II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Laboratorium

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Limbah Laboratorium
Limbah laboratorium pada dasarnya merupakan limbah yang terbentuk
dari aktivitas laboratorium , seperti kegiatan praktikum dan penelitian,
pemakaian bahan-bahan kimia untuk berbagai analisa menjadi sumber utama
terbentuknya limbah laboratorium yang bisa dikate gorikan sebagai limbah
yang berbahaya (Anonim, 2009).
Adanya bahan kimia di universitas dimulai dari pemberian bahan yang
diperlukan di gudang kimia kepada pekerja atau mahasiswa yang mengambil
mata kuliah praktek atau mahasiswa sedang melakukan penelitian di
laboratorium. Bahan tersebut digunakan untuk sintesis maupun analisis. Oleh
karena tujuan penggunaannya, maka terbentuk bahan awal, produk samping,
pelarut yang digunakan dan bahan kimia terkontaminasi, dima na bahan ini
harus diurai atau dibuang jika daur ulangnya tidak mungkin dilakukan
(Anonim, 2009)
Pembuangan limbah laboratorium tidak hanya dibuang secara
langsung begitu saja ke badan air. Hal tersebut tergantung pada tipe percobaan
yang dilakukan dan bahan kimia yang digunakan. Beberapa tipe limbah
berbahaya yang dihasilkan tidak dapat dibuang dalam bentuk aslinya dan
harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang. Penanganan yang sesuai dapat
membantu mengurangi atau menghilangkan sifat racunnya. Keuntunga n dari
penghilangan sifat racun juga mengurangi resiko kontaminasi pada pekerja
laboratorium atau mahasiswa yang melakukan kegiatan di laboratorium.
Selain itu juga yang lebih penting adalah menghindari resiko terhadap
kontaminasi lingkungan (Anonim, 2009). Limbah yang dibuang sembarangan,
jika masuk ke badan air tanah dan mengalir ke pemukiman pen duduk akan
menimbulkan bahaya, terutama logam-logam berat. Jika tidak ditangani
dengan baik dapat membahayakan makhl uk hidup dan merusak lingkungan
(Saputra, 2008).
Konsep pengolahan limbah yakni menghindari, mengurangi, dan
membuang limbah bisa menjadi pedoman terhadap pengolahan limbah
laboratorium. Setiap oarang yang mengembangkan, menghasilkan, mengolah ,
dan memproses atau me nyebarkan bahan mempunyai komitmen untuk
menghindari limbah. Jika tidak mungkin untuk dihindari maka jumlah limbah
harus dikurangi dengan pengumpulan terpisah dan melakukan daur ulang.
Akhirnya, setelah semua usaha ini dilakukan, jumlah limbah yang masih
tersisa harus dibuang sebagai ”tanp a resiko” terhadap kesehatan dan
lingkungan. Penggunaan kembali limbah laborato rium dapat dilakukan,
misalnya untuk bahan kimia yang telah digunakan setelah melalui prosedur
daur ulang yang sesuai (Anonim, 2009).
B. Logan Berat
Air sering tercemar oleh komp onen-komponen anorganik, diantaranya
berbagai logam berat yang berbahaya. Logam-logam berat bisa bersumber
dari alam seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Berbagai Macam Logam Berat dan Sumbernya di Alam
Elemen
Antimony
Arsenic
Beryllium
Cadmium
Chromium
Copper
Lead
Mercury
Nickel
Selenium
Silver
Thallium
Zinc
Sumber logam di alam
Stibnite (Sb 2S3), geothermal springs, mine drainage.
Metal arsenides and arsenates, sulfide ores (arsenopyrite), arsenite
(HAsO2), vulcanic gases, geothermal springs.
Beryl (Be 3Al2Si6O16), Phenacite (Be 2SiO4).
Zinc carbonate and sulfide ores, coppe r carbonate and sulfide ores.
Chromite (FeCr 2O), chromic oxide (Cr 2O3).
Free metal (Cu 0), copper sulfide (CuS 2), Chalcopyrite (CuFeS 2), mine
drainage.
Galena (PbS)
Free mercury (Hg 0), Cinnabar (HgS).
Ferromagnesian minerals, ferrous sulfide ores, nickel oxide (NiO 2),
Pentladite [(Ni,Fe) 9S8], nickel hydroxide [Ni(OH) 3].
