ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL

advertisement
 UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN GANGGUAN
SISTEM PERSARAFAN DI RSUPN
Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO
JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR
Oleh:
EVA DWI RAMAYANTI
0906656871
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKALBEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
DEPOK
JANUARI, 2013
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN GANGGUAN
SISTEM PERSARAFAN DI RSUPN
Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO
JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR
Diajukan sebagai sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Oleh:
EVA DWI RAMAYANTI
0906656871
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKALBEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
DEPOK
JANUARI, 2013
I
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan
Rahmat dan Hidayah-Nya penulis akhirnya mampu menyelesaikan “Analisis Praktek
Residensi Keperawatan Medikal Bedah Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan Di
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
Dalam pembuatan laporan pengkajian ini penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan
dan motivasi dari semua pihak, untuk itu penulis menyampaikan rasa terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Dewi Irawati, M.A, PhD. selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia
2. Lestari Sukmarini, MNS selaku Koordinator Mata Ajar Residensi Keperawatan
Medikal Bedah.
3. Prof. Elly Nurachmah, DNSc, selaku Supervisor Utama Praktek Residensi yang telah
memberikan bimbingan, arahan serta motivasi hingga penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah akhir ini
4. I Made kariasa S.Kep., Ns. M.Kep Sp. KMB selaku supervisor Praktek Residensi
Keperatawatan Medikal Bedah Kekhususan Neurologi
5. Enni Mulyatsih S.Kep M.Kep Sp. KMB selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan keilmuan dan mroil selama menjalani praktek Residensi di
RSUPN Cipto Mangunkusumo dan pembuatan karya ilmiah akhir.
6. Seluruh tim supervisor Residensi KMB Kekhususan Neurologi
7. Direktur RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan Manager ruang rawat Gedung
A yang telah memberikan izin dalam praktek residensi ini
8. Kepala Ruangan, Wakil Kepala Ruangan serta perawat pelaksana di ruang Neurologi
Lantai V Gedung A RSUPN Cipto Mangunkusumo atas kerjasama dan
kebersamaannya selama menjalankan praktik residensi.
V Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
9. Jajaran Pimpinan Universitas Kadiri-Kediri yang telah memberikan izin untuk
melanjutkan pendidikan Program Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah di
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
10. Orang tua, saudara dan keluarga yang selalu memberikan dukungan moril dan materil
kepada penulis selama mengikuti Program Ners Spesialis hingga selesainya karya
ilmiah ini.
11. Teman-teman Program Ners Spesialis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia Angkatan 2011, atas kebersamaannya selama ini.
12. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan
dan motivasi kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam dalam pembuatan laporan ini masih banyak kekurangannya,
untuk itu saran dan kritik membengun demi perbaikan karya ilmiah ini sangat penulis
harapkan. Akhir kata atas perhatiannya, penulis sampaikan terima kasih.
Depok, Januari 2013
Penulis,
V Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
PRAKTIK KLINIK LANJUT-KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien dengan
Gangguan Sistem Persarafan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
Eva Dwi Ramayanti
Januari 2013
Abstrak
Praktek klinik dilakukan dengan memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan sistem persarafan menggunakan Model adaptasi Roy. Asuhan keperawatan
kelolaan diberikan pada pasien dengan Meningtis-Ensefalitis Tuberculosa. Pengkajian
keperawatan menunjukkan masalah pada mode adaptasi fisiologi, yaitu: ketidakefektifan
perfusi jaringan serebri. Intervensi keperawatan ditujukan untuk meningkatkan adaptasi
pasien dalam meningkatkan perfusi jaringan serebri. Peran sebagai peneliti dan pendidikan
dilakukan dengan menerapkan Evidance Based Nursing: memberikan back massage: cooper
model yang setelah pelaksanaan terbukti mampu mencegah kejadian ulkus decubitus. Peran
praktikan sebagai inovator, dilakukan dengan mengaplikasikan kegiatan inovasi Bladder
training pada pasien yang terpasang kateter urin. Dengan hasil evaluasi bahwa bladder
training mampu meninngkatkan kemampuan berkemih pasien dan mencegah pemasangan
kateter urin yang tidak perlu.
Kata kunci: Model adaptasi Roy, Meningitis Ensefalitis Tuberculosa, Back Massage: cooper
models, Bladder training
viii
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
CLINICAL PRACTICE-MEDICAL SURGICAL NURSING
FACULTY OF NURSING
UNIVERSITY OF INDONESIA
Analysis of Medical Surgical Nursing Clinical Practice of Residency on
Patients with Neurological System Disorder in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital,
Jakarta
Eva Dwi Ramayanti
Januari 2013
Abstract
The clinical practice is conducted by providing nursing care for patients with nervous system
disorders by using Roy Adaptation Model. Nursing care focus is given to patients with
meningitis-encephalitis Tuberculosa. Nursing assessment indicates a problem on the mode of
adaptation physiology, which are: ineffective cerebral tissue perfusion. Nursing interventions
are aimed to improve patient adaptation in increasing cerebral tissue perfusion. Role as a
researcher and education is conducted by application of Evidence based nursing: giving back
massage: cooper model as implementation to prevent decubitus ulcers. Practitioner role as an
innovator is done by applying the Bladder training to patients with a urinary catheter inserted.
With the results of the evaluation that bladder training is able to increase voiding ability of
patients and prevent unnecessary use of urinary catheters.
Keywords:Roy’s Adaptation Theory, Meningitis Ensefalitis Tuberculosa, Back Massage:
cooper models, Bladder training
ix
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
Hal
.
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………...
HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………………………...
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS....................................................
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................
KATA PENGANTAR.............................................................................................
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...............................
ABSTRAK ……………………………………………………………………......
ABSTRACT...........................................................................................................
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………...
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………...
DAFTAR SKEMA ……………………………………………………………......
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………...
i
ii
iii
iv
v
vii
viii
ix
x
xii
xiii
xiv
BAB 1 : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………...
1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………………….......
1.4. Manfaat Penelitian ……………………………………………….....
1
5
5
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Meningitis Ensefalitis..……………………………..........................
2.1.1 Definisi.....................................................................................
2.1.2 Klasifikasi.................................................................................
2.1.3 Etiologi......................................................................................
2.1.4 Patofisiologi...............................................................................
2.1.5 Manifestasi Klinis.....................................................................
2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik............................................................
2.1.7 Komplikasi.................................................................................
2.1.8 Penatalaksanaan Medis.............................................................
7
7
7
8
9
12
13
14
15
2.2. Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy...........................................
2.2.1 Gambaran Model Adaptasi Roy................................................
2.2.2 Asuhan Keperawatan Berdasarkan Model Adaptasi Roy.........
2.2.2.1 Pengkajian Perilaku dan Stimulus....................................
2.2.2.2 Diagnosa Keperawatan....................................................
2.2.2.3 Tujuan Keperawatan.......................................................
2.2.2.4 Intervensi keperawatan....................................................
2.2.2.5 Evaluasi...........................................................................
16
16
21
21
36
42
44
45
x Ramayanti, FIK UI, 2013
Analisis praktik ..., Eva Dwi
Universitas Indonesia
BAB 3 : ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN METB
3.1. Gambaran asuhan keperawatan pasien METB..................................
3.1.1 Pengkajian perilaku dan Stimulus.............................................
3.1.2 Diagnosa Keperawatan..............................................................
3.1.3 Rencana Asuhan Keperawatan..................................................
3.1.4 Implementasi Keperawatan.......................................................
3.2.5 Evaluasi....................................................................................
3.1.6 Pembahasan................................................................................
50
50
62
62
62
66
77
3.4 Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Kasus Resume...........
3.1.1 Pengkajian perilaku dan Stimulus.............................................
3.1.2 Diagnosa Keperawatan.............................................................
3.1.3 Tujuan intervensi......................................................................
3.1.4 Rencana Asuhan Keperawatan..................................................
3.1.5 Implementasi Keperawatan......................................................
3.1.6 Evaluasi....................................................................................
102
106
121
121
122
123
123
BAB 4 : PENERAPAN EVIDANCE BASED NURSING PADA KLIEN
DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN
4.1. Hasil Jurnal reading..................... ………………………………...
4.2 Praktek Berdasarkan Pembuktian.....................................................
4.3 Hasil Pelaksanaan EBN...................................................................
4.4 Pembahasan.......................................................................................
126
130
132
134
BAB 5 : KEGIATAN INOVASI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN
NEUROLOGI
5.1 Analisis situasi ………………………………...................................
5.2 Kegiatan Inovasi ……………………………………………….........
5.3 Pembahasan.........................................................................................
143
148
149
BAB 6 : SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan …………...…………………………………………….
154
6.2 Saran …………...…………………………………………………… 155
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
x Ramayanti, FIK UI, 2013
Analisis praktik ..., Eva Dwi
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 2.1 Rencana Asuhan Keperawatan Pada Pasien METB Dengan Penerapan Teori
Keperawatan Model Adaptasi Roy ....................................................................... 46
Tabel 3.1 Rencana Asuhan Keperawatan Stroke Iskemik pada Tn. M dengan
Pendekatan Model Adaptasi Roy ......................................................................... 67
xii
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Format Pengkajian Keperawatan dengan Pendekatan TeoriAdaptasi Roy
Lampiran 2. Evaluasi Keperawatan Tn.M dengan METB
Lampiran 3. Resume Keperawatan pada Gangguan Sistem Persarafan
Lampiran 4. SOP Back Massage : Coopers Model
Lampiran 5. Format pengkajian resiko decubitus menggunakan skala Norton
Lampiran 6. Lembar observasi pelaksanaan EBN: back massage (coopers model)
Lampiran 7. Dokumentasi Foto Pelaksanaan EBN
Lampiran 8. Satuan Acara Penyuluhan dan leaflet
Lampiran 9. Riwayat Hidup Penulis
xiv
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem persarafan merupakan salah satu sistem organ dalam tubuh manusia yang dapat
mempertahankan dan mendukung
interaksi antara tubuh dengan lingkungan serta
mempertahankan aktivitas organ internal (Dillon, 2007). Gangguan pada sistem persarafan
akan muncul bila sel saraf mengalami nekrosis neuron akibat tidak mendapatkan oksigen 3-4
menit (Faller & Schuenke, 2004). Ketidak adekuatan transport oksigen pada otak disebabkan
oleh iskemik, kelainan genetik, tumor, penyakit degeneratif, trauma, perdarahan dan kelainan
elektrolit. Penyebab lain dapat terjadi karena obat-obatan, toksin, radiasi, inflamasi dan
infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri maupun autoimmun (Silbernagl & Lang, 2006).
Gangguan pada sistem persarafan akan menimbulkan manifestasi yang beragam, meliputi
nyeri kepala, gangguan kesadaran, kejang epileptik umum, sindrom mental organik,
meningism, tanda peningkatan tekanan intrakranial. Tanda dan gejala lokal termasuk defisit
neulogis fokal, defisit neuropsikologis, gangguan visual, gangguan saraf kranial dan kejang
epileptik fokal (Mumenthaler & Mattle, 2004). Manisfestasi klinis pada pasien dengan
gangguan sistem persarafan mempengaruhi semua aspek pada manusia seperti: sensorik,
motorik, kognitif, bahasa. Luasnya defisit neurologi tersebut membuat angka morbiditas dan
mortalitas penyakit ini meningkat. Kelemahan pada sistem saraf membuat
tingginya
kecacatan yang berdampak pada tingginya ketergantungan pasien terhadap orang lain
termasuk petugas kesehatan.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2009 gangguan sistem persarafan
menempati urutan kedua penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Penyakit gangguan
sistem persarafan dapat menyebabkan kerusakan atau kecacatan permanen (Lynch et al.,
2005). Dengan demikian dapat diketahui bahwa penyakit gangguan sistem persarafan
membutuhkan perawatan yang lama dengan menejemen penanganan yang kompleks. Adanya
gejalan sisa atau kecacatan membuat penyakit pada gangguan sistem persarafan
membutuhkan program rehabilitasi. Dengan demikian bisa dimaklumi bahwa pasien dengan
penyakit pada gangguan sistem persarafan akan membutuhkan biaya dan waktu yang lebih
banyak dalam masa perawatan di Rumah Sakit.
1
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
2 Asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat sangat mempengaruhi kualitas layanan
yang akan diterima oleh pasien. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan dengan menerapkan berbagai peran perawat spesialis. Perawat spesialis
memberikan perawatan langsung kepada pasien secara holistik, mengembangkan inovasi
untuk perawatan yang berkualitas, memberikan pendidikan kepada pasien dan staff serta
menggunakan teori dan penelitian dalam rangka mengembangkan proses asuhan
keperawatan. Peran sebagai perawat spesialis pada pasien dengan gangguan sistem persarafan
dilakukann dengan menjalankan fungsi sebagai: edukator, consultan, researcher dan change
of agent. Peran ini akan diwujudkan praktikan dalam menjalankan tugas residensinya dalam
bentuk: mengelola dan memberikan asuhan keperawatan, pelaksanaan evidance based
nursing dan penerapan inovasi pada pasien dengan gangguan sistem persarafan.
Dalam menjalankan peranya sebagai pemberi asuhan keperawatan, praktikan mengelola salah
satu kasus dalam penyakit gangguan sistem persarafan yaitu: Meningitis-ensefalitis
Tuberculosa. Meningitis Tuberkulosa (METB) peradangan pada selaput meningen, cairan
serebro spinal, dan spinal kolumna yang menyebabkan proses peradangan pada sistem saraf
pusat (Suriadi, 2001) merupakan salah satu manifestasi dari penyakit Tuberculosa (TB) yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang menyerang sistem saraf pusat.
Morbiditas dan mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Kejadian meningitis
TB bervariasi tergantung pada tingkat sosio-ekonomi, kesehatan masyarakat, umur, status
gizi dan faktor genetik yang menentukan respon imun seseorang (Price Wilson, 2006.
Meningitis TB harus diwaspadai insidensinya seiring dengan meningkatnya angka penderita
tuberkulosis. Karena diperkirakan sekitar 1 sampai 10% dari seluruh kejadian infeksi
tuberkulosis mengenai susunan saraf pusat (SSP), baik berupa tuberkuloma pada parenkim
otak maupun sebagai meningitis (Arvanitaksis, 1998). Sedangkan menurut Lindsay (1997 :
474) angka kejadian meningitis adalah 10% dari jumlah penderita.
Berbagai permasalahan pada klien dengan meninginitis dan encepalitis muncul sebagai efek
dari gangguan neurologi akibat infeksi dan herniasi pada otak seperti kelemahana atau parese
pada ekstremitas, peningkatan TIK, gangguan eliminasi, nyeri kepala, demam dll. Meningitis
tuberkulosa merupakan salah satu penyakit tuberkolosa, yang mempunyai morbiditas dan
mortalitas tinggi, dengan prognosis buruk. Walaupun pengobatan saat ini telah maju, gejala
sisa dari meningitis tuberkulosa masih sering ditemukan, dan mortalitasnya masih cukup
tinggi. Sejak tahun 1930-1953, Koch dan carson menemukan 23% kasus meningitis
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
3 tuberkulosa dari 248 kasus meningitis bacterial. Menurut auerbach, insidens meningitis
tuberkulosa sebanyak 42,2% dari 97 pasien yang meninggal karena tuberkulosa. Berbagai
modalitas dapat digunakan untuk mengatasi problem tersebut.
Kompleksitasnya perawatan pada pasien dengan METB menuntut seorang perawat untuk
mampu mengetahui sejauh mana keterbatasan yang dialami oleh klien akibat defisit neurologi
serta mampu mengkaji kemampuan adapatasi dari klien sehingga intervensi keperawatan
yang efektif dan effisien bisa diberikan secara holistik. Perawat harus mampu
mengembangkan asuhan keperawatan yang tidak hanya mampu menangani kondisi fisik
namun juga psikologis, mampu mengkaji dan mengintervensi kondisi klien utamanya pada
status neurologi. Lebih dari itu asuhan keperawatan yang diberikan mampu membantu klien
dan keluarga mencapai mekanisme koping yang adapatif dalam menjalani masa perawatan.
Untuk mencapai perubahan perilaku yang adapatif tersebut maka asuhan yang diberikan
berpedoman pada teori keperwatan Model Adaptasi “Roy”(Alligood& Tomey, 2006).
Toeri Model adaptasi Roy merupakan salah satu teori keperawatan yang dikembangkan oleh
Sister Callista Roy pada tahun 1970. Teori ini memandang pasien sebagai suatu sistem
adapatasi, yang bersifat holistik dimana pasien akan dipandang sebagai satu kesatuan dengan
lingkungan, saling berinteraksi secara konstan dengan perubahan lingkungan. Model
konseptual ini berpusat pada kemampuan seseorang dalam berespon secara efektif terhadap
stimulus dari lingkungan dengan menggunakan sifat dasar dan pengalaman sebagai dasar
pemilihan dan pembentukan mekanisme koping yang ditampilkan. Teori ini menjelaskan
bagaimana individu/klien mampu meningkatkan kesehatannya dengan mempertahankan
perilaku secara adaptif dan merubah perilaku yang maladaptive (Roy, 2009). Untuk lebih
jelasnya pembahasan mengenai aplikasi teori keperawatan Roy dalam pemberian asuhan
keperawatan pada klien dengan METB diuraikan dalam BAB 3.
Selain memberikan asuhan keperawatan, penulis juga menjalankan peran sebagai peneliti
dengan menerapkan Evidence Based Nursing (EBN). Evidence Based Nursing merupakan
suatu proses sistematis yang menggunakan evidence terkini untuk mengatasi masalah
keperawatan pasien, meningkatkan kualitas asuhan keperawatan dan outcomes pasien
(Ackley, Ladwig, Swan, Tucker, 2008; Larrabee, 2009). Perawat spesialis dapat
menggunakan hasil penelitian untuk mengidentifikasi masalah yang dialami pasien dan
keluarga serta mengidentifikasi kebutuhan dengan meningkatkan kualitas keperawatan
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
4 berbasis bukti (evidence-based nursing) (LaSala, Connors,Pedro, & Phipps, 2007). Penerapan
EBN pada pasien defisit neurologi yang mengalami immobilisasi akibat parese dengan
memberikan back massage: coopers model untuk mencegah terjadinya Ulkus Decubitus.
Dekubitus merupakan kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari
penekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak sembuh dengan
urutan dan waktu yang biasa. Dekubitus disebabkan karena terjadinya penekanan pada area
kulit dalam waktu yang lama. Proses penekanan ini terjadi karena tidak adanya aktivitas pada
area kulit yang tertekan, sehingga menghambat perfusi pada area tertekan (Potter & Perry,
2005). Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti menunjukkan bahwa 6,5-9,4% dari
populasi umum orang dewasa yang dirawat dirumah sakit, menderita paling sedikit satu
dekubitus pada setiap kali masuk rumah sakit (Barbenel et al,1977; Jordan dan Nicol,1977;
David et al, 1983, dalam Morison, 2003). Pencegahan maupun perawatan klien dengan
decubitus merupakan salah satu bagian penting dari Patient Safety. Perawat mempunyai
peran penting untuk mencegah terjadinya dekubitus. Salah satunya dengan menggunakan
metode massage dengan menggunakan tekhnik: cooper model. Dalam metode ini perawat
memberikan massage melalui 5 tahapan yaitu: Efflurages,Prettige, Friction, Percusiion dan
Vibration.
Dalam menjalankan peranya sebagai inovator makan praktikan membuat kegiatan inovasi
sevcara berkelmopok. Inovasi merupakan suatu proses dengan menggunakan pendekatan
yang baru, tekhnologi ataupun metode yang baru dengan menggunakan alat, tekhnologi dan
proses melalui organisasi atau perilaku individu. (DENOSA, 2009). Inovasi yang dikerjakan
adalah pelaksanaan Blader training dengan dokumentasi mengguankan Bladder diary pada
pasien dengan gangguan neurologi yang terpasang kateter DC. Semua aktifitas bladder
trianing ini serta kemajuan berkemih klien setiap hari dicatat dalam format dokumentasi yang
disebut bladder diary. Tujuan dari pelaksanaan inovasi : Blader Trainning, untuk mengetahui
kemampuan berkemih pasien, menilai dan menetapkan perlu tidaknya pasien dipasang kateter
ulang, sehingga mengurangi risiko infeksi pada pasien akibat pemasangan kateter ulang serta
mampu meningkatkan pengetahuan keluarga dan pasien dalam perawatan utamanya dengan
inkontinensia urin. Penjelasan lebih jauh mengenai EBN dan inovasi akan diuraikan dalam
BAB 4 dan 5.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
5 Melihat semua urain diatas maka penulis bermaksud membuat laporan yang menguraikan
penerapan asuhan keperawatan dengan menggunakan teori keperawatan Model Adaptasi Roy
pada pasien yang mengalami gangguan neurologi yang dituangkan dalam bentuk laporan
dengan judul “Analisis Praktek Residensi Keperawatan Medikal Bedah Pada Pasien Dengan
Gangguan Sistem Persarafan Dengan Penerapan Teori Adaptasi Roy Di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta”.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1
Tujuan Umum
Memberikan gambaran umum pelaksanaan dan pengalaman praktik residensi dengan
menggunakan pendekatan teori keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien gangguan sistem persarafan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
1.2.2
Tujuan Khusus
a. Melakukan analisis terhadap penerapan asuhan keperawatan menggunakan Teori
Adaptasi Roy pada pasien gangguan sistem persarafan terutama pasien Meningitis
ensefalitis Tuberculosa di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
b. Melakukan analisis terhadap penerapan evidence based nursing pada pasien
gangguan sistem persarafan di ruang Neurologi Lantai V RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta
c. Melakukan analisis terhadap kegiatan inovasi keperawatan di ruang Neurologi
Lantai V RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
1.3 Manfaat Penulisan
Karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap pelaksanaan
pelayanan dan keilmuan keperawatan.
1.3.1. Manfaat Pelayanan Keperawatan
a. Memberikan wawasan dan pengalaman baru bagi perawat medikal bedah
khususnya di ruang neurologi dalam memberikan asuhan keperawatan mulai dari
pengkajian,
perencanaan,
intervensi
dan
evaluasi
keperawatan
dengan
menggunakan Teori Adaptasi Roy.
b. Menambah pengetahuan perawat dalam pemanfaatan hasil penelitian terbaru yang
dapat diaplikasikan sebagai suatu Evidance Based Nursing Practice.
c. Sebagai informasi dan saran bagi institusi pelayanan untuk tetap melakukan inovasi
dalam pemberian pelayanan sebagai upaya untuk meningtkan mutu kesehatan
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
6 1.3.2. Manfaat Keilmuan
Karya ilmiah ini diharapkan memberikan manfaat keilmuan sebagai berikut:
a. Memperkuat dukungan teori keperawatan, memperkaya ilmu pengetahuan
keperawatan, menambah wawasan dan pengetahuan bagi perawat dan mahasiswa
dalam departemen keperawatan medikal bedah dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien gangguan sistem persarafan.
b. Rujukan bagi institusi pendidikan dalam proses belajar mahasiswa keperawatan
tentang penggunaan teori keperawatan dalam asuhan keperawatan.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN TEORI
Bab ini menguraikan tentang Meningitis Ensefalitis Tuberculosa (METB), Teori Keperawatan
Model Adaptasi Roy dan Asuhan Keperawatan pada klien dengan METB dengan Model
Adaptasi Roy.
2.1 Meningitis Ensefalitis Tuberculosa (METB)
2.1.1 Definisi
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis)
dan
disebabkan
oleh
virus,
bakteri
atau
organ-organ
jamur
(Smeltzer,
2001).
Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari
mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan
bahan aseptis (virus) (Long, 1996). Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan
serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat
(Suriadi & Rita, 2001). Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh
virus atau mikro organisme lain yang non purulent (Corwin, 2009). Meningioencefaltis
merupakan suatu bentuk infeksi yang mengenai meningen, CSS dan
spinal column yang
disebabkan oleh infeksi jamur, virus dan bakteri. Bila penyebabnya spesifik adalah bakteri
Tuberculosa maka dinamakan Meningioencefaltis Tuberculosa (METB).
2.1.2
Klasifikasi
Menurut Smeltzer. S.C and Brenda. G. Bare (2001) klasifikasi meningitis dibagi menjadi 3 tipe
utama yaitu meningitis asepsis, sepsis dan tuberkulosis.
1. Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus atau menyebabkan iritasi
meningen yang disebabkan oleh abses otak, ensefalitis, limfoma, leukemia, atau darah di
ruang sub arakhnoid.
2. Meningitis sepsis menunjukan meningitis yang disebabkan oleh organisme bakteri seperti
meningokokus,stafilokokus, atau basilus influenza
3. Meningitis tuberkulosis disebabkan oleh bakteri mikobakterium tuberkulosis.
7
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
8 Sedangkan menurut Arief Mansyur (2000) berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak,
meningitis dibagi dalam 2 golongan yaitu :
1. Meningitis serosa adalah radang selaput otak, arakhnoid, dan piamater yang disertai
cairan otak yang jernih penyebab tersering adalah Mycobacterium tuberculosis, penyebab
lain adalah virus, toxoplasma dan ricketsia.
2. Meningitis purulenta adalah radang bernanah arakhnoid dan piamater yang meliputi otak
dan medulaspinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok),
Neisseria meningitidis (meningokok), Streptococcus haemoliticus, Staphylococcus coli,
Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa.
Klasifikasi atas dasar gejala klinik yang dapat meramalkan prognosis penyakit menurut Medical
Research Council of Great Britain sebagai berikut :
Stadium I
: Klien menunjukan sedikit atau tanpa gejala klinis meningitis, tanpa parese, dalam
keadaan umum yang bai dan kesadaran yang penuh.
Stadium II
: Klien dengan keadaan diantara stadium I dan III
StadiumIII
:Klien
tampak
sakit
berat,
kesadaran
stupor
atau
koma
dan
terdapat parese yang berat (hemiplegi atau paraplegi).
2.1.3
Etiologi
Penyakit meningitis tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis humanus,
sedangkan menurut peneliti yang lain dalam literatur yang berbeda meningitis Tuberkulosis
disebabkan oleh dua micobacterium yaitu Mycobacterium tubeculosis dan Mycobacterium
bovis yang biasanya menyebabkan infeksi pada sapi dan jarang pada manusia. (Lindsay, 1997
:473). Mycobacterium tuberculosis merupakan basil yang berbentuk batang, berukuran 0,2-0,6mmx1,0-10mm,
tidak
bergerak
dan
tidak
membentuk
spora. Mycobacterium
tuberculosis bersifat obligat aerob, hal ini menerangkan predileksinya pada jaringan yang
oksigenasinya tinggi seperti apeks paru, ginjal dan otak. Mycobacterium tidak tampak dengan
pewarnaan gram tetapi tampak dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Basil ini bersifat tahan asam,
artinya tahan terhadap pewarnaancarbolfuchsin yang menggunakan campuran asam kloridaetanol. Sifat tahan asam ini disebabkan karena kadar lipid yang tinggi pada dinding selnya. Lipid
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
9 pada dinding sel basil Mycobacterium tuberculosis meliputi hampir 60% dari dinding selnya, dan
merupakan
hidrokarbon
rantai
panjang
yang
disebut
asam
mikolat. Mycobacterium
tuberculosa tumbuh lambat dengan double time dalam 18-24 jam, maka secara klinis kulturnya
memerlukan waktu 8 minggu sebelum dinyatakan negative.
2.1.4 Patofisiologi
Otak dilapisi oleh tiga lapisan,yaitu:durameter, arachnoid,dan piameter. Cairan otak dihasilkan
didalam pleksus choroid ventrikel bergerak/mengalir melalui sub arachnoid dalam system
ventrikuler seluruh otak dan sumsum tulang belakang, direabsorbsi melalui villi arachnoid yang
berstruktur seperti jari jari didalam lapisan subarchnoid. Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan
menyebabkan infeksi lokal. Kolonisasi dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran
pernapasan, saluran pencernaan, atau saluran kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri akan
menginvasi submukosa dengan menghindari pertahanan inang (seperti barier fisik, imunitas
lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah akses menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan
beberapa mekanisme: Invasi ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran
secara hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri. Penyebaran
melalui kontak langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis media, malformasi kongenital, trauma,
inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial. sesampainya di aliran darah, bakteri akan
berusaha menghindar dari pertahanan imun (misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem
komplemen). Kemudian terjadi penyebaran hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh
termasuk SSP.
Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai sekarang
belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan dari sistem imun inang karena
terbatasnya jumlah sistem imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi secara tidak terkendali dan
merangsang kaskade inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran dari sitokin
yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8), dan molekul
proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis dan kerusakan neuronal. Peningkatan
konsentrasi TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri khas meningitis bakterial.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
10 Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang dihasilkan
bakteri selama replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan mediator
proinflamasi. Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh ligasi
komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor (Toll-like
receptor).
TNF-α merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag, limfosit, astrosit, dan
sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen endogen juga berperan dalam induksi demam
saat infeksi bakteri. Kedua mediator ini dapat terdeteksi setelah 30-45 menit inkulasi endotosin
intrasisternal. Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2)
dan platelet activation factor (PAF) diduga memperberat proses inflamasi. IL-6 menginduksi
reaktan fase akut sebagai respon dari infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik
neutrofil. NO merupakan molekul radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat diproduksi
dalam jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain barrier (BBB). PAF
dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di intravaskular. Pada
akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan permeabelitas BBB
sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam ruang subarachnoid. Hal ini
menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai respon
terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah menuju ke
BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk meningitis
bakterial.
Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang
subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produk-produk
degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik.
Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan
pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme anaerob terjadi dan
mengakibatkan
peningkatan
konsentrasi
asam
laktat
dan
hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia merupakan hasil dari menurunnya transpor glukosa ke
LCS. Jika proses yang tidak terkendali ini tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi
neuronal sementara atau pun permanen.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
11 Tekanan tinggi intra kranial (TIK) merupakan salah satu komplikasi penting dari meningitis di
mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema interstitial (sekunder terhadap obstruksi
aliran LCS), edema sitotoksik (akibat pelepasan produk toksik bakteri dan neutrofil) serta edema
vasogenik (peningkatan permeabelitas BBB). Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya
midline shift dengan adanya penekanan pada tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan
menimbulkan herniasi gyri parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis keadaan ini
ditunjukkan oleh adanya penurunan kesadaran dan reflek postural, palsy nervus kranial III dan
VI. Jika tidak diobati maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang
menjadi henti napas atau henti jantung.
Organisme ( virus/ bakteri ) yang dapat menyebabkan meningitis, memasuki cairan otak melalui
aliran darah didalam pembuluh darah otak. Cairan hidung ( secret hidung ) atau secret telinga
yang disebabkan oleh fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan meningitis karena hubungan
langsung antara cairan otak dengan lingkungan (dunia luar), mikroorganisme yang masuk dapat
berjalan kecairan otak melalui ruangan subarachnoid. Adanya mikroorganisme yang patologis
merupakan penyebab peradangan pada piamater, arachnoid, cairan otak dan ventrikel. Eksudat
yang dibentuk akan menyebar, baik kecranial maupun kesaraf spinal yang dapat menyebabkan
kemunduran neurologis selanjutnya, dan eksudat ini dapat menyebabkan sumbatan aliran normal
cairan otak dan dapat menyebabkan hydrocephalus.
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti dengan septikemia, yang
menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas. Faktor predisposisi mencakup
infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis
lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang
melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat
saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan
bakteri.Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam
meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah
serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen,
vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula
spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri
dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
12 permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatan
TIK.Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi
terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan
meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya
kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus
1.1.4
Manifestasi Klinis
Meningitis tuberkulosis umumnya memiliki onset yang perlahan. Terdapat riwayat kontak
dengan penderita tuberkulosis, biasanya memiliki TB aktif atau riwayat batuk lama, berkeringat
malam dan penurunan berat badan beberapa hari sampai beberapa bulan sebelum gejala infeksi
susunan saraf pusat muncul. Gejala meningitis ensefalitis yang diakibatkan dari infeksi dan
peningkatan Tekanan intra kranium (TIK) diantaranya :
1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma.
3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:
a) Rigiditas nukal ( kaku leher ). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena
adanya spasme otot-otot leher.
b) Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan fleksi
kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
c) Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut dan
pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi maka
gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang berlawanan.
4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat purulen
dan
edema
serebral
dengan
tanda-tanda
perubahan
karakteristik
tanda-tanda
vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit kepala,
muntah dan penurunan tingkat kesadaran.
6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba muncul, lesi
purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler diseminata
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
13 1.1.5 Pemeriksaan Diagnostik
Berikut ini beberapa pemeriksaan diagnostik yang digunakan untuk menunjang penegakan
diagnosa medis pada pasien dengan METB:
a. Radiolog :Pemeriksaan radiologi pada meningitis tuberkulosis meliputi pemeriksaan
Rontgent thorax, CT-scan, MRI. Pada klien dengan meningitis tuberkulosis umumnya
didapatkan gambaran tuberkulosis paru primer pada pemeriksaan rontgent thoraks, kadangkadang disertai dengan penyebaran milier dan kalsifikasi. Sedangkan pada pemeriksaan CTscan dan MRI dapat terlihat adanya hidrosefalus, inflamasi meningen dan tuberkoloma.
Gambaran rontgent thoraks yang normal tidak menyingkirkan diagnosa meningitis
tuberculosis
b. Tes Tuberkulin: Tuberkulin hanya mendeteksi reaksi hipersensitifitas lambat, tidak
menandakan adanya infeksi aktif sehingga penggunaannya untuk mendiagnosis infeksi aktif
dan meningitis tuberkulosis masih kurang sensitif. Namun pemeriksaan tuberkulin yang
positif pada anak memiliki nilai diagnostik, sementara pada orang dewasa hanya
menandakan adanya riwayat kontak dengan antigen tuberkulosis, dan dapat memberikan
arah untuk pemeriksaan selanjutnya.
c. Cairan Serebrospinal: Pemeriksaan cairan serebrospinal merupakan diagnostik yang efektif
untuk mendiagnosis meningitis tuberkulosis. Gambaran cairan serebrospinal yang
karakteristik pada meningitis tuberculosis adalah: Cairan jernih sedikit kekuningan
atau xantocrom, Pleositosis yang moderat biasanya antara 100-400 sel/mm3 dengan
predominan limfosit, Kadar glukosa yang rendah 30-45 mg/dL atau kurang dari 50% nilai
glukosa darah,Peningkatan kadar protein.
d. Bakteriologi: Identifikasi basil tuberkulosis pada cairan serebrospinal memiliki akurasi yang
sangat tinggi hingga 100% dalam mendiagnosis meningitis tuberkulosis. Untuk
mendiagnosis basil tersebut dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan apus langsung BTA
dengan metode Ziehl-Neelsen dan dengan cara kultur pada cairan serebrospinal.
e. Pemeriksaan
Biokimia:
Pemeriksaan
ini
untuk
mengukur
sifat
tertentu
dari mycobacterium atau respon tubuh penderita terhadap mycobacterium. Yang tergolong
pemeriksaan biokimia antara lain: Bromide Partition Test (BPT), Adenosine Deaminase
Activity (ADA), Tuberculostearic Acid.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
14 f. Tes Immunologis: Yang mendeteksi antigen atau antibody mikobakterial dalam cairan
serebrospinal, metoda yang sering digunakan dalam tes imunologis antara lain: ELISA
(enzym linked immuno sorbent assay), Polymerase Chain Reaction (PCR)
2.1.6 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang bisa muncul dari METB antara lain: Hidrosefalus obstruktif,
MeningococcL Septicemia (mengingocemia), Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,
perdarahan adrenal bilateral), SIADH ( Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone ), Efusi
subdural, Kejang, Edema dan herniasi serebral, Cerebral palsy, Gangguan mental, Gangguan
belajar, Attention deficit disorder.
2.1.7 Penatalaksanaan Medis
Beberapa tindakan penanganan ada klien dengan METB diantaranya: pencegahan dan
menejemen terapi. Berikut ini uraianya:
a. Pencegahan
Meningitis dapat dicegah dengan cara mengenali dan mengerti dengan baik faktor presdis
posisi seperti otitis media atau infeksi saluran napas (seperti TBC) dimana dapat
menyebabkan meningitis serosa. Dalam hal ini yang paling penting adalah pengobatan
tuntas (antibiotik) walaupun gejala-gejala infeksi tersebut telah hilang. Setelah terjadinya
meningitis penanganan yang sesuai harus cepat diatasi. Untuk mengidentifikasi faktor atau
janis organisme penyebab dan dengan cepat memberikan terapi sesuai dengan organisme
penyebab untuk melindungi komplikasi yang serius. Pengkajian Pasien dengan meningitis.
Riwayat penyakit dan pengobatan. Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena
untuk mengetahui jenis kuman penyebab. Disini orangtua harus ditanya dengan jelas tentang
gejala yang timbul pada pasien seperti kapan mulai serangan, sembuh atau bertambah buruk.
Setelah itu yang perlu diketahui adalah status kesehatan masa lalu pasien untuk mengetahui
adanya faktor presdiposisi seperti infeksi saluran napas, atau fraktur tulang tengkorak, dll.
b. Perawatan
Perawatan penderita meliputi berbagai aspek yang harus diperhatikan dengan sungguhsungguh, antara lain kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan nutrisi, posisi klien,
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
15 perawatan kandung kemih, dan defekasi serta perawatan umum lainnya sesuai dengan
kondisi klien. Perawatan diberikan sesuai dengan permasalahan yang muncul pada masingmasing mode adaptasi sesuai hasil pengkajian Roy Adaptasi Model.
c.
Managemen Terapi
Terapi bertujuan memberantas penyebab infeksi disertai perawatan intensif suporatif untuk
membantu pasien melaluimasa kritis :
1. Penderita dirawat di rumah sakit
2. Pemberian cairan intravena
3. Bila gelisah berikan sedatif/penenang
4. Jika panas berikan kompres hangat, kolaborasi antipiretik
5. Sementara menunggu hasil pemeriksaan terhadap kausa diberikan :
a. Kombinasi amphisilin 12-18 gram, klorampenikol 4 gram, intravena 4x sehari
b. Dapat dicampurkan trimetropan 80 mg, sulfa 400 mg
c. Dapat pula ditambahkan ceftriaxon 4-6 gram intra vena
6. Pada waktu kejang :
a. Melonggarkan pakaian
b. Menghisap lender
c. Puasa untuk menghindari aspirasi dan muntah
d. Menghindarkan pasien jatuh
7. Jika penderita tidak sadar lama :
a. Diit TKTP melalui sonde
b. Mencegah dekubitus dan pneumonia ostostatikdengna merubah posisi setiap dua jam
c. Mencegah kekeringan kornea dengan borwater atau salep antibiotic
8. Jika terjadi inkontinensia pasang kateter
9. Pemantauan ketat terhadap tanda-tanda vital
10. Kolaborasi fisioterapi dan terapi bicara
11. Konsultasi THT ( jika ada kelainan telinga, seperti tuli )
12. Konsultasi mata ( kalau ada kelainan mata, seperti buta )
13. Konsultasi bedah ( jika ada hidrosefalus )
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
16 d. Kemoterapeutik dengan obat anti tuberculosis
Tujuan pengobatan terhadap penderita tuberkulosis adalah menyembuhkan penderita dari
penyakit tuberkulosis yang dideritanya, mencegah kematian akibat tuberkulosis, mencegah
terjadinya relaps, mencegah penularan dan sekaligus mencegah terjadinya resistensi terhadap
obat anti tuberkulosis (OAT) yang diberikan.Prinsip pengobatan meningitis tuberkulosis tidak
banyak berbeda dengan terapi bentuk tuberkulosis yang lain. Syarat terpenting adalah bahwa
pilihan OAT harus dapat menembus sawar darah otak dalam konsentrasi yang cukup untuk
mengeliminir basil intra dan ekstraselular. Beberapa obat yang biasa digunakan untuk
meningitis tuberkulosis adalah :
1) Isoniazida (INH) diberikan dengan dosis 400 mg / hari.
2) Rifampisin, diberikan dengan dosis 450-600 mg / hari.
3) Pyrazinamid, diberikan dengan dosis 1500 mg / hari.
4) Ethambutol, diberikan dengan dosis 25 mg / kg BB / hari sampai dengan 1500 mg / hari.
5) Streptomisin, diberikan intra muskular selama 3 bulan dengan dosis 30-50 mg / kg BB /
hari.
6) Kortikosteroid, biasanya digunakan dexametason secara intra vena dengan dosis 10 mg
setiap 4-6 jam, pemberian dexametason ini terutama jika terdapat oedema otak, apabila
keadaan membaik maka dosis dapat diturunkan secara bertahap.
2.2 Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy.
2.2.1 Gambaran Model Adaptasi Roy
Model Adaptasi Roy (MAR) dikembangkan oleh Sister Callista Roy pada tahun 1964 dan telah
digunakan pada berbagai setting termasuk dalam pelayanan keperawatan pada klien dengan
ganguan neurologi pada komunitas dan individu baik pada penyakit akut, kronis dan penyakit
terminal (Tomey & Alligood, 2006). Fokus utama Model Adaptasi Roy adalah konsep adaptasi
manusia, menjelaskan mengenai keperawatan, manusia, sehat dan lingkungan seluruhnya saling
berhubungan. Manusia secara terus menerus akan mengalami atau mendapatkan stimulus dari
lingkungan kemudian berespon terhadap stimulus dan beradaptasi (Tomey & Alligood, 2006).
Model konseptual ini berpusat pada kemampuan seseorang dalam berespon dan beradaptasi
secara efektif terhadap stimulus lingkungan dengan menggunakan sifat dasar dan pengalaman
sebagai mekanisme koping (Moreno, 2009).
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
17 Model adaptasi Roy didasari oleh dua asumsi pokok yaitu asumsi keilmuan dan asumsi filosofi.
Asumsi keilmuan adalah refleksi teori sistem umum dan teori tingkat adaptasi. Sedangkan teori
sistem merupakan sebuah pemikiran yang menjelaskan bahwa manusia mampu beradaptasi dan
saling ketergantungan antara satu dengan yang lain. Teori tingkat adaptasi menjelaskan bahwa
indivisu mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dan melakukan perubahan dalam
lingkunganya (Tomey & Alligood, 2006). Roy menjelaskan 4 komponen utama dalam teori
sistem, yaitu: Holism (satu kesatuan), Interdepence control proces (proses kontrol yang saling
ketergantungan), information feedback (umpan balik informasi), dan complexity living system
(kompleksitas sistem kehidupan).
Sedangkan 4 komponen utama dalam teori adaptasi
diantaranya: perilaku, adapatsi sebagai fungsi stimulus dan tingkat adapatsai, tingkat adapatasi
yang dinamis, respon positif dan aktif dari individu (Tomey & Alligood, 2006).
Tujuan dari model adaptasi Roy dalam keperawatan adalah untuk memberikan dorongan
munculnya proses adaptasi, dimana dengan melakukan pembentukan mekanisme koping
membantu pasien dalam memeprtahankan suatu bentuk energi dalam sistem holistik tubuhnya
sehingga mampu mempertahankan dan meningkatkan status kesehatanya (Moreno, 2009). Dalam
asuhan keperawatan, Roy menyatakan bahwa sebagai penerima asuhan keperawatan adalah
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang dipandang sebagai “ Holistic Adaptif
System” dalam segala aspek yang merupakan satu kesatuan. Menurut Roy yang dimaksud
holistik adalah keseluruhan sistem yang ada pada diri manusia. Sedangkan adaptasi menurut Roy
merupakan kemampuan efektif manusia untuk merubah dan memberikan dampak pada
lingkungan sekitarnya. Roy menguraikan sistem sebagai satu kesatuan yang dihubungkan karena
fungsinya sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan adanya saling ketergantungan dari setiap
bagian-bagianya. Sistem tersebut terdiri dari Masukan (input), keluaran (Output), kontrol dan
Umpan balik (Feedback).
1. Masukan (Input)
Input termasuk stimulus yang merupakan kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi
dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan
yaitu stimulus fokal, kontekstual dan residual.
a.
Stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung berhadapan dengan seseorang, efeknya
segera, misalnya infeksi .
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
18 b.
Stimulus kontekstual yaitu semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal
maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur dan
secara subyektif dilaporkan. Rangsangan ini muncul secara bersamaan dimana dapat
menimbulkan respon negatif pada stimulus fokal seperti anemia, isolasi sosial.
c.
Stimulus residual yaitu ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan dengan situasi yang
ada tetapi sukar untuk diobservasi meliputi kepercayan, sikap, sifat individu
berkembang sesuai pengalaman yang lalu, hal ini memberi proses belajar untuk
toleransi. Misalnya pengalaman nyeri pada pinggang ada yang toleransi tetapi ada
yang tidak
2. Kontrol
Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping yang di
gunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan kognator yang merupakan
subsistem.
a) Subsistem regulator.
Transmiter regulator sistem adalah kimia, neural atau endokrin. Refleks otonom
adalah respon neural dan brain sistem dan spinal cord yang diteruskan sebagai
perilaku output dari regulator sistem. Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai
sebagai perilaku regulator subsistem.
b) Subsistem kognator.
Kognator berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi, penilaian
dan emosi. Persepsi atau proses informasi berhubungan dengan proses internal dalam
memilih atensi, mencatat dan mengingat. Belajar berkorelasi dengan proses imitasi,
reinforcement (penguatan) dan insight (pengertian yang mendalam). Penyelesaian
masalah dan pengambilan keputusan adalah proses internal yang berhubungan dengan
penilaian atau analisa. Emosi adalah proses pertahanan untuk mencari keringanan,
mempergunakan penilaian dan kasih saying
3. Keluaran (Output)
Output dalam model adaptasi Roy dijelaskan sebagai suatu perilaku yang bisa diamati,
diukur atau secara subyektif mampu dilaporkan sebagai bentuk respon individu baik
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
19 dalam maupun luar diri individu. Otput dalam sistem digambarkan roy sebagi bentuk
respon yang bsia berupa adaptif maupun maladaptif. Respon adaptif akan terwujud bila
seseorang mampu melaksanakan tujuan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup,
perkembangan, reproduksi dan keunggulan. Sedangkan respon maladaptif akan terjadi
bila seseorang menampilkan respon yang tidak mendukung kondisi diatas.
Perilaku individu baik adapatif maupun maladatif bisa dinilai dengan melakukan
pengkajian pada 4 model adaptasi yaitu:
a. Mode fisiologi
Mode ini berkaitan dengan respon individu secara fisik dan kimiawi terhadap
stimulus dari lingkungan.
b. Mode konsep diri
Mode yang berfokus pada aspek psikologi dan spiritual seseorang dalam
kehidupan. Roy mengidentifikasi ada 2 kompeonen dalam mode ini, yaitu:
physical self (cara pandang atau sensasi terhadap tubuh) dan personal self
(konsistensi diri, idela diri, dan moral etis spritual diri).
c. Mode fungsi peran
Mode ini berfokus pada peran seseorang dalam masyarakat yang diidentifikasi
dengan integritas sosial. Merupakan suatu bentuk penilaian terhadap kemampuan
seseorang untuk berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain dalam
kehiduapan sosial.
d. Mode interdepensi.
Mode ini berfokus pada
interaksi individu dengan keluarga dan lingkungan
(sebagai sistem pendukung) yang diintegrasikan dalam bentuk kebutuhan
memberi dan menerima cinta, perhatian dan nilai.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
20 Skema 2.1: Model adaptasi Roy.
Sister Callista Roy (1984), Introduction to Nursing: An Adaptation Model (2nd ed)
2.2.2 Asuhan Keperawatan Berdasarkan Model Adaptasi Roy
Teori Model Adaptasi berasumsi bahwa dasar ilmu keperawatan dibangun diatas pemahaman
terhadap adaptasi manusia pada situasi kehidupannya. Roy mengidentifikasi tiga elemen dalam
teori model keperawatannya, yaitu resipien keperawatan, tujuan keperawatan dan intervensi
keperawatan. Setiap elemen-elemennya meliputi konsep keperawatan, manusia, sehat-sakit,
lingkungan dan adaptasi. Konsep adaptasi berasumsi bahwa manusia adalah system yang terbuka
yang merespon stimulus dari dalam dan luar diri manusia (Roy & Andrew, 1991). Model
Adaptasi Roy meliputi proses keperawatan, termasuk pengkajian perilaku klien dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya, mengidentifikasi masalah, menetapkan tujuan, memilih intervensi dan
mengevaluasi hasil agar dapat memberikan perawatan secara komprehensif. Proses keperawatan
menurut Roy terdiri dari 6 tahapan yang berlangsung secara simultan, dinamis dan terus menerus
yang meliputi pengkajian perilaku, pengkajian stimulus, diagnosa keperawatan, penyusunan
tujuan, intervensi dan evaluasi (Tomey & Alligood, 2006). Sesuai dengan tahapa pada model
adaptasi Roy maka asuhan keperawatan pada pasien dengan meningitis ensefalitis dengan model
adaptasi Roy terbagi dalam tahapan sebagai berikut: pengkajian (perilaku dan stimulus),
diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi keperawatan dan evaluasi.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
21 2.2.2.1 Pengkajian perilaku dan stimulus
Fokus dari pengkajian model adaptasi Roy adalah mengidentifikasi tingkah laku yang aktual dan
potensial memperlihatkan perilaku maladaptif serta mengidentifikasi stimulus atau penyebab
dari perilaku maladaptive tersebut. Empat mode adaptasi dapat digunakan sebagi dasar kerangka
kerja untuk pedoman pengkajian. Mode tersebut meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran
dan model interdependensi. Pengkajian perilaku dan stimulus dilakukan secara bersamaan pada
masing-masing mode. Pengkajian perilaku (assessment behavior) merupakan langkah pertama
dari proses keperawatan. Hasil dari pengkajian perilaku bisa dilaporkan secara subyektif dan
obyektif melaui pengamatan dan pengukuran. Tidak semua hasil perilaku bisa diobservasi.
Untuk itu diperlukan kemampuan utnuk melihat dan mendengar serta kejelian perawat untuk
melihat adanya masalah atau fenomen pada pasien. Sehingga hasil yang didapat bisa akurat.
Stimulus adalah segala bentuk rangsangan yang memberikan respon baik dari internal maupun
eksternal diri manusia sehingga mampu mempengaruhi perkembangan perilaku dari individu
yang bersangkutan (Moreno, 2009).
Pengkajian stimulus merupakan langkah kedua dari proses keperawatan
identifikasi dari stimulus internal dan eksternal
yang melibatkan
yang mempengaruhi tingkah laku adaptif
individu. Pengkajian stimulus berfokus pada fokal, kontekstual dan residual. Stimulus yang
dimaksud untuk mempengaruhi adaptasi adalah budaya (sosial ekonomi, suku/ras, dan
kepercayaan), tahap perkembangan (usia, jenis kelamin, pekerjaan, keturunan dan faktor
genetik), keluarga (struktur dan tugas), sistem adaptif (fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan
interdepensi), efektivitas kognator (persepsi, pengetahuan, dan ketrampilan), pertimbangan
lingkungan (pengobatan dan penggunaan obat tertentu, tembakau dan alkohol). Pengkajian
Stimulus diklasifikasikan atas: Focal stimuli merupakan stimulus yang secara langsung
mempengaruhi individu, Contextual stimuli merupakan stimulus lain yang hadir dan
mempengaruhi situasi, Residual stimuli merupakan stimulus yang memberikan efek pada situasi
tetapi belum jelas
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
22 Pengkajian perilaku dan stimulus pada pasien dengan Meningistisensefalitis Tuberculosa
(METB) dengan menggunakan pendekatan model adaptasi Roy bisa dilihat sebagai berikut:
a. Mode Adaptasi Fisiologis
Mode adaptasi fisiologis yang meliputi oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat,
proteksi dan perlindungan, sensasi, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis dan endokrin pada
METB sebagai berikut:
1) Oksigenasi
Pengkajian oksigenasi meliputi kebutuhan oksigen, ventilasi, pertukaran dan transportasi gas.
Pernapasan klien dinilai menggunakan teknik inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi. Dalam
proses
keperawatan
pengkajian
pada
oksigenasi
terutama
pada
pasien
dengan
Meningistisensefalitis (METB) terbagai dalam komponen sebagai berikut:
a) Pengkajian perilaku
Pengkajian oksigen dan ventilasi: Dilakukan dengan menilai kemampuan klien untuk
melakukan pernapasan (inhalasi dan ekshalasi). Pada pengkajian ini perawat harus mampu
menilai kepatenan jalan nafas dari semua benda atau kondisi yang membuat adanya obstruksi.
Yang dinilai dari pengkajian ini adalah kecepatan, irama dan kedalaman pernafasan. Pengkajian
pertukaran gas: Dilakukan bertujuan untuk mengetahui kondisi difusi atau pertukaran gas
terutama dialveoli. Bisa dilihat dengan malihat hasil laborotorium terutama hasil analisa gas
darah (AGD). Pengkajian transportasi gas: Dilakukan untuk melihat keadekuatan sirkulasi gas
sampai ke sel. Dilakukan dengan penukuran nadi, tekanan darah, bunyi jantung, membran
mukosa. Penilaian hasil diagnostik yang berhubungan dengan sistem repsirasi dan
kardiovaskuler serta terapi medis yang diberikan pada pasien
b) Pengkajian stimulus
Pengkajian Stimulus pada ventilasi dan difusi: dilakukan dengan menilai kepatenan jalan nafas,
otot bantu nafas, fungsi pusat pernapasan, serta jalur persarafan yang terkait. Pengkajian stimulus
pada pertukaran gas: dilakukan dengan menilai konsentrasi oksigen, kedekuatan aliran darah ke
alveoli dan integritas membran seluler. Sedangkan pengkajian transportasi gas: dilakukan dengan
menilai perdarahan, dehidrasi, latihan fisik, kondisi stress, perubahan suhu, penggunaan
tembakau, alergi, iritasi dan lain-lain
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
23 c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB
- Respon perilaku: Peningkatan viskositas Liquor Cerebro Spinal disebabkan karena influk
komponen plasma ke dalam ruang subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi
edema interstitial, produk-produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang
menyebabkan edema sitotoksik. Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan
tekanan tinggi intra kranial dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF) (Perry
& potter, 2000). Gangguan perfusi serebri menyebabkan penderita meningitis dapat mengalami
kerusakan saraf pengatur pernafasan sehingga kontrol sistem pernafasan tidak adekuat. Pola
nafas berubah sehingga pengambilan oksigen dari atmosfir dapat berkurang, yang berakhir
dengan kondisi hipoksia. Kerusakan vaskular pada jaringan susunan saraf pusat akan
menghambat proses transportasi oksigen sehingga otak kekurangan oksigen yang berdampak
terjadinya kematian sel-sel jaringan otak, distres pernafasan terjadi akibat penekanan pusat
pernafasan di medulla oblongata oleh peningkatan tekanan intrakranial (Corwin, 2009).
Depresi pusat napas dan gangguan pada saraf pengatur pernapasan akan memunculkan respon
maladaptif pada pola oksigenasi berupa kondisi maladatif seperti gangguan refleks batuk, sesak,
respirasi irreguler (Handerson, 2004). Penurunan perfusi serebri akan menyebabkan penurunan
kesadaran sehingga menimbulkan dampak lain seperti: lidah jatuh kebelakang yang akan
mengganggu jalan nafas. Dampak lebih lanjut dari penurunan kesadaran adalah immobilisasi
apalagi bila ditunjang adanya kelemahan pada ektrmitas. Kondisi tirah baring lama akan
memberikan dampak akumulasi sekret pada jalan nafas, ronki. Adanya penyakit penyerta seperti
gangguan veskuler dan kardiologi akan memberikan respon perilaku berupa bunyi jantung
murmur, disritmia atau hipertensi (Ignatavicius & Workman, 2006).
- Respon stimulus: Stimulus fokal terhadap respon perilaku tidak efektif pada oksigenasi pasien
METB adalah mukus berlebihan, edema, hematoma, iskemik atau infark serebral. Stimulus
kontekstual berupa riwayat TB (HAP, CAP, dan HCAP) atau gangguan pernapasan yang lain,
sedangkan gangguan karviovaskuler bisa berupa hipertensi, diabetes melitus, infeksi, penurunan
refleks batuk dengan stimulus residual yaitu usia dan gaya hidup seperti merokok,
mengkonsumsi alkohol dan kurangnya aktivitas.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
24 2) Nutrisi
Nutrisi merupakan intake cairan dan makanan yang berhubungan dengan kebutuhan metabolisme
(Myers, 2006). Roy mendefinisikan nutrisi sebagai proses digesti dan metabolisme untuk
mempertahankan fungsi tubuh, pertumbuhan dan berfungsi untuk mengganti jaringan tubuh yang
mengalami cedera (Roy & Andrews, 1999).
a) Pengkajian perilaku
Pengkajian perilaku nutrisi meliputi pengkajian digesti dan metabolisme yang meliputi pola
makan, sensasi terhadap makanan, alergi makanan, nyeri pada saat makan atau minum serta
perubahan cara intake nutrisi seperti melalui NGT atau gastrostomy tube, berat badan dan tinggi
badan, nafsu makan, riwayat nutrisi, keadaan rongga mulut serta hasil laboratorium seperti
protein plasma. Pengkajian perilaku pada nutrisi berkaitan dengan rasa haus, lapar, pola makan,
TB daan BB, alergi, kondisi kesehatan dan kebersihan rongga mulut dan gigi. Perubahan cara
pemasukan makan, adanya gangguan makan seperti anoraksia, nausea, vomit, bulemia, gangguan
sensasi rasa dan bau.
b) Pengkajian stimulus
Pengkajian stimulus yang berkaitan dengan nutrisi antara lain: penyakit yang memepengaruhi
intake dan output nutrisi, kebiasaan makan, tipe atau jenis makanan, medikasi atau prosedur
medis yang mempengaruhi proses pencernaan, kebutuhan kalori dan metabolisme yang
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas, suhu dan diet
c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB
- Respon perilaku: pada pasien METB, terjadi oedema serebral mengakibatkan kompensasi
tubuh untuk menangani dengan mengeluarkan steroid adrenal melalui perangsangan dari
hipotalamus. Hal ini berpengaruh terhadap peningkatan sekresi asam lambung yang
menyebabkan hiper asiditas yang akan menimbulkan mual, muntah dan nafsu makan berkurang.
Pada kondisi yang kronis keadaan ini akan menimbulkan iskemi mukosa lambung dan kerusakan
barier mukosa sehingga terjadilah perdarahan lambung (stress ulcer) maka pada kondisi tersebut
asupan nutrisi klien tidak adekuat yang menimbulkan status nutrisi pasien tidak adekuat (Price,
2006). Gangguan pada nervus kranium merupakan dampak lebih lanjut pada pasien METB yang
mengalami lesi neurologi. Kelemahan pada saraf kranium akan menghambat proses menelan
pada pasien. Menelan merupakan proses kompleks yang melibatkan 20 muskulus dan 5 nervus
yang memerlukan koordinasi aktivitas otot mulut, faring, laring dan esofagus yang dipersarafi
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
25 oleh sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer yang terdiri dari empat fase yaitu oral
preparatory, oral propulsif, pharingeal dan esophageal (Hammond & Goldstein, 2006; Nazarko,
2007). Kerusakan menelan akan membuat intake nutri menurun sehingga terjadi ketidakcukupan
gizi yang akan memunculkan malasah keperawatan yang baru yaitu: perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh Sehingga respon ketidakefektifan adaptasi pada pola nutrisi pasien METB
adalah mual, muntah, kesulitas menelan, proses infeksi dan disfagia (McKenna, 2008).
-Respon stimulus : Stimulus fokal yang berperan terhadap respon tidak efektif yaitu penurunan
kemampuan menelan, gangguan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.
Stimulus kontekstual termasuk kelumpuhan saraf kranial, penurunan kemampuan menelan.
Riwayat penyakit maupun prosedur medis sebelumnya yang mempengaruhi nutrisi tubuh.
Sedangkan stimulus residual bisa berupa Usia, jenis kelamin, budaya, ras dan pengetahuan
tentang diet.
3) Eliminasi
Eliminasi merupakan hal yang penting untuk mempertahankan kesehatan. Sistem tubuh yang
terlibat dalam proses eliminasi adalah sistem perkemihan dan gastrointestinal (DeLaune &
Ladner, 2002). Eliminasi merupakan proses yang penting untuk adaptasi dan mempertahankan
keseimbangan fisiologis. Sampah metabolik sebagai hasil dari proses metabolisme dieliminasi
melalui saluran cerna, ginjal, kulit dan paru-paru (Roy & Andrews, 1999). Fokus pengkajian
eliminasi menurut Roy adalah eliminasi intestinal dan eliminasi urinaria.
a) Pengkajian perilaku
Pada pola eliminasi meliputi kemampuan klien melakukan BAB dan BAK. Pada pengkajian
BAB yang dinilai adalah kondisi: feses yang diobservasi konsistensi, bau, warna, frekuensi, pola
pengeluaran dan penggunaan pencahar. Pengkajian BAK dilakukan dengan menilai kondisi urin
yang dilihat dari frekuensi, warna, bau, adanya kondisi patologis berupa proteinuria dan
hematuria. Selain itu dilakukan pemeriksaan diagnostik terkait kondisi urin dan feses seperti lab
urinalisa, kultur urin dan feses.
b) Pengkajian Stimulus
Pengkajian stimulus eliminasi adalah adanya proses penyakit yang mempengaruhi proses normal
sistem gastrointestinal atau sistem urinaria, diet, intake cairan, kurangnya privasi, temperatur dan
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
26 ketidaknyamanan ruangan, ketersediaan bedpan dan urinal, nyeri dan stress (Roy & Andrews,
1999).
c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB
-Respon perilaku: Intake yang kurang akan membuat metabolisme klien menurun apalagi dari
kondisi immobilisasi klien membuat peristaltiknya menurun, sehingga klien akan rentan
mengalami gangguan eliminasi. Klien akan rentan mengalami konstipasi. Konstipasi merupakan
penurunan frekuensi defekasi disertai kesulitan pengeluaran feses atau feses yang keras dan
kering (Herdman, 2012). Konstipasi pada pasien METB terjadi jika lesi mempengaruhi pusat
defekasi. Hal ini akan menghambat aktivitas simpatis dan parasimpatis sehingga terjadi
kegagalan koordinasi gelombang peristaltik, relaksasi pelvis dan spinkter eksternal (Winge,
Rasmussen, & Werdelin, 2003). Gangguan pada pengosongan bladder seperti inkontinesia urin
muncul sebagai akibat dari neurogenik inkontinensia (Mair, 2012).
-Respon stimulus: Pengkajian stimulus pada pasien METB adalah: Stimulus fokal eliminasi yang
berperan terhadap respon perilaku eliminasi yang tidak efektif adalah kerusakan neurologi.
Stimulus kontekstual berupa immobilisasi, intake serat yang tidak adekuat, penurunan
kemampuan fungsional serta stimulus residual yaitu usia, stress dan menunda atau mengabaikan
keinginan untuk buang air besar dan urin
4) Aktivitas dan istirahat
Aktivitas merupakan kegiatan hidup sehari-hari yang membutuhkan energi termasuk aktivitas
perawatan diri, exercise dan aktivitas diwaktu senggang (Myers, 2006). Menurut Roy, aktivitas
dan istirahat merupakan kebutuhan dasar dalam mode fisiologis yang meliputi mobilitas dan
tidur (Roy & Andrews, 1999).
a) Pengkajian perilaku
Pengkajian perilaku dilakukan dengan memberikan penilaian terhadap aktivitas yang dinilai dari
fungsi motorik seperti tonus dan kekuatan otot, mobilitas sendi, postur tubuh, pergerakan
abnormal atau yang tidak disadari. Sedangkan pengkajian perilaku istirahat dinilai dari kondisi
pemenuhan tidur (pola dan jumalh tidur), frekuensi dan lama tidur, adanya gangguan dalam
tidur, pemakaian obat tidur, tanda kesulitan tidur baik fisik maupun psikis.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
27 b) Pengkajian stimulus
Pengkajian stimulus dilakukan dengan menilai adanya gangguan neuromuskuler, keterbatasan
aktivitas, rasa malas beraktivitas, pola pemenuhan dan bantuan dalam ADL, ketidaknyamanan,
nyeri, perubahan kebiasan dan pola tidur, perubahan mood dan perubahan lingkungan.
c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB
-Respon perilaku: pada pasien dengan METB munculnya kelemahan pada ekstremitas lebih
sebagai dampak dari adanya hilangnya kontrol volunter terhadap gerakan motorik (Smeltzer &
Bare,2006). Adanya gangguan yang melibatkan sistem neuromuskuler mengakibatkan hambatan
dalam melakukan mobilitas sehingga menimbulkan masalah kerusakan mobilitas fisik. Respon
perilaku maladatif lain pada fungsi ini adalah: pergerakan terbatas, kelemahan umum, hilangnya
sensasi, tidak dapat beristirahat karena nyeri atau spasme otot, tonusotot flasid atau spastik
(Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010).
-Respon stimulus :Stimulus fokal yang berperan terhadap respon perilaku aktivitas dan istirahat
yang tidak efektif pada pasien METB adalah kelemahan, immobilisasi, perubahan tingkat
kesadaran. Stimulus kontekstual berupa infark, kerusakan neuromuskuler. Stimulus residual
yaitu kurang pengetahuan manfaat pergerakan fisik, motivasi untuk bergerakdan melakukan
latihan ROM, budaya dan gaya hidup inaktivitas.
5) Proteksi dan Perlindungan
Proteksi dan perlindungan dibutuhkan untuk pertahanan tubuh melawan infeksi, trauma, dan
perubahan temperatur terutama oleh struktur integumen dan daya tahan tubuh yang didapat
(Tomey & Alligood, 2006).Roy mengidentifikasi proteksi sebagai adaptasi yang penting melalui
mekanisme pertahanan spesifik (sistem immun) dan nonspesifik (membran barrier, sel dan
chemical) (Roy & Andrews, 1999).
a) Pengkajian perilaku
Pengkajian perilaku yang berhubungan dengan kebutuhan proteksi diantaranya kondisi kulit atau
integumen adanya lesi, eretema, penekana yang lama pada kulit, resiko ulkus decubitus yang
dinilai dengan skala Norton. Kondisi rambut dan kulit kepala. Sensitifitas terhafap nyeri, resiko
jatuh, alergi makan dan obat, status imunologi, suhu, tanda infeksi dan inflamasi.
b) Pengkajian stimulus
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
28 Pengkajian stimulus pada kulit biasanya penilaian terhadapa kebutuhan proteksi dan kondisi
lingkungan. Pengkajian stimulus meliputi faktor lingkungan yaitu suhu ruangan, sirkulasi udara
dan kelembaban; integritas mode seperti dehidrasi, CRF, stress, status nutrisi; praktik higiene
dan proses menua (Roy & Andrews, 1999).
c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB
-Respon perilaku: adaptasi yang tidak efektif pada pola proteksi dan pelindungan pasien METB
adalah luka tekan atau berisiko mengalami luka tekan, demam. Peningkatan metabolisme
mengakibatkan peningkatan suhu tubuh sehingga timbul demam, yang dapat meningkatkan
kebutuhan cairan, selain itu klien dengan meningitis seringkali terjadi penurunan kesadaran
sehingga klien harus berbaring lama di tempat tidur dan dapat terjadi gangguan integritas kulit
sebagai dampak dari berbaring yang lama (Rozanables, 2005). Dampak dari kelemahan
ekstremitas yaitu munculnya immobilisasi. Kondisi ini akan mengakibatkan pasien mengalami
baik resiko maupun aktual kerusakan integritas kulit. Resiko kerusakan integritas kulit ditetapkan
berdasarkan alat penilaian risiko seperti skala Braden atau Norton. Immobilisasi lama
menimbulkan penekanan jaringan yang mengganggu aliran darah setempat menyebabkan
iskemik dan berlanjut menjadi nekrosis pada kulit dan jaringan dibawahnya (Beddoe & Grose,
2010). Kondisi ini diperberat oleh usia lanjut, perubahan status nutrisi, penonjolan tulang,
kelembaban kulit dan udara serta hipertermi (Herdman, 2012).
-Respon stimulus : Stimulus fokal yang berperan terhadap respon perilaku proteksi dan
perlindungan yang tidak efektif pada pasien METB adalah immobilisasi fisik, kelemahan,
hipoksia jaringan. Stimulus kontekstual berupa suhu lingkungan, kulit lembab, perubahan nutrisi,
riwayat jatuh, riwayat penyakit imun, riwayat infeksi sebelumnya, riwayat kondisi hematologi
dan stimulus residual yaitu stress, usia, kurangnya pengetahuan, merokok dan alkohol.
6) Sensasi (Sensori)
Sensasi merupakan input yang penting untuk berinteraksi dengan perubahan lingkungan meliputi
penglihatan, pendengaran, dan rasa. Sensasi dapat berupa cahaya, suara, panas, tekanan dan
vibrasi mekanik yang dihantarkan melalui aktivitas neuron untuk menghasilkan persepsi (Roy &
Andrews, 1999).
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
29 a) Pengkajian perilaku
Pengkajian perilaku pada sensasi berupa penilain kemampuan klien dari pancaindera yaitu:
pendengaran, penglihatan, perabaan, perasa, penciumana. Yang dinilai dari penglihatan adalah:
gerakan bola mata. ketajaman mata, adanya diplopia, pandangan buram, reaksi pupil terhadap
cahaya, buta warna. Kemampuan pendengaran: uji rinne weber dan swabach unut menilai
ambang pendengaran. Selaian itu dilakukan pemeriksaan kemampuan menelan, uji sensitivitas
kulit, pemeriksaan penciuman.
b) Pengkajian stimulus
Kelainan neurologis sering menjadi stimulus fokal yang berhubungan dengan gangguan sensori
persepsi terutama pada panca indera seperti gangguan pendengaran, penglihatan, penciuman atau
perabaan. Stimulus fokal lebih karena kerusakan jaras sensorik motorik pengatur sensasi pada
otak dan stimulus residual adalah usia, budaya, pengetahuan, motivasi maupun pemeliharaan
kesehatan. (Roy & Andrews, 1999).
c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB
-Respon perilaku: pasien METB akan memberikan mainifestasi gangguan neurologi sesuai
dengan luas dan lokasi lesi, dimana lesi pada otak lebih disebabkna karena proses edema serebri
dan gangguan obstruksi CSS (Price, 2006). Bila lesi berada cerebru terutama pada praietal yang
berfungsi sebagai koordiantor utama fungsi sensasi maka besar kemungkinan pasien akan
mengalami gangguan sensorik motorik (Brunner, 2002respon maladatif lain pada fungsi ini
diantaranya: kesulitan menginterpretasi stimuli visual, taktil dan auditorius; penurunan fungsi
penglihatan seperti buta total, kebutaan monokuler, diplopia; pusing, nyeri kepala, kesemutan,
hilangnya rangsang sensorik kontralateral; kehilangan sensasi pada lidah, pipi dan tenggorokan
(Smeltzer & Bare, 2006).
-Respon pengkajian stimulus: Stimulus fokal yang berperan terhadap respon perilaku sensasi
yang tidak efektif pada pasien adalah agen cedera, infeksi, sepsis. Stimulus kontekstual berupa
defisit sensorimotorik sedangkan stimulus residual yaitu perbedaan budaya, usia, kondisi
emosional kurang informasi dan stress.
7) Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Cairan, elektrolit dan asam basa menurut Roy merupakan satu dari empat proses kompleks yang
dihubungkan dengan mode fisiologis. Mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit dan
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
30 asam basa memegang peranan penting dalam mempertahankan integritas individu (Roy &
Andrews, 1999).
a) Pengkajian perilaku
Pengkajian perilaku yang berkaitan dengan kebutuhan cairan dan elektrolit diantaranya intake
cairan baik melalui peroral maupun perenteral. Output cairan mealalui urin dan keringat. Kondisi
elektrolit tubuh yang diketahui melaui pemeriksaan laborat terutama untuk nilai Na, K dan Cl.
b) Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal yang menyebabkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit adalah penyakit
kronis dan cedera. Stimulus lain berupa pengobatan, muntah, pengetahuan dan usia yang terlalu
muda atau lansia (Roy & Andrews, 1999).
c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB
-Respon pengkajian perilaku: adaptasi yang tidak efektif pada pola keseimbangan cairan dan
elektrolit pada METB adalah dehidrasi yang ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan
kreatinin (Scales & Pilswoth, 2008).
-Respon pengkajian stimuluspasien METB: Stimulus fokal respon perilaku tidak efektif pada
keseimbangan cairan dan elektrolit pasien METB adalah kegagalan mekanisme pengaturan
seperti dehidrasi, diari, inkotinensia urin, retensi urin, sindrma walt, kegagalam cerebellar,
ganggaun ADH, hiper atau hipometabolisme. Stimulus kontekstual yaitu perubahan status
mental, intake tidak adekuat. Sedangkan stimulus residualyaitu kurang pengetahuan dan umur
yang ekstrim, motivasi minum yang kurang, ketidakmampuan dukungan pemenuhan ADL
8) Fungsi Neurologis
Fungsi neurologis mempunya manfaat paling penting dalam proses adaptasi manusia, fungsi ini
komponen utama unutk menentukan kemampuan adapatasi manusia terhadap stimulus karena
fungsi neurologis menetukan, mengatur dan mengkoordinasi semua fungsi fisiologis yang lain.
a) Pengkajian perilaku
Pengkajian perilaku pada fungsi neurologi meliputi kompenen sebagai mana diuraikan berikut
ini: Penilaian Kesadaran: Dilakukan untuk mengetahui kondisi dan tingkatan kesdaran pasien
baik secara kualitatif maupun kuatitatif menggunakan GCS dan AVPU. Dinyatakan kuantitaiif
dengan menggunakan angka pada masing-masing nilai eyes, motorik dan verbal. Sedangkan
secara kualitatif dinyatakan dengan tingkatan mulai dari Compos Mentis sampai dengan Coma.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
31 Selain itu pada pemeriksaan kesadaran juga dinilai kondisi pupil seperti: reaksi terhadap cahaya,
diameter pupil, adanya pin point, rekasi cahaya langsung dan tidak langsung. Serta dinilai pula
kondisi penampilan dan kontak dengan pasien secara umum. Penilaian Rangsang selaput otak
(meningeal): Dinilai adanya rangsangan pada meninngen dengan melakukan pemeriksaan kaku
kuduk, lasig, kerniq, brudzinki I,II. Bila pasien adanya infeksi atau abses maka tanda rangsang
meningeal yang harusnya tidak ada akan menajdi postif. Penilaian saraf kranium: Penilaian
dengan melakukan pemeriksaan pada saraf kranium I-XII.
Melakukan pemeriksaan pada
masing-masing saraf: olfaktorius, optikus, okulomotorius, troklearis,trigeminus, abdusen,
fasiales, vestibulokoklearis, glosofaringeus, vagus, aksesorius, hipogolus. Penilaian kemampuan
sensorik: Pemeriksaan dengan menilai kemampuan reseptor, sensibilitas eksterioseptif, rasa
interoseptif, nyeri rujukan dan rasa somestesia luhur. Penilaian kemampuan motorik: Dilakukan
dengan melakukan pemeriksaan: inpeksi : sikap , bentuk ,urakan, gerakan tidak terkoordinasi,
cara berjalan. Palpasi: massa otot. Pergerakkan aktif dan pasif pada ektrmitas dan badan.
Termasuk didalamya pengukuran kekuatan otot dan tonus otot.Penilaian fungsi luhur:
Pemeriksaan untuk menilai status mental, kemampuan komunikasi dan bicara, kalkulasi, meori,
mood dan perasaan, orentasi, abstraski. Penilaian reflek: Pemeriksaan untuk mengatahui kondisi
refelk duperficial maupun profundus. Dilakukan dengan melakukan pemeriksaan reflek fisiologis
dan patologis. Dimana reflek fisiologi yang diperiksa misalnya: glabellea, masseter, tendon
bisep, trisep, abdominal, patela. Sedangkan reflek patologis seperti: babinski, caddock,
oppenhem, gordon, scafer, hoffmantrummer.
b) Pengkajian stimulus
Pengkajian stimulus fokal dilakukan dengan melaukan pemeriksaan munculnya gangguan atau
defisit neuro dari masing-masing komponen diatas seperti diplopia, parese, anopsia, nyeri kepala,
mual, muntah, TRM (+), penurunan tonus otot. Pemunculan kondisi patologis tersebit dari fisik
ditunjang dengan hasil pemeriksaan diagnostik seperti Lab, Ct Scan,MRI, Rontgen, Angigrafi,
Kultur, Lumbal Punksi. Pemeriksaan stimulus kontekstual seperti riwayat penyakit penyerta
yang menyebabkan munculnya defisit neurologi. Dan stimulus residual berupa pengetahuan,
motivasi dan dukungan yang membuat kondisi kliend alam perawatan menjadi kurang optimal.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
32 c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB
-Respon pengkajian perilaku: Proses peradangan meningen dapat menimbulkan peningkatan
tekanan intrakranial, dimana akan terjadi kerusakan saraf pusat pengontrol kesadaran yang dapat
menimbulkan penurunan kesadaran dan terjadi penekanan pada saraf pusat pernafasan yang
dapat mengakibatkan pola nafas tidak efektif. Pada saraf kranial yaitu nervus vagus yang
mengakibatkan penurunan reflek menelan, nervus optikus yang dapat mengganggu fungsi visual,
kerusakan nervus III, IV, VI yang dapat mengganggu pergerakan bola mata, kerusakan nervus
VIII yang dapat mengganggu fungsi pendengaran. Pada proses peradangan akan menimbulkan
respon nyeri yang akan merangsang korteks sesebri dan dalam keadaan lanjut dapat
menimbulkan iritasi meningen yang ditandai dengan adanya kaku kuduk, kernig positif,
brudzinski I dan II, serta laseque positif (Snell, 2007).
-Respon pengkajian stimulus pasien METB: Stimulus fokal yang berperan terhadap respon
perilaku fungsi neurologi yang tidak efektif pada METB adalah infark, hipoksia dan cedera
serebrovaskuler. Stimulus kontekstual yaitu riwayat METB, anemia, gangguan elektrolit. Usia,
kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol dapat menjadi stimulus residual.
9) Fungsi endokrin
a) Pengkajian perilaku
Pengkajian perilaku fungsi endokrin adalah segala bentok maifestasi klinis dari fungsi terdahulu
yang bisa menyebabkan kondisi gula darah menjadi tidak balance baik itu hipoglikemia atai
hiperglikemia. Adanya semua tanda dan gejala yang mengarah pada kondisi diabtese meliitus
atau diabetes incipidus. Kondisi diatas ditunjang dnegan pemriksaan diagnostik seperti
pemeriksaan gula darah : GD puasa, acak atau 2 jam Post Parandial.
b) Pengkajian Stimulus
Pengkajian stimulus yang dilakukan dengan pemeriksaan adanya poliuri, polifagia, polidipsi,
nilai GDS. Pengkajian stimulus kontekstual: riwayat penyakit gula sebelumnya, riwayat pola
makan, riwayat penyekait penyerta terutama pada pencernaan: hepar. Pengkajian stimulus
residual dari: pengetahuan pengaturan diet, pola makan, kontrol. Motivasi pengaturan vaskuler
(gula dan tekanan darah), riwayat konsumsi alkohol dan obat.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
33 c) Respon Pengkajian perilaku pasien METB
-Respon pengkajian perilaku: pasien dengan infeksi otak terutama pada METB tidak akan
menyebabkan gangguan secara langsung pada sistem endokrin. Namun adanya masalah pada
pada sistem ini lebih sebagai dampak dari adanya penyakit penyerta seperti diabetes mellitus
atau gangguan hepar. Sehingga akan muncul respon maladaptif berupa hiperglikemia dengan
tanda dan gejala poliuri, polidipsi dan polifagia serta komplikasi seperti gangren, gangguan mata.
-Respon pengkajian stimulus pasien METB: Stimulus fokal hiperglikemia pada pasien METB
yaitu cedera neuron Stimulus kontekstual yaitu gangguan toleransi glukosa, penyakit diabetes
melitus, monitoring glukosa darah tidak adekuat. Sedangkan stimulus residual yaitu kurang
pengetahuan tentang manajemen diabetes, tidak taat terhadap rencana pengobatan dan stress.
b. Mode Adaptasi Konsep Diri
Mode adaptasi konsep diri berhubungan dengan psikososial yang menekankan pada aspek
psikososial dan spiritual. Kebutuhan konsep diri berhubungan dengan integritas psikis yang
meliputi persepsi aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Konsep diri menurut Roy meliputi fisik
diri yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya dan kepribadian diri yang berkaitan dengan
konsistensi diri, ideal diri, moral-etik dan spiritual. Perasaan cemas, hilangnya kekuatan dan
takut merupakan hal yang berat pada kepribadian diri (Tomey &Alligood, 2006).
a) Pengkajian Perilaku
Menurut Roy pengkajian perilaku tentang mode konsep diri adalah bagaimana seseorang
merasakan dirinya (Body Sensation), bagaiamna seseorang memandang dirinya (Body Image),
respon yang diberikan terhadap situasi dan apa yang dilakukan terhadap dirinya (Self-ideal),
kepercayaan yang dimiliki (Moral-Ethical-Spiritual self). Pengkajian perilaku konsep diri
dengan mengobservasi penampilan seperti postur, ekspresi wajah, melalui pernyataan pasien
tentang diri mereka dan ekspresi perasaan.
b) Pengkajian Stimulus
Pengkajian stimulus mencakup penilaian perkembangan, pembelajaran, reaksi terhadap orang
lain, persepsi, krisis, dan mekanisme koping. Masalah adapatasi yang bisa muncul seperti:
kecemasan, ketakutan, disfungsi seksual, gangguan citra diri, kehilangan, prolonged griefing,
rendah diri, menarik diri. Kondisi ini menimbulkan perilaku kecemasan dan pesimistik dalam
perawatan dan harapan keberhasilan pengobatan klien.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
34 c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB
-Respon perilaku: adaptasi konsep diri tidak efektif pasien METB yaitu perasaan tidak berdaya;
keputusasaan; emosi labil seperti marah, sedih dan perasaan senang yang berlebihan (Doenges,
Moorhouse, & Murr, 2010).
-Respon pengkajian stimulus pasien METB: Stimulus fokal yang berperan terhadap respon tidak
efektif adalah ancaman terhadap konsep diri, perubahan status kesehatan, fungsi peran, merasa
kehilangan fungsi tubuh. Stimulus kontekstual yaitu kebutuhan yang belum terpenuhi, perubahan
peran sosial serta stimulus residual berupa stress, perasaan negatif tentang tubuh dan koping
tidak efektif.
c. Mode Adaptasi Fungsi Peran
Peran merupakan kesatuan fungsi dalam masyarakat yang menggambarkan hubungan dengan
orang lain. Mode fungsi peran meliputi peran, posisi, performa peran, penguasaan peran,
integritas sosial, perilaku instrumental dan ekspresif. Peran terdiri dari peran primer, sekunder
dan tersier. Seseorang dapat menjalankan satu peran primer tetapi memiliki beberapa peran
sekunder dan tersier (Christensen & Kenney, 2009; Roy & Andrews, 1999).
a) Pengkajian perilaku
Pengkajian perilaku pada mode fungsi peran adalah penilaian pada segala sesuatu yang bsia
diamati dan diobservasi berhubungan dengan pengalaman sehat dan skit indivisu ditengah
masyatakat. Pengkajiannya meliputi anamnese peran individu dalam belajar, bekerja.
b) Pengkajian stimulus
Pengkajian stimulusnya berupa kemapuan mengekresipka diri, keberadaanya di masyarakat,
penghargaan dan support sistem.
c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB
-Repson pengkajian perilaku:Masalah adaptasi yang bisa muncul misalnya konflik peran, tranisis
peran, dan peran ganda.Insiden METB karena penyakit jantung lebih tinggi pada usia 30-70
tahun (Chih, Hung, Jiann, & Hsu, 2010), yang merupakan fase usia dewasa tengah dan akhir.
