DAFTAR ISI - IPB Repository

advertisement
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 S u r f a k t a n
Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface
active agent). Surfaktan merupakan molekul amphipatic yang memiliki sifat
hidrofilik yang bersifat polar dan hidrofobik yang bersifat non polar. Karena sifat
ini surfaktan dapat larut dalam larutan yang berbeda derajat polaritas dan ikatan
hidrogennya seperti air dan minyak. Konfigurasi hidrofilik dan hidrofobik tersebut
membuat surfaktan memiliki fungsi yang beragam di berbagai industri. Aplikasi
surfaktan dalam industri antara lain sebagai pembasah, pembentukan busa,
penstabil emulsi, dan lain sebagainya yang memanfaatkan perbedaan sifat dari
gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan
Surfaktan dibagi menjadi empat kelompok penting dan digunakan secara
luas pada hampir semua sektor industri modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut
adalah surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan
amfoterik (Rieger 1985). Pembagian jenis-jenis surfaktan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa
gugus hidrofilik dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya
merupakan garam-garam amonium kuarterner atau amina.
2.
Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofiliknya dengan
ion bermuatan negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan
terionisasi menghasilkan Na+ dan ion surfaktan yang bermuatan negatif.
3.
Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air,
kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak
membawa muatan elektron, tetapi mengandung hetero atom yang
menyebabkan terjadinya momen dipol.
4.
Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik
seperti pada asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media
dan nilai pH.
Sifat hidrofilik surfaktan nonionik terjadi karena adanya grup yang dapat
larut dalam air yang tidak berionisasi. Biasanya grup tersebut adalah gugus
hidroksil (R–OH) dan gugus eter (R–O–R’). Daya larut dalam air gugus hidroksil
dan eter lebih rendah dibandingkan dengan kelarutan gugus sulfat atau sulfonat.
Kelarutan grup hidroksil atau eter dalam air dapat ditingkatkan dengan
penggunaan grup multihidroksil atau multieter. Beberapa contoh produk
multihidroksil (hasil reaksi antara gugus hidrofob dengan produk multihidroksil)
antara lain: glukosida, gliserida, glikol ester, gliserol ester, poligliserol ester dan
poligliserida, poliglikosida, sorbitol ester dan sukrosa ester (Porter 1991).
Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat
dibagi menjadi empat kelompok yaitu :
1.
Berbasis minyak-lemak seperti monogliserida, dan poligliserol ester
2.
Berbasis karbohidrat seperti alkil poliglikosida, dan n-metil glukamida
3.
Ekstrak bahan alami seperti lesitin dan saponin
4.
Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti rhamnolipid dan
sophorolipid
2.1.1 H L B (Hydrophile-Lipophile Balance)
Keseimbangan antara gugus hidrofilik dan hidrofobik pada surfaktan
dihitung dengan nilai HLB (Hydrophile-Lipophile Balance). Menurut Holmberg
et al. (2003) nilai HLB menentukan aplikasi dari surfaktan yang dihasilkan. Nilai
HLB dan aplikasinya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Nilai HLB dan aplikasinya
Nilai HLB
Aplikasi
3–6
7–9
8 – 14
9 – 13
10 – 13
12 – 14
Pengemulsi W/O
Wetting agent
Pengemulsi O/W
Detergen
Solubilizer
Dispersant
Sumber : Menurut Holmberg et al. (2003)
2.1.2 Tegangan permukaan
Tegangan permukaan dirumuskan sebagai energi yang dibutuhkan untuk
memperbesar permukaan suatu cairan sebesar 1 cm2. Tegangan permukaan
disebabkan oleh adanya gaya tarik-menarik dari molekul cairan. Tegangan
permukaan dapat diukur menggunakan Tensiometer du Nouy dan dinyatakan
dalam dyne/cm atau mN/m.
Pada cairan terdapat molekul-molekul yang tersebar di bawah pemukaan
dan pada permukaan cairan. Molekul-molekul ini saling tarik menarik. Gaya tarikmenarik molekul di bawah permukaan cairan tersebut kemudian mendapatkan
gaya tarik dari molekul-molekul dibawahnya yang mencoba menarik ke tubuh
cairan, sehingga menyebabkan cairan mengambil bentuk yang memungkinkan
luas permukaan menjadi sekecil mungkin. Bentuk tersebut adalah bentuk bola
(sphere). Besarnya energi yang mengendalikan bentuk cairan tersebut dinamakan
tegangan permukaan. Semakin besar ikatan antar molekul-molekul dalam cairan
maka semakin besar tegangan permukaan (Bodner dan Pardue 1989).
2.1.3 Tegangan antarmuka
Surfaktan berfungsi sebagai senyawa aktif yang dapat digunakan untuk
menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut,
kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki
oleh surfaktan. Surfaktan akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya
meningkatkan gaya adhesi sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan dan
tegangan antarmuka (Matheson 1996). Tegangan antarmuka adalah gaya
persatuan panjang yang terjadi pada antarmuka dua fase cair yang tidak dapat
tercampur. Tegangan antarmuka sebanding dengan tegangan permukaan, akan
tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan
permukaan pada konsentrasi yang sama (Moecthar 1989)
2.1.4 Kemampuan pembusaan
Kebanyakan surfaktan dalam larutan dapat membentuk busa, baik secara
diinginkan maupun tidak diinginkan dalam penggunaannya. Busa cair adalah
sistem koloid dengan fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat cair.
