UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN DI RSUPN Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA KARYA ILMIAH AKHIR Oleh: EVA DWI RAMAYANTI 0906656871 PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKALBEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DEPOK JANUARI, 2013 Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN DI RSUPN Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA KARYA ILMIAH AKHIR Diajukan sebagai sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Oleh: EVA DWI RAMAYANTI 0906656871 PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKALBEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DEPOK JANUARI, 2013 I Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan Rahmat dan Hidayah-Nya penulis akhirnya mampu menyelesaikan “Analisis Praktek Residensi Keperawatan Medikal Bedah Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan Di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Dalam pembuatan laporan pengkajian ini penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan dan motivasi dari semua pihak, untuk itu penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dewi Irawati, M.A, PhD. selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 2. Lestari Sukmarini, MNS selaku Koordinator Mata Ajar Residensi Keperawatan Medikal Bedah. 3. Prof. Elly Nurachmah, DNSc, selaku Supervisor Utama Praktek Residensi yang telah memberikan bimbingan, arahan serta motivasi hingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini 4. I Made kariasa S.Kep., Ns. M.Kep Sp. KMB selaku supervisor Praktek Residensi Keperatawatan Medikal Bedah Kekhususan Neurologi 5. Enni Mulyatsih S.Kep M.Kep Sp. KMB selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan keilmuan dan mroil selama menjalani praktek Residensi di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan pembuatan karya ilmiah akhir. 6. Seluruh tim supervisor Residensi KMB Kekhususan Neurologi 7. Direktur RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan Manager ruang rawat Gedung A yang telah memberikan izin dalam praktek residensi ini 8. Kepala Ruangan, Wakil Kepala Ruangan serta perawat pelaksana di ruang Neurologi Lantai V Gedung A RSUPN Cipto Mangunkusumo atas kerjasama dan kebersamaannya selama menjalankan praktik residensi. V Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 9. Jajaran Pimpinan Universitas Kadiri-Kediri yang telah memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan Program Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 10. Orang tua, saudara dan keluarga yang selalu memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis selama mengikuti Program Ners Spesialis hingga selesainya karya ilmiah ini. 11. Teman-teman Program Ners Spesialis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Angkatan 2011, atas kebersamaannya selama ini. 12. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis. Penulis menyadari bahwa dalam dalam pembuatan laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik membengun demi perbaikan karya ilmiah ini sangat penulis harapkan. Akhir kata atas perhatiannya, penulis sampaikan terima kasih. Depok, Januari 2013 Penulis, V Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 PRAKTIK KLINIK LANJUT-KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien dengan Gangguan Sistem Persarafan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Eva Dwi Ramayanti Januari 2013 Abstrak Praktek klinik dilakukan dengan memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem persarafan menggunakan Model adaptasi Roy. Asuhan keperawatan kelolaan diberikan pada pasien dengan Meningtis-Ensefalitis Tuberculosa. Pengkajian keperawatan menunjukkan masalah pada mode adaptasi fisiologi, yaitu: ketidakefektifan perfusi jaringan serebri. Intervensi keperawatan ditujukan untuk meningkatkan adaptasi pasien dalam meningkatkan perfusi jaringan serebri. Peran sebagai peneliti dan pendidikan dilakukan dengan menerapkan Evidance Based Nursing: memberikan back massage: cooper model yang setelah pelaksanaan terbukti mampu mencegah kejadian ulkus decubitus. Peran praktikan sebagai inovator, dilakukan dengan mengaplikasikan kegiatan inovasi Bladder training pada pasien yang terpasang kateter urin. Dengan hasil evaluasi bahwa bladder training mampu meninngkatkan kemampuan berkemih pasien dan mencegah pemasangan kateter urin yang tidak perlu. Kata kunci: Model adaptasi Roy, Meningitis Ensefalitis Tuberculosa, Back Massage: cooper models, Bladder training viii Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia CLINICAL PRACTICE-MEDICAL SURGICAL NURSING FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF INDONESIA Analysis of Medical Surgical Nursing Clinical Practice of Residency on Patients with Neurological System Disorder in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta Eva Dwi Ramayanti Januari 2013 Abstract The clinical practice is conducted by providing nursing care for patients with nervous system disorders by using Roy Adaptation Model. Nursing care focus is given to patients with meningitis-encephalitis Tuberculosa. Nursing assessment indicates a problem on the mode of adaptation physiology, which are: ineffective cerebral tissue perfusion. Nursing interventions are aimed to improve patient adaptation in increasing cerebral tissue perfusion. Role as a researcher and education is conducted by application of Evidence based nursing: giving back massage: cooper model as implementation to prevent decubitus ulcers. Practitioner role as an innovator is done by applying the Bladder training to patients with a urinary catheter inserted. With the results of the evaluation that bladder training is able to increase voiding ability of patients and prevent unnecessary use of urinary catheters. Keywords:Roy’s Adaptation Theory, Meningitis Ensefalitis Tuberculosa, Back Massage: cooper models, Bladder training ix Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia DAFTAR ISI Hal . HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………... HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………………………... HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS.................................................... HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................. KATA PENGANTAR............................................................................................. HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI............................... ABSTRAK ……………………………………………………………………...... ABSTRACT........................................................................................................... DAFTAR ISI ……………………………………………………………………... DAFTAR TABEL ………………………………………………………………... DAFTAR SKEMA ……………………………………………………………...... DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………... i ii iii iv v vii viii ix x xii xiii xiv BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……………………………………………………... 1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………………....... 1.4. Manfaat Penelitian ………………………………………………..... 1 5 5 BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Meningitis Ensefalitis..…………………………….......................... 2.1.1 Definisi..................................................................................... 2.1.2 Klasifikasi................................................................................. 2.1.3 Etiologi...................................................................................... 2.1.4 Patofisiologi............................................................................... 2.1.5 Manifestasi Klinis..................................................................... 2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik............................................................ 2.1.7 Komplikasi................................................................................. 2.1.8 Penatalaksanaan Medis............................................................. 7 7 7 8 9 12 13 14 15 2.2. Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy........................................... 2.2.1 Gambaran Model Adaptasi Roy................................................ 2.2.2 Asuhan Keperawatan Berdasarkan Model Adaptasi Roy......... 2.2.2.1 Pengkajian Perilaku dan Stimulus.................................... 2.2.2.2 Diagnosa Keperawatan.................................................... 2.2.2.3 Tujuan Keperawatan....................................................... 2.2.2.4 Intervensi keperawatan.................................................... 2.2.2.5 Evaluasi........................................................................... 16 16 21 21 36 42 44 45 x Ramayanti, FIK UI, 2013 Analisis praktik ..., Eva Dwi Universitas Indonesia BAB 3 : ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN METB 3.1. Gambaran asuhan keperawatan pasien METB.................................. 3.1.1 Pengkajian perilaku dan Stimulus............................................. 3.1.2 Diagnosa Keperawatan.............................................................. 3.1.3 Rencana Asuhan Keperawatan.................................................. 3.1.4 Implementasi Keperawatan....................................................... 3.2.5 Evaluasi.................................................................................... 3.1.6 Pembahasan................................................................................ 50 50 62 62 62 66 77 3.4 Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Kasus Resume........... 3.1.1 Pengkajian perilaku dan Stimulus............................................. 3.1.2 Diagnosa Keperawatan............................................................. 3.1.3 Tujuan intervensi...................................................................... 3.1.4 Rencana Asuhan Keperawatan.................................................. 3.1.5 Implementasi Keperawatan...................................................... 3.1.6 Evaluasi.................................................................................... 102 106 121 121 122 123 123 BAB 4 : PENERAPAN EVIDANCE BASED NURSING PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN 4.1. Hasil Jurnal reading..................... ………………………………... 4.2 Praktek Berdasarkan Pembuktian..................................................... 4.3 Hasil Pelaksanaan EBN................................................................... 4.4 Pembahasan....................................................................................... 126 130 132 134 BAB 5 : KEGIATAN INOVASI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN NEUROLOGI 5.1 Analisis situasi ………………………………................................... 5.2 Kegiatan Inovasi ………………………………………………......... 5.3 Pembahasan......................................................................................... 143 148 149 BAB 6 : SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan …………...……………………………………………. 154 6.2 Saran …………...…………………………………………………… 155 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x Ramayanti, FIK UI, 2013 Analisis praktik ..., Eva Dwi Universitas Indonesia DAFTAR TABEL Hal Tabel 2.1 Rencana Asuhan Keperawatan Pada Pasien METB Dengan Penerapan Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy ....................................................................... 46 Tabel 3.1 Rencana Asuhan Keperawatan Stroke Iskemik pada Tn. M dengan Pendekatan Model Adaptasi Roy ......................................................................... 67 xii Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Format Pengkajian Keperawatan dengan Pendekatan TeoriAdaptasi Roy Lampiran 2. Evaluasi Keperawatan Tn.M dengan METB Lampiran 3. Resume Keperawatan pada Gangguan Sistem Persarafan Lampiran 4. SOP Back Massage : Coopers Model Lampiran 5. Format pengkajian resiko decubitus menggunakan skala Norton Lampiran 6. Lembar observasi pelaksanaan EBN: back massage (coopers model) Lampiran 7. Dokumentasi Foto Pelaksanaan EBN Lampiran 8. Satuan Acara Penyuluhan dan leaflet Lampiran 9. Riwayat Hidup Penulis xiv Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem persarafan merupakan salah satu sistem organ dalam tubuh manusia yang dapat mempertahankan dan mendukung interaksi antara tubuh dengan lingkungan serta mempertahankan aktivitas organ internal (Dillon, 2007). Gangguan pada sistem persarafan akan muncul bila sel saraf mengalami nekrosis neuron akibat tidak mendapatkan oksigen 3-4 menit (Faller & Schuenke, 2004). Ketidak adekuatan transport oksigen pada otak disebabkan oleh iskemik, kelainan genetik, tumor, penyakit degeneratif, trauma, perdarahan dan kelainan elektrolit. Penyebab lain dapat terjadi karena obat-obatan, toksin, radiasi, inflamasi dan infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri maupun autoimmun (Silbernagl & Lang, 2006). Gangguan pada sistem persarafan akan menimbulkan manifestasi yang beragam, meliputi nyeri kepala, gangguan kesadaran, kejang epileptik umum, sindrom mental organik, meningism, tanda peningkatan tekanan intrakranial. Tanda dan gejala lokal termasuk defisit neulogis fokal, defisit neuropsikologis, gangguan visual, gangguan saraf kranial dan kejang epileptik fokal (Mumenthaler & Mattle, 2004). Manisfestasi klinis pada pasien dengan gangguan sistem persarafan mempengaruhi semua aspek pada manusia seperti: sensorik, motorik, kognitif, bahasa. Luasnya defisit neurologi tersebut membuat angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini meningkat. Kelemahan pada sistem saraf membuat tingginya kecacatan yang berdampak pada tingginya ketergantungan pasien terhadap orang lain termasuk petugas kesehatan. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2009 gangguan sistem persarafan menempati urutan kedua penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Penyakit gangguan sistem persarafan dapat menyebabkan kerusakan atau kecacatan permanen (Lynch et al., 2005). Dengan demikian dapat diketahui bahwa penyakit gangguan sistem persarafan membutuhkan perawatan yang lama dengan menejemen penanganan yang kompleks. Adanya gejalan sisa atau kecacatan membuat penyakit pada gangguan sistem persarafan membutuhkan program rehabilitasi. Dengan demikian bisa dimaklumi bahwa pasien dengan penyakit pada gangguan sistem persarafan akan membutuhkan biaya dan waktu yang lebih banyak dalam masa perawatan di Rumah Sakit. 1 Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 2 Asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat sangat mempengaruhi kualitas layanan yang akan diterima oleh pasien. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan dengan menerapkan berbagai peran perawat spesialis. Perawat spesialis memberikan perawatan langsung kepada pasien secara holistik, mengembangkan inovasi untuk perawatan yang berkualitas, memberikan pendidikan kepada pasien dan staff serta menggunakan teori dan penelitian dalam rangka mengembangkan proses asuhan keperawatan. Peran sebagai perawat spesialis pada pasien dengan gangguan sistem persarafan dilakukann dengan menjalankan fungsi sebagai: edukator, consultan, researcher dan change of agent. Peran ini akan diwujudkan praktikan dalam menjalankan tugas residensinya dalam bentuk: mengelola dan memberikan asuhan keperawatan, pelaksanaan evidance based nursing dan penerapan inovasi pada pasien dengan gangguan sistem persarafan. Dalam menjalankan peranya sebagai pemberi asuhan keperawatan, praktikan mengelola salah satu kasus dalam penyakit gangguan sistem persarafan yaitu: Meningitis-ensefalitis Tuberculosa. Meningitis Tuberkulosa (METB) peradangan pada selaput meningen, cairan serebro spinal, dan spinal kolumna yang menyebabkan proses peradangan pada sistem saraf pusat (Suriadi, 2001) merupakan salah satu manifestasi dari penyakit Tuberculosa (TB) yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang menyerang sistem saraf pusat. Morbiditas dan mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Kejadian meningitis TB bervariasi tergantung pada tingkat sosio-ekonomi, kesehatan masyarakat, umur, status gizi dan faktor genetik yang menentukan respon imun seseorang (Price Wilson, 2006. Meningitis TB harus diwaspadai insidensinya seiring dengan meningkatnya angka penderita tuberkulosis. Karena diperkirakan sekitar 1 sampai 10% dari seluruh kejadian infeksi tuberkulosis mengenai susunan saraf pusat (SSP), baik berupa tuberkuloma pada parenkim otak maupun sebagai meningitis (Arvanitaksis, 1998). Sedangkan menurut Lindsay (1997 : 474) angka kejadian meningitis adalah 10% dari jumlah penderita. Berbagai permasalahan pada klien dengan meninginitis dan encepalitis muncul sebagai efek dari gangguan neurologi akibat infeksi dan herniasi pada otak seperti kelemahana atau parese pada ekstremitas, peningkatan TIK, gangguan eliminasi, nyeri kepala, demam dll. Meningitis tuberkulosa merupakan salah satu penyakit tuberkolosa, yang mempunyai morbiditas dan mortalitas tinggi, dengan prognosis buruk. Walaupun pengobatan saat ini telah maju, gejala sisa dari meningitis tuberkulosa masih sering ditemukan, dan mortalitasnya masih cukup tinggi. Sejak tahun 1930-1953, Koch dan carson menemukan 23% kasus meningitis Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 3 tuberkulosa dari 248 kasus meningitis bacterial. Menurut auerbach, insidens meningitis tuberkulosa sebanyak 42,2% dari 97 pasien yang meninggal karena tuberkulosa. Berbagai modalitas dapat digunakan untuk mengatasi problem tersebut. Kompleksitasnya perawatan pada pasien dengan METB menuntut seorang perawat untuk mampu mengetahui sejauh mana keterbatasan yang dialami oleh klien akibat defisit neurologi serta mampu mengkaji kemampuan adapatasi dari klien sehingga intervensi keperawatan yang efektif dan effisien bisa diberikan secara holistik. Perawat harus mampu mengembangkan asuhan keperawatan yang tidak hanya mampu menangani kondisi fisik namun juga psikologis, mampu mengkaji dan mengintervensi kondisi klien utamanya pada status neurologi. Lebih dari itu asuhan keperawatan yang diberikan mampu membantu klien dan keluarga mencapai mekanisme koping yang adapatif dalam menjalani masa perawatan. Untuk mencapai perubahan perilaku yang adapatif tersebut maka asuhan yang diberikan berpedoman pada teori keperwatan Model Adaptasi “Roy”(Alligood& Tomey, 2006). Toeri Model adaptasi Roy merupakan salah satu teori keperawatan yang dikembangkan oleh Sister Callista Roy pada tahun 1970. Teori ini memandang pasien sebagai suatu sistem adapatasi, yang bersifat holistik dimana pasien akan dipandang sebagai satu kesatuan dengan lingkungan, saling berinteraksi secara konstan dengan perubahan lingkungan. Model konseptual ini berpusat pada kemampuan seseorang dalam berespon secara efektif terhadap stimulus dari lingkungan dengan menggunakan sifat dasar dan pengalaman sebagai dasar pemilihan dan pembentukan mekanisme koping yang ditampilkan. Teori ini menjelaskan bagaimana individu/klien mampu meningkatkan kesehatannya dengan mempertahankan perilaku secara adaptif dan merubah perilaku yang maladaptive (Roy, 2009). Untuk lebih jelasnya pembahasan mengenai aplikasi teori keperawatan Roy dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan METB diuraikan dalam BAB 3. Selain memberikan asuhan keperawatan, penulis juga menjalankan peran sebagai peneliti dengan menerapkan Evidence Based Nursing (EBN). Evidence Based Nursing merupakan suatu proses sistematis yang menggunakan evidence terkini untuk mengatasi masalah keperawatan pasien, meningkatkan kualitas asuhan keperawatan dan outcomes pasien (Ackley, Ladwig, Swan, Tucker, 2008; Larrabee, 2009). Perawat spesialis dapat menggunakan hasil penelitian untuk mengidentifikasi masalah yang dialami pasien dan keluarga serta mengidentifikasi kebutuhan dengan meningkatkan kualitas keperawatan Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 4 berbasis bukti (evidence-based nursing) (LaSala, Connors,Pedro, & Phipps, 2007). Penerapan EBN pada pasien defisit neurologi yang mengalami immobilisasi akibat parese dengan memberikan back massage: coopers model untuk mencegah terjadinya Ulkus Decubitus. Dekubitus merupakan kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari penekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu yang biasa. Dekubitus disebabkan karena terjadinya penekanan pada area kulit dalam waktu yang lama. Proses penekanan ini terjadi karena tidak adanya aktivitas pada area kulit yang tertekan, sehingga menghambat perfusi pada area tertekan (Potter & Perry, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti menunjukkan bahwa 6,5-9,4% dari populasi umum orang dewasa yang dirawat dirumah sakit, menderita paling sedikit satu dekubitus pada setiap kali masuk rumah sakit (Barbenel et al,1977; Jordan dan Nicol,1977; David et al, 1983, dalam Morison, 2003). Pencegahan maupun perawatan klien dengan decubitus merupakan salah satu bagian penting dari Patient Safety. Perawat mempunyai peran penting untuk mencegah terjadinya dekubitus. Salah satunya dengan menggunakan metode massage dengan menggunakan tekhnik: cooper model. Dalam metode ini perawat memberikan massage melalui 5 tahapan yaitu: Efflurages,Prettige, Friction, Percusiion dan Vibration. Dalam menjalankan peranya sebagai inovator makan praktikan membuat kegiatan inovasi sevcara berkelmopok. Inovasi merupakan suatu proses dengan menggunakan pendekatan yang baru, tekhnologi ataupun metode yang baru dengan menggunakan alat, tekhnologi dan proses melalui organisasi atau perilaku individu. (DENOSA, 2009). Inovasi yang dikerjakan adalah pelaksanaan Blader training dengan dokumentasi mengguankan Bladder diary pada pasien dengan gangguan neurologi yang terpasang kateter DC. Semua aktifitas bladder trianing ini serta kemajuan berkemih klien setiap hari dicatat dalam format dokumentasi yang disebut bladder diary. Tujuan dari pelaksanaan inovasi : Blader Trainning, untuk mengetahui kemampuan berkemih pasien, menilai dan menetapkan perlu tidaknya pasien dipasang kateter ulang, sehingga mengurangi risiko infeksi pada pasien akibat pemasangan kateter ulang serta mampu meningkatkan pengetahuan keluarga dan pasien dalam perawatan utamanya dengan inkontinensia urin. Penjelasan lebih jauh mengenai EBN dan inovasi akan diuraikan dalam BAB 4 dan 5. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 5 Melihat semua urain diatas maka penulis bermaksud membuat laporan yang menguraikan penerapan asuhan keperawatan dengan menggunakan teori keperawatan Model Adaptasi Roy pada pasien yang mengalami gangguan neurologi yang dituangkan dalam bentuk laporan dengan judul “Analisis Praktek Residensi Keperawatan Medikal Bedah Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Persarafan Dengan Penerapan Teori Adaptasi Roy Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta”. 1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1 Tujuan Umum Memberikan gambaran umum pelaksanaan dan pengalaman praktik residensi dengan menggunakan pendekatan teori keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien gangguan sistem persarafan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. 1.2.2 Tujuan Khusus a. Melakukan analisis terhadap penerapan asuhan keperawatan menggunakan Teori Adaptasi Roy pada pasien gangguan sistem persarafan terutama pasien Meningitis ensefalitis Tuberculosa di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta b. Melakukan analisis terhadap penerapan evidence based nursing pada pasien gangguan sistem persarafan di ruang Neurologi Lantai V RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta c. Melakukan analisis terhadap kegiatan inovasi keperawatan di ruang Neurologi Lantai V RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta 1.3 Manfaat Penulisan Karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap pelaksanaan pelayanan dan keilmuan keperawatan. 1.3.1. Manfaat Pelayanan Keperawatan a. Memberikan wawasan dan pengalaman baru bagi perawat medikal bedah khususnya di ruang neurologi dalam memberikan asuhan keperawatan mulai dari pengkajian, perencanaan, intervensi dan evaluasi keperawatan dengan menggunakan Teori Adaptasi Roy. b. Menambah pengetahuan perawat dalam pemanfaatan hasil penelitian terbaru yang dapat diaplikasikan sebagai suatu Evidance Based Nursing Practice. c. Sebagai informasi dan saran bagi institusi pelayanan untuk tetap melakukan inovasi dalam pemberian pelayanan sebagai upaya untuk meningtkan mutu kesehatan Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 6 1.3.2. Manfaat Keilmuan Karya ilmiah ini diharapkan memberikan manfaat keilmuan sebagai berikut: a. Memperkuat dukungan teori keperawatan, memperkaya ilmu pengetahuan keperawatan, menambah wawasan dan pengetahuan bagi perawat dan mahasiswa dalam departemen keperawatan medikal bedah dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien gangguan sistem persarafan. b. Rujukan bagi institusi pendidikan dalam proses belajar mahasiswa keperawatan tentang penggunaan teori keperawatan dalam asuhan keperawatan. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia BAB 2 TINJAUAN TEORI Bab ini menguraikan tentang Meningitis Ensefalitis Tuberculosa (METB), Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy dan Asuhan Keperawatan pada klien dengan METB dengan Model Adaptasi Roy. 2.1 Meningitis Ensefalitis Tuberculosa (METB) 2.1.1 Definisi Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur (Smeltzer, 2001). Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996). Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001). Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh virus atau mikro organisme lain yang non purulent (Corwin, 2009). Meningioencefaltis merupakan suatu bentuk infeksi yang mengenai meningen, CSS dan spinal column yang disebabkan oleh infeksi jamur, virus dan bakteri. Bila penyebabnya spesifik adalah bakteri Tuberculosa maka dinamakan Meningioencefaltis Tuberculosa (METB). 2.1.2 Klasifikasi Menurut Smeltzer. S.C and Brenda. G. Bare (2001) klasifikasi meningitis dibagi menjadi 3 tipe utama yaitu meningitis asepsis, sepsis dan tuberkulosis. 1. Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus atau menyebabkan iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak, ensefalitis, limfoma, leukemia, atau darah di ruang sub arakhnoid. 2. Meningitis sepsis menunjukan meningitis yang disebabkan oleh organisme bakteri seperti meningokokus,stafilokokus, atau basilus influenza 3. Meningitis tuberkulosis disebabkan oleh bakteri mikobakterium tuberkulosis. 7 Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 8 Sedangkan menurut Arief Mansyur (2000) berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, meningitis dibagi dalam 2 golongan yaitu : 1. Meningitis serosa adalah radang selaput otak, arakhnoid, dan piamater yang disertai cairan otak yang jernih penyebab tersering adalah Mycobacterium tuberculosis, penyebab lain adalah virus, toxoplasma dan ricketsia. 2. Meningitis purulenta adalah radang bernanah arakhnoid dan piamater yang meliputi otak dan medulaspinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitidis (meningokok), Streptococcus haemoliticus, Staphylococcus coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa. Klasifikasi atas dasar gejala klinik yang dapat meramalkan prognosis penyakit menurut Medical Research Council of Great Britain sebagai berikut : Stadium I : Klien menunjukan sedikit atau tanpa gejala klinis meningitis, tanpa parese, dalam keadaan umum yang bai dan kesadaran yang penuh. Stadium II : Klien dengan keadaan diantara stadium I dan III StadiumIII :Klien tampak sakit berat, kesadaran stupor atau koma dan terdapat parese yang berat (hemiplegi atau paraplegi). 2.1.3 Etiologi Penyakit meningitis tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis humanus, sedangkan menurut peneliti yang lain dalam literatur yang berbeda meningitis Tuberkulosis disebabkan oleh dua micobacterium yaitu Mycobacterium tubeculosis dan Mycobacterium bovis yang biasanya menyebabkan infeksi pada sapi dan jarang pada manusia. (Lindsay, 1997 :473). Mycobacterium tuberculosis merupakan basil yang berbentuk batang, berukuran 0,2-0,6mmx1,0-10mm, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Mycobacterium tuberculosis bersifat obligat aerob, hal ini menerangkan predileksinya pada jaringan yang oksigenasinya tinggi seperti apeks paru, ginjal dan otak. Mycobacterium tidak tampak dengan pewarnaan gram tetapi tampak dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Basil ini bersifat tahan asam, artinya tahan terhadap pewarnaancarbolfuchsin yang menggunakan campuran asam kloridaetanol. Sifat tahan asam ini disebabkan karena kadar lipid yang tinggi pada dinding selnya. Lipid Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 9 pada dinding sel basil Mycobacterium tuberculosis meliputi hampir 60% dari dinding selnya, dan merupakan hidrokarbon rantai panjang yang disebut asam mikolat. Mycobacterium tuberculosa tumbuh lambat dengan double time dalam 18-24 jam, maka secara klinis kulturnya memerlukan waktu 8 minggu sebelum dinyatakan negative. 2.1.4 Patofisiologi Otak dilapisi oleh tiga lapisan,yaitu:durameter, arachnoid,dan piameter. Cairan otak dihasilkan didalam pleksus choroid ventrikel bergerak/mengalir melalui sub arachnoid dalam system ventrikuler seluruh otak dan sumsum tulang belakang, direabsorbsi melalui villi arachnoid yang berstruktur seperti jari jari didalam lapisan subarchnoid. Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal. Kolonisasi dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan, saluran pencernaan, atau saluran kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri akan menginvasi submukosa dengan menghindari pertahanan inang (seperti barier fisik, imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah akses menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan beberapa mekanisme: Invasi ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri. Penyebaran melalui kontak langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis media, malformasi kongenital, trauma, inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial. sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun (misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen). Kemudian terjadi penyebaran hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh termasuk SSP. Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai sekarang belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan dari sistem imun inang karena terbatasnya jumlah sistem imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi secara tidak terkendali dan merangsang kaskade inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran dari sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8), dan molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis dan kerusakan neuronal. Peningkatan konsentrasi TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri khas meningitis bakterial. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 10 Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan mediator proinflamasi. Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh ligasi komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor (Toll-like receptor). TNF-α merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag, limfosit, astrosit, dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen endogen juga berperan dalam induksi demam saat infeksi bakteri. Kedua mediator ini dapat terdeteksi setelah 30-45 menit inkulasi endotosin intrasisternal. Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) dan platelet activation factor (PAF) diduga memperberat proses inflamasi. IL-6 menginduksi reaktan fase akut sebagai respon dari infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik neutrofil. NO merupakan molekul radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat diproduksi dalam jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain barrier (BBB). PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di intravaskular. Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan permeabelitas BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam ruang subarachnoid. Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai respon terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk meningitis bakterial. Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produk-produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik. Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme anaerob terjadi dan mengakibatkan peningkatan konsentrasi asam laktat dan hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia merupakan hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak terkendali ini tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi neuronal sementara atau pun permanen. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 11 Tekanan tinggi intra kranial (TIK) merupakan salah satu komplikasi penting dari meningitis di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema interstitial (sekunder terhadap obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik (akibat pelepasan produk toksik bakteri dan neutrofil) serta edema vasogenik (peningkatan permeabelitas BBB). Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan adanya penekanan pada tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan menimbulkan herniasi gyri parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis keadaan ini ditunjukkan oleh adanya penurunan kesadaran dan reflek postural, palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak diobati maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi henti napas atau henti jantung. Organisme ( virus/ bakteri ) yang dapat menyebabkan meningitis, memasuki cairan otak melalui aliran darah didalam pembuluh darah otak. Cairan hidung ( secret hidung ) atau secret telinga yang disebabkan oleh fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan meningitis karena hubungan langsung antara cairan otak dengan lingkungan (dunia luar), mikroorganisme yang masuk dapat berjalan kecairan otak melalui ruangan subarachnoid. Adanya mikroorganisme yang patologis merupakan penyebab peradangan pada piamater, arachnoid, cairan otak dan ventrikel. Eksudat yang dibentuk akan menyebar, baik kecranial maupun kesaraf spinal yang dapat menyebabkan kemunduran neurologis selanjutnya, dan eksudat ini dapat menyebabkan sumbatan aliran normal cairan otak dan dapat menyebabkan hydrocephalus. Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas. Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 12 permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatan TIK.Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus 1.1.4 Manifestasi Klinis Meningitis tuberkulosis umumnya memiliki onset yang perlahan. Terdapat riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis, biasanya memiliki TB aktif atau riwayat batuk lama, berkeringat malam dan penurunan berat badan beberapa hari sampai beberapa bulan sebelum gejala infeksi susunan saraf pusat muncul. Gejala meningitis ensefalitis yang diakibatkan dari infeksi dan peningkatan Tekanan intra kranium (TIK) diantaranya : 1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering) 2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma. 3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb: a) Rigiditas nukal ( kaku leher ). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher. b) Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna. c) Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang berlawanan. 4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya. 5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran. 6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal. 7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler diseminata Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 13 1.1.5 Pemeriksaan Diagnostik Berikut ini beberapa pemeriksaan diagnostik yang digunakan untuk menunjang penegakan diagnosa medis pada pasien dengan METB: a. Radiolog :Pemeriksaan radiologi pada meningitis tuberkulosis meliputi pemeriksaan Rontgent thorax, CT-scan, MRI. Pada klien dengan meningitis tuberkulosis umumnya didapatkan gambaran tuberkulosis paru primer pada pemeriksaan rontgent thoraks, kadangkadang disertai dengan penyebaran milier dan kalsifikasi. Sedangkan pada pemeriksaan CTscan dan MRI dapat terlihat adanya hidrosefalus, inflamasi meningen dan tuberkoloma. Gambaran rontgent thoraks yang normal tidak menyingkirkan diagnosa meningitis tuberculosis b. Tes Tuberkulin: Tuberkulin hanya mendeteksi reaksi hipersensitifitas lambat, tidak menandakan adanya infeksi aktif sehingga penggunaannya untuk mendiagnosis infeksi aktif dan meningitis tuberkulosis masih kurang sensitif. Namun pemeriksaan tuberkulin yang positif pada anak memiliki nilai diagnostik, sementara pada orang dewasa hanya menandakan adanya riwayat kontak dengan antigen tuberkulosis, dan dapat memberikan arah untuk pemeriksaan selanjutnya. c. Cairan Serebrospinal: Pemeriksaan cairan serebrospinal merupakan diagnostik yang efektif untuk mendiagnosis meningitis tuberkulosis. Gambaran cairan serebrospinal yang karakteristik pada meningitis tuberculosis adalah: Cairan jernih sedikit kekuningan atau xantocrom, Pleositosis yang moderat biasanya antara 100-400 sel/mm3 dengan predominan limfosit, Kadar glukosa yang rendah 30-45 mg/dL atau kurang dari 50% nilai glukosa darah,Peningkatan kadar protein. d. Bakteriologi: Identifikasi basil tuberkulosis pada cairan serebrospinal memiliki akurasi yang sangat tinggi hingga 100% dalam mendiagnosis meningitis tuberkulosis. Untuk mendiagnosis basil tersebut dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan apus langsung BTA dengan metode Ziehl-Neelsen dan dengan cara kultur pada cairan serebrospinal. e. Pemeriksaan Biokimia: Pemeriksaan ini untuk mengukur sifat tertentu dari mycobacterium atau respon tubuh penderita terhadap mycobacterium. Yang tergolong pemeriksaan biokimia antara lain: Bromide Partition Test (BPT), Adenosine Deaminase Activity (ADA), Tuberculostearic Acid. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 14 f. Tes Immunologis: Yang mendeteksi antigen atau antibody mikobakterial dalam cairan serebrospinal, metoda yang sering digunakan dalam tes imunologis antara lain: ELISA (enzym linked immuno sorbent assay), Polymerase Chain Reaction (PCR) 2.1.6 Komplikasi Beberapa komplikasi yang bisa muncul dari METB antara lain: Hidrosefalus obstruktif, MeningococcL Septicemia (mengingocemia), Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC, perdarahan adrenal bilateral), SIADH ( Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone ), Efusi subdural, Kejang, Edema dan herniasi serebral, Cerebral palsy, Gangguan mental, Gangguan belajar, Attention deficit disorder. 2.1.7 Penatalaksanaan Medis Beberapa tindakan penanganan ada klien dengan METB diantaranya: pencegahan dan menejemen terapi. Berikut ini uraianya: a. Pencegahan Meningitis dapat dicegah dengan cara mengenali dan mengerti dengan baik faktor presdis posisi seperti otitis media atau infeksi saluran napas (seperti TBC) dimana dapat menyebabkan meningitis serosa. Dalam hal ini yang paling penting adalah pengobatan tuntas (antibiotik) walaupun gejala-gejala infeksi tersebut telah hilang. Setelah terjadinya meningitis penanganan yang sesuai harus cepat diatasi. Untuk mengidentifikasi faktor atau janis organisme penyebab dan dengan cepat memberikan terapi sesuai dengan organisme penyebab untuk melindungi komplikasi yang serius. Pengkajian Pasien dengan meningitis. Riwayat penyakit dan pengobatan. Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk mengetahui jenis kuman penyebab. Disini orangtua harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul pada pasien seperti kapan mulai serangan, sembuh atau bertambah buruk. Setelah itu yang perlu diketahui adalah status kesehatan masa lalu pasien untuk mengetahui adanya faktor presdiposisi seperti infeksi saluran napas, atau fraktur tulang tengkorak, dll. b. Perawatan Perawatan penderita meliputi berbagai aspek yang harus diperhatikan dengan sungguhsungguh, antara lain kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan nutrisi, posisi klien, Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 15 perawatan kandung kemih, dan defekasi serta perawatan umum lainnya sesuai dengan kondisi klien. Perawatan diberikan sesuai dengan permasalahan yang muncul pada masingmasing mode adaptasi sesuai hasil pengkajian Roy Adaptasi Model. c. Managemen Terapi Terapi bertujuan memberantas penyebab infeksi disertai perawatan intensif suporatif untuk membantu pasien melaluimasa kritis : 1. Penderita dirawat di rumah sakit 2. Pemberian cairan intravena 3. Bila gelisah berikan sedatif/penenang 4. Jika panas berikan kompres hangat, kolaborasi antipiretik 5. Sementara menunggu hasil pemeriksaan terhadap kausa diberikan : a. Kombinasi amphisilin 12-18 gram, klorampenikol 4 gram, intravena 4x sehari b. Dapat dicampurkan trimetropan 80 mg, sulfa 400 mg c. Dapat pula ditambahkan ceftriaxon 4-6 gram intra vena 6. Pada waktu kejang : a. Melonggarkan pakaian b. Menghisap lender c. Puasa untuk menghindari aspirasi dan muntah d. Menghindarkan pasien jatuh 7. Jika penderita tidak sadar lama : a. Diit TKTP melalui sonde b. Mencegah dekubitus dan pneumonia ostostatikdengna merubah posisi setiap dua jam c. Mencegah kekeringan kornea dengan borwater atau salep antibiotic 8. Jika terjadi inkontinensia pasang kateter 9. Pemantauan ketat terhadap tanda-tanda vital 10. Kolaborasi fisioterapi dan terapi bicara 11. Konsultasi THT ( jika ada kelainan telinga, seperti tuli ) 12. Konsultasi mata ( kalau ada kelainan mata, seperti buta ) 13. Konsultasi bedah ( jika ada hidrosefalus ) Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 16 d. Kemoterapeutik dengan obat anti tuberculosis Tujuan pengobatan terhadap penderita tuberkulosis adalah menyembuhkan penderita dari penyakit tuberkulosis yang dideritanya, mencegah kematian akibat tuberkulosis, mencegah terjadinya relaps, mencegah penularan dan sekaligus mencegah terjadinya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) yang diberikan.Prinsip pengobatan meningitis tuberkulosis tidak banyak berbeda dengan terapi bentuk tuberkulosis yang lain. Syarat terpenting adalah bahwa pilihan OAT harus dapat menembus sawar darah otak dalam konsentrasi yang cukup untuk mengeliminir basil intra dan ekstraselular. Beberapa obat yang biasa digunakan untuk meningitis tuberkulosis adalah : 1) Isoniazida (INH) diberikan dengan dosis 400 mg / hari. 2) Rifampisin, diberikan dengan dosis 450-600 mg / hari. 3) Pyrazinamid, diberikan dengan dosis 1500 mg / hari. 4) Ethambutol, diberikan dengan dosis 25 mg / kg BB / hari sampai dengan 1500 mg / hari. 5) Streptomisin, diberikan intra muskular selama 3 bulan dengan dosis 30-50 mg / kg BB / hari. 6) Kortikosteroid, biasanya digunakan dexametason secara intra vena dengan dosis 10 mg setiap 4-6 jam, pemberian dexametason ini terutama jika terdapat oedema otak, apabila keadaan membaik maka dosis dapat diturunkan secara bertahap. 2.2 Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy. 2.2.1 Gambaran Model Adaptasi Roy Model Adaptasi Roy (MAR) dikembangkan oleh Sister Callista Roy pada tahun 1964 dan telah digunakan pada berbagai setting termasuk dalam pelayanan keperawatan pada klien dengan ganguan neurologi pada komunitas dan individu baik pada penyakit akut, kronis dan penyakit terminal (Tomey & Alligood, 2006). Fokus utama Model Adaptasi Roy adalah konsep adaptasi manusia, menjelaskan mengenai keperawatan, manusia, sehat dan lingkungan seluruhnya saling berhubungan. Manusia secara terus menerus akan mengalami atau mendapatkan stimulus dari lingkungan kemudian berespon terhadap stimulus dan beradaptasi (Tomey & Alligood, 2006). Model konseptual ini berpusat pada kemampuan seseorang dalam berespon dan beradaptasi secara efektif terhadap stimulus lingkungan dengan menggunakan sifat dasar dan pengalaman sebagai mekanisme koping (Moreno, 2009). Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 17 Model adaptasi Roy didasari oleh dua asumsi pokok yaitu asumsi keilmuan dan asumsi filosofi. Asumsi keilmuan adalah refleksi teori sistem umum dan teori tingkat adaptasi. Sedangkan teori sistem merupakan sebuah pemikiran yang menjelaskan bahwa manusia mampu beradaptasi dan saling ketergantungan antara satu dengan yang lain. Teori tingkat adaptasi menjelaskan bahwa indivisu mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dan melakukan perubahan dalam lingkunganya (Tomey & Alligood, 2006). Roy menjelaskan 4 komponen utama dalam teori sistem, yaitu: Holism (satu kesatuan), Interdepence control proces (proses kontrol yang saling ketergantungan), information feedback (umpan balik informasi), dan complexity living system (kompleksitas sistem kehidupan). Sedangkan 4 komponen utama dalam teori adaptasi diantaranya: perilaku, adapatsi sebagai fungsi stimulus dan tingkat adapatsai, tingkat adapatasi yang dinamis, respon positif dan aktif dari individu (Tomey & Alligood, 2006). Tujuan dari model adaptasi Roy dalam keperawatan adalah untuk memberikan dorongan munculnya proses adaptasi, dimana dengan melakukan pembentukan mekanisme koping membantu pasien dalam memeprtahankan suatu bentuk energi dalam sistem holistik tubuhnya sehingga mampu mempertahankan dan meningkatkan status kesehatanya (Moreno, 2009). Dalam asuhan keperawatan, Roy menyatakan bahwa sebagai penerima asuhan keperawatan adalah individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang dipandang sebagai “ Holistic Adaptif System” dalam segala aspek yang merupakan satu kesatuan. Menurut Roy yang dimaksud holistik adalah keseluruhan sistem yang ada pada diri manusia. Sedangkan adaptasi menurut Roy merupakan kemampuan efektif manusia untuk merubah dan memberikan dampak pada lingkungan sekitarnya. Roy menguraikan sistem sebagai satu kesatuan yang dihubungkan karena fungsinya sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan adanya saling ketergantungan dari setiap bagian-bagianya. Sistem tersebut terdiri dari Masukan (input), keluaran (Output), kontrol dan Umpan balik (Feedback). 1. Masukan (Input) Input termasuk stimulus yang merupakan kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal, kontekstual dan residual. a. Stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung berhadapan dengan seseorang, efeknya segera, misalnya infeksi . Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 18 b. Stimulus kontekstual yaitu semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur dan secara subyektif dilaporkan. Rangsangan ini muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan respon negatif pada stimulus fokal seperti anemia, isolasi sosial. c. Stimulus residual yaitu ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan dengan situasi yang ada tetapi sukar untuk diobservasi meliputi kepercayan, sikap, sifat individu berkembang sesuai pengalaman yang lalu, hal ini memberi proses belajar untuk toleransi. Misalnya pengalaman nyeri pada pinggang ada yang toleransi tetapi ada yang tidak 2. Kontrol Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping yang di gunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan kognator yang merupakan subsistem. a) Subsistem regulator. Transmiter regulator sistem adalah kimia, neural atau endokrin. Refleks otonom adalah respon neural dan brain sistem dan spinal cord yang diteruskan sebagai perilaku output dari regulator sistem. Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator subsistem. b) Subsistem kognator. Kognator berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi, penilaian dan emosi. Persepsi atau proses informasi berhubungan dengan proses internal dalam memilih atensi, mencatat dan mengingat. Belajar berkorelasi dengan proses imitasi, reinforcement (penguatan) dan insight (pengertian yang mendalam). Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan adalah proses internal yang berhubungan dengan penilaian atau analisa. Emosi adalah proses pertahanan untuk mencari keringanan, mempergunakan penilaian dan kasih saying 3. Keluaran (Output) Output dalam model adaptasi Roy dijelaskan sebagai suatu perilaku yang bisa diamati, diukur atau secara subyektif mampu dilaporkan sebagai bentuk respon individu baik Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 19 dalam maupun luar diri individu. Otput dalam sistem digambarkan roy sebagi bentuk respon yang bsia berupa adaptif maupun maladaptif. Respon adaptif akan terwujud bila seseorang mampu melaksanakan tujuan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi dan keunggulan. Sedangkan respon maladaptif akan terjadi bila seseorang menampilkan respon yang tidak mendukung kondisi diatas. Perilaku individu baik adapatif maupun maladatif bisa dinilai dengan melakukan pengkajian pada 4 model adaptasi yaitu: a. Mode fisiologi Mode ini berkaitan dengan respon individu secara fisik dan kimiawi terhadap stimulus dari lingkungan. b. Mode konsep diri Mode yang berfokus pada aspek psikologi dan spiritual seseorang dalam kehidupan. Roy mengidentifikasi ada 2 kompeonen dalam mode ini, yaitu: physical self (cara pandang atau sensasi terhadap tubuh) dan personal self (konsistensi diri, idela diri, dan moral etis spritual diri). c. Mode fungsi peran Mode ini berfokus pada peran seseorang dalam masyarakat yang diidentifikasi dengan integritas sosial. Merupakan suatu bentuk penilaian terhadap kemampuan seseorang untuk berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain dalam kehiduapan sosial. d. Mode interdepensi. Mode ini berfokus pada interaksi individu dengan keluarga dan lingkungan (sebagai sistem pendukung) yang diintegrasikan dalam bentuk kebutuhan memberi dan menerima cinta, perhatian dan nilai. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 20 Skema 2.1: Model adaptasi Roy. Sister Callista Roy (1984), Introduction to Nursing: An Adaptation Model (2nd ed) 2.2.2 Asuhan Keperawatan Berdasarkan Model Adaptasi Roy Teori Model Adaptasi berasumsi bahwa dasar ilmu keperawatan dibangun diatas pemahaman terhadap adaptasi manusia pada situasi kehidupannya. Roy mengidentifikasi tiga elemen dalam teori model keperawatannya, yaitu resipien keperawatan, tujuan keperawatan dan intervensi keperawatan. Setiap elemen-elemennya meliputi konsep keperawatan, manusia, sehat-sakit, lingkungan dan adaptasi. Konsep adaptasi berasumsi bahwa manusia adalah system yang terbuka yang merespon stimulus dari dalam dan luar diri manusia (Roy & Andrew, 1991). Model Adaptasi Roy meliputi proses keperawatan, termasuk pengkajian perilaku klien dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, mengidentifikasi masalah, menetapkan tujuan, memilih intervensi dan mengevaluasi hasil agar dapat memberikan perawatan secara komprehensif. Proses keperawatan menurut Roy terdiri dari 6 tahapan yang berlangsung secara simultan, dinamis dan terus menerus yang meliputi pengkajian perilaku, pengkajian stimulus, diagnosa keperawatan, penyusunan tujuan, intervensi dan evaluasi (Tomey & Alligood, 2006). Sesuai dengan tahapa pada model adaptasi Roy maka asuhan keperawatan pada pasien dengan meningitis ensefalitis dengan model adaptasi Roy terbagi dalam tahapan sebagai berikut: pengkajian (perilaku dan stimulus), diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi keperawatan dan evaluasi. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 21 2.2.2.1 Pengkajian perilaku dan stimulus Fokus dari pengkajian model adaptasi Roy adalah mengidentifikasi tingkah laku yang aktual dan potensial memperlihatkan perilaku maladaptif serta mengidentifikasi stimulus atau penyebab dari perilaku maladaptive tersebut. Empat mode adaptasi dapat digunakan sebagi dasar kerangka kerja untuk pedoman pengkajian. Mode tersebut meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan model interdependensi. Pengkajian perilaku dan stimulus dilakukan secara bersamaan pada masing-masing mode. Pengkajian perilaku (assessment behavior) merupakan langkah pertama dari proses keperawatan. Hasil dari pengkajian perilaku bisa dilaporkan secara subyektif dan obyektif melaui pengamatan dan pengukuran. Tidak semua hasil perilaku bisa diobservasi. Untuk itu diperlukan kemampuan utnuk melihat dan mendengar serta kejelian perawat untuk melihat adanya masalah atau fenomen pada pasien. Sehingga hasil yang didapat bisa akurat. Stimulus adalah segala bentuk rangsangan yang memberikan respon baik dari internal maupun eksternal diri manusia sehingga mampu mempengaruhi perkembangan perilaku dari individu yang bersangkutan (Moreno, 2009). Pengkajian stimulus merupakan langkah kedua dari proses keperawatan identifikasi dari stimulus internal dan eksternal yang melibatkan yang mempengaruhi tingkah laku adaptif individu. Pengkajian stimulus berfokus pada fokal, kontekstual dan residual. Stimulus yang dimaksud untuk mempengaruhi adaptasi adalah budaya (sosial ekonomi, suku/ras, dan kepercayaan), tahap perkembangan (usia, jenis kelamin, pekerjaan, keturunan dan faktor genetik), keluarga (struktur dan tugas), sistem adaptif (fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdepensi), efektivitas kognator (persepsi, pengetahuan, dan ketrampilan), pertimbangan lingkungan (pengobatan dan penggunaan obat tertentu, tembakau dan alkohol). Pengkajian Stimulus diklasifikasikan atas: Focal stimuli merupakan stimulus yang secara langsung mempengaruhi individu, Contextual stimuli merupakan stimulus lain yang hadir dan mempengaruhi situasi, Residual stimuli merupakan stimulus yang memberikan efek pada situasi tetapi belum jelas Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 22 Pengkajian perilaku dan stimulus pada pasien dengan Meningistisensefalitis Tuberculosa (METB) dengan menggunakan pendekatan model adaptasi Roy bisa dilihat sebagai berikut: a. Mode Adaptasi Fisiologis Mode adaptasi fisiologis yang meliputi oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi dan perlindungan, sensasi, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis dan endokrin pada METB sebagai berikut: 1) Oksigenasi Pengkajian oksigenasi meliputi kebutuhan oksigen, ventilasi, pertukaran dan transportasi gas. Pernapasan klien dinilai menggunakan teknik inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi. Dalam proses keperawatan pengkajian pada oksigenasi terutama pada pasien dengan Meningistisensefalitis (METB) terbagai dalam komponen sebagai berikut: a) Pengkajian perilaku Pengkajian oksigen dan ventilasi: Dilakukan dengan menilai kemampuan klien untuk melakukan pernapasan (inhalasi dan ekshalasi). Pada pengkajian ini perawat harus mampu menilai kepatenan jalan nafas dari semua benda atau kondisi yang membuat adanya obstruksi. Yang dinilai dari pengkajian ini adalah kecepatan, irama dan kedalaman pernafasan. Pengkajian pertukaran gas: Dilakukan bertujuan untuk mengetahui kondisi difusi atau pertukaran gas terutama dialveoli. Bisa dilihat dengan malihat hasil laborotorium terutama hasil analisa gas darah (AGD). Pengkajian transportasi gas: Dilakukan untuk melihat keadekuatan sirkulasi gas sampai ke sel. Dilakukan dengan penukuran nadi, tekanan darah, bunyi jantung, membran mukosa. Penilaian hasil diagnostik yang berhubungan dengan sistem repsirasi dan kardiovaskuler serta terapi medis yang diberikan pada pasien b) Pengkajian stimulus Pengkajian Stimulus pada ventilasi dan difusi: dilakukan dengan menilai kepatenan jalan nafas, otot bantu nafas, fungsi pusat pernapasan, serta jalur persarafan yang terkait. Pengkajian stimulus pada pertukaran gas: dilakukan dengan menilai konsentrasi oksigen, kedekuatan aliran darah ke alveoli dan integritas membran seluler. Sedangkan pengkajian transportasi gas: dilakukan dengan menilai perdarahan, dehidrasi, latihan fisik, kondisi stress, perubahan suhu, penggunaan tembakau, alergi, iritasi dan lain-lain Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 23 c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB - Respon perilaku: Peningkatan viskositas Liquor Cerebro Spinal disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produk-produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik. Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF) (Perry & potter, 2000). Gangguan perfusi serebri menyebabkan penderita meningitis dapat mengalami kerusakan saraf pengatur pernafasan sehingga kontrol sistem pernafasan tidak adekuat. Pola nafas berubah sehingga pengambilan oksigen dari atmosfir dapat berkurang, yang berakhir dengan kondisi hipoksia. Kerusakan vaskular pada jaringan susunan saraf pusat akan menghambat proses transportasi oksigen sehingga otak kekurangan oksigen yang berdampak terjadinya kematian sel-sel jaringan otak, distres pernafasan terjadi akibat penekanan pusat pernafasan di medulla oblongata oleh peningkatan tekanan intrakranial (Corwin, 2009). Depresi pusat napas dan gangguan pada saraf pengatur pernapasan akan memunculkan respon maladaptif pada pola oksigenasi berupa kondisi maladatif seperti gangguan refleks batuk, sesak, respirasi irreguler (Handerson, 2004). Penurunan perfusi serebri akan menyebabkan penurunan kesadaran sehingga menimbulkan dampak lain seperti: lidah jatuh kebelakang yang akan mengganggu jalan nafas. Dampak lebih lanjut dari penurunan kesadaran adalah immobilisasi apalagi bila ditunjang adanya kelemahan pada ektrmitas. Kondisi tirah baring lama akan memberikan dampak akumulasi sekret pada jalan nafas, ronki. Adanya penyakit penyerta seperti gangguan veskuler dan kardiologi akan memberikan respon perilaku berupa bunyi jantung murmur, disritmia atau hipertensi (Ignatavicius & Workman, 2006). - Respon stimulus: Stimulus fokal terhadap respon perilaku tidak efektif pada oksigenasi pasien METB adalah mukus berlebihan, edema, hematoma, iskemik atau infark serebral. Stimulus kontekstual berupa riwayat TB (HAP, CAP, dan HCAP) atau gangguan pernapasan yang lain, sedangkan gangguan karviovaskuler bisa berupa hipertensi, diabetes melitus, infeksi, penurunan refleks batuk dengan stimulus residual yaitu usia dan gaya hidup seperti merokok, mengkonsumsi alkohol dan kurangnya aktivitas. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 24 2) Nutrisi Nutrisi merupakan intake cairan dan makanan yang berhubungan dengan kebutuhan metabolisme (Myers, 2006). Roy mendefinisikan nutrisi sebagai proses digesti dan metabolisme untuk mempertahankan fungsi tubuh, pertumbuhan dan berfungsi untuk mengganti jaringan tubuh yang mengalami cedera (Roy & Andrews, 1999). a) Pengkajian perilaku Pengkajian perilaku nutrisi meliputi pengkajian digesti dan metabolisme yang meliputi pola makan, sensasi terhadap makanan, alergi makanan, nyeri pada saat makan atau minum serta perubahan cara intake nutrisi seperti melalui NGT atau gastrostomy tube, berat badan dan tinggi badan, nafsu makan, riwayat nutrisi, keadaan rongga mulut serta hasil laboratorium seperti protein plasma. Pengkajian perilaku pada nutrisi berkaitan dengan rasa haus, lapar, pola makan, TB daan BB, alergi, kondisi kesehatan dan kebersihan rongga mulut dan gigi. Perubahan cara pemasukan makan, adanya gangguan makan seperti anoraksia, nausea, vomit, bulemia, gangguan sensasi rasa dan bau. b) Pengkajian stimulus Pengkajian stimulus yang berkaitan dengan nutrisi antara lain: penyakit yang memepengaruhi intake dan output nutrisi, kebiasaan makan, tipe atau jenis makanan, medikasi atau prosedur medis yang mempengaruhi proses pencernaan, kebutuhan kalori dan metabolisme yang dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas, suhu dan diet c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB - Respon perilaku: pada pasien METB, terjadi oedema serebral mengakibatkan kompensasi tubuh untuk menangani dengan mengeluarkan steroid adrenal melalui perangsangan dari hipotalamus. Hal ini berpengaruh terhadap peningkatan sekresi asam lambung yang menyebabkan hiper asiditas yang akan menimbulkan mual, muntah dan nafsu makan berkurang. Pada kondisi yang kronis keadaan ini akan menimbulkan iskemi mukosa lambung dan kerusakan barier mukosa sehingga terjadilah perdarahan lambung (stress ulcer) maka pada kondisi tersebut asupan nutrisi klien tidak adekuat yang menimbulkan status nutrisi pasien tidak adekuat (Price, 2006). Gangguan pada nervus kranium merupakan dampak lebih lanjut pada pasien METB yang mengalami lesi neurologi. Kelemahan pada saraf kranium akan menghambat proses menelan pada pasien. Menelan merupakan proses kompleks yang melibatkan 20 muskulus dan 5 nervus yang memerlukan koordinasi aktivitas otot mulut, faring, laring dan esofagus yang dipersarafi Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 25 oleh sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer yang terdiri dari empat fase yaitu oral preparatory, oral propulsif, pharingeal dan esophageal (Hammond & Goldstein, 2006; Nazarko, 2007). Kerusakan menelan akan membuat intake nutri menurun sehingga terjadi ketidakcukupan gizi yang akan memunculkan malasah keperawatan yang baru yaitu: perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Sehingga respon ketidakefektifan adaptasi pada pola nutrisi pasien METB adalah mual, muntah, kesulitas menelan, proses infeksi dan disfagia (McKenna, 2008). -Respon stimulus : Stimulus fokal yang berperan terhadap respon tidak efektif yaitu penurunan kemampuan menelan, gangguan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme. Stimulus kontekstual termasuk kelumpuhan saraf kranial, penurunan kemampuan menelan. Riwayat penyakit maupun prosedur medis sebelumnya yang mempengaruhi nutrisi tubuh. Sedangkan stimulus residual bisa berupa Usia, jenis kelamin, budaya, ras dan pengetahuan tentang diet. 3) Eliminasi Eliminasi merupakan hal yang penting untuk mempertahankan kesehatan. Sistem tubuh yang terlibat dalam proses eliminasi adalah sistem perkemihan dan gastrointestinal (DeLaune & Ladner, 2002). Eliminasi merupakan proses yang penting untuk adaptasi dan mempertahankan keseimbangan fisiologis. Sampah metabolik sebagai hasil dari proses metabolisme dieliminasi melalui saluran cerna, ginjal, kulit dan paru-paru (Roy & Andrews, 1999). Fokus pengkajian eliminasi menurut Roy adalah eliminasi intestinal dan eliminasi urinaria. a) Pengkajian perilaku Pada pola eliminasi meliputi kemampuan klien melakukan BAB dan BAK. Pada pengkajian BAB yang dinilai adalah kondisi: feses yang diobservasi konsistensi, bau, warna, frekuensi, pola pengeluaran dan penggunaan pencahar. Pengkajian BAK dilakukan dengan menilai kondisi urin yang dilihat dari frekuensi, warna, bau, adanya kondisi patologis berupa proteinuria dan hematuria. Selain itu dilakukan pemeriksaan diagnostik terkait kondisi urin dan feses seperti lab urinalisa, kultur urin dan feses. b) Pengkajian Stimulus Pengkajian stimulus eliminasi adalah adanya proses penyakit yang mempengaruhi proses normal sistem gastrointestinal atau sistem urinaria, diet, intake cairan, kurangnya privasi, temperatur dan Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 26 ketidaknyamanan ruangan, ketersediaan bedpan dan urinal, nyeri dan stress (Roy & Andrews, 1999). c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB -Respon perilaku: Intake yang kurang akan membuat metabolisme klien menurun apalagi dari kondisi immobilisasi klien membuat peristaltiknya menurun, sehingga klien akan rentan mengalami gangguan eliminasi. Klien akan rentan mengalami konstipasi. Konstipasi merupakan penurunan frekuensi defekasi disertai kesulitan pengeluaran feses atau feses yang keras dan kering (Herdman, 2012). Konstipasi pada pasien METB terjadi jika lesi mempengaruhi pusat defekasi. Hal ini akan menghambat aktivitas simpatis dan parasimpatis sehingga terjadi kegagalan koordinasi gelombang peristaltik, relaksasi pelvis dan spinkter eksternal (Winge, Rasmussen, & Werdelin, 2003). Gangguan pada pengosongan bladder seperti inkontinesia urin muncul sebagai akibat dari neurogenik inkontinensia (Mair, 2012). -Respon stimulus: Pengkajian stimulus pada pasien METB adalah: Stimulus fokal eliminasi yang berperan terhadap respon perilaku eliminasi yang tidak efektif adalah kerusakan neurologi. Stimulus kontekstual berupa immobilisasi, intake serat yang tidak adekuat, penurunan kemampuan fungsional serta stimulus residual yaitu usia, stress dan menunda atau mengabaikan keinginan untuk buang air besar dan urin 4) Aktivitas dan istirahat Aktivitas merupakan kegiatan hidup sehari-hari yang membutuhkan energi termasuk aktivitas perawatan diri, exercise dan aktivitas diwaktu senggang (Myers, 2006). Menurut Roy, aktivitas dan istirahat merupakan kebutuhan dasar dalam mode fisiologis yang meliputi mobilitas dan tidur (Roy & Andrews, 1999). a) Pengkajian perilaku Pengkajian perilaku dilakukan dengan memberikan penilaian terhadap aktivitas yang dinilai dari fungsi motorik seperti tonus dan kekuatan otot, mobilitas sendi, postur tubuh, pergerakan abnormal atau yang tidak disadari. Sedangkan pengkajian perilaku istirahat dinilai dari kondisi pemenuhan tidur (pola dan jumalh tidur), frekuensi dan lama tidur, adanya gangguan dalam tidur, pemakaian obat tidur, tanda kesulitan tidur baik fisik maupun psikis. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 27 b) Pengkajian stimulus Pengkajian stimulus dilakukan dengan menilai adanya gangguan neuromuskuler, keterbatasan aktivitas, rasa malas beraktivitas, pola pemenuhan dan bantuan dalam ADL, ketidaknyamanan, nyeri, perubahan kebiasan dan pola tidur, perubahan mood dan perubahan lingkungan. c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB -Respon perilaku: pada pasien dengan METB munculnya kelemahan pada ekstremitas lebih sebagai dampak dari adanya hilangnya kontrol volunter terhadap gerakan motorik (Smeltzer & Bare,2006). Adanya gangguan yang melibatkan sistem neuromuskuler mengakibatkan hambatan dalam melakukan mobilitas sehingga menimbulkan masalah kerusakan mobilitas fisik. Respon perilaku maladatif lain pada fungsi ini adalah: pergerakan terbatas, kelemahan umum, hilangnya sensasi, tidak dapat beristirahat karena nyeri atau spasme otot, tonusotot flasid atau spastik (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010). -Respon stimulus :Stimulus fokal yang berperan terhadap respon perilaku aktivitas dan istirahat yang tidak efektif pada pasien METB adalah kelemahan, immobilisasi, perubahan tingkat kesadaran. Stimulus kontekstual berupa infark, kerusakan neuromuskuler. Stimulus residual yaitu kurang pengetahuan manfaat pergerakan fisik, motivasi untuk bergerakdan melakukan latihan ROM, budaya dan gaya hidup inaktivitas. 5) Proteksi dan Perlindungan Proteksi dan perlindungan dibutuhkan untuk pertahanan tubuh melawan infeksi, trauma, dan perubahan temperatur terutama oleh struktur integumen dan daya tahan tubuh yang didapat (Tomey & Alligood, 2006).Roy mengidentifikasi proteksi sebagai adaptasi yang penting melalui mekanisme pertahanan spesifik (sistem immun) dan nonspesifik (membran barrier, sel dan chemical) (Roy & Andrews, 1999). a) Pengkajian perilaku Pengkajian perilaku yang berhubungan dengan kebutuhan proteksi diantaranya kondisi kulit atau integumen adanya lesi, eretema, penekana yang lama pada kulit, resiko ulkus decubitus yang dinilai dengan skala Norton. Kondisi rambut dan kulit kepala. Sensitifitas terhafap nyeri, resiko jatuh, alergi makan dan obat, status imunologi, suhu, tanda infeksi dan inflamasi. b) Pengkajian stimulus Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 28 Pengkajian stimulus pada kulit biasanya penilaian terhadapa kebutuhan proteksi dan kondisi lingkungan. Pengkajian stimulus meliputi faktor lingkungan yaitu suhu ruangan, sirkulasi udara dan kelembaban; integritas mode seperti dehidrasi, CRF, stress, status nutrisi; praktik higiene dan proses menua (Roy & Andrews, 1999). c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB -Respon perilaku: adaptasi yang tidak efektif pada pola proteksi dan pelindungan pasien METB adalah luka tekan atau berisiko mengalami luka tekan, demam. Peningkatan metabolisme mengakibatkan peningkatan suhu tubuh sehingga timbul demam, yang dapat meningkatkan kebutuhan cairan, selain itu klien dengan meningitis seringkali terjadi penurunan kesadaran sehingga klien harus berbaring lama di tempat tidur dan dapat terjadi gangguan integritas kulit sebagai dampak dari berbaring yang lama (Rozanables, 2005). Dampak dari kelemahan ekstremitas yaitu munculnya immobilisasi. Kondisi ini akan mengakibatkan pasien mengalami baik resiko maupun aktual kerusakan integritas kulit. Resiko kerusakan integritas kulit ditetapkan berdasarkan alat penilaian risiko seperti skala Braden atau Norton. Immobilisasi lama menimbulkan penekanan jaringan yang mengganggu aliran darah setempat menyebabkan iskemik dan berlanjut menjadi nekrosis pada kulit dan jaringan dibawahnya (Beddoe & Grose, 2010). Kondisi ini diperberat oleh usia lanjut, perubahan status nutrisi, penonjolan tulang, kelembaban kulit dan udara serta hipertermi (Herdman, 2012). -Respon stimulus : Stimulus fokal yang berperan terhadap respon perilaku proteksi dan perlindungan yang tidak efektif pada pasien METB adalah immobilisasi fisik, kelemahan, hipoksia jaringan. Stimulus kontekstual berupa suhu lingkungan, kulit lembab, perubahan nutrisi, riwayat jatuh, riwayat penyakit imun, riwayat infeksi sebelumnya, riwayat kondisi hematologi dan stimulus residual yaitu stress, usia, kurangnya pengetahuan, merokok dan alkohol. 6) Sensasi (Sensori) Sensasi merupakan input yang penting untuk berinteraksi dengan perubahan lingkungan meliputi penglihatan, pendengaran, dan rasa. Sensasi dapat berupa cahaya, suara, panas, tekanan dan vibrasi mekanik yang dihantarkan melalui aktivitas neuron untuk menghasilkan persepsi (Roy & Andrews, 1999). Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 29 a) Pengkajian perilaku Pengkajian perilaku pada sensasi berupa penilain kemampuan klien dari pancaindera yaitu: pendengaran, penglihatan, perabaan, perasa, penciumana. Yang dinilai dari penglihatan adalah: gerakan bola mata. ketajaman mata, adanya diplopia, pandangan buram, reaksi pupil terhadap cahaya, buta warna. Kemampuan pendengaran: uji rinne weber dan swabach unut menilai ambang pendengaran. Selaian itu dilakukan pemeriksaan kemampuan menelan, uji sensitivitas kulit, pemeriksaan penciuman. b) Pengkajian stimulus Kelainan neurologis sering menjadi stimulus fokal yang berhubungan dengan gangguan sensori persepsi terutama pada panca indera seperti gangguan pendengaran, penglihatan, penciuman atau perabaan. Stimulus fokal lebih karena kerusakan jaras sensorik motorik pengatur sensasi pada otak dan stimulus residual adalah usia, budaya, pengetahuan, motivasi maupun pemeliharaan kesehatan. (Roy & Andrews, 1999). c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB -Respon perilaku: pasien METB akan memberikan mainifestasi gangguan neurologi sesuai dengan luas dan lokasi lesi, dimana lesi pada otak lebih disebabkna karena proses edema serebri dan gangguan obstruksi CSS (Price, 2006). Bila lesi berada cerebru terutama pada praietal yang berfungsi sebagai koordiantor utama fungsi sensasi maka besar kemungkinan pasien akan mengalami gangguan sensorik motorik (Brunner, 2002respon maladatif lain pada fungsi ini diantaranya: kesulitan menginterpretasi stimuli visual, taktil dan auditorius; penurunan fungsi penglihatan seperti buta total, kebutaan monokuler, diplopia; pusing, nyeri kepala, kesemutan, hilangnya rangsang sensorik kontralateral; kehilangan sensasi pada lidah, pipi dan tenggorokan (Smeltzer & Bare, 2006). -Respon pengkajian stimulus: Stimulus fokal yang berperan terhadap respon perilaku sensasi yang tidak efektif pada pasien adalah agen cedera, infeksi, sepsis. Stimulus kontekstual berupa defisit sensorimotorik sedangkan stimulus residual yaitu perbedaan budaya, usia, kondisi emosional kurang informasi dan stress. 7) Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Cairan, elektrolit dan asam basa menurut Roy merupakan satu dari empat proses kompleks yang dihubungkan dengan mode fisiologis. Mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit dan Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 30 asam basa memegang peranan penting dalam mempertahankan integritas individu (Roy & Andrews, 1999). a) Pengkajian perilaku Pengkajian perilaku yang berkaitan dengan kebutuhan cairan dan elektrolit diantaranya intake cairan baik melalui peroral maupun perenteral. Output cairan mealalui urin dan keringat. Kondisi elektrolit tubuh yang diketahui melaui pemeriksaan laborat terutama untuk nilai Na, K dan Cl. b) Pengkajian Stimulus Stimulus fokal yang menyebabkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit adalah penyakit kronis dan cedera. Stimulus lain berupa pengobatan, muntah, pengetahuan dan usia yang terlalu muda atau lansia (Roy & Andrews, 1999). c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB -Respon pengkajian perilaku: adaptasi yang tidak efektif pada pola keseimbangan cairan dan elektrolit pada METB adalah dehidrasi yang ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin (Scales & Pilswoth, 2008). -Respon pengkajian stimuluspasien METB: Stimulus fokal respon perilaku tidak efektif pada keseimbangan cairan dan elektrolit pasien METB adalah kegagalan mekanisme pengaturan seperti dehidrasi, diari, inkotinensia urin, retensi urin, sindrma walt, kegagalam cerebellar, ganggaun ADH, hiper atau hipometabolisme. Stimulus kontekstual yaitu perubahan status mental, intake tidak adekuat. Sedangkan stimulus residualyaitu kurang pengetahuan dan umur yang ekstrim, motivasi minum yang kurang, ketidakmampuan dukungan pemenuhan ADL 8) Fungsi Neurologis Fungsi neurologis mempunya manfaat paling penting dalam proses adaptasi manusia, fungsi ini komponen utama unutk menentukan kemampuan adapatasi manusia terhadap stimulus karena fungsi neurologis menetukan, mengatur dan mengkoordinasi semua fungsi fisiologis yang lain. a) Pengkajian perilaku Pengkajian perilaku pada fungsi neurologi meliputi kompenen sebagai mana diuraikan berikut ini: Penilaian Kesadaran: Dilakukan untuk mengetahui kondisi dan tingkatan kesdaran pasien baik secara kualitatif maupun kuatitatif menggunakan GCS dan AVPU. Dinyatakan kuantitaiif dengan menggunakan angka pada masing-masing nilai eyes, motorik dan verbal. Sedangkan secara kualitatif dinyatakan dengan tingkatan mulai dari Compos Mentis sampai dengan Coma. