, hlm.80.
87
Dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) juga memperinci hakhak asasi manusia sebagai berikut :88
“Bahwa tiap orang mempunyai hak untuk hidup, kemerdekaan dan
keamanan badan, untuk diakui kepribadiannya menurut hukum, untuk
mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana seperti diperiksa
dimuka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah
untuk masuk dan keluar wilayah suatu negara, hak untuk mendapat
asylum, hak untuk mendapat suatu kebangsaan, hak untuk mendapat
milik atas benda, hak untuk bebas dalam mengutarakan pikiran dan
perasaan, hak untuk bebas dalam memeluk agama dan mempunyai hak
untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk berapat dan berkumpul, hak
untuk mendapat jaminan sosial, hak untun mendapat pekerjaan, hak
untuk berdagang, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk turut
serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat, hak untuk
menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan.”
Berdasarkan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM pada Pasal 1
angka 2 menyatakan bahwa HAM adalah :
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan
atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
88
hlm.27.
Erni Widhayati,
Hak-Hak Tersangka di Dalam KUHAP, Liberty, Yogyakarta, 1988,
88
Negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang menghormati dan
menjunjung tinggi HAM. Hal tersebut dapat ditelusuri dalam Pancasila sebagai dasar
negara Indonesia yang terdiri atas lima sila, ditambah dengan Pembukaan UUD 1945
dalam alinea pertama yang menyatakan bahwa “Kemerdekaan ialah hak segala
bangsa serta penjajahan harus dihapuskan” serta dalam alinea kedua yang
menyatakan bahwa “Kemerdekaan negara menghantarkan rakyat merdeka, bersatu,
adil dan makmur”. Pemasukan unsur-unsur HAM dalam peraturan perundangundangan telah disadari oleh para pendiri negara Indonesia sebagai sesuatu yang
wajib ada dalam negara yang berasaskan demokrasi. Dalam tataran makro, HAM
telah digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Kemudian diformalkan dalam bentuk
peraturan
perundang-udangan
oleh
lembaga
politik/DPR
dan
dioperasionalkan/dilaksanakan oleh pejabat/aparat negara dalam bentuk peraturan
pemerintah/peraturan lainnya sebagai pegangan para pejabat.89
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep HAM yang berlaku secara
universal melalui hukum Internasional membebankan kepada Indonesia sebagai
salah satu anggota PBB untuk meratifikasi kedalam peraturan perundang-undangan
sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu contoh
adalah Konvenan Internasional Hak-Hak Sipol (International Covenan on Civil and
Political Rights). ICCPR dapat diklasifikasikan dalam dua bagian yakni:
89
Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses
Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor Selatan,
2005, hlm.133.
89
1) Non Derogable Right
Non Derogable Right adalah Hak-hak yang bersifat absolut yang tidak
boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihak, walaupun dalam
keadaan darurat sekalipun. Hak yang termasuk jenis ini, yakni: Hak atas hidup,
hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari
penahanan karena gagal dari memenuhi perjanjian (seperti: hak bebas dari
pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai subyek hukum, hak atas
kebebasan berfikir, keyakinan dan agama). Pelanggaran terhadap hak jenis ini
akan mendapatkan kecaman sebagai pelanggaran serius HAM (Gross Violation
of Human Rights).
2) Derogable Right
Derogable Right adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi
pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Termasuk dalam jenis hak ini yakni:
hak atas kebebasan berkumpul secara damai, hak atas kebebasan berserikat
termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, hak atas kebebasan
menyatakan pendapat atau berekspresi termasuk kebebasan mencari, menerima
dan memberikan informasi dan segala macam gagasan (lisan-tulisan). Negaranegara pihak diperbolehkan mengurangi atas kewajiban dalam memenuhi hakhak tersebut. Akan tetapi pengurangan hanya dapat dilakukan apabila
sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak diskriminatif yaitu demi
menjaga keamanan nasional, ketertiban umum, menghormati hak atau
kebebasan orang lain.
90
Di Indonesia, selain UUD 1945 keberadaan hak-hak sipil yang sesuai dengan
Konvenan Sipil dan politik termuat dalam banyak peraturan perundang-undangan.
Meskipun demikian secara material, peraturan perundang-undangan tersebut dapat
dibedakan atas :
1) Peraturan perundang-undangan yang khusus mengenai hukum HAM, seperti
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
2) Peraturan perundang-undangan lainya yang didalamnya memuat ketentuan
yang berkaitan dengan HAM, baik secara eksplisit (tersurat) maupun implisit
(tersirat).
Sehubungan dengan masih terdapatnya peraturan perundang-undangan diluar
peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai HAM yang
bertentangan dengan HAM. Sehingga perlu melakukan inventarisasi, mengevaluasi
dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP dan KUHAP yang berlaku yang tidak
sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai Undang-Undang
yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk beberapa UU yang
dihasilkan dalam era reformasi. Hal ini sebagai konsekuensi dari karakter rejim
sebelumnya yang memang anti HAM, sehingga dengan sendirinya produk
perundang-undangan kurang atau sama sekali tidak mempertimbangan masalah
HAM. Dalam konteks ini, maka agenda tersebut sejalan dan dapat disatukan dengan
agenda reformasi hukum nasional dan ratifikasi konvensi/kovenan, internasional
91
tentang HAM yang paling mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak
ekonomi, sosial dan budaya berikut peraturan pelaksanaanya.
Didalam UUD 1945, HAM meliputi hak politik dan hak sosial. Hak politik
terkandung pada Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 30, sedangkan hak sosial terkandung
pada Pasal 29, Pasal 31, Pasal 33, dan Pasal 34. Setelah perubahan atau amandemen
kedua UUD 1945 mengenai hak politik dan hak sosial diatur lebih lanjut pada
sepuluh pasal yaitu Pasal 28A sampai dengan Pasal 28 J.90 Pasal 27 berbunyi :
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”
“Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”
Di dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga dapat
dipahami bahwa Indonesia sangat menekankan pentingnya perlindungan Hak Asasi
Manusia. Di dalam Pasal 28 A UUD 1945 amandemen kedua dijelaskan bahwa
”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya”. Di dalam Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945
amandemen kedua dijelaskan mengenai hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum yang berlaku surat
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal
28 A dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua merupakan
90
Mien Rukmini, Op.Cit, hlm.50.
92
pengaturan hak asasi manusia, perbedaanya pasal 28 A UUD 1945 amandemen
kedua hanya mengatur tentang hak hidup seseorang tetapi Pasal 28 I UUD 1945 hak
asasi manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Baik dalam keadaan
normal (tidak dalam keadaan darurat, tidak dalam keadaan perang atau tidak dalam
keadaan sengketa bersenjata) maupun dalam keadaan tidak normal (keadaan darurat,
dalam keadaan perang dan dalam keadaan sengketa bersenjata) hak hidup tidak
dapat dikurangi oleh negara, pemerintah, maupun masyarakat. Hak hidup bersifat
non deregoble human right artinya hak hidup seseorang tidak dapat disimpangi
dalam keadaan apapun. Hak hidup tidak bersifat deregoble human right artinya dapat
disimpangi dalam keadaan daraurat atau ada alasan yang diatur di dalam peraturan
perundang undangan, misalnya melakukan tindak pidana yang diancam dengan
hukuman mati.
Hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk
dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah
yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam
Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh
karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang
diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang
diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa
seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945
keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang
menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan
93
Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak
asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum
Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara
penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur
dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang
diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini
sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human
Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai
pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights
and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined
by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights
and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public
order and the general welfare in a democratic society.”
HAM di Indonesia merupakan masalah yang sangat erat kaitannya dengan
sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, untuk mewujudkan sistem peradilan pidana
yang adil dan benar sesuai dengan tujuan dan harapan masyarakat, sangat relevan
apabila dilakukan kajian mengenai proses peradilan pidana baik tentang
pengertiannya secara umum maupun tentang perkembangan proses peradilan pidana
itu sendiri dalam menjamin dan melindungi hak asasi tersangka dan terdakwa.
94
Dalam penjelasan KUHAP ditemukan 10 (sepuluh) asas yang mengatur
perlindungan KUHAP terhadap “keluhuran harkat dan martabat manusia”. Adapun
kesepuluh asas tersebut adalah :91
1) Perlakuan yang sama di muka umum, tanpa diskriminasi apapun.
2) Praduga tidak bersalah.
3) Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi.
4) Hak untuk mendapat bantuan hukum.
5) Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan.
6) Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana.
7) Peradilan yang terbuka untuk umum.
8) Pelanggaran atas hak-hak warga negara (panangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan
dilakukan dengan surat perintah (tertulis).
9) Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau
penahanan selain wajib diberi tahu dakwaan dan dasar hukum apa yang di
dakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk
menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum.
10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusan
itu.
91
Ibid, hlm.84.
95
Kesepuluh asas diatas harus dikembangkan lebih lanjut dan dijadikan pedoman
bagi pelaksanaan KUHAP yang benar-benar memperhatikan dan melindungi HAM.
Inilah yang kemudian akan mendasari diperhatikan dan dilindunginya unsur-unsur
HAM yang lain, seperti hak-hak politik dan hak-hak sosial. Berkaitan dengan adanya
asas-asas yang menggambarkan penerapan HAM dalam proses peradilan pidana
tersebut, asas yang paling penting adalah asas praduga tak bersalah (Presumption of
innocent) dan asas persamaan kedudukan dalam hukum (Equality before the law).
Pada dasarnya, kedua asas tersebut harus saling mengisi, sejalan dan harmonis yang
kemudian diimplementasikan dalam peraturan-peraturan demi tegaknya hukum dan
keadilan. Tanpa diterapkannya kedua asas ini mustahil peradilan yang adil dan benar
dapat diwujudkan.92
92
Ibid, hlm.85.
BAB III
KASUS PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KPK
DALAM TAHAP PENYELIDIKAN
3.1. Pencekalan Gubernur Riau terkait PON XVIII di Provinsi Riau
Korupsi proyek PON ini tercium oleh KPK sejak April lalu. Kasus Tindak
Pidana Korupsi Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau bermula dari penangkapan
sejumlah anggota DPRD Riau , dua pegawai Dinas Pemuda dan Olahraga Riau dan
empat pegawai swasta yang terjadi pada tanggal 13 April 2012. Saat penangkapan,
KPK menyita uang senilai Rp 900 juta yang diduga sebagai uang suap proyek PON
Riau. Dari hasil pemeriksaan KPK terkait penangkapan tersebut kemudian KPK
menetapkan status tersangka kepada anggota DPRD Riau yakni Muhammad Faisal
Aswan dan Muhammad Dunhir, Staf PT Pembangunan Perumahan (PP) Persero
yakni Rahmat Syahputra dan Kepala Seksi Pengembangan Sarana dan Prasarana
Dispora Riau bernama Eka Dharma Putra. Mereka diduga melakukan korupsi pada
pembahasan revisi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang penambahan
anggaran untuk venue menembak pada PON Riau senilai Rp19,4 miliar. Namun,
belakangan KPK juga mencium adanya praktek korupsi pada pembahasan Perda
Nomor 5 Tahun 2008 tentang pembangunan stadion utama PON Riau.
Juru Bicara KPK Johan Budi menyatakan KPK mulai menyelidiki kasus suap
korupsi pengadaan PON Riau. Menurutnya, pengadaan proyek venue menembak
sudah dikembangkan penyelidikan terkait dengan pembangunannya. Terkait kasus
yang melibatkan pemerintah pusat yaitu beberapa anggota DPR dan Pemerintah
96
97
daerah, KPK akan terus melakukan upaya pemeriksaan terkait Perda Nomor 6 tahun
2010 terkait pembangunan Pekan Olahraga Nasional tersebut.93
Pada tanggal 10 April 2012, KPK telah mengajukan permohonan pencekalan
terhadap Gubernur Riau H.M Rusli Zainal dengan alasan pencekalan dilakukan
untuk membantu KPK dalam kelancaran proses penyelidikan kasus dugaan korupsi
pembangunan venue PON dan jika sewaktu-waktu yang bersangkutan dimintai
keterangan tidak sedang berada di luar negeri. Informasi pencekalan ini disampaikan
oleh Wamenkum HAM Denny Indrayana, Pencegahan diminta melalui surat KPK
nomor R-1380/01-23/04/2012, tertanggal 10 April 2012. Pencegahan sudah efektif
dan dilakukan untuk 6 bulan hingga 10 Oktober 2012.94
Sehubungan dengan dicekalnya Gubernur Riau H.M. Rusli Zainal dan
Kadispora Lukman Abbas secara otomatis, akses keduanya ke luar negeri tidak
diizinkan lagi. KPK juga mencegah ajudan Said Faisal, ajudan Gubernur Riau ke
luar negeri. Kemudian ketua DPRD Riau Johar Firdaus diperiksa KPK terkait kasus
suap PON ini bersama 5 anggota DPRD lainnya di Sekolah Polisi Negara (SPN)
Polda Riau di Jl. Pattimura Pekanbaru. Mereka yang diperiksa KPK adalah Johar
Firdaus (Ketua DPRD Riau), Zulfan Heri (Ketua Baleg), Iwa Bibra (anggota tim
pansus). Ketiganya ini berasal dari Fraksi Golkar. Tiga anggota dewan lainnya,
Adrian Ali (PAN), Ramli Sanur (PAN), Ramli FE partai PBR.
93
Website GOOGLE, http// www.haluankepri.com › News › Andalas (terakhir kali dikunjungi
tanggal 22 September 2012 Pukul 14.00).
94
WebsiteGOOGLE,http//m.skalanews.com/.../gubernur-riau-dicekal-terkait-kasussuappon.ht. (terakhir kali dikunjungi tanggal 22 September 2012 Pukul 13.45).
98
Pada tanggal 8 Mei 2012, KPK lalu menetapkan status tersangka kepada
mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau bernama Lukman Abbas dan
Wakil Ketua DPRD Riau yakni Taufan Andoso Yakin. Masing-masing diduga telah
melakukan transaksi suap terkait PON Riau. Kasus PON Riau ternyata menyeret
banyak pihak, hal ini terbukti bahwa tujuh anggota DPRD Riau kemudian menyusul
menjadi tersangka.
Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa tujuh anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Riau non aktif sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan suap
pembahasan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Dana Pengikatan Tahun
Jamak Pembangunan Venue Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau 2012, Selasa
(15/1/2013).95 Ketujuhnya adalah Adrian Ali (Partai Amanat Nasional), Abu Bakar
Siddik (Partai Golkar), Zulfan Heri (Partai Golkar), Syarif Hidayat (Partai Persatuan
Pembangunan), Tengku Muazza (Partai Demokrat), Mohammad Roem Zein (Partai
Persatuan Pembangunan), dan Turoechman Asy'ari (PDI-Perjuangan).
KPK telah menetapkan 14 tersangka kasus suap proyek Pekan Olahraga
Nasional (PON) XVIII di Pekanbaru, Riau. Enam di antara tersangka itu sudah
menjalani persidangan yakni Eka Dharma Putra selaku Anggota Staf Dinas Pemuda
dan Olahraga Riau serta Rahmat Syahputra selaku Anggota Staf Kerjasama Operasi
tiga BUMN, yakni: PT Adhi Karya, PT Pembangunan Perumahan, dan PT Wijaya
Karya) yang menjalankan perintah suap dan telah divonis 2 tahun 6 bulan penjara.
95
WebsiteGOOGLE, http// Kompas.com/KPK periksa 7 tersangka kasus PON Riau(terakhir
kali dikunjungi tanggal 10 Februari 2013 Pukul 21.35).
99
Adapun dua anggota DPRD Riau yakni Faisal Aswan (Partai Golkar) dan
Muhammad Dunir (Partai Kebangkitan Bangsa) dihukum masing-masing 4 tahun.
Taufan Andoso Yakin adalah terdakwa kelima yang divonis dalam kasus suap Rp
900 juta untuk memuluskan revisi Perda No 6 tahun 2010 tentang penambahan
anggaran gedung menembak PON Riau. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pengadilan Negeri Pekanbaru masih dalam tahap akhir persidangan terhadap mantan
Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau bernama Lukman Abbas.
Korupsi proyek PON ini terendus KPK sejak April lalu. KPK kini
mengembangkan kasus suap senilai Rp 900 juta itu ke penyidikan pengembangan
venue PON. Uang tunai senilai Rp 900 juta dijadikan bukti. Dalam empat bulan
proses penyidikan KPK sudah menetapkan 13 tersangka kasus dugaan suap
pembahasan revisi Perda Nomor 6 Tahun 2010. Gubernur Riau Rusli Zainal
dipanggil KPK. Rusli Zainal menjalani dua kali pemeriksaan untuk melengkapi
berkas tersangka Lukman Abbas. Rusli Zainal diperiksa sebagai saksi.96
KPK juga membidik keterlibatan Gubernur Riau H.M Rusli Zainal dalam
kasus dugaan suap Revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2010 tentang
Penambahan Biaya Arena Menembak PON Riau. Dalam kasus dugaan suap PON
Riau ini, nama Rusli kerap disebut sebagai aktor yang juga diduga melakukan tindak
pidana korupsi. Pada tanggal 8 Februari tahun 2013 Gubernur Riau H.M Rusli
Zainal secara resmi ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Juru Bicara KPK, Johan Budi mengatakan Rusli melakukan tindak pidana
96
WebsiteGOOGLE,http//www.sindonews.com/.../13/.../dua-tersangka-kasus-pon-riausegera-d.. (terakhir kali dikunjungi tanggal 22 September 2012 Pukul 14.00).