Kestabilan busa diperoleh dari adanya zat pembusa (surfaktan). Zat pembusa ini
teradsorpsi ke daerah antar fase dan mengikat gelembung-gelembung gas
sehingga diperoleh suatu kestabilan (Noerdin 2008).
Struktur busa cair tidak ditentukan oleh komposisi kimia atau ukuran busa
rata-rata melainkan kandungan zat cairnya. Jika fraksi cair lebih dari 5%, maka
gelembung gas akan mempunyai bentuk hampir bola, sebaliknya, jika kurang dari
5% maka bentuk gelembung gas adalah polihedral. Struktur busa dapat berubah
jika diberi gaya dari luar, apabila gaya tersebut kecil, maka struktur busa akan
kembali ke bentuk awal setelah gaya tersebut ditiadakan. Namun, jika gaya yang
diberikan cukup besar, maka akan terjadi deformasi (Noerdin 2008).
Kemampuan pembusaan dipengaruhi oleh panjang rantai hidrokarbon.
Dibandingkan dengan surfaktan anionik sebagai agen pembusa yang telah lama
digunakan, surfaktan nonionik dianggap sebagai surfaktan yang memiliki
kemampuan pembusaan yang lebih rendah. Ware et al. (2007), melakukan
pengujian kemampuan pembusaan antara surfaktan Sodium Lauryl Sulfate (SLS),
APG C10 dan APG C12. Hasilnya yang diperoleh yaitu kemampuan surfaktan APG
memiliki kemampuan pembusaan lebih rendah dibandingkan surfaktan SLS.
2.1.5 Stabilitas emulsi
Mekanisme kerja dari surfaktan untuk menstabilkan emulsi yaitu dengan
menurunkan tegangan permukaan dengan membentuk lapisan pelindung yang
menyelimuti globula fase terdispersi, sehingga senyawa yang tidak larut akan
lebih mudah terdispersi dalam sistem dan bersifat stabil. Emulsi yang stabil
mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat sedemikian rupa sehingga
proses itu tidak teramati pada selang waktu tertentu yang diinginkan (Kamel
1991)
Suatu sistem emulsi, pada dasarnya merupakan suatu sistem yang tidak
stabil, karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk
bergabung dengan partikel lainnya. Suatu sistem emulsi yang baik tidak
membentuk lapisan, tidak terjadi perubahan warna dan konsistensi tetap. Stabilitas
emulsi merupakan salah satu karakter penting dan mempunyai pengaruh besar
terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan (Suryani et al. 2000)
2.2 Alkil poliglikosida (APG)
Alkil poliglikosida pertama kali disintesis dan diidentifikasi di laboratorium
oleh Emil Fischer sekitar 100 tahun yang lalu. Aplikasi paten dengan
menggunakan alkil poliglikosida sebagai bahan bakunya dipublikasikan di Jerman
sekitar 40 tahun kemudian hingga saat ini berbagai penemuan tentang alkil
poliglikosida terus berkembang. Pada awalnya Fischer mereaksikan glukosa dan
alkohol yang bersifat hidrofilik seperti metanol, etanol, gliserol, dan lain-lain
kemudian mereaksikannya pada alkohol yang bersifat hidrofobik dengan rantai
alkil dari octil (C8) hingga heksadecil (C16) yang merupakan sifat dari alkohol
lemak. Hasil sintesis yang diperoleh berupa kumpulan dari alkil mono, poli, dan
oliglikosida. Karena kompleksitas inilah maka produk yang dihasilkan disebut
Alkil poliglikosida (Hill 2000).
Alkil poliglikosida (APG) merupakan surfaktan nonionik yang ramah
lingkungan karena disintesis dengan menggunakan bahan baku yang berbasis
karbohidrat dan alkohol lemak. APG telah diuji mengenai dampak terhadap
lingkungan dan telah mendapatkan beberapa green label seperti Ecocert, EU Ecoflower, Green Seal dan sebagainya sebagai surfaktan yang ramah lingkungan.
APG juga tidak beracun atau berbahaya bagi manusia, memiliki sifat iritasi yang
rendah pada kulit jika dibandingkan dengan surfaktan lainnya (Mehling et al.
2007). Saat ini produksi APG dunia mencapai 85.000 ton/tahun (Hill 2009).
Kebutuhan surfaktan nonionik APG di Indonesia saat ini dipenuhi dari impor.
Kebutuhan surfaktan nonionik di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Data impor surfaktan non ionik Indonesia
Tahun
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Jan-Agt 2010
Jumlah (Kg)
14.527.188
25.342.925
16.735.515
15.408.042
14.865.928
17.168.473
18.176.494
17.016.995
Nilai (US$)
17.351.004
38.339.722
29.790.690
26.659.130
28.353.164
42.172.772
38.617.994
38.878.278
Sumber: BPS (2010)
Proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua prosedur yang berbeda,
yaitu prosedur pertama berbasis bahan baku pati dan alkohol lemak (pati-alkohol
lemak), sedangkan prosedur kedua berbasis bahan baku dekstrosa (gula turunan
pati) dan alkohol lemak (dekstrosa-alkohol lemak). Diagram proses pembuatan
APG dari masing-masing prosedur disajikan pada Gambar 1. Pada diagram proses
tersebut dapat dilihat perbedaan proses sintesis APG antara tahap prosedur
pertama dengan kedua. Prosedur pertama, berbasis pati-alkohol lemak melalui
proses butanolisis dan transasetalisasi, sedangkan prosedur kedua yang berbasis
dekstrosa-alkohol lemak hanya melalui proses asetalisasi sebelum masing-masing
prosedur masuk ke proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan (Hill
2000).