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 31 Selain itu pada pemeriksaan kesadaran juga dinilai kondisi pupil seperti: reaksi terhadap cahaya, diameter pupil, adanya pin point, rekasi cahaya langsung dan tidak langsung. Serta dinilai pula kondisi penampilan dan kontak dengan pasien secara umum. Penilaian Rangsang selaput otak (meningeal): Dinilai adanya rangsangan pada meninngen dengan melakukan pemeriksaan kaku kuduk, lasig, kerniq, brudzinki I,II. Bila pasien adanya infeksi atau abses maka tanda rangsang meningeal yang harusnya tidak ada akan menajdi postif. Penilaian saraf kranium: Penilaian dengan melakukan pemeriksaan pada saraf kranium I-XII. Melakukan pemeriksaan pada masing-masing saraf: olfaktorius, optikus, okulomotorius, troklearis,trigeminus, abdusen, fasiales, vestibulokoklearis, glosofaringeus, vagus, aksesorius, hipogolus. Penilaian kemampuan sensorik: Pemeriksaan dengan menilai kemampuan reseptor, sensibilitas eksterioseptif, rasa interoseptif, nyeri rujukan dan rasa somestesia luhur. Penilaian kemampuan motorik: Dilakukan dengan melakukan pemeriksaan: inpeksi : sikap , bentuk ,urakan, gerakan tidak terkoordinasi, cara berjalan. Palpasi: massa otot. Pergerakkan aktif dan pasif pada ektrmitas dan badan. Termasuk didalamya pengukuran kekuatan otot dan tonus otot.Penilaian fungsi luhur: Pemeriksaan untuk menilai status mental, kemampuan komunikasi dan bicara, kalkulasi, meori, mood dan perasaan, orentasi, abstraski. Penilaian reflek: Pemeriksaan untuk mengatahui kondisi refelk duperficial maupun profundus. Dilakukan dengan melakukan pemeriksaan reflek fisiologis dan patologis. Dimana reflek fisiologi yang diperiksa misalnya: glabellea, masseter, tendon bisep, trisep, abdominal, patela. Sedangkan reflek patologis seperti: babinski, caddock, oppenhem, gordon, scafer, hoffmantrummer. b) Pengkajian stimulus Pengkajian stimulus fokal dilakukan dengan melaukan pemeriksaan munculnya gangguan atau defisit neuro dari masing-masing komponen diatas seperti diplopia, parese, anopsia, nyeri kepala, mual, muntah, TRM (+), penurunan tonus otot. Pemunculan kondisi patologis tersebit dari fisik ditunjang dengan hasil pemeriksaan diagnostik seperti Lab, Ct Scan,MRI, Rontgen, Angigrafi, Kultur, Lumbal Punksi. Pemeriksaan stimulus kontekstual seperti riwayat penyakit penyerta yang menyebabkan munculnya defisit neurologi. Dan stimulus residual berupa pengetahuan, motivasi dan dukungan yang membuat kondisi kliend alam perawatan menjadi kurang optimal. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 32 c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB -Respon pengkajian perilaku: Proses peradangan meningen dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial, dimana akan terjadi kerusakan saraf pusat pengontrol kesadaran yang dapat menimbulkan penurunan kesadaran dan terjadi penekanan pada saraf pusat pernafasan yang dapat mengakibatkan pola nafas tidak efektif. Pada saraf kranial yaitu nervus vagus yang mengakibatkan penurunan reflek menelan, nervus optikus yang dapat mengganggu fungsi visual, kerusakan nervus III, IV, VI yang dapat mengganggu pergerakan bola mata, kerusakan nervus VIII yang dapat mengganggu fungsi pendengaran. Pada proses peradangan akan menimbulkan respon nyeri yang akan merangsang korteks sesebri dan dalam keadaan lanjut dapat menimbulkan iritasi meningen yang ditandai dengan adanya kaku kuduk, kernig positif, brudzinski I dan II, serta laseque positif (Snell, 2007). -Respon pengkajian stimulus pasien METB: Stimulus fokal yang berperan terhadap respon perilaku fungsi neurologi yang tidak efektif pada METB adalah infark, hipoksia dan cedera serebrovaskuler. Stimulus kontekstual yaitu riwayat METB, anemia, gangguan elektrolit. Usia, kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol dapat menjadi stimulus residual. 9) Fungsi endokrin a) Pengkajian perilaku Pengkajian perilaku fungsi endokrin adalah segala bentok maifestasi klinis dari fungsi terdahulu yang bisa menyebabkan kondisi gula darah menjadi tidak balance baik itu hipoglikemia atai hiperglikemia. Adanya semua tanda dan gejala yang mengarah pada kondisi diabtese meliitus atau diabetes incipidus. Kondisi diatas ditunjang dnegan pemriksaan diagnostik seperti pemeriksaan gula darah : GD puasa, acak atau 2 jam Post Parandial. b) Pengkajian Stimulus Pengkajian stimulus yang dilakukan dengan pemeriksaan adanya poliuri, polifagia, polidipsi, nilai GDS. Pengkajian stimulus kontekstual: riwayat penyakit gula sebelumnya, riwayat pola makan, riwayat penyekait penyerta terutama pada pencernaan: hepar. Pengkajian stimulus residual dari: pengetahuan pengaturan diet, pola makan, kontrol. Motivasi pengaturan vaskuler (gula dan tekanan darah), riwayat konsumsi alkohol dan obat. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 33 c) Respon Pengkajian perilaku pasien METB -Respon pengkajian perilaku: pasien dengan infeksi otak terutama pada METB tidak akan menyebabkan gangguan secara langsung pada sistem endokrin. Namun adanya masalah pada pada sistem ini lebih sebagai dampak dari adanya penyakit penyerta seperti diabetes mellitus atau gangguan hepar. Sehingga akan muncul respon maladaptif berupa hiperglikemia dengan tanda dan gejala poliuri, polidipsi dan polifagia serta komplikasi seperti gangren, gangguan mata. -Respon pengkajian stimulus pasien METB: Stimulus fokal hiperglikemia pada pasien METB yaitu cedera neuron Stimulus kontekstual yaitu gangguan toleransi glukosa, penyakit diabetes melitus, monitoring glukosa darah tidak adekuat. Sedangkan stimulus residual yaitu kurang pengetahuan tentang manajemen diabetes, tidak taat terhadap rencana pengobatan dan stress. b. Mode Adaptasi Konsep Diri Mode adaptasi konsep diri berhubungan dengan psikososial yang menekankan pada aspek psikososial dan spiritual. Kebutuhan konsep diri berhubungan dengan integritas psikis yang meliputi persepsi aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Konsep diri menurut Roy meliputi fisik diri yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya dan kepribadian diri yang berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral-etik dan spiritual. Perasaan cemas, hilangnya kekuatan dan takut merupakan hal yang berat pada kepribadian diri (Tomey &Alligood, 2006). a) Pengkajian Perilaku Menurut Roy pengkajian perilaku tentang mode konsep diri adalah bagaimana seseorang merasakan dirinya (Body Sensation), bagaiamna seseorang memandang dirinya (Body Image), respon yang diberikan terhadap situasi dan apa yang dilakukan terhadap dirinya (Self-ideal), kepercayaan yang dimiliki (Moral-Ethical-Spiritual self). Pengkajian perilaku konsep diri dengan mengobservasi penampilan seperti postur, ekspresi wajah, melalui pernyataan pasien tentang diri mereka dan ekspresi perasaan. b) Pengkajian Stimulus Pengkajian stimulus mencakup penilaian perkembangan, pembelajaran, reaksi terhadap orang lain, persepsi, krisis, dan mekanisme koping. Masalah adapatasi yang bisa muncul seperti: kecemasan, ketakutan, disfungsi seksual, gangguan citra diri, kehilangan, prolonged griefing, rendah diri, menarik diri. Kondisi ini menimbulkan perilaku kecemasan dan pesimistik dalam perawatan dan harapan keberhasilan pengobatan klien. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 34 c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB -Respon perilaku: adaptasi konsep diri tidak efektif pasien METB yaitu perasaan tidak berdaya; keputusasaan; emosi labil seperti marah, sedih dan perasaan senang yang berlebihan (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010). -Respon pengkajian stimulus pasien METB: Stimulus fokal yang berperan terhadap respon tidak efektif adalah ancaman terhadap konsep diri, perubahan status kesehatan, fungsi peran, merasa kehilangan fungsi tubuh. Stimulus kontekstual yaitu kebutuhan yang belum terpenuhi, perubahan peran sosial serta stimulus residual berupa stress, perasaan negatif tentang tubuh dan koping tidak efektif. c. Mode Adaptasi Fungsi Peran Peran merupakan kesatuan fungsi dalam masyarakat yang menggambarkan hubungan dengan orang lain. Mode fungsi peran meliputi peran, posisi, performa peran, penguasaan peran, integritas sosial, perilaku instrumental dan ekspresif. Peran terdiri dari peran primer, sekunder dan tersier. Seseorang dapat menjalankan satu peran primer tetapi memiliki beberapa peran sekunder dan tersier (Christensen & Kenney, 2009; Roy & Andrews, 1999). a) Pengkajian perilaku Pengkajian perilaku pada mode fungsi peran adalah penilaian pada segala sesuatu yang bsia diamati dan diobservasi berhubungan dengan pengalaman sehat dan skit indivisu ditengah masyatakat. Pengkajiannya meliputi anamnese peran individu dalam belajar, bekerja. b) Pengkajian stimulus Pengkajian stimulusnya berupa kemapuan mengekresipka diri, keberadaanya di masyarakat, penghargaan dan support sistem. c) Respon pengkajian perilaku dan stimulus pasien METB -Repson pengkajian perilaku:Masalah adaptasi yang bisa muncul misalnya konflik peran, tranisis peran, dan peran ganda.Insiden METB karena penyakit jantung lebih tinggi pada usia 30-70 tahun (Chih, Hung, Jiann, & Hsu, 2010), yang merupakan fase usia dewasa tengah dan akhir. Pada fase ini seseorang akan mengalami integritas ego yang cenderung rentan dengan perubahan yang terjadid engan dirinya. Klien beresiko untuk mengalami harga diri rendah. Perubahan bentuk fisik akibat penyakit akan membuat klien kesulitan menerima dirinya yang baru sehingga membuatnya frustasi sampai resiko terjadinya suicide (Monks & Knoers, 2002). Tidak efektifnya Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 35 koping terhadap peran, pola dan penampilan peran serta integritas peran yang tidak efektif seperti aktivitas dan gaya hidup seperti perokok baik aktif dan pasif, alkoholisme, komunitas yang kurang sehat dapat memicu METB. -Respon pengkajian stimulus pasien METB: Perubahan status kesehatan dan kompleksnya regimen terapi menjadi stimulus terhadap manajemen kesehatan diri dan manajemen regimen terapeutik keluarga yang tidak efektif. Stimulus fokal yang berperan terhadap respon fungsi peran yang tidak efektif adalah perubahan status kesehatan. d. Mode Adaptasi Interdependensi a) Pengkajian perilaku Mode interdependensi menunjukkan adanya kebutuhan akan sistem dukungan orang adekuat dari keluarga, teman-teman dan masyarakat (Christensen & Kenney, 2009). Pengkajian mode adaptasi interdepnsi adalah semua perilaku dan sikap yang ditunjukkan klien dalam memberi atau menerima support atau dukungan dari orang lain dalam menajalani perawatan. Sistem pendukung yanga da baik dari kelaurga atau teman atau kelompok sosail yang bisa membentuk pola pikir positif, motivasi sampai dukungan sosial, spiritual, ekonomi yang bisa membantu klien menjalani perawatanya secara lebih baik. b) Pengkajian stimulus Pengkajian stimulus terkait dengan harapan dan menyadari kebutuhan, kemampuan merawat kedua pihak, harga diri, pengetahuan, usia serta pemahaman hubungan interdependen (Roy &Andrews, 1999). c) Respon pengkajian perilaku pasien METB -Respon perilaku: berupa kelemahan, kehilangan sensasi dan paralisis memerlukan dukungan dari keluarga, teman, dan masyarakat agar pasien tetap adaptif terhadap kondisi yang dialami. Perubahan fisik dan tidak adanya orang yang berarti menjadi stimulus fokal kerusakan interaksi sosial atau isolasi sosial pada pasien METB. -Respon pengkajian stimulus pasien METB: Pengkajian stimulus pada mode ini dilakukan dengan penilaian akan kebutuhan untuk mencintai, menghargasi, keterbukaan, perhatian, nilai, harapan. Kasih sayang dan interaksi dengan orang lain terutama kelaurga. Masalah adaptasi pada mode ini adalah: kesepian, ketidakefektifan support sistem, perasaan terbuang, relaita perawatan dengan posisi : OT (orang terlantar), gangguan emosi dan perasaa, putuas asa (Hopeless). Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 36 2.2.2.2 Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan menurut teori adaptasi Roy didefinisikan sebagai suatu hasil dari proses pengambilan keputusan berhubungan dengan kurang mampunya adaptasi. Diagnosa keperawatan dirumuskan dengan mengobservasi tingkahlaku klien terhadap pengaruh lingkungan. Cara penetapan diagnosa keperawatan yang digunakan adalah:Pernyataan perilaku dengan stimulus yang sangat mepengaruhi, ringkasan tentang perilaku dengan stimulus yang relevan, penamaan yang meringkaskan perilaku bila lebih dari satu mode dipengaruhi oleh stimulus yang sama. Diagnosa keperawatan menurut Roy dapat dibedakan menjadi 2 hal, yaitu diagnosa keperawatan positif untuk adaptasi positif dan diagnosa keperawatan yang diangkat berdasarkan masalah adaptasi. Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan meningitisensefalitis TB ditegakkan dengan menganalisis tanda dan gejala yang mundul pada masing-masing mode. Pembuatan diagnosa keperawatan mengaju pada NANDA dan disesuaikan dengan respon maladaptif pada masing-masing mode pada model adaptasi Roy. Berikut ini penjelasanya: 1. Mode Adaptasi Fisiologi Diagnosa keperawatan pada mode adapatasi fisiologis pasien METB ditegakkan berdasarkan perilaku yang tidak efektif pada pola oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas/istirahat, proteksi dan perlindungan, sensasi, cairan elektrolit, fungsi neurologi dan fungsi endokrin. Adanya stimulus yang menyebabkan perilaku oksigenasi yang tidak efektif menimbulkan diagnosa keperawatan sebagai berikut: ketidakefektifan perfusi jaringan serebri, kerusakan mobilits fisik, defisit perawatan diri, resiko penyebaran infeksi, resiko cidera, kesulitan menelan, kerusakan integritas kulit, bersihan jalan napas tidak efektif, pola napas tidak efektif, kerusakan pertukaran gas, risiko aspirasi, dll. Perfusi jaringan serebral tidak efektif pada METB dipengaruhi oleh stimulus fokal berupa obstruksi akibat gangguan absorbsi carian serebrospinal dan proses edema pada otak yang disebabkan oleh proses infeksi dan inflamasi infeksi otak (Andrea, 2008). Hal ini menyebabkan penurunan suplai darah, oksigen dan nutrisi ke jaringan otak. Penurunan suplai darah dibawah 12 ml/100 gram/menit menyebabkan tidak adanya proses metabolik sel yang diikuti kerusakan jaringan (Bornstein & Auriel, 2010; Rohkamm, 2004). Stimulus yang lain adalah hipertensi, hiperkolesterolemia, atrial fibrilasi dan terapi thrombolisis. Penurunan suplai daraf pada otak akan menyebabkan munculnya masalah keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan serebri. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 37 Kerusakan mobilitas fisik pada pasien METB dipengaruhi oleh stimulus fokal berupa kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik (Smeltzer & Bare, 2006). Adanya gangguan yang melibatkan sistem neuromuskuler mengakibatkan hambatan dalam melakukan mobilitas sehingga menimbulkan masalah kerusakan mobilitas fisik. Gangguan mobilitas akibat kelemahan juga dapat menimbulkan masalah defisit perawatan diri. Defisit perawatan diri merupakan suatu kondisi seseorang mengalami ketidakmampuan dalam memenuhi perawatan diri yang meliputi mandi, makan, berpakaian dan toileting (Wilkinson, 2007). Pasien METB sering membutuhkan bantuan dalam memenuhi activities of daily living (ADL), seperti ambulasi, mandi, eliminasi, merawat diri dan makan (DeLaune & Ladner, 2002). Penegakan diagnosa ini disesuaikan dengan masalah perawatan diri yang dialami. Pasien yang mengalami penurunan kesadaran dengan skor Barthel Index 0-4 mengalami defisit perawatan diri total (mandi, makan, berpakaian dan toileting). Gangguan mobilitas fisik akan memunculkan maslah lain sebagai bentuk dari disuese sindrome sepeperti defisit perawatan diri, kerusakan integritas kulit, resiko cider, resiko jatuh (Doenges, 2010) Penurunan kesadaran dan immobilitas pada pasien METB dapat menimbulkan berbagai masalah baik aktual maupun risiko. Komplikasi akibat immobilitas dapat berupa ulserasi, konstipasi, risiko trombosis, retensi urine, risiko infeksi saluran kemih, penurunan daya tahan, penurunan gerak sendi. Kompleksnya permasalahan yang dialami akibat immobilitas menimbulkan masalah keperawatan risiko disuse sindrom (Herdman, 2012). Immobilitas pada pasien METB juga berisiko mengalami kerusakan integritas kulit. Risiko kerusakan integritas kulit ditetapkan berdasarkan alat penilaian risiko seperti skala Braden atau Norton. Immobilisasi lama menimbulkan penekanan jaringan yang mengganggu aliran darah setempat menyebabkan iskemik dan berlanjut menjadi nekrosis pada kulit dan jaringan dibawahnya (Beddoe & Grose, 2010). Kondisi ini diperberat oleh usia lanjut, perubahan status nutrisi, penonjolan tulang, kelembaban kulit dan udara serta hipertermi (Herdman, 2012). Proteksi dan perlindungan yang tidak efektif pada METB, selain berisiko mengalami kerusakan integritas kulit juga dapat mengalami risiko cedera dan jatuh. Risiko cedera berhubungan dengan lingkungan eksternal maupun lingkungan internal seperti pemeriksaan darah yang abnormal dan Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 38 hipoksia jaringan. Sedangkan risiko jatuh dapat terjadi pada proses pemulihan karena kelemahan, gangguan motorik dan visual dan lebih sering terjadi pada usia >65 tahun (Black & Hawks, 2009; Herdman, 2012). Pasien METB juga mudah mengalami masalah respirasi. Peningkatan usia dan immobilisasi meningkatkan risiko atelektasis dan pneumonia. Obstruksi jalan napas terjadi karena kesulitan mengunyah dan menelan, makanan tersimpan dalam mulut atau lidah jatuh kebelakang. Beberapa orang pasien yang mengalami METB di batang otak menyebabkan kegagalan pernapasan. Kondisi ini menimbulkan diagnosa keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif, pola napas tidak efektif dan kerusakan pertukaran gas. Pasien yang mengalami METB batang otak membutuhkan intubasi, ventilasi mekanik dan enteral tube feeding dan berisiko mengalami aspirasi pneumonia (Lewis, Heitkemper, Dirkssen, O’Brien, & Bucher, 2007). Diagnosa keperawatan resiko aspirasi ditegakkan jika pasien mengalami risiko masuknya sekresi gastrointestinal, sekresi orofaringeal, zat padat atau cair ke dalam saluran trakeobronkial. Faktor risiko aspirasi yaitu penurunan motilitas gastrointestinal, gangguan menelan, penurunan kesadaran dan pemberian makan melalui NGT (Herdman, 2012). Pasien METB yang mengalami disfagia orofaringeal dan esophageal meningkatkan risiko aspirasi (Eisenstadt, 2010). Kerusakan neuromuskuler yang ditimbulkan akibat perfusi jaringan serebral tidak efektif dapat menyebabkan gangguan menelan. Menelan merupakan proses kompleks yang melibatkan 20 muskulus dan 5 nervus yang memerlukan koordinasi aktivitas otot mulut, faring, laring dan esofagus yang dipersarafi oleh sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer yang terdiri dari empat fase yaitu oral preparatory, oral propulsif, pharingeal dan esophageal (Hammond & Goldstein, 2006; Nazarko, 2007). Jika hal ini mengalami gangguan maka dapat menimbulkan kerusakan menelan. Gangguan menelan pada METB juga merupakan stimulus terhadap ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Selain pola nutrisi yang tidak efektif, pasien METB juga dapat menunjukkan perilaku yang tidak efektif terhadap pola eliminasi. Pola eliminasi yang tidak efektif menimbulkan masalah kerusakan eliminasi urine. Kerusakan eliminasi urine dapat berupa retensi urine, nokturia, Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 39 frekuensi, urgensi, dysuria dan inkontinensia. Inkontinensia urine pada pasien METB berhubungan dengan infark serebral yang luas (Matthews & Mitchell, 2010). Penyebab kerusakan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi anatomik, penyebab multipel, infeksi saluran kemih dan kerusakan sensori motorik (Herdman, 2012). Konstipasi merupakan penurunan frekuensi defekasi disertai kesulitan pengeluaran feses atau feses yang keras dan kering (Herdman, 2012). Konstipasi pada pasien METB terjadi jika lesi mempengaruhi pusat defekasi. Hal ini akan menghambat aktivitas simpatis dan parasimpatis sehingga terjadi kegagalan koordinasi gelombang peristaltik, relaksasi pelvis dan spinkter eksternal (Winge, Rasmussen, & Werdelin, 2003). Masalah keperawatan yang lain yang dapat ditemukan pada pasien METB adalah nyeri akut. Nyeri merupakan sesuatu yang personal, emosional dan dilaporkan secara subyektif (Briggs, 2010). Nyeri pada pasien METB dapat berupa nyeri kepala. Nyeri dapat disebabkan agen cedera baik biologi, kimia, fisik dan psikologis (Herdman, 2012). Selain nyeri, pasien METB dapat mengalami kerusakan komunikasi verbal. Kerusakan komunikasi verbal merupakan penurunan kemampuan untuk menerima, memproses dan mentransmisikan simbol yang dapat terjadi akibat penurunan sirkulasi darah ke otak. Kerusakan komunikasi ini dapat terjadi pada pasien METB dengan berbagai variasi baik kesulitan membentuk kalimat seperti afonia, disartria ataupun kesulitan dalam mengekspresikan pikiran secara verbal seperti afasia, disfasia, apraksia dan disleksia (Herdman, 2012). Konfusi akut merupakan kejadian yang tiba-tiba dari perubahan global sementara serta gangguan perhatian, kognitif, aktivitas psikomotor, tingkat kesadaran dan siklus bangun tidur. Konfusi ini menggambarkan beragam kerusakan kognitif (Wilkinson, 2007). METB meningkatkan risiko gangguan kognitif. Sekitar 30% pasien mengalami gangguan kognitif ringan dalam 0-6 bulan setelah METB (Khedr et al., 2009). Selain konfusi akut, pasien METB juga dapat mengalami kerusakan memori. Kerusakan memori merupakan ketidakmampuan mengingat, mengulang informasi atau keterampilan perilaku. Hal ini dapat disebabkan oleh hipoksia kronis atau akut (Wilkinson, 2007). Sekitar 30% pasien METB melaporkan masalah memori yang membutuhkan penanganan (Aben et al., 2009). Diagnosa keperawatan risiko glukosa darah tidak stabil Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 40 merupakan risiko kadar glukosa darah bervariasi mulai dari rentang glukosa darah normal hingga kadar glukosa darah yang berbahaya bagi kesehatan. Stimulus diagnosa ini adalah kurangnya pengetahuan tentang manajemen diabetes, monitoring glukosa darah yang tidak adekuat dan stress (Herdman, 2012). Diagnosa ini juga dapat ditemukan pada pasien METB dengan faktor risiko diabetes melitus. 2 Mode Adaptasi Konsep Diri Diagnosa keperawatan berdasarkan mode adaptasi konsep diri ditegakkan berdasarkan perilaku fisik diri dan personal diri yang tidak efektif. Respon perilaku fisik diri yang tidak efektif menimbulkan masalah keperawatan gangguan citra tubuh dan unilateral neglect. Gangguan citra tubuh dapat disebabkan oleh perubahan struktur dan fungsi tubuh. Gangguan citra tubuh juga berhubungan dengan harga diri rendah (Gorman & sultan, 2008; Wilkinson, 2007). Pada pasien dengan METB akan rentan mengalami nyeri kepala, penurunan kesadaran dan demam. Munculnya TRM dan defisit neurologi. Klien yang mengalami gangguan motorik seperti parese akan membuat harga diri klien berubah, klien mungkin akan sulit menerima dirinya yang baru dengan kelemahan atau kelumpuhan anggota geraknya. Penurunan kesadaran dan disetres pernapasan akan membuat resiko berduka. Berduka merupakan respon emosional terhadap kehilangan seseorang atau sesuatu yang berharga baik yang nyata maupun yang diantisipasi (Smeltzer & Bare, 2006). Diagnosa keperawatan NANDA mendifinisikan berduka sebagai suatu proses kompleks termasuk respon emosional, fisik, spiritual, sosial dan intelektual serta perilaku individu, keluarga dan komunitas baik aktual, diantisipasi maupun perasaan kehilangan terhadap aktivitas sehari-hari (Herdman, 2012). Berduka mengacu pada proses yang terjadi setelah adanya kehilangan baik kehilangan saudara atau teman, bagian tubuh, pekerjaan, kesehatan atau kehidupan (Smeltzer & Bare, 2006). Kondisi klien dengan demam dan kesadaran menurun akan membuat kecemasan (Wilkinson, 2007). Ansietas merupakan suatu keresahan dan perasaan tidak nyaman yang disertaidengan respon otonom yang sumbernya tidak spesifik dan tidak diketahui serta perasaan khawatir yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya (Herdman, 2012). Ansietas merupakan gangguan psikologis yang sering dialami pasien METB fase akut, disebabkan oleh gangguan serebral atau Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 41 merupakan reaksi psikologis. Gangguan citra tubuh akan muncul dari kondisi ketergantuangan klien pada orang lain utnuk memnuhi kebuthan ADL nya (Lewis, Heitkemper, Dirkssen, O’Brien, & Bucher, 2007). 3 Mode Adaptasi Fungsi Peran Diagnosa keperawatan berdasarkan mode adaptasi fungsi peran pada METB meliputi penampilan peran tidak efektif, menajemen kesehatan diri tidak efektif dan manajemen kesehatan keluarga tidak efektif (Wilkinson, 2007). Kurang pengetahuan juga menjadi stimulus terhadap manajemen kesehatan diri tidak efektif. Diagnosa ini ditegakkan jika pasien berharap mengikuti program pengobatannamun mengalami kesulitan. Salah satu kesulitan yang sering dialami adalah kurangnya pengetahuan dan motivasi. Manajemen regimen terapeutik keluarga yang tidak efektif merupakan pola dalam mengatur dan mengintegrasikan program keluarga dalam proses terapi penyakit dan gejala tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan kesehatan (Herdman, 2012). 4 Mode Adaptasi Interdependensi Diagnosa keperawatan berdasarkan mode adaptasi interdependensi adalah kerusakan interaksi sosial, isolasi sosial, koping individu tidak efektif dan disfungsi proses keluarga. Kerusakan interaksi sosial terjadi jika jumlah dan kualitas interaksi sosial tidak efektif. Hal ini dapat dipengaruhi oleh tidak adanya orang yang berarti, hambatan komunikasi, gangguan konsep diri dan keterbatasan mobilitas. Situasi sosial yang tidak nyaman, gangguan interaksi dengan orang lain, keluarga melaporkan perubahan pola interaksi pasien, menunjukkan ketidakmampuan menerima atau mengkomunikasikan rasa kepuasan dan keterikatan merupakan manifestasi dari kerusakan interaksi sosial (Herdman, 2012). Perilaku adapatasi yang tidak efektif pada mode interdepensi ditunjukan dengan munculnya perasaan putus asa. Sendiri, kesepian, terbuang. Penurunan motivasi untuk bisa sembuh. Kondisi ini akan membuat klien menarik diri dari interaksi sosial bahkan menghambat pemberian perawatan pada dirinya.kondisi ini menunjukan bahwa koping individu tersebut tidak lagi efektif. Dimana ketidakefektifan koping individu akan membutuhkan hospitalisasi dapat Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 42 menimbulkan masalah perubahan peran dalam keluarga (Black & Hawks, 2009; Wilkinson, 2007). 2.2.2.3 Tujuan Keperawatan Tujuan keperawatan ditetapkan setelah pembuatan prioritas diagnosa keperawatan. Tujuan keperawatan diadaptasi dari Nursing Outcomes Classification (NOC). Penetapan tujuan keperawtan menurut Roy adalah menyusun pernytaan yang jelas dari hasil perilaku (Behaviour Outcomes) dari asuhan keperawatan yang akan diberikan pada pasien yang fokusnya adalah mempertahakan dan meningkatkan perilaku adaptif serta merubah perilaku yang tidak adaptif menjadi perilaku adaptif. Hal yang harus dinyatakan dalam penetapan tujuan adalah perilaku, perubahan yang diharpakan serta rentang waktu. Berikut ini beberapa tujuan keperawatan pada masing-masing masalah keperawatan: Tujuan keperawatan terhadap perfusi jaringan serebral tidak efektif yaitu pasien beradaptasi terhadap perfusi jaringan serebral dan status neurologis dengan respon perilaku tekanan darah dalam rentang yang diharapkan (penurunan 15% dalam 24 jam atau <185/110 mmHg) dengan target tekanan darah 160/90, tidak ada keluhan sakit kepala, kesadaran kompos mentis, bicara semakin lancar, intake output seimbang, MAP <130 mmHg, pasien menghindari aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial (Moorhead, Johnson, & Maas, 2004; Wong & Read, 2008) Tujuan keperawatan terhadap masalah bersihan jalan napas tidak efektif adalah pasien dapat beradaptasi terhadap status respirasi patensi jalan napas dengan respon perilaku mudah bernapas, irama napas reguler, pernapasan 12-20 x/menit, mengeluarkan sputum dari mulut, tidak terdengar bunyi napas tambahan. Tujuan keperawatan pola napas tidak efektif adalah pasien dapat beradaptasi terhadap status respirasi ventilasi dengan respon perilaku napas pendek tidak ada, kecepatan dan irama napas dalam batas normal, tidak ada penggunaan otot aksesori pernapasan, mendemonstrasikan pursed lips breathing. Tujuan kerusakan pertukaran gas yaitu pasien dapat beradaptasi terhadap status respirasi pertukaran gas dengan respon perilaku tidak ada keluhan sesak saat beristirahat, tidak ada sianosis, ventilasi perfusi seimbang, analisa gas darah dalam batas normal (Moorhead, Johnson, Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 43 & Maas, 2004; Wilkinson 2007). Respon perilaku yang diharapkan yaitu jalan napas paten, bunyi paru yang bersih, menelan dan mencerna melalui oral, makan melalui NGT tanpa aspirasi (Ackley & Ladwig, 2011). Tujuan intervensi pada masalah kerusakan mobilitas fisik adalah pasien diharapkan beradaptasi terhadap mobilitas dengan respon perilaku kekuatan otot meningkat, dapat duduk seimbang, tidak mengalami kontraktur dan footdrop, mendemonstrasikan ROM, mendemonstrasikan perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas dan mempertahankan integritas kulit (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010). Tujuan keperawatan pada defisit perawatan diri yaitu pasien dapat beradaptasi terhadap status perawatan diri dengan respon perilaku mengungkapkan kepuasan tentang kebersihan diri, mengenakan dan melepas bagian pakaian yang penting, mampu makan secara mandiri, membersihkan diri setelah toileting (Wilkinson, 2007). Tujuan keperawatan risiko disuse sindrom adalah pasien beradaptasi terhadap status neurologis, konsekuensi fisiologis terhadap immobilitas dan mobilitas dengan respon perilaku mempertahankan kulit utuh, mempertahankan fungsi eliminasi feses dan urine yang normal, mempertahankan rentang gerak sendi, aliran darah perifer baik dan fungsi paru normal (Ackley & Ladwig, 2011). Tujuan keperawatan pada risiko kerusakan integritas kulit yaitu pasien beradaptasi pengendalian risiko dan integritas jaringan dengan respon perilaku kulit utuh, melakukan perawatan kulit yang efektif, makan adekuat, melaporkan sensasi atau nyeri pada area yang berisiko, mengungkapkan rencana personal untuk mencegah kerusakan integritas kulit. Tujuan keperawatan pada risiko cedera dan jatuh yaitu pasien tidak terjadi cedera dan menunjukkan perilaku pencegahan jatuh. Respon perilaku adaptif risiko cedera yaitu pasien menjelaskan tindakan untuk menurunkan risiko, menghindari faktor risiko dan menyebutkan faktor presipitasi kejang. Sedangkan respon perilaku adaptif risiko jatuh yaitu menggunakan bantuan untuk mobilisasi, menggunakan alat bantu secara benar, melakukan prosedur berpindah dengan aman, menjelaskan aktivitas untuk menurunkan risiko jatuh, menjelaskan pencahayaan dan lantai yang aman yang dapat menurunkan risiko jatuh (Akley & Ladwig, 2011; Moorhead, Johnson, & Maas, 2004; Wilkinson 2007). Tujuan keperawatan pasien dapat beradaptasi terhadap nyeri dengan respon perilaku adaptif yaitu mendemonstrasikan teknik relaksasi, Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 44 melaporkan nyeri pada skala 3 atau kurang (skala 0-10), melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis (Wilkinson 2007). Mode adaptasi fungsi peran yang tidak efektif menimbulkan masalah penampilan peran tidak efektif, manajemen kesehatan diri tidak efektif dan manajemen regimen terapeutik keluarga tidak efektif. Tujuan keperawatan penampilan peran tidak efektif yaitu pasien beradaptasi terhadap penampilan peran dengan respon perilaku efektif mampu memenuhi harapan peran; melaporkan rasa nyaman dengan perubahan peran; melaporkan strategi perubahan peran dan menunjukkan perilaku peran dalam keluarga, komunitas dan hubungan dengan orang lain (Moorhead, Johnson, & Maas, 2004). Tujuan keperawatan manajemen kesehatan diri tidak efektif yaitu pasien mengetahui penatalaksanaan terapi, perawatan dan menunjukkan perilaku taat dengan respon perilaku adaptif menyebutkan faktor risiko METB berulang, berpartisipasi dalam proses belajar, menyadari bahwa METB butuh waktu untuk rehabilitasi, menjelaskan diet dan aktivitas untuk mencapai tujuan terapi, mengungkapkan keinginan untuk memperbaiki gaya hidup. Tujuan keperawatan manajemen regimen terapeutik keluarga tidak efektif yaitu keluarga beradaptasi terhadap penatalaksanaan terapi dan berpartisipasi dalam perawatan. Respon perilaku efektif yang diharapkan yaitu keluarga menunjukkan keinginan untuk mengelola program terapi, mengidentifikasi faktor yang menghambat program, mengatur diet, aktivitas serta pengobatan pasien (Akley & Ladwig, 2011; Wilkinson, 2007). Tujuan keperawatan koping undividu tidak efektif yaitu pasien beradaptasi terhadap koping dengan respon perilaku adaptif mengidentifikasi pola koping yang fektif, melaporkan penurunan gejala fisik dan stress, beradaptasi terhadap perubahan hidup. Tujuan keperawatan disfungsi proses keluarga yaitu dapat beradaptasi terhadap fungsi keluarga dengan respon perilaku adaptif yaitu keluarga saling mendukung dan menolong serta terlibat dalam pengambilan keputusan. 2.2.2. 4 Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan pada model adaptasi Roy dilakukan dengan tujuan untuk mengubah atau memanipulasi stimulus fokal, kontekstual dan residual, juga difokuskan pada koping individu sehingga seluruh rangsang sesuai dengan kemampuan individu untuk beradaptasi. Tindakan keperawatan berusaha membantu stimulus menuju perilaku adaptif. Hal ini menekankan kembali pentingnya mengidentifikasi penyebab selama pengkajian. Langkah dalam menyusun intervensi Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 45 keperawatan menurut Roy adalah dengan mempertimbangkan: pendekatan alternatif apa yang akan dilakukan, konsekwensi yang akan terjadi, apakah tujuan mungkin tercapai dengan alternatif tersebut dan apakah alternatif itu diterima atau tidak.Implementasi keperawatan adalah berupa uraian yang lebih rinci dari intervensi keperawatan yang telah dipilih dalam implementasi juga diuraikan pencapaian tujuan keperawatan dapat tercapai dengan melakukan menjemen beberapa stimulus yang ada. Intervensi keperawatan pada pasien dengan METB di adaptasi dari nursing interventions classification (NIC). Setiap intervensi keperawatan terdiri dari berbagai aktivitas yang dapat merubah subsistem regulator dan kognator agar respon perilaku menjadi efektif. Setiap aktivitas keperawatan dari NIC yang masih bersifat umum untuk berbagai penyakit, diambil dan disesuaikan dengan kondisi perkembangan kesehatan dan penyakit pasien untuk kemudian diterapkan dalam implementasi keperawatan pada pasien dengan METB. Intervensi keperawatan utama pada klien dengan METB bisa dilihat dalam tabel 2.1. 2.2.2.5 Evaluasi Evaluasi dilakukan untuk menilai efektivitas intervensi keperawatan yang telah diberikan. Evaluasi keperawatan menjadi refleksi dari tujuan keperawatan yang telah ditetapkan. Respon pasien selama diberikanya asuhan keperawatan dievaluasi secara berkesinambungan untuk menilai perubahan status kesehatan pasien. Evaluasi terhadap respon perilaku mode adaptasi fisiologis, psikologis, fungsi peran dan interdependensi apakah pasien beradaptasi secara integrasi, kompensasi atau kompromi (Roy & Andrews, 1999). Evaluasi merupakan penilaian efektifitas terhadap intervensi keperawatan sehubungan dengan tingkah laku pasien setelah diimplementasi. Intervensi keperawatan dinilai efektif jika tingkah laku pasien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Evaluasi pada pasien METB dilihat dengan melihat respon yang ditunjukan pada setiap mode. Respon adaptif bila pasien mampu membentuk mekanisme koping yang baik sehingga status kesehatan bisa dipertahankan. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 46 Tabel 2.1 RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN METB DENGAN PENERAPAN TEORI ADAPTASI ROY NO 1 Mode Adaptasi Fisiologis Perilaku Oksigenasi Nutrisi Pengkajian Stimulus F: sekret, sputum, K: Disfungsi neuromuskuler, infeksi, immobilisasi R: merokok F: sesak, disfungsi neuromuskuler K: Disfungsi neuromuskuler, infeksi, immobilisasi R: cemas, F:sesak, sianosis, CRT, penurunan OU. K:riwayat merokok, riwayat hipertensi, riwayat gangguan kardiologi R:usia, herediter, pengetahuan , dukungan dan motivasi serta kontrol kesehatan F:nyeri kepala, gangguan memori, konfusu, penuruna kesadaran, demam, parese, inkotinensia K:riwayat merokok, riwayat hipertensi R:usia, pola makan, pengetahuan, dukungan , motivasi, kontol, menejemen kesehatan Diagnosa Keperawatan Bersihan jalan nafas efektif Gangguan perfusi jaringan serebri Keseimbangan elektrolit dan asam basa Keseimbangan cairan Status neurologis Status kesadaran F:mual, muntah, anoreksia K:riwayat strees ulcer, riwayat anemia R:pengetauan diet seimbang, motivasi dalam makan, dukungan Gangguan kurang kebutuhan Status nutrisi Intake cairan dan nutrisi Status metabolisme Status gizi Nilai gizi Pola nafas efektif tidak Gangguan pertukaran gas nutrisi dari NOC NIC Status pernapasan: Jalan nafas Paten 1.Manajemen airway 2. Suction jalan napas 3. Peningkatan batuk Status respirasi: Ventilasi: patensi Tanda-tanda vital dalam batas normal Status respirasi Status vaskuler TTV Kondisi asam basa 1.Manajemen airway 2. Monitoring respirasi 3. Terapi oksigen Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. Menejemen airway Menejemen ventilasi Menejemen perfusi Menejemen asam basa Pengelolaan edema serebri Memantau neurologis Menejemen perfusi Pengontrolan TIK Pencegahan valsavah manuver 6. Menejemen oksigenasi 7. Menejemen perfusi 8. Menejemen difusi 1.Monitoring nutrisi 2. Manajemen nutrisi 3. Terapi nutrisi 4. Feeding 5. pengelolaan gangguan makan Universitas Indonesia 47 Eliminasi Aktivitas istirahat / Proteksi dan perlindungan keluarga tentang pemenuhan diet F:retensi, inkotinen,nyeri BAK, hematuria, proteinuris K:riwayat gangguan eliminasi R:pengetahuan tentang perawatan F:Lesi pusat defekasi, tidak ada sensasi buang air besar K: Mobilisasi yang kurang, kelemahan, intake serat kurang, obat (diuretik, antidepresan, antihipertensi) R: Kurangnya privasi, ketersediaan badpan, mengabaikan keinginan defekasi, stress F:kemerahan.lesi, ulkus decubitus, parese K:riwayat perburujkan nutrisi, riwayat PH yang kurang optimal, immobilisasi, R:usia, status nutrisi, ADL, dukungan keluarga dalam mobilisasi F: Kelemahan, kerusakan neuromuskuler K: Infark, edema serebri R: Kurang pengetahuan manfaat pergerakan fisik, enggan bergerak, kepercayaan terhadap budaya, kebiasaan mengkonsumsi alkohol F:alergi, jatuh, kerusakan jaringan K:riwayat jatuh, riwayat kejang.Riwayat alergi R:kondisi imunitas. Kondisi 6.bantuan menaikan BB 1.Manajemen eliminasi urine 2. Tube care: urinary 3.Menejemen balance cairan Kerusakan eliminasi urin Status eliminasi Balance cairan Pemeriksaan urinalisa konstipasi Eliminasi defekasi: kemampaun saluran GI mengeluarkan dan membentuk feses secara efektif 1.Manajemen konstipasi 2. Manajemen bowel 3. Bowel training Kerusakan integritas kulit Pengendalian risiko Integritas jaringan: kulit dan membran mukosa penyembuhan luka 1. Pengaturan posisi: neurologi 2. pencegahan luka tekan 3. pengawasan kulit 4. Perawatan luka 5. survailance kulit Kerusakan mobiliras fisik Mobilitas Konsekuensi imobilitas: fisiologis Posisi tubuh: inisiasi diri Penampilan body mekanik Status neurologis: kontrol motorik sentral perawatan diri pelaksanaan berpindah Pengendalian resiko Perilaku keamanaan: Pasien safety Kontrol kejang 1.Pengaturan posisi: neurologi 2. Exercise terapi: kontrol otot 3. Exercise terapi: mobilitas sendi 4. terapi aktivitas: ambulansi Resiko cidera 1.Manajemen lingkungan 2. Pendidikan kesehatan 3. Pencegahan kejang 4. Manajemen kejang Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 48 muskuloskeletal Cegah trauma /cidera F: demam, infeksi primer, tanda infeksi, tanda inflamasi, malnutrisi K: riwayat penyakit otoimun, rimawayt trauma R: pengetahuan tentang proteksi, edukasi tentang diet seimbang Resiko infeksi Sensasi F:nyeri akut, K:defisit sensorik motorik R:penegathuan tentang pencegahan dan penatalaksanan trauma Nyeri (akut) Cairan elektrolit F:dehidrasi, mual, muntah, luka bakar, diaforesis K:riwayat gangguan ginjal, riwayat gangguan pernapsa R:pengeathuan, perawtan, motivasi dalam pemenuhan keseimbangan cairan dan elektrolit F:Hipoksia, gangguan saraf K:Infark, anemia, gangguan elektrolit R:Usia F:poliuri, polidipsi, polifagia, GD abnormal, gangguan pankreas, K: Gangguan toleransi glukosa, riwayat DM, onitoring glukosa yang tidak adekuat, riwayat DM, Kurang pengetahuan tentang diet Kekruangan volume cairan elektrolit Neurologi Endokrin Penyebaran 5.Pencegahan jatuh 6. Kewasapadaan terhadap alergi Peningkatan imunitas 1. Menejemen peningkatan Vaskinasi imunitas Pengendalian infeksi 2. Menejemen pengendalian Deteksi resiko infeksi Pengetahuan pengendalian 3. Menejemen pengendalian infeksi resiko infeksi 4. Perlindungan terhadap infeksi Pain manajemen 1.Manajemen nyeri Kontrol nyeri 2. Pemberian analgesik Pengalihan nyeri 3. pemberian sedasi Tingkat kenyamanan 4. penatalaksanaan nyeri Perilaku mengendalikan nyeri Tingkat nyeri Menejemen balance cairan 1.Manajemen cairan Kontrol keseimbangan 2.Manajemen hipovolemia elektrolit 3. pengelolaan elektrolit Keseimbangan asam basa 4. pemantauan cairan 5.Terapi intravena 6. pengelolaan syok Kerusakan Memori Orientasi kognitif Memori Status neurologis 1.Pelatihan memori 2.Stimulasi kognitif 3.Orientasi realitas Resiko stabil Kadar glukosa terkontrol Penegathaun pengontrolan gula darah 1.Manajemen hipoglikemia 2. Manajemen hiperglikemia 3. Pengajaran: individu gula darah Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 49 2 Konsep diri Fisik diri Kepribadian diri 3 Fungsi Peran 4 Interdepensi dan terapi R:penegtahuan tentang diet pada DM, exercise, terapi, kontrol, perawatan kakai, kontrol gula darah F:perubahan fisik K:riwayat operasi, cidera R:kepribadian, pengalama, pengetahuan F:kehilangan fungsi tubuh K:perubahan lingkungan, harapan, kondisi sosial R:pengetahuan, pengalamam, kepribadian,karakter F:Kompleksitas regimen terapi dan sistem pelayanan, perubahan status kesehatan K:Hospitalisasi dengan stroke yang pertama R:Persepsi yang tidak sesuai dengan harapan, harapan peran tidak realistis, kurangnyapengetahuan, petunjuk dalam melakukan aktivitas belum adekuat F:Tidak ada orang yang berarti K:Keterbatasan mobilitas, hambatan komunikasi R:Gangguan konsep diri Gangguan citra tubuh Citra tubuh Adaptasi fisik tubuh Mekanisme koping 1.Pencapaian citra tubuh 2. Peningkatan kesadaran diri 3.Peningkatan support sistem Harga diri Harga diri rendah Konsep diri Kondisi situasional Pencapaian harga diri Pencapaian citra tubuh Menejemen konsep diri tidak efektif Pengetahuan penatalaksanaan terapi Pengetahuan: perawatan penyakit Perilaku taat 1.Bantuan modifikasi diri 2. Pengajaran: individu 3. Pengajaran proses penyakit 4. Pedoman sistem kesehatan Kerusakan sosial Keterlibatan sosial Interaksi sosial Peningkatan sosialisasi Peningkatan support sistem interaksi Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN Pada Bab ini akan diuraikan tentang pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem persarafan dengan mengaplikasikan teori Model Adaptasi Roy. Kasus yang akan diuraikan adalah kasus 1 (satu) kasus kelolaan dan 32 Kasus resume. Pasien kelolaan pasien dengan Meningitis Ensefalitis Tuberculosa, sedangkan pasien resume berjumlah 32 kasus yang merupakan kasus yang pernah dikelola dengan masalah utama pada gangguan sistem persarafan di Gedung A lantai V RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. 3.1 Gambaran Asuhan Keperawatan Pasien dengan Meningitis ensefalitis Tuberculosa (METB) Nama: Tn. M. Jenis kelamin : Laki-Laki. Usia : 32 tahun. Agama : Islam. Status : Belum Menikah. Pekerjaan : wiraswasta. Pendidikan : SMA. Alamat : Duren sawit Jakarta timur. Diagnosa Medis : Meningitis Ensefalitis Tuberculosa (METB), Status Epileptikus. Masuk RS : 28 Agustus 2012. Tanggal pengkajian : 20 September 2012. No. Medical Record : 3691471. Kamar : 516 B. 3.1.1 Pengkajian Perilaku dan Stimulus 3.1.1.1 Mode Adaptasi Fisiologis Pengkajian mode adaptasi fisiologis meliputi oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi dan perlindungan, sensasi, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis dan fungsi endokrin. Hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada masing-masing mode akan diuraikan sebagai berikut : a. Oksigenasi 1) Pengkajian Perilaku a) Riwayat kesehatan: Riwayat kecelakaan lalu lintas pada kepala samping dan depan. Riwayat merokok sejak SMA. kebiasaan pasien merokok semakin meningkat apalagi setalah lulus menurut kakaknya pasien bisa menghabiskan 1 bungkus rokok dalam 1 hari. 2 hari SMRS pasien mengalami demam, semakin meningkat sampai 3 jam SMRS. Pasien tinggal dipasar dengan ayah angkatnya dengan penyakit TB paru. Menurut kakanya, pasien mengkonsumsi ganja dan kopi dengan takaran yang 50 Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 51 tidak bisa diketahui dengan pasti. Riwayat keluarga: ayah pasien meninggal karena stroke hemoragic. b) Pemeriksaan fisik: Ventilasi: Inspeksi :Bentuk hidung simeteris, Tidak ada deviasi septum, Batuk (+), dahak (-), Tidak ada pernapasan cuping hidung, Sesak (-), Tidak ada penggunaan otot bantu napas, Tidak ada retraksi IC atau suprasternal, Pergerakan dinding dada simetris, Tidak ada tanda trauma atau jejas di hidung dan wajah, Terpasang kanule terapi oksigen 3 lt/m, Lubang hidung sebelah kanan terpasang NGT.Palpasi :Tidak ada nyeri tekan pada dada, Tidak teraba massa abnormal di leher dan dada, Taktil fremitus normal, RR : 20 x / menit: Auskultasi :Suara napas vesikulerSuara nafas tambahan (-), rhonki (-). Perkusi :Batas paru normal, suara perkusi paru resonan Transportasi Gas. Inspeksi :Tidak ada tanda cianosis, Membran mukosa lembab, Tidak ada jejas pada dada atau thoraks, Konjungtiva normal, Tidak terdapat clubbing finger. Palpasi :CRT < 3 detik, Turgor baik, Nadi : 82 x / menit, nadi teraba kuat dan reguler, pada bagian perifer ekstrimitas atas dan bawah teraba dingin, Apeks cordis di ICS IV MCS, JVP 5-2 cm,Suhu : 37,8 C. Auskultasi :Bunyi jantung I dan II tunggal, tidak ada murmur/gallop, TD = 120/80 mmHg, Fokal fremitus normal. Perkusi :Batas jantung normal : batas kanan jantung linea mid sternalis dan batas kiri jantung linea midclavikularis, Getaran dinding paru kiri dan kanan sama kuat,Terdengar dullness pada semua area jantung c) Pemeriksaan Penunjang Hasil pemeriksaan Lab analisa Gas darah: AGD PH Pco2 Po2 O2 sat Standar Hco3 (6/9/2012) (L) 7,313 (L) 34,6 (H) 196,6 (H) 99,4 (H) 24,7 7,35-7,45 35-45 75-100 95-98 22-24 mmHg mmHg % Mmol/L Radiografi Thorax (28/8/2012) Foto polos thorax dalam proyeksi PA dengan hasil :Jantung tidak membesar, aorta dan mediastinum sup tidak melebar, Trakea digaris tengah, Kedua hilus tidak menebal, Corakan bronkovesikuler kedua paru baik, Tidak tampak infiltrat Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 52 / nodul di kedua paru, Kedua hemidiafragma baik, Kedua sinus costofrenikus lancip, Tulang-tulang dan jaringan lunak terkesan masih baik .Kesimpulan : Tidak nampak kelainan radiologi pada cor dan pulmo Gambar: EKG :Kesan : normal sinus rhytme Pemeriksaan Ct Scan (30/8/2012): TEKNIK msct Scan Serebral dengan kontras iopromide 300 mg I/ml sebanyak 50 ml iv dosisi radiasi 3,3 mSv.Perbandinagn: tidak ada. Deskripsi : Tampak penyanagat meningen pasca pemberian kontras diregio temporal kanan dan kiri, Sulci serebri dan fissura sylvii tidak melebar, Tidak nampak lesi patologis di intraparenkimimal serebrum dan serebellum. Tahalmus , pons dan medula oblongata tidak nampak kelainan. Sistem ventrikel dan sisterna tidak emlebar. Tidak nampak pergeseran garis tengah. Sella dan parasella tidak nampak lesi. Kedua orbita sinus paransal dan mastoid tidak nampak kelainan Kesimpulan: Penyengatan meningens sugestif meningitis. Tidak nampak lesi patologis intra parenkim serebri maupun serebelli Gambar : 2) Pengkajian stimulus Stimulus Fokal: peurunan imunitas. Stimulus Kontekstual: riwayat merokok sejak sekolah STM. Riwayat pemakaian ganja. Riwayat penggunaan alkohol. Tempat bekerja sebagai preman pasar dengan beberapa teman yang diduga mengalami TB. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 53 Riwayat ayah angkat dengan TBC. Riwayat keluarga: ibu dengan diabetes Mellitus. Riwayat kejang ec trauma kepala. Riwayat penggunaan medikasi fennitoin tidak terkontrol untuk OAE. Stimulus Residual: riwayat merokok waktu masih masih sekolah 1 bungkus/hari dan semakin menikah setelah kedua orang tuanya meninggal, pola makan pasien tidak teratur, kehidupan sehari-hari pasien tidak terurus. Trauma kepala sehingga meempunyai riwayat kejang, peningkatan dosisi fenitoin dan terapi yang tidak teratur (sering putus obat) dari 3x100 menjadi 3x500 mg fenitoin, tidak melakukan kontrol kesehatan dengan rutin karena alasan biaya dan motivasi b. Nutrisi 1) Pengkajian Perilaku a) Riwayat Kesehatan: Riwayat tifus abdominalis dan stress ulcer sejak SMP. Bila sakit pasien cukup membeli obat di warung. 3 jam SMRS pasien tidak bisa makan dan minum. b) Pemeriksaan Fisik: Sklera tidak ikterik, warna bibir merah muda. conjunctiva tampak pucat. Pada daerah mulut tidak ditemukan adanya kandidiasis. Parese otot wajah (-), bicara pelo (-). Kesulitan menelan (+). Kesadaran kline menurun (somnolen) dan ada kesan gangguan fungsi luhur. Tidak ada hipersalivasi. Batuk (+) dan dahak (-). Tidak ada gigi yang tanggal atau caries. tidak ditemukan adanya lesi pada daerah mulut, lidah pasien kotor dan barwarna putih, Abdomen datar, tidak terdapat asites dan distensi abdomen, bising usus 4-5 x/menit ireguler, pada saat perkusi terdengar bunyi timpani pada semua kuadran, tidak teraba pembesaran hati dan limpa, tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada semua kuadran abdomen, pada anus tidak terdapat hemoroid. BB pasien : 54 Kg dengan tinggi 165 cm. IMT: 19 . c) Pemeriksaan diagnostik Berikut ini hasil pemeriksaan laborat Hematologi Hemoglobin Kimia klinik SGOT SGPT (15/9/2012) (L) 11,7 13-16 g/dL 31 29 <33 <50 u/l u/l Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 54 2) Pengkajian Stimulus: Stimulus Fokal: gangguan intake nutrisi: kesulitan menelan, penurunan kesadaran, dan peningkatan metabolisme: proses infeksi otak. Stimulus Kontekstual: riwayat kejang. Stimulus Residual: pasien menjalani perawatan dengan dukungan keluarga yang sangat minimal. Pengetahuan keluarga akan kebutuhan nutrisi pasien minimal c. Eliminasi 1) Pengkajian perilaku a) Riwayat Kesehatan: 5 hari SMRS pasien BAB BAK sembarangan. b) Pemeriksaan fisik Bowel Pasien BAB (+) 1x/hari. Pasien tidak mendapatkan pencahar. Bising usus : 4-5 x/m. pasien tidak menjalani kemoterapi. Diet : cair dan susu.Makan dan minum cukup. Mobilisasi diatas TT masih kurang. Bladder : Terpasang foley katater (DC). Warna kuning jernih. Urin dalam urobag dibuang dibuang 4-5 kali dalam sehari dengan produksi 500-600 cc sehingga OU: sekitar 2000-3000 cc dalam 24 jam. c) Pemeriksaan penunjang: Berikut ini hasil pemeriksaan lab: Urinnalisa Urin lengkap Warna Kejernihan Sedimen Leukosit Eritrodit Silinder Sel epitel Kristal Bakteri BJ PH Protein Glukosa Keton Darah/Hb Bilirubin Urobilinogen Nitrit Leukosit esterase (16/9/2012) Kuning jernih Kuning jernih 1-3 0-1 (+) 1,005 6,0 - Lpb Lpb 3,2 - - 3,2-4,6 Umol/l Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 55 2) Pengkajian Stimulus: Stimulus Fokal: lesi pada pusat pengontrolan berkemih. Stimulus Kontekstual: penurunan kesadaran, kesan gangguan fungsi luhur. Stimulus Residual: pasien menjalani perawatan dengan dukungan keluarga yang sangat minimal. d. Aktivitas dan Istirahat 1) Pengkajian perilaku: Pasien terlihat hanya berbaring ditempat tidur. Pasien bed rest total diatas tempat tidur dengan kondisi supine dan elevasi kepala 30 tanpa bantal. Pasien terlihat selalu megantuk. Kesadaran pasien stupor dengan GCS E3M4Vgangguan fungsi luhur. Kelemahan ekstremitas tangan dan kaki kesan tertraparese.terpasang restrain dikedua tangan karena kondisi pasien yang cenderung gelisah dan tidak kooperatif. Selama di RS semua aktivitas sehari-hari pasien dibantu oleh orang lain seperti berpakaian, eliminasi, membersihkan tubuh termasuk makan dan minum. Dari hasil pengukuran kemampuan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dengan mengguankan barthe index nilai pasien 3 dengan intepretasi nilai 0-3: ketergantungan berat. Dalam perawatan pasien tergolong dalam total care. Bernapas dengan bantual nasal kanul 3l/m, makan dengan NGT, eliminasi urin dengan kateter DC.terpasangan IUFD di tangan sebelah kiri. Klein mengalami teraparese semua mobility dibantu oleh orang lain. Semua aktivitas bersifat bed activity. Pasien terlihat selalu mengantuk dalam dalam kondisi bed rest total. 2) Pengkajian Stimulus: Stimulus Fokal: tetraparese, terpasang restrain dikedua tangan. Stimulus Kontekstual: riwayat kejang, penurunan kesadaran, kesan gangguan fungsi luhur. Stimulus Residual: pasien menjalani perawatan dengan dukungan keluarga yang sangat minimal. e. Proteksi 1) Pengkajian perilaku a) Riwayat kesehatan: Pasien mempunyai riwayat epilepsi sejak tahun 1995. Epilepsi dialami pasien setelah mengalami akibat dipukul dikepala saat masih STM ketika terjadi tawuran massal di depan sekolahnya. Pasien sering ditemukan kejang dijalanan oleh tetangganya. Menurut kakanya pasien mengalami gejala awitan kejang seperti: Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 56 penglihatan buruk, mendengar bisikan, kelonjotan sleuruh tubuh. Paling lama kejang 5 menit. Riwayat terapi fenitoin yang kurang baik. Peningkatan dosis penggunaan fenitoin dalam 3 bulan. Dosis 3x100 mg kemudian sejak april menjadi 3x500 mg. Pasien mengkonsumsi fenitoin tidak teratur. Menurut kakaknya pasien sering lupa dan kurang disiplin dalam meminum fenitoin. b) Pemeriksaan fisik: Kuku tangan dan kaki pasien tampak panjang. Rambut pasien agak kusam namun tidak berbau. Terlihat ada sedikit daki di tangan dan kaki. Pasien beberapa kali mengalami demam sampai suhu 38 c terutama saat malam hari. Tidak ada kejang saat pengkajian. Terpasang restrain dikedua tangan. Pasien sudah MRS selama 11 hari dengan kondisi immobilisasi. Kondisi nutrisi yang potensial tidak adekuat akibat penuruan kemampuan menelan karena penurunan kesadaran. Pasien mengalami Ulkus decubitus grade II di sakrum. c) Pemeriksaan penunjang: Hasil pemeriksaan diagnostik: TDM (1/9/2012). Hasil Spesiem darah. TDM : fenitooin :76 ug/ml: kisaran terapi(sebelum minum obat): 10-20 ug/ml waktu pencapaian kondisi steady state setelah pemakaian oral 8050 hari Nilai leukosit pasien (12,1) meningkat dari nilai normal (pemeriksaan laborat tanggal 15/9/2012). Hepatitis marker: HbsAg: 0,600 Anti HBc total non reaktif <1,0 nonreaktif. 2,14 non reaktif:>1,0 non reaktif. Anti HCV:0,050non reaktif <0,9non reaktif. Imunoserologi (30/8/2012). Anti HIV penyaring. Metode -1 OD 0,2 CO 0,900 NR. Kesimpulan: anti HIV penyaring : NR (non reaktif). 2) Pengkajian stimulus: Stimulus Fokal: proses infeksi, resiko jatuh, penurunan kesadaran, status epileptikus. Stimulus Kontekstual: Parese, immobilisasi, infeksi METB, riwayat kejang ec trauma kepala sejak 7 tahun yang lalu. Stimulus Residual: dukungan keluarga yang kurang optimal, motivasi pasien untuk melakukan mobilisasi masih kurang. f. Sensori 1) Pengkajian perilaku a) Riwayat kesehatan: 3 hari sebelum masuk RS pasien mengeluhkan pandangannya dobel dan saat di IGD RSCM pasien sempat mengeluhkan kedua padangan matanya gelap Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 57 b) Pemeriksaan fisik: Belum ada pemeriksaan menganai kemampuan sensorik pasien meliputi pendengaran, penciuman dan Penglihatan secara mendetail. Dikarenakan kondisi pasien yang mengalami penuruna kesadaran, afasia dan diduga adanya gangguan fungsi luhur. Lidah kotor (-), , nyeri (-). Gigi masih utuh, penyakit gusi (-), Caries (-). Integumen : turgor kulit masih cukup baik, tangan dan kaki mati rasa, rambut pasien kotor, terlihat daki dibeberapa bagian tubuh, kuku tangan dan kaki terlihat panjang Perhitungan Skala Braden untuk mengidentifikasi resiko kerusakan integritaskulit Score Sensory- 1 Completely limited 2 Very limited 3 Slightly limited 4 No Impairment Moisture 1 Constantly moist 2 Very moist 3 Occasionally moist 4 Rarely moist Activity 1 Bedrest 2 Chair 3 Walks occasionally 4 perception Walks Frequently Mobility 1 Completely immobile 2 Very limited 3 Slightly impaired 4 No Limitations Nutrition 1 Very poor 2 3 Adequate 4 Excellent Probably inadequate Friction & 1 Problem Shear 2 problem Potential 3 No Apparent 1 1 1 2 2 problem Total Score Intepretasi: 1 8 15 – 16 Low Risk 12 – 14 Moderate Risk <11 High Risk Kesimpulan: dari penghitungan skala braden pasien tergolong dalam high risk. Dari hasil pemeriksaan ditemukan adanya lesi pada daerah lumbosakral.terjadi ulkus decubitus grande II Dengan diameter 5-8 cm. Berikut ini gambar luka decubitus pada pasien: 2) Pengkajian stimulus Stimulus fokal: ulkus decubitus. Stimulus kontektual: immobilisasi, parese, penurunan kesadaran, gangguan fungsi luhur. Stimulus residual: dukungan keluarga Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 58 yang tidak optimal, pengetahuan mobilisasi yang kurang. g. Cairan dan Elektrolit 1) Pengkajian perilaku a) Pemeriksaan fisik Intake cairan (air putih) 100-200 cc/hari melalui selang NGT (sonde). Terpasasang IUFD NS 0,9 % 500 cc/8 jam. Turgor kulit kering, Shiffting dullness (-),ascites (-), pitting edema (-).Tidak tampak ada oedema baik pada palpebra dan daerah ekstremitas atas maupun bawah, tidak tampak pembesaran ginjal, tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada ginjal dan tidak teraba pembesaran ginjal, tidak terdapat adanya nyeri ketuk pada saat perkusi ginjal pada daerah Costa Vertebral Angel, tidak terdapat distensi kandung kemih dan tidak terdapat nyeri tekan maupun lepas pada kandung kemih, pasien terpasang dower kateter yang terpasang sejak tanggal 3 september 2012. Terpasang foley katater dengan produksi 2000 cc/24 jam. Warna kuning.proteinuria (-), glukosuria (-). b) Pemeriksaan penunjang: Berikut ini hasil pemeriksaan laborat: Hematologi Elektrolit (darah) Na K Cl (15/9/2012) 138 4,19 98,5 132-147 3,3-5,4 94-111 mEq/L mEq/L mEq/L h Fungsi Neuromuskuloskeletal 1) Pengkajian perilaku a) Riwayat kesehatan: Sejak 1.5 bulan yang lalu pasien jalan dengan merambat. 1 bulan kemudian jalan merangkak. 1,5 bulan SMRS pasien masih bisa menjalin komunikasi dan mengenali orang lain termasuk kakaknya, tidak lama kemudian pasien suka bicara meracau. 2 hari SMRS (sebelum masuk RS) pasien dibawa ke RS Jiwa dirawat 4 hari. Pasien mengalami demam suhu :38 C. Pasien pulang atas permintaan sendiri. b) Pemeriksaan fisik - Tingkat kesadaran : Tingkat kesadaran dengan nilai GCS E3 M4Vgangguan fs luhur Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 59 Kontak tidak adekuat, kesan somnolen, kesan: ganguan fungsi luhur, afasia motorik (+), Refleks pupil terhadap cahaya: baik, pupil isokor diamter 3 mm/3 mm. RCL : + / + , RCTL: + /+ - Pemeriksaan fungsi nervus kranial Pemeriksaan fungsi saraf kranial tidak bisa dilakukan karena kondisi afasia, kemungkinan gangguan fungsi luhur dan penurunan kesadaran pasien. - Status mental Pasien mengalami penurunan kesadaran, afasia dan gangguan fungsi luhur sehingga pemeriksaan mental pasien yang meliputi orentasi, mamori, konsentrasi, kalkulasi kemampuan bahasa dan bicara belum bisa dilakukan dengan baik. Kontak pasien belum adekuat. Terlihat mengantuk. Komunikasi hanya sesekali terlihat senyum dan menangis dalam kondisi menutup mata tanpa ada stimulus eksternal. - Tes fungsi sensorik Kemampuan pasien untuk rasa raba (halus dan kasar), rasa nyeri (tumpul dan tajan), rasa shu (hangat dan dingin) : belum bisa dilakukan karena kondisi penuruna kesadaran, afasia dan gangguan fungsi luhur. - Tes fungsi motorik dan otonom Tonus otot : hipotonik pada ektremitas TRM: Kakukudu (+), Lasiq: <70/<70, kernig: <135/<135, General weakness, Kontraktur (-), footdrop (-). Pemakaian kataer urin (+) Reflek fisiologis : +2 +1 +2 +1 Kekuatan otot :Pergerakan pasien lemah dan terbatas, kesan tetrapaere: dengan kekuatan otot: 2222 2222 1111 1111 - Tes fungsi reflek Reflek bisep: Terjadi kontraksi otot bisep dan pergerakkan fleksi lengan bawah saat pemeriksa mengetuk tendon otot bisep. Reflek bisep ++ / ++ Reflek trisep: Terjadi kontraksi otot trisep dan pergerakkan fleksi lengan bawah saat pemeriksa mengetuk tendon otot trisep. Reflek trisep ++ / ++. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 60 Reflek brakhioradial: Terjadi kontraksi otot brakhioradial dan pergerakkan fleksi lengan bawah saat pemeriksa mengetuk otot brakhioradial. Reflek dirasakan lebih kuat pada bagian lengan sebelah kiri ++ / ++ Reflek pattela: Terjadi kontraksi otot pattela dan pergerakkan fleksi ekstrimitas bawah saat pemeriksa mengetuk otot pattela. Reflek dirasakan sama pada kedua kaki ++ / ++. Melemah pada ekstremitas bawah kiri. Reflek achiles:Terjadi kontraksi otot achiles dan pergerakkan fleksi ekstrimitas bawah saat pemeriksa mengetuk otot achiles. Reflek dirasakan lebih kuat pada bagian kaki sebelah kiri ++ / ++. Reflek babinski dan hoftmen trumeer: Terdapat gerakan dorso ekstensi pada ibu jari dan gerakkan abduksi pada jari-jari lainnya saat pemeriksa menggoreskan bagian lateral telapak kaki pasien. Reflek babinski - /-. Reflek HT : -/-. Caddock -/-. Oponhem -/-. - Tes fungsi kortikal: Pemeriksaan ini seperti Stereognosi belum bisa dilakukan karena penurunan kesadaran, afasia dan kemungkinan gangguan fungsi luhur c) Pemeriksaan penunjang: Analisis cairan tubuh (1/9/2012). Analisis cairan otak: Makroskopik: Warna Serus, Kejernihan: jernih, Bekuan (+), Mikroskopik: Hitung sel :6 sel/µl. Hitung jenis: PMN (segmen): 41/ µl . MN: 20/ µl, pemeriksaan tinta india ditemukan kuman criptokokkus. Kimia :Nonne(+), Pandy(+).Protein cairan otak:140mg/dl, Glukosa cairan otak:76 mg/dl,Glukosa serum :124mg/dl,Klorida(Cl):114Meq/l. Imunoserologi :M. Tuberculosa PCR pending. Mikrobiologi (3/9/2012): Pulasan tahan asam :Spesimen : cairan otak Spesimen diterima tanggal : 3/9/2012. Hasil : BTA (+). 2) Pengkajian stimulus: Stimulus Fokal: infeksi otak. Kemampuan adaptasi pasien berada pada tahap kompensatory dengan kerusakan pada regulator terutama pada imunitas pasien dari bakteri tuberculosa. Stimulus Kontekstual: riwayat merokok, penggunaan ganja, TB komunitas, terapi fenitoin dengan kepatuhan yang buruk dan peningkatan dosis Stimulus Residual: pengatahuan pasien tentang penyebaran Tuberculosa, dukungan keluarga, pengetahuan meningkatkan imunitas Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 61 i. Fungsi Endokrin 1) Pengkajian perilaku a) Riwayat kesehatan: ibuk pasien mempunyai riwayat Diabetes mellitus b) Pemeriksaan fisik: Tidak ada pembersaran kelanjar tiroid, tidak ditemukan polidipsi, poliuri dan polifagi. c) Pemeriksaan penunjang ` Hasil pemeriksaan diagnostik:laboratorium Tanggal 11/9/2013 Glukosa sewaktu 94 mg/dl 2) Pengkajian stimulus: Stimulus kontekstual berupa riwayat keluarga dengan diabetes. 3.1.1.2. Model Adaptasi Konsep Diri 1) Pengkajian perilaku Konsep diri yang dirasakan pasien tidak bisa terkaji karena kondisi pasien yang mengalami penurunan kesadaran dan afasia. Adanya kemungkinan gangguan fungsi luhur membuat konsep diri pasien semakin sulit terkaji. Apalagi menurut kakanya sebelum sakit pasien cenderung tertutup pada keluarga dan tidak mau membahas masalahnya pada keluarga. Lebih dekat dengan ayah angkat dan teman-teman premanya dipasar. Saat ini kondiisi pasien yang sangat tergantung dan penurunan fungsi tidak mampu diceritakan pasien. Perubahan kondisi fisik pasien sehingga mempengaruhi persepsinya terhadap dirinya tidak bisa terkaji dengan baik karena kondisi perkembangan penyakit pasien. Dari pihak keluarga mengatakan kakak pasien sudah pasrah dengan kondisi adiknya dan berharap yang terbaik. Keluarga sebenarnya sangat takut karena pasien sakitnya adalah infeksi pada otak takut ancaman mati dan adiknya tidak bisa bangun dan berjalan lagi seperti dulu. 2) Pengkajian stimulus Stimulus fokal: ancaman terhadap konsep diri, perubahan peran, perubahan status kesehatan. Perubahan idela diri. Kecemasan dan ketakutan pada keluarga akan perkembanagn kesehatan pasien. Stimulus kontektual: status ekonomi. Kurangnya Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 62 informasi menganai penyakit dan perawatan. Stimulus residual: minimalnya dukungan keluarga, proses penyakit. 31.1.3. Model Fungsi Peran 1) Pengkajian perilaku Sebelum sakit pasien bekerja di pasar dan berkumpul dengan teman-temanya dipasar. Semua aktivitas pasien dipenuhinya sendiri tidak tergantung dengan orang lain.Namun saat ini pasien hanya terbaring di atas tempat tidur (bed rest total) dengan semua ADL dibantu oleh orang lain. Semua aktivitas sehari-harinya dilakukan diatas tempat tidur dibantu pemenuhannya oleh orang lain. kebutuhan eliminasi pasien dengan menggunakan kateter. Makan dengan menggunakan sonde. 2) Pengkajian stimulus Stimulus fokal: ancaman terhadap konsep diri, perubahan peran, perubahan status kesehatan. Perubahan ideal diri. Kecemasan dan ketakutan pada keluarga akan perkembanagn kesehatan pasien.Stimulus kontektual: status ekonomi. Kurangnya informasi menganai penyakit dan perawatan. Stimulus residual: minimalnya dukungan keluarga, proses penyakit 3.1.1.4. Model Adaptasi Interdependen 1) Pengkajian perilaku Keluarga pasien mendukung kesembuhan pasien. Kakak pasien mengatakan tidak mempunyai dana yang cukup untuk mendukung biaya terapi dan perawatan pasien dilaur biaya asuransi eksehatan yang sudah diurus (SKTM). Kakak perempuan terlihat sangat jarang menemai dan menjaga pasien selama MRS di RSCM. Teman dan anggota keluarga pasien tidak pernah terlihat menjenguk. Keluarga menolak beberapa tidnakan dengan alasan biaya. Pasien cenderung dibuang kelaurga. Tidak ada anggota keluarga yang eprduli selain kakak perempuan klein yang juga sibuk dengan pekerjaanya sebagai single parent dan karyawati bank swasta. 2) Pengkajian stimulus Stimulus fokal: pasien sangat etragntung dengan orang laian dalam pemenuhan KDM (kebutuhan dasar manusia). Stimulus kontekstual: parese, penurunan kesadaran, Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 63 afasia, gangguan fungsi luhur. Stimulus residual: minimalnya dukungan keluarga, proses penyakit 3.1.2 Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan pada Tn. M dengan METB diantaranya: Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah arteri/vena di otak, kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler, defisit perawatan diri total (mandi, makan, berpakaian dan toileting) berhubungan dengan gangguan neuromuskuler kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan imunitas tidak adekuat, resiko cidera berhubungan lingkungan (fisik), Ketidakefektifan menejemen kesehatan diri. Data berupa respon pengkajian perilaku dan stimulus pada masing-misng mode akan ditegakaan berupa diagnosa keperawatan yang meruntut pada NANDA, dimana diagnosa keperawatan pada Tn. M diuraikan pada rencana keperawatan pada tabel 3.1. 3.1.3 Rencana Asuhan Keperawatan Berdasarkan hasil analisis pengkajian perilaku dan stimulus yang dialami Tn. M, selanjutnya menyusun rencana asuhan keperawatan yang meliputi diagnosa keperawatan, tujuan dan intervensi keperawatan. Dimana penetapan diagnosa diadaptasi dari NANDA, intervensi keperawatan diadaptasi dari Nursing Intervenstion Clasification (NIC) dan tujuan keperawatan diadaptasi dari Nursing Outcome Clasification (NOC). Rencana asuhan keperawtaan pada Tn. M dengan diagnosa METB bisa dilihat pada tabel 3.1. 3.1.4 Implementasi keperawatan Pelaksanaan tindakan atau implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencanan keperawtaan yang telah ditetapkan sesuai dengan masalah keperawatan yang muncul pada masing-masing mode pada pengkajian model adaptasi Roy. Implemnetasi keperawatan akan diuraikan dalam catatan perkembangan pasien dalam lampiran 2. Namun secara umum implementasi keperawatan pada masing-masing masalah keperawatan Tn. M dengan diagnosa METB dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebri Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah ketidakefetifan perfusi jaringan serebri adalah denganmelakukan monitor status neurologi dan tanda – tanda peningkatan intrakranial Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 64 (TIK), melakukan monitor tanda-tanda vital secara rutin, melakukan evaluasi pupil (ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksi terhadap cahaya), mengatasi peningkatan suhu tubuh, Memertahankan elevasi kepala tempat tidur 300 – 450.mencegah terjadinya valsava manuver (mengedan saat BAB, pernafasan paksa, batuk terus menerus). mempertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkungan yang tenang, batasi pengunjung/batasi aktivitas sesuai indikasi. Tindakan Kolaborasi patensi dan perawatan IV lain, IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jam, medikasi.Memantau pemeriksaan laboratorium/diagnosti ulangan atau awal seperti Ct Scan, MRI, hasil lumbal punksi. 2. Gangguan mobilitas fisik Gangguan mobilisasi adalah gangguan utama yang dirasakan psien karena penyakitnya, dengan kelemahan keempat ektremitas pasien tidak mampu menggerakkan tubuhnya sehingga perlu dibantu untuk posisi anatomis agar dapat menghindari kerusakan karena tekanan. Selanjutnya perlu diperlu dipertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional menggunakan batal. Dengan kondisi seperti ini maka kompilkasi lebih lanjutb dari immobilisasi seperti kontraktur dan footdrop bisa dihindari. Perlu dipertahankan alih baring seperti miring kanan-kiri setiap 2 jam dan mengvelauasi perubahan atau manfaatn yang diberikan. Perlunya mengevaluasi kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah secara rutin dan berkelanjutan. Terapi mobilisasi seperti pemberian Aaktif dan pasif ROM bisa dilakukan unutk meningkatkan kekuatan otot dan sendi dengan tentusaja melibatkan partisipasi keluarga. Tindakan kolaborasi dapat berupa : fisioterapi dan medikasi. 3. Defisit perawatan diri Setelah mengkaji kemmapuan dan tingkat ketergantungan pasien dalam melakukan aktivitas dalam pemenuhan activity daily live (ADL) maka perawat menjelaskan bahwa pentingnya membantu dan memfasilitasi pasien dalam pemenuhan ADL seperti makan, minum, eliminasi, berpakaian. Memberikan waktu cukup untuk beraktivitas dan berikan umpan balik positif. Evaluasi rutin dilakukan terhadap pemenuhan nutrisi, eliminasi dan kebersihan diri pasien. 4. Kerusakan integritas kulit Dalam melakukan perawatan pada pasien yang telah mengalami gangguan integritas kulit berupa decubitus maka perlu dilakukan tindakan seperti: merubah posisi atau alih baring Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 65 setiap 2 jam,. Selanjutnya pemakaian kasur angin untuk pasien decubitus. Pada waktu pelaksanaan rawat luka menggunakan cutimed 1x/2hr. Memberikan lotion sebagai lumbrikan ke tubuh pasien. Memberikan massage untuk meningkatkan vaskularisasi pada area kulit yang tertekan. Menganjurkan keluarga untuk membersihkan dan merapikan linen tempat tisur. Memastikan intake nutrisi pasien adekuat. Memberikan personal hygiene dan eliminasi yang baik. Melibatkan keluarga pada perawtan integumen pasien. 5. Resiko penyebaran infeksi Tindakan keperawatan yang dilakan pada Tn. M untuk mengatasi masalah keperawatan penyebaran infeksi melalui pengendalian infeksi, pengendalian resiko penyebaran dan peningkatan pengetahuan terutama mengenai imunitas dan infeksi penyakit. Tindakan yang dilakukan pada pengendalian infeksi diantaranya: mengajarkan pada pasien & keluarga cara menjaga personal hygiene untuk melindungi tubuh dari infeksi : cara mencuci tangan yang benar, menganjurkan kepada keluarga/ pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan ruang pasien, menjelaskan kepada pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi, mengajarkan metode aman cara penyediaan, pengelolaan dan penyimpanan makanan atau susu kepada pasien dan keluarga. Kolaborasi dengan ahli gizi : asupan nutrisi TKTP:Blenderized 6x250 cc melalui sonde, Susu cair formula dari RS 6x250 cc Tindakan keperawatan yang bisa dilakukan untuk mengendalikan resiko penyebaran infeksi diantaranya: memantau tanda dan gejala infeksi : peningkatan suhu tubuh, nadi, perubahan kondisi luka, sekresi, penampilan urine, penurunan BB, keletihan dan malaise,mempertahankan tehnik aseptik pada pasien yang beresiko, membersihkan alat / lingkungan dengan benar setelah dipergunakan pasien, mempertahankan tehnik isolasi bila diperlukan, membatasi jumlah pengunjung bila diperlukan, dan anjurkan penggunaan APD pada pasien dgn autoimun, mengannjurkan kepada pasien minum obat antibiotika sesuai , memberikan penkes kepada pasien dan keluarga tentang cara program, mendorong pasien untuk mengkonsumsi nutrisi dan cairan yg adekuat.penularan penyakit infeksi: transmisi secara seksual, oral, fekal, sekresi tubuh, kontak langsung, dan trankutaneus. Kolaborasi pemberian medikasi antibiotik terutama obat anti Tuberculosa (OAT). 6. Resiko cidera Tindakan keperawatan yang dilakukan pada masalah keperawatan dengan resiko cidera terbagi dalam 3 kelompok yaitu pencegahan cidera, pengawasan keselamatan dan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 66 pengelolaan lingkungan. Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk pencegahan cidera berupa: melakukan pengkajian factor resiko cedera, melakukan identifikasi kebutuhan keamanan klien sesuai kondisi dan fungsi kognitif klien, mengjarkan pada klien dan keluarga cara mengidentifikasi factor resiko cedera dan cara penanggulanganny, melakukan tindakan emergency sesuai dengan kondisi : Kejang, hiperthermi, penurunan kesadaran, halusinasi, perdarahan. Pengawasan keselamatan dilakukan dengan: melaksanakan pengawasan secara intensif kepada klien yang berisiko terjadi cedera: Monitor TTV, GCS, hemodinamik, memberikan cairan & nutrisi yang adekuat, mengkaji riwayat klien terkait factor risiko, dan Informasikan kepada dokter tentang perubahan yang terjadi : mis epitaksis, perubahan hemodinamik. Pengelolaan lingkungan dilaksanakan dengan: mengajarkan pada klien & keluarga tentang lingkungan yang aman : penerangan yg cukup, lantai tidak licin, memasang pengaman tempat tidur pada klien anak atau klien yang gelisah atau penurunan kesadaran . Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi: Pemberian obat anti epilepsi (OAE) 7. Ketidakefektifan menejemen kesehatan diri Tindakan untuk mengatasi ketidakefektifan menejemen kesehatan diri dilakukan dengan melakukan penilaian tingkat pengetahuan dan hal yang tidak diketahui pasien, kemudian mentukan kemampuan pasien untuk mempelajari informasi spesifik setelah itu memilih alat/strategi pembelajaran yang tepat. Melakukan evaluasi kemampuan pasien sesuai tujuan, melibatkan keluarga/orang terdekat sesuai kebutuhan. Melakukan identifikasi kemungkinan penyebab, memerikan informasi tentang kondisi sesuai kebutuhan, memberikan informasi pada keluarga/orang terdekat, tentang perkembangan pasien, memdiskusikan perubahan gaya, hidup yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi/mengontrol proses penyakit, memdiskusikan pilihan terapi/penatalaksanaan, mengajarkan pada pasien tentang tanda dan gejala yang dapat dilaporkan pada petugas, memberikan informasi tentang program rehabilitasi 3.1.5 Evaluasi Keperawatan Evaluasi keperawatan pada Tn. M dilakukan setiap saat dan didokumentasikan setiap hari selama 5 hari bertuturt-turut dengan menggunakan lembar evaluasi berupa catatan perkembangan. Analisis evaluasi dilakuan dengan melihat respon kemampuan adaptasi pasien berupa adpatif atau maladaptif. Evaluasi perkembangan kesehatan Tn. M dapat dilihat pada lampiran 2. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 67 Tabel 3.1 Rencana Intervensi Keperawatan pada Tn M dengan METB menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy NO 1 PENGKAJIAN PERILAKU • Riwayat sakit kepala • Kontak tidak adekaut • Kesan: ganguan fungsi luhur • GCS : E2M6Vafasia • Klien tampak mengatuk dan selalu menutup mata • Pupil bulat isokor φ 3 / 3 mm • Muka menceng (-) • Bicara pelo (-) • Terpasang foley kateter urin • Terpasang o2 3 lt/m • Relek patologis babinski -/• Hofman trumer: -/• Caddock -/• Openhem -/• Kaku kuduk (+) • Kesan: tetraparese • Lasiq : <70/<70 • kernig: <135/<135 • nervus kranium dan sensorik tidak terkaji • Reflek fisiologis : +2 +2 +1 +1 • Kekuatan otot :Pergerakan klien lemah dan terbatas • Tanda Vital : TD : 120/80 mmHg suhu : 37,8 0 Nafas:20 x/menit STIMULUS Stimulus fokal: Klien mengalami penurunan imunits tubuh, proses infeksi Stimulus kontekstual : • Riwayat CKR ec KLL • Riwayat epilepsi ec trauma kapitis • Riwayat konsumsi fenitoin sejak 1995 dengan terapi yang buruk • Riwayat peningkatan konsumsi fenitoin dengan dosis tinggi sejak april 2012 • Riwayat konsumsi merokok, ganja dan alkohol • Riwayat TB komunitas DIAGNOSA KEPERAWATAN (NANADA) ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah arteri/vena di otak TUJUAN KEPERAWTAAN (NOC) Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada Tn.M perubahan perfusi jaringan serebral membaik dalam batas toleransi. Dengan kriteria : a. Tingkat kesadaran komposmentis b. GCS E4 M6 V5 c. Pupil isokor d. Tidak ada tanda peningkatan TIK e. Perbaikan neurologi lain f. Tanda vital dalam batas normal INTERVENSI KEPERAWATAN (NIC) Monitor status Neurologi Peningkatan perfusi serebral Menejemen edema serebral AKTIVITAS Monitor status neurologi dan tanda – tanda peningkatan TIK Monitor tanda-tanda vital Evaluasi pupil (ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksi terhadap cahaya ) Atasi peningkatan suhu tubuh Pertahankan elevasi kepala tempat tidur 300 – 450. Cegah terjadinya valsava manuver (mengedan saat BAB, pernafasan paksa, batuk terus menerus ) Pertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkungan yang tenang, batasi pengunjung/batasi aktivitas sesuai indikasi Kolaborasi pemberian obat-obatan seperti: IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jam Dexamatason IV 2x5 mg OMZ 40 mg 1x1 iv B6 10 mgPo 3x1 Curcuma 200 mg 3x1 po Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 68 Nadi 82 x/menit Hasil CT Scan : Penyangatan Stimulus meningens sugestif meningitis. residual: Tidak nampak lesi patologis intra • Pengetahuan parenkim srebri maupun serebelli keluarga yang minimal • Rotgen: Tidak nampak kelainan tentang radiologi pada cor dan pulmo penyakit dan • Imunoserologi: HIV (-) perawatan • Hepatitis marker: (-) terutama • Mikrobiologi (3/9/2012): BTA (+) mengenai • Hemostasis:Kadar fibrinogen (H) pencegahan 490 mg/dl komplikasi • Analisis cairan tubuh(1/9/2012). immobilisasi Analisis cairan otak: Makroskopik: seperti Warna Serus , Kejernihan: jernih, A/PROM , Bekuan (+), Mikroskopik: Hitung fisioterapi sel :6 sel/µl. Hitung jenis: PMN dada, skin (segmen): 41/ µl . MN: 20/ care, back µl, pemeriksaan tinta india massage ditemukan kuman criptokokkus. • Motivasi klien Kimia :Nonne (+), untuk sembul Pandy(+). Protein cairan kurang otak:140mg/dl, Glukosa cairan • Dukungan otak:76 mg/dl, Glukosa keluarga serum :124 mg/dl, Klorida dalam (Cl):114 Meq/l perawatan Respon inefektif pada model adaptasi klien kurang fisik pada mode oksigenasi (ketidakefektifasn perfusi jaringan: serebri) • Memantau pemeriksaan laboratorium/diagnosti ulangan atau awal seperti Ct Scan, MRI, hasil lumbal punksi. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 69 NO 2 PENGKAJIAN PERILAKU STIMULUS • Kakak klien Stimulus fokal: mengatakan sejak 6 Kelemahan ekstremitas: hari sebelum masuk tetraparese RS klien sudah berjalan merangkak Stimulus kontekstual : sampai 2 hari SMRS • Riwayat epilepsi sudah dalam kondisi • Riwayat CKR merambat • Riwayat konsumsi • Tonus otot : fenitoin sejak 1995 hipotonik pada dengan terapi yang ektremitas buruk • General weakness • Riwayat peningkatan • ROM pasien terbatas konsumsi fenitoin dengan dosis tinggi • Semua ADL dibantu sejak april 2012 oleh orang lain • Riwayat konsumsi • Reflek fisiologis : ganja dan alkohol +2 +2 +1 +1 • Kekuatan otot Stimulus residual: :Pergerakan klien • Pengetahuan keluarga tentang lemah dan terbatas, penyakit dan kesan tetrapaere perawatan terutama • Kontraktur (mengenai ),footdrop (-). pencegahan Respon inefektif pada komplikasi model adaptasi fisik immobilisasi seperti pada mode neurologi, A/PROM , fisioterapi muskulogi (Hambatan dada, skin care, back mobilitas fisik) massage DIAGNOSA KEPERAWATAN (NANADA) Kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler : hemiparese sekunder dari METB INTERVENSI TUJUAN KEPERAWTAAN KEPERAWATAN (NIC) (NOC) Setelah dilakukan • Pengaturan • intervensi posisi: neurologis keperawatan pada • Terapi • Tn. M, mobilitas aktivitas: Mobilitas • fisik dapat sendi meningkat secara • Terapi aktivitas optimal. kontrol otot • Dengan kriteria : a. Peningkatan kekuatan otot b. Tidak terjadi / kontraktur footdrop c. Klien dapat melakukan mobilisasi / aktivitas sesuai kemampuan. • • • • • • • • AKTIVITAS Tempatkan pasien dalam posisi terapeutik Posisikan sejajar kepala dan leher Tentukan keterbatasan gerak sendi dan pengaruh terhadap fungsi Jelaskan kepada pasien/keluarga tentang tujuan dan rencana latihan sendi Bantu pasien dalam melakukan ROM pasif atau ROM aktif Bantu mengoptimalkan posisi tubuh saat ROM aktif/pasif Anjurkan pasien melakukan ROM secara teratur Anjurkan pasien duduk di tempat tidur/kursi sesuai toleransi penguatan positif terhadap upaya melakukan latihan sendi Kolaborasi fisioterapi untuk meningkatkan program latihan Mika miki tiap 2 jam Bed reclicling 15-30 Positioning anti kontraktur dan anti decubitus AROM dan PROM Chest exercise Tentukan kesiapan pasien untuk berpartisipasi dalam aktivitas/latihan Jelaskan rasional setiap jenis latihan pada pasien/keluarga Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 70 NO PENGKAJIAN PERILAKU 3 • • • • STIMULUS Stimulus fokal: Immobilisasi, penurunan kesadaran, gangguan fungsi luhur Terlihat beberapa daki, Kuku panjang Rambut kusam Klien tampak bed rest Stimulus kontekstual : total • Barthe index: 3 • Riwayat epilepsi (ketergantungan total) • NGT (+) Stimulus residual: • Kateter DC urin (+) • Pengetahuan keluarga • BAB (+) 1x /hr tentang penyakit dan • Klien tampak diseka perawatan yang minim oleh keluarga • Kurangnya dukungan • Klien dibantu keluarga dalam perawatan berpakaian oleh orang lain • Klien berpindah posisi dengan dibantu oleh orang lain • Kontak tidak adekuat • Penurunan kesadaran • Kesan: gangguan funsgi luhur Respon inefektif pada model adaptasi fisik Defisit perawatan diri total (mandi, makan, berpakaian dan toileting) DIAGNOSA KEPERAWATAN (NANADA) Defisit perawatan diri total (mandi, makan, berpakaian dan toileting) berhubungan dengan gangguan neuromuskuler : hemiparese sekunder dari METB INTERVENSI TUJUAN KEPERAWTAAN KEPERAWATAN (NIC) (NOC) Setelah dilakukan • Bantuan intervensi perawatan diri keperawatan pada Tn. M, ADL klien dapat terpenuhi secara optimal sesuai toleransi (ADL enhancing). Ditandai dengan sebagai berikut (skala 1 – 5 sangat compromised sampai tidak compromised). ADL 5 (5) Self care (5) a. Denyut nadi b. Tekanan darah diastolik dengan aktivitas c. RR d. SaO2 e. Mudah bernapas dengan aktivitas f. Kemampua n ADLs AKTIVITAS a. Kaji kemampauan ADL pasien b. Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan makan, minum, mandi, berpakaian,BAK, dan BAB) c. Libatkan keluarga dalam pemenuhan ADL pasien jika memungkinkan d. Hindari mengerjakan sesuatu yang dapat dikerjakan pasien dan berikan bantuanbila diperlukan e. Waspadai terhadap tingkah laku impulsive karena gangguan dalam pengambilan keputusan f. Pertahankan dukungan, sikap tegas, beri pasien waktu yang cukup untuk mengerjakan tugasnya. Dan berikan umpan balik positif atas usaha pasien yang telah dilakukan g. Berikan obat laksatif untuk mempermudah BAB Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 71 NO 4 • • • • • • • • • • • • • PENGKAJIAN PERILAKU STIMULUS Stimulus fokal: Pengkajian resiko Immobilisasi, penurunan kejadian UD dengan intake nutrisi, gangguan personal skala Norton nilainya : pemenuhan penuruna resiko tinggi hygiene, kesadaran, gangguan mengalami UD UD gr II disakrum fungsi luhur diameter 5-8 cm Kemerahan di Stimulus kontekstual : punggung bawah dan • Riwayat epilepsi ec trauma kapitis skapula kanan • Riwayat parese dan Immobilisasi 10 hari bed rest sebelum tetraparese MRS Penurunan kesadaran : somnolen Gangguan fungsi luhur Stimulus residual: • Pengetahuan Immobilisasi keluarga tentang Terpasang restrain di penyakit dan kedua tangan perawatan terutama Personal Hygiene mengenai klien kurang optimal pencegahan ADL terbatas komplikasi Nutrisi menurun immobilisasi seperti Demam : 37,8 C A/PROM , fisioterapi Respon inefektif pada model adaptasi fisik • integumen dan proteksi, • sensasi (kerusakan integritas kulit) DIAGNOSA KEPERAWATAN (NANADA) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi TUJUAN KEPERAWTAAN (NOC) Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada Tn.M Integritas kulit dan membrane mukosa utuh, Regenerasi luka primer dan sekunder sesuai rentang waktu yang diharapkan . ditandai dengan: • Integritas kulit membran dan mukosa baik : kulit utuh, dapat berfungsi dengan baik. • Regenerasi sel dan jaringan membaik • Hipersensitif respon immune terkendali INTERVENSI KEPERAWATAN (NIC) Pencegahan alergi Perawaatn Luka Pengelolaan penekanan pada kulit Peningkatan vaskularisasi kulit Peningkatan kelembapan dan kenyaman pada kulit dada, skin care, back massage Motivasi klien Dukungan keluarga dalam perawatan klien kurang AKTIVITAS Perawatan Luka • Identifikasi derajad luka • Berikan cairan dan nutrisi yang adekuat sesuai kondisi • Lakukan perawatan luka sesuai kondisi, dan kolaborasi untuk pemberian terapi dan nutrisi yang adekuat.Terapi: cutimed 1/2hari Pengelolaan Tekanan pada kulit • Pasang kasur dekubitus / bantal angina cincin tumit bila diperlukan • Mobilisasi / ubah posisi tidur klien tiap 2 jam sesuai jadwal • Jaga kebersihan kulit dan alat tenun klien Berikan maasage: coopers model • Berikan minyak atau lotion: minyak kelapa dan libatkan pasrtisipasi keluarga • Libatkan dan berikan motivasi pada keluarga untuk ikut dalam perawatan integumen klien • Jaga kebersihan kulit dari daki dan spesimen tubuh yang lain • Rapikan linen dan Bantu pemenuhan Personal hygiene pasien Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 72 NO 5 • • • • • • • • • • • PENGKAJIAN PERILAKU STIMULUS Intake nutrisi berupa Stimulus fokal: diet bubur dan susu, Klien mengalami otak: jarang dihabiskan (2/3 infeksi METB dari porsi) Suhu : 37,8 C Hasil CT Scan : Stimulus kontekstual : Penyangatan meningens sugestif • Riwayat stress ulcer meningitis. Tidak nampak lesi patologis • Riwayat epilepsi intra parenkim srebri maupun serebelli • Riwayat konsumsi Rotgen: Tidak fenitoin sejak nampak kelainan 1995 dengan radiologi pada cor dan terapi yang pulmo buruk Imunoserologi • Riwayat (30/8/2012): HIV (-) peningkatan Hepatitis marker: (-) konsumsi Mikrobiologi fenitoin (3/9/2012): BTA (+) dengan dosis Kadar fibrinogen H tinggi sejak 490 mg/dl april 2012 Analisis cairan tubuh • Riwayat (13/9/2012) konsumsi ditemukan MO ganja dan Klien bedrest total alkohol sejak sekitar 30 hari yang lalu akibat tetrapaerse dan Stimulus residual: penurunan kesdaran • kurangnya Dari hasil Pengetahuan pemeriksaan lab DIAGNOSA KEPERAWATAN (NANADA) Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan imunitas tidak adekuat INTERVENSI TUJUAN KEPERAWATAN AKTIVITAS KEPERAWTAAN (NIC) (NOC) Setelah dilakukan • Immunisasi/Vak Immunisasi/Vaksinasi tindakan keperawatan sinasi • Kaji faktor yang meningkatkan pada Tn. M Status • Pengetahuan : resiko infeksi : lanjut usia, respon immune adekuat, imun rendah dan malnutrisi pengendalian Pengetahuan Pengetahuan : pengendalian infeksi infeksi Pengendalian infeksi • Pengendalian • Ajarkan pada klien & keluarga Pengendalian efektif, cara menjaga personal hygiene resiko infeksi resiko adekuat, untuk melindungi tubuh dari Penyembuhan luka infeksi : cara mencuci tangan optimal yang benar. • Anjurkan kepada keluarga/ Dengan kriteri: pengunjung untuk mencuci • Klien terbebas dari tangan sewaktu masuk dan tanda dan gejala meninggalkan ruang klien infeksi • Jelaskan kepada klien dan • Klien mampu keluarga tanda dan gejala infeksi mendiskripsikan • Ajarkan metode aman cara proses penularan penyediaan, pengelolaan dan penyakit, factor yang penyimpanan makanan / susu kpd mempengaruhi klien & keluarga. penularan serta • Kolaborasi dengan ahli gizi : penatalaksanaannya asupan nutrisi TKTP: • Klien mempunyai Blenderized 6x250 cc melalui kemampuan untuk sonde mencegah timbulnya Susu cair formula dari RS infeksi 6x250 cc • Jumlah leukosit dalam batas Pengendalian resiko penyebaran normal(5.000 – infeksi 10.000) • Pantau tanda dan gejala infeksi : peningkatan suhu tubuh, nadi, perubahan kondisi luka, sekresi, penampilan urine, penurunan BB, Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 73 (28/8/2012) diketahui adanya peningkatan jumlah leukosit darah (12. 10-3 ) Respon inefektif pada model adaptasi fisik pada sistem proteksi keluarga tentang pencegahan infeksi dan peningkatan imunitas keletihan dan malaise. • Pertahankan tehnik aseptik pada klien yang beresiko • Bersihkan alat / lingkungan dengan benar setelah dipergunakan klien • Pertahankan tehnik isolasi bila diperlukan • Batasi jumlah pengunjung bila diperlukan, dan anjurkan penggunaan APD pada klien dgn autoimun • Anjurkan kepada klien minum obat antibiotika sesuai • Berikan penkes kepada klien dan keluarga tentang cara program • Dorong klien untuk mengkonsumsi nutrisi dan cairan yg adekuat.penularan penyakit infeksi: transmisi secara seksual, oral, fekal, sekresi tubuh, kontak langsung, dan trankutaneus • Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi 1. Rifampisin 450 mg 1x1 po 2. INH 300 mg PO 1 x1 3. Pzd 500 mg PO 1 x2 4. Etambutol 500 mg PO 1x 2 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 74 NO 6 PENGKAJIAN PERILAKU STIMULUS • Kejang 2-3 kali selama Stimulus fokal: Status epiletikus MRS Penurunan • Tonus (-) kesadaran • Klonus (-) Gangguan fungsi • Aura kejang (-) luhur • Demam (+) • Suhu: 38 C Stimulus • Statsu epileptikus kontekstual : • Terapi fenitoin • Riwayat epilepsi • TDM : 75 ( abnormal: • Riwayat H) konsumsi fenitoin sejak 1995 dengan Respon inefektif pada terapi yang model adaptasi fisik pada buruk sistem proteksi • Riwayat peningkatan konsumsi fenitoin dengan dosis tinggi sejak april 2012 • Riwayat konsumsi ganja, merokok dan alkohol DIAGNOSA KEPERAWATAN (NANADA) Resiko cidera berhubungan dengan kondisi fisik INTERVENSI TUJUAN KEPERAWATAN KEPERAWTAAN (NIC) (NOC) Setelah dilakukan • Pencegahan tindakan keperawatan cidera pada Tn. M resiko • Pengawasan cidera menurun: keselamatan kejang mampu • Pengelolaan dicegah lingkungan Dengan kriteri: pasien mampu: • Menjelaskan cara / metode untuk mencegah cedera: kejang • Memodifikasi gaya hidup untuk mencegah cedera: kejang • Mengenali perubahan status kesehatan • Mengidentifikasi lingkungan yang aman • Terbebas dari cedera: kejang Stimulus residual: • kurangnya Pengetahuan keluarga tentang pengamanan saat kejang • minimnya AKTIVITAS Pencegahan cedera • Kaji factor resiko cedera • Identifikasi kebutuhan keamanan klien sesuai kondisi dan fungsi kognitif klien • Ajarkan pada klien & keluarga cara mengidentifikasi factor resiko cedera dan cara penanggulangannya • Melakukan tindakan emergency sesuai dengan kondisi : Kejang, hiperthermi, penurunan kesadaran, halusinasi, perdarahan dll Pengawasan keselamatan • Laksanakan pengawasan secara intensif kepada klien yang berisiko terjadi cedera: Monitor TTV, GCS, hemodinamik. • Berikan cairan & nutrisi yang adekuat • Kaji riwayat klien terkait factor risiko, dan Informasikan kepada dokter tentang perubahan yang terjadi : mis epitaksis, perubahan hemodinamik Pengelolaan lingkungan • Ajarkan pada klien & keluarga tentang lingkungan yang aman : penerangan yg cukup, lantai tidak licin • Pasang pengaman tempat tidur pada klien anak atau klien yang Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 75 dukungan keluarga dalam perawtan klien NO 7 • • • PENGKAJIAN PERILAKU STIMULUS Kegagalan regimen Stimulus fokal: terhadap terapi fenotoin Ancaman dalam kehidupan terapi, perubahan status kesehatan, sehari-hari sehingga pasien ketidaktahuan keluarga menjalani terapi tentang perawatan dan motivasi OAE dengan terapi, dalam buruk: dosis keluarga meningkat tiba-tida perawatan pasien dan sering putus Stimulus kontekstual : obat Adanya kesulitan • Riwayat epilepsi biaya dalam terapi • Riwayat konsumsi epilepsi dan fenitoin sejak 1995 pemeriksaan TDM dengan terapi yang ulang terhadap buruk kadar fenitoin • METB dalam darah. • Riwayat konsumsi Kurangnya ganja, merokok dan pengetahuan klien alkohol dan keluarga mengenai Stimulus residual: gelisah/ penurunan kesadaran Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi Pemberian OAE: Diazepam 10 mg b/p 1x1 iv Depakene syr 900 mg 40 cc 4x1 po Clobazam 10 mg 2x1 po Fenobarbital 30 mg 1x1 po • DIAGNOSA KEPERAWATAN (NANADA) Ketidakefektifan menejemen kesehatan diri INTERVENSI TUJUAN KEPERAWATAN KEPERAWTAAN (NIC) (NOC) Setelah dilakukan • Pencegahan tindakan keperawatan edukasi pada Tn. M terstruktur menjemen kesehatan • Pengajaran: diri menjadi adekuat pendidikan kesehatan Dengan kriteri: • Pemberian • mempunyai motivasi pengetahuan mengenai penyakit dan pengobatan sesuai pemahaman pasien dan keluarga • mempunyai pengetahuan tentang perawatan pada klien dengan METB dan AKTIVITAS • • • • • • • • • • Nilai tingkat pengetahuan dan hal yang tidak diketahui pasien, Tentukan kemampuan pasien untuk mempelajari informasi spesifik, Pilih alat/strategi pembelajaran yang tepat, Evaluasi kemampuan pasien sesuai tujuan, Libatkan keluarga/orang terdekat sesuai kebutuhan, Identifikasi kemungkinan penyebab, Berikan informasi tentang kondisi sesuai kebutuhan, Berikan informasi pada keluarga/orang terdekat, tentang perkembangan pasien, Diskusikan perubahan gaya, hidup yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi/mengontrol proses penyakit, Diskusikan pilihan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 76 perawatan dan terapi pada pasien. • Barthe index: 3 (ketergantungan total Respon inefektif pada promosi dan menejemen kesehatan • kurangnya informasi dan edukasi pada pasein dan keluarga tentang penyakit, terapi dan perawatan • epilepsi perilaku taat dan mendukung perawatan • • terapi/penatalaksanaan, Ajarkan pada pasien tentang tanda dan gejala yang dapat dilaporkan pada petugas, Berikan informasi tentang program rehabilitasi Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 77 3.1.6 Pembahasan Berdasarkan Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy 3.1.6.1 Analisis hasil pengkajian Pengkajian keperawatan merupakan tahap awal dalam proses keperawatan, langkah ini menentukan keberhasilan dan ketepatan dalam tahapan keperawatan yang selanjutnya yaitu penegakan diagnosa, perencanaan dan implementasi serta evaluasi keperawatan. Pengkajian keperawatan bertujuan untuk mengumpulkan data, baik dari sumber primer (pasien dan hasil pemeriksaan) maupun sekunder (keluarga, literature, hasil penelitian). Proses ini meliputi 3 tahapan dasar yaitu anamnese, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berikut ini merupakan hasil pengkajian menurut teori adaptasi dari “Roy” : 1. Identitas, keluhan utama dan riwayat kesehatan Untuk menghindari kesalahan dan memperoleh kevalidan data maka identitas pasien dalam data umum atau biografi klien harus dipastikan terlebih dahulu terutama nama, umur, jenis kelamin dan yang paling penting adalah nomer registrasi pasien masuk ke RS. Data identitas klien bisa diperoleh dari catatan klien masuk sejak dari UGD dengan anamese ataupun dari pencatatan berkas yang dimiliki klien (KTP, kartu asuransi dll). Langkah selanjutnya dari data identitas klien adalah mengetahui adanya keluhan utama klien. Setelah keluhan utama diketahui langkah berikutnya adalah memastikan tersedianya data riwayat kesehatan. Dimana data ini terbagi dalam 3 yaitu riwayat kesehatan sekarang dan masa lalu serta riwayat kesehatan keluarga. Ketiga data ini diperoleh melalui anamnese baik auto (pada klien sendiri) maupun heteroanamnese (dilakukan pada suami klien). Anamnese yang baik akan menentukan keberhasilan penatalaksanaan pada klien dengan gangguan neurologi (Lumbantobing, 2012). Riwayat kesehatan sekarang mendeskripsikan perjalan penyakit klien saat mulai sakit sampai dibawa ke RS saat ini dirawat berakhir dengan hasil akhir saat dilakukan pengkajian. Sedangkan riwayat kesehatan dahulu adalah semua penyakit dan pengobatan yang pernah dialami klien selama hidupnya, riwayat alergi, kecelakaan, tindakan operasi sebelumnya dll. Sedangkan riwayat kesehatan keluarga berusaha menggambarkan adanya penyakit herediter atau penularan penyakit pada mereka yang tinggal dalam satu rumah melalui penjabaran dalam bentuk genogram. Dari ketiga riwayat kesehatan tersebut seorang perawat harus bisa menemukan masalah kesehatan klien terutama yang berhubungan dengan penyakit dan manifestasi klinis yang saat ini dirasakan klien. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 78 Dari hasil anamnese dan data sekunder di rekam medis klien diperoleh informasi bahwa klien dengan inisial nama Tn. M seorang laki-laki dan berumur 32 tahun dengan diagnosa susp Meningitis Ensefalitis TB (METB). Dari informasi biografi klien tersebut dapat diketahui gender jenis laki-laki dan usia bisa menjadi faktor resiko terjadinya METB. Kemungkinan besar METB yang dialami oleh klien pada usia dewasa dengan terbanyak kasusnya adalah pada laki-laki (Brunner, 2002). Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996). Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001). Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh virus atau mikro organisme lain yang non purulent (Corwin, 2009). Meningitis encefalitis TB merupakan suatu kondisi patologis yang terjadi akibat infeksi yang mengenai meningen, CSS dan spinal column yang disebabkan oleh infeksi jamur, virus dan bakteri, ditandai dengan gejala awalnya adalam demam, batuk dan sakit kepala (sidarta, 2010). 2. Pengkajian keperawatan 2.1. Mode Adaptasi Fisiologis Pengkajian dilakukan terhadap perilaku dan stimulus yang ditampilkan oleh Tn. M dengan diagnosa medis suspek METB. Pengkajian perilaku dilakukan pada mode adaptasi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependen. Dari hasil tersebut diperoleh diagnosa keperawatan pada pasien sebagai berikut: 2.1.1 Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah arteri/vena di otak Diagnosa keperawatan diatas muncul dari manifestasi klinis yang diperoleh dari hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada klien. Dimana hasil pengkajian perilaku klien didapat dari hasil anamnese dan pemeriksaan fisik yang ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang. Berikut ini data hasil pengkajian perilaku dan stimulus yang mendukung penegakan diagnosa keperawatan diatas: Nyeri kepala tidak terkaji, kontak tidak adekaut.Kesan: ganguan fungsi luhur. GCS : E2M6Vafasia. Klien tampak mengatuk dan selalu menutup mata. Kaku kuduk (+). kesan: tetraparese. Penurunan tonus dan kekuatan otot. suhu : 37,8 0, klien beberapa kali mengalami demam. Hasil pemeriksaan diagnosis:Pemeriksaan Ct Scan :Penyangatan meningens sugestif meningitis. Analisis cairan tubuh (1/9/2012). Analisis cairan otak: Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 79 Makroskopik: Warna Serus, Kejernihan: jernih, Bekuan (+), Mikroskopik: Hitung sel :6 sel/µl. Hitung jenis: PMN (segmen): 41/ µl . MN: 20/ µl, pemeriksaan tinta india ditemukan kuman criptokokkus. Kimia :Nonne (+), Pandy (+). Protein cairan otak:140mg/dl, Glukosa cairan otak:76mg/dl, Glukosa serum:124 mg/dl, Klorida (Cl):114 Meq/l. BTA (+). Pembahasan data hasil pengkajian:Dari data hasil pengkajian perilaku diketahui bahwa pasien menunjukan gejala asimptomatik dari METB yaitu: demam, penurunan kesadaran dan nyeri kepala yang sudah diketahui sejak pasien belum MRS meskipun pada saat pengkajian nyeri kepala klien sulit terkaji karena penurunan kesadaran, gangguan fungsi luhur dan afasia. Demam, nyeri kepala dan penurunan kesadaran merupakan gejala asimtomatik dari meningitis ensefalitis (Black, 2009). Kaku kuduk pada pasien menunjukkan adanya infeksi pada meningen (Lumantobing, 2012). Kejang pada pasien merupakan salah satu menifestasi klinis adanya infeksi pada ensefalitis (Price wilson, 2006). Dari hasil pemeriksaan diagnostik diketahui sebagai berikut: Pemeriksaan Ct Scan (15/5/2012).Kesimpulan: Penyangatan meningens sugestif meningitis. Tidak nampak lesi patologis intra parenkim srebri maupun serebelli. Dari pemeriksaan ini diketahui bahwa klien mengalami meningitis meskipun sebenanrnya tidal terlihat adanya lesi patologis. Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan otak. Hasil lumbal punksi klien menunjukan klien mengalami infeksi pada otak yang disebabkan oleh bakteri. Dari hasil lumbal punksi diketahui beberapa informasi seperti:CSS serus dan jernih. Pada infeksi otak dengan penyebab bakteri (tuberculosa) maka CSS akan jernih/ tidak berwarna. Hitung sel :6 sel/µl. Melebihi nilai normal (0-5). Jumlah sel leukosit normal tertinggi 4-5 sel/mm3, dan mungkin hanya terdapat 1 sel polymorphonuklear saja, Sel leukosit junlahnya akan meningkat pada proses inflamasi. Perhitungan jumlah sel harus sesegera mungkin dilakukan, jangan lebih dari 30 menit setelah dilakukan lumbal punksi. Bila tertunda maka sel akan mengalami lisis, pengendapan dan terbentuk fibrin. Keadaaan ini akan merubah jumlah sel secara bermakna. Leukositosis ringan antara 5-20 sel/mm3 adalah abnormal tetapi tidak spesifik. Pada meningitis bakterial akut akan cenderung memberikan respon perubahan sel yang lebih besar terhadap peradangan dibanding dengan yang meningitis aseptik. Pada meningitis bakterial biasanya jumlah sel lebih dari 1000 sel/mm3, sedang pada meningitis aseptik jarang jumlah selnya tinggi. Jika jumlah sel meningkat secara berlebihan (5000-10000 sel /mm3), kemungkinan telah terjadi rupture dari abses serebri atau perimeningeal perlu dipertimbangkan. Perbedaan jumlah sel memberikan petunjuk ke arah Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 80 penyebab peradangan. Monositosis tampak pada inflamasi kronik oleh L. monocytogenes. Eosinophil relatif jarang ditemukan dan akan tampak pada infeksi cacing dan penyakit parasit lainnya termasuk Cysticercosis, juga meningitis tuberculosis, neurosiphilis, lympoma susunan saraf pusat, reaksi tubuh terhadap benda asing. PMN (segmen): 41/ µl: pasien mengalami leukositosis. Jumlah Polimorfinuklear atau sel leukosit normal tertinggi 4-5 sel/mm3, dan mungkin hanya terdapat 1 sel polymorphonuklear saja, Sel leukosit jumlahnya akan meningkat pada proses inflamasi. Leukositosis ringan antara 5-20 sel/mm3 adalah abnormal tetapi tidak spesifik. Pada meningitis bakterial akut akan cenderung memberikan respon perubahan sel yang lebih besar terhadap peradangan dibanding dengan yang meningitis aseptik. Pada meningitis bakterial biasanya jumlah sel lebih dari 1000 sel/mm3, sedang pada meningitis aseptik jarang jumlah selnya tinggi. Jika jumlah sel meningkat secara berlebihan (5000-10000 sel /mm3), kemungkinan telah terjadi rupture dari abses serebri atau perimeningeal perlu dipertimbangkan. Perbedaan jumlah sel memberikan petunjuk ke arah penyebab peradangan. Monositosis tampak pada inflamasi kronik oleh L. monocytogenes. Eosinophil relatif jarang ditemukan dan akan tampak pada infeksi cacing dan penyakit parasit lainnya termasuk Cysticercosis, juga meningitis tuberculosis, neurosiphilis, lympoma susunan saraf pusat, reaksi tubuh terhadap benda asing. Nonne (+) dan Pandy (+): Menunjukan peningkatan protein (globulin)dalam CSS. Protein cairan otak:140mg/dl. Terjadi peningkatan protein dalam CSS. Kadar protein normal cairan serebrospinal pada ventrikel adalah 5-15 mgdl. pada sisterna 10-25 mgdl dan pada daerah lumbal adalah 15-45 ,gdl. Kadar gamma globulin normal 5-15 mgdl dari total protein. Kadar protein lebih dari 150 mgdl akan menyebabkan cairan serebrospinal berwarna xantokrom, pada peningkatan kadar protein yang ekstrim lebih dari 1,5 grdl akan menyebabkan pada permukaan tampak sarang laba-laba (pellicle) atau bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen. Kadar protein cairan serebrospinal akan meningkat oleh karena hilangnya sawar darah otak (blood barin barrier), reabsorbsi yang lambat atau peningkatan sintesis immunoglobulin lokal. Sawar darah otak hilang biasanya terjadi pada keadaan peradangan, iskemia baktrial trauma atau neovaskularisasi tumor, reabsorsi yang lambat dapat terjadi pada situasi yang berhubungan dengan tingginya kadar protein cairan serebrospinal, misalnya pada meningitis atau perdarahan subarakhnoid. Peningkatan kadar immunoglobulin cairan serebrospinal Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 81 ditemukan pada multiple sklerosis, acut inflamatory polyradikulopati, juga ditemukan pada tumor intra kranial dan penyakit infeksi susunan saraf pusat lainnya, termasuk ensefalitis, meningitis, neurosipilis, arakhnoiditis dan SSPE (sub acut sclerosing panensefalitis). Perubahan kadar protein di cairan serebrospinal bersifat umum tapi bermakna sedikit, bila dinilai sendirian akan memberikan sedikit nilai diagnostik pada infeksi susunan saraf pusat. Glukosa cairan otak:76mg/dl dan Glukosa serum:124 mg/dl. Terjadi penurunan glukosa dalam CSS.Normal kadar glukosa berkisar 45-80 mgdl. Kadar glukosa cairan serebrospinal sangat bervariasi di dalam susunan saraf pusat, kadarnya makin menurun dari mulai tempat pembuatannya di ventrikel, sisterna dan ruang subarakhnoid lumbar. Rasio normal kadar glukosa cairan serebrospinal lumbal dibandingkan kadar glukosa serum adalah >0,6. Perpindahan glukosa dari darah ke cairan serebrospinal secara difusi difasilitasi transportasi membran. Bila kadar glukosa cairan serebrospinalis rendah, pada keadaan hipoglikemia, rasio kadar glukosa cairan serebrospinalis, glukosa serum tetap terpelihara. Hypoglicorrhacia menunjukkan penurunan rasio kadar glukosa cairan serebrospinal, glukosa serum, keadaan ini ditemukan pada derjat yang bervariasi, dan paling umum pada proses inflamasi bakteri akut, tuberkulosis, jamur dan meningitis oleh carcinoma. Penurunan kadar glukosa ringan sering juga ditemukan pada meningitis sarcoidosis, infeksi parasit misalnya, cysticercosis dan trichinosis atau meningitis zat khemikal. Inflamasi pembuluh darah semacam lupus serebral atau meningitis rheumatoid mungkin juga ditemukan kadar glukosa cairan serebrospinal yang rendah. Meningitis viral, mump, limphostic khoriomeningitis atau herpes simplek dapat menurunkan kadar glukosa ringan sampai sedang. Dari pemeriksaan elektrolit diketahui bahwa nilai Klorida (Cl):114Meq/l. Kadar elektrolit normal CSS adalah Na 141-150 mEq/L, K 2,2-3,3 mRq, Cl 120-130 mEq/L, Mg 2,7 mEq/L. Kadar elektrolit ini dalam cairan serebrospinal tidak menunjukkan perubahan pada kelainan neurologis, hanya terdapat penurunan kadar Cl pada meningitis. Infeksi pada otak akan menyebabkan proses inflamasi yang melibatkan peran dari sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8). Pengeluaran interlekukin 1terjadi saat awal invansi bakteri dan menyebabkan demam pada pasien. Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) dan platelet activation factor (PAF) Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 82 diduga memperberat proses inflamasi. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain barrier (BBB). PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di intravaskular. Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan permeabelitas BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam ruang subarachnoid. Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai respon terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk meningitis bakterial. Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produk-produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik. Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). 2.1.2 Kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler Berikut ini data hasil pengkajian perilaku dan stimulus yang mendukung penegakan diagnosa keperawatan diatas:tetrapaerse. Penurunan Tonus dan kekuatan otot TRM: Kaku kudu (+). Pergerakan klien lemah dan terbatas. Aktivitas klien dibantu oleh keluarga. Klien tampak berusaha menggerakkan kaki namun tidak bisa Pembahasan data hasil pengkajian:Pergerakan tubuh dihasilkan melalui kerjasama yang komplek antara otak, tulang belakang dan syaraf perifer. Motor area pada kortek serebri, basal ganglia dan cerebrum mengawali setiap gerakan volunteer dengan mengirimkan pesan ke kortek spinal. Kondisi gangguan neurologi menghambat komponen system syaraf pusat dalam mekanisme penghantaran impuls sehingga menghasilkan efek kelemahan ringan sampai berat pada sisi kontralateral yang menyebabkan keterbatasan dalam pergerakan (Lemone and Burke, 2004). Cerebrum pada lobus frontalis yang merupakan area motorik primer yang bertanggung jawab untuk gerakan-gerakan voluntary (Price, 2006). Gangguan pada neuron motor atas mengakibatkan hilangnya kontrol volunteer terhadap pergerakan motorik. Karena motor neuron atas menyilang, maka akan terjadi gangguan pada kontrol motorik volunteer pada satu sisi tubuh yang menunjukkan adanya kerusakan pada Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 83 bagian atas motor neuron di sisi yang berlawanan dari otak. Hemiplegia (kelumpuhan satu sisi tubuh) merupakan kelainan yang paling sering terjadi akibat adanya lesi pada sisi yang berlawanan dari otak. Hemiparesis atau kelemahan dari satu sisi tubuh, merupakan tanda lainya yang bisa ditemukan pada pasien defisit neurologi. Pada tahap awal, gejala klinis yang muncul mungkin hanya penurunan tonus otot atau kehilangan reflex tendon dalam. Ketika refleks tendon dalam muncul kembali (biasanya sampai dengan 48 jam), maka tonus otot akan meningkat dari ekstremitas pada sisi yang terkena (Smeltzer and Bare, 2008). 2.1.3 Defisit perawatan diri total (mandi, makan, berpakaian dan toileting) berhubungan dengan gangguan neuromuskuler Berikut ini data hasil pengkajian perilaku yang mendukung penegakan diagnosa keperawatan diatas.Klien tampak bed rest total, Barthel index: 3 (ketergantungan total), NGT (+), Klien tampak diseka oleh keluarga, Klien dibantu berpakaian oleh orang lain, Kesan: tetraparese, Terpasang foley kateter, Klien berpindah posisi dengan dibantu oleh orang lain, Kontak tidak adekuat, Penurunan kesadaran, Kesan: gangguan funsgi luhur Pembahasan hasil pengkajian:Adanya keterbatasn mobilitas pada pasien akan menyebabkan pasien mengalami keterbatas fisik dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Karena memang salat satu fungsi dari motorik manusia adalah sebagai alat gerak. Defisit pada ektremitas akan membuat pasien bergantung pada orang dalam pemenuhan: makan, eliminasi, toileting dll. Pengkajian kemampuan pemenuhan ADL dilakukan dengan melakukan penilaian barthel index. Munculnya masalah pemenuhan kebutuhan sehari sebagai dampak dari gangguan mobilitas fisik dinamankan sebagai gejala dari disuse sindrome (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010). 2.1.4 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi Berikut ini data hasil pengkajian perilakudan stimulus yang mendukung penegakan diagnosa keperawatan diatas: UD gr II disakrum diameter 5-8 cm. Kemerahan di punggung bawah dan skapula kanan. Immobilisasi 10 hari. Parese (+). Penurunan kesadaran. Gangguan fungsi luhur. Immobilisasi. Terpasang restrain di kedua tangan. Personal Hygiene klien kurang optimal. ADL terbatas. Nutrisi menurun. suhu : 37,8 C. Pembahasan data hasil pengkajian:Kerusakan integumen pasien terjadi akibat adanya ulkus decubitus grade II pada sacrum akibat immobilisasi yang diperparah oleh kondisi nutrisi dan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 84 PH yang tidak adekuat serta ditunjang adanya kondisi demam dan penurunan kesadaran. Immobilisasi merupakan suatu keadaan di mana seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan atau aktifitas misalnya pada ekstremitas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas). Salah satu dampak immobilisasi pada integumen adalah terjadinya ulkus decubitus. Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). (National pressure Ulcer Advisory panel (NPUAP), 1989 dalam Potter dan Perry, 2005) mengatakan dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan (Potter dan Perry, 2005). Gannguan mobilitas fisik menyebabkan immobilisasi sehingga mengakibatkan terjadinya ulkus decubitus merupaka salah satu dari gejala disue sindrome dari masalah keterbatas fisik (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010). 2.1.5 Resiko Penyebaran infeksi berhubungan dengan imunitas tidak adekuat Berikut ini data hasil pengkajian perilaku yang mendukung penegakan diagnosa keperawatan diatas: Intake nutrisi berupa diet bubur dan susu, jarang dihabiskan (2/3 dari porsi). Suhu : 37,8 C. Hasil CT Scan : Penyangatan meningens sugestif meningitis. Analisis cairan tubuh (13/9/2012). ditemukan kelaian MO. Klien bedrest total sejak sekitar 30 hari yang lalu akibat tetrapaerse dan penurunan kesadaran. Dari hasil pemeriksaan lab (28/8/2012) diketahui adanya peningkatan jumlah leukosit darah (12. 10-3 ).Mikrobiologi (3/9/2012): BTA (+). Hemostasis (2/9/2012). Kadar fibrinogen H 490 mg/dl. Pembahasan data hasil pengkajian: Fibrinogen adalah adalah salah satu protein yang disintesis oleh hati yang merupakan reaktan fase akut berbentuk globulin beta. Protein ini berguna untuk membantu proses hemostasis dengan menstimulasi pembentukan trombus. Rasio plasma normal dari fibrinogen berkisar antara 200-400 miligram per desiliter (mg/dL). Dari hasil pemeriksaan diagnostik diketahui:Kimia klinik Hematologi rutin Jumlah leukosit (28/8/2012) (H) 10,1 5 – 10.10-3 3 /ul Dari hasil pemeriksaan lab tanggal 28/8/2012 diketahui adanya penuruna hematokrit dan peningkatan jumlah leukosit. Dari sini diketahui kemungkinan adanya resiko adanya infeksi. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 85 Leukosit adalah sel darah Yang mengendung inti, disebut juga sel darah putih. Didalam darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-9000 sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis, bilakurang dari 5000 disebut leukopenia. Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zatzat asing. Dengan HIV negatif bisa disingkirkan infeksi dd klien di otak bukan virus (HIV) tapi infeksi bisa berasal dari bakteri. Penyebab gejala asimptomatik seperti demam, neyri kepala bertambah dan penurunan kesadaran merupakan bentuk infeksi otak yang dari evidance basednya paling banya dari TBC (METB) sampai terbukti melalui pemeriksaan lumbal punksi, sputum, rotgen maupun mikrobiologi. Rontgen (28/8/2012). Kesimpulan : Tidak nampak kelainan radiologi pada cor dan pulmo Hasil pemeriksaan menunjukkan klien klien tidak ada masalah dalam sistem pernafasannya 2.1.6 Resiko Cidera berhubungan dengan kondisi fisik (status epileptikus) Berikut ini data hasil pengkajian perilaku yang mendukung penegakan diagnosa keperawatan diatas. Kakak klien mengatakan sejak tahun 1995 klien mengalami kejang akibat trauma kepala akibat dipukul saat perkelahian di STM. Menurut kakaknya, Klien sering ditemukan kejang dijalanan oleh tetangganya, klien mengalami gejala awitan kejang seperti: penglihatan buruk, mendengar bisikan, kelonjotan sleuruh tubuh. Paling lama kejang 5 menit. Suhu : 37,8 C. TDM fenitoin :75. riawayat epilepsi sejak tahun 1995 dengan penyebab trauma akibat benturan (pemukulan di kepala saat terjadi tawuran). Riwayat status epileptikus semakin diperparah dengan kondisi terapi medikasi fenitoin klien yang buruk diamana klien sering putus obat, minum tiap teratur dan peningkatan dosis dalam beberapa bulan yang dasar dan penyebabnya tidak pasti. Pembasahan data hasil pengkajian: Cidera pada klien bisa berasal dari beberapa sumber yaitu: demam, resiko kejang berulang, penurunan kesadaran, gangguan fungsi luhur. Pada hasil pemeriksaan TDM diketahui kadar fenitooin dalam darah sejumlah 75 ug/ml. Padahal nilai normalnya adalah: 10-20 ug/ml. Dari hasil pemeriksaan tersebut klien mengalami peningkatan ambang fenitoin. Kemungkinan yang terjadi adalah klien mengalami peningkatan kadar fenitoin dalam darah. Kondisi ini bisa meberikan bahaya pada pasien. Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi. Fenitoin berefek antikonvulsan tanpa menyebabkan depresi umum susunan saraf pusat. Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan dosis letal menimbulkan rigiditas deserebrasi. Sifat antikonvulsan fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 86 Efek stabilisasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel sistem konduksi di jantung. Fenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran sel; dalam hal ini, khususnya dengan menggiatkan pompa Na+ neuron. Bangkitan tonik-klonik dan beberapa bangkitan parsial dapat pulih secara sempurna. Gejala aura sensorik dan gejala prodromal lainnya tidak dapat dihilangkan secara sempurna oleh fenitoin (Deglin 2009). Pada sebagian besar pasien dewasa, fenitoin dapat diberikan sekali sehari dan biasanya paling baik pada malam hari. Pada sejumlah pasien terutama pada dosis tinggi, dianjurkan pemberian 2 kali sehari. Untuk anak sebaiknya diberikan 2 kali sehari.Dosis awal obat ini dapat dimulai dengan 200 mg malam hari dan dinaikkan sebanyak 20 – 100 mg setiap minggu. Dosis rumat biasanya berkisar antara 200 – 400 mg sehari untuk pasien dewasa dan antara 5 – 8 mg/kgBB untuk anak, walaupun dosis yang lebih tinggi dan lebih rendah diperlukan bagi beberapa pasien. Pengukuran kadar fenitoin serum penting untuk memantau dosis, karena adanya variasi intra-individual yang cukup besar, terlebih karena penambahan dosis kecil kadang-kadang menyebabkan perubahan besar pada kadar obat dalam serum yang tak terduga. Fenitoin sebagai obat epilepsi dapat menimbulkan keracunan, sekalipun relatif paling aman dari kelompoknya. Gejala keracunan ringan biasanya mempengaruhi susunan saraf pusat, saluran cerna, gusi dan kulit; sedangkan yang lebih berat mempengaruhi kulit, hati dan sumsum tulang. Hirsutisme jarang terjadi, tetapi bagi wanita mida hal ini dapat sangat mengganggu. Efek samping fenitoin tersering adalah diplopia, ataksia, vertigo, nistagmus, sukar berbicara (slurred speech) disertai gejala lain, misalnya tremor, gugup, kantuk, rasa lelah, gangguan mental yang sifatnya berat, ilusi, halusinasi sampai psikotik. Defisiensi folat yang cukup lama merupakan faktor yang turut berperan dalam terjadinya gangguan mental. Efek samping susunan saraf pusat lebih sering terjadi dengan dosis melebihi 0,5 gram sehari (Utama H., 1995) 2.2 Mode adaptasi konsep diri, fungsi peran dan interdepensi Pengkajian perilaku pasien pada mode adaptasi diatas menemukan adanya masalah keperawatan terutama pada fungsi peran, yaitu adanya ketidakefektifan menejemen kesehatan diri. Masalah keperawatan ini muncul distimulasi oleh kompleksnya regimen pengobatan serta kurangnya pengetahuan. Salah satu komplesitas dari perawatan pada klien adalah: diagnosa penyakit klien yang sulit tegak. Dari manifestasi awal MRS klien menunjukan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 87 METB namun diagnosa ini dipatahkan sejak hasil punksi lumbal keluar. Sehingga diagnosa utama klien berubah dari METB menjadi epilepsi, dengan demikian terapi klien diubah dari OAT dalam kurun waktu belum ada 3 minggu berubah menjadi OAE. Diagnosa keperawatan ini ditegakkan jika pasien berharap mengikuti program pengobatan namun mengalami kesulitan (Wilkinson, 2007). Selain terapi klien, pengetahuan pasien dan keluarga yang minim mengenai perawatan, faktor resiko dan pengobatan membuat diagnosa keperawatan ini diterapkan. Analisis Hambatan Dalam Melaksanakan Asuhan Pengkajian Selama melakukan pengkajian, praktikan tidak menemukan kendala yang berarti, dikarenakan keluarga kooperatif sehingga semua pertanyaan bisa dijawab dengan baik. Namun kondisi klien dengan kesadaran yang menurun dan afasia sedikit banyak meberikan kesulitan dalam menjalin komunikasi verbal dan langsung sehingga anamnese dan pengkajian banyak melibatkan kakak klien. Komunikasi selama pengkajian dengan kakak klien berlangsung dengan baik. Format pengkajian dari roy cukup lengkap dan bisa mempresentasikan kondisi pasien yang mengalami kondisi kronik dan keterbatasan multisistem akibat defisit neurologi. Meskipun dalam aplikasinya teori pengkajian Roy masih dikombinaskikan dengan format pemeriksaan dari RS Cipto. Dimana format pengkajian dari ruangan (RSCM) mempunyai kelebihan cukup lengkap, namun sederhana, dan spesifik terutama untuk neurologi. Namun kelemahanya bentuk formatnya yang sempit atau checklist tidak memungkinkan membuat narasi panjang. Penggabungan kedua format tersebut membuat pengkajian lebih mudah, efektif dan efisien sehingga diharapkan pengkajian memberikan hasil yang valid dan mampu mempresentasikna kondisi sebenarnya dari pasien. Berikut ini beberapa hambatan yang ditemukan oleh praktikan selama pengkajian : Pengkajian harus dilakukan dalam beberapa waktu. Dilakukan secara beratahap sesuai dengan kontrak hal ini dikarenakan kondisi klien dengan afasia, penuruna kesadaran dan ganguan funngsi luhur sehingga dalam sehari pengkajian tidak lebih dari 30 menit. Banyaknya praktikan yang juga memegang klien membuat kakak klien merasa bosan dan lelah karena seringnya ditanya dengan pertanyaan yang sama atau diperiksa berulang-ulang, untuk mengatasi hal ini pemeriksaan dilakukan pada beberapa sesi termasuk melakukan pengkajian bersamaan dengan melakukan tindakan keperawatan seperti memberikan obat, membatu ADL klien dll. Seringkali praktikan menjalin kerjsama dengan praktikan lain untuk secara bersama-sama memeriksa klien untuk mencegah pengulangan pemeriksaan. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 88 Dalam format pengakajian yang dipakai dalam teori adapatasi ROY sudah bisa dikatakan cukup lengkap untuk mengkaji permasalahan pada klien yaitu dengan masalah utama neuromuskuloskletal. Namun kelemahan dalam format pengkajian tersebut belum mencantumkan riwayat kesehatan klien. Selain itu format pemeriksaan fisiologis pada roy belum menampilkan masing-masing hasil pemeriksaan secara inspeksi, palpasi, aukultasi maupun perkusi terutama pada kondisi respiratory dan cardiovaskuler. Sehingga ada beberapa penambahan yang dilakukan penulis untuk melengkapi format pengkajian 2 level dari Roy. Justifikasi : Brunner & Suddarth dalam Smeltzer (2002), mengatakan bahwa pengumpulan data pengkajian dilakukan dengan cara mengumpulkan riwayat kesehatan dan pengkajian kesehatan dan dengan pemantauan secara berkesinambungan agar tetap waspada terhadap kebutuhan pasien dan keefektifan dari rencana keperawatan yang diterima pasien, dimana penggunaan pedoman riwayat kesehatan dapat membantu dalam mendaptkan informasi. Pengkajian kesehatan membutuhkan penggunaan indera penglihatan,pendengaran, perabaan, penciuman dan keterampilan dalam wawancara. Karena keperawatan Medikal Bedah cakupannya masih luas maka sebaiknya ruangan perlu mempersiapkan format pengkajian yang lebih spesifik dengan mengarah kepada gangguan pada sistem tertentu 3.1.6.2. Analisis Diagnosa keperawatan Penegakkan diagnosa keperawatan dilakaukan dengan menyimpulakan hasil pangkajian yang telah didapat dan dirumuskan dalam data fokus di analisa data, dimana hasil analisa data tersebut diperoleh dari 3 (Tiga) tindakan yaitu hasil anamnese, pemeriksaan fisik dna pemeriksaan penunjang. Berikut ini analisis pada masing-masing diagnosa keperawatan : 1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah arteri/vena di otak Diagnosa diatas Merupakan Suatu keadaan dimana klien beresiko untuk mengalami penurunan sirkulasi jaringan serebral. Faktor resiko yang memungkinkan diagnose ini diangkat adalah trauma kepala, hipertensi, tumor otak, aneurisma otak, dan lain-lain (NANDA, 2009-2011). Kondisi penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat menggangu kesehatan (NANDA, 2012-2014) 3.1 Kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler Definisi dari diagnosa diatas adalah: suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih. Tingkatan : Tingkat 0, 1, 2, 3, 4, Tingkat 0 : Mandiri penuh (Pedoman NANDA 2—5-2006, NANDA 2007 ). Dalam NANDA Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 89 (2012-2014) diagnosa ini disebut sebagai hambatan mobilitas fisik. Suatu keterbatasan pada pergerakkan fisik tubuh atau ekstremitas secara mandiri dan terarah. 2. Defisit perawatan diri total (mandi, makan, berpakaian dan toileting) berhubungan dengan gangguan neuromuskuler Defisit perawatan diri : mandi, berpakaian, makan, eliminasi. Suatu hambatan kemampuan untuk memenuhi aktivitas berpakaian lengkap, makan, kegiatan eliminasi (Pedoman NANDA 2005 – 2006, NANDA 2007). Dalam NANDA 2012-2014, diagnosa perawatan diri ini diuraikan pada masing-masing pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti: defisit perawatan diri: mandi, berpakaian , makan dan toileting. Definisi dari diagnosa ini adalah: hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan : mandi, berpakaian, toileting, mandi / aktivitas perawatan diri untuk diri sendiri. 3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi Suatu keadaan dimana kulit seseorang yang beresiko atau aktual terjadi perubahan secara tidak diinginkan Catatan : Risiko seharusnya ditentukan dengan alat pengkajian risiko : Skala Bradentau Norton (Pedoman NANDA 2005-2006, NANDA 2007 ). Berdasarkan NANDA 2012-2014 diagnosa kerusakan integritas kulit didefinisikan sebagai perubahan atau gangguan pada epidermis dan atau dermis kulit. 4. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan imunitas tidak adekuat Definisi dari diagnosa keperawatan tersebut adalah: Suatu kondisi individu yang mengalami peningkatan risiko menyebarnya organisme patogenik dalam tubuh (Panduan NANDA 20052006, NANDA 2007, NANDA 2012-2014) 5.Resiko cidera Definisi dari diagnosa resiko cidera adalah:Suatu kondisi individu yang beresiko untuk mengalami cedera akibat dari kondisi lingkungan (Pedoman NANDA 2005-2006, NANDA 2007). Berdasarkan NANDA 2012-2014, diagnosa keperawtan diatas didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana pasien beresiko mengalami cidera akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defense individu. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 90 6.Ketidakefektifan menejemen kesehatan diri Diagnosa keperawatan diatas didefinisikan sebagai: Ketidak mampuan untuk mengidentifikasi, mengelola dan atau mencari bantuan untuk memelihara kesehatan (Panduan NANDA 2005-2006, NANDA 2007 ). Berdasarkan NANDA 2012-2014 masalah keperawatan diatas merupakan suatu kondisi dimana pola pengaturan dan pengintegrasian ke dalam kebiasaan terapetik hidup sehari-hari untuk pengobatan penyakit dan sekuelnya yang tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan kesehatan spesifik. 3.1.6.3. Analisis Tujuan dan aktivitas Keperawatan Berikuti ini adalah uraian tujuan dan aktivitas keperawatan yang dilakukan pada Tn. M pada masing-masing diagnosa keperawatan beserta dengan penbarana rasionalisasi dari masingmasing tindakan keperawatanya. 1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral a. Tujuan Keperawatan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada Tn.M perubahan perfusi jaringan serebral membaik dalam batas toleransi. Dengan kriteria :Tingkat kesadaran komposmentis. GCS :E4M6V5. Pupil isokor. Tidak ada tanda peningkatan TIK. Perbaikan neurologi lain. Tanda vital dalam batas normal. b. Aktivitas keperawatan dan rasionalisasinya: Aktivitas keperawatan:Monitor status neurologi dan tanda – tanda peningkatan TIK. Monitor tanda-tanda vital. Evaluasi pupil (ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksi terhadap cahaya ). Atasi peningkatan suhu tubuh. Pertahankan elevasi kepala tempat tidur 300 – 450. Cegah terjadinya valsava manuver (mengedan saat BAB, pernafasan paksa, batuk terus menerus ). Pertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkungan yang tenang, batasi pengunjung/batasi aktivitas sesuai indikasi. Kolaborasi pemberian obat-obatan seperti:IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jam. Dexamatason IV 2x5 mg.OMZ 40 mg 1x1 iv. B6 10 mgPo 3x1. Curcuma 200 mg 3x1 po. Pemberian OAE: Diazepam 10 mg b/p 1x1 iv. Depakene syr 900 mg 40 cc 4x1 po. Clobazam 10 mg 2x1 po. Fenobarbital 30 mg 1x1 po. Memantau pemeriksaan laboratorium/diagnosti ulangan atau awal seperti Ct Scan, MRI, hasil lumbal punksi. Rasionalisasi:Pengaturan posisi kepala 30 derajat bertujuan untuk meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga akan mengurangi kongesti dan edema yang berisiko meningkatkan tekanan intrakranial (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010). Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 91 Hasil penelitian yang dilakukan Schwarz, Georgiadis, Aschoff dan Achwab (2002) melaporkan bahwa ada hubungan yang signifikan posisi kepala 15o dan 30o terhadap perfusi jaringan serebral. Berbagai macam mekanisme patofisiologi yang terjadi karena pengaturan posisi tubuh yang memberikan pengaruh secara sistemik terhadap tekanan intraserebral dan perfusi serebral. Perubahan yang terjadi adalah tekanan darah, pengembangan thoraks, ventilasi, resistensi aliran balik vena dan perpindahan cairan serebrospinalis. Kondisi ini dapat menyebabkan penurunan tekanan intrakranial dengan elevasi kepala (Schwarz, Georgiadis, Aschoff, & Achwab, 2002). Elevasi kepala di atas jantung menyebabkan penurunan tekanan hidrostatik pada kepala. Mekanisme ini berhubungan dengan peningkatan aliran balik vena melalui vena jugularis dan pleksus vena vertebra. Peningkatan aliran balik vena menurunkan tekanan vena serebral dan vena jugularis yang akan menurunkan volume darah vena serebral yang akhirnya menurunkan tekanan intrakranial (Schwarz, Georgiadis, Aschoff, & Achwab, 2002). Tindakan pencegahan valsavah mauner seperti membuat klien untuk tidak batuk bersi dan mengejan sehingga untuk mencegah TIK klien meningkat klien akan diberikan laksatif atau ekspektoran. Karena memang peningkatan tekanan intra torak dan intra abdomen akan meningkatkan peningkatan tekanan intra kranium. Valsafah manuver dicegah sehingga peningkatan TIK bisa diminimalkan (Brunner, 20002). Terapi yang diberikan: Dexamatason IV 2x5 mg, OMZ 40 mg 1x1 iv, B6 10 mgPo 3x1, Curcuma 200 mg 3x1 po. Dexameteson diberikan sebagai obat inflamasi. Menurunkan edema serebri sehingga diharapkan mampu mencegah peningkatan tekanan intra kranium. Pemberian dexa akan membuat tukak pada lambung sehingga pemberian dexa seringkali digabung dengan pemberian omeprazole untuk menurunkan asam lambung. Apalagi klien mempunya riwayat stress ulcer sejakan 5 tahun terakhir. Omeprazole, Obat ini merupakan terapi untuk resiko tukak lambung dan refluks gaster sehingga bisa mencegah mual dan muntah klien serta menurunkan anoreksia. Bekerja dengan cara menekan sekresi lambung melalui penghambatan spesifik terhadap sistem enzim H+/K+ ATPase pada permukaan sekresi sel parietal lambung. Karena sistem enzim ini merupakan pompa asam (proton) dalam mukosa lambung, Omeprazol digambarkan sebagai penghambat pompa asam langbung yang Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 92 menghambat tahap akhir pembentukan asam lambung. Obat ini diberiknan sebagai upaya untuk mengurangi supresi gaster akibat pemberian dexametason. Selain juga pasien mempunyai riwayat stress ulcer. Curcuma berisi komponen kunyit dimana Kandungan kimia Kunyit disebut kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin, desmetoksikumin dan bisdesmetoksikurkumin dan zat- zat manfaat lainnya. Obat ini ada dalam kemasan sirup dimana setiap kali makan sebanyak 1 sendok teh dan dalam sehari dikonsumsi sebanyak 3 kali.Obat ini pada klien bisa menimbulkan efek : menimbulkan nafsu makan. Sehingga pemberian curucuma diharapkan bisa memperbaiki intake nutrisi klien. Curcuma juga mampu bisa bersifat sebagai analgesik dan antipiretik sehingga terapi kunyit juga dipercaya bisa untuk memperbaiki kondisi klien dengan METB. Curcuma bisa mengurangi nyeri kepala klien akibat defisit neurologi sebagai akibat sekunder dari peningkatan TIK.Curcuma dengan kandungan kunyit bisa memperbaiki termoregulasi klien yang sedang demam, dimana kondisi klien memang mempunyai kecenderungan unlabil suhu meski pada saat pengkajian suhu klien masih dalam batas normal yaitu 36,8 C.Curcuma bisa meningkatkan peristaltik dalam colon sehingga bisa membantu kelancaran BAB klien sehingga mampu mengurangi valsavah manuver dimana kondisi ini bisa mengurangi nyeri kepala pada klien 2. Kerusakan mobilisasi fisik a. Tujuan Keperawatan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan pada Tn. M, mobilitas fisik dapat meningkat secara optimal.Dengan kriteria :Peningkatan kekuatan otot. Tidak terjadi kontraktur / footdrop. Klien dapat melakukan mobilisasi / aktivitas sesuai kemampuan. b. Aktivitas keperawatan rasionalisasinya Aktivitas keperawatan: Tempatkan pasien dalam posisi terapeutik, Posisikan sejajar kepala dan leher, Tentukan keterbatasan gerak sendi dan pengaruh terhadap fungsi, Jelaskan kepada pasien/keluarga tentang tujuan dan rencana latihan sendi, Bantu pasien dalam melakukan ROM pasif atau ROM aktif, Bantu mengoptimalkan posisi tubuh saat ROM aktif/pasif, Anjurkan pasien melakukan ROM secara teratur, Anjurkan pasien duduk di tempat tidur/kursi sesuai toleransi, penguatan positif terhadap upaya melakukan latihan sendiKolaborasi fisioterapi untuk meningkatkan program latihan: Mika miki tiap 2 jam, Bed reclicling 15-30, Positioning, Massage, Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 93 anti kontraktur dan anti decubitus, AROM dan PROM, Chest exercise, Tentukan kesiapan pasien untuk berpartisipasi dalam aktivitas/latihan, Jelaskan rasional setiap jenis latihan pada pasien/keluarga Rasionalisasi:Latihan Range of Motion adalah kegiatan latihan yang bertujuan untuk memelihara fleksibilitas dan mobilitas sendi (Tseng, Chen, Wu, & Lin, 2007). ROM adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif. Latihan ROM merupakan salah satu bentuk latihan yang efektif sebagai program rehabilitasi pada pasien stroke. Latihan ini dapat dilakukan 4 sampai 5 kali dalam sehari (Smeltzer & Bare, 2008). Massage merupakan istilah yang digunakan untuk menandakan kelompok manipulasi jaringan tubuh yang terbaik dilakukan dengan tangan yang ditujukan untuk mendapatkan efek pada saraf, otot dan sistem sirkulasi (Milland. 2009). Massage atau Pijat adalah kontak fisik yang mampu memberikan rasa nyaman dan relaksasi. Pemijatan bisa menjadi sarana yang membuat keluarga bisa menjadi lebih dekat dan mejadi support sistem bagi pasien (Stoppard, 2006). Pijatan secara umum akan membantu menyeimbangkan energi dan mencegah penyakit. Secara fisiologis, pijatan merangsang dan mengatur tubuh, memperbaiki aliran darah dan kelenjar getah bening, sehingga oksigen, zat makanan, dan sisa makanan dibawa secara efektif ke dan jaringan tubuh. Dengan mengendurkan ketegangan dan membantu menurunkan emosi pijat juga merelaksasi dan menenangkan saraf, serta membantu menurunkan tekanan darah (Balaskas, 2005). Pijat mampu merangsang tubuh melepaskan senyawa endhorpin yang merupakan pereda sakit alami dan menciptakan perasaan nyaman dan enak (Danuatmadja dan Meiliasari, 2004). Gate control teory dapat diukur untuk efektifitas cara ini. Illustras Gate control teory bahwa serabut nyeri membawa stimulasi nyeri ke otak lebih kecil dan perjalanan sensasinya lebih lambat dari pada serabut sentuhan yang luas. Ketika sentuhan dan nyeri dirangsang bersama, sensasi sentuhan berjalan ke otak menutup pintu gerbang dalam otak. Dengan adanya pijatan yang mempunyai efekdistraksi juga dapat meningkatkan pembentukan endorphin dalam sistem kontol desenden dan membuat relaksasi otot (Melode, 2009). Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 94 3. Defisit perawatan diri total (mandi, makan, berpakaian dan toileting) a. Tujuan Keperawatan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan pada Tn. M, ADL klien dapat terpenuhi secara optimal sesuai toleransi (ADL enhancing). Ditandai dengan sebagai berikut (skala 1 – 5 : sangat compromised sampai tidak compromised). ADL 5 (5). Self care (5). Denyut nadi . Tekanan darah diastolik dengan aktivitas. RR . SaO2 . Mudah bernapas dengan aktivitas. ADLs b. Aktivitas keperawatan dan rasionalisasinya Aktivitas: Kaji kemampauan ADL pasien, Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan makan, minum, mandi, berpakaian,BAK, dan BAB), Libatkan keluarga dalam pemenuhan ADL pasien jika memungkinkan, Hindari mengerjakan sesuatu yang dapat dikerjakan pasien dan berikan bantuanbila diperlukan, Waspadai terhadap tingkah laku impulsive karena gangguan dalam pengambilan keputusan, Pertahankan dukungan, sikap tegas, beri pasien waktu yang cukup untuk mengerjakan tugasnya. Dan berikan umpan balik positif atas usaha pasien yang telah dilakuka, Berikan obat laksatif untuk mempermudah BAB Rasionalisasi :Tindakan perawatan yang diberikan untuk meningkatkan koping regulator dan kognator terhadap defisit perawatan diri dengan melibatkan keluarga dalam perawatan diri, memberi bantuan sesuai kebutuhan, mengajarkan bagaimana memenuhi perawatan diri di tempat tidur, serta memotivasi pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri sesuai kemampuan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup. Pasien yang mengalami ketergantungan dan bantuan dalam aktivitas sehari-hari mengalami penurunan kualitas hidup secara signifikan (Hedstrom & Blomstrand, 2003). 4 Kerusakan integritas kulit a. Tujuan Keperawatan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada Tn.M Respon Alergi: lokal trkontrol, Integritas kulit dan membrane mukosa utuh, Regenerasi luka primer dan sekunder sesuai rentang waktu yang diharapkan . ditandai dengan: Integritas kulit dan membran mukosa baik : kulit utuh, dapat berfungsi dengan baik. Regenerasi sel dan jaringan membaik.Hipersensitif respon immune terkendali .Akses hemodialisa (pemasangan AV Shunt) berfungsi baik : tidak ada perdarahan, tidak terjadi infeksi. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 95 b. Aktivitas keperawatan dan rasionalisasinya Aktivitas: Pencegahan Alergi terhadap Latek :Identifikasi respon allergi. Perawatan Luka : Identifikasi derajad luka Jelaskan pada klien dan keluarga bahaya pemakaian alat yang dapat meningkatkan kerusakan integritas kulit :bantal pemanas Berikan cairan dan nutrisi yang adekuat sesuai kondisi. Lakukan perawatan luka sesuai kondisi, dan kolaborasi untuk pemberian terapi dan nutrisi yang adekuat.Terapi: cutimed 1/2hari. Pengelolaan Tekanan pada kulit: Pasang kasur dekubitus / bantal angina cincin tumit bila diperlukan, Mobilisasi / ubah posisi tidur klien tiap 2 jam sesuai jadwal, Ajarkan cara mobilisasi klien, Jaga kebersihan kulit dan alat tenun klien agar tetap bersih, kering dan terhindar dari lipatan /kerutan, Berikan maasage: coopers model. Berikan minyak atau lotion: minyak kelapa, Ajarkan pada keluarga, Libatkan dan berikan motivasi pada keluarga untuk ikut dalam perawatan integumen klien, Jaga kebersihan kulit dari daki dan spesimen tubuh yang lain, Rapikan linen, Bantu pemenuhan PH klien Rasionalisasi: Kejadian ulkus mencapai 38 % setiap tahunya dengan faktor penyebab adalah: immobilisasi, penurunan kesadaran, penurunan sensorik, dan penurunan kadar Hb (setyajati, 2002). Benson yang menyatakan bahwa massase dapat meningkatkan relaksasi dengan merangsang saraf parasimpatis dari hipotalamus (Fraser & Kerr 1993, Richards 1998, Mok & Woo 2004). Teori adaptasi Roy (Meek 1993), massase mampu membantu klien beradaptasi fisik dan psikologis terutama terhadap perubahan akibat penyakit seperti parese atau plegia, teori Gate Control: dimana massase akan membantu pasien untuk bisa sembuh atau mempunyai toleranis terhadap nyeri yang dialami karena memang dengan massase, pasien akan mempu meningkatkan sikulasi hormon endorphin yang membantunya lebih rileks (Mok & Woo, 2004), teori confort (Colcaba) dimana massage dapat memebrikan kenyamanan dan mengurangi stress. Mirjam A Hulsenboom MSc, RN dkk (2005). Melakukan penelitian dengan hasil massage mampu mencegah Pressure Ulcer. Menurut Wenworth, Laura etc.(2009). massage terapi mampu menurunkanketegangan otot, cemas dan nyeri pada pasien Massage yang digunakan lebih banyak pada tekhnik efflurages dan petrisage.peneliti menganjurkan bahwa terapi massage ini bisa digunakan untuk mengurangi ketegangan pada otot punggung dan nyeri pada punggung. Walach, Harrach , etc. (2003). Menyatakan bahwa terapi massage bisa menurunkan nyeri, memperbaiki Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 96 kondisi psikologi, mengurangi cemas, memperbaiki mood dan meningkatkan konsep diri. 4.5 Resiko Penyebaran infeksi a. Tujuan Keperawatan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada Tn. M Status immune adekuat, Pengetahuan Pengendalian infeksi efektif, Pengendalian resiko adekuat, Penyembuhan luka optimal. Dengan kriteri: Klien terbebas dari tanda dan gejala infeksi. Klien mampu mendiskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannyaKlien mempunyai kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi. Jumlah leukosit dalam batas normal(5.000 – 10.000) b. Aktivitas keperawatan dan rasionalisasinya Aktivitas: Immunisasi/Vaksinasi. Kaji faktor yang meningkatkan resiko infeksi : lanjut usia, respon imun rendah dan malnutrisi. Anjurkan Klien& keluarga untuk meningkatkan pertahanan tubuh dengan immunisasi/vaksinasi. Pengetahuan : pengendalian infeksi: Ajarkan pada klien & keluarga cara menjaga personal hygiene untuk melindungi tubuh dari infeksi : cara mencuci tangan yang benar. Anjurkan kepada keluarga/ pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan ruang klien. Jelaskan kepada klien dan keluarga tanda dan gejala infeksi. Ajarkan metode aman cara penyediaan, pengelolaan dan penyimpanan makanan / susu kpd klien & keluarga. Kolaborasi dengan ahli gizi : asupan nutrisi TKTP: Blenderized 6x250 cc melalui sonde Susu cair formula dari RS 6x250 cc Pengendalian resiko infeksi: Pantau tanda dan gejala infeksi : peningkatan suhu tubuh, nadi, perubahan kondisi luka, sekresi, penampilan urine, penurunan BB, keletihan dan malaise. Pertahankan tehnik aseptik pada klien yang beresiko. Bersihkan alat / lingkungan dengan benar setelah dipergunakan klien. Pertahankan tehnik isolasi bila diperlukan. Batasi jumlah pengunjung bila diperlukan, dan anjurkan penggunaan APD pada klien dgn autoimun. Anjurkan kepada klien minum obat antibiotika sesuai . Berikan penkes kepada klien dan keluarga tentang cara program. Dorong klien untuk mengkonsumsi nutrisi dan cairan yg adekuat.penularan penyakit infeksi: transmisi secara seksual, oral, fekal, sekresi tubuh, kontak langsung, dan trankutaneus. Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi: Rifampisin 450 mg 1x1 po, INH 300 mg PO 1 x1, Pzd 500 mg PO 1 x2,Etambutol 500 mg PO 1 x 2 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 97 Rasionalisasi:Terapi OAT: Rifampisin adalah salah satu obat antibiotik TBC yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri. Rifampicin sering digunkan untuk pengobatan tuberculosis (TBC). Obat ini juga dapat digunakan untuk mencegah infeksi setelah berkontak langsung dengan seseorang yang sedang terkena infeksi TBC serius. Obat ini hanya diberikan dengan menggunakan resep dokter. Rifampisin akan membunuh bakteri yang menyebabkan infeksi. Cara kerja obat ini yaitu dengan menonaktifkan enzim bakteri yang biasa disebut RNA polimerase. Bakteri yang menggunakan RNA polimerase untuk membuat protein serta untuk menyalin informasi genetik (DNA) mereka sendiri. Tanpa enzim ini bakteri tersebut tidak dapat berkembang biak sehingga bakteri tersebut akan mati. Isoniazid (INH) merupakan obat yang cukup efektif dan berharga murah. Seperti rifampisin, INH harus diikutsertakan dalam setiap regimen pengobatan, kecuali bila ada kontra-indikasi. Efek samping yang sering terjadi adalah neropati perifer yang biasanya terjadi bila ada faktor-faktor yang mempermudah seperti diabetes, alkoholisme, gagal ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Dalam keadaan ini perlu diberikan peridoksin 10 mg/hari sebagai profilaksis sejak awal pengobatan. Efek samping lain seperti hepatitis dan psikosis sangat jarang terjadi. Pyrazinamid bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang aktif memlah danmycrobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau tiga bulan pertama saja. Obat ini sangat bermanfaat untuk meningitis TB karena penetrasinya ke dalam cairan otak. Tidak aktif terhadap Mycrobacterium bovis. Toksifitas hati yang serius kadang-kadang terjadi. Etambutol digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika resiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak diawasi, etambutol diberikan dengan dosis 25 mg/kg/hari pada fase awal dan 15 mg/kg/hari pada fase lanjutan (atau 15 mg/kg/hari selama pengobatan). Pada pengobatan intermiten di bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30 mg/kg 3 kali seminggu atau 45 mg/kg 2 kali seminggu. Efek samping etambutol yang sering terjadi adalah gangguan penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan penyempitan lapangan pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila ada gangguan fungsi ginjal. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 98 4.6 Resiko Cidera Aktivitas keperawatan:Pencegahan cedera: Kaji factor resiko cedera, Identifikasi kebutuhan keamanan klien sesuai kondisi dan fungsi kognitif klien, Ajarkan pada klien & keluarga cara mengidentifikasi factor resiko cedera dan cara penanggulangannya, Melakukan tindakan emergency sesuai dengan kondisi : Kejang, hiperthermi, penurunan kesadaran, halusinasi, perdarahan. Pengawasan keselamatan :Laksanakan pengawasan secara intensif kepada klien yang berisiko terjadi cedera: Monitor TTV, GCS, hemodinamik, Berikan cairan & nutrisi yang adekuat. Kaji riwayat klien terkait factor risiko, dan Informasikan kepada dokter tentang perubahan yang terjadi : mis epitaksis, perubahan hemodinamik. Pengelolaan lingkungan : Ajarkan pada klien & keluarga tentang lingkungan yang aman : penerangan yg cukup, lantai tidak licin:Pasang pengaman tempat tidur pada klien anak atau klien yang gelisah/ penurunan kesadaran Pemberian terapi OAE: Pemberian OAE:Diazepam 10 mg b/p 1x1 iv, Depakene syr 900 mg 40 cc 4x1 po, Clobazam 10 mg 2x1 po, Fenobarbital 30 mg 1x1 po Rasionalisasi:Diazepam merupakan turunan bezodiazepin. Kerja utama diazepam yaitu potensiasi inhibisi neuron dengan asam gamma-aminobutirat (GABA) sebagai mediator pada sistim syaraf pusat. Dimetabolisme menjadi metabolit aktif yaitu N- desmetildiazepam dan oxazepam. Kadar puncak dalam darah tercapai setelah 1 - 2 jam pemberian oral. Waktu paruh bervariasi antara 20 - 50 jam sedang waktu paruh desmetildiazepam bervariasi hingga 100 jam, tergantung usia dan fungsi hati. Indikasi dari obat ini adalah:untuk pengobatan jangka pendek pada gejala ansietas. Sebagai terapi tambahan untuk meringankan spasme otot rangka karena inflamasi atau trauma; nipertdnisitairotot (kelaTrian motorik serebral, paraplegia). Digunakan juga untuk meringankan gejala-gejala pada penghentian alkohol akut dan premidikasi anestesi. Merupakan salah satu obat pilihan sebagai obat anti epilepsi. Asam valproat (Depakene)Indikasi : sebagai terapi tambahan pada kejang petit mal sederhana dan kompleks, Juga kejang multiple.Kontra Indikasi :Gangguan fungsi hati.Perhatian: Kelainan metabolik kongenital yang menyertai retardasi mental, penyakit otak organik, hamil, anak <2 tahun. Efek Samping : Iritasi gastrointestinal, tidak nafsu makan, penurunan BB, peningkatan nafsu makan dan BB, gangguan susunan saraf pusat, rambut rontok, ruam kulit, eritema multiforme. Gangguan kejiwaan, hematologi, leukopenia dan eosinofilia, anemia dan depresi sumsum tulang, gangguan fungsi hati dan sistem endokrin, abnormal test fungsi tiroid, pankreatitis akut. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 99 Clobazam.Indikasi: Ansietas dan kondisi psikoneurotik yang berhubungan dengan ansietas.Kontra Indikasi:Miastenia gravis.Efek Samping:Lelah. Jarang: mulut kering, konstipasi, kehilangan nafsu makan, mual, pusing, atau tremor halus jari tangan. Kadangkadang: gelisah, iritabel dan otot lemah.Perhatian:Hamil, laktasi. Gagal nafas akut. Dapat mengganggu kemampuan mengemudi atau menjalankan mesin; menimbulkan efek habituasi dan ketergantungan.Interaksi: Potensiasi timbal balik dengan depresan SSP atau alkohol. Antikonvulsan. Fenobarbital merupakan “long acting barbiturate” yang memiliki khasiat hipnotik, sedatif, anti konvulsi sserta sebagai peleamas otot rangka (“muscle reclaxan”). Dalam propilenglikol 90% obat ini dapat larut sempurna dan stabil, sehingga tepat sebagai sediaan injeksi. Indikasi: Sebagai hipnotik dan sedatif, dipakai dalam keadaan insomnia, histeria, ansietas, neurosis dan migren, Antikonvulsi pada keadaan epilepsi, kejangkejang, keracunan strihnin, tetanus. Kontra indikasi:Hipersensitif terhadap barbiturat atau komponen sediaan, gangguan hati yang jelas, dispnea, obstruksi saluran nafas, porfiria, hamil. Efek samping: Indiosinkrasi jarang terjadi pada dosis terapi. Dosis berlebihan dapat menyebabkan penurunan suhu badan, depresi atau paralisis, payah ginjal dan hilangnya reflek. 