Free element (Se 0), Ferroselite (FeSe 2), uranium deposits, black shales,
Chalcopyrite-Pantladite-Pyrrhotite deposits.
Free metal (Ag0), silver chloride (AgCl 2), Argentide (AgS 2), copper,
lead, zinc ores.
Copper, lead, silver residues.
Zinc blende (ZnS), Willemite (ZnSiO 4), Calamite (ZnCO 3), mine
drainage
Sumber : Novotny et al., 1994.
Beberapa logam berat tersebut ban yak digunakan dalam berbagai
keperluan sehingga perlu adanya pengawasan yang ketat agar tidak
membahayakan bagi pekerja -pekerjanya maupun lingkungan sekitarnya.
Penggunaan logam-logam berat tersebut dalam berbagai keperluan sehari -hari
berarti telah secara langsung maupun tidak langsung, atau sengaja maupun
tidak sengaja, telah mencemari lingkungan (Fardiaz, 1992).
Logam berat tergolong limbah B3 yang pada kadar tertentu dapat
membahayakan lingkungan sekitarnya karena bersifat toksik bagi hewan dan
manusia (La Grega, 2001). Logam berat dibagi dalam dua jenis yaitu logam
berat essensial dan logam berat tidak essensial. Logam berat essensial
keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme
hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat men imbulkan efek racun
(toksik). Contoh logam ini yaitu Zn, Cu, Fe, dan Mn. Jenis kedua yaitu logam
berat tidak essensial atau beracun, dimana keberadaannya dalam tubuh bisa
bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, dan Cr. Logam berat ini menimbulkan efek
kesehatan bagi manusia. Daya racun yang dimiliki akan bekerja sebagai
penghalang kerja enzim, sehingga proses metabolisme akan terputus. Lebih
jauh lagi, logam berat ini akan bertindak sebagai penyebab alergi, mutagen,
dan karsinogen bagi manusia. Jalur masuknya
adalah melalui kulit,
pernapasan dan pencernaan (Vouk, 1986). Saeni (1989) menyatakan bahwa
masuknya logam ke dalam tubuh dalam jumlah yang melebihi normal akan
menyebabkan keracunan bahkan sampai ke tingkat kematian.
Menurut Widowati et al. (2008), logam berat bersifat toksik karena
tidak bisa dihancurkan (non-degradable) oleh organisme hidup yang ada di
lingkungan. Logam-logam berat tersebut terakumulasi ke lingkungan,
terutama mengendap di dasar perairan dan membentuk senyawa kompleks
bersama bahan organik dan anorganik. Lebih lanjut dijelaskan urutan
toksisitas logam berat terhadap hewan air secara berurutan yaitu merkuri (Hg),
kadmium (Cd), seng (Zn), timbal (Pb), krom (Cr ), nikel (Ni), dan kobalt (Co) ,
sedangkan urutan toksisitas logam dari yang paling toksik terhadap manusia
yaitu Hg, Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, dan Zn.
Logam-logam tertentu sangat berbahaya bila ditemukan dalam
konsentrasi tinggi pada produk pangan dan lingkungan, karena logam
mempunyai sifat merusak jaringan tubuh ma hluk hidup (Connel dan Miller,
1995 dalam Suhartatik, 2004). Berikut adalah logam - logam berat yang
berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan antara lain :
1. Arsen (As)
Arsen diakui sebagai komponen essensial bagi sebagian hewan dan
tumbuhan, namun demikian arsen labih popule r dikenal sebagai raja racun
dibandingkan dengan kapasitasnya sebagai komponen essensial. Arsen
dapat berikatan kuat dengan gugus thiol dan protein, menyebabkan
penurunan kemampuan koordinasi gerak, gangguan pada urat syaraf,
pernapasan serta ginjal. Namun demikian, arsen tidak menghambat sistem
enzim (Widowati, 2008). Bila melebihi batas, arsen merupakan racun,
bersifat karsinogenik pada kulit, hati, dan saluran empedu melalui kontak
dengan makanan (Totok et al., 2002).
Proses alam seperti berbagai flukt uasi cuaca mengakibatkan batu batuan dari gunung berapi memberikan kontribusi yang besar ke
lingkungan (Darmono, 1995). Arsen dan senyawa-senyawa arsen terdapat
dalam air limbah yang berasal dari industri meta lurgi, produksi keramik
dan glassware, penyamakan, bahan-bahan warna, pabrik pestisida, pabrik
bahan-bahan kimia organik dan inorganik, refinery minyak, dan industri
mineral (Suryadiputra, 1994).