BUTANOL
ALKOHOL
LEMAK
PATI
BUTANOLISIS
GLUKOSA ANHIDRAT /
GLUKOSA MONOHIDRAT
TRANSASETALISASI
ASETALISASI
ALKOHOL
LEMAK
NETRALISASI
BUTANOL
DAN AIR
DISTILASI
PROSES DUA TAHAP
ALKOHOL
LEMAK
PROSES SATU TAHAP
PEMUCATAN
APG
Gambar 1 Proses sintesis Alkil poliglikosida (APG) dengan metode satu dan dua
tahap (Hill 2000)
Menurut Wuest et al. (1992), sintesis surfaktan APG dapat dengan reaksi
dua tahap dari pati atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa,
tahap pertama direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol, dan
tahap kedua transasetalisasi direaksikan dengan
rantai lebih panjang C8-22
terutama C12-18 dari alkohol lemak bahan baku alami. Reaksi butanolisis dilakukan
pada suhu diatas 125 OC dan dengan tekanan 4-10 bar. Reaksi transasetalisasi
dilaksanakan pada temperatur 115-118 OC pada kondisi vakum dengan rasio mol
pati dengan alkohol rantai panjang adalah 1:1,5 sampai 1:7, 1:2,5 sampai 1:7, dan
1:3 sampai 1:5, sedangkan rasio mol sakarida : air = 1:5 sampai 1:12, 1:6 sampai
1:12, 1:6 sampai 1:9, 1:6 sampai 1:8.
Menurut Buchanan et al. (1998) tahapan proses APG dengan dua tahap
meliputi
langkah-langkah
dasar
sebagai
berikut:
1)
reaksi
glikosidasi
menggunakan katalis asam dari sumber monosakarida dengan butanol untuk
membentuk butil glikosida, dengan pemisahan gugusan air selama reaksinya, 2)
transglikosidasi dari butil glikosida dengan C8 sampai C20 alkohol menjadi APG
rantai panjang, dengan pemisahan butanol selama reaksinya, 3) netralisasi dari
katalis asam, 4) distilasi untuk memisahkan rantai panjang alkohol yang tidak
bereaksi, 5) pemucatan untuk meningkatkan warna dan bau dari produk, dan 6)
isolasi alkil poliglikosida. Reaksi glikosidasi dan transglikosidasi dikendalikan
pada keadaan seimbang sampai katalis dinetralkan. Untuk proses sintesis APG
tipe tahap tunggal (Gambar 2) meliputi semua langkah dari proses dua tahap
(Gambar 3), dengan pengecualian pada penggabungan langkah 1 dan 2 yang
ditunjukkan di atas dengan mereaksikan glukosa secara langsung dengan rantai
panjang alkohol.
Gambar 2 Proses sintesis APG satu tahap (Hill 2000)
I.
Pati-patian
Butanol
Butil Glikosida
Air
II.
Alkohol
lemak
Keterangan :
Alkil Poliglikosida
Butanol
I. Reaksi Glikosidasi (Butanolisis)
II. Reaksi Transglikosidasi (Transasetalisasi)
Gambar 3 Proses sintesis APG dua tahap (Hill 2000)
2.2.1 Butanolisis
Lueders (2000), melakukan penelitian dengan mereaksikan pati dengan
butanol dan katalis p-toluene sulfonic acid (PTSA) dengan rasio mol 11,3 butanol,
dan 0,012 mol p-toluene sulfonic acid dalam reaktor bertekanan pada suhu 160 OC
selama 30 - 40 menit. Hasil yang diperoleh dari proses sintesis tersebut yaitu 87%
butilglikosida yang berwarna coklat tua. Penggunaan suhu atau konsentrasi katalis
yang rendah mengakibatkan penurunan jumlah konversi yang nyata. Butil
glikosida yang dihasilkan dapat langsung di konversi langsung menjadi APG
dengan mereaksikannya dengan alkohol rantai panjang. Wuest et al. (1992),
melakukan proses butanolisis dengan rasio mol 8 mol air; 8,5 mol butanol; dan
0,036 mol PTSA per satu mol pati. Dengan suhu 140 OC selama 30 menit dengan
tekanan 5 bar.
Penggunaan suhu dan konsentrasi asam yang rendah
mengakibatkan penurunan konversi produk butil glikosida yang dihasilkan.
Butil glikosida terbentuk dari sakarida, butanol, asam dan dalam keadaan
panas serta bertekanan, Jika bahan baku sakarida yang digunakan berasal dari pati,
maka terlebih dahulu terjadi proses hidrolisis kemudian proses alkoholisis, selain
terbentuknya butil glikosida atau butil oligosida juga terbentuk warna yang gelap
akibat degradasi dari gula. Pada proses butanolisis juga terjadi pemisahan air dari
hasil reaksi glukosa dan butanol dengan bantuan ion H + dari katalis (Lueders
1989).
Alkoholisis pati menjadi glikosida memerlukan kondisi yang lebih
kompleks daripada glikosidasi dari D-glukosa atau transglikosidasi dari alkil
glikosida sederhana. Penyebabnya adalah struktur molekul dari pati yang tersusun
dari amilosa dan amilopektin yang memiliki kemampuan swelling terbatas pada
alkohol, khususnya alkohol hidrofobik, dan berkurangnya jembatan hidrogen
antar molekul. Ikatan α(1,6) glikosida pada atom karbon kedua menunjukkan
kestabilan yang lebih besar daripada ikatan atom yang pertama pada alkil
glikosida sederhana (Lueders 2000).