4.7 Ketidakefktifan menejemen kesehatan diri Aktivitas keperawatan:Nilai tingkat pengetahuan dan hal yang tidak diketahui pasien, Tentukan kemampuan pasien untuk mempelajari informasi spesifik, Pilih alat/strategi pembelajaran yang tepat, evaluasi kemampuan pasien sesuai tujuan, Libatkan keluarga/orang terdekat sesuai kebutuhan, identifikasi kemungkinan penyebab, Berikan informasi tentang kondisi sesuai kebutuhan, berikan informasi pada keluarga/orang terdekat, tentang perkembangan pasien, diskusikan perubahan gaya, hidup yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi/mengontrol proses penyakit, Diskusikan pilihan terapi/penatalaksanaan, ajarkan pada pasien tentang tanda dan gejala yang dapat dilaporkan pada petugas, berikan informasi tentang program rehabilitasi Rasionalisasi: Aktivitas untuk meningkatkan koping regulator dan kognator terhadap managemen kesehatan diri dengan menilai tingkat pengetahuan pasien dan menentukan motivasi pasien untuk mempelajari informasi, mendiskusikan perubahan gaya hidup yang dapat dilakukan untuk mengontrol proses penyakit dan mencegah komplikasi, memberikan informasi tentang kondisi sesuai kebutuhan, memberikan informasi tentang faktor risiko Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 100 penyakit dengan menggunakan media leaflet. Edukasi diberikan secara terstruktur dengan tema: terapi (AOT dan OAE) , penceghana dan pengamanan kejang, terapi mobilisasi: A/P ROM, mencegah massage dengan positioning dan massage punggung. Edukasi diberikan setelah pasien dan kelaurag siap dan bersedia menerima edukasi. Manajemen kesehatan diri menggunakan teori psikologi dan perilaku untuk meningkatkan kesehatan dan perawatan diri yang positif pada pasien. Manajemen diri memungkinkan seseorang secara mandiri mengatur kondisi penyakit dan kesehatannya. Keterbatasan yang dialami, kemungkinan stroke berulang dan pemulihan jangka panjang membutuhkan informasi, dukungan dan pendidikan kesehatan dari profesional kesehatan tentang perubahan perilaku yang dapat meningkatkan kesehatan dan mempercepat proses pemulihan (Joice, 2012). Analisis Hambatan saat Penyusunan Renpra Penyusunan Renpra penulis lakukan dengan berpedoman pada sumber teori yang ada dan dimodifikasi dengan kondisi pasien di rumah sakit. Beberapa renpra dibuat dengan mengembangkan teori yang ada, untuk kemudian diterapkan ke pasien. Pada dasarnya semua renpra bisa dilaksanakan berkat kerjasama klien, keluarga dan perawat ruangan. Renpra yang ada diruangan sebenarnya bisa digunakan untuk melakukan intervensi pada klien, hanya saja diperlukan modifikasi karena harus disesuaikan dengan permasalahan utama yang dialami klien. Renpra yang dibuat berdasarakan teori model adaptasi Roy dengan menggabungkan dengan NANDA, NIC dan NOC disesuaikan dengan kebutuhan klien dan keluarga dengan tetap melihat latar belakang kondisi dan program perawatan klien di RS dimana pasien dirawat 3.1.6.4. Analisis Evaluasi Keperawatan Pendokumentasian evaluasi keperawatan dilakukan di catatan perkembangan bersamaan dengan pembuatan tindakan keperawatan. Evaluasi tersebut didokumentasikan dalam 5 hari masa perawatan. Dari hasil evaluasi secara keseluruhan sebagian besar masalah keperawatan pada klien masih teratasi sebagain sehingga rencana dan tindakan keperawatan lebih lanjut masih perlu dilakukan. Berikut ini hasil evaluasi dari akhir masa perawatan pada klien : Perubahan perfusi jaringan serebral membaik dalam batas toleransi.yang ditandai dengan: Tingkat kesadaran kompos mentis. GCS:E4 M6 V5. Pupil isokor. Tidak ada tanda peningkatan TIK. Nyeri kepala klien hilang. Demam hilang. Tanda vital dalam batas normal Mobilitas fisik dapat meningkat secara optimal. Yang ditandai dengan: Peningkatan kekuatan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 101 otot, Tidak terjadi kontraktur / footdrop, Klien dapat melakukan mobilisasi / aktivitas sesuai kemampuan. ADL klien dapat terpenuhi secara optimal sesuai toleransi (ADL enhancing). Yang Ditandai oleh (skala 1 – 5 : sangat compromised sampai tidak compromised)., ADL 5 (5), Self care (5). Respon Integritas kulit dan membrane mukosa utuh, Regenerasi luka primer dan sekunder sesuai rentang waktu yang diharapkan. Ditandai dengan:integritas kulit dan membran mukosa baik : kulit utuh, dapat berfungsi dengan baik, Regenerasi sel dan jaringan membaik, Hipersensitif respon immune terkendali . dilakukan skin graft sehingga luka UD klien tertutup dengan kondisi kulit disacrum intake. Status immune adekuat, Pengetahuan Pengendalian infeksi efektif, Pengendalian resiko adekuat, Penyembuhan luka optimal. Dengan kriteri:Klien terbebas dari tanda dan gejala infeksi. Klien mampu mendiskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya, Klien mempunyai kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi, Jumlah leukosit dalam batas normal(5.000 – 10.000). Cidera dapat dicegah, kejang tidak berulang dan tidnakan pengamanan untuk memberikan pasien safety bisa dilakukan secara optimal. Pasien dan keluarga mampu melakukan tindakan yang mendukung perawatan dan pengobatan pada pasien selama masa rwat inap setelah diberikan edukasi terstruktur. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 102 3.2 Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Kasus Resume Sub bab ini akan menguraikan lebih jauh mengenai penerapan teori Model Adaptasi Roy pada asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan neurologi. Pasien resume yang akan dijabarkan oleh peneliti berjumlah 32 kasus, dengan diagnosa medis yang berbeda-beda. Asuhan keperawatan pada pasien resume dilakukan selama penulis menjalankan praktek Residensi Keperawatan Medikal Bedah Peminatan Neurologi dalam kurun waktu 1 tahun atau dalam 2 semester. Penerapan asuhan keperawtan pada pasien resume dilakukan oleh penulis di ruang neurologi zona Va dan Vb Gedung A RSUPN dr. Cipto Mangunkussumo. Secara umum akan terlihat perbedaan aplikasi Teori Model Adaptasi Roy pada masingmasing kasus kelolaan. Berikut ini uraian pada masing-masing kasus resume yang meliputi data biografi, diagnosa medis dan asuhan keperawatan yang diberikan. Informasi umum yang diperoleh dari 32 pasien resume diketahui data demografinya sebagai berikut: sebagian besar dari pasien resume berjenis kelamin laki-laki (69%) atau berjumlah 22 orang. Kondisi ini disebabkan pembagian tempat praktek untuk penulis yang sebagian besar berada pada ruang layanan bagian laki-laki terutama diruang neurologi di zona Va. Dari penggolongan umur diketahui sebagian besar pasien resume berada pada umur diatas 50 tahun yaitu sekitar 75 %. Kondisi ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa sebagian besar pasien dengan ganggun sistem persarafan dialami oleh individu yang memasuki usia lanjut (Mansjoer, 2000), dimana sistem organ vital seperti pembuluh darah dan saraf sudah banyak mengalami kemunduruan, atau adanya akumulasi penyakit pada sel maupun jaringan yang akhirnya bermanifestasi ketika individu tersebut memasuki umur lebih lanjut (Lewis, 2007). Jenis pekerjaan pada responden sangat bervariasi, seperti: ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga, sopir, pedagang, satpam, guru, PNS (lembaga), karyawan swasta, pensiunan, pemulung dan mahasiswa. Kondisi diatas menunjukan bahwa sebenarnya apapun jenis pekerjaanya memberikan kecenderungan yang sama untuk beresiko mengalami penyakit dengan gangguan pada sistem persarafan. Hal ini didukung oleh adanya fakta bahwa pasien dengan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga menempati urutan kedua dalam kejadian penyakit gangguan neurologi. Lebih lanjut, dari hasil tabulasi pada pasien resume diketahui Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 103 jenis pekerjaan paling banyak adalah pedagang yaitu sebanyak 10 orang atau sekitar 31%. Seseorang yang bekerja sebagai pedagang meningkatkan resiko untuk mengalmai gangguan sistem neurologi dimungkinkan karena kondisi: kelelahan, strees, tingginya radikal bebas, tingginya karsinogenik dari makanan dan pernafasan. Lingkungan yang padat penduduk, adanya kuman saluran nafas pathogen lain, hygiene yang rendah dan lingkungan yang buruk merupakan pencetus untuk terjadinya penyakit epidemik terutama dari infeksi yang menyebabkan individu tersebut mengalami gangguan pada sistem kardiovaskuler, repirasi dan neurologi (harsono, 1996). Selama menjalankan praktek residensi, penulis memberikan asuhan keperawatan baik diruang neurologi maupun ruangan lain seperti IGD, Poli maupun ruang rehabilitasi. Beberpa penyakit yang pernah dikelaola diantaranya: stroke baik iskemik maupun hemoragik, SOL ( Space Occupaying Lession) seperti: glioma, tumor hipofise, meningioma, Hernia Nukleous Polposus (HNP), cidera kepala, infeksi otak seperti: meningitis, ensefalitis akibat virus (HIV) maupun bakteri (Tuberculosa), arterious venous Malformation (AVM), miastenia grafis, cepalgia, epilepsi, parkinson. Penyakit terbanyak yang dirawat oleh penulis adalah psien dengan stroke baik iskemi (12 %) dan hemoragik (12%). Penyakit stroke mempunyai insiden terbanyak dalam penyebab gangguan neurologi. Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak. Seringkali kondisi ini adalah kulminasi penyakit serebrovasculer selama bertahun-tahun (Smeltzer & Bare, 2008). Stroke merupakan suatu kondisi perubahan Neurologi yang disebabkan oleh gangguan dalam sirkulasi darah ke bagian otak (Black and Hawks, 2009). Stroke merupakan penyebab kematian kedua setelah jantung. Data WHO tahun 2001 tercatat lebih dari 4,6 juta meninggal diseluruh dunia, dua dari tiga kematian terjadi di negara berkembang (Corwin, 2009). Survai kesehatan rumah tangga (SKRT) menunjukkan bahwa 37,3 per 100.000 penduduk terkena stroke, stroke merupakan penyebab kematian ketiga di Indonesia (Jepardi, 2002) Gangguan yang terjadi akibat stroke mempengaruhi aspek motorik, sensorik, bahasa, kognitif dan fungsi sosial. Manifestasi klinik stroke bervariasi baik gejala fisik seperti kelemahan, paralisis, kehilangan koordinasi, gangguan penglihatan maupun gangguan kognitif yang Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 104 dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari seperti perawatan diri dan pekerjaan (Kellicker & Schub, 2010; Lawrence, 2010) Selain stroke, penyakit yang yang juga banyak dikelola oleh praktikan adalah: SOL sekitar 5 orang pasien (15%). Occupaying Lession merupakan generalisasi masalah tentang adanya lesi pada ruang intracranial khususnya yang mengenai otak. Banyak penyebab yang dapat menimbulkan lesi pada otak seperti kuntusio serebri, hematoma, infark, abses otak dan tumor intra kranial. ( Long, C 1996 ). SOL atau Tumor Otak merupakan proses pertumbuhan termasuk benigna dan maligna yang mengenai otak dan sumsum tulang belakang ( Bullock, 1996 ). Faktor Resiko, tumor otak dapat terjadi pada setiap kelompok Ras, insiden meningkat seiring dengan pertambahan usia terutama pada dekade kelima, keenam dan ketujuh .faktor resiko akan meningkat pada orang yang terpajan zat kimia tertentu ( Okrionitil, tinta, pelarut, minyak pelumas ), namun hal tersebut belum bisa dipastikan.Pengaruh genetik berperan serta dalam timbulnya tumor, penyakit sklerosis TB dan penyakit neurofibomatosis. Tanda dan gejala dari SOL antara lain: peningkatan TIK, Sakit kepala, Muntah, Papiledema serta Gejala terlokalisasi (spesifik sesuai dengan dareh otak yang terkena), seperti :Tumor korteks motorik ; gerakan seperti kejang kejang yang terletak pada satu sisi tubuh ( kejang jacksonian), Tumor lobus oksipital; hemianopsia homonimus kontralateral (hilang Penglihatan pada setengah lapang pandang , pada sisi yang berlawanan dengan tumor) dan halusinasi penglihatan, Tumor serebelum ; pusing, ataksia, gaya berjalan sempoyongandengan kecenderungan jatuh kesisi yang lesi, otot otot tidak terkoordinasi dan nistagmus (gerakan mata berirama dantidak disengaja) d.Tumor lobus frontal ; gangguan kepribadia, perubahan status emosional dan tingkah laku, disintegrasi perilaku mental., pasien sering menjadi ekstrim yang tidak teratur dan kurang merawat dirie. Tumor sudut serebelopontin ; tinitus dan kelihatan vertigo, tuli (gangguan saraf kedelapan), kesemutan dan rasa gatal pada wajah dan lidah ( saraf kelima), kelemahan atau paralisis (saraf kranial keketujuh), abnormalitas fungsi motorik.f.Tumor intrakranial bisa menimbulkan gangguan kepribadian, konfusi,gangguan bicara dan gangguan gaya berjalan terutam pada lansia. (Brunner & Sudarth, 2003). Selain itu penyakit lain yang juga banyak dirawat oleh praktikan adalah klien dengan infeksi otak dalam bentuk meningtis ensefalitis (25 %) akibat Tuberculosa maupun dengan penyebab virus (HIV). Praktikan memang paling banyak menjalankan waktu praktek diruang Neurologi Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 105 bagian infeksi di RSUPN dr Ciptomangunkusumo lantai V zona Va ruang 516. Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001). Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh virus atau mikro organisme lain yang non purulent (Corwin, 2009). Meningioencefaltis merupakan suatu bentuk infeksi yang mengenai meningen, CSS dan spinal column yang disebabkan oleh infeksi jamur, virus dan bakteri. Bila penyebabnya spesifik adalah bakteri Tuberculosa maka dinamakan METB. Meningitis berada pada urutan ke 3 setelah stroke dan SOL (space occupying lession). Dengan jumlah penderita 23 orang (7,49%) yang menderita meningitis. Walaupun persentasinya tidak sebanyak stroke 57,32% namun persentase kematiannya cukup tinggi yaitu mencapai 39,13% (Medical Record Ruang 19A RSHS. Bandung). Selain itu penyakit meningitis dapat menimbulkan gangguan yang kompleks terhadap sistem tubuh yang lain, misalnya pada sistem pernafasan, kardivaskuler, pencernaan, perkemihan dan muskuloskeletal, yang dapat pula menimbulkan komplikasi akut dan resiko kematian. Disamping dampak terhadap sistem tubuh meningitis pun dapat merubah pola hidup seseorang karena tidak jarang kasus meningitis meninggalkan gejala sisa berupa kecacatan seperti : ketulian, gangguan penglihatan, dan kelumpuhan (Perry, 2000). Diagnosa medis diatas memberikan manifestasi klinis dan keluhan utama yang bervariasi pada masing-masing pasien bervariasi, diantaranya: nyeri kepala, parese, konstipasi atau retensi urin/inkotinensia urin, akumulasi sekret dijalan nafas, intake nutrisi tidak adekuat: kesulitan menelan, mual dan anoreksia, gangguan sensori: penglihatan, pendengaran, penciuman, luka pada kulit: ulkus decubitus, penurunan kesadaran. Keluhan yang paling banyak dirasakan pasien adalah sakit kepala (31%), sedangkan manifestsi klinis yang paling banyak dimunculkan adalah penurunan kesadaran, kesulitan menelan dan parese (25%,10%, 31%).Manifestasi klinik karena gangguan pada otak dapat menimbulkan manifestasi umum atau lokal. Manifestasi umum meliputi nyeri kepala, gangguan kesadaran, kejang epileptik umum, sindrom mental organik, meningism, tanda peningkatan tekanan intrakranial. Tanda dan gejala lokal termasuk defisit neulogis fokal, defisit neuropsikologis, gangguan visual, gangguan saraf kranial dan kejang epileptik fokal (Mumenthaler & Mattle, 2004). Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 106 Pada pasien dengan gangguan pada sistem persarafan keluhan nyeri muncul akibat adanya nyeri pada kepala dengan berbagai tingkatan dan jenis mulai dari ringan sampai sedang, mulai dari jenis tension headache, vertigo atau migrain (Mansjoer, 2000). Pusing atau sakit kepala muncul sebagai akibat adanya peningkatan tekanan intra kranium sebagai respon primer dari proses herniasi atau desak ruang dalam otak, maupun sebagai stimulus sekunder akibat peningkatan tekanan pada tubuh bagian lain seperti peningkatan tekanan intrabdomen dan intratoraks (Sidarta, 2010). Sehingga perlu sekali pencegahan valsavah manuver sebagai bentuk menejemen perfusi jaringan serebri., karena memang peningkatan tekanan pada salah satu cavum tubuh akan mempengaruhi peningkatan tekanan dalam intra cranium (Delaune, 2002). Sakit kepala adalah masalah universal, dengan prevalensi hampir 99%, dan merupakan alasan paling umum untuk rujukan neurologis. Sakit kepala bis memiliki makna klinis sedikit akan tetapi juga mungkin menjadi pertanda adanya penyakit yang mengancam jiwa.(mayo)Rasa sakit pada kepala disebabkan oleh traksi/penarikan, perpindahan, peradangan, spasme dari pembuluh darah, atau distensi dari struktur di kepala atau leher yang sensitif terhadap rasa nyeri (Greenberg, 2002). Sakit kepala sebagian besar bersifat primer yaiatu tanpa ada penyakit yang mendasarinya seperti migrain, cluster, dan tension type headache. Meskipun demikian ada juga sakit kepala yang disebabkan oleh sebuah proses yang mendasari penyakit atau kondisi atau biasa disebut sakit kepala sekunder, dimana kondisi ini harus menjadi fokus awal dalam evaluasi diagnostik sakit kepala. Manifestasi dari penyakit sistemik yang mendasari dapat membantu dalam diagnosis etiologi sakit kepala dan harus selalu dicari. Karena jika sampai terlambat bisa berakibat fatal (Adam, 2008). 3.2.1 Pengkajian Perilaku dan stimulus 3.2.1.1 Mode Adaptasi Fisiologis a. Oksigenasi Berdasarkan hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada semua kasus kelolaan, ketidakefektifan pada pola oksigenasi pasien dengan gangguan sistem persarfan meliputi: sesak napas, batuk, terdengar bunyi napas tambahan berupa vesikuler dan wheezing. Selain itu pada psien dengan stroke terdpat satu menifestasi yang kahs yaitu munculnya pola Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 107 ketidakseimbangan nilai tanda vital terutama pada vaskuler atau tekanan darah. Sedangkan pada psien dengan infeksi otal akan muncul masalah pada suhu yaitu adanya demam. Rerata tekanan darah pada pasien gangguan sistem persarafan adalah 150/80 mmHg dengan rentang 100/70-200/180 mmHg. Tekanan darah terendah ditemukan pada pasien Miasteni grafis dan telah menjalani perawatan selama 1 bulan sedangkan tekanan darah tertinggi ditemukan pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran karena stroke hemoragik dalam kondisi DNR (Do Not Resusitation). Peningkatan tekanan darah merupakan gejala yang sering ditemukan pada pasien stroke iskemik dan stroke hemoragik (Price, 2006). Peningkatan tekanan pada kasus stroke disebabkan oleh respon patofisiologi multifaktorial seperti peningkatan tekanan darah sebelumnya, aktivasi sistem neuroendokrin (sistem saraf simpatis, sistem renin–angiotensin dan sistem glukokortikoid) dan peningkatan cardiac output (Willmot, Leonardi-Bee, & Bath, 2004). Kondisi peningkatan suhu pada pasien atau demam lebih banyak dialami oleh pasien dengan infeksi otak maupun lesi pada otak yang mengenai pusat pernapasan. Seperti SOL atau stroke yang membuat herniasai pada otak bagian: Hipothalamus. Suhu terendah ditemukan pada pasien dengan epilepsi dan suhu tertinggi dialami pada pasien dengan infeksi otak yaitu: METB dengan ARV on reaktif. Rerata suhu pasien resume adalah 38 C dengan rentang suhu antara: 36-40 C. Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus (Dinarello & Gelfand, 2005). Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal temperature ≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C (Kaneshiro & Zieve, 2010). Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005). Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 108 meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, 2001). Stimulus fokal terjadinya masalah keperawatan yang berhubungan dengan masalah oksigenasi pasien gangguan sistem persarafan adalah infark yang luas, perdarahan intraserebral, adanya massa daam otak, adanya infeksi MO, potensila listrik otak yang abnormal, cidera atau trauma otak. Stimulus kontekstualnya adalah hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes melitus, kecelakaan. Sedangkan stimulus residual seperti: usia, jenis kelamin, kontrol dan pemeriksaan kesehatan yang tidak teratur, dukungan keluarga, edukasi dan informasi kesehatan yang kurang memadai, perilaku yang kurang sehat seperti:merokok, minuman keras, olahraga yang kurang, diet tidak seimbang, stress, kelelahan. Dari semua pasien kelolaan, faktor resiko terbanyak dalam penyebab penyakit gangguan apda sistem persarafan adalah adanya kebisaan merokok. Perilaku merokok dimulai sejak remaja dan berlanjut sampai usia lanjut dengan jumlah bervariasi mulai dari 1 - 3 bungkus perhari. Lama merokok berkisar 5-7 tahun. okok mengandung lebih dari 3.800 bahan kimia, sebagian besar diantaranya beracun. Racun dalam asap rokok yang dihisap oleh perokok aktif dan perokok pasif meliputi: Nikotin, Tar, Arsenik, Benzen, Karbonmonoksida, Formalin, Hidrogen sianida, Amoniak, Vinyl klorida. Nikotin, merupakan racun saraf yang potensial dan digunakan sebagai bahan baku berbagai jenis insektisida. Nikotin memiliki daya karsinogenik terbatas yang menjadi penghambat kemampuan tubuh untuk melawan sel-sel kanker, akan tetapi nikotin tidak menyebabkan perkembangan sel-sel sehat menjadi sel-sel kanker. Nikotin yang dihirup hanya memerlukan waktu singkat untuk mencapai peredaran darah di otak. Nikotin dalam otak akan menstimulasi berbagai senyawa kimia neurotransmiter dan hormon yang bertanggung jawab terhadap semua efek “penenang” bagi perokok. Senyawa ini akan terus-menerus dihasilkan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 109 selama terdapat nikotin di dalam peredaran darah otak. Akibatnya, bila kadar nikotin menurun, otak akan mengirim pesan “butuh” nikotin kembali.Tar, kadar tar pada rokok antara 0,5-35 mg per batang. Tar sejenis cairan berwarna coklat atau hitam yang merupakan substansi hidrokarbon bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Tar menyebabkan kanker paru-paru. Bahaya rokok dari racun ini sangat mengancam kelangsungan hidup si perokok. Karbon monoksida, mengikat hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah (eritrosit) lebih kuat dibanding oksigen. Tubuh yang kekurangan oksigen akan mengecilkan pembuluh darah. Bila proses tersebut berlangsung lama, maka pembuluh darah akan menyempit. Penyempitan pembuluh darah bisa terjadi di otak, paru, ginjal, saluran kandungan, ari-ari pada janin, dan di mana-mana.Hidrogen sianida, merupakan zat yang mudah terbakar dan paling ampuh untuk menghalangi ataupun merusak saluran pernapasan. Walaupun hanya sedikit, apabila sianida dikomsumsi orang secara langsung, maka manusia tersebut bisa meninggal.Benzene dan formaldehid, merupakan senyawa karsinogen yang berbahaya, Arsen yang sering digunakan sebagai racun tikus, dan karbon monoksida, yang merupakan komponen utama pada asap rokok dan asap kendaraan, merupakan beberapa senyawa yang terdapat pada rokok. b. Nutrisi Respon adaptasi tidak efektif pola nutrisi pasien gangguan sistem persarafan adalah kesulitan mengunyah, kesulitan menelan, anoreksia, mual, muntah. Pemberian makanan melalui NGT juga ditemukan pada 6-8 orang pasien, rerata kadar Hb pada pasien stroke adalah 14.4 mg/dl. Penurunan status nutrisi terlihat dari penurunan HB, albumin, pasien terlihat lebih kruru, penurunan BB. Ketidakefektifan adpatasi nutrisi banyak dialami pada klien dengan stroke, SOL atau tomur otak dan infeksi otak terutama METB. Penurunan berat badan pada pasien stroke lebih disebabkan oleh adanya penurunan nafsu makan dan kesulitan menelan sebagai akibat dari penurunan kesadaran maupun gangguan pada nervus kraniuum (IX, X dan XII). Sedangkan pada tumor maupun infeksi otak, gangguan nutrisi muncul sebagai akibat intake oral yang tidak adekuat, gangguan absorpsi gastrointestinal karena pengobatan tumor, kondisi katabolik karena penyakit infeksi kronis. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 110 (Wilkinson, 2007). Pada pasien dengan meningitis, terjadi oedema serebral mengakibatkan kompensasi tubuh untuk menangani dengan mengeluarkan steroid adrenal melalui perangsangan dari hipotalamus. Hal ini berpengaruh terhadap peningkatan sekresi asam lambung yang menyebabkan hiper asiditas yang akan menimbulkan mual, muntah dan nafsu makan berkurang. Pada kondisi yang kronis keadaan ini akan menimbulkan iskemi mukosa lambung dan kerusakan barier mukosa sehingga terjadilah perdarahan lambung (stress ulcer) maka pada kondisi tersebut asupan nutrisi klien tidak adekuat yang menimbulkan klien kurang nutrisi (Soeroto, 2000) Stimulus fokal terhadap pola nutrisi pada pasien gangguan sistem persarafan adalah status hipo maupun hipermetabolik dan intake tidak adekuat kesulitan menelan. Stimulus kontekstual pada pasien gangguan perasarafan untuk nutrisi diantaranya: riwayat stress ulcer, riwayat pengobatan seperti: kemoterapi , radiasi, riwayat penyakit metaboli penyerta: seperti: tiroid dan hepar. Sedangkan stimulus residualnya meliputi: motivasi makan, edukasi tentang diet yang seimbanga, dukungan keluarga, informasi dan keyakinan menganai makanan berpantang. c. Eliminasi Pengkajian perilaku pada pola eliminasi pasien dengan gangguan sistem persarafan meliputi eliminasi urine dan eliminasi fekal. Sebagian besar pasien yang menjalani rawat inap dengan diagnosa utama gangguan neurologi mengalami masalah eliminasi bladder sehingga salah satu solusinya dalah dengan dialkukan pemasangan katater urin DC(Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010). Gangguan berkemih yang dialami sebagian besar adalah inkotinensia urin akibat penurunan kesadaran. Indikasi lain dari pemasangan kateter urin akibat adanya keterbatasn dalam mobiliasi klien sebagai dampak dari parese yang dialami oleh hampir sebagian besar pasien. Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Sedangkan pasien yang mengalami gangguan eliminasi bowel seperti konstipasi sebanyak 5-6 orang dan diare 2-4 orang. Konstipasi tidak hanya ditemukan pada pasien yang mengalami paraplegia tetapi juga ditemukan pada pasien stroke. Konstipasi pada pasien gangguan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 111 neurologi disebabkan oleh berbagai perubahan yang dialami seperti penurunan mobilitas fisik, intake serat yang kurang, pasien tergantung pada keluarga untuk ke toilet, penurunan atau tidak adanya sensasi yang dirasakan untuk defekasi, gangguan kognitif dan penggunaan obat-obatan yang dapat mempengaruhi fungsi eliminasi. Beberapa obat yang dapat menyebabkan konstipasi adalah golongan obat diuretik seperti furosemide, antidepressan seperti amiptriptilin, antihipertensi seperti captopril dan antipsikotik seperti risperidone (Nazarko, 2007). Hasil pengkajian stimulus pada eliminasi yaitu stimulus fokal berupa kerusakan neurologi, trauma kateter, infeksi. Stimulus kontekstual adalah immobilisasi, intake serat yang tidak adekuat, kelemahan dengan stimulus residual yaitu menunda atau mengabaikan keinginan untuk buang air besar, usia, pengetahuan tentang menejemne eliminasi, dukungan keluarga, kenyaman dan privasi selama dirawat. d. Aktivitas dan Istirahat Pengkajian pola aktivitas dan istirahat klien dilakukan dengan memeriksa kemampuan mobilisai, aktivitas dan istirahat klien melalui pemeriksaan tonus dan kekuatan otot, perbedaan pola dan pemenuhan aktivitas dan kebutuhan tidur sebelum dan setalah dirawat di RS dengan penyakit yang berfokus pada gangguan neurologi. Dari hasil pengkajian ditemukan adanya 10-15% pasien yang mengalami parese dengan berbagai tingkatan dan jenisnya. Pasien mengalami penurunan tonus dan kekuatan otot sehingga mobilisainya terganggua. Sebagian besar pasien 50-70% mengalami rawat inap dengan kondisi total care sehingga semua aktivitasnya hanya bisa dilakukan diatas tempat tidur dengan dibantu oleh orang lain baik keluarga maupun oelh perawat. Faktor penyebab keterbatasan aktivitas tersebut selain karena kondisi keterbatasa muskolosktal jugas sebagai dampak dari penurunan kesadaran, gangguan kognisi dan kondisi fisik klien seperti sesak atau nyeri kepala. Sebagian besar pasien gangguan sistem persarafan mengalami masalah pada kebutuhan tidur baik polanya yang berubah atau kebutuhanya yang tidak bisa terpenuhi. Bayak diantara mereka (80%) tidak pulas tidur malam dikarenakan kondisi lingkungan maupun penyakit seperti: sesak, pusing, nyeri tubuh. Kondisi ini menyebabkan perubahan pola tidur sehinggan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 112 siang dan sore hari mereka lebih banyak tidur dan malamnya terjaga atau tidur tidak pulas, akibatnya setelah bangun tidur mereka mengakatakan belum segar. Ada beberapa pasien (2-5 orang) yang sulit untuk tidur akibat cepalgia dan SOL. Pasien dengan cepalgia membuat kesulitan tidur akibat nyeri kepala hebat Kesulitan tidur yang dialami merupakan manifestasi dari respon psikologis berupa ansietas dan berduka. Respon stress menyebabkan pasien untuk tetap terjaga dan mengalami kesulitan tidur. Stress fisiologis dan psikologis termasuk ansietas memiliki korelasi dengan gangguan tidur sebagai akibat dari sekresi kortisol dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis (Harris, 2009). Stimulus fokal risiko disuse sindroma pada aktivitas dan istirahat adalah penurunan kesadaran, nyeri kepala, parese, lingkungan bising; stimulus kontekstual adalah infeksi, infark yang luas, perdarahan dan stimulus residual adalah usia, kurang pengetahuan tentang pentingnya mobilisasi, motivasi dan dukungan keluarga untuk melakukan mobilisasi. e. Proteksi dan Perlindungan pengkajian pada sistem proteksi dan perlindungan pasien resume dilakukan dengan melakukan periksaan integumen, suhu, kondisi imunitas pasien. Kulit sebagai fungsi proteksi dapat mengalami gangguan integritas kulit. Kondisi integumen klien untuk resiko kejadia decub dinilai dengan menggunakan skala Norton atau Braden scale. Berikut ini intepretasi dari skala Norton untuk pengkajian resiko kejadian decubitus pad apasien dengan sistem persarafaan: 16-20: tidak ada resiko decubitus, 12-15: rentan terjadi decubitus, <12: resiko tinggi terjadi decubitus. Masalah gangguan integumne pasien kelolaan berfokus pada kejadian ulkus decubitus dan luka akibat kecelakaan pada klien dengan cidera kepala. Pasien dengan cidera kepala akibat kecelakaan akan mengalami gangguan kulit berupa laserasi atau abrasi. Dari semua pasien cidera kepaladengan penyebab KLL tidak ada yang serius mengalami luka pada kulit. Sedangkan kejadian ulkus decubitus pada pasien kelolaan terjadi akibat tirah baring lama sebagai dampak immobilisai akibat gangguan mobilitas fisik maupun penurunan kesadaran. Immobilisasi atau tirah baring adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak secara aktif atau bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas ). Pasien mengalami ulkus decubitus dari derajat I sampai dengan III sekitar 20-30%. Sebagian besar pada derajat Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 113 I berupa kemerahan dan lesi pada kulit dan diantara mereka hampir seluruhnya berada pada daerah sacrum dan punggung bagian bawah hanya 1-2 orang yang berada pada sepanjang punggung (kirir atau kanan) dan punggung atas. Lokasi yang paling sering mengalami dekubitus adalah daerah iskium, trokanter mayor dan sakrum (Smeltzer & Bare, 2006). Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). (National pressure Ulcer Advisory panel (NPUAP), 1989 dalam Potter dan Perry, 2005) mengatakan dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui darah. Penekanan yang lama akan mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang menyebabkan iskemi jaringan. Iskemia jaringan adalah tidak adanya darah secara lokal atau penurunan aliran darah akibat obstruksi mekanika (Potter dan Perry, 2005). Penurunan aliran darah menyebabkan daerah tubuh menjadi pucat. Pucat terlihat ketika adanya warna kemerahan pada pasien berkulit terang. Pucat tidak terjadi pada pasien yang berkulit pigmen gelap.Kerusakan jaringan terjadi ketika tekanan mengenai kapiler yang cukup besar dan menutup kapiler tersebut. Tekanan pada kapiler merupakan tekanan yang dibutuhkan untuk menutup kapiler misalnya jika tekanan melebihi tekanan kapiler normal yang berada pada rentang 16 sampai 32 mmHg (Maklebust, 1987 dalam Potter dan Perry, 2005). Setelah priode iskemi, kulit yang terang mengalami satu atau dua perubahan hiperemi. Hiperemia reaktif normal (kemerahan) merupakan efek vasodilatasi lokal yang terlihat, respon tubuh normal terhadap kekurangan aliran darah pada jaringan dibawahnya, area pucat setelah dilakukan tekanan dengan ujung jari dan hyperemia reaktif akan menghilang dalam waktu kurang dari satu jam. Kelainan hyperemia reaktif adalah vasodilatasi dan indurasi yang berlebihan sebagai respon dari tekanan. Kulit terlihat berwarna merah muda terang hingga merah. Indurasi adalah area edema lokal dibawah kulit. Kelainan hiperemia reaktif dapat hilang dalam waktu antara lebih dari 1 jam hingga 2 minggu setelah tekanan di hilangkan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 114 (Pirres & Muller, 1991 dalam Potter dan Perry, 2005) Ketika pasien berbaring atau duduk maka berat badan berpindah pada penonjolan tulang. Semakin lama tekanan diberikan, semakin besar resiko kerusakan kulit. Tekanan menyebabkan penurunan suplai darah pada jaringan sehingga terjadi iskemi. Apabila tekanan dilepaskan akan terdapat hiperemia reaktif, atau peningkatan aliran darah yang tiba-tiba ke daerah tersebut. Hiperemia reaktif merupakan suatu respons kompensasi dan hanya efektif jika tekan dikulit di hilangkan sebelum terjadi nekrosis atau kerusakan (Potter dan Perry, 2005). Beberapa faktor yang menyebabkan ulkus tekan adalah faktor gaya hidup dan biomekanik yang difokuskan pada perubahan fisiologi kulit setelah cedera medula spinalis serta pengaruh tekanan yang lama pada kulit (Lavrencic, 2011). Kulit kering pada ekstremitas bawah akibat gangguan aktivitas simpatis pada bagian tubuh yang paralisis menyebabkan pasien tidak berkeringat pada bagian yang paralisis tersebut (Smeltzer & Bare, 2006). Kondisi ini juga memicu terjadinya luka tekan. Kondisi proteksi klien selain dilihat dari integumen juga diniali dari resiko munculnya infeksi dan penyebaran infeksi, seperti adanya kondisi demam, peningkatan nilai laborat untuk imunitas seperti : leukosit, LED. Terdapat satu orang pasien stroke hemoragik yang mengalami demam setelah menjalani perawatan selama 2 bulan dengan suhu tubuh mencapai 39-40 C. Klien menjalani perawatan dengan kondisi DNR. Suhu tubuh klien tidak stabil. Lesi pada otak klien berada pada hipotalamus. Pasien dengan infeksi otak rentan mengalami demam. Pasien yang mengalami infeksi serebral karena HIV memiliki riwayat IVDU dan tatto. Faktor risiko infeksi HIV adalah penjaja seks, pengguna napza suntik, laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama lakilaki dan transgender, riwayat berhungan seks dengan PSK tanpa pelindung, pernah mengidap penyakit infeksi menular seksual, pernah transfusi darah, suntikan, tato, tindik dengan menggunakan alat yang tidak steril (Depkes RI., 2007). Selain itu, pasien mengalami penurunan CD4 dan infeksi oportunistik dialami 11-14 tahun setelah menggunakan tatto dan jarum suntik secara bergantian. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 115 Hasil pemeriksaan leukosit pada gangguan sistem persarafan sangat bervariasi dengan rerata 13 gr/dl. Ketika tubuh mengalami invasi bakteri, virus atau mikroorganisme patogen yang lain, maka terjadi respon immun fagositik yang merupakan respon pertahanan pertama yang melibatkan leukosit yaitu granulosit dan makrofag untuk mencerna partikel asing. Sel ini akan bergerak ke tempat serangan dan menelan kemudian menghancurkan mikroorganisme tersebut (Smeltzer &bare, 2006). Nilai leukosit yang tinggi dapat mengindikasikan adanya inflamasi, infeksi, kerusakan jaringan, stress dan malnutrisi (Keogh, 2010). Proteksi dan perlindungan yang tidak efektif menimbulkan berbagai masalah keperawatan seperti kerusakan integritas kulit, risiko infeksi, risiko cedera, risiko jatuh dan risiko trauma. Stimulus fokal terhadap masalah proteksi adalah faktor mekanik (cedera), immobilisasi, penurunan kesadaran ,parese, gangguan fungsi luhur dengan stimulus kontekstual berupa kelembaban kulit dan stimulus residual berupa: usia, motivasi, dukungan keluarga, pengetahuan tentang diet, mobiliasi, personal hygiene. f. Sensasi Gangguan sensasi pada sistem persarafan dapat berupa nyeri, parastesi ataupun penurunan sensasi. Nyeri ditemukan pasien yang mengalami meningitis karena HIV. Nyeri merupakan masalah utama pada pasien HIV khususnya pada stadium lanjut. Pada stadium awal, dilaporkan 30% mengalami nyeri dan meningkat seiring progres penyakit. Pada pasien AIDS, prevalensi meningkat sekitar 45% dan mencapai 70% pada stadium akhir. Bahkan pada penelitian hospice, 93% pasien melaporkan nyeri dalam 2 minggu terakhir kehidupan (Holdcroft & Jaggar, 2005). Nyeri juga dialami pasien kanker metastasis, tetapi hanya pada saat awal masuk rumah sakit. Nyeri pada pasien kanker terjadi karena adanya massa di otak akibat metastasis. Gejala metastase ke otak termasuk sakit kepala, perubahan status mental, kelemahan focal dan kejang. Gejala terjadi dalam beberapa hari atau minggu meskipun hemoragik karena metastasis dapat menyebabkan perburukan neurologis secara tiba-tiba (Catane, Cherny, Kloke, Tanneberger, Schrijvers, 2006). Nyeri kepala pada pasien tumor atau SOL disebabkan oleh herniasi akibat desak ruang massa pada otak, sedangnya nyeri kepala pada pasien infeksi otak lebih karena hidrosefalus akibat inflamasi dan proses eksudasi (Price, 2006). Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 116 Gangguan sensasi dialami oleh pasien dengan SOL dan miastenia gravis. 3 orang pasien SOL mengalami gangguan penciuman, penglihatan dan 1 orang pasien meningioma mengalami gangguan pendengaran. 1 orang pasien dengan miastenia gravis mengalami gangguan sensasi perabaan pada kulit dan gangguan pendengaran. Terdapat 1 pasien cepalgia yang mengalami vertigo. Pengertian vertigo adalah : sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya, dapat disertai gejala lain, terutama dari jaringan otonomik akibat gangguan alat keseimbangan tubuh. Vertigo (sering juga disebut pusing berputar, atau pusing tujuh keliling) adalah kondisi di mana seseorang merasa pusing disertai berputar atau lingkungan terasa berputar walaupun badan orang tersebut sedang tidak bergerak. Vertigo dapat adalah salah satu bentuk gangguan keseimbangan dalam telinga bagian dalam sehingga menyebabkan penderita merasa pusing dalam artian keadaan atau ruang di sekelilingnya menjadi serasa 'berputar' ataupun melayang. Vertigo menunjukkan ketidakseimbangan dalam tonus vestibular. Hal ini dapat terjadi akibat hilangnya masukan perifer yang disebabkan oleh kerusakan pada labirin dan saraf vestibular atau juga dapat disebabkan oleh kerusakan unilateral dari sel inti vestibular atau aktivitas vestibulocerebellar (Martin, 2004). Pengkajian fokal pada pasien dengan gangguan sensasi berupa : nyeri, estesia, tuli, anosmia, penurunan visus. Stimulus kontekstual berupa: riwayat trauma, riwayat hipertensi. Sedangkan stimulus residualnya berupa: pengetahuan mengenai pain menejemen, motivasi, kontrol kondisi kesehatan. g. Cairan dan Elektrolit Mode adapatasi fisiologis pada pola pemenuhan cairan dan elektrolit pada pasien gangguan sistem persarafan menunjukkan dalam rentang yang adaptif. Kebutuhan cairan pasien terpenuhi melalui enteral maupun parenteral. Kondisi ini terlihat dari cairan dan elektrolit yang berada dalam kondisi seimbang. Namun ada 1 pasien bernama (inisial) TN. T dengan stroke hemoragik yang sudah rawat inap selama 2 bulan dan berada pada kondisi DNR mengalami salt wating sindrome akibat gangguan pada cerebelarnya. Manifestasi yang ditunjukan klien berupa: diaforesis, diare, retensi urin. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 117 h. Fungsi Neurologis pengkajian perilaku pada pasien kelolaan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan meliputi: kesadaran, tanda rangsang meningeal, reflek, saraf cranium, sensorik, motorik, dan fungsi luhur. Berikut ini akan diuraikan hasil pengkajian neurologis pada pasien kelolaan: pada kesadaran diketahui terdapat 8 orang pasien yang mengalami penurunan menjadi somnolen (6 orang) dan stupor (2 orang). Semua pasien mempunyai kondisi pupil yang iskor dan bereaksi terhadap cahaya baik langsung maupun tidak langsung. Dari pemeriksaaan TRM (tanda rangsang Meningeal) diketahui pasien dengan infeksi otak seperti METB atau TE HIV mengalami kaku kuduk yang positif sedangkan rangsang yang lain seperti laisq, kerniq dan brudzinki negatif. Hasil pemeriksaan reflek terdapat beberapa pasien yang menunjukan kondisi patologis dengan babinski postif atau hofman trummer positif. Kondisi ini lebih banyak dijumpai pada pasien stroke baik iskemia maupun hemoragik. Gangguan sensorik yang dialami pasien kelolaan lebih berupa gangguan panca indera. Kehilangan sensori pada pasien gangguan neurologi dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propiosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil dan auditorius. Persepsi adalah kemampuan untuk menafsirkan sensasi. Stroke dapat mengakibatkan disfungsi visual-persepsi, gangguan dalam hubungan visual-spasial dan kehilangan sensori. Disfungsi Visual persepsi disebabkan karena adanya gangguan pada sensorik primer jalur antara mata dan korteks visual. Homonymous hemianopsia (kehilangan setengah dari bidang visual) mungkin terjadi pada pasien stroke dan bisa terjadi sementara atau permanen. Bagian yang terkena dampak adalah pada sisi sesuai dengan sisi tubuh lumpuh. Gangguan dalam hubungan visual-spasial (mempersepsi hubungan dari dua atau lebih objek di daerah spasial) sering terlihat pada pasien dengan kerusakan belahan otak kanan (Corwin, 2009). Hampir sebagain beasr (80%) pasien menunjukan gangguan motorik seperti parese atau plegia. 2-3 pasien mengalami kontraktur atau footdrop. Pergerakan tubuh dihasilkan melalui kerjasama yang komplek antara otak, tulang belakang dan syaraf perifer. Motor area pada kortek serebri, basal ganglia dan cerebelum mengawali setiap gerakan volunteer dengan mengirimkan pesan ke kortek spinal. Kondisi stroke menghambat komponen system syaraf Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 118 pusat dalam mekanisme penghantaran impuls sehingga menghasilkan efek kelemahan ringan sampai berat pada sisi kontralateral yang menyebabkan keterbatasan dalam pergerakan (Lemone and Burke, 2004). Pada tahap awal, gejala klinis yang muncul mungkin hanya penurunan tonus otot atau kehilangan reflex tendon dalam. Ketika refleks tendon dalam muncul kembali (biasanya sampai dengan 48 jam), maka tonus otot akan meningkat dari ekstremitas pada sisi yang terkena (Smeltzer and Bare, 2008). Gangguan fungsi luhur seperti memori, orentasi, mood dan perasaan banyak dialami pasien terutama dengan lesi dibagian fronto dan temporal Fungsi kognitif termasuk tingkat kesadaran dapat mengalami perubahan dan bervariasi tergantung pada tingginya tekanan intrakranial dan lokasi dari lesi (Ignatavicius & Workman, 2006). Kerusakan yang luas pada area korteks dan adanya gangguan pada sistem pengaktifan retikular asendens dapat menyebabkan penurunan kesadaran (Silbernagl & Lang, 2006). Gangguan fungsi luhur pada pasien kelolaan juga muncul dari kemapuan berbahasa, terdapat 2-5 pasien mengalami afasisa baik sensorik maupun motorik. Fungsi otak yang lain yang terganggu akibat stroke adalah fungsi bahasa dan komunikasi. Pada kebanyakan kasus, stroke bisa menyebabkan afasia. Menurut Smeltzer and Bare (2008), gangguan kemampuan berbicara yang sering dialami pasien gangguan sistem persarafan adalah :Dysarthria (kesulitan dalam berbicara), hal ini disebabkan karena paralisis pada otot-otot yang memproduksi suara. Gejala yang ditunjukkan adalah bicara yang sulit dimengerti.Dysphasia atau aphasia (kehilangan kemampuan bicara), bisa berupa aphasia motorik, aphasia sensorik atau aphasia global. Apraxia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), yang mungkin terlihat ketika pasien mengambil sebuah garpu dan upaya menyisir rambutnya. Terdapat 1-3 pasien yang mengalami gangguan mental seperti regresi akibat infeksi otak dan stroke. Perubahan tingkat kesadaran dapat terjadi dalam rentang yang berbeda, mulai dari confuse sampai dengan koma. Hal ini disebabkan karena kerusakan jaringan yang terjadi akibat adanya iskemik atau hemoragik. Perubahan tingkah laku termasuk emosi yang labil, kehilangan control diri dan menurunnya toleransi terhadap stress. Perubahan intelektual yang terjadi bisa berupa kehilangan memori, penurunan perhatian, penilaian, dan ketidakmampuan dalam berfikir abstrak (Lemone & Burke, 2004). Bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori, Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 119 atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini ditunjukan dengan lapang perhatian yang terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi, yang menyebabkan pasien ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka (Smeltzer and Bare, 2008). Gejala neurologik yang timbul pada pasien dengan gangguan neurologi muncul sebagai akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokalisasinya (Smeltzer and Bare, 2008). Penyakit pada sistem persarafan menyebabkan defisit neurologic yang berat ringanya bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran darah kolateral. Sebagian besar penyakit neurologi akan meninggalkan gejala sisa karena fungsi otak tidak akan membaik sepenuhnya (Lewis, 2007). Berikut ini merupakan manifestasi klinik yang muncul dari pasien dengan gangguan sistem persarafan berdasarkan lokasi dari lesi pada otak (Ignatavicius, 2006), diantaranya :Bila lesi di kortikal, akan terjadi gejala klinik seperti; afasia, gangguan sensorik kortikal, muka dan lengan lebih lumpuh atau tungkai lebih lumpuh., eye deviation, hemipareses yang disertai kejang. Bila lesi di subkortikal, akan timbul tanda seperti; muka, lengan dan tungkai sama berat lumpuhnya, distonic posture, gangguan sensoris nyeri dan raba pada muka lengan dan tungkai (tampak pada lesi di talamus). Bila disertai hemiplegi, lesi pada kapsula interna nomer 3 (Tiga).Bila lesi di batang otak, gambaran klinis berupa: hemiplegi alternans, tandatanda serebelar, nistagmus, gangguan pendengaran, gangguan sensoris, disartri, gangguan menelan, deviasi lidah. Bila topis di medulla spinalis, akan timbul gejala seperti; gangguan sensoris dan keringat sesuai tinggi lesi, gangguan miksi dan defekasi. i. Fungsi Endokrin Pengkajian perilaku terkait dengan fungsi endokrin pada pasien gangguan sistem persarafan menunjukkan bahwa rerata glukosa darah adalah 140 gr/dl. Glukosa darah tertinggi ditemukan pada pasien yang mengalami stroke hemoragic disertai adanya riwayat DMddengan niali sebesar: 200 gr/dl. Peningkatan glukosa darah dapat terjadi akibat respon terhadap stress fisiologis yang dialami. Seseorang yang mengalami stress fisiologis yang ekstrim, glukosa darah dapat mencapai 200-250 mg/dl. Hal ini dipengaruhi oleh pelepasan epinefrin sebagai respon terhadap stress (Sommers, John, & Beery, 2007). Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 120 3.2.1.2 Mode Adaptasi Konsep Diri Hasil pengkajian perilaku pada konsep diri pasien menunjukan bahwa sebagai besar pasien sudah menerima kondisi perubahan dirinya seperti adanya kelumpuhan, perubahan panca indera, perubahan kulit maupun perubahan bentuk terutama pada kepala atau amggota tubuh yang lain akibat operasi. Hanya sebagian kecil yang belum bisa menerima perubahan bentuk fisik tubuhnya, kondisi ini lebih disebabkan usia yang masih muda dan perubahan kondisi fisik tubuh yang drastis seperti kelumpuhan atau pengambilang beberapa anggota tubuh. Pasien mampu menerima kondisi perubahan tubuh dan mengganggapnya sebagai bagian dari ketentuan Tuhan, bahwa kondisi sakitnya adalah cobaan dalam hidup, sehingga mereka pasrah dengan kondisi tubuh dengan tetap berharap lekas semub, membaik dan pulang untuk berkumpul dengan anggota keluarga yang lain. 3.2.1.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran Pengkajian perilaku pada mode adaptasi fungsi peran menunjukan bahwa hampir seluruh dari apsien tidak lagi mampu menjalankan aktivitasnya sebelum sakit, terutama pada pemenuhan kebutuhan dasarnya, sehingga fungsi peran tidak bisa dilakukan dengan baik. Dari kondisi ini akan muncul masalah keperawatan yang berkaitan dengan fungsi peran menurut Roy dan Andrews (1999) yaitu perubahan penampilan peran, manajemen regimen terapeutik individu yang tidak efektif dan manajemen regimen terapetik keluarga tidak efektif. Manajemen regimen terapeutik individu yang tidak efektif tidak ditemukan lagi dalam NANDA 2012, namun lebih diarahkan pada manajemen kesehatan diri tidak efektif (Herdman, 2012). Stimulus fokal manajemen kesehatan diri tidak efektif dan manajemen regimen terapeutik keluarga yang tidak efektif adalah kompleksnya perawatan dan pengobatan, konflik keluarga, kesulitan ekonomi. Stimulus kontekstual adalah kurangnya dukungan sosial. Stimulus residual adalah kurang pengetahuan, harapan individu/keluarga yang berlebihan. 3.2.1.4 Mode Adaptasi Interdependensi Mode adaptasi interdependensi dapat dinilai dari pemberian dukungan dan motivasi keluarga selama perawatan diberikan pada pasein. Terdapat 2 orang pasien yaaitu Tn. A dan Tn. M yang menjalani perawatand engan kondisi terlantar atau tidak ada keluarga yang bersedia membantu dan menamani pasien. Selebihnya, semua pasien yang dikelola mendapatkan dukungan penuh dari keluarga baik anak, istri, suami, orang tua dan keluarga yang lain. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 121 Adanya kegiatan kemasyarakatan dan kegiatan keagamaan yang diikuti, menyebabkan pasien mendapatkan dukungan bukan hanya dari keluarga tetapi juga dari lingkungan sekitar tempat tinggal. Seluruh pasien menunjukkan perilaku interdependensi yang efektif. Interdependensi yang efektif menunjukkan pasien mendapatkan kasih sayang, dukungan, kehadiran orang terdekat, kemampuan untuk mencintai, menilai dan berespon terhadap orang lain (Christensen & Kenney, 2009). 3.2.2 Diagnosa Keperawatan Roy&Andrews (1991) dalam Alligood & Tomey (2006) penetapan diagnosa keperawatan dilakukan dengan cara menghubungkan anatar perilaku dengan stimulus yang telah dilaksanakan pada tahap pengkajian. Berdasarkan hasil pengkajian ditemukan beberapa diagnosa keperawatan pada masalah adaptasi baik fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependi. Setiap pasien bsia mempunyai diagnosa keperawatan lebih dari satu. Berikut ini uraianya: Bersihan jalan napas tidak efektif 5 orang , Kerusakan pertukaran gas: 2 orang, Pola napas tidak efektif : 3 orang, Perfusi jaringan serebral tidak efektif: 25 orang, Risiko aspirasi : 4 orang, Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh: 6 orang, Kerusakan eliminasi urine: 10 orang. Konstipasi: 7 orang, Kerusakan mobilitas fisik: 26 orang, Defisit perawatan diri total: 25 orang, Kerusakan integritas kulit: 5 orang, Risiko infeksi: 10 orang, Risiko cedera: 15 orang, Nyeri akut: 15 orang, Kerusakan komunikasi: 4 orang. Mode adaptasi konsep diri: Ansietas, Berduka. Mode adaptasi fungsi peran: Manajemen kesehatan diri tidak efektif: Manajemen regimen terapeutik keluarga tidak efektif :. Mode adaptasi interdependensi: ketidakefektifan dukungan keluarga. Berdasarkan 4 mode adaptasi perilaku, diagnosa keperawatan yang paling banyak ditemukan adalah diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan mode adaptasi fisiologis . 3.2.3 Penetapan Tujuan Penetapan tujuan keperawatan adalah menyusun pernyataan yang jelas dari hsail perilaku dari asuhan keperawatan pada individu pasien. Tiga hal yang dinyatakan dalam penetapan tujuan keperawatan adalah: perilaku, perubahan yang diharapkan serta rentang waktu. Seterusnya disusu tujuan jangka pendek dan panjang. Tujuan keperawatan pada pasien gangguan sistem persarafan diadaptasi dari NOC yang menggambarkan respon perilaku adaptif atau inefektif baik perilaku yang dapat diamati atau dapat dikaji. Tujuan keperawatn yang dibuat harus Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 122 realistis dan mampu dicapai sesuai kondisi dan waktu perawatan pasien. Fokus dlaam tujuan perawatan pasien dengan gangguan sistem persarafan adalah adanya perbaikan kondisi, terpenuhinya kebutuhan dasar pasien, kondisi vital dalam batas toleransi, klien mampu beradaptasi secara fisik dan psikologis terhadap perubahan yang terjadi akibat proses penyakit. 3.2.4 Rencana Intervensi Keperawatan Tujuan dari intervensi keperawatan adalah mempertahakan dan meningkatkan perilaku adaptif serta merubah perilaku yang tidak adaptif menjadi perilaku adpatif . intervensi keperawtan difokuskan pada cara agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan suatu stimulus yang mampu merubah perilaku. Menejemen stimulus dapat merubah , meningkatkan , menurunkan menghilangkan atau mempertahankan stimulus tersebut perubahan terhadap stimulus dapat meningkatkan kemampuan mekanisme koping seseorang agar berespon secara positif untuk menghasilkan perilaku yang adatif. Intervensi keperawatan pada pasien gangguan sistem persarafan diadaptasi dari NIC dan disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan dengan menggunakan pendekatan secara holistik biopsikososial dan spiritual guna meningkatkan, mempertahankan dan memulihkan kesehatan. Intervensi keperawatan yang dilakukan berupa intervensi keperawatan mandiri dan kolaborasi untuk meningkatkan koping regulator dan kognator. Intervensi keperawatan menggunakan pendekatan perawatan fisik, anticipatory guidance,pendidikan kesehatan dan konseling. Selain itu, merawat pasien gangguan sistem persarafan juga membutuhkan caring dan penggunaan diri perawat secara terapeutik. Strategi ini dapat membantu pasien untuk mengungkapkan perasaan yang dialami dan dapat meningkatkan harga diri pasien. Beberapa intervensi keperawatan yang dilakukan pada pasien dengan gangguan sistem persarafan diantaranya berfokus pada: menejemen perfusi jaringan serebri, pencegahan peningkatan TIK, pencegahan valsavah manur, menenjemen nutrisi, menejemen inkotinensia urin: bladder training, terapi menelan, terapi wicara, latihan mobilitas: A/PROM, massage, fisitreapi, chest thrust, positioning, pengaturan elevasi kepala, menejemen ventilasi, menejemen vaskuler, dll. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 123 3.2.5 Implementasi Keperawatan Merupakan uraian yang lebih rinci dari intervensi keperawatan yang telah dipilih dalam impelemntasi juga diuraikan lebih rinci bagaimana pencapain tujuan keperawatan dengan melakukan menejemn pada stimulus yang ada ( Allygood& Tomey, 2006). 3.2.6 Evaluasi Keperawatan Evaluasi dilakukan untuk menilai efektivitas intervensi keperawatna yang telah dipilih dan menjadi refleksi dari tujuan keperawatan ditetapkan sebelumnya. Pasien kelolaan praktikan dengan gangguan sistem persarafan menjalani masa rawat inap sekitar 5-10 hari. Diantara mereka 80% mampu melakukan adapatasi baik fisiologi maupun konsep diri, fungsi peran maupun interdepensi. Pasien pulang dalam kondisi: 90% melanjutkan perawatn dirumah, 5% pulang atas permintaan sensiri, 3 % pulang paksa dan 2 % meninggal dunia. Pasien pulang dengan kondisi beberapa masalah keperawatan teratasi dan ssianya masih teratasi sebagian. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 BAB 4 PENERAPAN EVIDANCE BASED NURSING PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN Bab ini menguraikan tentang penerapan Evidence Based Nursing (EBN) pada gangguan sistem persarafan. Evidence based nursing ini berjudul Pengaruh Back Massage: Cooper’s Model untuk Pencegahan Ulkus Decubitus Pada Pasien Immobilisasi Akibat Defisit Neurologi: Parese Ekstremitas. Dekubitus merupakan kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari penekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu yang biasa. Dekubitus disebabkan karena terjadinya penekanan pada area kulit dalam waktu yang lama. Proses penekanan ini terjadi karena tidak adanya aktivitas pada area kulit yang tertekan, sehingga menghambat perfusi pada area tertekan (Margolis, 1995, dalam Potter & Perry, 2005). Penelitian menunjukkan bahwa 6,5-9,4% dari populasi umum orang dewasa yang dirawat dirumah sakit, menderita paling sedikit satu dekubitus pada setiap kali masuk rumah sakit (Barbenel et al,1977; Jordan dan Nicol,1977; David et al, 1983, dalam Morison, 2003). Angka prevalensi dekubitus bervariasi pada berbagai keadaan individu. Angka prevalensi yang dilaporkan dari rumah sakit, menurut Alman, (1989); Langemo dkk, (1989); Meehan, (1994); dan Leshlem dan Skelsky, (1994), antara 3-20%. Tingginya masa rawat inap akan meningkatkan resiko ulkus decubitus. Ditambah kondisi fisik pasien yang mengalami immobilisasi akibat kelemahan pada ekstremitas bawah seperti parese atau plegia seperti halnya pada pasien dengan gangguan neurologi. Pencegahan maupun perawatan pasien dengan decubitus merupakan salah satu bagian penting dari Patient Safety. Perawat mempunyai peran penting untuk mencegah terjadinya dekubitus. Tindakan yang biasa dilakukan adalah mengubah posisi atau memiringkan posisi tubuh ke kanan dan ke kiri. Hal itu bertujuan untuk mengurangi masa tekan pada area kulit,tetapi tidak menjaga vaskularitas kulit. Sehingga dibutuhkanlah suatu tindakan yang bisa meningkatkan vaskularisasi pada kulit yang tertekan selain juga mampu mencegah tekanan dan menjaga kelembapan. Salah satunya dengan menggunakan metode massage. 124 Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 125 Dalam penelitian diungkapkan, terapi pijat merupakan metode yang digunakan untuk melancarkan sirkulasi darah dan membantu menjaga vaskularitas kulit (Vickers & Zollman, 1999). Teknik masase punggung juga didukung oleh Bliss (1964 dalam Peeterrs et al, 2008), yang menyatakan bahwa teknik pijat sekali atau dua kali sehari efektif dalam mencegah perkembangan luka tekan. Sebuah studi percontohan yang dilakukan oleh Van Den Bunt (1992 dalam Peeterrs et al,2008) menunjukkan efek positif masase pada pencegahan luka tekan. Massage mampu diberikan pada pasien tanpa komplikasi atau efek samping yang berarti dan bisa diajarkan pada keluarga karena memang teknik ini mudah dan murah untuk dilakukan. Salah satu kunci keberhasilan intervensi pada pencegahan decubitus pasien dengan stroke adalah dengan memberikan suatu intervensi yang dilakukan secara rutin dan berkelanjutan, sehingga dukungan keluarga sangat diperlukan. Apalagi dengan melibatkan keluarga dalam pemberian massage ini akan mampu meningkatkan keberhasilan terapi pada pasien dengan parese akibat Defisit neurologi karena keluarga mampu memberikan dukungan tidak hanya fisik namun juga psikologi (support sistem) bagi pasien. Dengan pemberian massage, perawat mampu menjadi lebih dekat dan membangun empati dengan pasien dan keluarga. Melihat latar belakang diatas maka diperlukanya suatu evidance based untuk mengetahui suatu metode yang tepat untuk mencegah kejadian decubitus pada pasien immobilisasi akibat defisisit neurologi utamanya dengan parese, diamana salah satu Evidance based yang bisa dilakukan perawat adalah dengan memberikan teknik massage punggung: Cooper’s model. Dalam metode ini perawat memberikan massage melalui 5 tahapan yaitu: Efflurages,Prettige, Friction, Percusiion dan Vibration. Dengan tehnik ini perawat mampu memberikan pencegahan pada pasien yang beresiko mengalami ulkus decubitus dengan penilaianya menggunakan skala Norton. Massage yang diberikan bisa memberikan efek fisiologi dan psikologi. Secara fisik perawat mampu memberikan tidak hanya pencegahan kelembapan seperti pada pemberian Positioning namun lebih dari itu mampu meningkatkan Vaskularisasi karena Back massage ini secara prakteknya menggabungkan metode Massage dan Fisioterapi dada. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 126 4.1 Hasil Journal Reading (Critical review) Massage bisa menjadi terapi primer pencegahan decubitus pada pasien dengan masa rawat inap lama dan disability muskuloskleletal. Salah satu teknik massage yang ada dengan menggunakan cooopers model. Terdapat 5 tahapan dalam cooper model yaitu: efflurage, petrisage, percussion, friction, vibration. Terapi massage mampu memicu pelepasan hormon endorphin yang akan membuat pasien menjadi lebih rileks, melancarkan vaskularisasi dan menjaga mempertahankan kelembapan kulit. Sehingga sangat tepat bila massage therapi diaplikasikan pada pasien dengan resiko decubitus terutama akibat tirah baring lama dan kelemahan anggota gerak seperti halnya pada pasien stroke yang mengalami parese atau plegia. Terapi massage dengan efek samping yang sangat minimal namun bisa dilakukan dengan efektif dan efisien selain karena mudah ternyata tehnik ini diyakini mampu memperbaiki tidak hanya kondisi fisik pasien seperti vaskularisasi, kelembapan kulit, namun lebih dari itu bisa meningkatkan kondisi psikologsi pasien sehingga mampu memperbaiki depresi, perasaan sepi, self esteem dll. Evidance based yang akan dilakukan adalah pemberian massage therapy dengan menggunakan model Cooper’s yang akan diberikan pada pasien resiko decubitus akibat parese atau pelgia ektrmitas (bawah) dengan riwayat penyakit dengan stroke. Sperti diketahui strko dengan kondisi immobilisasi bukan hanya rentan mengalami komplikasi gangguan integumen seperti decubitus namun lebih dari itu mereka akan terapapar dengan masalah psikologis utamanya depresi. Sehingga diperlukanya suatu bentuk perawatan untuk menjaga kondisi fisik (integumen) dari ulkus decubitus dan memberikan kesehatan psikologis denga suatu bentuk terapi yang mudah dan murah tanpa ada efek samping yang berarti. Lebih dari itu pemberian massage pada pasien sejalan dengan konsep teori keperawatan seperti: teori Benson yang menyatakan bahwa massase dapat meningkatkan relaksasi dengan merangsasng saraf parasimpatis dari hipotalamus (Fraser & Kerr 1993, Richards 1998, Mok & Woo 2004). Teori adaptasi Roy (Meek 1993), dimana dengan pemberian massase ini diharapkan mampu membantu pasien beradaptasi fisik dan psikologis terutama terhadap perubahan akibat penyakit seperti parese/plegia, teori Gate Control: dimana massase akan membantu pasien untuk bisa sembuh atau mempunyai toleranis terhadap nyeri yang dialami karena memang dengan massase, pasien akan mempu meningkatkan sikulasi hormon endorphin yang membantunya lebih rileks (Mok & Woo, 2004), yang terkahir adalah teori Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 127 confort (Colcaba) dimana massage dapat memebrikan kenyaman dan mengurangi stress.Salah satu jenis massage yang bisa digunakan adalah metode cooper’s. Metode massage ini terbagi dalam 5 bentuk teknik yang dilakukan selam kurang lebih 30 menit. Teknik ini mudah dilakukan dengan efek samping yang hampir tidak ada. Bisa dilakukan dimana saja sehingga lebih efetif dan efisien. Perawat yang akan menerapkanya tidak emmerlukan pelatihan khusus maupun izin tersendiri. Terapi ini tidak memrlukan alat dan bahan khusus sehingga tidak akan membebani biaya pada pasien dan keluarga. Bahkan terapi ini bisa dengan mudah diajarkan ke keluarga. Sehingga terapi ini bisa dilakukan secara rutin dengan melibatkan pasrtisipasi keluarga dalam perawatan pasien. Dibandingkan dengan terapi keperawatan lain pada kondisi pasien dengan immobilisai, terapi massage (cooper’s) mampu mencegah kejadian decubitus dengan memperhatikan vaskularisasi dan kelembapan kulit punggung pasien. Evidance based penerapan massage: coopers model diambil dari sebuah penelitian dilakukan oleh Harris dan Richard Tahun 2009 sebagaimana yang ada dalam jurnal internasional keperawatan berjudul : “The physiological and psychological effects of slow-stroke back massage and hand massage on relaxation in older people”. Penelitian ini memberikan hasil sebagai berikut :massage dengan menggunakan coopers model mampu meningkatkan indikator relaksasi responden secara significan secara statistik. Hasil penelitian ini berlandandaskan dan didukung oleh penelitian yang dilakukan : fokuari dan jones (1987) dengan responden sebesar 18 orang. Penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan significan secara statistik indikasi relaksasi pada pasien yang diberikan massase punggung, dimana indikator yang dipakai adalah: tekanan darah, nadi , RR dan suhu serta verbal dari responden. Penelitian ini didukung oleh riset yang dilakukan oleh Meek 1993, Holland & Pokorny 2001) dengan menggunakan tehnik yang sama pada responden yang berbeda sebanyak 24 orang. Meek (1993) memberikan massage punggung selam 3 hari dengan mengamati indikasi relaksasi pasien terutama dari TTV. Penelitian lain dalam jurnal yang dilakukan oleh Fraser &Kerr 1993, Mok & Woo 2004, menunjukkan bahwa massage punggung selama 10 menit yang dilakukan pada 21 responden dapat menurunkan kecemasan pasien. Masage punggung untuk menurunkan agitasi juga dibuktikan oleh Rowe and Alfred (1999). Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 128 Berikut ini mrupakan beberapa penelitian yang bisa menunjukan manfaat dari massage terapi bagi pasien selain dari penelitian diatas. Termasuk beberapa penelitian yang mendukung bahwa pasien dengan rawat inap lama dengan disability akibat stroke akan rentan mengalami decubitus, serta beberapa penelitian yang juga memberikan informasi bahwa pemberian massage dapat mencegah kejadian decubitus. Beberapa penelitian tersebut diantaranya: Mirjam A Hulsenboom MSc, RN dkk (2005). Melakukan penelitian dengan menggunakan desig cros sectional komprasi dari tahun 1991 sampai dengan 2003 dengan judul : Massage to prevent pressure ulcers: knowledge, beliefs and practice.A cross-sectional study among nurses in the Netherlands in 1991 and2003. Penelitian dilakukan pada perawat yang bekerja di Netherland, bertujuan untuk mengetahui perkembangan implementasi pemberian massage perawat dalam mencegah decubitus mulai dari tahun 1991 sampai dengan 2003. Penelitian dilakukan dengan membagikan kusioner pada 1552 responden untuk mengetahui : pengetahuan, praktek dan keyakinan perawat terhadap intervensi massage yang diberikan padea pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: perawat sering menggunakan massage untuk mencegah Pressure Ulcer (PU) dan terdapat kenaikan yang significan dalam menggunakan massage sebagai terapi komplementer untuk mencegah PU. Wenworth, Laura etc.(2009). Dengan judul: Massage Therapy ReducesTension, Anxiety, and Pain in Patients Awaiting Invasive Cardiovascular Procedure . dengan menggunakan desai eksperimen pada 65 responden menunjukan bahwa massage terapi mampu menurunkanketegangan otot, cemas dan nyeri pada pasien yang dilakukan katerterisasi jantung. Massage yang digunakan lebih banyak pada tekhnik efflurages dan petrisage.peneliti menganjurkan bahwa terapi massage ini bisa digunakan untuk mengurangi ketegangan pada otot punggung dan nyeri pada punggung.Walach, Harrach , etc. (2003). Dengan judul: Efficacy of Massage Therapy in Chronic Pain: A Pragmatic Randomized Trial. Dilakukan dengan design eksperimen (RCT) pada 29 responden. Perlakukan yang diberikan adalah massage dengan teknik : classic dan standar medical care. Terapi bisa menurunkan nyeri, memperbaiki kondisi psikologi, mengurangi cemas, memperbaiki mood dan meningkatkan konsep diri. Supriyono dkk tahun 2011. Judul penelitian : Efektifitas Pemberian Masase Punggung Terhadap pencegahan Dekubitus Pada Pasien Tirah Baring Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas teknik masase punggung dengan teknik alih baring terhadap kejadian dekubitus. Desain penelitian adalah quasi eksperimen, jumlahsampel 28 responden dengan teknik purposive sampling. Hasil analisa uji independentsample t test Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 129 dengan taraf kemaknaan 5% menunjukkan tidak terdapat perbedaan yangsignifikan antara masase punggung dengan alih baring terhadap kejadian dekubitus. Teknik alih baring dan masase punggung terhadap kejadian dekubitus (p = 0,638 > 0,05). Rekomendasi hasil penelitian ini adalah agar dilakukan observasi pada pasien resiko terjadi dekubitus, dilakukan tindakan masase punggung dan alih baring secara bersamaan pada pasien tirah baring untuk merubah tekanan dan melancarkan peredaran darah pada area tertekan sehingga mencegah dekubitus. Penelitian yang dilakukan oleh Nurwangsih (2009) dengan judul : Pengaruh penggunaan minyak kelapa terhadap pencegahan intergritas kulit: decubitus pada pasien karena tirah baring total akibat stroke. Observasi treatment dengan minyak kelapa pada 9 responden dan 11 orang dengan massase memakai vaselin. Diobservasi selama 3 hari. Pengolahan data menggunakan statistik uji Z beda 2 proporsi dengan tingkat kepercayaan 95 % pada alpha 5%. Hasil yang ditampilkan adalah berupa integritas kulit dapat dipertahankan dan tidak terjadi penurunan integritas kulit dengan Z=0,448 dengan pv=0,17 dengan kupusan uji: tidak ada perbedaan penggunaan massage dengan minyak kelapa dan vaselin. Penelitian yang dilakukan Purwaningsih (2001), yang berjudul: analisis decubitus pada pasien tirah baring. Penelitian dilakukan dengan desain eksploratif croos sectional. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan massage punggung kejadian decubitus bisa dicegah sebesar 20 %. Penelitian yang dilakuakn oleh Setyajati (2002) . penelitian dilakukan dengan cohort descriptif eksploratif. Juudl penelitian: faktor yang mempengaruhi kejadian ulkus decibitus pada pasien tirah baring di RS. Hasil penelitian menunjukan bahwa: kejadian ulkus mencapai 38 % setiap tahunya dengan faktor penyebab adalah: immobilisasi, penurunan kesadaran, penurunan sensorik, dan penurunan kadar Hb. 4.2 Praktek Berdasarkan pembuktian Penerapan EBN dilakukan dengan memberikan back massage: coopers model (BM:CM) pada pasien immobilisasi untuk mencegah ulkus decubitus (UD). EBN dilakukan pada pasien gangguan sistem persarafan yang sedang melakukan rawat inap di lantai Va gedung A RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo yang dilaksanakan pada tanggal 05-30 November 2012. Jumlah pasien Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 130 yang berpartisipasi sebanyak 10 orang dilakukan selama 7 hari. Pengumpulan data dan pelaksanaan EBN melibatkan keluarga dan mahasiswa. Sebelum pelaksanaan EBN, penulis melakukan sosialisasi kepada kepala ruangan dan perawat pelaksana di lantai Va gedung A RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dilanjutkan dengan demonstrasi cara melakukan BM: CM. Berikut ini persiapan dan cara dalam melakukan EBN dengan BM:CM. Persiapan alat dan bahan:Kapas/kassa/tissue, Minyak kelapa, Sarung tangan bersih. Persiapan pasien: KIE atau helath edukasi pemberian massage, Eksposure punggung pasien dari pakaian, Posisi pasien yang nayamn dan memudahkan pelaksaan tindakan.Persiapan lingkungan: Kondisi lingkungan yang harus disiapkan sebelum pelaksanaan terapi diantaranya: pemberian sketsel/tirai, pengaturan tempat tidur, penerangan yang cukup. Pemberian terapi massage dengan motede cooper model dilakukan dengan memberikan pijatan yang didalamnya memberikan 5 tahapan pijat secara berurutan sebagai berikut:: a. Teknik effluerage :Dilakukan dengan memberikan gosokan pada kulit tanpa terjadi gerakan otot bagian dalam. Tangan dibuat sedemikian rupa sehingga gerakannya tetap dan tekanan yang diberikan searah dengan aliran darah balik. Pemijatan berupa usapan lembut, panjang, dan tidak terputus-putus. Dilakukan dengan menggunakan ujung jari yang ditekan lembut atau ringan tanpa tekanan kuat dengan tidak melepaskan jari pemijat dari permukaan kulit. b. Teknik Petrisage :Dilakukan dengan melakukan usapan tingkat sedang atau usapan yang lebih dalam daripada efflurage. Metodenya sama dengan efflurage. c. Teknik percussion (menepuk) :Dilakukan dengan pemberian pukulan cepat dan ringan dengan kedua tangan yang dilakukan secara bergantian dengan gerakan berirama. Dilakukan dengan perlahan-lahan kemudian cepat berirama dan tiba-tiba berhenti. d. Teknik Friction (menggesek): Manipulasi pada otot dengan gerakan putar/lingkaran pada satu titik dengan menggunakan palmar jari-jari, ibu jari dan bagian distal ulnar pergelangan tangan. Teknik friction tidak menggerakkan kulit, tetapi menggerakkan jaringan di bawah kulit. e. Teknik Vibrasi :Manipulasi pada otot dengan gerakan ritmik dari lengan bawh. Vibrasi sebaiknya dilakukan dengan menggunakan elektrikal vibrasi, karena durasi dan ketahannya sangat panjang daripada tangan. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 131 Terapi ini diberikan pada pasien selama 30 menit, dimana setiap tekhnik masing-masing 5-6 menit. Setiap tekhnik dilakukan berurutan dari model pertama sampai dengan ke 5. Dengan tetap memperhatikan respon pasien. Pelaksanan terapi bisa dikombinasi dengan minyak sebagai aromaterapi atau lumbrikasi. Dari hasil penelitian bisa memakai minyak kelapa. Indikator yang dievaluasi dari keberhasilan terapi massage punggung: cooper model adalah: perbaikan konsisi integumen dilihat perubahan atau perbaikan grade kejadian atau rsiko ulkus decubitus dengan pengukuran skala Norton, kenyamanan atau relaksasi pasien dari TTV dan verbal pasien serta observasi sederhana kondisi psikologi pasien. SOP dari intervensi pemberian massage dengan menggunakan coopers model bisa dilihat dalam lampiran. Perkambangan pelaksanaan EBN terlihat dalam lembar ebservasi harian yang ada di lampiran beserta dengan pengkajian resiko decubitus menggunakan skala Norton. Evaluasi dari pelaksanaan EBN menggunakan perubahan atau perbaikan grade atau tingkatan dari kejadian ulkus decubitus dan lembar obervasi harian sebagai berikut 1. Kenyamanan pasien:Kenyamanan pasien diobservasi dari vital sign pasien yang membaik dan berada dalam batas normal. Selain kenyaman juga bisa terlihat dari verbal pasien. 2. Dari inspeksi terlihat bahwa kondisi integumen terutama punggung pasien membaik yang ditandai : kemerahan pada kulit punggung pasien setelah hari ke 7 menjadi berkurang dan terdapat penurunan skala resiko norton untuk Kejadian decubitus pada pasien 3. Ada perbaikan kondisi psikologi pasien. Komunikasi membaik, empati terbina, terjalin support sistem yang baik dan depresi bisa dicegah. Perkembangan grade dari dekubitus pada pasien sebelum dan setelah pemberian EBN merujuk pada pembuat grade dekubitus menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP). Berdasarkan NPUAP ada perbandingan luka dekubitus derajat I sampai derajat IV (potter dan perry, 2005) yaitu: a. Derajat I: Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator b. Derajat II: Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang dangkal. c. Derajat III: Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui fascia yang berada Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 132 di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. d. Derajat IV: Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi 4.3 Hasil Pelaksanaan EBN 4.3.1 Karateristik Umum responden EBN dilaksanakan pada 10 pasien dengan karateristik umum sebagai berikut: Tabel 4.1 Distribusi Pasien Berdasarkan Umur di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ( n= 10 ) Umur 21 – 30 31 – 40 41 – 50 51 – 60 Jumlah Jumlah Pasien 1 2 3 4 10 % 10 20 30 40 Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa sebagian besar (40%) responden berada pada umur dengan kisaran 51-60 tahun. Tabel 4.2 Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ( n= 10 ) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Jumlah Pasien 8 2 10 % 80 20 Berdasarkan table 4.2 diketahui bahwa sebagian besar (80%) respoden berjenis kelamin lakilaki. Tabel 4.3 Distribusi Pasien Berdasarkan Penyakit di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ( n= 10 ) Jenis Penyakit Meningitis Stroke iskemik SOL Parkinson Stroke hemoragik Jumlah Jumlah Pasien 1 3 4 1 1 10 % 10 30 40 10 10 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 133 Berdasarkan table 4.3 kebanyakan pasien mempunyai penyakit dengan diagnosa medis adalah SOL ( Space Occupiying Lession (SOL) berjumlah 4 orang (40%). 