BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Lahan adalah suatu lingkungan fisik terdiri atas tanah, iklim, relief, hidrologi, vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya yang selanjutnya semua faktor-faktor tersebut mempengaruhi penggunaan lahan, termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO. 1975, dalam Arsyad, 1989). Sedangkan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkunganya yang satu dan yang lain tidak dapat dipisahkan (UU RI NO 41 tahun 1999). Hutan merupakan bagian dari lahan dengan fungsi dan peranan yang khusus menjadi bagian yang memiliki peranan penting dalam menjaga kesetimbangan ekosistem dan lingkungan terutama dalam menjaga ketersediaan air dan oksigen. Hutan merupakan suatu bagian terpenting dalam pengelolaan DAS dimana hutan menjadi bagian dari DAS dalam menjaga kesetimbangan DAS dalam hal ekosistem maupun sumberdaya terutama ketersediaan air. Hutan menjadi bagian dalam DAS yang berperan sebagai pengumpul aliran air dari air hujan yang kemudian dialirkan dalam sistem sungai atau diintersepsikan menjadi cadangan air tanah.Selain itu hutan juga menjadi penjaga bagian hulu dari sistem DAS untuk tidak mudah tererosi sehingga dapat mengurangi dampak bencana erosi dan longsor, serta dengan adanya hutan yang kondisi ekosistemnya belum mengalami kerusakan maka bencana banjir dapat dikurangi dampak dan tingkat kejadiannya. Melihat pentingnya fungsi hutan dalam kelestarian lingkungan maka ada baiknya mengkaji mengenai permasalahan yang melingkupi hutan itu sendiri. Ada banyak permasalahan dari hutan, seperti pembalakan liar, sengketa kepemilikan lahan, pembukaan areal hutan untuk lahan pertanian dan permukiman, tetapi masalah alami yang dihadapi oleh hutan adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan merupakan suatu ancaman alami dari hutan yang dapat menjaga kesetimbangan hutan yaitu dimana hubungan antara komponen penyusun hutan baik hewan, tumbuhan dan kondisi lingkungan abiotik yang awalnya dapat saling 1 berinteraksi satu sama lain tanpa mengalami kerusakan mengalami perubahan akibat terjadinya kebakaran hutan yang merusak kondisi lingkungan yang secara langsung berdampak pada interaksi tersebut, kelestarian hutan dan pengurangan fungsi hutan. Kebakaran hutan dan lahan secara alami dapat terjadi karena kondisi meteorologi tertentu yaitu rendahnya curah hujan, tingginya suhu udara,ataupun petir. Kejadian secara alami juga dapat diakibatkan oleh kejadian bencana seperti meletusnya gunung api. Selain secara alami,kebakaran hutan pun dapat terjadi akibat ulah dari perbuatan manusia yang secara sengaja maupun tidak sengaja melakukan pembakaran hutan untuk kepentingan mereka sendiri. Kebakaran hutan dan lahan secara alami di Indonesia banyak terjadi pada daerah yang terletak di garis khatulistiwa yaitu daerah Kalimantan Barat, Riau, dan Sumatera Barat. Kebakaran yang terjadi secara alami diakibatkan kondisi suhu yang sangat panas sehingga menyebabkan timbulnya titik-titik api yang menjadi bibit api yang menyebabkan kebakaran hutan. Rawannya Indonesia akan kebakaran hutan diakibatkan oleh kondisi Indonesia yang berada di daerah khatulistiwa yang memiliki suhu yang tinggi. Kebakaran hutan dan lahan terbesar di Indonesia terjadi pada tahun 1982/1983, 1987, 1991, 1993/1994, 1997/1998. Pada tahun 1982/1983 kemarau panjang yang melanda pulau Kalimantan antara bulan Juni 1982 dan Mei 1983 berakibat terbakar habisnya 3,2 juta hektar lahan; 2,7 juta hektar diantaranya merupakan hutan hujan tropis (2,1 juta hektar hutan sekunder dan hanya 0,6 juta hektar merupakan hutan primer). Pada akhir tahun 1987 sampai awal tahun 1988 kemarau panjang yang berujung pada kebakaran hutan melanda sekitar 0,3 juta hektar lahan di 27 propinsi dengan kerusakan yang lebih hebat. Dari luasan tesebut 80% -nya merupakan areal bekas pembalakan. Kebakaran hutan kembali terjadi pada tahun 1991 pada 0,5 juta hektar lahan di 23 propinsi dengan fokus di pulau Kalimantan, dan hampir 5 juta hektar lahan di 24 propinsi terbakar pada tahun 1994 (Kementerian Kehutanan, 2001). Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan campuran antara faktor alami dan manusia. Hal ini juga 2 terjadi pada Provinsi Lampung dimana kejadian kebakaran yang tinggi selain secara alami terjadi akibat kekeringan juga akibat perbuatan manusia yang membuka hutan untuk areal pertanian. Kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Lampung berdasarkan data pengamatan Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Direktorat Jenderal PHKA Jakarta, tercatat bahwa pada tanggal 1 Januari 2012 sampai dengan tanggal 23 September 2012 pada Provinsi Lampung terjadi 750 kali pengamatan titik hotspot dan sebagian besar dari titik hotspot itu terjadi pada daerah hutan baik taman nasional maupun hutan rakyat, yang 70% dari kejadian kebakaran hutan yang terjadi di taman nasional atau hutan konservasi terjadi di Taman Nasional Way Kambas. Gambar 1. Potensi kemudahan kejadian kebakaran hutan seluruh provinsi diIndonesia Sumber: Hasil Pengamatan BMKG Replublik Indonesia tanggal 11-10-2012 Provinsi Lampung banyak timbul titik-titik api yang berpotensi sebagai pemicu dari kebakaran hutan dan lahan. Hal ini juga dipertegas dengan data dari BMKG yang ditunjukan pada gambar 1 dimana secara meteorologis Provinsi Lampung termasuk rawan dalam kebakaran hutan. Pada gambar 1 terlihat bahwa Provinsi Lampung secara umum didominasi oleh warna kuning yang menunjukan bahwa daerah tersebut mudah akan terjadi kebakaran lahan maupun hutan. 3 Penanganan yang tepat dengan mengetahui penyebab dan daerah yang berpotensi akan kebakaran hutan sangatlah penting agar dapat melakukan pencegahan yang tepat dan meminimalisir dampak yang akan terjadi. Kebakaran hutan dan lahan lebih banyak terjadi dikarenakan akibat perbuatan manusia, sedangkan berdasarkan faktor alami sangat sedikit. Menurut Saharjo dan Husaeni (1998) dalam Soewarso (2003), kebakaran yang disebabkan proses alam sangat kecil dan sebagai contoh untuk kasus di pulau Kalimantan kurang dari 1%. Walaupun demikian, belum diketahui dengan pasti faktor‐faktor apa saja yang signifikan sebagai pemicu kebakaran hutan dan lahan khususnya di Indonesia baik dari segi manusia maupun lingkungan fisiknya. Sehingga kebakaran hutan dan lahan terjadi pada areal yang telah dijamah atau banyak aktivitas manusia seperti areal pertanian, tegalan, perkebunan, lahan terbuka berupa padang rumput dan tanah kosong, ataupun hutan yang telah mengalami perusakan atau penjamahan manusia sehingga hutan sudah tidak alami ditandai dengan kerapatan pepohonan yang rendah dan sudah tidak adanya kondisi iklim mikro yang berguna untuk mengurangi seresah didalam hutan secara alami. Kebakaran yang terjadi selain mengakibatkan kerusakan ekosistem di dalam hutan juga menyebabkan hilangnya vegetasi, hilangnya habitat, rusaknya sistem lingkungan yang nantinya berdampak juga pada kehidupan