100
korupsi dalam dugaan suap dan korupsi perubahan peraturan daerah (Perda) terkait
penyelenggaran Pekan Olah Raga Nasional (PON) Riau tahun 2012. Gubernur Riau
H.M Rusli Zainal diduga melakukan suap dan melanggar Pasal 12 A dan B, Pasal 5
ayat 2, Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah menjadi
UU Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.97
Dalam surat dakwaan mantan Kepala Seksi (Kasi) Pengembangan Sarana dan
Prasarana Olahraga Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Riau bernama Eka
Dharma Putra, Rusli Zainal selaku Gubernur Riau disebut sebagai pihak yang diduga
ikut menyuap. Eka Darma Putra baik sendiri-sendiri atau secara bersama-sama
dengan Lukman Abbas selaku Kepala Dispora Riau, Rusli Zainal selaku Gubernur
Riau dan Rahmat Syahputra selaku Site Administrasi Manajer dalam Kerjasama
Operasi (KSO) PT Pembangunan Perumahan, PT Adhi Karya, dan PT Wijaya Karya
memberi uang Rp 900 juta dari yang dijanjikan Rp1,8 miliar kepada anggota DPRD
Riau 2009-2014.
Pemberian sejumlah uang tersebut dilakukan agar anggota DPRD Riau
membahas dan menyetujui Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Revisi
Perda Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pengikatan Dana Anggaran Kegiatan Tahun
Jamak untuk Pembangunan Stadion Utama pada Kegiatan PON XVIII Riau dan
Raperda tentang Perubahan Perda Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pengikatan Dana
Anggaran Kegiatan Tahun Jamak untuk Pembangunan Venues pada Kegiatan PON
XVIII Riau.
97
WebsiteGOOGLE, http// metrotvnews.com/metronews/vi...0725/Gubernur-Riau-Tersangka Kasus-Pon.(terakhir kali dikunjungi tanggal 10 Februari 2013 Pukul 11.35).
101
Surat dakwaan juga menyebutkan bahwa H.M Rusli Zainal menelepon
Lukman Abbas dan menginstruksikan agar Lukman memenuhi permintaan anggota
DPRD Riau untuk memberi "uang lelah" terkait pembahasan ranperda. Adapun
Lukman sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka. Saat bersaksi dalam persidangan
di Pengadilan Tipikor Riau, Rusli Zainal mengaku mengetahui ada permintaan "uang
lelah" untuk anggota DPRD Riau terkait pembahasan ranperda. Namun Gubernur
Provinsi Riau H.M Rusli Zainal ini mengaku meminta Lukman membatalkan revisi
peraturan daerah jika anggota Dewan meminta uang. Sebelum ditetapkan sebagai
tersangka, KPK memeriksa Rusli Zainal sebagai saksi. KPK juga membuka
penyelidikan baru soal pengadaan barang dan jasa PON Riau, proses pengadaan
tersebut melibatkan pemerintah daerah.
Persidangan beberapa tersangka kasus PON Riau di Pengadilan Tipikor Riau
juga mengungkapkan adanya aliran dana ke DPR. Lukman Abbas saat bersaksi
beberapa waktu lalu mengaku menyerahkan uang sebesar 1.050.000 dollar AS
(sekitar Rp9 miliar) kepada Kahar Muzakir, anggota Komisi X DPR dari Partai
Golkar. Penyerahan uang merupakan langkah permintaan bantuan PON dari dana
APBN Rp 290 miliar. Lukman mengatakan menemani Gubernur Riau Rusli Zainal
untuk mengajukan proposal bantuan dana APBN untuk keperluan PON melalui
Kementerian Pemuda dan Olahraga senilai Rp 290 miliar. Proposal itu disampaikan
Rusli kepada Setya Novanto dari Fraksi Partai Golkar. Untuk memuluskan langkah
itu harus disediakan dana 1.050.000 dollar AS. Setya mengaku bertemu dengan
Gubernur Riau Rusli Zainal namun membantah pertemuan itu membicarakan soal
PON Riau. Lukman juga mengatakan, ada 12 anggota Komisi X DPR menerima
102
bingkisan kain sarung dan uang 5.000 dollar AS dalam amplop tertutup saat
mengunjungi venue PON.
Sejak KPK mengusut kasus dugaan suap revisi perda PON XVIII Riau. Pihak
Imigrasi telah mengeluarkan surat pencekalan terhadap 9 orang tersangka, pihak
yang dicekal tersebut antara lain : Gubernur Riau H.M Rusli Zainal, Said Faisal
selaku Ajudan Gubernur Riau dan tujuh anggota DPRD juga telah dilakukan
pencekalan yakni Abu Bakar Siddik (Golkar), Zulfan Heri (Golkar), Adrian Ali
(PAN), Syarif Hidayat (PPP), M Roem Zein (PPP), Tengku Muhazza (Demokrat)
dan Tourechan Ans’ari (PDIP).
KPK telah mengajukan permohonan pencekalan terhadap Gubernur Riau H.M
Rusli Zainal sejak tanggal 10 April 2012 dengan alasan pencekalan untuk membantu
KPK dalam kelancaran proses penyelidikan kasus dugaan korupsi pembangunan
venue PON. Sedangkan Said Faisal dicekal pada tanggal 22 juni 2012 yang mana
sebelumnya Said Faisal telah menjalani pemeriksaan KPK pada tanggal 5 juni 2012.
Selain itu, tujuh anggota DPRD juga yakni Abu Bakar Siddik (Golkar), Zulfan Heri
(Golkar), Adrian Ali (PAN), Syarif Hidayat (PPP), M Roem Zein (PPP), Tengku
Muhazza (Demokrat) dan Tourechan Ans’ari (PDIP) juga telah dicekal pada tanggal
23 Oktober hingga enam bulan kedepan yakni pada April 2012 mendatang.98
98
Website GOOGLE,www.riau terkini.com/hukumphp?arr=53414 (terakhir kali dikunjungi
tanggal 13 Februari 2013 Pukul 13.25).
103
Berkenaan dengan kasus PON Riau yang telah penulis paparkan diatas, hal
yang menjadi sentral penelitian tesis ini adalah mengenai pencekalan KPK terhadap
Gubernur Riau H.M Rusli Zainal. KPK telah mengajukan permohonan pencekalan
terhadap Gubernur Riau H.M Rusli Zainal sejak tanggal 10 April 2012 dengan
alasan pencekalan untuk membantu KPK dalam kelancaran proses penyelidikan
kasus dugaan korupsi pembangunan venue PON.
KPK dapat melakukan tindakan pencegahan ketika proses penyelidikan telah
dimulai. Tidak ada batasan siapa saja yang tidak boleh dicegah pada tahap ini.
Artinya, sepanjang seseorang berstatus saksi maka orang tersebut dapat dicegah
keluar negeri. Sebagai contoh, dapat dilihat pada kasus pencekalan Gubernur
Provinsi Riau M Rusli Zainal yang menjadi saksi dalam perkara dugaan suap
pembangunan venue PON 2012 yang terjadi di daerahnya. Tanpa penjelasan yang
dapat dipahami oleh publik, Gubernur Provinsi Riau M Rusli Zainal telah dicegah
keluar negeri oleh KPK. Penjelasan itu penting agar kemudian publik dapat
memahami limitasi atau batasan yang dijadikan pegangan oleh KPK dalam
mencegah seseorang keluar negeri. Walaupun kini diketahui bahwa Gubernur Riau
H.M Rusli Zainal telah ditetapkan sebagai tersangka, namun pencegahan terhadap
dirinya telah dilakukan pada statusnya sebagai saksi pada tahap penyelidikan.
Tanpa batasan atau kriteria yang dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan
ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang
menjadi saksi dalam perkara dugaan suap pembangunan venue PON 2012 itu tidak
dicegah keluar negeri. Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan
pencegahan yang sama terhadap para saksi seperti Johar Firdaus selaku Ketua DPRD
104
dari Fraksi Golkar dan anggota dewan lainnya yakni AB Purba (PDIP), Iwa Bibra
(Golkar), Ramli FE, Ramli Sanur, Riky Hariansyah, Indra Isnaini, serta Ketua
Bapedda Ramli Walid dan Wan syamsir selaku Sekda Provinsi Riau ?
Salah satu contoh bahwa dalam persidangan Taufan Andoso Yakin pada
tanggal 11 Desember 201, adanya dugaan keterlibatan Johar Firdaus dalam
mengkondisikan uang lelah untuk sejumlah anggota Pansus Revisi Perda lapangan
tembak PON Riau. Taufan juga menyebutkan bahwa Johar Firdaus pernah menelpon
Zulfan Heri sebagai Ketua Badan Legislasi DPRD Riau untuk memasukan Revisi
Perda No 5 Tahun 2006 dalam agenda rapat paripurna tanggal 3 April 2012
bersamaan dengan pengesahan Revisi Perda No 6 Tahun 2010. Hingga kini ketua
DPRD Riau ini masih berstatus saksi dan tidak pernah dicekal, lain hal nya dengan
Gubernur Riau yang dicekal dalam status nya sebagai saksi.
Kekhawatiran apabila tidak ada batasan, aturan dan atau tolok ukur yang dapat
dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, hal tersebut tentunya
akan membuka peluang terjadinya diskriminasi yang pada akhirnya melanggar asas
equality before the law dan kepastian hukum yang adil dan juga berujung pada
pelanggaran HAM yang diatur dalam Konstitusi, Undang-Undang No.8 Tahun 1981
tentang KUHAP dan Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 Tentang Hak Asasi
Manusia.
105
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK tentunya harus berdasarkan
asas keterbukaan atau asas transparansi yang merupakan salah satu asas yang harus
dipenuhi. Secara terbuka atau transparan artinya KPK dalam menyelesaikan kasus
ini harus memberikan informasi yang jelas dan terang benderang kepada masyarakat
Riau pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sehingga
masyarakat bisa mengetahui dengan jelas proses yang sedang berlangsung terhadap
pihak–pihak terkait dalam kasus ini. Hal yang perlu dihindari ketika kasus ini hanya
menjadi konsumsi elit pejabat atau elit politik saja. Dengan informasi yang akurat
maka masyarakat juga akan bisa mengawal dan memantau serta mendorong agar
kasus ini bisa diselesaikan dengan seadil–adilnya yang pada akhir kita berharap
bahwa prilaku suap bisa diubah dan dihentikan oleh oknum–oknum pejabat dan
pemimpin kita.
3.2. Pencekalan Mahfud Suroso Terkait Kasus Hambalang.
KPK mulai menyelidiki proyek Hambalang sejak Agustus tahun 2011. Jumlah
anggaran proyek Hambalang tersebut senilai Rp 2,5 triliun yakni terdiri dari sekitar
Rp 1,4 triliun untuk pengadaan barang dan Rp 1,1 triliun biaya pembangunan
gedung. KPK mendalami tindak pidana korupsi di proyek Hambalang terindikasi
pada dua peristiwa. Pertama, pada proses penerbitan sertifikat tanah Hambalang di
Jawa Barat. Kedua, pelaksanaan proyek Hambalang yang dilakukan secara tahun
jamak. KPK menyelidiki kasus Hambalang setelah mengembangkan penyidikan
kasus suap proyek wisma atlet SEA Games.
106
Proyek Hambalang dimulai sekitar tahun 2003. Proyek yang dikabarkan ada
dugaan korupsi seperti ‘nyanyian’ M. Nazaruddin ini ditargetkan selesai akhir tahun
2012. Proyek pusat olahraga di Hambalang Bogor Jawa Barat menjadi sorotan
publik, apalagi dua bangunan telah ambruk dikarenakan tanahnya ambles. Secara
kronologi, proyek ini bermula pada Oktober Tahun 2009. Saat itu Kemenpora
(Kementerian Pemuda dan Olah Raga) menilai perlu ada Pusat Pendidikan Latihan
dan Sekolah Olah Raga pada tingkat nasional. Maka, Kemenpora memandang perlu
untuk melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan proyek pusat pendidikan
pelatihan dan sekolah olahraga nasional di Hambalang, Bogor. Selain untuk
meningkatkan dan menyempurnakan
pembangunan proyek pusat pendidikan
pelatihan dan sekolah olahraga nasional, hal ini juga dilakukan dalam rangka untuk
mengimplementasikan UU Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan
Nasional.
Pada 20 Januari 2010, sertifikat hak pakai nomor 60 terbit atas nama
Kemenpora dengan luas tanah 312.448 meter persegi. Pada 30 Desember 2010, terbit
Keputusan Bupati Bogor nomor 641/003.21/00910/BPT 2010 yang berisi Izin
Mendirikan Bangunan untuk Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga
Nasional atas nama Kemenpora di desa Hambalang, Kecamatan Citeureup Bogor.
Pembangunan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional
mulai dilanjutkan pada tahun 2010 dan direncanakan selesai tahun 2012. Untuk
membangun semua fasilitas dan prasarana sesuai dengan master plan yang telah
disempurnakan, anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 1,75 triliun. Berdasarkan
hasil perhitungan konsultan perencana Anggaran Rp 1,75 triliun ini sudah termasuk
107
bangunan sport science, asrama atlet senior, lapangan menembak, extreme sport,
panggung terbuka, dan voli pasir. Sejak tahun 2009-2010 Kementerian Keuangan
dan DPR menyetujui alokasi anggaran sebagai berikut :
1. APBN murni 2010 sebesar Rp 125 miliar yang telah diajukan pada tahun
2009.
2. APBNP 2010 sebesar Rp 150 miliar.
3. Pagu definitif APBN murni 2011 sebesar Rp 400 miliar
Pada 6 Desember 2010 keluar surat persetujuan kontrak tahun jamak dari
Kemenkeu RI nomor S-553/MK.2/2010. Pekerjaan pembangunan direncanakan
selesai pada akhir tahun yakni 31 Desember 2012. Penerimaan siswa baru
diharapkan akan dilaksanakan tahun 2013-2014. Pada tahun 2003-2004 masih di
Direktorat Jenderal (Ditjen) Olahraga Depdikbud, Proyek ini digelontorkan pada
tahun itu sesuai dengan kebutuhan akan pusat pendidikan dan pelatihan olahraga
yang bertaraf internasional. Selain itu untuk menambah fasilitas olahraga. Pada tahun
itu direkomendasikan 3 wilayah yaitu Hambalang Bogor, Desa Karang Pawitan, dan
Cariuk Bogor. Akhirnya yang dipilih Hambalang. Pada Tahun 2004, Dilakukan
pembayaran para penggarap lahan di lokasi tersebut dan sudah dibangun mesjid,
asrama, lapangan sepakbola dan pagar. Tahun 2004-2009, Proyek di Ditjen Olahraga
Kemendikbud dipindahkan di Kemenpora. Lalu dilaksanakan pengurusan sertifikat
tanah Hambalang tapi tidak selesai. Penganggaran pembuatan maket dan masterplan
dilakukan pada tahun 2006. Dari rencana awalnya pusat peningkatan olahraga
nasional menjadi pusat untuk atlet nasional dan atlet elite. Pada tahun 2007,
108
Diusulkan perubahan nama dari Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga Nasional
menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional.
Pengajuan anggaran pembangunan dan mendapat alokasi sebesar Rp 125
miliar dilakukan pada tahun 2009, tapi tidak dapat dicairkan (dibintangi) karena surat
tanah Hambalang belum selesai. Pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat
Keputusan Kepala BPN RI Nomor 1/ HP/ BPN RI/2010 tentang Pemberian Hak
Pakai atas nama Kemenpora atas tanah di Kabupaten Bogor- Jawa Barat dan
berdasarkan Surat Keputusan tersebut kemudian pada tanggal 20 Januari diterbitkan
sertifikat hak pakai nomor 60 atas nama Kemenpora dengan luas tanah 312.448 m2.
Kemudian pada tanggal 30 Desember 2010 keluar IMB.
Pada tahun 2010 juga ada perubahan kembali yakni penambahan fasilitas
sarana dan prasarana antara lain bangunan sport sains, asrama atlet senior, lapangan
menembak, ekstrem sport, panggung terbuka dan voli pasir dengan dibutuhkan
anggaran Rp 1,75 triliun. Kemudian sejak 2009-2010 sudah dikeluarkan anggaran
total Rp 675 miliar. Pada tanggal 6 Desember 2010 keluar surat kontrak tahun jamak
dari Kemenkeu untuk pembangunan proyek sebesar Rp 1,75 triliun dan pengajuan
pembelian alat- alat membengkak menjadi Rp 2,5 Triliun.
Menurut penelusuran tim investigasi dari seputarnusantara.com, Pada awal
Desember tahun 2009 Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan
Bendahara Fraksi Partai Demokrat M. Nazaruddin meminta tolong kepada Ignatius
Mulyono selaku anggota Komisi II DPR yang juga menjabat sebagai Ketua Baleg
DPR RI agar Ignatius Mulyono menanyakan kepada BPN (Badan Pertanahan
109
Nasional) lewat telepon perihal surat tanah Kemenpora yang belum kunjung selesai.