2. Kadmium (Cd)
Kadmium adalah logam yang memiliki warna putih keperakan
menyerupai logam alumunium. Logam ini digunakan untuk melapisi
logam dan juga biasa digunakan pada industri cat enamel dan plastik
(Darmono, 1995). Kadmium merupakan salah satu jenis logam berat yang
berbahaya karena elemen ini beresiko tinggi terhadap pembuluh darah.
Kadmium berpengaruh terhadap manusia dalam jangka waktu panjang dan
dapat terakumulasi pada tubuh khususnya hati dan ginjal. Selain itu juga
bisa menimbulkan gangguan lambung, kerapuhan tulang, berkurangnya
haemoglobin, dan pigmentasi gigi bagi manusia melalui makanan (Totok
et al., 2002).
3. Merkuri (Hg)
Logam ini merupakan salah satu trace element yang mempunyai
sifat cair pada temperatur ruang dengan spesific gravity dan daya hantar
listrik yang tinggi. Oleh karena itu, jenis logam ini banyak digunakan baik
dalam kegiatan perindustrian maupun laboratorium. Merkuri yang terdapat
dalam limbah di perairan umum diubah oleh akti vitas mikroorganisme
menjadi komponen methyl merkuri (CH3-Hg) yang memiliki sifat racun
dan daya ikat kuat disamping kelarutannya yang tinggi terutama dala m
tubuh hewan air. Hal tersebut mengakibatkan merkuri terakumulasi
melalui proses bioakumulasi dan biomagnifikasi dalam jaringan tubuh
hewan-hewan air, sehingga kadar merkuri dapat mencapai level yang
berbahaya baik bagi kehidupan hewan air maupun kesehata n manusia yang
memakan hasil tangkap hewan -hewan air tersebut (Budiono, 2003).
Merkuri merupakan salah satu logam berat yang mempunyai efek
toksisitas yang paling tinggi. Logam merkuri dalam lingkungan perairan
biasanya dalam bentuk senyawa CH 3-HgCl, C 2H5HgCl dan HgCl 2.
Senyawa-senyawa tersebut merupakan senyawa toksik yang terbanyak
mencemari lingkungan, seperti yang terjadi pada T eluk Minamata di
Jepang pada tahun 1950-an dan di Teluk Jakarta tahun 1970 (Pal ar, 1994).
Merkuri dapat menjadi racun bagi s el-sel tubuh, merusak ginjal, hati, dan
syaraf. Selain itu, pada bayi dapat menyebabkan keterbelakangan mental
(Totok et al., 2002).
Merkuri digunakan dalam industri kelistrikan dan elektronik,
pabrik bahan peledak, industri fotografi, industri bahan pen gawet dan
pestisida. Industri kimia dan petrokimia menggunakannya sebagai bahan
katalis, kegiatan laboratorium juga biasanya menggunakan logam cair ini
(Suryadiputra, 1994).
Menurut Kristanto (2002), suatu laporan yang dibua t oleh
Environmental Protection Agency (EPA) memuat beberapa untuk
mencegah terjadinya pencemaran merkuri di lingkungan. Salah satunya
yaitu semua industri yang menggunakan merkuri harus membuang limbah
industrinya dengan terlebih dahulu mengurangi jumlah merkurinya sampai
batas normal.
4. Tembaga (Cu)
Tembaga
bersifat
racun
terhadap
semua
tumbuhan
pada
konsentrasi larutan di atas 0,1 ppm. Konsentrasi yang aman bagi air
minum manusia tidak lebih dari 1 ppm. Konsentrasi normal komponen ini
di tanah berkisar 20 ppm dengan tingkat mobilitas sangat lambat karena
ikatan yang sangat kuat dengan material organik dan mineral tanah liat
(Suhendrayatna, 2001).
Sumber utama tembaga dalam air limbah berasal dari proses proses pengawetan logam (methal pickling baths) dan penyepuhan (plating
baths). Tembaga juga dapat ditemukan pada berbagai pabrik -pabrik bahan
kimia yang menggunakan garam -garam tembaga dan katalis -katalis
tembaga (Suryadiputra, 1994).