manusia. Penanggulangan kebakaran hutan harus segera dilakukan sesegera mungkin untuk mengurangi dampak dari permasalahan yang ditimbulkan dari kebakaran itu sendiri, dimana penanggulangan dapat dilakukan dengan cara pengurangan resiko yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan seperti, pengamatan titik hotspot menggunakan citra penginderaan jauh dan pembuatan zonasi kerawanan kebakaran menggunakan SIG dapat digunakan untuk mengetahui areal mana saja yang mudah terjadi kebakaran. Peranan penginderaan jauh dalam mitigasi kebakaran hutan dan lahan adalah sebagai monitoring dan perekaman hotspot yang digunakan sebagai upaya untuk mencegah kejadian kebakaran serta dapat mengetahui lokasi kejadian kebakaran dan mengetahui kejadian kebakaran secara real time. Data perekaman hotspot dapat digunakan sebagai salah satu faktor yang digunakan dalam 4 penyusunan peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Selain untuk monitoring dan perekaman data hotspot, penginderaan jauh juga menghasilkan citra perekaman lokasi di suatu wilayah dimana citra ini dapat digunakan dalam penyusunan kerawanan di suatu wilayah. Data perekaman lokasi suatu wilayah dapat digunakan untuk menghasilkan informasi lain yang dibutuhkan dalam mitigasi kebakaran salah satunya untuk mengetahui kerpaatan vegetasi. Kerapatana vegetasi berhubungan dengan ketersediaan biomassa di suatu tempat semakin rapat semakin rendah biomassa yang tersedia begitu sebaliknya. Kerapatan vegetasi didapat dari pengolahan data citra penginderaan jauh salah satunya dengan menggunakan metode NDVI, metode ini akan menghasilkan citra dengan nilai piksel yang merepresentasikan kondisi kerapatan vegetasi dilapangan kemudian dengan melakukan cek lapangan dan uji korelasi akan menghasilkan kerapatan vegetasi sesuai dengan kondisi dilapangan. Penyusunan kerawanan kebakaran menggunakan faktor-faktor yang mepengaruhi kejadian kebakaran seperti kondisi meteorologis, aksesbilitas jalan dan sungai, kepadatan hotspot, kerapatan vegetasi, pengunaan lahan dan status lahan. Faktor-faktor tersebut digunakan untuk penyusunan kerawanan kebakaran pada suatu wilayah dengan menggunakan metode skoring dan pembobotan. Faktor tersebut dilakukan skoring berdasarkan parameter-parameter dari setiap faktor yang kemudian setiap faktor diberikan bobot berdasarkan tingkat peranan suatu faktor dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan. Hasil skoring dan pembobotan tersebut akhirnya diklasifikasikan menjadi 4 kelas kerawanan yaitu kelas rendah, kelas sedang, kelas rawan dan kelas sangat rawan. 1.2 Perumusan Masalah Taman Nasional Way Kambas merupakan perwakilan ekosistem hutan dataran rendah yang terdiri dari hutan, rawa air tawar, padang alang-alang/semak belukar, dan hutan pantai di Sumatera. Taman Nasional Way Kambas ini sendiri memiliki 13 jenis tumbuhan dan berbagai pepohonan, 50 jenis mamalia, 406 jenis burung dan berbagai reptil, amfibi, dan serangga. Taman Nasional Way Kambasmemiliki pusat pelatihan gajah liar yang didirikan sejak tahun 1985, 5 dimana para gajah liar itu diberikan keahlian untuk atraksi, gajah tunggang, angkutan kayu, dan, bajak sawah. Kondisi curah hujan rerata di taman nasional ini berkisar 2.500-3.000 mm/tahun dan temperatur udara 28°-37° C. Berdasarkan data curah hujan dan suhu tersebut, di Taman Nasional Way Kambas tidaklah kering ataupun panas sehingga tidak mungkin dapat terjadi kebakaran hutan. Namun, berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan Provinsi Lampung didapatkan bahwa kawasan Taman Nasional Way Kambas merupakan kawasan hutan yang sering mengalami kebakaran hutan dibandingkan Taman Nasional Bukit Barisan yang sama-sama ada di Provinsi Lampung. Taman Nasional Way Kambas terdiri dari 8 resort yang termasuk dalam 3 kawasan pengelolaan yaitu, resort Kuala Kambas, resort Wako, resort, Kuala Penet, resort Susukan Baru, resort Plang Hijau, resort Way Kanan, resort Bungur, dan resort Cabang. Setiap resort pada Taman Nasional Way Kambas memiliki tim tersendiri dalam pengelolaan kawasannya. Selain memiliki tim dalam pengawasan setiap resort memiliki wewenang tersendiri dalam mengelola kawasannya. Setiap resort di Taman Nasional Way Kambas memiliki permasalahan yang berbeda beda pada setiap resort salah satunya adalah kebakaran hutan dan lahan. Setiap resort memiliki jumlah kejadian dan lokasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang berbeda-beda pada setiap resort. Dari 1318 data hotspot yang terjadi di Taman Nasional Way Kambas tahun 2002-2012, setiap resort mengalami kejadian kebakaran hutan dan lahan namun dengan jumlah kejadian yang berbeda-beda. Pengamatan atau monitoring terhadap kejadian kebakaran berguna untuk mengurangi dampak dan kerugian yang diakibatkan dari kejadian kebakaran hutan dan lahan. Pengamatan dan monitoring dilakukan dengan menggunakan citra penginderaan jauh yang berfungsi sebagai peringatan dini terhadap kejadian kebakaran. Kejadian kebakaran ini haruslah segera ditangani dengan melihat penyebab kejadian kebakaran hutan itu sendiri apakah secara alami ataukah tidak, dan dapat dibuat zonasi kerawanan bahaya kebakaran di kawasan Taman Nasional Way Kambas sehingga pencegahan dan antisipasi kebakaran hutan di kawasan ini dapat dilakukan seefisien mungkin untuk mengurangi dampak dan kerugian yang 6 ditimbulkan. Dampak yang dapat ditimbulkan dapat berupa berkurangnya luasan hutan yang mengakibatkan hilangnya habitat, vegetasi, maupun matinya hewan, hilangnya daerah reservoir juga dapat berdampak pada manusia baik mempengaruhi kesehatan maupun aktivitas mereka. Penginderaan jauh selain digunakan dalam pengamatan dan monitoring titik hotspot secara realtime juga digunakan dalam pengolahan data citra dari suatu lokasi untuk menghasilkan data mengenai kondisi suatu tempat yang dapat digunakan dalam pembuatan peta tingkat kerawanan kebakaran pada suatu wilayah. Pengolahan data citra pada suatu wilayah yang terjadi kebakaran dapat menghasilkan data aksesbilitas, penggunaan lahan dan kerapatan vegetasi yang dimana data ini digunakan sebagai salah satu faktor dalam penyusunan peta tingkat kerawanan kebakaran. Data penginderaan jauh dengan pengolahan spasial SIG dapat digunakan untuk mengetahui lokasi kebakaran yang terjadi, serta dapat mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi berdasarkan hasil pengolahan dengan cara mengoverlay data faktor-faktor yang mempengaruhi kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan permasalahan dan latar belakang yang ada dapat ditarik pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Pada lokasi mana saja kebakaran lahandi Taman Nasional Way Kambas terjadi? 2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan kebakaran lahan di Taman Nasional Way Kambas? Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas, peneliti tertarik mengadakan penelitian dengan judul Analisis Kerawanan Kebakaran Lahan Di Taman Nasional Way Kambas, Provinsi Lampung. 