BPN merupakan mitra kerja Komisi II DPR RI, oleh karena itu Ignatius Mulyono
bersedia membantu menanyakan kepada BPN perihal sertifikat tanah Hambalang
tersebut. Kemudian pada tanggal 6 Januari 2010, Surat Keputusan atas nama
Kemenpora terbit dari BPN. Ignatius Mulyono ditelepon oleh Sestama BPN bahwa
Surat Keputusan sudah selesai dan agar diambil ke BPN. Selanjutnya Ignatius
Mulyono mengambil Surat Keputusan tanah tersebut dan langsung menyerahkan
kepada Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Pada tanggal 6 Januari
2010, ternyata yang diterima oleh Ignatius Mulyono dari Sestama BPN bukanlah
berupa Sertifikat tetapi hanya berupa Surat Keputusan Kepala BPN RI.99
Awal mula proyek Hambalang menjadi kasus publik adalah setelah keluarnya
Sertifikat Hambalang Nomor 60 tanggal 20 Januari 2010. Pada Rapat Kerja Menpora
dengan Komisi X DPR RI, Menpora mengajukan pencabutan bintang (anggaran Rp
125 Miliar) dan mengusulkan peningkatan program penambahan sarana dan
prasarana sport centre dll, sehingga mengajukan anggaran menjadi Rp 1,75 Triliun.
Bahkan usulan tambahan pembelian alat- alat menjadi proyek Hambalang
membutuhkan dana sampai Rp 2,5 triliun. Kemudian yang menjadi tanda tanya besar
adalah ketika proses perubahan besarnya anggaran dari Rp 125 Miliar menjadi Rp
1,175 Triliun bahkan berkembang untuk alokasi anggaran pengadaan alat olahraga
senilai Rp 1,4 triliun sehingga total proyek menjadi Rp 2,57 Triliun tidak melalui
tahapan- tahapan yang semestinya, dimana dalam pembahasannya seharusnya
mengikutsertakan seluruh anggota Komisi X DPR RI. Masalah ini perlu terus
99
Website GOOGLE, www. seputarnusantara.com/?p=13559 (terakhir kali dikunjungi
tanggal 11 Februari 2013 Pukul 17.55)
110
ditelusuri untuk membuka secara jelas dan gamblang siapa sebenarnya yang terlibat
kasus Hambalang ini, termasuk membongkar siapa aktor intelektual yang
mengendalikan serta pembongkaran terhadap pelaksanaan tender dan siapa yang
menerima pembagian “penghargaan jasa” melicinkan kenaikan anggaran dan
pemenangan kontraktor pada proses tender.
Terkait kasus Hambalang, aktivis Indonesia Corruption Watch yakni Tama S
Langkun menyatakan KPK belum jeli melakukan pemeriksaan. Aktivis muda ini
merinci, ada tiga poin pemeriksaan yang belum didalami oleh penyidik KPK secara
maksimal. Pertama, mengenai dampak kebijakan pengguna anggaran dalam proyek
tersebut. Kedua, mengenai aturan main proses tender. Ketiga, pengubahan rentang
waktu pengerjaan dari single years ke multi years yang diduga ilegal. Berkenaan
dengan kebijakan pejabat pengguna anggaran dalam kasus ini adalah Menpora, Andi
Mallarangeng sudah semestinya KPK dapat mengambil kesimpulan. Kebijakan apa
saja yang telah dikeluarkan yang bersangkutan dalam proyek tersebut. Sehingga, ada
upaya mensubkan ke kontraktor atau pihak lain. “Apakah memang Menteri yang
meminta ke kontraktor pemenang tender untuk mensubkan atau tidak ”. Kedua,
dalam proyek senilai Rp 2,5 trilun itu menjadi penting diselidiki mengenai
mekanisme tender apakah sesuai dengan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Tentunya, proyek
Hambalang ini wajib menempuh proses tender. Perlu untuk diselidiki alasan PT.
Wijaya Karya (Wika) menjadi pemenang, alasan Wika mensubkan sebagian
pekerjaannya ke PT. Dutasari Ciptalaras dan apakah sudah sesuai prosedur. Ketiga
yang tak kalah penting yakni mengenai rentang waktu pengerjaan dari single years
111
menjadi multi years. “Apakah ini juga atas persetujuan Andi Mallarangeng? Karena
seluruh perubahan tentang proyek instansi pemerintah harus dengan persetujuan
pejabat kuasa anggaran di departemen yang bersangkutan.”.100
Dalam kasus korupsi proyek Hambalang, KPK telah menetapkan Deddy
Kusdinar selaku mantan Kepala Biro Perencanaan dan Rumah Tangga Kementerian
Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng selaku mantan Menteri Pemuda dan
Olahraga serta Anas Urbaningrum sebagai tersangka. Pada tanggal 3 Desember 2012
KPK sudah mengirim surat pencekalan terhadap Andi Malarangeng , Adik kandung
dari menpora bernama Andi Zulkarnain Mallarangeng, dan M. Arief Taufiqurahman
selaku Kepala divisi Konstruksi PT. Adhi Karya kepada Direktur Jendral Imigrasi
Kementrian Hukum dan HAM dengan surat bernomor 4569/01-23-12-2012. Dalam
surat pencekalan KPK tersebut diketahui bahwa Andi malarangeng di cekal dalam
statusnya sebagai tersangka. Pencekalan Menpora Andi Mallarangeng ke luar negeri
terkait pengembangan penyelidikan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan
sarana olahraga nasional di Hambalang, Jawa Barat.
Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum
HAM) juga telah melakukan cekal terhadap Direktur PT. Dutasari Citralaras yang
bernama Mahfud Suroso agar yang bersangkutan tidak bepergian ke luar negeri.
Pencekalan terhadap Mahfud Suroso ini dilakukan atas permintaan KPK untuk
membantu proses penyelidikan kasus Hambalang. Permintaan cekal tersebut
diajukan KPK sejak tanggal 27 April dan berakhir setelah enam bulan kedepan yakni
100
Website GOOGLE, www.beritawmc.com/2012/06/.../soal-hambalang-kpk-dinilai-tidakjelas) terakhir kali dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 17.35)
112
pada bulan Oktober. Selain itu, KPK juga mencekal tiga Direktur terkait kasus
pembangunan sport center di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat pada tanggal 25
Januari 2013. Mereka adalah Mandiri Santoso selaku Direktur PT. Ciriajasa Cipta,
Yudi Wahyono selaku Direktur PT. Yodya Karya, serta Direktur CV. Rifa Medika
bernama Lisa Lukitawati.
PT. Ciriajasa Cipta merupakan perusahaan konsultan yang menawarkan jasa
konsultasi di bidang manajemen proyek konstruksi. PT. Yodya Karya merupakan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di jasa konstruksi dan CV. Rifa
Medika adalah perusahaan konsultasi penyedia jasa perlengkapan kesehatan serta
pelatihan simulasi pendidikan kesehatan.
PT. Dutasari Citralaras merupakan perusahaan sub kontrak dari dua BUMN
yakni PT. Adhi Karya dan PT Wijaya Karya yang melakukan join operation untuk
menggarap proyek sarana olahraga di Hambalang, Jawa Barat. Menurut Wakil Ketua
KPK lainnya Bambang Widjojanto, PT. Dutasari Citralaras mendapatkan pekerjaan
sub kontraktor dari PT. Adhi Karya sebesar Rp 300 miliar. PT. Dutasari
mengerjakan proyek Hambalang di bidang konstruksi. Nilai pekerjaan di bidang
konstruksi proyek Hambalang sendiri menurut Bambang sebesar Rp 1,1 triliun.
Kecurigaan KPK terhadap PT. Dutasari Citralaras ini terbukti dengan adanya
sejumlah pemeriksaan terhadap petinggi dan mantan petinggi perusahaan ini.101
101
Website GOOGLE,www.konstruksi-stel.blogspot.com › hukum (terakhir kali dikunjungi
tanggal 15 Februari 2013 Pukul 17.35)
113
Mahfud Suroso diduga berperan besar dalam proyek Hambalang, hal ini
dikarenakan Mahfud Suroso juga terlibat mengurus sertifikat tanah di lokasi proyek
seluas 31 hektare. Muhammad Nazaruddin selaku Mantan Bendahara Umum Partai
Demokrat yang membeberkan peran Mahfud Suroso tersebut. Menurut Nazar,
Mahfud Suroso memberi uang pelicin kepada Joyo Winoto selaku Kepala Badan
Pertanahan Nasional agar pengurusan sertifikat Hambalang mulus. Mahfud Suroso
juga memberi pelicin kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Komisi X
DPR agar PT. Adhi Karya menjadi rekanan proyek berbiaya Rp 1,07 triliun itu.
Pengurusan sertifikat Hambalang dilakukan sejak 2004, namun baru berhasil pada
2009. Diduga kuat, sertifikat tanah Hambalang dapat terbit karena peran Mahfud
Suroso selaku Direktur PT. Dutasari Citralaras , Anas Urbaningrum selaku Ketua
Umum Partai Demokrat, Ignatius Mulyono selaku anggota DPR dari Partai
Demokrat dan Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat bernama M.
Nazaruddin.102
Berkenaan dengan penyelidikan dalam kasus Hambalang ini, lebih dari 70
orang diperiksa telah KPK. Pihak-pihak yang telah diperiksa terkait penyelidikan
kasus Hambalang ini antara lain : Menteri Pemuda dan Olahraga yakni Andi
Mallarangeng, Mahfud Suroso selaku pengurus PT. Dutasari Citralaras, istri Anas
Urbaningrum bernama Athiyyah Laila, Munadi Herlambang selaku pejabat Partai
Demokrat, Joyo Winoto selaku mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional, anggota
102
Website GOOGLE, www.tempo.co/.../Terlibat-Kasus-Hambalang-Mahfud-Suroso Dicekal
(terakhir kali dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 16.35).
114
Komisi II DPR bernama Ignatius Mulyono dan mantan Bendahara Umum Partai
Demokrat yakni Muhammad Nazaruddin.103
Dalam mengembangkan penyelidikan kasus ini KPK juga telah memeriksa
sejumlah pihak terkait selain yang telah penulis sebutkan di atas seperti Anas
Urbaningrum. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum telah dua kali
diminta keterangan dalam kasus ini. Mantan anggota Komisi X DPR ini dicecar soal
pengurusan sertifikat Hambalang pada pemeriksaan perdana. Adapun dalam
pemeriksaan kedua, Anas Urbaningrum dicecar mulai dari hubungannya dengan PT.
Adhi Karya hingga kepemilikan mobil yang selama ini disebut Muhammad
Nazaruddin diperoleh terkait proyek Hambalang. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pada Jumat lalu telah menetapkan mantan Ketua Umum Partai Demokrat,
Anas Urbaningrum sebagai tersangka pada kasus dugaan pemberian hadiah dan janji
terkait proyek pembangunan pusat sarana dan prasarana olahraga Hambalang,
Bogor, Jawa Barat. Surat perintah penyidikan (Sprindik) atas nama tersangka Anas
ini ditandatangani oleh Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Menurut Johan,
penandatanganan ini dilakukan setelah seluruh pimpinan KPK bersama tim
penyelidik melakukan gelar perkara (ekspose). Kemudian dari hasil pemaparan tim
penyelidik, seluruh pimpinan KPK bersepakat untuk meningkatkan kasus ini dari
tahap penyelidikan ke penyidikan dengan menetapkan Anas sebagai tersangka. Atas
103
Website GOOGLE, www.beritawmc.com/2012/06/.../soal-hambalang-kpk-dinilai-tidakjelas) terakhir kali dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 17.35).
115
perbuatannya itu, Anas disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b dan atau
Pasal 11 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.104
Anas Urbaningrum diperiksa KPK pada tanggal 27 Juni 2012 dan pada tanggal
4 Juli 2012. Dalam pemeriksaan pertama, KPK mempertanyakan masalah yang
terkait kepengurusan Demokrat dan kabar intervensinya dalam proses penerbitan
sertifikat tanah di Hambalang. Untuk pemeriksaan kedua, Anas Urbaningrum dicecar
soal proyek Hambalang dan dugaan penerimaan mobil Harrier dari duit proyek
tersebut. Seluruh tudingan yang mengarah pada dugaan korupsi sudah dibantah
Anas. Selain Anas Urbaningrum , KPK juga telah meminta keterangan istri Anas
yang bernama Athiyyah Laila. Athiyyah Laila diperiksa dalam kapasitas sebagai
mantan Komisaris PT. Dutasari Citralaras. Perusahaan tersebut merupakan pihak
yang menjadi subkontraktor PT. Adhi Karya dalam proyek Hambalang. Mahfud
Suroso yang juga merupakan pemegang saham PT. Dutasari Citralaras juga berkalikali diperiksa KPK. KPK pun telah melarang Mahfud Suroso bepergian ke luar
negeri terkait penyelidikan kasus ini. Sementara Dirut PT. MSons Capital sekaligus
Sekretaris Departemen Pemuda dan Olahraga DPP Partai Demokrat bernama
Munadi Herlambang merupakan salah satu pemegang saham di PT. Dutasari
Citralaras juga telah diminta keterangan. Kemudian, Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Joyo Winoto dan anggota Komisi II DPR Ignatius Mulyono juga
pernah diminta keterangan.
104
Website GOOGLE, www.news.liputan6.com/anas+urbaningrum (terakhir kali dikunjungi
tanggal 11 Februari 2013 Pukul 17.55).
116
Berkenaan dengan kasus hambalang yang telah penulis paparkan diatas
tentunya sangat berkaitan dengan telah dilakukannya pencekalan terhadap Mahfud
suroso. Tanpa tolok ukur atau kriteria yang dapat dijadikan rujukan perihal alasan
pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua
pihak yang menjadi saksi dalam perkara Hambalang itu tidak dicegah keluar negeri ?
Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama terhadap
pihak-pihak yang juga diperiksa dalam tahap penyelidikan seperti Ketua Umum
Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang telah diperiksa beberapa kali oleh KPK,
pengurus PT. Dutasari Citralaras yakni istri Anas Urbaningrum bernama Athiyyah
Laila, pejabat Partai Demokrat bernama Munadi Herlambang, mantan Kepala Badan
Pertanahan Nasional bernama Joyo Winoto, anggota Komisi II DPR yakni Ignatius
Mulyono
dan
mantan
Bendahara
Umum
Partai
Demokrat
Muhammad
Nazaruddin.105 Hal tersebut yang dimaksud dengan peluang untuk berbuat
diskriminasi dan tentunya bertentangan dengan asas persamaan di depan hukum atau
equality before the law. Apalagi jika dipahami bahwa tidak setiap pemeriksaan di
tahap penyidikan memiliki relevansi untuk kemudian dimasukkan keterangannya
dalam berkas perkara. Terlebih lagi bila dengan niat tertentu, penyidik memanggil
seseorang untuk kemudian diperiksa lalu dikenakan tindakan pencegahan padahal
orang yang sama tidak ada kaitannya dengan penyidikan.
105
Website GOOGLE, http//www.beritawmc.com (terakhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober
2012 Pukul 14.00).
117
C. Pencekalan Ridwan Hakim Terkait Kasus Pengurusan Kuota Impor
Daging Sapi
Mahalnya harga daging sapi di tengah obsesi pemerintah untuk mewujudkan
swasembada menjadikan kasus korupsi yang melibatkan petinggi PKS bukan lagi
sekadar masalah hukum semata namun isu kartel impor pangan juga mengemuka.
Fakta menunjukkan bahwa pemerintah mengalami kesulitan yang sangat besar untuk
mewujudkan swasembada pangan. Ini adalah realitas yang tidak terbantahkan.
Dalam soal daging sapi, rencana pemerintah untuk mewujudkan swasembada daging
sapi kini justru dinilai amburadul atau dapat dikatakan kacau. Hal ini di akibatkan
oleh penurunan kuota impor daging sapi secara drastis rupanya tidak diikuti dengan
pasokan daging sapi dari peternak dalam negeri secara memadai. Akibatnya, terjadi
lonjakan harga di pasaran yang disebabkan timpangnya permintaan dan pasokan.
Langkah pemerintah mencoba membatasi impor sebagai konsekuensi logis
swasembada justru menimbulkan masalah baru.106 Realitas ini menimbulkan dampak
ekonomi terhadap berbagai pihak, termasuk pedagang bakso. Pelaku bakso oplosan
daging babi, yang menggemparkan publik beberapa waktu lalu mengaku melakukan
tindakan itu karena harga daging sapi yang sangat mahal. Swasembada pangan
adalah tujuan nasional yang mesti diwujudkan. Ketergantungan yang terlalu besar
pada pangan impor sangat tidak menguntungkan dalam jangka panjang. Sejalan
dengan itu, diingatkan bahwa perwujudan swasembada mutlak membutuhkan usaha
positif. Tersedianya data sensus sapi yang akurat merupakan salah satu energi yang
106
Website GOOGLE, http//www.businessnews.co.id›Headline(terakhir kali dikunjungi
tanggal 20 Maret 2013 Pukul 16.00).
118
sangat penting untuk mengatur kuota impor daging sapi atau apakah kran impor
sudah mesti ditutup. Tiadanya data yang akurat menjadikan hasil sensus sapi pun
diragukan berbagai pihak. Jika data sensus itu tidak akurat maka kebijakan terkait
impor dipastikan akan menimbulkan masalah baru, antara lain kelangkaan di dalam
negeri seperti yang terjadi pada daging sapi akhir-akhir ini. Tiadanya data yang
akurat juga menjadi celah untuk mempermainkan kuota impor yang kemudian
memberi peluang munculnya korupsi. Apa yang dikemukakan di sini yakni agar
pembuat kebijakan menjadikan data sebagai instrumen analisis dalam membuat
kebijakan semakin mendesak untuk diterapkan. Kebijakan terkait kuota impor
daging mesti bertitik tolak dari kemampuan elemen dalam negeri.