Pada fase ini seseorang akan mengalami integritas ego yang cenderung rentan dengan perubahan
yang terjadid engan dirinya. Klien beresiko untuk mengalami harga diri rendah. Perubahan
bentuk fisik akibat penyakit akan membuat klien kesulitan menerima dirinya yang baru sehingga
membuatnya frustasi sampai resiko terjadinya suicide (Monks & Knoers, 2002). Tidak efektifnya
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
35 koping terhadap peran, pola dan penampilan peran serta integritas peran yang tidak efektif
seperti aktivitas dan gaya hidup seperti perokok baik aktif dan pasif, alkoholisme, komunitas
yang kurang sehat dapat memicu METB.
-Respon pengkajian stimulus pasien METB: Perubahan status kesehatan dan kompleksnya
regimen terapi menjadi stimulus terhadap manajemen kesehatan diri dan manajemen regimen
terapeutik keluarga yang tidak efektif. Stimulus fokal yang berperan terhadap respon fungsi
peran yang tidak efektif adalah perubahan status kesehatan.
d. Mode Adaptasi Interdependensi
a) Pengkajian perilaku
Mode interdependensi menunjukkan adanya kebutuhan akan sistem dukungan orang adekuat dari
keluarga, teman-teman dan masyarakat (Christensen & Kenney, 2009). Pengkajian mode
adaptasi interdepnsi adalah semua perilaku dan sikap yang ditunjukkan klien dalam memberi
atau menerima support atau dukungan dari orang lain dalam menajalani perawatan. Sistem
pendukung yanga da baik dari kelaurga atau teman atau kelompok sosail yang bisa membentuk
pola pikir positif, motivasi sampai dukungan sosial, spiritual, ekonomi yang bisa membantu klien
menjalani perawatanya secara lebih baik.
b) Pengkajian stimulus
Pengkajian stimulus terkait dengan harapan dan menyadari kebutuhan, kemampuan merawat
kedua pihak, harga diri, pengetahuan, usia serta pemahaman hubungan interdependen (Roy
&Andrews, 1999).
c) Respon pengkajian perilaku pasien METB
-Respon perilaku: berupa kelemahan, kehilangan sensasi dan paralisis memerlukan dukungan
dari keluarga, teman, dan masyarakat agar pasien tetap adaptif terhadap kondisi yang dialami.
Perubahan fisik dan tidak adanya orang yang berarti menjadi stimulus fokal kerusakan interaksi
sosial atau isolasi sosial pada pasien METB.
-Respon pengkajian stimulus pasien METB: Pengkajian stimulus pada mode ini dilakukan
dengan penilaian akan kebutuhan untuk mencintai, menghargasi, keterbukaan, perhatian, nilai,
harapan. Kasih sayang dan interaksi dengan orang lain terutama kelaurga. Masalah adaptasi pada
mode ini adalah: kesepian, ketidakefektifan support sistem, perasaan terbuang, relaita perawatan
dengan posisi : OT (orang terlantar), gangguan emosi dan perasaa, putuas asa (Hopeless).
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
36 2.2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut teori adaptasi Roy didefinisikan sebagai suatu hasil dari proses
pengambilan keputusan berhubungan dengan kurang mampunya adaptasi. Diagnosa keperawatan
dirumuskan dengan mengobservasi tingkahlaku klien terhadap pengaruh lingkungan. Cara
penetapan diagnosa keperawatan yang digunakan adalah:Pernyataan perilaku dengan stimulus
yang sangat mepengaruhi, ringkasan tentang perilaku dengan stimulus yang relevan, penamaan
yang meringkaskan perilaku bila lebih dari satu mode dipengaruhi oleh stimulus yang sama.
Diagnosa keperawatan menurut Roy dapat dibedakan menjadi 2 hal, yaitu diagnosa keperawatan
positif untuk adaptasi positif dan diagnosa keperawatan yang diangkat berdasarkan masalah
adaptasi. Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan meningitisensefalitis TB
ditegakkan dengan menganalisis tanda dan gejala yang mundul pada masing-masing mode.
Pembuatan diagnosa keperawatan mengaju pada NANDA dan disesuaikan dengan respon
maladaptif pada masing-masing mode pada model adaptasi Roy. Berikut ini penjelasanya:
1. Mode Adaptasi Fisiologi
Diagnosa keperawatan pada mode adapatasi fisiologis pasien METB ditegakkan berdasarkan
perilaku yang tidak efektif pada pola oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas/istirahat, proteksi
dan perlindungan, sensasi, cairan elektrolit, fungsi neurologi dan fungsi endokrin. Adanya
stimulus yang menyebabkan perilaku oksigenasi yang tidak efektif menimbulkan diagnosa
keperawatan sebagai berikut: ketidakefektifan perfusi jaringan serebri, kerusakan mobilits fisik,
defisit perawatan diri, resiko penyebaran infeksi, resiko cidera, kesulitan menelan, kerusakan
integritas kulit, bersihan jalan napas tidak efektif, pola napas tidak efektif, kerusakan pertukaran
gas, risiko aspirasi, dll.
Perfusi jaringan serebral tidak efektif pada METB dipengaruhi oleh stimulus fokal berupa
obstruksi akibat gangguan absorbsi carian serebrospinal dan proses edema pada otak yang
disebabkan oleh proses infeksi dan inflamasi infeksi otak (Andrea, 2008). Hal ini menyebabkan
penurunan suplai darah, oksigen dan nutrisi ke jaringan otak. Penurunan suplai darah dibawah 12
ml/100 gram/menit menyebabkan tidak adanya proses metabolik sel yang diikuti kerusakan
jaringan (Bornstein & Auriel, 2010; Rohkamm, 2004). Stimulus yang lain adalah hipertensi,
hiperkolesterolemia, atrial fibrilasi dan terapi thrombolisis. Penurunan suplai daraf pada otak
akan menyebabkan munculnya masalah keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan serebri.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
37 Kerusakan mobilitas fisik pada pasien METB dipengaruhi oleh stimulus fokal berupa kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik (Smeltzer & Bare, 2006). Adanya gangguan yang
melibatkan sistem neuromuskuler mengakibatkan hambatan dalam melakukan mobilitas
sehingga menimbulkan masalah kerusakan mobilitas fisik.
Gangguan mobilitas akibat kelemahan juga dapat menimbulkan masalah defisit perawatan diri.
Defisit perawatan diri merupakan suatu kondisi seseorang mengalami ketidakmampuan dalam
memenuhi perawatan diri yang meliputi mandi, makan, berpakaian dan toileting (Wilkinson,
2007). Pasien METB sering membutuhkan bantuan dalam memenuhi activities of daily living
(ADL), seperti ambulasi, mandi, eliminasi, merawat diri dan makan (DeLaune & Ladner, 2002).
Penegakan diagnosa ini disesuaikan dengan masalah perawatan diri yang dialami. Pasien yang
mengalami penurunan kesadaran dengan skor Barthel Index 0-4 mengalami defisit perawatan
diri total (mandi, makan, berpakaian dan toileting). Gangguan mobilitas fisik akan memunculkan
maslah lain sebagai bentuk dari disuese sindrome sepeperti defisit perawatan diri, kerusakan
integritas kulit, resiko cider, resiko jatuh (Doenges, 2010)
Penurunan kesadaran dan immobilitas pada pasien METB dapat menimbulkan berbagai masalah
baik aktual maupun risiko. Komplikasi akibat immobilitas dapat berupa ulserasi, konstipasi,
risiko trombosis, retensi urine, risiko infeksi saluran kemih, penurunan daya tahan, penurunan
gerak sendi. Kompleksnya permasalahan yang dialami akibat immobilitas menimbulkan masalah
keperawatan risiko disuse sindrom (Herdman, 2012). Immobilitas pada pasien METB juga
berisiko mengalami kerusakan integritas kulit. Risiko kerusakan integritas kulit ditetapkan
berdasarkan alat penilaian risiko seperti skala Braden atau Norton. Immobilisasi lama
menimbulkan penekanan jaringan yang mengganggu aliran darah setempat menyebabkan
iskemik dan berlanjut menjadi nekrosis pada kulit dan jaringan dibawahnya (Beddoe & Grose,
2010). Kondisi ini diperberat oleh usia lanjut, perubahan status nutrisi, penonjolan tulang,
kelembaban kulit dan udara serta hipertermi (Herdman, 2012).
Proteksi dan perlindungan yang tidak efektif pada METB, selain berisiko mengalami kerusakan
integritas kulit juga dapat mengalami risiko cedera dan jatuh. Risiko cedera berhubungan dengan
lingkungan eksternal maupun lingkungan internal seperti pemeriksaan darah yang abnormal dan
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
38 hipoksia jaringan. Sedangkan risiko jatuh dapat terjadi pada proses pemulihan karena kelemahan,
gangguan motorik dan visual dan lebih sering terjadi pada usia >65 tahun (Black & Hawks,
2009; Herdman, 2012).
Pasien METB juga mudah mengalami masalah respirasi. Peningkatan usia dan immobilisasi
meningkatkan risiko atelektasis dan pneumonia. Obstruksi jalan napas terjadi karena kesulitan
mengunyah dan menelan, makanan tersimpan dalam mulut atau lidah jatuh kebelakang.
Beberapa orang pasien yang mengalami METB di batang otak menyebabkan kegagalan
pernapasan. Kondisi ini menimbulkan diagnosa keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif,
pola napas tidak efektif dan kerusakan pertukaran gas. Pasien yang mengalami METB batang
otak membutuhkan intubasi, ventilasi mekanik dan enteral tube feeding dan berisiko mengalami
aspirasi pneumonia (Lewis, Heitkemper, Dirkssen, O’Brien, & Bucher, 2007).
Diagnosa keperawatan resiko aspirasi ditegakkan jika pasien mengalami risiko masuknya sekresi
gastrointestinal, sekresi orofaringeal, zat padat atau cair ke dalam saluran trakeobronkial. Faktor
risiko aspirasi yaitu penurunan motilitas gastrointestinal, gangguan menelan, penurunan
kesadaran dan pemberian makan melalui NGT (Herdman, 2012). Pasien METB yang mengalami
disfagia orofaringeal dan esophageal meningkatkan risiko aspirasi (Eisenstadt, 2010).
Kerusakan neuromuskuler yang ditimbulkan akibat perfusi jaringan serebral tidak efektif dapat
menyebabkan gangguan menelan. Menelan merupakan proses kompleks yang melibatkan 20
muskulus dan 5 nervus yang memerlukan koordinasi aktivitas otot mulut, faring, laring dan
esofagus yang dipersarafi oleh sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer yang terdiri dari empat
fase yaitu oral preparatory, oral propulsif, pharingeal dan esophageal (Hammond & Goldstein,
2006; Nazarko, 2007). Jika hal ini mengalami gangguan maka dapat menimbulkan kerusakan
menelan. Gangguan menelan pada METB juga merupakan stimulus terhadap ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Selain pola nutrisi yang tidak efektif, pasien METB juga dapat menunjukkan perilaku yang tidak
efektif terhadap pola eliminasi. Pola eliminasi yang tidak efektif menimbulkan masalah
kerusakan eliminasi urine. Kerusakan eliminasi urine dapat berupa retensi urine, nokturia,
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
39 frekuensi, urgensi, dysuria dan inkontinensia. Inkontinensia urine pada pasien METB
berhubungan dengan infark serebral yang luas (Matthews & Mitchell, 2010). Penyebab
kerusakan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi anatomik, penyebab multipel, infeksi
saluran kemih dan kerusakan sensori motorik (Herdman, 2012).
Konstipasi merupakan penurunan frekuensi defekasi disertai kesulitan pengeluaran feses atau
feses yang keras dan kering (Herdman, 2012). Konstipasi pada pasien METB terjadi jika lesi
mempengaruhi pusat defekasi. Hal ini akan menghambat aktivitas simpatis dan parasimpatis
sehingga terjadi kegagalan koordinasi gelombang peristaltik, relaksasi pelvis dan spinkter
eksternal (Winge, Rasmussen, & Werdelin, 2003).
Masalah keperawatan yang lain yang dapat ditemukan pada pasien METB adalah nyeri akut.
Nyeri merupakan sesuatu yang personal, emosional dan dilaporkan secara subyektif (Briggs,
2010). Nyeri pada pasien METB dapat berupa nyeri kepala. Nyeri dapat disebabkan agen cedera
baik biologi, kimia, fisik dan psikologis (Herdman, 2012). Selain nyeri, pasien METB dapat
mengalami kerusakan komunikasi verbal. Kerusakan komunikasi verbal merupakan penurunan
kemampuan untuk menerima, memproses dan mentransmisikan simbol yang dapat terjadi akibat
penurunan sirkulasi darah ke otak. Kerusakan komunikasi ini dapat terjadi pada pasien METB
dengan berbagai variasi baik kesulitan membentuk kalimat seperti afonia, disartria ataupun
kesulitan dalam mengekspresikan pikiran secara verbal seperti afasia, disfasia, apraksia dan
disleksia (Herdman, 2012).
Konfusi akut merupakan kejadian yang tiba-tiba dari perubahan global sementara serta gangguan
perhatian, kognitif, aktivitas psikomotor, tingkat kesadaran dan siklus bangun tidur. Konfusi ini
menggambarkan beragam kerusakan kognitif (Wilkinson, 2007). METB meningkatkan risiko
gangguan kognitif. Sekitar 30% pasien mengalami gangguan kognitif ringan dalam 0-6 bulan
setelah METB (Khedr et al., 2009). Selain konfusi akut, pasien METB juga dapat mengalami
kerusakan memori. Kerusakan memori merupakan ketidakmampuan mengingat, mengulang
informasi atau keterampilan perilaku. Hal ini dapat disebabkan oleh hipoksia kronis atau akut
(Wilkinson, 2007). Sekitar 30% pasien METB melaporkan masalah memori yang membutuhkan
penanganan (Aben et al., 2009). Diagnosa keperawatan risiko glukosa darah tidak stabil
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
40 merupakan risiko kadar glukosa darah bervariasi mulai dari rentang glukosa darah normal hingga
kadar glukosa darah yang berbahaya bagi kesehatan. Stimulus diagnosa ini adalah kurangnya
pengetahuan tentang manajemen diabetes, monitoring glukosa darah yang tidak adekuat dan
stress (Herdman, 2012). Diagnosa ini juga dapat ditemukan pada pasien METB dengan faktor
risiko diabetes melitus.
2 Mode Adaptasi Konsep Diri
Diagnosa keperawatan berdasarkan mode adaptasi konsep diri ditegakkan berdasarkan perilaku
fisik diri dan personal diri yang tidak efektif. Respon perilaku fisik diri yang tidak efektif
menimbulkan masalah keperawatan gangguan citra tubuh dan unilateral neglect. Gangguan citra
tubuh dapat disebabkan oleh perubahan struktur dan fungsi tubuh. Gangguan citra tubuh juga
berhubungan dengan harga diri rendah (Gorman & sultan, 2008; Wilkinson, 2007).
Pada pasien dengan METB akan rentan mengalami nyeri kepala, penurunan kesadaran dan
demam. Munculnya TRM dan defisit neurologi. Klien yang mengalami gangguan motorik
seperti parese akan membuat harga diri klien berubah, klien mungkin akan sulit menerima
dirinya yang baru dengan kelemahan atau kelumpuhan anggota geraknya. Penurunan kesadaran
dan disetres pernapasan akan membuat resiko berduka. Berduka merupakan respon emosional
terhadap kehilangan seseorang atau sesuatu yang berharga baik yang nyata maupun yang
diantisipasi (Smeltzer & Bare, 2006). Diagnosa keperawatan NANDA mendifinisikan berduka
sebagai suatu proses kompleks termasuk respon emosional, fisik, spiritual, sosial dan intelektual
serta perilaku individu, keluarga dan komunitas baik aktual, diantisipasi maupun perasaan
kehilangan terhadap aktivitas sehari-hari (Herdman, 2012). Berduka mengacu pada proses yang
terjadi setelah adanya kehilangan baik kehilangan saudara atau teman, bagian tubuh, pekerjaan,
kesehatan atau kehidupan (Smeltzer & Bare, 2006).
Kondisi klien dengan demam dan kesadaran menurun akan membuat kecemasan (Wilkinson,
2007). Ansietas merupakan suatu keresahan dan perasaan tidak nyaman yang disertaidengan
respon otonom yang sumbernya tidak spesifik dan tidak diketahui serta perasaan khawatir yang
disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya (Herdman, 2012). Ansietas merupakan gangguan
psikologis yang sering dialami pasien METB fase akut, disebabkan oleh gangguan serebral atau
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
41 merupakan reaksi psikologis. Gangguan citra tubuh akan muncul dari kondisi ketergantuangan
klien pada orang lain utnuk memnuhi kebuthan ADL nya (Lewis, Heitkemper, Dirkssen,
O’Brien, & Bucher, 2007).
3 Mode Adaptasi Fungsi Peran
Diagnosa keperawatan berdasarkan mode adaptasi fungsi peran pada METB meliputi
penampilan peran tidak efektif, menajemen kesehatan diri tidak efektif dan manajemen
kesehatan keluarga tidak efektif (Wilkinson, 2007). Kurang pengetahuan juga menjadi stimulus
terhadap manajemen kesehatan diri tidak efektif. Diagnosa ini ditegakkan jika pasien berharap
mengikuti program pengobatannamun mengalami kesulitan. Salah satu kesulitan yang sering
dialami adalah kurangnya pengetahuan dan motivasi. Manajemen regimen terapeutik keluarga
yang tidak efektif merupakan pola dalam mengatur dan mengintegrasikan program keluarga
dalam proses terapi penyakit dan gejala tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan kesehatan
(Herdman, 2012).
4 Mode Adaptasi Interdependensi
Diagnosa keperawatan berdasarkan mode adaptasi interdependensi adalah kerusakan interaksi
sosial, isolasi sosial, koping individu tidak efektif dan disfungsi proses keluarga. Kerusakan
interaksi sosial terjadi jika jumlah dan kualitas interaksi sosial tidak efektif. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh tidak adanya orang yang berarti, hambatan komunikasi, gangguan konsep diri
dan keterbatasan mobilitas. Situasi sosial yang tidak nyaman, gangguan interaksi dengan orang
lain, keluarga melaporkan perubahan pola interaksi pasien, menunjukkan ketidakmampuan
menerima atau mengkomunikasikan rasa kepuasan dan keterikatan merupakan manifestasi dari
kerusakan interaksi sosial (Herdman, 2012).
Perilaku adapatasi yang tidak efektif pada mode interdepensi ditunjukan dengan munculnya
perasaan putus asa. Sendiri, kesepian, terbuang. Penurunan motivasi untuk bisa sembuh. Kondisi
ini akan membuat klien menarik diri dari interaksi sosial bahkan menghambat pemberian
perawatan pada dirinya.kondisi ini menunjukan bahwa koping individu tersebut tidak lagi
efektif. Dimana ketidakefektifan koping individu akan membutuhkan hospitalisasi dapat
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
42 menimbulkan masalah perubahan peran dalam keluarga (Black & Hawks, 2009; Wilkinson,
2007).
2.2.2.3 Tujuan Keperawatan
Tujuan keperawatan ditetapkan setelah pembuatan prioritas diagnosa keperawatan. Tujuan
keperawatan diadaptasi dari Nursing Outcomes Classification (NOC). Penetapan tujuan
keperawtan menurut Roy adalah menyusun pernytaan yang jelas dari hasil perilaku (Behaviour
Outcomes) dari asuhan keperawatan yang akan diberikan pada pasien yang fokusnya adalah
mempertahakan dan meningkatkan perilaku adaptif serta merubah perilaku yang tidak adaptif
menjadi perilaku adaptif. Hal yang harus dinyatakan dalam penetapan tujuan adalah perilaku,
perubahan yang diharpakan serta rentang waktu. Berikut ini beberapa tujuan keperawatan pada
masing-masing masalah keperawatan:
Tujuan keperawatan terhadap perfusi jaringan serebral tidak efektif yaitu pasien beradaptasi
terhadap perfusi jaringan serebral dan status neurologis dengan respon perilaku tekanan darah
dalam rentang yang diharapkan (penurunan 15% dalam 24 jam atau <185/110 mmHg) dengan
target tekanan darah 160/90, tidak ada keluhan sakit kepala, kesadaran kompos mentis, bicara
semakin lancar, intake output seimbang, MAP <130 mmHg, pasien menghindari aktivitas yang
dapat meningkatkan tekanan intrakranial (Moorhead, Johnson, & Maas, 2004; Wong & Read,
2008)
Tujuan keperawatan terhadap masalah bersihan jalan napas tidak efektif adalah pasien dapat
beradaptasi terhadap status respirasi patensi jalan napas dengan respon perilaku mudah bernapas,
irama napas reguler, pernapasan 12-20 x/menit, mengeluarkan sputum dari mulut, tidak
terdengar bunyi napas tambahan. Tujuan keperawatan pola napas tidak efektif adalah pasien
dapat beradaptasi terhadap status respirasi ventilasi dengan respon perilaku napas pendek tidak
ada, kecepatan dan irama napas dalam batas normal, tidak ada penggunaan otot aksesori
pernapasan, mendemonstrasikan pursed lips breathing.
Tujuan kerusakan pertukaran gas yaitu pasien dapat beradaptasi terhadap status respirasi
pertukaran gas dengan respon perilaku tidak ada keluhan sesak saat beristirahat, tidak ada
sianosis, ventilasi perfusi seimbang, analisa gas darah dalam batas normal (Moorhead, Johnson,
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
43 & Maas, 2004; Wilkinson 2007). Respon perilaku yang diharapkan yaitu jalan napas paten,
bunyi paru yang bersih, menelan dan mencerna melalui oral, makan melalui NGT tanpa aspirasi
(Ackley & Ladwig, 2011). Tujuan intervensi pada masalah kerusakan mobilitas fisik adalah
pasien diharapkan beradaptasi terhadap mobilitas dengan respon perilaku kekuatan otot
meningkat,
dapat
duduk
seimbang,
tidak
mengalami
kontraktur
dan
footdrop,
mendemonstrasikan ROM, mendemonstrasikan perilaku yang memungkinkan melakukan
aktivitas dan mempertahankan integritas kulit (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010).
Tujuan keperawatan pada defisit perawatan diri yaitu pasien dapat beradaptasi terhadap status
perawatan diri dengan respon perilaku mengungkapkan kepuasan tentang kebersihan diri,
mengenakan dan melepas bagian pakaian yang penting, mampu makan secara mandiri,
membersihkan diri setelah toileting (Wilkinson, 2007). Tujuan keperawatan risiko disuse
sindrom adalah pasien beradaptasi terhadap status neurologis, konsekuensi fisiologis terhadap
immobilitas dan mobilitas dengan respon perilaku mempertahankan kulit utuh, mempertahankan
fungsi eliminasi feses dan urine yang normal, mempertahankan rentang gerak sendi, aliran darah
perifer baik dan fungsi paru normal (Ackley & Ladwig, 2011). Tujuan keperawatan pada risiko
kerusakan integritas kulit yaitu pasien beradaptasi pengendalian risiko dan integritas jaringan
dengan respon perilaku kulit utuh, melakukan perawatan kulit yang efektif, makan adekuat,
melaporkan sensasi atau nyeri pada area yang berisiko, mengungkapkan rencana personal untuk
mencegah kerusakan integritas kulit.
Tujuan keperawatan pada risiko cedera dan jatuh yaitu pasien tidak terjadi cedera dan
menunjukkan perilaku pencegahan jatuh. Respon perilaku adaptif risiko cedera yaitu pasien
menjelaskan tindakan untuk menurunkan risiko, menghindari faktor risiko dan menyebutkan
faktor presipitasi kejang. Sedangkan respon perilaku adaptif risiko jatuh yaitu menggunakan
bantuan untuk mobilisasi, menggunakan alat bantu secara benar, melakukan prosedur berpindah
dengan aman, menjelaskan aktivitas untuk menurunkan risiko jatuh, menjelaskan pencahayaan
dan lantai yang aman yang dapat menurunkan risiko jatuh (Akley & Ladwig, 2011; Moorhead,
Johnson, & Maas, 2004; Wilkinson 2007). Tujuan keperawatan pasien dapat beradaptasi
terhadap nyeri dengan respon perilaku adaptif yaitu mendemonstrasikan teknik relaksasi,
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
44 melaporkan nyeri pada skala 3 atau kurang (skala 0-10), melaporkan kesejahteraan fisik dan
psikologis (Wilkinson 2007).
Mode adaptasi fungsi peran yang tidak efektif menimbulkan masalah penampilan peran tidak
efektif, manajemen kesehatan diri tidak efektif dan manajemen regimen terapeutik keluarga tidak
efektif. Tujuan keperawatan penampilan peran tidak efektif yaitu pasien beradaptasi terhadap
penampilan peran dengan respon perilaku efektif mampu memenuhi harapan peran; melaporkan
rasa nyaman dengan perubahan peran; melaporkan strategi perubahan peran dan menunjukkan
perilaku peran dalam keluarga, komunitas dan hubungan dengan orang lain (Moorhead, Johnson,
& Maas, 2004). Tujuan keperawatan manajemen kesehatan diri tidak efektif yaitu pasien
mengetahui penatalaksanaan terapi, perawatan dan menunjukkan perilaku taat dengan respon
perilaku adaptif menyebutkan faktor risiko METB berulang, berpartisipasi dalam proses belajar,
menyadari bahwa METB butuh waktu untuk rehabilitasi, menjelaskan diet dan aktivitas untuk
mencapai tujuan terapi, mengungkapkan keinginan untuk memperbaiki gaya hidup.
Tujuan keperawatan manajemen regimen terapeutik keluarga tidak efektif yaitu keluarga
beradaptasi terhadap penatalaksanaan terapi dan berpartisipasi dalam perawatan. Respon perilaku
efektif yang diharapkan yaitu keluarga menunjukkan keinginan untuk mengelola program terapi,
mengidentifikasi faktor yang menghambat program, mengatur diet, aktivitas serta pengobatan
pasien (Akley & Ladwig, 2011; Wilkinson, 2007). Tujuan keperawatan koping undividu tidak
efektif yaitu pasien beradaptasi terhadap koping dengan respon perilaku adaptif mengidentifikasi
pola koping yang fektif, melaporkan penurunan gejala fisik dan stress, beradaptasi terhadap
perubahan hidup. Tujuan keperawatan disfungsi proses keluarga yaitu dapat beradaptasi terhadap
fungsi keluarga dengan respon perilaku adaptif yaitu keluarga saling mendukung dan menolong
serta terlibat dalam pengambilan keputusan.
2.2.2. 4 Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan pada model adaptasi Roy dilakukan dengan tujuan untuk mengubah atau
memanipulasi stimulus fokal, kontekstual dan residual, juga difokuskan pada koping individu
sehingga seluruh rangsang sesuai dengan kemampuan individu untuk beradaptasi. Tindakan
keperawatan berusaha membantu stimulus menuju perilaku adaptif. Hal ini menekankan kembali
pentingnya mengidentifikasi penyebab selama pengkajian. Langkah dalam menyusun intervensi
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
45 keperawatan menurut Roy adalah dengan mempertimbangkan: pendekatan alternatif apa yang
akan dilakukan, konsekwensi yang akan terjadi, apakah tujuan mungkin tercapai dengan
alternatif tersebut dan apakah alternatif itu diterima atau tidak.Implementasi keperawatan adalah
berupa uraian yang lebih rinci dari intervensi keperawatan yang telah dipilih dalam implementasi
juga diuraikan pencapaian tujuan keperawatan dapat tercapai dengan melakukan menjemen
beberapa stimulus yang ada. Intervensi keperawatan pada pasien dengan METB di adaptasi dari
nursing interventions classification (NIC). Setiap intervensi keperawatan terdiri dari berbagai
aktivitas yang dapat merubah subsistem regulator dan kognator agar respon perilaku menjadi
efektif. Setiap aktivitas keperawatan dari NIC yang masih bersifat umum untuk berbagai
penyakit, diambil dan disesuaikan dengan kondisi perkembangan kesehatan dan penyakit pasien
untuk kemudian diterapkan dalam implementasi keperawatan pada pasien dengan METB.
Intervensi keperawatan utama pada klien dengan METB bisa dilihat dalam tabel 2.1.
2.2.2.5 Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk menilai efektivitas intervensi keperawatan yang telah diberikan.
Evaluasi keperawatan menjadi refleksi dari tujuan keperawatan yang telah ditetapkan. Respon
pasien selama diberikanya asuhan keperawatan dievaluasi secara berkesinambungan untuk
menilai perubahan status kesehatan pasien. Evaluasi terhadap respon perilaku mode adaptasi
fisiologis, psikologis, fungsi peran dan interdependensi apakah pasien beradaptasi secara
integrasi, kompensasi atau kompromi (Roy & Andrews, 1999). Evaluasi merupakan penilaian
efektifitas terhadap intervensi keperawatan sehubungan dengan tingkah laku pasien setelah
diimplementasi. Intervensi keperawatan dinilai efektif jika tingkah laku pasien sesuai dengan
tujuan yang ditetapkan.
Evaluasi pada pasien METB dilihat dengan melihat respon yang
ditunjukan pada setiap mode. Respon adaptif bila pasien mampu membentuk mekanisme koping
yang baik sehingga status kesehatan bisa dipertahankan.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
46 Tabel 2.1
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN METB DENGAN PENERAPAN TEORI ADAPTASI ROY
NO
1
Mode Adaptasi
Fisiologis
Perilaku
Oksigenasi
Nutrisi
Pengkajian
Stimulus
F: sekret, sputum,
K: Disfungsi neuromuskuler,
infeksi,
immobilisasi
R: merokok
F: sesak, disfungsi neuromuskuler
K: Disfungsi neuromuskuler,
infeksi,
immobilisasi
R: cemas,
F:sesak,
sianosis,
CRT,
penurunan OU.
K:riwayat
merokok, riwayat
hipertensi, riwayat gangguan
kardiologi
R:usia, herediter, pengetahuan ,
dukungan dan motivasi serta
kontrol kesehatan
F:nyeri kepala, gangguan memori,
konfusu, penuruna kesadaran,
demam, parese, inkotinensia
K:riwayat
merokok, riwayat
hipertensi
R:usia, pola makan, pengetahuan,
dukungan , motivasi, kontol,
menejemen kesehatan
Diagnosa
Keperawatan
Bersihan jalan nafas
efektif
Gangguan
perfusi
jaringan serebri
Keseimbangan elektrolit
dan asam basa
Keseimbangan cairan
Status neurologis
Status kesadaran
F:mual, muntah, anoreksia
K:riwayat strees ulcer, riwayat
anemia
R:pengetauan diet seimbang,
motivasi dalam makan, dukungan
Gangguan
kurang
kebutuhan
Status nutrisi
Intake cairan dan nutrisi
Status metabolisme
Status gizi
Nilai gizi
Pola nafas
efektif
tidak
Gangguan pertukaran
gas
nutrisi
dari
NOC
NIC
Status pernapasan: Jalan
nafas Paten
1.Manajemen airway
2. Suction jalan napas
3. Peningkatan batuk
Status respirasi: Ventilasi:
patensi
Tanda-tanda vital dalam
batas normal
Status respirasi
Status vaskuler
TTV
Kondisi asam basa
1.Manajemen airway
2. Monitoring respirasi
3. Terapi oksigen
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
5.
Menejemen airway
Menejemen ventilasi
Menejemen perfusi
Menejemen asam basa
Pengelolaan edema serebri
Memantau neurologis
Menejemen perfusi
Pengontrolan TIK
Pencegahan
valsavah
manuver
6. Menejemen oksigenasi
7. Menejemen perfusi
8. Menejemen difusi
1.Monitoring nutrisi
2. Manajemen nutrisi
3. Terapi nutrisi
4. Feeding
5. pengelolaan gangguan makan
Universitas Indonesia
47 Eliminasi
Aktivitas
istirahat
/
Proteksi dan
perlindungan
keluarga tentang pemenuhan diet
F:retensi, inkotinen,nyeri BAK,
hematuria, proteinuris
K:riwayat gangguan eliminasi
R:pengetahuan tentang perawatan
F:Lesi pusat defekasi, tidak ada
sensasi buang air besar
K: Mobilisasi yang kurang,
kelemahan, intake serat kurang,
obat (diuretik, antidepresan,
antihipertensi)
R:
Kurangnya
privasi,
ketersediaan
badpan, mengabaikan keinginan
defekasi, stress
F:kemerahan.lesi,
ulkus
decubitus, parese
K:riwayat perburujkan nutrisi,
riwayat PH yang kurang optimal,
immobilisasi,
R:usia, status nutrisi, ADL,
dukungan
keluarga
dalam
mobilisasi
F:
Kelemahan,
kerusakan
neuromuskuler
K: Infark, edema serebri
R: Kurang pengetahuan manfaat
pergerakan
fisik,
enggan
bergerak, kepercayaan terhadap
budaya, kebiasaan mengkonsumsi
alkohol
F:alergi, jatuh, kerusakan jaringan
K:riwayat
jatuh,
riwayat
kejang.Riwayat alergi
R:kondisi
imunitas.
Kondisi
6.bantuan menaikan BB
1.Manajemen eliminasi urine
2. Tube care: urinary
3.Menejemen balance cairan
Kerusakan eliminasi
urin
Status eliminasi
Balance cairan
Pemeriksaan urinalisa
konstipasi
Eliminasi
defekasi:
kemampaun saluran GI
mengeluarkan
dan
membentuk feses secara
efektif
1.Manajemen konstipasi
2. Manajemen bowel
3. Bowel training
Kerusakan integritas
kulit
Pengendalian risiko
Integritas jaringan: kulit
dan membran mukosa
penyembuhan luka
1. Pengaturan posisi: neurologi
2. pencegahan luka tekan
3. pengawasan kulit
4. Perawatan luka
5. survailance kulit
Kerusakan mobiliras
fisik
Mobilitas
Konsekuensi imobilitas:
fisiologis
Posisi tubuh: inisiasi diri
Penampilan body mekanik
Status neurologis: kontrol
motorik sentral
perawatan diri
pelaksanaan berpindah
Pengendalian resiko
Perilaku
keamanaan:
Pasien safety
Kontrol kejang
1.Pengaturan posisi: neurologi
2. Exercise terapi: kontrol otot
3. Exercise terapi: mobilitas
sendi
4. terapi aktivitas: ambulansi
Resiko cidera
1.Manajemen lingkungan
2. Pendidikan kesehatan
3. Pencegahan kejang
4. Manajemen kejang
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
48 muskuloskeletal
Cegah trauma /cidera
F: demam, infeksi primer, tanda
infeksi,
tanda
inflamasi,
malnutrisi
K: riwayat penyakit otoimun,
rimawayt trauma
R: pengetahuan tentang proteksi,
edukasi tentang diet seimbang
Resiko
infeksi
Sensasi
F:nyeri akut,
K:defisit sensorik motorik
R:penegathuan
tentang
pencegahan dan penatalaksanan
trauma
Nyeri (akut)
Cairan
elektrolit
F:dehidrasi, mual, muntah, luka
bakar, diaforesis
K:riwayat
gangguan
ginjal,
riwayat gangguan pernapsa
R:pengeathuan,
perawtan,
motivasi
dalam
pemenuhan
keseimbangan
cairan
dan
elektrolit
F:Hipoksia, gangguan saraf
K:Infark,
anemia,
gangguan
elektrolit
R:Usia
F:poliuri, polidipsi, polifagia, GD
abnormal, gangguan pankreas,
K: Gangguan toleransi glukosa,
riwayat DM, onitoring glukosa
yang tidak adekuat, riwayat DM,
Kurang pengetahuan tentang diet
Kekruangan volume
cairan elektrolit
Neurologi
Endokrin
Penyebaran
5.Pencegahan jatuh
6. Kewasapadaan terhadap
alergi
Peningkatan imunitas
1. Menejemen
peningkatan
Vaskinasi
imunitas
Pengendalian infeksi
2. Menejemen pengendalian
Deteksi resiko
infeksi
Pengetahuan pengendalian 3. Menejemen pengendalian
infeksi
resiko infeksi
4. Perlindungan
terhadap
infeksi
Pain manajemen
1.Manajemen nyeri
Kontrol nyeri
2. Pemberian analgesik
Pengalihan nyeri
3. pemberian sedasi
Tingkat kenyamanan
4. penatalaksanaan nyeri
Perilaku
mengendalikan
nyeri
Tingkat nyeri
Menejemen balance cairan 1.Manajemen cairan
Kontrol
keseimbangan 2.Manajemen hipovolemia
elektrolit
3. pengelolaan elektrolit
Keseimbangan asam basa
4. pemantauan cairan
5.Terapi intravena
6. pengelolaan syok
Kerusakan Memori
Orientasi kognitif
Memori
Status neurologis
1.Pelatihan memori
2.Stimulasi kognitif 3.Orientasi
realitas
Resiko
stabil
Kadar glukosa terkontrol
Penegathaun pengontrolan
gula darah
1.Manajemen hipoglikemia
2. Manajemen hiperglikemia
3. Pengajaran: individu
gula
darah
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
49 2
Konsep diri
Fisik diri
Kepribadian
diri
3
Fungsi Peran
4
Interdepensi
dan terapi
R:penegtahuan tentang diet pada
DM, exercise, terapi, kontrol,
perawatan kakai, kontrol gula
darah
F:perubahan fisik
K:riwayat operasi, cidera
R:kepribadian,
pengalama,
pengetahuan
F:kehilangan fungsi tubuh
K:perubahan
lingkungan,
harapan, kondisi sosial
R:pengetahuan,
pengalamam,
kepribadian,karakter
F:Kompleksitas regimen terapi
dan sistem pelayanan, perubahan
status kesehatan
K:Hospitalisasi dengan stroke
yang pertama
R:Persepsi yang tidak sesuai
dengan harapan, harapan peran
tidak
realistis,
kurangnyapengetahuan, petunjuk
dalam melakukan aktivitas belum
adekuat
F:Tidak ada orang yang berarti
K:Keterbatasan
mobilitas,
hambatan komunikasi
R:Gangguan konsep diri
Gangguan citra tubuh
Citra tubuh
Adaptasi fisik tubuh
Mekanisme koping
1.Pencapaian citra tubuh
2. Peningkatan kesadaran diri
3.Peningkatan support sistem
Harga diri
Harga diri rendah
Konsep diri
Kondisi situasional
Pencapaian harga diri
Pencapaian citra tubuh
Menejemen konsep
diri tidak efektif
Pengetahuan
penatalaksanaan terapi
Pengetahuan: perawatan
penyakit
Perilaku taat
1.Bantuan modifikasi diri
2. Pengajaran: individu
3. Pengajaran proses penyakit
4. Pedoman sistem kesehatan
Kerusakan
sosial
Keterlibatan sosial
Interaksi sosial
Peningkatan sosialisasi
Peningkatan support sistem
interaksi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN
GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN
Pada Bab ini akan diuraikan tentang pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan sistem persarafan dengan mengaplikasikan teori Model Adaptasi Roy. Kasus yang
akan diuraikan adalah kasus 1 (satu) kasus kelolaan dan 32 Kasus resume. Pasien kelolaan
pasien dengan Meningitis Ensefalitis Tuberculosa, sedangkan pasien resume berjumlah 32
kasus yang merupakan kasus yang pernah dikelola dengan masalah utama pada gangguan
sistem persarafan di Gedung A lantai V RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
3.1 Gambaran Asuhan Keperawatan Pasien dengan Meningitis ensefalitis Tuberculosa
(METB)
Nama: Tn. M. Jenis kelamin : Laki-Laki. Usia : 32 tahun. Agama : Islam. Status : Belum
Menikah. Pekerjaan : wiraswasta. Pendidikan : SMA. Alamat : Duren sawit Jakarta timur.
Diagnosa Medis : Meningitis Ensefalitis Tuberculosa (METB), Status Epileptikus. Masuk RS
: 28 Agustus 2012. Tanggal pengkajian : 20 September 2012. No. Medical Record : 3691471.
Kamar : 516 B.
3.1.1 Pengkajian Perilaku dan Stimulus
3.1.1.1 Mode Adaptasi Fisiologis
Pengkajian mode adaptasi fisiologis meliputi oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan
istirahat, proteksi dan perlindungan, sensasi, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis dan
fungsi endokrin. Hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada masing-masing mode akan
diuraikan sebagai berikut :
a. Oksigenasi
1) Pengkajian Perilaku
a) Riwayat kesehatan: Riwayat kecelakaan lalu lintas pada kepala samping dan depan.
Riwayat merokok sejak SMA. kebiasaan pasien merokok semakin meningkat
apalagi setalah lulus menurut kakaknya pasien bisa menghabiskan 1 bungkus rokok
dalam 1 hari. 2 hari SMRS pasien mengalami demam, semakin meningkat sampai
3 jam SMRS. Pasien tinggal dipasar dengan ayah angkatnya dengan penyakit TB
paru. Menurut kakanya, pasien mengkonsumsi ganja dan kopi dengan takaran yang
50
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
51 tidak bisa diketahui dengan pasti. Riwayat keluarga: ayah pasien meninggal karena
stroke hemoragic.
b) Pemeriksaan fisik:
Ventilasi: Inspeksi :Bentuk hidung simeteris, Tidak ada deviasi septum, Batuk (+),
dahak (-), Tidak ada pernapasan cuping hidung, Sesak (-), Tidak ada penggunaan
otot bantu napas, Tidak ada retraksi IC atau suprasternal, Pergerakan dinding dada
simetris, Tidak ada tanda trauma atau jejas di hidung dan wajah, Terpasang kanule
terapi oksigen 3 lt/m, Lubang hidung sebelah kanan terpasang NGT.Palpasi :Tidak
ada nyeri tekan pada dada, Tidak teraba massa abnormal di leher dan dada, Taktil
fremitus normal, RR : 20 x / menit: Auskultasi :Suara napas vesikulerSuara nafas
tambahan (-), rhonki (-). Perkusi :Batas paru normal, suara perkusi paru resonan
Transportasi Gas. Inspeksi :Tidak ada tanda cianosis, Membran mukosa lembab,
Tidak ada jejas pada dada atau thoraks, Konjungtiva normal, Tidak terdapat
clubbing finger. Palpasi :CRT < 3 detik, Turgor baik, Nadi : 82 x / menit, nadi
teraba kuat dan reguler, pada bagian perifer ekstrimitas atas dan bawah teraba
dingin, Apeks cordis di ICS IV MCS, JVP 5-2 cm,Suhu : 37,8 C. Auskultasi
:Bunyi jantung I dan II tunggal, tidak ada murmur/gallop, TD = 120/80 mmHg,
Fokal fremitus normal. Perkusi :Batas jantung normal : batas kanan jantung linea
mid sternalis dan batas kiri jantung linea midclavikularis, Getaran dinding paru kiri
dan kanan sama kuat,Terdengar dullness pada semua area jantung
c) Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan Lab analisa Gas darah:
AGD
PH
Pco2
Po2
O2 sat
Standar Hco3
(6/9/2012)
(L) 7,313
(L) 34,6
(H) 196,6
(H) 99,4
(H) 24,7
7,35-7,45
35-45
75-100
95-98
22-24
mmHg
mmHg
%
Mmol/L
Radiografi Thorax (28/8/2012)
Foto polos thorax dalam proyeksi PA dengan hasil :Jantung tidak membesar,
aorta dan mediastinum sup tidak melebar, Trakea digaris tengah, Kedua hilus
tidak menebal, Corakan bronkovesikuler kedua paru baik, Tidak tampak infiltrat
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
52 / nodul di kedua paru, Kedua hemidiafragma baik, Kedua sinus costofrenikus
lancip, Tulang-tulang dan jaringan lunak terkesan masih baik .Kesimpulan :
Tidak nampak kelainan radiologi pada cor dan pulmo
Gambar:
EKG :Kesan : normal sinus rhytme
Pemeriksaan Ct Scan (30/8/2012): TEKNIK msct Scan Serebral dengan kontras
iopromide 300 mg I/ml sebanyak 50 ml iv dosisi radiasi 3,3 mSv.Perbandinagn: tidak
ada. Deskripsi : Tampak penyanagat meningen pasca pemberian kontras diregio
temporal kanan dan kiri, Sulci serebri dan fissura sylvii tidak melebar, Tidak nampak
lesi patologis di intraparenkimimal serebrum dan serebellum. Tahalmus , pons dan
medula oblongata tidak nampak kelainan. Sistem ventrikel dan sisterna tidak emlebar.
Tidak nampak pergeseran garis tengah. Sella dan parasella tidak nampak lesi. Kedua
orbita sinus paransal dan mastoid tidak nampak kelainan Kesimpulan: Penyengatan
meningens sugestif meningitis. Tidak nampak lesi patologis intra parenkim serebri
maupun serebelli
Gambar :
2) Pengkajian stimulus
Stimulus Fokal: peurunan imunitas. Stimulus Kontekstual: riwayat merokok sejak
sekolah STM. Riwayat pemakaian ganja. Riwayat penggunaan alkohol. Tempat
bekerja sebagai preman pasar dengan beberapa teman yang diduga mengalami TB.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
53 Riwayat ayah angkat dengan TBC. Riwayat keluarga: ibu dengan diabetes Mellitus.
Riwayat kejang ec trauma kepala. Riwayat penggunaan medikasi fennitoin tidak
terkontrol untuk OAE. Stimulus Residual: riwayat merokok waktu masih masih
sekolah 1 bungkus/hari dan semakin menikah setelah kedua orang tuanya meninggal,
pola makan pasien tidak teratur, kehidupan sehari-hari pasien tidak terurus. Trauma
kepala sehingga meempunyai riwayat kejang, peningkatan dosisi fenitoin dan terapi
yang tidak teratur (sering putus obat) dari 3x100 menjadi 3x500 mg fenitoin, tidak
melakukan kontrol kesehatan dengan rutin karena alasan biaya dan motivasi
b. Nutrisi
1) Pengkajian Perilaku
a) Riwayat Kesehatan: Riwayat tifus abdominalis dan stress ulcer sejak SMP. Bila
sakit pasien cukup membeli obat di warung. 3 jam SMRS pasien tidak bisa makan
dan minum.
b) Pemeriksaan Fisik:
Sklera tidak ikterik, warna bibir merah muda. conjunctiva tampak pucat. Pada
daerah mulut tidak ditemukan adanya kandidiasis. Parese otot wajah (-), bicara
pelo (-). Kesulitan menelan (+). Kesadaran kline menurun (somnolen) dan ada
kesan gangguan fungsi luhur. Tidak ada hipersalivasi. Batuk (+) dan dahak (-).
Tidak ada gigi yang tanggal atau caries. tidak ditemukan adanya lesi pada daerah
mulut, lidah pasien kotor dan barwarna putih, Abdomen datar, tidak terdapat asites
dan distensi abdomen, bising usus 4-5 x/menit ireguler, pada saat perkusi terdengar
bunyi timpani pada semua kuadran, tidak teraba pembesaran hati dan limpa, tidak
terdapat nyeri tekan dan lepas pada semua kuadran abdomen, pada anus tidak
terdapat hemoroid. BB pasien : 54 Kg dengan tinggi 165 cm. IMT: 19 .
c) Pemeriksaan diagnostik
Berikut ini hasil pemeriksaan laborat
Hematologi
Hemoglobin
Kimia klinik
SGOT
SGPT
(15/9/2012)
(L) 11,7
13-16
g/dL
31
29
<33
<50
u/l
u/l
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
54 2) Pengkajian Stimulus:
Stimulus Fokal: gangguan intake nutrisi: kesulitan menelan, penurunan kesadaran,
dan peningkatan metabolisme: proses infeksi otak. Stimulus Kontekstual: riwayat
kejang. Stimulus Residual: pasien menjalani perawatan dengan dukungan keluarga
yang sangat minimal. Pengetahuan keluarga akan kebutuhan nutrisi pasien minimal
c. Eliminasi
1) Pengkajian perilaku
a) Riwayat Kesehatan:
5 hari SMRS pasien BAB BAK sembarangan.
b) Pemeriksaan fisik
Bowel Pasien BAB (+) 1x/hari. Pasien tidak mendapatkan pencahar. Bising usus :
4-5 x/m. pasien tidak menjalani kemoterapi. Diet : cair dan susu.Makan dan
minum cukup. Mobilisasi diatas TT masih kurang.
Bladder : Terpasang foley katater (DC). Warna kuning jernih. Urin dalam urobag
dibuang dibuang 4-5 kali dalam sehari dengan produksi 500-600 cc sehingga OU:
sekitar 2000-3000 cc dalam 24 jam.
c) Pemeriksaan penunjang:
Berikut ini hasil pemeriksaan lab:
Urinnalisa
Urin lengkap
Warna
Kejernihan
Sedimen
Leukosit
Eritrodit
Silinder
Sel epitel
Kristal
Bakteri
BJ
PH
Protein
Glukosa
Keton
Darah/Hb
Bilirubin
Urobilinogen
Nitrit
Leukosit esterase
(16/9/2012)
Kuning
jernih
Kuning
jernih
1-3
0-1
(+)
1,005
6,0
-
Lpb
Lpb
3,2
-
-
3,2-4,6
Umol/l
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
55 2) Pengkajian Stimulus:
Stimulus Fokal: lesi pada pusat pengontrolan berkemih. Stimulus Kontekstual:
penurunan kesadaran, kesan gangguan fungsi luhur. Stimulus Residual: pasien
menjalani perawatan dengan dukungan keluarga yang sangat minimal.
d. Aktivitas dan Istirahat
1) Pengkajian perilaku: Pasien terlihat hanya berbaring ditempat tidur. Pasien bed rest
total diatas tempat tidur dengan kondisi supine dan elevasi kepala 30 tanpa bantal.
Pasien
terlihat
selalu
megantuk.
Kesadaran
pasien
stupor
dengan
GCS
E3M4Vgangguan fungsi luhur. Kelemahan ekstremitas tangan dan kaki kesan
tertraparese.terpasang restrain dikedua tangan karena kondisi pasien yang cenderung
gelisah dan tidak kooperatif. Selama di RS semua aktivitas sehari-hari pasien dibantu
oleh orang lain seperti berpakaian, eliminasi, membersihkan tubuh termasuk makan
dan minum. Dari hasil pengukuran kemampuan pemenuhan kebutuhan sehari-hari
dengan mengguankan barthe index nilai pasien 3 dengan intepretasi nilai 0-3:
ketergantungan berat. Dalam perawatan pasien tergolong dalam total care. Bernapas
dengan bantual nasal kanul 3l/m, makan dengan NGT, eliminasi urin dengan kateter
DC.terpasangan IUFD di tangan sebelah kiri. Klein mengalami teraparese semua
mobility dibantu oleh orang lain. Semua aktivitas bersifat bed activity. Pasien terlihat
selalu mengantuk dalam dalam kondisi bed rest total.
2) Pengkajian Stimulus:
Stimulus Fokal: tetraparese, terpasang restrain dikedua tangan. Stimulus Kontekstual:
riwayat kejang, penurunan kesadaran, kesan gangguan fungsi luhur. Stimulus
Residual: pasien menjalani perawatan dengan dukungan keluarga yang sangat
minimal.
e. Proteksi
1) Pengkajian perilaku
a) Riwayat kesehatan:
Pasien mempunyai riwayat epilepsi sejak tahun 1995. Epilepsi dialami pasien
setelah mengalami akibat dipukul dikepala saat masih STM ketika terjadi tawuran
massal di depan sekolahnya. Pasien sering ditemukan kejang dijalanan oleh
tetangganya. Menurut kakanya pasien mengalami gejala awitan kejang seperti:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
56 penglihatan buruk, mendengar bisikan, kelonjotan sleuruh tubuh. Paling lama
kejang 5 menit. Riwayat terapi fenitoin yang kurang baik. Peningkatan dosis
penggunaan fenitoin dalam 3 bulan. Dosis 3x100 mg kemudian sejak april
menjadi 3x500 mg. Pasien mengkonsumsi fenitoin tidak teratur. Menurut
kakaknya pasien sering lupa dan kurang disiplin dalam meminum fenitoin.
b) Pemeriksaan fisik:
Kuku tangan dan kaki pasien tampak panjang. Rambut pasien agak kusam namun
tidak berbau. Terlihat ada sedikit daki di tangan dan kaki. Pasien beberapa kali
mengalami demam sampai suhu 38 c terutama saat malam hari. Tidak ada kejang
saat pengkajian. Terpasang restrain dikedua tangan. Pasien sudah MRS selama 11
hari dengan kondisi immobilisasi. Kondisi nutrisi yang potensial tidak adekuat
akibat penuruan kemampuan menelan karena penurunan kesadaran. Pasien
mengalami Ulkus decubitus grade II di sakrum.
c) Pemeriksaan penunjang:
Hasil pemeriksaan diagnostik: TDM (1/9/2012). Hasil Spesiem darah. TDM :
fenitooin :76 ug/ml: kisaran terapi(sebelum minum obat): 10-20 ug/ml waktu
pencapaian kondisi steady state setelah pemakaian oral 8050 hari Nilai leukosit
pasien (12,1) meningkat dari nilai normal (pemeriksaan laborat tanggal
15/9/2012). Hepatitis marker: HbsAg: 0,600
Anti HBc total
non reaktif
<1,0
nonreaktif.
2,14 non reaktif:>1,0 non reaktif. Anti HCV:0,050non reaktif
<0,9non reaktif. Imunoserologi (30/8/2012). Anti HIV penyaring. Metode -1 OD
0,2 CO 0,900 NR. Kesimpulan: anti HIV penyaring : NR (non reaktif).
2) Pengkajian stimulus:
Stimulus Fokal: proses infeksi, resiko jatuh, penurunan kesadaran, status epileptikus.
Stimulus Kontekstual: Parese, immobilisasi, infeksi METB, riwayat kejang ec trauma
kepala sejak 7 tahun yang lalu. Stimulus Residual: dukungan keluarga yang kurang
optimal, motivasi pasien untuk melakukan mobilisasi masih kurang.
f. Sensori
1) Pengkajian perilaku
a) Riwayat kesehatan:
3 hari sebelum masuk RS pasien mengeluhkan pandangannya dobel dan saat di
IGD RSCM pasien sempat mengeluhkan kedua padangan matanya gelap
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
57 b) Pemeriksaan fisik:
Belum ada pemeriksaan menganai kemampuan sensorik pasien meliputi
pendengaran, penciuman dan Penglihatan secara mendetail. Dikarenakan kondisi
pasien yang mengalami penuruna kesadaran, afasia dan diduga adanya gangguan
fungsi luhur. Lidah kotor (-), , nyeri (-). Gigi masih utuh, penyakit gusi (-),
Caries (-). Integumen : turgor kulit masih cukup baik, tangan dan kaki mati rasa,
rambut pasien kotor, terlihat daki dibeberapa bagian tubuh, kuku tangan dan kaki
terlihat panjang
Perhitungan Skala Braden untuk mengidentifikasi resiko kerusakan integritaskulit
Score
Sensory-
1 Completely limited
2 Very limited
3 Slightly limited
4 No Impairment
Moisture
1 Constantly moist
2 Very moist
3 Occasionally moist
4 Rarely moist
Activity
1 Bedrest
2 Chair
3 Walks occasionally
4
perception
Walks
Frequently
Mobility
1 Completely immobile
2 Very limited
3 Slightly impaired
4 No Limitations
Nutrition
1 Very poor
2
3 Adequate
4 Excellent
Probably
inadequate
Friction
&
1 Problem
Shear
2
problem
Potential
3
No
Apparent
1
1
1
2
2
problem
Total Score
Intepretasi:
1
8
15 – 16 Low Risk
12 – 14 Moderate Risk
<11 High Risk
Kesimpulan: dari penghitungan skala braden pasien tergolong dalam high risk.
Dari hasil pemeriksaan ditemukan adanya lesi pada daerah lumbosakral.terjadi ulkus
decubitus grande II Dengan diameter 5-8 cm. Berikut ini gambar luka decubitus pada
pasien:
2) Pengkajian stimulus
Stimulus fokal: ulkus decubitus. Stimulus kontektual: immobilisasi, parese,
penurunan kesadaran, gangguan fungsi luhur. Stimulus residual: dukungan keluarga
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
58 yang tidak optimal, pengetahuan mobilisasi yang kurang.
g. Cairan dan Elektrolit
1) Pengkajian perilaku
a) Pemeriksaan fisik
Intake cairan (air putih) 100-200 cc/hari melalui selang NGT (sonde).
Terpasasang IUFD NS 0,9 % 500 cc/8 jam. Turgor kulit kering, Shiffting dullness
(-),ascites (-), pitting edema (-).Tidak tampak ada oedema baik pada palpebra dan
daerah ekstremitas atas maupun bawah, tidak tampak pembesaran ginjal, tidak
terdapat nyeri tekan dan lepas pada ginjal dan tidak teraba pembesaran ginjal,
tidak terdapat adanya nyeri ketuk pada saat perkusi ginjal pada daerah Costa
Vertebral Angel, tidak terdapat distensi kandung kemih dan tidak terdapat nyeri
tekan maupun lepas pada kandung kemih, pasien terpasang dower kateter yang
terpasang sejak tanggal 3 september 2012. Terpasang foley katater dengan
produksi 2000 cc/24 jam. Warna kuning.proteinuria (-), glukosuria (-).
b) Pemeriksaan penunjang:
Berikut ini hasil pemeriksaan laborat:
Hematologi
Elektrolit (darah)
Na
K
Cl
(15/9/2012)
138
4,19
98,5
132-147
3,3-5,4
94-111
mEq/L
mEq/L
mEq/L
h Fungsi Neuromuskuloskeletal
1) Pengkajian perilaku
a) Riwayat kesehatan:
Sejak 1.5 bulan yang lalu pasien jalan dengan merambat. 1 bulan kemudian jalan
merangkak. 1,5 bulan SMRS pasien masih bisa menjalin komunikasi dan
mengenali orang lain termasuk kakaknya, tidak lama kemudian pasien suka
bicara meracau. 2 hari SMRS (sebelum masuk RS) pasien dibawa ke RS Jiwa
dirawat 4 hari. Pasien mengalami demam suhu :38 C. Pasien pulang atas
permintaan sendiri.
b) Pemeriksaan fisik
- Tingkat kesadaran : Tingkat kesadaran dengan nilai GCS E3 M4Vgangguan fs luhur
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
59 Kontak tidak adekuat, kesan somnolen, kesan: ganguan fungsi luhur, afasia
motorik (+), Refleks pupil terhadap cahaya: baik, pupil isokor diamter 3 mm/3
mm. RCL : +
/ + , RCTL: +
/+
- Pemeriksaan fungsi nervus kranial
Pemeriksaan fungsi saraf kranial tidak bisa dilakukan karena kondisi afasia,
kemungkinan gangguan fungsi luhur dan penurunan kesadaran pasien.
- Status mental
Pasien mengalami penurunan kesadaran, afasia dan gangguan fungsi luhur
sehingga pemeriksaan mental pasien yang meliputi orentasi, mamori,
konsentrasi, kalkulasi kemampuan bahasa dan bicara belum bisa dilakukan
dengan baik. Kontak pasien belum adekuat. Terlihat mengantuk. Komunikasi
hanya sesekali terlihat senyum dan menangis dalam kondisi menutup mata
tanpa ada stimulus eksternal.
- Tes fungsi sensorik
Kemampuan pasien untuk rasa raba (halus dan kasar), rasa nyeri (tumpul dan
tajan), rasa shu (hangat dan dingin) : belum bisa dilakukan karena kondisi
penuruna kesadaran, afasia dan gangguan fungsi luhur.
- Tes fungsi motorik dan otonom
Tonus otot : hipotonik pada ektremitas TRM: Kakukudu (+), Lasiq: <70/<70,
kernig: <135/<135, General weakness, Kontraktur (-), footdrop (-). Pemakaian
kataer urin (+)
Reflek fisiologis :
+2
+1
+2
+1
Kekuatan otot :Pergerakan pasien lemah dan terbatas, kesan tetrapaere: dengan
kekuatan otot: 2222 2222
1111
1111
- Tes fungsi reflek
Reflek bisep: Terjadi kontraksi otot bisep dan pergerakkan fleksi lengan
bawah saat pemeriksa mengetuk tendon otot bisep. Reflek bisep ++ / ++
Reflek trisep: Terjadi kontraksi otot trisep dan pergerakkan fleksi lengan
bawah saat pemeriksa mengetuk tendon otot trisep. Reflek trisep ++ / ++.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
60 Reflek brakhioradial: Terjadi kontraksi otot brakhioradial dan pergerakkan
fleksi lengan bawah saat pemeriksa mengetuk otot brakhioradial. Reflek
dirasakan lebih kuat pada bagian lengan sebelah kiri ++ / ++
Reflek pattela: Terjadi kontraksi otot pattela dan pergerakkan fleksi
ekstrimitas bawah saat pemeriksa mengetuk otot pattela. Reflek dirasakan
sama pada kedua kaki ++ / ++. Melemah pada ekstremitas bawah kiri.
Reflek achiles:Terjadi kontraksi otot achiles dan pergerakkan fleksi
ekstrimitas bawah saat pemeriksa mengetuk otot achiles. Reflek dirasakan
lebih kuat pada bagian kaki sebelah kiri ++ / ++.
Reflek babinski dan hoftmen trumeer: Terdapat gerakan dorso ekstensi pada
ibu jari dan gerakkan abduksi pada jari-jari lainnya saat pemeriksa
menggoreskan bagian lateral telapak kaki pasien. Reflek babinski - /-. Reflek
HT : -/-. Caddock -/-. Oponhem -/-.
-
Tes fungsi kortikal: Pemeriksaan ini seperti Stereognosi belum bisa
dilakukan karena penurunan kesadaran, afasia dan kemungkinan gangguan
fungsi luhur
c) Pemeriksaan penunjang:
Analisis cairan tubuh (1/9/2012). Analisis cairan otak: Makroskopik: Warna
Serus, Kejernihan: jernih, Bekuan (+), Mikroskopik: Hitung sel :6 sel/µl. Hitung
jenis: PMN (segmen): 41/ µl
. MN: 20/ µl, pemeriksaan tinta india ditemukan
kuman criptokokkus. Kimia :Nonne(+), Pandy(+).Protein cairan otak:140mg/dl,
Glukosa cairan otak:76 mg/dl,Glukosa serum :124mg/dl,Klorida(Cl):114Meq/l.
Imunoserologi :M. Tuberculosa PCR pending. Mikrobiologi (3/9/2012): Pulasan
tahan asam :Spesimen : cairan otak Spesimen diterima tanggal : 3/9/2012. Hasil
: BTA (+).
2) Pengkajian stimulus:
Stimulus Fokal: infeksi otak. Kemampuan adaptasi pasien berada pada tahap
kompensatory dengan kerusakan pada regulator terutama pada imunitas pasien dari
bakteri tuberculosa. Stimulus Kontekstual: riwayat merokok, penggunaan ganja, TB
komunitas, terapi fenitoin dengan kepatuhan yang buruk dan peningkatan dosis
Stimulus Residual: pengatahuan pasien tentang penyebaran Tuberculosa, dukungan
keluarga, pengetahuan meningkatkan imunitas
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
61 i. Fungsi Endokrin
1) Pengkajian perilaku
a) Riwayat kesehatan: ibuk pasien mempunyai riwayat Diabetes mellitus
b) Pemeriksaan fisik: Tidak ada pembersaran kelanjar tiroid, tidak ditemukan
polidipsi, poliuri dan polifagi.
c) Pemeriksaan penunjang
`
Hasil pemeriksaan diagnostik:laboratorium
Tanggal 11/9/2013
Glukosa sewaktu
94
mg/dl
2) Pengkajian stimulus:
Stimulus kontekstual berupa riwayat keluarga dengan diabetes.
3.1.1.2. Model Adaptasi Konsep Diri
1) Pengkajian perilaku
Konsep diri yang dirasakan pasien tidak bisa terkaji karena kondisi pasien yang
mengalami penurunan kesadaran dan afasia. Adanya kemungkinan gangguan fungsi
luhur membuat konsep diri pasien semakin sulit terkaji. Apalagi menurut kakanya
sebelum sakit pasien cenderung tertutup pada keluarga dan tidak mau membahas
masalahnya pada keluarga. Lebih dekat dengan ayah angkat dan teman-teman
premanya dipasar. Saat ini kondiisi pasien yang sangat tergantung dan penurunan
fungsi tidak mampu diceritakan pasien. Perubahan kondisi fisik pasien sehingga
mempengaruhi persepsinya terhadap dirinya tidak bisa terkaji dengan baik karena
kondisi perkembangan penyakit pasien. Dari pihak keluarga mengatakan kakak
pasien sudah pasrah dengan kondisi adiknya dan berharap yang terbaik. Keluarga
sebenarnya sangat takut karena pasien sakitnya adalah infeksi pada otak takut
ancaman mati dan adiknya tidak bisa bangun dan berjalan lagi seperti dulu.
2) Pengkajian stimulus
Stimulus fokal: ancaman terhadap konsep diri, perubahan peran, perubahan status
kesehatan. Perubahan idela diri. Kecemasan dan ketakutan pada keluarga akan
perkembanagn kesehatan pasien. Stimulus kontektual: status ekonomi. Kurangnya
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
62 informasi menganai penyakit dan perawatan. Stimulus residual: minimalnya
dukungan keluarga, proses penyakit.
31.1.3. Model Fungsi Peran
1) Pengkajian perilaku
Sebelum sakit pasien bekerja di pasar dan berkumpul dengan teman-temanya dipasar.
Semua aktivitas pasien dipenuhinya sendiri tidak tergantung dengan orang
lain.Namun saat ini pasien hanya terbaring di atas tempat tidur (bed rest total) dengan
semua ADL dibantu oleh orang lain. Semua aktivitas sehari-harinya dilakukan diatas
tempat tidur dibantu pemenuhannya oleh orang lain. kebutuhan eliminasi pasien
dengan menggunakan kateter. Makan dengan menggunakan sonde.
2) Pengkajian stimulus
Stimulus fokal: ancaman terhadap konsep diri, perubahan peran, perubahan status
kesehatan. Perubahan ideal diri. Kecemasan dan ketakutan pada keluarga akan
perkembanagn kesehatan pasien.Stimulus kontektual: status ekonomi. Kurangnya
informasi menganai penyakit dan perawatan. Stimulus residual: minimalnya
dukungan keluarga, proses penyakit
3.1.1.4. Model Adaptasi Interdependen
1) Pengkajian perilaku
Keluarga pasien mendukung kesembuhan pasien. Kakak pasien mengatakan tidak
mempunyai dana yang cukup untuk mendukung biaya terapi dan perawatan pasien
dilaur biaya asuransi eksehatan yang sudah diurus (SKTM). Kakak perempuan terlihat
sangat jarang menemai dan menjaga pasien selama MRS di RSCM. Teman dan
anggota keluarga pasien tidak pernah terlihat menjenguk. Keluarga menolak beberapa
tidnakan dengan alasan biaya. Pasien cenderung dibuang kelaurga. Tidak ada anggota
keluarga yang eprduli selain kakak perempuan klein yang juga sibuk dengan
pekerjaanya sebagai single parent dan karyawati bank swasta.
2) Pengkajian stimulus
Stimulus fokal: pasien sangat etragntung dengan orang laian dalam pemenuhan KDM
(kebutuhan dasar manusia). Stimulus kontekstual: parese, penurunan kesadaran,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
63 afasia, gangguan fungsi luhur. Stimulus residual: minimalnya dukungan keluarga,
proses penyakit
3.1.2
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada Tn. M dengan METB diantaranya: Ketidakefektifan perfusi
jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah arteri/vena di otak, kerusakan
mobilisasi fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler, defisit perawatan diri total
(mandi, makan, berpakaian dan toileting) berhubungan dengan gangguan neuromuskuler
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, resiko penyebaran infeksi
berhubungan dengan imunitas tidak adekuat, resiko cidera berhubungan lingkungan (fisik),
Ketidakefektifan menejemen kesehatan diri. Data berupa respon pengkajian perilaku dan
stimulus pada masing-misng mode akan ditegakaan berupa diagnosa keperawatan yang
meruntut pada NANDA, dimana diagnosa keperawatan pada Tn. M diuraikan pada rencana
keperawatan pada tabel 3.1.
3.1.3 Rencana Asuhan Keperawatan
Berdasarkan hasil analisis pengkajian perilaku dan stimulus yang dialami Tn. M, selanjutnya
menyusun rencana asuhan keperawatan yang meliputi diagnosa keperawatan, tujuan dan
intervensi keperawatan. Dimana penetapan diagnosa diadaptasi dari NANDA, intervensi
keperawatan diadaptasi dari Nursing Intervenstion Clasification (NIC)
dan tujuan
keperawatan diadaptasi dari Nursing Outcome Clasification (NOC). Rencana asuhan
keperawtaan pada Tn. M dengan diagnosa METB bisa dilihat pada tabel 3.1.
3.1.4 Implementasi keperawatan
Pelaksanaan tindakan atau implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencanan
keperawtaan yang telah ditetapkan sesuai dengan masalah keperawatan yang muncul pada
masing-masing mode pada pengkajian model adaptasi Roy. Implemnetasi keperawatan akan
diuraikan dalam catatan perkembangan pasien dalam lampiran 2. Namun secara umum
implementasi keperawatan pada masing-masing masalah keperawatan Tn. M dengan
diagnosa METB dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebri
Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah ketidakefetifan perfusi jaringan serebri
adalah denganmelakukan monitor status neurologi dan tanda – tanda peningkatan intrakranial
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
64 (TIK), melakukan monitor tanda-tanda vital secara rutin, melakukan evaluasi pupil (ukuran,
bentuk, kesamaan dan reaksi terhadap cahaya), mengatasi peningkatan suhu tubuh,
Memertahankan elevasi kepala tempat tidur 300 – 450.mencegah terjadinya valsava manuver
(mengedan saat BAB, pernafasan paksa, batuk terus menerus). mempertahankan keadaan
tirah baring, ciptakan lingkungan yang tenang, batasi pengunjung/batasi aktivitas sesuai
indikasi. Tindakan Kolaborasi patensi dan perawatan IV lain, IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jam,
medikasi.Memantau pemeriksaan laboratorium/diagnosti ulangan atau awal seperti Ct Scan,
MRI, hasil lumbal punksi.
2. Gangguan mobilitas fisik
Gangguan mobilisasi adalah gangguan utama yang dirasakan psien karena penyakitnya,
dengan kelemahan keempat ektremitas pasien tidak mampu menggerakkan tubuhnya
sehingga perlu dibantu untuk posisi anatomis agar dapat menghindari kerusakan karena
tekanan. Selanjutnya perlu diperlu dipertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional
menggunakan batal. Dengan kondisi seperti ini maka kompilkasi lebih lanjutb dari
immobilisasi seperti kontraktur dan footdrop bisa dihindari. Perlu dipertahankan alih baring
seperti miring kanan-kiri setiap 2 jam dan mengvelauasi perubahan atau manfaatn yang
diberikan. Perlunya mengevaluasi kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah secara rutin dan
berkelanjutan. Terapi mobilisasi seperti pemberian Aaktif dan pasif ROM bisa dilakukan
unutk meningkatkan kekuatan otot dan sendi dengan tentusaja melibatkan partisipasi
keluarga. Tindakan kolaborasi dapat berupa : fisioterapi dan medikasi.
3. Defisit perawatan diri
Setelah mengkaji kemmapuan dan tingkat ketergantungan pasien dalam melakukan aktivitas
dalam pemenuhan activity daily live (ADL) maka perawat menjelaskan bahwa pentingnya
membantu dan memfasilitasi pasien dalam pemenuhan ADL seperti makan, minum,
eliminasi, berpakaian. Memberikan waktu cukup untuk beraktivitas dan berikan umpan balik
positif. Evaluasi rutin dilakukan terhadap pemenuhan nutrisi, eliminasi dan kebersihan diri
pasien.
4. Kerusakan integritas kulit
Dalam melakukan perawatan pada pasien yang telah mengalami gangguan integritas kulit
berupa decubitus maka perlu dilakukan tindakan seperti: merubah posisi atau alih baring
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
65 setiap 2 jam,. Selanjutnya pemakaian kasur angin untuk pasien decubitus. Pada waktu
pelaksanaan rawat luka menggunakan cutimed 1x/2hr. Memberikan lotion sebagai lumbrikan
ke tubuh pasien. Memberikan massage untuk meningkatkan vaskularisasi pada area kulit
yang tertekan. Menganjurkan keluarga untuk membersihkan dan merapikan linen tempat
tisur. Memastikan intake nutrisi pasien adekuat. Memberikan personal hygiene dan eliminasi
yang baik. Melibatkan keluarga pada perawtan integumen pasien.
5. Resiko penyebaran infeksi
Tindakan keperawatan yang dilakan pada Tn. M untuk mengatasi masalah keperawatan
penyebaran infeksi melalui pengendalian infeksi, pengendalian resiko penyebaran dan
peningkatan pengetahuan terutama mengenai imunitas dan infeksi penyakit. Tindakan yang
dilakukan pada pengendalian infeksi diantaranya: mengajarkan pada pasien & keluarga cara
menjaga personal hygiene untuk melindungi tubuh dari infeksi : cara mencuci tangan yang
benar, menganjurkan kepada keluarga/ pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk
dan meninggalkan ruang pasien, menjelaskan kepada pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi, mengajarkan metode aman cara penyediaan, pengelolaan dan
penyimpanan
makanan atau susu kepada pasien dan keluarga. Kolaborasi dengan ahli gizi : asupan nutrisi
TKTP:Blenderized 6x250 cc melalui sonde, Susu cair formula dari RS 6x250 cc
Tindakan keperawatan yang bisa dilakukan untuk mengendalikan resiko penyebaran infeksi
diantaranya: memantau tanda dan gejala infeksi : peningkatan suhu tubuh, nadi, perubahan
kondisi
luka,
sekresi,
penampilan
urine,
penurunan
BB,
keletihan
dan
malaise,mempertahankan tehnik aseptik pada pasien yang beresiko, membersihkan alat /
lingkungan dengan benar setelah dipergunakan pasien, mempertahankan tehnik isolasi bila
diperlukan, membatasi jumlah pengunjung bila diperlukan, dan anjurkan penggunaan APD
pada pasien dgn autoimun, mengannjurkan kepada pasien minum obat antibiotika sesuai ,
memberikan penkes kepada pasien dan keluarga tentang cara program, mendorong pasien
untuk mengkonsumsi nutrisi dan cairan yg adekuat.penularan penyakit infeksi: transmisi
secara seksual, oral, fekal, sekresi tubuh, kontak langsung, dan trankutaneus. Kolaborasi
pemberian medikasi antibiotik terutama obat anti Tuberculosa (OAT).
6. Resiko cidera
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada masalah keperawatan dengan resiko cidera
terbagi dalam 3 kelompok yaitu pencegahan cidera, pengawasan keselamatan dan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
66 pengelolaan lingkungan. Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk pencegahan cidera
berupa: melakukan pengkajian factor resiko cedera, melakukan identifikasi kebutuhan
keamanan klien sesuai kondisi dan fungsi kognitif klien, mengjarkan pada klien dan keluarga
cara mengidentifikasi factor resiko cedera dan cara penanggulanganny, melakukan tindakan
emergency sesuai dengan kondisi : Kejang, hiperthermi, penurunan kesadaran, halusinasi,
perdarahan. Pengawasan keselamatan dilakukan dengan: melaksanakan pengawasan secara
intensif kepada klien yang berisiko terjadi cedera: Monitor TTV, GCS, hemodinamik,
memberikan cairan & nutrisi yang adekuat, mengkaji riwayat klien terkait factor risiko, dan
Informasikan kepada dokter tentang perubahan yang terjadi : mis epitaksis, perubahan
hemodinamik. Pengelolaan lingkungan dilaksanakan dengan: mengajarkan pada klien &
keluarga tentang lingkungan yang aman : penerangan yg cukup, lantai tidak licin, memasang
pengaman tempat tidur pada klien anak atau klien yang gelisah atau penurunan kesadaran .
Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi: Pemberian obat anti epilepsi (OAE)
7. Ketidakefektifan menejemen kesehatan diri
Tindakan untuk mengatasi ketidakefektifan menejemen kesehatan diri dilakukan dengan
melakukan penilaian tingkat pengetahuan dan hal yang tidak diketahui pasien, kemudian
mentukan kemampuan pasien untuk mempelajari informasi spesifik setelah itu memilih
alat/strategi pembelajaran yang tepat. Melakukan evaluasi kemampuan pasien sesuai tujuan,
melibatkan keluarga/orang terdekat sesuai kebutuhan. Melakukan identifikasi kemungkinan
penyebab, memerikan informasi tentang kondisi sesuai kebutuhan, memberikan informasi
pada keluarga/orang terdekat, tentang perkembangan pasien, memdiskusikan perubahan gaya,
hidup yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi/mengontrol proses penyakit,
memdiskusikan pilihan terapi/penatalaksanaan, mengajarkan pada pasien tentang tanda dan
gejala yang dapat dilaporkan pada petugas, memberikan informasi tentang program
rehabilitasi
3.1.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan pada Tn. M dilakukan setiap saat dan didokumentasikan setiap hari
selama 5 hari bertuturt-turut dengan menggunakan lembar evaluasi berupa catatan
perkembangan. Analisis evaluasi dilakuan dengan melihat respon kemampuan adaptasi
pasien berupa adpatif atau maladaptif. Evaluasi perkembangan kesehatan Tn. M dapat dilihat
pada lampiran 2.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
67
Tabel
3.1 Rencana Intervensi Keperawatan pada Tn M dengan METB menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy
NO
1
PENGKAJIAN
PERILAKU
• Riwayat sakit kepala
• Kontak tidak adekaut
• Kesan: ganguan fungsi luhur
• GCS : E2M6Vafasia
• Klien tampak mengatuk dan selalu
menutup mata
• Pupil bulat isokor φ 3 / 3 mm
• Muka menceng (-)
• Bicara pelo (-)
• Terpasang foley kateter urin
• Terpasang o2 3 lt/m
• Relek patologis babinski -/• Hofman trumer: -/• Caddock -/• Openhem -/• Kaku kuduk (+)
• Kesan: tetraparese
• Lasiq : <70/<70
• kernig: <135/<135
• nervus kranium dan sensorik tidak
terkaji
• Reflek fisiologis :
+2 +2
+1 +1
• Kekuatan otot :Pergerakan klien
lemah dan terbatas
• Tanda Vital :
TD : 120/80 mmHg
suhu : 37,8 0
Nafas:20 x/menit
STIMULUS
Stimulus fokal:
Klien mengalami
penurunan
imunits
tubuh,
proses infeksi
Stimulus
kontekstual :
• Riwayat CKR
ec KLL
• Riwayat
epilepsi
ec
trauma kapitis
• Riwayat
konsumsi
fenitoin sejak
1995 dengan
terapi
yang
buruk
• Riwayat
peningkatan
konsumsi
fenitoin
dengan dosis
tinggi
sejak
april 2012
• Riwayat
konsumsi
merokok,
ganja
dan
alkohol
• Riwayat
TB
komunitas
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
(NANADA)
ketidakefektifan
perfusi
jaringan
serebral
berhubungan
dengan interupsi
aliran
darah
arteri/vena di otak
TUJUAN
KEPERAWTAAN
(NOC)
Setelah
dilakukan
tindakan keperawatan
pada Tn.M perubahan
perfusi
jaringan
serebral
membaik
dalam batas toleransi.
Dengan kriteria :
a. Tingkat kesadaran
komposmentis
b. GCS E4 M6 V5
c. Pupil isokor
d. Tidak ada tanda
peningkatan TIK
e. Perbaikan
neurologi lain
f. Tanda vital dalam
batas normal
INTERVENSI
KEPERAWATAN
(NIC)
ƒ Monitor status
Neurologi
ƒ Peningkatan
perfusi serebral
ƒ Menejemen
edema serebral
AKTIVITAS
ƒ Monitor
status
neurologi dan tanda –
tanda peningkatan TIK
ƒ Monitor
tanda-tanda
vital
ƒ Evaluasi pupil (ukuran,
bentuk, kesamaan dan
reaksi terhadap cahaya )
ƒ Atasi peningkatan suhu
tubuh
ƒ Pertahankan
elevasi
kepala tempat tidur 300
– 450.
ƒ Cegah
terjadinya
valsava
manuver
(mengedan saat BAB,
pernafasan paksa, batuk
terus menerus )
ƒ Pertahankan keadaan
tirah baring, ciptakan
lingkungan
yang
tenang,
batasi
pengunjung/batasi
aktivitas sesuai indikasi
ƒ Kolaborasi pemberian
obat-obatan seperti:
IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8
jam
Dexamatason IV 2x5 mg
OMZ 40 mg 1x1 iv
B6 10 mgPo 3x1
Curcuma 200 mg 3x1 po
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
68
Nadi 82 x/menit
Hasil CT Scan : Penyangatan Stimulus
meningens sugestif meningitis. residual:
Tidak nampak lesi patologis intra • Pengetahuan
parenkim srebri maupun serebelli
keluarga yang
minimal
• Rotgen: Tidak nampak kelainan
tentang
radiologi pada cor dan pulmo
penyakit dan
• Imunoserologi: HIV (-)
perawatan
• Hepatitis marker: (-)
terutama
• Mikrobiologi (3/9/2012): BTA (+)
mengenai
• Hemostasis:Kadar fibrinogen (H)
pencegahan
490 mg/dl
komplikasi
• Analisis cairan tubuh(1/9/2012).
immobilisasi
Analisis cairan otak: Makroskopik:
seperti
Warna Serus , Kejernihan: jernih,
A/PROM
,
Bekuan (+), Mikroskopik: Hitung
fisioterapi
sel :6 sel/µl. Hitung jenis: PMN
dada,
skin
(segmen): 41/ µl
. MN: 20/
care,
back
µl, pemeriksaan tinta india
massage
ditemukan kuman criptokokkus.
• Motivasi klien
Kimia :Nonne
(+),
untuk sembul
Pandy(+).
Protein
cairan
kurang
otak:140mg/dl, Glukosa cairan
•
Dukungan
otak:76
mg/dl,
Glukosa
keluarga
serum
:124 mg/dl, Klorida
dalam
(Cl):114
Meq/l
perawatan
Respon inefektif pada model adaptasi
klien kurang
fisik
pada
mode
oksigenasi
(ketidakefektifasn perfusi jaringan:
serebri)
•
ƒ Memantau pemeriksaan
laboratorium/diagnosti
ulangan atau awal
seperti Ct Scan, MRI,
hasil lumbal punksi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
69
NO
2
PENGKAJIAN
PERILAKU
STIMULUS
• Kakak
klien Stimulus fokal:
mengatakan sejak 6 Kelemahan ekstremitas:
hari sebelum masuk tetraparese
RS
klien
sudah
berjalan merangkak Stimulus kontekstual :
sampai 2 hari SMRS • Riwayat epilepsi
sudah dalam kondisi • Riwayat CKR
merambat
• Riwayat
konsumsi
• Tonus
otot
:
fenitoin sejak 1995
hipotonik
pada
dengan terapi yang
ektremitas
buruk
• General weakness
• Riwayat peningkatan
• ROM pasien terbatas
konsumsi
fenitoin
dengan dosis tinggi
• Semua ADL dibantu
sejak april 2012
oleh orang lain
• Riwayat
konsumsi
• Reflek fisiologis :
ganja dan alkohol
+2 +2
+1 +1
• Kekuatan
otot Stimulus residual:
:Pergerakan
klien • Pengetahuan
keluarga
tentang
lemah dan terbatas,
penyakit
dan
kesan tetrapaere
perawatan terutama
• Kontraktur
(mengenai
),footdrop (-).
pencegahan
Respon inefektif pada
komplikasi
model adaptasi fisik
immobilisasi seperti
pada mode neurologi,
A/PROM , fisioterapi
muskulogi (Hambatan
dada, skin care, back
mobilitas fisik)
massage
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
(NANADA)
Kerusakan
mobilisasi
fisik
berhubungan
dengan gangguan
neuromuskuler
:
hemiparese
sekunder
dari
METB
INTERVENSI
TUJUAN
KEPERAWTAAN KEPERAWATAN
(NIC)
(NOC)
Setelah dilakukan • Pengaturan
•
intervensi
posisi: neurologis
keperawatan pada • Terapi
•
Tn. M, mobilitas aktivitas: Mobilitas •
fisik
dapat sendi
meningkat secara • Terapi aktivitas
optimal.
kontrol otot
•
Dengan kriteria :
a. Peningkatan
kekuatan otot
b. Tidak terjadi
/
kontraktur
footdrop
c. Klien
dapat
melakukan
mobilisasi
/
aktivitas sesuai
kemampuan.