2.2.2 Transasetalisasi
Alkil poliglikosida merupakan suatu asetal yang diperoleh dari pati
(glukosa) dan alkohol rantai panjang (C8–C22). Sehingga proses pengikatan
glukosa siklis terhadap alkohol sering disebut reaksi asetalisasi (Wuest et al.
1992). Salah satu proses asetalisasi bisa melalui glikosidasi (pembentukan ikatan
glikosida) glukosa dengan menggunakan alkohol berlebih sehingga proses
asetalisasi pada sintesis APG sering juga disebut glikosidasi.
Gugus hidrofobik pada APG diperoleh dari alkohol rantai panjang alkohol
lemak. Alkohol lemak memiliki gugus hidroksil (OH) yang sifat kelarutannya
sangat dipengaruhi oleh ikatan hidrogen yang berikatan dengan atom karbon.
Dengan bertambah panjangnya rantai karbon, maka pengaruh gugus hidroksil
yang bersifat polar menurun dan sifat non polar akan semakin tinggi. Alkohol
lemak pada APG diperlukan untuk memperoleh gugus alkil rantai panjang sebagai
bagian yang bersifat hidrofobik. Pemilihan alkohol lemak yang tepat juga akan
berpengaruh pada suhu transasetalisasi berlangsung sebab semakin panjang rantai
maka titik didihnya semakin tinggi. Selama proses transasetalisasi berlangsung,
sisa butanol dan air yang dihasilkan pada proses butanolisis akan keluar melalui
proses distilasi vakum.
Selama proses transasetalisasi diharapkan air yang terdapat pada bahan
segera mungkin diuapkan bersamaan dengan butanol yang tidak bereaksi selama
proses butanolisis. Kehadiran air dan glukosa dapat menyebabkan terbentuknya
polidektrosa yang merupakan hasil samping yang tidak diinginkan dan merupakan
salah satu penyebab terbentuknya warna gelap.
Kondisi asam dan suhu tinggi selama sintesis alkil poliglikosida
menghasilkan produk sekunder seperti polidekstrosa, dan warna kotoran. Dengan
menggunakan suhu yang lebih rendah (<100
O
C) pada proses asetalisasi
menghasilkan produk sekunder yang rendah, namun waktu reaksi yang
dibutuhkan lebih lama. Pada penggunaan suhu tinggi (>120
O
C) dapat
mempercepat pembentukan polidekstrosa dan perubahan warna pada karbohidrat.
Namun hal penting lainnya yang harus diperhatikan yaitu bagaimana cara untuk
menghilangkan air dalam sistem reaksi dengan mengurangi tekanan. Namun air
masih diperlukan dalam jumlah tertentu (sekitar 0,1-0,25%) untuk menghindari
terjadinya dehidrasi pada glukosa yang dapat menyebabkan karamelisasi
(Eskuchen dan Nitsche 1997).
2.2.3 Netralisasi
Tahapan netralisasi bertujuan unutk menghentikan proses transasetalisasi
dengan menambahkan basa hingga mencapai pH 8–10. Basa yang digunakan
untuk proses netralisasi meliputi alkali metal, almunium salt, selain itu dapat
digunakan dari anion, dari basa organik maupun inorganik seperti sodium
peroksida (NaOH), potasium hidroksida, kalsium hidroksida, almunium
hidroksida dan sebagainya. Penggunaan NaOH sangat dianjurkan karena NaOH
tidak bereaksi dengan alkohol atau produk. Proses penambahan dengan
menggunakan NaOH akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak
memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et
al. 1992). Proses netralisasi juga diperlukan karena sakarida akan lebih mudah
rusak dalam keadaan asam selama proses destilasi yang menggunakan suhu yang
tinggi.
Untuk memastikan bahwa kadar glukosa tersisa tidak akan bereaksi
menghasilkan produk yang tidak diinginkan pada saat destilasi menggunakan
suhu tinggi, maka pada larutan dapat ditambahkan natrium borohidrat (NaBH 4)
yang dapat mengubah glukosa menjadi sorbitol. Diperlukan 1 g NaBH4 untuk
setiap 10 -20 g glukosa yang berlebih. Sorbitol lebih tahan terhadap kondisi asam
dan suhu tinggi, sehingga diharapkan tidak terjadi perubahan warna selama proses
distilasi (McCurry 2000). Luders (2000), mereduksi sisa glukosa menjadi sorbitol
dengan menambahkan 0,1% sodium borohidrat dan memisahkan sisa alkohol
lemak pada suhu 180 OC, dan hasil yang diperoleh yaitu APG yang memiliki
warna yang lebih terang dibandingkan tanpa penambahan sodium borohidrat.
Lueders (1991), melakukan penambahan arang aktif 1–10% sebelum dan
sesudah proses destilasi dan diperoleh APG yang lebih cerah pada penambahan
sebelum proses distilasi. Namun karena sifat arang aktif yang hidrofobik maka
akan mengurangi sifat nonpolar dari surfaktan (Rosu 2007)
2.2.4 Distilasi
Tahapan distilasi bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak
ikut bereaksi. Proses distilasi ini memerlukan suhu tinggi dan tekanan rendah
untuk memisahkan/menguapkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi. Proses
distilasi ini dapat dilakukan pada suhu sekitar 140-180 OC dengan tekanan vakum,
tergantung alkohol lemak yang digunakan. Semakin panjang rantai alkohol lemak
maka semakin tinggi suhu dan semakin rendah tekanan yang dibutuhkan.