Selain data usaha energi yang juga sangat penting dalam perwujudan
swasembada pangan ialah logistik. Pengalaman menunjukkan bahwa tidak
teratasinya masalah logistik menyebabkan distribusi bahan pangan dari daerah
produsen ke daerah konsumen seringkali terhambat. Kondisi tersebut lalu
menyebabkan kelangkaan dan memicu kenaikan harga di daerah konsumen,
meskipun di daerah produsen terjadi kelebihan pasokan. Logistik memang
merupakan masalah yang sangat serius di negara kepulauan seperti Indonesia.
Swasembada adalah soal kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dengan kekuatan
sendiri, namun swasembada menjadi persoalan ketika ia tidak dapat melayani
kebutuhan internal secara berkesinambungan yang menyebabkan kelangkaan
pasokan dan kenaikan harga. Swasembada akan menjadi masalah jika penutupan
kran impor justru memicu kelangkaan dan kenaikan harga di dalam negeri. Tentu,
bukan ini yang kita harapkan dari upaya menciptakan swasembada daging sapi.
119
Dengan alasan untuk mendorong swasembada daging sapi lokal, Menteri
Pertanian Suswono memotong kuota impor yang biasanya 120 ribu ton per tahun
menjadi hanya 50 ribu ton pada Januari 2011. Pada semester pertama 2011, impor
bahkan dibatasi hanya 25 ribu ton. Kuota impor ini meresahkan pengusaha apalagi
ada kabar bahwa kuota ini dibagikan dengan tidak adil. Ada makelar yang bermain,
juga pengusaha yang dekat dengan petinggi Kementerian. Kisruh impor daging ini
mencuat ke publik ketika Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan
menahan 143 kontainer berisi daging impor di Jakarta International Container
Terminal (JICT) Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara pada pertengahan Januari
2011. Ternyata 2.750 ton daging impor itu bermasalah. Sebanyak 51 kontainer dalam
pengawasan Badan Karantina Pertanian, sisanya di bawah penanganan kepabeanan.
Badan Karantina tidak meloloskan karena ada ketidaksesuaian keterangan di dalam
surat izin impor meliputi negara asal, perbedaan jenis barang, dan kelebihan tonase.
Bea dan Cukai belum mengizinkan daging-daging impor ke luar lantaran dokumen
pemberitahuan impor barangnya belum lengkap. 107
Ketidaksesuaian dokumen ini terjadi karena pengusaha daging nekat
mengimpor daging sapi dengan dokumen yang tenggatnya sangat pendek. Direktur
Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) Thomas
Sembiring menjelaskan izin impor (Surat Persetujuan Pemasukan Daging) baru
diterbitkan Kementerian Pertanian pada 15 Desember 2010 dengan tenggat dua
pekan. Itu pun hanya untuk 15 ribu ton daging. Tenggat itu jelas tak masuk akal.
Pengiriman daging biasanya makan waktu 3-5 pekan. Namun pengusaha nekat
107
Website GOOGLE, http//www.tempo.co/read/.../Suap-Daging-PKS-Begini-Awal-Mulanya
(terakhir kali dikunjungi tanggal 20 Maret 2013 Pukul 16.40).
120
mengimpor karena biasanya surat izin impor bisa diperpanjang. Dirjen Peternakan
berganti dari Tjeppy D. Soedjana ke Prabowo Respatiyo. Dirjen yang baru tidak
memperpanjang izin, dan tertahanlah ribuan ton daging itu di Tanjung Priok.108
Kisruh impor daging ini membuat pengusaha berebut mencari celah untuk
mendapatkan izin impor Kementerian Pertanian. Dari sinilah, skandal suap PKS
bermula. Para makelar yang dekat dengan petinggi partai itu diklaim bisa
mengusahakan izin impor dan kuota impor khusus untuk pengusaha. Salah seorang
tersangka yang ditangkap KPK, Ahmad Fathanah diduga adalah makelar atau
penghubung anata pengimpor daging dalam kasus ini PT. Indoguna Utama dengan
Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq yang diduga juga berpengaruh dalam
pengambilan keputusan yang diambil Kementan.
Kelangkaan dan terungkapnya kasus dugaan suap impor daging sapi baru-baru
ini hanya sebagian dari cermin karut-marut politik pangan Indonesia. Sebagai negara
agraris dengan sumber daya alam melimpah, pemenuhan berbagai kebutuhan
pangan, termasuk daging sapi, harus ditutup dari impor. Kelangkaan daging sapi
yang membuat harga daging melonjak tertinggi di dunia saat ini dan dibiarkan
berlarut-larut membuat berbagai pihak kelimpungan.
Kementerian Pertanian (Kementan) yang dipimpin Suswono terkait dengan
proyek impor daging sapi yang terindikasi praktik suap tersebut. Hal ini dikarenakan
Kementan memiliki kewenangan menentukan kuota setiap perusahaan yang ingin
mengimpor daging sapi. Sementara terkait perizinan, Kementerian Perdagangan
(Kemendag) yang menentukan. Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq yang diduga juga
121
berpengaruh dalam pengambilan keputusan yang diambil Kementan telah
menggunakan pengaruhnya sebagai petinggi PKS untuk mempengaruhi kebijakan
Mentan yang juga sebagai kader PKS untuk memuluskan PT. Indoguna Utama
memperoleh kuota impor daging. Trading in influence atau penjualan pengaruh yang
Luthfi lakukan dikarenakan Mentan juga merupakan kader PKS. Dalam pertemuan
di Hotel Aryaduta Medan pada awal Januari itu terjadi pertemuan dengan beberapa
pihak seperti Dirut PT Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman yang berusaha
meyakinkan Suswono agar menaikkan kuota impor daging sapi pada 2013.
KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap dua direktur PT. Indoguna
yaitu Juard Effendi dan Arya Arbi Effendi. Keduanya ditangkap di rumah Arya
karena telah memberikan uang Rp1 miliar kepada Ahmad Fathanah. Ahmad
Fathanah sendiri juga ikut ditangkap KPK di lokasi berbeda yaitu Hotel Le Meridien.
Dalam operasi itu, KPK menciduk Ahmad Fathanah yang diduga sebagai operator
atau makelar impor daging yang melibatkan bekas Presiden PKS Luthfi Hasan
Ishaaq. Ahmad Fathanah ditangkap setelah menerima uang imbalan pengurusan
kouta impor daging sapi di kantor PT. Indoguna pada siang harinya. Kemudian
sehari setelah penangkapan Juard Effendi, Arya Arbi Effendi dan Ahmad Fathanah,
KPK lantas juga menangkap mantan Presiden PKS bernama Luthfi Hasan Ishaaq.
Lutfhi Hasan Ishaaq diduga ikut terlibat dalam suap ini. Uang Rp1 miliar yang
diberikan kepada Ahmad Fathanah sesungguhnya ditujukan kepada Lutfhi Hasan
Ishaaq. KPK menyita barang bukti berupa uang yang dibungkus dalam tas kresek
hitam senilai 1 miliar rupiah sebagai nilai komitmen awal untuk mengamankan
komitmen kuota impor daging sapi, uang itu merupakan bagian nilai suap seluruhnya
122
diduga mencapai 40 miliar rupiah dengan perhitungan commitment fee per kilogram
daging adalah 5.000 rupiah dengan PT. Indoguna meminta kuota impor hingga 8.000
ton.
Dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus dugaan suap
pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian itu, KPK telah
menetapkan empat orang sebagai tersangka yaitu Presiden PKS yang juga anggota
Komisi I DPR Luthfi Hasan Ishaaq, dua direktur PT Indoguna Utama yaitu Juard
Effendi dan Arya Abdi Effendi, serta orang dekat Lutfi, Ahmad Fathanah. Juard
Effendi dan Arya Abdi Effendi disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 dan atau pasal
13 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Sementara untuk Lutfhi Hasan Ishaaq dan Ahmad
Fathanah, KPK menersangkakan dengan pasal 12 huruf a atau huruf b dan atau pasal
5 ayat 2 dan atau pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Kuota
impor daging sapi tahun 2013 diketahui berjumlah 80 ribu ton. PT Indoguna diduga
mendapatkan kuota impor sekitar 24 ribu. Di bulan Januari, DPR kembali
memutuskan menambah kuota impor sebanyak 15 ribu ton. PT. Indoguna diduga
ingin mendapatkan 50 persen dari kuota tambahan tersebut.109
109
Website GOOGLE, http//www.beritasatu.com/hukum/102411-kpk-periksa-sejumlah-saksidan.. (terakhir kali dikunjungi tanggal 22 Maret 2013 Pukul 16.40).
123
Dalam melakukan pengembangan atas kasus dugaan suap penentuan kuota
impor daging di Kementerian Pertanian, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) telah memanggil beberapa pihak untuk diperiksa sebagai saksi antara lain
sebagai berikut : Agus Suganda (Pegawai Negeri Sipil), Maria Elizabeth Liman
(Dirut PT. Indoguna Utama), Ahmad Junaedi (Direktur Kesehatan Masyarakat
Veteriner dan Pasca panen Kementerian Pertanian), Ahmad Zaky (swasta),
Syahrudin (swasta), Elda Deviane Adiningrat (swasta), Soewarso (swasta), Melani
(karyawan PT. Indoguna Utama), Dina zelvia (swasta), Eka Pratiwi (swasta), Anna
Retnowati (swasta), Mimin Juni Atin (swasta).
Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan saksi silang antara empat tersangka
kasus dugaan suap daging impor. Kesaksian keempat tersangka digunakan untuk
memperkuat bukti. Arya Abdi Effendy (swasta), Juard Effendi (swasta) saksi untuk
AAE, Ahmad Fatanah (swasta) saksi untuk JE, dan Luthfi Hasan Ishaaq (mantan
presiden PKS) saksi untuk AF.
Berkenaan dengan kasus pengususan kuota impor daging yang mana telah
ditetapkannya empat orang sebagai tersangka yaitu Presiden PKS yang juga anggota
Komisi I DPR bernama Luthfi Hasan Ishaaq, dua direktur PT Indoguna Utama yaitu
Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi, serta orang dekat Lutfi yakni Ahmad Fathanah
tentu nya membuat KPK terus bersemangat untuk menguak mengenai apa yang
terjadi terkait kasus ini serta menyeret pihak-pihak yang tentu nya bertanggung
jawab atas kerugian negara yang ditimbulkannya. Salah satu cara KPK untuk
melakukan tugas dan kewenangannya selaku institusi yang selama ini masih
dipercaya masyarakat Indonesia dalam rangka penegakan hukum guna memberantas
124
tindak pidana korupsi dikaitkan dengan kasus pengurusan daging sapi impor ini ialah
dengan melakukan pencekalan terhadap beberapa orang yang di duga mengetahui
kasus pengurusan daging sapi impor ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah memeriksa Ridwan Hakim
sebagai saksi yang merupakan putra Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) bernama Hilmi Aminuddin terkait kasus dugaan suap pengurusan kuota impor
daging sapi di Kementerian Pertanian (Kementan) tahun 2013. Ridwan Hakim yang
mangkir dari panggilan pertama diperiksa sebagai saksi untuk keempat orang
tersangka. Terkait peran Ridwan dalam kasus yang melibatkan mantan Presiden
PKS, Luthfi Hasan Ishaaq serta sejumlah pihak swasta lainnya, KPK belum bisa
menjelaskannya secara rinci. Akan tetapi melihat dari pencegahan yang telah
dilakukan dan juga status Ridwan yang merupakan salah seorang putra dari Ketua
Majelis Syuro PKS yakni Hilmi Aminuddin ini diduga banyak mengetahui seputar
proses penentuan kuota impor daging melalui pertemuan-pertemuan yang kerap
dilakukan mantan Presiden PKS yakni Luthfi Hasan Ishaaq dengan pihak dari
Kementan dan swasta. 110
Sebelumnya, Ridwan Hakim dicegah berdasarkan surat keputusan KPK nomor
KEP.107/01-23/02/2013 yang berlaku per tanggal 8 Februari 2013. Bersamaan
dengan Ridwan, KPK juga melakukan pencegahan terhadap tiga orang lain dari
pihak swasta, yakni Ahmad Zaky, Rudy Susanto dan Jerry Roger. Namun, sehari
sebelum dikirimkannya surat cegah ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi, Ridwan
terlebih dahulu kabur ke luar negeri dengan pesawat Turkies Air TK67 pada Kamis
110
Website GOOGLE, http//www.koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/113355 (terakhir
kali dikunjungi tanggal 20 Maret 2013 Pukul 18.50).
125
(7/2) pukul 18.49 WIB melalui Bandara Internasional Soekarno Hatta tujuan
Istanbul. Atas pelariannya tersebut, Ridwan dianggap telah mangkir dari
pemeriksaan KPK pertama. Untuk itu KPK pun sempat mempertimbangkan upaya
pemanggilan paksa jika Ridwan tetap mangkir dalam pemanggilan keduanya sebagai
saksi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah mengeluarkan surat
pencegahan ke luar negeri kepada dua petinggi PT. Indoguna Utama yakni Soraya
Kusuma Effendy selaku Komisaris PT. Indoguna Utama dan Maria Elizabeth Liman
selaku Direktur Utama PT. Indoguna Utama, terkait penyidikan kasus pengurusan
kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Mereka dilarang mengadakan
perjalanan ke luar negeri hingga enam bulan ke depan dan dicegah agar sewaktuwaktu diperiksa yang bersangkutan tidak sedang berada di luar negeri. Selain
mencegah dua pentolan PT. Indoguna Utama, KPK juga mengeluarkan surat cegah
atas nama Denny P Adiningrat selaku swasta. Mereka dicegah untuk jangka waktu
enam bulan sejak 5 Februari 2013.
Nama saksi-saksi yang dikenai pencekalan yakni Ridwan Hakim (putra Ketua
Majelis Syuro PKS bernama Hilmi Aminuddin), Ahmad Zaky (Swasta), Rudy
Susanto (Swasta), Jerry Roger (Swasta), Soraya Kusuma Effendy (Komisaris PT.
Indoguna Utama), Maria Elizabeth Liman (Dirut PT. Indoguna Utama). Sedangkan
nama saksi yang tidak dikenai pencekalan seperti Agus Suganda (Pegawai Negeri
Sipil), Ahmad Junaedi (Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca panen
Kementerian Pertanian), Syahrudin (swasta), Elda Deviane Adiningrat (swasta),
126
Soewarso (swasta), Melani (karyawan PT. Indoguna Utama), Dina zelvia (swasta),
Eka Pratiwi (swasta), Anna Retnowati (swasta), Mimin Juni Atin (swasta).
Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa KPK
dapat melakukan pencekalan baik pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Dengan
dipaparkannya nama saksi-saksi yang dikenai pencekalan dan nama-nama saksi yang
tidak dikenai pencekalan pada kasus pengurusan kuota impor daging sapi ini, maka
dapat kita simpulkan bahwa tidak semua saksi dalam kasus tindak pidana korupsi ini
dapat dikenai pencekalan. Dengan tidak adanya tolok ukur atau kriteria yang diatur
secara jelas dan transparan yang tentunya dapat dijadikan rujukan perihal alasan
pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua
pihak yang menjadi saksi dalam perkara pengurusan kuota impor daging sapi itu
tidak dicegah keluar negeri ? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan
pencegahan yang sama terhadap pihak-pihak yang juga diperiksa dalam tahap
penyelidikan seperti Agus Suganda (Pegawai Negeri Sipil), Ahmad Junaedi
(Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca panen Kementerian Pertanian),
Syahrudin (swasta), Elda Deviane Adiningrat (swasta), Soewarso (swasta), Melani
(karyawan PT. Indoguna Utama), Dina zelvia (swasta), Eka Pratiwi (swasta), Anna
Retnowati (swasta), Mimin Juni Atin (swasta). Hal ini yang penulis maksudkan
bahwa apabila tidak ada batasan, aturan dan atau tolok ukur yang dapat dijadikan
rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, hal tersebut tentunya
dikhawatirkan akan membuka peluang terjadinya diskriminasi yang pada akhirnya
melanggar asas equality before the law dan kepastian hukum yang adil dan juga
berujung pada pelanggaran HAM yang diatur dalam Konstitusi dan Undang-Undang
127
No. 39 Tahun 2009 Tentang Hak Asasi Manusia dan peraturan perundang-undangan
lainnya.
BAB IV
ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI
YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN
HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
INDONESIA
4.1. Kewenangan KPK Melakukan Pencekalan Terhadap Saksi Dalam
Proses Penyelidikan Dikaitkan Dengan HAM
Korupsi di Indonesia telah merambah ke seluruh lini kehidupan masyarakat
dan dilakukan secara sistematis, sehingga dapat merusak perekonomian dan
menghambat pembangunan serta memunculkan stigma negatif bagi bangsa dan
negara Indonesia di dalam pergaulan masyarakat internasional. Korupsi yang
melanda negara Indonesia sudah sangat serius dan merupakan kejahatan yang luar
biasa (extra ordinary crime) serta menggoyahkan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini terjadi karena perilaku korupsi
merusak berbagai macam tatanan dalam kehidupan seperti tatanan hukum, tatanan
politik, dan tatanan sosial budaya dari negara yang bersangkutan. Upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi terkendala dan terus berpacu dengan
munculnya beragam modus operandi korupsi yang semakin canggih (sophisticated).
Tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan
keuangan negara tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial ekonomi
masyarakat secara luas sehingga tindak pidana korupsi tersebut digolongkan sebagai
kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (extra ordinary
128
129
crime, extra ordinary action, extra ordinary court). Penanganan tindak pidana
korupsi ini tidak boleh hanya dilakukan dengan cara-cara biasa (ordinary action)
seperti penanganan terhadap tindak pidana umum. Logikanya, kalau suatu tindak
pidana sudah digolongkan ke dalam tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary
crime), sedangkan penanganannya hanya dilakukan melalui cara-cara yang biasa
(ordinary action) melalui pengadilan biasa (ordinary court) maka sudah pasti
hasilnya tidak sebagaimana yang diharapkan.