•
•
•
•
•
•
•
•
AKTIVITAS
Tempatkan pasien dalam posisi
terapeutik
Posisikan sejajar kepala dan leher
Tentukan keterbatasan gerak
sendi dan pengaruh terhadap
fungsi
Jelaskan kepada pasien/keluarga
tentang tujuan dan rencana
latihan sendi
Bantu pasien dalam melakukan
ROM pasif atau ROM aktif
Bantu mengoptimalkan posisi
tubuh saat ROM aktif/pasif
Anjurkan pasien melakukan
ROM secara teratur
Anjurkan pasien duduk di tempat
tidur/kursi sesuai toleransi
penguatan positif terhadap upaya
melakukan latihan sendi
Kolaborasi fisioterapi untuk
meningkatkan program latihan
Mika miki tiap 2 jam
Bed reclicling 15-30
Positioning
anti kontraktur
dan anti decubitus
AROM dan PROM
Chest exercise
Tentukan kesiapan pasien untuk
berpartisipasi
dalam
aktivitas/latihan
Jelaskan rasional setiap jenis
latihan pada pasien/keluarga
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
70
NO
PENGKAJIAN
PERILAKU
3
•
•
•
•
STIMULUS
Stimulus fokal:
Immobilisasi,
penurunan
kesadaran, gangguan fungsi
luhur
Terlihat beberapa daki,
Kuku panjang
Rambut kusam
Klien tampak bed rest
Stimulus kontekstual :
total
• Barthe
index:
3 • Riwayat epilepsi
(ketergantungan total)
• NGT (+)
Stimulus residual:
• Kateter DC urin (+)
•
Pengetahuan
keluarga
• BAB (+) 1x /hr
tentang
penyakit
dan
• Klien tampak diseka
perawatan yang minim
oleh keluarga
• Kurangnya
dukungan
• Klien
dibantu
keluarga
dalam
perawatan
berpakaian oleh orang
lain
• Klien berpindah posisi
dengan dibantu oleh
orang lain
• Kontak tidak adekuat
• Penurunan kesadaran
• Kesan: gangguan funsgi
luhur
Respon inefektif pada
model adaptasi fisik
Defisit perawatan diri total
(mandi, makan, berpakaian
dan toileting)
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
(NANADA)
Defisit perawatan diri
total (mandi, makan,
berpakaian
dan
toileting)
berhubungan dengan
gangguan
neuromuskuler
:
hemiparese sekunder
dari METB
INTERVENSI
TUJUAN
KEPERAWTAAN KEPERAWATAN
(NIC)
(NOC)
Setelah dilakukan • Bantuan
intervensi
perawatan diri
keperawatan pada
Tn. M, ADL klien
dapat
terpenuhi
secara
optimal
sesuai
toleransi
(ADL enhancing).
Ditandai
dengan
sebagai
berikut
(skala 1 – 5 sangat
compromised
sampai
tidak
compromised).
ADL 5 (5)
Self care (5)
a. Denyut nadi
b. Tekanan
darah
diastolik
dengan
aktivitas
c. RR
d. SaO2
e. Mudah
bernapas
dengan
aktivitas
f. Kemampua
n ADLs
AKTIVITAS
a.
Kaji kemampauan ADL
pasien
b. Bantu pasien dalam
pemenuhan kebutuhan
makan, minum, mandi,
berpakaian,BAK, dan
BAB)
c. Libatkan
keluarga
dalam pemenuhan ADL
pasien
jika
memungkinkan
d. Hindari
mengerjakan
sesuatu yang dapat
dikerjakan pasien dan
berikan
bantuanbila
diperlukan
e. Waspadai
terhadap
tingkah laku impulsive
karena gangguan dalam
pengambilan keputusan
f. Pertahankan dukungan,
sikap tegas, beri pasien
waktu yang cukup
untuk
mengerjakan
tugasnya. Dan berikan
umpan balik positif atas
usaha pasien yang telah
dilakukan
g. Berikan obat laksatif
untuk mempermudah
BAB
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
71
NO
4
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
PENGKAJIAN
PERILAKU
STIMULUS
Stimulus fokal:
Pengkajian
resiko Immobilisasi, penurunan
kejadian UD dengan intake nutrisi, gangguan
personal
skala Norton nilainya : pemenuhan
penuruna
resiko
tinggi hygiene,
kesadaran,
gangguan
mengalami UD
UD gr II disakrum fungsi luhur
diameter 5-8 cm
Kemerahan
di Stimulus kontekstual :
punggung bawah dan • Riwayat epilepsi ec
trauma kapitis
skapula kanan
•
Riwayat parese dan
Immobilisasi 10 hari
bed rest sebelum
tetraparese
MRS
Penurunan kesadaran :
somnolen
Gangguan fungsi luhur Stimulus residual:
• Pengetahuan
Immobilisasi
keluarga
tentang
Terpasang restrain di
penyakit
dan
kedua tangan
perawatan
terutama
Personal
Hygiene
mengenai
klien kurang optimal
pencegahan
ADL terbatas
komplikasi
Nutrisi menurun
immobilisasi seperti
Demam : 37,8 C
A/PROM , fisioterapi
Respon inefektif pada
model
adaptasi
fisik
•
integumen dan proteksi,
•
sensasi
(kerusakan
integritas
kulit)
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
(NANADA)
Kerusakan
integritas
kulit
berhubungan
dengan
immobilisasi
TUJUAN
KEPERAWTAAN
(NOC)
Setelah
dilakukan
tindakan keperawatan
pada Tn.M Integritas
kulit dan membrane
mukosa
utuh,
Regenerasi
luka
primer dan sekunder
sesuai rentang waktu
yang diharapkan .
ditandai dengan:
• Integritas
kulit
membran
dan
mukosa baik :
kulit utuh, dapat
berfungsi dengan
baik.
• Regenerasi
sel
dan
jaringan
membaik
• Hipersensitif
respon immune
terkendali
INTERVENSI
KEPERAWATAN
(NIC)
ƒ Pencegahan
alergi
ƒ Perawaatn Luka
ƒ Pengelolaan
penekanan pada
kulit
ƒ Peningkatan
vaskularisasi
kulit
ƒ Peningkatan
kelembapan dan
kenyaman pada
kulit
dada, skin care, back
massage
Motivasi klien
Dukungan keluarga
dalam
perawatan
klien kurang
AKTIVITAS
Perawatan Luka
• Identifikasi derajad luka
• Berikan cairan dan nutrisi yang
adekuat sesuai kondisi
• Lakukan perawatan luka sesuai
kondisi, dan kolaborasi untuk
pemberian terapi dan nutrisi yang
adekuat.Terapi: cutimed 1/2hari
Pengelolaan Tekanan pada kulit
• Pasang kasur dekubitus / bantal
angina
cincin
tumit
bila
diperlukan
• Mobilisasi / ubah posisi tidur
klien tiap 2 jam sesuai jadwal
• Jaga kebersihan kulit dan alat
tenun klien Berikan maasage:
coopers model
• Berikan minyak atau lotion:
minyak kelapa dan libatkan
pasrtisipasi keluarga
• Libatkan dan berikan motivasi
pada keluarga untuk ikut dalam
perawatan integumen klien
• Jaga kebersihan kulit dari daki
dan spesimen tubuh yang lain
• Rapikan linen dan Bantu
pemenuhan Personal hygiene
pasien
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
72
NO
5
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
PENGKAJIAN
PERILAKU
STIMULUS
Intake nutrisi berupa Stimulus fokal:
diet bubur dan susu, Klien mengalami
otak:
jarang dihabiskan (2/3 infeksi
METB
dari porsi)
Suhu : 37,8 C
Hasil CT Scan : Stimulus
kontekstual :
Penyangatan
meningens
sugestif • Riwayat stress
ulcer
meningitis.
Tidak
nampak lesi patologis • Riwayat
epilepsi
intra parenkim srebri
maupun serebelli
• Riwayat
konsumsi
Rotgen:
Tidak
fenitoin sejak
nampak
kelainan
1995 dengan
radiologi pada cor dan
terapi
yang
pulmo
buruk
Imunoserologi
• Riwayat
(30/8/2012): HIV (-)
peningkatan
Hepatitis marker: (-)
konsumsi
Mikrobiologi
fenitoin
(3/9/2012): BTA (+)
dengan dosis
Kadar fibrinogen H
tinggi
sejak
490 mg/dl
april
2012
Analisis cairan tubuh
• Riwayat
(13/9/2012)
konsumsi
ditemukan MO
ganja
dan
Klien bedrest total
alkohol
sejak sekitar 30 hari
yang
lalu
akibat
tetrapaerse
dan Stimulus
residual:
penurunan kesdaran
• kurangnya
Dari
hasil
Pengetahuan
pemeriksaan
lab
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
(NANADA)
Resiko penyebaran
infeksi
berhubungan
dengan
imunitas
tidak adekuat
INTERVENSI
TUJUAN
KEPERAWATAN
AKTIVITAS
KEPERAWTAAN
(NIC)
(NOC)
Setelah
dilakukan • Immunisasi/Vak Immunisasi/Vaksinasi
tindakan
keperawatan
sinasi
• Kaji faktor yang meningkatkan
pada Tn. M Status • Pengetahuan :
resiko infeksi : lanjut usia, respon
immune
adekuat,
imun rendah dan malnutrisi
pengendalian
Pengetahuan
Pengetahuan : pengendalian infeksi
infeksi
Pengendalian
infeksi • Pengendalian
• Ajarkan pada klien & keluarga
Pengendalian
efektif,
cara menjaga personal hygiene
resiko infeksi
resiko
adekuat,
untuk melindungi tubuh dari
Penyembuhan
luka
infeksi : cara mencuci tangan
optimal
yang benar.
• Anjurkan
kepada
keluarga/
Dengan kriteri:
pengunjung
untuk
mencuci
• Klien terbebas dari
tangan sewaktu masuk dan
tanda dan gejala
meninggalkan ruang klien
infeksi
• Jelaskan kepada klien dan
• Klien mampu
keluarga tanda dan gejala infeksi
mendiskripsikan
• Ajarkan metode aman cara
proses penularan
penyediaan, pengelolaan dan
penyakit, factor yang
penyimpanan makanan / susu kpd
mempengaruhi
klien & keluarga.
penularan serta
• Kolaborasi dengan ahli gizi :
penatalaksanaannya
asupan nutrisi TKTP:
• Klien mempunyai
Blenderized 6x250 cc melalui
kemampuan untuk
sonde
mencegah timbulnya
Susu cair formula dari RS
infeksi
6x250 cc
• Jumlah leukosit
dalam batas
Pengendalian resiko penyebaran
normal(5.000 –
infeksi
10.000)
• Pantau tanda dan gejala infeksi :
peningkatan suhu tubuh, nadi,
perubahan kondisi luka, sekresi,
penampilan urine, penurunan BB,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
73
(28/8/2012) diketahui
adanya peningkatan
jumlah leukosit darah
(12. 10-3 )
Respon inefektif pada
model adaptasi fisik
pada sistem proteksi
keluarga
tentang
pencegahan
infeksi
dan
peningkatan
imunitas
keletihan dan malaise.
• Pertahankan tehnik aseptik pada
klien yang beresiko
• Bersihkan alat / lingkungan
dengan
benar
setelah
dipergunakan klien
• Pertahankan tehnik isolasi bila
diperlukan
• Batasi jumlah pengunjung bila
diperlukan,
dan
anjurkan
penggunaan APD pada klien dgn
autoimun
• Anjurkan kepada klien minum
obat antibiotika sesuai
• Berikan penkes kepada klien dan
keluarga tentang cara program
• Dorong
klien
untuk
mengkonsumsi nutrisi dan cairan
yg adekuat.penularan penyakit
infeksi: transmisi secara seksual,
oral, fekal, sekresi tubuh, kontak
langsung, dan trankutaneus
• Kolaborasi dengan Tim Medis
untuk pemberian therapi
1. Rifampisin 450 mg 1x1 po
2. INH 300 mg PO 1 x1
3. Pzd 500 mg PO 1 x2
4. Etambutol 500 mg PO 1x 2
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
74
NO
6
PENGKAJIAN
PERILAKU
STIMULUS
• Kejang 2-3 kali selama Stimulus fokal:
Status epiletikus
MRS
Penurunan
• Tonus (-)
kesadaran
• Klonus (-)
Gangguan fungsi
• Aura kejang (-)
luhur
• Demam (+)
• Suhu: 38 C
Stimulus
• Statsu epileptikus
kontekstual :
• Terapi fenitoin
• Riwayat epilepsi
• TDM : 75 ( abnormal:
• Riwayat
H)
konsumsi
fenitoin
sejak
1995
dengan
Respon inefektif pada
terapi
yang
model adaptasi fisik pada
buruk
sistem proteksi
• Riwayat
peningkatan
konsumsi
fenitoin dengan
dosis
tinggi
sejak april 2012
• Riwayat
konsumsi ganja,
merokok
dan
alkohol
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
(NANADA)
Resiko
cidera
berhubungan dengan
kondisi fisik
INTERVENSI
TUJUAN
KEPERAWATAN
KEPERAWTAAN
(NIC)
(NOC)
Setelah
dilakukan • Pencegahan
tindakan keperawatan
cidera
pada Tn. M resiko • Pengawasan
cidera
menurun:
keselamatan
kejang
mampu • Pengelolaan
dicegah
lingkungan
Dengan
kriteri:
pasien mampu:
• Menjelaskan cara
/ metode untuk
mencegah cedera:
kejang
• Memodifikasi
gaya hidup untuk
mencegah cedera:
kejang
• Mengenali
perubahan status
kesehatan
• Mengidentifikasi
lingkungan yang
aman
• Terbebas dari
cedera: kejang
Stimulus residual:
• kurangnya
Pengetahuan
keluarga
tentang
pengamanan
saat kejang
• minimnya
AKTIVITAS
Pencegahan cedera
• Kaji factor resiko cedera
• Identifikasi kebutuhan keamanan
klien sesuai kondisi dan fungsi
kognitif klien
• Ajarkan pada klien & keluarga
cara mengidentifikasi factor
resiko
cedera
dan
cara
penanggulangannya
• Melakukan tindakan emergency
sesuai dengan kondisi : Kejang,
hiperthermi,
penurunan
kesadaran, halusinasi, perdarahan
dll
Pengawasan keselamatan
• Laksanakan pengawasan secara
intensif kepada klien yang berisiko
terjadi cedera: Monitor TTV, GCS,
hemodinamik.
• Berikan cairan & nutrisi yang
adekuat
• Kaji riwayat klien terkait factor
risiko, dan Informasikan kepada
dokter tentang perubahan yang
terjadi : mis epitaksis, perubahan
hemodinamik
Pengelolaan lingkungan
• Ajarkan pada klien & keluarga
tentang lingkungan yang aman :
penerangan yg cukup, lantai tidak
licin
• Pasang pengaman tempat tidur
pada klien anak atau klien yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
75
dukungan
keluarga dalam
perawtan klien
NO
7
•
•
•
PENGKAJIAN
PERILAKU
STIMULUS
Kegagalan regimen Stimulus fokal:
terhadap
terapi
fenotoin Ancaman
dalam kehidupan terapi, perubahan status
kesehatan,
sehari-hari
sehingga
pasien ketidaktahuan keluarga
menjalani
terapi tentang perawatan dan
motivasi
OAE
dengan terapi,
dalam
buruk:
dosis keluarga
meningkat tiba-tida perawatan pasien
dan sering putus
Stimulus kontekstual :
obat
Adanya kesulitan • Riwayat epilepsi
biaya dalam terapi • Riwayat konsumsi
epilepsi
dan
fenitoin sejak 1995
pemeriksaan TDM
dengan terapi yang
ulang
terhadap
buruk
kadar
fenitoin • METB
dalam darah.
• Riwayat konsumsi
Kurangnya
ganja, merokok dan
pengetahuan klien
alkohol
dan
keluarga
mengenai
Stimulus residual:
gelisah/ penurunan kesadaran
Kolaborasi dengan Tim Medis
untuk pemberian therapi
Pemberian OAE:
Diazepam 10 mg b/p 1x1 iv
Depakene syr 900 mg 40 cc 4x1 po
Clobazam 10 mg 2x1 po
Fenobarbital 30 mg 1x1 po
•
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
(NANADA)
Ketidakefektifan
menejemen
kesehatan diri
INTERVENSI
TUJUAN
KEPERAWATAN
KEPERAWTAAN
(NIC)
(NOC)
Setelah
dilakukan • Pencegahan
tindakan keperawatan
edukasi
pada
Tn.
M
terstruktur
menjemen kesehatan • Pengajaran:
diri menjadi adekuat
pendidikan
kesehatan
Dengan kriteri:
• Pemberian
• mempunyai
motivasi
pengetahuan
mengenai
penyakit dan
pengobatan
sesuai
pemahaman
pasien dan
keluarga
• mempunyai
pengetahuan
tentang
perawatan pada
klien dengan
METB dan
AKTIVITAS
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Nilai tingkat pengetahuan dan hal
yang tidak diketahui pasien,
Tentukan kemampuan pasien untuk
mempelajari informasi spesifik,
Pilih alat/strategi pembelajaran
yang tepat,
Evaluasi kemampuan pasien sesuai
tujuan,
Libatkan keluarga/orang terdekat
sesuai kebutuhan,
Identifikasi
kemungkinan
penyebab,
Berikan informasi tentang kondisi
sesuai kebutuhan,
Berikan
informasi
pada
keluarga/orang terdekat, tentang
perkembangan pasien,
Diskusikan perubahan gaya, hidup
yang dapat dilakukan untuk
mencegah komplikasi/mengontrol
proses penyakit,
Diskusikan
pilihan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
76
perawatan
dan
terapi pada pasien.
• Barthe index: 3
(ketergantungan
total
Respon inefektif pada
promosi dan
menejemen kesehatan
• kurangnya
informasi
dan
edukasi
pada
pasein
dan
keluarga
tentang
penyakit, terapi dan
perawatan
•
epilepsi
perilaku taat dan
mendukung
perawatan
•
•
terapi/penatalaksanaan,
Ajarkan pada pasien tentang tanda
dan gejala yang dapat dilaporkan
pada petugas,
Berikan informasi tentang program
rehabilitasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
77
3.1.6
Pembahasan Berdasarkan Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy
3.1.6.1 Analisis hasil pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan tahap awal dalam proses keperawatan, langkah ini
menentukan keberhasilan dan ketepatan dalam tahapan keperawatan yang selanjutnya yaitu
penegakan diagnosa, perencanaan dan implementasi serta evaluasi keperawatan. Pengkajian
keperawatan bertujuan untuk mengumpulkan data, baik dari sumber primer (pasien dan hasil
pemeriksaan) maupun sekunder (keluarga, literature, hasil penelitian). Proses ini meliputi 3
tahapan dasar yaitu anamnese, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berikut ini
merupakan hasil pengkajian menurut teori adaptasi dari “Roy” :
1. Identitas, keluhan utama dan riwayat kesehatan
Untuk menghindari kesalahan dan memperoleh kevalidan data maka identitas pasien dalam
data umum atau biografi klien harus dipastikan terlebih dahulu terutama nama, umur, jenis
kelamin dan yang paling penting adalah nomer registrasi pasien masuk ke RS. Data identitas
klien bisa diperoleh dari catatan klien masuk sejak dari UGD dengan anamese ataupun dari
pencatatan berkas yang dimiliki klien (KTP, kartu asuransi dll). Langkah selanjutnya dari
data identitas klien adalah mengetahui adanya keluhan utama klien.
Setelah keluhan utama diketahui langkah berikutnya adalah memastikan tersedianya data
riwayat kesehatan. Dimana data ini terbagi dalam 3 yaitu riwayat kesehatan sekarang dan
masa lalu serta riwayat kesehatan keluarga. Ketiga data ini diperoleh melalui anamnese baik
auto (pada klien sendiri) maupun heteroanamnese (dilakukan pada suami klien). Anamnese
yang baik akan menentukan keberhasilan penatalaksanaan pada klien dengan gangguan
neurologi (Lumbantobing, 2012). Riwayat kesehatan sekarang mendeskripsikan perjalan
penyakit klien saat mulai sakit sampai dibawa ke RS saat ini dirawat berakhir dengan hasil
akhir saat dilakukan pengkajian. Sedangkan riwayat kesehatan dahulu adalah semua penyakit
dan pengobatan yang pernah dialami klien selama hidupnya, riwayat alergi, kecelakaan,
tindakan operasi sebelumnya dll. Sedangkan riwayat kesehatan keluarga berusaha
menggambarkan adanya penyakit herediter atau penularan penyakit pada mereka yang tinggal
dalam satu rumah melalui penjabaran dalam bentuk genogram. Dari ketiga riwayat kesehatan
tersebut seorang perawat harus bisa menemukan masalah kesehatan klien terutama yang
berhubungan dengan penyakit dan manifestasi klinis yang saat ini dirasakan klien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
78
Dari hasil anamnese dan data sekunder di rekam medis klien diperoleh informasi bahwa klien
dengan inisial nama Tn. M seorang laki-laki dan berumur 32 tahun dengan diagnosa susp
Meningitis Ensefalitis TB (METB). Dari informasi biografi klien tersebut dapat diketahui
gender jenis laki-laki dan usia bisa menjadi faktor resiko terjadinya METB. Kemungkinan
besar METB yang dialami oleh klien pada usia dewasa dengan terbanyak kasusnya adalah
pada laki-laki (Brunner, 2002). Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya
ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok,
Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996). Meningitis adalah
peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang
menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001). Ensefalitis
adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh virus atau mikro organisme lain
yang non purulent (Corwin, 2009). Meningitis encefalitis TB merupakan suatu kondisi
patologis yang terjadi akibat infeksi yang mengenai meningen, CSS dan spinal column yang
disebabkan oleh infeksi jamur, virus dan bakteri, ditandai dengan gejala awalnya adalam
demam, batuk dan sakit kepala (sidarta, 2010).
2. Pengkajian keperawatan
2.1. Mode Adaptasi Fisiologis
Pengkajian dilakukan terhadap perilaku dan stimulus yang ditampilkan oleh Tn. M dengan
diagnosa medis suspek METB. Pengkajian perilaku dilakukan pada mode adaptasi fisiologis,
konsep diri, fungsi peran dan interdependen. Dari hasil tersebut diperoleh diagnosa
keperawatan pada pasien sebagai berikut:
2.1.1
Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah
arteri/vena di otak
Diagnosa keperawatan diatas muncul dari manifestasi klinis yang diperoleh dari hasil
pengkajian perilaku dan stimulus pada klien. Dimana hasil pengkajian perilaku klien didapat
dari hasil anamnese dan pemeriksaan fisik yang ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang.
Berikut ini data hasil pengkajian perilaku dan stimulus yang mendukung penegakan diagnosa
keperawatan diatas: Nyeri kepala tidak terkaji, kontak tidak adekaut.Kesan: ganguan fungsi
luhur. GCS : E2M6Vafasia. Klien tampak mengatuk dan selalu menutup mata. Kaku kuduk
(+). kesan: tetraparese. Penurunan tonus dan kekuatan otot. suhu : 37,8 0, klien beberapa kali
mengalami demam. Hasil pemeriksaan diagnosis:Pemeriksaan Ct Scan :Penyangatan
meningens sugestif meningitis. Analisis cairan tubuh
(1/9/2012). Analisis cairan otak:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
79
Makroskopik: Warna Serus, Kejernihan: jernih, Bekuan (+), Mikroskopik: Hitung sel :6
sel/µl. Hitung jenis: PMN (segmen): 41/ µl . MN: 20/ µl, pemeriksaan tinta india ditemukan
kuman criptokokkus. Kimia :Nonne (+), Pandy
(+).
Protein
cairan
otak:140mg/dl,
Glukosa cairan otak:76mg/dl, Glukosa serum:124 mg/dl, Klorida (Cl):114 Meq/l. BTA (+).
Pembahasan data hasil pengkajian:Dari data hasil pengkajian perilaku diketahui bahwa pasien
menunjukan gejala asimptomatik dari METB yaitu: demam, penurunan kesadaran dan nyeri
kepala yang sudah diketahui sejak pasien belum MRS meskipun pada saat pengkajian nyeri
kepala klien sulit terkaji karena penurunan kesadaran, gangguan fungsi luhur dan afasia.
Demam, nyeri kepala dan penurunan kesadaran merupakan gejala asimtomatik dari
meningitis ensefalitis (Black, 2009). Kaku kuduk pada pasien menunjukkan adanya infeksi
pada meningen (Lumantobing, 2012). Kejang pada pasien merupakan salah satu menifestasi
klinis adanya infeksi pada ensefalitis (Price wilson, 2006).
Dari hasil pemeriksaan diagnostik diketahui sebagai berikut: Pemeriksaan Ct Scan
(15/5/2012).Kesimpulan: Penyangatan meningens sugestif meningitis. Tidak nampak lesi
patologis intra parenkim srebri maupun serebelli. Dari pemeriksaan ini diketahui bahwa klien
mengalami
meningitis meskipun sebenanrnya tidal terlihat adanya lesi patologis.
Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan otak. Hasil lumbal
punksi klien menunjukan klien mengalami infeksi pada otak yang disebabkan oleh bakteri.
Dari hasil lumbal punksi diketahui beberapa informasi seperti:CSS serus dan jernih. Pada
infeksi otak dengan penyebab bakteri (tuberculosa) maka CSS akan jernih/ tidak berwarna.
Hitung sel :6 sel/µl. Melebihi nilai normal (0-5). Jumlah sel leukosit normal tertinggi 4-5
sel/mm3, dan mungkin hanya terdapat 1 sel polymorphonuklear saja, Sel leukosit junlahnya
akan meningkat pada proses inflamasi. Perhitungan jumlah sel harus sesegera mungkin
dilakukan, jangan lebih dari 30 menit setelah dilakukan lumbal punksi. Bila tertunda maka sel
akan mengalami lisis, pengendapan dan terbentuk fibrin. Keadaaan ini akan merubah jumlah
sel secara bermakna. Leukositosis ringan antara 5-20 sel/mm3 adalah abnormal tetapi tidak
spesifik. Pada meningitis bakterial akut akan cenderung memberikan respon perubahan sel
yang lebih besar terhadap peradangan dibanding dengan yang meningitis aseptik.
Pada meningitis bakterial biasanya jumlah sel lebih dari 1000 sel/mm3, sedang pada
meningitis aseptik jarang jumlah selnya tinggi. Jika jumlah sel meningkat secara berlebihan
(5000-10000 sel /mm3), kemungkinan telah terjadi rupture dari abses serebri atau
perimeningeal perlu dipertimbangkan. Perbedaan jumlah sel memberikan petunjuk ke arah
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
80
penyebab peradangan. Monositosis tampak pada inflamasi kronik oleh L. monocytogenes.
Eosinophil relatif jarang ditemukan dan akan tampak pada infeksi cacing dan penyakit parasit
lainnya termasuk Cysticercosis, juga meningitis tuberculosis, neurosiphilis, lympoma
susunan saraf pusat, reaksi tubuh terhadap benda asing.
PMN (segmen): 41/ µl: pasien mengalami leukositosis. Jumlah Polimorfinuklear atau sel
leukosit normal tertinggi 4-5 sel/mm3, dan mungkin hanya terdapat 1 sel polymorphonuklear
saja, Sel leukosit jumlahnya akan meningkat pada proses inflamasi. Leukositosis ringan
antara 5-20 sel/mm3 adalah abnormal tetapi tidak spesifik. Pada meningitis bakterial akut
akan cenderung memberikan respon perubahan sel yang lebih besar terhadap peradangan
dibanding dengan yang meningitis aseptik. Pada meningitis bakterial biasanya jumlah sel
lebih dari 1000 sel/mm3, sedang pada meningitis aseptik jarang jumlah selnya tinggi. Jika
jumlah sel meningkat secara berlebihan (5000-10000 sel /mm3), kemungkinan telah terjadi
rupture dari abses serebri atau perimeningeal perlu dipertimbangkan. Perbedaan jumlah sel
memberikan petunjuk ke arah penyebab peradangan. Monositosis tampak pada inflamasi
kronik oleh L. monocytogenes. Eosinophil relatif jarang ditemukan dan akan tampak pada
infeksi cacing dan penyakit parasit lainnya termasuk Cysticercosis, juga meningitis
tuberculosis, neurosiphilis, lympoma susunan saraf pusat, reaksi tubuh terhadap benda asing.
Nonne (+) dan Pandy (+): Menunjukan peningkatan protein (globulin)dalam CSS. Protein
cairan otak:140mg/dl. Terjadi peningkatan protein dalam CSS. Kadar protein normal cairan
serebrospinal pada ventrikel adalah 5-15 mgdl. pada sisterna 10-25 mgdl dan pada daerah
lumbal adalah 15-45 ,gdl. Kadar gamma globulin normal 5-15 mgdl dari total protein. Kadar
protein lebih dari 150 mgdl akan menyebabkan cairan serebrospinal berwarna xantokrom,
pada peningkatan kadar protein yang ekstrim lebih dari 1,5 grdl akan menyebabkan pada
permukaan tampak sarang laba-laba (pellicle) atau bekuan yang menunjukkan tingginya
kadar fibrinogen. Kadar protein cairan serebrospinal akan meningkat oleh karena hilangnya
sawar darah otak (blood barin barrier), reabsorbsi yang lambat atau peningkatan sintesis
immunoglobulin lokal.
Sawar darah otak hilang biasanya terjadi pada keadaan peradangan, iskemia baktrial trauma
atau neovaskularisasi tumor, reabsorsi yang lambat dapat terjadi pada situasi yang
berhubungan dengan tingginya kadar protein cairan serebrospinal, misalnya pada meningitis
atau perdarahan subarakhnoid. Peningkatan kadar immunoglobulin cairan serebrospinal
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
81
ditemukan pada multiple sklerosis, acut inflamatory polyradikulopati, juga ditemukan pada
tumor intra kranial dan penyakit infeksi susunan saraf pusat lainnya, termasuk ensefalitis,
meningitis, neurosipilis, arakhnoiditis dan SSPE (sub acut sclerosing panensefalitis).
Perubahan kadar protein di cairan serebrospinal bersifat umum tapi bermakna sedikit, bila
dinilai sendirian akan memberikan sedikit nilai diagnostik pada infeksi susunan saraf pusat.
Glukosa cairan otak:76mg/dl dan Glukosa serum:124 mg/dl. Terjadi penurunan glukosa
dalam CSS.Normal kadar glukosa berkisar 45-80 mgdl. Kadar glukosa cairan serebrospinal
sangat bervariasi di dalam susunan saraf pusat, kadarnya makin menurun dari mulai tempat
pembuatannya di ventrikel, sisterna dan ruang subarakhnoid lumbar. Rasio normal kadar
glukosa cairan serebrospinal lumbal dibandingkan kadar glukosa serum adalah >0,6.
Perpindahan glukosa dari darah ke cairan serebrospinal secara difusi difasilitasi transportasi
membran. Bila kadar glukosa cairan serebrospinalis rendah, pada keadaan hipoglikemia, rasio
kadar glukosa cairan serebrospinalis, glukosa serum tetap terpelihara. Hypoglicorrhacia
menunjukkan penurunan rasio kadar glukosa cairan serebrospinal, glukosa serum, keadaan ini
ditemukan pada derjat yang bervariasi, dan paling umum pada proses inflamasi bakteri akut,
tuberkulosis, jamur dan meningitis oleh carcinoma.
Penurunan kadar glukosa ringan sering juga ditemukan pada meningitis sarcoidosis, infeksi
parasit misalnya, cysticercosis dan trichinosis atau meningitis zat khemikal. Inflamasi
pembuluh darah semacam lupus serebral atau meningitis rheumatoid mungkin juga
ditemukan kadar glukosa cairan serebrospinal yang rendah. Meningitis viral, mump,
limphostic khoriomeningitis atau herpes simplek dapat menurunkan kadar glukosa ringan
sampai sedang.
Dari pemeriksaan elektrolit diketahui bahwa nilai Klorida (Cl):114Meq/l. Kadar elektrolit
normal CSS adalah Na 141-150 mEq/L, K 2,2-3,3 mRq, Cl 120-130 mEq/L, Mg 2,7 mEq/L.
Kadar elektrolit ini dalam cairan serebrospinal tidak menunjukkan perubahan pada kelainan
neurologis, hanya terdapat penurunan kadar Cl pada meningitis. Infeksi pada otak akan
menyebabkan proses inflamasi yang melibatkan peran dari sitokin yaitu tumor necrosis
factor-alpha (TNF-α), interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8). Pengeluaran interlekukin 1terjadi
saat awal invansi bakteri dan menyebabkan demam pada pasien. Mediator sekunder seperti
IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) dan platelet activation factor (PAF)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
82
diduga memperberat proses inflamasi. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain
barrier (BBB).
PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di intravaskular.
Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan permeabelitas
BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam ruang subarachnoid.
Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai
respon terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah
menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk
meningitis bakterial. Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma
ke dalam ruang subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema
interstitial, produk-produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang
menyebabkan edema sitotoksik. Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam
menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood
flow (CBF).
2.1.2
Kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler
Berikut ini data hasil pengkajian perilaku dan stimulus yang mendukung penegakan diagnosa
keperawatan diatas:tetrapaerse. Penurunan Tonus dan kekuatan otot TRM: Kaku kudu (+).
Pergerakan klien lemah dan terbatas. Aktivitas klien dibantu oleh keluarga. Klien tampak
berusaha menggerakkan kaki namun tidak bisa
Pembahasan data hasil pengkajian:Pergerakan tubuh dihasilkan melalui kerjasama yang
komplek antara otak, tulang belakang dan syaraf perifer. Motor area pada kortek serebri,
basal ganglia dan cerebrum mengawali setiap gerakan volunteer dengan mengirimkan pesan
ke kortek spinal. Kondisi gangguan neurologi menghambat komponen system syaraf pusat
dalam mekanisme penghantaran impuls sehingga menghasilkan efek kelemahan ringan
sampai berat pada sisi kontralateral yang menyebabkan keterbatasan dalam pergerakan
(Lemone and Burke, 2004). Cerebrum pada lobus frontalis yang merupakan area motorik
primer yang bertanggung jawab untuk gerakan-gerakan voluntary (Price, 2006).
Gangguan pada neuron motor atas mengakibatkan hilangnya kontrol volunteer terhadap
pergerakan motorik. Karena motor neuron atas menyilang, maka akan terjadi gangguan pada
kontrol motorik volunteer pada satu sisi tubuh yang menunjukkan adanya kerusakan pada
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
83
bagian atas motor neuron di sisi yang berlawanan dari otak. Hemiplegia (kelumpuhan satu
sisi tubuh) merupakan kelainan yang paling sering terjadi akibat adanya lesi pada sisi yang
berlawanan dari otak. Hemiparesis atau kelemahan dari satu sisi tubuh, merupakan tanda
lainya yang bisa ditemukan pada pasien defisit neurologi. Pada tahap awal, gejala klinis yang
muncul mungkin hanya penurunan tonus otot atau kehilangan reflex tendon dalam. Ketika
refleks tendon dalam muncul kembali (biasanya sampai dengan 48 jam), maka tonus otot
akan meningkat dari ekstremitas pada sisi yang terkena (Smeltzer and Bare, 2008).
2.1.3 Defisit perawatan diri total (mandi, makan, berpakaian dan toileting) berhubungan
dengan gangguan neuromuskuler
Berikut ini data hasil pengkajian perilaku yang mendukung penegakan diagnosa keperawatan
diatas.Klien tampak bed rest total, Barthel index: 3 (ketergantungan total), NGT (+), Klien
tampak diseka oleh keluarga, Klien dibantu berpakaian oleh orang lain, Kesan: tetraparese,
Terpasang foley kateter, Klien berpindah posisi dengan dibantu oleh orang lain, Kontak tidak
adekuat, Penurunan kesadaran, Kesan: gangguan funsgi luhur
Pembahasan hasil pengkajian:Adanya keterbatasn mobilitas pada pasien akan menyebabkan
pasien mengalami keterbatas fisik dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Karena
memang salat satu fungsi dari motorik manusia adalah sebagai alat gerak. Defisit pada
ektremitas akan membuat pasien bergantung pada orang dalam pemenuhan: makan,
eliminasi, toileting dll. Pengkajian kemampuan pemenuhan ADL dilakukan dengan
melakukan penilaian barthel index. Munculnya masalah pemenuhan kebutuhan sehari sebagai
dampak dari gangguan mobilitas fisik dinamankan sebagai gejala dari disuse sindrome
(Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010).
2.1.4 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi
Berikut ini data hasil pengkajian perilakudan stimulus yang mendukung penegakan diagnosa
keperawatan diatas: UD gr II disakrum diameter 5-8 cm. Kemerahan di punggung bawah dan
skapula kanan. Immobilisasi 10 hari. Parese (+). Penurunan kesadaran. Gangguan fungsi
luhur. Immobilisasi. Terpasang restrain di kedua tangan. Personal Hygiene klien kurang
optimal. ADL terbatas. Nutrisi menurun. suhu : 37,8 C.
Pembahasan data hasil pengkajian:Kerusakan integumen pasien terjadi akibat adanya ulkus
decubitus grade II pada sacrum akibat immobilisasi yang diperparah oleh kondisi nutrisi dan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
84
PH yang tidak adekuat serta ditunjang adanya kondisi demam dan penurunan kesadaran.
Immobilisasi merupakan suatu keadaan di mana seseorang tidak dapat bergerak secara bebas
karena kondisi yang mengganggu pergerakan atau aktifitas misalnya pada ekstremitas karena
kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas). Salah satu dampak immobilisasi pada
integumen adalah terjadinya ulkus decubitus. Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree
yang berarti merebahkan diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita
yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). (National pressure
Ulcer Advisory panel (NPUAP), 1989 dalam Potter dan Perry, 2005) mengatakan dekubitus
merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan
diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi
gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan (Potter dan
Perry, 2005). Gannguan mobilitas fisik menyebabkan immobilisasi sehingga mengakibatkan
terjadinya ulkus decubitus merupaka salah satu dari gejala disue sindrome dari masalah
keterbatas fisik (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010).
2.1.5 Resiko Penyebaran infeksi berhubungan dengan imunitas tidak adekuat
Berikut ini data hasil pengkajian perilaku yang mendukung penegakan diagnosa keperawatan
diatas: Intake nutrisi berupa diet bubur dan susu, jarang dihabiskan (2/3 dari porsi). Suhu :
37,8 C. Hasil CT Scan : Penyangatan meningens sugestif meningitis. Analisis cairan tubuh
(13/9/2012). ditemukan kelaian MO. Klien bedrest total sejak sekitar 30 hari yang lalu akibat
tetrapaerse dan penurunan kesadaran. Dari hasil pemeriksaan lab (28/8/2012) diketahui
adanya peningkatan jumlah leukosit darah (12. 10-3 ).Mikrobiologi (3/9/2012): BTA (+).
Hemostasis (2/9/2012). Kadar fibrinogen H 490 mg/dl.
Pembahasan data hasil pengkajian: Fibrinogen adalah adalah salah satu protein yang
disintesis oleh hati yang merupakan reaktan fase akut berbentuk globulin beta. Protein ini
berguna untuk membantu proses hemostasis dengan menstimulasi pembentukan trombus.
Rasio plasma normal dari fibrinogen berkisar antara 200-400 miligram per desiliter (mg/dL).
Dari hasil pemeriksaan diagnostik diketahui:Kimia klinik
Hematologi rutin
Jumlah leukosit
(28/8/2012)
(H) 10,1
5 – 10.10-3
3
/ul
Dari hasil pemeriksaan lab tanggal 28/8/2012 diketahui adanya penuruna hematokrit dan
peningkatan jumlah leukosit. Dari sini diketahui kemungkinan adanya resiko adanya infeksi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
85
Leukosit adalah sel darah Yang mengendung inti, disebut juga sel darah putih. Didalam darah
manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-9000 sel/mm3, bila jumlahnya lebih
dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis, bilakurang dari 5000 disebut leukopenia.
Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zatzat asing. Dengan HIV negatif bisa disingkirkan infeksi dd klien di otak bukan virus (HIV)
tapi infeksi bisa berasal dari bakteri. Penyebab gejala asimptomatik seperti demam, neyri
kepala bertambah dan penurunan kesadaran merupakan bentuk infeksi otak yang dari
evidance basednya paling banya dari TBC (METB) sampai terbukti melalui pemeriksaan
lumbal punksi, sputum, rotgen maupun mikrobiologi. Rontgen (28/8/2012). Kesimpulan :
Tidak nampak kelainan radiologi pada cor dan pulmo Hasil pemeriksaan menunjukkan klien
klien tidak ada masalah dalam sistem pernafasannya
2.1.6 Resiko Cidera berhubungan dengan kondisi fisik (status epileptikus)
Berikut ini data hasil pengkajian perilaku yang mendukung penegakan diagnosa keperawatan
diatas. Kakak klien mengatakan sejak tahun 1995 klien mengalami kejang akibat trauma
kepala akibat dipukul saat perkelahian di STM. Menurut kakaknya, Klien sering ditemukan
kejang dijalanan oleh tetangganya, klien mengalami gejala awitan kejang seperti: penglihatan
buruk, mendengar bisikan, kelonjotan sleuruh tubuh. Paling lama kejang 5 menit. Suhu :
37,8 C. TDM fenitoin :75. riawayat epilepsi sejak tahun 1995 dengan penyebab trauma akibat
benturan (pemukulan di kepala saat terjadi tawuran). Riwayat status epileptikus semakin
diperparah dengan kondisi terapi medikasi fenitoin klien yang buruk diamana klien sering
putus obat, minum tiap teratur dan peningkatan dosis dalam beberapa bulan yang dasar dan
penyebabnya tidak pasti.
Pembasahan data hasil pengkajian: Cidera pada klien bisa berasal dari beberapa sumber yaitu:
demam, resiko kejang berulang, penurunan kesadaran, gangguan fungsi luhur. Pada hasil
pemeriksaan TDM diketahui kadar fenitooin dalam darah sejumlah 75 ug/ml. Padahal nilai
normalnya adalah: 10-20 ug/ml. Dari hasil pemeriksaan tersebut klien mengalami
peningkatan ambang fenitoin. Kemungkinan yang terjadi adalah klien mengalami
peningkatan kadar fenitoin dalam darah. Kondisi ini bisa meberikan bahaya pada pasien.
Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi. Fenitoin berefek
antikonvulsan tanpa menyebabkan depresi umum susunan saraf pusat. Dosis toksik
menyebabkan eksitasi dan dosis letal menimbulkan rigiditas deserebrasi. Sifat antikonvulsan
fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
86
Efek stabilisasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran sel
lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel sistem konduksi di jantung. Fenitoin juga
mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran sel; dalam hal ini, khususnya dengan
menggiatkan pompa Na+ neuron. Bangkitan tonik-klonik dan beberapa bangkitan parsial
dapat pulih secara sempurna. Gejala aura sensorik dan gejala prodromal lainnya tidak dapat
dihilangkan secara sempurna oleh fenitoin (Deglin 2009).
Pada sebagian besar pasien dewasa, fenitoin dapat diberikan sekali sehari dan biasanya paling
baik pada malam hari. Pada sejumlah pasien terutama pada dosis tinggi, dianjurkan
pemberian 2 kali sehari. Untuk anak sebaiknya diberikan 2 kali sehari.Dosis awal obat ini
dapat dimulai dengan 200 mg malam hari dan dinaikkan sebanyak 20 – 100 mg setiap
minggu. Dosis rumat biasanya berkisar antara 200 – 400 mg sehari untuk pasien dewasa dan
antara 5 – 8 mg/kgBB untuk anak, walaupun dosis yang lebih tinggi dan lebih rendah
diperlukan bagi beberapa pasien. Pengukuran kadar fenitoin serum penting untuk memantau
dosis, karena adanya variasi intra-individual yang cukup besar, terlebih karena penambahan
dosis kecil kadang-kadang menyebabkan perubahan besar pada kadar obat dalam serum yang
tak terduga.
Fenitoin sebagai obat epilepsi dapat menimbulkan keracunan, sekalipun relatif paling aman
dari kelompoknya. Gejala keracunan ringan biasanya mempengaruhi susunan saraf pusat,
saluran cerna, gusi dan kulit; sedangkan yang lebih berat mempengaruhi kulit, hati dan
sumsum tulang. Hirsutisme jarang terjadi, tetapi bagi wanita mida hal ini dapat sangat
mengganggu. Efek samping fenitoin tersering adalah diplopia, ataksia, vertigo, nistagmus,
sukar berbicara (slurred speech) disertai gejala lain, misalnya tremor, gugup, kantuk, rasa
lelah, gangguan mental yang sifatnya berat, ilusi, halusinasi sampai psikotik. Defisiensi folat
yang cukup lama merupakan faktor yang turut berperan dalam terjadinya gangguan mental.
Efek samping susunan saraf pusat lebih sering terjadi dengan dosis melebihi 0,5 gram sehari
(Utama H., 1995)
2.2 Mode adaptasi konsep diri, fungsi peran dan interdepensi
Pengkajian perilaku pasien pada mode adaptasi diatas menemukan adanya masalah
keperawatan terutama pada fungsi peran, yaitu adanya ketidakefektifan menejemen kesehatan
diri. Masalah keperawatan ini muncul distimulasi oleh kompleksnya regimen pengobatan
serta kurangnya pengetahuan. Salah satu komplesitas dari perawatan pada klien adalah:
diagnosa penyakit klien yang sulit tegak. Dari manifestasi awal MRS klien menunjukan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
87
METB namun diagnosa ini dipatahkan sejak hasil punksi lumbal keluar. Sehingga diagnosa
utama klien berubah dari METB menjadi epilepsi, dengan demikian terapi klien diubah dari
OAT dalam kurun waktu belum ada 3 minggu berubah menjadi OAE. Diagnosa keperawatan
ini ditegakkan jika pasien berharap mengikuti program pengobatan namun mengalami
kesulitan (Wilkinson, 2007). Selain terapi klien, pengetahuan pasien dan keluarga yang
minim mengenai perawatan, faktor resiko dan pengobatan membuat diagnosa keperawatan
ini diterapkan.
Analisis Hambatan Dalam Melaksanakan Asuhan Pengkajian
Selama melakukan pengkajian, praktikan tidak menemukan kendala yang berarti,
dikarenakan keluarga kooperatif sehingga semua pertanyaan bisa dijawab dengan baik.
Namun kondisi klien dengan kesadaran yang menurun dan afasia sedikit banyak meberikan
kesulitan dalam menjalin komunikasi verbal dan langsung sehingga anamnese dan pengkajian
banyak melibatkan kakak klien. Komunikasi selama pengkajian dengan kakak klien
berlangsung dengan baik. Format pengkajian dari roy cukup lengkap dan bisa
mempresentasikan kondisi pasien yang mengalami kondisi kronik dan keterbatasan
multisistem akibat defisit neurologi. Meskipun dalam aplikasinya teori pengkajian Roy masih
dikombinaskikan dengan format pemeriksaan dari RS Cipto. Dimana format pengkajian dari
ruangan (RSCM) mempunyai kelebihan cukup lengkap, namun sederhana, dan spesifik
terutama untuk neurologi. Namun kelemahanya bentuk formatnya yang sempit atau checklist
tidak memungkinkan membuat narasi panjang. Penggabungan kedua format tersebut
membuat pengkajian lebih mudah, efektif dan efisien sehingga diharapkan pengkajian
memberikan hasil yang valid dan mampu mempresentasikna kondisi sebenarnya dari pasien.
Berikut ini beberapa hambatan yang ditemukan oleh praktikan selama pengkajian :
Pengkajian harus dilakukan dalam beberapa waktu. Dilakukan secara beratahap sesuai
dengan kontrak hal ini dikarenakan kondisi klien dengan afasia, penuruna kesadaran dan
ganguan funngsi luhur sehingga dalam sehari pengkajian tidak lebih dari 30 menit.
Banyaknya praktikan yang juga memegang klien membuat kakak klien merasa bosan dan
lelah karena seringnya ditanya dengan pertanyaan yang sama atau diperiksa berulang-ulang,
untuk mengatasi hal ini pemeriksaan dilakukan pada beberapa sesi termasuk melakukan
pengkajian bersamaan dengan melakukan tindakan keperawatan seperti memberikan obat,
membatu ADL klien dll. Seringkali praktikan menjalin kerjsama dengan praktikan lain untuk
secara bersama-sama memeriksa klien untuk mencegah pengulangan pemeriksaan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
88
Dalam format pengakajian yang dipakai dalam teori adapatasi ROY sudah bisa dikatakan
cukup lengkap untuk mengkaji permasalahan pada klien yaitu dengan masalah utama
neuromuskuloskletal. Namun kelemahan dalam format pengkajian tersebut belum
mencantumkan riwayat kesehatan klien. Selain itu format pemeriksaan fisiologis pada roy
belum menampilkan masing-masing hasil pemeriksaan secara inspeksi, palpasi, aukultasi
maupun perkusi terutama pada kondisi respiratory dan cardiovaskuler. Sehingga ada
beberapa penambahan yang dilakukan penulis untuk melengkapi format pengkajian 2 level
dari Roy. Justifikasi : Brunner & Suddarth dalam Smeltzer (2002), mengatakan bahwa
pengumpulan data pengkajian dilakukan dengan cara mengumpulkan riwayat kesehatan dan
pengkajian kesehatan dan dengan pemantauan secara berkesinambungan agar tetap waspada
terhadap kebutuhan pasien dan keefektifan dari rencana keperawatan yang diterima pasien,
dimana penggunaan pedoman riwayat kesehatan dapat membantu dalam mendaptkan
informasi. Pengkajian kesehatan membutuhkan penggunaan indera penglihatan,pendengaran,
perabaan, penciuman dan keterampilan dalam wawancara. Karena keperawatan Medikal
Bedah cakupannya masih luas maka sebaiknya ruangan perlu mempersiapkan format
pengkajian yang lebih spesifik dengan mengarah kepada gangguan pada sistem tertentu
3.1.6.2. Analisis Diagnosa keperawatan
Penegakkan diagnosa keperawatan dilakaukan dengan menyimpulakan hasil pangkajian yang
telah didapat dan dirumuskan dalam data fokus di analisa data, dimana hasil analisa data
tersebut diperoleh dari 3 (Tiga) tindakan yaitu hasil anamnese, pemeriksaan fisik dna
pemeriksaan penunjang. Berikut ini analisis pada masing-masing diagnosa keperawatan :
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah
arteri/vena di otak
Diagnosa diatas Merupakan Suatu keadaan dimana klien beresiko untuk mengalami
penurunan sirkulasi jaringan serebral. Faktor resiko yang memungkinkan diagnose ini
diangkat adalah trauma kepala, hipertensi, tumor otak, aneurisma otak, dan lain-lain
(NANDA, 2009-2011). Kondisi penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat menggangu
kesehatan (NANDA, 2012-2014)
3.1 Kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler
Definisi dari diagnosa diatas adalah: suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakan fisik
yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih. Tingkatan : Tingkat 0, 1, 2, 3, 4,
Tingkat 0 : Mandiri penuh (Pedoman NANDA 2—5-2006, NANDA 2007 ). Dalam NANDA
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
89
(2012-2014) diagnosa ini disebut sebagai hambatan mobilitas fisik. Suatu keterbatasan pada
pergerakkan fisik tubuh atau ekstremitas secara mandiri dan terarah.
2. Defisit perawatan diri total (mandi, makan, berpakaian dan toileting) berhubungan dengan
gangguan neuromuskuler
Defisit perawatan diri : mandi, berpakaian, makan, eliminasi. Suatu hambatan kemampuan
untuk memenuhi aktivitas berpakaian lengkap, makan, kegiatan eliminasi (Pedoman NANDA
2005 – 2006, NANDA 2007). Dalam NANDA 2012-2014, diagnosa perawatan diri ini
diuraikan pada masing-masing pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti: defisit perawatan
diri: mandi, berpakaian , makan dan toileting. Definisi dari diagnosa ini adalah: hambatan
kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan : mandi, berpakaian, toileting, mandi /
aktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi
Suatu keadaan dimana kulit seseorang yang beresiko atau aktual terjadi perubahan secara
tidak diinginkan Catatan : Risiko seharusnya ditentukan dengan alat pengkajian risiko :
Skala Bradentau Norton (Pedoman NANDA 2005-2006, NANDA 2007 ). Berdasarkan
NANDA 2012-2014 diagnosa kerusakan integritas kulit didefinisikan sebagai perubahan atau
gangguan pada epidermis dan atau dermis kulit.
4. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan imunitas tidak adekuat
Definisi dari diagnosa keperawatan tersebut adalah: Suatu kondisi individu yang mengalami
peningkatan risiko menyebarnya organisme patogenik dalam tubuh (Panduan NANDA 20052006, NANDA 2007, NANDA 2012-2014)
5.Resiko cidera
Definisi dari diagnosa resiko cidera adalah:Suatu kondisi individu yang beresiko untuk
mengalami cedera akibat dari kondisi lingkungan (Pedoman NANDA 2005-2006, NANDA
2007). Berdasarkan NANDA 2012-2014, diagnosa keperawtan diatas didefinisikan sebagai
suatu kondisi dimana pasien beresiko mengalami cidera akibat kondisi lingkungan yang
berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defense individu.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
90
6.Ketidakefektifan menejemen kesehatan diri
Diagnosa
keperawatan
diatas
didefinisikan
sebagai:
Ketidak
mampuan
untuk
mengidentifikasi, mengelola dan atau mencari bantuan untuk memelihara kesehatan (Panduan
NANDA 2005-2006, NANDA 2007 ). Berdasarkan NANDA 2012-2014 masalah
keperawatan diatas merupakan suatu kondisi dimana pola pengaturan dan pengintegrasian ke
dalam kebiasaan terapetik hidup sehari-hari untuk pengobatan penyakit dan sekuelnya yang
tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan kesehatan spesifik.
3.1.6.3. Analisis Tujuan dan aktivitas Keperawatan
Berikuti ini adalah uraian tujuan dan aktivitas keperawatan yang dilakukan pada Tn. M pada
masing-masing diagnosa keperawatan beserta dengan penbarana rasionalisasi dari masingmasing tindakan keperawatanya.
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
a. Tujuan Keperawatan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada Tn.M perubahan
perfusi jaringan serebral membaik dalam batas toleransi. Dengan kriteria :Tingkat
kesadaran komposmentis. GCS :E4M6V5. Pupil isokor. Tidak ada tanda peningkatan
TIK. Perbaikan neurologi lain. Tanda vital dalam batas normal.
b. Aktivitas keperawatan dan rasionalisasinya:
Aktivitas keperawatan:Monitor status neurologi dan tanda – tanda peningkatan TIK.
Monitor tanda-tanda vital. Evaluasi pupil (ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksi
terhadap cahaya ). Atasi peningkatan suhu tubuh. Pertahankan elevasi kepala tempat
tidur 300 – 450. Cegah terjadinya valsava manuver (mengedan saat BAB, pernafasan
paksa, batuk terus menerus ). Pertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkungan
yang tenang, batasi pengunjung/batasi aktivitas sesuai indikasi. Kolaborasi
pemberian obat-obatan seperti:IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jam. Dexamatason IV 2x5
mg.OMZ 40 mg 1x1 iv. B6 10 mgPo 3x1. Curcuma 200 mg 3x1 po. Pemberian OAE:
Diazepam 10 mg b/p 1x1 iv. Depakene syr 900 mg 40 cc 4x1 po. Clobazam 10 mg
2x1 po. Fenobarbital 30 mg 1x1 po. Memantau pemeriksaan laboratorium/diagnosti
ulangan atau awal seperti Ct Scan, MRI, hasil lumbal punksi. Rasionalisasi:Pengaturan posisi kepala 30 derajat bertujuan untuk meningkatkan
aliran balik vena dari kepala, sehingga akan mengurangi kongesti dan edema yang
berisiko meningkatkan tekanan intrakranial (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
91
Hasil penelitian yang dilakukan Schwarz, Georgiadis, Aschoff dan Achwab (2002)
melaporkan bahwa ada hubungan yang signifikan posisi kepala 15o dan 30o terhadap
perfusi jaringan serebral.
Berbagai macam mekanisme patofisiologi yang terjadi karena pengaturan posisi tubuh
yang memberikan pengaruh secara sistemik terhadap tekanan intraserebral dan perfusi
serebral. Perubahan yang terjadi adalah tekanan darah, pengembangan thoraks,
ventilasi, resistensi aliran balik vena dan perpindahan cairan serebrospinalis. Kondisi
ini dapat menyebabkan penurunan tekanan intrakranial dengan elevasi kepala
(Schwarz, Georgiadis, Aschoff, & Achwab, 2002). Elevasi kepala di atas jantung
menyebabkan penurunan tekanan
hidrostatik pada kepala. Mekanisme
ini
berhubungan dengan peningkatan aliran balik vena melalui vena jugularis dan pleksus
vena vertebra. Peningkatan aliran balik vena menurunkan tekanan vena serebral dan
vena jugularis yang akan menurunkan volume darah vena serebral yang akhirnya
menurunkan tekanan intrakranial (Schwarz, Georgiadis, Aschoff, & Achwab, 2002).
Tindakan pencegahan valsavah mauner seperti membuat klien untuk tidak batuk bersi
dan mengejan sehingga untuk mencegah TIK klien meningkat klien akan diberikan
laksatif atau ekspektoran. Karena memang peningkatan tekanan intra torak dan intra
abdomen akan meningkatkan peningkatan tekanan intra kranium. Valsafah manuver
dicegah sehingga peningkatan TIK bisa diminimalkan (Brunner, 20002).
Terapi yang diberikan: Dexamatason IV 2x5 mg, OMZ 40 mg 1x1 iv, B6 10 mgPo
3x1, Curcuma 200 mg 3x1 po. Dexameteson diberikan sebagai obat inflamasi.
Menurunkan edema serebri sehingga diharapkan mampu mencegah peningkatan
tekanan intra kranium. Pemberian dexa akan membuat tukak pada lambung sehingga
pemberian dexa seringkali digabung dengan pemberian omeprazole untuk
menurunkan asam lambung. Apalagi klien mempunya riwayat stress ulcer sejakan 5
tahun terakhir.
Omeprazole, Obat ini merupakan terapi untuk resiko tukak lambung dan refluks
gaster sehingga bisa mencegah mual dan muntah klien serta menurunkan anoreksia.
Bekerja dengan cara menekan sekresi lambung melalui penghambatan spesifik
terhadap sistem enzim H+/K+ ATPase pada permukaan sekresi sel parietal lambung.
Karena sistem enzim ini merupakan pompa asam (proton) dalam mukosa lambung,
Omeprazol digambarkan sebagai penghambat pompa asam langbung yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
92
menghambat tahap akhir pembentukan asam lambung. Obat ini diberiknan sebagai
upaya untuk mengurangi supresi gaster akibat pemberian dexametason. Selain juga
pasien mempunyai riwayat stress ulcer.
Curcuma berisi komponen kunyit dimana Kandungan kimia Kunyit disebut
kurkuminoid
yang
terdiri
dari
kurkumin,
desmetoksikumin
dan
bisdesmetoksikurkumin dan zat- zat manfaat lainnya. Obat ini ada dalam kemasan
sirup dimana setiap kali makan sebanyak 1 sendok teh dan dalam sehari dikonsumsi
sebanyak 3 kali.Obat ini pada klien bisa menimbulkan efek : menimbulkan nafsu
makan. Sehingga pemberian curucuma diharapkan bisa memperbaiki intake nutrisi
klien. Curcuma juga mampu bisa bersifat sebagai analgesik dan antipiretik sehingga
terapi kunyit juga dipercaya bisa untuk memperbaiki kondisi klien dengan METB.
Curcuma bisa mengurangi nyeri kepala klien akibat defisit neurologi sebagai akibat
sekunder dari peningkatan TIK.Curcuma dengan kandungan kunyit bisa memperbaiki
termoregulasi klien yang sedang demam, dimana kondisi klien memang mempunyai
kecenderungan unlabil suhu meski pada saat pengkajian suhu klien masih dalam batas
normal yaitu 36,8 C.Curcuma bisa meningkatkan peristaltik dalam colon sehingga
bisa membantu kelancaran BAB klien sehingga mampu mengurangi valsavah
manuver dimana kondisi ini bisa mengurangi nyeri kepala pada klien
2. Kerusakan mobilisasi fisik
a. Tujuan Keperawatan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan pada Tn. M,
mobilitas fisik dapat meningkat secara optimal.Dengan kriteria :Peningkatan kekuatan
otot. Tidak terjadi kontraktur / footdrop. Klien dapat melakukan mobilisasi / aktivitas
sesuai kemampuan.
b. Aktivitas keperawatan rasionalisasinya Aktivitas keperawatan: Tempatkan pasien dalam posisi terapeutik, Posisikan sejajar
kepala dan leher, Tentukan keterbatasan gerak sendi dan pengaruh terhadap fungsi,
Jelaskan kepada pasien/keluarga tentang tujuan dan rencana latihan sendi, Bantu
pasien dalam melakukan ROM pasif atau ROM aktif, Bantu mengoptimalkan posisi
tubuh saat ROM aktif/pasif, Anjurkan pasien melakukan ROM secara teratur,
Anjurkan pasien duduk di tempat tidur/kursi sesuai toleransi, penguatan positif
terhadap upaya melakukan latihan sendiKolaborasi fisioterapi untuk meningkatkan
program latihan: Mika miki tiap 2 jam, Bed reclicling 15-30, Positioning, Massage,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
93
anti kontraktur
dan anti decubitus, AROM dan PROM, Chest exercise, Tentukan
kesiapan pasien untuk berpartisipasi dalam aktivitas/latihan, Jelaskan rasional setiap
jenis latihan pada pasien/keluarga
Rasionalisasi:Latihan Range of Motion adalah kegiatan latihan yang bertujuan untuk
memelihara fleksibilitas dan mobilitas sendi (Tseng, Chen, Wu, & Lin, 2007). ROM
adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan
pergerakan otot, dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai
gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif. Latihan ROM merupakan salah satu
bentuk latihan yang efektif sebagai program rehabilitasi pada pasien stroke. Latihan
ini dapat dilakukan 4 sampai 5 kali dalam sehari (Smeltzer & Bare, 2008).
Massage merupakan istilah yang digunakan untuk menandakan kelompok manipulasi
jaringan tubuh yang terbaik dilakukan dengan tangan yang ditujukan untuk
mendapatkan efek pada saraf, otot dan sistem sirkulasi (Milland. 2009). Massage atau
Pijat adalah kontak fisik yang mampu memberikan rasa nyaman dan relaksasi.
Pemijatan bisa menjadi sarana yang membuat keluarga bisa menjadi lebih dekat dan
mejadi support sistem bagi pasien (Stoppard, 2006). Pijatan secara umum akan
membantu menyeimbangkan energi dan mencegah penyakit. Secara fisiologis, pijatan
merangsang dan mengatur tubuh, memperbaiki aliran darah dan kelenjar getah
bening, sehingga oksigen, zat makanan, dan sisa makanan dibawa secara efektif ke
dan jaringan tubuh. Dengan mengendurkan ketegangan dan membantu menurunkan
emosi pijat juga merelaksasi dan menenangkan saraf, serta membantu menurunkan
tekanan darah (Balaskas, 2005).
Pijat mampu merangsang tubuh melepaskan senyawa endhorpin yang merupakan
pereda sakit alami dan menciptakan perasaan nyaman dan enak (Danuatmadja dan
Meiliasari, 2004). Gate control teory dapat diukur untuk efektifitas cara ini. Illustras
Gate control teory bahwa serabut nyeri membawa stimulasi nyeri ke otak lebih kecil
dan perjalanan sensasinya lebih lambat dari pada serabut sentuhan yang luas. Ketika
sentuhan dan nyeri dirangsang bersama, sensasi sentuhan berjalan ke otak menutup
pintu gerbang dalam otak. Dengan adanya pijatan yang mempunyai efekdistraksi juga
dapat meningkatkan pembentukan endorphin dalam sistem kontol desenden dan
membuat relaksasi otot (Melode, 2009).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
94
3. Defisit perawatan diri total (mandi, makan, berpakaian dan toileting)
a. Tujuan Keperawatan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan pada Tn. M, ADL
klien dapat terpenuhi secara optimal sesuai toleransi (ADL enhancing). Ditandai
dengan sebagai berikut (skala 1 – 5 : sangat compromised sampai tidak
compromised). ADL 5 (5). Self care (5). Denyut nadi . Tekanan darah diastolik
dengan aktivitas. RR . SaO2 . Mudah bernapas dengan aktivitas. ADLs
b. Aktivitas keperawatan dan rasionalisasinya Aktivitas: Kaji kemampauan ADL pasien, Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan
makan, minum, mandi, berpakaian,BAK, dan BAB), Libatkan keluarga dalam
pemenuhan ADL pasien jika memungkinkan, Hindari mengerjakan sesuatu yang
dapat dikerjakan pasien dan berikan bantuanbila diperlukan, Waspadai terhadap
tingkah laku impulsive karena gangguan dalam pengambilan keputusan, Pertahankan
dukungan, sikap tegas, beri pasien waktu yang cukup untuk mengerjakan tugasnya.
Dan berikan umpan balik positif atas usaha pasien yang telah dilakuka, Berikan obat
laksatif untuk mempermudah BAB
Rasionalisasi :Tindakan perawatan yang diberikan untuk meningkatkan koping
regulator dan kognator terhadap defisit perawatan diri dengan melibatkan keluarga
dalam perawatan diri, memberi bantuan sesuai kebutuhan, mengajarkan bagaimana
memenuhi perawatan diri di tempat tidur, serta memotivasi pasien untuk
berpartisipasi dalam perawatan diri sesuai kemampuan. Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas hidup. Pasien yang mengalami ketergantungan dan bantuan
dalam aktivitas sehari-hari mengalami penurunan kualitas hidup secara signifikan
(Hedstrom & Blomstrand, 2003).
4 Kerusakan integritas kulit
a. Tujuan Keperawatan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada Tn.M Respon
Alergi: lokal trkontrol, Integritas kulit dan membrane mukosa utuh, Regenerasi luka
primer dan sekunder sesuai rentang waktu yang diharapkan . ditandai dengan:
Integritas kulit dan membran mukosa baik : kulit utuh, dapat berfungsi dengan baik.
Regenerasi sel dan jaringan membaik.Hipersensitif respon immune terkendali .Akses
hemodialisa (pemasangan AV Shunt) berfungsi baik : tidak ada perdarahan, tidak
terjadi infeksi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
95
b. Aktivitas keperawatan dan rasionalisasinya Aktivitas: Pencegahan Alergi terhadap Latek :Identifikasi respon allergi. Perawatan
Luka : Identifikasi derajad luka Jelaskan pada klien dan keluarga bahaya pemakaian
alat yang dapat meningkatkan kerusakan integritas kulit :bantal pemanas Berikan
cairan dan nutrisi yang adekuat sesuai kondisi. Lakukan perawatan luka sesuai
kondisi, dan kolaborasi untuk pemberian terapi dan nutrisi yang adekuat.Terapi:
cutimed 1/2hari. Pengelolaan Tekanan pada kulit: Pasang kasur dekubitus / bantal
angina cincin tumit bila diperlukan, Mobilisasi / ubah posisi tidur klien tiap 2 jam
sesuai jadwal, Ajarkan cara mobilisasi klien, Jaga kebersihan kulit dan alat tenun
klien agar tetap bersih, kering dan terhindar dari lipatan /kerutan, Berikan maasage:
coopers model. Berikan minyak atau lotion: minyak kelapa, Ajarkan pada keluarga,
Libatkan dan berikan motivasi pada keluarga untuk ikut dalam perawatan integumen
klien, Jaga kebersihan kulit dari daki dan spesimen tubuh yang lain, Rapikan linen,
Bantu pemenuhan PH klien
Rasionalisasi: Kejadian ulkus mencapai 38 % setiap tahunya dengan faktor penyebab
adalah: immobilisasi, penurunan kesadaran, penurunan sensorik, dan penurunan kadar
Hb (setyajati, 2002). Benson yang menyatakan bahwa massase dapat meningkatkan
relaksasi dengan merangsang saraf parasimpatis dari hipotalamus (Fraser & Kerr
1993, Richards 1998, Mok & Woo 2004). Teori adaptasi Roy (Meek 1993), massase
mampu membantu klien beradaptasi fisik dan psikologis terutama terhadap perubahan
akibat penyakit seperti parese atau plegia, teori Gate Control: dimana massase akan
membantu pasien untuk bisa sembuh atau mempunyai toleranis terhadap nyeri yang
dialami karena memang dengan massase, pasien akan mempu meningkatkan sikulasi
hormon endorphin yang membantunya lebih rileks (Mok & Woo, 2004), teori confort
(Colcaba) dimana massage dapat memebrikan kenyamanan dan mengurangi stress.
Mirjam A Hulsenboom MSc, RN dkk (2005). Melakukan penelitian dengan hasil
massage mampu mencegah Pressure Ulcer. Menurut Wenworth, Laura etc.(2009).
massage terapi mampu menurunkanketegangan otot, cemas dan nyeri pada pasien
Massage yang digunakan lebih banyak pada tekhnik efflurages dan petrisage.peneliti
menganjurkan bahwa terapi massage ini bisa digunakan untuk mengurangi
ketegangan pada otot punggung dan nyeri pada punggung. Walach, Harrach , etc.
(2003). Menyatakan bahwa terapi massage bisa menurunkan nyeri, memperbaiki
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
96
kondisi psikologi, mengurangi cemas, memperbaiki mood dan meningkatkan konsep
diri.
4.5 Resiko Penyebaran infeksi
a. Tujuan Keperawatan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada Tn. M Status
immune adekuat, Pengetahuan Pengendalian infeksi efektif, Pengendalian resiko
adekuat, Penyembuhan luka optimal. Dengan kriteri: Klien terbebas dari tanda dan
gejala infeksi. Klien mampu mendiskripsikan proses penularan penyakit, factor yang
mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannyaKlien mempunyai kemampuan
untuk mencegah timbulnya infeksi. Jumlah leukosit dalam batas normal(5.000 –
10.000)
b. Aktivitas keperawatan dan rasionalisasinya
Aktivitas: Immunisasi/Vaksinasi. Kaji faktor yang meningkatkan resiko infeksi :
lanjut usia, respon imun rendah dan malnutrisi. Anjurkan Klien& keluarga untuk
meningkatkan pertahanan tubuh dengan immunisasi/vaksinasi. Pengetahuan :
pengendalian infeksi: Ajarkan pada klien & keluarga cara menjaga personal hygiene
untuk melindungi tubuh dari infeksi : cara mencuci tangan yang benar. Anjurkan
kepada keluarga/ pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan
meninggalkan ruang klien. Jelaskan kepada klien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi. Ajarkan metode aman cara penyediaan, pengelolaan dan
penyimpanan
makanan / susu kpd klien & keluarga. Kolaborasi dengan ahli gizi : asupan nutrisi
TKTP: Blenderized 6x250 cc melalui sonde Susu cair formula dari RS 6x250 cc
Pengendalian resiko infeksi: Pantau tanda dan gejala infeksi : peningkatan suhu tubuh,
nadi, perubahan kondisi luka, sekresi, penampilan urine, penurunan BB, keletihan dan
malaise. Pertahankan tehnik aseptik pada klien yang beresiko. Bersihkan alat /
lingkungan dengan benar setelah dipergunakan klien. Pertahankan tehnik isolasi bila
diperlukan. Batasi jumlah pengunjung bila diperlukan, dan anjurkan penggunaan APD
pada klien dgn autoimun. Anjurkan kepada klien minum obat antibiotika sesuai .
Berikan penkes kepada klien dan keluarga tentang cara program. Dorong klien untuk
mengkonsumsi nutrisi dan cairan yg adekuat.penularan penyakit infeksi: transmisi
secara seksual, oral, fekal, sekresi tubuh, kontak
langsung, dan trankutaneus.
Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi: Rifampisin 450 mg 1x1 po,
INH 300 mg PO 1 x1, Pzd 500 mg PO 1 x2,Etambutol 500 mg PO 1 x 2
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
97
Rasionalisasi:Terapi OAT: Rifampisin adalah salah satu obat antibiotik TBC yang
digunakan untuk mengobati infeksi bakteri. Rifampicin sering digunkan untuk
pengobatan tuberculosis (TBC). Obat ini juga dapat digunakan untuk mencegah
infeksi setelah berkontak langsung dengan seseorang yang sedang terkena infeksi
TBC serius. Obat ini hanya diberikan dengan menggunakan resep dokter. Rifampisin
akan membunuh bakteri yang menyebabkan infeksi. Cara kerja obat ini yaitu dengan
menonaktifkan enzim bakteri yang biasa disebut RNA polimerase. Bakteri yang
menggunakan RNA polimerase untuk membuat protein serta untuk menyalin
informasi genetik (DNA) mereka sendiri. Tanpa enzim ini bakteri tersebut tidak dapat
berkembang biak sehingga bakteri tersebut akan mati.
Isoniazid (INH) merupakan obat yang cukup efektif dan berharga murah. Seperti
rifampisin, INH harus diikutsertakan dalam setiap regimen pengobatan, kecuali bila
ada kontra-indikasi. Efek samping yang sering terjadi adalah neropati perifer yang
biasanya terjadi bila ada faktor-faktor yang mempermudah seperti diabetes,
alkoholisme, gagal ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Dalam keadaan ini perlu
diberikan peridoksin 10 mg/hari sebagai profilaksis sejak awal pengobatan. Efek
samping lain seperti hepatitis dan psikosis sangat jarang terjadi.
Pyrazinamid bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang aktif
memlah danmycrobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau tiga
bulan pertama saja. Obat ini sangat bermanfaat untuk meningitis TB karena
penetrasinya ke dalam cairan otak. Tidak aktif terhadap Mycrobacterium bovis.
Toksifitas hati yang serius kadang-kadang terjadi.
Etambutol digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika
resiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak
diawasi, etambutol diberikan dengan dosis 25 mg/kg/hari pada fase awal dan 15
mg/kg/hari pada fase lanjutan (atau 15 mg/kg/hari selama pengobatan). Pada
pengobatan intermiten di bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30
mg/kg 3 kali seminggu atau 45 mg/kg 2 kali seminggu. Efek samping etambutol yang
sering terjadi adalah gangguan penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan
penyempitan lapangan pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau
bila ada gangguan fungsi ginjal.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
98
4.6 Resiko Cidera
Aktivitas keperawatan:Pencegahan cedera: Kaji factor resiko cedera, Identifikasi
kebutuhan keamanan klien sesuai kondisi dan fungsi kognitif klien, Ajarkan pada klien &
keluarga cara mengidentifikasi factor resiko cedera dan cara penanggulangannya,
Melakukan tindakan emergency sesuai dengan kondisi : Kejang, hiperthermi, penurunan
kesadaran, halusinasi, perdarahan. Pengawasan keselamatan :Laksanakan pengawasan
secara intensif kepada klien yang berisiko terjadi cedera: Monitor TTV, GCS,
hemodinamik, Berikan cairan & nutrisi yang adekuat. Kaji riwayat klien terkait factor
risiko, dan Informasikan kepada dokter tentang perubahan yang terjadi : mis epitaksis,
perubahan hemodinamik. Pengelolaan lingkungan : Ajarkan pada klien & keluarga
tentang lingkungan yang aman : penerangan yg cukup, lantai tidak licin:Pasang pengaman
tempat tidur pada klien anak atau klien yang gelisah/ penurunan kesadaran Pemberian
terapi OAE: Pemberian OAE:Diazepam 10 mg b/p 1x1 iv, Depakene syr 900 mg 40 cc
4x1 po, Clobazam 10 mg 2x1 po, Fenobarbital 30 mg 1x1 po
Rasionalisasi:Diazepam merupakan turunan bezodiazepin. Kerja utama diazepam yaitu
potensiasi inhibisi neuron dengan asam gamma-aminobutirat (GABA) sebagai mediator
pada
sistim syaraf
pusat.
Dimetabolisme
menjadi
metabolit
aktif yaitu
N-
desmetildiazepam dan oxazepam. Kadar puncak dalam darah tercapai setelah 1 - 2 jam
pemberian oral. Waktu paruh bervariasi antara 20 - 50 jam sedang waktu paruh
desmetildiazepam bervariasi hingga 100 jam, tergantung usia dan fungsi hati. Indikasi
dari obat ini adalah:untuk pengobatan jangka pendek pada gejala ansietas. Sebagai terapi
tambahan untuk meringankan spasme otot rangka karena inflamasi atau trauma;
nipertdnisitairotot (kelaTrian motorik serebral, paraplegia). Digunakan juga untuk
meringankan gejala-gejala pada penghentian alkohol akut dan premidikasi anestesi.
Merupakan salah satu obat pilihan sebagai obat anti epilepsi.
Asam valproat (Depakene)Indikasi : sebagai terapi tambahan pada kejang petit mal
sederhana dan kompleks, Juga kejang multiple.Kontra Indikasi :Gangguan fungsi
hati.Perhatian: Kelainan metabolik kongenital yang menyertai retardasi mental, penyakit
otak organik, hamil, anak <2 tahun. Efek Samping : Iritasi gastrointestinal, tidak nafsu
makan, penurunan BB, peningkatan nafsu makan dan BB, gangguan susunan saraf pusat,
rambut rontok, ruam kulit, eritema multiforme. Gangguan kejiwaan, hematologi,
leukopenia dan eosinofilia, anemia dan depresi sumsum tulang, gangguan fungsi hati dan
sistem endokrin, abnormal test fungsi tiroid, pankreatitis akut.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
99
Clobazam.Indikasi: Ansietas dan kondisi psikoneurotik yang berhubungan dengan
ansietas.Kontra Indikasi:Miastenia gravis.Efek Samping:Lelah. Jarang: mulut kering,
konstipasi, kehilangan nafsu makan, mual, pusing, atau tremor halus jari tangan. Kadangkadang: gelisah, iritabel dan otot lemah.Perhatian:Hamil, laktasi. Gagal nafas akut. Dapat
mengganggu kemampuan mengemudi atau menjalankan mesin; menimbulkan efek
habituasi dan ketergantungan.Interaksi: Potensiasi timbal balik dengan depresan SSP atau
alkohol. Antikonvulsan.
Fenobarbital merupakan “long acting barbiturate” yang memiliki khasiat hipnotik, sedatif,
anti konvulsi sserta sebagai peleamas otot rangka (“muscle reclaxan”). Dalam
propilenglikol 90% obat ini dapat larut sempurna dan stabil, sehingga tepat sebagai
sediaan injeksi. Indikasi: Sebagai hipnotik dan sedatif, dipakai dalam keadaan insomnia,
histeria, ansietas, neurosis dan migren, Antikonvulsi pada keadaan epilepsi, kejangkejang, keracunan strihnin, tetanus. Kontra indikasi:Hipersensitif terhadap barbiturat atau
komponen sediaan, gangguan hati yang jelas, dispnea, obstruksi saluran nafas, porfiria,
hamil. Efek samping: Indiosinkrasi jarang terjadi pada dosis terapi. Dosis berlebihan
dapat menyebabkan penurunan suhu badan, depresi atau paralisis, payah ginjal dan
hilangnya reflek.
4.7 Ketidakefktifan menejemen kesehatan diri
Aktivitas keperawatan:Nilai tingkat pengetahuan dan hal yang tidak diketahui pasien,
Tentukan kemampuan pasien untuk mempelajari informasi spesifik, Pilih alat/strategi
pembelajaran yang tepat, evaluasi kemampuan pasien sesuai tujuan, Libatkan
keluarga/orang terdekat sesuai kebutuhan, identifikasi kemungkinan penyebab, Berikan
informasi tentang kondisi sesuai kebutuhan,
berikan informasi pada keluarga/orang
terdekat, tentang perkembangan pasien, diskusikan perubahan gaya, hidup yang dapat
dilakukan untuk mencegah komplikasi/mengontrol proses penyakit, Diskusikan pilihan
terapi/penatalaksanaan, ajarkan pada pasien tentang tanda dan gejala yang dapat
dilaporkan pada petugas, berikan informasi tentang program rehabilitasi
Rasionalisasi:
Aktivitas untuk meningkatkan koping regulator dan kognator terhadap managemen
kesehatan diri dengan menilai tingkat pengetahuan pasien dan menentukan motivasi
pasien untuk mempelajari informasi, mendiskusikan perubahan gaya hidup yang dapat
dilakukan untuk mengontrol proses penyakit dan mencegah komplikasi, memberikan
informasi tentang kondisi sesuai kebutuhan, memberikan informasi tentang faktor risiko
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
100
penyakit dengan menggunakan media leaflet. Edukasi diberikan secara terstruktur dengan
tema: terapi (AOT dan OAE) , penceghana dan pengamanan kejang, terapi mobilisasi:
A/P ROM, mencegah massage dengan positioning dan massage punggung. Edukasi
diberikan setelah pasien dan kelaurag siap dan bersedia menerima edukasi.
Manajemen kesehatan diri menggunakan teori psikologi dan perilaku untuk
meningkatkan kesehatan dan perawatan diri yang positif pada pasien. Manajemen diri
memungkinkan seseorang secara mandiri mengatur kondisi penyakit dan kesehatannya.
Keterbatasan yang dialami, kemungkinan stroke berulang dan pemulihan jangka panjang
membutuhkan informasi, dukungan dan pendidikan kesehatan dari profesional kesehatan
tentang perubahan perilaku yang dapat meningkatkan kesehatan dan mempercepat proses
pemulihan (Joice, 2012).
Analisis Hambatan saat Penyusunan Renpra
Penyusunan Renpra penulis lakukan dengan berpedoman pada sumber teori yang ada dan
dimodifikasi dengan kondisi pasien di rumah sakit. Beberapa renpra dibuat dengan
mengembangkan teori yang ada, untuk kemudian diterapkan ke pasien. Pada dasarnya semua
renpra bisa dilaksanakan berkat kerjasama klien, keluarga dan perawat ruangan. Renpra yang
ada diruangan sebenarnya bisa digunakan untuk melakukan intervensi pada klien, hanya saja
diperlukan modifikasi karena harus disesuaikan dengan permasalahan utama yang dialami
klien. Renpra yang dibuat berdasarakan teori model adaptasi Roy dengan menggabungkan
dengan NANDA, NIC dan NOC disesuaikan dengan kebutuhan klien dan keluarga dengan
tetap melihat latar belakang kondisi dan program perawatan klien di RS dimana pasien
dirawat
3.1.6.4. Analisis Evaluasi Keperawatan
Pendokumentasian evaluasi keperawatan dilakukan di catatan perkembangan bersamaan
dengan pembuatan tindakan keperawatan. Evaluasi tersebut didokumentasikan dalam 5 hari
masa perawatan. Dari hasil evaluasi secara keseluruhan sebagian besar masalah keperawatan
pada klien masih teratasi sebagain sehingga rencana dan tindakan keperawatan lebih lanjut
masih perlu dilakukan. Berikut ini hasil evaluasi dari akhir masa perawatan pada klien :
Perubahan perfusi jaringan serebral membaik dalam batas toleransi.yang ditandai dengan:
Tingkat kesadaran kompos mentis. GCS:E4 M6 V5. Pupil isokor. Tidak ada tanda
peningkatan TIK. Nyeri kepala klien hilang. Demam hilang. Tanda vital dalam batas normal
Mobilitas fisik dapat meningkat secara optimal. Yang ditandai dengan: Peningkatan kekuatan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
101
otot, Tidak terjadi kontraktur / footdrop, Klien dapat melakukan mobilisasi / aktivitas sesuai
kemampuan. ADL klien dapat terpenuhi secara optimal sesuai toleransi (ADL enhancing).
Yang Ditandai oleh (skala 1 – 5 : sangat compromised sampai tidak compromised)., ADL 5
(5), Self care (5).