7 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan: 1. Mengetahui lokasi terjadinya kebakaran lahan pada kawasan Taman Nasional Way Kambas. 2. Mengetahui faktor-faktor penyebab kebakaran lahan di Taman Nasional Way Kambas. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai referensi dalam pengelolaan atau penanganan kejadian kebakaran hutan yang terjadi di Taman Nasional Way Kambas, serta menjadi data dasar bagi penelitian lanjutan yang berlokasi di Taman Nasional Way Kambas. 1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik terdiri atas tanah, iklim, relief, hidrologi, vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya yang selanjutnya semua faktor-faktor tersebut mempengaruhi penggunaan lahan, termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO. 1975, dalam Arsyad, 1989). Lahan adalah suatu daerah di permukaan bumi dengan sifat–sifat tertentu yang meliputi biosfer, atmosfer, tanah, lapisan geologi, hidrologi, populasi tanaman dan hewan, serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan sekarang, sampai pada tingkat tertentu dengan sifat-sifat tersebut mempunyai pengaruh yang berarti terhadap fungsi lahan oleh manusia pada masa sekarang dan masa yang akan datang (FAO dalam Sitorus, 2004). Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas fauna dan manusia baik di masa lalu maupun saat sekarang, seperti tindakan konservasi tanah dan reklamasi pada suatu lahan tertentu. Setiap aktivitas manusia baik langsung maupun tidak langsung selalu terkait dengan lahan, seperti untuk pertanian, pemukiman, transportasi, industri atau untuk rekreasi, sehingga dapat dikatakan bahwa lahan merupakan 8 sumberdaya alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Sitorus (2004) mendefinisikan sumberdaya lahan (landresources) sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Penggunaan lahan (land use) dapat diartikan sebagai campur tangan manusia terhadap lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989). Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, lalang, perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad, 1989). 1.5.2 Hutan Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkunganya yang satu dan yang lain tidak dapat dipisahkan (UU RI NO 41 tahun 1999). Hutan juga dapat diartikan sebagai suatu wilayah yang memiliki banyak tumbuh-tumbuhan lebat yang berisi antara lain pohon, semak, pakupakuan, rumput jamur dan lain sebagainya seta menempati daerah yang cukup luas. Hutan juga dapat diartikan sebagai suatu asosiasi tumbuhan dimana pohon-pohon atau tumbuhan berkayu lainnya secara predominan menempati wilayah yang luas dan keadaannya cukup rapat, sedemikian sehingga mampu menciptakan iklim mikro di dalamnya (Hardiwinoto dkk, 2005). Hutan bukan hanya sekumpulan pohon saja, melainkan mencakup semua organisme dan lingkungan abiotiknya. Menurut Supriyadi (2005) menyatakan bahwa hutan merupakan suatu sistem fisis dan biologis yang kompleks yang di dalamnya 9 terdapat banyak interaksi dan kesalingtergantungan antar komponen yang berbeda. Komponen-komponen tersebut antara lain pohon, subtrat tempat pohon berpijak untuk mendapatkan air dan hara, tumbuhan selain pohon, binatang, mikroorganisme, serta kondisi tanah dan atmosfer. Fungsi dari hutan antara lain: 1. Mengatur tata air, mencegah, dan membatasi banjir, erosi serta memelihara kesuburan tanah. 2. Menyediakan hasil hutan untuk keperluan industri, rumahtangga dan pembangunan. 3. Melindungi iklim dan lingkungan yang baik. 4. Memberikan keindahan dalam bentuk cagar alam, hutan wisata, taman perburuan, tempat penelitian dan lain-lain. 5. Sebagai salah satu unsur strategi pembangunan. Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsinya dengan kriteria dan pertimbangan tertentu, ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan adalah sebagai berikut : 1. Hutan Konservasi Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta ekosistemnya. Kawasan Hutan Konservasi terdiri dari Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru. a. Kawasan Suaka Alam Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan. Kawasan Suaka Alam terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. b. Kawasan Hutan Pelstarian Alam Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan 10 keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan Hutan Pelestarian Alam teridiri dari : Taman Nasional Kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Hutan Raya Kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang bududaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Wisata Alam Kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. 2. Hutan Lindung Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. 3. Hutan Produksi Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. 1.5.3 Taman Nasional Taman nasional berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan RI No. 687/KPTS-II/1989 didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti dan atau zona-zona lain yang dimanfaatkan untuk tujuan ilmu pengetahuan, pariwisata dan rekreasi. Sedangkan berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, taman nasional adalah suatu kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan zonasi 11 yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Soemarwoto (2001) secara sederhana memberikan definisi tentang taman nasional sebagai daerah yang dilindungi dan dikembangkan untuk pariwisata, penelitian dan pendidikan. Sementara Mac Kinnon dan Mac Kinnon (1993: 25) memberi batasan taman nasional sebagai suatu kawasan luas yang relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi rekreasi besar, mudah dicapai oleh pengunjung dan manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut. Secara formal, batasan pengertian taman nasional sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, yaitu kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Adapun kriteria sebuah kawasan dapat ditunjuk sebagai kawasan taman nasional adalah cukup luas untuk menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami, memiliki sumber daya alam yang unik, utuh dan masih alami, memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh, memiliki keadaan alam yang masih asli dan alami bagi pengembangan pariwisata alam, serta dapat dibagi dalam zona-zona (PP No. 68 Tahun 1998). Keberadaan taman nasional dapat memberikan manfaat (Ditjen PHKA, 2005) terhadap sektor ekonomi, estetika, ekologi, pendidikan, penelitian dan jaminan masa depan, antara lain harus memenuhi syarat, bahwa: kawasan yang dikelola memiliki nilai ekonomis, memiliki keindahan sebagai obyek wisata alam dan dapat menjaga keseimbangan kehidupan biotik maupun abiotik di daratan maupun perairan. Taman nasional merupakan obyek pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian karena keanekaragaman sumber daya alam kawasan sehingga memberikan manfaat bagi kehidupan baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 1998, kawasan taman nasional secara umum dibagi dalam 3 (tiga) zona, yakni zona inti, zona pemanfaatan dan zona rimba atau zona lain. Zona inti antara lain dirumuskan 12 sebagai suatu zona di dalam kawasan taman nasional yang luas dan bentuknya mampu menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami, belum tersentuh oleh aktivitas manusia, dengan jenis satwa maupun tumbuhan yang cukup beragam serta keberadaannya memerlukan upaya konservasi. Zona inti pada dasarnya diperuntukkan bagi kegiatan penelitian dan pendidikan, sedangkan kegiatan wisata dan pembangunan sarana/prasarana tidak diperkenankan. Berbagai kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti dilarang untuk dilakukan, seperti : mengurangi, menghilangkan fungsi dan luasnya serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Oleh karena itu, pada zona ini kegiatan yang dilakukan hanya berupa kegiatan perlindugan dan pengamanan. Zona pemanfaatan adalah suatu zona di dalam kawasan taman nasional yang kondisi sumber daya alamnya memiliki daya tarik dengan luas yang mampu menjamin kelestarian potensi dan daya tarik tersebut, serta mendukung upaya pengembangan pariwisata alam. Pengelolaan pada zona pemanfaatan ini diupayakan dapat meberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat sekitar melalui kegiatan pariwisata dengan tetap memperhatikan kepentingan konservasi. Pada zona ini dapat dibangun sarana dan prasarana kepariwisataan sesuai dengan rencana pengelolaan. Zona rimba adalah suatu zona di dalam kawasan taman nasional yang mampu mendukung perkembangbiakan satwa dan memiliki keanekaragaman jenis guna menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan. Di samping itu, zona rimba merupakan zona yang diperuntukkan bagi jenis satwa migran tertentu. Pada zona ini masih diperkenankan adanya kegiatan wisata alam secara terbatas dengan pengembangan sarana dan prasarana yang terbatas pula. Menurut Fandeli dan Nurdin (2005), pada zona inti dan zona rimba dapat dikembangkan untuk pariwisata minat khusus. Sementara zona lain dapat ditetapkan dalam rangka mengakomodasikan kepentingan-kepentingan tertentu sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan pengelolaan kawasan.Berkaitan dengan hal tersebut, Sulthoni dalam Nugroho (2004) menambah kawasan taman nasional menjadi empat zona, yakni dengan menambah zona penyangga. Zona 13 penyangga adalah kawasan yang berbatasan dengan kawasan taman nasional yang secara ekologis masih mempunyai pengaruh baik dari dalam maupun dari luar kawasan. Zona penyangga berfungsi melindungi zona-zona yang mutlak harus dilindungi (zona inti dan zona rimba), sebagai jalur pelindung dari kegiatan masyarakat yang dapat mengganggu ekosistem. Pendapat lain, berkaitan dengan pembagian kawasan taman nasional ke dalam zona-zona dikemukakan oleh Setiadi (2000), yakni sebagai berikut : Key resource protection zone, adalah wilayah yang terlarang untuk kegiatan wisata, Wildland/low use zone, adalah wilayah yang dapat digunakan untuk kegiatan hiking, tracking, caving dan climbing, Extensive recreation zone, adalah wilayah yang hanya diijinkan untuk bus dan mobil pengelola saja, Tourist zone, adalah wilayah yang diperuntukkan bagi aktivitas wisata dan Community zone, adalah wilayah yang dapat dibangun pusat pelayanan informasi, parkir dan merupakan akses utama. 1.5.4 Kebakaran Kebakaran merupakan gejala fisik alam yang terjadi karena adanya kombinasi antara api, oksigen dan bahan-bahan serta mempunyai karakteristik yaitu bersifat panas, bersinar dan biasanya menyala (Brown dan Davis, 1973). Api merupakan fenomena fisik alam yang dihasilkan dari kombinasi yang cepat antara oksigen dengan suatu bahan bakar yang terjelma dalam bentuk panas, cahaya dan nyala. Tiga komponen diperlukan untuk sesetiapapi agar dapat menyala dan mengalami proses pembakaran yaitu bahan bakar, sumber panas dan udara yang biasa disebut dengan konsep segitiga api. 14 Gambar 2.Konsep Segitiga Api Sumber: Waliadi, dkk. 2005 Faktor pendukung untuk memperbesar api dan memperluas penjalarannya yaitu bahan bakar, angin, topografi, iklim mikro dalam hutan serta hal lain seperti bentuk vertikal dari kebakaran yang dapat mempengaruhi aliran udara. Kebakaran hutan dibedakan pengertiannya dengan kebakaran lahan, dimana perbedaannya terletak pada lokasi kejadiannya. Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi diluar kawasan hutan (Pubowaseso, 2004). Kebakaran Hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan. Penyebab kebakaran hutan dan lahan yaitu faktor kesengajaan manusia dalam membuka perladangan, faktor ketidak sengajaan seperti api dari kereta api, api dari perkemahan, dan faktor alam seperti petir, erupsi gunung api dan cuaca kering serta panas. Ada berbagai macam tipe kebakaran hutan dan lahan bergantung terhadap jenis penyebab ataupun faktor apa yang dikaji. Salah satu klasifikasi kebakaran hutan yaitu berdasarkan luasannya menurut Hawley dan Stickel tahun 1953 membagi menjadi 5 kelas dengan rincian: 1. Kelas A. kebakaran kurang dari 0,1 ha, 2. Kelas B. kebakaran areal 0,1 – 4 ha, 3. Kelas C. dengan areal terbakar 4 - < 40 ha, 4. Kelas D. dengan areal terbakar 40 - < 120 ha, dan 15 5. Kelas E dengan areal terbakar > 120 ha. Menurut Departemen Kehutanan Amerika membagi tipe kebakaran hutan berdasarkan penjalaran api dan posisinya dari permukaan tanah dimana mereka membagi menjadi 3 jenis tipe kebakaran yaitu: 1. Kebakaran bawah (ground fires) adalah kebakaran yang membakar bahan organik yang sebagian mengalami dekomposisi dimana struktur aslinya masih dapat dikenali dan terletak dibawah seresah, sedangkan humus atau bahan organik juga ikut terbakar. Gambar 3. Kebakaran Bawah Sumber: Waliadi, dkk. 2005 2. Kebakaran permukaan (surface fires) adalah api membakar seresah, tanaman bawah, tanaman muda, dan anakan. Merupakan kebakaran yang sering terjadi. Gambar 4. Kebakaran Permukaan Sumber: Waliadi, dkk. 2005 3. Kebakaran tajuk (crown fires) adalah api membakar tajuk-tajuk pohon dan semak atau paling tidak daun-daun pohon habis terbakar. 