Pada tahapan destilasi diharapkan memperoleh kandungan alkohol lemak
sekecil mungkin pada produk APG yaitu kurang dari 5% dari berat produk.
Kelebihan alkohol lemak yang tidak bereaksi pada produk akan mengurangi
efektifitas kerja dari surfaktan APG.
Hasil akhir proses distilasi akan diperoleh produk surfaktan APG kasar
berbentuk pasta yang berwarna kecoklatan dan berbau kurang enak. Oleh karena
itu perlu dilakukan proses pemurnian untuk memperoleh APG yang memiliki
penampakan yang lebih baik dan bau yang tidak terlalu menyengat.
2.2.5 Pemucatan (bleaching)
Proses pemurnian APG terdiri dari beberapa tahap yaitu : tahap netralisasi,
distilasi, pelarutan dan tahap pemucatan serta isolasi produk (Buchanan et al.
2000). Proses pemucatan merupakan tahapan akhir dari sintesis APG untuk
menghasilkan APG dengan penampakan dan bau yang lebih baik. Proses
pemucatanan dilakukan dengan menambahkan larutan H2O2 dengan penambahan
air dan NaOH yang dilakukan pada suhu 80-90 OC selama 30-120 menit pada
tekanan normal (Hill et al. 2000).
Buchanan et al. (2000) menyatakan bahwa warna gelap produk surfaktan
APG dapat terjadi selama proses sintesis yang disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu:
1.
Suhu pemanasan yang tinggi dan tidak terkontrol pada tahapan distilasi,
sehingga menimbulkan kerusakan warna dan kegosongan pada produk
yang terjadi selama distilasi.
2.
Penggunaan katalis asam pada proses sintesis. Pemilihan katalis ini
merupakan titik kritis terhadap warna dari produk akhir APG.
3.
Turunan furan dengan warna yang gelap yang tinggi seperti furfuraldehid.
Turunan furan ini dihasilkan pada proses dehidrasi monosakarida oleh
katalis asam kuat.
4.
Logam seperti Fe, Ca, dan Mn akan menimbulkan warna yang tidak
diinginkan dalam produk APG.
2.2.6 Bahan Pemucat
Bahan pemucat (bleaching agents) merupakan suatu bahan yang dapat
memucatkan atau memudarkan warna suatu substrat melalui proses fisika dan
kimia. Proses ini melibatkan proses oksidasi, reduksi, atau adsorpsi yang
membuat bagian-bagian yang berwarna pada substrat menjadi lebih larut atau
diserap sehingga mudah dihilangkan selama proses pemucatan. Pemucatan dapat
juga melibatkan proses kimia yang mengubah kemampuan bagian molekul
berwarna untuk menyerap cahaya, yaitu dengan mengubah derajat ketidakjenuhan
(Kirk dan Othmer 1985).
Pemucatan dengan bahan kimia pada umumnya dibagi dua macam
pemucatan, yaitu pemucatan dengan proses oksidasi dan pemucatan dengan reaksi
reduksi. Pemucatan dengan menggunakan bahan kimia banyak digunakan karena
lebih baik dibandingkan dengan menggunakan adsorben. Keunggulan penggunaan
bahan kimia sebagai bahan pemucat adalah karena hilangnya sebagian produk
dapat dihindarkan dan zat warna diubah menjadi zat yang tidak berwarna yang
tetap tinggal dalam produk (Djatmiko dan Ketaren 1985)
Bahan kimia yang berfungsi sebagai pemucat/pemutih disebut bleaching
agents, seperti hidrogen peroksida, ammonium persulfat, azodicarbonamide,
CaSO4, TiO2, dll. Dalam penggunaannya, efek pemutihan yang cukup baik hanya
diperoleh dengan menggunakan pelarut hidrogen peroksida (H2O2) yang cukup
kuat.
Hidrogen peroksida (H2O2) tidak berwarna, berbau khas agak keasaman,
dan larut dengan baik dalam air. Mayoritas penggunaan hidrogen peroksida
adalah dengan memanfaatkan dan merekayasa reaksi dekomposisinya, yang
intinya menghasilkan oksigen. Hidrogen peroksida biasa digunakan sebagai
bleaching agent pada industri pulp, kertas dan tekstil. Senyawa ini juga biasa
dipakai pada proses pengolahan limbah cair, industri kimia, pembuatan deterjen,
makanan dan minuman, medis, serta industri elektronika (pembuatan PCB).
Hidrogen peroksida bersifat oksidator dan akan merusak ikatan rangkap pigmen
menjadi komponen yang tidak berwarna. Aktivitas ini meningkat dengan semakin
meningkatnya konsentrasi H2O2.
Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator
yang lainnya adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan
residu yang berbahaya. Kekuatan oksidatornya pun dapat diatur sesuai dengan
kebutuhan. Dalam industri APG hidrogen peroksida dibutuhkan dengan
konsentrasi 30% (Buchanan et al. 1998). Penggunaan hidrogen peroksida biasa
dikombinasikan dengan NaOH. Semakin basa, maka laju dekomposisi hidrogen
peroksida pun semakin tinggi.