5. Timbal (Pb)
Timbal merupakan jenis logam yang lunak yang berwarna coklat
kehitaman serta mudah di murnikan dari proses pertambangan. Dalam
pertambangan, logam ini berbentuk sulfida logam (PbS) yang sering
disebut galena. Penggunaan paling banyak adalah bahan pada produksi
baterai pada kendaraan bermotor (Darmono, 1995).
Kendaraan bermotor merupakan sumber penghasil timbal yang
dikeluarkan melalui asapnya. Masa tinggal partikel Pb oleh asap kendaraan
bermotor adalah selama 4 – 40 hari, sehingga menyebabkan partikel Pb
dapat disebabkan oleh angin hingga mencapai jarak 100 – 1000 km.
Sebagian partikel timbal yang terkandung dalam udara diendapkan pada
jarak sejauh 33 km dari tepi jalan raya (Widiriani, 1996 dalam Ayu, 2002).
6. Seng (Zn)
Seng merupakan salah satu unsur logam yang keberadaanya di
dalam air bisa bersifat logam ringan atau logam berat. Biasa nya jarang
sekali berbentuk atom tersendiri, tetapi biasanya terikat oleh senyawa lain
sehingga berbentuk molekul. Seng di alam ditemukan dalam bentuk
sulfida (Darmono, 1995).
Penggunaan elemen ini pada proses galvinasi besi sangat luas.
Seng biasanya dijumpai pada tanah dengan level 10 – 300 ppm dengan
perkiraan kasar rata-rata 30 – 50 ppm. Lumpur pembuangan biasanya
mengandung seng dengan kadar tinggi. Elemen ini lebih bersifat aktif di
tanah (Suhendrayatna, 2001). Keberadaan seng pada air limbah berasa l
dari pabrik baja, benang rayon dan serat, produksi bubur kertas ( pulp), dan
juga ditemukan pada industri pengolahan logam dan penyepuhan.
Toksisitas seng menurun dengan meningkatnya kesadahan dan akan
meningkat dengan meningkatnya suhu dan penurunan oksi gen terlarut
(Suryadiputra, 1994).
7. Kromium (Cr)
Kromium (Cr) merupakan unsur yang melimpah yang terdapat di
alam dengan berbagai bentuk oksida, yaitu Cr (0), Cr (III) atau Cr
trivalent, Cr (IV) atau Cr heksavalen. K romium secara alami bisa
ditemukan di batuan, tumbuhan, hewan, tanah dan gas, serta debu gunung
berapi. Kromonium Cr (III) secara alami terjadi di alam, sedangkan Cr (0)
dan Cr (VI) pada umumnya berasal dari proses industri (Widowati et al.,
2008).
Logam Cr adalah bahan kimia yang bersifat persiten, biokumulatif,
dan toksik (Persistent, Bioaccumulative and Toxic (PBT)) yang tinggi
serta tidak mampu terurai di dalam tubuh m anusia melalui rantai makanan.
Kestabilan diakumulasikan akan memengaruhi toksisitasnya terhadap
manuasia secara beruruta n, mulai dari tingkat toksisita s terendah, yakni
Cr (0), Cr (III), dan Cr (VI). Cr (VI) pada umumnya 1.000 kali lipat lebih
toksik dibandingkan Cr (III). K romium (Cr) (III) bersifat kurang toksik
dibandingkan Cr (VI), tidak bersifat iritatif, serta tidak korosif. Namun,
senyawa Cr (III) lebih toksik pada ikan dan binatang air lainnya
dibandingkan Cr (VI). Toksisitas Cr pada ikan dipengaruhi oleh sifat
fisiko-kimia peraian, yaitu pH, kadar Ca, dan Mg. Perairan dengan pH
rendah, tetapi kadar Ca dan Mg cukup tinggi menyebabkan toksisitas Cr
terhadap ikan menjadi rendah (Svobod et al., 2003; Drew et al., 2006).
Limbah logam berat Cr (VI), yang merupakan salah satu jenis
limbah berbahaya, dapat berasal dari industri cat, pelapisan logam
(electroplating), dan penyamakan kulit (leather tanning). Krom terdapat
di alam dalam dua bentuk oksida, yaitu Cr (VI) atau chromium hexavalent
dan Cr (III) atau chromium trivalent. Cr (VI) mudah larut dalam air dan
membentuk divalent oxyanion yaitu kromat (CrO 42-) dan dikromat
(Cr2O72-). Tingkat toksisitas Cr (VI) sangat tinggi sehingga bersifat racun
terhadap semua organisme untuk konsentrasi > 0,05 ppm. Cr (VI) bersifat
karsinogenik dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit manusia.