4.3.2 Karateristik khusus Tabel 4.4 Distribusi Pasien Berdasarkan faktor resiko kejadian UD di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ( n= 10 ) Masa rawat inap (Minggu) 1-2 3-4 5-6 7-8 Jumlah Jumlah % 1 4 1 3 10 10 40 10 30 Penyebab Immobilisasi Jumlah % 9 7 2 2 20 45 35 10 10 Parese Penurunan kesadaran Demam Nutrisi Jumlah Berdasarkan table 4.4 kebanyakan responden yang mengalami resiko UD mempunyai masa rawat inap selama lebih dari 3-4 minggu yaitu sebanyak 4 orang (40%). Sedangkan dilihat dari penyebab immobiliasasinya kebanyakan resoponden mengalami parese pada ekstrmitas sebanyak 9 orang (45%). Selain itu, responden juga mengalami penurunan kesadaran sehingga mobilisasi mereka terhambat (35%) Tabel 4.5 Distribusi Pasien Berdasarkan Penilaian resiko kejadian UD di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ( n= 10 ) Skala Norton 1-12 (Resti) 12-15 (Rentan) 16-20 (Tidak beresiko) Jumlah 3 7 0 Jumlah % 30 70 0 10 Berdasarkan table 4.5 sebagian besar (70%) responden rentan mengalami Ulkus Decubitus dengan nilai berdasarkan skala norton berada pada range antara 12-15. 4.3.3 Distribusi hasil pelaksanaan EBN Tabel 4.6 Distribusi Pasien Berdasarkan perubahan tingkatan UD sebelum dan setelah pelaksanaan massage: Coopers Model di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ( n= 10 ) Sebelum Massage Grade I Grade II Grade III Grade IV Jumlah Jumlah % 7 3 0 0 10 70 30 0 0 Setelah massage Grade I Grade II Grade III Grade IV Jumlah Jumlah % 8 2 0 0 10 80 20 0 0 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 134 Berdasarkan table 4.6 sebelum diberikan massage dengan cooper model sebagian besar (70%) responden mengalami UD pada grade I, sebagian kecil berada pada grade II (30%). Setelah diberikan massage punggung menggunakan tekhnik cooper model sebagian besar responden berada pada grade I dengan sebagian kecil (20%) berada pada grade II dan tidak ada yang berada pada grade III. 4.4 Pembahasan 4.4.1 Karateristik Umum responden Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa sebagian besar (40%) responden berada pada umur dengan kisaran 51-60 tahun. Usia merupakan salah satu faktor resiko dari kejadian ulkus decubitus. Individu yang memasuki masa lansia akan meningkatkan resiko untuk mengalami UD. Studi yang dilakukan oleh Kane et el (1989) mencatat adanya luka dekubitus yang terbasar pada penduduk berusia lebih dari 75 tahun. Lansia mempunyai potensi besar untuk mengalami dekubitus oleh karena berkaitan dengan perubahan kulit akibat bertambahnya usia, kecenderungan lansia yang lebih sering berbaring pada satu posisi oleh karena itu imobilisasi akan memperlancar resiko terjadinya dekubitus pada lansia. Imobilsasi berlangsung lama hampir pasti dapat menyebabkan dekubitus (Roah, 2000) menurut Pranaka (1999), ada tiga faktor penyebab dekubitus pada lansia yaitu: Faktor kondisi fisik lansia itu sendiri (perubahan kulit, status gizi, penyakit-penyakit neurogenik, pembuluh darah dan keadaan hidrasi atau cairan tubuh), Faktor perawatan yang diberikan oleh petugas kesehatan, Faktor kebersihan tempat tidur, alat tenun yang kusut dan kotor atau peralatan medik yang menyebabkan lansia terfiksasi pada suatu sikap tertentu. Berdasarkan table 4.2 diketahui bahwa sebagian besar (80%) respoden berjenis kelamin lakilaki. Dari data ini diketahui bahwa lebih banyak UD diderita oleh pasien dengan jenis kelamin laki-laki. Namun pada dasarnya belum ditemukanya dasar teori yang menyebutkan bahwa UD harus lebih banyak dialami laki-laki daripada perempuan. Pada pelaksanaan EBN ini lebih banyak dilakukan pada laki-laki karena memang pasien yang memenuhi kriteri inklusi lebih banyak pada pasien laki-laki. Selain itu waktu pelaksanaan yang singkat yaitu kurang dari 1 bulan membuat pelaksanaan EBN dilaksanakan sesuai dengan pasien yang sedang rawat inap sehingga besar kemungkinan dasar gender sebagai salah satu karakter dalam kejadian UD menjadi lemah. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 135 Berdasarkan table 4.3 kebanyakan pasien mempunyai penyakit dengan diagnosa medis adalah SOL ( Space Occupiying Lession (SOL) berjumlah 4 orang (40%) dan stroke iskemik dan hemoragik berjumlah 4 orang (40%). Penyakit saraf akan menimbulkan gangguan pergerakan dan mengakibatkan imobilisasi (Corwin, 2009). Dari data diatas diketahui bahwa baikSOL maupun stroke akan menimpulkan dampak kerusakan mobilitas tulang dan sendi yang akan berdampak pada kondisi immobilisasi. Immobilisasi pada fisik merupakan suatu keadaan di mana seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan atau aktifitas misalnya pada ekstremitas, dan sebagainya. Salah satu dampak dari immbolisasi adalah adanya perubahan integumen pada pasien. Dan salah satu tindakan pencegahan dari kondisi diatas adalah dengan melakukan massage terutama pada daerah dimana integumen tersebut mengalami penekanan atau iskemia. 4.4.2 Karateristik khusus Berdasarkan table 4.4 kebanyakan responden yang mengalami resiko UD mempunyai masa rawat inap selama lebih dari 3-4 minggu yaitu sebanyak 4 orang (40%). Rawat inap yang lama akan membuat pasien tirah baring yang lama dan memberikan penekana pada suatu area kulit terutama punggung dalam waktu yang lama. Memunculkan gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan nutrisi lebih sedikit dari kebutuhan sehingga menyebabkan iskemi jaringan. Iskemia jaringan adalah tidak adanya darah secara lokal atau penurunan aliran darah akibat obstruksi mekanika (Potter dan Perry, 2005). Penurunan aliran darah menyebabkan daerah tubuh menjadi pucat. Terlihat ketika adanya warna kemerahan pada pasien berkulit terang. Pucat tidak terjadi pada pasien yang berkulit pigmen gelap. Kerusakan jaringan terjadi ketika tekanan mengenai kapiler yang cukup besar dan menutup kapiler tersebut. Tekanan pada kapiler merupakan tekanan yang dibutuhkan untuk menutup kapiler misalnya jika tekanan melebihi tekanan kapiler normal yang berada pada rentang 16 sampai 32 mmHg (Maklebust, 1987 dalam Potter dan Perry, 2005). Setelah priode iskemi, kulit yang terang mengalami satu atau dua perubahan hiperemi. Hiperemia reaktif normal (kemerahan) merupakan efek vasodilatasi lokal yang terlihat, respon tubuh normal terhadap kekurangan aliran darah pada jaringan dibawahnya, area pucat setelah dilakukan tekanan dengan ujung jari dan hyperemia reaktif akan menghilang dalam waktu kurang dari satu jam. Kelainan hyperemia reaktif adalah vasodilatasi dan indurasi yang berlebihan sebagai respon Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 136 dari tekanan. Kulit terlihat berwarna merah muda terang hingga merah. Indurasi adalah area edema lokal dibawah kulit. Kelainan hiperemia reaktif dapat hilang dalam waktu antara lebih dari 1 jam hingga 2 minggu setelah tekanan di hilangkan (Pirres & Muller, 1991 dalam Potter dan Perry, 2005) Ketika pasien berbaring atau duduk maka berat badan berpindah pada penonjolan tulang. Semakin lama tekanan diberikan, semakin besar resiko kerusakan kulit. Tekanan menyebabkan penurunan suplai darah pada jaringan sehingga terjadi iskemi. Apabila tekanan dilepaskan akan terdapat hiperemia reaktif, atau peningkatan aliran darah yang tiba-tiba ke daerah tersebut. Hiperemia reaktif merupakan suatu respons kompensasi dan hanya efektif jika tekan dikulit di hilangkan sebelum terjadi nekrosis atau kerusakan (Potter dan Perry, 2005). Lamanya rawat inap bisa membuat klein mengalami UD melalui mekanisme: timbulnya gaya gesek, friksi dan kelembapan yang tidak terjaga dengan baik. Gaya gesek merupakan tekanan yang dberikan pada kulit dengan arah pararel terhadap permukaan tubuh (AHPCR, 1994 dalam Potter dan Perry 2005). Gaya ini terjadi saat pasien bergerak atau memperbaiki posisi tubuhnya diatas saat tempat tidur dengan cara didorong atau di geser kebawah saat berada pada posisi fowler yang tinggi. Jika terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan menempel pada permukaan tempat tidur, dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai dengan arah gerakan tubuh. Tulang pasien bergeser kearah kulit dan memberi gaya pada kulit (Potter dan Perry, 2005). Kapiler jaringan yang berada di bawahnya tertekan dan terbeban oleh tekanan tersebut. Akibatnya, tak lama setelah itu akan terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal kemudian menyebabkan hipoksi, perdarahan dan nekrosis pada lapisan jaringan. Selain itu, terdapat Penurunan aliran darah kapiler akibat tekanan eksternal pada kulit. Lemak subkutan lebih rentan terhadap gesek dan hasil tekanan dari struktur tulang yang berada di bawahnya.akhirnya pada kulit akan terbuka sebuah saluran sebagai drainase dari area nekrotik. Perlu di ingat bahwa cedera ini melibatkan lapisan jaringan bagian dalam dan paling sering dimulai dari kontrol, seperti berada di bawah jaringan rusak. Dengan mempertahankan tinggi bagian kepala tempat tidur dibawah 30 derajat dapat menghindarkan cedera yang diakibatkan gaya gesek (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005). Brayan dkk, 1992 mengatakan juga bahwa gaya gesek tidak mungkin tanpa disertai friksi. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 137 Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan pada kulit saat digeser pada permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHPCR, 1994 dalam Potter dan Perry, 2005). Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epedermis atau lapisan kulit bagian atas, yang terkelupas ketika pasien mengubah posisinya. Seringkali terlihat cedera abrasi pada siku atau tumit (Wysocki & Bryant, 1992 dalam Potter dan Perry, 2005). Karena cara terjadi luka seperti ini, maka perawat sering menyebut luka bakar seprei ”sheet burns” (Bryant et el, 1992). Cedera ini terjadi pada pasien gelisah, pasien yang gerakan nya tidak terkontrol, seperti kondisi kejang, dan pasien yang kulitnya diseret dari pada diangkat dari permukaan tempat tidur selama perubahan posisi (Maklebust & Siegreen, 1991 dalam Potter dan Perry, 2005). Tindakan keperawatan bertujuan mencegah cedera friksi antara lain sebagai berikut: memindahkan pasien secara tepat dengn mengunakan teknik mengangkat siku dan tumit yang benar, meletakkan benda-benda dibawah siku dan tumit seperti pelindung dari kulit domba, penutup kulit, dan membran transparan dan balutan hidrokoloid untuk melindungi kulit, dan menggunakan pelembab untuk mempertahankan hidrasi epidermis (Potter dan Perry, 2005) . Dilihat dari penyebab immobiliasasinya kebanyakan resoponden mengalami parese pada ekstermitas sebanyak 9 orang (45%). Pasien dengan gangguan motorik menjadi faktor resiko utama terjadinya UD. Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko tinggi terhadap dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi, tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadinya dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien yang mengalami cedera medula spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini (Ruller & Cooney, 1981 dalam Potter dan Perry, 2005). Selain gangguan motorik, penurunan kesadaran menjadi faktor resiko penyebab tingginya kejaidan UD selama pasien di RS. Penelitian yang dilakuakn oleh Setyajati (2002), hasil penelitian menunjukan bahwa: kejadian ulkus mencapai 38 % setiap tahunya dengan faktor penyebab adalah: immobilisasi, penurunan kesadaran, penurunan sensorik, dan penurunan kadar Hb. Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien bingung atau disorientasi Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 138 mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang labih baik. Selain itu pada pasien yang mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah menjadi binggung. Beberapa contoh adalah pada pasien yang berada di ruang operasi dan untuk perawatan intensif dengan pemberian sedasi (Potter dan Perry, 2005). Berdasarkan table 4.5 sebagian besar (70%) responden rentan mengalami Ulkus Decubitus (UD) dengan nilai berdasarkan skala norton berada pada range antara 12-15. Dari tabel tersebut diketahui bahwa sebagian besar pasien rentan mengalami ulkus decubitus. Kondisi diatas disebakan oleh tingginya parese dan penurunan kesadaran pada responden. Selain itu, masih ada kondisi lain yang turut mempertinggi resiko kejadian UD seperti: Nutrisi yang semakin menurun: Beberapa responden dengan kondisi nutrisi yang terus menurun. Pasien mengalami kokesia, ketidakseimbangan elektrolit, intake yang kurang (mual,anoreksia). Kondisi ini membuat penurunan metabolisme sehingga membuat imunitas, perbaikan jaringan dan kondisi integumen pasien melemah. Pasien dengan kondisi kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut. Malnutrisi merupakan penyebab kedua hanya pada tekanan yang berlebihan dalam etiologi, patogenesis, dekubitus yang tidak sembuh (Hanan & scheele, 1991). Pasien yang mengalami malnutrisi mengalami defisiensi protein dan keseimbangan nitrogen negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C (Shekleton & Litwack, 1991 dalam Potter dan Perry, 2005). Status nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat badan sama dengan atau lebih dari berat badan ideal. Pasien dengan status nutrisi buruk biasa mengalami hipoalbuminunea (level albumin serum dibawah 3g/100 ml) dan anemia (Nalto, 1983; Steinberg 1990). Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang albumin serumnya dibawah 3g/100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka (Kaminski et el, 1989); Hanan & Scheele, 1991). Walaupun kadar albumin serum kurang tepat memperlihatkan perubahan protein viseral, tapi albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik untuk semua kelompok manusia (Hanan & Scheele, 1991). Pasien anemia beresiko terjadi Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 139 dekubitus. Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia juga mengganggu metabolisme sel dan mengganggu penyembuhan luka (Potter dan Perry, 2005). Kakeksia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai kelemahan dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan dengan penyakit berat seperti kanker dan penyakit kardiopulmonal tahap akhir. Kondisi ini meningkatkan resiko luka dekubitus pada pasien. Pada dasarnya pasien kakesia mengalami kehilangan jaringan adipose yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari tekanan (Potter dan Perry, 2005). Pemenuhan personal hygiene yang buruk:Pasien dengan PH yang tidak terpenuhi dengan baik seperti diaper yang jarang diganti, linen yang kotor dan berlipat, kebersihan eliminasi yang tidak optimal akan semakin membuat pasien beresiko mengalami UD. Kondisi integumen pasien yang kotor, linen yang berlipat dan kulit yang terlalu lembap akan membuat kejadian UD semakin meningkat.Adanya kelembaban pada kulit akan meningkatkan terjadinya kerusakan integritas kulit. Akibat kelembaban terjadi peningkatan resiko pembentukan dekubitus sebanyak lima kali lipat (Reuler & Cooney, 1981 dalam Potter dan Perry, 2005). Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap faktor fisik lain seperti tekanan atau gaya gesek (Potter dan Perry, 2005). Pasien imobilisasi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan higienisnya sendiri, tergantung untuk menjaga kulit pasien tetap kering dan utuh. Untuk itu perawat harus memasukkan higienis dalam rencana perawatan. Kelembaban kulit dapat berasal dari drainase luka, keringat, kondensasi dari sistem yang mengalirkan oksigen yang dilembabkan, muntah, dan inkontensia. Beberapa cairan tubuh seperti urine, feses, dan inkontensia menyebabkan erosi kulit dan meningkatkan resiko terjadi luka akibat tekanan pada pasien (Potter dan Perry, 2005). Dukungan keluarga yang kurang optimal: Pencegahan maupun penangan UD merupakan kewajiban perawat dan petugas keseahtan sebagai bagian dari pasien safety. Namun, dukungan keluarga dalam perawata juga menjadi kunci kerbehasilan perawatan pasien dengan defsiit neurologi. Tingginya keterbatasan terutama fisik pada pasien dengan gangguan neurologi membuat peran keluarga menjadi salah satu penentu pencegahan dampak dari immobilisasi pasien dengan gangguan sistem persarafan. Dari hasil pelaksanaan EBN diketahui bahwa pasien dengan dukungan keluarga penuh akan membuat massage menjadi lebih berhasil dengan indikator: rutin dilakukan, sesuai dengan edukasi (SOP), lebih besar kemanfaatanya pada pasien. Massage yang diberikan tidak hanya untuk terapi fisik pasien Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 140 namun lebih dari itu bisa meningkatkan dukungan psikologi bagi pasien. Sehingga pasien yang rawat inap dengan kondisi : “orang terlantar” akan menunjukan perbaikan kondisi integumen yang kurang signifikan bila diberikan massage. Perubahan kognisi: Gangguan fungsi luhur sebagaimana yang dialami oleh beberapa responden seperti sjizofrenia membuat pasien kurang koopertaif dan sulit diberi edukasi selama pelaksanaan EBN. Kondisi ini juga membuat hambatan dalam komunikasi sehingga massage yang diberikan kurang optimal. Kondisi fisik, salah satu penyebab UD adalah kondisi tandavital pasienyang belum stabil terutama pada suhu. Pasien dengan demam akan semakin rentan mengalami UD. Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Pasien infeksi biasa mengalami demam. Infeksi dan demam menigkatkan kebutuhan metabolik tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia (penurunan oksigen) semakin rentan mengalami iskemi akibat (Skheleton & Litwalk, 1991). Selain itu demam menyebabkan diaporesis (keringatan) dan meningkatkan kelembaban kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit pasien (Potter dan Perry, 2005). Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan mengalami kerusakan iskemia. Gangguan sirkulasi pada pasien yang menderita penyakit vaskuler, pasien syok atau yang mendapatkan pengobatan sejenis vasopresor (Potter dan Perry, 2005) 4.4.3 Distribusi hasil pelaksanaan EBN Berdasarkan table 4.6 sebelum diberikan massage dengan cooper model sebagian besar (70%) responden mengalami UD pada grade I, sebagian kecil berada pada grade II (30%). Setelah diberikan massage punggung menggunakan tekhnik cooper model sebagian besar responden berada pada grade I dengan sebagian kecil (20%) berada pada grade II dan tidak ada yang berada pada grade III. Dari data diatas memberikan evaluasi hasil pelaksanaan EBN setelah diberikan back massage: cooper models selama 7 hari terjadi perubahan dengan kondisi sebagai berikut:Pasien yang berada pada grade II turun dari 30 % menjadi 20 % sehinggan responden pada grade I setelah naik dari 70% menjadi 80 %. Pada penilaian kejadian skala Norton tidak ada perubahan yang signifikan. Hal ini dikarenakan Norton digunakan untuk pengkajaian awal saja dari kondisi yang bisa menjadi faktro resiko dari kondisi UD. Dan diketahui bahwa sebagian besar responden rentan mengalami UD. Namun sampai intervensi dilakukan hanya Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 141 2 orang yang benar-benar mempunayi luka pada grade II. Secara umum diketahui bahwa kondisi integumen pasien semakin baik setelah diberikan massage: cooper model dengan indikasi: TTV dalam batas normal, kemerahan, penebalan kulit dan lesi didaerah punggung berkurang. Tidak muncul luka decubitus yang baru. Terdapat 1 pasien yang mengalami perkembangan kondisi integumen yang kurang optimal dengan pemberian back massage: cooper model dikarenakan kondisi nutrisi, PH dan dukungan keluarga (OT: orang terlantar) Bisa disimpulkan pemberian intervensi keperawatan dengan melakukan massage punggung menggunakan cooper model pada pasien yang immobilisasi dalam 7 hari akan membuat kondisi integumen pasien semakin membaik, pasien menjadi lebih nyaman, pasien yang rentan atau beresiko tinggi mengalami UD tidak menjadi aktual, pasien dengan UD menjadi lebih baik kondisi integumennya dengan ditandai adanya penurunan grade. Massage mampu memberikan manfaat berupa: Memberi efek penguluran pasif pada otot, meningkatkan aliran darah dan getah bening, memberikan rasa nyaman, Mengendurkan otot (relaksasi), menurunkan Tekanan Darah, meningkatkan pernapasan dan memperlambat denyut jantung, merangsang hormon produksi hormon endorphin yang menghilangkan rasa sakit secara alamiah ( Danuatmaja & Meiliasari, 2002). Dengan mengendurkan ketegangan dan membantu menurunkan emosi, pijat juga mampu merelaksasi dan menenangkan saraf, serta membantu menurunkan tekanan darah (Balaskas, 2005). Hasil EBN diatas didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mirjam A Hulsenboom MSc, RN dkk (2005), yang menunjukkan bahwa: perawat sering menggunakan massage untuk mencegah PU dan terdapat kenaikan yang significan dalam menggunakan massage sebagai terapi komplementer untuk mencegah Pressure Ulcer. Wenworth, Laura etc.(2009) dalam penelitiannya menunjukan bahwa massage terapi mampu menurunkan ketegangan otot, cemas dan nyeri pada pasien yang dilakukan katerterisasi jantung. Massage yang digunakan lebih banyak pada tekhnik efflurages dan petrisage. peneliti menganjurkan bahwa terapi massage ini bisa digunakan untuk mengurangi ketegangan pada otot punggung dan nyeri pada punggung. Walach, Harrach , etc. (2003). Melakukan penelitian dengan perlakukan yang diberikan adalah massage dengan teknik : classic dan standar medical care. Terapi bisa menurunkan nyeri, memperbaiki kondisi psikologi, mengurangi cemas, memperbaiki mood dan meningkatkan konsep diri. Supriyono dkk tahun 2011. Rekomendasi hasil penelitian ini adalah agar dilakukan observasi pada Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 142 pasien resiko terjadi dekubitus, dilakukan tindakan masase punggung dan alih baring secara bersamaan pada pasien tirah baring untuk merubah tekanan dan melancarkan peredaran darah pada area tertekan sehingga mencegah dekubitus. Penelitian yang dilakukan Purwaningsih (2001), yang menunjukan bahwa dengan massage punggung kejadian decubitus bisa dicegah sebesar 20 %. Dari hasil EBN diatas penulis memberikan saran: perlunya ditingkatkannya tindakan penatalaksanaan dan pencegahan kejadian decubitus sebagai bagian dari intervensi pasien safety. Perlunya ditingkatkan penilaian resiko kejadian decub pada awal pasien masuk RS. Diberikanya massage pada punggung untuk pencegahan kejadian ulkus decubitus dengan menggunakan cooper models. Observasi secara berkelanjutan kondisi integumen terutama pada pasien yang beresiko mengalaminya. Massage pada punggung dilakukan minimal 7 hari secara rutin dan berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi keluarga . pemberian massage dilakukan bersamaan dengan mobilisiasi atau positioning. Massage bisa diberikan dengan menggunakan minyak kelapa. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 BAB 5 KEGIATAN INOVASI PADA GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN Bab ini menguraikan tentang pelaksanaan kegiatan inovasi yang dilaksanakan di zona Va dan Vb lantai V gedung A RSUPN dr Cipto Mangunkusumo. Kegiatan ini dilakukan secara berkelompok oleh : FERA LIZA, AMILA, NURLIA IKANINGTYAS, EVA DWI RAMAYANTI, FRANSISKA ANITAS ERS. Untuk menjalankan peran sebagai inovator keperawatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan. Inovasi yang dilakukan tentang pelaksanaan Bladder Training pada pasien dengan gangguan sistem persarafan. Kegiatan tersebut dijabarkan sebagai berikut: 5.1 Analisis Situasi Sistem perkemihan merupakan organ vital dalam melakukan ekskresi dan eliminasi sisa-sisa metabolisme tubuh. Gangguan sistem perkemihan tidak semata disebabkan masalah urologi tetapi juga bisa disebabkan oleh penyakit saraf, baik secara langsung mengenai serabut saraf pengindera maupun serabut saraf penggerak serta penyakit-penyakit saraf yang mengganggu kesadaran. Sistem saraf yang mempengaruhi kemampuan berkemih seseorang adalah karena adanya aktifitas yang terintegrasi antara sistem saraf otonom dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks fungsi destruksor dan spingter meluas dari lobus fontralis ke medulla spinalis bagian sakral sehingga lesi pada berbagai derajat pada jaras ini menyebabkan gangguan berkemih neurogenik (Neurogenic Bladder) (Jepardi, 2002). Kemampuan pengosongan berkemih merupakan suatu refleks spinopontinspinal, refleks ini juga dipengaruhi oleh pusat-pusat yang lebih tinggi di otak dan dipengaruhi oleh instingtual motorik yang disadari (volunter) (Misbach, 2007). Pengosongankandung kemih dilakukan oleh otot – otot polos detrussor yang dipersyarafioleh system syaraf parasimpatis. Selama pengosongan, kandung kemih berkontraksi spinkter internal dan eksternal serta otot pelvis untuk mengalirkan urine ke uretra. Pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna dapat berkembang menjadi Neurogenic Bladder yang terjadi karena adanya lesi atau penyakit pada susunan syaraf pusat atau perifer (Newman &Wein, 2009 dalam Newman & Wilson, 2011). 143 Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 144 Orang yang mengalami injuri atau gangguan neurologi mungkin tidak mampu untuk mempertahakan pola eliminasi urin normal, karena disfungsi di tingkat batang otak, spinal atau otak besar. Kerusakan jaras sensorik dan motorik pada sistem perifer atau sentral yang memberikan dampak pada kandung kemih sehingga akan menyebabkan gangguan pola eliminasi urin (Hickey, 2003). Menurut Hickey (2003), terdapat beberapa perubahan eliminasi urin akibat gangguan sistem persarafan seperti lesi LMN (cederasaraf pelvic, Peripheral Neuropathy, Diabetes Mellitus), Upper Motor Nueron (UMN) atau yang biasa disebut sebagai lesi susunan syaraf pusat seperti stroke, parkinson dan Multiple Sklerosis dan Bladder Neurogenic. Neurogenic Bladder merupakan salah satu masalah yang paling sering terjadi pada orang dengan gangguan neurologik. Perubahan eliminasi tipe Bladder Neurogenic meliputi Uninhibited Neurogenic, Refleks Neurogenic, Areflexic Neurogenic, Motor Paralytic Neurogenic dan Sensory Paralytic Neurogenic. Jepardi (2002) juga melaporkan bahwa beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada beberapa bagian lobus frontal dapat menyebabkan gangguan berkemih, urgensi, inkontinensia dan hilangnya sensibilitas kandung kemih atau retensi urin. Kondisi ini dapat berdampak pada kualitas hidup seperti gangguan intreraksi sosial, distres psikologis dan gangguan pemenuhan aktifitas sehari-hari. Kondisi ini memerlukan penatalaksanaan yang terintegrasi, seperti program manajemenberkemih. Beberapa bentuk program manajemen berkemih diperlukan untuk memulai pengosongan atau memastikan pengosongan telah sempurna pada kandungkemih. Program manajemen berkemih meliputi intervensi seperti obat – obatan, jadwal berkemih, kateter indwelling urine, Manual Expression, Urinary diversion dank ateterisasi intermitten. Kateterisisasi intermiten merupakan salah satu metode yang paling efektif pada pasien dengan Neurogenic Bladder, namun dalam jangka panjang dapat menimbulkan komplikasi pada uretra, skrotal dan kandung kemih. Komplikasi pada uretra dan scrotal, meliputi perdarahan, urethritis, striktur, false passage, epididimytis, sedangkan pada kandung kemih dapat menyebabkan perdarahan, pembentukan batu dan infeksi saluran kemiha tau Infeksi saluran Kemih (ISK) (Newman & Wilson, 2011). Infeksi saluran kemih merupakan penyebab infeksi dirumah sakit yang dapat meningkatkan kematian karena infeksi sekunder septikemia. Menurut literatur lain Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 145 didapatkan pemasangan Dower kateter mempunyai dampak terhadap 80% terjadinya infeksi saluran kemih (Heather & Hannie, 2001). Risiko infeksi saluran kemih juga diperkirakan sekitar 5% perhari dan sekitar 4% dari infeksi ini mengakibatkan bakterimia, bersifat tidak menimbulkan gejala dan biasanya tidak memerlukan pengobatan (Steven, 2005; Saint et al, 2009). Selain itu penggunaan kateterisasi juga meningkatkan biaya dan lama rawat pasien, menimbulkan injuri uretra dan hematuria (Darlene et al, 2001; Teng etal, 2005).Selainkomplikasifisik, penggunaankateterdapatmenimbulkandampak social dan psikologis bagi pasien (NICE, 2012).Kateter menimbulkan perasaan tidak nyaman, malu, stres psikologis, menghabiskan waktu perawat karena memerlukan waktu yang lama untuk kateterisasi (5 – 20 menit) dan persiapan untuk kateterisasi memerlukan waktu sekitar 7 - 16 menit (Steven, 2005). Masih tingginya sumbangan tindakan invasif pada pemeriksaan urin terhadap kejadian infeksi nasokomial dan waktu yang lama untuk mencapai tingkat akurasi yang baik, sehingga dibutuhkan upayauntuk meminimalkan tindakan invasif, salah satunya adalah tindakankeperawatanmandiriperawat, seperti bladder trainingyang didokumentasikan dalam bentuk bladder diary. .Menurut Berman dan Snyder (2012) penatalaksanaan keperawatan mandiri pada inkontinensia urin meliputi program latihan kontinens yang berorientasi pada perilaku yang terdiri dari (bladder training, habbit training, prompted voiding, pelvic muscule exercise dan memberikan dukungan positif), perawatan kulit, dan penggunaan kondom kateter bagi pria. Bladder training atau disebut bladder retrainingmembutuhkan keterlibatan perawat, pasien dan dukungan keluarga. Pasien harus sadar, dan orientasi baik serta secara fisik dapat berpartisipasi dalam protokol latihan. Selain itu juga diperlukan pispot/urinal, commode chair, akses ke kamar mandi. Pada saat bladder training pasien juga membutuhkan edukasi tentang fisiologi, patofisiologi dan teknik bladder training. Metoda edukasi disesuaikan kemampuan kognitif pasien (Hickey, 2003). Semua aktifitas bladder trianing ini serta kemajuan berkemih pasien setiap hari dicatat dalam format dokumentasi yang disebut bladder diary. Bladder diary merupakan suatu alat yang murah dan sangat berguna dalam mendiagnosis dan mengatasi gangguan berkemih. Bladder diary merupakan suatu format yang berisi catatan waktu berkemih, frekuensi berkemih, jumlah intake cairan, volume urin dan beberapa pengukuran inkontinensia urin. Bladder diary mampu meningkatkan kemampuan berkemih pasien dengan mengontrol jadwal berkemih pasien. Ada beberapa tujuan yang bisa dicapai Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 146 dengan memberikan bladder diary pada pasien yaitu memperbaiki kontrol terhadap bladder dan mencapai pola berkemih yang normal,memperpanjang jarak berkemih dan mencapai jarak selama mungkin, meningkatkan kapasitas bladder dan mengurangi episode ngompol (Mair, 2012). Lebih lanjut menurutMair, 2012 , bladder diary dapat dilakukan mandiri oleh pasien dan keluarga setelah pemberian edukasi terstruktur yang baik, sehingga dapat memberikan manfaat seperti informasi komprehensif tentang fungsi atau disfungsi bladder, informasilebih rinci dibandingkan berdasarkan anamnesis riwayat gangguan dan pemeriksaan urodinamik, standar dalam mengevaluasi disfungsi berkemih dan harus dilakukan sebelum pemeriksaan diagnostik invansif, dapat digunakan untuk penelusuran diagnostik, kontrol terapi dan informasi perkembangan terapi pasien; dimana kondisi ini sangat penting untuk menentukan strategi dan keberhasilan terapi, lebih ekonomis dan murah dibandingkan pengontrolan urodinamik Ruang neurologi dan bedah saraf lantai V Gedung A RSUPN Cipto Mangunkusumo merawat bermacam-macam kasus neurologi diantaranya yang terbanyak adalah cidera kepala, stroke, meningitis, pre dan post operasi tumor otak dan lain-lain. Sebagian besar pasien ini berkemih dengan bantuan foley kateter. Foley kateter ini diganti rata-rata pada hari ke-7 setelah pemasangan. Setelah pelepasan kateter biasanya perawat akan memasang kembali foley kateter bagi pasien yang dinilai mengalami inkontienensia urin, dan kondom kateter pada pasien pria. Berdasarkan pengamatan residen belum dilakukannyabladder training yang terstruktur sepertiPelvic Floor Muscles Exercisedan pencacatan yang sistematis tentang fungsi berkemih pasien seperti bladder diary. Bladder training yang rutin dilakukan di ruang rawat lantai V saat ini adalah dengan mengklem slang kateter dan klem dilepas ketika pasien merasakan rangsang berkemih. Hal ini masih menjadi kontroversi karena bahaya refluks urin bila dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan kognitif. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala ruangan neurologi dan bedah saraf, bahwa di ruang rawat tersebut belum ada suatu bentuk format tentang penatalaksanaan Bladder Training. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 147 5.1.1 Kekuatan ( Strenght ) 1) Pendidikan perawat di ruang neurologi dan bedah saraf sebagian besar (80%) DIII keperawatan dengan pengalaman dan pelatihan dibidang keperawatan neurologi. 2) Visi dan misi dari RSUPN dr Cipto Mangunkusumo yang mendukung pelaksanaan praktek residensi KMB peminatan Neurologi FIK UI. Dimana visi tersebut adalah: Menjadi RS pendidikan dan pusat rujukan nasional terkemuka di Asia Pasifik tahun 2014. 3) Penerapan manajemen keperawatan di RSCM sudah menggunakan Model Praktek Keperawatan Profesional (MPKP). 4) Telah memiliki konsultan keperawatan neurologi yang handal dan peduli terhadap pengembangan pelayanan neurologi. 5) Adanya kesempatan dan izin dari pihak diklat RSCM untuk mengikuti praktek residensi keperawatan medikal bedah peminatan neurologi di gedung A RSUPN dr Cipto Mangunkusomo lantai V zona Va dan Vb. 5.1.2 Kelemahan (Weakness) 1) Memerlukan persiapan dan waktu yang cukup lama untuk evaluasi penerapannya. 2) Biaya pengadaan alat penunjang inovasi seperti bladder scan yang cukup mahal 3) Program bladder training belum dilakukan secara terstruktur di lantai V ruang Neurologi dan Bedah saraf 4) Belum adanya prosedur blader training terstruktur di ruang neurologi dan bedah saraf 5) Beban kerja perawat yang cukup tinggi 5.1.3 Peluang ( Opportunity) 1) Jumlah pasien dengan gangguan neurologis dengan BOR > 80% 2) Hanya sedikit rumah sakit yang telah mengaplikasikan program bladder training secara komprehensif. 3) Merupakan tindakan keperawatan baru yang belum banyak diterapkan di RS lain. 5.1.4 Ancaman ( Threat ) 1) Motivasi untuk melaksanakan inovasi Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 148 5.2 Kegiatan inovasi Kegiatan inovasi dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: tahap persiapan, pelaksanaan dan evaluasi. Tahapan kegaiatan inovasi dijabarkan sebagai berikut: 5.2.1 Persiapan Persiapan dari balder training meliputi: a) Setelah proposal inovasi disetujui supervisor klinik dan akademik, kami berkoordinasi dengan supervisor lantai V, Head Nurse ruang neurologi dan bedah saraf untuk melakukan kegiatan sosialisasi. Sosialisasi dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 14 November 2012. Diadakan di ruang 501 dan dihadiri oleh Supervisor dan HN serta perwakilan perawat ruangan neurologi dan bedah saraf. (absensi berita acara dan terlampir). b) Identifikasi pasien yang akan dilakukan pelepasan atau penggantian kateter di ruang neurologi dan bedah saraf. 5.2.2 Pelaksanaan Pelaksanaan Kegiatan inovasi bladder training dijabarkan dalam tahapan sebagai berikut: a) Melakukan pengkajian fungsi perkemihan pada pasien yang terpasang kateter menetap pada hari ke 5-7 yang direncanakan pelepasan atau penggantian kateter menetap. b) Menyiapkan format Bladder diary. c) Langkah-langkah melakukan bladder training. 1. Pada 2 jam pertama : Setelah kateter dilepas, pasien diberi cairan 200 cc, setelah 2 jam minta pasien berkemih dengan menggunakan urinal bagi pasien laki-laki dan pistpot bagi pasien wanita atau ke kamar mandi bagi pasien. Setelah pasien berkemih dilakukan pemeriksaan dengan bladder scanuntuk mengetahui residu urine:Jika residu > 300 cc, pasien bisa merasakan berkemih maka pasien menggunakan kateter menetap. Jika residu < 100 cc dan pasien tidak bisa merasakan berkemih maka pasien diindikasikan pemasangan kateter kondom atau diapers dan masuk pada tahapan berikutnya kemudian dilanjutkan dengan program bladder diary dan kegel’s exercise. Jika residu < 100 cc, pasien dapat berkemih dan merasakan sewaktu hendak berkemih, pasien bisa berkemih secara normal tidak Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 149 memerlukan pemasangan kateter maupun diapers. Dokumentasikan pada format bladder diary. Lanjutkan pada algoritma tahapan 2 jam kedua 2. Pada 2 jam kedua Pasien diberikan cairan 200 cc, kemudian setelah 2 jam pasien diminta berkemih dengan pemberian commode atau memfasilitasi pergi ke kamar mandi jika memungkinkan. Setelah pasien berkemih lakukan pemeriksaan denganbladder scan. Jika residu < 100 cc pasien tidak bisa merasakan berkemih lanjut pada tahap 2 jam ketiga. Jika residu < 100cc pasien dapat merasakan maka lanjutkan dengan tahap 2 jam ketiga. Dokumentasikan pada format bladder diary. Lanjutkan tahapan 2 jam ketiga. 3. Pada 2 jam ketiga. Pasien diberikan cairan 200 cc, kemudian diminta berkemih dengan pemberian commode atau memfasilitasi pergi ke kamar mandi jika memungkinkan. Lakukan pemeriksaanbladder scan. Jika residu < 100 cc pasien tidak bisa merasakan berkemih lakukan tahap. Jika residu < 100cc pasien dapat merasakan maka lanjutkan dengan tahapan. Jika hasil pasien ternyata pasien tidak bisa berkemih atau tidak merasakan berkemih, maka indikasi pemasangan kateter menetap atau kolaborasi dengan profesi lain untuk penatalaksanaan selanjutnya 5.2.3 Evaluasi No Evaluasi ( output/outcome) Alat Evaluasi 1 Kemampuan berkemih Format bladder diary 2 Peningkatan pengetahuan dan kepatuhan berkemih dengan penjadwalan berkemih Format bladder diary 5.3 Pembahasan Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik. Bladder training merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan kandung kemih yang mengalami Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 150 gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal (Japardi, 2002). Pengendalian kandung dan sfingter dilakukan agar terjadi pengeluaran urin secara kontinen. Latihan kandung kemih harus dimulai dahulu untuk mengembangkan tonus kandung kemih saat mempersiapkan pelepasan kateter yang sudah terpasang dalam waktu lama, dengan tindakan ini bisa mencegah retensi (Smeltzer & Bare, 2002). Tujuan dari bladder training adalah untuk melatih kandung kemih dan mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih (Potter dan Perry, 2000). Bladder Training dapat dilakukan pada pasien yang mengalami retensi urin, pada pasien anak yang terpasang kateter dalam waktu yang lama sehingga fungsi spingter kandung kemih terganggu (Suharyanto, 2008). Bladder training juga bisa dilakukan pada pasien yang menggunakan kateter yang lama, dan pasien yang mengalami inkontinensia urin. Bladder training terdiri dari beberapa kegiatan seperti:Conditioning, Masukan cairan, Stimulus, Kegel/ Pelvic Floor Muscle. Dokumentasi pelaksanaan bladder training dilakukan dengan menggunakan bladder diary. Blader diary merupakan suatu bentuk chart yang berisi catatan harian kemampuan berkemih pasien setiap harinya. Blader diary dilakukan setelah pasien maupun keluarga diberikan edukasi mengenai sistem berkemih dan fungsi traktur urinarius bagian bawah. Blader diary merupakan suatu upaya pengontrolan berkemih pada pasien yang terdiri dari : Training kebiasaan, perkemih terjadwal (timed voiding), berkemih atas perintah (prompted voiding). Blader diary berisi catatan mengenai jenis dan banyaknya cairan yang diintake, frekuensi berkemih dan kejadian inkotinensia urin. Dengan bladder diary kita dapat menegathui apakah pasien mengalami kejadian overeaktif bladder. Balder diary bsia membedakan anatar overeaktive blader dengan stress inkotinen sehingga penangan lebih lanjut dari kondisi pasien. Bladder training dilakukan pada pasien sebanyak 10 orang. Terbagi dalam 3 tahapan dimana masing-masing tahapan berlangsung setiap 2 jam. Pelaksanaan bladder dilakukan sesuai dengan algoritme yang ada dalam lampiran. Program inovasi dilakukan dalam waktu 2 minggu dengan hasil seluruh pasien mampu berkemih dengan sebagain besar diantara mereka melakukanya secara kontinen. Hasil akhir dari bladder training adalah semua pasien tidak perlu dipasang kateter ulang dan menetap. Keberhasilan bladder training dengan intake vairan, conditioning, urgency supresion dan kegel mampu membatu klien berkemih secara Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 151 optimal (Dora, 2011). Namun, pada observasi lebih lanjut yaitu 24 jam pertama ada 1 pasien yang akhirnya dipasang kateter ulang, kondisi ini dikarenakan pasien mengalami perburukan kondisi akibat perluasan infeksi. Kondisi diatas muncul sebagai akibat dari baru munculnya kepastian diagnosa pasien dengan infeksi medula spinalis ec TB. Pasien dengan kerusakan jaras somatosensorik pada C7-T12, dengan demikian terjadi kerusakan saraf yang menyebabkan ketidakmampuan untuk menahan spinkter BAK sehingga berkemih terus menerus maka terjadilah inkontinensia. Pada 2 jam tahap I hingga tahap III berhasil kemungkinan disebabkan keinginan pasien untuk dapat berkemih mandiri sehingga ketika pasien merasakan berkemih pasien langsung ke kamar mandi untuk mengeluarkan urine (Mardjono dan Sidharta, 2010). Berdasarkan pelaksanaan bladder training beberapa saran yang bisa diberikan diantaranya: Bladder training dapat dilakukan di tatanan pelayanan kesehatan untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial akibat dampak pemasangan kateter pada pasien dengan gangguan neurologis, perlu melibatkan keluarga dalam perawatan/penatalaksanaan inkontinensia urin dengan memberikan dukungan kepada pasien yang mengalami inkontenensia urine, seperti menemani pasien selama pelaksanaan berkemih, mendokumentasikan (masukan cairan, volume berkemih, kering/basah, nyeri pada saat berkemih, kesulitan berkemih), perlunya pengadaan bladder scan dan format bladder diary dalam pendokumentasian bladder training. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 152 Tabel 5.1 PENATALAKSANAAN BLADDER TRAINING PADA GANGGUAN NEUROLOGIS Pelepasan Kateter 2 jam pertama • Pemberian cairan 200 cc • Meminta pasien untuk berkemih dengan urinal bagi pasien laki-laki dan pistpot bagi pasien wanita • Pencatatan cairan yang keluar • Pemantauan lewat bladder scan Tidak mampu berkemih Hasil pengkajian Klien mampu berkemih Hasil bladder scan < 100 Bisa merasakan Tidak bisa merasakan Berkemih secara normal Pemasangan kateter kondom bagi pasien laki-laki atau diapers bagi pasien wanita • • • • Kegel exercise Urgency supression Conditioning Bladder diary 2 jam kedua • Pemberian cairan 200 cc • Pemberian kondisioning pada pasien antara lain pemakaian commode, memfasilitasi pasien untuk berkemih di kamar mandi. • Pencatatan cairan yang keluar • Pemantauan lewat bladder scan • Stimulusi perangsangan berkemih 2 jam ketiga • Pemberian cairan 200 cc • Pemberian kondisioning pada pasien antara lain pemakaian commode, memfasilitasi pasien untuk berkemih di kamar mandi. • Pencatatan cairan yang keluar • Pemantauan lewat bladder scan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 153 2 jam ketiga • Pemberian cairan 200 cc • Pemberian kondisioning pada pasien antara lain pemakaian commode, memfasilitasi pasien untuk berkemih di kamar mandi. • Pencatatan cairan yang keluar • Pemantauan lewat bladder scan Tidak mampu berkemih Hasil pengkajian Klien mampu berkemih Hasil bladder scan < 100 Pasang kateter menetap Bisa merasakan Tidak bisa merasakan • • • • Kegel exercise Urgency Supression conditioning Bladder diary Berkemih secara normal Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Pelaksanaan praktek residensi Keperawtaan Medikal Bedah (KMB) pemintaan Neurologi yang telah dilaksanakan selama 1 (satu) tahun memberikan pengalaman yang sangat bermanfaat, baik bagi praktikan maupun bagi pelayanan keperawatan. Selain mendapat kesemapatan mengaplikasikan teori keperawatan Roy Model Adaptation dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem persarafan, praktikan juga menjalankan peran sebagai peneliti, pendidik dan inovator. Selain itu praktikan juga mendapatkan pengalaman da kesempatan dalam berkolaborasi dengan semua disiplin ilmu karena dalam menejamen asuhan keperawatan, layanan diberikan dengan melibatkan semua sistem yang ada dalam ruang rawat. Beberapa kesimpulan yang bisa diberikan oleh praktikan diantaranya: a. Pemberian Asuhan keperawatan dengan menggunakan teori keprawatan Roy Model Adaptation sangat tepat diberikan pada pasien dengan gangguan sistem persarafan, tingginya defisit pada tubuh akan membuat pasien mengalami perubahan baik fisik maupun psikologi sehingga kondisi maladaptif akan rentan terjadi. Dibutuhkanlah suatu bentuk intervensi untuk meningkatkan mekanisme koping pasien sehingga perubahan perilaku dan stimulus bisa membuat pasien mampu beradaptasi secara adaptif terhadap penyakitnya. b. Salah satu manifestasi klinis pada pasien dengan gangguan sistem persarafan adalah immobilisasi, dimana salah satu dampaknya adalah adanya gangguan integumen seperti: ulkus decubitus. Pemberian pijat punggung dengan menggunakan Coopers model mampu mencegah kejadian awal atau keparahan dari ulkus decubitus pada pasien. Penerapan back massage: cooper model dalam pencegahan ulkus decubitus merupakan salah satu upaya praktikan untuk menerapkan peranya sebagai peneliti dan pendidik melalui penerapan Evidance Based Nursing. c. Peran praktikan sebagai inovator dilakukan dengan melakukan kegiatan inovasi berkelompok. Inovasi dilakukan dengan melakukan bladder training pada pasien gangguan sistem persarafan yang terpasang kateter urin. Hasil dari kegiatan inovasi adalah: bladder training mampu meningkatkan kemapuan berkemih pasien dna tidak perlu pemasangan kateter urin ulang. 154 Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 155 6.2 Saran Dari hasil kesimpulan diatas beberapa saran yang bisa diberikan oleh praktikan diantaranya: a. Model Adaptasi Roy dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam menerapakan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem persarafan. Dalam aplikasinya teori model ini bisa disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan ketersedian sumberdaya penunjang di ruangan. b. Perawat bisa mengaplikasikan back massage: coopers model sebagai salah satu intervensi untuk mencegah kejadian ulkus decubitus. c. Penggunaan bladder training sebagai salah satu intervensi keperawatan dalam menejemen eliminasi bladder pada pasien yang terpasang kateter. d. Bagi institusi pendidikan perlunya mengembangkan Evidance Based Nursing dalam upaya peningkatan pengetahuan dan kualitas profesi keperawatan e. Bagi profesi, perlunya meningkatkan motivasi perawat dalam meningkatkan keilmuan dan wawasan sehingga mampu menunjukkan sikap profesionalisme dalam keperawatan. . Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 DAFTAR PUSTAKA Andrea C., Adams. (2008). Mayo Clinic Essential Neurology. Mayo Foundation. ISBN-13 9781420079739. Ackley, B. J., & Ladwig, G. B. (2011). Nursing diagnosis handbook. 9th edition. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier Alligood & Tomey. Nursing Theorist and Their Work. Sixth edition. Philadelphia: Mosby Elsevier. Altschuler, V., & Diaz, L. (2006). Clinical How to Bladder Ultrasound.MEDSURG Nursing, 15(5): 317 – 318,diperoleh pada tanggal 15 Oktober 2011 Araich.M.A. (2001). Roy adaptation model: Demonstration of theory integration into process of care in coronary care unit. ICU Nurse Web Journal. http:/www. ICUs.Nusing.Jurnal.com Diperoleh 1April 2011 Jam 20.00 WIB. Bauer, B. A., Cutshall, S. M., Wentworth, L. J., Engen, D., Messner, P., Wood, C.M. (2010). Effect of massage therapy on pain, anxiety, and tension after cardiac surgery: A randomized study. Complementary Therapies in Clinical Practice, 16, 70–75. Beddoe, A. E., & Grose, S. (2010). Pressure Ulcers: Therapy – Surgery. Glendale: Cinahl Information Systems. Bernardt, J. (2008). Very early mobilization for following acute stroke: controversies, the unknowns, and a way forward. Ann Indian Acad Neurol, 11, S88-S98. Berman & Snyder. (2012).Fundamental of Nursing Concepts, Process and Practice. Kozier & Erb’s. Vol 2.Third Edition.Pearson Black, J. M., & Hawks, J. H. (2009). Medical surgical nursing clinical management for positive outcomes. 8th edition. St. Louis, Missouri: Saunders Elsevier Corwin, Elisabeth J. 2009. Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta : EGC Cunningham, D. A. (2002). Application of Roy’s adaptation model when caring for a group of women coping with menopause. Journal of Community Health Nursing, 19 (1), 4960. Davis, G. (2006). Blood pressure: anatomy and physiology in relation to drug therapies. Nurse Prescribing, 4 (9), 358-364 David A. Greenberg, Michael J. Aminoff, Roger P. Simon (2002). Clinical Neurology 5th edition. McGraw-Hill/Appleton & Lange. -. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Dawn, A., dan Marcus. (2007). Headache and Chronic Pain Syndromes. Humana Press Inc. e ISBN 1-59745-258-0. Deglin, J. H., & Vallerand, A. H. (2009). Davi’s drug guide for nurses. 11th edition. Philadelphia: F. A. Davis Company. DeLaune, S. C., & Ladner, P. K. (2002). Fundamentals of nursing: Standards & practice. 2th edition. USA: Delmar/Thomson Learning, Inc Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2010). Nursing care plans: guidelines for individualizing client care across the life span. 8th edition. Philadelphia: F. A. Davis Company. Doris. (2012). A Sistematic Litteratur Review of Incontinence Care for Person with Dementia The Researche Evidance. Austria. George, J.B. (1995). Nursing theories: The base for professional nursing practice, (4th Ed). USA: Appleton & Lange Harris, M., & Richards, K. C. (2010). The physiological and psychological effects of slowstroke back massage and hand massage on relaxation in older people. Journal of Clinical Nursing, 19, 917-926. Harsono.(1996).Buku Ajar Neurologi Klinis.Ed.I.Yogyakarta : Gajah Mada University Press Hickey.J,V,.(2003). The Clinical Practice of Neurological and Neurosurgical Nursing. Fifth Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Hwa Ching,etc (2005). Application of Portable Ultrasound Scanner in the Measurement of Post Void Residual Urine. ROC. Taiwan. Jamieson, K,et al(2010) Urinary dysfunction: assessment and management in stroke patients. Nursing Standard. 25, 3, 49-55. Date of acceptance: May 28 2010. Jepardi,I,. (2002). Manifestasi Neurologis Gangguan Miksi. htttp://.library.usu.ac.id/. Keogh, J. (2010). Nursing laboratory & diagnostic tests demystified. New York: McGrawHill Companies, Inc Kumar, A. 2005. Bacterial meningitis. Department of Pediatrics and HumanDevelopment Michigan State University. College of Medicine and En SparrowHospital. www.emedicine.com/PED/topic198.htmIgnatavicius, D. D., Workman, M. L, (2006), Medical surgical nursing : Critical thinking for collaborative care,5th-ed, Missouri : Elsevier Lewis Et all, 2007. Medical Surgical Nursing : Critical Thinking For Collaborative Care5th. Missiouri: Elsevier Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lumbantobing, 2012. Neurologi Klinik: pemeriksaan fisik dan mental.Jakarta, balai penerbit FKUI Mansjoer, A,.Suprohaita, Wardhani WI,.& Setiowulan, 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. Marilynn E., Doengoes. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta. EGC Mardjono & Sidharta (2010). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta. PT.Dian Rakyat. Martin A. Samuels M.D. (2004). Manual of Neurology Therapeutic. Lippincott Williams & Wilkins McKertich, K,.(2008). Urinary Incontinence. Assesment in Women : stress, Urge or Both?. Reprinted from Australian Family Physician Vol.37.No.3 , March 2008. Melodee Harris., dan Kathy C., Richards. (2009) jurnal internasional: The physiological and psychological effects of slow-stroke back massage and hand massage on relaxation in older people. Blackweel Publishing diunduh pada 5 Mei 2009 Jam 16.00 WIB Nanda. (2005-2006). Panduan Diagnosa Keperawatan. Prima medika. Newman, D.K., Gaines, T., & Snare, E (2005). Innovation in bladder assesment use of technology in extended care . Journal of Gerontological Nursing, diperoleh pada tanggal 15 Oktober 2011. NICE.(2012). Urinary Incontinence in Neurological Disease : Management of Lower Urinary Tract Dysfunction in Neurological Disease. NICE Guideline. Nursing and Residential Care. (2010). Causes and rehabilitation of urinary incontinence after stroke: a literature review.Clinical Review. October 2010, Vol 12, No 10. Perry and Potter. (2000). Buku Saku dan Keterampilan dan Prosedur Dasar, Edisi 3. EGC. Jakarta Price, S.A & Wilson. L.M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 vol 2. Jakarta: EGC Razonables R.R. 2005. Meningitis. Division of Infectious Diseases Department of Medicine. Mayo Clinic College ofMedicine.www.emedicine.com/med/topic2613.htmR eed Pamela, et all. 2004. Perspective on nursing theory. 4th edition. Philadelphia: lippincott Williams & wilkins Roy, S.,C,.(2009). The Roy Adaptation Model Third Editon.Pearson Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Santiagu, Stanley, etc (2008). Urinary Incontinence Pathofisiology and Management Outline. Australia Silbernagl S& Lang F (2007). Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta, EGC. Smeltzer C. Suzanne, (2002). Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3. volume 8. Jakarta, EGC. Snell,Richard. (2007). Neuroanatomi Klinik Mahasiswa Kedokteran.Edisi 5.Jakarta, EGC. Soemantri.E.S., (2001) Pedoman Pengobatan Penyakit TB, Bandung, FK UNPAD. Soeroto., 2000, Pengobatan TB Efek Samping Dan Penatalaksanaannya, Bandung, Lab IPD.Sub. Bag. Pulmonologi. FK UNPAD RSHS. Supriono dkk. (2011) . Jurnal : efektifitas pemberian masase punggung terhadap pencegahan dekubitus pada pasien tirah baring di rsud kajen kab pekalongan. diunduh pada 5 Mei 2009 Jam 16.00 WIB Teng., C.H., Huang, Y.H., & Kuo, B.J. (2005). Application Of Portable Ultrasound Scanner In The Measurement Of Post – Void Residual Urine. Journal of Nursing Research, 13 (3): 216 – 224, diunduh pada tanggal 15 Oktober 2011. Tucker, susan. M., et al. (1998). Standar Perawatan Pasien : proses keperawatan, diagnosis dan Evaluasi, Edisi V. Volume 3. Alih Bahasa. Yasmin. A., et al. Jakarta. EGC Unknown (2012). Urinary Incontinence in Neurological Desease : Management of Lower UT Dysfunction in Neurological Disease. NICE Guideline. Wenworth, laura etc.(2009). Massage Therapy ReducesTension, Anxiety, and Pain in Patients Awaiting Invasive Cardiovascular Procedure Rochester diunduh pada tanggal 9 Mei 2012 jam 18.00 WIB Walach, Harrach. (2003). Efficacy of Massage Therapy in Chronic Pain: A Pragmatic Randomized Trial. Freiberg. German. Diunduh pada tanggal 9 mei 2012 Jam 18.00 WIB Wilkinson, J. M. (2007). Buku saku diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC dan kriteria hasil NOC. (Widyawati...[et al.], Penerjemah). Jakarta: EGC Wong, Donna. (2003). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC Wyndaela. (2008). Conservative Treatment of Patient with Neurogenic Bladder. Elsebier. Belgia .........Available at www.geocities.ws/Bladder-training.ic diunduh jam 20.20 tanggal 20/9/2012 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 ---------. 2010. Assessing and treating bladder problems after stroke.Clinical Review. April 2010, Vol 12, No 4. .................http://keperawatan-gun.blogspot.com/2007/07/meningitis.html diunduh pada tanggal 20 April 2011 Jam 22.00 WIB ..................http://wadung.wordpress.com/2010/03/22/laporan-pendahuluan-meningitis/ diunduh pada tanggal 20 April 2011 Jam 21.00 WIB .................http://gudangkeperawatan.blogspot.com/2009/02/laporan-pendahuluan meningitis.html diunduh tanggal 21 April 2011 Jam 22.00 WIB ................http://keperawatangun.wordpress.com/2008/04/13/asuhan-keperawatan-padapasien-dengan-meningitis/ diunduh tanggal 20 April 2011 Jam 19.00 WIB ................. http://patofisiologi.wordpress.com/2010/12/01/meningitis/ diunduh tanggal 20 April 2011 Jam 22.00 WIB Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 1: PENGKAJIAN KEPERAWATAN DENGAN PEDEKATAN TEORI ADAPTASI ROY INFORMASI UMUM Nama/Inisial Umur Jenis kelamin Agama Suku : : : : : tahun L P Keluhan utama : Riwayat keluhan utama : 1. OKSIGENASI : : : : : RM Tgl MRS Tgl Pengkajian Dx. Medis PENGKAJIAN PERILAKU ADAPTASI FISIOLOGIS Interaksi Apakah mengalami: Batuk Produktif Tidak Produktif NUTRISI Status Pendidikan Pekerjaan Alamat Informan Dispnea Nyeri dada ............................................. ............................................. .......................................... Hipertensi Merokok Riwayat stroke Apakah mengalami: Anoreksia Mual Muntah Kesulitan mengunyah Kesulitan menelan Frekuensi makan: Jelaskan: ............................................. ............................................. ............................................. Jenis minuman yang dikonsumsi: Jelaskan: ............................................. ............................................. ............................................. Diet khusus: Ya Tidak ............................................. Pengamatan Sputum: Mukoid Mukopurulen Purulen Hemoptoe Membran mukosa: Pucat Sianosis Penggunaan otot assesori pernapasan: Ya Tidak Bunyi napas: Vesikuler Ronchi Wheezing Irama napas:............... Rambut: Berkilat Kering, kusam Mukosa bibir: Lembab Kering Conjungtiva: Pucat Merah Jaundice Pengukuran Jumlah sputum: ....... CRT:.........detik TD:.................mmHg N:...................x/menit S:....................oC P: ...................x/menit Jumlah rokok dalam sehari: .............................. Radiologi: .......................................... .......................................... Laboratorium: .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... BB: ..........kg TB: ..........cm IMT: ................ LL: ...................cm Laboratorium: .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... PENGKAJIAN STIMULUS Fokal: Kontekstual: Residual: Fokal: Kontekstual: Residual: : : : : ADAPTASI O Adaptif O Maladaptif Intoleransi aktivitas Bersihan jalan napas tidak efektif Kerusakan pertukaran gas Lain-lain: ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ................................... O Adaptif O Maladaptif Ketidakseimbang an nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh Ketidakseimbang an nutrisi: lebih dari kebutuhan tubuh Kerusakan menelan Lain-lain ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 1: ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. Penjelasan pasien: BAK: Tidak ada masalah Retensi Inkontinensia Frekuensi Disuria Perasaan terbakar Nokturia Lain-lain Jelaskan: ............................................. ............................................. ............................................. ELIMINASI BAB: Tidak ada masalah Konstipasi Diare Inkontinensia Nyeri Melena Lain-lain Jelaskan: ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. Apakah membutuhkan obatobatan untuk BAB/BAK? Jelaskan: ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. Urine: Bau: ....................... Warna: ................... Feses: Bau: ...................... Warna: .................. Distensi bladder Teraba scibala Ya Tidak Ya Tidak .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... Frekuensi dan jumlah urine: ................................ .......................................... .......................................... Frekuensi defekasi: .......................................... .......................................... Bising usus: .........x/menit Laboratorium: Urine: .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... Feses: .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... Fokal: Kontekstual: Residual: O Adaptif O Maladaptif Konstipasi Diare Inkontinensia: urine Inkontinensia: alvi Retensi Urine Lain-lain ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ................................... Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 1: PROTEKSI DAN PERLINDUNGAN AKTIVITAS/ISTIRAHAT Jenis aktivitas yang dilakukan: ............................................. ............................................. Adakah sesuatu yang membatasi aktivitas bapak/ibu? ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. Jam tidur biasa?................... Gangguan tidur: Ya Tidak Jelaskan: ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. Riwayat: Alergi Trauma ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. Keterbatasan: Tidak ada Kelemahan Kelelahan Lain-lain................ Tonus otot: Normal Menurun Meningkat Massa otot: Normal Atropi Hipertropi ROM terbatas: Ya Tidak Jelaskan: ................................... ................................................... ................................................... Hemiplegia: Ya Tidak Jelaskan:..................................... ................................................... ................................................... Hemiparese: Ya Tidak Jelaskan: ................................... ................................................... ................................................... Perubahan gaya berjalan: Pelan Sulit melangkah Kaki diseret Bahasa non verbal: Menguap Bayangan hitam di bawah mata Tidak dapat berkonsentrasi Kulit: Intak Lesi Dekubitus Luka Kering Lembab Lain-lain: ................................................... ................................................... Temperatur kulit: Panas Hangat Dingin Kekuatan otot: .......................................... .......................................... Kemampuan perawatan diri: Derajat ADLs: 0: Mandiri 1: Memerlukan alat bantu 2: Memerlukan bantuan orang lain 3: Memerlukan alat bantu dan bantuan orang lain 4: Tergantung [ ]Makan [ ]Mandi [ ]Merawat diri [ ]Berpakaian [ ]Penggunaan toilet [ ]Berpindah/Ambulasi Fokal: Luas luka: ........................ Fokal: Kontekstual: Residual: Kontekstual: Residual: O Adaptif O Maladaptif Kerusakan mobilitas fisik Kurang perawatan diri: mandi/ berpakaian/ makan/toileting Risiko cedera Gangguan pola tidur Lain-lain: ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ................................... O Adaptif O Maladaptif Kerusakan integritas kulit Risiko infeksi Risiko cedera Lain-lain: ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 1: CAIRAN DAN ELEKTROLIT SENSASI Apakah ada gangguan penglihatan? Tidak Kacamata Apakah ada gangguan pendengaran? Tidak Tuli [D/S] Alat bantu dengar [D/S] Kesulitan pengecapan dan penghidu: Ya Tidak ............................................. ............................................ Nyeri/ketidaknyamanan: Jelaskan: ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. Gangguan fisik pada: Mata Telinga Hidung Lidah Kulit Jelaskan: ................................................... ................................................... ................................................... ................................................... ................................................... Visus: ............................ Ekspresi wajah:.......................... Perilaku:..................................... ................................................... ................................................... Skala nyeri (1-10):...... Jumlah cairan yang dikonsumsi setiap hari:................................ Riwayat Hipertensi: Ya Tidak Pengobatan: ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. Apakah mengkonsumsi suplemen? Ya Tidak Jenis: ................................... Turgor kulit: Baik Menurun Edema: Ada Tidak ada TD: .......................mmHg N: .......................x/menit S: .......................oC P: ........................x/menit Lama mengalami gangguan: .......................................... .......................................... Sensasi: Nyeri [ ] Suhu [ ] Taktil [ ] Posisi [ ] Vibrasi [ ] EKG:................................. .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... Laboratorium: .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... Fokal: Kontekstual: Residual: Fokal: Kontekstual: Residual: O Adaptif O Maladaptif Nyeri akut Nyeri kronik Gangguan persepsi sensori.................. Lain-lain: ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ................................... O Adaptif O Maladaptif Kekurangan volume cairan Kelebihan volume cairan Risiko kekurangan volume cairan Lain-lain: ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ................................... Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 1: FUNGSI NEUROLOGI Apakah merasa ada perubahan dalam rentang perhatian?kewaspadaan? ingatan? ............................................. Apakah mengalami kesulitan menelan? Makan? Berjalan? ............................................. ............................................. ............................................. ............................................ Apakah pernah mengalami kejang? Kapan? Berapa kali? Berapa lama? ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................ Apakah mengalami tremor? Dimana? Berapa lama? ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. Status Mental Tingkat kesadaran: Compos mentis Apatis Somnolen Sopor Soporo-comatous Coma Skor GCS: E....M....V.......... Orientasi Disorientasi Waktu Ya Tidak Tempat Ya Tidak Orang Ya Tidak Memori: Segera Ya Tidak Jangka pendek Ya Tidak Jangka panjang Ya Tidak Bahasa: Disartria Afasia Disfonia Aleksia Nervus Cranial Normal Abnormal Gambarkan penyimpangan: .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... Refleks Fisiologis: Biseps: ............................ Triseps: ........................... Patella: ............................ Achilles: .......................... Patologis: Babinsky: ........................ Koordinasi dan Keseimbangan Tes telunjuk hidung:........ Iritasi Meningen: Kaku kuduk: Brudzinsky I: Brudzinsky II: Kernig sign: Laseque sign: Diagnostik: .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... ......................................... Fokal: O Adaptif O Maladaptif Perfusi jaringan serebral tidak efektif Gangguan proses pikir Kerusakan Komunikasi verbal Risiko disuse sindroma Kontekstual: ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ................................... Residual: Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 1: FUNGSI ENDOKRIN Riwayat: DM Masalah tiroid Pengobatan: ............................................. ............................................. ............................................. Apakah pengontrolan gula darah dilakukan secara teratur? ............................................. ............................................ Pembesaran tiroid Ya Tidak Tremor Ya Tidak Eksoftalmus Ya Tidak FISIK-DIRI 2. KONSEP DIRI Sensasi tubuh: Bagaimana perasaan bapak/ibu dengan penyakit yang dialami? ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. Citra tubuh: Apakah pernah mengalami perubahan fisik pada tubuh bapak/ibu? Ya Tidak Perubahan fisik yang dialami:................................ ............................................ Apakah bapak/ibu sulit menerima perubahan kondisi yang dialami? ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. Komunikasi non verbal: Tidak mau melihat bagian tubuh ................. Tidak mau menyentuh bagian tubuh ................. Penampilan: ................................................... ................................................... ................................................... ................................................... ................................................... Nadi dorsalis pedis[D/S] [normal/normal] [lemah/lemah] [negatif/negatif] Laboratorium: .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... Fokal: O Adaptif O Maladaptif Kurang pengetahuan Risiko cedera Lain-lain Kontekstual: Residual: PENGKAJIAN STIMULUS Fokal: Kontekstual: ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... ..................................... .................................. ADAPTASI O Adaptif O Maladaptif Gangguan citra tubuh Kelalaian unilateral Ansietas Risiko distress Spiritual Sedih kronik Keputusasaan Lain-lain ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 1: Konsistensi diri: Apa yang bapak/ibu lakukan jika mempunyai masalah? ............................. ............................................. ............................................. ............................................. Ekspresi perasaan: Menyalahkan diri Tidak berdaya Kesendirian Perasaan sedih yang sangat hebat Residual: ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. PERSONAL DIRI Ideal diri: Moral-etik-spiritual diri: Jenis aktivitas keagamaan yang diikuti: ............................................. ............................................. ............................................. Apakah merasa nyaman dengan aktivitas tersebut? Ya Tidak Alasan: ................................ ............................................. ............................................. ............................................. 3. FUNGSI PERAN Nilai dan praktek keagamaan selama sakit: ............................. ................................................... ................................................... ................................................... Frekuensi kehadiran dalam aktivitas keagamaan .......................................... .......................................... .......................................... .......................................... PENGKAJIAN STIMULUS ADAPTASI Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 1: Harapan keluarga/orang terdekat terhadap bapak/ibu? ............................................. ............................................. ............................................. Apakah mengekspresikan secara verbal, tindakan atau isyarat? ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. Pendapat bapak/ibu terhadap pengharapan orang lain: ............................................. ............................................. ............................................ Harapan bapak/ibu: ............................................. ............................................. ............................................. ............................................. Aktivitas klien ketika sakit: ................................................... ................................................... ................................................... ................................................... ................................................... Berapa lama waktu yang diluangkan dalam berbagai aktivitas.............. .......................................... .......................................... .......................................... Kontekstual: Residual: 4. INTERDEPENDENSI Anggota keluarga................. ............................................. ............................................. Paling dekat dengan ............ Alasan.................................. ............................................. Bagaimana menunjukkan kasih sayang dengan orang lain? ............................................. ............................................. Fokal: Respon non verbal saat berinteraksi dengan orang lain: ................................................... ................................................... ................................................... ................................................... ................................................... ................................................... ................................................... ................................................... ................................................... Berapa sering berinteraksi dengan keluarga?.............. .......................................... PENGKAJIAN STIMULUS Fokal: Kontekstual: Residual: O Adaptif O Maladaptif Penampilan peran tidak efektif Lain-lain ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ADAPTASI O Adaptif O Maladaptif Koping keluarga melemah Kesiapan dalam peningkatan koping keluarga Lain-lain ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. ................................. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 2: Evaluasi Keperawatan: Catatan Perkembangan Pada Tn. M dengan METB NO 1 WAKTU Selasa, 20 September 2012 DIAGNOSA KEPERAWATAN Ketidakefektifan perfusi jaringan serebri CATATAN PERKEMBANGAN 1. KET Respom perilaku a. Adaptif Pupil bulat isokor φ 3 / 3 mm, Muka menceng (-), Bicara pelo (-), Diaforesis (-), Relek patologis babinski /-, Hofman trumer: -/-,Caddock -/-, Openhem -/-,Lasiq : <70/<70 , kernig: <135/<135Tanda Vital :TD : 120/80 mmHg,suhu : 37,8 CNafas:20 x/menit. Nadi 82 x/menit, Rotgen: Tidak nampak kelainan radiologi pada cor dan pulmo, Imunoserologi (30/8/2012): HIV (-), Hepatitis marker: (-). b. Inefektif Nyeri kepala tidak terkaji, Kontak tidak adekaut, Kesan: ganguan fungsi luhur, GCS : E2M6Vafasia, Klien tampak mengatuk dan selalu menutup mata, Bed rest total, Terpasang foley kateter urin, Terpasang o2 3 lt/m, Kaku kuduk (+), Kesan: tertraparese, penurunan tonus dan krkustan otot, Hasil CT Scan : Penyangatan meningens sugestif meningitis. Tidak nampak lesi patologis intra parenkim srebri maupun serebelli, peningkatan kadar fibrinogen, riwayat kejang, penurunan Sao2 dan Pco2. Mikrobiologi (3/9/2012): BTA (+)Analisis cairan tubuh (13/9/2012) lumbal punksi: ditemukan kelaian MO 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. 2 Kerusakan mobilitas fisik Implementasi Memonitor status neurologi dan tanda – tanda peningkatan TIK Memonitor tanda-tanda vital Mengevaluasi pupil (ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksi terhadap cahaya ) Mengatasi peningkatan suhu tubuh Mempertahankan elevasi kepala tempat tidur 300 – 450. Mencegah terjadinya valsava manuver (mengedan saat BAB, pernafasan paksa, batuk terus menerus ) mempertahankan keadaan tirah baring Menciptakan lingkungan yang tenang Membatasi pengunjung/batasi aktivitas sesuai indikasi Kolaborasi pemberian obat-obatan seperti:IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jamDexamatason IV 2x5 mg, OMZ 40 mg 1x1 iv,B6 10 mgPo 3x1, Curcuma 200 mg 3x1 po Memantau pemeriksaan laboratorium/diagnosti ulangan atau awal seperti Ct Scan, MRI, hasil lumbal punksi. 