Hidrogen peroksida dalam kondisi asam sangat stabil, sedangkan pada
kondisi basa sangat mudah terurai. Peruraian hidrogen peroksida juga dipercepat
dengan naiknya suhu. Zat reaktif dalam sistem pemucatan dengan hidrogen
peroksida dalam suasana basa yaitu anion perhidroksil (HOO -). Anion yang
terbentuk berasal dari penambahan alkali dan terjadi reaksi sebagai berikut :
H2O2 + HO- ↔ HOO- + H2O
Ion HOO- inilah yang mempunyai peran aktif didalam proses pemutihan.
Namun jika terdapat logam transisi seperti Fe, Mn, Mg dan Cu, dekomposisi
hidrogen peroksida dalam larutan basa berlangsung menurut reaksi berikut :
H2O2 + HO2 → H2O + O2 + HO
Pada proses pemucatan diharapkan yang terjadi pada persamaan reaksi yang
pertama karena menghasilkan ion HOO - sedangkan dengan adanya logam transisi
maka dekomposisi hidrogen peroksida akan diarahkan mengikuti persamaan
reaksi yang kedua. Pada reaksi yang kedua proses pemucatan berlangsung dengan
memberikan efek oksidasi dengan terbentuknya senyawa O2 namun daya
pemucatannya kurang efektif jika dibandingkan dengan persamaan pertama
(Fuadi dan Sulistya 2008)
2.2.7 Katalis
Pemilihan katalis pada proses sintesa APG sangat menentukan keberhasilan
terbentuknya ikatan asetal serta memperpendek proses sintesa berlangsung.
Katalis-katalis asam yang dapat digunakan pada tahapan proses asetalisasi
meliputi :
1.
Asam anorganik: asam fosfat, asam sulfat, asam klorida, dll.
2.
Asam organik: asam triflouroasetat, asam p-toluena sulfonat, asam
sulfosuksinat, asam kumena sulfonat, asam lemak tersulfonasi, ester asam
lemak tersulfonasi, dll.
3.
Asam dari surfaktan: asam alkil benzena sulfonat, alkohol lemak sulfat,
alkoksilat alkohol lemak sulfat, alkil sulfonat rantai lurus, alkil ester dari
asam sulfosuccinat, alkil naphthalena sulfonat, dll.
Dari katalis tersebut diatas dipilih katalis organik asam p-toluena sulfonat,
karena katalis tersebut cenderung bersifat organik dan dapat terurai serta berupa
asam lemah. Jika menggunakan asam kuat, kemungkinan asam akan bereaksi
dengan menghidrolisa glukosa. Penggunaan asam lemah juga akan memudahkan
dalam proses netralisasi. Selain itu asam p-toluena sulfonat juga bersifat tidak
korosif terhadap pipa besi ataupun stainless steel (Hill 2000).
Buchanan et al. (2000), menentukan katalis asam yang digunakan dalam
proses butanolisis dengan perbandingan rasio mol/mol katalis yaitu 0,018 – 0,036.
Sedangkan untuk reaksi transasetalisasi ditambahkan katalis kira-kira 25-50% dari
berat katalis pertama.
2.2.8 Natrium Borohidrat (NaBH4)
Natrium borohidrat dikenal juga sebagai natrium tetrahidroborat, merupakan
senyawa pereduksi anorganik dengan rumus NaBH4. Senyawa ini berbentuk padat
berwarna putih, biasa terdapat berbentuk serbuk ataupun granula. Kegunaan
senyawa ini sangat luas baik dalam skala laboratorium maupun skala teknis.
Sebagian besar digunakan dalam pemucatan pulp kayu. Berat molekul NaBH4
yaitu 37,83 mol/g, dan nilai densitas 1,0740 g/cm3 . NaBH4 biasa digunakan untuk
mengubah gugus aldehid dan keton menjadi gugus alkohol (Anonim 2010b).
Himakumar et al. (2006) menyatakan bahwa NaBH4 merupakan senyawa
pereduksi yang menyimpan unsur hidrogen, dan bereaksi dengan air untuk
menghasilkan sejumlah hidrogen. Reaksi NaBH4 dan air dapat dilihat pada
persamaan reaksi berikut:
NaBH4 + 4H2O → NaBO2.2H2O + 4 H2 + 300 kl
Sejumlah H2 yang dihasilkan dari reaksi tersebut digunakan untuk
mengubah gugus aldehid pada glukosa ataupun gugus keton pada fruktosa
menjadi sorbitol. Sorbitol diketahui lebih tahan pada suhu tinggi sehingga pada
proses destilasi yang menggunakan suhu 140-180 OC sorbitol tidak mengalami
kerusakan hingga penbentukan warna gelap dapat dihindari. McCurry et al
(2000), menambahkan 1 g NaBH4 pada setiap 10-20 g kelebihan glukosa yang
tidak bereaksi.
Reaksi pembentukan gugus alkohol dari gugus aldehid ataupun keton
dengan menggunakan NaBH4 dapat juga dimulai dengan ionisasi NaBH4 menjadi
Na+ + (BH4)- . Mula-mula salah satu atom H dari BH4 mendekati ikatan rangkap
C=O. salah satu ikatan akan bergeser ke O sehingga atom H akan berikatan
dengan C. Atom O - akan mengikat salah satu atom H dari air hingga membentuk
gugus alkohol. Secara simultan gugus BH3- mampu berikatan dengan atom O+
(Fox dan Whitesell 1994) Proses ini dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Reaksi perubahan gugus aldehid/keton menjadi gugus alkohol dengan
pereduksi NaBH4 (Fox dan Whitesell 1994).