Sementara itu, toksisitas Cr(III) jauh le bih rendah bila dibandingkan
dengan Cr (VI), yaitu sekitar 1/100 kalinya, sehingga untuk mengolah
limbah krom, Cr (VI) harus direduksi terlebih dahulu menjadi Cr (III). Di
samping itu, Cr (III) mudah diendapkan atau diabsorpsi oleh senyawasenyawa organik dan anorganik pada pH netral atau alkalin (Darmono,
1995 dan Widowati et al., 2008).
8. Perak (Ag)
Perak terlarut biasanya terdapat dalam bentuk perak nitrat.
Keberadaannya dalam air limbah biasanya berasal dari industri porselen,
fotografi, penyepuh listrik, dan pabrik tinta. Nilai ekonomis logam perak
tinggi sehingga pengolahan limbah perak biasanya disertai dengan
pertimbangan kemungkinan untuk daur ulangnya (Suryadiputra, 1994).
Menurut Totok et al. (2002), perak merupakan logam berat yang terlarut
dalam air dan dapat mengganggu kese hatan. Perak dapat menyebabkan
penyakit agria, warna kulit kelabu kebiruan dan penyakit pada mata.
Metode-metode pengolahan yang mendasar yaitu meliputi :
pengendapan, pertukaran io n, pertukaran reduktif dan recovery elektronik.
Perak dihilangkan dari air limbah dengan die ndapkan sebagai perak
klorida. Perak dapat diendapkan secara selektif sebagai perak klorida dari
suatu air limbah yang mengandung campuran logam tanpa terlebih dahulu
dipisahkan atau dengan pengendapan serentak dengan logam lainnya. J ika
kondisi pengolahan bersifat alkalin (basa), dihasilkan pengendapan
hidroksida-hidroksida dari logam-logam lain bersama perak klorida
(Suryadiputra, 1994).
Penggunaan arang aktif mampu menghilangkan perak yang berada
dalam konsentrasi yang rendah dalam larutan. M ekanisme yang dilaporkan
dari metode ini adalah dengan terbentuknya unsur perak pada permukaan
karbon dan dari laporan ini diperlihatkan bahwa perak akan tertahan
sebesar 9% dari berat karbon pada pH 2.1 dan sebesar 12% pada pH 5.4
(Suryadiputra, 1994).
C. Teknologi Pengolahan Limbah Cair
1. Presipitasi
Metode presipitasi (pengendapan) merupakan salah satu metode
pengolahan yang banyak digunakan untuk memisahkan logam berat dari
limbah cair (Metcalf & Edy, 1991). Metode presipitasi kimia ini dilakukan
dengan penambahan sejumlah zat kimia tertentu untuk mengubah senyawa
yang mudah larut ke bentuk padatan yang tak larut (Long, 1995).
Presipitasi kimiawi dapat dipakai untuk mengolah limbah encer yang
mengandung bahan beracun, yang dapat diubah menjadi bentuk tak larut,
misalnya limbah yang mengandung arsen, cadmium, chrom, cuprum,
plumbum, hidrargyrum, nikel, argentum, dan zink (Vogel (1985) dalam
Andaka (2008)).
Presipitasi merupakan salah satu usaha untuk mengubah kondisi fisik
bahan dari berbentuk terlarut ( dissolved) menjadi padatan tersuspensi ,
sehingga dapat atau dengan mudah dipisahkan oleh proses sedimentasi.
Penggunaan proses presipitasi mempunyai tujuan untuk menghasilkan
keadaan dimana terdapat kondisi ben tuk padatan tak larut yang dominan
(Schoedder, 1977 dalam Ismayana, 1997).
Proses presipitasi kimia merupakan suatu proses yang bisa
diterapkan pada pengolahan limbah terutama pada tahapan untuk
menghilangkan kandungan logam berat atau kandungan senyawa or tofosfat
dalam air limbah (Suryadiputra, 1994 dan Ismayana, 1997). Suryadiputra
(1994) menambahkan bahwa logam -logam berat biasanya diendapkan
sebagai hidroksida lewat peambahan kapur atau kaustik soda (NaOH) pada
suatu nilai pH dimana terjadi kelarutan y ang minimum.