1. Respom perilaku a. Adaptif Look : Deformitas (-), discolorisation (-), tidaka ada wound incisi pada dada dan tulang belakang, Feel : Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 tenderness (-), spasme pada kaki, Lasiq : <70/<70, kernig: <135/<135, Kontraktur (-),footdrop (-). b. Inefektif Move :tetrapaerse, Tonus otot : hipotonik pada ektremitas, TRM:Kakukudu (+),General weakness, Pemakaian kataer urin (+),Kekuatan otot :Pergerakan klien lemah dan terbatas, kesan tetrapaere Pergerakan klien lemah dan terbatas, Aktivitas klien dibantu oleh keluargaKlien tampak berusaha menggerakkan kaki namun tidak bisa, Ulkus decubitus der II dilumbosakrum der II 3 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi • Menempatkan pasien dalam posisi terapeutik • Memposisikan sejajar kepala dan leher • Menentukan keterbatasan gerak sendi dan pengaruh terhadap fungsi • menjelaskan kepada pasien/keluarga tentang tujuan dan rencana latihan sendi • Membantu pasien dalam melakukan ROM pasif atau ROM aktif • Membantu mengoptimalkan posisi tubuh saat ROM aktif/pasif • Menganjurkan pasien melakukan ROM secara teratur • Mengannjurkan pasien duduk di tempat tidur/kursi sesuai toleransi • Meberikan penguatan positif terhadap upaya melakukan latihan sendi • Kolaborasi fisioterapi untuk meningkatkan program latihan: Mika miki tiap 2 jam, Bed reclicling 1530, Positioning anti kontraktur dan anti decubitus, AROM dan PROM, Chest exercise • Menenentukan kesiapan pasien untuk berpartisipasi dalam aktivitas/latihan • Menjelaskan rasional setiap jenis latihan pada pasien/keluarga Respom perilaku a. Adaptif Penampilan bersih, baju diganti tiap 2 hari, dibantu diseka oleh orang lain, BAB 1x/hr . Defisit perawatan 1. diri total (mandi, makan, berpakaian dan toileting) b. Inefektif Terlihat beberapa daki, kuku panjang, rambut kusam. Klien tampak bed rest total, Barthe index: 3 (ketergantungan total), NGT (+), Klien tampak diseka oleh keluarga, Klien dibantu berpakaian oleh orang lain, Kesan: tetraparese, Terpasang foley kateter, Klien berpindah posisi dengan dibantu oleh orang lain, Kontak tidak adekuat, Penurunan kesadaran, Kesan: gangguan funsgi luhur, tolieting: kateter (+) 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi • Menkaji kemampauan ADL pasien Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 • • • • • 4 Kerusakan integritas kulit 1. Membantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan makan, minum, mandi, berpakaian,BAK, dan BAB) Meliibatkan keluarga dalam pemenuhan ADL pasien jika memungkinkan Menghindari mengerjakan sesuatu yang dapat dikerjakan pasien dan berikan bantuanbila diperlukan Mewaspadai terhadap tingkah laku impulsive karena gangguan dalam pengambilan keputusan Mempertahankan dukungan, sikap tegas, beri pasien waktu yang cukup untuk mengerjakan tugasnya. Dan berikan umpan balik positif atas usaha pasien yang telah dilakukan • Memberikan obat laksatif untuk mempermudah BAB Respom perilaku a. Adaptif Dilakukan rawat luka secara rutin b. Inefektif UD gr II disakrum diameter 5-8 cm, Kemerahan di punggung bawah dan skapula kanan, Immobilisasi 10 hari, Parese (+), Penurunan kesadaran : somnolen, Gangguan fungsi luhur, Immobilisasi, Terpasang restrain di kedua tangan, Personal Hygienen klien kurang optimal, ADL terbatas, Nutrisi menurun, Demam : 37,8 C, pengkajian skala norton: 9 (resti UD) 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi Pencegahan Alergi terhadap Latek • Mengoidentifikasi respon allergi / steven Johnson Perawatan Luka • Mengidentifikasi derajad luka • Menjelaskan pada klien dan keluarga bahaya pemakaian alat yang dapat meningkatkan kerusakan integritas kulit :bantal pemanas • Memberikan cairan dan nutrisi yang adekuat sesuai kondisi • melakukan perawatan luka sesuai kondisi, dan kolaborasi untuk pemberian terapi dan nutrisi yang adekuat Terapi: cutimed 1/2hari Pengelolaan Tekanan pada kulit • Memaasang kasur dekubitus / bantal angina cincin tumit bila diperlukan • Memobilisasi / ubah posisi tidur klien tiap 2 jam sesuai jadwal • Mengjarkan cara mobilisasi klien • Menjaga kebersihan kulit dan alat tenun klien agar tetap bersih, kering dan terhindar dari lipatan /kerutan • memberikan maasage: coopers model • memberikan minyak atau lotion: minyak kelapa Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 • • • • • 5 Resiko infeksi 1. mengjarkan pada keluarga melibatkan dan berikan motivasi pada keluarga untuk ikut dalam perawatan integumen klien menjaga kebersihan kulit dari daki dan spesimen tubuh yang lain merapikan linen membantu pemenuhan PH klien Respom perilaku a. Adaptif Rotgen: Tidak nampak kelainan radiologi pada cor dan pulmo, Imunoserologi (30/8/2012): HIV (-), Hepatitis marker: (-) b. Inefektif Intake nutrisi berupa diet bubur dan susu, jarang dihabiskan (2/3 dari porsi), Suhu : 37,8 C, Hasil CT Scan : Penyangatan meningens sugestif meningitis. Tidak nampak lesi patologis intra parenkim serebri maupun serebelli. Hemostasis (2/9/2012) Kadar fibrinogen H 490 mg/dl. Klien bedrest total sejak sekitar 30 hari yang lalu akibat tetrapaerse dan penurunan kesdaran. Dikatahuiadanya suspek METB, kaku kuduk (+), nyeri kepala saat masuk RS, penurunan kesadaran. Dari hasil pemeriksaan lab (28/8/2012) diketahui adanya peningkatan jumlah leukosit darah (12. 10-3 ). Mikrobiologi (3/9/2012): BTA (+).Analisis cairan tubuh (13/9/2012) lumbal punksi: ditemukan kelaian MO 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi Immunisasi/Vaksinasi • Mengkaji faktor yang meningkatkan resiko infeksi : lanjut usia, respon imun rendah dan malnutrisi • menganjurkan Klien& keluarga untuk meningkatkan pertahanan tubuh dengan immunisasi/vaksinasi Pengetahuan : pengendalian infeksi • mengajarkan pada klien & keluarga cara menjaga personal hygiene untuk melindungi tubuh dari infeksi : cara mencuci tangan yang benar. • Menganjurkan kepada keluarga/ pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan ruang klien • Menjelaskan kepada klien dan keluarga tanda dan gejala infeksi • Mengajarkan metode aman cara penyediaan, pengelolaan dan penyimpanan makanan / susu kpd klien & keluarga. • Kolaborasi dengan ahli gizi : asupan nutrisi TKTP:Blenderized 6x250 cc melalui sonde, Susu cair formula Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 dari RS 6x250 cc 6 Resiko cidera Pengendalian resiko infeksi • Memantau tanda dan gejala infeksi : peningkatan suhu tubuh, nadi, perubahan kondisi luka, sekresi, penampilan urine, penurunan BB, keletihan dan malaise. • Mempertahankan tehnik aseptik pada klien yang beresiko • Membersihkan alat / lingkungan dengan benar setelah dipergunakan klien • Mempertahankan tehnik isolasi bila diperlukan • Membatasi jumlah pengunjung bila diperlukan, dan anjurkan penggunaan APD pada klien dgn autoimun • Menganjurkan kepada klien minum obat antibiotika sesuai • Memberikan penkes kepada klien dan keluarga tentang cara program • mendorong klien untuk mengkonsumsi nutrisi dan cairan yg adekuat.penularan penyakit infeksi: transmisi secara seksual, oral, fekal, sekresi tubuh, kontak langsung, dan trankutaneus • Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi:Rifampisin 450 mg 1x1 po, INH 300 mg PO 1 x1, Pzd 500 mg PO 1 x2, Etambutol 500 mg PO 1 x 2 1. Respom perilaku a. Adaptif Tonus (-), Klonus (-), Aura kejang (-) b. Inefektif Kejang 2-3 kali selama MRS, Demam (+), Suhu: 37, 8 C, Statsu epileptikus, riwayat terapi fenitoin. Peningkatan dosis, TDM: 75 ab normal 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi Pencegahan cedera • Mengkaji factor resiko cedera • Mengidentifikasi kebutuhan keamanan klien sesuai kondisi dan fungsi kognitif klien • Mengajarkan pada klien & keluarga cara mengidentifikasi factor resiko cedera dan cara penanggulangannya • Melakukan tindakan emergency sesuai dengan kondisi : Kejang, hiperthermi, penurunan kesadaran, halusinasi, perdarahan dll Pengawasan keselamatan • Melaksanakan pengawasan secara intensif kepada klien yang berisiko terjadi cedera: Monitor TTV, GCS, hemodinamik. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 • • Memberikan cairan & nutrisi yang adekuat Mengkaji riwayat klien terkait factor risiko, dan Informasikan kepada dokter tentang perubahan yang terjadi : mis epitaksis, perubahan hemodinamik, irama DJJ, dll Pengelolaan lingkungan • Mengajarkan pada klien & keluarga tentang lingkungan yang aman : penerangan yg cukup, lantai tidak licin • Memasang pengaman tempat tidur pada klien anak atau klien yang gelisah/ penurunan kesadaran • Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapiPemberian OAE:Diazepam 10 mg b/p 1x1 iv, Depakene syr 900 mg 40 cc 4x1 po, Clobazam 10 mg 2x1 po, Fenobarbital 30 mg 1x1 po 7 Ketidakefetifan menejemen kesehatan diri 1. Respom perilaku a. Adaptif Penampilan rapi b. Inefektif Kegagalan regimen terapi fenotoin dalam kehidupan sehari-hari sehingga pasien menjalani terapi OAE dengan buruk: dosis meningkat tiba-tida dan sering putus obat, Adanya kesulitan biaya dalam terapi epilepsi dan pemeriksaan TDM ulang terhadap kadar fenitoin dalam darah.Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga mengenai perawatan dan terapi pada pasien. Barthe index: 3 (ketergantungan total 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. • • • • • • • • • Implementasi Menilai tingkat pengetahuan dan hal yang tidak diketahui pasien, menentukan kemampuan pasien untuk mempelajari informasi spesifik, memiilih alat/strategi pembelajaran yang tepat, mengevaluasi kemampuan pasien sesuai tujuan, Melibatkan keluarga/orang terdekat sesuai kebutuhan, Menidentifikasi kemungkinan penyebab, Memberikan informasi tentang kondisi sesuai kebutuhan, Memberikan informasi pada keluarga/orang terdekat, tentang perkembangan pasien, Mendiskusikan perubahan gaya, hidup yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi/mengontrol proses penyakit, Mendiskusikan pilihan terapi/penatalaksanaan, Mengjarkan pada pasien tentang tanda dan gejala yang dapat dilaporkan pada petugas, memberikan informasi tentang program rehabilitasi • • • Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 NO 1 WAKTU Rabu, 21 September 2012 DIAGNOSA KEPERAWATAN Ketidakefektifan perfusi jaringan serebri CATATAN PERKEMBANGAN 1. KET Respom perilaku a. Adaptif Pupil bulat isokor φ 3 / 3 mm, Muka menceng (-), Bicara pelo (-), Diaforesis (-), Relek patologis babinski /-, Hofman trumer: -/-,Caddock -/-, Openhem -/-,Lasiq : <70/<70 , kernig: <135/<135Tanda Vital :TD : 120/80 mmHg,suhu : 36,8 CNafas:20 x/menit Nadi 82 x/menit, oksigen dilepas, peningkatan GCS, sudah mulai kontak dan interaksi dengan orang lain, elevasi kepala (+). Tidak ada hasil pemeriksaan diagnostik baru. b. Inefektif Nyeri kepala (+), skala4-5. Dikepala bagian belakang, hilang timbul, lebih nayaman dengan lelevasi kepala 30 dan tidur dengan 1 bantal, Kontak mulai adekaut, Kesan: ganguan fungsi luhur, GCS : E3M6Vafasia, Klien tampak mengatuk namun mulai mau interaksi dengan orang lain, Bed rest total, Terpasang foley kateter urin, Kaku kuduk (+), Kesan: tertraparese, penurunan tonus dan kekustan otot 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi Memonitor nyeri kepala dan memberikan kenyamanan Melepas nasal kanul Memonitor status neurologi dan tanda – tanda peningkatan TIK Melanjutkan intervensi terdahulu Kolaborasi pemberian obat-obatan seperti:IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jamDexamatason IV 2x5 mg, OMZ 40 mg 1x1 iv,B6 10 mgPo 3x1, Curcuma 200 mg 3x1 po Memantau pemeriksaan laboratorium/diagnosti ulangan atau awal seperti Ct Scan, MRI, hasil lumbal punksi. 2 Kerusakan mobilitas fisik 1. Respom perilaku a. Adaptif Look : Deformitas (-), discolorisation (-), tidaka ada wound incisi pada dada dan tulang belakang, Feel : tenderness (-), spasme pada kaki, Lasiq : <70/<70, kernig: <135/<135, Kontraktur (-),footdrop (-).batuk (-) b. Inefektif Move :tetrapaerse, Tonus otot : hipotonik pada ektremitas , TRM:Kakukudu (+),General weakness, Pemakaian kataer urin (+),Kekuatan otot :Pergerakan klien lemah dan terbatas, kesan tetrapaere Pergerakan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 klien lemah dan terbatas, Aktivitas klien dibantu oleh keluargaKlien tampak berusaha menggerakkan kaki namun tidak bisa, Ulkus decubitus der II dilumbosakrum der II 3 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi • Melanjutkan intervensi terdahulu • Kolaborasi fisioterapi untuk meningkatkan program latihan: Mika miki tiap 2 jam, Bed reclicling 1530, Positioning anti kontraktur dan anti decubitus, AROM dan PROM, Chest exercise • Menenentukan kesiapan pasien untuk berpartisipasi dalam aktivitas/latihan • Menjelaskan rasional setiap jenis latihan pada pasien/keluarga • Mengkaji dampak fisik dan fisiologis lebih lanjut dari kondisi immobilisasi Respom perilaku a. Adaptif Penampilan bersih, baju diganti tiap 2 hari, dibantu diseka oleh orang lain, BAB 1x/hr .kuku bersih, rambut bersih dan rapi Defisit perawatan 1. diri total (mandi, makan, berpakaian dan toileting) b. Inefektif Klien tampak bed rest total, Barthe index: 3 (ketergantungan total), NGT (+), Klien tampak diseka oleh keluarga, Klien dibantu berpakaian oleh orang lain, Kesan: tetraparese, Terpasang foley kateter, Klien berpindah posisi dengan dibantu oleh orang lain, Kontak tidak adekuat, Penurunan kesadaran, Kesan: gangguan funsgi luhur, tolieting: kateter (+). Keluarga kurang mendukung perawatan pasien. 4 Kerusakan integritas kulit 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi • Melanjutkan intervensi terdahulu • Memastikan klien diseka dan diganti baju setiap hari • Memotong kuku dan mengkramasi pasien • Melibatkan keluarga dalam perawatan dan kebersihan keluarga • Memberikan motivasi keluarga untuk mendukung perawatan pasien Respom perilaku a. Adaptif Dilakukan rawat luka secara rutin, alergi (-), cutimed 1x/2hr. Intake Cairan dan nutrisi adekuat. NGT (+). Kasur decu (+).positioning (+), massage (+) b. Inefektif UD gr II disakrum diameter 5-8 cm, Kemerahan di punggung bawah dan skapula kanan, Immobilisasi 10 1. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 hari, Parese (+), Penurunan kesadaran : somnolen, Gangguan fungsi luhur, Immobilisasi, Terpasang restrain di kedua tangan, Personal Hygienen klien kurang optimal, ADL terbatas, Nutrisi menurun, Demam : 37,8 C, pengkajian skala norton: 9 (resti UD) 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi • Melanjutkan intervensi terdahulu • Memberikan positioning • Memberikan massage: cooper model • Melibatkan keluarga • Memberikan motivasi pda psien dan keluarga 5 Resiko infeksi 1. Respom perilaku a. Adaptif Suhu: 36,8. Demam (-). OAT (+).Intake nutrisi berupa diet bubur dan susu: dihabiskan b. Inefektif Hasil CT Scan : Penyangatan meningens sugestif meningitis. Tidak nampak lesi patologis intra parenkim srebri maupun serebelli. Hemostasis (2/9/2012) Kadar fibrinogen H 490 mg/dl. Klien bedrest total sejak sekitar 30 hari yang lalu akibat tetrapaerse dan penurunan kesdaran. Dikatahuiadanya suspek METB, kaku kuduk (+), nyeri kepala saat masuk RS, penurunan kesadaran. Dari hasil pemeriksaan lab (28/8/2012) diketahui adanya peningkatan jumlah leukosit darah (12. 10-3 ) 6 Resiko cidera 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi • Melanjutkan intervensi terdahulu • Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi:Rifampisin 450 mg 1x1 po, INH 300 mg PO 1 x1, Pzd 500 mg PO 1 x2, Etambutol 500 mg PO 1 x 2 1. Respom perilaku a. Adaptif Tonus (-), Klonus (-), Aura kejang (-), suhu: 36,8. OAE (+).135Tanda Vital :TD : 120/80 mmHg,suhu : 36,8 C Nafas:20 x/menit Nadi 82 x/menit b. Inefektif Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Kejang 2-3 kali selama MRS, , Statsu epileptikus, riwayat terapi fenitoin. Peningkatan dosis, TDM: 75 ab normal. Kesan: gangguan fungsi luhur, . GCS: E3M6V afasia 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi • Melanjutkan intervensi terdahulu • Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapiPemberian OAE:Diazepam 10 mg b/p 1x1 iv, Depakene syr 900 mg 40 cc 4x1 po, Clobazam 10 mg 2x1 po, Fenobarbital 30 mg 1x1 po 7 Ketidakefetifan menejemen kesehatan diri 1. Respom perilaku a. Adaptif Penampilan rapi b. Inefektif Kegagalan regimen terapi fenotoin dalam kehidupan sehari-hari sehingga pasien menjalani terapi OAE dengan buruk: dosis meningkat tiba-tida dan sering putus obat, Adanya kesulitan biaya dalam terapi epilepsi dan pemeriksaan TDM ulang terhadap kadar fenitoin dalam darah.Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga mengenai perawatan dan terapi pada pasien. Barthe index: 3 (ketergantungan total 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi • kontrak edukasi terstruktur: terapo mobilisasi, pencegahan dan pengamanan kejang, penyakit dan perawtaan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 NO 1 WAKTU Kamis, 22 September 2012 DIAGNOSA KEPERAWATAN Ketidakefektifan perfusi jaringan serebri CATATAN PERKEMBANGAN 1. KET Respom perilaku a. Adaptif Pupil bulat isokor φ 3 / 3 mm, Muka menceng (-), Bicara pelo (-), Diaforesis (-), Relek patologis babinski /-, Hofman trumer: -/-,Caddock -/-, Openhem -/-,Lasiq : <70/<70 , kernig: <135/<135Tanda Vital :TD : 120/80 mmHg,suhu : 36,5 CNafas:20 x/menit Nadi 80 x/menit, oksigen dilepas, peningkatan GCS, sudah mulai kontak dan interaksi dengan orang lain, elevasi kepala (+).Kaku kuduk (-). Penurunan skala nyeri kelapa. b. Inefektif Nyeri kepala (+), skala3-4. Dikepala bagian belakang, hilang timbul, lebih nayaman dengan lelevasi kepala 30 dan tidur dengan 1 bantal, Kontak mulai adekaut, Kesan: ganguan fungsi luhur, GCS : E3M6Vafasia, Klien tampak mengatuk namun mulai mau interaksi dengan orang lain, Bed rest total, Terpasang foley kateter urin, Kesan: tertraparese, penurunan tonus dan kekustan otot 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi Memonitor nyeri kepala dan memberikan kenyamanan Mengkaji kakukuduk Memonitor status neurologi dan tanda – tanda peningkatan TIK Melanjutkan intervensi terdahulu Kolaborasi pemberian obat-obatan seperti:IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jamDexamatason IV 2x5 mg, OMZ 40 mg 1x1 iv,B6 10 mgPo 3x1, Curcuma 200 mg 3x1 po Memantau pemeriksaan laboratorium/diagnosti ulangan atau awal seperti Ct Scan, MRI, hasil lumbal punksi. 2 Kerusakan mobilitas fisik 1. Respom perilaku a. Adaptif Look : Deformitas (-), discolorisation (-), tidaka ada wound incisi pada dada dan tulang belakang, Feel : tenderness (-), spasme pada kaki, Lasiq : <70/<70, kernig: <135/<135, Kontraktur (-),footdrop (-).batuk (-) b. Inefektif Move :tetrapaerse, Tonus otot : hipotonik pada ektremitas , TRM:Kakukudu (+),General weakness, Pemakaian kataer urin (+),Kekuatan otot :Pergerakan klien lemah dan terbatas, kesan tetrapaere Pergerakan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 klien lemah dan terbatas, Aktivitas klien dibantu oleh keluargaKlien tampak berusaha menggerakkan kaki namun tidak bisa, Ulkus decubitus der II dilumbosakrum der II 3 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi • Melanjutkan intervensi terdahulu • Kolaborasi fisioterapi untuk meningkatkan program latihan: Mika miki tiap 2 jam, Bed reclicling 1530, Positioning anti kontraktur dan anti decubitus, AROM dan PROM, Chest exercise • Menenentukan kesiapan pasien untuk berpartisipasi dalam aktivitas/latihan • Meminta dukungan keluarga dalam terapi mobilisasi pasien • Memberikan motivasi pada pasien dan keluarga Respom perilaku a. Adaptif Penampilan bersih, baju diganti tiap 2 hari, dibantu diseka oleh orang lain, BAB 1x/hr .kuku bersih, rambut bersih dan rapi Defisit perawatan 1. diri total (mandi, makan, berpakaian dan toileting) b. Inefektif Klien tampak bed rest total, Barthe index: 3 (ketergantungan total), NGT (+), Klien tampak diseka oleh keluarga, Klien dibantu berpakaian oleh orang lain, Kesan: tetraparese, Terpasang foley kateter, Klien berpindah posisi dengan dibantu oleh orang lain, Kontak tidak adekuat, Penurunan kesadaran, Kesan: gangguan funsgi luhur, tolieting: kateter (+). Keluarga kurang mendukung perawatan pasien. 4 Kerusakan integritas kulit 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi • Melanjutkan intervensi terdahulu • Memastikan klien diseka dan diganti baju setiap hari • Melibatkan keluarga dalam perawatan dan kebersihan keluarga • Memberikan motivasi keluarga untuk mendukung perawatan pasien Respom perilaku a. Adaptif Dilakukan rawat luka secara rutin, alergi (-), cutimed 1x/2hr. Intake Cairan dan nutrisi adekuat. NGT (+). Kasur decu (+).positioning (+), massage (+) b. Inefektif UD gr II disakrum diameter 5-8 cm, Kemerahan di punggung bawah dan skapula kanan, Immobilisasi 10 hari, Parese (+), Penurunan kesadaran : somnolen, Gangguan fungsi luhur, Immobilisasi, Terpasang restrain 1. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 di kedua tangan, Personal Hygienen klien kurang optimal, ADL terbatas, Nutrisi menurun, Demam : 37,8 C, pengkajian skala norton: 9 (resti UD) 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi • Melanjutkan intervensi terdahulu • Memberikan positioning • Memberikan massage: cooper model • Melibatkan keluarga • Memberikan motivasi pada psien dan keluarga 5 Resiko infeksi 1. Respom perilaku a. Adaptif Suhu: 36,5 c. Demam (-). OAT (+).Intake nutrisi berupa diet bubur dan susu: dihabiskan. Punksi lumbal: MO (-) b. Inefektif Kadar fibrinogen H 490 mg/dl. Klien bedrest total sejak sekitar 30 hari yang lalu akibat tetrapaerse dan penurunan kesdaran. Dikatahuiadanya suspek METB, kaku kuduk (+), nyeri kepala saat masuk RS, penurunan kesadaran. Dari hasil pemeriksaan lab (28/8/2012) diketahui adanya peningkatan jumlah leukosit darah (12. 10-3 ) 6 Resiko cidera 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi • Melanjutkan intervensi terdahulu • Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi:Rifampisin 450 mg 1x1 po, INH 300 mg PO 1 x1, Pzd 500 mg PO 1 x2, Etambutol 500 mg PO 1 x 2 1. Respom perilaku a. Adaptif Tonus (-), Klonus (-), Aura kejang (-),. OAE (+).135Tanda Vital :TD : 120/80 mmHg,suhu : 36,5 CNafas:20 x/menit Nadi 80 x/menit b. Inefektif Kejang 2-3 kali selama MRS, , Statsu epileptikus, riwayat terapi fenitoin. Peningkatan dosis, TDM: 75 ab Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 normal. Kesan: gangguan fungsi luhur, . GCS: E3M6V afasia 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi • Melanjutkan intervensi terdahulu • Merencanakan pemeriksaan TDM ulang • Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapiPemberian OAE:Diazepam 10 mg b/p 1x1 iv, Depakene syr 900 mg 40 cc 4x1 po, Clobazam 10 mg 2x1 po, Fenobarbital 30 mg 1x1 po 7 Ketidakefetifan menejemen kesehatan diri 1. Respom perilaku a. Adaptif Penampilan rapi b. Inefektif Kegagalan regimen terapi fenotoin dalam kehidupan sehari-hari sehingga pasien menjalani terapi OAE dengan buruk: dosis meningkat tiba-tida dan sering putus obat, Adanya kesulitan biaya dalam terapi epilepsi dan pemeriksaan TDM ulang terhadap kadar fenitoin dalam darah.Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga mengenai perawatan dan terapi pada pasien. Barthe index: 3 (ketergantungan total 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. • • • • • • • Implementasi Melanjutkan intervensi terdahulu Membuat SAP edukasi Memberikan edukasi mengenai ROM dan chest thrust Meminta dukungan keluarga Mengkaji pemahaman pasien dan keluarga Memberikan motivasi pada pasien dan keluarga untuk melakukan edukasi Mengobservasi pelaksanaan edukasi terhdapa perawatn pasien Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 NO 1 WAKTU Jumat, 23 September 2012 DIAGNOSA KEPERAWATAN Ketidakefektifan perfusi jaringan serebri CATATAN PERKEMBANGAN 1. KET Respom perilaku a. Adaptif Pupil bulat isokor φ 3 / 3 mm, Muka menceng (-), Bicara pelo (-), Diaforesis (-), Relek patologis babinski /-, Hofman trumer: -/-,Caddock -/-, Openhem -/-,Lasiq : <70/<70 , kernig: <135/<135Tanda Vital :TD : 120/80 mmHg,suhu : 36,5 CNafas:20 x/menit Nadi 80 x/menit. b. Inefektif Nyeri kepala (+), skala3-4. Dikepala bagian belakang, hilang timbul, lebih nayaman dengan lelevasi kepala 30 dan tidur dengan 1 bantal, Kontak mulai adekaut, Kesan: ganguan fungsi luhur, GCS : E3M6Vafasia, Klien tampak mengatuk namun mulai mau interaksi dengan orang lain, Bed rest total, Terpasang foley kateter urin, Kesan: tertraparese, penurunan tonus dan kekustan otot 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. 2 Kerusakan mobilitas fisik Implementasi Memonitor nyeri kepala dan memberikan kenyamanan Mengkaji kakukuduk Memonitor status neurologi dan tanda – tanda peningkatan TIK Melanjutkan intervensi terdahulu Kolaborasi pemberian obat-obatan seperti:IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jamDexamatason IV 2x5 mg, OMZ 40 mg 1x1 iv,B6 10 mgPo 3x1, Curcuma 200 mg 3x1 po 1. Respom perilaku a. Adaptif Lasiq : <70/<70, kernig: <135/<135, Kontraktur (-),footdrop (-). b. Inefektif Move :tetrapaerse, Tonus otot : hipotonik pada ektremitas , TRM:Kakukudu (+),General weakness, Pemakaian kataer urin (+),Kekuatan otot :Pergerakan klien lemah dan terbatas, kesan tetrapaere Pergerakan klien lemah dan terbatas, Aktivitas klien dibantu oleh keluargaKlien tampak berusaha menggerakkan kaki namun tidak bisa, Ulkus decubitus der II dilumbosakrum der II 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 3. 3 Defisit perawatan 1. diri total (mandi, makan, berpakaian dan toileting) Implementasi • Melanjutkan intervensi terdahulu • Kolaborasi fisioterapi untuk meningkatkan program latihan: Mika miki tiap 2 jam, Bed reclicling 1530, Positioning anti kontraktur dan anti decubitus, AROM dan PROM, Chest exercise • Menenentukan kesiapan pasien untuk berpartisipasi dalam aktivitas/latihan • Meminta dukungan keluarga dalam terapi mobilisasi pasien • Memberikan motivasi pada pasien dan keluarga Respom perilaku a. Adaptif Penampilan bersih, baju diganti tiap 2 hari, dibantu diseka oleh orang lain, BAB 1x/hr .kuku bersih, rambut bersih dan rapi b. Inefektif Klien tampak bed rest total, Barthe index: 3 (ketergantungan total), NGT (+), Klien tampak diseka oleh keluarga, Klien dibantu berpakaian oleh orang lain, Kesan: tetraparese, Terpasang foley kateter, Klien berpindah posisi dengan dibantu oleh orang lain, Kontak tidak adekuat, Penurunan kesadaran, Kesan: gangguan funsgi luhur, tolieting: kateter (+). Keluarga kurang mendukung perawatan pasien. 4 Kerusakan integritas kulit 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi • Melanjutkan intervensi terdahulu • Memastikan klien diseka dan diganti baju setiap hari • Melibatkan keluarga dalam perawatan dan kebersihan keluarga • Memberikan motivasi keluarga untuk mendukung perawatan pasien Respom perilaku a. Adaptif Dilakukan rawat luka secara rutin, alergi (-), madi1x/hr. Intake Cairan dan nutrisi adekuat. NGT (+). Kasur decu (+).positioning (+), massage (+) b. Inefektif UD gr II disakrum diameter 5-8 cm, Kemerahan di punggung bawah dan skapula kanan, Immobilisasi 10 hari, Parese (+), Penurunan kesadaran : somnolen, Gangguan fungsi luhur, Immobilisasi, Terpasang restrain di kedua tangan, Personal Hygienen klien kurang optimal, ADL terbatas, Nutrisi menurun, Demam : 37,8 C, pengkajian skala norton: 9 (resti UD) 1. 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 3. Implementasi • Melanjutkan intervensi terdahulu • Memberikan positioning • Memberikan massage: cooper model • Melibatkan keluarga • Memberikan motivasi pada psien dan keluarga • Rencanan: skin graft, rawat luka dilakukan oleh dr bedah dengan madu 5 Resiko infeksi 1. Respom perilaku a. Adaptif Suhu: 36,5 c. Demam (-). OAT (+).Intake nutrisi berupa diet bubur dan susu: dihabiskan. Punksi lumbal: MO (-) b. Inefektif Kadar fibrinogen H 490 mg/dl. Klien bedrest total sejak sekitar 30 hari yang lalu akibat tetrapaerse dan penurunan kesdaran. Dikatahuiadanya suspek METB, kaku kuduk (+), nyeri kepala saat masuk RS, penurunan kesadaran. Dari hasil pemeriksaan lab (28/8/2012) diketahui adanya peningkatan jumlah leukosit darah (12. 10-3 ) 6 Resiko cidera 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. Implementasi • Melanjutkan intervensi terdahulu • Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi:Rifampisin 450 mg 1x1 po, INH 300 mg PO 1 x1, Pzd 500 mg PO 1 x2, Etambutol 500 mg PO 1 x 2 1. Respom perilaku a. Adaptif Tonus (-), Klonus (-), Aura kejang (-),. OAE (+).135Tanda Vital :TD : 120/80 mmHg,suhu : 36,5 CNafas:20 x/menit Nadi 80 x/menit b. Inefektif Kejang 2-3 kali selama MRS, , Statsu epileptikus, riwayat terapi fenitoin. Peningkatan dosis, TDM: 75 ab normal. Kesan: gangguan fungsi luhur, . GCS: E3M6V afasia. Tdm tidak jadi dilakukan karena biaya 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 3. Implementasi • Melanjutkan intervensi terdahulu • Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapiPemberian OAE:Diazepam 10 mg b/p 1x1 iv, Depakene syr 900 mg 40 cc 4x1 po, Clobazam 10 mg 2x1 po, Fenobarbital 30 mg 1x1 po 7 Ketidakefetifan menejemen kesehatan diri 1. Respom perilaku a. Adaptif Penampilan rapi b. Inefektif Kegagalan regimen terapi fenotoin dalam kehidupan sehari-hari sehingga pasien menjalani terapi OAE dengan buruk: dosis meningkat tiba-tida dan sering putus obat, Adanya kesulitan biaya dalam terapi epilepsi dan pemeriksaan TDM ulang terhadap kadar fenitoin dalam darah.Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga mengenai perawatan dan terapi pada pasien. Barthe index: 3 (ketergantungan total 2. Analisis: berdaptasi secara terkompensasi 3. • • • • • • • Implementasi Melanjutkan intervensi terdahulu Membuat SAP edukasi Memberikan edukasi mengenai penenganan kejang, massage , positioning dll Meminta dukungan keluarga Mengkaji pemahaman pasien dan keluarga Memberikan motivasi pada pasien dan keluarga untuk melakukan edukasi Mengobservasi pelaksanaan edukasi terhdapa perawatn pasien Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: LAPORAN PASIEN RESUME RESUME KASUS KE-1 1. Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn S, No RM : 366-40-87, Umur : 51 Tahun, Pekerjaan: Pedagang, Diagnosa Medik: Stroke Iskemik.Sejak 1 minggu yang lalu klien mengatakan sering menguap dan mengatuk. Seringkali keluar air liur saat minum dari sudut mulut sebelah kiri. Sekitar 3 hari sebelum MRS klien mengeluh pusing. Pada tanggal 20 Februari 2012 klein tibatiba bicara pelo dengan mulut menceng kekanan ketika sedang berjualan dikiosnya. Kemudian oleh istri dan anaknya klien dibawa ke Poli RSCM, kemudian disarankan untuk rawat inap. Klien mengalami CVA iskemik serangan pertama dan hipertensi tipe II tidak terkontrol.Ada riwayat stroke dengan hipertensi dari orang tua klien. 2. Pengkajian Pengkajian perilaku: mode fisiologis: Adapatasi fisiologi: Oksigenasi : Tidak ada: sesak, batu dan nyeri dada. Ada riwayat merokook dan hipertensi grade II. klien menghabiskan 1 bungkus dalam 2 hari. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai berikut: tekanan darah : 150/90 mmHg, nadi :78 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : EKG: prolonged QT , radiologi: kardiomegali dengan IVH, paru dalam batas normal. Nutrisi: Tidak ada pembatasan makan. Tidak ada mual, muntah dan anoreksia. Terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb dalam batas normal (17). BB: 78 kg, TB: 176 cm. Eliminasi :Tidak terpasang kateter. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin output: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan mandiri. Toileting dibantu oleh keluarga dilakukan dengan berjalan ke kamar mandi. Tonus dan kekuatan otot klien normal. Tidak ada gangguan tidur. Proteksi :Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (8,6). Sensasi: Tidak ada gangguan pada pancaindera. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Ada keluhan pusing (nyeri kepala) skala 5-6 (sedang). Ekspresi wajah: menceng kekanan dengan perilaku bicara pelo.Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam. Hipertensi grade II dengan pengobatan captopril 2x 12,5 mg PO. Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Parese nervus kranial pada N VII dan N XIIReflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigidKekuatan otot: 55555555/55555555. CT scan : infark periventrikel lateralis kanan. Keluhan : mual, psuing, tidak ada pupil edema.Endokrin :Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 100 (dbn). Mode Adaptasi konsep diri: Fisik diri: Ada perubahan pada diri klien dimana bicara nya menjadi pelo dan muka masih menceng ke kanan. Kondisi ini membuat klien tidak nyaman dan malu. Namun klien yakin akan secepatnya sembuh. Dan menggannggap perubahan tersebut hanya sementara dan yakin akan kembali ke kondisi awal.Personal diri :selama di RS klien rajin untuk sholat diatas tempat tidur. Kalau ada masalah klien lebih suka diskusi dengan istrinya.Fungsi peran: Selama sakit klien tidak bisa berjualan di kiosnya. Padahal klien adalah kepala keluarga. Meskipun kedua anaknya sudah besar namun klien mempunyai tanggungan menikahkan kedua anakanya tahun ini. Klien ingin cepat sembuh dan pulang. Bisa secepatnya mempersiapkan pernikahan anaknya terutama dari segi pembiayaan. Kedua anaknya ingin menikah secara bersamaan dan memberitahukan ke klien mendadadk dengan perencanaan pada tahun yang sama klien dan istrinya bermaksud mau naik haji. Ada kekhawatiran dimana klien akan mengalami masalah pembiayaan ekonomi untuk semua urusan tersebut.Interdepensi :Klien menikah dan tinggal dengan istri dan kedua anaknya yang beranjak dewasa. Klien paling dekat dengan istrinya. Setiap hari istrinya menemani di RS dan anaknya secara bergantian menjenguk. Keluarga sanagt mendukung agar klien secepatnya sembuh. Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: Terjadi infark di ventrikel lateralis kiri. Muncul defisit neurologi berupa: parese nervus VII dan XII berupa muka menceng ke kanan dan bicara pelo. Ada mual dan nyeri kepala (pusing) skala sedang. Terjadi peningkatan tekanan darah. Ada permaslahan psikologi pada klien terkait ekonomi dengan rencana kedua ankanya yang menikah dan naik haji pada tahun yang sama.Stimulus kontekstual: Riwayat hipertensi grade II tidak terkontrol. Stimulus residual: Klien belum tahu dampak dari merokok. Klien belum tahu menejemen stree. Klien belum tahu pengontrolan hipertensi dan perawatan (gaya hidup) pasien psot stroke 3. Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut :Perubahan perfusi jaringan serebri berhubungan dengan interuosi aliran darah ke otak, Resiko hambatan komunikasi verbal berhubuungan dengan gangguan pada SSP sekunder terhadap gangguan sirkulasi ke otak, kurang pengetahuan tentang proses penyakit berhungan dengan kurang informasi. 4. Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neuroli, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, melakukan pemeriksaan ABI, membantu memberikan mobilisasi duduk, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengurangi nyeri dengan memberika teknik distraksi relaksasi : relaksasi benson, mengkaji kemampuan bicara, menulis klien, mengkaji penyebab ketidakmampuan komunikasi pada klien, memfasilitasi alat bantu komunikasi terutama komunikasi non verbal, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Sca, MRI dll., membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memebrikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, kolaborasi: terapi okupasi wicara, medikasi : simvastati 1x10 mg, ascardia: 1x80, B6B12AF, citicolin 2x 500 mg iv, captopril 2x120, pct k/p. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: 5. Evaluasi S: klien mngatakan pusing sudah berkurang dan sudah tidak mual, O: tidak ada tanda valsava menuver, TD :140/90mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, pelo dan menceng pada muka berkurang, tidak ada gangguan menelan. Komunikasi bisa lebih lancar. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: terapi wicara, pengontrolan terutama hipertensi dan pencegahan serangan stroke berulang RESUME KASUS KE-2 1. Informasi umum Nama : Tn H, No RM : 98610112, Umur:32 Tahun, Pekerjaan: sales obat, Diagnosa Medik: meningioma recurrens. Sekitar 6 tahun yang lalu klien mengeluhkan sakit kepala semakin bertambah bila dipakai batuk dan mengejan. Mengalami kejang dan tidak sadarkan diri beberapa kali. Setelah sadar bicaranya mengacau.setelah diperiksakan ternyata klien mempunya tumor otak. Dilakukan pengangkatan tumor dan setelah itu diberikan fenitoin 3x1000 g secara teratur. Sekitar 9 bulan yang lalu setelah operasi yang pertama muncul keluhan cepalgia dan menglami sinkope beberapa kali kemudian dilakukan pemeriksaan ternyata tumor tumbuh kembali lalu diadakan operasi pengangkatan tumor yang kedua. Pengobatan fenitoin sampai 3 bulan namun putus obat karena klien tinggal sendiri. Sekitar 2 hari SMRS klien mengalami serangan kejang. Mata mendelik keatas diikuti kejang seluruh tubuh selama 10 menit. Kemudian oleh istrinya dibawa ke UGD RSCM setelah 2 hari disana kemudian dipindahkan ke lantai V ruang 520 D dengan diagnosa epilepsi ec meningioma recurens. 2. Pengkajian Pengkajian perilaku : mode adaptasi fisiologis. Oksigenasi : Tidak ada: sesak, batu dan nyeri dada. Tidak ada riwayat merokok dan hipertensi . Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi :78 x/m, RR: 18 x/m, suhu: 36 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : MRI: tumor dextra aksial parietal midline kemungkinan meningioma falx cerebri. CT Scan : massa ekstrasel fronto parietal dan edema frontal. Nutrisi: Tidak ada pembatasan makan. Mual(+), tidak ada muntah dan anoreksia. Tidak ada gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb dalam batas normal (17). BB: 80 kg, TB: 179 cm. Klien cegukan hampir setiap saat. Eliminasi : Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada klelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan mandiri. Toileting dibantu oleh keluarga dilakukan dengan berjalan ke kamar mandi. Tonus dan kekuatan otot klien normal. Tidak ada gangguan tidur. Proteksi : Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (9). Sensasi: Tidak ada gangguan pada pancaindera. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Ada keluhan pusing (nyeri kepala) skala 3-4 (ringan). Ekspresi wajah: proporsional. Bicara lancar. Tidak ada pelo, afasia dan disartria.Cairan elektrolit: Minum oral. Tidak terpasang IV line. Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+. Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Parese nervus kranial pada N VII dan N XIIReflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid, kekuatan otot normal (5). MRI: tumor dextra aksial parietal midline kemungkinan meningioma falx cerebri. CT Scan : massa ekstrasel fronto parietal dan edema frontal.Keluhan : klien mudah lupa semenjak serangan kejang yang terakhir. Klien lupa nama teman, agenda kerja, alamat rekanan, dll. Ada juga keluhan pusing (ringan). Keluhan : mual, pusing, tidak ada pupil edema, hilangnya memori jangka pendek, klien mengatakan lebih peupa sekarang. Endokrin : Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 104 (dbn). Adaptasi konsep diri: Fisik diri: Ada perubahan pada fisik klien terutama bentuk kepala. Kepala klien bentuknya kurang prosporsial. Klien mengakui hal ini dan menerima sebagai bagian dari resiko penyakitnya apalagi setelah operasi meningiomnya yang sudah dua kali. Namun klien menerima kondisi ini. Asal klien bisa sembuh dan secepatnya bisa operasi yang ketiga serta bisa kembali bekerja dan tidak kejang lagi.Personal diri :Selama di RS klien rajin melakukan ibadah dengan doa bersama (umat kristiani). Kalau ada masalah klien lebih suka diskusi dengan istri dan kedua orang tuanya.Fungsi peran :Selama sakit klien tidak bisa bekerja. Padahal klien adalah kepala keluarga. Semua rekanan klien bingung mencari klien karena sudah selama beberapa minggu ini kklien cuti. Semua agenda kerja klien menjadi berantakan. Klien juga terancam di PHK oleh perusahaanya bila tidak secepatnya kembali bekerja terutama bila target penjulan klien tidak terpenuhi. Klien juga mengalami kecemasan karena salah satu akibat dari obat anti kejang yang selalu dikonsumsinya selain merusak gigi bisa juga mempengaruhi kesuburanya. Dimana saat ini gigi klien sudah caries dan sudah selama 2 tahun menikah klien belum dikarunia anak.Interdepensi:Klien menikah dan tinggal dengan istri. Klien paling dekat dengan istri dan ibuknya. Setiap hari istrinya menemani di RS dan orangtua serta saudaranya datang secara bergantian untuk menjenguk. Keluarga besar klien sangat mendukung kesembuhan klien. Selalu bergantian menjenguk dan memberikan dukungan moril, spiritual dan finansial Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: Ada massa pada fronto parietal. Klien mengalami meningioma recuurens. Terjadi perubahan memori. Masuk MRS dengan kejang. Stimulus kontekstual :Riwayat meningioma dengan riwayat operasi sebanyak 2 kali. Stimulus residual :Klien belum tahu perawatan pasien dengan meningioma terutama dampak putus obat atau terapi dari meningioma dan anti konvulsioke 3. Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut :Perubahan perfusi jaringan serebri berhubungan dengan interuosi aliran darah ke otak sekunder terhadap SOL: meningioma recurens, gangguan rasa nayaman :nyeri berhubungan dengan penuruna perfusi jaringan serebri, resiko perubahan proses pikir berhubungan dengan kerusakan otak Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: sekunder terhadap penurunan perfusi serebri, resiko cidera berhubungan dengan serangan kejang sekunder terhdapa meningioma recuren, resiko infeksi berhubungan dengan proses penyakit, kurang pengetahuan tentang terapi dan penyakit berhubungan dengan kurang informasi. 4. Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, melakukan pemeriksaan fungsi luhur, membantu memberikan mobilisasi duduk, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengkaji nyeri dan dampkanya terhadapa aktivitas klien, mengurangi nyeri dengan memberikan teknik distraksi relaksasi : relaksasi benson, , mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan, MRI dll., melibatkan keluarga dalam perawatn klien, membrikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, kolaborasi: medikasi : fenitoin 3x 50 mg po, depakote 3x1 po, dexametason 3x5 mg iv, ondansetron 1x40 mg, cpz k/p. 5. Evaluasi S: klien mngatakan pusing sudah berkurang dan sudah tidak mual, nyeri di ulu hati juga sudah berkurang, O: tidak ada tanda valsava menuver, TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, cegukan hilang, tidak ada gangguan menelan. Tidak ada inkotinensia. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: pencegahan serangan kejang berulang, rencana operasi ke 3, memonitor memori (fungsi luhur) dan defisit neurologi klien. RESUME KASUS KE-3 1. Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn S, No RM: 367-67-27, Umur : 51 Tahun, Pekerjaan: Sopir pribadi, Diagnosa Medik: CKR, Stroke infark.Riwayat penurunan kesadaran 3 hari yang lalu. Sekitar 3 hari yang lalu klien mengalami KLL single. Terjatuh dari sepeda motor yang dikendarainya karena bermaksud menghindari lubang di tepi jalan akhirnya motor klien oleng dan membuat klien terpelanting dari sepeda motor yang melaju cuku kencang 80-90 km. Klien terjatuh dengan kepala membentur ke jalan setelah helmnya terlepas. Setelah kejaidan klien sempat tidak sadarkan diri ditempat kejaidan selam 10 menit, keluar cairan dari hidung dan telinga. Kemudian klien minta dibawa pulang ke rumah. Sampai di rumah klien muntahj 2x. Lalu dibawa ke RS Sunter, mulut mencong ke kanan. Kemudian dirujuk ke RSCM. Kelemahan sesisi (-), muntah (-), klien sadar. Klien mengeluh kepalanya terasa mau pecah sangat nyeri dan tubuh berat untuk digerakkan.klien bicara pelo, muka masih menceng ke kanan.Tidakada riwayat hipertensi maupun DM. Klien mempunyai kebiasaan merokok.klien tidak mempunyai alergi, belum pernah trauma sebelumnya. 2. Pengkajian Pengkajian perilaku: mode fisiologi: Oksigenasi : Tidak ada: sesak, batu dan nyeri dada. Ada riwayat merokook dan hipertensi grade II. Dalam merokok, klien menghabiskan 1 bungkus dalam sehari. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai berikut: tekanan darah : 120/70 mmHg, nadi :82 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : EKG: normal sinus ritme, radiologiinfark dibasal ganglia kanan dan paraventrikel lateralis kanan dan kiri, mastoid bilateral. Subgleal hematom di regio frontotemporal kiri, tidak nampak EDH,SDh maupun SAH, tidak nampak fraktur cranium. Tidak nampak kelainan pada cor dan pulmo dan tulang costal. Nutrisi: Tidak ada pembatasan makan. Tidak ada mual, muntah dan anoreksia. Terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb dalam batas normal (15,6).. Eliminasi :Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 7 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: ada kelemahan pada ekstremitas sebelah kiri. Klien tergolong parsial care. Berpakaian, makan dan minum dibantu. Toileting dibantu oleh keluarga dilakukan diatas tempat tidur. Tonus rigid.kekuatan otot klien menurun pada sebelah kiri. Tidak ada gangguan tidur. Proteksi :Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien beresiko jatuh karena parese kiri dan nyeri kepala. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (8,6). Sensasi: Tidak ada gangguan pada pancaindera. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Ada keluhan pusing (nyeri kepala) skala 8-9 (berat). Ekspresi wajah: menceng kekanan dengan perilaku bicara pelo.Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam. Hipertensi grade II dengan pengobatan captopril 2x 12,5 mg PO. Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+. Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Parese nervus kranial pada N VII dan N XII. Reflek fisiologi dalam batas normal dan reflek patologis: babinski: -/+, HT: +/-.Tonus otot : rigidKekuatan otot: 5555 3333/5555 2222.Endokrin :Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 95 (dbn). Adaptasi konsep diri: Fisik diri: Ada perubahan pada diri klien dimana bicara nya menjadi pelo dan muka masih menceng ke kanan, parese pada ekstremitas kiri serta nyeri kepala hebat. Kondisi ini membuat klien tidak nyaman..Personal diri :selama di RS klien tidak bisa melakukan ibadahnya. Kalau ada masalah klien lebih suka diskusi dengan istrinya.Fungsi peran: klien harus mengambil cuti beberapa minggu dan tidak lagi bisa bekerja sebagai sopir di majikanya.Interdepensi :Klien paling dekat dengan anak dan istrinya. Setiap hari anaknya menemani di RS dan istrinya datang menjenguk setlah selesai kerja di pabrik. Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: muka menceng ke kanan dan bicara pelo. Ada mual dan nyeri kepala (pusing) skala berat. Parese ekstremitas kiri. Stimulus kontekstual: Riwayat KLL. Stimulus residual: klien belum tahu perawatan awal pada klien dengan CKR . Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: 3. Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut :Perubahan perfusi jaringan serebri berhubungan dengan interuosi aliran darah ke otakgangguan rasa nyaman nyeri b.d peningkatan TIK, kerusakan mobilitas fisik b.g keruskaan neuromuskulotal, gangguan pemenuhan ADL b.d keruskana mobilitas fisik, hambatan komunikasi verbal b.d gangguan pada SSP. 4. Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, membantu memberikan mobilisasi duduk, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengurangi nyeri dengan memberikan teknik distraksi relaksasi : relaksasi benson, menganjurkan klien bed rest total, mengkaji kemampuan bicara, menulis klien, mengkaji penyebab ketidakmampuan komunikasi pada klien, memfasilitasi alat bantu komunikasi terutama komunikasi non verbal, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan, MRI dll., membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memberikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, mengkaji kemapuan muskuloatal klien, megkaji resiko yang muncul dari immobilisasi, melakukan mobilisasi bertahap sesuai tolerasni klien, memberikan ROM bertahap sesuai indikasi, melibatkan keluarga dalam mobilisasi dan memberikan edukasi pada keluarga mengenai mobilisais,kolaborasi: terapi okupasi wicara, medikasi : ketorolaks 3x1 iv, B6B12AF, citicolin 2x 500 mg iv, pct k/p. 5.Evaluasi S: klien mngatakan pusing sudah berkurang dan sudah tidak mual, O: tidak ada tanda valsava menuver, TD :110/70mmHg, n: 78x/m, s:36 rr:20x/m, pelo dan menceng pada muka berkurang, tidak ada gangguan menelan. Komunikasi bisa lebih lancar. Parese berkurang. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: terapi wicara, berikan edukasi penangannan awal dari CKR, kolaborasi : fisioterapi muskuloskletal RESUME KASUS KE-4 1. Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn E, No RM: 367-42-99, Umur : 46 Tahun, Pekerjaan: satpam, Diagnosa Medik: ICH, IVH, SAH daerah talamus sinistra,Hipertensi grade II,DM tipe II,Dislipidemia, hipoalbumin,Hiponatremia ec loss water (urin) : salt wasting sindroma ,HCAP,GEA e.c sindroma malabsorbsi. Sekitar 8 jam sebelum MRS setelah bangun tidur jam 05.00 tibatiba klien mengeluhkan kepalanya pusing, kemudian duduk sebentar di kursi. Setelah sholat subuh dan membersihkan apartemen yang memang menjadi pekerjaanya sehari-hari tiba-tiba klien kembali pusing yang makin berat lalu tidak sadarkan diri. Setelah dibangunkan opleh teman-temannya klien sadarkan diri. Klien sempat pingsan selama 10 menit. Setelah sadar klien muntah sampai 2 kali. Muntah yang kedua klien sempat tersedak. Tidak lama kemudian tangan dan kakinya sulit digerakan dan mukanya menjadi menceng kekanan. Kemudian oleh temanya klien dibawa ke RSCM. Dalam perjalanan menurut temanya klien bicaranya sudah sudah tidak jelas (pelo). Setelah dari UGD selama 2 hari kemudian klien dibawa MRS di gedung A RSUPN Cipto Mangunkusumo. Saat ini klien berada di lantai V ruang perawatan 517 E dengan diagnosa Stroke :ICH, IVH, SAH, HCAP, DM tipe 2, hipoalbumin,hiponatremia dan hipertensi. Dengan keluhan utamnya adalah pusing. Klien menyatakan pusing yang dialami dengan komunikasi non verbal melalui anggukan kepala atau isyarat tangan. Selain itu keadaan klien secara umum adalah: berkeringat (diaforesis), cegukan, diare, afasia. Muka mencong ke kanan, parese ekstremitas kanan, penurunan kesadaran, sesak, demam dengan suhu 39 C.Sebelum sakit sekitar 3 hari anak klien memberitahukan bahwa klien terlihat sangat sibuk dan lelah membetulakna atap beberapa apartemen yang rusak sampai malam. Anak klien juga menuturkan kalau klien sebenarnya bingung mencarikan uang untuk biaya kuliahnya kedua anaknya yang harus kena jatuh tempo bulan ini. Karena memang biaya kuliah kedua anaknya ditangggung oleh klien. Istri klien sudah menikah lagi (cerai) dan kedua anaknya tinggal dengan klien. Selain itu karena ada sedikit kesalahpahaman anak perempuan klien sekarang tinggal dengan ibunya. 2. Pengkajian Pengkajian perilaku: mode adaptasi fisiologis. Oksigenasi : Bentuk hidung simeteris,Tidak ada deviasi septum,Batuk dengan adanya sekret,Tidak ada pernapasan cuping hidung,Sesak (+), Tidak ada penggunaan otot bantu napas, Tidak ada retraksi IC atau suprasternal, Pergerakan dinding dada simetris,Tidak ada tanda trauma atau jejas di hidung dan wajah,Terpasang selang O2 nasal kanul 3 lt/m,Terpasang selang NGT di lubang hidung sebelah kanan, Elevasi kepala 3045,Tidak ada nyeri tekan pada dada , Tidak teraba massa abnormal di leher dan dada, Taktil fremitus normal, RR : 20 x / menit, Suara napas vesikuler, Ada bunyi paru tambahan rhonki basah +/+, Batuk (+), Batas paru normal,suara perkusi paru resonan, Tidak ada tanda cianosis, Membran mukosa lembab, Tidak ada jejas pada dada atau thoraks, Konjungtiva pucat,Tidak terdapat clubbing finger , CRT < 3 detik,Turgor menurun,Nadi : 88 x / menit, nadi teraba kuat dan reguler, pada bagian perifer ekstrimitas atas dan bawah teraba hangat, Apeks cordis di ICS IV MCS, JVP 5-2 cm.Suhu : 39 C, Bunyi jantung I dan II tunggal, idak ada murmur/gallop, TD = 150/100 mmHg, Fokal fremitus normal. Nutrisi :Anak klien mengatakan bahwa ayahnya makan 3 x/hari, namun tidak pernah dihabiskan, bahkan makanya maksimal hanya 3 sendok dari makanan yang disajikan di RS. Terpasang NGT dilubang hidung sebelah kanan.diet DM 1900 kkal.diet bubur saring. Diet cair 3 x 200 cc. Bubur saring hanya dimakan 3-4 sendok tiap kali makan. Diet cair hanya 100-150 cc tiap kali waktu makan. Klien sering merasa cegukan. Klein dengan bahasa isyarat mengatakan mual. klien minum sekitar 200-300 cc/24 jam. Klien mendapat IUFD NS 0,9 % 500 cc/24 jam. BB klien saat ini tidak bisa diukur karena klien belum bisa turun dari tempat tidur karen masih pusing. sklera tidak ikterik, warna bibir merah muda. conjunctiva tampak pucat. Pada daerah mulut tidak ditemukan adanya kandidiasis. Mulut mencong ke kanan. Afasia (+). Kesukaran menelan dan beberapa kali terlihat tersedak. Mulut klien penuh dengan saliva dan beberapa kali terlihat adanya skeret akibat batuk. Tidak ada gigi yang tanggal Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: atau caries. tidak ditemukan adanya lesi pada daerah mulut, fungsi mengunyah pada mulut menurun, lidah klien kotor dan barwarna putih, Abdomen datar, tidak terdapat asites dan distensi abdomen, bising usus 10 x/menit ireguler, pada saat perkusi terdengar bunyi timpani pada semua kuadran, tidak teraba pembesaran hati dan limpa, tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada semua kuadran abdomen, pada anus tidak terdapat hemoroid.Eliminasi :Pada saat dikaji klien BAB >3 hari sekali, konsistensi cair, warna cokelat kehitaman dengan bau yang agak nenyengat dengan jumlah yang tidak terlalu banyak. Klien mendapatkan laktulak 2x1 CI. Bising usus : 10 x/m. klien tidak menjalani kemoterapi. Terpasang foley katater dengan produksi 3200 cc/24 jam. Warna kuning.proteinuria (+), glukosuria (+).Aktivitas dan Istirahat:Klien terlihat hanya berbaring ditempat tidur. Klien bed rest total diatas bantal air. Klien terlihat selalu megantuk. Kesadaran klien menurun.Selama di RS semua activitiy daily live klien dibantu oleh orang lain seperti berpakaian, eliminasi, membersihkan tubuh termasuk makan dan minum harus disuapin.Proteksi:Kuku tangan dan kaki klien tampak panjang. Rambut klien agak kotor dan berbau. Mulut klien tampak penuh dengan saliva dan sekret. Terlihat ada sedikit daki di tangan dan kaki. Klien mengalami demam. Tidak ada kejang. Parese di ekstremitas kanan. Diaforesis (+).Klien mengalami penyakit stroke dan mengalami hemiparese dekstra terutama di bagian ekstremitas bawah. Klien dalam kondisi bed rest total. Dari kondisi bed rest dan hemiparese kemampuan proteksi klien menurun. Bed rest menyebabkan imunologi klien menurun terutama kondisi integumen klien akan beresiko menglami ulkus. Terpasang kasur angin diatas tempat tidur pasien. Hemiparese menyebabkan klien mengalami keterbatasan dalam beraktifitas dan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu kemampuan proteksi fisik klien menurun. Klien saat ini membutuhkan bantuan proteksi dari keluarga dan petugas kesehatan.Sensori: Penglihatan: anak klien mengatakan sejak mempunyai penyakit diabetes (5 tahun yang lalu) visus penglihatan klien menurun sehingga dia harus memakai kacamata minus. klien sering mengeluh ke anaknya kedua matanya sering kabur meski sudah memakai kacamata. Saat ini penglihatan klien tidak bisa terkaji karena kondisi penurunan kesadaran dan afasia yang dialami.Pendengaran: tidak bisa terkaji karena afasia dan penuruna kesadaran. Komunikasi dilakukan dengan nonverbal memakai bahasa isyarat dari tangan.Penciuman: tidak bisa terkaji dengan baik. Lidah kotor, muka tertarik (mencong) ke sebelah kanan, nyeri (-). Gigi masih utuh, penyakit gusi (-), Caries (-). Integumen : turgor kulit masih cukup baik, tangan dan kaki sebelah kanan mati rasa, rambut klien kotor, terlihat daki dibeberapa bagian tubuh, kuku tangan dan kaki terlihat panjang, lesi (-), klut bagian pungging dan kaki terlihat kering, suhu tubuh 390 C. Cairan dan Elektrolit :Klien minum air putih 100-200 cc/hari.terpasasang IUFD NS 0,9 % 500 cc/24 jam. Turgor kulit kering,Shiffting dullness (-),ascites (-), pitting edema (-).Tidak tampak ada oedema baik pada palpebra dan daerah ekstremitas atas maupun bawah, tidak tampak pembesaran ginjal, tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada ginjal dan tidak teraba pembesaran ginjal, tidak terdapat adanya nyeri ketuk pada saat perkusi ginjal pada daerah Costa Vertebral Angel, tidak terdapat distensi kandung kemih dan tidak terdapat nyeri tekan maupun lepas pada kandung kemih, klien terpasang dower kateter yang terpasang sejak tanggal 2 Maret 2012. Terpasang foley katater dengan produksi 3200 cc/24 jam. Warna kuning.proteinuria (+), glukosuria (+).Warna kuning. Kondisi cairan :Intake : 2800/24 jamOutput: 3200cc /24 jamBerdasarkan hasil pemeriksaan elektrolit darah tanggal 3 Maret 2012, natrium menurun (123 meq/L), kalium dbn (4,4 meq/L) dan clorida (90)juga dalam batas normal (100,2 meeq/L). Pasien dalam kondisi hiponatrium. Fungsi Neuromuskuloskeletal: Tingkat kesadaran dengan nilai GCS E3 M6 VafasiaRefleks pupil terhadap cahaya: baik, pupil isokor diamter 3mm/3 mm. Orientasi, memori, konsentrasi, kalkulasi, fungsi bahasa dan bicara tidak bisa terkaji dengan baik dikarenaka kondisi klien dengan afasia motorik. Parese nervus VII dan XII. Muka dan mulut mencong ke kanan dan kesadaran yang menurun dengan GCS E3 M6 Vafasia. Klien terlihat stupor, mulut klien mencong kekanan. Bicaranya afasia motorik.Tonus otot : hipotonik pada ektremitas dektra atas dan bawahReflek fisiologis : +3 +2/+3 +2 Kekuatan otot :Pergerakan klien lemah dan terbatas, kekuatan otot 2222 5555/ 1111 5555.Reflek babinski dan hoftmen trumeer :Tidak terdapat gerakan dorso ekstensi pada ibu jari dan gerakkan abduksi pada jari-jari lainnya saat pemeriksa menggoreskan bagian lateral telapak kaki klien. Reflek babinski + /-. Reflek HT : -/+. Fungsi Endokrin : Riwayat Diabetes tipe II sejak 5 tahun yang lalu dengan gula darah yang tidak terkontrol.Polidipsi (-) Polifagi (), poliuri (-). Gula darah acak terakhir pada pemeriksaan GDS stick : 226. Model Adaptasi Konsep Diri:Fisik diri: Klien tidak mampu mengungkapkan melalui komunikasi verbal kemampuan adaptasinya. Secara verbal klien tidak bisa menceritakan perasaan yang saat ini dirasakan. Klien mengalami serangan stroke berulang yang kedua. Kelumpuhan pada ekstremitas (tangan dan kaki kanan), kesadaran menurun dengan GCS E3M6Vafasia, batuk, afasai, parese NVII dan XII, sesak (+) terpasang oksigen 3 l/m, terpasang NGT dan foley kateter urin. Model Fungsi Peran :Sebelum sakit klien bekerja sebagai penjaga atau pengurus rumah susun mulai dari kebersihan sampai keamanan semua penghuni rumah susun. Setiap hari klien sibuk bekerja dari pagi sampai larut malam dengan istirahat yang tidak teratur. Bekerja setiap hari dalam seminggu.Namun saat ini klien hanya terbaring di atas tempat tidur (bed rest total) dengan semua ADL dibantu oleh orang lain. Semua aktivitas sehari-harinya dilakukan diatas tempat tidur dibantu pememnuhannya oleh orang lain dan tidak jarang memakai alat seperti sonde dan kateter urin. Model Adaptasi Interdependen:Keluarga klien mendukung kesembuhan klien. Anak lelakinya yang paling sering menjaga di RS. Anak perempuan dan adik perempuan klien terlihat sesekali menjenguk.Temankerja klien juga beberapa kali terlihat membesuk klien. Selama sakit mantan istri klien belum pernah terlihat menjenguk. Semua biaya pengobatan klien menggunakan dana asuransi SKTM.Anak klien mengatakan kalau klien sudah bercerai dengan ibuknya sejak mereka masih kecil karena alasan ekonomi dan tidak cocok. Sekarang adik perempuanya memilih tinggal dengan ibuknya. Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: muka menceng ke kanan dan bicara pelo, parese, penuruna kesadaran, demam, diare, diaforesis. Stimulus kontekstual: klien rentan decubitus, infeksi nosokomial, foot drop dll. Stimulus residual: pemgetahuan klien dan kelaurga tentang mobilisasi masih kurang. 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah arteri/vena di otak, Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret, Infeksi (sekunder) berhungan dengan penuruna imunitas, Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan Intake yang kurang, Gangguan keseimbangan cairan elektrolit berhubungan dengan kehilangan yang berlebih sekunder terhadap salt wasting serebelum sindrom, Gangguan eliminasi bowel berhubungan dengan diare sekunder terhadap sindroma Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: malabsorbsi, Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan Kerusakan neuromuskuloskeletal : hemiparese sekunder terhadap stroke hemoragik, Gangguan pemenuhan ADL (activity daily life) berhubungan dengan Gangguan mobilitas fisik, Hambatan komunikasi Verbal berhubungan dengan Gangguan pada SSP : gangguan sirkulasi ke otak, Kurang pengetahuan tentang mobilisasi berhubungan dengan kurang informasi 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, membantu memberikan mobilisasi duduk, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengurangi nyeri dengan memberikan teknik distraksi relaksasi : relaksasi benson, menganjurkan klien bed rest total, mengkaji kemampuan bicara, menulis klien, mengkaji penyebab ketidakmampuan komunikasi pada klien, memfasilitasi alat bantu komunikasi terutama komunikasi non verbal, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan, MRI dll., membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memberikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, mengkaji kemapuan muskuloatal klien, megkaji resiko yang muncul dari immobilisasi, melakukan mobilisasi bertahap sesuai tolerasni klien, memberikan ROM bertahap sesuai indikasi, melibatkan keluarga dalam mobilisasi dan memberikan edukasi pada keluarga mengenai mobilisais, memberikan mikamiki tiap 2 jam, memberika inhalasi, memberikan terapi oksigen 3 /m, memberikan makan melalui sonde, melakukan balance cairan, memastikan terapi cairan IUFD, memberika oral hygiene, memberikan fisioterapi dada dan melembabkan kulit terutama di punggung klien dengan minyak kelapa, memasang kasur angin, memberikan kompres, memantau suhu tiap 2 jam, kolaborasi: terapi okupasi wicara, fisioterapi, medikasi : IUFD NaCl 0,9 % 500 cc/ 12 jam, Manitol 20 % 4 x 125 cc, Codein 3 x I, Metronidazol 3 x 500 mg iv, B6B12 AF 2 x 1 tab, Farmadol 3 x 100 mg iv drip karena sindroma malabsorbsi, Omeprazole 3 x 40 mg iv, Nimotop 4 x 60 mg tab,Inpepsa 3 x I C, Laxadin 3 x I C, Inhalasi C:B:N : 1:1;1, Insulin : humulin R 3 x 10 U, Azitromisin 1x 500 mg, Simvastatin 1 x 20 mg, Flumucyl syrup 3 x 15 cc, Terapi oksigen nasal kanule 3 lt/m,Diet DM 1900 kkal,Diet bubur saring dan cair 3 x 200 cc, Tanggal 7-3-2012 antibiotik diganti meropenem. 5.Evaluasi S: -, O: tidak ada tanda valsava menuver, TD :120/70mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, s:37, pelo dan menceng pada muka berkurang, hipersalivasiberkurang, parese ekst kanan, cegukan hilang. Afasia (+). Kesdaran somnolen. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: terapi wicara, pemeriksan mikro berkala untuk Hcap, fisioterapi, dukungan keluarga ditingkatkan, Ct Scan Ulang. RESUME KASUS KE-5 1. Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn S, No RM : 366-67-69, Umur: 51 Tahun, Pekerjaan: PNS, Diagnosa Medik: Stroke Iskemik, hipertensi grade II.Sekitar 4 hari sebelum MRS klien mengeluh pusing . klien mengluh kalau kepalanya pusing dan merasakan bumi berputar. Kemudian klien dengan diantar oleh istrinya pergi berobat ke RS Cibitung dengan TD : 170/100 mmHg, tidaka da biacar pelo, mula, muntak, jalan tidak diseret. Tiba-tiba klien bicaranya mulai tdak jelas (ngaco), berteriak. Bicara tidak nyambung. Komunikasi mulai sulit. Muncul waham. Kemudian klien dirujuk ke RS Jiwa di Grogol namun dari hasil pemeriksaan , klien tidak mempunyai idnikasi dilakukan perawatan disana. Selanjutnya klien dirujuk ke RSCM. Klien MRS di RSUPN lantai V dengan diagnosa medis CVA Infark. Kondisi gaduh gelisah, komunikasi masih sulit. Bicara ngaco. Teriak-teriak. Waham. Tidak ada pelo, afasia atau gangguan motorik. Klien mempunyai riwayat hipertensi tipe II selama 10 tahun terkontrol dengan terapi amlodipin. Dari keluarganya, klien mempunyai riwayat psikiatri. 2. Pengkajian Pengkajian perilaku mode adaptasi fisiologi: Oksigenasi : Tidak ada: sesak, batu dan nyeri dada. Tidak ada riwayat merokok. Ada riwayat hipertensi. Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 170/100 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36 C. Nutrisi :Tidak ada pembatasan makan. Tidak ada mual, muntah dan anoreksia. Tidak ada gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb dalam batas normal (17). BB: 80 kg, TB: 179 cm. Eliminasi:Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin outpu: 450-600cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat:Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong parsial care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu oleh sitrinya. Toileting dibantu oleh keluarga dilakukan dengan berjalan ke kamar mandi. Tonus dan kekuatan otot klien normal. Klien mengalami gangguan tidur.klien tidak bisa tidur. Sering berteriak, tertawa dan menangis tanpa sebab yang jelas.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien mempunyai resiko jatuh, mengamuk, menciderai diri dan orang lain. Kulit intak, suhu kulit hangat. Sensasi:Tidak ada gangguan pada pancaindera. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Ada keluhan pusing (nyeri kepala) skala 3-4 (ringan). Ekspresi wajah: proporsional. Bicara lancar. Tidak ada pelo, afasia dan disartria.Cairan elektrolit:Minum oral. Tidak terpasang IV line.Neurologi:Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Parese nervus kranial pada N VII dan N XIIReflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigidKekuatan otot: 5555 5555/ 5555 5555. MRI: tumor dextra aksial parietal midline kemungkinan meningioma falx cerebri. CT Scan : massa ekstrasel fronto parietal dan edema frontalKeluhan : Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: pusing. Klien berteri-teriak, mengamuk, waham. Klien menunjukan gejala yang mengarah ke tindakan perilaku kekerasan. Endokrin: Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 99 (dbn). Adaptasi konsep diri: Tidak bisa terkaji karena kondisi klien yang masih tidak stabil dari psikologi dengan kecenderungan waham dan perilaku kekerasan. Selama MRS klien tidak bisa beribadah. Klien semalau dijaga oleh istrinya. Klien cenderung bermaksud melarikan diri dari RS. Selama sakit klien tidak bisa bekerja sehari-hari sebelum sakit klien adalah PNS di Dinas Perhubungan. Klien adalah kepala kelaurga dengan anak 3 orang yang semuanya masih sekolah. Klien pencari nahkah utama karena istri klien tidak bekerja. Ketiga anaknya dirumah dengan neneknya. Keluarga klien sangat mendukung kesembuhan klien. Anak klien bergantian menjenguk dan memberikan dukungan moril, spiritual dan finansial Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: Adanya perubahan kognitif pada klien. Waham. Perilaku kekerasan.Stimulus kontekstual:Riwayat psikiatri dari keluarga, riwayat hipertensi selama sekitar 10 tahun terkontrol dengan terapi amlodipin namun tida teratur di konsumsi. Stimulus residual: Keluarga belum tahu perkembangan penyakit klien dan kondisi apa yang sbeenarnya dialami oleh klien 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : Perubahan proses pikir b.d gangguan SSP, penurunan perfusi serebri bb.d penuruna elasitas PD otak, resiko cidera b.d perubahan fungsi kognitif, gangguan pemenuhan ADL berhubungan perubahan proses pikir. 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neuroogii, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, melakukan pemeriksaan ABI, membantu memberikan mobilisasi duduk, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scna, MRI dll., membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memberikan keamanan pada klien dan orang sekitar, ,memasang restrain, melakukan pedenaktan pada klien, melakukan komunikasi terapetik, memberikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, kolaborasi: psikiatri (rawat gabung/konsul), medikasi : B6B12AF2 xq mg po, citicolin 2x 500 mg iv, captopril 3 x25 mg, pct 3x500 mg k/p. 5. Evaluasi S: istri klien mengatakan suami sudah lebih banyak diam dan tidak berteriak tapi tidak bisa tidur dan memejamkan mata, O: restrain dilepas, TD :150/90mmHg, n: 80x/m, s:36,2 rr:18x/m. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: psikiatri, pengontrolan terutama hipertensi, pemeriksaan fusngsi luhur, konsul psikiatri, Ct Scan Ulang. RESUME KASUS KE-6 1. Informasi Umum Nama : Ny Dj, No RM: 352-80-81, Umur:62 Tahun, Pekerjaan: IRT, Diagnosa Medik: SOL Temporal kanan: Glioma. Klien mengatakan sakit kepala hilang timbul sudah sekitar 2-3 tahun belakangan ini. Semakin bertambahsekitar 3 bulan terakhir. Sekitar 2 tahun yang lalu klien berobat sakit kepal di dokter umum dilakukan pemeriksaan lab darah dan kolesterol. Kemudian klien diberikan obat. Sakit kepala berkurang. Namun beberapa bulan kemudian muncul lagi dan bertambah parah. Kemudian klien cek up ke RS pasar rebo dilakukan pemeriksaan Ct Scan diketahui adanya massa di otak klien. Disarankan operasi namun klien takut. Sekitar 1 hari yang lalu klien berobat ke poli RSCM dengan keluhan nyeri kepala hebat diseluruh bagian kepala. Disranakan MRS. Saat ini klien MRS di lantai V RSUPN Cipto dengan diagnosa Glioma tempral. Klien mengeluh nyeri kepala berat skala 7-8. 2. Pengkajian Pengkajian perilaku mode Adapatasi fisiologi: Oksigenasi : Tidak ada: sesak, batu dan nyeri dada. Tidak ada riwayat hipertensi . Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 130/80 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : MRI: lesi intrakranial di regio temporal kanan. Nutrisi: Tidak ada pembatasan makan. Mual(-), tidak ada muntah dan anoreksia. Tidak ada gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Eliminasi : Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin outpu: 500-600cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada klelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan mandiri. Toileting dibantu oleh keluarga dilakukan dengan berjalan ke kamar mandi. Tonus dan kekuatan otot klien normal. Tidak ada gangguan tidur. Proteksi : Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Sensasi: penurunan pancaindera pendengaran hilang timbul sebelah kanan. Sensasi (raba, suhu, nyeri, tekan) dalam batas normal. Ada keluhan pusing (nyeri kepala) skala 7-8 (berat). Ekspresi wajah: proporsional. Bicara lancar. Tidak ada pelo, afasia dan disartria.Cairan elektrolit: Minum oral. Tidak terpasang IV line. Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+. Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).nervus cranial dbn. Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid, kekuatan otot normal (5). MRI: tumor dextra aksial parietal midline kemungkinan meningioma falx cerebri. CT Scan : massa ekstrasel fronto parietal dan edema frontal.Keluhan : klien mudah lupa semenjak serangan kejang yang terakhir. Klien lupa nama teman, agenda kerja, alamat rekanan, dll. Ada juga keluhan pusing (ringan). Keluhan : pusing, tidak ada pupil edema, Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: gangguan pendengaran, sol ditemporal kanan. Endokrin : Tidak ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah sewaktu: 264 (peningkatan gula darah) riwayat DM tipe II tidak terkontrol sekitar 10 tahun. Adaptasi konsep diri: Fisik diri: tidak ada perubahan pada fisik klienPersonal diri :Selama di RS klien rajin melakukan ibadah sholat disamping TT dan dzikir diatas TT. Klien rajin menjalankan kegiatan ibadah selama di RS.Fungsi peran :selama MRS klien menunggu jadwal operasi yang tunda sebanyak 2 kali. Alasan yang I krn ruang ICU yang penuh dan yang kedua karena gula darah klien yang unlabil dengan kecenderungan naik.Interdepensi:Klien janda dengan cucu 8 orang dari 4 orang anak. Anaka, cucu dan menantu bergiliran menjaga klien, mereka sangat mendukung perawatan dan operasi klien. Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: glioma temporal kanan, nyeri kepala hebat, gula darah yang naik dan beban psikologis karena jadwal operasi yang tunda. Stimulus kontekstual :riwayat DM. Stimulus residual : psikologi klien melemah dalam menjalani dan menunggu jadwal operasi 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut :Perubahan perfusi jaringan serebri berhubungan dengan interuosi aliran darah ke otak sekunder terhadap SOL: glioma, gangguan rasa nayaman :nyeri berhubungan dengan penuruna perfusi jaringan serebri, ganguan nutrisi b.d peningkatan gula darah, kecemasan b.d penundaan operasi. 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, membantu memberikan mobilisasi duduk, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengkaji nyeri dan dampkanya terhadap aktivitas klien, mengurangi nyeri dengan memberikan teknik distraksi relaksasi : relaksasi benson, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan, MRI dll., melibatkan keluarga dalam perawatn klien, membrikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, memberikan supprot sistem, menjelaskan atau memberikan informasi terkait penundaan jadwal operasi, memberikan informasi jadwal operasi mendatang dan melakukan persiapanya pada pasien, memonitor gula darah pasien sesuai SOP, memberikan terapi insulin, kolaborasi: medikasi :dexametason 3x5 mg iv, ondansetron 1x40 mg, pct k/p, humulin R 3x10 U. 5. Evaluasi S: klien mngatakan pusing sudah berkurang dan sudah tidak mual O: tidak ada tanda valsava menuver, TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, tidak ada gangguan menelan. Tidak ada inkotinensia. Nyeri berkurang skala 5-6, eduaski dan informasi sdh diberikan A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: rencana operasi dan persiapanya:suppositoria, pemeriksaan EKG, cek lab (gula darah, PT, APTT dll), puasa mulai jam 2, menghubungi ICU, skiren, dll. RESUME KASUS KE-7 1. Informasi Umum Nama : Ny Li, No RM: 353-62-17, Umur:48 Tahun, Pekerjaan: IRT, Diagnosa Medik: HNP L4-5. Sekitar 5 bulan sebelum MRS klien mengeluh nyeri menjalar di tungkai kiri, bermula dari betis sebelah kiri menjalar hingga pinggang. Keluhan nyeri dirasakan semakin berat saat beraktifitas dan menurn bila dipakai istirahat. Pasien berobat ke dr spesialis dan dilakuakn MRI dikatakan bahwa ada saraf yang terjepit. Pasien disarankan operasi secepatnya. Sekitar 3 tahun yang lalu klien mengatakan mempunyai keluahn yang sama dan ditegakan diagnosa HNP dialkuakn oeprasi pada tanggal 20 April 2012. Sekitar 4 tahun yang lalu klien pernah menjalani operasi pemasangan ring pada jantung, i kali tiroidektomi pada tahun 1988, dan menjalani 4 kalu pengangkatan cairan akibat efusi perikardium. Saat ini klien mengeluhkan nyeri pada tungkai kiri. 2. Pengkajian Pengkajian perilaku mode adaptasi fisiologis:Oksigenasi : Tidak ada: sesak, batu dan nyeri dada. Tidak ada hipertensi, ada riwayat efusi perikardium dan pemasangan ring cor . Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi :78x/m, RR: 18 x/m, suhu: 36 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : ecg: Av Block, right axis deviatiation, ECHO: hipokinetik segmental. Nutrisi: Tidak ada pembatasan makan. Mual(-), tidak ada muntah dan anoreksia. Tidak ada gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Eliminasi : Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin outpu: 500-600cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada klelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan mandiri. Toileting dibantu oleh keluarga dilakukan dengan berjalan ke kamar mandi. Tonus dan kekuatan otot klien normal. Tidak ada gangguan tidur. Proteksi : Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Sensasi: penurunan pancaindera pendengaran hilang timbul sebelah kanan. Sensasi (raba, suhu, nyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak Ada keluhan pusing. Ekspresi wajah: proporsional. Bicara lancar. Tidak ada pelo, afasia dan disartria.Cairan elektrolit: Minum oral. Tidak terpasang IV line. Nilai lab tiroid abnormal : T3/T4/TSh: L/L/H: 0,94/0,46/35,4 Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+. Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (). Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid, kekuatan otot normal (5). Nyeri pada tungkai kiri. Endokrin : Tidak ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah 99 (dbn). Tidak ada riwayat DM. Adaptasi konsep diri: Fisik diri: tidak ada perubahan pada fisik klienPersonal diri :Selama di RS klien melakukan ibadah dengan melakukan doa bersama umat kristiani di atas TT Fungsi peran :selam sakit klien tidak bisa mengatar dan menemui cucu dan anaknya dengan leluasa. Interdepensi:Klien janda dengan cucu 5 orang dari 2 orang anak. Anaka, cucu dan menantu bergiliran menjaga klien, mereka sangat mendukung perawatan dan operasi klien. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: HNP L4-5 temporal kanan, nyeri tungkai kiri dan beban psikologis karena jadwal operasi yang tunda karena nilai lab tiroid klien yang abnormal. Stimulus kontekstual :riwayat DM. Stimulus residual : psikologi klien melemah dalam menjalani dan menunggu jadwal operasi 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : gangguan rasa nayaman :nyeri berhubungan dengan proses inflamasi dari penyakit sekunder terhadap HNP, gangguan keseimbangan elaktrolit b.d penurunan fungsi organ tiroid, kecemasan b.d penundaan operasi. 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi, kesadaran, memonitor TTV, mengkaji nyeri dan dampaknya terhadap aktivitas klien, mengambil specimen darah untuk pemeriksaan tiroidmengurangi nyeri dengan memberikan teknik distraksi relaksasi : relaksasi benson, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, echo, ekg, radiologi, melibatkan keluarga dalam perawatan klien, memberikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, memberikan supprot sistem, menjelaskan atau memberikan informasi terkait penundaan jadwal operasi dan terapi dari tiroid klien, memberikan informasi jadwal operasi mendatang dan melakukan persiapanya pada pasien, memonitor, kolaborasi: medikasi :dexametason 3x5 mg iv, ondansetron 1x40 mg. 5.Evaluasi S: klien mengatakan tungkainya masih sakit dan sering kesemuatan pada kakai kanan O:TD :110/80mmHg, n: 78x/m, s:36 rr::23x/m, tidak ada gangguan menelan. Tidak ada inkotinensia. Nyeri berkurang skala 4-5, eduaski dan informasi sdh diberikan A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: klien rencana pulang, kontrol tiroid di poli, bila dalam 1 minggu lab tiroid stabil dan dbn maka klien kembali MRS dengan rencana operasi. persiapanya:suppositoria, pemeriksaan EKG, cek lab (gula darah, tiroid, PT, APTT dll), puasa, menghubungi ICU, skiren, dll. RESUME KASUS KE-8 1. Informasi Umum Nama : Ny M, No RM: 3531590, Umur:32 Tahun, Pekerjaan: IRT, Diagnosa Medik:AVM,aneurisme, spina bifida.Sekitar 6 bulan yang lalu klien jatuh dengan posisi terduduk. Semenjak itu klien sulit mnggerakkan kakinnya. Sebelumnya klien sering mengalami kesemutan di kaki. Setelah jatuh klien berobat ke dukun pijat didekat rumahnya dan membaik. Kelemahan pada tungkai bawah semakin berat sejak 5 bulan yang lalu, nyeri bermula di punggung dan menjalar ke tungkai, kemudian klien berobat ke RS Maksar dan disana diketahui bahwa di tulang belakang klien terdapat benjolan. Ebenarnya sejak kecil klien merasakan ada benjolan di tulang belakangnya namun tidak dirasa oleh klien dan dianggap normal karena memang tidak mengganggu aktivitasnya. Parese pada tungkai klien semakin berat kemudian klien dirujuk ke RSCM sejak 2 bulan yang lalu. Saat ini kedua kaki klien mengalami parese dan rencana operasi threated cord, menunggu jadwal operasi. 2. Pengkajian Pengkajian fisiologi:Oksigenasi : Tidak ada: sesak, batuk dan nyeri dada. Tidak ada riwayat hipertensi. Klien mempunyai riwayat asma. Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 110/70 mmHg, nadi :78 x/m, RR: 18 x/m, suhu: 36 C.Nutrisi :Tidak ada pembatasan makan. Tidak ada mual, muntah dan anoreksia. Tidak ada gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Eliminasi:Terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 8 x/m. urin outpu: 500600cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat:Ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong total care. Berpakaian, makan dan minum serta Toileting dibantu oleh keluarga termasuk dengan pemasangan alat. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi. Ada riwayat trauma yaitu jatuh beberapa kali saat berada di rumah. Klien mempunyai resiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat.Sensasi: Tidak ada gangguan pada pancaindera. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing. Ekspresi wajah: proporsional. Bicara lancar. Tidak ada pelo, afasia dan disartria.Cairan elektrolit:Minum oral. terpasang IV line. IUFD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Parese nervus kranial dalam batas normal. Penurun tonus dan kekuatan otot. KO: 5555 5555/1111 1111. EndokrinTidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Adaptasi konsep diri.Fisik diri: Ada perubahan pada fisik klien terutama pada kaki klien yang keduanya sekarang sulit untuk digerakkan. Ada benjolan di tulang belakang klien. Personal diri : Selama di RS klien tidak bisa menjalankan kegiatan ibadahnya. Klien hanya bisa berdoa dan dzikir dalam hati agar diberikan kesembuhan dan kedua kainya bisa berjalan seperti sediakala. Fungsi peran : Klien tidak bisa bekerja seperti biasa. Dan hanya mampu berbaring diatas tempat tidur dengan semua kebutuhan sehari-harinya dibantu oleh orang lain. Selama sakit klien tidak bisa menemui dan membantu keperlua ketiga anaknya yang berada di makasar. Interdepensi: Klien menikah dan tinggal dengan suami dan ketiga anaknya yang masih kecil. Klien paling dekat dengan suami. Selama sakit klien selalu dijaga oleh suaminya. Sudah 2 bulan ini suaminya cuti dari kerja. Anaknya dirumah tinggal dirumah saudara. Keluarga klien jarang menjenguk karena rumahnya yang jauh di makasar. Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: Parese dikedua kakinya. Stimulus kontekstual: Riwayat jatuh. Stimulus residual: Klien belum tahu perawatan mobilisasi pada klien dengan parese. 3.Diagnosa keperawatan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : gangguan mobilitas fisik b.d kelemahan neuromuskuloskletal, gangguan pemenuhan ADL b.d kelemahan muskoskletal. 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : mengkaji kemmapuan neuromuskuloskeletal, memberikan mobilisasi, memberikan latihan ROM, memberikan edukasi latihan rom pada klien dan keluarga, mengkaji efek immobilisasi pada klien trutama infeksi nosokomila dan integumen klien, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, radiologi, melibatkan keluarga dalam perawatan klien, memberikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, memberikan supprot sistem, membantu pemenuhan ADL klien, mengkaji psikologi klien terutama terkait ketergantungan pada orang lain dan parese pada kedua kakinya, menyiapkan operasi klien, kolaborasi: medikasi :dexametason 3x5 mg iv, ondansetron 1x40 mg. 5.Evaluasi S: klien mengatakan tungkainya masih sakit dan sering kesemuatan pada kaki kanan dan kiri O:TD :110/80mmHg, n: 80x/m, s:36,2 rr::20x/m, to masih sama, rom diberikan, footdrop (-), ulkus (-), eduakasi dan informasi sdh diberikan A: masalah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: klien rencana operasi. persiapanya:suppositoria, pemeriksaan EKG, cek lab (gula darah, tiroid, PT, APTT dll), puasa, menghubungi ICU, skiren, dll. RESUME KASUS KE-9 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Ny H, No R8: 366-09-32, Umur : 55 Tahun, Pekerjaan: IRT, Diagnosa Medik: CKS, Ht grade II, hiperglikemia, akut CKD, hiperkoagulasisub gleal hematom regio temporo parietal. Penurunan kesadaran. Post kecelakaan lalu lintas sekitar 1,5 jam yang lalu. Rujukan dari Puskesmas Cempaka Putih. Klien sedang berjalan saat ditabrak dari samping jam 06.00 WIB. Penabarak melarikan diri. Oleh warga disekitar kejadian dibawa ke puskesmas kemudian dirujuk ke RSCM dan masuk IGD RSCM pada 26 Maret 2012. Saat kecelakaan posisi klien telungkup. Tidak ada muntah. Rhionorea (+) bilateral. Tampak luka impresi di temporal. Krepitasi (-). Luka 10x10 cm hemaom sub gleal. Klien mempunyai riwayat hipertensi dan CKD. 2.Pengkajian Pengkajian Adapatasi fisiologi: Oksigenasi : Tidak ada batuk dan nyeri dada. Terpasang oksigen melalui nasal kanulw 3 lt/m. Tidak ada riwayat alergi, DM dan hipertensi. Klien tidak pernah kecelakaan sebelumnya. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai berikut: tekanan darah : 160/100 mmHg, nadi :92 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : rontgen: spondylosis cervicalis. Radiologi: tidak nampak kelainan pada cor dan pulmo , tidak nampak kelainan pada tulang calvaria Nutrisi:Makan 3 x/hr jenis diet susu 1700 kal. Terpasang NGTdi lubang hidung sebelah kanan. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Eliminasi :Terpasang kateter. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin outpu: 200/12 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Berpakaian, makan dan minum dibantu. Tonus dan kekuatan otot klien normal. Tidak ada gangguan tidur. Proteksi :Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien beresiko jatuh. Kesadaran klien somnolen. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (8,6). Sensasi: Tidak ada gangguan pada pancaindera. Sensasi (raba, suhu, nyeri, tekan) dalam batas normal. Ada keluhan pusing (nyeri kepala) skala 5-6 (sedang).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam. Neurologi: Kesadaran somnolen dengan GCS: E2M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid. Amnesia reftrograde.Kekuatan otot: 5555 5555/55555555.Endokrin : riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah sewaktu : 267Lab:Penurunan Hb (11), Ht (31,1), MVC (81,8), ureum (73,2), creatinin (3,4) OT/PT (85; 43), Na/k/cl (149/3,7/115).Peningkatan jumlah leukosit (286000), APTT (34,3) Adaptasi konsep diri. Kemampuan adatasi klien yang meliputi :Fisik diri,Personal diri,Fungsi peran dan Interdepensi belum bisa dikaji karena keterbatasan klien yang mengalami penurunan kesadaran dan perawatan klien dipindah dari IGD ke runag rawat inap. Namun dari heteroanamnese dengan anggota keluarga diketahui bahwa klien adalah ibu rumah tangga. Seorang janda yang sudah ditinggal meninggal oleh suaminya. Sekarang tinggal dengan anak dan cucu. Setiap pagi klien ke pasar atao sekedar jalan pagi. Saat kejadian klien mengalami tabrak lari ketika sedang jalan santai setelah sholat subuh di masjid. Selama dirawat klien sempat mengeluh kepalanya pusing ke anaknya. Klien masih menganali keluarganya namun lupa kejadianya yang menimpanya. Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: penurunan kesadaran. Ada nyeri kepala (pusing) skala sedang. Terjadi peningkatan tekanan darah.Stimulus kontekstual: kecelakaan lalu lintas. Riwayat HT gr II sejak sekitar 5 tahun yang lalu dan CKD sejak 3 tahun belakangan ini namun klien jarang periksa dan hany berobat satu kali. Namun anggota keluarga juga tidak jelas dengan informasi terkait penyakit yang diderita klien. Stimulus residual: keluarga belum tahu dampak dari kecelakaan yang dialami dan bagaimana kondisi dari klien. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: 3. Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : perubahan perfusi jaringan serebri, gangguan rasa nyaman nyeri, ketidakefektifan jalan napas, gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan, resiko cidera, kurang pengetahuan tentang proses penyakit berhungan dengan kurang informasi. 4. Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, melakukan pemeriksaan gula darah stick, mengambil spsimen darah (arteri dan vena), melakukan pemasangan dan rawat infus di jalur vena, memberikan terapi oksigen 3 lt/m, memasang katetr dan NGT, membantu memberikan posisi semifowler, memastikan klien bed rest, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan dll., membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memebrikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, kolaborasi: medikasi : citicolin 500 mg, ketorolax 3 x1 iv, ranitidin 2 x1 iv, extrace 400 mg iv 1 x 1, valsartan 80 mg po 1 x 1, adalat oros 30 mg 1 x 1, bicanat 500 mg as folat tab. 5.Evaluasi S:-, O: tidak ada tanda valsava menuver, TD :150/90mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, IUFD Ns 500 cc/24 jam. Kateter (=), NGT (+), kesadaran somnolen. A: masalah teratasi sebagian. GCS E3M6V5 P: Lanjutkan intervensi: rencanan Ct scan tanpa kontras, memindahkan klien ke ruang stagnant, rencana pindah rawat di ltV gedung A RSCM. RESUME KASUS KE-10 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Ny R, No RM: 369-03-16, Umur : 38 Tahun, Pekerjaan: Guru, Diagnosa Medik: kontusio serebri, fraktur basis cranii, Diagnosa Keperawatan: perubahan perfusi jaringan serebri berhubungan dengan gangguan aliran darah ke otak. Klien berada di IGD.Sekitar 45 menit sebelum MRS klien sedang menyeberang jalan . pasien ditabrak oleh sebuah motordari arah kanan. klien terpental ke aspal dan pasien sekitar 20 menit. Klien dibawa ke IGD RSCM tanggal 2/4/2012 jam 08.00 WIB. saat tiba di IGD klien sudah sadarkan diri. Terjadi perdarahan dari hidung dan telinga. 2.Pengkajian Pengkajian fisiologi. Oksigenasi : tidak ada batuk. Gargling (+). Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai berikut: tekanan darah : 127/63 mmHg, nadi :104 x/m, RR: 36 x/m, suhu: 36 C. Konjungtiva pucat. Sklera ikterik (-). Perdarahan hidung dan telinga bilateral. Terpasang O2 3 lt/m terlihat tampon di telinga kanan dan kiri. Hasil pemeriksaan diagnostik : radiologi: kontusio serebri dan fraktur basisi cranii. Nutrisi: terpasang NGT di lubang hidung sebelah kanan. Muntah (-). Diet cair 6x150 cc. Eliminasi :Terpasang kateter. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin output: 100-200 cc/12 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Proteksi :Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kesadaran klien menurun. Luka pada kepala. Sensasi: tidak terkaji karena kesadaran menurun.Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam. Neurologi: Kesadaran stupor dengan GCS: E2M5V2. Pupil isokor dengan diameter 2 mm/2 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigidKekuatan otot: 5555 5555/ 55555555. CT scan : perdarahan subarakhnoid regio temporal kanan, perdarahan subdural regio fromto temporo parietal kanan, contusio lobus temporal kanan , edema serebri , frkatur basisi cranii sisi kanan dengan hematosinus sphenoid dan ethmoidal kanan dan kiri, fraktur mastoid , fraktur septum nasi dengan hematome pada cavum nasi kanan dan kiri.Endokrin :Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 138. Lab: Hb (19), Ht (19,8).PT/APTT: 11,2/25,4; ureum/cr/ot/pt: 17,6/0,6/41/55. Adaptasi konsep diri:Kemampuan adatasi klien yang meliputi :Fisik diri,Personal diri,Fungsi peran dan Interdepensi belum bisa dikaji karena keterbatasan klien yang mengalami penurunan kesadaran dan perawatan klien dipindah dari IGD ke runag rawat inap. Namun dari heteroanamnese dengan suami klien diketahui bahwa klien adalah seorang guru yang mengalami KLL ketika hendak menyeberang jalan ketika mau berangkat ke sekolahnya untuk mengajar. Klien tinggal dengan suami dan anak 2 orang. Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: penurunan kesadaran. Fraktur basis craniikontusio serebri ec kll.Stimulus kontekstual: kecelakaan lalu lintas. Stimulus residual: keluarga belum tahu dampak dari kecelakaan yang dialami dan bagaimana kondisi dari klien. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: 3. Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : perubahan perfusi jaringan serebri, gangguan rasa nyaman nyeri, ketidakefektifan jalan napas, gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan, resiko cidera, kurang pengetahuan tentang proses penyakit berhungan dengan kurang informasi. 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, melakukan pemeriksaan gula darah stick, mengambil spsimen darah (arteri dan vena), melakukan pemasangan dan rawat infus di jalur vena, memberikan terapi oksigen 3 lt/m, memasang katetr dan NGT, membantu memberikan posisi semifowler, memastikan klien bed rest, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan dll., membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memebrikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, memasang tampon di kedua teling dan hidung dan mengobservasi cairan yang keluar. kolaborasi: medikasi : citicolin 500 mg, ketorolax 3 x1 iv, ranitidin 2 x1 iv, extrace 400 mg iv 1 x 1, manitol 125 cc 4 x1. 5.Evaluasi S:-, O: tidak ada tanda valsava menuver, TD :150/90mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, IUFD Ns 500 cc/24 jam. Kateter (+), NGT (+), kesadaran somnolen. A: masalah teratasi sebagian. GCS E3M6V5 P: Lanjutkan intervensi: rencanan Ct scan tanpa kontras, memindahkan klien ke ruang stagnant, rencana pindah rawat di ltV gedung A RSCM. RESUME KASUS KE-11 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn. F, No RM: 324-20-36, Umur : 37 Tahun, Pekerjaan: satpam pasar, Diagnosa Medik: meningoencepalitis, HIV, hepatitis C, TB, Masalah Keperawatan: penurunan kesadaran, infeksi, penurunan perfusi jaringan serebri, ketidakefektifan jalan nafas. Klien berada di IGD. Pasien mengalami penuruna kesadaran sejak 2 hari SMRS. Kejang (-).Bicara pelo(-). Demam (-). Pasien diketahui menderita HIV sejak tahun 2009, TB dan sakit liver. Pasien berobat ke RSP diberi obat OAT selam 9 bulan dan selesai. ARV (arival/neviral)rutin. Minum obat dan putus 3 tahun yang lalu. 2 bulan SMRS klien merasa pusing dan berobat di pokdisusu RSCM. Pasien belum mendapat terapi ARV lagi, sudha dievaluasi thorax 2 x dan dikatakan sembuh dari TBC. 2.Pengkajian Pengkajian fisiologis: Oksigenasi : tidak ada batuk.erpasang O2 3 lt /m melalui nasal kanule. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai berikut: tekanan darah : 143/96 mmHg, nadi :60 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : radiologi: cor dan pulmo normal, pleura freaction ka. Ronchi +/+ basah kasar , vesikuler +/+, wheezing -/-. Nutrisi: terpasang NGT di lubang hidung sebelah kanan. Terdapat gangguan menelan. Muntah (-). Diet cair 6x100 cc. Eliminasi :Terpasang kateter. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 5x/m. urin output: 100-200 cc/12 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Proteksi :Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien beresiko jatuh. Kesadaran klien menuruntidak luka pada tubuh klien. Suhu tubuh klien dbn. Sensasi: tidak terkaji karena kesadaran menurun.Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/12 jam. Neurologi: penurunan kesadaran dengan GCS: E2M4V2. Pupil unisokor dengan diameter 5 mm/2 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.Kaku kuduk (+), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).parese nVII. Kesan hemiparese (-). tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid, achiles +/-.Reflek fisiologi 3 3/2 2Kekuatan otot: 55555555/ 5555 5555. CT scan : multifokal lesi sensasi gambaran mengioensefalitis. Endokrin :Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 142. Lab: Hb (11,7), Ht (31,6). PT/APTT: 14,1/36,9; ureum/cr/ot/pt: 38,3/0,8/19/13 . Na/k/cl: 139/4,14/103. Ph/po2/pco2/sao2/be/Hco3: 7,494/17,6/102/98.4/-7,1/18,6 Adaptasi konsep diri. Kemampuan adatasi klien yang meliputi :Fisik diri,Personal diri,Fungsi peran dan Interdepensi belum bisa dikaji karena keterbatasan klien yang mengalami penurunan kesadaran dan perawatan klien dipindah dari IGD ke ruang rawat inap. Namun dari heteroanamnese dengan istri klien diketahui bahwa klien adalah seorang satpam pasar. Dulunya klien adalah seorang preman namun sekarang sudah tobat dan bekerja sebagai satpam di pasar. Klien mempunyai tato yang cukup luas ditubuh terutama di tangan dan kaki. Klien mantan pegguna obat terlarang namun 1 tahun ini sudah berusaha berhenti. Istri klien juga tertular HIV namun belum berobat rutin. Klien belum mempunyai anak. Pengkajian stimulus:Stimulus fokal: penurunan kesadaran dengan diganosa HIV, TB, hepatitis C, meningoencepalitis dan masuk dengan riwayat kejang.Stimulus kontekstual: riwayat HIV sejak 2009 dari tato dan pengguna obat terlarang. Stimulus residual: keluarga belum tahu dampak dari penyakit yang dialami dan bagaimana kondisi dari klien. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : penurunan kesadaran, infeksi , penurunan kesadaran, penurunan perfusi jaringan serebri kurang pengetahuan tentang proses penyakit berhungan dengan kurang informasi. 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi dan kesadaran klien, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, mengambil spsimen darah (arteri dan vena), melakukan pemasangan dan rawat infus di jalur vena, memberikan terapi oksigen 3 lt/m, memasang katetr dan NGT, membantu memberikan posisi semifowler, memastikan klien bed rest, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan dll., membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memberikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien,melakukan perawatan dengan memperhatikan proteksi diri. kolaborasi: medikasi : cotromoksasol 1x2 gr, diax k/p kejang, ranitidin 2x1, dexa 4 x1 iv, INH 300, rifampisin 450 1 x 1 po, etambutol 500 po , pirazinamid 500 po, streptomisin 750 iv 1 x 1, manitol 200 cc maintenence 4 x 125 cc. 4.Evaluasi S:-, O: kejang (-), TD :140/90mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, IUFD Ns 500 cc/12 jam. Kateter (+), NGT (+), kesadaran somnolen. GCS E3M5V3 A: masalah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: memindahkan klien ke ruang stagnant, rencana pindah rawat di ltV gedung A RSCM. RESUME KASUS KE-11 1. Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn. F, No RM: 324-20-36, Umur : 37 Tahun, Pekerjaan: satpam pasar, Diagnosa Medik: meningoencepalitis, HIV, hepatitis C, TB. Pasien mengalami penuruna kesadaran sejak 2 hari SMRS. Kejang (-).Bicara pelo(-). Demam (-). Pasien diketahui menderita HIV sejak tahun 2009, TB dan sakit liver. Pasien berobat ke RSP diberi obat OAT selam 9 bulan dan selesai. ARV (arival/neviral)rutin. Minum obat dan putus 3 tahun yang lalu. 2 bulan SMRS klien merasa pusing dan berobat di pokdisusu RSCM. Pasien belum mendapat terapi ARV lagi, sudha dievaluasi thorax 2 x dan dikatakan sembuh dari TBC. 2.Pengkajian Pengkajianperilaku: mode adapatasi fisiologi Oksigenasi : tidak ada batuk.erpasang O2 3 lt /m melalui nasal kanule. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai berikut: tekanan darah : 143/96 mmHg, nadi :60 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : radiologi: cor dan pulmo normal, pleura freaction ka. Ronchi +/+ basah kasar , vesikuler +/+, wheezing -/-. Nutrisi: terpasang NGT di lubang hidung sebelah kanan. Terdapat gangguan menelan. Muntah (-). Diet cair 6x100 cc. Eliminasi :Terpasang kateter. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 5x/m. urin output: 100-200 cc/12 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Proteksi :Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien beresiko jatuh. Kesadaran klien menuruntidak luka pada tubuh klien. Suhu tubuh klien dbn. Sensasi: tidak terkaji karena kesadaran menurun.Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/12 jam. Neurologi: penurunan kesadaran dengan GCS: E2M4V2. Pupil unisokor dengan diameter 5 mm/2 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.Kaku kuduk (+), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).parese nVII. Kesan hemiparese (-). tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid, achiles +/-.Reflek fisiologi 33/2 2. CT scan : multifokal lesi sensasi gambaran mengioensefalitis. Endokrin :Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 142.Lab: Hb (11,7), Ht (31,6). PT/APTT: 14,1/36,9; ureum/cr/ot/pt: 38,3/0,8/19/13 .Na/k/cl: 139/4,14/103.Ph/po2/pco2/sao2/be/Hco3: 7,494/17,6/102/98.4/-7,1/18,6 Adaptasi konsep diri Kemampuan adatasi klien yang meliputi :Fisik diri,Personal diri,Fungsi peran dan Interdepensi belum bisa dikaji karena keterbatasan klien yang mengalami penurunan kesadaran dan perawatan klien dipindah dari IGD ke ruang rawat inap. Namun dari heteroanamnese dengan istri klien diketahui bahwa klien adalah seorang satpam pasar. Dulunya klien adalah seorang preman namun sekarang sudah tobat dan bekerja sebagai satpam di pasar. Klien mempunyai tato yang cukup luas ditubuh terutama di tangan dan kaki. Klien mantan pegguna obat terlarang namun 1 tahun ini sudah berusaha berhenti. Istri klien juga tertular HIV namun belum berobat rutin. Klien belum mempunyai anak. Pengkajian stimulus Stimulus fokal: penurunan kesadaran dengan diganosa HIV, TB, hepatitis C, meningoencepalitis dan masuk dengan riwayat kejang.Stimulus kontekstual: riwayat HIV sejak 2009 dari tato dan pengguna obat terlarang. Stimulus residual: keluarga belum tahu dampak dari penyakit yang dialami dan bagaimana kondisi dari klien. 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : penurunan kesadaran, infeksi , penurunan kesadaran, penurunan perfusi jaringan serebri kurang pengetahuan tentang proses penyakit berhungan dengan kurang informasi. 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi dan kesadaran klien, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, mengambil spsimen darah (arteri dan vena), melakukan pemasangan dan rawat infus di jalur vena, memberikan terapi oksigen 3 lt/m, memasang katetr dan NGT, membantu memberikan posisi semifowler, memastikan klien bed rest, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan dll., membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memberikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien,melakukan perawatan dengan memperhatikan proteksi diri. kolaborasi: medikasi : cotromoksasol 1x2 gr, diax k/p kejang, ranitidin 2x1, dexa 4 x1 iv, INH 300, rifampisin 450 1 x 1 po, etambutol 500 po , pirazinamid 500 po, streptomisin 750 iv 1 x 1, manitol 200 cc maintenence 4 x 125 cc. 5.Evaluasi S:-, O: kejang (-), TD :140/90mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, IUFD Ns 500 cc/12 jam. Kateter (+), NGT (+), kesadaran somnolen. GCS E3M5V3 A: masalah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: memindahkan klien ke ruang stagnant, rencana pindah rawat di ltV gedung A RSCM. RESUME KASUS KE-12 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn. Y, No RM: 369-02-43, Umur : 68 Tahun, Pekerjaan: -, Diagnosa Medik: DIC, perdarahan intrakranial, anemia, susp TB Paru, Masalah Keperawatan: penurunan kesadaran, penurunan perfusi jaringan sistemik, gangguan nutrisi, ketidak seimbangan cairan dan elektrolit penurunan perfusi jaringan serebri, ketidakefektifan jalan nafas. Klien berada di IGD.Penurunan kesadaran sejak 7 jam SMRS. 2 jam SMRS ditemukan di pinggir jalan dalam keadaan tidak sadarkan diri. Kejang(-). Perdarahan THT (-). Diduga mengalami KLL tabrak lari tanpa saksi mata. Oleh warga dan polisi dibawa ke IGD RSCM. Masuk ke ruang resusitasi dengan kesadaran semakin menurun GCS E1M3V2 2.Pengkajian Pengkajian fisiologis: Oksigenasi : tidak ada batuk.terpasang O2 8 lt /m melalui maskerterpasang ETT.klien menggunakan ventilator. TD : 100/60 mmHG, n: 102 x/m, rr:20 x/m, suhu: 39 C. Radiologi: suspek fraktur pada sisi inf maksila kiri, TB paru (rotgen thorak AP), fraktur oblik inkomplet intertrokanter femur kanan, Nutrisi: terpasang NGT di lubang hidung sebelah kanan. Terdapat gangguan menelan. Muntah (-). Diet cair 6x100 cc. Eliminasi :Terpasang kateter. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 5x/m. urin output: 100-200 cc/12 jam. Urin seperti teh.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Ada luka pada kaki kanan. Frkatur trokanter femur kanan. Closed frkatur fibula dextra.Proteksi :riwayat alergi tidak bisa diketahui. Klien beresiko jatuh. Kesadaran klien menurun. terdapat luka pada tubuh klien. Demam (+). Sensasi: tidak terkaji karena kesadaran menurun.Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/12 jam. Neurologi: penurunan kesadaran dengan GCS: E1M3V2. Pupil unisokor dengan diameter 5 mm/2 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.CT scan : Perdarahn epidural regio parietal kiri, subdural, parietal bilateral dan subarakhnoid. Perdarahan intraventrikuler ventrikel lateralis bilateral. Kontusio serebri lobus frontal bilateral. Hematosinus sfenoid. Fraktur linier os temporoparietal kiri.Endokrin :Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah sewaktu: 250.Lab: Hb (8,5), Ht (22,8). PT/APTT: 17,813,1; d dimer : 12,9, cr: 54 .Na/k/cl: 144/3,97/111/. Ph/po2/pco2/sao2/be/Hco3: 7,463/16,9/184/99.4/-9,4/11,7 Adaptasi konsep diri.Kemampuan adatasi klien yang meliputi :Fisik diri,Personal diri,Fungsi peran dan Interdepensi belum bisa dikaji karena keterbatasan klien yang mengalami penurunan kesadaran dan perawatan klien dipindah dari IGD ke ruang rawat inap. Belum nampak keluarga yang menjenguk sehingga heteroanamnese tidak bisa dilakukan. Pengkajian stimulus:Stimulus fokal: penurunan kesadaran dengan diganosa DIC, anemia, perdarahan intrkranial.Stimulus kontekstual: riwayat KLL tabrak lari Stimulus residual:resiko berduka (berkabung) karena ancaman kematian. 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : penurunan kesadaran, penurunan perfusi jaringan sistemik, gangguan nutrisi, ketidak seimbangan cairan dan elektrolit penurunan perfusi jaringan serebri, ketidakefektifan jalan nafas, acaman berduka, resiko kehilangan akibat kematian. 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi dan kesadaran klien, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, mengambil spsimen darah (arteri dan vena), melakukan pemasangan dan rawat infus di jalur vena, memberikan terapi oksigen 3 lt/m, memasang katetr dan NGT, membantu memberikan posisi semifowler, memastikan klien bed rest, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan dll., membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, melakukan triage di imet dan memindahkan klien ke ruang resusitasi, membantu pemasangan mayo, ett dan ventilator,melakukan perawatan dengan memperhatikan proteksi diri. kolaborasi: medikasi : ceftriaxon 2x2, azitromisin 1 x1, vit K 3 x1 , azid 1 x 4, sukralfat 4 x 10. 5.Evaluasi S:-, O: klien meninggal 5 jam setelah dirawat di ruang resusuitasi IGD RSCM dengan kondisi pupil unisokor, apnea, TD:100/50mmHg, nadi:110 x/m, rr: 20 (ventilator) suhu: 39 C. A: -P: Lanjutkan intervensi: rawat jenasah dan memindahkan klien ke ruang jenasah, mencoba terus menghubungi dan komunikasi dengan keluarga. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: RESUME KASUS KE-13 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn. C, No RM: 354-26-72, Umur : 61 Tahun, Pekerjaan: pedagang,alamat: tangerang Banten Diagnosa Medik: tetraparese UMN ec susp metastase Ca Paru, Tumor intrkranial Post Vp Shunt, Ca Paru sin, Leukositosis ec ISK. Pasien dengan riwayat nyeri kepala sejak 2 tahun yang lalu. Dirasakan seperti ditusuk diseluruh kepala hilang timbul. Nyeri awalnya hilang dengan pemberian obat dari warung namun semakin bertambah sering aktivitas klien terganggu karena nyeri dan kadang sampai mual. Nyeri kepala terutama saat pagi hari dan semakin berat jika dipakai mengejan dan batuk. Sekitar 2 bulan yang lalu klien memeriksakan diri ke RSUT dari hasil Ct Scan diketahui ada tumor di kepala kemudian dipasang Vp Shunt setelah itu pasien sering mengalami nyeri kepala. Setelah dilakukan terapi, nyeri kepala klien berkurang selama sekitar 2 minggu. Klien lupa nama obat yang dikonsumsi untuk menurunkan nyeri kepalanya.1 bulan SMRS klien merasakan nyeri kepalanya mulai terasa lagi, tungkai sering kesemutan bahkan jalan sampai diseret. Mual dan muntah (+) , klien juga merasakan dada disebelah kirinya terasa nyeri (sedang) , hilng timbul. Klien menglamai nyeri kepala memberat 2 hari SMRS. Klien mempunyai riwayat Vp Shunt ec hidrosefalus ec SOL sekitar 2 bulan yang lalu. Sejak 1 minggu SMRS klien mengalami kelemahan tungkai, baal (+), kesemutan (+) dan kesulitan untuk BAB dan BAK. Saat dilakukan pengkajian klien mengeluhkan nyeri dengan skala 4-5. GCS E4M6V5. Bicara pelo, makan sering tersedak, bicara kurang nyambung. Klien mempunyai riwayat Hipertensi sekitar 5 tahun, mempunyai kebiasan merokok sejka masih muda sekitar 1 bungkus dihabiskan dalam sehari. 2.Pengkajian Pengkajian fisiologis:Oksigenasi : tidak ada batuk. terpasang O2 3 lt /m melalui nasal kanul.klien menggunakan ventilator. TD : 140/100 mmHG, N: 88 x/m, rr:22 x/m, suhu: 37 C. Radiologi: suspek tumor dinding tumor, Nutrisi: terpasang NGT di lubang hidung sebelah kanan. Terdapat gangguan menelan. Mual (+). Muntah (+). Diet cair 6x100 cc. Eliminasi :Terpasang kateter. BAB (-). BU: 2x/m. urin output: 100-200 cc/12 jam. Urin seperti teh. Proteinuria, hematuria. Aktivitas /Istirahat:kelemahan pada ekstremitas.Proteksi :riwayat alergi tidak bisa diketahui. Klien beresiko jatuh karena kelemahan pada ekstremitas. nyeri kepala(+). Demam (-). Sensasi: pancaindera dalam batas normal, sensasi raba , suhu tekan dalam batas normal.Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam. Neurologi: kelemahan tungkai kanan dan kiri terutama pada ekstremitas bawah. Baal (+), paraestesia (+), penurunan kesadaran dengan GCS: E1M3V2. Pupil isokor dengan diameter 3mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+. Hipoestesia setinggi T10-11. Saraf otonom: inkotinensia bowel dan blader.lasig:>70/>70, kernig:>135/135.Endokrin :Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagiLab: Hb (11,5), Ht (40,5)Ur/Cr/OT/Pt: 47/1,2/37/48Na/k/cl: 138/5,45/97 mEq/LUrin analsis: makro: warna merah, keruh BJ: 1,015 Ph: 6,0 protein 3+, glukos :-, keton:-, darah 3+, bilirubin: -, urobilin: 0,2, nitrit: -, esterase: 3+; mikros: sel epitel 1+, leukositosis: penuh, eritrosit: penuh. Adaptasi konsep diri:Fisik diri: Ada perubahan pada diri klien dimana bicara nya menjadi pelo , kedua kaki tidak bisa digerakan, kedua tanganya juga mengalami kelemahan. Klien mengalami ganguan komunikasi karena bicara menjadi pelo, gangguan eliminasi semua kebutuhan sehari-hari klien tergantung pada orang lain. Membuat klien awalnya sulit menerima kondisinya, klien sangat berharap bisa kembali berjalan, klien mulai meras frustasi karena beberapa tahun terakhir ini merasa sakitnya bukan membaik malah semakin berat.Personal diri :selama di IGD klien tidak bisa menjalankan kegiatanya seharihari smeuanya harus dibantu oleh orang lain.Fungsi peran: selama sakit klien tidak bisa menemui cucunya dan menjalankan kegiatan seperti dirumah.Interdepensi :Klien menikah dan tinggal dengan istri dan anak dan beberapa cucu. Klien paling dekat dengan istrinya. Setiap hari istrinya menemani di RS dan anaknya secara bergantian menjenguk. Keluarga sanagt mendukung agar klien secepatnya sembuh. Pengkajian stimulus: Stimulus fokalklien mengalami nyeri kepala, gangguan eliminasi, kelemahan ekstremitas, kesulitan komunikasi.Stimulus kontekstual: riwayat hipertensi, Vp Shunt, Sol, tumor intrakranial, tumor paru. Stimulus residual:motivasi klien yang menurun, pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit dan metastase dari penyakit masih kurang. 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : gangguan mobilitas fisik, gangguan rasa nyaman: nyeri, ganguan pemenuhan ADL, gangguan komunikasi verbal. 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi dan kesadaran klien, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, mengkaji kemungkinan kejang, mencegah valsava manuver, mengambil spsimen darah (arteri dan vena), melakukan pemasangan dan rawat infus di jalur vena, memberikan terapi oksigen 3 lt/m, memasang kateter dan NGT, mengkaji mual dan muntah serta satastu nutrisi klien, membantu memberikan makanan, membatasi aktivitas, membantu memberikan posisi semifowler, memastikan klien bed rest, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan dll., membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, mempersipakan klien untuk Ct Scan, memonitor hasil Ct Scan, mempersiapakn kepindahkan klien di unit perawatan Stagnan dari imet, mengajarkan teknik distraksi relaksasai: relaksasasi nafas dalam benson untuk menurnkan nyeri dan mengevaluasi kefektifanya. kolaborasi: medikasi : fenitoin 3x 50 mg po, depakote 3x1 po, dexametason 3x5 mg iv, ondansetron 1x40 mg, cpz k/p. 5.Evaluasi S: klien mengatakan nyeri kepala dan mual berkurang, O: TD:140/90mmHg, nadi:80 x/m, rr: 20 suhu: 36,5, muntah (-), tetraparese(+), pelo (+) , inkotinensia, keteter (+), C. A: masalah teratasi sebagian P: Lanjutkan intervensi: konsul Neuro, IPD dan bedah, rencanan Ct Scan, pengambilan spesiemn darah (arteri), Thorak ulang, pindah ke ruang Urgent. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: RESUME KASUS KE-14 1. Informasi Umum dan pengkajian Nama (Inisial): Tn. O, No RM: 3544261, Umur : 22 Tahun, alamat: bekasi, Diagnosa Medik: cepalgia, gangguan penglihatan. Dilakukan autoanamnese dan didapatkan keluhan utama berupa Penglihatan mata kanan bertahap menjadi gelap sejak ± 1 bulan yang lalu.± 10 bulan yang lalu, ketika sedang beraktifitas, pasien mengeluh sakit kepala seperti ditusuk-tusuk jarum disertai rasa berdenyut pada kepala sisi kanan terutama dahi dan pelipis kanan namun tidak menjalar ke kepala sisi kiri, durasi ± ½ -1 jam, VAS 6, memberat dengan batuk dan mengedan. mual (-) muntah (-) pingsan (-) kejang (), pasien kemudian berobat ke puskesmas dikatakan sakit kepala biasa dan diberikan obat sakit kepala dan mual, keluhan tidak juga membaik. ± 6 bulan yang lalu, pasien mulai mengeluhkan mata kanan mulai menonjol dibandingkan mata kiri disertai sakit kepala yang bertambah berat dengan tipe yang sama, VAS 7, sakit kepala timbul terutama pada malam hari. frekuensi 2-3x/minggu. Mual (-) muntah (-) kejang (-).± 5 bulan yang lalu, mata kanan pasien tampak semakin menonjol disertai penglihatan mata mulai tampak kabur, objek yang dilihat menjadi kabur dan tidak fokus dan 1 hari kemudian pasien tidak dapat melihat sama sekali dengan mata kanan, mata kanan melihat gelap berwarna hitam. Mata merah (-) nyeri saat menggerakkan bola mata (-) trauma mata (-). pasien kemudian berobat ke RS Bayuarta dilakukan CT-scan kepala dikatakan ada tumor di belakang bola mata dan disarankan untuk dioperasi, pasien sempat berobat ke RS Hasan Sadikin dan juga dikatakan harus dioperasi, pasien dan keluarga menolak karena keterbatasan biaya dan tidak meneruskan pengobatan.± 3 bulan yang lalu, sakit kepala dengan tipe sama bertambah berat, pasien sampai memegangi kepala dan sempat pingsan karena tidak kuat menahan rasa sakit, sakit kepala dirasakan hampir setiap hari. pasien juga mengeluhkan kesemutan pada dahi sisi kanan dirasakan seperti ada cacing yang berjalan sekitar dahi kanan. Mata kanan semakin menonjol dan penglihatan mata kanan tetap tidak dapat melihat sama sekali. pasien berobat kembali ke RSUD Karawang dilakukan operasi pengangkatan tumor (21 Februari 2012), namun menurut keterangan dokter bedah saraf hanya 70% tumor yang dapat diangkat karena sisanya berdekatan dengan otak dan dirujuk ke RSCM untuk penanganan lebih lanjut. Selang 1 hari paska operasi, mata kanan pasien sudah dapat melihat kembali seperti biasa, tidak tampak lagi penonjolan pada mata kanan dan sakit kepala sudah tidak dirasakan lagi.± 1 bulan yang lalu (10 hari paska operasi), pasien mengeluhkan mata kanan menjadi merah, mata kanan mulai tampak menonjol kembali dan sakit kepala kembali timbul dengan tipe yang sama, seperti ditusuk-tusuk di kepala sisi kanan terutama dahi dan pelipis kanan, namun dirasakan tidak terlalu berat, VAS-3, keluhan hilang-timbul dan biasanya terjadi pada malam hari.± 3 minggu yang lalu, pasien mengeluh penglihatan mata kanan bertahap menjadi buram kembali, awalnya dapat melihat objek walaupun terlihat buram, selang 1 minggu kemudian penglihatan mata kanan menjadi tidak dapat melihat sama sekali, hanya warna hitam saja yang dilihat oleh mata kanan pasien disertai penonjolan mata kanan yang semakin terlihat. pasien kemudian berobat ke poli saraf RSCM dan disarankan untuk rawat inap.Saat ini sakit kepala masih dirasakan pasien dengan tipe yang sama terutama pada malam hari, VAS 3, penglihatan mata kanan gelap total dan mata kanan tampak semakin menonjol. nafsu makan semakin menurun dan terdapat riwayat penurunan berat badan 5 kg semenjak sakit.Pusing berputar (-) muntah proyektil (-) kejang (-) penglihatan dobel (-) gangguan penciuman (-) gangguan pendengaran (-) telinga berdenging (-) kelemahan anggota gerak satu sisi (-) baal anggota gerak satu sisi (-) mulut mencong (-), bicara pelo (-) tersedak saat makan dan minum (-) sulit menelan (-) gangguan BAB dan BAK (-) batuk lama (-) mimisan (-) demam (-).Klien mempunyai riwayat kejang demam sewaktu kecil (umur 1 tahun), Riwayat sakit maag (+), HT (-) DM (-) asma (-) stroke (-) penyakit jantung (-) keganasan (-) alergi obat dan makanan (-).Keluarga mempunyai riwayat : keganasan/kelainan serupa (-), Riwayat HT (-), DM (-) asma (-) stroke (-) penyakit jantung (-). Riwayat pribadi dan sosial klien: Pasien adalah seorang laki-laki berusia 22 tahun, pendidikan terakhir S1, saat ini bekerja sebagai pemulung bola golf, merokok (+) sudah berhenti sejak 1 tahun yang lalu, tidak minum alkohol. makan mie instan (+) 3-4x/minggu, ikan asin (-). Pembiayaan dengan jamkesmas. 2.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : gangguan sensori:penglihatan, gangguan rasa nyaman: nyeri, resiko cidera. 3. Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas di ruang poli NO: melukakukan pemeriksaan TTV, membantu dan mengikuti pelaksanaan pemeriksaan fisik , neuro dan NO oleh dokter, melakukan pemeriksaan visus, melakukan pemeriksaan lapang pandang dengan kampimeter, meneteskan tetes mata cendomydiratil untuk melebarkan pupil, ikut melakukan pemeriksaan funduskopi, mengobservasi hasil pemeriksaan penunjang pada klien. Memberikan KIE pada pasien mengenai penurunan pengihatan dan resiko cidera yang mungkin muncul. Meminta klien untuk menggunakan lata bantu jalan, mengajrakan teknik distraksi relaksasi benson untuk menurunkan nyeri kepala, memberikan KIE penyebab sakit kepala yang sering diderita klien. 4.Evaluasi Kesimpulan hasil NO klien adalah :Penurunan visus OD, Paresis N. III dekstra total, paresis N. IV dekstra, paresis N. VI dekstra, lesi N. V1 dekstra, paresis N. V motorik dekstra, Sefalgia sekunder RESUME PASIEN KASUS-15 1. Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn. S, No RM: 3554684, Umur : 43 Tahun, alamat: Jogjakarta, Diagnosa Medik: KNF on Staging, Dilakukan autoanamnese dan didapatkan keluhan utama berupa Suara sengau sejak ± 1 bulan yang lalu. Riwayat penyakit klien sebagai berikut: ± 4 bulan yang lalu, pasien mengeluh kedua hidung terasa penuh, seperti ada cairan dari hidung yang ingin keluar namun tidak dapat keluar sehingga kedua hidung terasa mampet dan terdapat rasa terganjal ditenggorokan. pasien berobat ke dokter umum diberikan obat radang, keluhan pilek tidak membaik.± 2 bulan yang lalu, pasien mengeluh penciuman kedua hidung terasa terganggu disertai timbul bau pada kedua hidung. pasien berobat ke RS Fatmawati oleh Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: dokter THT terdapat benjolan dibelakang hidung, pasien kemudian dilakukan ct-scan nasofaring, biopsi hidung dan didapatkan hasil tumor nasofaring. ± 1 ½ bulan yang lalu, pasien mengeluh benjolan dileher kanan diikuti leher sebelah kiri awalnya sebesar kelereng, semakin lama semakin membesar sampai sebesar telur ayam, konsistensi dirasakan keras, nyeri tekan (-) nyeri sekitar benjolan (-) keluar nanah dari benjolan (-). ± 1 bulan yang lalu, pasien mengeluh suara menjadi bindeng, bicara tetap jelas.± 2 minggu yang lalu, pasien mengeluh sakit kepala berdenyut di sisi sebelah kanan, VAS 3, tidak menjalar, durasi ± 2-3 menit, hilang tanpa pengobatan, tidak memberat dengan batuk dan mengedan. frekuensi 2x/hari. Pasien berobat ke dokter saraf diberikan obat (?). keluhan membaik dalam 1 minggu terakhir sakit kepala sudah tidak dirasakan dan tidak semakin memberat. Bicara cadel (+) sejak lahir. Gangguan penglihatan (-) penglihatan dobel (-) gangguan pendengaran (-) pingsan (-) kejang (-) pusing berputar (-) muntah proyektil (-) kelemahan anggota gerak satu sisi (-) baal anggota gerak satu sisi (-) mulut mencong (-),tersedak saat makan dan minum (-) gangguan BAB dan BAK (-). Riwayat penyakit klien terdahulu : HT (-) DM (-) Asma (-) stroke (-) penyakit jantung (-) keganasan (-) alergi obat dan makanan (-).Riwayat kesehatan keluarga klien: Riwayat HT (+) ibu pasien, DM (+) kakak pasien, tumor (-). Riwayat pribadi dan sosial klien : Pasien adalah seorang laki-laki berusia 43 tahun, pendidikan terakhir S1, saat ini bekerja sebagai wiraswasta, merokok (+) berhenti 2 bulan yang lalu, tidak minum alkohol. makan mie instan (-) ikan asin (-). 2.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : gangguan rasa nyaman :nyeri, ketidakefektifan jalan nafas, gangguan sensori persepsi: penghidungan, resiko cidera. 3.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas di ruang poli NO: melukakukan pemeriksaan TTV, membantu dan mengikuti pelaksanaan pemeriksaan fisik , neuro dan NO oleh dokter, melakukan pemeriksaan visus, melakukan pemeriksaan saraf olfaktorius, menguji penciuman klien, memeriksaan kemampuan bicara (bindeng), kemampuan menelan dan fungsi terkait nervus IX dan X, meneteskan tetes mata cendomydiratil untuk melebarkan pupil, ikut melakukan pemeriksaan funduskopi, mengobservasi hasil pemeriksaan penunjang pada klien, memberikan KIE pada klien mengenai penciman yang menurun, kemampuan menelan yang menurun dll. 4.Evaluasi Kesimpulan hasil NO klien adalah :Anosmia dekstra, paresis N. IX, X sinistra, Sefalgia sekunder, limfadenopati bilateral ec. KNF belum infiltrasi basis kranii dan intrakranial RESUME KASUS KE-16 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Ny. S. P, No RM: 352-41-28, Umur : 57 Tahun, alamat: tangerang, Diagnosa Medik: HNP servical post laminektomi. ;2 tahun SMRS pasien mengeluh baal disertai kesemutan dikedua tungkai bawah tangan dan kaki dirasakan semakin melemah hingga sulit berjalan. Pasien sulit BAB. Untuk BAB harus menggunakan obat-obatan. Pasien berobat ke RSUP lalu dirujuk ke RSCM. Klien mempunyai riwayat gula namun tidak terkontrol. Tidak mempunyai riwayat hipertensi maupun penyakit jantung. Klien tidak pernah trauma, jatuh maupun kecelakaan dan operasi sebelumnya. 2.Pengkajian Pengkajian Adapatasi fisiologi: Oksigenasi : Tidak ada: sesak, batuk dan nyeri dada. Tidak ada riwayat hipertensi. Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 130/80 mmHg, nadi :78 x/m, RR: 18 x/m, suhu: 36 C.Nutrisi :Tidak ada pembatasan makan. Tidak ada mual, muntah dan anoreksia. Tidak ada gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Eliminasi:Terpasang kateter, BAB sudah selama 10 hari masih belum bisa dengan bising usus 3-5 x/m. pemakaian pencahar. urin output: 600cc/24 jam. Tidak ada distensi blader. Aktivitas /Istirahat:Ada kelemahan pada ekstremitas bawah kakan dan kiri. Klien tergolong parsial care. Berpakaian serta Toileting dibantu oleh keluarga termasuk dengan pemasangan alat. Sedangkan makan dan minum bisa dilakukan sendiri. Tidak ada gangguan tidur. Proteksi:Tidak ada riwayat alergi. Kulit terlihat kering terutama di telapak kaki. Kuku panjang dan ada yang terlepas sehingga membuat luka di pollicis kaki kanan.Sensasi: Tidak ada gangguan pada pancaindera. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Pasien mengeluhkaan pusing (nyeri kepala sebelah) skala 3-4 (sedang) yang dipakai duduk dan diberi massage dengan minyak aromaterapi hangat membaik. Ekspresi wajah: proporsional. Bicara lancar. Tidak ada pelo, afasia dan disartria.Cairan elektrolit:Minum oral. terpasang IV line. IUFD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Parese nervus kranial dalam batas normal. Penurun tonus dan kekuatan otot. KO: 5555 5555/5544 4444. Endokrin:observasi gula darah klien. Pembelian humulin R 8 u 3xhr. GDS terakhir: 142 (19/5/2012 jam 11.00 WIB) Adaptasi konsep diri Fisik diri: Ada perubahan pada fisik klien terutama pada kaki klien yang keduanya sekarang sulit untuk digerakkan. Personal diri : Selama di RS klien tidak bisa menjalankan kegiatan ibadahnya. Klien hanya bisa berdoa dan dzikir dalam hati agar diberikan kesembuhan dan kedua kainya bisa berjalan seperti sediakala. Fungsi peran : Klien tidak bisa bekerja seperti biasa. Dan hanya mampu berbaring diatas tempat tidur dengan semua kebutuhan sehari-harinya dibantu oleh orang lain. Interdepensi: Klien menikah dan tinggal dengan suami dan satu anaknya yang sudah dewasa. Klien paling dekat dengan suami. Selama sakit klien selalu dijaga oleh suaminya. Pengkajian stimulus:Stimulus fokal: Parese dikedua kakinya. Stimulus kontekstual: Riwayat DM. Stimulus residual: Klien belum tahu perawatan mobilisasi pada klien dengan parese. Klien dan keluarga belum paham bagaimana mengontrol gula darah. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : gangguan mobilitas fisik b.d kelemahan neuromuskuloskletal, gangguan pemenuhan ADL b.d kelemahan muskoskletal. Gangguan eliminasi bowel: kostipasi berhubungan dengan kelemahan neurogenik. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan gula darah. 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : mengkaji kemmapuan neuromuskuloskeletal, memberikan mobilisasi, memberikan latihan ROM, memberikan edukasi latihan rom pada klien dan keluarga, mengkaji efek immobilisasi pada klien trutama infeksi nosokomila dan integumen klien, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, radiologi, melibatkan keluarga dalam perawatan klien, memberikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, memberikan supprot sistem, membantu pemenuhan ADL klien, mengkaji psikologi klien terutama terkait ketergantungan pada orang lain dan parese pada kedua kakinya, mengkaji kemampuan eliminasi klien. Mengobservasi intake nutrisi klien, memberikan mobilisasi dan exercise bertahap dalam batas toleransi, memberikan edukasi pentingnya nutrisi dan mobilisasi dalam eliminasi klien, mengobservasi kemampuan eliminasi klien, mengambil GDS secara rutin tiap 4 jam, menjelaskan dan meberikan edukasi cara mengontrol gula termasuk dalam pengaturan nutrisi, melalkukan perawatan kaki dari kallus, memberikan posisi head up 30-40 dan melakukan perawatan cervical collar, memberikan yal supp pemberian humulun R, kolaborasi: medikasi :ceftriaxon 1 x 25 mg, m.cobal 2x40, farmadol 3x15 mg, metilprednisolon 4 x125, omz 1 x 40. Diet MC 90 cc/jam 5.Evaluasi S: klien mengatakan tungkainya sudah lebih jarang kesemutan dan sering digerakkan seperti yang sdh diajarkan O: TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36,2 rr::18x/m, TO masih sama, rom diberikan, footdrop (-), ulkus (-), eduakasi dan informasi sdh diberikan A: masalah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: klien rencana pulang dan rawat jalan RESUME KASUS KE-18 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn M, No RM: 371-57-75, Umur : 32 Tahun, Pekerjaan: wiraswasta, Diagnosa Medik: METB, Diagnosa Keperawatan: resiko penyebaran infeksi, perubahan perfusi jaringan serebri,gangguan mobilitas fisik 1,5 bulan SMRS pasien mulai sulit berjalan. Awalnya ketika berjalan harus berpegangan tangan . saat itu keluhan lain disangkal. 1 bulan SMRS pasien tidak bisa berjalan sendiri. Pasien mulai merangkak dan bicara menjadi kacau. Pasien berobat ke rs siloamdikatakan demam tipes dan diberikan antibiotik namun tidak ada perbaikan.Demam (+) hilang timbul. Tidak terlalu tinggi. Klien juga mengalami sakit kepala berdenyut di kedua sisi namun tidak sampai mengganggu aktivitas.5 hari SMRS pasien mulai terdapat gangguan perilaku . pasien mulai BAK sembarangan dan sering tidak mengenakan pakaian.Oleh IPD pasien didiagnosa epilepsi sejak 1945. sebelumnya pasien terlibat tawuran dan dipukul di kepalanya. Sejak awal minum fenitoin 3 x 100 mg. Sejak april 2012 dinaikan menjadi 100-200-200. 2.Pengkajian Pengkajian fisiologi:Oksigenasi: Saat dilakukan pengkajian tidak ada: batuk, sesak napas dan nyeri dada. Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 110/80 mmHg, nadi :78 x/m, RR: 19 x/m, suhu: 36,7 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : EKG: normal sinus ritme , radiologi: paru dalam batas normal. Nutrisi: Tidak terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet bubur cair dan susu. Terpasang NGT.Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb: 12,3. Eliminasi: Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin output: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat:Terdapat klelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong total care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu dan dilakukan sebagian besar di kamar mandi akibat penurunan penglihatan dan kemampuan motorik. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit tida intak ada luka decubitus derajat 2 dibagian lumboskaral dengand iamter 10-15 cm, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (14,63).Sensasi:Terdapat gangguan pada pancaindera, terutama pada indera penglihatan dimana terjadi : pangangan dobel dan kabur, ptosisi (+). Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala). Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 10002000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya langsung dan tidak langsung +/+. Ptosis (+). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-). Parese nervus kranial pada N VII, IX,X dan XII. Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : CT scan : tidak terlihat adanya lesi fokal dalam jaringan otak, pelebaran dari sinus cavernosus kanan terkesan ada anomali vaskuler di daerah ini yang dapat menekan pada saraf pergerakaan bola mataKeluhan : pandangan dobel, mata kabur,gangguan menelan, mudah lelah kalau menggerakkan tangan dan kaki .EndokrinTidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 166 (tinggi). Adaptasi konsep diri:Fisik diri: Ada perubahan pada diri klien dimana kedua tangan dan kaki klien lemas dan sukar untuk digerakkan.Personal diri:Selama di RS klien terlihat tidak pernah menjalankan kegiatan ibadah.Fungsi peran:Selama sakit klien tidak bisa menjalankanaktivitas seperti biasanya. Klien hanya terbaring diatas tempat tidur dengan kedua tangan dan kakinya direstrain dengan tujuan agar klien tidak melukai diri dan orang lain.Interdepensi:Terlihat hampir tidak ada keluarga yang menjenguk sehingga pengkajian interdepensi tidak bisa dilakukan.Pengkajian stimulusKontak dengan klien belum Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: adekuat. Masih berusaha menjalin komunikasi terapetik. Adanya perubahan pada kognisi klien dan ada rencana untuk konsul rawat gabung dengan pihak psikiatri. Dari keluarga terlihat tidak ada yang menemani selama perawatan sehingga informasi lebih lanjut tidak bisa dicari. 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : resiko penyebaran infeksi, perubahan perfusi jaringan serebri,gangguan mobilitas fisik.gangguan integritas kulit 4. Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, memberikan ROM, mikamiki dalam batas toleransi, kolab dengan fisioterapi memberikan ROM dan chest exercise, melakukan perawatn luka decubitus,. memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Sca, MRI dll., membantu pemenuhan ADL klien, kolaborasi: terapi ROM, medikasi : dexa 5 mg 2x1 , diazepam 10 mg b/p 1x1, rifampisin 450 mg 1x1 po, inh 300 mg 1x1 po, ethambutol 500 mg 1 x2 po, depakene syr 4x1, clobazam 10 mg 2x1 curcuma 200 mg 3x1 po, B6 10 mg 3x1, OMZ 40 mg iv. 5.Evaluasi S: kontak dengan klien tidak adekuat, O: klien terlihat suka tersenyum sendiri, TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, NGT (+), kateter dc (+). A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: konsul psikiatri , lanjutkan terapi. RESUME KASUS KE-18 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn C, No RM: 369-66-45, Umur : 22 Tahun, Pekerjaan: mahasiswa dan karyawan, Diagnosa Medik: miastenia gravis. 2 bulan SMRS klien mengeluh penglihatan dobel sewaktu bangun tidur pagi dan agak lemah seluruh tubuh. Pasien berobat ke dokter mata dan dikatakan mata koien normal. Pasien juga mengeluh kelemahan seluruh tubuh , semakin memberat di tiap harinya hingga berjalan hanya kuat dalam jarak 5 meter. Pasien dirawat di RSSiloam dan diberi Mestinon, selama perawatan keluahan klien berkurang dan klien kembali bisa melihat dan berjalan, sehingga klien ditegakkan diagnosa miastenia gravis. Pasien diberi obat rawat jalan mestinon dengan dosis: 3 tablet tiap hari. Setelah 3 minggu klien kembali mengalami sesak napas dan hilang timbul.1,5 bulan SMRS kedua mata klien makin lama makin tidak bisa dibuka dan terasa kelopak mata main menurun. Sangat lemas dan terasa lelah untuk menggerakkan kedua kelopak mata. Kedua tangan dan kaki klien juga mulai lemas dan lelah untuk digerakkan.1 minggu SMRS klien berobat ke poli RSCM dan mendapat terapi mestinon dengan dosis 5x/hari.4 jam SMRS klien mulai sulit menelan, kedua tangan dan kakinya sulit digerakkan dan klien mengeluh sesak nafas. Pandangan dobel dan kabur. Kedua kelopak mata tidak buka dibuka. Mestinon tetap dikonsumsi oleh klien. 2.Pengkajian Pengkajian fisiologisOksigenasi: Saat dilakukan pengkajian tidak ada: batuk dan nyeri dada. Saat MRS klien mengalami sesak napas. Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36,3 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : EKG: normal sinus ritme , radiologi: paru dalam batas normal.Nutrisi:Terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet bubur cair dan susu. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb: 12,3. TB: 176 cm. BB: 48 kg: Eliminasi: Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Terdapat klelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong total care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu dan dilakukan sebagian besar di kamar mandi akibat penurunan penglihatan dan kemampuan motorik. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (10,63).Sensasi:Terdapat gangguan pada pancaindera, terutama pada indera penglihatan dimana terjadi : pangangan dobel dan kabur, ptosisi (+). Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala). Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 1000-2000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya langsung dan tidak langsung +/+. Ptosis (+). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Parese nervus kranial pada N III, VII, IX,X dan XII. Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid. CT scan : tidak terlihat adanya lesi fokal dalam jaringan otak, pelebaran dari sinus cavernosus kanan terkesan ada anomali vaskuler di daerah ini yang dapat menekan pada saraf pergerakaan bola mata. Keluhan : pandangan dobel, mata kabur,gangguan menelan, mudah lelah kalau menggerakkan tangan dan kaki . Endokrin:Tidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 126 (dbn). Adaptasi konsep diri: Fisik diri: Ada perubahan pada diri klien dimana kedua kelopak mata klien selalu menutup dan sulit untuk dibuka, kedua tangan dan kaki klien lemas dan sukar untuk digerakkan. Kondisi ini membuat klien tidak nyaman dan malu. Namun klien yakin akan secepatnya sembuh. Dan mengganggap perubahan tersebut hanya sementara dan yakin akan kembali ke kondisi awal. Personal diri:Selama di RS klien rajin untuk sholat diatas tempat tidur. Kalau ada masalah klien lebih suka diskusi dengan ibuk dan adiknya.Fungsi peran:Selama sakit klien tidak bisa menjalankan aktivitas seperti biasanya. Padahal klien masih harus kuliah dan bekerja sebagai karyawan telkom.Interdepensi:Klien tinggal dengan adik dan kedua orang tuanya. Klien paling dekat dengan ibuknya. Setiap hari ibuk , adik dan ayahnya bergantian menemani di RS. Keluarga sanagt mendukung agar klien secepatnya sembuh. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: Pengkajian stimulus: Stimulus fokal, residual dan kontekstual ; Klien mengalami miastenia gravis. Kelemahan pada nervus kranial 3,7,9,10.Muncul defisit neurologi berupa: gangguan penglihatan : ptosis (+), pandangan dobel dan kabur, klien mengluh sulit dan lelah menggerakan bola mata. Serta kelemahan pada ekstremitas terutama pada kiri baik tangan dan kaki kesan parese ekstremitas kiri. 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot-otot ekstremitas, perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan komponen darah, kurang pengetahuan tentang proses penyakit berhungan dengan kurang informasi. 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, memberikan ROM, miamiki dalam batas toleransi, kolab dengan fisioterapi memberika ROM dan chest exercise, mengkaji fungsi menelan dan pengkliatan klien, membantu melatih kemampuan menelan klien, melakukan perawatan pada mahokar klien dengan ganti balutan dan spooling, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil plasmafersesi 4 kali dan membantu klien mempersipakan palsmaferesisi yang ke 5. memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Sca, MRI dll., membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memebrikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, kolaborasi: terapi ROM, medikasi : mestinon 6x1, prednison 3-3-2, inpepsa syr 10 cc 2 x1, OMZ 40 mg iv, b complex 2 mg 3x1 po, as folat 50 mg 1x1 po, collacept 500 mg 2x1 po. 5.Evaluasi S: klien mengatakan setelah plasma yang je 5 kemampuan menelan, membuka mata dan mengggerakkan tangan dan kaki membaik, O: palsmafersis ke-5 (+), TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, disfagia (-), ptosis berkurang, pandangan dobel (+), peningkatan kekuatan otot pada tangn dan kaki. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: perawatan mahokar, evalauasi lebih lanjut hasil plasma 5 kali pada neurotransmitter klien, rencana pelepasan mahokar, rencana pulang dan discharge planning. RESUME KASUS KE-19 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn M, No RM: 3716300, Umur : 28 Tahun, Pekerjaan: karyawan, Diagnosa Medik: METB, Masalah Keperawatan: resiko gangguan nutrisi dan resiko penyebaran infeksi. 1 Minggu SMRS pasien mulai terlihat bicara tidak nyambung. 2 minggu SMRS klien mengelu sakit kepala berdenyut hilang timbul, mual (-) muntah (-). Tidak diperberat dengan batuk dan mengejan. Skala sedang dan tidak memberat di pagi hari. Selain itu klien juga mengalami demam hilang timbul , tidak terlalu tinggi namun klien tidak tahu berapa suhunya karena memang tidak diukur.6 jam SMRS klien semakin mengalami demam dan nyeri kepala yang diiukuti kondisi seperti mengatuk. Akhirnya oleh keluarga klien dibawa ke IGD RSCM tanggal 5/9/2012 dengan kondisi: penurunan kesadara, demam: suhu (38,5 C), keluhan nyeri kepala sedang, batuk (+), sesak (-), bicara pelo (-), kelemahan otot tubuh (-), mulut mencong (-). Tanggal 6/9/2012 klien MRS di gedung A RSCM lantai V ruang 516 C dengan diagnosa medis penurunan kesadaran suspek METB, TB paru dalam pengobatan terapi TB, candidiasis oral, susp imunocomprise, riwayat stress ulcer. 2.Pengkajian Pengkajian fisiologis: Oksigenasi: Saat dilakukan pengkajian tidak ada: batuk dan nyeri dada.. Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 110/78 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 18 x/m, suhu: 36,3 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : EKG: normal sinus ritme , radiologi: paru dalam batas normal.Nutrisi:Terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet bubur cair dan susu. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb: 12,3. TB: 165 cm. BB: 45 kg: kesan penurunan berat badan, terdapat candiadiasis oral Eliminasi: Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong total care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu dan dilakukan sebagian besar di kamar mandi akibat penurunan penglihatan dan kemampuan motorik. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (33,8).Sensasi:Tidak gangguan pada pancaindera, terutama pada indera penglihatan dimana terjadi : pangangan dobel dan kabur, ptosisi (+). Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala). Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 1000-2000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya langsung dan tidak langsung +/+. Ptosis (-). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).kesan Parese nervus kranial (-). Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid. CT scan : tidak terlihat adanya lesi. Pemeriksaan diagnostik yang lain: Hepatitis marker (12/92012):non reaktif, Mikrobiologi: Hasil : BTA (-). Imunoserologi (8/9/2012) Anti HIV,Wester blot (-) (-) Kesimpulan HIV (-), Telah dilakukan PCR terhadap HSV herpes simplex virus (12/9/2012). Kesimpulan : PCR HSV (-). Analisis cairan tubuh (12/9/2012) M. Tuberculosa PCR (+) Mikrobiologi (18/5/2012) Hasil : BTA (-) Adaptasi konsep diri: Fisik diri: tidak ada perubahan pada diri klien secara fisik yang terlihat oleh mata namun ada proses infeksi di otak sebagai akibat dari METB. Kondisi ini membuat klien dan keluarga sedikit banyak khawatir namun mereka yakin akan sembuh dan beraktivitas seperti sedai kala. Karena saat ini klien sudah tidak merasakan keluhan berarti seperti Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: sebelumnya seperti : nyeri kepala, demamam dan penurunan kesadaran. Klien mendpaat terapi OAT dlaam jangka waktu lama yang membutuhkan waktu, tenaga, motivasi dan disiplin dalam pelaksanaan terapinya. Pengkajian stimulus: Stimulus fokal, residual dan kontekstual ; Klien mengalami METB. Keluarga mendukung penyembuhan klien, tidak ada riwayat penyakit sebelumnya. Klien dan keluarga belum mengetahui pelaksanaan terapi OAT. 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : resiko gangguan nutrisi, resiko penyebaran infeksi, kurang pengetahuan tentang proses penyakit berhungan dengan kurang informasi. 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : menejemen nutrisi: menejemen pengendalian infeksi dan edukasi terstruktur terutama mengenai pengobatan OAT, 5.Evaluasi S: klien mengatakan sudah tidak pusing, O: nyeri kepala (-), kesadran compos mentis : 15, TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, demam (-) parese (-), gangguan nervus kranium (-). A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: peningkatan imun, edukasi. RESUME KASUS KE-20 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn Mj, No RM: 3716683, Umur : 38 Tahun, Pekerjaan: sopir, Diagnosa Medik: METB, 5 bulan SMRS pasien mulai sakit kepala. Dirasakan berdenyut dikepala bagian kanan hilang timbul dan tidak memberat di pagi hari, tidak memberat dengan batuk dan mengedan, sakit kepala dirasakan semakin memberat dan disertai dengan muntah > 3x/hr. Tubuh pasien terasa lemas. Keluhan lain (-). Pasien berobat ke dokter. Diberikan obat penghilang rasa sakit setelah itu dirasakan sakit kepala berkurang. Demam (-), batuk (-) sesak (-).2 bulan SMRS pasien mulai mengeluhkan gangguan padangan mata kanan. Awalnya buram seperti nampak kabur yang makin lama makin berat keluhan makin dirasakan di mata kiri. Mulai mengalami bicara pelo dan mulut mencing ke kanan, kelemhana sisi sebelah tubuh tidak dirasakan. Tidak ada mual dan muntah serta demam.1,5 bulan SMRS klien mulai tersedak sulit bila minum dan makan klien berobat ke rs setempat. Pasien tidak di CT scan. 7 hari SMRS pasien mulai nampak tertidur pasien masih bias berkomunikasi namun kembali tidur. 2.Pengkajian Pengkajian fisiologi:Oksigenasi:batuk (+) dan nyeri dada.. Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 120/78 mmHg, nadi :78 x/m, RR: 22 x/m, suhu: 36,5 C. Terpasang o2 3 lt /m melalui nasal kanul, Rh -/-, wh -/-.Nutrisi:Terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet cair dan susu. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb: 13,3. Terpasang NT di hidung sebelah kanan. Eliminasi: Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 5-7 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong parsial care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu dan dilakukan sebagian besar di kamar mandi akibat penurunan penglihatan dan kemampuan motorik. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (19).Sensasi:terdapat gangguan pada pancaindera, terutama pada indera pendengaran. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala). Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 1000-2000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya langsung dan tidak langsung +/+. Ptosis (-). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).kesan Parese nervus kranial III, IX dan X. Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid. Pemeriksaan radiologi:infiltrat di lapang paru atas dan bawah paru kanan. Imunoserologi: anti HIV penyaring: non reaktif. Ct scan: ensefalitis dengan multiple absen serebri pada lobus frontal kanan, parietal kiri dan oksipital kanan disertai herniasi subtalamus sinusitis maksilaris kiri. Adaptasi konsep diri: Fisik diri: tidak ada perubahan pada diri klien secara fisik yang terlihat oleh mata namun ada proses infeksi di otak sebagai akibat dari METB. Kondisi ini membuat klien dan keluarga sedikit banyak khawatir namun mereka yakin akan sembuh dan beraktivitas seperti sedai kala. Karena saat ini klien sudah tidak merasakan keluhan berarti seperti sebelumnya seperti : nyeri kepala, demamam dan penurunan kesadaran. Klien mendpaat terapi OAT dlaam jangka waktu lama yang membutuhkan waktu, tenaga, motivasi dan disiplin dalam pelaksanaan terapinya. Pengkajian stimulus: Stimulus fokal, residual dan kontekstual ; Klien mengalami METB. Keluarga mendukung penyembuhan klien, tidak ada riwayat penyakit sebelumnya. Klien dan keluarga belum mengetahui pelaksanaan terapi OAT. 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : ketidakefektifan bersihan jalan napas, perubahan sensori persepsi: pendengaran, resiko penyebaran infeksi, ganguan menelan. 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : menejemen nutrisi: menejemen pengendalian infeksi dan edukasi terstruktur terutama mengenai pengobatan OAT, 5.. Evaluasi Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: S: klien mengatakan sudah tidak sesak lagi, O: nyeri kepala (-)sesak (-), kesadran compos mentis : 15, TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, demam (-) parese (-), gangguan nervus kranium III, VI, IX, X. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: peningkatan imun, edukasi. RESUME KASUS KE-21 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Ny Y, No RM: 3705883, Umur : 32 Tahun, Pekerjaan: IRT, Diagnosa Medik: Proptosis ec Meningioma. Penonjolan mata kiri sejak 2 tahun sebelum masuk RS semakin menonjol sejak 6 bulan yang lalu. Sejak 5 bulan yang lalu klien merasa pandangan mata kiri buram . 1 bulan SMRS mata kiri tidak bisa melihat bayangan. Pasien berobat ke dokter mata dan direncanakan enukleasi dan ekstirpasi tumor.Pasien MRS 2/10/2012 dan dioperasi pada tanggal 8/10/2012. Craniotomy +enukleasi+eksterpasi tumor. Pengkajian dilakukan pada post op hari pertama (10/10/2012). Pasien berada di HCU 1 hari. 2.Pengkajian Pengkajian fisiologis: Oksigenasi:batuk (-) dan nyeri dada.. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai berikut: tekanan darah : 120/78 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36,5 C. EKG: sinus rytme.Nutrisi:Tidak terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi dan susu. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb: 12,3. Tidak terpasang NGT . Eliminasi: Terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 5-7 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu , eliminasi dilakukan sebagian besar di kamar mandi dengan dibantu akibat penurunan penglihatan. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (19).Sensasi:terdapat gangguan pada pancaindera, terutama pada indera penglihatan. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala). Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 1000-2000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Visus 1/ . Ptosis (-). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).kesan Parese nervus kranial II, III, IV dan VI. Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid. Adaptasi konsep diri: Fisik diri: adanya perubahan pada bentuk fisik klien yaitu penonjolan bola mata sebelah kanan, penurunan penglihatan mata kiri. Adanya bekas op (craniotomi) pada kepala Pengkajian stimulus: Stimulus fokal, residual dan kontekstual ; klien mengalami post op cranitomy sebagai tindakan koreksi terhadapa protosisi pada mata kanan sebagai akibat dari meningioma. Proptosisi klien sebagai akibat dari desak ruang TIO dari dampak meningioma. Klien dan keluarga belum mendapat informasi menganai perawtan post op. 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : perubahan sensori persepsi: penglihatan, gangguan rasa nyaman nyeri, resiko cidera.. 4. Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : menejemen pencegahan trauma, rawat luka, perawatan mata, menejemen kenyamanan. kolaborasi: terapi IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jam,Ketorolak 3x30 mg po, Ranitidn 2x150 mg po 5. Evaluasi S: klien mengatakan setelah op matanya terasa tidak sakit lagi, O: nyeri kepala (-),sesak (-), kesadran compos mentis : 15, TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, post op craniotomi hari ke, mual (-), muntah (-), gangguan nervus kranium II,III,IV dan VI. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: rencanan pulang, discharge planning. RESUME PASIEN MINGGU KE-22 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Ny R, No RM: 3576187, Umur : 42 Tahun, Pekerjaan: Guru Diagnosa Medik: Proptosis ec Meningioma.Penonjolan mata kiri sejak 5 tahun sebelum masuk RS semakin menonjol sejak 1bulan yang lalu. Sejak 6 bulan yang lalu klien merasa pandangan mata kiri buram . 1 bulan SMRS mata kiri tidak bisa melihat bayangan. Pasien berobat ke poli mata RSCM dan direncanakan enukleasi dan ekstirpasi tumor.Pasien MRS 1/10/2012 dan dioperasi pada tanggal 3/10/2012. Craniotomy +enukleasi+eksterpasi tumor. Pengkajian dilakukan pada post op hari ketujuh (10/10/2012). Pasien berada di HCU 2 hari. Hasil DSA 2/10/2012: Telah dilakukan DSA melalui arteri carotis interna dan eksterna. Right carotis komunis tidak tampak stenosis. RICA tampak blushing pada tumor dari cabang duramter a optalmica. RECA tampak blushing pada tumor dengan feeder dari cabang ant a meningea media dan cabang sphenopalatina a maxillaris , left carotis communis. LICA, LECA dalam batas normal. Dilakukan embolisme pada RECA cab a meningea media dan cabang sphenopalatina hasil : oklusi total (PCA : 500). Saran: operasi removal dalam 3 hari.