2.2.9 Arang Aktif
Arang aktif dibuat dengan mengaktifasi arang dengan tujuan untuk
memperbesar luas permukaan arang dengan membuka pori-pori yang tertutup,
sehingga memperbesar kapasitas adsorpsi terhadap zat warna. Mutu arang aktif
yang diperoleh tergantung dari luas permukaan partikel, ukuran partikel, volume
dan luas penampung kapiler, sifat kimia permukaan arang, sifat arang secara
alami, jenis bahan pengaktif yang digunakan dan kadar air.
Daya adsorpsi arang aktif disebabkan karena arang mempunyai pori-pori
dalam jumlah besar, dan adsorpsi akan terjadi karena adanya perbedaan energi
potensial antara permukaan arang dan zat yang diserap. Arang aktif sebagai bahan
pemucat lebih efektif untuk menyerap warna dibandingkan dengan bleaching
clay (Ketaren 2005).
Luders (1991), melakukan penambahan arang aktif sebesar 1–10% setelah
proses netralisasi APG pada suhu 40-100
O
C. arang aktif dipisahkan dengan
perlakuan sentrifugasi dan dilanjutkan dengan penyaringan. Penggunaan arang
aktif sebaiknya menggunakan yang berbentuk serbuk karena memiliki daya serap
yang lebih bagus dibandingkan dengan arang aktif yang berbentuk granula,
namun penggunaan arang aktif serbuk dapat menyisakan partikel-partikelnya pada
produk yang dihasilkan.
2.2.10 Proses Pencoklatan
Proses karamelisasi yang terjadi pada proses sintesis APG merupakan reaksi
pencoklatan non enzimatis yang melibatkan degradasi gula karena pemanasan
(Mathur 1978). Tanpa melibatkan reaktan yang mengandung nitrogen seperti
protein dan asam amino (Putra 1990). Karamelisasi memberikan warna mulai dari
kuning hingga coklat tua hingga warna gelap selama peningkatan suhu
(Broadhursh 2002).
Proses karamelisasi terbagi menjadi tiga tahap yaitu (1) tahap 1,2 enolisasi,
(2) tahap dehidrasi, dan (3) tahap pembentukan pigmen. Pada tahap pertama
menghasilakn 1,2 enediol. Reaksi ini akan lebih cepat pada pH basa. Tahapan
kedua dapat terjadi melalui tahapan dehidrasi (pelepasan air) atau reaksi fisi
(pemecahan). Dehidrasi terjadi pada pemanasan gula dalam suasana asam, yaitu
pada nilai pH dibawah 6,4 dan mencapai maksimal pada nilai pH dibawah 3.
Setelah reaksi dehidrasi maka terbentuk senyawa 4-hidroksimetil-2-furfuraldehida
yang merupakan senyawa prekursor dari pigmen coklat (Shallenber dan Birch
1975).
Menurut Aida (2007), pembentukan furfural dari D-glukosa diawali dengan
pembentukan 1,2 enediol, kemudian terbentuk D-Fruktosa dan dilanjutkan
pembentukan 3-Ketose. Setelah itu terbentuk arabinosa yang terdehidrasi
mengeluarkan H2O hingga menjadi furfural. Skema proses perubahan glukosa
menjadi furfural dapat dilihat pada Gambar 5.
Pada keadaan asam encer, monosakarida bersifat relatif stabil dan pada
penambahan asam kuat akan terhidrasi menjadi furfural atau hidroksi metil
furfural. Pada penambahan alkali encer monosakarida dapat mengalami isomerasi
atau terbentuk senyawa yang lebih pendek D-manosa dan D-1-fruktosa. Sedang
pada penambahan alkali kuat enediol dapat berubah menjadi formaldehid atau
pentosa (Winarno 1992). Proses dehidrasi pelepasan H2O pada gula heksosa
membentuk turunan-turunan furfuraldehida, misalnya hidroksil metil furfural
(HMF).
Gambar 5 Proses perubahan D-Glukosa menjadi HMF (Aida 2007)
2.3 Bahan Baku Alkil poliglikosida
2.3.1 Alkohol lemak
Alkohol lemak dapat diperoleh dari sumber
petrokimia (alkohol lemak
sintetik) maupun dari sumber minyak dan lemak nabati. Alkohol lemak yang
digunakan dalam sintesis APG berfungsi untuk membangun gugus hidrofobik.
Alkohol lemak alami dapat diperoleh setelah melalui proses transesterifikasi dan
fraksinasi lemak dan minyak (trigliserida) kemudian di hidrogenasi (Noerdin
2008).
Alkohol lemak utamanya digunakan sebagai bahan intermediates, di eropa
barat hanya 5% yang digunakan secara langsung dan kira-kira 95% dimanfaatkan
dalam bentuk turunannya. Pemanfaatan alkohol lemak untuk pembuatan surfaktan
kira-kira sebesar 70-75% (Presents 2000). Lebih dari dua per tiga atau sekitar
80% dari jumlah alkohol lemak yang diproduksi digunakan sebagai bahan baku
pembuatan surfaktan. Sebagai bahan baku surfaktan alkohol lemak mampu
bersaing dengan produk turunan petroleum seperti alkilbenzena. Selain karena
surfaktan yang dihasilkan bersifat lebih stabil, juga harganya lebih murah jika
dibandingkan dengan surfaktan turunan petroleum (Kirk dan Othmer 1963).