16 Gambar 5. Kebakaran Tajuk Sumber: Waliadi, dkk. 2005 1.5.5 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak lansung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1979). Alat yang dimaksud di dalam batasan ini adalah alat penginderaan atau sensor. Pada umumnya sensor dipasang pada wahana (platform) yang berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulak-alik, atau wahana lainnya. Obyek yang diindera atau yang ingin diketahui berupa obyek di permukaan bumi, di dirgantara, atau di antariksa. Penginderaan jauh dilakukan dari jarak jauh sehingga disebut penginderaan jauh (Soetanto, 1986). Media yang digunakan dalam dalam penginderaan jauh disebut citra atau image, atau gambar. Citra dapat diperoleh melalui perekaman non-fotografis, misalnya dengan pemindai atau penyiam (scanner). Perekaman fotografis menghasilkan foto udara, sedangkan perekaman lain menghasilkan citra non-foto. Citra foto udara selalu berupa hard copy (gambar tercetak) yang diproduksi dan direproduksi dari master rekaman yang berupa film. Citra non-foto biasanya terekam secara digital dalam format asli dan memerlukan komputer untuk presentasinya. Citra non-foto juga dapat (dan perlu) dicetak menjadi hard copy, untuk keperluan interpretasi visual. Interpretasi visual diperlukan unsur-unsur pengenal pada obyek atau gejala yang terekam pada citra. Unsur-unsur pengenal ini secara individual atau kolektif dapat membimbing penafsir ke arah pengenalan yang benar. Unsur-unsur ini disebut unsur-unsur interpretasi, dan meliputi 8 hal, yaitu rona/warna, bentuk, 17 ukuran, bayangan, tekstur, pola, situs dan asosiasi. Penggunaan unsur unsur dalam pengenalan obyek tidak harus digunakan bersama-sama, namun ada obyek yang hanya membutuhkan satu unsur interpretasi saja. Penginderaan jauh digunakan dalam bebrbagai bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang lainnya, ada enam alasan mengapa penginderaan jauh banyak digunakan yaitu: 1. Citra mengggambarkan obyek, daerah, gejala dipermukaan bumi dengan: ujud dan letak obyek yang mirip dengan ujud dan letaknya di permukaan bumi, relatif lengkap, meliputi daerah luas dan permanen. 2. Jenis citra tertentu dapat ditimbulkan gambaran tiga dimensi apabila pengamatannya dilakukan dengan alat yang disebut stereoskop. 3. Karakteristik obyek yang tampak dapat diujudkan dalam bentuk citra sehingga dimungkinkan pengenalan obyeknya. 4. Citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi secara terestrial. 5. Merupakan satu-satunya cara untuk pemetaan daerah becana. 6. Citra sering dibuat dengan periode ulang yang pendek, misalnya 16 hari bagi citra landsat IV dan dua kali setiap hari bagi citra NOAA. Sehingga citra merupakan alat yang baik sekali untuk memantau perubahan cepat seperti pembukaan daerah hutan, pemekaran kota, perubahan kualitas lingkungan dan perluasan daerah garapan (Soetanto, 1986). 1.5.6 Titik Hotspot Salah satu dari konsep segitiga api yang menyebabkan kebakaran adalah sumber panas, dimana sumber panas ini bisa berasal dari berbagai hal seperti pembakaran oleh manusia, punting rokok, gesekan antar ranting ataupun suhu yang panas karena kondisi udara yang kering. Sumber panas yang menyebabkan kebakaran biasa disebut dengan titik hotspot. Titik hotspot adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan suhu disekitarnya. Hotspot adalah titik-titik panas dipermukaan bumi dimana titik-titik itu merupakan 18 indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan (LAPAN, 2004). Prediksi kebakaran hutan dapat dibuat berdasarkan pola penyebaran titik panas perubahan koordinat titik panas dan jangka waktu adanya titik panas. Pemantauan titik panas adalah salah satu kegiatan pengendalian kebakaran lahan/hutan dan kebun dengan melakukan deteksi titik panas melalui bantuan satelit National Oceanic and Atmospheric (NOAA) dengan teknologi GIS untuk mendapatkan data lokasi terjadinya titik panas/kebakaran. Sebagai contoh data hotspot NOAA yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan saat ini menerapkan ambang batas 318 K atau 45oC yang artinya jika suatu daerah yang dipantau oleh satelit memilki suhu diatas ambang batas itu maka areal itu terdeteksi sebagai hotspot. Penggunaan satelit didorong oleh penggunaan penginderaan jauh dalam pengamatan peristiwa kebakaran hutan, dimana menurut S.N. Hirsch tahun 1964 penggunaan satelit memiliki kelebihan antara lain: 1. Mampu mendeteksi kebakaran secepat mungkin, 2. Operasional efektif baik siang atau malam, 3. Tetap mampu mendeteksi kebakaran pada kondisi visibilitas rendah akibat kabut, hujan, awan, asap atau liputan tajuk yang lebar, dan 4. Memungkinkan untuk membedakan bahaya yang potensial dan tidak potensial. 1.5.7 Citra Landsat Satelit landsat merupakan salah satu satelit sumberdaya bumi yang dikembangkan NASA (The National Aeronautical and Space Administration). Dalam proses pengembangan satelit sumberdaya bumi ini selanjutnya dibagi dalam dua generasi. Generasi pertama mengembangkan seri landsat 1, landsat 2, dan landasat 3 yang merupakan modifikasi satelit cuaca Nimbus yangmempunyai 2 jenis sensor yaitu sistem penyiaman multispektral (MSS) dengan 4 saluran dan3 kamera RBV ( Return Beam Vidicon) (Sutanto, 1986). Landsat 7 diluncurkan pada tahun 1999 dari Western Test Range dengan menggunakan Delta II Expendale Launch Vehicle. Landsat 7 terdiri dari 19 spacecraft bus yang merupakan kerjasama antara NASA dengan martin maretta astro space in valley frge, PA dan Enhaced thematic mapper plus (ETM+) Landsat 7 ETM+ mempunyai karakteristik orbit yaitu: 1. Ketinggian: 705 km 2. Inklinasi: sinkron matahari, 98,2 derajat 3. Waktu orbit: 10.00 siang (± 15 menit, lewat khatulistiwa) 4. Resolusi temporal: 16 hari, 233 orbit/putar 5. Periode: 98,884 menit melintas equator. Pada landsat 7 terpasang sensor ETM+ dan telah terpasang filter baru yang digunakan dalam berbagai hal serta perlengkapan yang efisien untuk studi perubahan global, monitoring penutup lahan dan taksiran serta daerah pemetaan yang lebih luas dibandingkan desain sebelunya. Sensor ETM+ memiliki beberapa keuntungan diantaranya band pankromatik dengan resolusi spasial 15 meter, saluran inframerah thermal beresolusi 60 meter dan kalibrasi absolut radiometri 5% (Purwadhi, 2001). Kualitas citra landsat 7 ETM+ dapat dilihat dari: 1. Presentase tutupan awan yang terekam pada citra (presentase awan maksimal 30%). 2. Besar kecilnya kesalahan geometrik citra serta radiometrik citra. Satelit landsat 7 ETM+ mempunyai resolusi spasial 30x30 meter dengan 6 saluran dalam panjang gelombang tampak, inframerah dekat, inframerah pendek dengan resolusi spasial 30 meter, saluran thermal dengan perbaikan resolusi menjadi 60 meter dengan lebar liputan 185 km2, serta mempunyai jumlah liputan 233 jalur(paths) dan 248 baris (rows) (Sutanto, 1986). 