Untuk mewujudkan negara hukum, tidak hanya diperlukan norma-norma
hukum atau peraturan perundang-undangan saja sebagai subtansi hukum tetapi juga
diperlukan aparatur penegak hukum sebagai penggeraknya atau sebagai struktur
hukum dengan didukung oleh perilaku seluruh komponen masyarakat sebagai
budaya hukum. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga diakibatkan oleh
belum adanya keinginan dari aparat penegak hukum sendiri untuk melakukan
perubahan internal, dimana telah bergesernya nilai-nilai yang dianut pengembang
profesi hukum dan degradasi kualitas penegak hukum sendiri dan belum adanya niat
untuk melakukan perubahan terhadap instansinya masing-masing. Faktor penyebab
tumpulnya penegakan hukum juga disebabkan oleh sulitnya menemukan formula
yang ampuh dalam memberantas korupsi yang sudah membudaya. Hal ini
disebabkan karena korupsi sudah bersifat endemik dan sistematik. endemik disini
dimaksudkan bahwa korupsi sudah menyebar secara luas (widespread) keseluruh
lapisan birokrasi, khususnya lembaga peradilan (Judicial corruption) dan definisi
dari sistematik adalah korupsi sudah masuk ke seluruh sistem pemerintahan dan
perekonomian negara Indonesia.
130
Pembersihan dan reformasi institusi hukum diperlukan untuk meningkatkan
peranan penegak hukum dalam penegakan hukum (law enforcement), sehingga
penegakan hukum tidak akan dapat dilakukan jika aparat penegak hukum itu sendiri
melakukan korupsi dan tidak ada kemauan untuk menegakkan hukum. Maka
manusia (SDM) disini sangat penting untuk mensukseskan pemberantasan korupsi.
Kelambanan pemberantasan korupsi di Indonesia antara lain disebabkan faktor
manusia yaitu aparat penegak hukum yang bertugas memberantas korupsi.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia tampak
tersendat dan bahkan sering terjadi stagnasi sehingga telah menimbulkan citra yang
negatif terhadap aparatur penegak hukum pada khususnya dan pemerintah pada
umumnya yang merupakan salah satu faktor yang melatar belakangi di bentuknya
komisi-komisi untuk masing-masing instrumen atau sub sistem dalam sistem
peradilan pidana.111 Aplikasi atau penegakan hukum pidana yang tersedia tersebut
dilaksanakan oleh instrumen-instrumen yang diberi wewenang oleh UU untuk
melaksanakan kewenangan dan kekuasaannya masing-masing dan harus dilakukan
dalam suatu upaya yang sistematis untuk dapat mencapai tujuannya. Upaya yang
sistematis ini dilakukan dengan mempergunakan segenap unsur yang terlibat di
dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan (interelasi), serta saling
mempengaruhi satu sama lain. Upaya yang demikian harus diwujudkan dalam
sebuah sistem yang bertugas menjalankan penegakan hukum pidana tersebut, yaitu
111
Romli Atmasasmita, Op.cit.
131
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sytem) yang pada hakikatnya merupakan
“sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana”.112
Upaya penegakan hukum dalam hukum pidana tidak dapat dipandang sebagai
tanggung jawab secara parsial dari pihak tertentu, hal tersebut dikarenakan adanya
keterkaitan berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu sistem. Oleh
karenanya, sebagai suatu sistem perlu dipahami mengenai sistem peradilan pidana
itu sendiri. Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk juga penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi, selain dibutuhkan seperangkat peraturan perundangundangan tentunya dibutuhkan juga instrumen penggeraknya yaitu institusi-institusi
penegak hukum dan implementasinya melalui mekanisme kerja dalam sebuah sistem
yang disebut sebagai sistem peradilan pidana (criminal justice system). Berbicara
mengenai konstelasi penegakan hukum tindak pidana korupsi tentunya semua akan
kembali dalam suatu sistem yang kemudian kita sebut sebagai Criminal Justice
System atau sistem peradilan Pidana di Indonesia.
Dalam hal ini, pemerintah Indonesia juga telah memperlihatkan keseriusannya
dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Keseriusan itu terlihat dengan
dikeluarkannya berbagai macam kebijakan baik dalam hal pencegahan (preventif)
maupun penanganan (represif) tindak pidana korupsi antara lain ada nya Undangundang Nomor
30 tahun 2002 tentang KPK. Memperhatikan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 maka terdapat lembaga lain yang berwenang dalam hal
penanganan perkara tindak pidana korupsi di luar sistem peradilan pidana yang ada
112
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2001, hlm.28.
132
di Indonesia selama ini yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam hal ini,
KPK sudah cukup banyak mengungkap kasus-kasus korupsi kelas kakap di
Indonesia. KPK sebagai sebuah lembaga penegak hukum yang termasuk dalam
sistem peradilan pidana Indonesia merupakan suatu komisi khusus yang dasar
pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dan
secara lebih dalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penyelesaian korupsi tidak dapat dilaksanakan hanya dengan menggunakan
metode dan lembaga yang konvensional, tetapi harus dengan metode baru dan
lembaga baru.113 KPK hadir sebagai lembaga yang memiliki tugas yang sangat besar.
Masyarakat menumpukkan harapan pemberantasan korupsi kepada KPK. Pemberian
kewenangan yang begitu luas, mengakibatkan KPK disebut-sebut sebagai superbody.
Guna memberantas tindak pidana korupsi yang semakin merajalela ini KPK
diberikan kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Pada
penelitian tesis ini, penulis akan membatasi penelitian pada tahap penyelidikan.
Adapun yang menjadi alasan pembatasan penelitian hanya pada tahap penyelidikan
dikarenakan tindakan penyelidikan merupakan pintu gerbang mengenai dapat atau
tidaknya suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana atau bukan.
Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas
praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana di sebutkan dalam
penjelasan umum butir 3c KUHAP.
113
Romli Atmasasmita, Op.cit, hlm.40.
133
Dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK ini khususnya dalam
Pasal 12 ayat (1) huruf b, KPK diberikan kewenangan untuk dapat melakukan
tindakan pencekalan, baik pencekalan yang dilakukan dalam tahap penyelidikan
maupun dalam tahap penyidikan guna membantu proses penegakan hukum.
Pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh instansi KPK dianggap
sah dan dapat dilakukan oleh KPK berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi pemberantasan
Korupsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pencekalan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan yang berbunyi sebagai berikut:
“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c” :
“Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
bepergian ke luar negeri”
Disatu sisi pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dilakukan untuk
membantu proses penegakan hukum yang mana korupsi merupakan extraordinary
crime maka diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa. Namun disisi
yang lain pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dirasa bertentangan dengan
asas hukum pidana yang berlaku yakni asas praduga tak bersalah, equality before the
law, asas kepastian hukum yang adil, yang mana kesemua asas ini diatur dalam bab
khusus konstitusi (BAB XA tentang HAM), Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang KUHAP dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain
diatur dalam peraturan perundang-undangan diatas, asas praduga tak bersalah atau
presumption of innocence dan asas persamaan didepan hukum atau Equality before
134
the law juga dimuat dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga pada Pasal 10 Undang-Undang No 26
Tahun 200 tentang Pengadilan HAM.
HAM diartikan sebagai hak yang melekat pada sifat manusia yang tanpa hak
tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.114 Mencegah seseorang
pergi ke luar negeri dalam tahap penyelidikan dapat disalahgunakan untuk
kepentingan di luar penegakan hukum. Hal ini dinilai melanggar hak seseorang yang
dijamin konstitusi, yaitu hak yang ditentukan dalam UUD 1945 yang terdapat pada
Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D, Pasal 28 E ayat (1), Pasal 28I ayat (4)
yang berbunyi :
“Negara Indonesia adalah negara hukum”
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memili pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali”
“Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”
Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan
didepan hukum atau equality before the law dan kepastian hukum yang adil tidak
secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang KUHAP, namun asas-asas tersebut tersirat baik dalam bagian Menimbang
114
Yesmil Anwar, Op.cit.
135
huruf a, kemudian juga pada bagian Penjelasan Umum angka 2 dan angka 3
KUHAP. Pada bagian Menimbang huruf a dari KUHAP berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan
kedudukannya di depan hukum...”
Pada bagian Penjelasan Umum KUHAP dikemukaan adanya sepuluh asas
yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap keluhuran harkat dan martabat
manusia. Dari kesepuluh asas tersebut, asas yang berkaitan dengan pencekalan KPK
dalam tahap penyelidikan adalah Asas praduga tak bersalah (Presumption of
innocent) dan mengenai perlakuan sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun.
Sehubungan dengan hal diatas, pengaturan yang juga mencantumkan ketentuan
mengenai perlindungan HAM dihubungkan dengan pencekalan dalam tahap
penyelidikan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM ialah pada Pasal 3 ayat (2) dan (3), kemudian Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi
sebagai berikut :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan hukum”
“Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar manusia, tanpa diskriminasi”
“Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka
melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah,
sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang
pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”.
136
Tindakan pencegahan dan penangkalan terhadap seseorang sebelum ditetapkan
sebagai tersangka atau dalam proses penyelidikan dinilai merupakan tindakan yang
melanggar HAM. Selain melanggar asas hukum pidana yakni asas Presumption of
innocent dan asas equality before the law yang tersirat dalam pasal 3 ayat (2) dan (3)
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Hal ini juga tidak sesuai dengan
Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang
berbunyi :
“Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak,
berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik
Indonesia”
“Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk
kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
Melihat Peraturan perundang-undangan diatas, terdapat pengaturan lain
mengenai hal ini yang tercantum dalam Pasal 13 dari Universal Declaration Of
Human Rights yang mana Republik Indonesia sendiri sebagai anggota dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa sangat menjunjung tinggi Universal Declaration of
Human Rights. Pasal 13 dari Universal Declaration Of Human Rights yang berbunyi
sebagai berikut :
“(1) Everyone has the right to freedom of movement and residence.
Within the borders of each state”
“(2) Everyone has the right to leave any country, including his own, and
to return to his country.”
Terjemahan pasal di atas adalah sebagai berikut :
“(1) Setiap orang memiliki hak untuk bergerak dan memilih tempat
tinggal sepanjang berada dalam batas-batas wilayah negara, negara
masing-masing.
137
”(2) Setiap orang memiliki hak untuk meninggalkan negara mana pun,
termasuk negaranya sendiri, serta untuk kembali kenegaranya
sendiri”
Bila kita melihat dari logika hukum, hal ini dirasa tidak tepat pencekalan
seseorang sebelum ditetapkan sebagai tersangka atau dalam proses penyelidikan hal
ini bertentangan dengan asas hukum pidana yang berlaku yakni asas praduga tak
bersalah. Seseorang yang masih dalam tahap penyelidikan, indikasi keterlibatan
dalam suatu kasus masih sangat mentah atau prematur. Pada pasal 16 ayat (1) UU
Keimigrasian dan UU tentang KPK, maka dapatlah ditarik penafsiran bahwa pejabat
Imigrasi dan atau KPK menolak untuk keluar wilayah Indonesia dalam hal orang
tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelidikan, pejabat imigrasi dapat menolak
orang untuk keluar wilayah Indonesia jika ada dugaan tindak pidana. Hal ini
bertentangan dengan hukum mengingat sifatnya yang sangat prematur atau dini.
Bagaimana mungkin semata-mata karena adanya dugaan tindak pidana, seseorang
dapat ditolak untuk keluar wilayah Indonesia. Belum berarti belum ada bukti yang
cukup untuk diajukan ke pengadilan apabila cekal dilakukan pada saat proses
penyelidikan. Sehubungan dengan hal ini, tentunya akan dapat menimbulkan
gesekan antara kepentingan proses penegakan hukum dengan masalah HAM seorang
individu yang dilindungi oleh UUD 1945.
Secara harfiah, HAM adalah hak pokok atau hak dasar. Jadi, hak asasi itu
merupakan hak yang bersifat fundamental sehingga keberadaannya merupakan suatu
keharusan (conditio sine qua non) dan tidak dapat di ganggu gugat. Bahkan, harus
dilindungi, dihormati, dan dipertahankan dari segala macam ancaman, hambatan,
138
dan gangguan dari sesamanya.115 Mencegah seseorang pergi ke luar negeri dalam
tahap penyelidikan dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar penegakan
hukum.
Penolakan terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia ketika statusnya
belum pasti menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana karena masih dalam tahap
penyelidikan akan mudah dijadikan alasan untuk menghalangi gerak seseorang untuk
keluar negeri. Apalagi dalam tahap penyelidikan, seseorang belum mengetahui
apakah dirinya sedang dalam proses penyelidikan atau tidak dan proses penyelidikan
itu tidak ada jangka waktu yang pasti sehingga tidak diketahui kapan harus berakhir.
Pengenaan tindakan pencegahan dan penangkalan pada seorang saksi adalah
tindakan yang melanggar HAM dan bertentangan dengan konstitusi pada Bab khusus
tentang HAM, KUHAP dan juga Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang
HAM. Seseorang yang hanya karena terkait (belum tentu pula jadi tersangka) dengan
sesuatu masalah kemudian kehilangan hak untuk bepergian ke luar negeri.
Mengingat hampir tidak ada upaya paksa dalam sistem hukum negara ini yang dapat
dipaksakan pada seorang saksi selain keharusan untuk hadir apabila dipanggil
bahkan harus melalui tahapan-tahapan yang manusiawi dan proses secara patut.
Ketentuan tersebut di atas sangat membuka ruang dan peluang bagi lembagalembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk
dengan mudahnya melarang hak asasi seseorang untuk bepergian dalam rangka
melangsungkan hidup dan kehidupannya.
115
Ibid, hlm.60.
139
Berkaitan dengan adanya asas-asas yang menggambarkan penerapan HAM
dalam proses peradilan pidana tersebut, asas yang paling penting adalah asas praduga
tak bersalah (Presumption of innocent) dan asas persamaan kedudukan dalam hukum
(Equality before the law). Pada dasarnya, kedua asas tersebut harus saling mengisi,
sejalan dan harmonis yang kemudian diimplementasikan dalam peraturan-peraturan
demi tegaknya hukum dan keadilan.Tanpa diterapkannya kedua asas ini mustahil
peradilan yang adil dan benar dapat diwujudkan.116
Korupsi sebagai kejahatan luar biasa, yang dikenal dengan kejahatan ”kerah
putih” (extra ordinary crime) sangat sulit untuk menemukan buktinya, maka dari itu
harus pula dihadapi dengan upaya luar biasa juga, salah satunya adalah dengan cara
pencekalan. Gangguan terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi yang
berasal dari undang-undang disebabkan karena tidak diikutinya asas-asas berlakunya
undang-undang dan belum ada peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk
menerapkan undang-undang. Jika dikaitkan dengan penelitian ini, pencekalan KPK
dalam tahap penyelidikan tidak mencerminkan perhatian terhadap asas hukum
pidana yang berlaku seperti yang telah dijelaskan diatas. Kemudian mengenai
Peraturan pelaksana dari pengaturan pencekalan yakni Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian ini belum ada, sehingga pada saat UndangUndang Nomor
6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian ini mulai berlaku, maka
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474) dinyatakan berlaku.
116
Ibid, hlm.85.
140
KPK sebagai lembaga yang termasuk dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia tentunya harus memperhatikan asas-asas yang terkandung dalam sistem
peradilan pidana. Sistem peradilan pidana di Indonesia yang berdasarkan UndangUndang No.8 Tahun 1981, memiliki sepuluh asas yang diantaranya adalah perlakuan
yang sama dimuka hukum atau tanpa diskriminasi (equality before the law) apapun
dan juga asas praduga tak bersalah (presumption of innocent).
Berkenaan dengan pencekalan KPK dikaitan dengan teori penyelidikan, Bila
dilihat dari hasil membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tindakan
penyelidik kepada penyidik, salah satu syarat “tindakan lain” yang merupakan
tindakan penyelidik untuk kepentingan penyelidikan berdasarkan penjelasan Pasal 5
huruf a angka 4 KUHAP adalah harus Menghormati HAM. Penyelidikan yang
dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak
bersalah (presumption of innocence) sebagaimana di sebutkan dalam penjelasan
umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk melindungi
kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan
para aparat penegak hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini
disampaikan kepada penyidik.
Selain ketidakberlakuannya asas Equality before the law dan Presumption of
innocent merupakan gangguan penegakan hukum, kemudian termasuk sebagai asasasas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dan juga sebagai pedoman
penyelidik untuk melakukan penyelidikan seperti yang dimaksud dalam Pasal 5
huruf a angka 4 KUHAP dan penjelasan umum butir 3c KUHAP, asas Equality
before the law dan Presumption of innocent
juga termaktub pada penjelasan
141
KUHAP yang mana ditemukan 10 (sepuluh) asas yang mengatur perlindungan
KUHAP terhadap “keluhuran harkat dan martabat manusia”.