Alkohol mampu mengadisi ikatan C=O (aldehid/keton), gugus OR akan
melekat pada karbon dan proton akan melekat pada oksigen. Aldehid dapat
bereaksi dengan alkohol membentuk hemiasetal. Sedangkan keton dapat bereaksi
dengan
alkohol
membentuk
hemiketal.
Mekanisme
pembentukan
hemiasetal/hemiketal melibatkan tiga langkah. Pertama oksigen karbonil (C=O)
diprotonasi oleh katalis asam, kemudian oksigen alkohol menyatu dengan karbon
karbonil, dan proton dilepaskan dari oksigen positif yang dihasilkan (Hart 2003).
Alkohol
lemak
C12
lebih
dikenal
dengan
nama
alkohol
lauril
(dodekanol/dodecy alcohol) dengan rumus bangun C12H26O, bobot molekul 186,6
mol/g, densitas 0,8309 dan titik didih sekitar 259 OC, tidak berwarna dan tidak
larut dalam air.
2.3.2 Sumber Karbohidrat
Gugus Hidrofilik dari molekul APG berasal dari karbohidrat. Untuk proses
sintesis sumber karbohidratnya dapat bersumber dari pati atau dari glukosa.
Pemilihan bahan baku tidak hanya mempengaruhi biaya bahan baku, tetapi juga
biaya produksi. Pemilihan penggunaan bahan baku gula akan meningkatkan biaya
bahan baku, tetapi dapat menurunkan biaya produksi karena peralatan yang
digunakan lebih sedikit (Gambar 6) (Eskuchen dan Michael 1997).
Pati merupakan polisakarida yang tersusun oleh unit-unit D-glukosa yang
dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan APG karena lebih praktis, mudah
didapatkan dan lebih murah jika dibandingkan dengan penggunaan D-glukosa.
Pati dari sereal, umbi-umbian ataupun dari biji-bijian dalam bentuk granula pati
dengan diameter sekitar 10-100 µm. Pati terdiri dari gugus amilosa dan
amilopektin dalam bentuk kristal dengan kandungan air sekitar 10%. Amilosa
adalah polisakarida dimana unit-unit D-glukosa tergabung pada ikatan glikosida
α(1,4). Amilopektin merupakan polisakarida yang memiliki rantai cabang yang
menyusun unit D-glukosa pada ikatan glikosida α(1,4) dan α(1,6) pada
percabangannya. Proses alkoholisis pati menjadi alkil glikosida membutuhkan
kondisi yang lebih ekstrim jika dibandingkan dengan proses glikosidasi Dglukosa. Alasannya karena struktur makromolekul pati terdiri dari amilopektin
dan amilosa yang dapat menghambat kemampuan mengembang pati dalam
alkohol, khususnya alkohol hidrofobik.
Peralatan mahal
Harga bahan baku mahal
PATI
Low DE
Syrup Deksrosa
Low DE
Syrup Deksrosa
Dua Tahapan Proses
Glukosa
Monohydrate
GLUKOSA
Satu Tahap Proses
1. Butanolisis
2. Transasetalisasi
Asetalisasi
Alkyl Polyglicoside (APG)
Gambar 6 Pemilihan karbohidrat dalam industri APG (Eskuchen dan Michael
1997).
Hill (2000) menggambarkan proses alkoholisis pati menggunakan metanol
dalam reaktor tubular bertekanan dan bersuhu tinggi. Pati dicampurkan dengan
metanol, dan katalis dengan rasio 6,8 mol metanol dan 0,005 mol p-toluene
sulfonic acid per mol glukosa direaksikan dalam reaktor dengan suhu 167 OC
selama 8 menit menghasilkan produk yang terdiri dari sekitar 77% metil
monoglucosides
(45%
metil
α-D-glukopiranosida,
27%
metil-β-D
glukopiranosida, 5% metil α/β-D-glukofuranosida), 14% metil diglukosida, 3%
metil triglukosida, dan <1% oligomer lainnya.
2.3.3 Tapioka
Tapioka merupakan pati yang berasal dari ubi kayu. Kadar pati ubi kayu
cukup besar, yaitu 25-35%. Salah satu ciri khas dari tapioka yaitu kandungan
lemak dan proteinnya yang rendah dibandingkan dengan pati jenis lain. Tabel 3
menunjukkan syarat mutu dari tapioka. Besarnya potensi pati ubi kayu ini juga
didukung dengan besarnya produksi ubi kayu di Indonesia. Produktifitas ubi kayu
Indonesia pada tahun 2000 adalah 125 kw/ha dan pada tahun 2004 sebesar 155
kw/ha. Hal ini menunjukkan terjadinya kenaikan sebesar 32%. Sedangkan ratarata pertumbuhan produktivitas dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 adalah
sebesar 30%. Ditahun 2008 produksi ubi kayu Indonesia mencapai 20 juta ton
(Anonim 2009). Berdasarkan struktur kimia, tapioka adalah polimer glukosa yang
terdiri atas rantai lurus amilosa (20-25%) dan rantai cabang amilopektin (7580%).
Tabel 3 Syarat mutu tapioka (Miller 2009)
Kandungan
Air (% maksimum)
Pati (%minimum)
Abu (% maksimum)
pH
Sulfur dioksida (ppm)
Sianida (ppm)
Jumlah
13
85
0,2
5–7
30
0
Download