20 Tabel 1. Karakteristik Citra Landsat Band Satelit Sensor Julat Saluran (µ m) Resolusi (m) 1 0,45-0,5 30 2 0,52-0,60 30 3 0,63-0,69 30 4 0,76-0,90 30 5 1,55-1,75 30 7 2,08-2,35 30 6 (Thermal) 10,4-12,5 60 Pankromatik 0,52-0,90 15 Landsat 7 ETM+ Fungsi Membuahkan peningkatan penetrasi kedalam tubuh air dan juga untuk mendukung analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah dan vegetasi. Tanggapan pada saluran ini dimaksudkan untuk menekankan pembedaan vegetasi dan penilaian kesuburan. Saluran ini berada pada salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi juga menajamkan kontras antara kelas vegetasi. Sebsitif terhadap sejumlah vegetasi yang terdapat pada daerah kajian. Membantu identifikasi tanaman dan akan memperkuat kontras antara tanaman, tanah, lahan dan air. Penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembapan tanah. Untuk klasifikasi vegetasi, identifikasi litologi, pemisah kelambapan tanah dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas. Pemisah formasi batuan. Identifikasi litologi dan penggunaan lahan. Sumber: Lillesand dan Kiefer (1998) 1.5.8 Indeks Vegetasi Indeks vegetasi adalah suatu indeks atau angka yang menyatakan besar atau tingginya suatu fenomena yang terkait dengan karakteristik vegetasi. Transformasi indeks vegetasi itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu transformasi pengubahan nilai piksel pada citra digital multi spectral sedimikan rupa, sehingga nilai piksel pada citra dengan nilai piksel baru yang mempresentasikan variasi fenomena vegetasi yang terkait dengan aspek kerapatan kandungan biomassa, kandungan klorofil, dan sebagainya dengan menekankan sumber-sumber variasi spektral yang lain (Danoedoro, 1996). Pengembangan indeks vegetasi berawal dari adanya pengamatan atas kecenderungan yang berlawanan antara respon spektral vegetasi pada saluran 21 hijau dan merah dan antara saluran merah dan inframerah dekat. Pada saluran hijau, peningkatan kerapatan vegetasi (yang secara logis akan menyebabkan peningkatan konsentrasi klorofil, karena daun secara akumulatif makin banyak) akan menyebabkan nilai spectral vegetasi itu naik. Kondisi vegetasi yang sama justru akan memberikan pantulan yang semakin rendah pada saluran merah karena secara akumulatif jumlah pigmen(termasuk klorofil) yang menyerap sinar merah semakin banyak. Dengan demikian besarnya nilai pantulan pada saluran hijau dapat dikurangi dengan besarnya pantulan pada sinar merah pada suatu tingkat kerapatan vegetasi. Selisih nilai pantulan ini akan berbeda untuk vegetasi dengan kerapatan yang berbeda pula. Semakin rapat vegetasinya makin besar pula selisihnya.Penggunaan selisih (difference) ini dapat digantikan dengan pembagian (nisbah). (Danoedoro, 1996). Berdasarkan percobaan laboratorium dan lapangan, akhirnya dapat ditentukan formula indeks vegetasi yang bertumpu pada hitungan selisih, nisbah dan kombinasi keduanya. Disamping itu juga ada formula indeks vegetasi yang dihasilkan melalui proses ortogonalisasi sumbu-sumbu saluran multispektral melalui pendekatan stastistic yang rumit. Jenis formula indeks vegetasi yaitu DVI (Difference Vegetation Indeks) yaitu indeks vegetasi yang berselisih, RVI (Ratio Vegetation Indeks) yaitu indeks vegetasi yang berbasis pada nisbah dan NDVI (Normalized Difference Vegetation Indeks) yaitu indeks vegetasi yang menggunakan kombinasi antara selisih dan nisbah, dimana indeks vegetasi ini diharapkan mempunyai julat (range) yang pasti yaitu antara -1 sampai dengan +1 dimana selisih antara pantulan inframerah dekat dan merah dinormalisasi. (Danoedoro, 1996). NDVI memiliki kekontrasan yang tinggi untuk analisisvegetasi hal ini disebabkan transformasi NDVI menggunakan saluran inframerah dekat dan saluran merah. Kedua saluran ini memiliki kontras nilai vegetasi yang sangat tinggi. Transformasi ini juga memiliki nilai julat yang pasti dan transformasi ini merupakan teknik transformasi yang mengkombinasikan basis selisih dan nisbah yang merupakan basis perhitungan dari transformasi DVI dan RVI. Indeks vegetasi merupakan salah satu algoritma yang diterpakan terhadap citra atau aspek 22 LAI yang berkaitan dengan kerapatan. Misalnya biomassa, Leaf Area Indeks (LAI) konsentrasi klorofil dan sebagainya. Secara praktis indeks vegetasi ini merupakan suatu transformasi matematis yang melibatkan beberapa saluran sekaligus sehingga menghasilkan citra yang lebih representative dalam menyajikan fenomena vegetasi. (Danoedoro, 1996). NDVI merupakan kombinasi teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra dengan kemampuan untuk menonjolkan asapek kerapatan vegetasi. Transformasi ini pada dasarnya adalah menggabungkan 2 saluran yaitu saluran 4 dan 3 pada citra landasat 7 ETM+ dimana saluran 4 mempunyai respon tinggi terhadap biomassa vegetasi dan memperkuat kontras antara tanaman, tanah dan lahan air. Sedangkan saluran 3 untuk membedakan jenis tumbuhan berdasarkan pemetaan klorofil. Kisaran nilai NDVI -1 hingga +1 artinya mendekati nilai -1 indeks vegetasinya, maka semakin jarang kerapatannya semakin mendekati nilai +1 maka indeks vegetasinya maka semakin rapat kerapatanya. Formula NDVI dituliskan sebagai berikut: ...........................(1) 1.6 Kerangka Pemikiran Kebakaran hutan adalah suatu kejadian yang secara alami terjadi dapat akibat kondisi meteorologis, karena bencana ataupun akibat perbuatan manusia. Namun, yang sering terjadi adalah kebakaran hutan akibat kondisi meterologis yaitu kekeringan ataupun suhu yang tinggi dan akibat perbuatan manusia yang secara sengaja maupun tidak sengaja melakukan pembakaran hutan. Kebakaran hutan terjadi akibat tersediannnya 3 hal utama yaitu sumber api, bahan bakar, dan angin. Di Indonesia sebenarnya sesetiap hutan yang ada secara alami tidak dapat terjad kebakaran hutan karena iklim di Indonesia yang tropis menyebabkan curah hujan tinggi dan kelembapan juga tinggi yang menyebabkan titik-titik api dan bahan bakar untuk terjadinya kebakaran sulit untuk timbul. Namun, akibat perkembangan jaman dan meningkatnya aktivitas 23 manusia yang menyebabkan perubahan kondisi hutan dan perubahan kondisi iklim, dimana suhu udara semakin naik dan curah hujan semakin menurun menyebabkan banyak areal yang kering, maka kebakaran secara alami sering terjadi. Untuk mengetahui penyebab alami dari kebakaran hutan yang paling mudah adalah melihat kondisi meteorologisyaitucurah hujan dan suhu. Daerah dengan curah hujan bulanan kurang dari 1000 mm/bulan dan suhu udara >30oC maka daerah itu berpotensi terjadi kebakaran hutan. (Kementerian Kehutanan dan BMKG). Selain itu faktor manusia juga berpengaruh yaitu dilihat dari aktivitas manusia yang berpengaruh pada kondisi hutan. Hal ini dapat dilihat dari tipe hutan yang ada apakah hutan itu tipe primer, sekunder ataukah tersier.Tipe hutan primer menunjukan areal ini belum terkena sentuhan manusia namun hutan sekunder masih sedikit disentuh manusia ditandai dengan tingkat kerapatan vegetasinya masih rimbun.Sedangkan hutan tersier adalah hutan yang sudah banyak terjadi aktivitas manusia didalamnya seperti peladangan dan lain-lain. Kondisi hutan berpengaruh pada kerapatan vegetasi dan jenis penggunaan lahan yang ada pada suatu tempat. Kondisi hutan, kerapatan vegetasi dan penggunaan lahan berhubungan dengan tersedia bahan bakar untuk terjadinya kebakaran pada suatu tempat. Kerapatan vegetasi berhubungan dengan kerapatan pepohonan pada suatu lokasi, daerah dengan kerapatan tinggi berarti daerah tersebut didominasi oleh pepohonan dan cenderung memiliki sedikit seresah karena secara alami akan membusuk, sedangkan pada daerah dengan kerapatan yang rendah maka daerah itu memiliki sedikit pepohonan dan daerah itu didominasi oleh semak belukar ataupun rumput sehingga pada musim kemarau akan menghasilkan bahan bakar berupa seresah yang sangat banyak karena secara alami tidak mengalami