Berdasarkan putusan No. 40/PUU-IX/2011, majelis MK menyatakan
pencekalan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum saat mereka sedang
melakukan penyelidikan atas sebuah perkara pidana sebagai inkonstitusional. Dalam
sidang putusan uji materi terhadap Pasal 16 ayat 1 huruf (b) Undang-Undang No. 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian, MK menyatakan pencegahan yang dilakukan oleh
penegak hukum bagi seseorang untuk berpergian ke luar negeri sementara kasusnya
masih dalam tahap penyelidikan bisa disalahgunakan untuk kepentingan di luar
penegakan hukum. Menurut MK, hal itu berpotensi melanggar hak konstitusi
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28E UUD 1945.117 Namun menurut analisis
penulis disertai dengan adanya kegiatan wawancara langsung penulis dengan salah
satu staf biro hukum KPK, Institusi KPK masih diperbolehkan mengajukan
pencekalan dalam proses penyelidikan karena Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang KPK memang mengatur secara khusus soal itu. KPK boleh mencekal karena
UU KPK bersifat khusus atau disebut lex spesialis derogate lex generalis.
Putusan MK yang membatalkan kata “penyelidikan” dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf b Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyangkut tindak
pidana umum, sehingga putusan MK itu bukan untuk kasus korupsi yang ditangani
KPK. Undang-Undang KPK bersifat khusus yang berarti memiliki kewenangan
khusus pula, sama halnya seperti KPK tak berwenang mengeluarkan surat
penghentian penyidikan perkara (SP3) dan diperbolehkan menyadap. Undang-
117
Website
GOOGLE,
http//www.beritasatu.com/.../30595-mk-nyatakan-pencekalan-saat
penyelidikan (terakhir kali dikunjungi tanggal 26 September 2012 Pukul 16.00).
142
Undang yang dilakukan yudicial review adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian bukan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga secara otomatis KPK masih tetap
berwenang melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan.
Kewenangan pencekalan KPK pada tahap penyelidikan sebagaimana yang
telah diatur dalam UU no. 30 tahun 2002 ini telah di implementasikan oleh KPK
pada beberapa kasus, diantaranya seperti yang telah penulis paparkan pada BAB
terdahulu mengenai pencekalan terhadap Gubernur Riau bernama H.M. Rusli Zainal
terkait PON XVIII di Provinsi Riau dan pencekalan KPK terhadap Mahfud Suroso
terkait kasus Hambalang. Pada tanggal 10 April 2012, KPK telah mengajukan
permohonan pencekalan terhadap Gubernur Riau H.M Rusli Zainal dengan alasan
pencekalan dilakukan untuk membantu KPK dalam kelancaran proses penyelidikan
kasus dugaan korupsi pembangunan venue PON dan jika sewaktu-waktu yang
bersangkutan dimintai keterangan tidak sedang berada di luar negeri. Gubernur Riau
H.M Rusli Zainal dicekal oleh KPK dalam status nya sebagai saksi. Tidak jauh
berbeda dengan Gubernur Riau H.M Rusli Zainal dicekal oleh KPK dalam status nya
sebagai saksi, Direkur PT. Dutasari Citralaras bernama Mahfud Suroso juga dicekal
pada tanggal 27 April dan berakhir setelah enam bulan kedepan yakni pada bulan
Oktober untuk membantu proses penyelidikan kasus Hambalang. Selain dua kasus
diatas kemudian KPK juga melakukan pencekalan terhadap beberapa saksi terkait
kasus pengurusan kuota impor daging sapi. Adapun nama saksi-saksi yang dikenai
pencekalan pada tahap ini yakni Ridwan Hakim (putra Ketua Majelis Syuro PKS
bernama Hilmi Aminuddin), Ahmad Zaky (Swasta), Rudy Susanto (Swasta), Jerry
143
Roger (Swasta), Soraya Kusuma Effendy (Komisaris PT. Indoguna Utama), Maria
Elizabeth Liman (Dirut PT. Indoguna Utama).
Sehubungan dengan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan yang dinilai
bertentangan dengan HAM seperti yang telah penulis paparkan diatas, maka dengan
penelitian ini penulis akan memberi edukasi dan pandangan yang lebih luas pada
khalayak pembaca dan tentunya juga berdasarkan hukum mengenai apakah
pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan ini benar-benar telah mencederai hak
dasar setiap manusia atau tidak.
Berangkat dari pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dirasa bertentangan
dengan asas hukum pidana yang berlaku yakni asas praduga tak bersalah
(Presumption of innocent), asas persamaan dihadapan hukum (equality before the
law), asas kepastian hukum yang adil, yang mana kesemua asas ini diatur dalam bab
khusus konstitusi (BAB XA tentang HAM) UUD tahun 1945, Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang KUHAP, dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM seperti yang telah penulis paparkan diatas, akhirnya perlu kita pahami bahwa
asas-asas hukum pidana yakni asas praduga tak bersalah (Presumption of innocent),
asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law), asas kepastian hukum
yang adil ini merupakan salah satu hak yang bisa dikurangi atau dibatasi (derogable
right) dengan UU sebagaimana diatur Pasal 28I ayat (1) jo Pasal 28 J ayat (2) UUD
1945.
144
Manusia merupakan makhluk yang mengalami pergerakan dari suatu tempat
ketempat lain apapun itu alasannya. Dikarenakan hal ini sudah menjadi hak yang
bersifat kodrati bagi manusia untuk mempunyai hak atas kebebasan bergerak.
Kebebasan ini telah dinyatakan di dalam Universal Declaration of Human Rights
dan International Covenant on Civil and Political Rights. Namun kebebasan ini
bukan berarti bebas sebebas-bebasnya bergerak tanpa adanya aturan yang
membatasinya. Dunia internasional juga memahami keberadaan setiap negara
mempunyai kepentingannya masing-masing, sehingga kebebasan bergerak itu
diseimbangkan dengan kepentingan-kepentingan setiap negara. Dengan hal ini maka
dunia internasional juga memberikan batasan terhadap kebebasan bergerak ini.
Pembatasan hak atas kebebasan bergerak ini dapat dilakukan oleh setiap negara
dengan cara pencegahan dan penangkalan
Hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk
dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah
yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam
Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh
karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang
diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang
diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa
seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945
keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang
menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan
145
Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak
asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum
Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara
penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur
dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang
diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan mengenai hak asasi
manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam
Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang
pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2).
Pengklasifikasian non-derogable rights dan derogable rights adalah sesuai
Konvenan internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenan on
Civil and Political Rights (ICCPR). Pasal 12 International Covenant On Civil and
Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia sebagaimana tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), bunyi Pasal 12 ICCPR
adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang yang berada dalam wilayah suatunegara secara sah, memiliki
hak atas kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggal di dalam wilayah
negara tersebut.
2) Setiap bebas untuk meninggalkan negara manapun, termasuk negaranya,
sendiri.
3) Hak-hak yang telah disebutkan di atas tidak dapat dilarang kecuali jika
diatur oleh hukum, dianggap perlu untuk melindungi keamanan nasional,
146
keamanan publik, kesehatan, atau moral publik, hak dan kebebasan orang
lain, dan sesuai dengan hak-hak lain yang diakui oleh kovenan ini.
4) Tidak seorangpun dapat melarang hak warga negara untuk memasuki
negaranya sendiri secara sewenang-wenang.
Dalam konteks international human rights, hak kebebasan bergerak dibatasi
Pasal 12 poin 3 International Covenant on Civil and Political Rights.
Keseluruhannya menunjuk pada suatu pembatasan kebebasan bergerak harus
berdasarkan alasan yang jelas secara hukum dan rasional berkaitan dengan upaya
melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum.
Kebebasan bergerak setiap orang yang diakui sebagai hak asasi manusia
sebagaimana dicantumkan dalam konvensi internasional antara lain Universal
Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political
Rights, juga dalam ketentuan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, meskipun hak asasi manusia mengakui dan
menjamin kebebasan setiap orang untuk bergerak namun kebebasan yang dimaksud
bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya (kebebasan mutlak). Dalam hal ini
negara dapat membatasi kebebasan bergerak manusia didasarkan pada pertimbangan
kepentingan suatu negara berdasarkan alasan yang jelas secara hukum dan rasional
yakni antara lain untuk alasan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan
moral masyarakat dan kepentingan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis akan membahas lebih jauh mengenai
kewenangan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dihubungkan dengan HAM
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dikaitkan dengan teori-teori yang dipakai
sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi pisau analisis
147
dalam penelitian ini antara lain ialah : korupsi sebagai ekstraordinary crime,
penegakan hukum tindak pidana korupsi, KPK dalam sistem peradilan pidana, teori
penyelidikan, dan teori HAM.
Kewenangan KPK yang begitu luas salah satu nya adalah pencekalan KPK
dalam tahap penyelidikan ini tentunya tidak terlepas dari alasan bahwa korupsi
merupakan salah satu kejahatan extraordinary crime yang mana korupsi telah
merusak seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk itu diperlukan
metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang
mempunyai kewenangan luas. Disatu sisi pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan
dilakukan untuk mempermudah proses penegakan hukum, namun yang perlu
menjadi perhatian adalah diperlukannya pengaturan yang lebih jelas dan transparan
mengenai siapa saja yang dapat dilakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan dan
siapa saja yang tidak diperlukan dilakukannya pencekalan terhadap saksi dalam
tahap penyelidikan tersebut sehingga asas kepastian hukum yang adil, transparansi,
dan equality before the law yang dilindungi oleh konstitusi dan peraturan perundangundangan lainnya sebagai HAM dapat terpenuhi.
Dengan diberikannya kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan termasuk wewenang melakukan pencekalan oleh UU baik dalam tahap
penyelidikan maupun dalam
tahap penyidikan, KPK secara otomatis termasuk
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang tentunya mempunyai tugas dan atau
tujuan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang sudah merajalela ini.
Pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh instansi KPK dianggap
148
sah dan dapat dilakukan oleh KPK berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut analisis penulis, latar belakang dilakukannya pencekalan KPK dalam
tahap penyelidikan adalah sebagai berikut :
1) Agar seseorang yang dikenai pencekalan ini tidak melarikan diri keluar
negeri.
2) Untuk membantu proses penyelidikan yang dilakukan oleh KPK.
3) Agar seseorang yang dikenai pencekalan ini tidak menghilangkan barang
bukti.
4) Terlibat kasus yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 1
Miliar atau lebih.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, KPK sebagai lembaga yang termasuk
dalam sistem peradilan pidana tentu nya harus melindungi dan menghormati hak
asasi setiap warga negaranya artinya bahwa KPK harus memperhatikan dengan jeli
mengenai pengenaan upaya paksa pencekalan dalam tahap penyelidikan terhadap
seseorang tersebut. Hal ini dikarenakan keterlibatan seseorang dalam tahap
penyelidikan itu masih sangat prematur dan tidak semua peristiwa yang terjadi dan
diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai
tindak pidana.
Penggunaan pencegahan dan penangkalan ini tidak boleh digunakan
sewenang-wenang oleh suatu negara, negara harus tetap menjamin hak atas
kebebasan bergerak setiap individu namun juga harus menjalankan kepentingan
nasionalnya. Penggunaan pencegahan dan penangkalan ini harus benar-benar dengan
149
alasan yang kuat dan rasionil dan berlandaskan hukum untuk alasan keamanan
nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan
masyarakat yang sesuai dengan kovenan internasional dalam hak sipil dan politik.
Selama KPK melakukan pencekalan demi kepentingan hukum dan pengungkapan
kasus pidana, maka hal tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM. Pencekalan
memang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang kecuali dengan alasan yang
dibenarkan hukum, karena orang dapat melakukan pencekalan dengan maksudmaksud tertentu diluar kepentikan penegakan hukum.
Dalam rangka menghormati dan memenuhi hak asasi manusia dalam rangka
penerapan dan penggunaan pencekalan sebaiknya adanya aturan yang menentukan
kriteria-kriteria yang menjadi patokan dalam menentukan alasan terkait keamanan
nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan
masyarakat, perlu adanya definisi lebih lanjut yang dituangkan didalam suatu
peraturan. Hal ini berguna untuk membatasi setiap diskresi pejabat-pejabat yang
berwenang yang terlampau jauh melanggar hak asasi manusia.
Selain itu disisi lain pemerintah juga harus membangun sistem pencekalan
yang efektif terhadap orang yang dikenakan pencekalan agar tidak dapat kabur
keluar negeri. Dengan sistem pencekalan yang baik yang dapat terintegrasi langsung
ke daftar pencekalan pusat disetiap wilayah kantor keimigrasian didaerah diharapkan
langsung dapat melakukan kewenenangannya. Sehingga kejadian-kejadian seperti
perginya orang yang dikenai pencekalan keluar negeri dapat dicegah
150
Pada dasarnya pencegahan dan penangkalan seseorang untuk melakukan
perjalanan dari dan ke wilayah Republik Indonesia merupakan pembatasan terhadap
hak dan kebebasan seseorang yang dilindungi undang-undang. Namun dengan tujuan
untuk melindungi kepentingan negara dan negara masyarakat, perlu dilakukan
pencegahan dan penangkalan terhadap orang-orang yang mengganggu dan
mengancam stabilitas nasional.118 Pembatasan kebebasan bergerak dalam hal ini
adalah pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan yang dilakukan oleh KPK
merupakan pembatasan dalam suatu proses hukum dan diatur secara tegas oleh
undang-undang, tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab kebebasan bergerak
bukanlah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
4.2. Tolok Ukur KPK Melakukan Pencekalan Terhadap Saksi Dalam
Proses Penyelidikan
Berkenaan dengan tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan terhadap
seseorang pada tahap penyelidikan dikaitkan dengan teori-teori yang digunakan
sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini, teori yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain adalah teori penegakan hukum, asas legalitas, teori
penyelidikan dan pencekalan dalam hukum acara pidana di Indonesia.
Analisis penulis mengenai tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan
terhadap seseorang pada tahap penyelidikan berkaitan dengan teori penegakan
hukum adalah sebagai berikut :
118
Ajat Sudrajat Havid, Op.cit, hlm.105.
151
Korupsi merupakan tindak pidana yang unik, multi dimensi, dan sangat
merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.119 Penegakan
hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Korupsi merupakan
sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)120, untuk itu diperlukan metode
penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang
mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun
dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanakannya dilakukan
secara optimal, intensif, efektif, professional serta berkesinambungan.
Dalam rangka melakukan penegakan hukum diperlukan adanya harmonisasi
dari unsur-unsur yakni mulai dari substansi, struktur/aparaturnya, dan juga didukung
oleh kulturnya. Menurut Lawrence Meir Fridman menyatakan bahwa sistem hukum
itu harus memenuhi : Substansi (Subtance) yang berupa peraturan perundangundangan atau isi dari sebuah peraturan, Struktur (Structure) adalah aparat penegak
hukum beserta sarana dan prasarananya., dan Kultur hukum (Legal Culture) berupa
prilaku dari anggota masyarakat itu sendiri.121
Pada penelitian ini, penulis akan mengerucutkan pembahasan dari seluruh
kewenangan luas yang dimiliki badan khusus yakni KPK ini dan terfokus pada tolok
ukur KPK untuk melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan. Sehubungan
dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar
biasa, kewenangan yang diberikan oleh UU kepada KPK dalam melakukan
pencekalan pada tahap penyelidikan ini tentunya dilakukan untuk meningkatkan
119
Romli Atmasasmita, Op.cit, hlm.98.
Romli Atmasasmita, Op.cit, hlm.9.
121
Yesmil Anwar & Adang, Op.cit.
120
152
kualitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia, namun jika
kewenangan tersebut dilakukan tanpa adanya batasan, tolok ukur atau pun kriteria
yang dapat dijadikan patokan atau pedoman yang lebih dapat menjamin kepastian
dan keadilan bagi masyarakat yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam
melakukan kewenangannya yakni pencekalan pada tahap penyelidikan khusus nya
dalam hal ini adalah KPK, maka tentunya dikhawatirkan institusi KPK ini akan
berpotensi
melakukan
kesewenang-wenangan
dengan
mengatasnamakan
kewenangannya yang diberikan UU dalam melakukan pencekalan pada tahap
penyelidikan.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pihak KPK, sebenarnya pada
institusi KPK ini memang telah dirumuskan dan telah ada pengaturan mengenai
tolok ukur ataupun kriteria yang dijadikan pegangan bagi pihak KPK dalam
melakukan pencekalan. Hal ini tertuang dalam Standard Operational Procedure
(SOP) internal KPK, namun pengaturan mengenai tolok ukur KPK dalam melakukan
pencekalan pada proses penyelidikan ini bersifat rahasia. Masyarakat dalam hal ini
tidak diperkenankan untuk mengetahui secara jelas mengenai tolok ukur pencekalan
tersebut, hal ini menurut analisis penulis bertentangan dengan asas-asas yang dianut
oleh institusi KPK itu sendiri yakni mengenai asas keterbukaan atau transparansi.
Dengan suatu kewenangan melakukan pencekalan pada proses penyelidikan yang
notabenenya belum tentu seseorang yang dikenai pencekalan tersebut terlibat dalam
suatu tindak pidana korupsi, ditambah lagi dengan tidak adanya tolak ukur yang jelas
dan trasparan mengenai siapa saja yang boleh dilakukan pencekalan pada tahap ini
maka hal ini tentu nya dapat mencederai penegakan hukum itu sendiri.
153
Pembahasan mengenai tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan terhadap
seseorang pada tahap penyelidikan dikaitkan dengan asas legalitas adalah sebagai
berikut :
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu
kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.122 Untuk mewujudkan suatu kepastian
dan keadilan hukum tentunya harus menyelaraskan antara substansi hukum, struktur
hukum dan kultur hukum dengan hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat. Didalam
konsep keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat dan
kedudukan di hadapan hukum (equality before the law), serta asas proporsionalitas
antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. Kepastian hukum sebagai salah
satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan.
Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa
diskriminasi.123 Penerapan keadilan dan kepastian hukum dapat saja terjadi gesekan.
Kepastian hukum yang menghendaki persamaan di hadapan hukum tentu lebih
cenderung menghendaki hukum yang statis. Aturan hukum harus dilaksanakan untuk
semua kasus yang terjadi, sedangkan keadilan memiliki sifat dinamis harus selalu
melihat konteks peristiwa dan masyarakat di mana peristiwa itu terjadi. Secara
umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum terdapat tiga
prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan
hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak
bertentangan dengan hukum (due process of law).
122
Soedikno Mertokusumo, Op.cit, hlm.145.
Mohammad Mahfud MD, Makalah “Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan
Yang Baik”, Jakarta, 2005, hlm.4.
123
154
Prinsip penegakan hukum yang mendasarkan pada prinsip the rule of law harus
selalu menjunjung tinggi asas legalitas. Asas atau prinsip legalitas dengan tegas
disebut dalam konsideran KUHAP seperti yang dapat dibaca pada huruf a, yang
berbunyi :
“Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjun.jung tinggi hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya”.
Dalam konteks hukum acara pidana berlaku prinsip lex scripta bahwa hukum
itu harus tertulis, berlaku prinsip lex certa hukum itu harus jelas dan berlaku lex
stricta bahwa hukum itu ketat dan tidak boleh di interpretasikan lain selain apa yang
tertulis. Ini adalah wujud dari asas legalitas dalam hukum pidana. Realitas objektif
didalam kehidupan sehari-hari sering kali terjadi benturan antara materi hukum
(substansi) dengan kebutuhan hukum masyarakat yang terkadang belum terakomodir
dalam hukum positif Indonesia.
Salah satu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah guna
memberantas tindak pidana korupsi yang diharapkan mampu menyempurnakan
kekurangan dari peraturan yang bersifat konvensional tersebut adalah dengan
dibentuknya Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan UndangUndang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 pada Pasal
43, dibentuk badan khusus yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi
155
(KPK) dan secara lebih dalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Asas legalitas tersebut juga tercermin dari adanya pengaturan mengenai
kewenangan KPK dalam melakukan pencekalan pada proses penyelidikan, hal ini di
atur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi ini khususnya dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, Komisi pemberantasan
Korupsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pencekalan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan yang berbunyi sebagai berikut:
“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c” :
“Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
bepergian ke luar negeri”
Seperti yang telah diketahui bahwa KPK diberi kewenangan melakukan
pencekalan pada tahap penyelidikan, namun mengenai tolok ukur atau kriteria KPK
dalam menentukan siapa yang boleh dicekal dan yang tidak boleh cekal pada tahap
ini tidak diatur secara jelas dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Asas
legalitas yang menjadi salah satu ciri negara hukum dimana suatu perbuatan dapat
dikenakan sanksi apabila telah ada pengaturannya. Asas legalitas ini merupakan
perlindungan kepada perorangan terhadap kesewenang-wenangan yang mungkin
dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, asas legalitas merupakan
asas yang esensiel di dalam penerapan hukum pidana.
156
Dalam rangka menghormati dan memenuhi hak asasi manusia dalam rangka
penerapan dan penggunaan pencekalan yang juga dilakukan untuk meningkatkan
upaya penegakan hukum di Indonesia sebaiknya adanya aturan yang menentukan
kriteria-kriteria yang menjadi patokan dalam menentukan alasan terkait keamanan
nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan
masyarakat diperlukan adanya definisi lebih lanjut yang dituangkan didalam suatu
peraturan. Hal ini berguna untuk membatasi setiap tindakan aparat penegak hukum
yang berwenang sehingga meminimalisir terjadinya kesewenang-wenangan yang
dapat melanggar hak asasi seseorang. Aturan sebagaimana yang dimaksud diatas
adalah aturan mengenai tolok ukur atau kriteria seseorang pada tahap penyelidikan
dapat dikenai pencekalan. Menurut analisis penulis, kriteria atau alasan seseorang
yang dapat dikenakan pencekalan adalah sebagai berikut :
1) Orang yang diduga dapat melarikan diri keluar negri.
2) Orang yang diduga berpergian keluar untuk menghilangkan barang bukti.
3) Seseorang yang diduga terlibat kasus korupsi yang merugikan keuangan
negara sebesar Rp. 1 Miliar atau lebih.
Selain mengenai kriteria orang yang dapat dikenai pencekalan, hal yang perlu
dirumuskan lebih lanjut dalam UU adalah pengecualian terhadap orang yang dikenai
pencekalan antara lain sebagai berikut :
1) Tidak terindikasi keterlibatannya dalam suatu tindak pidana korupsi.
2) Telah 2x (dua kali) dikenai pencekalan oleh KPK.
157
3) Berpergian keluar negeri terkait tugas negara yang tidak bisa diwakilkan
oleh pihak manapun.
4) Menderita sakit yang mengharuskan orang yang dikenai pencekalan
tersebut berobat keluar negri (tidak ada obat dan atau dokter untuk penyakit
itu di Indonesia dan tergolong penyakit parah yang dapat membahayakan
nyawa).
Untuk pengecualian terhadap orang yang dikenai pencekalan khusus nya pada
poin ke 3 dan ke 4, pihak tersebut diharuskan untuk mengajukan surat permohonan
kepada pimpinan KPK agar surat pencekalannya tersebut dapat dicabut atau
dilonggarkan. Berkenaan dengan pendapat penulis mengenai kriteria seseorang yang
dapat dikenai pencekalan di sertai dengan pengecualian dari tindakan upaya paksa
pencekalan ini, penulis berharap hal tersebut dapat dijadikan masukan bagi
pembentuk undang-undang dan atau mahkamah konstitusi agar dapat memasukkan
rumusan tersebut dalam peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan
pencekalan KPK pada tahap penyelidikan sehingga asas transparansi dan kepastian
hukum yang adil dapat terpenuhi.
Pembahasan mengenai tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan terhadap
seseorang pada tahap penyelidikan dikaitkan dengan teori penyelidikan adalah
sebagai berikut :
Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk juga penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi, selain dibutuhkan seperangkat peraturan perundangundangan tentunya dibutuhkan juga instrumen penggeraknya yaitu institusi-institusi
158
penegak hukum dan implementasinya melalui mekanisme kerja dalam sebuah sistem
yang disebut sebagai sistem peradilan pidana (criminal justice system). Aplikasi atau
penegakan hukum pidana yang tersedia tersebut dilaksanakan oleh instrumeninstrumen yang diberi wewenang oleh UU untuk melaksanakan kewenangan dan
kekuasaannya masing-masing dan harus dilakukan dalam suatu upaya yang
sistematis untuk dapat mencapai tujuannya.
Dengan dibentuknya KPK berdasarkan Undang Undang No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai komisi yang dibentuk guna
memberantas korupsi secara otomatis KPK yang
juga berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tentunya dapat dinyatakan sebagai salah
satu lembaga penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana
Indonesia.
Kewenangan menolak orang bepergian keluar wilayah Indonesia yang sedang
diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan adalah merupakan
bagian kecil dari proses penegakan hukum pidana di Indonesia yang dikenal dengan
mekanisme integrated criminal justice system. Bahwa mekanisme integrated
criminal justice system adalah sistem yang memandang proses penyelesaian perkara
pidana sebagai satu kesatuan sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemutusan
perkara, sampai dengan pemidanaan dan penyelesaiannya di tingkat pemasyarakatan,
yang didalamnya terdapat kewenangan-kewenangan pembatasan berupa tindakan
pencegahan dan/atau penahanan.
159
Dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK ini khususnya dalam
Pasal 12 ayat (1) huruf b, KPK diberikan kewenangan untuk dapat melakukan
tindakan pencekalan, baik pencekalan yang dilakukan dalam tahap penyelidikan
maupun dalam tahap penyidikan guna membantu proses penegakan hukum.
Pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh instansi KPK dianggap
sah dan dapat dilakukan oleh KPK berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada penelitian ini, penulis
akan mengerucutkan pembahasan dari seluruh kewenangan yang dimiliki KPK dan
tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan yang terfokus pada dalam tahap
penyelidikan.
Pencekalan KPK dalam tahap penyidikan dirasa wajar karena sudah ada bukti
awal yang cukup dan ketika penegak hukum telah menetapkan tersangka, pencekalan
boleh dilakukan karena kekhawatiran ada upaya menghilangkan barang bukti atau
melarikan diri ke luar negeri. Namun yang menjadi permasalahan yakni ketika
pencekalan dilakukan dalam tahap penyelidikan yang mana indikasi keterlibatan
seseorang terhadap suatu tindak pidana masih sangat mentah dan dengan tidak
adanya tolok ukur yang jelas mengenai pencekalan seseorang dalam tahap
penyelidikan maka pemberlakuan asas praduga tak bersalah (presumption of
innocent), asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dam kepastian
yang adil tentu diragukan untuk dapat diaplikasikan oleh masyarakat melalui UU ini.
160
Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati
asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana di sebutkan
dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk
melindungi kepentingan hukum dan hak-hak seseorang dari kesewenang-wenangan
kekuasaan para aparat penegak hukum. Hal tersebut yang menjadi alasan
diperlukannya suatu pengaturan yang jelas mengenai tolak ukur, batasan atau kriteria
pencekalan yang dilakukan oleh KPK dalam tahap penyelidikan.
Pembahasan mengenai tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan terhadap
seseorang pada tahap penyelidikan dikaitkan dengan pencekalan dalam hukum acara
pidana di Indonesia adalah sebagai berikut :
Selain diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK ini
khususnya dalam Pasal 12 ayat (1) huruf
b, dasar hukum seseorang dikenai
pencekalan juga dilakukan berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dinyatakan bahwa Pejabat Imigrasi
menolak orang untuk keluar wilayah Indonesia ditujukan pada suatu kepentingan
penyelidikan dan penyidikan oleh instansi atau lembaga penegak hukum. Namun
berdasarkan putusan No. 40/PUU-IX/2011, majelis MK menyatakan pencekalan
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum saat mereka sedang melakukan
penyelidikan atas sebuah perkara pidana sebagai inkonstitusional. Putusan MK yang
membatalkan kata “penyelidikan” dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang
No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyangkut tindak pidana umum, sehingga
putusan MK itu bukan untuk kasus korupsi yang ditangani KPK maka secara
161
otomatis KPK masih tetap berwenang melakukan pencekalan dalam tahap
penyelidikan.
Konteks penolakan pada Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian tersebut adalah dengan tidak memberangkatkan
keluar wilayah Indonesia terhadap orang setelah adanya permintaan Pejabat yang
berwenang. Berdasarkan Undang-Undang No. 6 tahun 2011, menteri atau pejabat
imigrasi dapat melakukan pencekalan berdasarkan permintaan atau keputusan dari :
Menteri Keuangan, Jaksa Agung, Kepala kepolisian RI, Ketua KPK, Kepala BNN.
Namun, pencekalan yg dilakukan KPK lah yang menjadi sentral dalam penelitian ini.
Penggunaan pencekalan ini tidak boleh digunakan sewenang-wenang oleh
suatu negara, negara harus tetap menjamin hak atas kebebasan bergerak setiap
individu namun juga harus menjalankan kepentingan nasionalnya. Penggunaan
pencegahan dan penangkalan ini harus benar-benar dengan alasan yang kuat dan
rasionil dan berlandaskan hukum untuk alasan keamanan nasional, ketertiban umum,
kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat yang sesuai dengan
kovenan internasional dalam hak sipil dan politik.
Adapun dasar hukum yang digunakan untuk melakukan pencekalan KPK ini
merujuk pada beberapa peraturan diantaranya adalah Undang-Undang No.6 Tahun
2011 tentang Keimigrasian, dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang
KPK, Putusan MK tentang jangka waktu pencekalan, PP No. 30 tahun 1994 tentang
tata
cara
pelaksanaan
pencekalan
dan
penangkalan,
Mou
KPK
dengan
162
KemenkumHAM yang mengatur mengenai koordinasi antara keduanya, dan juga
standard operational procedure (SOP) internal KPK.
Mengenai
mekanisme
dilakukannya
pencekalan
KPK
dalam
tahap
penyelidikan dapat dimulai dari adanya laporan masyarakat. Laporan dari
masyarakat ini dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti “petunjuk” seperti yang
tertuang pada Pasal 184 UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Setelah itu
dilakukan verifikasi yakni pembuktikan kebenaran atau untuk menentukan atau
menguji akurasi, pada tahap penyelidikan ini pihak KPK mencari dan menemukan
mengenai apakah suatu peristiwa tersebut merupakan tindak pidana atau tidak.
Kemudian dilakukan gelar perkara yang melibatkan pimpinan KPK, penyelidik dan
penyidik guna menentukan apakah seseorang yang terkait tersebut dapat dikenai
pencekalan atau tidak. Dalam menentukan seseorang dapat dikenai pencekalan atau
tidak, KPK berpedoman pada Standard Operational Procedure (SOP) internal KPK.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pihak KPK, Standard
Operational Procedure (SOP) merupakan alur atau tindakan yang dijalani untuk
melaksanakan kewenangan yang mana KPK harus menelaah lebih lanjut mengenai
pantas atau tidak nya seseorang dikenai pencekalan, tentunya di dalam SOP tersebut
tertera syarat-syarat mengenai siapa yang harus dicekal. Standard Operational
Procedure (SOP) internal KPK ini bersifat rahasia kecuali ada permintaan tertulis
kepada pimpinan KPK atau sejken mengenai hal ini, namun presentase kemungkinan
diketahui oleh masyarakat sangat tipis.
163
Jika berdasarkan hasil gelar perkara menentukan bahwa seseorang tersebut
pantas dikenai pencekalan, maka pimpinan KPK akan segera mengirim surat
permohonan cekal kepada Dirjen Imigrasi dan termaktub juga didalam nya mengenai
jangka waktu pencekalan tersebut. Berdasarkan pasal 97 ayat 1 UU No. 6 tahun 2011
tentang Keimigrasian, Jangka waktu pencekalan dilakukan paling lama 6 bulan dan
dapat diperpanjang selama 6 bulan berikutnya atau 2 kali pencekalan berdasarkan
putusan MK pada pencekalan kasus Mantan Meteri Hukum dan HAM Yusril Ihza
Mahendra.
Pengajuan permohonan pencekalan yang dilakukan secara manual rentan
terhadap kebocoran informasi. Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dapat mengajukan permohonan pencegahan ke Direktorat Imigrasi secara
online melalui surat elektronik alias email. Sistem online ini bisa mengantisipasi terjadinya kebocoran informasi. Dengan sistem online status pencegahan seseorang
langsung tersambung ke semua pintu perlintasan ke luar negeri. Mengingat modus
operandi tindak pidana semakin canggih, maka keputusan eksekusi pencegahan pun
harus cepat. Pencekalan secara manual rentan terhadap kebocoran informasi. Seperti
yang terjadi pada pencegahan terhadap bekas Bendahara Umum Demokrat M Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti, istri dari bekas Wakapolri Adang Darajatun yang
berhasil kabur sebelum surat cekal diterbitkan.
Ditjen Imigrasi hanya bisa menerbitkan surat pencekalan apabila ada permohonan pengajuan dan memenuhi persyaratan. masa pencekalan hanya berlaku
selama enam bulan. Jika dilakukan perpanjangan pencekalan maka harus ada
permintaan dari lembaga pemohon. Perpanjangan pencekalan disesuaikan dengan
164
kebutuhan lembaga pemohon. Kalau tidak diperpanjang, maka otomatis cekalnya
berakhir. Pencabutan cekal berasal dari lembaga yang mengusulkan. Kalau masa
berlakunya sudah berakhir. Maka harus dicabut pencekalannya untuk menghargai
hak asasi manusia seseorang.
Penegak hukum yang dalam hal ini adalah KPK dapat melakukan tindakan
pencegahan ketika proses penyelidikan telah dimulai. Tidak ada batasan siapa saja
yang tidak perbolehkan untuk dicegah pada tahap ini. Artinya, sepanjang seseorang
berstatus sebagai saksi maka orang tersebut dapat dicegah keluar negeri. Sebagai
contoh, dapat dilihat pada kasus Pencekalan Gubernur Provinsi Riau M.Rusli Zainal
yang menjadi saksi dalam perkara dugaan suap pembangunan venue PON 2012 yang
terjadi di daerahnya. Tanpa penjelasan yang dapat dipahami oleh publik, Gubernur
Provinsi Riau M. Rusli Zainal telah dicegah ke luar negeri oleh KPK. Penjelasan itu
penting agar kemudian publik dapat mengetahui dan memahami tolok ukur ataupun
kriteria yang dapat dijadikan pegangan oleh KPK dalam mencegah seseorang keluar
negeri. Tanpa tolok ukur atau kriteria dan juga aturan yang dijadikan rujukan perihal
alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa
semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara dugaan suap pembangunan venue
PON 2012 itu tidak dicegah ke luar negeri ? Mengapa kemudian KPK tidak
melakukan tindakan pencegahan yang sama terhadap para saksi seperti Ketua DPRD
Johar Firdaus dari Fraksi Golkar beserta anggotanya, yakni Iwa dari Fraksi Golkar,
Amri Ali dari Fraksi Gabungan, Adrian Ali dari Fraksi PAN, Zulfan Her dari Fraksi
Golkar, serta Ketua Bapedda Ramli Walid.