Hal tersebut juga dinyatakan oleh Eckenfelder (1989) dan Keenan
(1991) bahwa tiap-tiap logam memiliki karakteristik pH optimum presipitasi
sendiri, yaitu pH pada saat logam tersebut memiliki kelarutan minimum.
Oleh karena itu, pada limbah yan g mengandung beragam logam, proses
presipitasi dilakukan secara bertahap, yaitu dengan melakukan perubahan
pH pada tiap tahapannya sehingga logam -logam tersebut dapat mengendap
secara bertahap (Demopoulos, 1997).
Konsep dasar presipitasi adalah adanya ke seimbangan antara padatan
dan yang terlarut pada larutan tersebut (Eilbeck dan Mattock, 1992).
Beberapa faktor yang mempengaruhi kelarutan presipitat (endapan) antara
lain :
1. Kekuatan ion (ionic strength)
2. Efek ion bervalensi sama ( the common ion effect), adanya peningkatan
kekuatan ion.
3. Pembentukan kompleks, menghasilkan kelarutan rendah.
4. Ukuran partikel, merupakan variabel dalam keseimbangan akhir dan
berkaitan erat terhadap kebutuhan energi.
Eckenfelder (1980) membedakan definisi dan penerapan koagulasi
dan presipitasi. Koagulasi didefinisikan sebagai penambahan bahan kimia
pada dispersi koloidal dan menghasilkan destabilisasi partikel dengan
adanya reduksi gaya. Koagulasi terdiri dari reduksi muatan permukaan dan
pembentukan kompleks hydrous oxide. Presipitasi terdiri dari pembentukan
gumpalan-gumpalan pencemar yang tidak dapat larut. Contoh koagulasi
adalah dispersi koloid dari kekeruhan dan warna, sedangkan contoh proses
presipitasi adalah penyisihan fosfor dan logam berat.
Kemampuan proses presipitasi k imia untuk menghilangkan bahan
yang ada pada air buangan atau air limbah, dikemukakan oleh Metcalf &
Eddy (1991) yaitu sebesar 80 – 90 persen total bahan tersuspensi, 40 -70
persen BOD, 30 – 60 persen COD, dan 80 – 90 persen bakteri.
Proses presipitasi kimia tidak hanya terjadi pada fenomena kimia
semata, namun juga terdapat fenomena fisik di dalamnya. Fenomena fisik
yang ada antara lain adalah perubahan bentuk padatan terlarut yang relatif
berukuran kecil menjadi padatan tersuspensi yang relatif berukuran besar
sehingga mudah diendapkan. Faktor fisik lainnya adalah pengadukan yang
mempercepat proses presipitasi kimia (Metcalf & Eddy, 1991).
2. Adsorpsi
Salah satu metode yang digunakan untuk menghilangkan zat
pencemar dari limbah adalah adsorpsi (Rios et al., 1999). Adsorpsi ialah
pengumpulan zat terlarut di permukaan media dan merupakan jenis adhesi
yang terjadi pada zat padat atau zat cair yang kontak dengan zat lainnya.
Proses ini menghasilkan akumulasi konsentrasi zat tertentu di permukaan
media setelah terjadi kontak antarmuka atau bidang batas (paras, interface)
cairan dengan cairan, caira n dengan gas atau cairan dengan padatan dalam
waktu tertentu. Contohnya antara lain dehumidifikasi, yaitu pengeringan
udara dengan desiccant (penyerap), pemisahan zat yang tidak diinginkan
dari udara atau air menggunakan karbon aktif, ion exchanger untuk zat
terlarut di dalam larutan dengan ion dari media exchanger. Artinya,
pengolahan air minum dengan karbon aktif hanyalah salah satu dari terapan
adsorpsi (Anonim, 2008).
Adsorpsi adalah proses terjadinya perpindahan masa adsorbat dari
fase gerak (fluida pembawa a dsorbat) ke permukaan adsorben. Dalam
prosesnya terjadi tarik menarik antar molekul adsorbat (zat teradsorpsi) serta
antara molekul-molekul adsorbat dan tapak-tapak aktif pada permukaan
adsorben (pengadsorpsi). Perpindahan massa terjadi jika gaya tarik adsorben
lebih kuat (Setyaningsih, 1995). Berdasarkan jenis gaya tari k ini, dikenal
adsorpsi fisik (fisisorpsi) yang melibatkan gaya van der waals, dan adsorpsi
kimia (kimisorpsi) yang melibatkan reaksi kimia (Bird, 1985).