pembusukan. Kondisi penggunaan lahan berhubungan dengan pengaruh manusia dan ketersediaan bahan bakar. Beberapa penggunaan lahan akan menghasilkan bahan bakar yang tinggi pada musim kemarau seperti semak belukar, padang rumput ataupun tegalan, dimana pada musim hujan wilayah ini tumbuh subur oleh rumput 24 atau semak namun pada musim kemarau menyediakan bahan bakar yang sangat banyak untuk terjadinya kebakaran hutan ataupun lahan. Areal dengan kondisi meteorologis yang rawan akan kebakaran hutan, areal yang termasuk dalam hutan tersier dan sekunder, serta daerah dengan kerapatan vegetasi yang rendah dan penggunaan lahan yang berupa semak belukar, padang rumput dan tegalan merupakan areal yang sangat berpotensi untuk terjadi kebakaran hutan dan lahan. Antisipasi kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan jika mengetahui areal mana saja yang berpotensi terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan. Dengan demikian antisipasi dampak dan kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat diminimalisirkan. 25 Faktor Alami: 1. Faktor metorologis lokal (Curah hujan <1000mm/tahun dan suhu udara ≥ 30o C) 2. Vulkanologi. 3. Petir. Faktor Manusia : KEBAKARAN HUTAN Titik Hotspot Daerah yang terbakar dan yang tidak terbakar 1. Lokasi kebakaran 2. Kepadatan hotspot 3. Kerapatan vegetasi yang berbeda 4. Penggunaan lahan yang berbeda Analisis Kerawanan Kebakaran Lahan di Taman Nasional Way Kambas, Provinsi Lampung Gambar 6. Kerangka Pemikiran 26 1. Pembakaran Hutan secara sengaja. 2. Pembukaan Lahan. 3. Sengketa Lahan. 1.7 Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai kebakaran hutan sudah pernah dilakukan oleh banyak orang atau instansi. B.M.De Vleigher and P.S. Basigos pada tahun 1995 melakukan penelitian di Messinia, Greece, dengan tujuan untuk membuat model spasial kebakaran hutan dan penyebab kebakaran hutan. Penelitian ini menghasilkan model bahaya kebakaran dengan 7 kelas. S Kunzt and M. Karteris pada tahun yang sama melakukan pemodelan bahaya kebakaran hutan dengan menggunakan data pengindraan jauh multi temporal, di daerah Sithonia Peninsula, Yunani. Penelitian ini menghasilkan tersusunnya model resiko kebakaran hutan di Sithonia Peninsula, Yunani. Sri Erna Adiningsih melakukan penelitian pada tahun 2003 melakukan pemodelan dampak el nino dan la nina terhadap kebakaran hutan di Sumatera, dimana menghasilkan 2 hasil yaitu: ENSO berkorelasi nyata dengan curah hujan dan indeks vegetasi (NDVI) dan frekuensi hotspot terbesar terjadi pada lahan pertanian, hutan sekunder, semak belukar, dan perkebunan. Pada tahun 2004 KLH melakukan penelitian untuk membuat peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau, dengan menghasilkan peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan Provinsi Riau. I Nengah Surati Jaya pada tahun 2006 melakukan penelitian mengenai peta kerawanan kebakaran hutan dilihat dari faktor biofisik dan sosialekonomi. Penelitian ini menghasilkan 2 hasil yaitu: faktor penyebab kejadian kebakaran hutan didominasi oleh faktor manusia khususnya pada areal yang pembukaan lahannya tinggi dan kontribusi aktivitas manusia tertinggi dalam memicu kebakaran hutan yaitu penggunaan lahan, jarak dari jalan, sungai dan kota, sedangkan faktor terendah adalah curah hujan. Pada tahun 2007, Agung Prabowo Budi Nurcahyo melakukan penelitian mengenai analisis kerawanan kebakaran hutan di Sub-DAS Riam Kiwa Provinsi Kalimantan Selatan, dimana dihasilkan bahwa kebakaran hutan terjadi karena tersediannya bahan bakar yang berupa hutan rapat, hutan jarang, semak belukar dan alang-alang serta akibat kegiatan manusia berupa bertani. Selain itu juga dihasilkan peta kerawanan kebakaran hutanyaitu tidak rawan, rawan dan sangat rawan. 27 Pada tahun 2009 Endarmiyati melakukan penelitian mengenai analisis kerawanan kebakaran hutan dan upaya penanggulangannya di kabupaten Siak, Provinsi Riau, dengan melihat faktor biofisik dan sosial-ekonomi. Dimana penelitian ini dihasilkan zonasi kerawanan kebakaran hjutan dan lahan berdasarkan faktor-faktor lingkungan serta tersusunnya usulan strategi pencegahan kebakaran dan lahan berdasarkan zonasi kerawanan kebakaran hutan dan lahan Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Pada tahun 2012 penulis melakukan penelitian mengenai potensi kebakaran hutan dan lahan di Taman Nasional Way Kambas Provinsi Lampung, dengan hasil lokasi kejadian kebakaran hutan dan lahan serta faktor-faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan. Kesamaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan penelitian sebelumnya adalah dengan menggunakan kerapatan vegetasi sebagai dasar dalam penentuan penyebab suatu kebakaran hutan, meggunakan data pengamatan hotspot, sebagai data dasar dalam penetuan lokasi kejadian kebakaran, penggunaan data meteorologis dan aksesbilitas sebagai dasar dalam melakukan analisis. Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah lokasi yang berbeda, metode serta hasil yang didapat berbeda. 28 Tabel 2. Penelitian Sebelumnya NO Nama Judul Tujuan/Metode 1 B.M. De Vleigher and P.S. Basigos Penelitian: Fire Hazard Modelling Using Remote Sensing and GIS. A case study the eparchy of pylias (Messinia, Greece) Tahun 1995 Tujuan Umum: Membuat model bahaya kebakaran berdasarkan aspek spasial dari penyebab kebakaran Metode Penelitian: Penelitan dilakukan berdasarkan keterkaitan sejarah kebakaran dengan karakteristik fisik dan sosial yaitu vegetasi, topografi , aksesbilitas, pengaruh pengunjung, dan tempat pemnbuangan sampah. Langkah terakhir dilakukan kerja lapangan dari model ini. Tersusunnya model bahaya kebakaran dengan 7 kelas 2 S Kunzt and M. Karteris Penelitian: Fire risk Modelling Based on satellite remote sensing and GIS. Di sithonia peninsula, yunani tahun 1995 Tujuan Umum: Pemodelan bahaya kebakaran menggunakan data pengindraan multi temporal. Metode: Menggunakan metode akurasi perbedaan klas vegetasi untuk grup bahan bakar dan dikombinasikan dengan peta geologi dan topografi. Pemetaan vegetasi dilakukan dengan cara kombinasi klasifikasi visual dan digital Tersusunnya model resiko kebakaran hutan di sithonia peninsula, halkidiki yunani utara 3 Sri Erna Adiningsih Penelitian: Model prediksi dampak el nino/La Nina untuk mitigasi bencana kebakaran hutan, sumatera, tahun 2003 Tujuan: 1. Mengkaji pengaruh ENSO terhadap curah hujan dan NDVI 2. Mengkaji pengaruh curah hujan, tingkat kehijauan vegetasi, penutup lahan dan jenis lahan dalam menentukan tingkat kerawanan kebakaran hutan 3. Menyusun model prediksi curah hujan dan NDVI yang digunakan dalam penentuan tingkat kerawan kebakaran hutan . Metode: Analisa korelasi parameter ENSO, parameter hujan, indeks vegetasi dan penyusunan kriteria dan bobot untuk menentukan kerawanan kebakaran hutan dan GIS Tujuan: Menyusun peta rawan kebakaran hutan dan lahan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun dan melaksanakan program pencegahan dan