Respon Integritas kulit dan membrane mukosa utuh, Regenerasi luka primer dan sekunder
sesuai rentang waktu yang diharapkan. Ditandai dengan:integritas kulit dan membran mukosa
baik : kulit utuh, dapat berfungsi dengan baik, Regenerasi sel dan
jaringan membaik,
Hipersensitif respon immune terkendali . dilakukan skin graft sehingga luka UD klien
tertutup dengan kondisi kulit disacrum intake. Status immune adekuat, Pengetahuan
Pengendalian infeksi efektif, Pengendalian resiko adekuat, Penyembuhan luka optimal.
Dengan kriteri:Klien terbebas dari tanda dan gejala infeksi. Klien mampu mendiskripsikan
proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya,
Klien mempunyai kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi, Jumlah leukosit dalam
batas normal(5.000 – 10.000). Cidera dapat dicegah, kejang tidak berulang dan tidnakan
pengamanan untuk memberikan pasien safety bisa dilakukan secara optimal. Pasien dan
keluarga mampu melakukan tindakan yang mendukung perawatan dan pengobatan pada
pasien selama masa rwat inap setelah diberikan edukasi terstruktur.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
102 3.2 Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Kasus Resume
Sub bab ini akan menguraikan lebih jauh mengenai penerapan teori Model Adaptasi Roy
pada asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan neurologi. Pasien resume yang akan
dijabarkan oleh peneliti berjumlah 32 kasus, dengan diagnosa medis yang berbeda-beda.
Asuhan keperawatan pada pasien resume dilakukan selama penulis menjalankan praktek
Residensi Keperawatan Medikal Bedah Peminatan Neurologi dalam kurun waktu 1 tahun
atau dalam 2 semester. Penerapan asuhan keperawtan pada pasien resume dilakukan oleh
penulis di ruang neurologi zona Va dan Vb Gedung A RSUPN dr. Cipto Mangunkussumo.
Secara umum akan terlihat perbedaan aplikasi Teori Model Adaptasi Roy pada masingmasing kasus kelolaan. Berikut ini uraian pada masing-masing kasus resume yang meliputi
data biografi, diagnosa medis dan asuhan keperawatan yang diberikan.
Informasi umum yang diperoleh dari 32 pasien resume diketahui data demografinya sebagai
berikut: sebagian besar dari pasien resume berjenis kelamin laki-laki (69%) atau berjumlah
22 orang. Kondisi ini disebabkan pembagian tempat praktek untuk penulis yang sebagian
besar berada pada ruang layanan bagian laki-laki terutama diruang neurologi di zona Va. Dari
penggolongan umur diketahui sebagian besar pasien resume berada pada umur diatas 50
tahun yaitu sekitar 75 %. Kondisi ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa sebagian
besar pasien dengan ganggun sistem persarafan dialami oleh individu yang memasuki usia
lanjut (Mansjoer, 2000), dimana sistem organ vital seperti pembuluh darah dan saraf sudah
banyak mengalami kemunduruan, atau adanya akumulasi penyakit pada sel maupun jaringan
yang akhirnya bermanifestasi ketika individu tersebut memasuki umur lebih lanjut (Lewis,
2007).
Jenis pekerjaan pada responden sangat bervariasi, seperti: ibu rumah tangga, pembantu rumah
tangga, sopir, pedagang, satpam, guru, PNS (lembaga), karyawan swasta, pensiunan,
pemulung dan mahasiswa. Kondisi diatas menunjukan bahwa sebenarnya apapun jenis
pekerjaanya memberikan kecenderungan yang sama untuk beresiko mengalami penyakit
dengan gangguan pada sistem persarafan. Hal ini didukung oleh adanya fakta bahwa pasien
dengan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga menempati urutan kedua dalam kejadian
penyakit gangguan neurologi. Lebih lanjut, dari hasil tabulasi pada pasien resume diketahui
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
103 jenis pekerjaan paling banyak adalah pedagang yaitu sebanyak 10 orang atau sekitar 31%.
Seseorang yang bekerja sebagai pedagang meningkatkan resiko untuk mengalmai gangguan
sistem neurologi dimungkinkan karena kondisi: kelelahan, strees, tingginya radikal bebas,
tingginya karsinogenik dari makanan dan pernafasan. Lingkungan yang padat penduduk,
adanya kuman saluran nafas pathogen lain, hygiene yang rendah dan lingkungan yang buruk
merupakan pencetus untuk terjadinya penyakit epidemik terutama dari infeksi yang
menyebabkan individu tersebut mengalami gangguan pada sistem kardiovaskuler, repirasi
dan neurologi (harsono, 1996).
Selama menjalankan praktek residensi, penulis memberikan asuhan keperawatan baik diruang
neurologi maupun ruangan lain seperti IGD, Poli maupun ruang rehabilitasi. Beberpa
penyakit yang pernah dikelaola diantaranya: stroke baik iskemik maupun hemoragik, SOL (
Space Occupaying Lession) seperti: glioma, tumor hipofise, meningioma, Hernia Nukleous
Polposus (HNP), cidera kepala, infeksi otak seperti: meningitis, ensefalitis akibat virus (HIV)
maupun bakteri (Tuberculosa), arterious venous Malformation (AVM), miastenia grafis,
cepalgia, epilepsi, parkinson.
Penyakit terbanyak yang dirawat oleh penulis adalah psien dengan stroke baik iskemi (12 %)
dan hemoragik (12%). Penyakit stroke mempunyai insiden terbanyak dalam penyebab
gangguan neurologi. Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak. Seringkali kondisi ini adalah
kulminasi penyakit serebrovasculer selama bertahun-tahun (Smeltzer & Bare, 2008). Stroke
merupakan suatu kondisi perubahan Neurologi yang disebabkan oleh gangguan dalam
sirkulasi darah ke bagian otak (Black and Hawks, 2009).
Stroke merupakan penyebab kematian kedua setelah jantung. Data WHO tahun 2001 tercatat
lebih dari 4,6 juta meninggal diseluruh dunia, dua dari tiga kematian terjadi di negara
berkembang (Corwin, 2009). Survai kesehatan rumah tangga (SKRT) menunjukkan bahwa
37,3 per 100.000 penduduk terkena stroke, stroke merupakan penyebab kematian ketiga di
Indonesia (Jepardi, 2002)
Gangguan yang terjadi akibat stroke mempengaruhi aspek motorik, sensorik, bahasa, kognitif
dan fungsi sosial. Manifestasi klinik stroke bervariasi baik gejala fisik seperti kelemahan,
paralisis, kehilangan koordinasi, gangguan penglihatan maupun gangguan kognitif yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
104 dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari seperti perawatan diri dan pekerjaan (Kellicker &
Schub, 2010; Lawrence, 2010)
Selain stroke, penyakit yang yang juga banyak dikelola oleh praktikan adalah: SOL sekitar 5
orang pasien (15%). Occupaying Lession merupakan generalisasi masalah tentang adanya
lesi pada ruang intracranial khususnya yang mengenai otak. Banyak penyebab yang dapat
menimbulkan lesi pada otak seperti kuntusio serebri, hematoma, infark, abses otak dan tumor
intra kranial. ( Long, C 1996 ). SOL atau Tumor Otak merupakan proses pertumbuhan
termasuk benigna dan maligna yang mengenai otak dan sumsum tulang belakang ( Bullock,
1996 ). Faktor Resiko, tumor otak dapat terjadi pada setiap kelompok Ras, insiden meningkat
seiring dengan pertambahan usia terutama pada dekade kelima, keenam dan ketujuh .faktor
resiko akan meningkat pada orang yang terpajan zat kimia tertentu ( Okrionitil, tinta, pelarut,
minyak pelumas ), namun hal tersebut belum bisa dipastikan.Pengaruh genetik berperan serta
dalam timbulnya tumor, penyakit sklerosis TB dan penyakit neurofibomatosis.
Tanda dan gejala dari SOL antara lain: peningkatan TIK, Sakit kepala, Muntah, Papiledema
serta Gejala terlokalisasi (spesifik sesuai dengan dareh otak yang terkena), seperti :Tumor
korteks motorik ; gerakan seperti kejang kejang yang terletak pada satu sisi tubuh ( kejang
jacksonian), Tumor lobus oksipital; hemianopsia homonimus kontralateral (hilang
Penglihatan pada setengah lapang pandang , pada sisi yang berlawanan dengan tumor) dan
halusinasi
penglihatan,
Tumor
serebelum
;
pusing,
ataksia,
gaya
berjalan
sempoyongandengan kecenderungan jatuh kesisi yang lesi, otot otot tidak terkoordinasi dan
nistagmus (gerakan mata berirama dantidak disengaja) d.Tumor lobus frontal ; gangguan
kepribadia, perubahan status emosional dan tingkah laku, disintegrasi perilaku mental., pasien
sering menjadi ekstrim yang tidak teratur dan kurang merawat dirie. Tumor sudut
serebelopontin ; tinitus dan kelihatan vertigo, tuli (gangguan saraf kedelapan), kesemutan dan
rasa gatal pada wajah dan lidah ( saraf kelima), kelemahan atau paralisis (saraf kranial
keketujuh), abnormalitas fungsi motorik.f.Tumor intrakranial bisa menimbulkan gangguan
kepribadian, konfusi,gangguan bicara dan gangguan gaya berjalan terutam pada lansia.
(Brunner & Sudarth, 2003).
Selain itu penyakit lain yang juga banyak dirawat oleh praktikan adalah klien dengan infeksi
otak dalam bentuk meningtis ensefalitis (25 %) akibat Tuberculosa maupun dengan penyebab
virus (HIV). Praktikan memang paling banyak menjalankan waktu praktek diruang Neurologi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
105 bagian infeksi di RSUPN dr Ciptomangunkusumo lantai V zona Va ruang 516. Meningitis
adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang
menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001). Ensefalitis
adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh virus atau mikro organisme lain
yang non purulent (Corwin, 2009). Meningioencefaltis merupakan suatu bentuk infeksi yang
mengenai meningen, CSS dan spinal column yang disebabkan oleh infeksi jamur, virus dan
bakteri. Bila penyebabnya spesifik adalah bakteri Tuberculosa maka dinamakan METB.
Meningitis berada pada urutan ke 3 setelah stroke dan SOL (space occupying lession).
Dengan jumlah penderita 23 orang (7,49%) yang menderita meningitis. Walaupun
persentasinya tidak sebanyak stroke 57,32% namun persentase kematiannya cukup tinggi
yaitu mencapai 39,13% (Medical Record Ruang 19A RSHS. Bandung). Selain itu penyakit
meningitis dapat menimbulkan gangguan yang kompleks terhadap sistem tubuh yang lain,
misalnya
pada
sistem
pernafasan,
kardivaskuler,
pencernaan,
perkemihan
dan
muskuloskeletal, yang dapat pula menimbulkan komplikasi akut dan resiko kematian.
Disamping dampak terhadap sistem tubuh meningitis pun dapat merubah pola hidup
seseorang karena tidak jarang kasus meningitis meninggalkan gejala sisa berupa kecacatan
seperti : ketulian, gangguan penglihatan, dan kelumpuhan (Perry, 2000).
Diagnosa medis diatas memberikan manifestasi klinis dan keluhan utama yang bervariasi
pada masing-masing pasien bervariasi, diantaranya: nyeri kepala, parese, konstipasi atau
retensi urin/inkotinensia urin, akumulasi sekret dijalan nafas, intake nutrisi tidak adekuat:
kesulitan menelan, mual dan anoreksia, gangguan sensori: penglihatan, pendengaran,
penciuman, luka pada kulit: ulkus decubitus, penurunan kesadaran. Keluhan yang paling
banyak dirasakan pasien adalah sakit kepala (31%), sedangkan manifestsi klinis yang paling
banyak dimunculkan adalah penurunan kesadaran, kesulitan menelan dan parese (25%,10%,
31%).Manifestasi klinik karena gangguan pada otak dapat menimbulkan manifestasi umum
atau lokal. Manifestasi umum meliputi nyeri kepala, gangguan kesadaran, kejang epileptik
umum, sindrom mental organik, meningism, tanda peningkatan tekanan intrakranial. Tanda
dan gejala lokal termasuk defisit neulogis fokal, defisit neuropsikologis, gangguan visual,
gangguan saraf kranial dan kejang epileptik fokal (Mumenthaler & Mattle, 2004).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
106 Pada pasien dengan gangguan pada sistem persarafan keluhan nyeri muncul akibat adanya
nyeri pada kepala dengan berbagai tingkatan dan jenis mulai dari ringan sampai sedang,
mulai dari jenis tension headache, vertigo atau migrain (Mansjoer, 2000). Pusing atau sakit
kepala muncul sebagai akibat adanya peningkatan tekanan intra kranium sebagai respon
primer dari proses herniasi atau desak ruang dalam otak, maupun sebagai stimulus sekunder
akibat peningkatan tekanan pada tubuh bagian lain seperti peningkatan tekanan intrabdomen
dan intratoraks (Sidarta, 2010). Sehingga perlu sekali pencegahan valsavah manuver sebagai
bentuk menejemen perfusi jaringan serebri., karena memang peningkatan tekanan pada salah
satu cavum tubuh akan mempengaruhi peningkatan tekanan dalam intra cranium (Delaune,
2002).
Sakit kepala adalah masalah universal, dengan prevalensi hampir 99%, dan merupakan alasan
paling umum untuk rujukan neurologis. Sakit kepala bis memiliki makna klinis sedikit akan
tetapi juga mungkin menjadi pertanda adanya penyakit yang mengancam jiwa.(mayo)Rasa
sakit pada kepala disebabkan oleh traksi/penarikan, perpindahan, peradangan, spasme dari
pembuluh darah, atau distensi dari struktur di kepala atau leher yang sensitif terhadap rasa
nyeri (Greenberg, 2002). Sakit kepala sebagian besar bersifat primer yaiatu tanpa ada
penyakit yang mendasarinya seperti migrain, cluster, dan tension type headache. Meskipun
demikian ada juga sakit kepala yang disebabkan oleh sebuah proses yang mendasari penyakit
atau kondisi atau biasa disebut sakit kepala sekunder, dimana kondisi ini harus menjadi fokus
awal dalam evaluasi diagnostik sakit kepala. Manifestasi dari penyakit sistemik yang
mendasari dapat membantu dalam diagnosis etiologi sakit kepala dan harus selalu dicari.
Karena jika sampai terlambat bisa berakibat fatal (Adam, 2008).
3.2.1 Pengkajian Perilaku dan stimulus
3.2.1.1 Mode Adaptasi Fisiologis
a. Oksigenasi
Berdasarkan hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada semua kasus kelolaan,
ketidakefektifan pada pola oksigenasi pasien dengan gangguan sistem persarfan meliputi:
sesak napas, batuk, terdengar bunyi napas tambahan berupa vesikuler dan wheezing. Selain
itu pada psien dengan stroke terdpat satu menifestasi yang kahs yaitu munculnya pola
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
107 ketidakseimbangan nilai tanda vital terutama pada vaskuler atau tekanan darah. Sedangkan
pada psien dengan infeksi otal akan muncul masalah pada suhu yaitu adanya demam.
Rerata tekanan darah pada pasien gangguan sistem persarafan adalah 150/80 mmHg dengan
rentang 100/70-200/180 mmHg. Tekanan darah terendah ditemukan pada pasien Miasteni
grafis dan telah menjalani perawatan selama 1 bulan sedangkan tekanan darah tertinggi
ditemukan pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran karena stroke hemoragik dalam
kondisi DNR (Do Not Resusitation). Peningkatan tekanan darah merupakan gejala yang
sering ditemukan pada pasien stroke iskemik dan stroke hemoragik (Price, 2006).
Peningkatan tekanan pada kasus stroke disebabkan oleh respon patofisiologi multifaktorial
seperti peningkatan tekanan darah sebelumnya, aktivasi sistem neuroendokrin (sistem saraf
simpatis, sistem renin–angiotensin dan sistem glukokortikoid) dan peningkatan cardiac
output (Willmot, Leonardi-Bee, & Bath, 2004).
Kondisi peningkatan suhu pada pasien atau demam lebih banyak dialami oleh pasien dengan
infeksi otak maupun lesi pada otak yang mengenai pusat pernapasan. Seperti SOL atau stroke
yang membuat herniasai pada otak bagian: Hipothalamus. Suhu terendah ditemukan pada
pasien dengan epilepsi dan suhu tertinggi dialami pada pasien dengan infeksi otak yaitu:
METB dengan ARV on reaktif. Rerata suhu pasien resume adalah 38 C dengan rentang suhu
antara: 36-40 C. Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari
yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus (Dinarello &
Gelfand, 2005).
Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam
adalah rectal temperature ≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau axillary temperature
≥37,2°C (Kaneshiro & Zieve, 2010). Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel
darah putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin,
mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat
kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen
dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk
prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005). Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
108 meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan
menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu
mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit
dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan
produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan
suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, 2001).
Stimulus fokal terjadinya masalah keperawatan yang berhubungan dengan masalah
oksigenasi pasien gangguan sistem persarafan adalah infark yang luas, perdarahan
intraserebral, adanya massa daam otak, adanya infeksi MO, potensila listrik otak yang
abnormal,
cidera
atau
trauma
otak.
Stimulus
kontekstualnya
adalah
hipertensi,
hiperkolesterolemia, diabetes melitus, kecelakaan. Sedangkan stimulus residual seperti: usia,
jenis kelamin, kontrol dan pemeriksaan kesehatan yang tidak teratur, dukungan keluarga,
edukasi dan informasi kesehatan yang kurang memadai, perilaku yang kurang sehat
seperti:merokok, minuman keras, olahraga yang kurang, diet tidak seimbang, stress,
kelelahan.
Dari semua pasien kelolaan, faktor resiko terbanyak dalam penyebab penyakit gangguan
apda sistem persarafan adalah adanya kebisaan merokok. Perilaku merokok dimulai sejak
remaja dan berlanjut sampai usia lanjut dengan jumlah bervariasi mulai dari 1 - 3 bungkus
perhari. Lama merokok berkisar 5-7 tahun. okok mengandung lebih dari 3.800 bahan kimia,
sebagian besar diantaranya beracun. Racun dalam asap rokok yang dihisap oleh perokok aktif
dan perokok pasif meliputi: Nikotin, Tar, Arsenik, Benzen, Karbonmonoksida, Formalin,
Hidrogen sianida, Amoniak, Vinyl klorida.
Nikotin, merupakan racun saraf yang potensial dan digunakan sebagai bahan baku berbagai
jenis insektisida. Nikotin memiliki daya karsinogenik terbatas yang menjadi penghambat
kemampuan tubuh untuk melawan sel-sel kanker, akan tetapi nikotin tidak menyebabkan
perkembangan sel-sel sehat menjadi sel-sel kanker. Nikotin yang dihirup hanya memerlukan
waktu singkat untuk mencapai peredaran darah di otak. Nikotin dalam otak akan
menstimulasi berbagai senyawa kimia neurotransmiter dan hormon yang bertanggung jawab
terhadap semua efek “penenang” bagi perokok. Senyawa ini akan terus-menerus dihasilkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
109 selama terdapat nikotin di dalam peredaran darah otak. Akibatnya, bila kadar nikotin
menurun, otak akan mengirim pesan “butuh” nikotin kembali.Tar, kadar tar pada rokok
antara 0,5-35 mg per batang. Tar sejenis cairan berwarna coklat atau hitam yang merupakan
substansi hidrokarbon bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Tar menyebabkan
kanker paru-paru. Bahaya rokok dari racun ini sangat mengancam kelangsungan hidup si
perokok.
Karbon monoksida, mengikat hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah (eritrosit)
lebih kuat dibanding oksigen. Tubuh yang kekurangan oksigen akan mengecilkan pembuluh
darah. Bila proses tersebut berlangsung lama, maka pembuluh darah akan menyempit.
Penyempitan pembuluh darah bisa terjadi di otak, paru, ginjal, saluran kandungan, ari-ari
pada janin, dan di mana-mana.Hidrogen sianida, merupakan zat yang mudah terbakar dan
paling ampuh untuk menghalangi ataupun merusak saluran pernapasan. Walaupun hanya
sedikit, apabila sianida dikomsumsi orang secara langsung, maka manusia tersebut bisa
meninggal.Benzene dan formaldehid, merupakan senyawa karsinogen yang berbahaya, Arsen
yang sering digunakan sebagai racun tikus, dan karbon monoksida, yang merupakan
komponen utama pada asap rokok dan asap kendaraan, merupakan beberapa senyawa yang
terdapat pada rokok.
b. Nutrisi
Respon adaptasi tidak efektif pola nutrisi pasien gangguan sistem persarafan adalah kesulitan
mengunyah, kesulitan menelan, anoreksia, mual, muntah. Pemberian makanan melalui NGT
juga ditemukan pada 6-8 orang pasien, rerata kadar Hb pada pasien stroke adalah 14.4 mg/dl.
Penurunan status nutrisi terlihat dari penurunan HB, albumin, pasien terlihat lebih kruru,
penurunan BB. Ketidakefektifan adpatasi nutrisi banyak dialami pada klien dengan stroke,
SOL atau tomur otak dan infeksi otak terutama METB.
Penurunan berat badan pada pasien stroke lebih disebabkan oleh adanya penurunan nafsu
makan dan kesulitan menelan sebagai akibat dari penurunan kesadaran maupun gangguan
pada nervus kraniuum (IX, X dan XII). Sedangkan pada tumor maupun infeksi otak,
gangguan nutrisi muncul sebagai akibat intake oral yang tidak adekuat, gangguan absorpsi
gastrointestinal karena pengobatan tumor, kondisi katabolik karena penyakit infeksi kronis.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
110 (Wilkinson, 2007). Pada pasien dengan meningitis, terjadi oedema serebral mengakibatkan
kompensasi tubuh untuk menangani dengan mengeluarkan steroid adrenal melalui
perangsangan dari hipotalamus. Hal ini berpengaruh terhadap peningkatan sekresi asam
lambung yang menyebabkan hiper asiditas yang akan menimbulkan mual, muntah dan nafsu
makan berkurang. Pada kondisi yang kronis keadaan ini akan menimbulkan iskemi mukosa
lambung dan kerusakan barier mukosa sehingga terjadilah perdarahan lambung (stress ulcer)
maka pada kondisi tersebut asupan nutrisi klien tidak adekuat yang menimbulkan klien
kurang nutrisi (Soeroto, 2000)
Stimulus fokal terhadap pola nutrisi pada pasien gangguan sistem persarafan adalah status
hipo maupun hipermetabolik dan intake tidak adekuat kesulitan menelan. Stimulus
kontekstual pada pasien gangguan perasarafan untuk nutrisi diantaranya: riwayat stress ulcer,
riwayat pengobatan seperti: kemoterapi , radiasi, riwayat penyakit metaboli penyerta: seperti:
tiroid dan hepar. Sedangkan stimulus residualnya meliputi: motivasi makan, edukasi tentang
diet yang seimbanga, dukungan keluarga, informasi dan keyakinan menganai makanan
berpantang.
c. Eliminasi
Pengkajian perilaku pada pola eliminasi pasien dengan gangguan sistem persarafan meliputi
eliminasi urine dan eliminasi fekal. Sebagian besar pasien yang menjalani rawat inap dengan
diagnosa utama gangguan neurologi mengalami masalah eliminasi bladder sehingga salah
satu solusinya dalah dengan dialkukan pemasangan katater urin DC(Doenges, Moorhouse, &
Murr, 2010). Gangguan berkemih yang dialami sebagian besar adalah inkotinensia urin
akibat penurunan kesadaran. Indikasi lain dari pemasangan kateter urin akibat adanya
keterbatasn dalam mobiliasi klien sebagai dampak dari parese yang dialami oleh hampir
sebagian besar pasien. Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing.
Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum
pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar
panggul.
Sedangkan pasien yang mengalami gangguan eliminasi bowel seperti konstipasi sebanyak 5-6
orang dan diare 2-4 orang. Konstipasi tidak hanya ditemukan pada pasien yang mengalami
paraplegia tetapi juga ditemukan pada pasien stroke. Konstipasi pada pasien gangguan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
111 neurologi disebabkan oleh berbagai perubahan yang dialami seperti penurunan mobilitas
fisik, intake serat yang kurang, pasien tergantung pada keluarga untuk ke toilet, penurunan
atau tidak adanya sensasi yang dirasakan untuk defekasi, gangguan kognitif dan penggunaan
obat-obatan yang dapat mempengaruhi fungsi eliminasi. Beberapa obat yang dapat
menyebabkan konstipasi adalah golongan obat diuretik seperti furosemide, antidepressan
seperti amiptriptilin, antihipertensi seperti captopril dan antipsikotik seperti risperidone
(Nazarko, 2007).
Hasil pengkajian stimulus pada eliminasi yaitu stimulus fokal berupa kerusakan neurologi,
trauma kateter, infeksi. Stimulus kontekstual adalah immobilisasi, intake serat yang tidak
adekuat, kelemahan dengan stimulus residual yaitu menunda atau mengabaikan keinginan
untuk buang air besar, usia, pengetahuan tentang menejemne eliminasi, dukungan keluarga,
kenyaman dan privasi selama dirawat.
d. Aktivitas dan Istirahat
Pengkajian pola aktivitas dan istirahat klien dilakukan dengan memeriksa kemampuan
mobilisai, aktivitas dan istirahat klien melalui pemeriksaan tonus dan kekuatan otot,
perbedaan pola dan pemenuhan aktivitas dan kebutuhan tidur sebelum dan setalah dirawat di
RS dengan penyakit yang berfokus pada gangguan neurologi. Dari hasil pengkajian
ditemukan adanya 10-15% pasien yang mengalami parese dengan berbagai tingkatan dan
jenisnya. Pasien mengalami penurunan tonus dan kekuatan otot sehingga mobilisainya
terganggua. Sebagian besar pasien 50-70% mengalami rawat inap dengan kondisi total care
sehingga semua aktivitasnya hanya bisa dilakukan diatas tempat tidur dengan dibantu oleh
orang lain baik keluarga maupun oelh perawat. Faktor penyebab keterbatasan aktivitas
tersebut selain karena kondisi keterbatasa muskolosktal
jugas sebagai dampak dari
penurunan kesadaran, gangguan kognisi dan kondisi fisik klien seperti sesak atau nyeri
kepala.
Sebagian besar pasien gangguan sistem persarafan mengalami masalah pada kebutuhan tidur
baik polanya yang berubah atau kebutuhanya yang tidak bisa terpenuhi. Bayak diantara
mereka (80%) tidak pulas tidur malam dikarenakan kondisi lingkungan maupun penyakit
seperti: sesak, pusing, nyeri tubuh. Kondisi ini menyebabkan perubahan pola tidur sehinggan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
112 siang dan sore hari mereka lebih banyak tidur dan malamnya terjaga atau tidur tidak pulas,
akibatnya setelah bangun tidur mereka mengakatakan belum segar. Ada beberapa pasien (2-5
orang) yang sulit untuk tidur akibat cepalgia dan SOL. Pasien dengan cepalgia membuat
kesulitan tidur akibat nyeri kepala hebat Kesulitan tidur yang dialami merupakan manifestasi
dari respon psikologis berupa ansietas dan berduka. Respon stress menyebabkan pasien untuk
tetap terjaga dan mengalami kesulitan tidur. Stress fisiologis dan psikologis termasuk ansietas
memiliki korelasi dengan gangguan tidur sebagai akibat dari sekresi kortisol dari
hypothalamic-pituitary-adrenal axis (Harris, 2009).
Stimulus fokal risiko disuse sindroma pada aktivitas dan istirahat adalah penurunan
kesadaran, nyeri kepala, parese, lingkungan bising; stimulus kontekstual adalah infeksi,
infark yang luas, perdarahan dan stimulus residual adalah usia, kurang pengetahuan tentang
pentingnya mobilisasi, motivasi dan dukungan keluarga untuk melakukan mobilisasi.
e. Proteksi dan Perlindungan
pengkajian pada sistem proteksi dan perlindungan pasien resume dilakukan dengan
melakukan periksaan integumen, suhu, kondisi imunitas pasien. Kulit sebagai fungsi proteksi
dapat mengalami gangguan integritas kulit. Kondisi integumen klien untuk resiko kejadia
decub dinilai dengan menggunakan skala Norton atau Braden scale. Berikut ini intepretasi
dari skala Norton untuk pengkajian resiko kejadian decubitus pad apasien dengan sistem
persarafaan: 16-20: tidak ada resiko decubitus, 12-15: rentan terjadi decubitus, <12: resiko
tinggi terjadi decubitus.
Masalah gangguan integumne pasien kelolaan berfokus pada kejadian ulkus decubitus dan
luka akibat kecelakaan pada klien dengan cidera kepala. Pasien dengan cidera kepala akibat
kecelakaan akan mengalami gangguan kulit berupa laserasi atau abrasi. Dari semua pasien
cidera kepaladengan penyebab KLL tidak ada yang serius mengalami luka pada kulit.
Sedangkan kejadian ulkus decubitus pada pasien kelolaan terjadi akibat tirah baring lama
sebagai dampak immobilisai akibat gangguan mobilitas fisik maupun penurunan kesadaran.
Immobilisasi atau tirah baring adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak secara
aktif atau bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas ). Pasien mengalami
ulkus decubitus dari derajat I sampai dengan III sekitar 20-30%. Sebagian besar pada derajat
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
113 I berupa kemerahan dan lesi pada kulit dan diantara mereka hampir seluruhnya berada pada
daerah sacrum dan punggung bagian bawah hanya 1-2 orang yang berada pada sepanjang
punggung (kirir atau kanan) dan punggung atas. Lokasi yang paling sering mengalami
dekubitus adalah daerah iskium, trokanter mayor dan sakrum (Smeltzer & Bare, 2006).
Dekubitus berasal dari bahasa latin
decumbree yang berarti merebahkan diri yang
didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka
waktu lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). (National pressure Ulcer Advisory panel (NPUAP),
1989 dalam Potter dan Perry, 2005) mengatakan dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal
yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang dengan
permukaan eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan
lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan nutrisi serta
membuang sisa metabolisme melalui darah.
Penekanan yang lama akan mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang
menyebabkan iskemi jaringan. Iskemia jaringan adalah tidak adanya darah secara lokal atau
penurunan aliran darah akibat obstruksi mekanika (Potter dan Perry, 2005). Penurunan aliran
darah menyebabkan daerah tubuh menjadi pucat. Pucat terlihat ketika adanya warna
kemerahan pada pasien berkulit terang. Pucat tidak terjadi pada pasien yang berkulit pigmen
gelap.Kerusakan jaringan terjadi ketika tekanan mengenai kapiler yang cukup besar dan
menutup kapiler tersebut. Tekanan pada kapiler merupakan tekanan yang dibutuhkan untuk
menutup kapiler misalnya jika tekanan melebihi tekanan kapiler normal yang berada pada
rentang 16 sampai 32 mmHg (Maklebust, 1987 dalam Potter dan Perry, 2005).
Setelah priode iskemi, kulit yang terang mengalami satu atau dua perubahan hiperemi.
Hiperemia reaktif normal (kemerahan) merupakan efek vasodilatasi lokal yang terlihat,
respon tubuh normal terhadap kekurangan aliran darah pada jaringan dibawahnya, area pucat
setelah dilakukan tekanan dengan ujung jari dan hyperemia reaktif akan menghilang dalam
waktu kurang dari satu jam. Kelainan hyperemia reaktif adalah vasodilatasi dan indurasi yang
berlebihan sebagai respon dari tekanan. Kulit terlihat berwarna merah muda terang hingga
merah. Indurasi adalah area edema lokal dibawah kulit. Kelainan hiperemia reaktif dapat
hilang dalam waktu antara lebih dari 1 jam hingga 2 minggu setelah tekanan di hilangkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
114 (Pirres & Muller, 1991 dalam Potter dan Perry, 2005) Ketika pasien berbaring atau duduk
maka berat badan berpindah pada penonjolan tulang. Semakin lama tekanan diberikan,
semakin besar resiko kerusakan kulit. Tekanan menyebabkan penurunan suplai darah pada
jaringan sehingga terjadi iskemi. Apabila tekanan dilepaskan akan terdapat hiperemia reaktif,
atau peningkatan aliran darah yang tiba-tiba ke daerah tersebut. Hiperemia reaktif merupakan
suatu respons kompensasi dan hanya efektif jika tekan dikulit di hilangkan sebelum terjadi
nekrosis atau kerusakan (Potter dan Perry, 2005).
Beberapa faktor yang menyebabkan ulkus tekan adalah faktor gaya hidup dan biomekanik
yang difokuskan pada perubahan fisiologi kulit setelah cedera medula spinalis serta pengaruh
tekanan yang lama pada kulit (Lavrencic, 2011). Kulit kering pada ekstremitas bawah akibat
gangguan aktivitas simpatis pada bagian tubuh yang paralisis menyebabkan pasien tidak
berkeringat pada bagian yang paralisis tersebut (Smeltzer & Bare, 2006). Kondisi ini juga
memicu terjadinya luka tekan.
Kondisi proteksi klien selain dilihat dari integumen juga diniali dari resiko munculnya infeksi
dan penyebaran infeksi, seperti adanya kondisi demam, peningkatan nilai laborat untuk
imunitas seperti : leukosit, LED. Terdapat satu orang pasien stroke hemoragik yang
mengalami demam setelah menjalani perawatan selama 2 bulan dengan suhu tubuh mencapai
39-40 C. Klien menjalani perawatan dengan kondisi DNR. Suhu tubuh klien tidak stabil. Lesi
pada otak klien berada pada hipotalamus.
Pasien dengan infeksi otak rentan mengalami demam. Pasien yang mengalami infeksi
serebral karena HIV memiliki riwayat IVDU dan tatto. Faktor risiko infeksi HIV adalah
penjaja seks, pengguna napza suntik, laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama lakilaki dan transgender, riwayat berhungan seks dengan PSK tanpa pelindung, pernah mengidap
penyakit infeksi menular seksual, pernah transfusi darah, suntikan, tato, tindik dengan
menggunakan alat yang tidak steril (Depkes RI., 2007). Selain itu, pasien mengalami
penurunan CD4 dan infeksi oportunistik dialami 11-14 tahun setelah menggunakan tatto dan
jarum suntik secara bergantian.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
115 Hasil pemeriksaan leukosit pada gangguan sistem persarafan sangat bervariasi dengan rerata
13 gr/dl. Ketika tubuh mengalami invasi bakteri, virus atau mikroorganisme patogen yang
lain, maka terjadi respon immun fagositik yang merupakan respon pertahanan pertama yang
melibatkan leukosit yaitu granulosit dan makrofag untuk mencerna partikel asing. Sel ini
akan bergerak ke tempat serangan dan menelan kemudian menghancurkan mikroorganisme
tersebut (Smeltzer &bare, 2006). Nilai leukosit yang tinggi dapat mengindikasikan adanya
inflamasi, infeksi, kerusakan jaringan, stress dan malnutrisi (Keogh, 2010).
Proteksi dan perlindungan yang tidak efektif menimbulkan berbagai masalah keperawatan
seperti kerusakan integritas kulit, risiko infeksi, risiko cedera, risiko jatuh dan risiko trauma.
Stimulus fokal terhadap masalah proteksi adalah faktor mekanik (cedera), immobilisasi,
penurunan kesadaran ,parese, gangguan fungsi luhur dengan stimulus kontekstual berupa
kelembaban kulit dan stimulus residual berupa: usia, motivasi, dukungan keluarga,
pengetahuan tentang diet, mobiliasi, personal hygiene.
f. Sensasi
Gangguan sensasi pada sistem persarafan dapat berupa nyeri, parastesi ataupun penurunan
sensasi. Nyeri ditemukan pasien yang mengalami meningitis karena HIV. Nyeri merupakan
masalah utama pada pasien HIV khususnya pada stadium lanjut. Pada stadium awal,
dilaporkan 30% mengalami nyeri dan meningkat seiring progres penyakit. Pada pasien AIDS,
prevalensi meningkat sekitar 45% dan mencapai 70% pada stadium akhir. Bahkan pada
penelitian hospice, 93% pasien melaporkan nyeri dalam 2 minggu terakhir kehidupan
(Holdcroft & Jaggar, 2005). Nyeri juga dialami pasien kanker metastasis, tetapi hanya pada
saat awal masuk rumah sakit. Nyeri pada pasien kanker terjadi karena adanya massa di otak
akibat metastasis. Gejala metastase ke otak termasuk sakit kepala, perubahan status mental,
kelemahan focal dan kejang. Gejala terjadi dalam beberapa hari atau minggu meskipun
hemoragik karena metastasis dapat menyebabkan perburukan neurologis secara tiba-tiba
(Catane, Cherny, Kloke, Tanneberger, Schrijvers, 2006). Nyeri kepala pada pasien tumor atau
SOL disebabkan oleh herniasi akibat desak ruang massa pada otak, sedangnya nyeri kepala
pada pasien infeksi otak lebih karena hidrosefalus akibat inflamasi dan proses eksudasi
(Price, 2006).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
116 Gangguan sensasi dialami oleh pasien dengan SOL dan miastenia gravis. 3 orang pasien SOL
mengalami gangguan penciuman, penglihatan dan 1 orang pasien meningioma mengalami
gangguan pendengaran. 1 orang pasien dengan miastenia gravis mengalami gangguan sensasi
perabaan pada kulit dan gangguan pendengaran. Terdapat 1 pasien cepalgia yang mengalami
vertigo. Pengertian vertigo adalah : sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau
lingkungan sekitarnya, dapat disertai gejala lain, terutama dari jaringan otonomik akibat
gangguan alat keseimbangan tubuh. Vertigo (sering juga disebut pusing berputar, atau pusing
tujuh keliling) adalah kondisi di mana seseorang merasa pusing disertai berputar atau
lingkungan terasa berputar walaupun badan orang tersebut sedang tidak bergerak. Vertigo
dapat adalah salah satu bentuk gangguan keseimbangan dalam telinga bagian dalam sehingga
menyebabkan penderita merasa pusing dalam artian keadaan atau ruang di sekelilingnya
menjadi serasa 'berputar' ataupun melayang. Vertigo menunjukkan ketidakseimbangan dalam
tonus vestibular. Hal ini dapat terjadi akibat hilangnya masukan perifer yang disebabkan oleh
kerusakan pada labirin dan saraf vestibular atau juga dapat disebabkan oleh kerusakan
unilateral dari sel inti vestibular atau aktivitas vestibulocerebellar (Martin, 2004).
Pengkajian fokal pada pasien dengan gangguan sensasi berupa : nyeri, estesia, tuli, anosmia,
penurunan visus. Stimulus kontekstual berupa: riwayat trauma, riwayat hipertensi. Sedangkan
stimulus residualnya berupa: pengetahuan mengenai pain menejemen, motivasi, kontrol
kondisi kesehatan.
g. Cairan dan Elektrolit
Mode adapatasi fisiologis pada pola pemenuhan cairan dan elektrolit pada pasien gangguan
sistem persarafan menunjukkan dalam rentang yang adaptif. Kebutuhan cairan pasien
terpenuhi melalui enteral maupun parenteral. Kondisi ini terlihat dari cairan dan elektrolit
yang berada dalam kondisi seimbang. Namun ada 1 pasien bernama (inisial) TN. T dengan
stroke hemoragik yang sudah rawat inap selama 2 bulan dan berada pada kondisi DNR
mengalami salt wating sindrome akibat gangguan pada cerebelarnya. Manifestasi yang
ditunjukan klien berupa: diaforesis, diare, retensi urin.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
117 h. Fungsi Neurologis
pengkajian perilaku pada pasien kelolaan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
meliputi: kesadaran, tanda rangsang meningeal, reflek, saraf cranium, sensorik, motorik, dan
fungsi luhur. Berikut ini akan diuraikan hasil pengkajian neurologis pada pasien kelolaan:
pada kesadaran diketahui terdapat 8 orang pasien yang mengalami penurunan menjadi
somnolen (6 orang) dan stupor (2 orang). Semua pasien mempunyai kondisi pupil yang iskor
dan bereaksi terhadap cahaya baik langsung maupun tidak langsung. Dari pemeriksaaan TRM
(tanda rangsang Meningeal) diketahui pasien dengan infeksi otak seperti METB atau TE HIV
mengalami kaku kuduk yang positif sedangkan rangsang yang lain seperti laisq, kerniq dan
brudzinki negatif. Hasil pemeriksaan reflek terdapat beberapa pasien yang menunjukan
kondisi patologis dengan babinski postif atau hofman trummer positif. Kondisi ini lebih
banyak dijumpai pada pasien stroke baik iskemia maupun hemoragik.
Gangguan sensorik yang dialami pasien kelolaan lebih berupa gangguan panca indera.
Kehilangan sensori pada pasien gangguan neurologi dapat berupa kerusakan sentuhan ringan
atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propiosepsi (kemampuan untuk merasakan
posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual,
taktil dan auditorius. Persepsi adalah kemampuan untuk menafsirkan sensasi. Stroke dapat
mengakibatkan disfungsi visual-persepsi, gangguan dalam hubungan visual-spasial dan
kehilangan sensori. Disfungsi Visual persepsi disebabkan karena adanya gangguan pada
sensorik primer jalur antara mata dan korteks visual. Homonymous hemianopsia (kehilangan
setengah dari bidang visual) mungkin terjadi pada pasien stroke dan bisa terjadi sementara
atau permanen. Bagian yang terkena dampak adalah pada sisi sesuai dengan sisi tubuh
lumpuh. Gangguan dalam hubungan visual-spasial (mempersepsi hubungan dari dua atau
lebih objek di daerah spasial) sering terlihat pada pasien dengan kerusakan belahan otak
kanan (Corwin, 2009).
Hampir sebagain beasr (80%) pasien menunjukan gangguan motorik seperti parese atau
plegia. 2-3 pasien mengalami kontraktur atau footdrop. Pergerakan tubuh dihasilkan melalui
kerjasama yang komplek antara otak, tulang belakang dan syaraf perifer. Motor area pada
kortek serebri, basal ganglia dan cerebelum mengawali setiap gerakan volunteer dengan
mengirimkan pesan ke kortek spinal. Kondisi stroke menghambat komponen system syaraf
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
118 pusat dalam mekanisme penghantaran impuls sehingga menghasilkan efek kelemahan ringan
sampai berat pada sisi kontralateral yang menyebabkan keterbatasan dalam pergerakan
(Lemone and Burke, 2004). Pada tahap awal, gejala klinis yang muncul mungkin hanya
penurunan tonus otot atau kehilangan reflex tendon dalam. Ketika refleks tendon dalam
muncul kembali (biasanya sampai dengan 48 jam), maka tonus otot akan meningkat dari
ekstremitas pada sisi yang terkena (Smeltzer and Bare, 2008).
Gangguan fungsi luhur seperti memori, orentasi, mood dan perasaan banyak dialami pasien
terutama dengan lesi dibagian fronto dan temporal Fungsi kognitif termasuk tingkat
kesadaran dapat mengalami perubahan dan bervariasi tergantung pada tingginya tekanan
intrakranial dan lokasi dari lesi (Ignatavicius & Workman, 2006). Kerusakan yang luas pada
area korteks dan adanya gangguan pada sistem pengaktifan retikular asendens dapat
menyebabkan penurunan kesadaran (Silbernagl & Lang, 2006). Gangguan fungsi luhur pada
pasien kelolaan juga muncul dari kemapuan berbahasa, terdapat 2-5 pasien mengalami afasisa
baik sensorik maupun motorik. Fungsi otak yang lain yang terganggu akibat stroke adalah
fungsi bahasa dan komunikasi. Pada kebanyakan kasus, stroke bisa menyebabkan afasia.
Menurut Smeltzer and Bare (2008), gangguan kemampuan berbicara yang sering dialami
pasien gangguan sistem persarafan adalah :Dysarthria (kesulitan dalam berbicara), hal ini
disebabkan karena paralisis pada otot-otot yang memproduksi suara. Gejala yang ditunjukkan
adalah bicara yang sulit dimengerti.Dysphasia atau aphasia (kehilangan kemampuan bicara),
bisa berupa aphasia motorik, aphasia sensorik atau aphasia global. Apraxia (ketidakmampuan
untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), yang mungkin terlihat ketika pasien
mengambil sebuah garpu dan upaya menyisir rambutnya. Terdapat 1-3 pasien yang
mengalami gangguan mental seperti regresi akibat infeksi otak dan stroke. Perubahan tingkat
kesadaran dapat terjadi dalam rentang yang berbeda, mulai dari confuse sampai dengan
koma. Hal ini disebabkan karena kerusakan jaringan yang terjadi akibat adanya iskemik atau
hemoragik.
Perubahan tingkah laku termasuk emosi yang labil, kehilangan control diri dan menurunnya
toleransi terhadap stress. Perubahan intelektual yang terjadi bisa berupa kehilangan memori,
penurunan perhatian, penilaian, dan ketidakmampuan dalam berfikir abstrak (Lemone &
Burke, 2004). Bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
119 atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini ditunjukan
dengan lapang perhatian yang terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang
motivasi, yang menyebabkan pasien ini menghadapi masalah frustasi dalam program
rehabilitasi mereka (Smeltzer and Bare, 2008).
Gejala neurologik yang timbul pada pasien dengan gangguan neurologi muncul sebagai
akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan
pembuluh darah dan lokalisasinya (Smeltzer and Bare, 2008). Penyakit pada sistem
persarafan menyebabkan defisit neurologic yang berat ringanya bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan
jumlah aliran darah kolateral. Sebagian besar penyakit neurologi akan meninggalkan gejala
sisa karena fungsi otak tidak akan membaik sepenuhnya (Lewis, 2007).
Berikut ini merupakan manifestasi klinik yang muncul dari pasien dengan gangguan sistem
persarafan berdasarkan lokasi dari lesi pada otak (Ignatavicius, 2006), diantaranya :Bila lesi
di kortikal, akan terjadi gejala klinik seperti; afasia, gangguan sensorik kortikal, muka dan
lengan lebih lumpuh atau tungkai lebih lumpuh., eye deviation, hemipareses yang disertai
kejang. Bila lesi di subkortikal, akan timbul tanda seperti; muka, lengan dan tungkai sama
berat lumpuhnya, distonic posture, gangguan sensoris nyeri dan raba pada muka lengan dan
tungkai (tampak pada lesi di talamus). Bila disertai hemiplegi, lesi pada kapsula interna
nomer 3 (Tiga).Bila lesi di batang otak, gambaran klinis berupa: hemiplegi alternans, tandatanda serebelar, nistagmus, gangguan pendengaran, gangguan sensoris, disartri, gangguan
menelan, deviasi lidah. Bila topis di medulla spinalis, akan timbul gejala seperti; gangguan
sensoris dan keringat sesuai tinggi lesi, gangguan miksi dan defekasi.
i. Fungsi Endokrin
Pengkajian perilaku terkait dengan fungsi endokrin pada pasien gangguan sistem persarafan
menunjukkan bahwa rerata glukosa darah adalah 140 gr/dl. Glukosa darah tertinggi
ditemukan pada pasien yang mengalami stroke hemoragic disertai adanya riwayat
DMddengan niali sebesar: 200 gr/dl. Peningkatan glukosa darah dapat terjadi akibat respon
terhadap stress fisiologis yang dialami. Seseorang yang mengalami stress fisiologis yang
ekstrim, glukosa darah dapat mencapai 200-250 mg/dl. Hal ini dipengaruhi oleh pelepasan
epinefrin sebagai respon terhadap stress (Sommers, John, & Beery, 2007).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
120 3.2.1.2 Mode Adaptasi Konsep Diri
Hasil pengkajian perilaku pada konsep diri pasien menunjukan bahwa sebagai besar pasien
sudah menerima kondisi perubahan dirinya seperti adanya kelumpuhan, perubahan panca
indera, perubahan kulit maupun perubahan bentuk terutama pada kepala atau amggota tubuh
yang lain akibat operasi. Hanya sebagian kecil yang belum bisa menerima perubahan bentuk
fisik tubuhnya, kondisi ini lebih disebabkan usia yang masih muda dan perubahan kondisi
fisik tubuh yang drastis seperti kelumpuhan atau pengambilang beberapa anggota tubuh.
Pasien mampu menerima kondisi perubahan tubuh dan mengganggapnya sebagai bagian dari
ketentuan Tuhan, bahwa kondisi sakitnya adalah cobaan dalam hidup, sehingga mereka
pasrah dengan kondisi tubuh dengan tetap berharap lekas semub, membaik dan pulang untuk
berkumpul dengan anggota keluarga yang lain.
3.2.1.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran
Pengkajian perilaku pada mode adaptasi fungsi peran menunjukan bahwa hampir seluruh dari
apsien tidak lagi mampu menjalankan aktivitasnya sebelum sakit, terutama pada pemenuhan
kebutuhan dasarnya, sehingga fungsi peran tidak bisa dilakukan dengan baik. Dari kondisi ini
akan muncul masalah keperawatan yang berkaitan dengan fungsi peran menurut Roy dan
Andrews (1999) yaitu perubahan penampilan peran, manajemen regimen terapeutik individu
yang tidak efektif dan manajemen regimen terapetik keluarga tidak efektif. Manajemen
regimen terapeutik individu yang tidak efektif tidak ditemukan lagi dalam NANDA 2012,
namun lebih diarahkan pada manajemen kesehatan diri tidak efektif (Herdman, 2012).
Stimulus fokal manajemen kesehatan diri tidak efektif dan manajemen regimen terapeutik
keluarga yang tidak efektif adalah kompleksnya perawatan dan pengobatan, konflik keluarga,
kesulitan ekonomi. Stimulus kontekstual adalah kurangnya dukungan sosial. Stimulus
residual adalah kurang pengetahuan, harapan individu/keluarga yang berlebihan.
3.2.1.4 Mode Adaptasi Interdependensi
Mode adaptasi interdependensi dapat dinilai dari pemberian dukungan dan motivasi keluarga
selama perawatan diberikan pada pasein. Terdapat 2 orang pasien yaaitu Tn. A dan Tn. M
yang menjalani perawatand engan kondisi terlantar atau tidak ada keluarga yang bersedia
membantu dan menamani pasien. Selebihnya, semua pasien yang dikelola mendapatkan
dukungan penuh dari keluarga baik anak, istri, suami, orang tua dan keluarga yang lain.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
121 Adanya kegiatan kemasyarakatan dan kegiatan keagamaan yang diikuti, menyebabkan pasien
mendapatkan dukungan bukan hanya dari keluarga tetapi juga dari lingkungan sekitar tempat
tinggal. Seluruh pasien menunjukkan perilaku interdependensi yang efektif. Interdependensi
yang efektif menunjukkan pasien mendapatkan kasih sayang, dukungan, kehadiran orang
terdekat, kemampuan untuk mencintai, menilai dan berespon terhadap orang lain
(Christensen & Kenney, 2009).
3.2.2 Diagnosa Keperawatan
Roy&Andrews (1991) dalam Alligood & Tomey (2006) penetapan diagnosa keperawatan
dilakukan dengan cara menghubungkan anatar perilaku dengan stimulus yang telah
dilaksanakan pada tahap pengkajian. Berdasarkan hasil pengkajian ditemukan beberapa
diagnosa keperawatan pada masalah adaptasi baik fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan
interdependi. Setiap pasien bsia mempunyai diagnosa keperawatan lebih dari satu. Berikut ini
uraianya: Bersihan jalan napas tidak efektif 5 orang , Kerusakan pertukaran gas: 2 orang, Pola
napas tidak efektif : 3 orang, Perfusi jaringan serebral tidak efektif: 25 orang, Risiko aspirasi :
4 orang, Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh: 6 orang, Kerusakan
eliminasi urine: 10 orang. Konstipasi: 7 orang, Kerusakan mobilitas fisik: 26 orang, Defisit
perawatan diri total: 25 orang, Kerusakan integritas kulit: 5 orang, Risiko infeksi: 10 orang,
Risiko cedera: 15 orang, Nyeri akut: 15 orang, Kerusakan komunikasi: 4 orang. Mode
adaptasi konsep diri: Ansietas, Berduka. Mode adaptasi fungsi peran: Manajemen kesehatan
diri tidak efektif: Manajemen regimen terapeutik keluarga tidak efektif :. Mode adaptasi
interdependensi: ketidakefektifan dukungan keluarga.
Berdasarkan 4 mode adaptasi perilaku, diagnosa keperawatan yang paling banyak ditemukan
adalah diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan mode adaptasi fisiologis .
3.2.3 Penetapan Tujuan
Penetapan tujuan keperawatan adalah menyusun pernyataan yang jelas dari hsail perilaku dari
asuhan keperawatan pada individu pasien. Tiga hal yang dinyatakan dalam penetapan tujuan
keperawatan adalah: perilaku, perubahan yang diharapkan serta rentang waktu. Seterusnya
disusu tujuan jangka pendek dan panjang. Tujuan keperawatan pada pasien gangguan sistem
persarafan diadaptasi dari NOC yang menggambarkan respon perilaku adaptif atau inefektif
baik perilaku yang dapat diamati atau dapat dikaji. Tujuan keperawatn yang dibuat harus
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
122 realistis dan mampu dicapai sesuai kondisi dan waktu perawatan pasien. Fokus dlaam tujuan
perawatan pasien dengan gangguan sistem persarafan adalah adanya perbaikan kondisi,
terpenuhinya kebutuhan dasar pasien, kondisi vital dalam batas toleransi, klien mampu
beradaptasi secara fisik dan psikologis terhadap perubahan yang terjadi akibat proses
penyakit.
3.2.4 Rencana Intervensi Keperawatan
Tujuan dari intervensi keperawatan adalah mempertahakan dan meningkatkan perilaku
adaptif serta merubah perilaku yang tidak adaptif menjadi perilaku adpatif . intervensi
keperawtan difokuskan pada cara agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan
suatu stimulus yang mampu merubah perilaku. Menejemen stimulus dapat merubah ,
meningkatkan , menurunkan menghilangkan atau mempertahankan stimulus tersebut
perubahan terhadap stimulus dapat meningkatkan kemampuan mekanisme koping seseorang
agar berespon secara positif untuk menghasilkan perilaku yang adatif.
Intervensi keperawatan pada pasien gangguan sistem persarafan diadaptasi dari NIC dan
disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan dengan menggunakan pendekatan secara holistik
biopsikososial dan spiritual guna meningkatkan, mempertahankan dan memulihkan
kesehatan. Intervensi keperawatan yang dilakukan berupa intervensi keperawatan mandiri
dan kolaborasi untuk meningkatkan koping regulator dan kognator. Intervensi keperawatan
menggunakan pendekatan perawatan fisik, anticipatory guidance,pendidikan kesehatan dan
konseling. Selain itu, merawat pasien gangguan sistem persarafan juga membutuhkan caring
dan penggunaan diri perawat secara terapeutik. Strategi ini dapat membantu pasien untuk
mengungkapkan perasaan yang dialami dan dapat meningkatkan harga diri pasien.
Beberapa intervensi keperawatan yang dilakukan pada pasien dengan gangguan sistem
persarafan diantaranya berfokus pada: menejemen perfusi jaringan serebri, pencegahan
peningkatan TIK, pencegahan valsavah manur, menenjemen nutrisi, menejemen inkotinensia
urin: bladder training, terapi menelan, terapi wicara, latihan mobilitas: A/PROM, massage,
fisitreapi, chest thrust, positioning, pengaturan elevasi kepala, menejemen ventilasi,
menejemen vaskuler, dll.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
123 3.2.5 Implementasi Keperawatan
Merupakan uraian yang lebih rinci dari intervensi keperawatan yang telah dipilih dalam
impelemntasi juga diuraikan lebih rinci bagaimana pencapain tujuan keperawatan dengan
melakukan menejemn pada stimulus yang ada ( Allygood& Tomey, 2006).
3.2.6 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dilakukan untuk menilai efektivitas intervensi keperawatna yang telah dipilih dan
menjadi refleksi dari tujuan keperawatan ditetapkan sebelumnya. Pasien kelolaan praktikan
dengan gangguan sistem persarafan menjalani masa rawat inap sekitar 5-10 hari. Diantara
mereka 80% mampu melakukan adapatasi baik fisiologi maupun konsep diri, fungsi peran
maupun interdepensi. Pasien pulang dalam kondisi: 90% melanjutkan perawatn dirumah, 5%
pulang atas permintaan sensiri, 3 % pulang paksa dan 2 % meninggal dunia. Pasien pulang
dengan kondisi beberapa masalah keperawatan teratasi dan ssianya masih teratasi sebagian.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
BAB 4
PENERAPAN EVIDANCE BASED NURSING
PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN
Bab ini menguraikan tentang penerapan Evidence Based Nursing (EBN) pada gangguan
sistem persarafan. Evidence based nursing ini berjudul Pengaruh Back Massage: Cooper’s
Model
untuk Pencegahan Ulkus Decubitus
Pada Pasien Immobilisasi
Akibat Defisit
Neurologi: Parese Ekstremitas. Dekubitus merupakan kerusakan struktur anatomis dan fungsi
kulit normal akibat dari penekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang
dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu yang biasa. Dekubitus disebabkan karena
terjadinya penekanan pada area kulit dalam waktu yang lama. Proses penekanan ini terjadi
karena tidak adanya aktivitas pada area kulit yang tertekan, sehingga menghambat perfusi
pada area tertekan (Margolis, 1995, dalam Potter & Perry, 2005).
Penelitian menunjukkan bahwa 6,5-9,4% dari populasi umum orang dewasa yang dirawat
dirumah sakit, menderita paling sedikit satu dekubitus pada setiap kali masuk rumah sakit
(Barbenel et al,1977; Jordan dan Nicol,1977; David et al, 1983, dalam Morison, 2003).
Angka prevalensi dekubitus bervariasi pada berbagai keadaan individu. Angka prevalensi
yang dilaporkan dari rumah sakit, menurut Alman, (1989); Langemo dkk, (1989); Meehan,
(1994); dan Leshlem dan Skelsky, (1994), antara 3-20%. Tingginya masa rawat inap akan
meningkatkan resiko ulkus decubitus. Ditambah kondisi fisik pasien yang mengalami
immobilisasi akibat kelemahan pada ekstremitas bawah seperti parese atau plegia seperti
halnya pada pasien dengan gangguan neurologi.
Pencegahan maupun perawatan pasien dengan decubitus merupakan salah satu bagian
penting dari Patient Safety. Perawat mempunyai peran penting untuk mencegah terjadinya
dekubitus. Tindakan yang biasa dilakukan adalah mengubah posisi atau memiringkan posisi
tubuh ke kanan dan ke kiri. Hal itu bertujuan untuk mengurangi masa tekan pada area
kulit,tetapi tidak menjaga vaskularitas kulit. Sehingga dibutuhkanlah suatu tindakan yang bisa
meningkatkan vaskularisasi pada kulit yang tertekan selain juga mampu mencegah tekanan
dan menjaga kelembapan. Salah satunya dengan menggunakan metode massage.
124
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
125 Dalam penelitian diungkapkan, terapi pijat merupakan metode yang digunakan untuk
melancarkan sirkulasi darah dan membantu menjaga vaskularitas kulit (Vickers & Zollman,
1999). Teknik masase punggung juga didukung oleh Bliss (1964 dalam Peeterrs et al, 2008),
yang menyatakan bahwa teknik pijat sekali atau dua kali sehari efektif dalam mencegah
perkembangan luka tekan. Sebuah studi percontohan yang dilakukan oleh Van Den Bunt
(1992 dalam Peeterrs et al,2008) menunjukkan efek positif masase pada pencegahan luka
tekan. Massage mampu diberikan pada pasien tanpa komplikasi atau efek samping yang
berarti dan bisa diajarkan pada keluarga karena memang teknik ini mudah dan murah untuk
dilakukan. Salah satu kunci keberhasilan intervensi pada pencegahan decubitus pasien
dengan stroke adalah dengan memberikan suatu intervensi yang dilakukan secara rutin dan
berkelanjutan, sehingga dukungan keluarga sangat diperlukan. Apalagi dengan melibatkan
keluarga dalam pemberian massage ini akan mampu meningkatkan keberhasilan terapi pada
pasien dengan parese akibat Defisit neurologi karena keluarga mampu memberikan dukungan
tidak hanya fisik namun juga psikologi (support sistem) bagi pasien. Dengan pemberian
massage, perawat mampu menjadi lebih dekat dan membangun empati dengan pasien dan
keluarga.
Melihat latar belakang diatas maka diperlukanya suatu evidance based untuk mengetahui
suatu metode yang tepat untuk mencegah kejadian decubitus pada pasien immobilisasi akibat
defisisit neurologi utamanya dengan parese, diamana salah satu Evidance based yang bisa
dilakukan perawat adalah dengan memberikan teknik massage punggung: Cooper’s model.
Dalam metode ini perawat memberikan massage melalui 5 tahapan yaitu: Efflurages,Prettige,
Friction, Percusiion dan Vibration. Dengan tehnik ini perawat mampu memberikan
pencegahan pada pasien yang beresiko mengalami ulkus decubitus dengan penilaianya
menggunakan skala Norton. Massage yang diberikan bisa memberikan efek fisiologi dan
psikologi. Secara fisik perawat mampu memberikan tidak hanya pencegahan kelembapan
seperti pada pemberian Positioning namun lebih dari itu mampu meningkatkan Vaskularisasi
karena Back massage ini secara prakteknya menggabungkan metode Massage dan Fisioterapi
dada.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
126 4.1 Hasil Journal Reading (Critical review)
Massage bisa menjadi terapi primer pencegahan decubitus pada pasien dengan masa rawat
inap lama dan disability muskuloskleletal. Salah satu teknik massage yang ada dengan
menggunakan cooopers model. Terdapat 5 tahapan dalam cooper model yaitu: efflurage,
petrisage, percussion, friction, vibration. Terapi massage mampu memicu pelepasan hormon
endorphin yang akan membuat pasien menjadi lebih rileks, melancarkan vaskularisasi dan
menjaga mempertahankan kelembapan kulit. Sehingga sangat tepat bila massage therapi
diaplikasikan pada pasien dengan resiko decubitus terutama akibat tirah baring lama dan
kelemahan anggota gerak seperti halnya pada pasien stroke yang mengalami parese atau
plegia. Terapi massage dengan efek samping yang sangat minimal namun bisa dilakukan
dengan efektif dan efisien selain karena mudah ternyata tehnik ini diyakini mampu
memperbaiki tidak hanya kondisi fisik pasien seperti vaskularisasi, kelembapan kulit, namun
lebih dari itu bisa meningkatkan kondisi psikologsi pasien sehingga mampu memperbaiki
depresi, perasaan sepi, self esteem dll.
Evidance based yang akan dilakukan adalah pemberian massage therapy dengan
menggunakan model Cooper’s yang akan diberikan pada pasien resiko decubitus akibat
parese atau pelgia ektrmitas (bawah) dengan riwayat penyakit dengan stroke. Sperti diketahui
strko dengan kondisi immobilisasi bukan hanya rentan mengalami komplikasi gangguan
integumen seperti decubitus namun lebih dari itu mereka akan terapapar dengan masalah
psikologis utamanya depresi. Sehingga diperlukanya suatu bentuk perawatan untuk menjaga
kondisi fisik (integumen) dari ulkus decubitus dan memberikan kesehatan psikologis denga
suatu bentuk terapi yang mudah dan murah tanpa ada efek samping yang berarti.
Lebih dari itu pemberian massage pada pasien sejalan dengan konsep teori keperawatan
seperti: teori Benson yang menyatakan bahwa massase dapat meningkatkan relaksasi dengan
merangsasng saraf parasimpatis dari hipotalamus (Fraser & Kerr 1993, Richards 1998, Mok
& Woo 2004). Teori adaptasi Roy (Meek 1993), dimana dengan pemberian massase ini
diharapkan mampu membantu pasien beradaptasi fisik dan psikologis terutama terhadap
perubahan akibat penyakit seperti parese/plegia, teori Gate Control: dimana massase akan
membantu pasien untuk bisa sembuh atau mempunyai toleranis terhadap nyeri yang dialami
karena memang dengan massase, pasien akan mempu meningkatkan sikulasi hormon
endorphin yang membantunya lebih rileks (Mok & Woo, 2004), yang terkahir adalah teori
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
127 confort (Colcaba) dimana massage dapat memebrikan kenyaman dan mengurangi stress.Salah
satu jenis massage yang bisa digunakan adalah metode cooper’s. Metode massage ini terbagi
dalam 5 bentuk teknik yang dilakukan selam kurang lebih 30 menit. Teknik ini mudah
dilakukan dengan efek samping yang hampir tidak ada. Bisa dilakukan dimana saja sehingga
lebih efetif dan efisien. Perawat yang akan menerapkanya tidak emmerlukan pelatihan khusus
maupun izin tersendiri. Terapi ini tidak memrlukan alat dan bahan khusus sehingga tidak
akan membebani biaya pada pasien dan keluarga. Bahkan terapi ini bisa dengan mudah
diajarkan ke keluarga. Sehingga terapi ini bisa dilakukan secara rutin dengan melibatkan
pasrtisipasi keluarga dalam perawatan pasien. Dibandingkan dengan terapi keperawatan lain
pada kondisi pasien dengan immobilisai, terapi massage (cooper’s) mampu mencegah
kejadian decubitus dengan memperhatikan vaskularisasi dan kelembapan kulit punggung
pasien.
Evidance based penerapan massage: coopers model diambil dari sebuah penelitian dilakukan
oleh Harris dan Richard Tahun 2009 sebagaimana yang ada dalam jurnal internasional
keperawatan berjudul :
“The
physiological and psychological effects of slow-stroke back
massage and hand massage on relaxation in older people”. Penelitian ini memberikan hasil
sebagai berikut :massage dengan menggunakan coopers model mampu meningkatkan
indikator relaksasi responden secara significan secara statistik. Hasil penelitian ini
berlandandaskan dan didukung oleh penelitian yang dilakukan : fokuari dan jones (1987)
dengan responden sebesar 18 orang. Penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
significan secara statistik indikasi relaksasi pada pasien yang diberikan massase punggung,
dimana indikator yang dipakai adalah: tekanan darah, nadi , RR dan suhu serta verbal dari
responden. Penelitian ini didukung oleh riset yang dilakukan oleh Meek 1993, Holland &
Pokorny 2001) dengan menggunakan tehnik yang sama pada responden yang berbeda
sebanyak 24 orang. Meek (1993) memberikan massage punggung selam 3 hari dengan
mengamati indikasi relaksasi pasien terutama dari TTV. Penelitian lain dalam jurnal yang
dilakukan oleh Fraser &Kerr 1993, Mok & Woo 2004, menunjukkan bahwa massage
punggung selama 10 menit yang dilakukan pada 21 responden dapat menurunkan kecemasan
pasien. Masage punggung untuk menurunkan agitasi juga dibuktikan oleh Rowe and Alfred
(1999).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
128 Berikut ini mrupakan beberapa penelitian yang bisa menunjukan manfaat dari massage terapi
bagi pasien selain dari penelitian diatas. Termasuk beberapa penelitian yang mendukung
bahwa pasien dengan rawat inap lama dengan disability akibat stroke akan rentan mengalami
decubitus, serta beberapa penelitian yang juga memberikan informasi bahwa pemberian
massage dapat mencegah kejadian decubitus. Beberapa penelitian tersebut diantaranya:
Mirjam A Hulsenboom MSc, RN dkk (2005). Melakukan penelitian dengan menggunakan
desig cros sectional komprasi dari tahun 1991 sampai dengan 2003 dengan judul : Massage to
prevent pressure ulcers: knowledge, beliefs and practice.A cross-sectional study among
nurses in the Netherlands in 1991 and2003. Penelitian dilakukan pada perawat yang bekerja
di Netherland, bertujuan untuk mengetahui perkembangan implementasi pemberian massage
perawat dalam mencegah decubitus mulai dari tahun 1991 sampai dengan 2003. Penelitian
dilakukan dengan membagikan kusioner pada 1552 responden untuk mengetahui :
pengetahuan, praktek dan keyakinan perawat terhadap intervensi massage yang diberikan
padea pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: perawat sering menggunakan massage
untuk mencegah Pressure Ulcer (PU)
dan terdapat kenaikan yang significan dalam
menggunakan massage sebagai terapi komplementer untuk mencegah PU.
Wenworth, Laura etc.(2009). Dengan judul: Massage Therapy ReducesTension, Anxiety, and
Pain in Patients Awaiting Invasive Cardiovascular Procedure . dengan menggunakan desai
eksperimen
pada
65
responden
menunjukan
bahwa
massage
terapi
mampu
menurunkanketegangan otot, cemas dan nyeri pada pasien yang dilakukan katerterisasi
jantung. Massage yang digunakan lebih banyak pada tekhnik efflurages dan petrisage.peneliti
menganjurkan bahwa terapi massage ini bisa digunakan untuk mengurangi ketegangan pada
otot punggung dan nyeri pada punggung.Walach, Harrach , etc. (2003). Dengan judul:
Efficacy of Massage Therapy in Chronic Pain: A Pragmatic Randomized Trial. Dilakukan
dengan design eksperimen (RCT) pada 29 responden. Perlakukan yang diberikan adalah
massage dengan teknik : classic dan standar medical care. Terapi bisa menurunkan nyeri,
memperbaiki kondisi psikologi, mengurangi cemas, memperbaiki mood dan meningkatkan
konsep diri. Supriyono dkk tahun 2011. Judul penelitian : Efektifitas Pemberian Masase
Punggung Terhadap pencegahan Dekubitus Pada Pasien Tirah Baring Penelitian ini bertujuan
untuk membandingkan efektivitas teknik masase punggung dengan teknik alih baring
terhadap kejadian dekubitus. Desain penelitian adalah quasi eksperimen, jumlahsampel 28
responden dengan teknik purposive sampling. Hasil analisa uji independentsample t test
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
129 dengan taraf kemaknaan 5% menunjukkan tidak terdapat perbedaan yangsignifikan antara
masase punggung dengan alih baring terhadap kejadian dekubitus. Teknik alih baring dan
masase punggung terhadap kejadian dekubitus (p = 0,638 > 0,05). Rekomendasi hasil
penelitian ini adalah agar dilakukan observasi pada pasien resiko terjadi dekubitus, dilakukan
tindakan masase punggung dan alih baring secara bersamaan pada pasien tirah baring untuk
merubah tekanan dan melancarkan peredaran darah pada area tertekan sehingga mencegah
dekubitus.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurwangsih (2009) dengan judul : Pengaruh penggunaan
minyak kelapa terhadap pencegahan intergritas kulit: decubitus pada pasien karena tirah
baring total akibat stroke. Observasi treatment dengan minyak kelapa pada 9 responden dan
11 orang dengan massase memakai vaselin. Diobservasi selama 3 hari. Pengolahan data
menggunakan statistik uji Z beda 2 proporsi dengan tingkat kepercayaan 95 % pada alpha
5%. Hasil yang ditampilkan adalah berupa integritas kulit dapat dipertahankan dan tidak
terjadi penurunan integritas kulit dengan Z=0,448 dengan pv=0,17 dengan kupusan uji: tidak
ada perbedaan penggunaan massage dengan minyak kelapa dan vaselin.
Penelitian yang dilakukan Purwaningsih (2001), yang berjudul: analisis decubitus pada
pasien tirah baring. Penelitian dilakukan dengan desain eksploratif croos sectional. Hasil
penelitian menunjukan bahwa dengan massage punggung kejadian decubitus bisa dicegah
sebesar 20 %. Penelitian yang dilakuakn oleh Setyajati (2002) . penelitian dilakukan dengan
cohort descriptif eksploratif. Juudl penelitian: faktor yang mempengaruhi kejadian ulkus
decibitus pada pasien tirah baring di RS. Hasil penelitian menunjukan bahwa: kejadian ulkus
mencapai 38 % setiap tahunya dengan faktor penyebab adalah: immobilisasi, penurunan
kesadaran, penurunan sensorik, dan penurunan kadar Hb.
4.2 Praktek Berdasarkan pembuktian
Penerapan EBN dilakukan dengan memberikan back massage: coopers model (BM:CM)
pada pasien immobilisasi untuk mencegah ulkus decubitus (UD). EBN dilakukan pada pasien
gangguan sistem persarafan yang sedang melakukan rawat inap di lantai Va gedung A
RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo yang dilaksanakan pada tanggal 05-30 November 2012.
Jumlah pasien
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
130 yang berpartisipasi sebanyak 10 orang dilakukan selama 7 hari. Pengumpulan data dan
pelaksanaan EBN melibatkan keluarga dan mahasiswa. Sebelum pelaksanaan EBN, penulis
melakukan sosialisasi kepada kepala ruangan dan perawat pelaksana di lantai Va gedung A
RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dilanjutkan dengan demonstrasi cara melakukan BM: CM.
Berikut ini persiapan dan cara dalam melakukan EBN dengan BM:CM. Persiapan alat dan
bahan:Kapas/kassa/tissue, Minyak kelapa, Sarung tangan bersih. Persiapan pasien: KIE atau
helath edukasi pemberian massage, Eksposure punggung pasien dari pakaian, Posisi pasien
yang nayamn dan memudahkan pelaksaan tindakan.Persiapan lingkungan: Kondisi
lingkungan yang harus disiapkan sebelum pelaksanaan terapi diantaranya: pemberian
sketsel/tirai, pengaturan tempat tidur, penerangan yang cukup. Pemberian terapi massage
dengan motede cooper model dilakukan dengan memberikan pijatan yang didalamnya
memberikan 5 tahapan pijat secara berurutan sebagai berikut::
a. Teknik effluerage :Dilakukan dengan memberikan gosokan pada kulit tanpa terjadi
gerakan otot bagian dalam. Tangan dibuat sedemikian rupa sehingga gerakannya tetap
dan tekanan yang diberikan searah dengan aliran darah balik. Pemijatan berupa usapan
lembut, panjang, dan tidak terputus-putus. Dilakukan dengan menggunakan ujung jari
yang ditekan lembut atau ringan tanpa tekanan kuat dengan tidak melepaskan jari pemijat
dari permukaan kulit.
b. Teknik Petrisage :Dilakukan dengan melakukan usapan tingkat sedang atau usapan yang
lebih dalam daripada efflurage. Metodenya sama dengan efflurage.
c. Teknik percussion (menepuk) :Dilakukan dengan pemberian pukulan cepat dan ringan
dengan kedua tangan yang dilakukan secara bergantian dengan gerakan berirama.
Dilakukan dengan perlahan-lahan kemudian cepat berirama dan tiba-tiba berhenti.
d. Teknik Friction (menggesek): Manipulasi pada otot dengan gerakan putar/lingkaran pada
satu titik dengan menggunakan palmar jari-jari, ibu jari dan bagian distal ulnar
pergelangan tangan. Teknik friction tidak menggerakkan kulit, tetapi menggerakkan
jaringan di bawah kulit.
e. Teknik Vibrasi :Manipulasi pada otot dengan gerakan ritmik dari lengan bawh. Vibrasi
sebaiknya dilakukan dengan menggunakan elektrikal vibrasi, karena durasi dan
ketahannya sangat panjang daripada tangan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
131 Terapi ini diberikan pada pasien selama 30 menit, dimana setiap tekhnik masing-masing 5-6
menit. Setiap tekhnik dilakukan berurutan dari model pertama sampai dengan ke 5. Dengan
tetap memperhatikan respon pasien. Pelaksanan terapi bisa dikombinasi dengan minyak
sebagai aromaterapi atau lumbrikasi. Dari hasil penelitian bisa memakai minyak kelapa.
Indikator yang dievaluasi dari keberhasilan terapi massage punggung: cooper model adalah:
perbaikan konsisi integumen dilihat perubahan atau perbaikan grade kejadian atau rsiko ulkus
decubitus dengan pengukuran skala Norton, kenyamanan atau relaksasi pasien dari TTV dan
verbal pasien serta observasi sederhana kondisi psikologi pasien. SOP dari intervensi
pemberian massage dengan menggunakan coopers model bisa dilihat dalam lampiran.
Perkambangan pelaksanaan EBN terlihat dalam lembar ebservasi harian yang ada di lampiran
beserta dengan pengkajian resiko decubitus menggunakan skala Norton. Evaluasi dari
pelaksanaan EBN menggunakan perubahan atau perbaikan grade atau tingkatan dari kejadian
ulkus decubitus dan lembar obervasi harian sebagai berikut
1. Kenyamanan pasien:Kenyamanan pasien diobservasi dari vital sign pasien yang
membaik dan berada dalam batas normal. Selain kenyaman juga bisa terlihat dari
verbal pasien.
2. Dari inspeksi terlihat bahwa kondisi integumen terutama punggung pasien membaik
yang ditandai : kemerahan pada kulit punggung pasien setelah hari ke 7 menjadi
berkurang dan terdapat penurunan skala resiko norton untuk Kejadian decubitus pada
pasien
3. Ada perbaikan kondisi psikologi pasien. Komunikasi membaik, empati terbina,
terjalin support sistem yang baik dan depresi bisa dicegah.
Perkembangan grade dari dekubitus pada pasien sebelum dan setelah pemberian EBN
merujuk pada pembuat grade dekubitus menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel
(NPUAP). Berdasarkan NPUAP ada perbandingan luka dekubitus derajat I sampai derajat IV
(potter dan perry, 2005) yaitu: a. Derajat I: Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit
tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator
b. Derajat II: Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka
superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang dangkal.
c. Derajat III: Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau
nekrotik yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui fascia yang berada
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
132 di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa
merusak jaringan sekitarnya.
d. Derajat IV: Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis
jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya kerusakan
jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi
4.3 Hasil Pelaksanaan EBN
4.3.1 Karateristik Umum responden
EBN dilaksanakan pada 10 pasien dengan karateristik umum sebagai berikut:
Tabel 4.1
Distribusi Pasien Berdasarkan Umur
di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
( n= 10 )
Umur
21 – 30
31 – 40
41 – 50
51 – 60
Jumlah
Jumlah
Pasien
1
2
3
4
10
%
10
20
30
40
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa sebagian besar (40%) responden berada pada umur
dengan kisaran 51-60 tahun.
Tabel 4.2
Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
( n= 10 )
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Jumlah
Pasien
8
2
10
%
80
20
Berdasarkan table 4.2 diketahui bahwa sebagian besar (80%) respoden berjenis kelamin lakilaki.
Tabel 4.3
Distribusi Pasien Berdasarkan Penyakit
di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
( n= 10 )
Jenis Penyakit
Meningitis
Stroke iskemik
SOL
Parkinson
Stroke hemoragik
Jumlah
Jumlah
Pasien
1
3
4
1
1
10
%
10
30
40
10
10
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
133 Berdasarkan table 4.3 kebanyakan pasien mempunyai penyakit dengan diagnosa medis
adalah SOL ( Space Occupiying Lession (SOL) berjumlah 4 orang (40%).
4.3.2
Karateristik khusus
Tabel 4.4
Distribusi Pasien Berdasarkan faktor resiko kejadian UD
di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
( n= 10 )
Masa rawat inap
(Minggu)
1-2
3-4
5-6
7-8
Jumlah
Jumlah
%
1
4
1
3
10
10
40
10
30
Penyebab Immobilisasi
Jumlah
%
9
7
2
2
20
45
35
10
10
Parese
Penurunan kesadaran
Demam
Nutrisi
Jumlah
Berdasarkan table 4.4 kebanyakan responden yang mengalami resiko UD mempunyai masa
rawat inap selama lebih dari 3-4 minggu yaitu sebanyak 4 orang (40%). Sedangkan dilihat
dari penyebab immobiliasasinya kebanyakan resoponden mengalami parese pada ekstrmitas
sebanyak 9 orang (45%). Selain itu, responden juga mengalami penurunan kesadaran
sehingga mobilisasi mereka terhambat (35%)
Tabel 4.5
Distribusi Pasien Berdasarkan Penilaian resiko kejadian UD
di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
( n= 10 )
Skala Norton
1-12 (Resti)
12-15 (Rentan)
16-20 (Tidak beresiko)
Jumlah
3
7
0
Jumlah
%
30
70
0
10
Berdasarkan table 4.5 sebagian besar (70%) responden rentan mengalami Ulkus Decubitus
dengan nilai berdasarkan skala norton berada pada range antara 12-15.
4.3.3
Distribusi hasil pelaksanaan EBN
Tabel 4.6
Distribusi Pasien Berdasarkan perubahan tingkatan UD
sebelum dan setelah pelaksanaan massage: Coopers Model
di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
( n= 10 )
Sebelum Massage
Grade I
Grade II
Grade III
Grade IV
Jumlah
Jumlah
%
7
3
0
0
10
70
30
0
0
Setelah massage
Grade I
Grade II
Grade III
Grade IV
Jumlah
Jumlah
%
8
2
0
0
10
80
20
0
0
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
134 Berdasarkan table 4.6 sebelum diberikan massage dengan cooper model sebagian besar
(70%) responden mengalami UD pada grade I, sebagian kecil berada pada grade II (30%).
Setelah diberikan massage punggung menggunakan tekhnik cooper model sebagian besar
responden berada pada grade I dengan sebagian kecil (20%) berada pada grade II dan tidak
ada yang berada pada grade III.
4.4 Pembahasan
4.4.1 Karateristik Umum responden
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa sebagian besar (40%) responden berada pada umur
dengan kisaran 51-60 tahun. Usia merupakan salah satu faktor resiko dari kejadian ulkus
decubitus. Individu yang memasuki masa lansia akan meningkatkan resiko untuk mengalami
UD. Studi yang dilakukan oleh Kane et el (1989) mencatat adanya luka dekubitus yang
terbasar pada penduduk berusia lebih dari 75 tahun. Lansia mempunyai potensi besar untuk
mengalami dekubitus oleh karena berkaitan dengan perubahan kulit akibat bertambahnya
usia, kecenderungan lansia yang lebih sering berbaring pada satu posisi oleh karena itu
imobilisasi akan memperlancar resiko terjadinya dekubitus pada lansia. Imobilsasi
berlangsung lama hampir pasti dapat menyebabkan dekubitus (Roah, 2000) menurut Pranaka
(1999), ada tiga faktor penyebab dekubitus pada lansia yaitu: Faktor kondisi fisik lansia itu
sendiri (perubahan kulit, status gizi, penyakit-penyakit neurogenik, pembuluh darah dan
keadaan hidrasi atau cairan tubuh), Faktor perawatan yang diberikan oleh petugas kesehatan,
Faktor kebersihan tempat tidur, alat tenun yang kusut dan kotor atau peralatan medik yang
menyebabkan lansia terfiksasi pada suatu sikap tertentu.
Berdasarkan table 4.2 diketahui bahwa sebagian besar (80%) respoden berjenis kelamin lakilaki. Dari data ini diketahui bahwa lebih banyak UD diderita oleh pasien dengan jenis
kelamin laki-laki. Namun pada dasarnya belum ditemukanya dasar teori yang menyebutkan
bahwa UD harus lebih banyak dialami laki-laki daripada perempuan. Pada pelaksanaan EBN
ini lebih banyak dilakukan pada laki-laki karena memang pasien yang memenuhi kriteri
inklusi lebih banyak pada pasien laki-laki. Selain itu waktu pelaksanaan yang singkat yaitu
kurang dari 1 bulan membuat pelaksanaan EBN dilaksanakan sesuai dengan pasien yang
sedang rawat inap sehingga besar kemungkinan dasar gender sebagai salah satu karakter
dalam kejadian UD menjadi lemah.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
135 Berdasarkan table 4.3 kebanyakan pasien mempunyai penyakit dengan diagnosa medis
adalah SOL ( Space Occupiying Lession (SOL) berjumlah 4 orang (40%) dan stroke iskemik
dan hemoragik berjumlah 4 orang (40%). Penyakit saraf akan menimbulkan gangguan
pergerakan dan mengakibatkan imobilisasi (Corwin, 2009). Dari data diatas diketahui bahwa
baikSOL maupun stroke akan menimpulkan dampak kerusakan mobilitas tulang dan sendi
yang akan berdampak pada kondisi immobilisasi. Immobilisasi pada fisik merupakan suatu
keadaan di mana seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang
mengganggu pergerakan atau aktifitas misalnya pada ekstremitas, dan sebagainya. Salah satu
dampak dari immbolisasi adalah adanya perubahan integumen pada pasien. Dan salah satu
tindakan pencegahan dari kondisi diatas adalah dengan melakukan massage terutama pada
daerah dimana integumen tersebut mengalami penekanan atau iskemia.