165
Pada kasus lain KPK pun juga melakukan pencekalan dalam tahap
penyelidikan terkait kasus hambalang, KPK menyelidiki proyek Hambalang sejak
Agustus tahun 2011. Dalam kasus ini, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian
Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) telah melakukan cekal terhadap Direktur
Dutasari Citralaras yakni Mahfud Suroso agar yang bersangkutan tidak bepergian ke
luar negeri. Pencekalan Mahfud ini dilakukan atas permintaan KPK untuk
kepentingan penyelidikan kasus Hambalang. Juru Bicara KPK, Johan Budi SP pada
Selasa (22/05/2012) lalu mengatakan permintaan cekal tersebut diajukan KPK sejak
tanggal 27 April. Pihak Imigrasi sendiri, lanjut Johan mencekal Mahfud selama
enam bulan ke depan.124 Tanpa tolok ukur atau aturan yang dijadikan rujukan perihal
alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa
semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara Hambalang itu tidak dicegah keluar
negeri ? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama
terhadap pihak-pihak yang juga diperiksa dalam tahap penyelidikan seperti Menteri
Pemuda dan Olahraga yakni Andi Mallarangeng, pengurus PT Dutasari Citralaras
yakni istri Anas Urbaningrum bernama Athiyyah Laila, pejabat Partai Demokrat
bernama Munadi Herlambang, mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional bernama
Joyo Winoto, anggota Komisi II DPR yakni Ignatius Mulyono dan mantan
Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.125
124
WebsiteGOOGLE,http//www.beritabogor.com/2012/06/kronologiskasushambalang.html(ter
akhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 15.00).
125
Website GOOGLE,http//www.beritawmc.com/2012/06/.../soal-hambalang-kpk-dinilaitidak-jelas(terakhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 14.00).
166
Selain dua kasus diatas kemudian KPK juga melakukan pencekalan terhadap
beberapa saksi terkait kasus pengurusan kuota impor daging sapi. Adapun nama
saksi-saksi yang dikenai pencekalan yakni Ridwan Hakim (putra Ketua Majelis
Syuro PKS bernama Hilmi Aminuddin), Ahmad Zaky (Swasta), Rudy Susanto
(Swasta), Jerry Roger (Swasta), Soraya Kusuma Effendy (Komisaris PT. Indoguna
Utama), Maria Elizabeth Liman (Dirut PT. Indoguna Utama). Sedangkan nama saksi
yang tidak dikenai pencekalan pada kasus ini seperti Agus Suganda (Pegawai Negeri
Sipil), Ahmad Junaedi (Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca panen
Kementerian Pertanian), Syahrudin (swasta), Elda Deviane Adiningrat (swasta),
Soewarso (swasta), Melani (karyawan PT. Indoguna Utama), Dina zelvia (swasta),
Eka Pratiwi (swasta), Anna Retnowati (swasta), Mimin Juni Atin (swasta).
Berkenaan dengan penjelasan diatas, hal tersebut yang dimaksud dengan peluang
untuk berbuat diskriminasi. Hal ini tentunya bertentangan dengan asas persamaan di
depan hukum atau equality before the law. Apalagi jika dipahami bahwa tidak setiap
pemeriksaan pada tahap penyidikan memiliki relevansi untuk kemudian dimasukkan
keterangannya dalam berkas perkara. Terlebih lagi bila dengan niat tertentu,
penyidik memanggil seseorang untuk kemudian diperiksa lalu dikenakan tindakan
pencegahan padahal orang yang sama tidak ada kaitannya dengan penyidikan.
Konsep persamaan kedudukan dalam hukum menurut UUD 1945 adalah suatu mata
rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukannya
masing-masing dan kesamaan dihadapan hukum berarti setiap warga negara harus
diperlakukan adil oleh pemerintah.126
126
Mien Rukmini, Op.cit, hlm.24.
167
Berkenaan dengan pembahasan terdahulu mengenai kewenangan KPK dalam
melakukan pencekalan pada tahap penyelidikan dikaitkan dengan HAM dalam
sistem peradilan pidana, tentu nya dapat kita ketahui bahwa tindakan pembatasan
kebebasan seseorang untuk bepergian keluar negri dapat dibatasi oleh negara atas
dasar untuk kepentingan umum, menjaga stabilitas keamanan negara dan untuk
mempermudah proses penegakan hukum di Indonesia. Hal yang lebih lanjut yang
akan dibahas pada penelitan tesis ini mengenai kriteria atau tolak ukur yang dapat
dijadikan pedoman oleh KPK untuk melakukan pencekalan terhadap seseorang pada
proses penyelidikan. Seperti yang kita ketahui dan sebagai mana yang telah penulis
paparkan diatas dalam bentuk kasus terlihat bahwa tidak semua orang yang dikenai
pencekalan pada tahap penyelidikan, artinya bahwa terhadap seseorang individu
dalam status nya sebagai saksi dapat dikenai pencekalan, namun pada kasus yang
sama terhadap seorang individu yang lain tindakan pencekalan ini dilakukan pada
status nya sebagai tersangka. Tentu nya hal yang semacam ini akan menimbulkan
suatu permasalahan dalam konteks hukum pidana itu sendiri yakni mencederai asas
persamaan kedudukan dihadapan hukum. Dengan tidak diatur secara jelas dan
transparan mengenai batasan atau tolok ukur dilakukannya pencekalan dalam tahap
penyelidikan, maka hal ini tentunya bertentangan dengan asas kepastian hukum yang
adil. Hal ini yang menjadi alasan untuk dapat memperjelas ketentuan mengenai tolok
ukur atau kriteria bagi KPK dalam melakukan tindakan pencekalan terhadap
seseorang pada tahap penyelidikan agar kemudian asas kepastian hukum yang adil,
transparansi dan persamaan kedudukan dihadapan hukum dapat terpenuhi.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Kewenangan KPK dalam melakukan pencekalan terhadap saksi pada proses
penyelidikan tidak bertentangan dengan HAM sebagaimana yang diatur
dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya sebab kebebasan
bergerak bukanlah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun. Pembatasan kebebasan bergerak dalam hal ini adalah
pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan yang dilakukan oleh KPK
merupakan pembatasan dalam suatu proses hukum dan diatur oleh undangundang. Pencekalan seseorang untuk melakukan perjalanan keluar negeri
merupakan pembatasan kebebasan seseorang untuk bepergian keluar negri
yang dibatasi oleh negara atas dasar untuk kepentingan umum, menjaga
stabilitas keamanan negara dan untuk mempermudah proses penegakan
hukum di Indonesia. Selama KPK melakukan pencekalan demi kepentingan
hukum dan pengungkapan kasus pidana, maka hal tersebut bukan merupakan
pelanggaran HAM. Pencekalan memang tidak dapat dilakukan oleh
sembarang orang kecuali dengan alasan yang dibenarkan hukum, karena
orang dapat melakukan pencekalan dengan maksud-maksud tertentu diluar
kepentikan penegakan hukum. Pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan
disatu sisi dirasa bertentangan dengan asas hukum pidana yang berlaku yakni
asas praduga tak bersalah (Presumption of innocent), asas persamaan
dihadapan hukum (equality before the law), asas kepastian hukum yang adil,
yang mana kesemua asas ini diatur dalam bab khusus konstitusi (BAB XA
168
169
tentang HAM) UUD tahun 1945, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP, dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, namun
disisi lain pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dilakukan guna
mempermudah proses penegakan hukum. Akhirnya perlu kita pahami bahwa
asas-asas hukum pidana yakni asas praduga tak bersalah (Presumption of
innocent), asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law), asas
kepastian hukum yang adil ini merupakan salah satu hak yang bisa dikurangi
atau dibatasi (derogable right) dengan UU sebagaimana diatur Pasal 28I ayat
(1) jo Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
2. Tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses
penyelidikan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,
namun KPK dalam melakukan pencekalan pada tahap penyelidikan ini
berpedoman pada Standard Operational Procedure (SOP) internal KPK itu
sendiri. Standard Operational Procedure (SOP) internal KPK bersifat rahasia
sehingga masyarakat dalam hal ini tidak diperkenankan untuk mengetahui
secara jelas mengenai tolok ukur pencekalan tersebut, hal ini menurut analisis
penulis bertentangan dengan asas-asas yang dianut oleh institusi KPK itu
sendiri yakni mengenai asas keterbukaan atau transparansi. Dengan suatu
kewenangan melakukan pencekalan pada proses penyelidikan yang
notabenenya belum tentu seorang saksi yang dikenai pencekalan tersebut
terlibat dalam suatu tindak pidana korupsi, ditambah lagi dengan tidak
adanya tolok ukur yang jelas dan transparan mengenai siapa saja yang boleh
170
dilakukan pencekalan pada tahap ini maka hal ini tentu nya dapat mencederai
penegakan hukum itu sendiri.
5.2. Saran
1. Negara harus tetap menjamin hak atas kebebasan bergerak setiap individu
namun juga harus menjalankan kepentingan nasionalnya. Penggunaan
kewenangan pencekalan KPK ini harus benar-benar dilakukan dengan alasan
yang kuat dan rasionil yang berlandaskan hukum untuk alasan keamanan
nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan
masyarakat yang sesuai dengan kovenan internasional dalam hak sipil dan
politik, hal ini dilakukan agar tindakan pencekalan KPK pada tahap
penyelidikan ini tidak keluar dari konteks penegakan hukum yang dapat
melanggar hak asasi yang dilindungi oleh konstitusi dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Dalam rangka menghormati dan memenuhi hak asasi manusia dalam rangka
penerapan dan penggunaan pencekalan sebaiknya adanya aturan yang
menentukan tolok ukur atau kriteria-kriteria yang menjadi patokan dalam
menentukan alasan terkait keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan
dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat, perlu adanya definisi
lebih lanjut yang dituangkan didalam suatu peraturan perundang-undangan
yang jelas dan transparan. Hal ini berguna untuk membatasi setiap
kewenangan pejabat-pejabat yang berwenang yang terlampau jauh melanggar
hak asasi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ajat Sudrajat Havid, Formalitas Keimigrasian Dalam Perspektif Sejarah, Direktorat
Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2008.
Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama, 1991.
--------------------, Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, Pusat Studi
Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, 2002.
--------------------, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008,
Asri Muhammad Saleh, Menegakkan Hukum atau Mendirikan Hukum, Bina Mandiri
Press, Pekanbaru, 2003.
Bagir Manan, Negara Hukum Yang Berkeadilan, Pusat Studi Kebijakan Negara
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung,
2011.
Bambang waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.
Bambang Poernomo dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan HAM, Mandar Maju,
Jakarta, 2001.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2001.
----------------------------, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003.
Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002.
Erni Widhayati, Hak-Hak Tersangka di Dalam KUHAP, Liberty, Yogyakarta, 1988.
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Gunawan Setiadirdja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila,
Kanisius, Yogyakarta, 1993.
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap
Pembunuhan Berencana, CV Rajawali, Jakarta, 1982.
Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University
Press, Ithaca and London, 2003.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariatan Jendral
dan Kepaniteraan Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
Koerniatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan
Indoneisa, PT. Gramedia Pusaka Utama, Jakarta, 1996.
dan
Keimigrasian
Kunarto, Hak Asasi Manusia dan Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997.
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan& Penyidikan),
Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Lilik
Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif,
Permasalahannya, PT. Alumni, Bandung, 2007.
Teoritis,
Praktik
dan
Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses
Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia
Indonesia, Bogor Selatan, 2005.
Mien Rukmini, Perlindungan Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, Alumni, Bandung, 2007.
Muladi, Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995.
---------, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
---------, Makalah Konsep Total Enforcement dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dalam Kerangka Politik Hukum, forum koordinasi dan konsultasi
dalam rangka intersifikasi pemberantasan tindak pidana korupsi, Jakarta, 2006.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
-------------, Perbuatan Pidana dan Pertanggung-jawab Dalam Hukum Pidana,
Gajah Mada, Yogyakarta, 1955.
-------------, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2001.
-------------, Asas–Asas Hukum Pidana, Cet. Ke – VII, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
Moh Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana
Khusus, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2002.
Mohammad Mahfud MD,
Makalah “Penegakan Hukum dan Tata Kelola
Pemerintahan Yang Baik”, Jakarta, 2005.
Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum
Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008.
O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan
Terpidana Dalam Sistem Peradilan Pidana, Alumni, Jakarta, 2006.
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. III, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1997.
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum,
Mandar Maju, Bandung, 2001.
--------------------------, Korupsi, Good Governance & Komisi anti Korupsi di
Indonesia. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan
HAM RI, Jakarta, 2002.
--------------------------, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek
Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2004.
--------------------------, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta,
2010.
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi, Sinar
Baru, Jakarta, 1983.
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 1999.
Soenarto, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, Alumni,
Bandung, 1977.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004.
--------------------------------------------------, Penelitian Hukum Normatif
Tinjauan Singkat), Cetakan Keenam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
(Suatu
Subhi Mahmassani, Konsep Dasar Hak Asasi Manusia, Suatu Perbandingan Dalam
Syariat Islam dan Perundang-Undangan Modern, Tintamas Indonesia, Jakarta,
1993.
Syed Husin Alatas, Korupsi, Sifat Sebab dan Fungsi, Jakarta, LP3ES, 1991.
-----------------------, Sosiologi Korupsi, Jakarta, LP3ES, 1998.
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, Universitas Atma Jaya,
Jakarta.
WJS. Poerwardarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,
1998.
Yesmil Anwar, Pembaharuan Hukum Pidana, PT Gramedia widiasarana Indonesia,
Jakarta, 2008.
-------------------- & Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen &
Peaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Widya Padjadjaran,
2009.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 137. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216.
C. Sumber Lain
Catatan perkuliahan pada mata kuliah Hukum Pidana, dengan dosen pengajar David
Ramadhan, di Ruang E Fakultas Hukum UR, Pada hari Jumat pukul 14.00
WIB.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, dalam krisna harahap,
Memberantas Korupsi Jalan Tiada Ujung, Bandung, Grafiti, 2006.
Website GOOGLE, http//www.beritasatu.com/.../30595-mk-nyatakan-pencekalansaat penyelidikan (terakhir kali dikunjungi tanggal 26 September 2012 Pukul 16.00).
Website GOOGLE, http//berita.liputan6.com/read/.../mahfud-md-kecam-masalah
pencekalan.../ (terakhir kali dikunjungi tanggal 7 Mei 2012 Pukul 17.00).
Website
GOOGLE,
http//www.beritabogor.com/2012/06/kronologis
kasushambalang.html (terakhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul
15.00).
Website GOOGLE, http//www.beritawmc.com/2012/06/.../soal-hambalang-kpkdinilai-tidak-jelas)terakhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 14.00).
Website GOOGLE, http//www.haluankepri.com › News › Andalas (terakhir kali
dikunjungi tanggal 22 September 2012 Pukul 14.00).
Website GOOGLE, http//m.skalanews.com/.../gubernur-riau-dicekal-terkait-kasussuappon.ht. (terakhir kali dikunjungi tanggal 22 September 2012 Pukul 13.45).
Website GOOGLE, http//Kompas.com/KPK periksa 7 tersangka kasus PON
Riau(terakhir kali dikunjungi tanggal 10 Februari 2013 Pukul 21.35).
Website GOOGLE, http//www.sindonews.com/.../13/.../dua-tersangka-kasus-ponriau-segera-d.. (terakhir kali dikunjungi tanggal 22 September 2012 Pukul 14.00).
Website GOOGLE, http//metrotvnews.com/metronews/vi...0725/Gubernur-RiauTersangka -Kasus-Pon.(terakhir kali dikunjungi tanggal 10 Februari 2013 Pukul
11.35).
Website GOOGLE, www.riau terkini.com/hukumphp?arr=53414 (terakhir kali
dikunjungi tanggal 13 Februari 2013 Pukul 13.25).
Website GOOGLE, www.seputarnusantara.com/?p=13559
dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 17.55)
(terakhir
kali
Website GOOGLE, www.tempo.co/.../Terlibat-Kasus-Hambalang-Mahfud-Suroso
Dicekal (terakhir kali dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 16.35).
Website GOOGLE, www.news.liputan6.com/anas+urbaningrum (terakhir kali
dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 17.55).
Website GOOGLE, http//www.businessnews.co.id›Headline(terakhir kali dikunjungi
tanggal 20 Maret 2013 Pukul 16.00).
Website GOOGLE, http//www.tempo.co/read/.../Suap-Daging-PKS-Begini-AwalMulanya (terakhir kali dikunjungi tanggal 20 Maret 2013 Pukul 16.40).
Website GOOGLE, http//www.koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/113355
(terakhir kali dikunjungi tanggal 20 Maret 2013 Pukul 18.50).
RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama
: Yulia Emri Tambusai, S.H.
NPM
: 110120110002
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat/Tgl lahir
: Pekanbaru, 8 Juli 1989
Alamat
: Jl.Ciheulang baru 15 D, Bandung.
No.Telp /HP
: 0852 9595 0292
Email
: [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
● Sekolah Dasar
: SD 001 Depok.
● SLTP
: SLTP 21 Pekanbaru.
● SMAN
: SMAN 4 Pekanbaru.
●Perguruan Tinggi
: Fakultas Hukum, Program Kekhususan Hukum Pidana
Universitas Riau
PENGALAMAN ORGANISASI
1. Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Raya Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) Fakultas Hukum Universitas Riau.
2. Sekertaris Bidang Sosial dan Budaya Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) Fakultas Hukum Universitas Riau.
Demikianlah riwayat hidup atau data pribadi ini saya buat dengan sebenarnya.
Bandung, Juni 2013
YULIA EMRI TAMBUSAI, S.H.
Download