penanggulangan kebakran hutan yang terjadi dikabupaten/kota Metode: Skoring dan pembobotan dari aspek-aspek yang berkaitan dengan terjadinya kebakaran hutan dan lahan yaitu penutupan lahan, status lahan kehutanan, jenis tanah aksesbilitas dan kepadatan hotspot dan GIS 1. Enso berkorelasi nyata dengan curah hujan dan indeks vegetasi (NDVI) 4 KLH Penelitian: Profil Kawasan Rawan kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau Tahun 2004 Hasil 29 2. Frekuensi hotspot terbesar terjadi pada lahan pertanian, hutan sekunder, semak belukar dan perkebunan. Tersusunya peta rawan kebakaran hutan dan lahan provinsi riau dan hasil analisa proporsi luasan kerwanan tinggi hingga sangat tinggi terluas seacara berurutan yaitu: Kota Dumai, Kab.Siak. Rokan hilir, bengkalis, Rokan Hulu, Pelalawan, Indragiri Hulu, Kampar, Kuantat Singing, Pecan Baru. Persamaan dan Perbedaan Dengan Penelitian Peneliti Persamaan: 1. Menggunakan vegetasi sebagai faktor dalam kebakaran Perbedaan: 1. Metode 2. Hasil berupa peta kerawanan 3. Lokasi penelitian Persamaan: 1. Menggunakan vegetasi sebagai faktor dalam kebakaran Perbedaan: 1. Metode 2. Hasil berupa peta kerawanan 3. Lokasi penelitian Persamaan: 1. Menggunakan vegetasi, dan curah hujan sebagai faktor dalam kebakaran Perbedaan: 1. Metode 2. Hasil berupa peta kerawanan 3. Lokasi penelitian Persamaan: 1. Metode 2. Hasil penelitian 3. Faktor peenggunaan lahan, aksesbilitas, status lahan dan kepadatan hotspot. Perbedaan: 1. Lokasi penelitian NO Nama Judul Tujuan/Metode Hasil 5 I Nengah Surati Jaya Penelitian: Penentuan Daerah Rawan Kebakaran Terpadu kasus di Provinsi Riau tahun 2006 Tujuan umum: Mengetahui sampai sejauh mana kontribusi dari masing masing peubah( faktor biofisik dan sosek) dalam penentuan tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan Metode: Menggunakan dua kelompok: 1. peubah lingkungan(bio-fisik dan sosial ekonomi) yang mencakup curah hujan, indeks kehijauan vegetasi (NDVI) indeks kelambapan vegetasi (wetness index) dan tutupan lahan. 2. kelompok peubah aktivitas manusia mencakup jarak dari jalan, sungai, kota dan penggunaan lahannya (landuse). 6 Agung Prabowo Budi Nurcahyo Thesis: Analisis Kerawanan kebakaran kawasan hutan di sub Das Riam kiwa Prov Kalimantan selatan. Tahun 2007 Tujuan: 1. Mengetahui penyebab kebakran hutan 2. Menganalisis tingkat kerawanan kebakaran hutan 3. Memetakan tingkat kerawanan kebakran hutan Metode: Analisa spasial dengan skoring faktor yang berkaitan dengan penyebab kebakaran hutan yaitu data vegetasi, solum tanah, topografi manajemen aksesbilitas jalan mata pencaharian dan intensitas hujan. 7. Endarmiyati Thesis: Zonasi kerawanan kebakaran hutan dan lahan beserta strateginya pencegahannya di Kab. Siak, Prov. Riau tahun 2009 8. M. Iqbal T Sunariya Skripsi: Faktor Penyebab Kejadian Kebakaran Hutan di Taman Nasional Way Kambas, Lampung Tujuan Menyusun peta zonasi kerawanan kebakaran hutan dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan (faktor abiotic: kondisi lahan gambut, aksesbilitas, Kepadatan Hotspot; faktor biotik yaitu tutupan lahan; dan sosial budaya meliputi penggunaan api, konflik sosial dan kearifan lokal dalam pengelolaan lahan partisipasi masyarakat dalam penanganan kebakaran huta dan lahan, status lahan) dan strategi pencegahannya di kab. Siak. Metode: Analisa spasial dengan metode skoring dan pembobotan dari faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan dalam membuat zonasi serta strateginya Tujuan: 1. Mengetahui lokasi terjadinya kebakaran lahan pada kawasan Taman Nasional Way Kambas. 2. Mengetahui faktor-faktor penyebab kebakaran lahan di Taman Nasional Way Kambas. Metode: Dengan mengkroscek data hotspot yang ada dengan kondisi curah hujan dan suhu didaerah penelitian serta dengan dioverlaykan pada kerapatan vegetasi pada Taman Nasional Way Kambas Faktor kejadian kebakaran hutan didominasi oleh faktor manusia khususnya pada areal-areal yang aktivitas pembukaan lahannya tinggi memberikan kontribusi yang signifikan dalam penentuan kerawanan kebakaran hutan. Kontribusi aktivitas manusia urutan dari yang terbesar adalah penggunaan lahan, jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari kota. Faktor hujan kontribusinya rendah. 1. Kebakaran hutan terjadi karena tersedianya bahan bakar yang berupa hutan rapat, hutan jarang, semak belukar dan alang-alang, selain itu adanya aktivitas penduduk setempat dalam kegiatan bertani. 2. Terpetakan tingkat kerawanan kebakaran hutan yaitu tidak rawan, rawan dan sangat rawan 1. Tersusunnya zonasi kerawanan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan faktor-faktor lingkungan kab. Siak, Prov. Riau. 2. Tersusunlah usulan strstegi pencegahan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan zonasi kerawanan kebakaran hutan dan lahan Kab. Siak, Prov. Riau. 30 1. Lokasi terjadinya kebakaran hutan. 2. Faktor penyebab kebakaran hutan. 3. Peta kerawanan kebakaran di Taman Nasional Way Kambas Persamaan dan Perbedaan Dengan Penelitian Peneliti Persamaan: 1. Menggunakan faktor penggunaan lahan, vegetasi dan aksesbilitas 2. Hasil berupa peta kerawanan 3. Penggunaan NDVI dalam pengolahan citra untuk faktor vegetasi Perbedaan: 1. Metode 2. Lokasi penelitian Persamaan: 1. Menggunakan vegetasi aksesbilitas dan curah hujan sebagai faktor dalam kebakaran 2. Hasil tingkat kerawanan kebakaran Perbedaan: 1. Metode 2. Lokasi penelitian Persamaan: 1. Menggunakan faktor ststus lahan, kepadatan hotspot, aksesbilitas dalam penyusun peta kerawanan. 2. Peta kerawanan 3. Metode Perbedaan: 1. Lokasi penelitian 1.8 Batasan Operasional Taman Nasional : Suatu kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990) Lahan : Suatu lingkungan fisik terdiri atas tanah, iklim, relief, hidrologi, vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya yang selanjutnya semua faktor-faktor tersebut mempengaruhi penggunaan lahan, termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO, 1975) Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkunganya yang satu dan yang lain tidak dapat dipisahkan. (UU RI NO 41 tahun 1999) Kebakaran Hutan : Keadaan hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan.(Waliadi, dkk. 2005) Hotspot : Titik-titik panas dipermukaan bumi dimana titik-titik itu merupakan indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan. Dengan ambang batas suhu 318 K atau 45oC (LAPAN, 2004) Penginderaan Jauh : Ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak lansung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1979) 31 NDVI : Indeks vegetasi yang menggunakan kombinasi antara selisih dan nisbah, dimana indeks vegetasi mempunyai julat (range) yang pasti yaitu antara -1 sampai dengan +1. (Danoedoro, 1996) Kerawanan : Kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. (UU No. 24 Tahun 2007) Resort : Wilayah di dalam taman nasional yang memiliki wewenang dalam mengelola kawasan tertentu didalam taman nasional. 32