4.4.2
Karateristik khusus
Berdasarkan table 4.4 kebanyakan responden yang mengalami resiko UD mempunyai masa
rawat inap selama lebih dari 3-4 minggu yaitu sebanyak 4 orang (40%). Rawat inap yang
lama akan membuat pasien tirah baring yang lama dan memberikan penekana pada suatu area
kulit terutama punggung dalam waktu yang lama. Memunculkan gangguan mikrosirkulasi
jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan
nutrisi lebih sedikit dari kebutuhan sehingga menyebabkan iskemi jaringan. Iskemia jaringan
adalah tidak adanya darah secara lokal atau penurunan aliran darah akibat obstruksi mekanika
(Potter dan Perry, 2005). Penurunan aliran darah menyebabkan daerah tubuh menjadi pucat.
Terlihat ketika adanya warna kemerahan pada pasien berkulit terang. Pucat tidak terjadi pada
pasien yang berkulit pigmen gelap.
Kerusakan jaringan terjadi ketika tekanan mengenai kapiler yang cukup besar dan menutup
kapiler tersebut. Tekanan pada kapiler merupakan tekanan yang dibutuhkan untuk menutup
kapiler misalnya jika tekanan melebihi tekanan kapiler normal yang berada pada rentang 16
sampai 32 mmHg (Maklebust, 1987 dalam Potter dan Perry, 2005). Setelah priode iskemi,
kulit yang terang mengalami satu atau dua perubahan hiperemi. Hiperemia reaktif normal
(kemerahan) merupakan efek vasodilatasi lokal yang terlihat, respon tubuh normal terhadap
kekurangan aliran darah pada jaringan dibawahnya, area pucat setelah dilakukan tekanan
dengan ujung jari dan hyperemia reaktif akan menghilang dalam waktu kurang dari satu jam.
Kelainan hyperemia reaktif adalah vasodilatasi dan indurasi yang berlebihan sebagai respon
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
136 dari tekanan. Kulit terlihat berwarna merah muda terang hingga merah. Indurasi adalah area
edema lokal dibawah kulit. Kelainan hiperemia reaktif dapat hilang dalam waktu antara lebih
dari 1 jam hingga 2 minggu setelah tekanan di hilangkan (Pirres & Muller, 1991 dalam Potter
dan Perry, 2005) Ketika pasien berbaring atau duduk maka berat badan berpindah pada
penonjolan tulang. Semakin lama tekanan diberikan, semakin besar resiko kerusakan kulit.
Tekanan menyebabkan penurunan
suplai darah pada jaringan sehingga terjadi iskemi.
Apabila tekanan dilepaskan akan terdapat hiperemia reaktif, atau peningkatan aliran darah
yang tiba-tiba ke daerah tersebut. Hiperemia reaktif merupakan suatu respons kompensasi
dan hanya efektif jika tekan dikulit di hilangkan sebelum terjadi nekrosis atau kerusakan
(Potter dan Perry, 2005).
Lamanya rawat inap bisa membuat klein mengalami UD melalui mekanisme: timbulnya gaya
gesek, friksi dan kelembapan yang tidak terjaga dengan baik. Gaya gesek merupakan tekanan
yang dberikan pada kulit dengan arah pararel terhadap permukaan tubuh (AHPCR, 1994
dalam Potter dan Perry 2005). Gaya ini terjadi saat pasien bergerak atau memperbaiki posisi
tubuhnya diatas saat tempat tidur dengan cara didorong atau di geser kebawah saat berada
pada posisi fowler yang tinggi. Jika terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan
menempel pada permukaan tempat tidur, dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai dengan
arah gerakan tubuh. Tulang pasien bergeser kearah kulit dan memberi gaya pada kulit (Potter
dan Perry, 2005).
Kapiler jaringan yang berada di bawahnya tertekan dan terbeban oleh tekanan tersebut.
Akibatnya, tak lama setelah itu akan terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal kemudian
menyebabkan hipoksi, perdarahan dan nekrosis pada lapisan jaringan. Selain itu, terdapat
Penurunan aliran darah kapiler akibat tekanan eksternal pada kulit. Lemak subkutan lebih
rentan terhadap gesek dan hasil tekanan dari struktur tulang yang berada di
bawahnya.akhirnya pada kulit
akan terbuka sebuah saluran sebagai drainase dari area
nekrotik. Perlu di ingat bahwa cedera ini melibatkan lapisan jaringan bagian dalam dan paling
sering dimulai dari kontrol, seperti berada di bawah jaringan rusak. Dengan mempertahankan
tinggi bagian kepala tempat tidur dibawah 30 derajat dapat menghindarkan cedera yang
diakibatkan gaya gesek (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005). Brayan dkk, 1992
mengatakan juga bahwa gaya gesek tidak mungkin tanpa disertai friksi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
137 Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan pada kulit saat digeser pada permukaan
kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHPCR, 1994 dalam Potter dan Perry, 2005). Tidak
seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epedermis atau lapisan
kulit bagian atas, yang terkelupas ketika pasien mengubah posisinya. Seringkali terlihat
cedera abrasi pada siku atau tumit (Wysocki & Bryant, 1992 dalam Potter dan Perry, 2005).
Karena cara terjadi luka seperti ini, maka perawat sering menyebut luka bakar seprei ”sheet
burns” (Bryant et el, 1992). Cedera ini terjadi pada pasien gelisah, pasien yang gerakan nya
tidak terkontrol, seperti kondisi kejang, dan pasien yang kulitnya diseret dari pada diangkat
dari permukaan tempat tidur selama perubahan posisi (Maklebust & Siegreen, 1991 dalam
Potter dan Perry, 2005). Tindakan keperawatan bertujuan mencegah cedera friksi antara lain
sebagai berikut: memindahkan pasien secara tepat dengn mengunakan teknik mengangkat
siku dan tumit yang benar, meletakkan
benda-benda dibawah siku dan tumit seperti
pelindung dari kulit domba, penutup kulit, dan membran transparan dan balutan hidrokoloid
untuk melindungi kulit, dan menggunakan pelembab untuk mempertahankan hidrasi
epidermis (Potter dan Perry, 2005) .
Dilihat dari penyebab immobiliasasinya kebanyakan resoponden mengalami parese pada
ekstermitas sebanyak 9 orang (45%). Pasien dengan gangguan motorik menjadi faktor resiko
utama terjadinya UD. Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko
tinggi terhadap dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi, tidak mampu
mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini
meningkatkan peluang terjadinya dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla
spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien yang
mengalami cedera medula spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun
berkaitan dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini (Ruller &
Cooney, 1981 dalam Potter dan Perry, 2005).
Selain gangguan motorik, penurunan kesadaran menjadi faktor resiko penyebab tingginya
kejaidan UD selama pasien di RS. Penelitian yang dilakuakn oleh Setyajati (2002), hasil
penelitian menunjukan bahwa: kejadian ulkus mencapai 38 % setiap tahunya dengan faktor
penyebab adalah: immobilisasi, penurunan kesadaran, penurunan sensorik, dan penurunan
kadar Hb. Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat kesadaran tidak
mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien bingung atau disorientasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
138 mungkin
dapat
merasakan
tekanan,
tetapi
tidak
mampu
memahami
bagaimana
menghilangkan tekanan itu. Pasien koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu
mengubah ke posisi yang labih baik. Selain itu pada pasien yang mengalami perubahan
tingkat kesadaran lebih mudah menjadi binggung. Beberapa contoh adalah pada pasien yang
berada di ruang operasi dan untuk perawatan intensif dengan pemberian sedasi (Potter dan
Perry, 2005).
Berdasarkan table 4.5 sebagian besar (70%) responden rentan mengalami Ulkus Decubitus
(UD) dengan nilai berdasarkan skala norton berada pada range antara 12-15. Dari tabel
tersebut diketahui bahwa sebagian besar pasien rentan mengalami ulkus decubitus. Kondisi
diatas disebakan oleh tingginya parese dan penurunan kesadaran pada responden. Selain itu,
masih ada kondisi lain yang turut mempertinggi resiko kejadian UD seperti:
Nutrisi yang semakin menurun: Beberapa responden dengan kondisi nutrisi yang terus
menurun. Pasien mengalami kokesia, ketidakseimbangan elektrolit, intake yang kurang
(mual,anoreksia). Kondisi ini membuat penurunan metabolisme sehingga membuat imunitas,
perbaikan jaringan dan kondisi integumen pasien melemah. Pasien dengan kondisi kurang
nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan subkutan yang serius. Akibat perubahan ini
maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin
sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut. Malnutrisi merupakan
penyebab kedua hanya pada tekanan yang berlebihan dalam etiologi, patogenesis, dekubitus
yang tidak sembuh (Hanan & scheele, 1991). Pasien yang mengalami malnutrisi mengalami
defisiensi protein dan keseimbangan nitrogen negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C
(Shekleton & Litwack, 1991 dalam Potter dan Perry, 2005). Status nutrisi buruk dapat
diabaikan jika pasien mempunyai berat badan sama dengan atau lebih dari berat badan ideal.
Pasien dengan status nutrisi buruk biasa mengalami hipoalbuminunea (level albumin serum
dibawah 3g/100 ml) dan anemia (Nalto, 1983; Steinberg 1990).
Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk mengevaluasi status protein
pasien. Pasien yang albumin serumnya dibawah 3g/100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level
albumin rendah dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka (Kaminski et el, 1989);
Hanan & Scheele, 1991). Walaupun kadar albumin serum kurang tepat memperlihatkan
perubahan protein viseral, tapi albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik untuk
semua kelompok manusia (Hanan & Scheele, 1991). Pasien anemia beresiko terjadi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
139 dekubitus. Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan
oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia juga
mengganggu metabolisme sel dan mengganggu penyembuhan luka (Potter dan Perry, 2005).
Kakeksia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai kelemahan dan
kurus. Kakeksia biasa berhubungan dengan penyakit berat seperti kanker dan penyakit
kardiopulmonal tahap akhir. Kondisi ini meningkatkan resiko luka dekubitus pada pasien.
Pada dasarnya pasien kakesia mengalami kehilangan jaringan adipose yang berguna untuk
melindungi tonjolan tulang dari tekanan (Potter dan Perry, 2005).
Pemenuhan personal hygiene yang buruk:Pasien dengan PH yang tidak terpenuhi dengan
baik seperti diaper yang jarang diganti, linen yang kotor dan berlipat, kebersihan eliminasi
yang tidak optimal akan semakin membuat pasien beresiko mengalami UD. Kondisi
integumen pasien yang
kotor, linen yang berlipat dan kulit yang terlalu lembap akan
membuat kejadian UD semakin meningkat.Adanya kelembaban pada kulit akan
meningkatkan terjadinya kerusakan integritas kulit. Akibat kelembaban terjadi peningkatan
resiko pembentukan dekubitus sebanyak lima kali lipat (Reuler & Cooney, 1981 dalam Potter
dan Perry, 2005). Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap faktor fisik lain seperti
tekanan atau gaya gesek (Potter dan Perry, 2005). Pasien imobilisasi yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan higienisnya sendiri, tergantung untuk menjaga kulit pasien tetap kering
dan utuh. Untuk itu perawat harus memasukkan higienis dalam rencana perawatan.
Kelembaban kulit dapat berasal dari drainase luka, keringat, kondensasi dari sistem yang
mengalirkan oksigen yang dilembabkan, muntah, dan inkontensia. Beberapa cairan tubuh
seperti urine, feses, dan inkontensia menyebabkan erosi kulit dan meningkatkan resiko
terjadi luka akibat tekanan pada pasien (Potter dan Perry, 2005).
Dukungan keluarga yang kurang optimal: Pencegahan maupun penangan UD merupakan
kewajiban perawat dan petugas keseahtan sebagai bagian dari pasien safety. Namun,
dukungan keluarga dalam perawata juga menjadi kunci kerbehasilan perawatan pasien
dengan defsiit neurologi. Tingginya keterbatasan terutama fisik pada pasien dengan gangguan
neurologi membuat peran keluarga menjadi salah satu penentu pencegahan dampak dari
immobilisasi pasien dengan gangguan sistem persarafan. Dari hasil pelaksanaan EBN
diketahui bahwa pasien dengan dukungan keluarga penuh akan membuat massage menjadi
lebih berhasil dengan indikator: rutin dilakukan, sesuai dengan edukasi (SOP), lebih besar
kemanfaatanya pada pasien. Massage yang diberikan tidak hanya untuk terapi fisik pasien
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
140 namun lebih dari itu bisa meningkatkan dukungan psikologi bagi pasien. Sehingga pasien
yang rawat inap dengan kondisi : “orang terlantar” akan menunjukan perbaikan kondisi
integumen yang kurang signifikan bila diberikan massage.
Perubahan kognisi: Gangguan fungsi luhur sebagaimana yang dialami oleh beberapa
responden seperti sjizofrenia membuat pasien kurang koopertaif dan sulit diberi edukasi
selama pelaksanaan EBN. Kondisi ini juga membuat hambatan dalam komunikasi sehingga
massage yang diberikan kurang optimal.
Kondisi fisik, salah satu penyebab UD adalah kondisi tandavital pasienyang belum stabil
terutama pada suhu. Pasien dengan demam akan semakin rentan mengalami UD. Infeksi
disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Pasien infeksi biasa mengalami demam. Infeksi
dan demam menigkatkan kebutuhan metabolik tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia
(penurunan oksigen) semakin rentan mengalami iskemi akibat (Skheleton & Litwalk, 1991).
Selain itu demam menyebabkan diaporesis (keringatan) dan meningkatkan kelembaban kulit,
yang selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit pasien (Potter dan Perry, 2005). Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan mengalami kerusakan
iskemia. Gangguan sirkulasi pada pasien yang menderita penyakit vaskuler, pasien syok atau
yang mendapatkan pengobatan sejenis vasopresor (Potter dan Perry, 2005)
4.4.3
Distribusi hasil pelaksanaan EBN
Berdasarkan table 4.6 sebelum diberikan massage dengan cooper model sebagian besar
(70%) responden mengalami UD pada grade I, sebagian kecil berada pada grade II (30%).
Setelah diberikan massage punggung menggunakan tekhnik cooper model sebagian besar
responden berada pada grade I dengan sebagian kecil (20%) berada pada grade II dan tidak
ada yang berada pada grade III.
Dari data diatas memberikan evaluasi hasil pelaksanaan EBN setelah diberikan back
massage: cooper models selama 7 hari terjadi perubahan dengan kondisi sebagai
berikut:Pasien yang berada pada grade II turun dari 30 % menjadi 20 % sehinggan responden
pada grade I setelah naik dari 70% menjadi 80 %. Pada penilaian kejadian skala Norton tidak
ada perubahan yang signifikan. Hal ini dikarenakan Norton digunakan untuk pengkajaian
awal saja dari kondisi yang bisa menjadi faktro resiko dari kondisi UD. Dan diketahui bahwa
sebagian besar responden rentan mengalami UD. Namun sampai intervensi dilakukan hanya
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
141 2 orang yang benar-benar mempunayi luka pada grade II. Secara umum diketahui bahwa
kondisi integumen pasien semakin baik setelah diberikan massage: cooper model dengan
indikasi: TTV dalam batas normal, kemerahan, penebalan kulit dan lesi didaerah punggung
berkurang. Tidak muncul luka decubitus yang baru. Terdapat 1 pasien yang mengalami
perkembangan kondisi integumen yang kurang optimal dengan pemberian back massage:
cooper model dikarenakan kondisi nutrisi, PH dan dukungan keluarga (OT: orang terlantar)
Bisa disimpulkan pemberian intervensi keperawatan dengan melakukan massage punggung
menggunakan cooper model pada pasien yang immobilisasi dalam 7 hari akan membuat
kondisi integumen pasien semakin membaik, pasien menjadi lebih nyaman, pasien yang
rentan atau beresiko tinggi mengalami UD tidak menjadi aktual, pasien dengan UD menjadi
lebih baik kondisi integumennya dengan ditandai adanya penurunan grade. Massage mampu
memberikan manfaat berupa: Memberi efek penguluran pasif pada otot, meningkatkan aliran
darah dan getah bening, memberikan rasa nyaman, Mengendurkan otot (relaksasi),
menurunkan Tekanan Darah, meningkatkan pernapasan dan memperlambat denyut jantung,
merangsang hormon produksi hormon endorphin yang menghilangkan rasa sakit secara
alamiah ( Danuatmaja & Meiliasari, 2002). Dengan mengendurkan ketegangan dan
membantu menurunkan emosi, pijat juga mampu merelaksasi dan menenangkan saraf, serta
membantu menurunkan tekanan darah (Balaskas, 2005). Hasil EBN diatas didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Mirjam A Hulsenboom MSc, RN dkk (2005), yang
menunjukkan bahwa: perawat sering menggunakan massage untuk mencegah PU dan
terdapat kenaikan yang significan dalam menggunakan massage sebagai terapi komplementer
untuk mencegah Pressure Ulcer.
Wenworth, Laura etc.(2009) dalam penelitiannya menunjukan bahwa massage terapi mampu
menurunkan ketegangan otot, cemas dan nyeri pada pasien yang dilakukan katerterisasi
jantung. Massage yang digunakan lebih banyak pada tekhnik efflurages dan petrisage.
peneliti menganjurkan bahwa terapi massage ini bisa digunakan untuk mengurangi
ketegangan pada otot punggung dan nyeri pada punggung. Walach, Harrach , etc. (2003).
Melakukan penelitian dengan perlakukan yang diberikan adalah massage dengan teknik :
classic dan standar medical care. Terapi bisa menurunkan nyeri, memperbaiki kondisi
psikologi, mengurangi cemas, memperbaiki mood dan meningkatkan konsep diri. Supriyono
dkk tahun 2011. Rekomendasi hasil penelitian ini adalah agar dilakukan observasi pada
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
142 pasien resiko terjadi dekubitus, dilakukan tindakan masase punggung dan alih baring secara
bersamaan pada pasien tirah baring untuk merubah tekanan dan melancarkan peredaran darah
pada area tertekan sehingga mencegah dekubitus. Penelitian yang dilakukan Purwaningsih
(2001), yang menunjukan bahwa dengan massage punggung kejadian decubitus bisa dicegah
sebesar 20 %.
Dari hasil EBN diatas penulis memberikan saran: perlunya ditingkatkannya tindakan
penatalaksanaan dan pencegahan kejadian decubitus sebagai bagian dari intervensi pasien
safety. Perlunya ditingkatkan penilaian resiko kejadian decub pada awal pasien masuk RS.
Diberikanya massage pada punggung untuk pencegahan kejadian ulkus decubitus dengan
menggunakan cooper models. Observasi secara berkelanjutan kondisi integumen terutama
pada pasien yang beresiko mengalaminya. Massage pada punggung dilakukan minimal 7 hari
secara rutin dan berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi keluarga . pemberian massage
dilakukan bersamaan dengan mobilisiasi atau positioning. Massage bisa diberikan dengan
menggunakan minyak kelapa.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
BAB 5
KEGIATAN INOVASI PADA GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN
Bab ini menguraikan tentang pelaksanaan kegiatan inovasi yang dilaksanakan di zona Va dan
Vb lantai V gedung A RSUPN dr Cipto Mangunkusumo. Kegiatan ini dilakukan secara
berkelompok oleh : FERA LIZA, AMILA, NURLIA IKANINGTYAS, EVA DWI
RAMAYANTI, FRANSISKA ANITAS ERS. Untuk menjalankan peran sebagai inovator
keperawatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan. Inovasi yang
dilakukan tentang pelaksanaan Bladder Training pada pasien dengan gangguan sistem
persarafan. Kegiatan tersebut dijabarkan sebagai berikut:
5.1 Analisis Situasi
Sistem perkemihan merupakan organ vital dalam melakukan ekskresi dan eliminasi sisa-sisa
metabolisme tubuh. Gangguan sistem perkemihan tidak semata disebabkan masalah urologi
tetapi juga bisa disebabkan oleh penyakit saraf, baik secara langsung mengenai serabut saraf
pengindera maupun serabut saraf penggerak serta penyakit-penyakit saraf yang mengganggu
kesadaran.
Sistem saraf yang mempengaruhi kemampuan berkemih seseorang adalah karena adanya
aktifitas yang terintegrasi antara sistem saraf otonom dan somatik. Jaras neural yang terdiri
dari berbagai refleks fungsi destruksor dan spingter meluas dari lobus fontralis ke medulla
spinalis bagian sakral sehingga lesi pada berbagai derajat pada jaras ini menyebabkan
gangguan berkemih neurogenik (Neurogenic Bladder) (Jepardi, 2002).
Kemampuan pengosongan berkemih merupakan suatu refleks spinopontinspinal, refleks ini
juga dipengaruhi oleh pusat-pusat yang lebih tinggi di otak dan dipengaruhi oleh instingtual
motorik yang disadari (volunter) (Misbach, 2007). Pengosongankandung kemih dilakukan
oleh otot – otot polos detrussor yang dipersyarafioleh system syaraf parasimpatis. Selama
pengosongan, kandung kemih berkontraksi spinkter internal dan eksternal serta otot pelvis
untuk mengalirkan urine ke uretra. Pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna dapat
berkembang menjadi Neurogenic Bladder yang terjadi karena adanya lesi atau penyakit pada
susunan syaraf pusat atau perifer (Newman &Wein, 2009 dalam Newman & Wilson, 2011).
143
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
144 Orang yang mengalami injuri atau gangguan neurologi mungkin tidak mampu untuk
mempertahakan pola eliminasi urin normal, karena disfungsi di tingkat batang otak, spinal
atau otak besar. Kerusakan jaras sensorik dan motorik pada sistem perifer atau sentral yang
memberikan dampak pada kandung kemih sehingga akan menyebabkan gangguan pola
eliminasi urin (Hickey, 2003).
Menurut Hickey (2003), terdapat beberapa perubahan eliminasi urin akibat gangguan sistem
persarafan seperti lesi LMN (cederasaraf pelvic, Peripheral Neuropathy, Diabetes Mellitus),
Upper Motor Nueron (UMN) atau yang biasa disebut sebagai lesi susunan syaraf pusat
seperti stroke, parkinson dan Multiple Sklerosis dan Bladder Neurogenic. Neurogenic
Bladder merupakan salah satu masalah yang paling sering terjadi pada orang dengan
gangguan neurologik. Perubahan eliminasi tipe Bladder Neurogenic meliputi Uninhibited
Neurogenic, Refleks Neurogenic, Areflexic Neurogenic, Motor Paralytic Neurogenic dan
Sensory Paralytic Neurogenic.
Jepardi (2002) juga melaporkan bahwa beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada
beberapa bagian lobus frontal dapat menyebabkan gangguan berkemih, urgensi, inkontinensia
dan hilangnya sensibilitas kandung kemih atau retensi urin. Kondisi ini dapat berdampak
pada kualitas hidup seperti gangguan intreraksi sosial, distres psikologis dan gangguan
pemenuhan aktifitas sehari-hari. Kondisi ini memerlukan penatalaksanaan yang terintegrasi,
seperti program manajemenberkemih.
Beberapa bentuk program manajemen berkemih diperlukan untuk memulai pengosongan atau
memastikan pengosongan telah sempurna pada kandungkemih. Program manajemen
berkemih meliputi intervensi seperti obat – obatan, jadwal berkemih, kateter indwelling urine,
Manual Expression, Urinary diversion dank ateterisasi intermitten. Kateterisisasi intermiten
merupakan salah satu metode yang paling efektif pada pasien dengan Neurogenic Bladder,
namun dalam jangka panjang dapat menimbulkan komplikasi pada uretra, skrotal dan
kandung kemih. Komplikasi pada uretra dan scrotal, meliputi perdarahan, urethritis, striktur,
false passage, epididimytis, sedangkan pada kandung kemih dapat menyebabkan perdarahan,
pembentukan batu dan infeksi saluran kemiha tau Infeksi saluran Kemih (ISK) (Newman &
Wilson, 2011).
Infeksi saluran kemih merupakan penyebab infeksi dirumah sakit yang dapat
meningkatkan kematian karena infeksi sekunder septikemia. Menurut literatur lain
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
145 didapatkan pemasangan Dower kateter mempunyai dampak terhadap 80% terjadinya
infeksi saluran kemih (Heather & Hannie, 2001). Risiko infeksi saluran kemih juga
diperkirakan sekitar 5% perhari dan sekitar 4% dari infeksi ini mengakibatkan bakterimia,
bersifat tidak menimbulkan gejala dan biasanya tidak memerlukan pengobatan (Steven,
2005; Saint et al, 2009). Selain itu penggunaan kateterisasi juga meningkatkan biaya dan
lama rawat pasien, menimbulkan injuri uretra dan hematuria (Darlene et al, 2001; Teng
etal, 2005).Selainkomplikasifisik, penggunaankateterdapatmenimbulkandampak social dan
psikologis bagi pasien (NICE, 2012).Kateter menimbulkan perasaan tidak nyaman, malu,
stres psikologis, menghabiskan waktu perawat karena memerlukan waktu yang lama untuk
kateterisasi (5 – 20 menit) dan persiapan untuk kateterisasi memerlukan waktu sekitar 7 - 16
menit (Steven, 2005).
Masih tingginya sumbangan tindakan invasif pada pemeriksaan urin terhadap kejadian infeksi
nasokomial dan waktu yang lama untuk mencapai tingkat akurasi yang baik, sehingga
dibutuhkan
upayauntuk
meminimalkan
tindakan
invasif,
salah
satunya
adalah
tindakankeperawatanmandiriperawat, seperti bladder trainingyang didokumentasikan dalam
bentuk bladder diary. .Menurut Berman dan Snyder (2012) penatalaksanaan keperawatan
mandiri pada inkontinensia urin meliputi program latihan kontinens yang berorientasi pada
perilaku yang terdiri dari (bladder training, habbit training, prompted voiding, pelvic
muscule exercise dan memberikan dukungan positif), perawatan kulit, dan penggunaan
kondom kateter bagi pria. Bladder training atau disebut bladder retrainingmembutuhkan
keterlibatan perawat, pasien dan dukungan keluarga. Pasien harus sadar, dan orientasi baik
serta secara fisik dapat berpartisipasi dalam protokol latihan. Selain itu juga diperlukan
pispot/urinal, commode chair, akses ke kamar mandi. Pada saat bladder training pasien juga
membutuhkan edukasi tentang fisiologi, patofisiologi dan teknik bladder training. Metoda
edukasi disesuaikan kemampuan kognitif pasien (Hickey, 2003). Semua aktifitas bladder
trianing ini serta kemajuan berkemih pasien setiap hari dicatat dalam format dokumentasi
yang disebut bladder diary.
Bladder diary merupakan suatu alat yang murah dan sangat berguna dalam mendiagnosis dan
mengatasi gangguan berkemih. Bladder diary merupakan suatu format yang berisi catatan
waktu berkemih, frekuensi berkemih, jumlah intake cairan, volume urin dan beberapa
pengukuran inkontinensia urin. Bladder diary mampu meningkatkan kemampuan berkemih
pasien dengan mengontrol jadwal berkemih pasien. Ada beberapa tujuan yang bisa dicapai
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
146 dengan memberikan bladder diary pada pasien yaitu memperbaiki kontrol terhadap bladder
dan mencapai pola berkemih yang normal,memperpanjang jarak berkemih dan mencapai
jarak selama mungkin, meningkatkan kapasitas bladder dan mengurangi episode ngompol
(Mair, 2012).
Lebih lanjut menurutMair, 2012 , bladder diary dapat dilakukan mandiri oleh pasien dan
keluarga setelah pemberian edukasi terstruktur yang baik, sehingga dapat memberikan
manfaat seperti informasi komprehensif tentang fungsi atau disfungsi bladder, informasilebih
rinci dibandingkan berdasarkan anamnesis riwayat gangguan dan pemeriksaan urodinamik,
standar dalam mengevaluasi disfungsi berkemih dan harus dilakukan sebelum pemeriksaan
diagnostik invansif, dapat digunakan untuk penelusuran diagnostik, kontrol terapi dan
informasi perkembangan terapi pasien; dimana kondisi ini sangat penting untuk menentukan
strategi dan keberhasilan terapi, lebih ekonomis dan murah dibandingkan pengontrolan
urodinamik
Ruang neurologi dan bedah saraf lantai V Gedung A RSUPN Cipto Mangunkusumo merawat
bermacam-macam kasus neurologi diantaranya yang terbanyak adalah cidera kepala, stroke,
meningitis, pre dan post operasi tumor otak dan lain-lain. Sebagian besar pasien ini berkemih
dengan bantuan foley kateter. Foley kateter ini diganti rata-rata pada hari ke-7 setelah
pemasangan. Setelah pelepasan kateter biasanya perawat akan memasang kembali foley
kateter bagi pasien yang dinilai mengalami inkontienensia urin, dan kondom kateter pada
pasien pria. Berdasarkan pengamatan residen belum dilakukannyabladder training yang
terstruktur sepertiPelvic Floor Muscles Exercisedan pencacatan yang sistematis tentang
fungsi berkemih pasien seperti bladder diary.
Bladder training yang rutin dilakukan di ruang rawat lantai V saat ini adalah dengan
mengklem slang kateter dan klem dilepas ketika pasien merasakan rangsang berkemih. Hal
ini masih menjadi kontroversi karena bahaya refluks urin bila dilakukan pada pasien yang
mengalami gangguan kognitif. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala ruangan
neurologi dan bedah saraf, bahwa di ruang rawat tersebut belum ada suatu bentuk format
tentang penatalaksanaan Bladder Training.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
147 5.1.1
Kekuatan ( Strenght )
1) Pendidikan perawat di ruang neurologi dan bedah saraf sebagian besar (80%) DIII
keperawatan dengan pengalaman dan pelatihan dibidang keperawatan neurologi.
2) Visi dan misi dari RSUPN dr Cipto Mangunkusumo yang mendukung pelaksanaan
praktek residensi KMB peminatan Neurologi FIK UI. Dimana visi tersebut adalah:
Menjadi RS pendidikan dan pusat rujukan nasional terkemuka di Asia Pasifik
tahun 2014.
3) Penerapan manajemen keperawatan di RSCM sudah menggunakan Model Praktek
Keperawatan Profesional (MPKP).
4) Telah memiliki konsultan keperawatan neurologi yang handal dan peduli terhadap
pengembangan pelayanan neurologi.
5) Adanya kesempatan dan izin dari pihak diklat RSCM untuk mengikuti praktek
residensi keperawatan medikal bedah peminatan neurologi di gedung A RSUPN dr
Cipto Mangunkusomo lantai V zona Va dan Vb.
5.1.2 Kelemahan (Weakness)
1) Memerlukan persiapan dan waktu yang cukup lama untuk evaluasi penerapannya.
2) Biaya pengadaan alat penunjang inovasi seperti bladder scan yang cukup mahal
3) Program bladder training belum dilakukan secara terstruktur di lantai V ruang
Neurologi dan Bedah saraf
4) Belum adanya prosedur blader training terstruktur di ruang neurologi dan bedah
saraf
5) Beban kerja perawat yang cukup tinggi
5.1.3 Peluang ( Opportunity)
1) Jumlah pasien dengan gangguan neurologis dengan BOR > 80%
2) Hanya sedikit rumah sakit yang telah mengaplikasikan program bladder training
secara komprehensif.
3) Merupakan tindakan keperawatan baru yang belum banyak diterapkan di RS lain.
5.1.4
Ancaman ( Threat )
1) Motivasi untuk melaksanakan inovasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
148 5.2 Kegiatan inovasi
Kegiatan inovasi dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: tahap persiapan, pelaksanaan dan
evaluasi. Tahapan kegaiatan inovasi dijabarkan sebagai berikut:
5.2.1
Persiapan
Persiapan dari balder training meliputi:
a) Setelah proposal inovasi disetujui supervisor klinik dan akademik, kami berkoordinasi
dengan supervisor lantai V, Head Nurse ruang neurologi dan bedah saraf untuk
melakukan kegiatan sosialisasi. Sosialisasi dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 14
November 2012. Diadakan di ruang 501 dan dihadiri oleh Supervisor dan HN serta
perwakilan perawat ruangan neurologi dan bedah saraf. (absensi berita acara dan
terlampir).
b) Identifikasi pasien yang akan dilakukan pelepasan atau penggantian kateter di ruang
neurologi dan bedah saraf.
5.2.2
Pelaksanaan
Pelaksanaan Kegiatan inovasi bladder training dijabarkan dalam tahapan sebagai berikut:
a) Melakukan pengkajian fungsi perkemihan pada pasien yang terpasang kateter menetap
pada hari ke 5-7 yang direncanakan pelepasan atau penggantian kateter menetap.
b) Menyiapkan format Bladder diary.
c) Langkah-langkah melakukan bladder training.
1. Pada 2 jam pertama :
Setelah kateter dilepas, pasien diberi cairan 200 cc, setelah 2 jam minta pasien berkemih
dengan menggunakan urinal bagi pasien laki-laki dan pistpot bagi pasien wanita atau ke
kamar mandi bagi pasien. Setelah pasien berkemih dilakukan pemeriksaan dengan
bladder scanuntuk mengetahui residu urine:Jika residu > 300 cc, pasien bisa merasakan
berkemih maka pasien menggunakan kateter menetap. Jika residu < 100 cc dan pasien
tidak bisa merasakan berkemih maka pasien diindikasikan pemasangan kateter kondom
atau diapers dan masuk pada tahapan berikutnya kemudian dilanjutkan dengan program
bladder diary dan kegel’s exercise. Jika residu < 100 cc, pasien dapat berkemih dan
merasakan sewaktu hendak berkemih, pasien bisa berkemih secara normal tidak
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
149 memerlukan pemasangan kateter maupun diapers. Dokumentasikan pada format bladder
diary. Lanjutkan pada algoritma tahapan 2 jam kedua
2. Pada 2 jam kedua
Pasien diberikan cairan 200 cc, kemudian setelah 2 jam pasien diminta berkemih
dengan pemberian commode atau memfasilitasi pergi ke kamar mandi jika
memungkinkan. Setelah pasien berkemih lakukan pemeriksaan denganbladder scan.
Jika residu < 100 cc pasien tidak bisa merasakan berkemih lanjut pada tahap 2 jam
ketiga. Jika residu < 100cc pasien dapat merasakan maka lanjutkan dengan tahap 2
jam ketiga. Dokumentasikan pada format bladder diary. Lanjutkan tahapan 2 jam
ketiga.
3. Pada 2 jam ketiga.
Pasien diberikan cairan 200 cc, kemudian diminta berkemih dengan pemberian
commode atau memfasilitasi pergi ke kamar mandi jika memungkinkan. Lakukan
pemeriksaanbladder scan. Jika residu < 100 cc pasien tidak bisa merasakan berkemih
lakukan tahap. Jika residu < 100cc pasien dapat merasakan maka lanjutkan dengan
tahapan.
Jika hasil pasien ternyata pasien tidak bisa berkemih atau tidak merasakan berkemih, maka
indikasi pemasangan kateter menetap atau kolaborasi dengan profesi lain untuk
penatalaksanaan selanjutnya
5.2.3
Evaluasi
No
Evaluasi ( output/outcome)
Alat Evaluasi
1
Kemampuan berkemih
Format bladder diary
2
Peningkatan pengetahuan dan kepatuhan berkemih
dengan penjadwalan berkemih
Format bladder diary
5.3 Pembahasan
Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang
mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik.
Bladder
training merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan kandung kemih yang mengalami
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
150 gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal (Japardi, 2002). Pengendalian kandung
dan sfingter dilakukan agar terjadi pengeluaran urin secara kontinen. Latihan kandung kemih
harus dimulai dahulu untuk mengembangkan tonus kandung kemih saat mempersiapkan
pelepasan kateter yang sudah terpasang dalam waktu lama, dengan tindakan ini bisa
mencegah retensi (Smeltzer & Bare, 2002).
Tujuan dari bladder training adalah untuk melatih kandung kemih dan mengembalikan pola
normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih (Potter
dan Perry, 2000). Bladder Training dapat dilakukan pada pasien yang mengalami retensi
urin, pada pasien anak yang terpasang kateter dalam waktu yang lama sehingga fungsi
spingter kandung kemih terganggu (Suharyanto, 2008). Bladder training juga bisa dilakukan
pada pasien yang menggunakan kateter yang lama, dan pasien yang mengalami inkontinensia
urin. Bladder training terdiri dari beberapa kegiatan seperti:Conditioning, Masukan cairan,
Stimulus, Kegel/ Pelvic Floor Muscle. Dokumentasi pelaksanaan bladder training dilakukan dengan menggunakan bladder diary.
Blader diary merupakan suatu bentuk chart yang berisi catatan harian kemampuan berkemih
pasien setiap harinya. Blader diary dilakukan setelah pasien maupun keluarga diberikan
edukasi mengenai sistem berkemih dan fungsi traktur urinarius bagian bawah. Blader diary
merupakan suatu upaya pengontrolan berkemih pada pasien yang terdiri dari : Training
kebiasaan, perkemih terjadwal (timed voiding), berkemih atas perintah (prompted voiding).
Blader diary berisi catatan mengenai jenis dan banyaknya cairan yang diintake, frekuensi
berkemih dan kejadian inkotinensia urin. Dengan bladder diary kita dapat menegathui apakah
pasien mengalami
kejadian overeaktif bladder. Balder diary bsia membedakan anatar
overeaktive blader dengan stress inkotinen sehingga penangan lebih lanjut dari kondisi
pasien. Bladder training dilakukan pada pasien sebanyak 10 orang. Terbagi dalam 3 tahapan
dimana masing-masing tahapan berlangsung setiap 2 jam. Pelaksanaan bladder dilakukan
sesuai dengan algoritme yang ada dalam lampiran. Program inovasi dilakukan dalam waktu 2
minggu dengan hasil seluruh pasien mampu berkemih dengan sebagain besar diantara mereka
melakukanya secara kontinen. Hasil akhir dari bladder training adalah semua pasien tidak
perlu dipasang kateter ulang dan menetap. Keberhasilan bladder training dengan intake
vairan, conditioning, urgency supresion dan kegel mampu membatu klien berkemih secara
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
151 optimal (Dora, 2011). Namun, pada observasi lebih lanjut yaitu 24 jam pertama ada 1 pasien
yang akhirnya dipasang kateter ulang, kondisi ini dikarenakan pasien mengalami perburukan
kondisi akibat perluasan infeksi. Kondisi diatas muncul sebagai akibat dari baru munculnya
kepastian diagnosa pasien dengan infeksi medula spinalis ec TB. Pasien dengan kerusakan
jaras somatosensorik pada C7-T12, dengan demikian terjadi kerusakan saraf yang
menyebabkan ketidakmampuan untuk menahan spinkter BAK sehingga berkemih terus
menerus maka terjadilah inkontinensia. Pada 2 jam tahap I hingga tahap III berhasil
kemungkinan disebabkan keinginan pasien untuk dapat berkemih mandiri sehingga ketika
pasien merasakan berkemih pasien langsung ke kamar mandi untuk mengeluarkan urine
(Mardjono dan Sidharta, 2010).
Berdasarkan pelaksanaan bladder training beberapa saran yang bisa diberikan diantaranya:
Bladder training dapat dilakukan di tatanan pelayanan kesehatan untuk mencegah terjadinya
infeksi nosokomial akibat dampak pemasangan kateter pada pasien dengan gangguan
neurologis, perlu melibatkan keluarga dalam perawatan/penatalaksanaan inkontinensia urin
dengan memberikan dukungan kepada pasien yang mengalami inkontenensia urine, seperti
menemani pasien selama pelaksanaan berkemih, mendokumentasikan (masukan cairan,
volume berkemih, kering/basah, nyeri pada saat berkemih, kesulitan berkemih), perlunya
pengadaan bladder scan dan format bladder diary dalam pendokumentasian bladder training.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
152
Tabel 5.1
PENATALAKSANAAN BLADDER TRAINING
PADA GANGGUAN NEUROLOGIS
Pelepasan Kateter
2 jam pertama
•
Pemberian cairan 200 cc
•
Meminta pasien untuk berkemih dengan urinal bagi pasien
laki-laki dan pistpot bagi pasien wanita
•
Pencatatan cairan yang keluar
•
Pemantauan lewat bladder scan
Tidak mampu berkemih
Hasil pengkajian
Klien mampu berkemih
Hasil bladder scan < 100
Bisa
merasakan
Tidak bisa merasakan
Berkemih
secara
normal
Pemasangan kateter
kondom bagi pasien
laki-laki atau diapers
bagi pasien wanita
•
•
•
•
Kegel exercise
Urgency supression
Conditioning
Bladder diary
2 jam kedua
•
Pemberian cairan 200 cc
•
Pemberian kondisioning pada
pasien antara lain pemakaian
commode, memfasilitasi pasien
untuk berkemih di kamar mandi.
•
Pencatatan cairan yang keluar
•
Pemantauan lewat bladder scan
• Stimulusi perangsangan
berkemih
2 jam ketiga
•
Pemberian cairan 200 cc
•
Pemberian kondisioning pada pasien
antara lain pemakaian commode,
memfasilitasi pasien untuk berkemih di
kamar mandi.
•
Pencatatan cairan yang keluar
•
Pemantauan lewat bladder scan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
153
2 jam ketiga
•
Pemberian cairan 200 cc
•
Pemberian kondisioning pada pasien
antara lain pemakaian commode,
memfasilitasi pasien untuk berkemih di
kamar mandi.
•
Pencatatan cairan yang keluar
•
Pemantauan lewat bladder scan
Tidak mampu berkemih
Hasil pengkajian
Klien mampu berkemih
Hasil bladder scan < 100
Pasang kateter menetap
Bisa merasakan
Tidak bisa merasakan
•
•
•
•
Kegel exercise
Urgency Supression
conditioning
Bladder diary
Berkemih secara
normal
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Pelaksanaan praktek residensi Keperawtaan Medikal Bedah (KMB) pemintaan Neurologi
yang telah dilaksanakan selama 1 (satu) tahun memberikan pengalaman yang sangat
bermanfaat, baik bagi praktikan maupun bagi pelayanan keperawatan. Selain mendapat
kesemapatan mengaplikasikan teori keperawatan Roy Model Adaptation dalam memberikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem persarafan, praktikan juga
menjalankan peran sebagai peneliti, pendidik dan inovator. Selain itu praktikan juga
mendapatkan pengalaman da kesempatan dalam berkolaborasi dengan semua disiplin ilmu
karena dalam menejamen asuhan keperawatan, layanan diberikan dengan melibatkan semua
sistem yang ada dalam ruang rawat. Beberapa kesimpulan yang bisa diberikan oleh praktikan
diantaranya:
a. Pemberian Asuhan keperawatan dengan menggunakan teori keprawatan Roy Model
Adaptation sangat tepat diberikan pada pasien dengan gangguan sistem persarafan,
tingginya defisit pada tubuh akan membuat pasien mengalami perubahan baik fisik
maupun psikologi sehingga kondisi maladaptif akan rentan terjadi. Dibutuhkanlah
suatu bentuk intervensi untuk meningkatkan mekanisme koping pasien sehingga
perubahan perilaku dan stimulus bisa membuat pasien mampu beradaptasi secara
adaptif terhadap penyakitnya.
b. Salah satu manifestasi klinis pada pasien dengan gangguan sistem persarafan adalah
immobilisasi, dimana salah satu dampaknya adalah adanya gangguan integumen
seperti: ulkus decubitus. Pemberian pijat punggung dengan menggunakan Coopers
model mampu mencegah kejadian awal atau keparahan dari ulkus decubitus pada
pasien. Penerapan back massage: cooper model dalam pencegahan ulkus decubitus
merupakan salah satu upaya praktikan untuk menerapkan peranya sebagai peneliti dan
pendidik melalui penerapan Evidance Based Nursing.
c. Peran praktikan sebagai inovator dilakukan dengan melakukan kegiatan inovasi
berkelompok. Inovasi dilakukan dengan melakukan bladder training pada pasien
gangguan sistem persarafan yang terpasang kateter urin. Hasil dari kegiatan inovasi
adalah: bladder training mampu meningkatkan kemapuan berkemih pasien dna tidak
perlu pemasangan kateter urin ulang.
154
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
155 6.2 Saran
Dari hasil kesimpulan diatas beberapa saran yang bisa diberikan oleh praktikan diantaranya:
a. Model Adaptasi Roy dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam menerapakan
asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem persarafan. Dalam
aplikasinya teori model ini bisa disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan ketersedian
sumberdaya penunjang di ruangan.
b. Perawat bisa mengaplikasikan back massage: coopers model sebagai salah satu
intervensi untuk mencegah kejadian ulkus decubitus.
c. Penggunaan bladder training sebagai salah satu intervensi keperawatan dalam
menejemen eliminasi bladder pada pasien yang terpasang kateter.
d. Bagi institusi pendidikan perlunya mengembangkan Evidance Based Nursing dalam
upaya peningkatan pengetahuan dan kualitas profesi keperawatan
e. Bagi profesi, perlunya meningkatkan motivasi perawat dalam meningkatkan keilmuan
dan wawasan sehingga mampu menunjukkan sikap profesionalisme dalam
keperawatan.
.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA
Andrea C., Adams. (2008). Mayo Clinic Essential Neurology. Mayo Foundation. ISBN-13
9781420079739.
Ackley, B. J., & Ladwig, G. B. (2011). Nursing diagnosis handbook. 9th edition. St. Louis,
Missouri: Mosby Elsevier
Alligood & Tomey. Nursing Theorist and Their Work. Sixth edition. Philadelphia: Mosby
Elsevier.
Altschuler, V., & Diaz, L. (2006). Clinical How to Bladder Ultrasound.MEDSURG Nursing,
15(5): 317 – 318,diperoleh pada tanggal 15 Oktober 2011
Araich.M.A. (2001). Roy adaptation model: Demonstration of theory integration into process
of care in coronary care unit. ICU Nurse Web Journal. http:/www.
ICUs.Nusing.Jurnal.com Diperoleh 1April 2011 Jam 20.00 WIB.
Bauer, B. A., Cutshall, S. M., Wentworth, L. J., Engen, D., Messner, P., Wood, C.M. (2010).
Effect of massage therapy on pain, anxiety, and tension after cardiac surgery: A
randomized study. Complementary Therapies in Clinical Practice, 16, 70–75.
Beddoe, A. E., & Grose, S. (2010). Pressure Ulcers: Therapy – Surgery. Glendale: Cinahl
Information Systems.
Bernardt, J. (2008). Very early mobilization for following acute stroke: controversies, the
unknowns, and a way forward. Ann Indian Acad Neurol, 11, S88-S98.
Berman & Snyder. (2012).Fundamental of Nursing Concepts, Process and Practice. Kozier
& Erb’s. Vol 2.Third Edition.Pearson
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2009). Medical surgical nursing clinical management for
positive outcomes. 8th edition. St. Louis, Missouri: Saunders Elsevier
Corwin, Elisabeth J. 2009. Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta : EGC
Cunningham, D. A. (2002). Application of Roy’s adaptation model when caring for a group
of women coping with menopause. Journal of Community Health Nursing, 19 (1), 4960.
Davis, G. (2006). Blood pressure: anatomy and physiology in relation to drug therapies.
Nurse Prescribing, 4 (9), 358-364
David A. Greenberg, Michael J. Aminoff, Roger P. Simon (2002). Clinical Neurology 5th
edition. McGraw-Hill/Appleton & Lange. -.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Dawn, A., dan Marcus. (2007). Headache and Chronic Pain Syndromes. Humana Press Inc.
e ISBN 1-59745-258-0.
Deglin, J. H., & Vallerand, A. H. (2009). Davi’s drug guide for nurses. 11th edition.
Philadelphia: F. A. Davis Company.
DeLaune, S. C., & Ladner, P. K. (2002). Fundamentals of nursing: Standards & practice. 2th
edition. USA: Delmar/Thomson Learning, Inc
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2010). Nursing care plans: guidelines for
individualizing client care across the life span. 8th edition. Philadelphia: F. A. Davis
Company.
Doris. (2012). A Sistematic Litteratur Review of Incontinence Care for Person with Dementia
The Researche Evidance. Austria.
George, J.B. (1995). Nursing theories: The base for professional nursing practice, (4th Ed).
USA: Appleton & Lange
Harris, M., & Richards, K. C. (2010). The physiological and psychological effects of slowstroke back massage and hand massage on relaxation in older people. Journal of
Clinical Nursing, 19, 917-926.
Harsono.(1996).Buku Ajar Neurologi Klinis.Ed.I.Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Hickey.J,V,.(2003). The Clinical Practice of Neurological and Neurosurgical Nursing. Fifth
Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Hwa Ching,etc (2005). Application of Portable Ultrasound Scanner in the Measurement of
Post Void Residual Urine. ROC. Taiwan.
Jamieson, K,et al(2010) Urinary dysfunction: assessment and management in stroke patients.
Nursing Standard. 25, 3, 49-55. Date of acceptance: May 28 2010.
Jepardi,I,. (2002). Manifestasi Neurologis Gangguan Miksi. htttp://.library.usu.ac.id/.
Keogh, J. (2010). Nursing laboratory & diagnostic tests demystified. New York: McGrawHill Companies, Inc
Kumar,
A.
2005.
Bacterial
meningitis.
Department
of
Pediatrics
and HumanDevelopment Michigan State University. College of Medicine and
En SparrowHospital. www.emedicine.com/PED/topic198.htmIgnatavicius,
D.
D.,
Workman, M. L, (2006), Medical surgical nursing : Critical thinking for collaborative
care,5th-ed, Missouri : Elsevier
Lewis Et all, 2007. Medical Surgical Nursing : Critical Thinking For Collaborative Care5th.
Missiouri: Elsevier
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lumbantobing, 2012. Neurologi Klinik: pemeriksaan fisik dan mental.Jakarta, balai penerbit
FKUI
Mansjoer, A,.Suprohaita, Wardhani WI,.& Setiowulan, 2000. Kapita Selekta Kedokteran
edisi ketiga jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Marilynn E., Doengoes. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta. EGC
Mardjono & Sidharta (2010). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta. PT.Dian Rakyat.
Martin A. Samuels M.D. (2004). Manual of Neurology Therapeutic. Lippincott Williams &
Wilkins
McKertich, K,.(2008). Urinary Incontinence. Assesment in Women : stress, Urge or Both?.
Reprinted from Australian Family Physician Vol.37.No.3 , March 2008.
Melodee Harris., dan Kathy C., Richards. (2009) jurnal internasional: The physiological and
psychological effects of slow-stroke back massage and hand massage on relaxation in
older people. Blackweel Publishing diunduh pada 5 Mei 2009 Jam 16.00 WIB
Nanda. (2005-2006). Panduan Diagnosa Keperawatan. Prima medika.
Newman, D.K., Gaines, T., & Snare, E (2005). Innovation in bladder assesment use of
technology in extended care . Journal of Gerontological Nursing, diperoleh pada tanggal
15 Oktober 2011.
NICE.(2012). Urinary Incontinence in Neurological Disease : Management of Lower
Urinary Tract Dysfunction in Neurological Disease. NICE Guideline.
Nursing and Residential Care. (2010). Causes and rehabilitation of urinary incontinence
after stroke: a literature review.Clinical Review. October 2010, Vol 12, No 10.
Perry and Potter. (2000). Buku Saku dan Keterampilan dan Prosedur Dasar, Edisi 3. EGC.
Jakarta
Price, S.A & Wilson. L.M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6 vol 2. Jakarta: EGC
Razonables R.R. 2005. Meningitis. Division of Infectious Diseases Department of
Medicine. Mayo Clinic College ofMedicine.www.emedicine.com/med/topic2613.htmR
eed Pamela, et all. 2004. Perspective on nursing theory. 4th edition. Philadelphia:
lippincott Williams & wilkins
Roy, S.,C,.(2009). The Roy Adaptation Model Third Editon.Pearson
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Santiagu, Stanley, etc (2008). Urinary Incontinence Pathofisiology and Management Outline.
Australia
Silbernagl S& Lang F (2007). Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta, EGC.
Smeltzer C. Suzanne, (2002). Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,
Edisi 3. volume 8. Jakarta, EGC.
Snell,Richard. (2007). Neuroanatomi Klinik Mahasiswa Kedokteran.Edisi 5.Jakarta, EGC.
Soemantri.E.S., (2001) Pedoman Pengobatan Penyakit TB, Bandung, FK UNPAD.
Soeroto., 2000, Pengobatan TB Efek Samping Dan Penatalaksanaannya, Bandung, Lab
IPD.Sub. Bag. Pulmonologi. FK UNPAD RSHS.
Supriono dkk. (2011) . Jurnal : efektifitas pemberian masase punggung terhadap pencegahan
dekubitus pada pasien tirah baring di rsud kajen kab pekalongan. diunduh pada 5
Mei 2009 Jam 16.00 WIB
Teng., C.H., Huang, Y.H., & Kuo, B.J. (2005). Application Of Portable Ultrasound Scanner
In The Measurement Of Post – Void Residual Urine. Journal of Nursing Research, 13 (3):
216 – 224, diunduh pada tanggal 15 Oktober 2011.
Tucker, susan. M., et al. (1998). Standar Perawatan Pasien : proses keperawatan, diagnosis
dan Evaluasi, Edisi V. Volume 3. Alih Bahasa. Yasmin. A., et al. Jakarta. EGC
Unknown (2012). Urinary Incontinence in Neurological Desease : Management of Lower
UT Dysfunction in Neurological Disease. NICE Guideline.
Wenworth, laura etc.(2009). Massage Therapy ReducesTension, Anxiety, and Pain in
Patients Awaiting Invasive Cardiovascular Procedure Rochester diunduh pada
tanggal 9 Mei 2012 jam 18.00 WIB
Walach, Harrach. (2003). Efficacy of Massage Therapy in Chronic Pain: A Pragmatic
Randomized Trial. Freiberg. German. Diunduh pada tanggal 9 mei 2012 Jam 18.00
WIB
Wilkinson, J. M. (2007). Buku saku diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC dan
kriteria hasil NOC. (Widyawati...[et al.], Penerjemah). Jakarta: EGC
Wong, Donna. (2003). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC
Wyndaela. (2008). Conservative Treatment of Patient with Neurogenic Bladder. Elsebier.
Belgia
.........Available at www.geocities.ws/Bladder-training.ic diunduh jam 20.20 tanggal
20/9/2012
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
---------. 2010. Assessing and treating bladder problems after stroke.Clinical Review. April
2010, Vol 12, No 4.
.................http://keperawatan-gun.blogspot.com/2007/07/meningitis.html
diunduh
pada
tanggal 20 April 2011 Jam 22.00 WIB
..................http://wadung.wordpress.com/2010/03/22/laporan-pendahuluan-meningitis/
diunduh pada tanggal 20 April 2011 Jam 21.00 WIB
.................http://gudangkeperawatan.blogspot.com/2009/02/laporan-pendahuluan
meningitis.html diunduh tanggal 21 April 2011 Jam 22.00 WIB
................http://keperawatangun.wordpress.com/2008/04/13/asuhan-keperawatan-padapasien-dengan-meningitis/ diunduh tanggal 20 April 2011 Jam 19.00 WIB
................. http://patofisiologi.wordpress.com/2010/12/01/meningitis/ diunduh tanggal 20
April 2011 Jam 22.00 WIB
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 1:
PENGKAJIAN KEPERAWATAN DENGAN PEDEKATAN TEORI ADAPTASI ROY
INFORMASI UMUM
Nama/Inisial
Umur
Jenis kelamin
Agama
Suku
:
:
:
:
:
tahun
L
P
Keluhan utama
:
Riwayat keluhan utama
:
1.
OKSIGENASI
:
:
:
:
:
RM
Tgl MRS
Tgl Pengkajian
Dx. Medis
PENGKAJIAN PERILAKU
ADAPTASI FISIOLOGIS
Interaksi
Apakah mengalami:
Batuk
Produktif
Tidak Produktif
NUTRISI
Status
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
Informan
Dispnea
Nyeri dada
.............................................
.............................................
..........................................
Hipertensi
Merokok
Riwayat stroke
Apakah mengalami:
Anoreksia
Mual
Muntah
Kesulitan mengunyah
Kesulitan menelan
Frekuensi makan:
Jelaskan:
.............................................
.............................................
.............................................
Jenis
minuman
yang
dikonsumsi:
Jelaskan:
.............................................
.............................................
.............................................
Diet khusus: Ya
Tidak
.............................................
Pengamatan
Sputum:
Mukoid
Mukopurulen
Purulen
Hemoptoe
Membran mukosa:
Pucat
Sianosis
Penggunaan otot assesori
pernapasan:
Ya
Tidak
Bunyi napas:
Vesikuler Ronchi
Wheezing
Irama napas:...............
Rambut:
Berkilat
Kering, kusam
Mukosa bibir:
Lembab
Kering
Conjungtiva:
Pucat
Merah
Jaundice
Pengukuran
Jumlah sputum: .......
CRT:.........detik
TD:.................mmHg
N:...................x/menit
S:....................oC
P: ...................x/menit
Jumlah rokok dalam
sehari: ..............................
Radiologi:
..........................................
..........................................
Laboratorium:
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
BB: ..........kg
TB: ..........cm
IMT: ................
LL: ...................cm
Laboratorium:
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
PENGKAJIAN
STIMULUS
Fokal:
Kontekstual:
Residual:
Fokal:
Kontekstual:
Residual:
:
:
:
:
ADAPTASI
O Adaptif
O Maladaptif
Intoleransi
aktivitas
Bersihan jalan
napas tidak efektif
Kerusakan
pertukaran gas
Lain-lain:
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
...................................
O Adaptif
O Maladaptif
Ketidakseimbang
an nutrisi: kurang
dari
kebutuhan
tubuh
Ketidakseimbang
an nutrisi: lebih
dari
kebutuhan
tubuh
Kerusakan
menelan
Lain-lain
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 1:
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
Penjelasan pasien:
BAK: Tidak ada masalah
Retensi
Inkontinensia
Frekuensi
Disuria
Perasaan terbakar
Nokturia
Lain-lain
Jelaskan:
.............................................
.............................................
.............................................
ELIMINASI
BAB:
Tidak ada masalah
Konstipasi
Diare
Inkontinensia
Nyeri
Melena
Lain-lain
Jelaskan:
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
Apakah membutuhkan obatobatan untuk BAB/BAK?
Jelaskan:
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
Urine:
Bau: .......................
Warna: ...................
Feses:
Bau: ......................
Warna: ..................
Distensi bladder
Teraba scibala
Ya
Tidak
Ya
Tidak
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
Frekuensi dan jumlah
urine: ................................
..........................................
..........................................
Frekuensi defekasi:
..........................................
..........................................
Bising usus: .........x/menit
Laboratorium:
Urine:
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
Feses:
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
Fokal:
Kontekstual:
Residual:
O Adaptif
O Maladaptif
Konstipasi
Diare
Inkontinensia:
urine
Inkontinensia:
alvi
Retensi Urine
Lain-lain
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
...................................
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 1:
PROTEKSI DAN PERLINDUNGAN
AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Jenis aktivitas yang
dilakukan:
.............................................
.............................................
Adakah sesuatu yang
membatasi aktivitas
bapak/ibu?
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
Jam tidur biasa?...................
Gangguan tidur: Ya
Tidak
Jelaskan:
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
Riwayat:
Alergi
Trauma
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
Keterbatasan:
Tidak ada
Kelemahan
Kelelahan
Lain-lain................
Tonus otot:
Normal
Menurun
Meningkat
Massa otot:
Normal
Atropi
Hipertropi
ROM terbatas: Ya
Tidak
Jelaskan: ...................................
...................................................
...................................................
Hemiplegia: Ya
Tidak
Jelaskan:.....................................
...................................................
...................................................
Hemiparese: Ya
Tidak
Jelaskan: ...................................
...................................................
...................................................
Perubahan gaya berjalan:
Pelan
Sulit melangkah
Kaki diseret
Bahasa non verbal:
Menguap
Bayangan hitam di bawah
mata
Tidak dapat berkonsentrasi
Kulit:
Intak
Lesi
Dekubitus
Luka
Kering
Lembab
Lain-lain:
...................................................
...................................................
Temperatur kulit:
Panas Hangat Dingin
Kekuatan otot:
..........................................
..........................................
Kemampuan perawatan
diri:
Derajat ADLs:
0: Mandiri
1: Memerlukan alat bantu
2: Memerlukan bantuan
orang lain
3: Memerlukan alat bantu
dan bantuan orang lain
4: Tergantung
[ ]Makan
[ ]Mandi
[ ]Merawat diri
[ ]Berpakaian
[ ]Penggunaan toilet
[ ]Berpindah/Ambulasi
Fokal:
Luas luka: ........................
Fokal:
Kontekstual:
Residual:
Kontekstual:
Residual:
O Adaptif
O Maladaptif
Kerusakan
mobilitas fisik
Kurang perawatan
diri: mandi/
berpakaian/
makan/toileting
Risiko cedera
Gangguan pola
tidur
Lain-lain:
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
...................................
O Adaptif
O Maladaptif
Kerusakan
integritas kulit
Risiko infeksi
Risiko cedera
Lain-lain:
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 1:
CAIRAN DAN ELEKTROLIT
SENSASI
Apakah ada gangguan
penglihatan?
Tidak
Kacamata
Apakah ada gangguan
pendengaran?
Tidak
Tuli [D/S]
Alat bantu dengar [D/S]
Kesulitan pengecapan dan
penghidu:
Ya
Tidak
.............................................
............................................
Nyeri/ketidaknyamanan:
Jelaskan:
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
Gangguan fisik pada:
Mata
Telinga
Hidung
Lidah
Kulit
Jelaskan:
...................................................
...................................................
...................................................
...................................................
...................................................
Visus: ............................
Ekspresi wajah:..........................
Perilaku:.....................................
...................................................
...................................................
Skala nyeri (1-10):......
Jumlah cairan yang
dikonsumsi setiap
hari:................................
Riwayat Hipertensi:
Ya
Tidak
Pengobatan:
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
Apakah mengkonsumsi
suplemen?
Ya
Tidak
Jenis: ...................................
Turgor kulit:
Baik
Menurun
Edema:
Ada
Tidak ada
TD: .......................mmHg
N: .......................x/menit
S: .......................oC
P: ........................x/menit
Lama
mengalami
gangguan:
..........................................
..........................................
Sensasi:
Nyeri
[ ]
Suhu
[ ]
Taktil
[ ]
Posisi [ ]
Vibrasi [ ]
EKG:.................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
Laboratorium:
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
Fokal:
Kontekstual:
Residual:
Fokal:
Kontekstual:
Residual:
O Adaptif
O Maladaptif
Nyeri akut
Nyeri kronik
Gangguan
persepsi
sensori..................
Lain-lain:
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
...................................
O Adaptif
O Maladaptif
Kekurangan
volume cairan
Kelebihan volume
cairan
Risiko
kekurangan
volume cairan
Lain-lain:
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
...................................
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 1:
FUNGSI NEUROLOGI
Apakah merasa ada
perubahan dalam rentang
perhatian?kewaspadaan?
ingatan?
.............................................
Apakah mengalami
kesulitan menelan? Makan?
Berjalan?
.............................................
.............................................
.............................................
............................................
Apakah pernah mengalami
kejang? Kapan? Berapa
kali? Berapa lama?
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
............................................
Apakah mengalami tremor?
Dimana? Berapa lama?
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
Status Mental
Tingkat kesadaran:
Compos mentis
Apatis
Somnolen
Sopor
Soporo-comatous
Coma
Skor GCS: E....M....V..........
Orientasi
Disorientasi
Waktu
Ya Tidak
Tempat Ya Tidak
Orang
Ya Tidak
Memori:
Segera
Ya
Tidak
Jangka pendek Ya
Tidak
Jangka panjang Ya Tidak
Bahasa: Disartria
Afasia
Disfonia
Aleksia
Nervus Cranial
Normal
Abnormal
Gambarkan
penyimpangan:
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
Refleks
Fisiologis:
Biseps: ............................
Triseps: ...........................
Patella: ............................
Achilles: ..........................
Patologis:
Babinsky: ........................
Koordinasi dan
Keseimbangan
Tes telunjuk hidung:........
Iritasi Meningen:
Kaku kuduk:
Brudzinsky I:
Brudzinsky II:
Kernig sign:
Laseque sign:
Diagnostik:
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
.........................................
Fokal:
O Adaptif
O Maladaptif
Perfusi jaringan
serebral tidak
efektif
Gangguan proses
pikir
Kerusakan
Komunikasi
verbal
Risiko disuse
sindroma
Kontekstual:
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
...................................
Residual:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 1:
FUNGSI ENDOKRIN
Riwayat:
DM
Masalah tiroid
Pengobatan:
.............................................
.............................................
.............................................
Apakah pengontrolan gula
darah dilakukan secara
teratur?
.............................................
............................................
Pembesaran tiroid
Ya
Tidak
Tremor
Ya
Tidak
Eksoftalmus
Ya
Tidak
FISIK-DIRI
2. KONSEP DIRI
Sensasi tubuh:
Bagaimana perasaan
bapak/ibu dengan penyakit
yang dialami?
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
Citra tubuh:
Apakah pernah mengalami
perubahan fisik pada tubuh
bapak/ibu? Ya Tidak
Perubahan fisik yang
dialami:................................
............................................
Apakah bapak/ibu sulit
menerima perubahan
kondisi yang dialami?
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
Komunikasi non verbal:
Tidak mau melihat bagian
tubuh .................
Tidak mau menyentuh
bagian tubuh .................
Penampilan:
...................................................
...................................................
...................................................
...................................................
...................................................
Nadi dorsalis pedis[D/S]
[normal/normal]
[lemah/lemah]
[negatif/negatif]
Laboratorium:
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
Fokal:
O Adaptif
O Maladaptif
Kurang
pengetahuan
Risiko cedera
Lain-lain
Kontekstual:
Residual:
PENGKAJIAN
STIMULUS
Fokal:
Kontekstual:
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
.....................................
..................................
ADAPTASI
O Adaptif
O Maladaptif
Gangguan citra
tubuh
Kelalaian
unilateral
Ansietas
Risiko distress
Spiritual
Sedih kronik
Keputusasaan
Lain-lain
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 1:
Konsistensi diri:
Apa yang bapak/ibu
lakukan jika mempunyai
masalah? .............................
.............................................
.............................................
.............................................
Ekspresi perasaan:
Menyalahkan diri
Tidak berdaya
Kesendirian
Perasaan sedih yang sangat
hebat
Residual:
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
PERSONAL DIRI
Ideal diri:
Moral-etik-spiritual diri:
Jenis aktivitas keagamaan
yang diikuti:
.............................................
.............................................
.............................................
Apakah merasa nyaman
dengan aktivitas tersebut?
Ya
Tidak
Alasan: ................................
.............................................
.............................................
.............................................
3. FUNGSI PERAN
Nilai dan praktek keagamaan
selama sakit: .............................
...................................................
...................................................
...................................................
Frekuensi
kehadiran
dalam
aktivitas
keagamaan
..........................................
..........................................
..........................................
..........................................
PENGKAJIAN
STIMULUS
ADAPTASI
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 1:
Harapan keluarga/orang
terdekat terhadap
bapak/ibu?
.............................................
.............................................
.............................................
Apakah mengekspresikan
secara verbal, tindakan atau
isyarat?
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
Pendapat bapak/ibu
terhadap pengharapan orang
lain:
.............................................
.............................................
............................................
Harapan bapak/ibu:
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
Aktivitas klien ketika sakit:
...................................................
...................................................
...................................................
...................................................
...................................................
Berapa lama waktu yang
diluangkan
dalam
berbagai aktivitas..............
..........................................
..........................................
..........................................
Kontekstual:
Residual:
4. INTERDEPENDENSI
Anggota keluarga.................
.............................................
.............................................
Paling dekat dengan ............
Alasan..................................
.............................................
Bagaimana menunjukkan
kasih sayang dengan orang
lain?
.............................................
.............................................
Fokal:
Respon non verbal saat
berinteraksi dengan orang lain:
...................................................
...................................................
...................................................
...................................................
...................................................
...................................................
...................................................
...................................................
...................................................
Berapa sering berinteraksi
dengan keluarga?..............
..........................................
PENGKAJIAN
STIMULUS
Fokal:
Kontekstual:
Residual:
O Adaptif
O Maladaptif
Penampilan peran
tidak efektif
Lain-lain
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
ADAPTASI
O Adaptif
O Maladaptif
Koping keluarga
melemah
Kesiapan dalam
peningkatan
koping keluarga
Lain-lain
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
.................................
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 2: Evaluasi Keperawatan: Catatan Perkembangan Pada Tn. M dengan METB
NO
1
WAKTU
Selasa, 20
September
2012
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
Ketidakefektifan
perfusi
jaringan
serebri
CATATAN PERKEMBANGAN
1.
KET
Respom perilaku
a. Adaptif
Pupil bulat isokor φ 3 / 3 mm, Muka menceng (-), Bicara pelo (-), Diaforesis (-), Relek patologis babinski /-, Hofman trumer: -/-,Caddock -/-, Openhem -/-,Lasiq : <70/<70 , kernig: <135/<135Tanda Vital :TD :
120/80 mmHg,suhu : 37,8 CNafas:20 x/menit. Nadi 82 x/menit, Rotgen: Tidak nampak kelainan radiologi
pada cor dan pulmo, Imunoserologi (30/8/2012): HIV (-), Hepatitis marker: (-).
b. Inefektif
Nyeri kepala tidak terkaji, Kontak tidak adekaut, Kesan: ganguan fungsi luhur, GCS : E2M6Vafasia, Klien
tampak mengatuk dan selalu menutup mata, Bed rest total, Terpasang foley kateter urin, Terpasang o2 3
lt/m, Kaku kuduk (+), Kesan: tertraparese, penurunan tonus dan krkustan otot, Hasil CT Scan : Penyangatan
meningens sugestif meningitis. Tidak nampak lesi patologis intra parenkim srebri maupun serebelli,
peningkatan kadar fibrinogen, riwayat kejang, penurunan Sao2 dan Pco2. Mikrobiologi (3/9/2012): BTA
(+)Analisis cairan tubuh (13/9/2012) lumbal punksi: ditemukan kelaian MO
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
2
Kerusakan
mobilitas fisik
Implementasi
Memonitor status neurologi dan tanda – tanda peningkatan TIK
Memonitor tanda-tanda vital
Mengevaluasi pupil (ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksi terhadap cahaya )
Mengatasi peningkatan suhu tubuh
Mempertahankan elevasi kepala tempat tidur 300 – 450.
Mencegah terjadinya valsava manuver (mengedan saat BAB, pernafasan paksa, batuk terus menerus )
mempertahankan keadaan tirah baring
Menciptakan lingkungan yang tenang
Membatasi pengunjung/batasi aktivitas sesuai indikasi
Kolaborasi pemberian obat-obatan seperti:IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jamDexamatason IV 2x5 mg, OMZ 40
mg 1x1 iv,B6 10 mgPo 3x1, Curcuma 200 mg 3x1 po
ƒ Memantau pemeriksaan laboratorium/diagnosti ulangan atau awal seperti Ct Scan, MRI, hasil lumbal punksi.
1. Respom perilaku
a. Adaptif
Look : Deformitas (-), discolorisation (-), tidaka ada wound incisi pada dada dan tulang belakang, Feel :
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
tenderness (-), spasme pada kaki, Lasiq : <70/<70, kernig: <135/<135, Kontraktur (-),footdrop (-).
b. Inefektif
Move :tetrapaerse, Tonus otot : hipotonik pada ektremitas, TRM:Kakukudu (+),General weakness,
Pemakaian kataer urin (+),Kekuatan otot :Pergerakan klien lemah dan terbatas, kesan tetrapaere Pergerakan
klien lemah dan terbatas, Aktivitas klien dibantu oleh keluargaKlien tampak berusaha menggerakkan kaki
namun tidak bisa, Ulkus decubitus der II dilumbosakrum der II
3
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
Implementasi
• Menempatkan pasien dalam posisi terapeutik
• Memposisikan sejajar kepala dan leher
• Menentukan keterbatasan gerak sendi dan pengaruh terhadap fungsi
• menjelaskan kepada pasien/keluarga tentang tujuan dan rencana latihan sendi
• Membantu pasien dalam melakukan ROM pasif atau ROM aktif
• Membantu mengoptimalkan posisi tubuh saat ROM aktif/pasif
• Menganjurkan pasien melakukan ROM secara teratur
• Mengannjurkan pasien duduk di tempat tidur/kursi sesuai toleransi
• Meberikan penguatan positif terhadap upaya melakukan latihan sendi
• Kolaborasi fisioterapi untuk meningkatkan program latihan: Mika miki tiap 2 jam, Bed reclicling 1530, Positioning anti kontraktur dan anti decubitus, AROM dan PROM, Chest exercise
• Menenentukan kesiapan pasien untuk berpartisipasi dalam aktivitas/latihan
• Menjelaskan rasional setiap jenis latihan pada pasien/keluarga
Respom perilaku
a. Adaptif
Penampilan bersih, baju diganti tiap 2 hari, dibantu diseka oleh orang lain, BAB 1x/hr .
Defisit perawatan 1.
diri total (mandi,
makan, berpakaian
dan toileting)
b. Inefektif
Terlihat beberapa daki, kuku panjang, rambut kusam. Klien tampak bed rest total, Barthe index: 3
(ketergantungan total), NGT (+), Klien tampak diseka oleh keluarga, Klien dibantu berpakaian oleh orang
lain, Kesan: tetraparese, Terpasang foley kateter, Klien berpindah posisi dengan dibantu oleh orang lain,
Kontak tidak adekuat, Penurunan kesadaran, Kesan: gangguan funsgi luhur, tolieting: kateter (+)
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
Implementasi
• Menkaji kemampauan ADL pasien
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
•
•
•
•
•
4
Kerusakan
integritas kulit
1.
Membantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan makan, minum, mandi, berpakaian,BAK, dan BAB)
Meliibatkan keluarga dalam pemenuhan ADL pasien jika memungkinkan
Menghindari mengerjakan sesuatu yang dapat dikerjakan pasien dan berikan bantuanbila diperlukan
Mewaspadai terhadap tingkah laku impulsive karena gangguan dalam pengambilan keputusan
Mempertahankan dukungan, sikap tegas, beri pasien waktu yang cukup untuk mengerjakan tugasnya.
Dan berikan umpan balik positif atas usaha pasien yang telah dilakukan
• Memberikan obat laksatif untuk mempermudah BAB
Respom perilaku
a. Adaptif
Dilakukan rawat luka secara rutin
b. Inefektif
UD gr II disakrum diameter 5-8 cm, Kemerahan di punggung bawah dan skapula kanan, Immobilisasi 10
hari, Parese (+), Penurunan kesadaran : somnolen, Gangguan fungsi luhur, Immobilisasi, Terpasang restrain
di kedua tangan, Personal Hygienen klien kurang optimal, ADL terbatas, Nutrisi menurun, Demam : 37,8
C, pengkajian skala norton: 9 (resti UD)
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3. Implementasi
Pencegahan Alergi terhadap Latek
• Mengoidentifikasi respon allergi / steven Johnson
Perawatan Luka
• Mengidentifikasi derajad luka
• Menjelaskan pada klien dan keluarga bahaya pemakaian alat yang dapat meningkatkan kerusakan
integritas kulit :bantal pemanas
• Memberikan cairan dan nutrisi yang adekuat sesuai kondisi
• melakukan perawatan luka sesuai kondisi, dan kolaborasi untuk pemberian terapi dan nutrisi yang adekuat
Terapi: cutimed 1/2hari
Pengelolaan Tekanan pada kulit
• Memaasang kasur dekubitus / bantal angina cincin tumit bila diperlukan
• Memobilisasi / ubah posisi tidur klien tiap 2 jam sesuai jadwal
• Mengjarkan cara mobilisasi klien
• Menjaga kebersihan kulit dan alat tenun klien agar tetap bersih, kering dan terhindar dari lipatan /kerutan
• memberikan maasage: coopers model
• memberikan minyak atau lotion: minyak kelapa
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
•
•
•
•
•
5
Resiko infeksi
1.
mengjarkan pada keluarga
melibatkan dan berikan motivasi pada keluarga untuk ikut dalam perawatan integumen klien
menjaga kebersihan kulit dari daki dan spesimen tubuh yang lain
merapikan linen
membantu pemenuhan PH klien
Respom perilaku
a. Adaptif
Rotgen: Tidak nampak kelainan radiologi pada cor dan pulmo, Imunoserologi (30/8/2012): HIV (-),
Hepatitis marker: (-)
b. Inefektif
Intake nutrisi berupa diet bubur dan susu, jarang dihabiskan (2/3 dari porsi), Suhu : 37,8 C, Hasil CT Scan :
Penyangatan meningens sugestif meningitis. Tidak nampak lesi patologis intra parenkim serebri maupun
serebelli. Hemostasis (2/9/2012) Kadar fibrinogen H 490 mg/dl. Klien bedrest total sejak sekitar 30 hari
yang lalu akibat tetrapaerse dan penurunan kesdaran. Dikatahuiadanya suspek METB, kaku kuduk (+),
nyeri kepala saat masuk RS, penurunan kesadaran. Dari hasil pemeriksaan lab (28/8/2012) diketahui adanya
peningkatan jumlah leukosit darah (12. 10-3 ). Mikrobiologi (3/9/2012): BTA (+).Analisis cairan tubuh
(13/9/2012) lumbal punksi: ditemukan kelaian MO
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
Implementasi
Immunisasi/Vaksinasi
• Mengkaji faktor yang meningkatkan resiko infeksi : lanjut usia, respon imun rendah dan malnutrisi
• menganjurkan Klien& keluarga untuk meningkatkan pertahanan tubuh dengan immunisasi/vaksinasi
Pengetahuan : pengendalian infeksi
• mengajarkan pada klien & keluarga cara menjaga personal hygiene untuk melindungi tubuh dari infeksi :
cara mencuci tangan yang benar.
• Menganjurkan kepada keluarga/ pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan
ruang klien
• Menjelaskan kepada klien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
• Mengajarkan metode aman cara penyediaan, pengelolaan dan penyimpanan makanan / susu kpd klien &
keluarga.
• Kolaborasi dengan ahli gizi : asupan nutrisi TKTP:Blenderized 6x250 cc melalui sonde, Susu cair formula
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
dari RS 6x250 cc
6
Resiko cidera
Pengendalian resiko infeksi
• Memantau tanda dan gejala infeksi : peningkatan suhu tubuh, nadi, perubahan kondisi luka, sekresi,
penampilan urine, penurunan BB, keletihan dan malaise.
• Mempertahankan tehnik aseptik pada klien yang beresiko
• Membersihkan alat / lingkungan dengan benar setelah dipergunakan klien
• Mempertahankan tehnik isolasi bila diperlukan
• Membatasi jumlah pengunjung bila diperlukan, dan anjurkan penggunaan APD pada klien dgn autoimun
• Menganjurkan kepada klien minum obat antibiotika sesuai
• Memberikan penkes kepada klien dan keluarga tentang cara program
• mendorong klien untuk mengkonsumsi nutrisi dan cairan yg adekuat.penularan penyakit infeksi: transmisi
secara seksual, oral, fekal, sekresi tubuh, kontak langsung, dan trankutaneus
• Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi:Rifampisin 450 mg 1x1 po, INH 300 mg PO 1 x1,
Pzd 500 mg PO 1 x2, Etambutol 500 mg PO 1 x 2
1. Respom perilaku
a. Adaptif
Tonus (-), Klonus (-), Aura kejang (-)
b. Inefektif
Kejang 2-3 kali selama MRS, Demam (+), Suhu: 37, 8 C, Statsu epileptikus, riwayat terapi fenitoin.
Peningkatan dosis, TDM: 75 ab normal
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3. Implementasi
Pencegahan cedera
• Mengkaji factor resiko cedera
• Mengidentifikasi kebutuhan keamanan klien sesuai kondisi dan fungsi kognitif klien
• Mengajarkan pada klien & keluarga cara mengidentifikasi factor resiko cedera dan cara
penanggulangannya
• Melakukan tindakan emergency sesuai dengan kondisi : Kejang, hiperthermi, penurunan kesadaran,
halusinasi, perdarahan dll
Pengawasan keselamatan
• Melaksanakan pengawasan secara intensif kepada klien yang berisiko terjadi cedera: Monitor TTV, GCS,
hemodinamik.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
•
•
Memberikan cairan & nutrisi yang adekuat
Mengkaji riwayat klien terkait factor risiko, dan Informasikan kepada dokter tentang perubahan yang terjadi
: mis epitaksis, perubahan hemodinamik, irama DJJ, dll
Pengelolaan lingkungan
• Mengajarkan pada klien & keluarga tentang lingkungan yang aman : penerangan yg cukup, lantai tidak licin
• Memasang pengaman tempat tidur pada klien anak atau klien yang gelisah/ penurunan kesadaran
• Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapiPemberian OAE:Diazepam 10 mg b/p 1x1 iv,
Depakene syr 900 mg 40 cc 4x1 po, Clobazam 10 mg 2x1 po, Fenobarbital 30 mg 1x1 po
7
Ketidakefetifan
menejemen
kesehatan diri
1.
Respom perilaku
a. Adaptif
Penampilan rapi
b. Inefektif
Kegagalan regimen terapi fenotoin dalam kehidupan sehari-hari sehingga pasien menjalani terapi OAE
dengan buruk: dosis meningkat tiba-tida dan sering putus obat, Adanya kesulitan biaya dalam terapi epilepsi
dan pemeriksaan TDM ulang terhadap kadar fenitoin dalam darah.Kurangnya pengetahuan klien dan
keluarga mengenai perawatan dan terapi pada pasien. Barthe index: 3 (ketergantungan total
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Implementasi
Menilai tingkat pengetahuan dan hal yang tidak diketahui pasien,
menentukan kemampuan pasien untuk mempelajari informasi spesifik,
memiilih alat/strategi pembelajaran yang tepat,
mengevaluasi kemampuan pasien sesuai tujuan,
Melibatkan keluarga/orang terdekat sesuai kebutuhan,
Menidentifikasi kemungkinan penyebab,
Memberikan informasi tentang kondisi sesuai kebutuhan,
Memberikan informasi pada keluarga/orang terdekat, tentang perkembangan pasien,
Mendiskusikan perubahan gaya, hidup yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi/mengontrol
proses penyakit,
Mendiskusikan pilihan terapi/penatalaksanaan,
Mengjarkan pada pasien tentang tanda dan gejala yang dapat dilaporkan pada petugas,
memberikan informasi tentang program rehabilitasi
•
•
•
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
NO
1
WAKTU
Rabu, 21
September
2012
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
Ketidakefektifan
perfusi
jaringan
serebri
CATATAN PERKEMBANGAN
1.
KET
Respom perilaku
a. Adaptif
Pupil bulat isokor φ 3 / 3 mm, Muka menceng (-), Bicara pelo (-), Diaforesis (-), Relek patologis babinski /-, Hofman trumer: -/-,Caddock -/-, Openhem -/-,Lasiq : <70/<70 , kernig: <135/<135Tanda Vital :TD :
120/80 mmHg,suhu : 36,8 CNafas:20 x/menit Nadi 82 x/menit, oksigen dilepas, peningkatan GCS, sudah
mulai kontak dan interaksi dengan orang lain, elevasi kepala (+). Tidak ada hasil pemeriksaan diagnostik
baru.
b. Inefektif
Nyeri kepala (+), skala4-5. Dikepala bagian belakang, hilang timbul, lebih nayaman dengan lelevasi kepala
30 dan tidur dengan 1 bantal, Kontak mulai adekaut, Kesan: ganguan fungsi luhur, GCS : E3M6Vafasia,
Klien tampak mengatuk namun mulai mau interaksi dengan orang lain, Bed rest total, Terpasang foley
kateter urin, Kaku kuduk (+), Kesan: tertraparese, penurunan tonus dan kekustan otot
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
Implementasi
Memonitor nyeri kepala dan memberikan kenyamanan
Melepas nasal kanul
Memonitor status neurologi dan tanda – tanda peningkatan TIK
Melanjutkan intervensi terdahulu
Kolaborasi pemberian obat-obatan seperti:IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jamDexamatason IV 2x5 mg, OMZ 40
mg 1x1 iv,B6 10 mgPo 3x1, Curcuma 200 mg 3x1 po
ƒ Memantau pemeriksaan laboratorium/diagnosti ulangan atau awal seperti Ct Scan, MRI, hasil lumbal punksi.
2
Kerusakan
mobilitas fisik
1.