Proses adsorpsi secara umum dipengaruhi oleh faktor – faktor
sebagai berikut (Anonim, 2009) :
1. Luas permukaan
Semakin luas permukaan adsorben, maka makin banyak zat yang
teradsorpsi. Luas permukaan adsorben ditentukan oleh ukuran partikel
dan jumlah dari adsorben.
2. Jenis adsorbat
a. Peningkatan polarisabilitas adsorbat akan meningkatkan kemampuan
adsorpsi molekul yang mempunyai polarisabilitas yang tinggi (polar)
memiliki
kemampuan
tarik-menarik
terhadap
molekul
lain
dibandingkan molekul yang tidak da pat membentuk dipol (non polar).
b. Peningkatan berat molekul adsorbat dapat meningkatkan kemampuan
adsorpsi.
c. Adsorbat dengan rantai yang bercabang biasanya lebih mudah
diadsorb dibandingkan rantai yang lurus.
3. Struktur molekul adsorbat.
Hidroksil dan amino berakibat mengurangi kemampuan penyisihan
sedangkan nitrogen meningkatkan kemampuan penyisihan .
4. Konsentrasi Adsorbat
Semakin besar konsentrasi adsorbat dalam larutan maka semakin
banyak jumlah substansi yang terkumpul pada permukaan adsorben .
5. Temperatur
a. Pemanasan atau pengaktifan adsorben akan meningkatkan daya serap
adsorben terhadap adsorbat menyebabkan pori -pori adsorben lebih
terbuka.
b. Pemanasan yang terlalu tinggi menyebabkan rusaknya adsorben ,
sehingga kemampuan penyerapannya menurun .
6. pH
pH larutan mempengaruhi kelarutan ion logam, aktivitas gugus
fungsi pada biosorben dan kompetisi ion logam dalam proses a dsorpsi.
7. Kecepatan pengadukan
Kecepatan pengadukan menentukan kecepatan waktu kontak
adsorben dan adsorbat. Bila pengadukan terlalu lambat , maka proses
adsorpsi berlangsung lambat pula ; tetapi bila pengadukan terlalu cepat ,
kemungkinan struktur adsorben ce pat rusak, sehingga proses adsorpsi
kurang optimal.
8. Waktu Kontak
Penentuan waktu kontak yang menghasilkan kapasitas adsorpsi
maksimum terjadi pada waktu kesetimbangan.
9. Waktu kesetimbangan
Waktu kesetimbangan dipengaruhi oleh tipe biomasa (jumlah dan
jenis ruang pengikatan), ukuran dan fisiologi biomasa (aktif atau tidak
aktif), ion yang terlibat dalam sistem biosorpsi , dan konsentrasi ion
logam.
Mekanisme peristiwa adsorpsi dapat diterangkan sebagai berikut.
Molukel adsorpbat berdifusi melalui suatu lapis an batas ke permukaan luar
adsopben, disebut difusi eksternal. Sebagian ada yang teradsorpsi di
permukaan luar, tapi sebagian besar berdifusi lanjut ke dalam pori-pori
adsorben (difusi internal). Bila kapasitas adsorpsi masih sangat besar,
sebagian besar adsorbat akan teradsorpsi dan terikat di permukaan. Namun,
bila permukaan sudah jenuh atau mendekati jenuh oleh adsorbat, dapat
terjadi dua hal : (1) Terbentuk lapisan adsorpsi kedua dan seterusnya di atas
adsorbat yang telah terikat di permukaan. Gejala ini disebut adsorpsi
multilapisan, atau sebaliknya (2) Tidak terbentuk lapisan kedua sehingga
adsorbat yang belum teradsorpsi berdifusi keluar pori dan kembali ke arus
fluida (Rahmawati, 2006).
Proses adsorpsi pada karbon aktif terjadi mel alui tiga tahap dasar.
Zat terjerap pada karbon aktif bagian luar, lalu bergerak menuju pori -pori
karbon aktif, selanjutnya terjerap ke dinding bagian dalam dari karbon aktif
(Rahmawati, 2006).
Download