Respom perilaku
a. Adaptif
Look : Deformitas (-), discolorisation (-), tidaka ada wound incisi pada dada dan tulang belakang, Feel :
tenderness (-), spasme pada kaki, Lasiq : <70/<70, kernig: <135/<135, Kontraktur (-),footdrop (-).batuk (-)
b. Inefektif
Move :tetrapaerse, Tonus otot : hipotonik pada ektremitas , TRM:Kakukudu (+),General weakness,
Pemakaian kataer urin (+),Kekuatan otot :Pergerakan klien lemah dan terbatas, kesan tetrapaere Pergerakan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
klien lemah dan terbatas, Aktivitas klien dibantu oleh keluargaKlien tampak berusaha menggerakkan kaki
namun tidak bisa, Ulkus decubitus der II dilumbosakrum der II
3
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
Implementasi
• Melanjutkan intervensi terdahulu
• Kolaborasi fisioterapi untuk meningkatkan program latihan: Mika miki tiap 2 jam, Bed reclicling 1530, Positioning anti kontraktur dan anti decubitus, AROM dan PROM, Chest exercise
• Menenentukan kesiapan pasien untuk berpartisipasi dalam aktivitas/latihan
• Menjelaskan rasional setiap jenis latihan pada pasien/keluarga
• Mengkaji dampak fisik dan fisiologis lebih lanjut dari kondisi immobilisasi
Respom perilaku
a. Adaptif
Penampilan bersih, baju diganti tiap 2 hari, dibantu diseka oleh orang lain, BAB 1x/hr .kuku bersih, rambut
bersih dan rapi
Defisit perawatan 1.
diri total (mandi,
makan, berpakaian
dan toileting)
b. Inefektif
Klien tampak bed rest total, Barthe index: 3 (ketergantungan total), NGT (+), Klien tampak diseka oleh
keluarga, Klien dibantu berpakaian oleh orang lain, Kesan: tetraparese, Terpasang foley kateter, Klien
berpindah posisi dengan dibantu oleh orang lain, Kontak tidak adekuat, Penurunan kesadaran, Kesan:
gangguan funsgi luhur, tolieting: kateter (+). Keluarga kurang mendukung perawatan pasien.
4
Kerusakan
integritas kulit
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
Implementasi
• Melanjutkan intervensi terdahulu
• Memastikan klien diseka dan diganti baju setiap hari
• Memotong kuku dan mengkramasi pasien
• Melibatkan keluarga dalam perawatan dan kebersihan keluarga
• Memberikan motivasi keluarga untuk mendukung perawatan pasien
Respom perilaku
a. Adaptif
Dilakukan rawat luka secara rutin, alergi (-), cutimed 1x/2hr. Intake Cairan dan nutrisi adekuat. NGT (+).
Kasur decu (+).positioning (+), massage (+)
b. Inefektif
UD gr II disakrum diameter 5-8 cm, Kemerahan di punggung bawah dan skapula kanan, Immobilisasi 10
1.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
hari, Parese (+), Penurunan kesadaran : somnolen, Gangguan fungsi luhur, Immobilisasi, Terpasang restrain
di kedua tangan, Personal Hygienen klien kurang optimal, ADL terbatas, Nutrisi menurun, Demam : 37,8
C, pengkajian skala norton: 9 (resti UD)
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3. Implementasi
• Melanjutkan intervensi terdahulu
• Memberikan positioning
• Memberikan massage: cooper model
• Melibatkan keluarga
• Memberikan motivasi pda psien dan keluarga
5
Resiko infeksi
1.
Respom perilaku
a. Adaptif
Suhu: 36,8. Demam (-). OAT (+).Intake nutrisi berupa diet bubur dan susu: dihabiskan
b. Inefektif
Hasil CT Scan : Penyangatan meningens sugestif meningitis. Tidak nampak lesi patologis intra parenkim
srebri maupun serebelli. Hemostasis (2/9/2012) Kadar fibrinogen H 490 mg/dl. Klien bedrest total sejak
sekitar 30 hari yang lalu akibat tetrapaerse dan penurunan kesdaran. Dikatahuiadanya suspek METB, kaku
kuduk (+), nyeri kepala saat masuk RS, penurunan kesadaran. Dari hasil pemeriksaan lab (28/8/2012)
diketahui adanya peningkatan jumlah leukosit darah (12. 10-3 )
6
Resiko cidera
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
Implementasi
• Melanjutkan intervensi terdahulu
• Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi:Rifampisin 450 mg 1x1 po, INH 300 mg PO 1 x1,
Pzd 500 mg PO 1 x2, Etambutol 500 mg PO 1 x 2
1. Respom perilaku
a. Adaptif
Tonus (-), Klonus (-), Aura kejang (-), suhu: 36,8. OAE (+).135Tanda Vital :TD : 120/80 mmHg,suhu : 36,8
C
Nafas:20 x/menit Nadi 82 x/menit
b.
Inefektif
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Kejang 2-3 kali selama MRS, , Statsu epileptikus, riwayat terapi fenitoin. Peningkatan dosis, TDM: 75 ab
normal. Kesan: gangguan fungsi luhur, . GCS: E3M6V afasia
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3. Implementasi
• Melanjutkan intervensi terdahulu
• Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapiPemberian OAE:Diazepam 10 mg b/p 1x1 iv,
Depakene syr 900 mg 40 cc 4x1 po, Clobazam 10 mg 2x1 po, Fenobarbital 30 mg 1x1 po
7
Ketidakefetifan
menejemen
kesehatan diri
1.
Respom perilaku
a. Adaptif
Penampilan rapi
b. Inefektif
Kegagalan regimen terapi fenotoin dalam kehidupan sehari-hari sehingga pasien menjalani terapi OAE
dengan buruk: dosis meningkat tiba-tida dan sering putus obat, Adanya kesulitan biaya dalam terapi epilepsi
dan pemeriksaan TDM ulang terhadap kadar fenitoin dalam darah.Kurangnya pengetahuan klien dan
keluarga mengenai perawatan dan terapi pada pasien. Barthe index: 3 (ketergantungan total
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3. Implementasi
• kontrak edukasi terstruktur: terapo mobilisasi, pencegahan dan pengamanan kejang, penyakit dan perawtaan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
NO
1
WAKTU
Kamis, 22
September
2012
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
Ketidakefektifan
perfusi
jaringan
serebri
CATATAN PERKEMBANGAN
1.
KET
Respom perilaku
a. Adaptif
Pupil bulat isokor φ 3 / 3 mm, Muka menceng (-), Bicara pelo (-), Diaforesis (-), Relek patologis babinski /-, Hofman trumer: -/-,Caddock -/-, Openhem -/-,Lasiq : <70/<70 , kernig: <135/<135Tanda Vital :TD :
120/80 mmHg,suhu : 36,5 CNafas:20 x/menit Nadi 80 x/menit, oksigen dilepas, peningkatan GCS, sudah
mulai kontak dan interaksi dengan orang lain, elevasi kepala (+).Kaku kuduk (-). Penurunan skala nyeri
kelapa.
b. Inefektif
Nyeri kepala (+), skala3-4. Dikepala bagian belakang, hilang timbul, lebih nayaman dengan lelevasi kepala
30 dan tidur dengan 1 bantal, Kontak mulai adekaut, Kesan: ganguan fungsi luhur, GCS : E3M6Vafasia,
Klien tampak mengatuk namun mulai mau interaksi dengan orang lain, Bed rest total, Terpasang foley
kateter urin, Kesan: tertraparese, penurunan tonus dan kekustan otot
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
Implementasi
Memonitor nyeri kepala dan memberikan kenyamanan
Mengkaji kakukuduk
Memonitor status neurologi dan tanda – tanda peningkatan TIK
Melanjutkan intervensi terdahulu
Kolaborasi pemberian obat-obatan seperti:IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jamDexamatason IV 2x5 mg, OMZ 40
mg 1x1 iv,B6 10 mgPo 3x1, Curcuma 200 mg 3x1 po
ƒ Memantau pemeriksaan laboratorium/diagnosti ulangan atau awal seperti Ct Scan, MRI, hasil lumbal punksi.
2
Kerusakan
mobilitas fisik
1.
Respom perilaku
a. Adaptif
Look : Deformitas (-), discolorisation (-), tidaka ada wound incisi pada dada dan tulang belakang, Feel :
tenderness (-), spasme pada kaki, Lasiq : <70/<70, kernig: <135/<135, Kontraktur (-),footdrop (-).batuk (-)
b. Inefektif
Move :tetrapaerse, Tonus otot : hipotonik pada ektremitas , TRM:Kakukudu (+),General weakness,
Pemakaian kataer urin (+),Kekuatan otot :Pergerakan klien lemah dan terbatas, kesan tetrapaere Pergerakan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
klien lemah dan terbatas, Aktivitas klien dibantu oleh keluargaKlien tampak berusaha menggerakkan kaki
namun tidak bisa, Ulkus decubitus der II dilumbosakrum der II
3
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
Implementasi
• Melanjutkan intervensi terdahulu
• Kolaborasi fisioterapi untuk meningkatkan program latihan: Mika miki tiap 2 jam, Bed reclicling 1530, Positioning anti kontraktur dan anti decubitus, AROM dan PROM, Chest exercise
• Menenentukan kesiapan pasien untuk berpartisipasi dalam aktivitas/latihan
• Meminta dukungan keluarga dalam terapi mobilisasi pasien
• Memberikan motivasi pada pasien dan keluarga
Respom perilaku
a. Adaptif
Penampilan bersih, baju diganti tiap 2 hari, dibantu diseka oleh orang lain, BAB 1x/hr .kuku bersih, rambut
bersih dan rapi
Defisit perawatan 1.
diri total (mandi,
makan, berpakaian
dan toileting)
b. Inefektif
Klien tampak bed rest total, Barthe index: 3 (ketergantungan total), NGT (+), Klien tampak diseka oleh
keluarga, Klien dibantu berpakaian oleh orang lain, Kesan: tetraparese, Terpasang foley kateter, Klien
berpindah posisi dengan dibantu oleh orang lain, Kontak tidak adekuat, Penurunan kesadaran, Kesan:
gangguan funsgi luhur, tolieting: kateter (+). Keluarga kurang mendukung perawatan pasien.
4
Kerusakan
integritas kulit
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
Implementasi
• Melanjutkan intervensi terdahulu
• Memastikan klien diseka dan diganti baju setiap hari
• Melibatkan keluarga dalam perawatan dan kebersihan keluarga
• Memberikan motivasi keluarga untuk mendukung perawatan pasien
Respom perilaku
a. Adaptif
Dilakukan rawat luka secara rutin, alergi (-), cutimed 1x/2hr. Intake Cairan dan nutrisi adekuat. NGT (+).
Kasur decu (+).positioning (+), massage (+)
b. Inefektif
UD gr II disakrum diameter 5-8 cm, Kemerahan di punggung bawah dan skapula kanan, Immobilisasi 10
hari, Parese (+), Penurunan kesadaran : somnolen, Gangguan fungsi luhur, Immobilisasi, Terpasang restrain
1.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
di kedua tangan, Personal Hygienen klien kurang optimal, ADL terbatas, Nutrisi menurun, Demam : 37,8
C, pengkajian skala norton: 9 (resti UD)
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3. Implementasi
• Melanjutkan intervensi terdahulu
• Memberikan positioning
• Memberikan massage: cooper model
• Melibatkan keluarga
• Memberikan motivasi pada psien dan keluarga
5
Resiko infeksi
1.
Respom perilaku
a. Adaptif
Suhu: 36,5 c. Demam (-). OAT (+).Intake nutrisi berupa diet bubur dan susu: dihabiskan. Punksi lumbal:
MO (-)
b. Inefektif
Kadar fibrinogen H 490 mg/dl. Klien bedrest total sejak sekitar 30 hari yang lalu akibat tetrapaerse dan
penurunan kesdaran. Dikatahuiadanya suspek METB, kaku kuduk (+), nyeri kepala saat masuk RS,
penurunan kesadaran. Dari hasil pemeriksaan lab (28/8/2012) diketahui adanya peningkatan jumlah leukosit
darah (12. 10-3 )
6
Resiko cidera
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
Implementasi
• Melanjutkan intervensi terdahulu
• Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi:Rifampisin 450 mg 1x1 po, INH 300 mg PO 1 x1,
Pzd 500 mg PO 1 x2, Etambutol 500 mg PO 1 x 2
1. Respom perilaku
a. Adaptif
Tonus (-), Klonus (-), Aura kejang (-),. OAE (+).135Tanda Vital :TD : 120/80 mmHg,suhu : 36,5 CNafas:20
x/menit Nadi 80 x/menit
b. Inefektif
Kejang 2-3 kali selama MRS, , Statsu epileptikus, riwayat terapi fenitoin. Peningkatan dosis, TDM: 75 ab
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
normal. Kesan: gangguan fungsi luhur, . GCS: E3M6V afasia
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3. Implementasi
• Melanjutkan intervensi terdahulu
• Merencanakan pemeriksaan TDM ulang
• Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapiPemberian OAE:Diazepam 10 mg b/p 1x1 iv,
Depakene syr 900 mg 40 cc 4x1 po, Clobazam 10 mg 2x1 po, Fenobarbital 30 mg 1x1 po
7
Ketidakefetifan
menejemen
kesehatan diri
1.
Respom perilaku
a. Adaptif
Penampilan rapi
b. Inefektif
Kegagalan regimen terapi fenotoin dalam kehidupan sehari-hari sehingga pasien menjalani terapi OAE
dengan buruk: dosis meningkat tiba-tida dan sering putus obat, Adanya kesulitan biaya dalam terapi epilepsi
dan pemeriksaan TDM ulang terhadap kadar fenitoin dalam darah.Kurangnya pengetahuan klien dan
keluarga mengenai perawatan dan terapi pada pasien. Barthe index: 3 (ketergantungan total
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
•
•
•
•
•
•
•
Implementasi
Melanjutkan intervensi terdahulu
Membuat SAP edukasi
Memberikan edukasi mengenai ROM dan chest thrust
Meminta dukungan keluarga
Mengkaji pemahaman pasien dan keluarga
Memberikan motivasi pada pasien dan keluarga untuk melakukan edukasi
Mengobservasi pelaksanaan edukasi terhdapa perawatn pasien
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
NO
1
WAKTU
Jumat, 23
September
2012
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
Ketidakefektifan
perfusi
jaringan
serebri
CATATAN PERKEMBANGAN
1.
KET
Respom perilaku
a. Adaptif
Pupil bulat isokor φ 3 / 3 mm, Muka menceng (-), Bicara pelo (-), Diaforesis (-), Relek patologis babinski /-, Hofman trumer: -/-,Caddock -/-, Openhem -/-,Lasiq : <70/<70 , kernig: <135/<135Tanda Vital :TD :
120/80 mmHg,suhu : 36,5 CNafas:20 x/menit Nadi 80 x/menit.
b. Inefektif
Nyeri kepala (+), skala3-4. Dikepala bagian belakang, hilang timbul, lebih nayaman dengan lelevasi kepala
30 dan tidur dengan 1 bantal, Kontak mulai adekaut, Kesan: ganguan fungsi luhur, GCS : E3M6Vafasia,
Klien tampak mengatuk namun mulai mau interaksi dengan orang lain, Bed rest total, Terpasang foley
kateter urin, Kesan: tertraparese, penurunan tonus dan kekustan otot
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
2
Kerusakan
mobilitas fisik
Implementasi
Memonitor nyeri kepala dan memberikan kenyamanan
Mengkaji kakukuduk
Memonitor status neurologi dan tanda – tanda peningkatan TIK
Melanjutkan intervensi terdahulu
Kolaborasi pemberian obat-obatan seperti:IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jamDexamatason IV 2x5 mg, OMZ 40
mg 1x1 iv,B6 10 mgPo 3x1, Curcuma 200 mg 3x1 po
1. Respom perilaku
a. Adaptif
Lasiq : <70/<70, kernig: <135/<135, Kontraktur (-),footdrop (-).
b. Inefektif
Move :tetrapaerse, Tonus otot : hipotonik pada ektremitas , TRM:Kakukudu (+),General weakness,
Pemakaian kataer urin (+),Kekuatan otot :Pergerakan klien lemah dan terbatas, kesan tetrapaere Pergerakan
klien lemah dan terbatas, Aktivitas klien dibantu oleh keluargaKlien tampak berusaha menggerakkan kaki
namun tidak bisa, Ulkus decubitus der II dilumbosakrum der II
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
3.
3
Defisit perawatan 1.
diri total (mandi,
makan, berpakaian
dan toileting)
Implementasi
• Melanjutkan intervensi terdahulu
• Kolaborasi fisioterapi untuk meningkatkan program latihan: Mika miki tiap 2 jam, Bed reclicling 1530, Positioning anti kontraktur dan anti decubitus, AROM dan PROM, Chest exercise
• Menenentukan kesiapan pasien untuk berpartisipasi dalam aktivitas/latihan
• Meminta dukungan keluarga dalam terapi mobilisasi pasien
• Memberikan motivasi pada pasien dan keluarga
Respom perilaku
a. Adaptif
Penampilan bersih, baju diganti tiap 2 hari, dibantu diseka oleh orang lain, BAB 1x/hr .kuku bersih, rambut
bersih dan rapi
b. Inefektif
Klien tampak bed rest total, Barthe index: 3 (ketergantungan total), NGT (+), Klien tampak diseka oleh
keluarga, Klien dibantu berpakaian oleh orang lain, Kesan: tetraparese, Terpasang foley kateter, Klien
berpindah posisi dengan dibantu oleh orang lain, Kontak tidak adekuat, Penurunan kesadaran, Kesan:
gangguan funsgi luhur, tolieting: kateter (+). Keluarga kurang mendukung perawatan pasien.
4
Kerusakan
integritas kulit
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
Implementasi
• Melanjutkan intervensi terdahulu
• Memastikan klien diseka dan diganti baju setiap hari
• Melibatkan keluarga dalam perawatan dan kebersihan keluarga
• Memberikan motivasi keluarga untuk mendukung perawatan pasien
Respom perilaku
a. Adaptif
Dilakukan rawat luka secara rutin, alergi (-), madi1x/hr. Intake Cairan dan nutrisi adekuat. NGT (+). Kasur
decu (+).positioning (+), massage (+)
b. Inefektif
UD gr II disakrum diameter 5-8 cm, Kemerahan di punggung bawah dan skapula kanan, Immobilisasi 10
hari, Parese (+), Penurunan kesadaran : somnolen, Gangguan fungsi luhur, Immobilisasi, Terpasang restrain
di kedua tangan, Personal Hygienen klien kurang optimal, ADL terbatas, Nutrisi menurun, Demam : 37,8
C, pengkajian skala norton: 9 (resti UD)
1.
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
3. Implementasi
• Melanjutkan intervensi terdahulu
• Memberikan positioning
• Memberikan massage: cooper model
• Melibatkan keluarga
• Memberikan motivasi pada psien dan keluarga
• Rencanan: skin graft, rawat luka dilakukan oleh dr bedah dengan madu
5
Resiko infeksi
1.
Respom perilaku
a. Adaptif
Suhu: 36,5 c. Demam (-). OAT (+).Intake nutrisi berupa diet bubur dan susu: dihabiskan. Punksi lumbal:
MO (-)
b. Inefektif
Kadar fibrinogen H 490 mg/dl. Klien bedrest total sejak sekitar 30 hari yang lalu akibat tetrapaerse dan
penurunan kesdaran. Dikatahuiadanya suspek METB, kaku kuduk (+), nyeri kepala saat masuk RS,
penurunan kesadaran. Dari hasil pemeriksaan lab (28/8/2012) diketahui adanya peningkatan jumlah leukosit
darah (12. 10-3 )
6
Resiko cidera
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
Implementasi
• Melanjutkan intervensi terdahulu
• Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi:Rifampisin 450 mg 1x1 po, INH 300 mg PO 1 x1,
Pzd 500 mg PO 1 x2, Etambutol 500 mg PO 1 x 2
1. Respom perilaku
a. Adaptif
Tonus (-), Klonus (-), Aura kejang (-),. OAE (+).135Tanda Vital :TD : 120/80 mmHg,suhu : 36,5 CNafas:20
x/menit Nadi 80 x/menit
b. Inefektif
Kejang 2-3 kali selama MRS, , Statsu epileptikus, riwayat terapi fenitoin. Peningkatan dosis, TDM: 75 ab
normal. Kesan: gangguan fungsi luhur, . GCS: E3M6V afasia. Tdm tidak jadi dilakukan karena biaya
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
3. Implementasi
• Melanjutkan intervensi terdahulu
• Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapiPemberian OAE:Diazepam 10 mg b/p 1x1 iv,
Depakene syr 900 mg 40 cc 4x1 po, Clobazam 10 mg 2x1 po, Fenobarbital 30 mg 1x1 po
7
Ketidakefetifan
menejemen
kesehatan diri
1.
Respom perilaku
a. Adaptif
Penampilan rapi
b. Inefektif
Kegagalan regimen terapi fenotoin dalam kehidupan sehari-hari sehingga pasien menjalani terapi OAE
dengan buruk: dosis meningkat tiba-tida dan sering putus obat, Adanya kesulitan biaya dalam terapi epilepsi
dan pemeriksaan TDM ulang terhadap kadar fenitoin dalam darah.Kurangnya pengetahuan klien dan
keluarga mengenai perawatan dan terapi pada pasien. Barthe index: 3 (ketergantungan total
2.
Analisis: berdaptasi secara terkompensasi
3.
•
•
•
•
•
•
•
Implementasi
Melanjutkan intervensi terdahulu
Membuat SAP edukasi
Memberikan edukasi mengenai penenganan kejang, massage , positioning dll
Meminta dukungan keluarga
Mengkaji pemahaman pasien dan keluarga
Memberikan motivasi pada pasien dan keluarga untuk melakukan edukasi
Mengobservasi pelaksanaan edukasi terhdapa perawatn pasien
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
LAPORAN PASIEN RESUME
RESUME KASUS KE-1
1. Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn S, No RM
: 366-40-87, Umur : 51 Tahun, Pekerjaan: Pedagang, Diagnosa Medik: Stroke
Iskemik.Sejak 1 minggu yang lalu klien mengatakan sering menguap dan mengatuk. Seringkali keluar air liur saat minum
dari sudut mulut sebelah kiri. Sekitar 3 hari sebelum MRS klien mengeluh pusing. Pada tanggal 20 Februari 2012 klein tibatiba bicara pelo dengan mulut menceng kekanan ketika sedang berjualan dikiosnya. Kemudian oleh istri dan anaknya klien
dibawa ke Poli RSCM, kemudian disarankan untuk rawat inap. Klien mengalami CVA iskemik serangan pertama dan
hipertensi tipe II tidak terkontrol.Ada riwayat stroke dengan hipertensi dari orang tua klien.
2. Pengkajian
Pengkajian perilaku: mode fisiologis: Adapatasi fisiologi: Oksigenasi : Tidak ada: sesak, batu dan nyeri dada. Ada riwayat
merokook dan hipertensi grade II. klien menghabiskan 1 bungkus dalam 2 hari. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien
sebagai berikut: tekanan darah : 150/90 mmHg, nadi :78 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : EKG:
prolonged QT , radiologi: kardiomegali dengan IVH, paru dalam batas normal. Nutrisi: Tidak ada pembatasan makan. Tidak
ada mual, muntah dan anoreksia. Terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi. Membran mukosa lembab.
Konjungtiva tidak pucat. Hb dalam batas normal (17). BB: 78 kg, TB: 176 cm. Eliminasi :Tidak terpasang kateter. BAB
1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin output: 500-700cc/24 jam. Tidak ada
distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri
care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan mandiri. Toileting dibantu oleh keluarga dilakukan dengan berjalan ke kamar
mandi. Tonus dan kekuatan otot klien normal. Tidak ada gangguan tidur. Proteksi :Tidak ada riwayat alergi maupun trauma.
Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (8,6). Sensasi: Tidak ada gangguan pada
pancaindera. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Ada keluhan pusing (nyeri kepala) skala 5-6 (sedang).
Ekspresi wajah: menceng kekanan dengan perilaku bicara pelo.Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam.
Hipertensi grade II dengan pengobatan captopril 2x 12,5 mg PO. Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS:
E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.Tidak ada rangsang meningeal. Kaku
kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Parese nervus kranial pada N VII dan N XIIReflek fisiologi dalam
batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigidKekuatan otot: 55555555/55555555. CT scan : infark
periventrikel lateralis kanan. Keluhan : mual, psuing, tidak ada pupil edema.Endokrin :Tidak ada riwayat DM. Tida ada
poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 100 (dbn).
Mode Adaptasi konsep diri: Fisik diri: Ada perubahan pada diri klien dimana bicara nya menjadi pelo dan muka masih
menceng ke kanan. Kondisi ini membuat klien tidak nyaman dan malu. Namun klien yakin akan secepatnya sembuh. Dan
menggannggap perubahan tersebut hanya sementara dan yakin akan kembali ke kondisi awal.Personal diri :selama di RS
klien rajin untuk sholat diatas tempat tidur. Kalau ada masalah klien lebih suka diskusi dengan istrinya.Fungsi peran:
Selama sakit klien tidak bisa berjualan di kiosnya. Padahal klien adalah kepala keluarga. Meskipun kedua anaknya sudah
besar namun klien mempunyai tanggungan menikahkan kedua anakanya tahun ini. Klien ingin cepat sembuh dan pulang.
Bisa secepatnya mempersiapkan pernikahan anaknya terutama dari segi pembiayaan. Kedua anaknya ingin menikah secara
bersamaan dan memberitahukan ke klien mendadadk dengan perencanaan pada tahun yang sama klien dan istrinya
bermaksud mau naik haji. Ada kekhawatiran dimana klien akan mengalami masalah pembiayaan ekonomi untuk semua
urusan tersebut.Interdepensi :Klien menikah dan tinggal dengan istri dan kedua anaknya yang beranjak dewasa. Klien
paling dekat dengan istrinya. Setiap hari istrinya menemani di RS dan anaknya secara bergantian menjenguk. Keluarga
sanagt mendukung agar klien secepatnya sembuh.
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: Terjadi infark di ventrikel lateralis kiri. Muncul defisit neurologi berupa: parese
nervus VII dan XII berupa muka menceng ke kanan dan bicara pelo. Ada mual dan nyeri kepala (pusing) skala sedang.
Terjadi peningkatan tekanan darah. Ada permaslahan psikologi pada klien terkait ekonomi dengan rencana kedua ankanya
yang menikah dan naik haji pada tahun yang sama.Stimulus kontekstual: Riwayat hipertensi grade II tidak terkontrol.
Stimulus residual: Klien belum tahu dampak dari merokok. Klien belum tahu menejemen stree. Klien belum tahu
pengontrolan hipertensi dan perawatan (gaya hidup) pasien psot stroke
3. Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut :Perubahan perfusi jaringan serebri berhubungan
dengan interuosi aliran darah ke otak, Resiko hambatan komunikasi verbal berhubuungan dengan gangguan pada SSP
sekunder terhadap gangguan sirkulasi ke otak, kurang pengetahuan tentang proses penyakit berhungan dengan kurang
informasi.
4. Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neuroli,
kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, melakukan pemeriksaan ABI, membantu memberikan
mobilisasi duduk, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengurangi nyeri dengan memberika teknik distraksi
relaksasi : relaksasi benson, mengkaji kemampuan bicara, menulis klien, mengkaji penyebab ketidakmampuan komunikasi
pada klien, memfasilitasi alat bantu komunikasi terutama komunikasi non verbal, mengkaji dukungan keluarga dalam
perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Sca, MRI dll., membantu pemenuhan ADL klien,
melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memebrikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, kolaborasi:
terapi okupasi wicara, medikasi : simvastati 1x10 mg, ascardia: 1x80, B6B12AF, citicolin 2x 500 mg iv, captopril 2x120, pct
k/p.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
5. Evaluasi
S: klien mngatakan pusing sudah berkurang dan sudah tidak mual, O: tidak ada tanda valsava menuver, TD :140/90mmHg,
n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, pelo dan menceng pada muka berkurang, tidak ada gangguan menelan. Komunikasi bisa lebih
lancar. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: terapi wicara, pengontrolan terutama hipertensi dan pencegahan
serangan stroke berulang
RESUME KASUS KE-2
1. Informasi umum
Nama : Tn H, No RM
: 98610112, Umur:32 Tahun, Pekerjaan: sales obat, Diagnosa Medik: meningioma recurrens.
Sekitar 6 tahun yang lalu klien mengeluhkan sakit kepala semakin bertambah bila dipakai batuk dan mengejan. Mengalami
kejang dan tidak sadarkan diri beberapa kali. Setelah sadar bicaranya mengacau.setelah diperiksakan ternyata klien
mempunya tumor otak. Dilakukan pengangkatan tumor dan setelah itu diberikan fenitoin 3x1000 g secara teratur. Sekitar 9
bulan yang lalu setelah operasi yang pertama muncul keluhan cepalgia dan menglami sinkope beberapa kali kemudian
dilakukan pemeriksaan ternyata tumor tumbuh kembali lalu diadakan operasi pengangkatan tumor yang kedua. Pengobatan
fenitoin sampai 3 bulan namun putus obat karena klien tinggal sendiri. Sekitar 2 hari SMRS klien mengalami serangan
kejang. Mata mendelik keatas diikuti kejang seluruh tubuh selama 10 menit. Kemudian oleh istrinya dibawa ke UGD RSCM
setelah 2 hari disana kemudian dipindahkan ke lantai V ruang 520 D dengan diagnosa epilepsi ec meningioma recurens.
2. Pengkajian
Pengkajian perilaku : mode adaptasi fisiologis. Oksigenasi : Tidak ada: sesak, batu dan nyeri dada. Tidak ada riwayat
merokok dan hipertensi . Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi :78
x/m, RR: 18 x/m, suhu: 36 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : MRI: tumor dextra aksial parietal midline kemungkinan
meningioma falx cerebri. CT Scan : massa ekstrasel fronto parietal dan edema frontal. Nutrisi: Tidak ada pembatasan
makan. Mual(+), tidak ada muntah dan anoreksia. Tidak ada gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi. Membran
mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb dalam batas normal (17). BB: 80 kg, TB: 179 cm. Klien cegukan hampir
setiap saat. Eliminasi : Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare
dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas
/Istirahat: Tidak ada klelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan
mandiri. Toileting dibantu oleh keluarga dilakukan dengan berjalan ke kamar mandi. Tonus dan kekuatan otot klien normal.
Tidak ada gangguan tidur. Proteksi : Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu
kulit hangat. Leukosit dbn (9). Sensasi: Tidak ada gangguan pada pancaindera. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam
batas normal. Ada keluhan pusing (nyeri kepala) skala 3-4 (ringan). Ekspresi wajah: proporsional. Bicara lancar. Tidak ada
pelo, afasia dan disartria.Cairan elektrolit: Minum oral. Tidak terpasang IV line. Neurologi: Kesadaran compos mentis
dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+. Tidak ada rangsang
meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Parese nervus kranial pada N VII dan N
XIIReflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid, kekuatan otot normal (5). MRI:
tumor dextra aksial parietal midline kemungkinan meningioma falx cerebri. CT Scan : massa ekstrasel fronto parietal dan
edema frontal.Keluhan : klien mudah lupa semenjak serangan kejang yang terakhir. Klien lupa nama teman, agenda kerja,
alamat rekanan, dll. Ada juga keluhan pusing (ringan). Keluhan : mual, pusing, tidak ada pupil edema, hilangnya memori
jangka pendek, klien mengatakan lebih peupa sekarang. Endokrin : Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan
polifagi. Gula darah : 104 (dbn).
Adaptasi konsep diri: Fisik diri: Ada perubahan pada fisik klien terutama bentuk kepala. Kepala klien bentuknya kurang
prosporsial. Klien mengakui hal ini dan menerima sebagai bagian dari resiko penyakitnya apalagi setelah operasi
meningiomnya yang sudah dua kali. Namun klien menerima kondisi ini. Asal klien bisa sembuh dan secepatnya bisa operasi
yang ketiga serta bisa kembali bekerja dan tidak kejang lagi.Personal diri :Selama di RS klien rajin melakukan ibadah
dengan doa bersama (umat kristiani). Kalau ada masalah klien lebih suka diskusi dengan istri dan kedua orang
tuanya.Fungsi peran :Selama sakit klien tidak bisa bekerja. Padahal klien adalah kepala keluarga. Semua rekanan klien
bingung mencari klien karena sudah selama beberapa minggu ini kklien cuti. Semua agenda kerja klien menjadi berantakan.
Klien juga terancam di PHK oleh perusahaanya bila tidak secepatnya kembali bekerja terutama bila target penjulan klien
tidak terpenuhi. Klien juga mengalami kecemasan karena salah satu akibat dari obat anti kejang yang selalu dikonsumsinya
selain merusak gigi bisa juga mempengaruhi kesuburanya. Dimana saat ini gigi klien sudah caries dan sudah selama 2 tahun
menikah klien belum dikarunia anak.Interdepensi:Klien menikah dan tinggal dengan istri. Klien paling dekat dengan istri
dan ibuknya. Setiap hari istrinya menemani di RS dan orangtua serta saudaranya datang secara bergantian untuk menjenguk.
Keluarga besar klien sangat mendukung kesembuhan klien. Selalu bergantian menjenguk dan memberikan dukungan moril,
spiritual dan finansial
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: Ada massa pada fronto parietal. Klien mengalami meningioma recuurens. Terjadi
perubahan memori. Masuk MRS dengan kejang. Stimulus kontekstual :Riwayat meningioma dengan riwayat operasi
sebanyak 2 kali. Stimulus residual :Klien belum tahu perawatan pasien dengan meningioma terutama dampak putus obat
atau terapi dari meningioma dan anti konvulsioke
3. Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut :Perubahan perfusi jaringan serebri berhubungan
dengan interuosi aliran darah ke otak sekunder terhadap SOL: meningioma recurens, gangguan rasa nayaman :nyeri
berhubungan dengan penuruna perfusi jaringan serebri, resiko perubahan proses pikir berhubungan dengan kerusakan otak
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
sekunder terhadap penurunan perfusi serebri, resiko cidera berhubungan dengan serangan kejang sekunder terhdapa
meningioma recuren, resiko infeksi berhubungan dengan proses penyakit, kurang pengetahuan tentang terapi dan penyakit
berhubungan dengan kurang informasi.
4. Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status
neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, melakukan pemeriksaan fungsi luhur,
membantu memberikan mobilisasi duduk, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengkaji nyeri dan dampkanya
terhadapa aktivitas klien, mengurangi nyeri dengan memberikan teknik distraksi relaksasi : relaksasi benson, , mengkaji
dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan, MRI dll.,
melibatkan keluarga dalam perawatn klien, membrikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, kolaborasi:
medikasi : fenitoin 3x 50 mg po, depakote 3x1 po, dexametason 3x5 mg iv, ondansetron 1x40 mg, cpz k/p.
5. Evaluasi
S: klien mngatakan pusing sudah berkurang dan sudah tidak mual, nyeri di ulu hati juga sudah berkurang, O: tidak ada tanda
valsava menuver, TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, cegukan hilang, tidak ada gangguan menelan. Tidak ada
inkotinensia. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: pencegahan serangan kejang berulang, rencana operasi ke
3, memonitor memori (fungsi luhur) dan defisit neurologi klien.
RESUME KASUS KE-3
1. Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn S, No RM: 367-67-27, Umur : 51 Tahun, Pekerjaan: Sopir pribadi, Diagnosa Medik: CKR, Stroke
infark.Riwayat penurunan kesadaran 3 hari yang lalu. Sekitar 3 hari yang lalu klien mengalami KLL single. Terjatuh dari
sepeda motor yang dikendarainya karena bermaksud menghindari lubang di tepi jalan akhirnya motor klien oleng dan
membuat klien terpelanting dari sepeda motor yang melaju cuku kencang 80-90 km. Klien terjatuh dengan kepala
membentur ke jalan setelah helmnya terlepas. Setelah kejaidan klien sempat tidak sadarkan diri ditempat kejaidan selam 10
menit, keluar cairan dari hidung dan telinga. Kemudian klien minta dibawa pulang ke rumah. Sampai di rumah klien muntahj
2x. Lalu dibawa ke RS Sunter, mulut mencong ke kanan. Kemudian dirujuk ke RSCM. Kelemahan sesisi (-), muntah (-),
klien sadar. Klien mengeluh kepalanya terasa mau pecah sangat nyeri dan tubuh berat untuk digerakkan.klien bicara pelo,
muka masih menceng ke kanan.Tidakada riwayat hipertensi maupun DM. Klien mempunyai kebiasaan merokok.klien tidak
mempunyai alergi, belum pernah trauma sebelumnya.
2. Pengkajian
Pengkajian perilaku: mode fisiologi: Oksigenasi : Tidak ada: sesak, batu dan nyeri dada. Ada riwayat merokook dan
hipertensi grade II. Dalam merokok, klien menghabiskan 1 bungkus dalam sehari. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV
klien sebagai berikut: tekanan darah : 120/70 mmHg, nadi :82 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36 C. Hasil pemeriksaan diagnostik :
EKG: normal sinus ritme, radiologiinfark dibasal ganglia kanan dan paraventrikel lateralis kanan dan kiri, mastoid bilateral.
Subgleal hematom di regio frontotemporal kiri, tidak nampak EDH,SDh maupun SAH, tidak nampak fraktur cranium. Tidak
nampak kelainan pada cor dan pulmo dan tulang costal. Nutrisi: Tidak ada pembatasan makan. Tidak ada mual, muntah dan
anoreksia. Terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat.
Hb dalam batas normal (15,6).. Eliminasi :Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian
pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 7 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak
teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: ada kelemahan pada ekstremitas sebelah kiri. Klien tergolong parsial care. Berpakaian,
makan dan minum dibantu. Toileting dibantu oleh keluarga dilakukan diatas tempat tidur. Tonus rigid.kekuatan otot klien
menurun pada sebelah kiri. Tidak ada gangguan tidur. Proteksi :Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien beresiko
jatuh karena parese kiri dan nyeri kepala. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (8,6). Sensasi: Tidak ada gangguan
pada pancaindera. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Ada keluhan pusing (nyeri kepala) skala 8-9
(berat). Ekspresi wajah: menceng kekanan dengan perilaku bicara pelo.Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500
cc/24 jam. Hipertensi grade II dengan pengobatan captopril 2x 12,5 mg PO. Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan
GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+. Tidak ada rangsang meningeal.
Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Parese nervus kranial pada N VII dan N XII. Reflek
fisiologi dalam batas normal dan reflek patologis: babinski: -/+, HT: +/-.Tonus otot : rigidKekuatan otot: 5555
3333/5555 2222.Endokrin :Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 95 (dbn).
Adaptasi konsep diri: Fisik diri: Ada perubahan pada diri klien dimana bicara nya menjadi pelo dan muka masih menceng
ke kanan, parese pada ekstremitas kiri serta nyeri kepala hebat. Kondisi ini membuat klien tidak nyaman..Personal diri
:selama di RS klien tidak bisa melakukan ibadahnya. Kalau ada masalah klien lebih suka diskusi dengan istrinya.Fungsi
peran: klien harus mengambil cuti beberapa minggu dan tidak lagi bisa bekerja sebagai sopir di majikanya.Interdepensi
:Klien paling dekat dengan anak dan istrinya. Setiap hari anaknya menemani di RS dan istrinya datang menjenguk setlah
selesai kerja di pabrik.
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: muka menceng ke kanan dan bicara pelo. Ada mual dan nyeri kepala (pusing) skala
berat. Parese ekstremitas kiri. Stimulus kontekstual: Riwayat KLL. Stimulus residual: klien belum tahu perawatan awal
pada klien dengan CKR
.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
3. Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut :Perubahan perfusi jaringan serebri berhubungan
dengan interuosi aliran darah ke otakgangguan rasa nyaman nyeri b.d peningkatan TIK, kerusakan mobilitas fisik b.g
keruskaan neuromuskulotal, gangguan pemenuhan ADL b.d keruskana mobilitas fisik, hambatan komunikasi verbal b.d
gangguan pada SSP.
4. Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status
neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, membantu memberikan mobilisasi duduk,
memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengurangi nyeri dengan memberikan teknik distraksi relaksasi : relaksasi
benson, menganjurkan klien bed rest total, mengkaji kemampuan bicara, menulis klien, mengkaji penyebab ketidakmampuan
komunikasi pada klien, memfasilitasi alat bantu komunikasi terutama komunikasi non verbal, mengkaji dukungan keluarga
dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan, MRI dll., membantu pemenuhan ADL
klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memberikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien,
mengkaji kemapuan muskuloatal klien, megkaji resiko yang muncul dari immobilisasi, melakukan mobilisasi bertahap
sesuai tolerasni klien, memberikan ROM bertahap sesuai indikasi, melibatkan keluarga dalam mobilisasi dan memberikan
edukasi pada keluarga mengenai mobilisais,kolaborasi: terapi okupasi wicara, medikasi : ketorolaks 3x1 iv, B6B12AF,
citicolin 2x 500 mg iv, pct k/p.
5.Evaluasi
S: klien mngatakan pusing sudah berkurang dan sudah tidak mual, O: tidak ada tanda valsava menuver, TD :110/70mmHg,
n: 78x/m, s:36 rr:20x/m, pelo dan menceng pada muka berkurang, tidak ada gangguan menelan. Komunikasi bisa lebih
lancar. Parese berkurang. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: terapi wicara, berikan edukasi penangannan
awal dari CKR, kolaborasi : fisioterapi muskuloskletal
RESUME KASUS KE-4
1. Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn E, No RM: 367-42-99, Umur : 46 Tahun, Pekerjaan: satpam, Diagnosa Medik: ICH, IVH, SAH
daerah talamus sinistra,Hipertensi grade II,DM tipe II,Dislipidemia, hipoalbumin,Hiponatremia ec loss water (urin) : salt
wasting sindroma ,HCAP,GEA e.c sindroma malabsorbsi. Sekitar 8 jam sebelum MRS setelah bangun tidur jam 05.00 tibatiba klien mengeluhkan kepalanya pusing, kemudian duduk sebentar di kursi. Setelah sholat subuh dan membersihkan
apartemen yang memang menjadi pekerjaanya sehari-hari tiba-tiba klien kembali pusing yang makin berat lalu tidak
sadarkan diri. Setelah dibangunkan opleh teman-temannya klien sadarkan diri. Klien sempat pingsan selama 10 menit.
Setelah sadar klien muntah sampai 2 kali. Muntah yang kedua klien sempat tersedak. Tidak lama kemudian tangan dan
kakinya sulit digerakan dan mukanya menjadi menceng kekanan. Kemudian oleh temanya klien dibawa ke RSCM. Dalam
perjalanan menurut temanya klien bicaranya sudah sudah tidak jelas (pelo). Setelah dari UGD selama 2 hari kemudian klien
dibawa MRS di gedung A RSUPN Cipto Mangunkusumo. Saat ini klien berada di lantai V ruang perawatan 517 E dengan
diagnosa Stroke :ICH, IVH, SAH, HCAP, DM tipe 2, hipoalbumin,hiponatremia dan hipertensi. Dengan keluhan utamnya
adalah pusing. Klien menyatakan pusing yang dialami dengan komunikasi non verbal melalui anggukan kepala atau isyarat
tangan. Selain itu keadaan klien secara umum adalah: berkeringat (diaforesis), cegukan, diare, afasia. Muka mencong ke
kanan, parese ekstremitas kanan, penurunan kesadaran, sesak, demam dengan suhu 39 C.Sebelum sakit sekitar 3 hari anak
klien memberitahukan bahwa klien terlihat sangat sibuk dan lelah membetulakna atap beberapa apartemen yang rusak
sampai malam. Anak klien juga menuturkan kalau klien sebenarnya bingung mencarikan uang untuk biaya kuliahnya kedua
anaknya yang harus kena jatuh tempo bulan ini. Karena memang biaya kuliah kedua anaknya ditangggung oleh klien. Istri
klien sudah menikah lagi (cerai) dan kedua anaknya tinggal dengan klien. Selain itu karena ada sedikit kesalahpahaman anak
perempuan klien sekarang tinggal dengan ibunya.
2. Pengkajian
Pengkajian perilaku: mode adaptasi fisiologis. Oksigenasi : Bentuk hidung simeteris,Tidak ada deviasi septum,Batuk
dengan adanya sekret,Tidak ada pernapasan cuping hidung,Sesak (+), Tidak ada penggunaan otot bantu napas, Tidak ada
retraksi IC atau suprasternal, Pergerakan dinding dada simetris,Tidak ada tanda trauma atau jejas di hidung dan
wajah,Terpasang selang O2 nasal kanul 3 lt/m,Terpasang selang NGT di lubang hidung sebelah kanan, Elevasi kepala 3045,Tidak ada nyeri tekan pada dada , Tidak teraba massa abnormal di leher dan dada, Taktil fremitus normal, RR : 20 x /
menit, Suara napas vesikuler, Ada bunyi paru tambahan rhonki basah +/+, Batuk (+), Batas paru normal,suara perkusi paru
resonan, Tidak ada tanda cianosis, Membran mukosa lembab, Tidak ada jejas pada dada atau thoraks, Konjungtiva
pucat,Tidak terdapat clubbing finger , CRT < 3 detik,Turgor menurun,Nadi : 88 x / menit, nadi teraba kuat dan reguler, pada
bagian perifer ekstrimitas atas dan bawah teraba hangat, Apeks cordis di ICS IV MCS, JVP 5-2 cm.Suhu : 39 C, Bunyi
jantung I dan II tunggal, idak ada murmur/gallop, TD = 150/100 mmHg, Fokal fremitus normal. Nutrisi :Anak klien
mengatakan bahwa ayahnya makan 3 x/hari, namun tidak pernah dihabiskan, bahkan makanya maksimal hanya 3 sendok
dari makanan yang disajikan di RS. Terpasang NGT dilubang hidung sebelah kanan.diet DM 1900 kkal.diet bubur saring.
Diet cair 3 x 200 cc. Bubur saring hanya dimakan 3-4 sendok tiap kali makan. Diet cair hanya 100-150 cc tiap kali waktu
makan. Klien sering merasa cegukan. Klein dengan bahasa isyarat mengatakan mual. klien minum sekitar 200-300 cc/24
jam. Klien mendapat IUFD NS 0,9 % 500 cc/24 jam. BB klien saat ini tidak bisa diukur karena klien belum bisa turun dari
tempat tidur karen masih pusing. sklera tidak ikterik, warna bibir merah muda. conjunctiva tampak pucat. Pada daerah mulut
tidak ditemukan adanya kandidiasis. Mulut mencong ke kanan. Afasia (+). Kesukaran menelan dan beberapa kali terlihat
tersedak. Mulut klien penuh dengan saliva dan beberapa kali terlihat adanya skeret akibat batuk. Tidak ada gigi yang tanggal
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
atau caries. tidak ditemukan adanya lesi pada daerah mulut, fungsi mengunyah pada mulut menurun, lidah klien kotor dan
barwarna putih, Abdomen datar, tidak terdapat asites dan distensi abdomen, bising usus 10 x/menit ireguler, pada saat
perkusi terdengar bunyi timpani pada semua kuadran, tidak teraba pembesaran hati dan limpa, tidak terdapat nyeri tekan dan
lepas pada semua kuadran abdomen, pada anus tidak terdapat hemoroid.Eliminasi :Pada saat dikaji klien BAB >3 hari
sekali, konsistensi cair, warna cokelat kehitaman dengan bau yang agak nenyengat dengan jumlah yang tidak terlalu banyak.
Klien mendapatkan laktulak 2x1 CI. Bising usus : 10 x/m. klien tidak menjalani kemoterapi. Terpasang foley katater dengan
produksi 3200 cc/24 jam. Warna kuning.proteinuria (+), glukosuria (+).Aktivitas dan Istirahat:Klien terlihat hanya
berbaring ditempat tidur. Klien bed rest total diatas bantal air. Klien terlihat selalu megantuk. Kesadaran klien
menurun.Selama di RS semua activitiy daily live klien dibantu oleh orang lain seperti berpakaian, eliminasi, membersihkan
tubuh termasuk makan dan minum harus disuapin.Proteksi:Kuku tangan dan kaki klien tampak panjang. Rambut klien agak
kotor dan berbau. Mulut klien tampak penuh dengan saliva dan sekret. Terlihat ada sedikit daki di tangan dan kaki. Klien
mengalami demam. Tidak ada kejang. Parese di ekstremitas kanan. Diaforesis (+).Klien mengalami penyakit stroke dan
mengalami hemiparese dekstra terutama di bagian ekstremitas bawah. Klien dalam kondisi bed rest total. Dari kondisi bed
rest dan hemiparese kemampuan proteksi klien menurun. Bed rest menyebabkan imunologi klien menurun terutama kondisi
integumen klien akan beresiko menglami ulkus. Terpasang kasur angin diatas tempat tidur pasien. Hemiparese menyebabkan
klien mengalami keterbatasan dalam beraktifitas dan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu kemampuan
proteksi fisik klien menurun. Klien saat ini membutuhkan bantuan proteksi dari keluarga dan petugas kesehatan.Sensori:
Penglihatan: anak klien mengatakan sejak mempunyai penyakit diabetes (5 tahun yang lalu) visus penglihatan klien menurun
sehingga dia harus memakai kacamata minus. klien sering mengeluh ke anaknya kedua matanya sering kabur meski sudah
memakai kacamata. Saat ini penglihatan klien tidak bisa terkaji karena kondisi penurunan kesadaran dan afasia yang
dialami.Pendengaran: tidak bisa terkaji karena afasia dan penuruna kesadaran. Komunikasi dilakukan dengan nonverbal
memakai bahasa isyarat dari tangan.Penciuman: tidak bisa terkaji dengan baik. Lidah kotor, muka tertarik (mencong) ke
sebelah kanan, nyeri (-). Gigi masih utuh, penyakit gusi (-), Caries (-). Integumen : turgor kulit masih cukup baik, tangan
dan kaki sebelah kanan mati rasa, rambut klien kotor, terlihat daki dibeberapa bagian tubuh, kuku tangan dan kaki terlihat
panjang, lesi (-), klut bagian pungging dan kaki terlihat kering, suhu tubuh 390 C. Cairan dan Elektrolit :Klien minum air
putih 100-200 cc/hari.terpasasang IUFD NS 0,9 % 500 cc/24 jam. Turgor kulit kering,Shiffting dullness (-),ascites (-),
pitting edema (-).Tidak tampak ada oedema baik pada palpebra dan daerah ekstremitas atas maupun bawah, tidak tampak
pembesaran ginjal, tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada ginjal dan tidak teraba pembesaran ginjal, tidak terdapat adanya
nyeri ketuk pada saat perkusi ginjal pada daerah Costa Vertebral Angel, tidak terdapat distensi kandung kemih dan tidak
terdapat nyeri tekan maupun lepas pada kandung kemih, klien terpasang dower kateter yang terpasang sejak tanggal 2 Maret
2012. Terpasang foley katater dengan produksi 3200 cc/24 jam. Warna kuning.proteinuria (+), glukosuria (+).Warna kuning.
Kondisi cairan :Intake : 2800/24 jamOutput: 3200cc /24 jamBerdasarkan hasil pemeriksaan elektrolit darah tanggal 3 Maret
2012, natrium menurun (123 meq/L), kalium dbn (4,4 meq/L) dan clorida (90)juga dalam batas normal (100,2 meeq/L).
Pasien dalam kondisi hiponatrium. Fungsi Neuromuskuloskeletal: Tingkat kesadaran dengan nilai GCS E3 M6
VafasiaRefleks pupil terhadap cahaya: baik, pupil isokor diamter 3mm/3 mm. Orientasi, memori, konsentrasi, kalkulasi, fungsi
bahasa dan bicara tidak bisa terkaji dengan baik dikarenaka kondisi klien dengan afasia motorik. Parese nervus VII dan XII.
Muka dan mulut mencong ke kanan dan kesadaran yang menurun dengan GCS E3 M6 Vafasia. Klien terlihat stupor, mulut
klien mencong kekanan. Bicaranya afasia motorik.Tonus otot : hipotonik pada ektremitas dektra atas dan bawahReflek
fisiologis : +3
+2/+3
+2 Kekuatan otot :Pergerakan klien lemah dan terbatas, kekuatan otot
2222 5555/ 1111
5555.Reflek babinski dan hoftmen trumeer :Tidak terdapat gerakan dorso ekstensi pada ibu jari dan gerakkan abduksi pada
jari-jari lainnya saat pemeriksa menggoreskan bagian lateral telapak kaki klien. Reflek babinski + /-. Reflek HT : -/+. Fungsi
Endokrin : Riwayat Diabetes tipe II sejak 5 tahun yang lalu dengan gula darah yang tidak terkontrol.Polidipsi (-) Polifagi (), poliuri (-). Gula darah acak terakhir pada pemeriksaan GDS stick : 226.
Model Adaptasi Konsep Diri:Fisik diri: Klien tidak mampu mengungkapkan melalui komunikasi verbal kemampuan
adaptasinya. Secara verbal klien tidak bisa menceritakan perasaan yang saat ini dirasakan. Klien mengalami serangan stroke
berulang yang kedua. Kelumpuhan pada ekstremitas (tangan dan kaki kanan), kesadaran menurun dengan GCS
E3M6Vafasia, batuk, afasai, parese NVII dan XII, sesak (+) terpasang oksigen 3 l/m, terpasang NGT dan foley kateter urin.
Model Fungsi Peran :Sebelum sakit klien bekerja sebagai penjaga atau pengurus rumah susun mulai dari kebersihan sampai
keamanan semua penghuni rumah susun. Setiap hari klien sibuk bekerja dari pagi sampai larut malam dengan istirahat yang
tidak teratur. Bekerja setiap hari dalam seminggu.Namun saat ini klien hanya terbaring di atas tempat tidur (bed rest total)
dengan semua ADL dibantu oleh orang lain. Semua aktivitas sehari-harinya dilakukan diatas tempat tidur dibantu
pememnuhannya oleh orang lain dan tidak jarang memakai alat seperti sonde dan kateter urin. Model Adaptasi
Interdependen:Keluarga klien mendukung kesembuhan klien. Anak lelakinya yang paling sering menjaga di RS. Anak
perempuan dan adik perempuan klien terlihat sesekali menjenguk.Temankerja klien juga beberapa kali terlihat membesuk
klien. Selama sakit mantan istri klien belum pernah terlihat menjenguk. Semua biaya pengobatan klien menggunakan dana
asuransi SKTM.Anak klien mengatakan kalau klien sudah bercerai dengan ibuknya sejak mereka masih kecil karena alasan
ekonomi dan tidak cocok. Sekarang adik perempuanya memilih tinggal dengan ibuknya.
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: muka menceng ke kanan dan bicara pelo, parese, penuruna kesadaran, demam, diare,
diaforesis. Stimulus kontekstual: klien rentan decubitus, infeksi nosokomial, foot drop dll. Stimulus residual:
pemgetahuan klien dan kelaurga tentang mobilisasi masih kurang.
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan
interupsi aliran darah arteri/vena di otak, Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret,
Infeksi (sekunder) berhungan dengan penuruna imunitas, Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
Intake yang kurang, Gangguan keseimbangan cairan elektrolit berhubungan dengan kehilangan yang berlebih sekunder
terhadap salt wasting serebelum sindrom, Gangguan eliminasi bowel berhubungan dengan diare sekunder terhadap sindroma
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
malabsorbsi, Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan Kerusakan neuromuskuloskeletal : hemiparese sekunder
terhadap stroke hemoragik, Gangguan pemenuhan ADL (activity daily life) berhubungan dengan Gangguan mobilitas fisik,
Hambatan komunikasi Verbal berhubungan dengan Gangguan pada SSP : gangguan sirkulasi ke otak, Kurang pengetahuan
tentang mobilisasi berhubungan dengan kurang informasi
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status
neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, membantu memberikan mobilisasi duduk,
memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengurangi nyeri dengan memberikan teknik distraksi relaksasi : relaksasi
benson, menganjurkan klien bed rest total, mengkaji kemampuan bicara, menulis klien, mengkaji penyebab ketidakmampuan
komunikasi pada klien, memfasilitasi alat bantu komunikasi terutama komunikasi non verbal, mengkaji dukungan keluarga
dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan, MRI dll., membantu pemenuhan ADL
klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memberikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien,
mengkaji kemapuan muskuloatal klien, megkaji resiko yang muncul dari immobilisasi, melakukan mobilisasi bertahap
sesuai tolerasni klien, memberikan ROM bertahap sesuai indikasi, melibatkan keluarga dalam mobilisasi dan memberikan
edukasi pada keluarga mengenai mobilisais, memberikan mikamiki tiap 2 jam, memberika inhalasi, memberikan terapi
oksigen 3 /m, memberikan makan melalui sonde, melakukan balance cairan, memastikan terapi cairan IUFD, memberika
oral hygiene, memberikan fisioterapi dada dan melembabkan kulit terutama di punggung klien dengan minyak kelapa,
memasang kasur angin, memberikan kompres, memantau suhu tiap 2 jam, kolaborasi: terapi okupasi wicara, fisioterapi,
medikasi : IUFD NaCl 0,9 % 500 cc/ 12 jam, Manitol 20 % 4 x 125 cc, Codein 3 x I, Metronidazol 3 x 500 mg iv, B6B12
AF 2 x 1 tab, Farmadol 3 x 100 mg iv drip karena sindroma malabsorbsi, Omeprazole 3 x 40 mg iv, Nimotop 4 x 60 mg
tab,Inpepsa 3 x I C, Laxadin 3 x I C, Inhalasi C:B:N : 1:1;1, Insulin : humulin R 3 x 10 U, Azitromisin 1x 500 mg,
Simvastatin 1 x 20 mg, Flumucyl syrup 3 x 15 cc, Terapi oksigen nasal kanule 3 lt/m,Diet DM 1900 kkal,Diet bubur saring
dan cair 3 x 200 cc, Tanggal 7-3-2012 antibiotik diganti meropenem.
5.Evaluasi
S: -, O: tidak ada tanda valsava menuver, TD :120/70mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, s:37, pelo dan menceng pada muka
berkurang, hipersalivasiberkurang, parese ekst kanan, cegukan hilang. Afasia (+). Kesdaran somnolen. A: maslah teratasi
sebagian. P: Lanjutkan intervensi: terapi wicara, pemeriksan mikro berkala untuk Hcap, fisioterapi, dukungan keluarga
ditingkatkan, Ct Scan Ulang.
RESUME KASUS KE-5
1. Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn S, No RM
: 366-67-69, Umur: 51 Tahun, Pekerjaan: PNS, Diagnosa Medik: Stroke Iskemik,
hipertensi grade II.Sekitar 4 hari sebelum MRS klien mengeluh pusing . klien mengluh kalau kepalanya pusing dan
merasakan bumi berputar. Kemudian klien dengan diantar oleh istrinya pergi berobat ke RS Cibitung dengan TD : 170/100
mmHg, tidaka da biacar pelo, mula, muntak, jalan tidak diseret. Tiba-tiba klien bicaranya mulai tdak jelas (ngaco), berteriak.
Bicara tidak nyambung. Komunikasi mulai sulit. Muncul waham. Kemudian klien dirujuk ke RS Jiwa di Grogol namun dari
hasil pemeriksaan , klien tidak mempunyai idnikasi dilakukan perawatan disana. Selanjutnya klien dirujuk ke RSCM. Klien
MRS di RSUPN lantai V dengan diagnosa medis CVA Infark. Kondisi gaduh gelisah, komunikasi masih sulit. Bicara ngaco.
Teriak-teriak. Waham. Tidak ada pelo, afasia atau gangguan motorik. Klien mempunyai riwayat hipertensi tipe II selama 10
tahun terkontrol dengan terapi amlodipin. Dari keluarganya, klien mempunyai riwayat psikiatri.
2. Pengkajian
Pengkajian perilaku mode adaptasi fisiologi: Oksigenasi : Tidak ada: sesak, batu dan nyeri dada. Tidak ada riwayat
merokok. Ada riwayat hipertensi. Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 170/100
mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36 C. Nutrisi :Tidak ada pembatasan makan. Tidak ada mual, muntah dan
anoreksia. Tidak ada gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak
pucat. Hb dalam batas normal (17). BB: 80 kg, TB: 179 cm. Eliminasi:Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr.
Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin outpu: 450-600cc/24 jam. Tidak ada distensi
blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat:Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong parsial care.
Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu oleh sitrinya. Toileting dibantu oleh keluarga dilakukan dengan
berjalan ke kamar mandi. Tonus dan kekuatan otot klien normal. Klien mengalami gangguan tidur.klien tidak bisa tidur.
Sering berteriak, tertawa dan menangis tanpa sebab yang jelas.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien
mempunyai resiko jatuh, mengamuk, menciderai diri dan orang lain. Kulit intak, suhu kulit hangat. Sensasi:Tidak ada
gangguan pada pancaindera. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Ada keluhan pusing (nyeri kepala)
skala 3-4 (ringan). Ekspresi wajah: proporsional. Bicara lancar. Tidak ada pelo, afasia dan disartria.Cairan
elektrolit:Minum oral. Tidak terpasang IV line.Neurologi:Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor
dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70,
kernig >130/>130, brunzinky (-).Parese nervus kranial pada N VII dan N XIIReflek fisiologi dalam batas normal dan tidak
ada reflek patologis.Tonus otot : rigidKekuatan otot: 5555 5555/
5555
5555. MRI: tumor dextra aksial parietal
midline kemungkinan meningioma falx cerebri. CT Scan : massa ekstrasel fronto parietal dan edema frontalKeluhan :
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
pusing. Klien berteri-teriak, mengamuk, waham. Klien menunjukan gejala yang mengarah ke tindakan perilaku kekerasan.
Endokrin: Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 99 (dbn).
Adaptasi konsep diri: Tidak bisa terkaji karena kondisi klien yang masih tidak stabil dari psikologi dengan kecenderungan
waham dan perilaku kekerasan. Selama MRS klien tidak bisa beribadah. Klien semalau dijaga oleh istrinya. Klien cenderung
bermaksud melarikan diri dari RS. Selama sakit klien tidak bisa bekerja sehari-hari sebelum sakit klien adalah PNS di Dinas
Perhubungan. Klien adalah kepala kelaurga dengan anak 3 orang yang semuanya masih sekolah. Klien pencari nahkah utama
karena istri klien tidak bekerja. Ketiga anaknya dirumah dengan neneknya. Keluarga klien sangat mendukung kesembuhan
klien. Anak klien bergantian menjenguk dan memberikan dukungan moril, spiritual dan finansial
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: Adanya perubahan kognitif pada klien. Waham. Perilaku kekerasan.Stimulus
kontekstual:Riwayat psikiatri dari keluarga, riwayat hipertensi selama sekitar 10 tahun terkontrol dengan terapi amlodipin
namun tida teratur di konsumsi. Stimulus residual: Keluarga belum tahu perkembangan penyakit klien dan kondisi apa yang
sbeenarnya dialami oleh klien
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : Perubahan proses pikir b.d gangguan SSP,
penurunan perfusi serebri bb.d penuruna elasitas PD otak, resiko cidera b.d perubahan fungsi kognitif, gangguan pemenuhan
ADL berhubungan perubahan proses pikir.
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status
neuroogii, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, melakukan pemeriksaan ABI, membantu
memberikan mobilisasi duduk, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengkaji dukungan keluarga dalam
perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scna, MRI dll., membantu pemenuhan ADL klien,
melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memberikan keamanan pada klien dan orang sekitar, ,memasang restrain,
melakukan pedenaktan pada klien, melakukan komunikasi terapetik, memberikan edukasi pada klien dan keluarga terkait
perawatan klien, kolaborasi: psikiatri (rawat gabung/konsul), medikasi : B6B12AF2 xq mg po, citicolin 2x 500 mg iv,
captopril 3 x25 mg, pct 3x500 mg k/p.
5. Evaluasi
S: istri klien mengatakan suami sudah lebih banyak diam dan tidak berteriak tapi tidak bisa tidur dan memejamkan mata, O:
restrain dilepas, TD :150/90mmHg, n: 80x/m, s:36,2 rr:18x/m. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi:
psikiatri, pengontrolan terutama hipertensi, pemeriksaan fusngsi luhur, konsul psikiatri, Ct Scan Ulang.
RESUME KASUS KE-6
1. Informasi Umum
Nama : Ny Dj, No RM: 352-80-81, Umur:62 Tahun, Pekerjaan: IRT, Diagnosa Medik: SOL Temporal kanan: Glioma. Klien
mengatakan sakit kepala hilang timbul sudah sekitar 2-3 tahun belakangan ini. Semakin bertambahsekitar 3 bulan terakhir.
Sekitar 2 tahun yang lalu klien berobat sakit kepal di dokter umum dilakukan pemeriksaan lab darah dan kolesterol.
Kemudian klien diberikan obat. Sakit kepala berkurang. Namun beberapa bulan kemudian muncul lagi dan bertambah parah.
Kemudian klien cek up ke RS pasar rebo dilakukan pemeriksaan Ct Scan diketahui adanya massa di otak klien. Disarankan
operasi namun klien takut. Sekitar 1 hari yang lalu klien berobat ke poli RSCM dengan keluhan nyeri kepala hebat diseluruh
bagian kepala. Disranakan MRS. Saat ini klien MRS di lantai V RSUPN Cipto dengan diagnosa Glioma tempral. Klien
mengeluh nyeri kepala berat skala 7-8.
2. Pengkajian
Pengkajian perilaku mode Adapatasi fisiologi: Oksigenasi : Tidak ada: sesak, batu dan nyeri dada. Tidak ada riwayat
hipertensi . Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 130/80 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20
x/m, suhu: 36 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : MRI: lesi intrakranial di regio temporal kanan. Nutrisi: Tidak ada
pembatasan makan. Mual(-), tidak ada muntah dan anoreksia. Tidak ada gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi.
Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Eliminasi : Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak
ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin outpu: 500-600cc/24 jam. Tidak ada distensi
blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada klelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care.
Berpakaian, makan dan minum dilakukan mandiri. Toileting dibantu oleh keluarga dilakukan dengan berjalan ke kamar
mandi. Tonus dan kekuatan otot klien normal. Tidak ada gangguan tidur. Proteksi : Tidak ada riwayat alergi maupun
trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Sensasi: penurunan pancaindera pendengaran hilang
timbul sebelah kanan. Sensasi (raba, suhu, nyeri, tekan) dalam batas normal. Ada keluhan pusing (nyeri kepala) skala 7-8
(berat). Ekspresi wajah: proporsional. Bicara lancar. Tidak ada pelo, afasia dan disartria.Cairan elektrolit: Minum oral.
Tidak terpasang IV line. Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3
mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+. Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130,
brunzinky (-).nervus cranial dbn. Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid,
kekuatan otot normal (5). MRI: tumor dextra aksial parietal midline kemungkinan meningioma falx cerebri. CT Scan : massa
ekstrasel fronto parietal dan edema frontal.Keluhan : klien mudah lupa semenjak serangan kejang yang terakhir. Klien lupa
nama teman, agenda kerja, alamat rekanan, dll. Ada juga keluhan pusing (ringan). Keluhan : pusing, tidak ada pupil edema,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
gangguan pendengaran, sol ditemporal kanan. Endokrin : Tidak ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah sewaktu: 264
(peningkatan gula darah) riwayat DM tipe II tidak terkontrol sekitar 10 tahun.
Adaptasi konsep diri: Fisik diri: tidak ada perubahan pada fisik klienPersonal diri :Selama di RS klien rajin melakukan
ibadah sholat disamping TT dan dzikir diatas TT. Klien rajin menjalankan kegiatan ibadah selama di RS.Fungsi peran
:selama MRS klien menunggu jadwal operasi yang tunda sebanyak 2 kali. Alasan yang I krn ruang ICU yang penuh dan
yang kedua karena gula darah klien yang unlabil dengan kecenderungan naik.Interdepensi:Klien janda dengan cucu 8 orang
dari 4 orang anak. Anaka, cucu dan menantu bergiliran menjaga klien, mereka sangat mendukung perawatan dan operasi
klien.
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: glioma temporal kanan, nyeri kepala hebat, gula darah yang naik dan beban psikologis
karena jadwal operasi yang tunda. Stimulus kontekstual :riwayat DM. Stimulus residual : psikologi klien melemah dalam
menjalani dan menunggu jadwal operasi
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut :Perubahan perfusi jaringan serebri berhubungan
dengan interuosi aliran darah ke otak sekunder terhadap SOL: glioma, gangguan rasa nayaman :nyeri berhubungan dengan
penuruna perfusi jaringan serebri, ganguan nutrisi b.d peningkatan gula darah, kecemasan b.d penundaan operasi.
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status
neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, membantu memberikan mobilisasi duduk,
memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengkaji nyeri dan dampkanya terhadap aktivitas klien, mengurangi nyeri
dengan memberikan teknik distraksi relaksasi : relaksasi benson, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien,
memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan, MRI dll., melibatkan keluarga dalam perawatn klien,
membrikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, memberikan supprot sistem, menjelaskan atau
memberikan informasi terkait penundaan jadwal operasi, memberikan informasi jadwal operasi mendatang dan melakukan
persiapanya pada pasien, memonitor gula darah pasien sesuai SOP, memberikan terapi insulin, kolaborasi: medikasi
:dexametason 3x5 mg iv, ondansetron 1x40 mg, pct k/p, humulin R 3x10 U.
5. Evaluasi
S: klien mngatakan pusing sudah berkurang dan sudah tidak mual O: tidak ada tanda valsava menuver, TD :120/80mmHg, n:
80x/m, s:36 rr:20x/m, tidak ada gangguan menelan. Tidak ada inkotinensia. Nyeri berkurang skala 5-6, eduaski dan
informasi sdh diberikan A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: rencana operasi dan persiapanya:suppositoria,
pemeriksaan EKG, cek lab (gula darah, PT, APTT dll), puasa mulai jam 2, menghubungi ICU, skiren, dll.
RESUME KASUS KE-7
1. Informasi Umum
Nama : Ny Li, No RM: 353-62-17, Umur:48 Tahun, Pekerjaan: IRT, Diagnosa Medik: HNP L4-5. Sekitar 5 bulan sebelum
MRS klien mengeluh nyeri menjalar di tungkai kiri, bermula dari betis sebelah kiri menjalar hingga pinggang. Keluhan nyeri
dirasakan semakin berat saat beraktifitas dan menurn bila dipakai istirahat. Pasien berobat ke dr spesialis dan dilakuakn MRI
dikatakan bahwa ada saraf yang terjepit. Pasien disarankan operasi secepatnya. Sekitar 3 tahun yang lalu klien mengatakan
mempunyai keluahn yang sama dan ditegakan diagnosa HNP dialkuakn oeprasi pada tanggal 20 April 2012. Sekitar 4 tahun
yang lalu klien pernah menjalani operasi pemasangan ring pada jantung, i kali tiroidektomi pada tahun 1988, dan menjalani
4 kalu pengangkatan cairan akibat efusi perikardium. Saat ini klien mengeluhkan nyeri pada tungkai kiri.
2. Pengkajian
Pengkajian perilaku mode adaptasi fisiologis:Oksigenasi : Tidak ada: sesak, batu dan nyeri dada. Tidak ada hipertensi, ada
riwayat efusi perikardium dan pemasangan ring cor . Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan
darah : 120/80 mmHg, nadi :78x/m, RR: 18 x/m, suhu: 36 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : ecg: Av Block, right axis
deviatiation, ECHO: hipokinetik segmental. Nutrisi: Tidak ada pembatasan makan. Mual(-), tidak ada muntah dan
anoreksia. Tidak ada gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak
pucat. Eliminasi : Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan
konstipasi. BU: 6 x/m. urin outpu: 500-600cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat:
Tidak ada klelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan mandiri.
Toileting dibantu oleh keluarga dilakukan dengan berjalan ke kamar mandi. Tonus dan kekuatan otot klien normal. Tidak
ada gangguan tidur. Proteksi : Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit
hangat. Sensasi: penurunan pancaindera pendengaran hilang timbul sebelah kanan. Sensasi (raba, suhu, nyeri, tekan) dalam
batas normal. Tidak Ada keluhan pusing. Ekspresi wajah: proporsional. Bicara lancar. Tidak ada pelo, afasia dan
disartria.Cairan elektrolit: Minum oral. Tidak terpasang IV line. Nilai lab tiroid abnormal : T3/T4/TSh: L/L/H:
0,94/0,46/35,4 Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm.
Reaksi terhadap cahaya +/+. Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (). Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid, kekuatan otot normal (5). Nyeri pada
tungkai kiri. Endokrin : Tidak ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah 99 (dbn). Tidak ada riwayat DM.
Adaptasi konsep diri: Fisik diri: tidak ada perubahan pada fisik klienPersonal diri :Selama di RS klien melakukan ibadah
dengan melakukan doa bersama umat kristiani di atas TT Fungsi peran :selam sakit klien tidak bisa mengatar dan menemui
cucu dan anaknya dengan leluasa. Interdepensi:Klien janda dengan cucu 5 orang dari 2 orang anak. Anaka, cucu dan
menantu bergiliran menjaga klien, mereka sangat mendukung perawatan dan operasi klien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: HNP L4-5 temporal kanan, nyeri tungkai kiri dan beban psikologis karena jadwal
operasi yang tunda karena nilai lab tiroid klien yang abnormal. Stimulus kontekstual :riwayat DM. Stimulus residual :
psikologi klien melemah dalam menjalani dan menunggu jadwal operasi
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : gangguan rasa nayaman :nyeri berhubungan dengan
proses inflamasi dari penyakit sekunder terhadap HNP, gangguan keseimbangan elaktrolit b.d penurunan fungsi organ tiroid,
kecemasan b.d penundaan operasi.
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status
neurologi, kesadaran, memonitor TTV, mengkaji nyeri dan dampaknya terhadap aktivitas klien, mengambil specimen darah
untuk pemeriksaan tiroidmengurangi nyeri dengan memberikan teknik distraksi relaksasi : relaksasi benson, mengkaji
dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, echo, ekg, radiologi,
melibatkan keluarga dalam perawatan klien, memberikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien,
memberikan supprot sistem, menjelaskan atau memberikan informasi terkait penundaan jadwal operasi dan terapi dari tiroid
klien, memberikan informasi jadwal operasi mendatang dan melakukan persiapanya pada pasien, memonitor, kolaborasi:
medikasi :dexametason 3x5 mg iv, ondansetron 1x40 mg.
5.Evaluasi
S: klien mengatakan tungkainya masih sakit dan sering kesemuatan pada kakai kanan O:TD :110/80mmHg, n: 78x/m, s:36
rr::23x/m, tidak ada gangguan menelan. Tidak ada inkotinensia. Nyeri berkurang skala 4-5, eduaski dan informasi sdh
diberikan A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: klien rencana pulang, kontrol tiroid di poli, bila dalam 1
minggu lab tiroid stabil dan dbn maka klien kembali MRS dengan rencana operasi. persiapanya:suppositoria, pemeriksaan
EKG, cek lab (gula darah, tiroid, PT, APTT dll), puasa, menghubungi ICU, skiren, dll.
RESUME KASUS KE-8
1. Informasi Umum
Nama : Ny M, No RM: 3531590, Umur:32 Tahun, Pekerjaan: IRT, Diagnosa Medik:AVM,aneurisme, spina bifida.Sekitar 6
bulan yang lalu klien jatuh dengan posisi terduduk. Semenjak itu klien sulit mnggerakkan kakinnya. Sebelumnya klien
sering mengalami kesemutan di kaki. Setelah jatuh klien berobat ke dukun pijat didekat rumahnya dan membaik. Kelemahan
pada tungkai bawah semakin berat sejak 5 bulan yang lalu, nyeri bermula di punggung dan menjalar ke tungkai, kemudian
klien berobat ke RS Maksar dan disana diketahui bahwa di tulang belakang klien terdapat benjolan. Ebenarnya sejak kecil
klien merasakan ada benjolan di tulang belakangnya namun tidak dirasa oleh klien dan dianggap normal karena memang
tidak mengganggu aktivitasnya. Parese pada tungkai klien semakin berat kemudian klien dirujuk ke RSCM sejak 2 bulan
yang lalu. Saat ini kedua kaki klien mengalami parese dan rencana operasi threated cord, menunggu jadwal operasi.
2. Pengkajian
Pengkajian fisiologi:Oksigenasi : Tidak ada: sesak, batuk dan nyeri dada. Tidak ada riwayat hipertensi. Klien mempunyai
riwayat asma. Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 110/70 mmHg, nadi :78 x/m, RR:
18 x/m, suhu: 36 C.Nutrisi :Tidak ada pembatasan makan. Tidak ada mual, muntah dan anoreksia. Tidak ada gangguan
mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Eliminasi:Terpasang kateter,
BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 8 x/m. urin outpu: 500600cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat:Ada kelemahan pada ekstremitas.
Klien tergolong total care. Berpakaian, makan dan minum serta Toileting dibantu oleh keluarga termasuk dengan
pemasangan alat. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi. Ada riwayat trauma yaitu jatuh beberapa kali
saat berada di rumah. Klien mempunyai resiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat.Sensasi: Tidak ada gangguan pada
pancaindera. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing. Ekspresi wajah:
proporsional. Bicara lancar. Tidak ada pelo, afasia dan disartria.Cairan elektrolit:Minum oral. terpasang IV line. IUFD Ns
0,9 % 500 cc/24 jam.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3
mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130,
brunzinky (-).Parese nervus kranial dalam batas normal. Penurun tonus dan kekuatan otot. KO: 5555
5555/1111
1111. EndokrinTidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi.
Adaptasi konsep diri.Fisik diri: Ada perubahan pada fisik klien terutama pada kaki klien yang keduanya sekarang sulit
untuk digerakkan. Ada benjolan di tulang belakang klien. Personal diri : Selama di RS klien tidak bisa menjalankan
kegiatan ibadahnya. Klien hanya bisa berdoa dan dzikir dalam hati agar diberikan kesembuhan dan kedua kainya bisa
berjalan seperti sediakala. Fungsi peran : Klien tidak bisa bekerja seperti biasa. Dan hanya mampu berbaring diatas tempat
tidur dengan semua kebutuhan sehari-harinya dibantu oleh orang lain. Selama sakit klien tidak bisa menemui dan membantu
keperlua ketiga anaknya yang berada di makasar. Interdepensi: Klien menikah dan tinggal dengan suami dan ketiga
anaknya yang masih kecil. Klien paling dekat dengan suami. Selama sakit klien selalu dijaga oleh suaminya. Sudah 2 bulan
ini suaminya cuti dari kerja. Anaknya dirumah tinggal dirumah saudara. Keluarga klien jarang menjenguk karena rumahnya
yang jauh di makasar.
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: Parese dikedua kakinya. Stimulus kontekstual: Riwayat jatuh. Stimulus residual:
Klien belum tahu perawatan mobilisasi pada klien dengan parese.
3.Diagnosa keperawatan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : gangguan mobilitas fisik b.d kelemahan
neuromuskuloskletal, gangguan pemenuhan ADL b.d kelemahan muskoskletal.
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : mengkaji kemmapuan
neuromuskuloskeletal, memberikan mobilisasi, memberikan latihan ROM, memberikan edukasi latihan rom pada klien dan
keluarga, mengkaji efek immobilisasi pada klien trutama infeksi nosokomila dan integumen klien, mengkaji dukungan
keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, radiologi, melibatkan keluarga dalam
perawatan klien, memberikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, memberikan supprot sistem,
membantu pemenuhan ADL klien, mengkaji psikologi klien terutama terkait ketergantungan pada orang lain dan parese pada
kedua kakinya, menyiapkan operasi klien, kolaborasi: medikasi :dexametason 3x5 mg iv, ondansetron 1x40 mg.
5.Evaluasi
S: klien mengatakan tungkainya masih sakit dan sering kesemuatan pada kaki kanan dan kiri O:TD :110/80mmHg, n: 80x/m,
s:36,2 rr::20x/m, to masih sama, rom diberikan, footdrop (-), ulkus (-), eduakasi dan informasi sdh diberikan A: masalah
teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: klien rencana operasi. persiapanya:suppositoria, pemeriksaan EKG, cek lab (gula
darah, tiroid, PT, APTT dll), puasa, menghubungi ICU, skiren, dll.
RESUME KASUS KE-9
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Ny H, No R8: 366-09-32, Umur : 55 Tahun, Pekerjaan: IRT, Diagnosa Medik: CKS, Ht grade II,
hiperglikemia, akut CKD, hiperkoagulasisub gleal hematom regio temporo parietal. Penurunan kesadaran. Post kecelakaan
lalu lintas sekitar 1,5 jam yang lalu. Rujukan dari Puskesmas Cempaka Putih. Klien sedang berjalan saat ditabrak dari
samping jam 06.00 WIB. Penabarak melarikan diri. Oleh warga disekitar kejadian dibawa ke puskesmas kemudian dirujuk
ke RSCM dan masuk IGD RSCM pada 26 Maret 2012. Saat kecelakaan posisi klien telungkup. Tidak ada muntah.
Rhionorea (+) bilateral. Tampak luka impresi di temporal. Krepitasi (-). Luka 10x10 cm hemaom sub gleal. Klien
mempunyai riwayat hipertensi dan CKD.
2.Pengkajian
Pengkajian Adapatasi fisiologi: Oksigenasi : Tidak ada batuk dan nyeri dada. Terpasang oksigen melalui nasal kanulw 3
lt/m. Tidak ada riwayat alergi, DM dan hipertensi. Klien tidak pernah kecelakaan sebelumnya. Dari hasil pemeriksaan
diketahui TTV klien sebagai berikut: tekanan darah : 160/100 mmHg, nadi :92 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36 C. Hasil
pemeriksaan diagnostik : rontgen: spondylosis cervicalis. Radiologi: tidak nampak kelainan pada cor dan pulmo , tidak
nampak kelainan pada tulang calvaria Nutrisi:Makan 3 x/hr jenis diet susu 1700 kal. Terpasang NGTdi lubang hidung
sebelah kanan. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Eliminasi :Terpasang kateter. BAB 1x/hr. Tidak ada
pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin outpu: 200/12 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak
teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Berpakaian, makan dan minum dibantu. Tonus
dan kekuatan otot klien normal. Tidak ada gangguan tidur. Proteksi :Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien
beresiko jatuh. Kesadaran klien somnolen. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (8,6). Sensasi: Tidak ada gangguan
pada pancaindera. Sensasi (raba, suhu, nyeri, tekan) dalam batas normal. Ada keluhan pusing (nyeri kepala) skala 5-6
(sedang).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam. Neurologi: Kesadaran somnolen dengan GCS:
E2M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig
>130/>130, brunzinky (-).Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid. Amnesia
reftrograde.Kekuatan otot: 5555
5555/55555555.Endokrin : riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi.
Gula darah sewaktu : 267Lab:Penurunan Hb (11), Ht (31,1), MVC (81,8), ureum (73,2), creatinin (3,4) OT/PT (85; 43),
Na/k/cl (149/3,7/115).Peningkatan jumlah leukosit (286000), APTT (34,3)
Adaptasi konsep diri. Kemampuan adatasi klien yang meliputi :Fisik diri,Personal diri,Fungsi peran dan Interdepensi belum
bisa dikaji karena keterbatasan klien yang mengalami penurunan kesadaran dan perawatan klien dipindah dari IGD ke runag
rawat inap. Namun dari heteroanamnese dengan anggota keluarga diketahui bahwa klien adalah ibu rumah tangga. Seorang
janda yang sudah ditinggal meninggal oleh suaminya. Sekarang tinggal dengan anak dan cucu. Setiap pagi klien ke pasar
atao sekedar jalan pagi. Saat kejadian klien mengalami tabrak lari ketika sedang jalan santai setelah sholat subuh di masjid.
Selama dirawat klien sempat mengeluh kepalanya pusing ke anaknya. Klien masih menganali keluarganya namun lupa
kejadianya yang menimpanya.
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: penurunan kesadaran. Ada nyeri kepala (pusing) skala sedang. Terjadi peningkatan
tekanan darah.Stimulus kontekstual: kecelakaan lalu lintas. Riwayat HT gr II sejak sekitar 5 tahun yang lalu dan CKD
sejak 3 tahun belakangan ini namun klien jarang periksa dan hany berobat satu kali. Namun anggota keluarga juga tidak jelas
dengan informasi terkait penyakit yang diderita klien. Stimulus residual: keluarga belum tahu dampak dari kecelakaan yang
dialami dan bagaimana kondisi dari klien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
3. Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : perubahan perfusi jaringan serebri, gangguan rasa
nyaman nyeri, ketidakefektifan jalan napas, gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan, resiko cidera, kurang pengetahuan
tentang proses penyakit berhungan dengan kurang informasi.
4. Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status
neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, melakukan pemeriksaan gula darah stick,
mengambil spsimen darah (arteri dan vena), melakukan pemasangan dan rawat infus di jalur vena, memberikan terapi
oksigen 3 lt/m, memasang katetr dan NGT, membantu memberikan posisi semifowler, memastikan klien bed rest,
memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil
pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan dll., membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn
klien, memebrikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, kolaborasi: medikasi : citicolin 500 mg,
ketorolax 3 x1 iv, ranitidin 2 x1 iv, extrace 400 mg iv 1 x 1, valsartan 80 mg po 1 x 1, adalat oros 30 mg 1 x 1, bicanat 500
mg as folat tab.
5.Evaluasi
S:-, O: tidak ada tanda valsava menuver, TD :150/90mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, IUFD Ns 500 cc/24 jam. Kateter (=),
NGT (+), kesadaran somnolen. A: masalah teratasi sebagian. GCS E3M6V5 P: Lanjutkan intervensi: rencanan Ct scan
tanpa kontras, memindahkan klien ke ruang stagnant, rencana pindah rawat di ltV gedung A RSCM.
RESUME KASUS KE-10
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Ny R, No RM: 369-03-16, Umur : 38 Tahun, Pekerjaan: Guru, Diagnosa Medik: kontusio serebri,
fraktur basis cranii, Diagnosa Keperawatan: perubahan perfusi jaringan serebri berhubungan dengan gangguan aliran darah
ke otak. Klien berada di IGD.Sekitar 45 menit sebelum MRS klien sedang menyeberang jalan . pasien ditabrak oleh sebuah
motordari arah kanan. klien terpental ke aspal dan pasien sekitar 20 menit. Klien dibawa ke IGD RSCM tanggal 2/4/2012
jam 08.00 WIB. saat tiba di IGD klien sudah sadarkan diri. Terjadi perdarahan dari hidung dan telinga.
2.Pengkajian
Pengkajian fisiologi. Oksigenasi : tidak ada batuk. Gargling (+). Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai
berikut: tekanan darah : 127/63 mmHg, nadi :104 x/m, RR: 36 x/m, suhu: 36 C. Konjungtiva pucat. Sklera ikterik (-).
Perdarahan hidung dan telinga bilateral. Terpasang O2 3 lt/m terlihat tampon di telinga kanan dan kiri. Hasil pemeriksaan
diagnostik : radiologi: kontusio serebri dan fraktur basisi cranii. Nutrisi: terpasang NGT di lubang hidung sebelah kanan.
Muntah (-). Diet cair 6x150 cc. Eliminasi :Terpasang kateter. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare
dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin output: 100-200 cc/12 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas
/Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Proteksi :Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko
jatuh. Kesadaran klien menurun. Luka pada kepala. Sensasi: tidak terkaji karena kesadaran menurun.Cairan elektrolit:
Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam. Neurologi: Kesadaran stupor dengan GCS: E2M5V2. Pupil isokor dengan
diameter 2 mm/2 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig
>130/>130, brunzinky (-).Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigidKekuatan otot:
5555 5555/ 55555555. CT scan : perdarahan subarakhnoid regio temporal kanan, perdarahan subdural regio fromto temporo
parietal kanan, contusio lobus temporal kanan , edema serebri , frkatur basisi cranii sisi kanan dengan hematosinus sphenoid
dan ethmoidal kanan dan kiri, fraktur mastoid , fraktur septum nasi dengan hematome pada cavum nasi kanan dan
kiri.Endokrin :Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 138. Lab: Hb (19), Ht
(19,8).PT/APTT: 11,2/25,4; ureum/cr/ot/pt: 17,6/0,6/41/55.
Adaptasi konsep diri:Kemampuan adatasi klien yang meliputi :Fisik diri,Personal diri,Fungsi peran dan Interdepensi belum
bisa dikaji karena keterbatasan klien yang mengalami penurunan kesadaran dan perawatan klien dipindah dari IGD ke runag
rawat inap. Namun dari heteroanamnese dengan suami klien diketahui bahwa klien adalah seorang guru yang mengalami
KLL ketika hendak menyeberang jalan ketika mau berangkat ke sekolahnya untuk mengajar. Klien tinggal dengan suami dan
anak 2 orang.
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: penurunan kesadaran. Fraktur basis craniikontusio serebri ec kll.Stimulus
kontekstual: kecelakaan lalu lintas. Stimulus residual: keluarga belum tahu dampak dari kecelakaan yang dialami dan
bagaimana kondisi dari klien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
3. Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : perubahan perfusi jaringan serebri, gangguan rasa
nyaman nyeri, ketidakefektifan jalan napas, gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan, resiko cidera, kurang pengetahuan
tentang proses penyakit berhungan dengan kurang informasi.
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status
neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, melakukan pemeriksaan gula darah stick,
mengambil spsimen darah (arteri dan vena), melakukan pemasangan dan rawat infus di jalur vena, memberikan terapi
oksigen 3 lt/m, memasang katetr dan NGT, membantu memberikan posisi semifowler, memastikan klien bed rest,
memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil
pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan dll., membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn
klien, memebrikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, memasang tampon di kedua teling dan hidung
dan mengobservasi cairan yang keluar. kolaborasi: medikasi : citicolin 500 mg, ketorolax 3 x1 iv, ranitidin 2 x1 iv, extrace
400 mg iv 1 x 1, manitol 125 cc 4 x1.
5.Evaluasi
S:-, O: tidak ada tanda valsava menuver, TD :150/90mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, IUFD Ns 500 cc/24 jam. Kateter (+),
NGT (+), kesadaran somnolen. A: masalah teratasi sebagian. GCS E3M6V5 P: Lanjutkan intervensi: rencanan Ct scan
tanpa kontras, memindahkan klien ke ruang stagnant, rencana pindah rawat di ltV gedung A RSCM.
RESUME KASUS KE-11
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn. F, No RM: 324-20-36, Umur : 37 Tahun, Pekerjaan: satpam pasar, Diagnosa Medik:
meningoencepalitis, HIV, hepatitis C, TB, Masalah Keperawatan: penurunan kesadaran, infeksi, penurunan perfusi jaringan
serebri, ketidakefektifan jalan nafas. Klien berada di IGD. Pasien mengalami penuruna kesadaran sejak 2 hari SMRS.
Kejang (-).Bicara pelo(-). Demam (-). Pasien diketahui menderita HIV sejak tahun 2009, TB dan sakit liver. Pasien berobat
ke RSP diberi obat OAT selam 9 bulan dan selesai. ARV (arival/neviral)rutin. Minum obat dan putus 3 tahun yang lalu. 2
bulan SMRS klien merasa pusing dan berobat di pokdisusu RSCM. Pasien belum mendapat terapi ARV lagi, sudha
dievaluasi thorax 2 x dan dikatakan sembuh dari TBC.
2.Pengkajian
Pengkajian fisiologis: Oksigenasi : tidak ada batuk.erpasang O2 3 lt /m melalui nasal kanule. Dari hasil pemeriksaan
diketahui TTV klien sebagai berikut: tekanan darah : 143/96 mmHg, nadi :60 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36 C. Hasil
pemeriksaan diagnostik : radiologi: cor dan pulmo normal, pleura freaction ka. Ronchi +/+ basah kasar , vesikuler +/+,
wheezing -/-. Nutrisi: terpasang NGT di lubang hidung sebelah kanan. Terdapat gangguan menelan. Muntah (-). Diet cair
6x100 cc. Eliminasi :Terpasang kateter. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU:
5x/m. urin output: 100-200 cc/12 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada
kelemahan pada ekstremitas. Proteksi :Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien beresiko jatuh. Kesadaran klien
menuruntidak luka pada tubuh klien. Suhu tubuh klien dbn. Sensasi: tidak terkaji karena kesadaran menurun.Cairan
elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/12 jam. Neurologi: penurunan kesadaran dengan GCS: E2M4V2. Pupil
unisokor dengan diameter 5 mm/2 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.Kaku kuduk (+), lasiq >70/>70, kernig >130/>130,
brunzinky (-).parese nVII. Kesan hemiparese (-). tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid, achiles +/-.Reflek fisiologi 3
3/2 2Kekuatan otot: 55555555/ 5555 5555. CT scan : multifokal lesi sensasi gambaran mengioensefalitis.
Endokrin :Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 142. Lab: Hb (11,7), Ht (31,6).
PT/APTT: 14,1/36,9; ureum/cr/ot/pt: 38,3/0,8/19/13 . Na/k/cl: 139/4,14/103. Ph/po2/pco2/sao2/be/Hco3:
7,494/17,6/102/98.4/-7,1/18,6
Adaptasi konsep diri. Kemampuan adatasi klien yang meliputi :Fisik diri,Personal diri,Fungsi peran dan Interdepensi belum
bisa dikaji karena keterbatasan klien yang mengalami penurunan kesadaran dan perawatan klien dipindah dari IGD ke ruang
rawat inap. Namun dari heteroanamnese dengan istri klien diketahui bahwa klien adalah seorang satpam pasar. Dulunya
klien adalah seorang preman namun sekarang sudah tobat dan bekerja sebagai satpam di pasar. Klien mempunyai tato yang
cukup luas ditubuh terutama di tangan dan kaki. Klien mantan pegguna obat terlarang namun 1 tahun ini sudah berusaha
berhenti. Istri klien juga tertular HIV namun belum berobat rutin. Klien belum mempunyai anak.
Pengkajian stimulus:Stimulus fokal: penurunan kesadaran dengan diganosa HIV, TB, hepatitis C, meningoencepalitis dan
masuk dengan riwayat kejang.Stimulus kontekstual: riwayat HIV sejak 2009 dari tato dan pengguna obat terlarang.
Stimulus residual: keluarga belum tahu dampak dari penyakit yang dialami dan bagaimana kondisi dari klien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : penurunan kesadaran, infeksi , penurunan kesadaran,
penurunan perfusi jaringan serebri kurang pengetahuan tentang proses penyakit berhungan dengan kurang informasi.
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi
dan kesadaran klien, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, mengambil spsimen darah (arteri dan vena),
melakukan pemasangan dan rawat infus di jalur vena, memberikan terapi oksigen 3 lt/m, memasang katetr dan NGT,
membantu memberikan posisi semifowler, memastikan klien bed rest, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK,
mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan dll.,
membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memberikan edukasi pada klien dan keluarga
terkait perawatan klien,melakukan perawatan dengan memperhatikan proteksi diri. kolaborasi: medikasi : cotromoksasol 1x2
gr, diax k/p kejang, ranitidin 2x1, dexa 4 x1 iv, INH 300, rifampisin 450 1 x 1 po, etambutol 500 po , pirazinamid 500 po,
streptomisin 750 iv 1 x 1, manitol 200 cc maintenence 4 x 125 cc.
4.Evaluasi
S:-, O: kejang (-), TD :140/90mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, IUFD Ns 500 cc/12 jam. Kateter (+), NGT (+), kesadaran
somnolen. GCS E3M5V3 A: masalah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: memindahkan klien ke ruang stagnant,
rencana pindah rawat di ltV gedung A RSCM.
RESUME KASUS KE-11
1. Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn. F, No RM: 324-20-36, Umur : 37 Tahun, Pekerjaan: satpam pasar, Diagnosa Medik:
meningoencepalitis, HIV, hepatitis C, TB. Pasien mengalami penuruna kesadaran sejak 2 hari SMRS. Kejang (-).Bicara
pelo(-). Demam (-). Pasien diketahui menderita HIV sejak tahun 2009, TB dan sakit liver. Pasien berobat ke RSP diberi obat
OAT selam 9 bulan dan selesai. ARV (arival/neviral)rutin. Minum obat dan putus 3 tahun yang lalu. 2 bulan SMRS klien
merasa pusing dan berobat di pokdisusu RSCM. Pasien belum mendapat terapi ARV lagi, sudha dievaluasi thorax 2 x dan
dikatakan sembuh dari TBC.
2.Pengkajian
Pengkajianperilaku: mode adapatasi fisiologi Oksigenasi : tidak ada batuk.erpasang O2 3 lt /m melalui nasal kanule. Dari
hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai berikut: tekanan darah : 143/96 mmHg, nadi :60 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36
C. Hasil pemeriksaan diagnostik : radiologi: cor dan pulmo normal, pleura freaction ka. Ronchi +/+ basah kasar , vesikuler
+/+, wheezing -/-. Nutrisi: terpasang NGT di lubang hidung sebelah kanan. Terdapat gangguan menelan. Muntah (-). Diet
cair 6x100 cc. Eliminasi :Terpasang kateter. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi.
BU: 5x/m. urin output: 100-200 cc/12 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada
kelemahan pada ekstremitas. Proteksi :Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien beresiko jatuh. Kesadaran klien
menuruntidak luka pada tubuh klien. Suhu tubuh klien dbn. Sensasi: tidak terkaji karena kesadaran menurun.Cairan
elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/12 jam. Neurologi: penurunan kesadaran dengan GCS: E2M4V2. Pupil
unisokor dengan diameter 5 mm/2 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.Kaku kuduk (+), lasiq >70/>70, kernig >130/>130,
brunzinky (-).parese nVII. Kesan hemiparese (-). tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid, achiles +/-.Reflek fisiologi
33/2 2. CT scan : multifokal lesi sensasi gambaran mengioensefalitis. Endokrin :Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri,
polidipsi dan polifagi. Gula darah : 142.Lab: Hb (11,7), Ht (31,6). PT/APTT: 14,1/36,9; ureum/cr/ot/pt: 38,3/0,8/19/13
.Na/k/cl: 139/4,14/103.Ph/po2/pco2/sao2/be/Hco3: 7,494/17,6/102/98.4/-7,1/18,6
Adaptasi konsep diri
Kemampuan adatasi klien yang meliputi :Fisik diri,Personal diri,Fungsi peran dan Interdepensi belum bisa dikaji karena
keterbatasan klien yang mengalami penurunan kesadaran dan perawatan klien dipindah dari IGD ke ruang rawat inap.
Namun dari heteroanamnese dengan istri klien diketahui bahwa klien adalah seorang satpam pasar. Dulunya klien adalah
seorang preman namun sekarang sudah tobat dan bekerja sebagai satpam di pasar. Klien mempunyai tato yang cukup luas
ditubuh terutama di tangan dan kaki. Klien mantan pegguna obat terlarang namun 1 tahun ini sudah berusaha berhenti. Istri
klien juga tertular HIV namun belum berobat rutin. Klien belum mempunyai anak.
Pengkajian stimulus
Stimulus fokal: penurunan kesadaran dengan diganosa HIV, TB, hepatitis C, meningoencepalitis dan masuk dengan riwayat
kejang.Stimulus kontekstual: riwayat HIV sejak 2009 dari tato dan pengguna obat terlarang. Stimulus residual: keluarga
belum tahu dampak dari penyakit yang dialami dan bagaimana kondisi dari klien.
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : penurunan kesadaran, infeksi , penurunan kesadaran,
penurunan perfusi jaringan serebri kurang pengetahuan tentang proses penyakit berhungan dengan kurang informasi.
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi
dan kesadaran klien, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, mengambil spsimen darah (arteri dan vena),
melakukan pemasangan dan rawat infus di jalur vena, memberikan terapi oksigen 3 lt/m, memasang katetr dan NGT,
membantu memberikan posisi semifowler, memastikan klien bed rest, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan dll.,
membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memberikan edukasi pada klien dan keluarga
terkait perawatan klien,melakukan perawatan dengan memperhatikan proteksi diri. kolaborasi: medikasi : cotromoksasol 1x2
gr, diax k/p kejang, ranitidin 2x1, dexa 4 x1 iv, INH 300, rifampisin 450 1 x 1 po, etambutol 500 po , pirazinamid 500 po,
streptomisin 750 iv 1 x 1, manitol 200 cc maintenence 4 x 125 cc.
5.Evaluasi
S:-, O: kejang (-), TD :140/90mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, IUFD Ns 500 cc/12 jam. Kateter (+), NGT (+), kesadaran
somnolen. GCS E3M5V3 A: masalah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: memindahkan klien ke ruang stagnant,
rencana pindah rawat di ltV gedung A RSCM.
RESUME KASUS KE-12
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn. Y, No RM: 369-02-43, Umur : 68 Tahun, Pekerjaan: -, Diagnosa Medik: DIC, perdarahan
intrakranial, anemia, susp TB Paru, Masalah Keperawatan: penurunan kesadaran, penurunan perfusi jaringan sistemik,
gangguan nutrisi, ketidak seimbangan cairan dan elektrolit penurunan perfusi jaringan serebri, ketidakefektifan jalan nafas.
Klien berada di IGD.Penurunan kesadaran sejak 7 jam SMRS. 2 jam SMRS ditemukan di pinggir jalan dalam keadaan tidak
sadarkan diri. Kejang(-). Perdarahan THT (-). Diduga mengalami KLL tabrak lari tanpa saksi mata. Oleh warga dan polisi
dibawa ke IGD RSCM. Masuk ke ruang resusitasi dengan kesadaran semakin menurun GCS E1M3V2
2.Pengkajian
Pengkajian fisiologis: Oksigenasi : tidak ada batuk.terpasang O2 8 lt /m melalui maskerterpasang ETT.klien menggunakan
ventilator. TD : 100/60 mmHG, n: 102 x/m, rr:20 x/m, suhu: 39 C. Radiologi: suspek fraktur pada sisi inf maksila kiri, TB
paru (rotgen thorak AP), fraktur oblik inkomplet intertrokanter femur kanan, Nutrisi: terpasang NGT di lubang hidung
sebelah kanan. Terdapat gangguan menelan. Muntah (-). Diet cair 6x100 cc. Eliminasi :Terpasang kateter. BAB 1x/hr.
Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 5x/m. urin output: 100-200 cc/12 jam. Urin seperti
teh.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Ada luka pada kaki kanan. Frkatur trokanter femur kanan.
Closed frkatur fibula dextra.Proteksi :riwayat alergi tidak bisa diketahui. Klien beresiko jatuh. Kesadaran klien menurun.
terdapat luka pada tubuh klien. Demam (+). Sensasi: tidak terkaji karena kesadaran menurun.Cairan elektrolit: Terpasang
IUVD Ns 0,9 % 500 cc/12 jam. Neurologi: penurunan kesadaran dengan GCS: E1M3V2. Pupil unisokor dengan diameter 5
mm/2 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.CT scan : Perdarahn epidural regio parietal kiri, subdural, parietal bilateral dan
subarakhnoid. Perdarahan intraventrikuler ventrikel lateralis bilateral. Kontusio serebri lobus frontal bilateral. Hematosinus
sfenoid. Fraktur linier os temporoparietal kiri.Endokrin :Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi.
Gula darah sewaktu: 250.Lab: Hb (8,5), Ht (22,8). PT/APTT: 17,813,1; d dimer : 12,9, cr: 54 .Na/k/cl: 144/3,97/111/.
Ph/po2/pco2/sao2/be/Hco3: 7,463/16,9/184/99.4/-9,4/11,7
Adaptasi konsep diri.Kemampuan adatasi klien yang meliputi :Fisik diri,Personal diri,Fungsi peran dan Interdepensi belum
bisa dikaji karena keterbatasan klien yang mengalami penurunan kesadaran dan perawatan klien dipindah dari IGD ke ruang
rawat inap. Belum nampak keluarga yang menjenguk sehingga heteroanamnese tidak bisa dilakukan.
Pengkajian stimulus:Stimulus fokal: penurunan kesadaran dengan diganosa DIC, anemia, perdarahan intrkranial.Stimulus
kontekstual: riwayat KLL tabrak lari Stimulus residual:resiko berduka (berkabung) karena ancaman kematian.
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : penurunan kesadaran, penurunan perfusi jaringan
sistemik, gangguan nutrisi, ketidak seimbangan cairan dan elektrolit penurunan perfusi jaringan serebri, ketidakefektifan
jalan nafas, acaman berduka, resiko kehilangan akibat kematian.
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi
dan kesadaran klien, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, mengambil spsimen darah (arteri dan vena),
melakukan pemasangan dan rawat infus di jalur vena, memberikan terapi oksigen 3 lt/m, memasang katetr dan NGT,
membantu memberikan posisi semifowler, memastikan klien bed rest, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK,
mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan dll.,
membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, melakukan triage di imet dan memindahkan
klien ke ruang resusitasi, membantu pemasangan mayo, ett dan ventilator,melakukan perawatan dengan memperhatikan
proteksi diri. kolaborasi: medikasi : ceftriaxon 2x2, azitromisin 1 x1, vit K 3 x1 , azid 1 x 4, sukralfat 4 x 10.
5.Evaluasi
S:-, O: klien meninggal 5 jam setelah dirawat di ruang resusuitasi IGD RSCM dengan kondisi pupil unisokor, apnea,
TD:100/50mmHg, nadi:110 x/m, rr: 20 (ventilator) suhu: 39 C. A: -P: Lanjutkan intervensi: rawat jenasah dan memindahkan
klien ke ruang jenasah, mencoba terus menghubungi dan komunikasi dengan keluarga.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
RESUME KASUS KE-13
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn. C, No RM: 354-26-72, Umur : 61 Tahun, Pekerjaan: pedagang,alamat: tangerang Banten Diagnosa
Medik: tetraparese UMN ec susp metastase Ca Paru, Tumor intrkranial Post Vp Shunt, Ca Paru sin, Leukositosis ec ISK.
Pasien dengan riwayat nyeri kepala sejak 2 tahun yang lalu. Dirasakan seperti ditusuk diseluruh kepala hilang timbul. Nyeri
awalnya hilang dengan pemberian obat dari warung namun semakin bertambah sering aktivitas klien terganggu karena nyeri
dan kadang sampai mual. Nyeri kepala terutama saat pagi hari dan semakin berat jika dipakai mengejan dan batuk. Sekitar 2
bulan yang lalu klien memeriksakan diri ke RSUT dari hasil Ct Scan diketahui ada tumor di kepala kemudian dipasang Vp
Shunt setelah itu pasien sering mengalami nyeri kepala. Setelah dilakukan terapi, nyeri kepala klien berkurang selama sekitar
2 minggu. Klien lupa nama obat yang dikonsumsi untuk menurunkan nyeri kepalanya.1 bulan SMRS klien merasakan nyeri
kepalanya mulai terasa lagi, tungkai sering kesemutan bahkan jalan sampai diseret. Mual dan muntah (+) , klien juga
merasakan dada disebelah kirinya terasa nyeri (sedang) , hilng timbul.
Klien menglamai nyeri kepala memberat 2 hari SMRS. Klien mempunyai riwayat Vp Shunt ec hidrosefalus ec SOL sekitar 2
bulan yang lalu. Sejak 1 minggu SMRS klien mengalami kelemahan tungkai, baal (+), kesemutan (+) dan kesulitan untuk
BAB dan BAK. Saat dilakukan pengkajian klien mengeluhkan nyeri dengan skala 4-5. GCS E4M6V5. Bicara pelo, makan
sering tersedak, bicara kurang nyambung. Klien mempunyai riwayat Hipertensi sekitar 5 tahun, mempunyai kebiasan
merokok sejka masih muda sekitar 1 bungkus dihabiskan dalam sehari.
2.Pengkajian
Pengkajian fisiologis:Oksigenasi : tidak ada batuk. terpasang O2 3 lt /m melalui nasal kanul.klien menggunakan ventilator.
TD : 140/100 mmHG, N: 88 x/m, rr:22 x/m, suhu: 37 C. Radiologi: suspek tumor dinding tumor, Nutrisi: terpasang NGT di
lubang hidung sebelah kanan. Terdapat gangguan menelan. Mual (+). Muntah (+). Diet cair 6x100 cc. Eliminasi :Terpasang
kateter. BAB (-). BU: 2x/m. urin output: 100-200 cc/12 jam. Urin seperti teh. Proteinuria, hematuria. Aktivitas
/Istirahat:kelemahan pada ekstremitas.Proteksi :riwayat alergi tidak bisa diketahui. Klien beresiko jatuh karena kelemahan
pada ekstremitas. nyeri kepala(+). Demam (-). Sensasi: pancaindera dalam batas normal, sensasi raba , suhu tekan dalam
batas normal.Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam. Neurologi: kelemahan tungkai kanan dan kiri
terutama pada ekstremitas bawah. Baal (+), paraestesia (+), penurunan kesadaran dengan GCS: E1M3V2. Pupil isokor
dengan diameter 3mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+. Hipoestesia setinggi T10-11. Saraf otonom: inkotinensia bowel
dan blader.lasig:>70/>70, kernig:>135/135.Endokrin :Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagiLab:
Hb (11,5), Ht (40,5)Ur/Cr/OT/Pt: 47/1,2/37/48Na/k/cl: 138/5,45/97 mEq/LUrin analsis: makro: warna merah, keruh BJ:
1,015 Ph: 6,0 protein 3+, glukos :-, keton:-, darah 3+, bilirubin: -, urobilin: 0,2, nitrit: -, esterase: 3+; mikros: sel epitel 1+,
leukositosis: penuh, eritrosit: penuh.
Adaptasi konsep diri:Fisik diri: Ada perubahan pada diri klien dimana bicara nya menjadi pelo , kedua kaki tidak bisa
digerakan, kedua tanganya juga mengalami kelemahan. Klien mengalami ganguan komunikasi karena bicara menjadi pelo,
gangguan eliminasi semua kebutuhan sehari-hari klien tergantung pada orang lain. Membuat klien awalnya sulit menerima
kondisinya, klien sangat berharap bisa kembali berjalan, klien mulai meras frustasi karena beberapa tahun terakhir ini merasa
sakitnya bukan membaik malah semakin berat.Personal diri :selama di IGD klien tidak bisa menjalankan kegiatanya seharihari smeuanya harus dibantu oleh orang lain.Fungsi peran: selama sakit klien tidak bisa menemui cucunya dan menjalankan
kegiatan seperti dirumah.Interdepensi :Klien menikah dan tinggal dengan istri dan anak dan beberapa cucu. Klien paling
dekat dengan istrinya. Setiap hari istrinya menemani di RS dan anaknya secara bergantian menjenguk. Keluarga sanagt
mendukung agar klien secepatnya sembuh.
Pengkajian stimulus: Stimulus fokalklien mengalami nyeri kepala, gangguan eliminasi, kelemahan ekstremitas, kesulitan
komunikasi.Stimulus kontekstual: riwayat hipertensi, Vp Shunt, Sol, tumor intrakranial, tumor paru. Stimulus
residual:motivasi klien yang menurun, pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit dan metastase dari penyakit masih
kurang.
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : gangguan mobilitas fisik, gangguan rasa nyaman:
nyeri, ganguan pemenuhan ADL, gangguan komunikasi verbal.
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi
dan kesadaran klien, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, mengkaji kemungkinan kejang, mencegah
valsava manuver, mengambil spsimen darah (arteri dan vena), melakukan pemasangan dan rawat infus di jalur vena,
memberikan terapi oksigen 3 lt/m, memasang kateter dan NGT, mengkaji mual dan muntah serta satastu nutrisi klien,
membantu memberikan makanan, membatasi aktivitas, membantu memberikan posisi semifowler, memastikan klien bed
rest, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil
pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan dll., membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn
klien, mempersipakan klien untuk Ct Scan, memonitor hasil Ct Scan, mempersiapakn kepindahkan klien di unit perawatan
Stagnan dari imet, mengajarkan teknik distraksi relaksasai: relaksasasi nafas dalam benson untuk menurnkan nyeri dan
mengevaluasi kefektifanya. kolaborasi: medikasi : fenitoin 3x 50 mg po, depakote 3x1 po, dexametason 3x5 mg iv,
ondansetron 1x40 mg, cpz k/p.
5.Evaluasi
S: klien mengatakan nyeri kepala dan mual berkurang, O: TD:140/90mmHg, nadi:80 x/m, rr: 20 suhu: 36,5, muntah (-),
tetraparese(+), pelo (+) , inkotinensia, keteter (+), C. A: masalah teratasi sebagian P: Lanjutkan intervensi: konsul Neuro,
IPD dan bedah, rencanan Ct Scan, pengambilan spesiemn darah (arteri), Thorak ulang, pindah ke ruang Urgent.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
RESUME KASUS KE-14
1. Informasi Umum dan pengkajian
Nama (Inisial): Tn. O, No RM: 3544261, Umur : 22 Tahun, alamat: bekasi, Diagnosa Medik: cepalgia, gangguan
penglihatan. Dilakukan autoanamnese dan didapatkan keluhan utama berupa Penglihatan mata kanan bertahap menjadi
gelap sejak ± 1 bulan yang lalu.± 10 bulan yang lalu, ketika sedang beraktifitas, pasien mengeluh sakit kepala seperti
ditusuk-tusuk jarum disertai rasa berdenyut pada kepala sisi kanan terutama dahi dan pelipis kanan namun tidak menjalar ke
kepala sisi kiri, durasi ± ½ -1 jam, VAS 6, memberat dengan batuk dan mengedan. mual (-) muntah (-) pingsan (-) kejang (), pasien kemudian berobat ke puskesmas dikatakan sakit kepala biasa dan diberikan obat sakit kepala dan mual, keluhan
tidak juga membaik. ± 6 bulan yang lalu, pasien mulai mengeluhkan mata kanan mulai menonjol dibandingkan mata kiri
disertai sakit kepala yang bertambah berat dengan tipe yang sama, VAS 7, sakit kepala timbul terutama pada malam hari.
frekuensi 2-3x/minggu. Mual (-) muntah (-) kejang (-).± 5 bulan yang lalu, mata kanan pasien tampak semakin menonjol
disertai penglihatan mata mulai tampak kabur, objek yang dilihat menjadi kabur dan tidak fokus dan 1 hari kemudian
pasien tidak dapat melihat sama sekali dengan mata kanan, mata kanan melihat gelap berwarna hitam. Mata merah (-) nyeri
saat menggerakkan bola mata (-) trauma mata (-). pasien kemudian berobat ke RS Bayuarta dilakukan CT-scan kepala
dikatakan ada tumor di belakang bola mata dan disarankan untuk dioperasi, pasien sempat berobat ke RS Hasan Sadikin dan
juga dikatakan harus dioperasi, pasien dan keluarga menolak karena keterbatasan biaya dan tidak meneruskan pengobatan.±
3 bulan yang lalu, sakit kepala dengan tipe sama bertambah berat, pasien sampai memegangi kepala dan sempat pingsan
karena tidak kuat menahan rasa sakit, sakit kepala dirasakan hampir setiap hari. pasien juga mengeluhkan kesemutan pada
dahi sisi kanan dirasakan seperti ada cacing yang berjalan sekitar dahi kanan. Mata kanan semakin menonjol dan
penglihatan mata kanan tetap tidak dapat melihat sama sekali. pasien berobat kembali ke RSUD Karawang dilakukan
operasi pengangkatan tumor (21 Februari 2012), namun menurut keterangan dokter bedah saraf hanya 70% tumor yang
dapat diangkat karena sisanya berdekatan dengan otak dan dirujuk ke RSCM untuk penanganan lebih lanjut. Selang 1 hari
paska operasi, mata kanan pasien sudah dapat melihat kembali seperti biasa, tidak tampak lagi penonjolan pada mata kanan
dan sakit kepala sudah tidak dirasakan lagi.± 1 bulan yang lalu (10 hari paska operasi), pasien mengeluhkan mata kanan
menjadi merah, mata kanan mulai tampak menonjol kembali dan sakit kepala kembali timbul dengan tipe yang sama,
seperti ditusuk-tusuk di kepala sisi kanan terutama dahi dan pelipis kanan, namun dirasakan tidak terlalu berat, VAS-3,
keluhan hilang-timbul dan biasanya terjadi pada malam hari.± 3 minggu yang lalu, pasien mengeluh penglihatan mata
kanan bertahap menjadi buram kembali, awalnya dapat melihat objek walaupun terlihat buram, selang 1 minggu kemudian
penglihatan mata kanan menjadi tidak dapat melihat sama sekali, hanya warna hitam saja yang dilihat oleh mata kanan
pasien disertai penonjolan mata kanan yang semakin terlihat. pasien kemudian berobat ke poli saraf RSCM dan disarankan
untuk rawat inap.Saat ini sakit kepala masih dirasakan pasien dengan tipe yang sama terutama pada malam hari, VAS 3,
penglihatan mata kanan gelap total dan mata kanan tampak semakin menonjol. nafsu makan semakin menurun dan terdapat
riwayat penurunan berat badan 5 kg semenjak sakit.Pusing berputar (-) muntah proyektil (-) kejang (-) penglihatan dobel (-)
gangguan penciuman (-) gangguan pendengaran (-) telinga berdenging (-) kelemahan anggota gerak satu sisi (-) baal
anggota gerak satu sisi (-) mulut mencong (-), bicara pelo (-) tersedak saat makan dan minum (-) sulit menelan (-) gangguan
BAB dan BAK (-) batuk lama (-) mimisan (-) demam (-).Klien mempunyai riwayat kejang demam sewaktu kecil (umur 1
tahun), Riwayat sakit maag (+), HT (-) DM (-) asma (-) stroke (-) penyakit jantung (-) keganasan (-) alergi obat dan
makanan (-).Keluarga mempunyai riwayat : keganasan/kelainan serupa (-), Riwayat HT (-), DM (-) asma (-) stroke (-)
penyakit jantung (-). Riwayat pribadi dan sosial klien: Pasien adalah seorang laki-laki berusia 22 tahun, pendidikan terakhir
S1, saat ini bekerja sebagai pemulung bola golf, merokok (+) sudah berhenti sejak 1 tahun yang lalu, tidak minum alkohol.
makan mie instan (+) 3-4x/minggu, ikan asin (-). Pembiayaan dengan jamkesmas.
2.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : gangguan sensori:penglihatan, gangguan rasa
nyaman: nyeri, resiko cidera.
3. Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas di ruang poli NO:
melukakukan pemeriksaan TTV, membantu dan mengikuti pelaksanaan pemeriksaan fisik , neuro dan NO oleh dokter,
melakukan pemeriksaan visus, melakukan pemeriksaan lapang pandang dengan kampimeter, meneteskan tetes mata
cendomydiratil untuk melebarkan pupil, ikut melakukan pemeriksaan funduskopi, mengobservasi hasil pemeriksaan
penunjang pada klien. Memberikan KIE pada pasien mengenai penurunan pengihatan dan resiko cidera yang mungkin
muncul. Meminta klien untuk menggunakan lata bantu jalan, mengajrakan teknik distraksi relaksasi benson untuk
menurunkan nyeri kepala, memberikan KIE penyebab sakit kepala yang sering diderita klien.
4.Evaluasi
Kesimpulan hasil NO klien adalah :Penurunan visus OD, Paresis N. III dekstra total, paresis N. IV dekstra, paresis N. VI
dekstra, lesi N. V1 dekstra, paresis N. V motorik dekstra, Sefalgia sekunder
RESUME PASIEN KASUS-15
1. Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn. S, No RM: 3554684, Umur : 43 Tahun, alamat: Jogjakarta, Diagnosa Medik: KNF on Staging,
Dilakukan autoanamnese dan didapatkan keluhan utama berupa Suara sengau sejak ± 1 bulan yang lalu. Riwayat penyakit
klien sebagai berikut: ± 4 bulan yang lalu, pasien mengeluh kedua hidung terasa penuh, seperti ada cairan dari hidung yang
ingin keluar namun tidak dapat keluar sehingga kedua hidung terasa mampet dan terdapat rasa terganjal ditenggorokan.
pasien berobat ke dokter umum diberikan obat radang, keluhan pilek tidak membaik.± 2 bulan yang lalu, pasien mengeluh
penciuman kedua hidung terasa terganggu disertai timbul bau pada kedua hidung. pasien berobat ke RS Fatmawati oleh
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
dokter THT terdapat benjolan dibelakang hidung, pasien kemudian dilakukan ct-scan nasofaring, biopsi hidung dan
didapatkan hasil tumor nasofaring. ± 1 ½ bulan yang lalu, pasien mengeluh benjolan dileher kanan diikuti leher sebelah kiri
awalnya sebesar kelereng, semakin lama semakin membesar sampai sebesar telur ayam, konsistensi dirasakan keras, nyeri
tekan (-) nyeri sekitar benjolan (-) keluar nanah dari benjolan (-). ± 1 bulan yang lalu, pasien mengeluh suara menjadi
bindeng, bicara tetap jelas.± 2 minggu yang lalu, pasien mengeluh sakit kepala berdenyut di sisi sebelah kanan, VAS 3, tidak
menjalar, durasi ± 2-3 menit, hilang tanpa pengobatan, tidak memberat dengan batuk dan mengedan. frekuensi 2x/hari.
Pasien berobat ke dokter saraf diberikan obat (?). keluhan membaik dalam 1 minggu terakhir sakit kepala sudah tidak
dirasakan dan tidak semakin memberat. Bicara cadel (+) sejak lahir. Gangguan penglihatan (-) penglihatan dobel (-)
gangguan pendengaran (-) pingsan (-) kejang (-) pusing berputar (-) muntah proyektil (-) kelemahan anggota gerak satu sisi
(-) baal anggota gerak satu sisi (-) mulut mencong (-),tersedak saat makan dan minum (-) gangguan BAB dan BAK (-).
Riwayat penyakit klien terdahulu : HT (-) DM (-) Asma (-) stroke (-) penyakit jantung (-) keganasan (-) alergi obat dan
makanan (-).Riwayat kesehatan keluarga klien: Riwayat HT (+) ibu pasien, DM (+) kakak pasien, tumor (-). Riwayat pribadi
dan sosial klien : Pasien adalah seorang laki-laki berusia 43 tahun, pendidikan terakhir S1, saat ini bekerja sebagai
wiraswasta, merokok (+) berhenti 2 bulan yang lalu, tidak minum alkohol. makan mie instan (-) ikan asin (-).
2.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : gangguan rasa nyaman :nyeri, ketidakefektifan jalan
nafas, gangguan sensori persepsi: penghidungan, resiko cidera.
3.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas di ruang poli NO:
melukakukan pemeriksaan TTV, membantu dan mengikuti pelaksanaan pemeriksaan fisik , neuro dan NO oleh dokter,
melakukan pemeriksaan visus, melakukan pemeriksaan saraf olfaktorius, menguji penciuman klien, memeriksaan
kemampuan bicara (bindeng), kemampuan menelan dan fungsi terkait nervus IX dan X, meneteskan tetes mata
cendomydiratil untuk melebarkan pupil, ikut melakukan pemeriksaan funduskopi, mengobservasi hasil pemeriksaan
penunjang pada klien, memberikan KIE pada klien mengenai penciman yang menurun, kemampuan menelan yang menurun
dll.
4.Evaluasi
Kesimpulan hasil NO klien adalah :Anosmia dekstra, paresis N. IX, X sinistra, Sefalgia sekunder, limfadenopati bilateral ec.
KNF belum infiltrasi basis kranii dan intrakranial
RESUME KASUS KE-16
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Ny. S. P, No RM: 352-41-28, Umur : 57 Tahun, alamat: tangerang, Diagnosa Medik: HNP servical
post laminektomi. ;2 tahun SMRS pasien mengeluh baal disertai kesemutan dikedua tungkai bawah tangan dan kaki
dirasakan semakin melemah hingga sulit berjalan. Pasien sulit BAB. Untuk BAB harus menggunakan obat-obatan. Pasien
berobat ke RSUP lalu dirujuk ke RSCM. Klien mempunyai riwayat gula namun tidak terkontrol. Tidak mempunyai riwayat
hipertensi maupun penyakit jantung. Klien tidak pernah trauma, jatuh maupun kecelakaan dan operasi sebelumnya.
2.Pengkajian
Pengkajian Adapatasi fisiologi: Oksigenasi : Tidak ada: sesak, batuk dan nyeri dada. Tidak ada riwayat hipertensi. Dari hasil
pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 130/80 mmHg, nadi :78 x/m, RR: 18 x/m, suhu: 36
C.Nutrisi :Tidak ada pembatasan makan. Tidak ada mual, muntah dan anoreksia. Tidak ada gangguan mengunyah. Makan 3
x/hr jenis diet nasi. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Eliminasi:Terpasang kateter, BAB sudah selama
10 hari masih belum bisa dengan bising usus 3-5 x/m. pemakaian pencahar. urin output: 600cc/24 jam. Tidak ada distensi
blader. Aktivitas /Istirahat:Ada kelemahan pada ekstremitas bawah kakan dan kiri. Klien tergolong parsial care. Berpakaian
serta Toileting dibantu oleh keluarga termasuk dengan pemasangan alat. Sedangkan makan dan minum bisa dilakukan
sendiri. Tidak ada gangguan tidur. Proteksi:Tidak ada riwayat alergi. Kulit terlihat kering terutama di telapak kaki. Kuku
panjang dan ada yang terlepas sehingga membuat luka di pollicis kaki kanan.Sensasi: Tidak ada gangguan pada pancaindera.
Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Pasien mengeluhkaan pusing (nyeri kepala sebelah) skala 3-4
(sedang) yang dipakai duduk dan diberi massage dengan minyak aromaterapi hangat membaik. Ekspresi wajah:
proporsional. Bicara lancar. Tidak ada pelo, afasia dan disartria.Cairan elektrolit:Minum oral. terpasang IV line. IUFD Ns
0,9 % 500 cc/24 jam.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3
mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130,
brunzinky (-).Parese nervus kranial dalam batas normal. Penurun tonus dan kekuatan otot. KO: 5555
5555/5544
4444. Endokrin:observasi gula darah klien. Pembelian humulin R 8 u 3xhr. GDS terakhir: 142 (19/5/2012 jam 11.00 WIB)
Adaptasi konsep diri
Fisik diri: Ada perubahan pada fisik klien terutama pada kaki klien yang keduanya sekarang sulit untuk digerakkan.
Personal diri : Selama di RS klien tidak bisa menjalankan kegiatan ibadahnya. Klien hanya bisa berdoa dan dzikir dalam
hati agar diberikan kesembuhan dan kedua kainya bisa berjalan seperti sediakala. Fungsi peran : Klien tidak bisa bekerja
seperti biasa. Dan hanya mampu berbaring diatas tempat tidur dengan semua kebutuhan sehari-harinya dibantu oleh orang
lain. Interdepensi: Klien menikah dan tinggal dengan suami dan satu anaknya yang sudah dewasa. Klien paling dekat
dengan suami. Selama sakit klien selalu dijaga oleh suaminya.
Pengkajian stimulus:Stimulus fokal: Parese dikedua kakinya. Stimulus kontekstual: Riwayat DM. Stimulus residual:
Klien belum tahu perawatan mobilisasi pada klien dengan parese. Klien dan keluarga belum paham bagaimana mengontrol
gula darah.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : gangguan mobilitas fisik b.d kelemahan
neuromuskuloskletal, gangguan pemenuhan ADL b.d kelemahan muskoskletal. Gangguan eliminasi bowel: kostipasi
berhubungan dengan kelemahan neurogenik. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan gula
darah.
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : mengkaji kemmapuan
neuromuskuloskeletal, memberikan mobilisasi, memberikan latihan ROM, memberikan edukasi latihan rom pada klien dan
keluarga, mengkaji efek immobilisasi pada klien trutama infeksi nosokomila dan integumen klien, mengkaji dukungan
keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, radiologi, melibatkan keluarga dalam
perawatan klien, memberikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, memberikan supprot sistem,
membantu pemenuhan ADL klien, mengkaji psikologi klien terutama terkait ketergantungan pada orang lain dan parese pada
kedua kakinya, mengkaji kemampuan eliminasi klien. Mengobservasi intake nutrisi klien, memberikan mobilisasi dan
exercise bertahap dalam batas toleransi, memberikan edukasi pentingnya nutrisi dan mobilisasi dalam eliminasi klien,
mengobservasi kemampuan eliminasi klien, mengambil GDS secara rutin tiap 4 jam, menjelaskan dan meberikan edukasi
cara mengontrol gula termasuk dalam pengaturan nutrisi, melalkukan perawatan kaki dari kallus, memberikan posisi head up
30-40 dan melakukan perawatan cervical collar, memberikan yal supp pemberian humulun R, kolaborasi: medikasi
:ceftriaxon 1 x 25 mg, m.cobal 2x40, farmadol 3x15 mg, metilprednisolon 4 x125, omz 1 x 40. Diet MC 90 cc/jam
5.Evaluasi
S: klien mengatakan tungkainya sudah lebih jarang kesemutan dan sering digerakkan seperti yang sdh diajarkan O: TD
:120/80mmHg, n: 80x/m, s:36,2 rr::18x/m, TO masih sama, rom diberikan, footdrop (-), ulkus (-), eduakasi dan informasi
sdh diberikan A: masalah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: klien rencana pulang dan rawat jalan
RESUME KASUS KE-18
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn M, No RM: 371-57-75, Umur : 32 Tahun, Pekerjaan: wiraswasta, Diagnosa Medik: METB,
Diagnosa Keperawatan: resiko penyebaran infeksi, perubahan perfusi jaringan serebri,gangguan mobilitas fisik 1,5 bulan
SMRS pasien mulai sulit berjalan. Awalnya ketika berjalan harus berpegangan tangan . saat itu keluhan lain disangkal. 1
bulan SMRS pasien tidak bisa berjalan sendiri. Pasien mulai merangkak dan bicara menjadi kacau. Pasien berobat ke rs
siloamdikatakan demam tipes dan diberikan antibiotik namun tidak ada perbaikan.Demam (+) hilang timbul. Tidak terlalu
tinggi. Klien juga mengalami sakit kepala berdenyut di kedua sisi namun tidak sampai mengganggu aktivitas.5 hari SMRS
pasien mulai terdapat gangguan perilaku . pasien mulai BAK sembarangan dan sering tidak mengenakan pakaian.Oleh IPD
pasien didiagnosa epilepsi sejak 1945. sebelumnya pasien terlibat tawuran dan dipukul di kepalanya. Sejak awal minum
fenitoin 3 x 100 mg. Sejak april 2012 dinaikan menjadi 100-200-200.
2.Pengkajian
Pengkajian fisiologi:Oksigenasi: Saat dilakukan pengkajian tidak ada: batuk, sesak napas dan nyeri dada. Dari hasil
pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 110/80 mmHg, nadi :78 x/m, RR: 19 x/m, suhu: 36,7 C.
Hasil pemeriksaan diagnostik : EKG: normal sinus ritme , radiologi: paru dalam batas normal. Nutrisi: Tidak terdapat
gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet bubur cair dan susu. Terpasang NGT.Membran mukosa lembab. Konjungtiva
tidak pucat. Hb: 12,3. Eliminasi: Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak
ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin output: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba
scibala.Aktivitas /Istirahat:Terdapat klelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong total care. Berpakaian, makan dan minum
dilakukan dengan dibantu dan dilakukan sebagian besar di kamar mandi akibat penurunan penglihatan dan kemampuan
motorik. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit tida
intak ada luka decubitus derajat 2 dibagian lumboskaral dengand iamter 10-15 cm, suhu kulit hangat. Leukosit dbn
(14,63).Sensasi:Terdapat gangguan pada pancaindera, terutama pada indera penglihatan dimana terjadi : pangangan dobel
dan kabur, ptosisi (+). Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala).
Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 10002000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi
terhadap cahaya langsung dan tidak langsung +/+. Ptosis (+). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70,
kernig >130/>130, brunzinky (-). Parese nervus kranial pada N VII, IX,X dan XII. Reflek fisiologi dalam batas normal dan
tidak ada reflek patologis.Tonus otot : CT scan : tidak terlihat adanya lesi fokal dalam jaringan otak, pelebaran dari sinus
cavernosus kanan terkesan ada anomali vaskuler di daerah ini yang dapat menekan pada saraf pergerakaan bola mataKeluhan
: pandangan dobel, mata kabur,gangguan menelan, mudah lelah kalau menggerakkan tangan dan kaki .EndokrinTidak ada
riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 166 (tinggi).
Adaptasi konsep diri:Fisik diri: Ada perubahan pada diri klien dimana kedua tangan dan kaki klien lemas dan sukar untuk
digerakkan.Personal diri:Selama di RS klien terlihat tidak pernah menjalankan kegiatan ibadah.Fungsi peran:Selama sakit
klien tidak bisa menjalankanaktivitas seperti biasanya. Klien hanya terbaring diatas tempat tidur dengan kedua tangan dan
kakinya direstrain dengan tujuan agar klien tidak melukai diri dan orang lain.Interdepensi:Terlihat hampir tidak ada keluarga
yang menjenguk sehingga pengkajian interdepensi tidak bisa dilakukan.Pengkajian stimulusKontak dengan klien belum
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
adekuat. Masih berusaha menjalin komunikasi terapetik. Adanya perubahan pada kognisi klien dan ada rencana untuk konsul
rawat gabung dengan pihak psikiatri. Dari keluarga terlihat tidak ada yang menemani selama perawatan sehingga informasi
lebih lanjut tidak bisa dicari.
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : resiko penyebaran infeksi, perubahan perfusi
jaringan serebri,gangguan mobilitas fisik.gangguan integritas kulit
4. Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status
neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, memberikan ROM, mikamiki dalam batas
toleransi, kolab dengan fisioterapi memberikan ROM dan chest exercise, melakukan perawatn luka decubitus,. memonitor
hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Sca, MRI dll., membantu pemenuhan ADL klien, kolaborasi: terapi ROM,
medikasi : dexa 5 mg 2x1 , diazepam 10 mg b/p 1x1, rifampisin 450 mg 1x1 po, inh 300 mg 1x1 po, ethambutol 500 mg 1
x2 po, depakene syr 4x1, clobazam 10 mg 2x1 curcuma 200 mg 3x1 po, B6 10 mg 3x1, OMZ 40 mg iv.
5.Evaluasi
S: kontak dengan klien tidak adekuat, O: klien terlihat suka tersenyum sendiri, TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m,
NGT (+), kateter dc (+). A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: konsul psikiatri , lanjutkan terapi.
RESUME KASUS KE-18
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn C, No RM: 369-66-45, Umur : 22 Tahun, Pekerjaan: mahasiswa dan karyawan, Diagnosa Medik:
miastenia gravis. 2 bulan SMRS klien mengeluh penglihatan dobel sewaktu bangun tidur pagi dan agak lemah seluruh tubuh.
Pasien berobat ke dokter mata dan dikatakan mata koien normal. Pasien juga mengeluh kelemahan seluruh tubuh , semakin
memberat di tiap harinya hingga berjalan hanya kuat dalam jarak 5 meter. Pasien dirawat di RSSiloam dan diberi Mestinon,
selama perawatan keluahan klien berkurang dan klien kembali bisa melihat dan berjalan, sehingga klien ditegakkan diagnosa
miastenia gravis. Pasien diberi obat rawat jalan mestinon dengan dosis: 3 tablet tiap hari. Setelah 3 minggu klien kembali
mengalami sesak napas dan hilang timbul.1,5 bulan SMRS kedua mata klien makin lama makin tidak bisa dibuka dan terasa
kelopak mata main menurun. Sangat lemas dan terasa lelah untuk menggerakkan kedua kelopak mata. Kedua tangan dan
kaki klien juga mulai lemas dan lelah untuk digerakkan.1 minggu SMRS klien berobat ke poli RSCM dan mendapat terapi
mestinon dengan dosis 5x/hari.4 jam SMRS klien mulai sulit menelan, kedua tangan dan kakinya sulit digerakkan dan klien
mengeluh sesak nafas. Pandangan dobel dan kabur. Kedua kelopak mata tidak buka dibuka. Mestinon tetap dikonsumsi oleh
klien.
2.Pengkajian
Pengkajian fisiologisOksigenasi: Saat dilakukan pengkajian tidak ada: batuk dan nyeri dada. Saat MRS klien mengalami
sesak napas. Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20
x/m, suhu: 36,3 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : EKG: normal sinus ritme , radiologi: paru dalam batas
normal.Nutrisi:Terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet bubur cair dan susu. Membran mukosa lembab.
Konjungtiva tidak pucat. Hb: 12,3. TB: 176 cm. BB: 48 kg: Eliminasi: Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr.
Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi
blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Terdapat klelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong total care.
Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu dan dilakukan sebagian besar di kamar mandi akibat penurunan
penglihatan dan kemampuan motorik. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien
tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (10,63).Sensasi:Terdapat gangguan pada pancaindera,
terutama pada indera penglihatan dimana terjadi : pangangan dobel dan kabur, ptosisi (+). Sensasi (raba, suhu, nmyeri,
tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala). Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan elektrolit:
Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 1000-2000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan
GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya langsung dan tidak langsung +/+. Ptosis
(+). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Parese nervus kranial
pada N III, VII, IX,X dan XII. Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid. CT scan
: tidak terlihat adanya lesi fokal dalam jaringan otak, pelebaran dari sinus cavernosus kanan terkesan ada anomali vaskuler di
daerah ini yang dapat menekan pada saraf pergerakaan bola mata. Keluhan : pandangan dobel, mata kabur,gangguan
menelan, mudah lelah kalau menggerakkan tangan dan kaki . Endokrin:Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi
dan polifagi. Gula darah : 126 (dbn).
Adaptasi konsep diri: Fisik diri: Ada perubahan pada diri klien dimana kedua kelopak mata klien selalu menutup dan sulit
untuk dibuka, kedua tangan dan kaki klien lemas dan sukar untuk digerakkan. Kondisi ini membuat klien tidak nyaman dan
malu. Namun klien yakin akan secepatnya sembuh. Dan mengganggap perubahan tersebut hanya sementara dan yakin akan
kembali ke kondisi awal. Personal diri:Selama di RS klien rajin untuk sholat diatas tempat tidur. Kalau ada masalah klien
lebih suka diskusi dengan ibuk dan adiknya.Fungsi peran:Selama sakit klien tidak bisa menjalankan aktivitas seperti
biasanya. Padahal klien masih harus kuliah dan bekerja sebagai karyawan telkom.Interdepensi:Klien tinggal dengan adik dan
kedua orang tuanya. Klien paling dekat dengan ibuknya. Setiap hari ibuk , adik dan ayahnya bergantian menemani di RS.
Keluarga sanagt mendukung agar klien secepatnya sembuh.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal, residual dan kontekstual ; Klien mengalami miastenia gravis. Kelemahan pada nervus
kranial 3,7,9,10.Muncul defisit neurologi berupa: gangguan penglihatan : ptosis (+), pandangan dobel dan kabur, klien
mengluh sulit dan lelah menggerakan bola mata. Serta kelemahan pada ekstremitas terutama pada kiri baik tangan dan kaki
kesan parese ekstremitas kiri.
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan
kelemahan otot-otot ekstremitas, perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan komponen darah, kurang
pengetahuan tentang proses penyakit berhungan dengan kurang informasi.
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status
neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, memberikan ROM, miamiki dalam batas
toleransi, kolab dengan fisioterapi memberika ROM dan chest exercise, mengkaji fungsi menelan dan pengkliatan klien,
membantu melatih kemampuan menelan klien, melakukan perawatan pada mahokar klien dengan ganti balutan dan spooling,
mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil plasmafersesi 4 kali dan membantu klien
mempersipakan palsmaferesisi yang ke 5. memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Sca, MRI dll., membantu
pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memebrikan edukasi pada klien dan keluarga terkait
perawatan klien, kolaborasi: terapi ROM, medikasi : mestinon 6x1, prednison 3-3-2, inpepsa syr 10 cc 2 x1, OMZ 40 mg iv,
b complex 2 mg 3x1 po, as folat 50 mg 1x1 po, collacept 500 mg 2x1 po.
5.Evaluasi
S: klien mengatakan setelah plasma yang je 5 kemampuan menelan, membuka mata dan mengggerakkan tangan dan kaki
membaik, O: palsmafersis ke-5 (+), TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, disfagia (-), ptosis berkurang, pandangan
dobel (+), peningkatan kekuatan otot pada tangn dan kaki. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: perawatan
mahokar, evalauasi lebih lanjut hasil plasma 5 kali pada neurotransmitter klien, rencana pelepasan mahokar, rencana pulang
dan discharge planning.
RESUME KASUS KE-19
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn M, No RM: 3716300, Umur : 28 Tahun, Pekerjaan: karyawan, Diagnosa Medik: METB, Masalah
Keperawatan: resiko gangguan nutrisi dan resiko penyebaran infeksi. 1 Minggu SMRS pasien mulai terlihat bicara tidak
nyambung. 2 minggu SMRS klien mengelu sakit kepala berdenyut hilang timbul, mual (-) muntah (-). Tidak diperberat
dengan batuk dan mengejan. Skala sedang dan tidak memberat di pagi hari. Selain itu klien juga mengalami demam hilang
timbul , tidak terlalu tinggi namun klien tidak tahu berapa suhunya karena memang tidak diukur.6 jam SMRS klien semakin
mengalami demam dan nyeri kepala yang diiukuti kondisi seperti mengatuk. Akhirnya oleh keluarga klien dibawa ke IGD
RSCM tanggal 5/9/2012 dengan kondisi: penurunan kesadara, demam: suhu (38,5 C), keluhan nyeri kepala sedang, batuk
(+), sesak (-), bicara pelo (-), kelemahan otot tubuh (-), mulut mencong (-). Tanggal 6/9/2012 klien MRS di gedung A RSCM
lantai V ruang 516 C dengan diagnosa medis penurunan kesadaran suspek METB, TB paru dalam pengobatan terapi TB,
candidiasis oral, susp imunocomprise, riwayat stress ulcer.
2.Pengkajian
Pengkajian fisiologis: Oksigenasi: Saat dilakukan pengkajian tidak ada: batuk dan nyeri dada.. Dari hasil pemeriksaan
diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 110/78 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 18 x/m, suhu: 36,3 C. Hasil
pemeriksaan diagnostik : EKG: normal sinus ritme , radiologi: paru dalam batas normal.Nutrisi:Terdapat gangguan
mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet bubur cair dan susu. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb: 12,3.
TB: 165 cm. BB: 45 kg: kesan penurunan berat badan, terdapat candiadiasis oral Eliminasi: Tidak terpasang kateter, BAK
spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin outpu: 500-700cc/24
jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien
tergolong total care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu dan dilakukan sebagian besar di kamar mandi
akibat penurunan penglihatan dan kemampuan motorik. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun
trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (33,8).Sensasi:Tidak gangguan pada
pancaindera, terutama pada indera penglihatan dimana terjadi : pangangan dobel dan kabur, ptosisi (+). Sensasi (raba, suhu,
nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala). Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan
elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 1000-2000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis
dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya langsung dan tidak langsung
+/+. Ptosis (-). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).kesan Parese
nervus kranial (-). Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid. CT scan : tidak
terlihat adanya lesi. Pemeriksaan diagnostik yang lain: Hepatitis marker (12/92012):non reaktif, Mikrobiologi: Hasil : BTA
(-). Imunoserologi (8/9/2012) Anti HIV,Wester blot (-) (-) Kesimpulan HIV (-), Telah dilakukan PCR terhadap HSV herpes
simplex virus (12/9/2012). Kesimpulan : PCR HSV (-). Analisis cairan tubuh (12/9/2012) M. Tuberculosa PCR (+)
Mikrobiologi (18/5/2012) Hasil : BTA (-)
Adaptasi konsep diri: Fisik diri: tidak ada perubahan pada diri klien secara fisik yang terlihat oleh mata namun ada proses
infeksi di otak sebagai akibat dari METB. Kondisi ini membuat klien dan keluarga sedikit banyak khawatir namun mereka
yakin akan sembuh dan beraktivitas seperti sedai kala. Karena saat ini klien sudah tidak merasakan keluhan berarti seperti
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
sebelumnya seperti : nyeri kepala, demamam dan penurunan kesadaran. Klien mendpaat terapi OAT dlaam jangka waktu
lama yang membutuhkan waktu, tenaga, motivasi dan disiplin dalam pelaksanaan terapinya.
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal, residual dan kontekstual ; Klien mengalami METB. Keluarga mendukung
penyembuhan klien, tidak ada riwayat penyakit sebelumnya. Klien dan keluarga belum mengetahui pelaksanaan terapi OAT.
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : resiko gangguan nutrisi, resiko penyebaran infeksi,
kurang pengetahuan tentang proses penyakit berhungan dengan kurang informasi.
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : menejemen nutrisi:
menejemen pengendalian infeksi dan edukasi terstruktur terutama mengenai pengobatan OAT,
5.Evaluasi
S: klien mengatakan sudah tidak pusing, O: nyeri kepala (-), kesadran compos mentis : 15, TD :120/80mmHg, n: 80x/m,
s:36 rr:20x/m, demam (-) parese (-), gangguan nervus kranium (-). A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi:
peningkatan imun, edukasi.
RESUME KASUS KE-20
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn Mj, No RM: 3716683, Umur : 38 Tahun, Pekerjaan: sopir, Diagnosa Medik: METB, 5 bulan SMRS
pasien mulai sakit kepala. Dirasakan berdenyut dikepala bagian kanan hilang timbul dan tidak memberat di pagi hari, tidak
memberat dengan batuk dan mengedan, sakit kepala dirasakan semakin memberat dan disertai dengan muntah > 3x/hr.
Tubuh pasien terasa lemas. Keluhan lain (-). Pasien berobat ke dokter. Diberikan obat penghilang rasa sakit setelah itu
dirasakan sakit kepala berkurang. Demam (-), batuk (-) sesak (-).2 bulan SMRS pasien mulai mengeluhkan gangguan
padangan mata kanan. Awalnya buram seperti nampak kabur yang makin lama makin berat keluhan makin dirasakan di mata
kiri. Mulai mengalami bicara pelo dan mulut mencing ke kanan, kelemhana sisi sebelah tubuh tidak dirasakan. Tidak ada
mual dan muntah serta demam.1,5 bulan SMRS klien mulai tersedak sulit bila minum dan makan klien berobat ke rs
setempat. Pasien tidak di CT scan. 7 hari SMRS pasien mulai nampak tertidur pasien masih bias berkomunikasi namun
kembali tidur.
2.Pengkajian
Pengkajian fisiologi:Oksigenasi:batuk (+) dan nyeri dada.. Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut:
tekanan darah : 120/78 mmHg, nadi :78 x/m, RR: 22 x/m, suhu: 36,5 C. Terpasang o2 3 lt /m melalui nasal kanul, Rh -/-, wh
-/-.Nutrisi:Terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet cair dan susu. Membran mukosa lembab. Konjungtiva
tidak pucat. Hb: 13,3. Terpasang NT di hidung sebelah kanan. Eliminasi: Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB
1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 5-7 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak
ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong
parsial care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu dan dilakukan sebagian besar di kamar mandi akibat
penurunan penglihatan dan kemampuan motorik. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun
trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (19).Sensasi:terdapat gangguan pada
pancaindera, terutama pada indera pendengaran. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan
pusing (nyeri kepala). Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake
cairan PO 1000-2000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3
mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya langsung dan tidak langsung +/+. Ptosis (-). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk
(-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).kesan Parese nervus kranial III, IX dan X. Reflek fisiologi dalam batas
normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid. Pemeriksaan radiologi:infiltrat di lapang paru atas dan bawah paru
kanan. Imunoserologi: anti HIV penyaring: non reaktif. Ct scan: ensefalitis dengan multiple absen serebri pada lobus frontal
kanan, parietal kiri dan oksipital kanan disertai herniasi subtalamus sinusitis maksilaris kiri.
Adaptasi konsep diri: Fisik diri: tidak ada perubahan pada diri klien secara fisik yang terlihat oleh mata namun ada proses
infeksi di otak sebagai akibat dari METB. Kondisi ini membuat klien dan keluarga sedikit banyak khawatir namun mereka
yakin akan sembuh dan beraktivitas seperti sedai kala. Karena saat ini klien sudah tidak merasakan keluhan berarti seperti
sebelumnya seperti : nyeri kepala, demamam dan penurunan kesadaran. Klien mendpaat terapi OAT dlaam jangka waktu
lama yang membutuhkan waktu, tenaga, motivasi dan disiplin dalam pelaksanaan terapinya.
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal, residual dan kontekstual ; Klien mengalami METB. Keluarga mendukung
penyembuhan klien, tidak ada riwayat penyakit sebelumnya. Klien dan keluarga belum mengetahui pelaksanaan terapi OAT.
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : ketidakefektifan bersihan jalan napas, perubahan
sensori persepsi: pendengaran, resiko penyebaran infeksi, ganguan menelan.
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : menejemen nutrisi:
menejemen pengendalian infeksi dan edukasi terstruktur terutama mengenai pengobatan OAT,
5.. Evaluasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
S: klien mengatakan sudah tidak sesak lagi, O: nyeri kepala (-)sesak (-), kesadran compos mentis : 15, TD :120/80mmHg, n:
80x/m, s:36 rr:20x/m, demam (-) parese (-), gangguan nervus kranium III, VI, IX, X. A: maslah teratasi sebagian. P:
Lanjutkan intervensi: peningkatan imun, edukasi.
RESUME KASUS KE-21
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Ny Y, No RM: 3705883, Umur : 32 Tahun, Pekerjaan: IRT, Diagnosa Medik: Proptosis ec
Meningioma. Penonjolan mata kiri sejak 2 tahun sebelum masuk RS semakin menonjol sejak 6 bulan yang lalu. Sejak 5
bulan yang lalu klien merasa pandangan mata kiri buram . 1 bulan SMRS mata kiri tidak bisa melihat bayangan. Pasien
berobat ke dokter mata dan direncanakan enukleasi dan ekstirpasi tumor.Pasien MRS 2/10/2012 dan dioperasi pada tanggal
8/10/2012. Craniotomy +enukleasi+eksterpasi tumor. Pengkajian dilakukan pada post op hari pertama (10/10/2012). Pasien
berada di HCU 1 hari.
2.Pengkajian
Pengkajian fisiologis: Oksigenasi:batuk (-) dan nyeri dada.. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai berikut:
tekanan darah : 120/78 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36,5 C. EKG: sinus rytme.Nutrisi:Tidak terdapat gangguan
mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi dan susu. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb: 12,3. Tidak
terpasang NGT . Eliminasi: Terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare
dan konstipasi. BU: 5-7 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas
/Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan
dengan dibantu , eliminasi dilakukan sebagian besar di kamar mandi dengan dibantu akibat penurunan penglihatan. Tidak
ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit
hangat. Leukosit dbn (19).Sensasi:terdapat gangguan pada pancaindera, terutama pada indera penglihatan. Sensasi (raba,
suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala). Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan
elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 1000-2000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis
dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Visus 1/ . Ptosis (-). Tidak ada rangsang meningeal.
Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).kesan Parese nervus kranial II, III, IV dan VI. Reflek
fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid.
Adaptasi konsep diri: Fisik diri: adanya perubahan pada bentuk fisik klien yaitu penonjolan bola mata sebelah kanan,
penurunan penglihatan mata kiri. Adanya bekas op (craniotomi) pada kepala
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal, residual dan kontekstual ; klien mengalami post op cranitomy sebagai tindakan koreksi
terhadapa protosisi pada mata kanan sebagai akibat dari meningioma. Proptosisi klien sebagai akibat dari desak ruang TIO
dari dampak meningioma. Klien dan keluarga belum mendapat informasi menganai perawtan post op.
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : perubahan sensori persepsi: penglihatan, gangguan
rasa nyaman nyeri, resiko cidera..
4. Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : menejemen pencegahan
trauma, rawat luka, perawatan mata, menejemen kenyamanan. kolaborasi: terapi IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jam,Ketorolak
3x30 mg po, Ranitidn 2x150 mg po
5. Evaluasi
S: klien mengatakan setelah op matanya terasa tidak sakit lagi, O: nyeri kepala (-),sesak (-), kesadran compos mentis : 15,
TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, post op craniotomi hari ke, mual (-), muntah (-), gangguan nervus kranium
II,III,IV dan VI. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: rencanan pulang, discharge planning.
RESUME PASIEN MINGGU KE-22
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Ny R, No RM: 3576187, Umur : 42 Tahun, Pekerjaan: Guru Diagnosa Medik: Proptosis ec
Meningioma.Penonjolan mata kiri sejak 5 tahun sebelum masuk RS semakin menonjol sejak 1bulan yang lalu. Sejak 6 bulan
yang lalu klien merasa pandangan mata kiri buram . 1 bulan SMRS mata kiri tidak bisa melihat bayangan. Pasien berobat ke
poli mata RSCM dan direncanakan enukleasi dan ekstirpasi tumor.Pasien MRS 1/10/2012 dan dioperasi pada tanggal
3/10/2012. Craniotomy +enukleasi+eksterpasi tumor. Pengkajian dilakukan pada post op hari ketujuh (10/10/2012). Pasien
berada di HCU 2 hari. Hasil DSA 2/10/2012: Telah dilakukan DSA melalui arteri carotis interna dan eksterna. Right carotis
komunis tidak tampak stenosis. RICA tampak blushing pada tumor dari cabang duramter a optalmica. RECA tampak
blushing pada tumor dengan feeder dari cabang ant a meningea media dan cabang sphenopalatina a maxillaris , left carotis
communis. LICA, LECA dalam batas normal. Dilakukan embolisme pada RECA cab a meningea media dan cabang
sphenopalatina hasil : oklusi total (PCA : 500). Saran: operasi removal dalam 3 hari.\
3.Pengkajian
Pengkajian fisiologi: Oksigenasi:batuk (-) dan nyeri dada.. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai berikut:
tekanan darah : 120/78 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36,5 C. EKG: sinus rytme.Nutrisi:Tidak terdapat gangguan
mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi dan susu. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb: 11. Tidak
terpasang NGT . Eliminasi: Terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare
dan konstipasi. BU: 5-7 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
/Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan
dengan dibantu , eliminasi dilakukan sebagian besar di kamar mandi dengan dibantu akibat penurunan penglihatan. Tidak
ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit
hangat. Leukosit dbn (23).Sensasi:terdapat gangguan pada pancaindera, terutama pada indera penglihatan. Sensasi (raba,
suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala). Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan
elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 1000-2000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis
dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Visus 1/ . Ptosis (-). Tidak ada rangsang meningeal.
Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).kesan Parese nervus kranial II, III, IV dan VI. Reflek
fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid.
Adaptasi konsep diri: Fisik diri: adanya perubahan pada bentuk fisik klien yaitu penonjolan bola mata sebelah kanan,
penurunan penglihatan mata kiri. Adanya bekas op (craniotomi) pada kepala
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal, residual dan kontekstual ; klien mengalami post op cranitomy sebagai tindakan koreksi
terhadapa protosisi pada mata kanan sebagai akibat dari meningioma. Proptosisi klien sebagai akibat dari desak ruang TIO
dari dampak meningioma. Klien dan keluarga belum mendapat informasi menganai perawtan post op.
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : perubahan sensori persepsi: penglihatan, gangguan
rasa nyaman nyeri, resiko cidera.
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : menejemen pencegahan
trauma, rawat luka, perawatan mata, menejemen kenyamanan. kolaborasi: terapi IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jamFosmisin
2x1,Ketorolak 3x3, Ranitidn 3x5, Dilantin 3 x 1.
5.Evaluasi
S: klien mengatakan setelah op matanya terasa tidak sakit lagi, O: nyeri kepala ()sesak (-), kesadran compos mentis : 15, TD
:120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, post op craniotomi hari ke, mual (-), muntah (-), gangguan nervus kranium II,III,IV
dan VI. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: rencanan pulang, discharge planning.
RESUME KASUS KE-23
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Ny H, No RM: 3717092, Umur : 67 Tahun, Pekerjaan: PNS. Diagnosa Medik: SOL intrakranial,
Gangguan daya ingat dan perilaku sejak 1 tahun SMRS.3 taun SMRS klien sering marah tanpa penyebab yang jelas.
Perubahan perilaku hanya berlaku seseaklai tanpa sebab yang jelas namun setelah itu hilang dengan sendirinya.1 thn SMRS
mengeluh sering lupa. 3 bulan SMRS klien mengeluh sering BAK bolak balik. 3 minggu SMRS klien nyeri kepala hilang
timbul. 2 hari SMRS klein mengalami penurunan penciuman di kedua hidung.Pasien MRS 3/10/2012 dan dioperasi pada
tanggal 5/10/2012. Craniotomy removal tumor. Pengkajian dilakukan pada post op hari ketiga (8/10/2012). Pasien berada di
HCU 1 hari.
2.Pengkajian
Pengkajian perilaku: mode Adapatasi fisiologi: Oksigenasi:batuk (-) dan nyeri dada.. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV
klien sebagai berikut: tekanan darah : 120/78 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36,5 C. EKG: sinus
rytme.Nutrisi:Tidak terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi dan susu. Membran mukosa lembab.
Konjungtiva tidak pucat. Hb: 12. Tidak terpasang NGT . Eliminasi: Terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak
ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 5-7 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi
blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care.
Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu , eliminasi dilakukan sebagian besar di kamar mandi dengan
dibantu akibat penurunan penglihatan. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien
tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (20).Sensasi:terdapat gangguan pada pancaindera, terutama
pada indera penglihatan. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala).
Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 10002000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Visus
1/ . Ptosis (-). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).kesan Parese
nervus kranial I, traktur olfaktorius. Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid.
Adaptasi konsep diri:Fisik diri: adanya perubahan pada indera penciuman klien dimana klien tidak dapat mencium bau.
Adanya bekas op (craniotomi) pada kepala
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal, residual dan kontekstual ; klien mengalami post op cranitomy sebagai tindakan koreksi
SOL klien. Klien dan keluarga belum mendapat informasi menganai perawtan post op.
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : perubahan sensori persepsi: penciuman, gangguan
rasa nyaman nyeri, resiko cidera.
4.Implementasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : menejemen pencegahan
trauma, rawat luka, perawatan mata, menejemen kenyamanan.
5. Evaluasi
S: klien mengatakan setelah op hidungnya mulai bisa mencium bau, O: nyeri kepala (+), skala ringan. Skala 3. sesak (-),
kesadran compos mentis : 15, TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, post op craniotomi hari ke, mual (-), muntah (-),
gangguan nervus kranium I. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: rencanan pulang, discharge planning.
RESUME KASUS KE-24
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn A, No RM: 3716229, Umur : 52 Tahun, Pekerjaan: pemulung. Diagnosa Medik: Stroke hemoragik
thalalmus 22 cc,Tidak diketahui keluarga (OT). Kelemahan sisi kiri mendadak sejak 3 hari SMRS. Keluhan nyeri kepala 3
hari SMRS di kepala sebelah kanan. 1 hari SMRS klien muntah 3 kali didahului mual. Pasien sudah tidak makan 2 hari .
demam (-). Klien ditemukan tergelekat di jalan proklamasi dengan penurunan kesadaran tanpa identistas dengan kesadaran
yang semakin menurun. Klien mRS tanggal 9/9.2012 masuk IGD RSCM dengan diantar teman sesama pemulung tanpa ada
identitas dan keluarga. Kesdaran menurun dengan kelemahan pada ekstremitas. Saat ini dilakukan pengkajian pada masa
rawat inap pada bulan kedua.
2.Pengkajian
Pengkajian fisiologis: Oksigenasi:batuk (-), sesak (-), nyeri dada (-). Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai
berikut: tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36,5 C. EKG: sinus rytme. Riwayat hipertensi grade
II yang tidak terkontrol. Nutrisi:Tidak terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi dan susu. Membran
mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb: 12. Tidak terpasang NGT . Eliminasi: Terpasang kateter. BAB 1x/hr. Tidak
ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 5-7 x/m. urin outpu: 500-900cc/24 jam. Tidak ada distensi
blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: kelemahan pada ekstremitas kanan. Klien tergolong total care.
Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu , eliminasi dilakukan sebagian besar di atas tempat tidur dengan
dibantu akibat gangguan mobilitas fisik. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien
tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (20).Sensasi:terdapat gangguan pada pancaindera, terutama
pada indera penglihatan. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala).
Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 10002000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Visus
1/ . Ptosis (-). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).kesan Parese
nervus kranial (-). Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid. Adaptasi konsep
diri:Fisik diri: adanya perubahan pada mobilitas klien dimana klien tidak dapat mencium bau. Adanya bekas op (craniotomi)
pada kepala
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : gangguan mobilitas fisik, gangguan pememnuhan
ADL.
4. Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : menejemen moblitas: mika,
miki, duduk dan berdiri, fisioterapi. (ROM) Menejemen pemenuhan ADL: membantu pemenuhan makan dan minum,
membantu emmandikan klien, memastikan patensi pemasangan kateter, membantu berpakaian dan eliminasi.
5. Evaluasi
S: klien klien mngetakan tangan dan kaki kanan lebih emmbaik sekarang, klien mengatakan pengen pulang tapi ke panti
jompo saja, O: parese ektremitas kanan, kateter DC (+), TTV: TD 120/80, N:80, RR:18 x/m. S: 36 C. A: masalah teratasi
sebagian. P: Lanjutkan intervensi: rencanan pulang, discharge planning.
RESUME KASUS KE-25
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn T, No RM: 3714480, Umur : 54 Tahun, Pekerjaan: PNS, Diagnosa Medik: SOL IC, Klien
mengalami penurunan kesadaran sejak 1 bulan SMRS. Pasien rujukan dari RSPU sulianti dengan keterangan tumor IC.
Sejak 1 bulan SMRS pasien mengalami penurunan kesadaran sulit dibangunkan dan bicara tidak nyambung. Klien dirujuk di
RSCM masuk IGD tanggal 6/9/2012 dengan diagnosa medik :SOL, mengalami muntah dan kesadaran menurun. Kemudian
klien MRS di lantai V gedung A ruang 516. Dilakukan pemeriksaan fisik pada masa rawat inap klien pada bulan ke 2 MRS.
Saat ini klien sudah dinyatakan DNR (do not resiusitation). Kesadaran menurun, stupor. Kelemahan ekstremitas kanan dan
kiri.
2.Pengkajian
Pengkajian fisiologis:Oksigenasi : sesak (+), serangan gagal nafas 2 kali dalam 1 minggu, terpsang oksimetri. Sa 02 :98,
batuk dan akumulasi dahak terpasang NGT di hidung, dan sunkup non rebreathing 8 l/m. Ada riwayat merokook dan
hipertensi grade II. Dalam merokok, klien menghabiskan 1 bungkus dalam 2 hari. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
klien sebagai berikut: tekanan darah : 140/90 mmHg, nadi :91 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36,8 C. Hasil pemeriksaan diagnostik
: EKG: prolonged QT , radiologi: kardiomegali dengan IVH, paru dalam batas normal. Nutrisi:Makan 3 x/hr jenis diet cair.
Membran mukosa lembab. Konjungtiva pucat. Hb:(10). BB: 78 kg, TB: 176 cm. Ikterik (-)Eliminasi :terpasang kateter
kondom. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin output: 500-700cc/24
jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong
totl care. Berpakaian, makan dan minum dibantu orang lain. Toileting dibantu oleh keluarga dilakukan diatas TT. Proteksi
:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuhakibat penurunan kesadaran. Kulit intak, suhu kulit
hangat. Leukosit dbn (8,6). Sensasi: Tidak ada gangguan pada pancaindera. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas
normal. Ada keluhan pusing (nyeri kepala) skala 5-6 (sedang). Ekspresi wajah: menceng kekanan dengan perilaku bicara
pelo.Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam. Hipertensi grade II dengan pengobatan captopril 2x 12,5
mg PO. Neurologi: Kesadaran stupor dengan GCS: E1M1Vafasia. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi
terhadap cahaya +/+.Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Parese
nervus kranial pada N VII dan N XIIReflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis, footdrop (+), atrofi
(+)
Adaptasi konsep diri: Fisik diri: Ada perubahan pada diri klien dimana kesdaran menurun dan muka masih menceng ke
kanan. Parese ekstremitas.Personal diri :klien sering didengarkan murrotal ditelinganya .Fungsi peran: Selama sakit klien
tidak bisa bekerja. Padahal klien adalah kepala keluarga. Dengan 2 anakan yang masih sekolah.Interdepensi :Klien menikah
dan tinggal dengan istri dan kedua anaknya yang beranjak demasih SMP dan SD. Klien paling dekat dengan istrinya. Setiap
hari istrinya menemani di RS dan anaknya secara bergantian menjenguk. Keluarga sangat mendukung agar klien secepatnya
sembuh.
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: Terjadi SOL. Muncul defisit neurologi berupa: parese nervus VII dan XII berupa
muka menceng ke kanan dan bicara pelo. Gula darah yang tinggi. Penurunan kesdaran, akumulasi dahak. Batuk dan sesak.
Parese kestremitas.Stimulus kontekstual: Riwayat hipertensi grade II tidak terkontrol. Stimulus residual: Klien belum tahu
dampak dari merokok. Klien belum tahu menejemen stree. Klien belum tahu pengontrolan hipertensi dan perawatan (gaya
hidup) pasien post DM dan SOL. Keluarga perlu mendapat paliative care dan perawatan pasien terminal karena sudah
ditegakkan kondisi DNR.
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut :Perubahan perfusi jaringan serebri berhubungan
dengan interuosi aliran darah ke otak, Resiko hambatan komunikasi verbal berhubuungan dengan gangguan pada SSP
sekunder terhadap gangguan sirkulasi ke otak, kurang pengetahuan tentang proses penyakit berhungan dengan kurang
informasi. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler. Penurunan keasadaran, resiko berduka
pada keluarga.
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neuroli,
kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, melakukan pemeriksaan ABI, membantu memberikan
mobilisasi duduk, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengurangi nyeri dengan memberika teknik distraksi
relaksasi : relaksasi benson, mengkaji kemampuan bicara, menulis klien, mengkaji penyebab ketidakmampuan komunikasi
pada klien, memfasilitasi alat bantu komunikasi terutama komunikasi non verbal, mengkaji dukungan keluarga dalam
perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan, MRI dll., membantu pemenuhan ADL klien,
melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memebrikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, kolaborasi:
terapi okupasi wicara, medikasi : simvastati 1x10 mg, ascardia: 1x80, B6B12AF, citicolin 2x 500 mg iv, captopril 2x120, pct
k/p.pemantauan oksimetri dan kemungkinan serangan ulang gagal nafas. Injeksi humulin 3x/hr 9-12-12.
5.Evaluasi
S: klien kontak tidak adekuat, O: tidak ada tanda valsava menuver, TD :140/90mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, pelo dan
menceng pada muka berkurang, tidak ada gangguan menelan. Penurunan kesadaran, stupor. Parese. Batuk (=), sesak (+),
gagal nafas. DNR (+). A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: pemantauan oksimetri, supprot sisitem
RESUME KASUS KE-26
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn Es, No RM: 3724726, Umur : 54 Tahun, Pekerjaan: PNS. Diagnosa Medik: SOL Klien mengatakan
pusing berputar sejak 2 hari SMRS. Sejak 1 bulan yang lalu klien mengeluh pusing berputar membaik dengan menutup
mata. kelemahan tubuh sebelah kanan sejak 2 hari SMRS.
2.Pengkajian
Pengkajian perilaku: mode adaptasi fisiologi: Oksigenasi:batuk (-) dan nyeri dada. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV
klien sebagai berikut: tekanan darah : 120/78 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36,5 C. EKG: sinus
rytme.Nutrisi:Tidak terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi dan susu. Membran mukosa lembab.
Konjungtiva tidak pucat. Hb: 12. Tidak terpasang NGT . Eliminasi: Terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak
ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 5-7 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi
blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care.
Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu , eliminasi dilakukan sebagian besar di kamar mandi dengan
dibantu akibat penurunan penglihatan. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien
tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (20).Sensasi:terdapat gangguan pada pancaindera, terutama
pada indera penglihatan. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. pusing (nyeri kepalaskala sedang).
Ekspresi wajah grimace (-): , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
1000-2000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm.
Visus 1/ . Ptosis (-). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).kesan
Parese nervus kranial I, traktur olfaktorius. Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot :
rigid.
Adaptasi konsep diri Fisik diri: adanya perubahan pada indera penciuman klien dimana klien tidak dapat mencium bau.
Adanya bekas op (craniotomi) pada kepala
Pengkajian stimulus: Stimulus fokal, residual dan kontekstual ; klien mengalami post op cranitomy sebagai tindakan koreksi
SOL klien. Klien dan keluarga belum mendapat informasi menganai perawtan post op.
3. Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : perubahan sensori persepsi: penciuman, gangguan
rasa nyaman nyeri, resiko cidera..
4. Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : menejemen mobilisasi,
menjemen nyeri, menejemen perfusi. kolaborasi: terapi IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jamFosmisin 2x1Ketorolak 3x3. Ranitidn
3x5. Dilantin 3 x 1
5.Evaluasi
S: klien mengatakan setelah op hidungnya mulai bisa mencium bau, O: nyeri kepala (+), skala ringan. Skala 3. sesak (-),
kesadran compos mentis : 15, TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, post op craniotomi hari ke, mual (-), muntah (-),
gangguan nervus kranium I. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: rencanan pulang, discharge planning.
RESUME PASIEN MINGGU KE-28
1. Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn M, No RM: 371-57-75, Umur : 32 Tahun, Pekerjaan: wiraswasta, Diagnosa Medik: epilepsi on
OAE, post skin graft defek regio sacrum ec UD gr III. 1,5 bulan SMRS pasien mulai sulit berjalan. Awalnya ketika berjalan
harus berpegangan tangan . saat itu keluhan lain disangkal. 1 bulan SMRS pasien tidak bisa berjalan sendiri. Pasien mulai
merangkak dan bicara menjadi kacau. Pasien berobat ke rs siloamdikatakan demam tipes dan diberikan antibiotik namun
tidak ada perbaikan.Demam (+) hilang timbul. Tidak terlalu tinggi. Klien juga mengalami sakit kepala berdenyut di kedua
sisi namun tidak sampai mengganggu aktivitas.5 hari SMRS pasien mulai terdapat gangguan perilaku . pasien mulai BAK
sembarangan dan sering tidak mengenakan pakaian.Oleh IPD pasien didiagnosa epilepsi sejak 1945. sebelumnya pasien
terlibat tawuran dan dipukul di kepalanya. Sejak awal minum fenitoin 3 x 100 mg. Sejak april 2012 dinaikan menjadi 100200-200.Setelah MRS 1 bulan dengan terapi OAT ternyata lumbal punksi klien normal kemudian terapi diberikan OAE.
Kesadaran klien membaik, namun klien terlihat regresi dan ada kesan ganguan fungsi luhur. Fungsi motorik klien membaik.
Klien dilakukan debridement untuk tutup defek UD disacrum gr III.
2.Pengkajian
Pengkajian fisiologis: Oksigenasi: Saat dilakukan pengkajian tidak ada: batuk, sesak napas dan nyeri dada. Dari hasil
pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 110/80 mmHg, nadi :78 x/m, RR: 19 x/m, suhu: 36,7 C.
Hasil pemeriksaan diagnostik : EKG: normal sinus ritme , radiologi: paru dalam batas normal. Nutrisi: Tidak terdapat
gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet bubur cair dan susu. Terpasang NGT.Membran mukosa lembab. Konjungtiva
tidak pucat. Hb: 12,3. Eliminasi: Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak
ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba
scibala.Aktivitas /Istirahat:Terdapat klelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong total care. Berpakaian, makan dan minum
dilakukan dengan dibantu dan dilakukan sebagian besar di kamar mandi akibat penurunan penglihatan dan kemampuan
motorik. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit tida
intak ada luka decubitus derajat 2 dibagian lumboskaral dengand iamter 10-15 cm, suhu kulit hangat. Leukosit dbn
(14,63).Sensasi:Terdapat gangguan pada pancaindera, terutama pada indera penglihatan dimana terjadi : pangangan dobel
dan kabur, ptosisi (+). Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala).
Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 10002000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi
terhadap cahaya langsung dan tidak langsung +/+. Ptosis (+). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70,
kernig >130/>130, brunzinky (-). Parese nervus kranial pada N VII, IX,X dan XII. Reflek fisiologi dalam batas normal dan
tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid CT scan : tidak terlihat adanya lesi fokal dalam jaringan otak, pelebaran dari
sinus cavernosus kanan terkesan ada anomali vaskuler di daerah ini yang dapat menekan pada saraf pergerakaan bola
mataKeluhan : pandangan dobel, mata kabur,gangguan menelan, mudah lelah kalau menggerakkan tangan dan kaki
.EndokrinTidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 166 (tinggi).
Adaptasi konsep diri: Fisik diri: Ada perubahan pada diri klien dimana kedua tangan dan kaki klien lemas dan sukar untuk
digerakkan.Personal diri:Selama di RS klien terlihat tidak pernah menjalankan kegiatan ibadah.Fungsi peran:Selama sakit
klien tidak bisa menjalankan aktivitas seperti biasanya. Klien hanya terbaring diatas tempat tidur dengan kedua tangan dan
kakinya direstrain dengan tujuan agar klien tidak melukai diri dan orang lain.Interdepensi:Terlihat hampir tidak ada keluarga
yang menjenguk sehingga pengkajian interdepensi tidak bisa dilakukan.
Pengkajian stimulus: Kontak dengan klien belum adekuat. Masih berusaha menjalin komunikasi terapetik. Adanya
perubahan pada kognisi klien dan ada rencana untuk konsul rawat gabung dengan pihak psikiatri. Dari keluarga terlihat tidak
ada yang menemani selama perawatan sehingga informasi lebih lanjut tidak bisa dicari.
3.Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : gangguan integritas kulit, resiko cidera
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
4.Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status
neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, memberikan ROM, mikamiki dalam batas
toleransi, kolab dengan fisioterapi memberikan ROM dan chest exercise, melakukan perawatn luka decubitus,. memonitor
hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Sca, MRI dll., membantu pemenuhan ADL klien, kolaborasi: terapi ROM,
medikasi : topamax 2x250 mg po, clobazam 10 mg 2x1 curcuma 200 mg 3x1 po, B6 10 mg 3x1, OMZ 40 mg iv. Af 1x1
5.Evaluasi
S: klien mengeluh nyeri dan panan di punggung bawah bekas debridemnet , O: kesadran CM. E4M6V gangguan fs luhur.
TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, NGT (+), kateter kondom (+). UD: regio sacrum gr IV dilakukan operasi skin
garft pada tanggal 17/10/2012. Saat ini post op hari kedua. Rembesan (+). Terpasang drain 40 cc. A: maslah teratasi
sebagian. P: Lanjutkan intervensi: mobilisasi tengkurap dan miring. Mika miki, bed anti decub, diet renah sisa.
RESUME KASUS KE-29
1. Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn Y, No RM: 350-38-82, Umur : 56Tahun, Pekerjaan: PNS, Diagnosa Medik: : Stroke Hemoragik,
hipertensi, diabetes mellitus II,Sekitar 5 hari sebelum MRS setelah bangun tidur jam 05.00 tiba-tiba klien mengeluhkan
kepalanya pusing, tidak lama kemudian tangan dan kakinya sulit digerakan dan mukanya menjadi menceng kekiri.
Kemudian ketika klien memanggil istrinya dengan suara terbata-bata. Ketika ditanyai oleh istrinya suara klien sulit sudah
tidak jelas (pelo). Kemudian klien minum obat (paramek) yang dibelikan istrinya di toko namun kondisi klien semakin
pusing dengan tangan dan kaki yang semakin lemas.Akhirnya sekitar jam 08.00 WIB klien masuk ke UGD poliklinik RSCM
dan disarankan MRS. Dalam perjalanan klien sempat muntah setelah itu klien cenderung menutup matanya dan mulai sulit
untuk diajak komunikasi oleh keluarga. Beberapa kali klien sempat menggiggau. Saat ini klien berada di lantai V gedung A
RSCM dengan diagnosa Stroke hemoragik dengan keluhan utamnya adalah pusing. Palliative/provokative : nyeri (pusing)
bertambah bila dipakai mengejan atau banyak bergerak (memiringkan tubuh), nyeri berkurang bila dipakai tiduran tanpa
banyak bergerak dengan posisi tidur (supine) dengan satu bantalQuality/qunatity : nyeri terasa seperti ditekan dengan skala
sedang, Ragio/radiation : nyeri terasa di kening dang belakang kepala serta leher belakang. Saverity/scale : nyeri berat
dengan skala 6-7. Timing : nyeri hilang timbul utamanya saat malam.Tanda Vital saat masuk : TD : 180/100 mmHg Suhu :
36,6 0C. Nafas:20 x/menit, Nadi 68 x/menit. Klien mempunyai riwayat penyakit diabetes mellitus sejak 10 tahun yang lalu
dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol dengan rata-rata kadar gula darah tertinggi: 200-300 mg/dl. Klien juga
mempunyai riwayat hipertensi dengan tekanan darah tertinggi 150-200/90-100 mmHG. Klien tidak mempunyai riwayat
penyakit pernapasan, cardio, alergi. Klien juga belum pernah operasi. Tidak pernah mengalami kecelakaan. Klien tidak
mempunyai riwayat alergi baik makanan, minuman maupun obat.Klien pernah MRS di RS Pasar rebo dengan diagnosa
diabetes dan hipertensi sekitar 1 tahun yang lalu selama 10 hari. Setelah keluar klien jarang kontrol baik itu memeriksan gula
darahnya maupun tekanan darahnya. Klien biasa mendapatkan terapi captopril 2 X 1 tablet (dosis tidak diketahui).
Sedangkan untuk penyakit diabetesnya klien biasa suntik bila ada gangguan saja ke puskesmas dekat rumahnya
2.Pengkajian
Pengkajian fisiologisAdapatasi fisiologiRespirasi : Inspeksi :Bentuk hidung simeteris, Tidak ada deviasi septum, Tidak
ditemukan adanya sekret, Tidakada pernapasan cuping hidung, Tidak terlihat sesak, Tidak ada penggunaan otot bantu napas,
Tidak ada retraksi IC atau suprasternal, Pergerakan dinding dada simetris, Tidak ada tanda trauma atau jejas di hidung dan
wajah, Tidak terpasang selang O2, kepatenan jalan nafas sama kuat hembusannya, mukosa hidung lembab dan bersih, tidak
terdapat secret, tidak ada sianosis pada bibir Palpasi :Tidak ada nyeri tekan pada dada , Tidak teraba massa abnormal di leher
dan dada, Taktil fremitus normal,RR : 20 x / menitAuskultasi :Suara napas vesikuler, Tidak ada bunyi paru tambahan
sepertifriction rub, stridor, wheezing dll, Tidak ada batukPerkusi :Batas paru normal. suara perkusi paru resonanSirkulasi
Inspeksi :Tidak ada tanda cianosis, Membran mukosa lembab, Tidak ada jejas pada dada atau thoraks. Konjungtiva merah
muda. Tidak terdapat clubbing finger Palpasi :CRT < 2 detik.Turgor baik. Nadi : 68 x / menitnadi teraba kuat dan reguler.
pada bagian perifer ekstrimitas atas dan bawah teraba hangatApeks cordis di ICS IV MCS. JVP 5+2 cm.Suhu : 36,6
CAuskultasi :Bunyi jantung I dan II tunggal. tidak ada murmur/gallop TD = 180/100 mmHg. Fokal fremitus normalPerkusi
:Batas jantung normal : batas kanan jantung linea mid sternalis dan batas kiri jantung linea midclavikularis. Getaran dinding
paru kiri dan kanan sama kuatTerdengar dullness pada semua area jantung Nutrisi: istri klien mengatakan bahwa
suaminyanya makan 3 x/hari, namun tidak pernah dihabiskan, bahkan makanya maksimal hanya 3 sendok dari makanan
yang disajikan di RS. Jenis diet klien lunak. Klien mengaku tidak menyukai makanan yang lembek. Buah yang diberikan ke
klien hanya dimakan separoh. Klien mengeluh mual namun tidak muntah. Klien tidak mengalami kesulitan menelan
(disfagia). NGT (-). klien minum sekitar 1000 cc/24 jam. Klien mendapat IUFD RL : D5 = 2:2/24 jam. BB klien saat ini
tidak bisa diukur karena klien belum bisa turun dari tempat tidur karen masih pusing. sklera tidak ikterik, warna bibir merah
muda. conjunctiva tampak merah muda. Pada daerah mulut tidak ditemukan adanya kandidiasis. Tidak ada gigi yang tanggal
atau caries. tidak ditemukan adanya lesi pada daerah mulut, fungsi mengunyah pada mulut bagian kanan dan kiri berfungsi
dengan baik. lidah klien kotor dan barwarna putih, Abdomen datar, tidak terdapat asites dan distensi abdomen, bising usus 8
x/menit ireguler, pada saat perkusi terdengar bunyi timpani pada semua kuadran, tidak teraba pembesaran hati dan limpa,
tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada semua kuadran abdomen, pada anus tidak terdapat hemoroid.Eliminasi Bowel :
Pada saat dikaji klien mengatakan BAB 2 hari sekali. Klein mendapatkan laktulak 2x1 CI. Bising usus : 8 x/m. klien tidak
menjalani kemoterapi. Selama MRS klien kurang mobilisasi dan intake nutrisi juga kurang.Bladder : Terpasang foley katater
dengan produksi 600 cc/24 jam. Warna kuning.proteinuria (-), glukosuria (-).Aktivitas dan Istirahat: Klien terlihat hanya
berbaring ditempat tidur. Selama sakit klien menjadi terbiasa tidur siang sekitar 2 jam dan tidur malam sekitar 6-7 jam.
Namun klien sering bangun dari tidur malam karena kehausan karena menurutnya suhu di kamarnya panas. Klien sering
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
bangun dari tidur dengan kondisi yang tidak segar. Klien mengatakan sukar tidur malam dengan pulas selain karena panas
juga karena kamarnya bising oleh suara pasien di sebelahnya.Selama di RS semua activitiy daily live klien dibantu oleh
orang lain seperti berpakaian, membersihkan tubuh termasuk makan dan minum harus disuapin.ProteksiKuku tangan dan
kaki klien tampak bersih. Rambut klien agak kotor dan berbau. Mulut klien bersih tidak ada tanda candidiasis. Terlihat ada
sedikit daki di tangan dan kaki. Klien tidak mengalami demam. Klien mengalami penyakit stroke dan mengalami hemiparese
sinistra terutama di bagian ekstremitas bawah. Klien dalam kondisi bed rest total. Dari kondisi bed rest dan hemiparese
kemampuan proteksi klien menurun. Bed rest menyebabkan imunologi klien menurun terutama kondisi integumen klien
akan beresiko menglami ulkus. Hemiparese menyebabkan klien mengalami keterbatasan dalam beraktifitas dan dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu kemampuan proteksi fisik klien menurun. Klien saat ini membutuhkan
bantuan proteksi dari keluarga dan petugas kesehatan.SensoriPenglihatan: klien mengatakan sejak mempunyai penyakit
diabetes (10 tahun yang lalu) visus penglihatan klien menurun sehingga dia harus memakai kacamata minus. Saat ini klien
mengeluhkan kedua matanya sering kabur meski sudah memakai kacamata.Pendengaran: pendengaran klien menurun
sehingga petugas kesehatan atau keluarga harus berbicara dengan suara yang agak keras. Klien mengaku pendengaranya
menurun sejak serangan stroke kemaren tanggal 2 /5/2011.Penciuman: tidak ada keluhan. Lidah tidak kotor, saat digerakan
lidah tertarik ke sebelah kanan, nyeri (-). Gigi masih utuh, penyakit gusi (-), Caries (-). Integumen : turgor kulit baik, klien
kaki sebelah kiri mati rasa, kaki kanan sering kesemutan. rambut klien bersih, distribusi merata, kulit klien bersih, tidak
terdapat lesi ataupun kemerahan pada permukaan kulit klien, kulit klien teraba hangat, suhu tubuh 36,60 C. Cairan dan
ElektrolitKlien minum air putih 1000 cc/hari.terpasasang IUFD RL 20 tetes /menit. Turgor kulit baik,Shiffting dullness (),ascites (-), pitting edema (-).Tidak tampak ada oedema baik pada palpebra dan daerah ekstremitas atas maupun bawah,
tidak tampak pembesaran ginjal, tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada ginjal dan tidak teraba pembesaran ginjal, tidak
terdapat adanya nyeri ketuk pada saat perkusi ginjal pada daerah Costa Vertebral Angel, tidak terdapat distensi kandung
kemih dan tidak terdapat nyeri tekan maupun lepas pada kandung kemih, klien terpasang dower kateter yang terpasang sejak
tanggal 2 Mei 2011. Produksi uri 600 cc/24 jam. Warna kuning. Tidak terdapat tanda-tanda kekurangan atau kelebihan
volume cairan tubuh. Turgor kulit baik,Shiffting dullness (-),ascites (-), pitting edema di kaki (-). Berdasarkan hasil
pemeriksaan elektrolit darah tanggal 5 Mei 2011, natrium darah normal (128 meq/L), clorida dbn (3,92 meq/L) kalium juga
dalam batas normal (100,2 meeq/L).Fungsi NeuromuskuloskeletalTingkat kesadaran Tingkat kesadaran klien compos mentis
dengan nilai GCS E4 M6 V5Refleks pupil terhadap cahaya: baik. Fungsi EndokrinRiwayat Diabetes tipe II sejka 10 tahun
yang lalu dengan gula darah yang tidak terkontrol.Polidipsi (-) Polifagi (-), poliuri (-). Gula darah terakhir pada pemeriksaan
GDS stick : 170.
Model Adaptasi Konsep Diri:Klien bisa menerima kondisinya yang MRS lagi namun klien masih kaget bila saat ini dia
mengalami stroke apalagi kondisinya sekarang mengalami penuruna pendengaran, penglihatan dengan kaki kirinya yang
sulit untuk digerakkan, sehingga semua kebutuhan sehari-harinya selama di rawat di RS harus dibantu oleh orang lain.
Padahal klien sebelumnya adalah orang yang mandiri dengan ebban kerja tinggi di kantornya. Klien juga mengatakan cemas
dengan kondisi penyakitnya akan mengganggu pekerjaanya, klien takut dipecat dari pekerjaanya karena klien adalah tulang
punggung utama, istri klien adalah ibu rumah tangga dengan kedua anak yang masih sekolah di SMA dan SMP dengan biaya
pendidikan yang masih banyak. Klien juga kasihna pada istrinya apabila harus menjaganya terus di RS, klien juga cemas
dengan kedua anaknya yang tinggal dirumah dengan hany di jaga oleh neneknya. Klien ingin cepat sembuh dan pulang
kerumah, kembali bekerja seperti dulu.
Model Fungsi PeranSebelum sakit klien bekerja sebagai pegawai negeri sipil di dinas sosial di jakarta di bagian tata usaha.
Setiap hari klien mempunyai bebna kerja yang tinggi dan sibuk. Berangkat pagi sampai dengan sore. Klien bekerja selam 5
hari dalam seminggu. Namun sekarang klien hanya bisa terbaring diatas tempat tidurnya dengan semua ADL yang dibantu
oleh istri dan petugas kesehatan. Klien mengeluh sangat bosan terbaring terus diatas tempat tidur.
Model Adaptasi InterdependenKeluarga klien mendukung kesembuhan klien. Anaknya sering menjenguk di RS. Temankerja
klien juga beberapa kali terlihat membesuk klien. Semua biaya pengobatans klien menggunakan dana askes.Klien
mengatakan kasihan dengan istrinya karena selama MRS semua kebutuhanya harus dibantu oleh istrinya, namun dia juga
bahagia karena istrinya termasuk wanita yang sabar dan banyak membantunya selama MRS ini.
Pengkajian stimulus:Stimulus Fokal: Klien mengatakan kepalanya pusing, bicaranya pelo, mukanya masing menceng ke
kanan, kaki kirinya masih sulit digerakkan. Klien mengalami hemiparese sehingga mobilitas klien sangat terbatas.Stimulus
Kontekstual:Karena mobilitas klien terhambat maka klien hany bisa bed rest total sehingga semua pemenuhan kebutuhan
dasarnya harus dibantu oleh orang lain. Dari kondisi bed rest total Klien juga beresiko menglami penurunan imunologi
apalagi intake nutrisi klien yang tidak adekuat. Klien rentang mengalami infeksi nosokomial. Selain itu kondisi rendahnya
mobility juga bisa membuat klien mengalami gangguan integumen seperti ulkus decubitus atapun masalah sekunder pada
muskuloskeletenya seperti atrofi maupun footdrop.Stimulus Residual:Pengetahuan klien tentang kesehatan belum cukup
baik, apalagi dengan penyakitnya,terutama mengenai menjemen diet dan terapi untuk diabetes dan hipertensinya. Klien juga
tidak mempunyai pengetahuan dan motivasi yang besar untuk melakukan ROM apalagi kondisinya yang immobilitas akibat
hemiparese.
3.Diagnosa keperawatan
Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah arteri/vena di otak, Gangguan mobilitas fisik
berhubungan dengan Kerusakan neuromuskuloskeletal : hemiparese sekunder terhadap stroke hemoragik, Gangguan
pemenuhan ADL (activity daily life) berhubungan dengan Gangguan mobilitas fisik
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
4. Implementasi
Meningkatkan dan mendukung sirkulasi serebral:Untuk meningkatkan sirkulasi serebral, intervensi keperawatan mandiri
yang dilakukan bisa berupa tindakan observasi pada status neurologi klien, mencatat setiap perubahan yang terjadi, monitor
tanda tanda vital, Evaluasi pupil (ukuran bentuk kesamaan dan reaksi terhadap cahaya), kepala dielevasikan pada posisi
netral, mempertahankan tirah baring, menciptakan sediakan lingkungan yang tenang dan mengatur kunjungan sesuai
indikasi. Selain tindakan keperawatan mandiri, dilakukan juga tindakan kolaboratif dengan pemberian obat-obatan serta
memonitor atau menganalisis nilai lab klien.Mobilisasi: Pada klien Tn Y tindakan keperawatan yang dilakukan untuk
menejemen mobilisasinya daitaranya : mengkaji kemampuan fungsional/luasnya kerusakan awal dari sistem muskuloskeletal
klien, mengubah posisi minimal tiap 2 jam (telentang, mika-miki)melakukan latihan rentang gerak aktif/pasif pada semua
ekstremitas bertahap dalam batas tolerasni dengan memperhatikan respon klien,Melibatkan keluarga, berikan motivasi pada
klien dan keluarga untuk meningkatkan kemandirian dam mobilisasi.Beberapa rencana dan tindakan keperawatan untuk
mengatasi masalah keperawatan ini dilakukan dengan membantu dan memastikan bahwa semua kebutuhan dasar klien
terpenuhi dengan optimal, meningkatakna kemandirian klien dan keluarga sesuai kemampuan, kemauan dan pengetahuan
klien dan keluarga.
5. Evaluasi
Tonus dan kekuatan otoot klien meningkat meskipun peningkatanyapun masih dalam batas belum normal, Tekanan darah
dan TTV yang lain dalam batas normal meskipun belum stabil, Tanda –tanda dari peningkatan tekanan intra kranial semakin
berkurang dengan ditandainya: hilang atau berkurangnya mual dan pusing, pupil isokor, Valsavar amnuver yang dapat
dicegah
RESUME KASUS KE-30
1.Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn U, No RM: 350-38-82, Umur : 51 Tahun, Pekerjaan: PNS, Diagnosa Medik: : Cidera Kepala Ringan
dan Hipertensi. Pasien datang ke RSCM pada tanggal 28 September 2012 jam 10.00 WIB di Unit UGD dengan rujukan dari
klinik Mitra Keluarga Bandar Lampung dengan keluhan luka robek di pelipis kiri, luka lecet dibibir dan tangan kiri. Mata
kiri bengkak. Sekitar 3 sebelum MRS (26 September 2012) pasien mengalami kecelakaan lalu lintas saat mengendarai
sepeda motor. Kecelakaan bermula ketika pasien hendak menghindari jalanan yang berlubang saat berangkat dians ke
kantor, tiba-tiba motor menjadi oleng dan akhirnya menabarak mobil dari arah yang berlawanan. Saat kecelakaan pasien
menurut saksi mata klien terjatuh dari sepeda motor , helm yang dipakai lepas dan kepalanya terbentur jalan raya. Klien
sempat pingsan kemudian dibangunkan warga sekitar namun setelah sadar hanya 10 menit klien kembali tidak sadarkan diri.
Kemudia oleh warga sekitar klien dibawa ke klinik mitra keluarga. Ketika di RS ketika ditanya posisi saat jatuh klien
mengatakan sudah lupa. Saat kecelakaan klien mengeluh mual namun tidak muntah. Sampai di klinik mitra keluarga klien
sadar tetapi kepalanya sangat pusing, tidak ada rhionrea dan ottorea namun dengan kondisi hipertensi (TD: 180/110 mmHg).
Klien dirawat di klinik mitra keluarga selama 3 hari namun karena kondisi klien yang semakin menurun dan tekanan darah
yang cenderung tetap tinggi akhirnya keluarga meminta agar klien dirujuk ke RSCM.Saat ini klien berada di lantai V gedung
unit neuro RSCM dengan diagnosa CKR dan Hipertensi dengan keluhan utamnya adalah pusing. Palliative/provokative :
nyeri (pusing) bertambah bila dipakai mengejan atau banyak bergerak (memiringkan tubuh), nyeri berkurang bila dipakai
tiduran tanpa banyak bergerak dengan posisi tidur (supine) dengan satu bantal. Quality/qunatity : nyeri terasa seperti ditekan
dengan skala sedang. Ragio/radiation : nyeri terasa di kening dang belakang kepala serta leher belakang. Saverity/scale :
nyeri berat dengan skala 6-7. Timing : nyeri hilang timbul utamanya saat malam.Tanda Vital saat masuk : TD : 180/110
Nafas:20 x/menit, Nadi 78 x/menit.Klien mempunyai kebiasaan merokok. Dalam sehari bisa
mmHg Suhu : 36,6 0C
menghabikan sekitar 4-5 bungkus rokok.Klien juga mempunyai riwayat hipertensi dengan tekanan darah tertinggi 150200/90-100 mmHg. Klien tidak mempunyai riwayat penyakit pernapasan, cardio, endokrin, alergi dll. Klien tidak
mempunyai riwayat alergi baik makanan, minuman maupun obat. Klien juga belum pernah operasi. Klien sering mengalami
kecelakaan lalu lintas ringan. Klien terjatuh dan terbentur ringan kepalanya pada tiang saat itu akhirnya diketahui bahwa
klien mempunyai hipertensi. Setelah keluar klien jarang kontrol memeriksan tekanan darahnya. Klien biasa mendapatkan
terapi captopril 2 X 1 tablet (dosis tidak diketahui).
2.Pengkajian
Pengkajian fisiologis:Adapatasi fisiologiRespirasi : Inspeksi :Bentuk hidung simeteris, Tidak ada deviasi septum, Tidak
ditemukan adanya sekret, Tidakada pernapasan cuping hidung, Tidak terlihat sesak, Tidak ada penggunaan otot bantu napas,
Tidak ada retraksi IC atau suprasternal, Pergerakan dinding dada simetris, Tidak ada tanda trauma atau jejas di hidung dan
wajah, Tidak terpasang selang O2, kepatenan jalan nafas sama kuat hembusannya, mukosa hidung lembab dan bersih, tidak
terdapat secret, tidak ada sianosis pada bibir Palpasi :Tidak ada nyeri tekan pada dada , Tidak teraba massa abnormal di leher
dan dada, Taktil fremitus normal,RR : 20 x / menit Auskultasi :Suara napas vesikuler, Tidak ada bunyi paru tambahan
sepertifriction rub, stridor, wheezing dll, Tidak ada batuk Perkusi :Batas paru normal. suara perkusi paru resonanSirkulasi
Inspeksi :Tidak ada tanda cianosis, Membran mukosa lembab, Tidak ada jejas pada dada atau thoraks. Konjungtiva merah
muda. Tidak terdapat clubbing finger Palpasi :CRT < 2 detik.Turgor baik. Nadi : 68 x / menitnadi teraba kuat dan reguler.
pada bagian perifer ekstrimitas atas dan bawah teraba hangatApeks cordis di ICS IV MCS. JVP 5+2 cm.Suhu : 36,6
CAuskultasi :Bunyi jantung I dan II tunggal. tidak ada murmur/gallop TD = 180/100 mmHg. Fokal fremitus normalPerkusi
:Batas jantung normal : batas kanan jantung linea mid sternalis dan batas kiri jantung linea midclavikularis. Getaran dinding
paru kiri dan kanan sama kuatTerdengar dullness pada semua area jantung Nutrisi: istri klien mengatakan bahwa
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
suaminyanya makan 3 x/hari, namun tidak pernah dihabiskan, bahkan makanya maksimal hanya 5-7 sendok dari makanan
yang disajikan di RS. Jenis diet klien nasi. Klien mengaku tidak menyukai menu makanan dari RS. Buah yang diberikan ke
klien hanya dimakan separoh. Klien mengeluh mual namun tidak muntah. Klien tidak mengalami kesulitan menelan
(disfagia). NGT (-). Klien mengatakan tidak nafsu makan karena kepalanya terasa pusing.klien minum sekitar 1000 cc/24
jam. Klien mendapat IUFD RL 20 tetes /menit. BB klien saat ini tidak bisa diukur karena klien belum bisa turun dari tempat
tidur karen masih pusing. sklera tidak ikterik, warna bibir merah muda. conjunctiva tampak merah muda. Pada daerah mulut
tidak ditemukan adanya kandidiasis. Tidak ada gigi yang tanggal atau caries. tidak ditemukan adanya lesi pada daerah mulut,
fungsi mengunyah pada mulut bagian kanan dan kiri berfungsi dengan baik. lidah klien kotor dan barwarna putih, Abdomen
datar, tidak terdapat asites dan distensi abdomen, bising usus 5 x/menit ireguler, pada saat perkusi terdengar bunyi timpani
pada semua kuadran, tidak teraba pembesaran hati dan limpa, tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada semua kuadran
abdomen, pada anus tidak terdapat hemoroid..Eliminasi Bowel : Pada saat dikaji klien mengatakan BAB 2 hari sekali. Klien
mendapatkan laktulak 2x1 CI. Bising usus : 5 x/m. klien tidak menjalani kemoterapi. Selama MRS klien kurang mobilisasi
dan intake nutrisi juga kurang.Bladder : Terpasang foley katater dengan produksi 500-700 cc/24 jam. Warna kuning,
proteinuria (-), glukosuria (-).Aktivitas dan Istirahat: Klien terlihat hanya berbaring ditempat tidur. Selama sakit klien
menjadi terbiasa tidur siang sekitar 2-4 jam dan tidur malam sekitar 6-8 jam. Namun klien sering bangun dari tidur malam
karena kehausan karena menurutnya suhu di kamarnya panas. Klien sering bangun dari tidur dengan kondisi yang tidak
segar. Klien mengatakan sukar tidur malam dengan pulas selain karena panas juga karena kamarnya bising oleh suara pasien
di sebelahnya.Selama di RS semua activitiy daily live klien dibantu oleh orang lain seperti berpakaian, membersihkan tubuh
kecuali untuk makan dan minum klien bisa mandiri. Karena untuk turun ke kamar mandi klien masih belum sanggup akibat
pusing tau nyeri pada kepalanya. Selama MRS klien sering merasa bosan dan tidak bisa menjalankan kesibukanya seperti
biasa.ProteksiKuku tangan dan kaki klien tampak bersih. Rambut klien agak kotor dan berbau. Mulut klien bersih tidak ada
tanda candidiasis. Terlihat ada sedikit daki di tangan dan kaki. Klien tidak mengalami demam. Klien mengalami
pembatasan aktivitas akibat cidera kepala karena masih memebrikan manifestasi nyeri kepala, sehingga untuk mencegah
peningkatan TIK maka klien ahrus bed rest total terlebih dahulu. Dari kondisi bed rest kemampuan proteksi klien menurun.
Bed rest menyebabkan imunologi klien menurun terutama kondisi integumen klien akan beresiko menglami ulkus. Klien
saat ini membutuhkan bantuan proteksi dari keluarga dan petugas kesehatanSensori Penglihatan: klien mengatakan sejak
mempunyai penyakit hipertensi (3 tahun yang lalu) visus penglihatan klien menurun sehingga dia harus memakai kacamata
minus. Saat ini klien mengeluhkan kedua matanya sering kabur meski sudah memakai kacamata.Pendengaran: pendengaran
klien masih dalam batas normal.Penciuman: tidak ada keluhan. Lidah tidak kotor, saat digerakan lidah tertarik ke sebelah
kanan, nyeri (-). Gigi masih utuh, penyakit gusi (-), Caries (-). Integumen : turgor kulit baik, klien kaki sebelah kiri mati
rasa, kaki kanan sering kesemutan. rambut klien bersih, distribusi merata, kulit klien bersih, tidak terdapat lesi ataupun
kemerahan pada permukaan kulit klien, kulit klien teraba hangat, suhu tubuh 36,30. Klien minum air putih 800-1000
cc/hari.terpasasang IUFD RL 20 tetes /menit. Turgor kulit baik, Shiffting dullness (-),ascites (-), pitting edema (-).Tidak
tampak ada oedema baik pada palpebra dan daerah ekstremitas atas maupun bawah, tidak tampak pembesaran ginjal, tidak
terdapat nyeri tekan dan lepas pada ginjal dan tidak teraba pembesaran ginjal, tidak terdapat adanya nyeri ketuk pada saat
perkusi ginjal pada daerah Costa Vertebral Angel, tidak terdapat distensi kandung kemih dan tidak terdapat nyeri tekan
maupun lepas pada kandung kemih, klien terpasang dower kateter yang terpasang sejak tanggal 28 September 2011.
Produksi uri 600-800 cc/24 jam. Warna kuning. Tidak terdapat tanda-tanda kekurangan atau kelebihan volume cairan tubuh.
Turgor kulit baik,Shiffting dullness (-),ascites (-), pitting edema di kaki (-). Berdasarkan hasil pemeriksaan elektrolit darah
tanggal 28 September 2011, natrium darah normal (144 meq/L), clorida dbn (102 meq/L) kalium juga dalam batas normal
(3,1 meeq/L). Fungsi Neuromuskuloskeleta. Fungsi NeurologiTingkat kesadaran Tingkat kesadaran klien compos mentis
dengan nilai GCS E4 M6 V5Refleks pupil terhadap cahaya: baik
Model Adaptasi Konsep Diri
Klien bisa menerima kondisinya yang MRS namun klien sering merasa bosan karena harus selalu diatas tempat tidur tanpa
melakukan kegiatan seperti sediakala. Apalagi hampir semua kebutuhan sehari-harinya selama di rawat di RS harus dibantu
oleh orang lain. Padahal klien sebelumnya adalah orang yang mandiri dengan beban kerja tinggi di kesatuannya. Klien juga
mengatakan cemas dengan kondisi penyakitnya akan mengganggu pekerjaanya, klien takut cidera kepalanya ternyata berat.
Klien semakin cemas saat mengetahu tekanan darhanya belum turun masih pada kondisi hipertensi. Klien juga kasihan pada
istrinya apabila harus menjaganya terus di RS, klien juga cemas dengan kedua anaknya yang tinggal dirumah dengan hanya
di jaga oleh neneknya. Klien ingin cepat sembuh dan pulang kerumah, kembali bekerja seperti dulu.
Model Fungsi Peran
Sebelum sakit klien bekerja sebagai anggota TNI di kesatuan kodim 0411 di bagian Babinsa. Setiap hari klien mempunyai
beban kerja yang tinggi dan sibuk. Berangkat pagi sampai dengan sore. Klien bekerja selam 5 hari dalam seminggu. Sesuai
dengan shift yang diberikan. Klien sering mengajar di SD sampai SMA memberika materi PBB dan latihan upacara.
Seringkali klien harus bekerja diluar shift terutama bila ada kegiatan kemasyarakatan, karena memang tugas utama kesatuan
pasien adalah pengamanan kegiatan sosial kemasyarakatan Namun sekarang klien hanya bisa terbaring diatas tempat
tidurnya dengan semua ADL yang dibantu oleh istri dan petugas kesehatan. Klien mengeluh sangat bosan terbaring terus
diatas tempat tidur dan ingin secepatnya pulang ke kampung halamanya dan kembali bekerja di kesatuanya. Klien merasa
tidak enak dengan teman dan pimpinanya bila terlalu lama izin tidak masuk kerja.Model Adaptasi InterdependenKeluarga
klien mendukung kesembuhan klien. Anaknya sering menjenguk di RS. Temankerja klien juga beberapa kali terlihat
membesuk klien. Klien mengatakan kasihan dengan istrinya karena selama MRS semua kebutuhanya harus dibantu oleh
istrinya, namun dia juga bahagia karena istrinya termasuk wanita yang sabar dan banyak membantunya selama MRS ini.
Klien juga bahagia karena teman2nya secara bergantian menjenguknya di RS termasuk pimpinanya. Temanya datang untuk
membesarkan hati klien untuk tetap sabar dan tenag agar tekanan darahnya bisa kembali normal agar cepat
pulang.pengkajian stimulus:fokal:Klien mengatakan kepalanya pusing. Luka akibat KLL: luka lecet dipelipis kiri, mata kiri
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
(palbera bengkak), punggung tangan kiri lecet ringan. Tekanan darah klien cenderung tinggi. Klien mempunyai riwayat
perokok aktif dengan menghabiskan 3-6 bungkus rokok setiap hari. Stimulus Kontekstual: Karena pembatasan aktivitas
akibat pusing sebagai dampak dari CKR dan hipertensi maka klien hanya bisa bed rest total sehingga semua pemenuhan
kebutuhan dasarnya harus dibantu oleh orang lain. Dari kondisi bed rest total Klien juga beresiko menglami penurunan
imunologi apalagi intake nutrisi klien yang tidak adekuat. Klien rentang mengalami infeksi nosokomial. Selain itu kondisi
rendahnya mobility juga bisa membuat klien mengalami gangguan integumen seperti ulkus decubitus klien juga beresiko
mempunyai masalah psikologi bila terus di kamar tanpa ada akitivitas yang berarti.Stimulus Residual:Pengetahuan klien
tentang kesehatan belum cukup baik, apalagi dengan penyakitnya,terutama mengenai menjemen diet dan terapi untuk
hipertensinya. Klien juga tidak mempunyai pengetahuan dan motivasi yang besar untuk memperbaiki kebaisaan dalam
hidunya terutama pembatasan atau upaya menghilangkan rokok. Klien cenderung tidak suka olahrga khusus untuk
mengontrol tekanan darahnya.
3.Diagnosa keperawatan
Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah arteri/vena di otak,Gangguan pemenuhan ADL
(activity daily life) berhubungan dengan Gangguan mobilitas fisik
3.Implementasi
Rancana perawatan klien didokumentasikan dalam NCP (nursing care pla) sedangkan tindakan keperawatan
didokumentasikan dalam catatan perkembangan. Intervensi utama yang dilakukan pada Tn U adalah :
Meningkatkan dan mendukung sirkulasi serebral
Untuk meningkatkan sirkulasi serebral, intervensi keperawatan mandiri yang dilakukan bisa berupa tindakan observasi pada
status neurologi klien, mencatat setiap perubahan yang terjadi, monitor tanda tanda vital, Evaluasi pupil (ukuran bentuk
kesamaan dan reaksi terhadap cahaya), kepala dielevasikan pada posisi netral, mempertahankan tirah baring, menciptakan
sediakan lingkungan yang tenang dan mengatur kunjungan sesuai indikasi. Selain tindakan keperawatan mandiri, dilakukan
juga tindakan kolaboratif dengan pemberian obat-obatan serta memonitor atau menganalisis nilai lab klien.
Pemenuhan ADL
Beberapa rencana dan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah keperawatan ini dilakukan dengan membantu dan
memastikan bahwa semua kebutuhan dasar klien terpenuhi dengan optimal, meningkatkan kemandirian klien dan keluarga
sesuai kemampuan, kemauan dan pengetahuan klien dan keluarga.
5. Evaluasi
Tekanan darah dan TTV yang lain dalam batas normal meskipun belum stabil, Tanda –tanda dari peningkatan tekanan intra
kranial semakin berkurang dengan ditandainya: hilang atau berkurangnya mual dan pusing, pupil isokor, Valsavar amnuver
yang dapat dicegah, ADL klien yang mulai bisa mandiri dilakukan seperti pelepasan (off) kateter, amkan dan berpakaian
sendiri dll, Edukasi terstruktur terutama tengtang mobilisasi telah diberikan dan klien serta keluarga mau serta mampu
menerapkanya
RESUME KASUS KE-31
1.Data Demografi
Nama (Inisial)
: Tn Af, No RM: 376-32-03, Umur : 49 Tahun, Pekerjaan: Pedagang, Diagnosa Medik: : Cidera Kepala
.Pasien mengendarai montor tanpa helm dengan kecepatan 40 km/j. Klien tergelincir dan terjatuh dengan kepala pada sisi
kiri menghantam aspal. Pasien langsung terbangun. Tidak pingsan. Klien mampu mengingat semua kejadian. Klien dibawa
ke RS terdekat. Otorea(-). Rhinorea (-). Muntah (-). Sakit kepala (+). Skala: 5. Riwayat minum alkohol namun tidka sampai
mabuk. Kemudia klien dirujuk ke RSCM dan MRS pada tanggal 16 Agustus 2012 dengand iagnosa CKR.
2.Pengkajian
Pengkajian fisiologis:Adapatasi fisiologi:Respirasi : Inspeksi :Bentuk hidung simeteris, Tidak ada deviasi septum, Tidak
ditemukan adanya sekret, Tidak ada pernapasan cuping hidung, Tidak terlihat sesak, Tidak ada penggunaan otot bantu napas,
Tidak ada retraksi IC atau suprasternal, Pergerakan dinding dada simetris, Tidak ada tanda trauma atau jejas di hidung dan
wajah, Tidak terpasang selang O2, kepatenan jalan nafas sama kuat hembusannya, mukosa hidung lembab dan bersih, tidak
terdapat secret, tidak ada sianosis pada bibir. Palpasi :Tidak ada nyeri tekan pada dada , Tidak teraba massa abnormal di
leher dan dada, Taktil fremitus normal,RR : 20 x / menit. Auskultasi :Suara napas vesikuler, Tidak ada bunyi paru tambahan
sepertifriction rub, stridor, wheezing dll, Tidak ada batuk. Perkusi :Batas paru normal. suara perkusi paru resonan. Sirkulasi
.Inspeksi :Tidak ada tanda cianosis, Membran mukosa lembab, Tidak ada jejas pada dada atau thoraks. Konjungtiva merah
muda. Tidak terdapat clubbing finger .Palpasi :CRT < 2 detik.Turgor baik. Nadi : 89 x / menitnadi teraba kuat dan reguler.
pada bagian perifer ekstrimitas atas dan bawah teraba hangatApeks cordis di ICS IV MCS. JVP 5+2 cm.Suhu : 36,3
CAuskultasi :Bunyi jantung I dan II tunggal. tidak ada murmur/gallop TD = 180/100 mmHg. Fokal fremitus normalPerkusi
:Batas jantung normal : batas kanan jantung linea mid sternalis dan batas kiri jantung linea midclavikularis. Getaran dinding
paru kiri dan kanan sama kuatTerdengar dullness pada semua area jantungNutrisi:klien mengatakan bahwa suaminyanya
makan 3 x/hari, selalu dihabiskan,. Jenis diet klien nasi. Buah yang diberikan ke klien hanya dimakan separoh. Klien
mengeluh mual namun tidak muntah. Klien tidak mengalami kesulitan menelan (disfagia). NGT (-). Klien mengatakan tidak
nafsu makan karena kepalanya terasa pusing.klien minum sekitar 1500 cc/24 jam. Klien mendapat IUFD RL 20 tetes /menit.
BB klien saat ini tidak bisa diukur karena klien belum bisa turun dari tempat tidur karen masih pusing. sklera tidak ikterik,
warna bibir merah muda. conjunctiva tampak merah muda. Pada daerah mulut tidak ditemukan adanya kandidiasis. Tidak
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
ada gigi yang tanggal atau caries. tidak ditemukan adanya lesi pada daerah mulut, fungsi mengunyah pada mulut bagian
kanan dan kiri berfungsi dengan baik. lidah klien kotor dan barwarna putih, Abdomen datar, tidak terdapat asites dan distensi
abdomen, bising usus 8 x/menit reguler, pada saat perkusi terdengar bunyi timpani pada semua kuadran, tidak teraba
pembesaran hati dan limpa, tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada semua kuadran abdomen, pada anus tidak terdapat
hemoroid..Eliminasi Bowel : Pada saat dikaji klien mengatakan BAB 2 hari sekali. Bising usus : 8 x/m. klien tidak menjalani
kemoterapi. Selama MRS klien kurang mobilisasi dan intake nutrisi juga kurang.Bladder : Terpasang foley katater dengan
produksi 500-700 cc/24 jam. Warna kuning, proteinuria (-), glukosuria (-).Aktivitas dan Istirahat: Klien terlihat hanya
berbaring ditempat tidur. Selama sakit klien menjadi terbiasa tidur siang sekitar 4 jam dan tidur malam sekitar 6-8 jam. Klien
sering bangun dari tidur dengan kondisi yang tidak segar. Klien mengatakan sukar tidur malam dengan pulas karena
kamarnya bising oleh suara pasien di sebelahnya.Selama di RS semua activitiy daily live klien dibantu oleh orang lain
seperti berpakaian, membersihkan tubuh kecuali untuk makan dan minum klien bisa mandiri. Karena untuk turun ke kamar
mandi klien masih belum sanggup akibat pusing tau nyeri pada kepalanya. Selama MRS klien sering merasa bosan dan tidak
bisa menjalankan kesibukanya seperti biasa.ProteksiKuku tangan dan kaki klien tampak bersih. Rambut klien agak kotor dan
berbau. Mulut klien bersih tidak ada tanda candidiasis. Terlihat ada sedikit daki di tangan dan kaki. Klien tidak mengalami
demam. Klien mengalami pembatasan aktivitas akibat cidera kepala karena masih memebrikan manifestasi nyeri kepala,
sehingga untuk mencegah peningkatan TIK maka klien ahrus bed rest total terlebih dahulu. Dari kondisi bed rest
kemampuan proteksi klien menurun. Bed rest menyebabkan imunologi klien menurun terutama kondisi integumen klien
akan beresiko menglami ulkus. Klien saat ini membutuhkan bantuan proteksi dari keluarga dan petugas
kesehatanSensoriPenglihatan: dalam batas normal. Tidak menggunakan kacamata bantu baca.Pendengaran: pendengaran
klien masih dalam batas normal.Penciuman: tidak ada keluhan. Lidah tidak kotor, saat digerakan lidah tertarik ke sebelah
kanan, nyeri (-). Gigi masih utuh, penyakit gusi (-), Caries (-). Integumen : turgor kulit baik, klien kaki sebelah kiri mati
rasa, kaki kanan sering kesemutan. rambut klien bersih, distribusi merata, kulit klien bersih, tidak terdapat lesi ataupun
kemerahan pada permukaan kulit klien, kulit klien teraba hangat, suhu tubuh 36,30 CKlien minum air putih 1000-1500
cc/hari.terpasasang IUFD RL 20 tetes /menit. Turgor kulit baik, Shiffting dullness (-),ascites (-), pitting edema (-).Tidak
tampak ada oedema baik pada palpebra dan daerah ekstremitas atas maupun bawah, tidak tampak pembesaran ginjal, tidak
terdapat nyeri tekan dan lepas pada ginjal dan tidak teraba pembesaran ginjal, tidak terdapat adanya nyeri ketuk pada saat
perkusi ginjal pada daerah Costa Vertebral Angel, tidak terdapat distensi kandung kemih dan tidak terdapat nyeri tekan
maupun lepas pada kandung kemih, klien terpasang dower kateter yang terpasang sejak tanggal 28 September 2011.
Produksi uri 600-800 cc/24 jam. Warna kuning. Tidak terdapat tanda-tanda kekurangan atau kelebihan volume cairan tubuh.
Turgor kulit baik,Shiffting dullness (-),ascites (-), pitting edema di kaki (-). Fungsi NeuromuskuloskeletalFungsi
NeurologiTingkat kesadaran Tingkat kesadaran klien compos mentis dengan nilai GCS E4 M6 V5. Refleks pupil terhadap
cahaya: baik.Tes fungsi motorik.Look : Deformitas (-), discolorisation (-), wound incisi pada dada dan tulang belakang.Feel :
tenderness (-), spasme pada kaki kiriMove :Tonus otot : hipotonik pada ektremitas sinistra bawah.Kekuatan otot :
Model Adaptasi Konsep Diri: Klien bisa menerima kondisinya yang MRS namun klien sering merasa bosan karena harus
selalu diatas tempat tidur tanpa melakukan kegiatan seperti sediakala. Apalagi hampir semua kebutuhan sehari-harinya
selama di rawat di RS harus dibantu oleh orang lain. Padahal klien sebelumnya adalah orang yang mandiri. Model Fungsi
PeranSekarang klien hanya bisa terbaring diatas tempat tidurnya dengan semua ADL yang dibantu oleh keluarga dan petugas
kesehatan. Klien mengeluh sangat bosan terbaring terus diatas tempat tidur dan ingin secepatnya pulang.Model Adaptasi
InterdependenKeluarga klien mendukung kesembuhan klien. Ibuknya selalu menemani klien di RS. Keluarga sangat
mendukung kesembuhan klien.pengkajian: Stimulus Fokal:Klien mengatakan kepalanya pusing. Luka akibat KLL: luka lecet
dipelipis kiri, mata kiri (palbera bengkak), punggung tangan kiri lecet ringan. Tekanan darah klien cenderung tinggi. Klien
mempunyai riwayat perokok aktif dengan menghabiskan 3-6 bungkus rokok setiap hari. Stimulus Kontekstual:Klien
mempunyai riwayat alkohol sebelum KLL. Klien tergolong ceroboh saat berkendara sepeda motor. Klien adlaah
perokok.Stimulus Residual:Pengetahuan klien tentang kesehatan belum cukup baik,. Klien juga tidak mempunyai
pengetahuan dan motivasi yang besar untuk memperbaiki kebaisaan dalam hidunya terutama pembatasan atau upaya
menghilangkan alkohol dan rokok.
3.Diagnosa keperawatan
Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah arteri/vena di otak,Gangguan pemenuhan ADL
(activity daily life) berhubungan dengan Gangguan mobilitas fisik
4.Implementasi
Rancana perawatan klien didokumentasikan dalam NCP (nursing care pla) sedangkan tindakan keperawatan
didokumentasikan dalam catatan perkembangan. Intervensi utama yang dilakukan pada Tn Af adalah :
Meningkatkan dan mendukung sirkulasi serebral
Untuk meningkatkan sirkulasi serebral, intervensi keperawatan mandiri yang dilakukan bisa berupa tindakan observasi pada
status neurologi klien, mencatat setiap perubahan yang terjadi, monitor tanda tanda vital, Evaluasi pupil (ukuran bentuk
kesamaan dan reaksi terhadap cahaya), kepala dielevasikan pada posisi netral, mempertahankan tirah baring, menciptakan
sediakan lingkungan yang tenang dan mengatur kunjungan sesuai indikasi. Selain tindakan keperawatan mandiri, dilakukan
juga tindakan kolaboratif dengan pemberian obat-obatan serta memonitor atau menganalisis nilai lab klien.Pemenuhan
ADL :Beberapa rencana dan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah keperawatan ini dilakukan dengan membantu
dan memastikan bahwa semua kebutuhan dasar klien terpenuhi dengan optimal, meningkatkan kemandirian klien dan
keluarga sesuai kemampuan, kemauan dan pengetahuan klien dan keluarga.
5. Evaluasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 3:
Tekanan darah dan TTV yang lain dalam batas normal meskipun belum stabil, Tanda –tanda dari peningkatan tekanan intra
kranial semakin berkurang dengan ditandainya: hilang atau berkurangnya mual dan pusing, pupil isokor, Valsavar amnuver
yang dapat dicegah, ADL klien yang mulai bisa mandiri dilakukan seperti pelepasan (off) kateter, amkan dan berpakaian
sendiri dll
RESUME KASUS KE-32
1. Informasi Umum
Nama (Inisial)
: Tn Es, No RM: 3724726, Umur : 34 Tahun, Pekerjaan: Pegawai swasta. Diagnosa Medik: SOL. Sekitar
1 bulan SMRS klien mengalami nyeri kepala seperti ditusuk-tusuk dibagian depan kepala terus menerus yang hilang timbul
dan semakin sering memberat dengan batuk dan mengedan. Pandangan suram dan dobel terutama bila diapkai melirik ke
kanan. Demam (-). Mual (+). Muntah (-). Bicara pelo (-). Mulut mencong (-). Kelemahan sisi tubuh sebelah kanan.
2.Pengkajian
Pengkajian fisiologisAdapatasi fisiologi:Oksigenasi:batuk (-) dan nyeri dada. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien
sebagai berikut: tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36,2 C. EKG: sinus rytme.Nutrisi:Tidak
terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi dan susu. Mual (+). Muntah (-)Membran mukosa lembab.
Konjungtiva tidak pucat. Hb: 13. Tidak terpasang NGT . Eliminasi: Terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak
ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 5-7 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi
blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care.
Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu , eliminasi dilakukan sebagian besar di kamar mandi dengan
dibantu akibat penurunan penglihatan. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien
tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (20).Sensasi:terdapat gangguan pada pancaindera, terutama
pada indera penglihatan. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. pusing (nyeri kepalaskala sedang).
Ekspresi wajah grimace (-): , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO
1000-2000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm.
Visus 1/ . Ptosis (-). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Reflek
fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid.KO: 4444/5555, 4444/5555. Kesan hemiparese
dekstra.
Adaptasi konsep diri:Fisik diri: adanya perubahan pada kekuatan otot. Nyeri kepala.
Pengkajian stimulus:Stimulus fokal, residual dan kontekstual ; klien mengalami SOL. Klien dan keluarga belum mendapat
informasi menganai perawtan klien dengan SOL dengan manifes utama nyeri kepala yang hilang timbul. Keluarga belum
tahu pencegahan peningkatan TIK.
3. Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : perubahan sensori persepsi: penciuman, gangguan
rasa nyaman nyeri, resiko cidera..
4. Implementasi
Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : menejemen perfusi: elevasi
kepala, pencegahan valsavah manuver, mencegah menegjan dan batuk, pemberian bed rest, menjemen nyeri: pemberian
anlgesik, relaksasi, pemberian posisi nyaman, support sistem, menejemen mobilisasi: Mika-miki, ROM, duduk.
5. Evaluasi
S: klien mengatakan nyeri dikepala berkurang, O: nyeri kepala (+), skala ringan. Skala 3. sesak (-), kesadran compos mentis
: 15, TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, mual (-), muntah (-), hemiparese dekstra A: maslah teratasi sebagian. P:
Lanjutkan intervensi: rencanan Ct scan ulang: lokasi pasti SOL belum diketahui.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 4:
STANDAR OPERATING PROSEDUR (SOP)
Back Massage : Coopers Model
No
Tindakan
1
Persiapan alat :
2
ƒ Sarung tangan disposable (bersih)
ƒ Perlak
ƒ Bengkok
ƒ Kasa/kapas
ƒ tissue
ƒ Minyak kelapa
Persiapan lingkungan :
3
• Berikan penerangan yang cukup (nyalakan lampu)
• Atur posisi Tempat Tidur
• Berikan privasi dengan memasang sketsel
Persiapan pasien :
1.
4
Berikan health education pada klien mengenai tujuan, manfaat dan kerugian
dari tindakan
2. Berikan penjelasan tentang prosedur dan langkah-langkah tindakan yang akan
anda lakukan
3. Atur posisi yang memeudahkan perawat untuk melakukan pemeriksaan pada
klien (duduk, miring atau telungkup)
Pelaksanaan Tindakan :
1.
2.
3.
4.
Cuci tangan
Dekatkan peralatan
Pakai sarung tangan bersih
Lakukan teknik pertama: efflurage
a. Lakukan pemberian gosokan pada kulit tanpa terjadi gerakan otot bagian
dalam.
b. Pemijatan berupa usapan lembut, panjang, dan tidak terputus-putus.
c. Tangan dibuat sedemikian rupa sehingga gerakannya tetap dan tekanan
yang diberikan searah dengan aliran darah balik. Dilakukan dengan
menggunakan ujung jari yang ditekan lembut atau ringan tanpa tekanan
kuat dengan tidak melepaskan jari pemijat dari permukaan kulit
d. Lakukan selama 5-6 menit
5.
Lakukan tekhnik kedua: pettriage
a. Metodenya sama dengan teknik efflurage namun dilakukan dengan
memberikan usapan tingkat sedang atau usapan yang lebih dalam daripada
efflurage.
b. Lakukan selama 5-6 menit
6.
Lakukan tekhnik ketiga: percussion (menepuk)
a. Dilakukan dengan pemberian pukulan cepat dan ringan dengan kedua
tangan yang dilakukan secara bergantian dengan gerakan berirama.
b. Dilakukan dengan perlahan-lahan kemudian cepat berirama dan tiba-tiba
berhenti
c. Tangan perawat dilengkungkan kaku membentuk kubah
d. Tepuk-tepukan tangan dilakukan datas punggung secara benar dari atas
ke bawah jangan melakukan tepukan [ada kulit punggung yang terdapat
luka (abrasi, laserasi dll)
e. Dengarkan suara gema saat tepukan diberikan, klien tidak boleh merasa
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 4:
f.
nyeri
Lakukan clupping dalam 5-6 menit di punggung
7.
Lakukan tekhnik keempat: friction (menggesek)
a. Lakukan gerakan putar/lingkaran pada satu titik dengan menggunakan
palmar jari-jari, ibu jari dan bagian distal ulnar pergelangan tangan.
b. Gerakkan otot dan jaringan dibawahnya dengan tekanan yang lembut
namun kuat
8.
Lakukan tekhnik kelima:vibrasi
a. Letakkan tangan perawat mendatar/ menapak di atas dinding dada klien,
dimana vibrasi diinginkan.
b. Letakkan tangan bersisihan dengan jari-jari melebar, atau satu tangan
diletakkan di atas tangan lain
c. Anjurkan klien untuk bernafas dalam dan kemudian mengeluarkan
perlahan-lahan.
d. Saat klien berexhalasi, vibrasikan dinding punggung klien secara tepat dan
berirama
e. Hentikan vibrasi saat klien inhalasi
f. Lakukan vibrasi dalam 5-6 menit, beberapa kali sehari
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Kaji respon pasien selama pemberian massage
Hentikan massage bila ada respon nyeri atau tanda komplikasi yang lain
Bantu klien kembali berada pasa posisi nyaman
Rapikan peralatan
Lepaskan sarung tangan
Cuci tangan
Evaluasi tindakan seperti verbal kenyamanan klien, TTV, respon nyeri, dll.
Dokumentasikan tindakan seperti: pelaksaan tindakan dan hasil evaluasi dari
tindakan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 5:
Nama pasien
:
No Reg :
Ruang
:
Diagnosa medis:
Manifestasi Klinis:
Parese
:
Immobilisasi
:
Tirah baring
:
Kondisi integumrn:
PENGKAJIAN RESIKO DECUBITUS
(BERDASARKAN SKALA NORTON)
PENILAIAN
Kondisi Fisik
Status Mental
Aktivitas
Mobilitas
Inkotinensia
4
Baik
Sadar
Jalan sendiri
Bebas
bergerak
Kontinen
3
Sedang
Apatis
Jalan dengan
bantuan
Agak terbatas
2
Buruk
Bingung
Kursi roda
1
Sangat buruk
Stupor
Di Tempat tidur
Sangat terbatas
Kadang-kadang
inkotinensia urin
Selalu
inkotinensia urin
Tidak mampu
bergerak
Inkotinensia
urin /alvi
SKOR
Total Skor
Keterangan:
16-20 : tidak ada resiko decubitus
12-15 : rentan terjadi decubitus
<12
: resiko tinggi terjadi decubitus
Kesimpulan:
Saran
:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 6: lembar observsi harian
EVALUASI PENILAIAN BACK MASSAGE:COOPERS MODEL
DALAM PENCEGAHAN KEJADIAN ULCUS DECUBITUS
NAMA PASIEN :
NO REG
:
RUANG
:
HARI
KENYAMANAN
KE...
TTV
SUBYEKTIF
KONDISI FISIK: INTEGUMEN
KEMERAHAN
LECET
KONDISI PSIKOLOGIS
KETEBALAN KULIT
GRADE
UD.....
LUKA
1
2
3
4
5
6
7
KESIMPULAN :
Observer,
...............................................................
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 7: Dokumentasi Foto Pelaksanaan EBN
Dokumentasi dalam bentuk foto pelaksanaan EBN dengan pemberian pijat punggung
menggunakan Coppers model di lantai V zona VA gedung A RSUPN dr Cipto
Mangunkusomo Jakarta.
1. Foto pelaksanaan EBN oleh praktikan
Ket: gbr 1.1 pelaksanaan back massage: coopers model pada tahap efflurages dan prittage
Ket: gbr 1.2 pelaksanaan back massage: coopers model pada tahap Percussion
Ket: gbr1.3 pelaksanaan back massage: coopers model pada tahap Friction
Ket: gbr 1.4 pelaksanaan back massage: coopers model pada tahap Vibrasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
2. Foto pelaksanaan EBN oleh keluarga pasien
Ket: gbr 2.1 pelaksanaan back massage: coopers model pada tahap efflurages dan prittage
Ket: gbr 2.1 pelaksanaan back massage: coopers model pada tahap prittage
Ket: gbr 2.1 pelaksanaan back massage: coopers model pada tahap friction
Ket: gbr 2.1 pelaksanaan back massage: coopers model pada tahap vibration
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Lampiran 8:
SATUAN ACARA PENYULUHAN
KEGIATAN EDUKASI SUPORTIF TERSTRUKTUR
“ PEMBERIAN ROM DAN MASSAGE PADA PASIEN DENGAN
MENINGITIS ENSEFALITIS TUBERCULOSA ( METB)
dan STATUS EPILEPTIKUS”
Oleh:
EVA DWI RAMAYANTI
NPM : 0906656871
PROGRAM RESIDENSI NEUROLOGI
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
TAHUN 2013
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
1
SATUAN ACARA PENYULUHAN
Pokok bahasan
Sasaran
Waktu
A.
: ROM Exercise, Massage dan positioning
: Keluarga Tn. M
: 3 x 30 menit
LATAR BELAKANG
Meningioencefaltis merupakan suatu bentuk infeksi yang mengenai meningen, CSS dan spinal
column yang disebabkan oleh infeksi jamur, virus dan bakteri. Bila penyebabnya spesifik adalah
bakteri Tuberculosa maka dinamakan METB (Corwin, 2009). Pada pasien METB, parese
merupakan salah satu komplikasi yang paling sering muncul. Parese/kelumpuhan bisa terjadi
pada anggota badan sebelah kiri atau sebelah kanan atau kedua-duanya.Parese adalah
manifestasi klinis dari METB dimana terjadi kelumpuhan pada anggota gerak pada tubuh, yang
menyebabkan terjadinya gangguan kapasitas fisik maupun fungsional. Parese jika dibiarkan akan
menimbulkan dampak yang lebih berat, klien bisa kehilangan fungsi anggota geraknya yang
mengalami parese atau mengalami kontraktur dan atrofi yang menetap (Brunner, 2002).
Oleh karena itu diperlukan penatalaksanaan sedini mungkin supaya tidak terjadi hal tersebut.
Untuk menghindari klien jatuh dalam kondisi yang lebih buruk, maka klien harus diajarkan
untuk selalu melatih kemampuan anggota geraknya yang salah satunya dilaksanakan melalui
ROM Exercise
Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 13 September 2012 dengan menggunakan metode
anamnese dan pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap klien dan keluarga Tn. M di Ruang
5A, diperoleh informasi bahwa klien hanya bisa bed rest total diatas tempat tidur akibat adanya
parese terutama di ekstremitas kiri dengan penurunan tonus dan kekuatan otot, serta penurunan
kesadaran, sehingga semua ADL nya dilakukan diatas tempat tidur dengan bantuan keluarga.
Klien sudah MRS selama sekitar1 bulan dan selama itu klien masih minimal dalam mobilitasnya
termasuk pergerakan yang paling minimal yaitu mika-miki salah satu alasanya adalah keluarga
belum tahu manfaat dan takut bila akan memindahkan posisi klien apalagi klien terpasang selang
(O2 dan NGT).
Dari hasil pemeriksaan fisik di ketahui kondisi muskuloskletel klien belum menunjukan
komplikasi dari parese seperti munculnya resiko footdrop, kontraktur maupun atrofi otot, namun
sudah ada ulkus decubitus derajat II di sakrum serta kemerahan pada kulit daerah lumbo sakrum,
terlihat pula adanya pengerasan kulit pada punggung, lengan dan betis klien, kemerahan yang
bisa mengarah ke resiko ulkus dekubitus. Diperlukanya pula pemberian back massage untuk
mencegah perluasan dari ulkus decubitus . dan tentu saja eawat luka pada daerah yang sudah
terkena ulkus.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
2
Rawat inaap yang lama, nutrisi yang tidak adekuat, mobilisasi yang minimal juga akan membuat
pasien rentan mengalami komplikasi. Dampak dari immobilisasi beragam seperti gangguan jalan
nafas, kerusakan kulit, eliminasi maupun nutrisi dan imunitas. diperlukanlah tindakan massage
untuk mengurangi atau mencegah kejadian Ulkus decubitus pada klien selaian pemberian
positioning.
Dengan melihat uraian diatas maka klien dan keluarga perlu mendapat edukasi terstruktur atau
pendidikan kesehatan tentang terapi mobilitas: A/PROM. Pemberian massage dan postioning
untuk mencegah ulkus decub.
B.
TUJUAN
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti Edukasi Suportif Terstruktur tentang A/PROM, massage dan postioning
Keluarga Tn. M mampu mengatahui dan melakukan prosedur tersebut secara mandiri.
2. Tujuan Khusus
Setelah selesai mengikuti pendidikan kesehatan selama 3x 30 menit, keluargaTn. M mampu :
a. Menjelaskan kembali pengertian dari masing-masing prosedur
b. Menjelaskan kembali tujuan dan manfaat dilakukannya prosedur tersebut
c. Menjelaskan kembali indikasi dan kontraindikasi dari masing-masing prosedur
d. Mendemonstrasikan kembali gerakan dari setiap prosedur yang telah diajarkan
C.
MATERI PENYULUHAN
1.
Pendahuluan
2.
Isi
a)
Pengertian ROM, back massage dan fisioterapi dada
b) Tujuan dan manfaat ROM back massage dan fisioterapi dada
c)
Kontraindikasi melakukan ROM back massage dan fisioterapi dada
d) Cara melakukan ROM back massage dan fisioterapi dada
e)
3.
Manfaat ROM, back massage dan fisioterapi dada
Penutup
Sumber informasi yang dapat diakses pasien
D.
METODE PENGAJARAN
a.
Ceramah
b.
Tanya jawab/ diskusi
c.
Demonstrasi
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
3
E.
MEDIA
a.
Leaflet
b.
Bookklet
c.
Infokus dan komputer atau Lembar balik
II. KEGIATAN
No.
1.
Tahapan &
Waktu
Pembukaan
(5 menit)
Kegiatan peneliti
ƒ
ƒ
ƒ
2.
3.
Kegiatan
(20 menit)
Penutup
(5 menit)
Memberi salam
Menjelaskan tujuan dan materi
yang akan diberikan
Evaluasi Awal tentang pengetahuan
dan ketrampilan serta sikap
responden terkait pelaksanaan
latihan ROM, masage, positioning
Kegiatan responden
ƒ
ƒ
ƒ
Kegiatan inti penyuluhan
¾ Menjelaskan dan menguraikan
materi tentang:
ROM,
masage,
positioning,
penanganan kejang dan KIE obat
¾ Memberikan leaflet/booklet
¾ Memperagakan latihan ROM baik
aktif maupun pasif
¾ Meminta keluarga mengikuti
¾ Memberikan motivasi kepada
kelurga untuk mau melaksanakan
setiap prosedur bertahap sesuai
batas toleransi klien dengan
mengedepankan kemandirian klien
dan keluarga
¾ Memberikan kesempatan kepada
keluarga yang disuluh untuk
bertanya
¾ Menjawab pertanyaan terkait
dengan materi yang belum jelas
¾
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
Melontarkan
stimulus
untuk
melakukan diskusi
Meminta untuk menyimpulkan
materi belajar
Membuat kontrak waktu pertemuan
kedua pelaksanaan edukasi suportif
terstruktur
Mengucapkan terima kasih
Mengucapkan salam penutup
¾
¾
¾
¾
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
Menjawab salam
Memperhatikan dan
mendengarkan
Menjawab
Memperhatikan penjelasan
penyuluh dengan cermat
Menanyakan hal-hal yang
belum jelas.
Klien
mengerti
dan
menerima motivasi yang
diberikan
Mengikuti peragaan yang
dilakukan pemateri
Memperhatikan jawaban
dari penyuluh
Memperhatikan
dan
mendengarkan
Mengajukan pertanyaan
Meringkas
dan
atau
menyimpulkan
Menyetujui kontrak waktu
pertemuan kedua
Menjawab pertanyaan
Menjawab salam
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
4
VII. EVALUASI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Apa yang disebut dengan ROM, masage, positioning, penanganan kejang dan KIE obat?
Apa saja tujuan dan manfaat dilakukan ROM, masage, positioning, penanganan kejang dan KIE
obat?
Apa kontraindikasi melakukan ROM, masage, positioning, penanganan kejang dan KIE obat?
Bagaimana cara melakukan ROM, masage, positioning, penanganan kejang dan KIE obat
Keluarga dipersilahkan untuk melakukan demontrasi dari masing-masing prosedur
Kuesioner tentang pengetahuan dan Sikap pelaksaan
Lembar observasi demontrasi latihan ROM back massage dan fisioterapi dada
VIII. SUMBER
Shepherd, Roberta B.2001. jurnal : Exercise and Training to Optimize Functional Motor Performance in
METB:Driving Neural Reorganization vol 8. Sydney: Australia
http://www.nismat.org, Range of Motion, 1996-2002 The Nicholas Institute of Sports Medicine and
Athletic Trauma, unless otherwise notedQuestions, [email protected]
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery, Cedera Cord Spinal, Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon.
mailto:%[email protected], Ka. SMF/Lab. Bedah Saraf RS. M. Jamil/FKUNAND Padang.
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
5
MATERI PENYULUHAN
1.
Pengertian ROM
ROM (Range of Motion) adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan
pergerakan otot, dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik
secara aktif ataupun pasif. ROM juga bisa disebut sebagai latihan Rentang Pergerakan Sendi (RPS).
2. Tujuan ROM
•
Meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot.
•
Mempertrahankan fungsi jantung dan pernapasan Mencegah kontraktur dan kekakuan pada sendi
3.
Manfaat ROM
•
Menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam melakukan pergerakan
•
Mengkaji tulang sendi, otot
•
Mencegah terjadinya kekakuan sendi
•
Memperlancar sirkulasi darah
4.
Jenis ROM
•
ROM pasif:Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang
normal (klien pasif). Kekuatan otot 50 %
•
ROM aktif: Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan
pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif).
Kekuatan otot 75 %
5. Indikasi ROM
1.
Penting untuk mempertahankan normal ROM dari sendi dan jaringan lunak
2.
Menurunkan resiko cedera pada musculotendenous unit
3.
Mencegah kerusakan dan penyusutan sendi
4.
Mengurangi bahaya dan komplikasi imobilisasi
5.
Fleksibilitas sendi yang optimal akan mengurangi tekanan untuk sekitar sendi dan sel-sel
6.
Kontraindikasi ROM
1. Jangan lakukan latihan ini pada sendi yang terinfeksi
2.
Jangan dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan mobilitas sendi baik secara herediter
maupun patologi
3.
Pasien dengan gangguan respirasi dan kardiovaskuler
4.
Pasien METB yang rentan mengalami peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial)
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
6
7.
Hal-hal yang harus diperhatikan ROM
•
Monitor keadaan umum klien dan tanda-tanda vital sebelum dan setelah latihan
•
Tanggap terhadap respon ketidak nyamanan atau nyeri pada klien
•
Ulangi gerakan sebanyak 3 kali
•
Waspadai komplikasi seperti : Kelainan sendi dan tulang : dislokasi, subflukasasi, fraktur
8. Prosedur ROM Exercise
a. Ekstremitas atas
NO
1
URAIAN
Gerakan menekuk dan meluruskan sendi bahu dengan sudut 90
Satu tangan penolong memegang sikut.
Tangan lainnya memegang lengan pasien
Meluruskan sikut, menaikkan dan menurunkan lengan dengan sikut tetap lurus.
2
Gerakan menekuk dan meluruskan sikut dengan sudut 90
Pegang lengan atas dengan satu tangan
Tangan lainnya menekuk dan meluruskan sikut
3
Gerakan memutar pergelangan tangan dengan sudut 180
Pegang lengan bawah dengan satu tangan
Tangan lainnya memegang telapak tangan pasien
Putar pergelangan tangan pasien ke arah luar (supinasi)
Putar pergelangan tangan pasien ke arah dalam (pronasi)
4
Gerakan menekuk dan meluruskan pergelangan tangan dengan sudut 90
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
7
Pegang lengan bawah dengan satu tangan.
Tangan lainnya memegang pergelangan tangan pasien
Tekuk pergelangan pasien ke atas dan kebawah
5
Gerakan memutar ibu jari dengan sudut 180
Pegang pergelangan tangan dan keempat jari tangan dengan satu tangan.
Tangan lainnya memutar ibu jari tangan.
6
Gerakan menekuk dan meluruskan jari-jari tangan dengan sudut 90
Pegang pergelangan tangan dengan satu tangan
Tangan lainnya menekuk dan meluruskan jari-jari tangan
b. Ekstremitas bawah
No.
Uraian
7
Gerakan menekuk dan meluruskan pangkal paha dengan sudut 90
Pegang lutut dengan satu tangan
Tangan lainnya memegang tungkai
Naikan dan turunkan kakai dengan lutut tetap lurus
8
Gerakan menekuk dan meluruskan lutut dengan sudut 90
Pegang lutut dengan satu tangan
Tangan lainnya memegang tungkai
Tekuk dan luruskan lutut
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
8
9
Gerakan pangkal paha dengan sudut 90
Gerakan kaki mejauh dan mendekati badan pasien (abduksi dan adduksi).
10
Gerakan memutar pergelangan kaki dengan sudut 180
Pegang tungkai dengan satu tangan
Tangan lainnya memegang pergelangan kaki
11
Gerakan sendi-sendi jari kaki dengan sudut 90
Pegang jari-jari kaki pasien dengan satu tangan
Tangan lain memegang kaki pasien
Tekuk jari kaki ke bawah
Luruskan jari kaki dan dorong ke belakang
Kembali ke posisi semula
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Diberikan
LATIHAN RENTANG PERGERAKAN SENDI (RPS) Untuk Ekstremitas Atas/Tangan Latihan RPS adalah Latihan RENTANG GERAK dimana klien melakukan pergerakan sendi semaksimal mungkin Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
2012
sehingga
mengalami
latihan
RPS
dilaksanakan dengan dibantu oleh orang
lain.
¾ RPS aktif
keluarga memberikan motivasi, dan
membimbing klien dalam melaksanakan
pergerakan sendi secara mandiri sesuai
Tujuan RPS Exercise adalah : a. Untuk mengkaji kemampuan rentang gerak sendi. b. Untuk mempertahankan mobilitas dan fleksibilitas fungsi sendi. c. Untuk mengembalikan fungsi sendi. d. Untuk evaluasi respons suatu program latihan Mahasiswa Magister Keperawatan
Kekhususan KMB
kelumpuhun
pasien
tanpa menimbulkan nyeri. Disusun Oleh :
Eva Dwi Ramayanti
bila
¾ RPS pasif
dengan rentang gerak sendi normal
(klien aktif). Kekuatan otot 75 %.
Dilakukan
bila
pasien
masih
bisa
melakukan pergerakan sehingga alat
geraknya belum lumpuh namun hanya
mengalami
diberikan
kelemahan.
dengan
meminta
Latihan
pasien
melakukan gerakan sesuai dengan yang
diinstruksikan oleh keluarga.
Perawat melakukan gerakan persendian
klien sesuai dengan rentang gerak yang
normal (klien pasif). Kekuatan otot 50 %
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
1. Penting untuk mempertahankan normal
RPS dari sendi dan jaringan lunak
2. Menurunkan
resiko
musculotendenous unit
cedera
pada
3. Mencegah kerusakan dan penyusutan
sendi
(3). Posisikan pasien dalam posisi tubuh
lurus yang normal;
4. Mengurangi bahaya dan komplikasi
imobilisasi
mengurangi
tekanan
untuk
sekitar
sendi dan sel-sel
a. Klien dengan penyakit yang memerlukan energi yang lebih. dengan gangguan persendian seperti inflamasi dan gangguan muskuloskeletal seperti trauma atau injuri. (1). Pilih waktu di saat pasien nyaman dan bebas dari rasa nyeri untuk meningkatkan kolaborasi pasien; Latihan RPS dilakukan setaip hari
sebanyak 2 kali sehari pada waktu pagi
menghindari stimulus dari lingkungan
5. Fleksibilitas sendi yang optimal akan
b. Klien •
(4). Pasang tirai untuk privasi pasien dan
dan sore hari.
yang mungkin dapat mengganggu latihan;
•
(5). Atur suhu ruangan nyaman untuk
Dalam seminggu diberikan selama
6
pasien sehingga mencegah pasien
hari. Dimana dalam setiap sesinya
kedinginan dan mencegah adanya
pasien stroke melakukan minimal 6-8
kontraksi otot yang tidak diinginkan;
gerakan.
•
(6). Pandang wajah pasien untuk
Latihan RPS dilakukan dalam kurun
mengamati adanya reaksi terhadap latihan
waktu 1-3 bulan dimulai ketika pasien
yang dilakukan;
di rawat inap di RS pada fase rehabilitasi
(7). Gerakan latihan harus dilakukan
atau
secara lembut, perlahan dan berirama;
ketika sudah berada di rumah
•
(8). Sendi tidak boleh digerakkan
pemulihan
dilanjutkan
dengan
.Latihan RPS dilakukan secara rutin,
melebihi rentang gerak bebasnya. Jadi,
perlahan-lahan sesuai dengan urutan
sendi digerakkan ke titik tahanan dan
mulai dari alat gerak atas kemudian
dihentikan pada titik nyeri;
dilanjutkan pada alat gerak bawah.
•
(9). Jika pasien tampak kelelahan,
Latihan RPS dilakukan dengan suasana
yang
hentikan latihan
nyaman
dan
memberikan
kebahagianan pada pasien dan keluarga.
(2). Jelaskan apa yang akan dilakukan
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Langkah­Langkah : tangan Gerakan menekuk dan meluruskan sendi bahu ƒ Satu tangan penolong memegang sikut. ƒ Tangan lainnya memegang lengan pasien ƒ Meluruskan sikut, menaikkan dan menurunkan lengan dengan sikut tetap lurus. Gerakan memutar pergelangan tangan ƒ Pegang lengan bawah dengan satu tangan ƒ Tangan lainnya memegang telapak tangan pasien ƒ Putar pergelangan tangan pasien ke arah luar (supinasi) ƒ Putar pergelangan tangan pasien ke arah dalam (pronasi) Gerakan memutar ibu jari ƒ Pegang pergelangan tangan dan keempat jari tangan dengan satu tangan. ƒ Tangan lainnya memutar ibu jari tangan.
Gerakan menekuk dan meluruskan sikut ƒ Pegang lengan atas dengan satu tangan ƒ Tangan lainnya menekuk dan meluruskan sikut Gerakan menekuk dan meluruskan pergelangan tangan ƒ Pegang lengan bawah dengan satu tangan ƒ Tangan lainnya memegang pergelangan tangan pasien ƒ Tekuk pergelangan pasien ke atas dan kebawah Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Gerakan menekuk dan meluruskan jarijari tangan
ƒ Pegang pergelangan tangan dengan satu
tangan
ƒ Tangan lainnya menekuk dan meluruskan
jari-jari tangan
Langkah­langkah : kaki Gerakan menekuk dan meluruskan pangkal paha ƒ Pegang lutut dengan satu tangan ƒ Tangan lainnya memegang tungkai ƒ Naikan dan turunkan kakai dengan lutut tetap lurus Gerakan pangkal paha ƒ Gerakan kaki mejauh dan mendekati badan pasien (abduksi dan adduksi). Gerakan sendi­sendi jari kaki • Pegang jari‐jari kaki pasien dengan satu tangan • Tangan lain memegang kaki pasien dengan satu tangan • Tekuk jari kaki ke bawah • Luruskan jari kaki dan dorong ke belakang • Kembali ke posisi normal Gerakan menekuk dan meluruskan lutut ƒ Pegang lutut dengan satu tangan ƒ Tangan lainnya memegang tungkai Gerakan memutar pergelangan kaki • Pegang tungkai dengan satu tangan • Tangan lainnya memegang pergelangan kaki Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Cara melakukan fisioterapi dada “CLUPPING” 1. Cuci tangan
2. Letakkan kain tipis atau klien
menggunakan baju tipis pada
daerah yang akan diclupping
3. Tangan perawat dilengkungkan
kaku membentuk kubah
4. Tepuk-tepukan tangan clupping
di atas lobus paru secara benar
untuk mengalirkan sekret
5. Gerakan tangan clupping dari
costae bawah ke bahu belakang
dan dari costae bawah ke dada
depan atas. Jangan menepuk di
bagian bawah costae, di atas
spinal, mammae
6. Dengarkan suara gema saat
clupping, klien tidak boleh
merasa nyeri
7. Lakukan clupping dalam 30-60
detik di atas area lobus paru.
Lakukan beberapa kali sehari
tapi pada klien dengan sekret
yang sangat kental dapat
dilakukan 3-5 menit
8. kembalikan klien pada posisi
yang nyaman
9. cuci tangan
Cara melakukan fisioterapi dada “VIBRASI” 1. Cuci tangan
2. Letakkan tangan perawat
mendatar/ menapak di atas dinding
dada klien, dimana vibrasi
diinginkan.
3. Letakkan tangan bersisihan dengan
jari-jari melebar, atau satu tangan
diletakkan di atas tangan lain
4. Anjurkan klien untuk bernafas
dalam dan kemudian mengeluarkan
perlahan-lahan.
5. Saat klien berexhalasi, vibrasikan
dinding dada klien secara tepat dan
berirama
6. Hentikan vibrasi saat klien inhalasi
Lakukan vibrasi dalam beberapa
menit, beberapa kali sehari
7. kaji respon pasien
8. cuci tangan
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Cara melakukan “BATUK EFEKTIF” a) Cuci tangan
b) Pakai sarung tangan dan masker
b/p
c) Lakukan latihan napas beberapa
kali.
d) Batuk 2 kali selama tiap kali
ekhalasi ketika mengkontraksi
(menarik ke dalam) abdomen
dengan tajam bersamaan dengan
setiap kali batuk
e) Keluarkan dahak atau sputum ke
cangkir yang telah dipersiapkan
f) Kaji sputum
g) Cuci tangan
h) Rapikan peralatan
Lampiran 9:
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama
: Eva Dwi Ramayanti
Tempat, Tanggal Lahir
: Kediri, 01 September 1982
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Staf Pengajar Jurusan Keperawatan FIK Univ. Kadiri-Kediri
Alamat Rumah
: Jl. Panjatian No.47 Kertosono Kab. Nganjuk Jawa Timur
Alamat Institusi
: Jl. Selomangkleng No 1 Kediri Jawa Timur
E-Mail
: [email protected]
Riwayat Pendidikan
1991 – 1996 : SDN Kudu II Nganjuk Jawa Timur
1996 – 1999 : SMPN 1 Kertosono Nganjuk
1999 – 2001 : SMU 1 Kertosono Nganjuk
2001 – 2004 : Pogram Studi Ilmu Keperawatan FK Univ. Brawijaya Malang Jawa Timur
2004 – 2005 : Profesi Ners PSIK FK Univ. Brawijaya Malang
2009 – 2011 : Pascasarjana KMB Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
2011 – 2012
: Program Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah FIK-UI
Riwayat Pekerjaan
01 September 2007- sekarang : Staf Pengajar PSIK Universitas Kadiri
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013
Download