\ 3.Pengkajian Pengkajian fisiologi: Oksigenasi:batuk (-) dan nyeri dada.. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai berikut: tekanan darah : 120/78 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36,5 C. EKG: sinus rytme.Nutrisi:Tidak terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi dan susu. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb: 11. Tidak terpasang NGT . Eliminasi: Terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 5-7 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu , eliminasi dilakukan sebagian besar di kamar mandi dengan dibantu akibat penurunan penglihatan. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (23).Sensasi:terdapat gangguan pada pancaindera, terutama pada indera penglihatan. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala). Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 1000-2000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Visus 1/ . Ptosis (-). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).kesan Parese nervus kranial II, III, IV dan VI. Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid. Adaptasi konsep diri: Fisik diri: adanya perubahan pada bentuk fisik klien yaitu penonjolan bola mata sebelah kanan, penurunan penglihatan mata kiri. Adanya bekas op (craniotomi) pada kepala Pengkajian stimulus: Stimulus fokal, residual dan kontekstual ; klien mengalami post op cranitomy sebagai tindakan koreksi terhadapa protosisi pada mata kanan sebagai akibat dari meningioma. Proptosisi klien sebagai akibat dari desak ruang TIO dari dampak meningioma. Klien dan keluarga belum mendapat informasi menganai perawtan post op. 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : perubahan sensori persepsi: penglihatan, gangguan rasa nyaman nyeri, resiko cidera. 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : menejemen pencegahan trauma, rawat luka, perawatan mata, menejemen kenyamanan. kolaborasi: terapi IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jamFosmisin 2x1,Ketorolak 3x3, Ranitidn 3x5, Dilantin 3 x 1. 5.Evaluasi S: klien mengatakan setelah op matanya terasa tidak sakit lagi, O: nyeri kepala ()sesak (-), kesadran compos mentis : 15, TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, post op craniotomi hari ke, mual (-), muntah (-), gangguan nervus kranium II,III,IV dan VI. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: rencanan pulang, discharge planning. RESUME KASUS KE-23 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Ny H, No RM: 3717092, Umur : 67 Tahun, Pekerjaan: PNS. Diagnosa Medik: SOL intrakranial, Gangguan daya ingat dan perilaku sejak 1 tahun SMRS.3 taun SMRS klien sering marah tanpa penyebab yang jelas. Perubahan perilaku hanya berlaku seseaklai tanpa sebab yang jelas namun setelah itu hilang dengan sendirinya.1 thn SMRS mengeluh sering lupa. 3 bulan SMRS klien mengeluh sering BAK bolak balik. 3 minggu SMRS klien nyeri kepala hilang timbul. 2 hari SMRS klein mengalami penurunan penciuman di kedua hidung.Pasien MRS 3/10/2012 dan dioperasi pada tanggal 5/10/2012. Craniotomy removal tumor. Pengkajian dilakukan pada post op hari ketiga (8/10/2012). Pasien berada di HCU 1 hari. 2.Pengkajian Pengkajian perilaku: mode Adapatasi fisiologi: Oksigenasi:batuk (-) dan nyeri dada.. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai berikut: tekanan darah : 120/78 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36,5 C. EKG: sinus rytme.Nutrisi:Tidak terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi dan susu. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb: 12. Tidak terpasang NGT . Eliminasi: Terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 5-7 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu , eliminasi dilakukan sebagian besar di kamar mandi dengan dibantu akibat penurunan penglihatan. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (20).Sensasi:terdapat gangguan pada pancaindera, terutama pada indera penglihatan. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala). Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 10002000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Visus 1/ . Ptosis (-). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).kesan Parese nervus kranial I, traktur olfaktorius. Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid. Adaptasi konsep diri:Fisik diri: adanya perubahan pada indera penciuman klien dimana klien tidak dapat mencium bau. Adanya bekas op (craniotomi) pada kepala Pengkajian stimulus: Stimulus fokal, residual dan kontekstual ; klien mengalami post op cranitomy sebagai tindakan koreksi SOL klien. Klien dan keluarga belum mendapat informasi menganai perawtan post op. 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : perubahan sensori persepsi: penciuman, gangguan rasa nyaman nyeri, resiko cidera. 4.Implementasi Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : menejemen pencegahan trauma, rawat luka, perawatan mata, menejemen kenyamanan. 5. Evaluasi S: klien mengatakan setelah op hidungnya mulai bisa mencium bau, O: nyeri kepala (+), skala ringan. Skala 3. sesak (-), kesadran compos mentis : 15, TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, post op craniotomi hari ke, mual (-), muntah (-), gangguan nervus kranium I. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: rencanan pulang, discharge planning. RESUME KASUS KE-24 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn A, No RM: 3716229, Umur : 52 Tahun, Pekerjaan: pemulung. Diagnosa Medik: Stroke hemoragik thalalmus 22 cc,Tidak diketahui keluarga (OT). Kelemahan sisi kiri mendadak sejak 3 hari SMRS. Keluhan nyeri kepala 3 hari SMRS di kepala sebelah kanan. 1 hari SMRS klien muntah 3 kali didahului mual. Pasien sudah tidak makan 2 hari . demam (-). Klien ditemukan tergelekat di jalan proklamasi dengan penurunan kesadaran tanpa identistas dengan kesadaran yang semakin menurun. Klien mRS tanggal 9/9.2012 masuk IGD RSCM dengan diantar teman sesama pemulung tanpa ada identitas dan keluarga. Kesdaran menurun dengan kelemahan pada ekstremitas. Saat ini dilakukan pengkajian pada masa rawat inap pada bulan kedua. 2.Pengkajian Pengkajian fisiologis: Oksigenasi:batuk (-), sesak (-), nyeri dada (-). Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai berikut: tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36,5 C. EKG: sinus rytme. Riwayat hipertensi grade II yang tidak terkontrol. Nutrisi:Tidak terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi dan susu. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb: 12. Tidak terpasang NGT . Eliminasi: Terpasang kateter. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 5-7 x/m. urin outpu: 500-900cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: kelemahan pada ekstremitas kanan. Klien tergolong total care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu , eliminasi dilakukan sebagian besar di atas tempat tidur dengan dibantu akibat gangguan mobilitas fisik. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (20).Sensasi:terdapat gangguan pada pancaindera, terutama pada indera penglihatan. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala). Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 10002000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Visus 1/ . Ptosis (-). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).kesan Parese nervus kranial (-). Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid. Adaptasi konsep diri:Fisik diri: adanya perubahan pada mobilitas klien dimana klien tidak dapat mencium bau. Adanya bekas op (craniotomi) pada kepala 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : gangguan mobilitas fisik, gangguan pememnuhan ADL. 4. Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : menejemen moblitas: mika, miki, duduk dan berdiri, fisioterapi. (ROM) Menejemen pemenuhan ADL: membantu pemenuhan makan dan minum, membantu emmandikan klien, memastikan patensi pemasangan kateter, membantu berpakaian dan eliminasi. 5. Evaluasi S: klien klien mngetakan tangan dan kaki kanan lebih emmbaik sekarang, klien mengatakan pengen pulang tapi ke panti jompo saja, O: parese ektremitas kanan, kateter DC (+), TTV: TD 120/80, N:80, RR:18 x/m. S: 36 C. A: masalah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: rencanan pulang, discharge planning. RESUME KASUS KE-25 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn T, No RM: 3714480, Umur : 54 Tahun, Pekerjaan: PNS, Diagnosa Medik: SOL IC, Klien mengalami penurunan kesadaran sejak 1 bulan SMRS. Pasien rujukan dari RSPU sulianti dengan keterangan tumor IC. Sejak 1 bulan SMRS pasien mengalami penurunan kesadaran sulit dibangunkan dan bicara tidak nyambung. Klien dirujuk di RSCM masuk IGD tanggal 6/9/2012 dengan diagnosa medik :SOL, mengalami muntah dan kesadaran menurun. Kemudian klien MRS di lantai V gedung A ruang 516. Dilakukan pemeriksaan fisik pada masa rawat inap klien pada bulan ke 2 MRS. Saat ini klien sudah dinyatakan DNR (do not resiusitation). Kesadaran menurun, stupor. Kelemahan ekstremitas kanan dan kiri. 2.Pengkajian Pengkajian fisiologis:Oksigenasi : sesak (+), serangan gagal nafas 2 kali dalam 1 minggu, terpsang oksimetri. Sa 02 :98, batuk dan akumulasi dahak terpasang NGT di hidung, dan sunkup non rebreathing 8 l/m. Ada riwayat merokook dan hipertensi grade II. Dalam merokok, klien menghabiskan 1 bungkus dalam 2 hari. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: klien sebagai berikut: tekanan darah : 140/90 mmHg, nadi :91 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36,8 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : EKG: prolonged QT , radiologi: kardiomegali dengan IVH, paru dalam batas normal. Nutrisi:Makan 3 x/hr jenis diet cair. Membran mukosa lembab. Konjungtiva pucat. Hb:(10). BB: 78 kg, TB: 176 cm. Ikterik (-)Eliminasi :terpasang kateter kondom. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin output: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong totl care. Berpakaian, makan dan minum dibantu orang lain. Toileting dibantu oleh keluarga dilakukan diatas TT. Proteksi :Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuhakibat penurunan kesadaran. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (8,6). Sensasi: Tidak ada gangguan pada pancaindera. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Ada keluhan pusing (nyeri kepala) skala 5-6 (sedang). Ekspresi wajah: menceng kekanan dengan perilaku bicara pelo.Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam. Hipertensi grade II dengan pengobatan captopril 2x 12,5 mg PO. Neurologi: Kesadaran stupor dengan GCS: E1M1Vafasia. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya +/+.Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Parese nervus kranial pada N VII dan N XIIReflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis, footdrop (+), atrofi (+) Adaptasi konsep diri: Fisik diri: Ada perubahan pada diri klien dimana kesdaran menurun dan muka masih menceng ke kanan. Parese ekstremitas.Personal diri :klien sering didengarkan murrotal ditelinganya .Fungsi peran: Selama sakit klien tidak bisa bekerja. Padahal klien adalah kepala keluarga. Dengan 2 anakan yang masih sekolah.Interdepensi :Klien menikah dan tinggal dengan istri dan kedua anaknya yang beranjak demasih SMP dan SD. Klien paling dekat dengan istrinya. Setiap hari istrinya menemani di RS dan anaknya secara bergantian menjenguk. Keluarga sangat mendukung agar klien secepatnya sembuh. Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: Terjadi SOL. Muncul defisit neurologi berupa: parese nervus VII dan XII berupa muka menceng ke kanan dan bicara pelo. Gula darah yang tinggi. Penurunan kesdaran, akumulasi dahak. Batuk dan sesak. Parese kestremitas.Stimulus kontekstual: Riwayat hipertensi grade II tidak terkontrol. Stimulus residual: Klien belum tahu dampak dari merokok. Klien belum tahu menejemen stree. Klien belum tahu pengontrolan hipertensi dan perawatan (gaya hidup) pasien post DM dan SOL. Keluarga perlu mendapat paliative care dan perawatan pasien terminal karena sudah ditegakkan kondisi DNR. 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut :Perubahan perfusi jaringan serebri berhubungan dengan interuosi aliran darah ke otak, Resiko hambatan komunikasi verbal berhubuungan dengan gangguan pada SSP sekunder terhadap gangguan sirkulasi ke otak, kurang pengetahuan tentang proses penyakit berhungan dengan kurang informasi. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler. Penurunan keasadaran, resiko berduka pada keluarga. 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neuroli, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, melakukan pemeriksaan ABI, membantu memberikan mobilisasi duduk, memonitor munculnya tanda peningkatan TIK, mengurangi nyeri dengan memberika teknik distraksi relaksasi : relaksasi benson, mengkaji kemampuan bicara, menulis klien, mengkaji penyebab ketidakmampuan komunikasi pada klien, memfasilitasi alat bantu komunikasi terutama komunikasi non verbal, mengkaji dukungan keluarga dalam perawatan klien, memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Scan, MRI dll., membantu pemenuhan ADL klien, melibatkan keluarga dalam perawatn klien, memebrikan edukasi pada klien dan keluarga terkait perawatan klien, kolaborasi: terapi okupasi wicara, medikasi : simvastati 1x10 mg, ascardia: 1x80, B6B12AF, citicolin 2x 500 mg iv, captopril 2x120, pct k/p.pemantauan oksimetri dan kemungkinan serangan ulang gagal nafas. Injeksi humulin 3x/hr 9-12-12. 5.Evaluasi S: klien kontak tidak adekuat, O: tidak ada tanda valsava menuver, TD :140/90mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, pelo dan menceng pada muka berkurang, tidak ada gangguan menelan. Penurunan kesadaran, stupor. Parese. Batuk (=), sesak (+), gagal nafas. DNR (+). A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: pemantauan oksimetri, supprot sisitem RESUME KASUS KE-26 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn Es, No RM: 3724726, Umur : 54 Tahun, Pekerjaan: PNS. Diagnosa Medik: SOL Klien mengatakan pusing berputar sejak 2 hari SMRS. Sejak 1 bulan yang lalu klien mengeluh pusing berputar membaik dengan menutup mata. kelemahan tubuh sebelah kanan sejak 2 hari SMRS. 2.Pengkajian Pengkajian perilaku: mode adaptasi fisiologi: Oksigenasi:batuk (-) dan nyeri dada. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai berikut: tekanan darah : 120/78 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36,5 C. EKG: sinus rytme.Nutrisi:Tidak terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi dan susu. Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb: 12. Tidak terpasang NGT . Eliminasi: Terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 5-7 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu , eliminasi dilakukan sebagian besar di kamar mandi dengan dibantu akibat penurunan penglihatan. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (20).Sensasi:terdapat gangguan pada pancaindera, terutama pada indera penglihatan. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. pusing (nyeri kepalaskala sedang). Ekspresi wajah grimace (-): , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: 1000-2000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Visus 1/ . Ptosis (-). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).kesan Parese nervus kranial I, traktur olfaktorius. Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid. Adaptasi konsep diri Fisik diri: adanya perubahan pada indera penciuman klien dimana klien tidak dapat mencium bau. Adanya bekas op (craniotomi) pada kepala Pengkajian stimulus: Stimulus fokal, residual dan kontekstual ; klien mengalami post op cranitomy sebagai tindakan koreksi SOL klien. Klien dan keluarga belum mendapat informasi menganai perawtan post op. 3. Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : perubahan sensori persepsi: penciuman, gangguan rasa nyaman nyeri, resiko cidera.. 4. Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : menejemen mobilisasi, menjemen nyeri, menejemen perfusi. kolaborasi: terapi IUFD Nacl 0,9 %500 cc/8 jamFosmisin 2x1Ketorolak 3x3. Ranitidn 3x5. Dilantin 3 x 1 5.Evaluasi S: klien mengatakan setelah op hidungnya mulai bisa mencium bau, O: nyeri kepala (+), skala ringan. Skala 3. sesak (-), kesadran compos mentis : 15, TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, post op craniotomi hari ke, mual (-), muntah (-), gangguan nervus kranium I. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: rencanan pulang, discharge planning. RESUME PASIEN MINGGU KE-28 1. Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn M, No RM: 371-57-75, Umur : 32 Tahun, Pekerjaan: wiraswasta, Diagnosa Medik: epilepsi on OAE, post skin graft defek regio sacrum ec UD gr III. 1,5 bulan SMRS pasien mulai sulit berjalan. Awalnya ketika berjalan harus berpegangan tangan . saat itu keluhan lain disangkal. 1 bulan SMRS pasien tidak bisa berjalan sendiri. Pasien mulai merangkak dan bicara menjadi kacau. Pasien berobat ke rs siloamdikatakan demam tipes dan diberikan antibiotik namun tidak ada perbaikan.Demam (+) hilang timbul. Tidak terlalu tinggi. Klien juga mengalami sakit kepala berdenyut di kedua sisi namun tidak sampai mengganggu aktivitas.5 hari SMRS pasien mulai terdapat gangguan perilaku . pasien mulai BAK sembarangan dan sering tidak mengenakan pakaian.Oleh IPD pasien didiagnosa epilepsi sejak 1945. sebelumnya pasien terlibat tawuran dan dipukul di kepalanya. Sejak awal minum fenitoin 3 x 100 mg. Sejak april 2012 dinaikan menjadi 100200-200.Setelah MRS 1 bulan dengan terapi OAT ternyata lumbal punksi klien normal kemudian terapi diberikan OAE. Kesadaran klien membaik, namun klien terlihat regresi dan ada kesan ganguan fungsi luhur. Fungsi motorik klien membaik. Klien dilakukan debridement untuk tutup defek UD disacrum gr III. 2.Pengkajian Pengkajian fisiologis: Oksigenasi: Saat dilakukan pengkajian tidak ada: batuk, sesak napas dan nyeri dada. Dari hasil pemeriksaan diketahui ttv klien sebagai berikut: tekanan darah : 110/80 mmHg, nadi :78 x/m, RR: 19 x/m, suhu: 36,7 C. Hasil pemeriksaan diagnostik : EKG: normal sinus ritme , radiologi: paru dalam batas normal. Nutrisi: Tidak terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet bubur cair dan susu. Terpasang NGT.Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb: 12,3. Eliminasi: Tidak terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 6 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat:Terdapat klelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong total care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu dan dilakukan sebagian besar di kamar mandi akibat penurunan penglihatan dan kemampuan motorik. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit tida intak ada luka decubitus derajat 2 dibagian lumboskaral dengand iamter 10-15 cm, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (14,63).Sensasi:Terdapat gangguan pada pancaindera, terutama pada indera penglihatan dimana terjadi : pangangan dobel dan kabur, ptosisi (+). Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. Tidak ada keluhan pusing (nyeri kepala). Ekspresi wajah: , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 10002000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Reaksi terhadap cahaya langsung dan tidak langsung +/+. Ptosis (+). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-). Parese nervus kranial pada N VII, IX,X dan XII. Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid CT scan : tidak terlihat adanya lesi fokal dalam jaringan otak, pelebaran dari sinus cavernosus kanan terkesan ada anomali vaskuler di daerah ini yang dapat menekan pada saraf pergerakaan bola mataKeluhan : pandangan dobel, mata kabur,gangguan menelan, mudah lelah kalau menggerakkan tangan dan kaki .EndokrinTidak ada riwayat DM. Tida ada poliuri, polidipsi dan polifagi. Gula darah : 166 (tinggi). Adaptasi konsep diri: Fisik diri: Ada perubahan pada diri klien dimana kedua tangan dan kaki klien lemas dan sukar untuk digerakkan.Personal diri:Selama di RS klien terlihat tidak pernah menjalankan kegiatan ibadah.Fungsi peran:Selama sakit klien tidak bisa menjalankan aktivitas seperti biasanya. Klien hanya terbaring diatas tempat tidur dengan kedua tangan dan kakinya direstrain dengan tujuan agar klien tidak melukai diri dan orang lain.Interdepensi:Terlihat hampir tidak ada keluarga yang menjenguk sehingga pengkajian interdepensi tidak bisa dilakukan. Pengkajian stimulus: Kontak dengan klien belum adekuat. Masih berusaha menjalin komunikasi terapetik. Adanya perubahan pada kognisi klien dan ada rencana untuk konsul rawat gabung dengan pihak psikiatri. Dari keluarga terlihat tidak ada yang menemani selama perawatan sehingga informasi lebih lanjut tidak bisa dicari. 3.Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut : gangguan integritas kulit, resiko cidera Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: 4.Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : memonitor status neurologi, kesadaran, mempertahankan elevasi kepala 30-40, memonitor TTV, memberikan ROM, mikamiki dalam batas toleransi, kolab dengan fisioterapi memberikan ROM dan chest exercise, melakukan perawatn luka decubitus,. memonitor hasil pemeriksaan diagnostik klien: lab, Ct Sca, MRI dll., membantu pemenuhan ADL klien, kolaborasi: terapi ROM, medikasi : topamax 2x250 mg po, clobazam 10 mg 2x1 curcuma 200 mg 3x1 po, B6 10 mg 3x1, OMZ 40 mg iv. Af 1x1 5.Evaluasi S: klien mengeluh nyeri dan panan di punggung bawah bekas debridemnet , O: kesadran CM. E4M6V gangguan fs luhur. TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, NGT (+), kateter kondom (+). UD: regio sacrum gr IV dilakukan operasi skin garft pada tanggal 17/10/2012. Saat ini post op hari kedua. Rembesan (+). Terpasang drain 40 cc. A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: mobilisasi tengkurap dan miring. Mika miki, bed anti decub, diet renah sisa. RESUME KASUS KE-29 1. Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn Y, No RM: 350-38-82, Umur : 56Tahun, Pekerjaan: PNS, Diagnosa Medik: : Stroke Hemoragik, hipertensi, diabetes mellitus II,Sekitar 5 hari sebelum MRS setelah bangun tidur jam 05.00 tiba-tiba klien mengeluhkan kepalanya pusing, tidak lama kemudian tangan dan kakinya sulit digerakan dan mukanya menjadi menceng kekiri. Kemudian ketika klien memanggil istrinya dengan suara terbata-bata. Ketika ditanyai oleh istrinya suara klien sulit sudah tidak jelas (pelo). Kemudian klien minum obat (paramek) yang dibelikan istrinya di toko namun kondisi klien semakin pusing dengan tangan dan kaki yang semakin lemas.Akhirnya sekitar jam 08.00 WIB klien masuk ke UGD poliklinik RSCM dan disarankan MRS. Dalam perjalanan klien sempat muntah setelah itu klien cenderung menutup matanya dan mulai sulit untuk diajak komunikasi oleh keluarga. Beberapa kali klien sempat menggiggau. Saat ini klien berada di lantai V gedung A RSCM dengan diagnosa Stroke hemoragik dengan keluhan utamnya adalah pusing. Palliative/provokative : nyeri (pusing) bertambah bila dipakai mengejan atau banyak bergerak (memiringkan tubuh), nyeri berkurang bila dipakai tiduran tanpa banyak bergerak dengan posisi tidur (supine) dengan satu bantalQuality/qunatity : nyeri terasa seperti ditekan dengan skala sedang, Ragio/radiation : nyeri terasa di kening dang belakang kepala serta leher belakang. Saverity/scale : nyeri berat dengan skala 6-7. Timing : nyeri hilang timbul utamanya saat malam.Tanda Vital saat masuk : TD : 180/100 mmHg Suhu : 36,6 0C. Nafas:20 x/menit, Nadi 68 x/menit. Klien mempunyai riwayat penyakit diabetes mellitus sejak 10 tahun yang lalu dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol dengan rata-rata kadar gula darah tertinggi: 200-300 mg/dl. Klien juga mempunyai riwayat hipertensi dengan tekanan darah tertinggi 150-200/90-100 mmHG. Klien tidak mempunyai riwayat penyakit pernapasan, cardio, alergi. Klien juga belum pernah operasi. Tidak pernah mengalami kecelakaan. Klien tidak mempunyai riwayat alergi baik makanan, minuman maupun obat.Klien pernah MRS di RS Pasar rebo dengan diagnosa diabetes dan hipertensi sekitar 1 tahun yang lalu selama 10 hari. Setelah keluar klien jarang kontrol baik itu memeriksan gula darahnya maupun tekanan darahnya. Klien biasa mendapatkan terapi captopril 2 X 1 tablet (dosis tidak diketahui). Sedangkan untuk penyakit diabetesnya klien biasa suntik bila ada gangguan saja ke puskesmas dekat rumahnya 2.Pengkajian Pengkajian fisiologisAdapatasi fisiologiRespirasi : Inspeksi :Bentuk hidung simeteris, Tidak ada deviasi septum, Tidak ditemukan adanya sekret, Tidakada pernapasan cuping hidung, Tidak terlihat sesak, Tidak ada penggunaan otot bantu napas, Tidak ada retraksi IC atau suprasternal, Pergerakan dinding dada simetris, Tidak ada tanda trauma atau jejas di hidung dan wajah, Tidak terpasang selang O2, kepatenan jalan nafas sama kuat hembusannya, mukosa hidung lembab dan bersih, tidak terdapat secret, tidak ada sianosis pada bibir Palpasi :Tidak ada nyeri tekan pada dada , Tidak teraba massa abnormal di leher dan dada, Taktil fremitus normal,RR : 20 x / menitAuskultasi :Suara napas vesikuler, Tidak ada bunyi paru tambahan sepertifriction rub, stridor, wheezing dll, Tidak ada batukPerkusi :Batas paru normal. suara perkusi paru resonanSirkulasi Inspeksi :Tidak ada tanda cianosis, Membran mukosa lembab, Tidak ada jejas pada dada atau thoraks. Konjungtiva merah muda. Tidak terdapat clubbing finger Palpasi :CRT < 2 detik.Turgor baik. Nadi : 68 x / menitnadi teraba kuat dan reguler. pada bagian perifer ekstrimitas atas dan bawah teraba hangatApeks cordis di ICS IV MCS. JVP 5+2 cm.Suhu : 36,6 CAuskultasi :Bunyi jantung I dan II tunggal. tidak ada murmur/gallop TD = 180/100 mmHg. Fokal fremitus normalPerkusi :Batas jantung normal : batas kanan jantung linea mid sternalis dan batas kiri jantung linea midclavikularis. Getaran dinding paru kiri dan kanan sama kuatTerdengar dullness pada semua area jantung Nutrisi: istri klien mengatakan bahwa suaminyanya makan 3 x/hari, namun tidak pernah dihabiskan, bahkan makanya maksimal hanya 3 sendok dari makanan yang disajikan di RS. Jenis diet klien lunak. Klien mengaku tidak menyukai makanan yang lembek. Buah yang diberikan ke klien hanya dimakan separoh. Klien mengeluh mual namun tidak muntah. Klien tidak mengalami kesulitan menelan (disfagia). NGT (-). klien minum sekitar 1000 cc/24 jam. Klien mendapat IUFD RL : D5 = 2:2/24 jam. BB klien saat ini tidak bisa diukur karena klien belum bisa turun dari tempat tidur karen masih pusing. sklera tidak ikterik, warna bibir merah muda. conjunctiva tampak merah muda. Pada daerah mulut tidak ditemukan adanya kandidiasis. Tidak ada gigi yang tanggal atau caries. tidak ditemukan adanya lesi pada daerah mulut, fungsi mengunyah pada mulut bagian kanan dan kiri berfungsi dengan baik. lidah klien kotor dan barwarna putih, Abdomen datar, tidak terdapat asites dan distensi abdomen, bising usus 8 x/menit ireguler, pada saat perkusi terdengar bunyi timpani pada semua kuadran, tidak teraba pembesaran hati dan limpa, tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada semua kuadran abdomen, pada anus tidak terdapat hemoroid.Eliminasi Bowel : Pada saat dikaji klien mengatakan BAB 2 hari sekali. Klein mendapatkan laktulak 2x1 CI. Bising usus : 8 x/m. klien tidak menjalani kemoterapi. Selama MRS klien kurang mobilisasi dan intake nutrisi juga kurang.Bladder : Terpasang foley katater dengan produksi 600 cc/24 jam. Warna kuning.proteinuria (-), glukosuria (-).Aktivitas dan Istirahat: Klien terlihat hanya berbaring ditempat tidur. Selama sakit klien menjadi terbiasa tidur siang sekitar 2 jam dan tidur malam sekitar 6-7 jam. Namun klien sering bangun dari tidur malam karena kehausan karena menurutnya suhu di kamarnya panas. Klien sering Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: bangun dari tidur dengan kondisi yang tidak segar. Klien mengatakan sukar tidur malam dengan pulas selain karena panas juga karena kamarnya bising oleh suara pasien di sebelahnya.Selama di RS semua activitiy daily live klien dibantu oleh orang lain seperti berpakaian, membersihkan tubuh termasuk makan dan minum harus disuapin.ProteksiKuku tangan dan kaki klien tampak bersih. Rambut klien agak kotor dan berbau. Mulut klien bersih tidak ada tanda candidiasis. Terlihat ada sedikit daki di tangan dan kaki. Klien tidak mengalami demam. Klien mengalami penyakit stroke dan mengalami hemiparese sinistra terutama di bagian ekstremitas bawah. Klien dalam kondisi bed rest total. Dari kondisi bed rest dan hemiparese kemampuan proteksi klien menurun. Bed rest menyebabkan imunologi klien menurun terutama kondisi integumen klien akan beresiko menglami ulkus. Hemiparese menyebabkan klien mengalami keterbatasan dalam beraktifitas dan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu kemampuan proteksi fisik klien menurun. Klien saat ini membutuhkan bantuan proteksi dari keluarga dan petugas kesehatan.SensoriPenglihatan: klien mengatakan sejak mempunyai penyakit diabetes (10 tahun yang lalu) visus penglihatan klien menurun sehingga dia harus memakai kacamata minus. Saat ini klien mengeluhkan kedua matanya sering kabur meski sudah memakai kacamata.Pendengaran: pendengaran klien menurun sehingga petugas kesehatan atau keluarga harus berbicara dengan suara yang agak keras. Klien mengaku pendengaranya menurun sejak serangan stroke kemaren tanggal 2 /5/2011.Penciuman: tidak ada keluhan. Lidah tidak kotor, saat digerakan lidah tertarik ke sebelah kanan, nyeri (-). Gigi masih utuh, penyakit gusi (-), Caries (-). Integumen : turgor kulit baik, klien kaki sebelah kiri mati rasa, kaki kanan sering kesemutan. rambut klien bersih, distribusi merata, kulit klien bersih, tidak terdapat lesi ataupun kemerahan pada permukaan kulit klien, kulit klien teraba hangat, suhu tubuh 36,60 C. Cairan dan ElektrolitKlien minum air putih 1000 cc/hari.terpasasang IUFD RL 20 tetes /menit. Turgor kulit baik,Shiffting dullness (),ascites (-), pitting edema (-).Tidak tampak ada oedema baik pada palpebra dan daerah ekstremitas atas maupun bawah, tidak tampak pembesaran ginjal, tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada ginjal dan tidak teraba pembesaran ginjal, tidak terdapat adanya nyeri ketuk pada saat perkusi ginjal pada daerah Costa Vertebral Angel, tidak terdapat distensi kandung kemih dan tidak terdapat nyeri tekan maupun lepas pada kandung kemih, klien terpasang dower kateter yang terpasang sejak tanggal 2 Mei 2011. Produksi uri 600 cc/24 jam. Warna kuning. Tidak terdapat tanda-tanda kekurangan atau kelebihan volume cairan tubuh. Turgor kulit baik,Shiffting dullness (-),ascites (-), pitting edema di kaki (-). Berdasarkan hasil pemeriksaan elektrolit darah tanggal 5 Mei 2011, natrium darah normal (128 meq/L), clorida dbn (3,92 meq/L) kalium juga dalam batas normal (100,2 meeq/L).Fungsi NeuromuskuloskeletalTingkat kesadaran Tingkat kesadaran klien compos mentis dengan nilai GCS E4 M6 V5Refleks pupil terhadap cahaya: baik. Fungsi EndokrinRiwayat Diabetes tipe II sejka 10 tahun yang lalu dengan gula darah yang tidak terkontrol.Polidipsi (-) Polifagi (-), poliuri (-). Gula darah terakhir pada pemeriksaan GDS stick : 170. Model Adaptasi Konsep Diri:Klien bisa menerima kondisinya yang MRS lagi namun klien masih kaget bila saat ini dia mengalami stroke apalagi kondisinya sekarang mengalami penuruna pendengaran, penglihatan dengan kaki kirinya yang sulit untuk digerakkan, sehingga semua kebutuhan sehari-harinya selama di rawat di RS harus dibantu oleh orang lain. Padahal klien sebelumnya adalah orang yang mandiri dengan ebban kerja tinggi di kantornya. Klien juga mengatakan cemas dengan kondisi penyakitnya akan mengganggu pekerjaanya, klien takut dipecat dari pekerjaanya karena klien adalah tulang punggung utama, istri klien adalah ibu rumah tangga dengan kedua anak yang masih sekolah di SMA dan SMP dengan biaya pendidikan yang masih banyak. Klien juga kasihna pada istrinya apabila harus menjaganya terus di RS, klien juga cemas dengan kedua anaknya yang tinggal dirumah dengan hany di jaga oleh neneknya. Klien ingin cepat sembuh dan pulang kerumah, kembali bekerja seperti dulu. Model Fungsi PeranSebelum sakit klien bekerja sebagai pegawai negeri sipil di dinas sosial di jakarta di bagian tata usaha. Setiap hari klien mempunyai bebna kerja yang tinggi dan sibuk. Berangkat pagi sampai dengan sore. Klien bekerja selam 5 hari dalam seminggu. Namun sekarang klien hanya bisa terbaring diatas tempat tidurnya dengan semua ADL yang dibantu oleh istri dan petugas kesehatan. Klien mengeluh sangat bosan terbaring terus diatas tempat tidur. Model Adaptasi InterdependenKeluarga klien mendukung kesembuhan klien. Anaknya sering menjenguk di RS. Temankerja klien juga beberapa kali terlihat membesuk klien. Semua biaya pengobatans klien menggunakan dana askes.Klien mengatakan kasihan dengan istrinya karena selama MRS semua kebutuhanya harus dibantu oleh istrinya, namun dia juga bahagia karena istrinya termasuk wanita yang sabar dan banyak membantunya selama MRS ini. Pengkajian stimulus:Stimulus Fokal: Klien mengatakan kepalanya pusing, bicaranya pelo, mukanya masing menceng ke kanan, kaki kirinya masih sulit digerakkan. Klien mengalami hemiparese sehingga mobilitas klien sangat terbatas.Stimulus Kontekstual:Karena mobilitas klien terhambat maka klien hany bisa bed rest total sehingga semua pemenuhan kebutuhan dasarnya harus dibantu oleh orang lain. Dari kondisi bed rest total Klien juga beresiko menglami penurunan imunologi apalagi intake nutrisi klien yang tidak adekuat. Klien rentang mengalami infeksi nosokomial. Selain itu kondisi rendahnya mobility juga bisa membuat klien mengalami gangguan integumen seperti ulkus decubitus atapun masalah sekunder pada muskuloskeletenya seperti atrofi maupun footdrop.Stimulus Residual:Pengetahuan klien tentang kesehatan belum cukup baik, apalagi dengan penyakitnya,terutama mengenai menjemen diet dan terapi untuk diabetes dan hipertensinya. Klien juga tidak mempunyai pengetahuan dan motivasi yang besar untuk melakukan ROM apalagi kondisinya yang immobilitas akibat hemiparese. 3.Diagnosa keperawatan Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah arteri/vena di otak, Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan Kerusakan neuromuskuloskeletal : hemiparese sekunder terhadap stroke hemoragik, Gangguan pemenuhan ADL (activity daily life) berhubungan dengan Gangguan mobilitas fisik Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: 4. Implementasi Meningkatkan dan mendukung sirkulasi serebral:Untuk meningkatkan sirkulasi serebral, intervensi keperawatan mandiri yang dilakukan bisa berupa tindakan observasi pada status neurologi klien, mencatat setiap perubahan yang terjadi, monitor tanda tanda vital, Evaluasi pupil (ukuran bentuk kesamaan dan reaksi terhadap cahaya), kepala dielevasikan pada posisi netral, mempertahankan tirah baring, menciptakan sediakan lingkungan yang tenang dan mengatur kunjungan sesuai indikasi. Selain tindakan keperawatan mandiri, dilakukan juga tindakan kolaboratif dengan pemberian obat-obatan serta memonitor atau menganalisis nilai lab klien.Mobilisasi: Pada klien Tn Y tindakan keperawatan yang dilakukan untuk menejemen mobilisasinya daitaranya : mengkaji kemampuan fungsional/luasnya kerusakan awal dari sistem muskuloskeletal klien, mengubah posisi minimal tiap 2 jam (telentang, mika-miki)melakukan latihan rentang gerak aktif/pasif pada semua ekstremitas bertahap dalam batas tolerasni dengan memperhatikan respon klien,Melibatkan keluarga, berikan motivasi pada klien dan keluarga untuk meningkatkan kemandirian dam mobilisasi.Beberapa rencana dan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah keperawatan ini dilakukan dengan membantu dan memastikan bahwa semua kebutuhan dasar klien terpenuhi dengan optimal, meningkatakna kemandirian klien dan keluarga sesuai kemampuan, kemauan dan pengetahuan klien dan keluarga. 5. Evaluasi Tonus dan kekuatan otoot klien meningkat meskipun peningkatanyapun masih dalam batas belum normal, Tekanan darah dan TTV yang lain dalam batas normal meskipun belum stabil, Tanda –tanda dari peningkatan tekanan intra kranial semakin berkurang dengan ditandainya: hilang atau berkurangnya mual dan pusing, pupil isokor, Valsavar amnuver yang dapat dicegah RESUME KASUS KE-30 1.Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn U, No RM: 350-38-82, Umur : 51 Tahun, Pekerjaan: PNS, Diagnosa Medik: : Cidera Kepala Ringan dan Hipertensi. Pasien datang ke RSCM pada tanggal 28 September 2012 jam 10.00 WIB di Unit UGD dengan rujukan dari klinik Mitra Keluarga Bandar Lampung dengan keluhan luka robek di pelipis kiri, luka lecet dibibir dan tangan kiri. Mata kiri bengkak. Sekitar 3 sebelum MRS (26 September 2012) pasien mengalami kecelakaan lalu lintas saat mengendarai sepeda motor. Kecelakaan bermula ketika pasien hendak menghindari jalanan yang berlubang saat berangkat dians ke kantor, tiba-tiba motor menjadi oleng dan akhirnya menabarak mobil dari arah yang berlawanan. Saat kecelakaan pasien menurut saksi mata klien terjatuh dari sepeda motor , helm yang dipakai lepas dan kepalanya terbentur jalan raya. Klien sempat pingsan kemudian dibangunkan warga sekitar namun setelah sadar hanya 10 menit klien kembali tidak sadarkan diri. Kemudia oleh warga sekitar klien dibawa ke klinik mitra keluarga. Ketika di RS ketika ditanya posisi saat jatuh klien mengatakan sudah lupa. Saat kecelakaan klien mengeluh mual namun tidak muntah. Sampai di klinik mitra keluarga klien sadar tetapi kepalanya sangat pusing, tidak ada rhionrea dan ottorea namun dengan kondisi hipertensi (TD: 180/110 mmHg). Klien dirawat di klinik mitra keluarga selama 3 hari namun karena kondisi klien yang semakin menurun dan tekanan darah yang cenderung tetap tinggi akhirnya keluarga meminta agar klien dirujuk ke RSCM.Saat ini klien berada di lantai V gedung unit neuro RSCM dengan diagnosa CKR dan Hipertensi dengan keluhan utamnya adalah pusing. Palliative/provokative : nyeri (pusing) bertambah bila dipakai mengejan atau banyak bergerak (memiringkan tubuh), nyeri berkurang bila dipakai tiduran tanpa banyak bergerak dengan posisi tidur (supine) dengan satu bantal. Quality/qunatity : nyeri terasa seperti ditekan dengan skala sedang. Ragio/radiation : nyeri terasa di kening dang belakang kepala serta leher belakang. Saverity/scale : nyeri berat dengan skala 6-7. Timing : nyeri hilang timbul utamanya saat malam.Tanda Vital saat masuk : TD : 180/110 Nafas:20 x/menit, Nadi 78 x/menit.Klien mempunyai kebiasaan merokok. Dalam sehari bisa mmHg Suhu : 36,6 0C menghabikan sekitar 4-5 bungkus rokok.Klien juga mempunyai riwayat hipertensi dengan tekanan darah tertinggi 150200/90-100 mmHg. Klien tidak mempunyai riwayat penyakit pernapasan, cardio, endokrin, alergi dll. Klien tidak mempunyai riwayat alergi baik makanan, minuman maupun obat. Klien juga belum pernah operasi. Klien sering mengalami kecelakaan lalu lintas ringan. Klien terjatuh dan terbentur ringan kepalanya pada tiang saat itu akhirnya diketahui bahwa klien mempunyai hipertensi. Setelah keluar klien jarang kontrol memeriksan tekanan darahnya. Klien biasa mendapatkan terapi captopril 2 X 1 tablet (dosis tidak diketahui). 2.Pengkajian Pengkajian fisiologis:Adapatasi fisiologiRespirasi : Inspeksi :Bentuk hidung simeteris, Tidak ada deviasi septum, Tidak ditemukan adanya sekret, Tidakada pernapasan cuping hidung, Tidak terlihat sesak, Tidak ada penggunaan otot bantu napas, Tidak ada retraksi IC atau suprasternal, Pergerakan dinding dada simetris, Tidak ada tanda trauma atau jejas di hidung dan wajah, Tidak terpasang selang O2, kepatenan jalan nafas sama kuat hembusannya, mukosa hidung lembab dan bersih, tidak terdapat secret, tidak ada sianosis pada bibir Palpasi :Tidak ada nyeri tekan pada dada , Tidak teraba massa abnormal di leher dan dada, Taktil fremitus normal,RR : 20 x / menit Auskultasi :Suara napas vesikuler, Tidak ada bunyi paru tambahan sepertifriction rub, stridor, wheezing dll, Tidak ada batuk Perkusi :Batas paru normal. suara perkusi paru resonanSirkulasi Inspeksi :Tidak ada tanda cianosis, Membran mukosa lembab, Tidak ada jejas pada dada atau thoraks. Konjungtiva merah muda. Tidak terdapat clubbing finger Palpasi :CRT < 2 detik.Turgor baik. Nadi : 68 x / menitnadi teraba kuat dan reguler. pada bagian perifer ekstrimitas atas dan bawah teraba hangatApeks cordis di ICS IV MCS. JVP 5+2 cm.Suhu : 36,6 CAuskultasi :Bunyi jantung I dan II tunggal. tidak ada murmur/gallop TD = 180/100 mmHg. Fokal fremitus normalPerkusi :Batas jantung normal : batas kanan jantung linea mid sternalis dan batas kiri jantung linea midclavikularis. Getaran dinding paru kiri dan kanan sama kuatTerdengar dullness pada semua area jantung Nutrisi: istri klien mengatakan bahwa Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: suaminyanya makan 3 x/hari, namun tidak pernah dihabiskan, bahkan makanya maksimal hanya 5-7 sendok dari makanan yang disajikan di RS. Jenis diet klien nasi. Klien mengaku tidak menyukai menu makanan dari RS. Buah yang diberikan ke klien hanya dimakan separoh. Klien mengeluh mual namun tidak muntah. Klien tidak mengalami kesulitan menelan (disfagia). NGT (-). Klien mengatakan tidak nafsu makan karena kepalanya terasa pusing.klien minum sekitar 1000 cc/24 jam. Klien mendapat IUFD RL 20 tetes /menit. BB klien saat ini tidak bisa diukur karena klien belum bisa turun dari tempat tidur karen masih pusing. sklera tidak ikterik, warna bibir merah muda. conjunctiva tampak merah muda. Pada daerah mulut tidak ditemukan adanya kandidiasis. Tidak ada gigi yang tanggal atau caries. tidak ditemukan adanya lesi pada daerah mulut, fungsi mengunyah pada mulut bagian kanan dan kiri berfungsi dengan baik. lidah klien kotor dan barwarna putih, Abdomen datar, tidak terdapat asites dan distensi abdomen, bising usus 5 x/menit ireguler, pada saat perkusi terdengar bunyi timpani pada semua kuadran, tidak teraba pembesaran hati dan limpa, tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada semua kuadran abdomen, pada anus tidak terdapat hemoroid..Eliminasi Bowel : Pada saat dikaji klien mengatakan BAB 2 hari sekali. Klien mendapatkan laktulak 2x1 CI. Bising usus : 5 x/m. klien tidak menjalani kemoterapi. Selama MRS klien kurang mobilisasi dan intake nutrisi juga kurang.Bladder : Terpasang foley katater dengan produksi 500-700 cc/24 jam. Warna kuning, proteinuria (-), glukosuria (-).Aktivitas dan Istirahat: Klien terlihat hanya berbaring ditempat tidur. Selama sakit klien menjadi terbiasa tidur siang sekitar 2-4 jam dan tidur malam sekitar 6-8 jam. Namun klien sering bangun dari tidur malam karena kehausan karena menurutnya suhu di kamarnya panas. Klien sering bangun dari tidur dengan kondisi yang tidak segar. Klien mengatakan sukar tidur malam dengan pulas selain karena panas juga karena kamarnya bising oleh suara pasien di sebelahnya.Selama di RS semua activitiy daily live klien dibantu oleh orang lain seperti berpakaian, membersihkan tubuh kecuali untuk makan dan minum klien bisa mandiri. Karena untuk turun ke kamar mandi klien masih belum sanggup akibat pusing tau nyeri pada kepalanya. Selama MRS klien sering merasa bosan dan tidak bisa menjalankan kesibukanya seperti biasa.ProteksiKuku tangan dan kaki klien tampak bersih. Rambut klien agak kotor dan berbau. Mulut klien bersih tidak ada tanda candidiasis. Terlihat ada sedikit daki di tangan dan kaki. Klien tidak mengalami demam. Klien mengalami pembatasan aktivitas akibat cidera kepala karena masih memebrikan manifestasi nyeri kepala, sehingga untuk mencegah peningkatan TIK maka klien ahrus bed rest total terlebih dahulu. Dari kondisi bed rest kemampuan proteksi klien menurun. Bed rest menyebabkan imunologi klien menurun terutama kondisi integumen klien akan beresiko menglami ulkus. Klien saat ini membutuhkan bantuan proteksi dari keluarga dan petugas kesehatanSensori Penglihatan: klien mengatakan sejak mempunyai penyakit hipertensi (3 tahun yang lalu) visus penglihatan klien menurun sehingga dia harus memakai kacamata minus. Saat ini klien mengeluhkan kedua matanya sering kabur meski sudah memakai kacamata.Pendengaran: pendengaran klien masih dalam batas normal.Penciuman: tidak ada keluhan. Lidah tidak kotor, saat digerakan lidah tertarik ke sebelah kanan, nyeri (-). Gigi masih utuh, penyakit gusi (-), Caries (-). Integumen : turgor kulit baik, klien kaki sebelah kiri mati rasa, kaki kanan sering kesemutan. rambut klien bersih, distribusi merata, kulit klien bersih, tidak terdapat lesi ataupun kemerahan pada permukaan kulit klien, kulit klien teraba hangat, suhu tubuh 36,30. Klien minum air putih 800-1000 cc/hari.terpasasang IUFD RL 20 tetes /menit. Turgor kulit baik, Shiffting dullness (-),ascites (-), pitting edema (-).Tidak tampak ada oedema baik pada palpebra dan daerah ekstremitas atas maupun bawah, tidak tampak pembesaran ginjal, tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada ginjal dan tidak teraba pembesaran ginjal, tidak terdapat adanya nyeri ketuk pada saat perkusi ginjal pada daerah Costa Vertebral Angel, tidak terdapat distensi kandung kemih dan tidak terdapat nyeri tekan maupun lepas pada kandung kemih, klien terpasang dower kateter yang terpasang sejak tanggal 28 September 2011. Produksi uri 600-800 cc/24 jam. Warna kuning. Tidak terdapat tanda-tanda kekurangan atau kelebihan volume cairan tubuh. Turgor kulit baik,Shiffting dullness (-),ascites (-), pitting edema di kaki (-). Berdasarkan hasil pemeriksaan elektrolit darah tanggal 28 September 2011, natrium darah normal (144 meq/L), clorida dbn (102 meq/L) kalium juga dalam batas normal (3,1 meeq/L). Fungsi Neuromuskuloskeleta. Fungsi NeurologiTingkat kesadaran Tingkat kesadaran klien compos mentis dengan nilai GCS E4 M6 V5Refleks pupil terhadap cahaya: baik Model Adaptasi Konsep Diri Klien bisa menerima kondisinya yang MRS namun klien sering merasa bosan karena harus selalu diatas tempat tidur tanpa melakukan kegiatan seperti sediakala. Apalagi hampir semua kebutuhan sehari-harinya selama di rawat di RS harus dibantu oleh orang lain. Padahal klien sebelumnya adalah orang yang mandiri dengan beban kerja tinggi di kesatuannya. Klien juga mengatakan cemas dengan kondisi penyakitnya akan mengganggu pekerjaanya, klien takut cidera kepalanya ternyata berat. Klien semakin cemas saat mengetahu tekanan darhanya belum turun masih pada kondisi hipertensi. Klien juga kasihan pada istrinya apabila harus menjaganya terus di RS, klien juga cemas dengan kedua anaknya yang tinggal dirumah dengan hanya di jaga oleh neneknya. Klien ingin cepat sembuh dan pulang kerumah, kembali bekerja seperti dulu. Model Fungsi Peran Sebelum sakit klien bekerja sebagai anggota TNI di kesatuan kodim 0411 di bagian Babinsa. Setiap hari klien mempunyai beban kerja yang tinggi dan sibuk. Berangkat pagi sampai dengan sore. Klien bekerja selam 5 hari dalam seminggu. Sesuai dengan shift yang diberikan. Klien sering mengajar di SD sampai SMA memberika materi PBB dan latihan upacara. Seringkali klien harus bekerja diluar shift terutama bila ada kegiatan kemasyarakatan, karena memang tugas utama kesatuan pasien adalah pengamanan kegiatan sosial kemasyarakatan Namun sekarang klien hanya bisa terbaring diatas tempat tidurnya dengan semua ADL yang dibantu oleh istri dan petugas kesehatan. Klien mengeluh sangat bosan terbaring terus diatas tempat tidur dan ingin secepatnya pulang ke kampung halamanya dan kembali bekerja di kesatuanya. Klien merasa tidak enak dengan teman dan pimpinanya bila terlalu lama izin tidak masuk kerja.Model Adaptasi InterdependenKeluarga klien mendukung kesembuhan klien. Anaknya sering menjenguk di RS. Temankerja klien juga beberapa kali terlihat membesuk klien. Klien mengatakan kasihan dengan istrinya karena selama MRS semua kebutuhanya harus dibantu oleh istrinya, namun dia juga bahagia karena istrinya termasuk wanita yang sabar dan banyak membantunya selama MRS ini. Klien juga bahagia karena teman2nya secara bergantian menjenguknya di RS termasuk pimpinanya. Temanya datang untuk membesarkan hati klien untuk tetap sabar dan tenag agar tekanan darahnya bisa kembali normal agar cepat pulang.pengkajian stimulus:fokal:Klien mengatakan kepalanya pusing. Luka akibat KLL: luka lecet dipelipis kiri, mata kiri Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: (palbera bengkak), punggung tangan kiri lecet ringan. Tekanan darah klien cenderung tinggi. Klien mempunyai riwayat perokok aktif dengan menghabiskan 3-6 bungkus rokok setiap hari. Stimulus Kontekstual: Karena pembatasan aktivitas akibat pusing sebagai dampak dari CKR dan hipertensi maka klien hanya bisa bed rest total sehingga semua pemenuhan kebutuhan dasarnya harus dibantu oleh orang lain. Dari kondisi bed rest total Klien juga beresiko menglami penurunan imunologi apalagi intake nutrisi klien yang tidak adekuat. Klien rentang mengalami infeksi nosokomial. Selain itu kondisi rendahnya mobility juga bisa membuat klien mengalami gangguan integumen seperti ulkus decubitus klien juga beresiko mempunyai masalah psikologi bila terus di kamar tanpa ada akitivitas yang berarti.Stimulus Residual:Pengetahuan klien tentang kesehatan belum cukup baik, apalagi dengan penyakitnya,terutama mengenai menjemen diet dan terapi untuk hipertensinya. Klien juga tidak mempunyai pengetahuan dan motivasi yang besar untuk memperbaiki kebaisaan dalam hidunya terutama pembatasan atau upaya menghilangkan rokok. Klien cenderung tidak suka olahrga khusus untuk mengontrol tekanan darahnya. 3.Diagnosa keperawatan Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah arteri/vena di otak,Gangguan pemenuhan ADL (activity daily life) berhubungan dengan Gangguan mobilitas fisik 3.Implementasi Rancana perawatan klien didokumentasikan dalam NCP (nursing care pla) sedangkan tindakan keperawatan didokumentasikan dalam catatan perkembangan. Intervensi utama yang dilakukan pada Tn U adalah : Meningkatkan dan mendukung sirkulasi serebral Untuk meningkatkan sirkulasi serebral, intervensi keperawatan mandiri yang dilakukan bisa berupa tindakan observasi pada status neurologi klien, mencatat setiap perubahan yang terjadi, monitor tanda tanda vital, Evaluasi pupil (ukuran bentuk kesamaan dan reaksi terhadap cahaya), kepala dielevasikan pada posisi netral, mempertahankan tirah baring, menciptakan sediakan lingkungan yang tenang dan mengatur kunjungan sesuai indikasi. Selain tindakan keperawatan mandiri, dilakukan juga tindakan kolaboratif dengan pemberian obat-obatan serta memonitor atau menganalisis nilai lab klien. Pemenuhan ADL Beberapa rencana dan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah keperawatan ini dilakukan dengan membantu dan memastikan bahwa semua kebutuhan dasar klien terpenuhi dengan optimal, meningkatkan kemandirian klien dan keluarga sesuai kemampuan, kemauan dan pengetahuan klien dan keluarga. 5. Evaluasi Tekanan darah dan TTV yang lain dalam batas normal meskipun belum stabil, Tanda –tanda dari peningkatan tekanan intra kranial semakin berkurang dengan ditandainya: hilang atau berkurangnya mual dan pusing, pupil isokor, Valsavar amnuver yang dapat dicegah, ADL klien yang mulai bisa mandiri dilakukan seperti pelepasan (off) kateter, amkan dan berpakaian sendiri dll, Edukasi terstruktur terutama tengtang mobilisasi telah diberikan dan klien serta keluarga mau serta mampu menerapkanya RESUME KASUS KE-31 1.Data Demografi Nama (Inisial) : Tn Af, No RM: 376-32-03, Umur : 49 Tahun, Pekerjaan: Pedagang, Diagnosa Medik: : Cidera Kepala .Pasien mengendarai montor tanpa helm dengan kecepatan 40 km/j. Klien tergelincir dan terjatuh dengan kepala pada sisi kiri menghantam aspal. Pasien langsung terbangun. Tidak pingsan. Klien mampu mengingat semua kejadian. Klien dibawa ke RS terdekat. Otorea(-). Rhinorea (-). Muntah (-). Sakit kepala (+). Skala: 5. Riwayat minum alkohol namun tidka sampai mabuk. Kemudia klien dirujuk ke RSCM dan MRS pada tanggal 16 Agustus 2012 dengand iagnosa CKR. 2.Pengkajian Pengkajian fisiologis:Adapatasi fisiologi:Respirasi : Inspeksi :Bentuk hidung simeteris, Tidak ada deviasi septum, Tidak ditemukan adanya sekret, Tidak ada pernapasan cuping hidung, Tidak terlihat sesak, Tidak ada penggunaan otot bantu napas, Tidak ada retraksi IC atau suprasternal, Pergerakan dinding dada simetris, Tidak ada tanda trauma atau jejas di hidung dan wajah, Tidak terpasang selang O2, kepatenan jalan nafas sama kuat hembusannya, mukosa hidung lembab dan bersih, tidak terdapat secret, tidak ada sianosis pada bibir. Palpasi :Tidak ada nyeri tekan pada dada , Tidak teraba massa abnormal di leher dan dada, Taktil fremitus normal,RR : 20 x / menit. Auskultasi :Suara napas vesikuler, Tidak ada bunyi paru tambahan sepertifriction rub, stridor, wheezing dll, Tidak ada batuk. Perkusi :Batas paru normal. suara perkusi paru resonan. Sirkulasi .Inspeksi :Tidak ada tanda cianosis, Membran mukosa lembab, Tidak ada jejas pada dada atau thoraks. Konjungtiva merah muda. Tidak terdapat clubbing finger .Palpasi :CRT < 2 detik.Turgor baik. Nadi : 89 x / menitnadi teraba kuat dan reguler. pada bagian perifer ekstrimitas atas dan bawah teraba hangatApeks cordis di ICS IV MCS. JVP 5+2 cm.Suhu : 36,3 CAuskultasi :Bunyi jantung I dan II tunggal. tidak ada murmur/gallop TD = 180/100 mmHg. Fokal fremitus normalPerkusi :Batas jantung normal : batas kanan jantung linea mid sternalis dan batas kiri jantung linea midclavikularis. Getaran dinding paru kiri dan kanan sama kuatTerdengar dullness pada semua area jantungNutrisi:klien mengatakan bahwa suaminyanya makan 3 x/hari, selalu dihabiskan,. Jenis diet klien nasi. Buah yang diberikan ke klien hanya dimakan separoh. Klien mengeluh mual namun tidak muntah. Klien tidak mengalami kesulitan menelan (disfagia). NGT (-). Klien mengatakan tidak nafsu makan karena kepalanya terasa pusing.klien minum sekitar 1500 cc/24 jam. Klien mendapat IUFD RL 20 tetes /menit. BB klien saat ini tidak bisa diukur karena klien belum bisa turun dari tempat tidur karen masih pusing. sklera tidak ikterik, warna bibir merah muda. conjunctiva tampak merah muda. Pada daerah mulut tidak ditemukan adanya kandidiasis. Tidak Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: ada gigi yang tanggal atau caries. tidak ditemukan adanya lesi pada daerah mulut, fungsi mengunyah pada mulut bagian kanan dan kiri berfungsi dengan baik. lidah klien kotor dan barwarna putih, Abdomen datar, tidak terdapat asites dan distensi abdomen, bising usus 8 x/menit reguler, pada saat perkusi terdengar bunyi timpani pada semua kuadran, tidak teraba pembesaran hati dan limpa, tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada semua kuadran abdomen, pada anus tidak terdapat hemoroid..Eliminasi Bowel : Pada saat dikaji klien mengatakan BAB 2 hari sekali. Bising usus : 8 x/m. klien tidak menjalani kemoterapi. Selama MRS klien kurang mobilisasi dan intake nutrisi juga kurang.Bladder : Terpasang foley katater dengan produksi 500-700 cc/24 jam. Warna kuning, proteinuria (-), glukosuria (-).Aktivitas dan Istirahat: Klien terlihat hanya berbaring ditempat tidur. Selama sakit klien menjadi terbiasa tidur siang sekitar 4 jam dan tidur malam sekitar 6-8 jam. Klien sering bangun dari tidur dengan kondisi yang tidak segar. Klien mengatakan sukar tidur malam dengan pulas karena kamarnya bising oleh suara pasien di sebelahnya.Selama di RS semua activitiy daily live klien dibantu oleh orang lain seperti berpakaian, membersihkan tubuh kecuali untuk makan dan minum klien bisa mandiri. Karena untuk turun ke kamar mandi klien masih belum sanggup akibat pusing tau nyeri pada kepalanya. Selama MRS klien sering merasa bosan dan tidak bisa menjalankan kesibukanya seperti biasa.ProteksiKuku tangan dan kaki klien tampak bersih. Rambut klien agak kotor dan berbau. Mulut klien bersih tidak ada tanda candidiasis. Terlihat ada sedikit daki di tangan dan kaki. Klien tidak mengalami demam. Klien mengalami pembatasan aktivitas akibat cidera kepala karena masih memebrikan manifestasi nyeri kepala, sehingga untuk mencegah peningkatan TIK maka klien ahrus bed rest total terlebih dahulu. Dari kondisi bed rest kemampuan proteksi klien menurun. Bed rest menyebabkan imunologi klien menurun terutama kondisi integumen klien akan beresiko menglami ulkus. Klien saat ini membutuhkan bantuan proteksi dari keluarga dan petugas kesehatanSensoriPenglihatan: dalam batas normal. Tidak menggunakan kacamata bantu baca.Pendengaran: pendengaran klien masih dalam batas normal.Penciuman: tidak ada keluhan. Lidah tidak kotor, saat digerakan lidah tertarik ke sebelah kanan, nyeri (-). Gigi masih utuh, penyakit gusi (-), Caries (-). Integumen : turgor kulit baik, klien kaki sebelah kiri mati rasa, kaki kanan sering kesemutan. rambut klien bersih, distribusi merata, kulit klien bersih, tidak terdapat lesi ataupun kemerahan pada permukaan kulit klien, kulit klien teraba hangat, suhu tubuh 36,30 CKlien minum air putih 1000-1500 cc/hari.terpasasang IUFD RL 20 tetes /menit. Turgor kulit baik, Shiffting dullness (-),ascites (-), pitting edema (-).Tidak tampak ada oedema baik pada palpebra dan daerah ekstremitas atas maupun bawah, tidak tampak pembesaran ginjal, tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada ginjal dan tidak teraba pembesaran ginjal, tidak terdapat adanya nyeri ketuk pada saat perkusi ginjal pada daerah Costa Vertebral Angel, tidak terdapat distensi kandung kemih dan tidak terdapat nyeri tekan maupun lepas pada kandung kemih, klien terpasang dower kateter yang terpasang sejak tanggal 28 September 2011. Produksi uri 600-800 cc/24 jam. Warna kuning. Tidak terdapat tanda-tanda kekurangan atau kelebihan volume cairan tubuh. Turgor kulit baik,Shiffting dullness (-),ascites (-), pitting edema di kaki (-). Fungsi NeuromuskuloskeletalFungsi NeurologiTingkat kesadaran Tingkat kesadaran klien compos mentis dengan nilai GCS E4 M6 V5. Refleks pupil terhadap cahaya: baik.Tes fungsi motorik.Look : Deformitas (-), discolorisation (-), wound incisi pada dada dan tulang belakang.Feel : tenderness (-), spasme pada kaki kiriMove :Tonus otot : hipotonik pada ektremitas sinistra bawah.Kekuatan otot : Model Adaptasi Konsep Diri: Klien bisa menerima kondisinya yang MRS namun klien sering merasa bosan karena harus selalu diatas tempat tidur tanpa melakukan kegiatan seperti sediakala. Apalagi hampir semua kebutuhan sehari-harinya selama di rawat di RS harus dibantu oleh orang lain. Padahal klien sebelumnya adalah orang yang mandiri. Model Fungsi PeranSekarang klien hanya bisa terbaring diatas tempat tidurnya dengan semua ADL yang dibantu oleh keluarga dan petugas kesehatan. Klien mengeluh sangat bosan terbaring terus diatas tempat tidur dan ingin secepatnya pulang.Model Adaptasi InterdependenKeluarga klien mendukung kesembuhan klien. Ibuknya selalu menemani klien di RS. Keluarga sangat mendukung kesembuhan klien.pengkajian: Stimulus Fokal:Klien mengatakan kepalanya pusing. Luka akibat KLL: luka lecet dipelipis kiri, mata kiri (palbera bengkak), punggung tangan kiri lecet ringan. Tekanan darah klien cenderung tinggi. Klien mempunyai riwayat perokok aktif dengan menghabiskan 3-6 bungkus rokok setiap hari. Stimulus Kontekstual:Klien mempunyai riwayat alkohol sebelum KLL. Klien tergolong ceroboh saat berkendara sepeda motor. Klien adlaah perokok.Stimulus Residual:Pengetahuan klien tentang kesehatan belum cukup baik,. Klien juga tidak mempunyai pengetahuan dan motivasi yang besar untuk memperbaiki kebaisaan dalam hidunya terutama pembatasan atau upaya menghilangkan alkohol dan rokok. 3.Diagnosa keperawatan Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah arteri/vena di otak,Gangguan pemenuhan ADL (activity daily life) berhubungan dengan Gangguan mobilitas fisik 4.Implementasi Rancana perawatan klien didokumentasikan dalam NCP (nursing care pla) sedangkan tindakan keperawatan didokumentasikan dalam catatan perkembangan. Intervensi utama yang dilakukan pada Tn Af adalah : Meningkatkan dan mendukung sirkulasi serebral Untuk meningkatkan sirkulasi serebral, intervensi keperawatan mandiri yang dilakukan bisa berupa tindakan observasi pada status neurologi klien, mencatat setiap perubahan yang terjadi, monitor tanda tanda vital, Evaluasi pupil (ukuran bentuk kesamaan dan reaksi terhadap cahaya), kepala dielevasikan pada posisi netral, mempertahankan tirah baring, menciptakan sediakan lingkungan yang tenang dan mengatur kunjungan sesuai indikasi. Selain tindakan keperawatan mandiri, dilakukan juga tindakan kolaboratif dengan pemberian obat-obatan serta memonitor atau menganalisis nilai lab klien.Pemenuhan ADL :Beberapa rencana dan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah keperawatan ini dilakukan dengan membantu dan memastikan bahwa semua kebutuhan dasar klien terpenuhi dengan optimal, meningkatkan kemandirian klien dan keluarga sesuai kemampuan, kemauan dan pengetahuan klien dan keluarga. 5. Evaluasi Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 3: Tekanan darah dan TTV yang lain dalam batas normal meskipun belum stabil, Tanda –tanda dari peningkatan tekanan intra kranial semakin berkurang dengan ditandainya: hilang atau berkurangnya mual dan pusing, pupil isokor, Valsavar amnuver yang dapat dicegah, ADL klien yang mulai bisa mandiri dilakukan seperti pelepasan (off) kateter, amkan dan berpakaian sendiri dll RESUME KASUS KE-32 1. Informasi Umum Nama (Inisial) : Tn Es, No RM: 3724726, Umur : 34 Tahun, Pekerjaan: Pegawai swasta. Diagnosa Medik: SOL. Sekitar 1 bulan SMRS klien mengalami nyeri kepala seperti ditusuk-tusuk dibagian depan kepala terus menerus yang hilang timbul dan semakin sering memberat dengan batuk dan mengedan. Pandangan suram dan dobel terutama bila diapkai melirik ke kanan. Demam (-). Mual (+). Muntah (-). Bicara pelo (-). Mulut mencong (-). Kelemahan sisi tubuh sebelah kanan. 2.Pengkajian Pengkajian fisiologisAdapatasi fisiologi:Oksigenasi:batuk (-) dan nyeri dada. Dari hasil pemeriksaan diketahui TTV klien sebagai berikut: tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi :80 x/m, RR: 20 x/m, suhu: 36,2 C. EKG: sinus rytme.Nutrisi:Tidak terdapat gangguan mengunyah. Makan 3 x/hr jenis diet nasi dan susu. Mual (+). Muntah (-)Membran mukosa lembab. Konjungtiva tidak pucat. Hb: 13. Tidak terpasang NGT . Eliminasi: Terpasang kateter, BAK spontan. BAB 1x/hr. Tidak ada pemakaian pencahar. Tidak ada diare dan konstipasi. BU: 5-7 x/m. urin outpu: 500-700cc/24 jam. Tidak ada distensi blader dan tidak teraba scibala.Aktivitas /Istirahat: Tidak ada kelemahan pada ekstremitas. Klien tergolong mandiri care. Berpakaian, makan dan minum dilakukan dengan dibantu , eliminasi dilakukan sebagian besar di kamar mandi dengan dibantu akibat penurunan penglihatan. Tidak ada gangguan tidur.Proteksi:Tidak ada riwayat alergi maupun trauma. Klien tidak beresiko jatuh. Kulit intak, suhu kulit hangat. Leukosit dbn (20).Sensasi:terdapat gangguan pada pancaindera, terutama pada indera penglihatan. Sensasi (raba, suhu, nmyeri, tekan) dalam batas normal. pusing (nyeri kepalaskala sedang). Ekspresi wajah grimace (-): , bicara pelo(-).Cairan elektrolit: Terpasang IUVD Ns 0,9 % 500 cc/24 jam intake cairan PO 1000-2000cc/hr.Neurologi: Kesadaran compos mentis dengan GCS: E4M6V5. Pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm. Visus 1/ . Ptosis (-). Tidak ada rangsang meningeal. Kaku kuduk (-), lasiq >70/>70, kernig >130/>130, brunzinky (-).Reflek fisiologi dalam batas normal dan tidak ada reflek patologis.Tonus otot : rigid.KO: 4444/5555, 4444/5555. Kesan hemiparese dekstra. Adaptasi konsep diri:Fisik diri: adanya perubahan pada kekuatan otot. Nyeri kepala. Pengkajian stimulus:Stimulus fokal, residual dan kontekstual ; klien mengalami SOL. Klien dan keluarga belum mendapat informasi menganai perawtan klien dengan SOL dengan manifes utama nyeri kepala yang hilang timbul. Keluarga belum tahu pencegahan peningkatan TIK. 3. Diagnosa keperawatan Dari hasil pengkajian diperoleh masalah keperawatan sebagai berikut : perubahan sensori persepsi: penciuman, gangguan rasa nyaman nyeri, resiko cidera.. 4. Implementasi Berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien pada masalah keperawatan diatas : menejemen perfusi: elevasi kepala, pencegahan valsavah manuver, mencegah menegjan dan batuk, pemberian bed rest, menjemen nyeri: pemberian anlgesik, relaksasi, pemberian posisi nyaman, support sistem, menejemen mobilisasi: Mika-miki, ROM, duduk. 5. Evaluasi S: klien mengatakan nyeri dikepala berkurang, O: nyeri kepala (+), skala ringan. Skala 3. sesak (-), kesadran compos mentis : 15, TD :120/80mmHg, n: 80x/m, s:36 rr:20x/m, mual (-), muntah (-), hemiparese dekstra A: maslah teratasi sebagian. P: Lanjutkan intervensi: rencanan Ct scan ulang: lokasi pasti SOL belum diketahui. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 4: STANDAR OPERATING PROSEDUR (SOP) Back Massage : Coopers Model No Tindakan 1 Persiapan alat : 2 Sarung tangan disposable (bersih) Perlak Bengkok Kasa/kapas tissue Minyak kelapa Persiapan lingkungan : 3 • Berikan penerangan yang cukup (nyalakan lampu) • Atur posisi Tempat Tidur • Berikan privasi dengan memasang sketsel Persiapan pasien : 1. 4 Berikan health education pada klien mengenai tujuan, manfaat dan kerugian dari tindakan 2. Berikan penjelasan tentang prosedur dan langkah-langkah tindakan yang akan anda lakukan 3. Atur posisi yang memeudahkan perawat untuk melakukan pemeriksaan pada klien (duduk, miring atau telungkup) Pelaksanaan Tindakan : 1. 2. 3. 4. Cuci tangan Dekatkan peralatan Pakai sarung tangan bersih Lakukan teknik pertama: efflurage a. Lakukan pemberian gosokan pada kulit tanpa terjadi gerakan otot bagian dalam. b. Pemijatan berupa usapan lembut, panjang, dan tidak terputus-putus. c. Tangan dibuat sedemikian rupa sehingga gerakannya tetap dan tekanan yang diberikan searah dengan aliran darah balik. Dilakukan dengan menggunakan ujung jari yang ditekan lembut atau ringan tanpa tekanan kuat dengan tidak melepaskan jari pemijat dari permukaan kulit d. Lakukan selama 5-6 menit 5. Lakukan tekhnik kedua: pettriage a. Metodenya sama dengan teknik efflurage namun dilakukan dengan memberikan usapan tingkat sedang atau usapan yang lebih dalam daripada efflurage. b. Lakukan selama 5-6 menit 6. Lakukan tekhnik ketiga: percussion (menepuk) a. Dilakukan dengan pemberian pukulan cepat dan ringan dengan kedua tangan yang dilakukan secara bergantian dengan gerakan berirama. b. Dilakukan dengan perlahan-lahan kemudian cepat berirama dan tiba-tiba berhenti c. Tangan perawat dilengkungkan kaku membentuk kubah d. Tepuk-tepukan tangan dilakukan datas punggung secara benar dari atas ke bawah jangan melakukan tepukan [ada kulit punggung yang terdapat luka (abrasi, laserasi dll) e. Dengarkan suara gema saat tepukan diberikan, klien tidak boleh merasa Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 4: f. nyeri Lakukan clupping dalam 5-6 menit di punggung 7. Lakukan tekhnik keempat: friction (menggesek) a. Lakukan gerakan putar/lingkaran pada satu titik dengan menggunakan palmar jari-jari, ibu jari dan bagian distal ulnar pergelangan tangan. b. Gerakkan otot dan jaringan dibawahnya dengan tekanan yang lembut namun kuat 8. Lakukan tekhnik kelima:vibrasi a. Letakkan tangan perawat mendatar/ menapak di atas dinding dada klien, dimana vibrasi diinginkan. b. Letakkan tangan bersisihan dengan jari-jari melebar, atau satu tangan diletakkan di atas tangan lain c. Anjurkan klien untuk bernafas dalam dan kemudian mengeluarkan perlahan-lahan. d. Saat klien berexhalasi, vibrasikan dinding punggung klien secara tepat dan berirama e. Hentikan vibrasi saat klien inhalasi f. Lakukan vibrasi dalam 5-6 menit, beberapa kali sehari 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Kaji respon pasien selama pemberian massage Hentikan massage bila ada respon nyeri atau tanda komplikasi yang lain Bantu klien kembali berada pasa posisi nyaman Rapikan peralatan Lepaskan sarung tangan Cuci tangan Evaluasi tindakan seperti verbal kenyamanan klien, TTV, respon nyeri, dll. Dokumentasikan tindakan seperti: pelaksaan tindakan dan hasil evaluasi dari tindakan. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 5: Nama pasien : No Reg : Ruang : Diagnosa medis: Manifestasi Klinis: Parese : Immobilisasi : Tirah baring : Kondisi integumrn: PENGKAJIAN RESIKO DECUBITUS (BERDASARKAN SKALA NORTON) PENILAIAN Kondisi Fisik Status Mental Aktivitas Mobilitas Inkotinensia 4 Baik Sadar Jalan sendiri Bebas bergerak Kontinen 3 Sedang Apatis Jalan dengan bantuan Agak terbatas 2 Buruk Bingung Kursi roda 1 Sangat buruk Stupor Di Tempat tidur Sangat terbatas Kadang-kadang inkotinensia urin Selalu inkotinensia urin Tidak mampu bergerak Inkotinensia urin /alvi SKOR Total Skor Keterangan: 16-20 : tidak ada resiko decubitus 12-15 : rentan terjadi decubitus <12 : resiko tinggi terjadi decubitus Kesimpulan: Saran : Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 6: lembar observsi harian EVALUASI PENILAIAN BACK MASSAGE:COOPERS MODEL DALAM PENCEGAHAN KEJADIAN ULCUS DECUBITUS NAMA PASIEN : NO REG : RUANG : HARI KENYAMANAN KE... TTV SUBYEKTIF KONDISI FISIK: INTEGUMEN KEMERAHAN LECET KONDISI PSIKOLOGIS KETEBALAN KULIT GRADE UD..... LUKA 1 2 3 4 5 6 7 KESIMPULAN : Observer, ............................................................... Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 7: Dokumentasi Foto Pelaksanaan EBN Dokumentasi dalam bentuk foto pelaksanaan EBN dengan pemberian pijat punggung menggunakan Coppers model di lantai V zona VA gedung A RSUPN dr Cipto Mangunkusomo Jakarta. 1. Foto pelaksanaan EBN oleh praktikan Ket: gbr 1.1 pelaksanaan back massage: coopers model pada tahap efflurages dan prittage Ket: gbr 1.2 pelaksanaan back massage: coopers model pada tahap Percussion Ket: gbr1.3 pelaksanaan back massage: coopers model pada tahap Friction Ket: gbr 1.4 pelaksanaan back massage: coopers model pada tahap Vibrasi Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 2. Foto pelaksanaan EBN oleh keluarga pasien Ket: gbr 2.1 pelaksanaan back massage: coopers model pada tahap efflurages dan prittage Ket: gbr 2.1 pelaksanaan back massage: coopers model pada tahap prittage Ket: gbr 2.1 pelaksanaan back massage: coopers model pada tahap friction Ket: gbr 2.1 pelaksanaan back massage: coopers model pada tahap vibration Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Lampiran 8: SATUAN ACARA PENYULUHAN KEGIATAN EDUKASI SUPORTIF TERSTRUKTUR “ PEMBERIAN ROM DAN MASSAGE PADA PASIEN DENGAN MENINGITIS ENSEFALITIS TUBERCULOSA ( METB) dan STATUS EPILEPTIKUS” Oleh: EVA DWI RAMAYANTI NPM : 0906656871 PROGRAM RESIDENSI NEUROLOGI KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA TAHUN 2013 Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 1 SATUAN ACARA PENYULUHAN Pokok bahasan Sasaran Waktu A. : ROM Exercise, Massage dan positioning : Keluarga Tn. M : 3 x 30 menit LATAR BELAKANG Meningioencefaltis merupakan suatu bentuk infeksi yang mengenai meningen, CSS dan spinal column yang disebabkan oleh infeksi jamur, virus dan bakteri. Bila penyebabnya spesifik adalah bakteri Tuberculosa maka dinamakan METB (Corwin, 2009). Pada pasien METB, parese merupakan salah satu komplikasi yang paling sering muncul. Parese/kelumpuhan bisa terjadi pada anggota badan sebelah kiri atau sebelah kanan atau kedua-duanya.Parese adalah manifestasi klinis dari METB dimana terjadi kelumpuhan pada anggota gerak pada tubuh, yang menyebabkan terjadinya gangguan kapasitas fisik maupun fungsional. Parese jika dibiarkan akan menimbulkan dampak yang lebih berat, klien bisa kehilangan fungsi anggota geraknya yang mengalami parese atau mengalami kontraktur dan atrofi yang menetap (Brunner, 2002). Oleh karena itu diperlukan penatalaksanaan sedini mungkin supaya tidak terjadi hal tersebut. Untuk menghindari klien jatuh dalam kondisi yang lebih buruk, maka klien harus diajarkan untuk selalu melatih kemampuan anggota geraknya yang salah satunya dilaksanakan melalui ROM Exercise Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 13 September 2012 dengan menggunakan metode anamnese dan pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap klien dan keluarga Tn. M di Ruang 5A, diperoleh informasi bahwa klien hanya bisa bed rest total diatas tempat tidur akibat adanya parese terutama di ekstremitas kiri dengan penurunan tonus dan kekuatan otot, serta penurunan kesadaran, sehingga semua ADL nya dilakukan diatas tempat tidur dengan bantuan keluarga. Klien sudah MRS selama sekitar1 bulan dan selama itu klien masih minimal dalam mobilitasnya termasuk pergerakan yang paling minimal yaitu mika-miki salah satu alasanya adalah keluarga belum tahu manfaat dan takut bila akan memindahkan posisi klien apalagi klien terpasang selang (O2 dan NGT). Dari hasil pemeriksaan fisik di ketahui kondisi muskuloskletel klien belum menunjukan komplikasi dari parese seperti munculnya resiko footdrop, kontraktur maupun atrofi otot, namun sudah ada ulkus decubitus derajat II di sakrum serta kemerahan pada kulit daerah lumbo sakrum, terlihat pula adanya pengerasan kulit pada punggung, lengan dan betis klien, kemerahan yang bisa mengarah ke resiko ulkus dekubitus. Diperlukanya pula pemberian back massage untuk mencegah perluasan dari ulkus decubitus . dan tentu saja eawat luka pada daerah yang sudah terkena ulkus. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 2 Rawat inaap yang lama, nutrisi yang tidak adekuat, mobilisasi yang minimal juga akan membuat pasien rentan mengalami komplikasi. Dampak dari immobilisasi beragam seperti gangguan jalan nafas, kerusakan kulit, eliminasi maupun nutrisi dan imunitas. diperlukanlah tindakan massage untuk mengurangi atau mencegah kejadian Ulkus decubitus pada klien selaian pemberian positioning. Dengan melihat uraian diatas maka klien dan keluarga perlu mendapat edukasi terstruktur atau pendidikan kesehatan tentang terapi mobilitas: A/PROM. Pemberian massage dan postioning untuk mencegah ulkus decub. B. TUJUAN 1. Tujuan Umum Setelah mengikuti Edukasi Suportif Terstruktur tentang A/PROM, massage dan postioning Keluarga Tn. M mampu mengatahui dan melakukan prosedur tersebut secara mandiri. 2. Tujuan Khusus Setelah selesai mengikuti pendidikan kesehatan selama 3x 30 menit, keluargaTn. M mampu : a. Menjelaskan kembali pengertian dari masing-masing prosedur b. Menjelaskan kembali tujuan dan manfaat dilakukannya prosedur tersebut c. Menjelaskan kembali indikasi dan kontraindikasi dari masing-masing prosedur d. Mendemonstrasikan kembali gerakan dari setiap prosedur yang telah diajarkan C. MATERI PENYULUHAN 1. Pendahuluan 2. Isi a) Pengertian ROM, back massage dan fisioterapi dada b) Tujuan dan manfaat ROM back massage dan fisioterapi dada c) Kontraindikasi melakukan ROM back massage dan fisioterapi dada d) Cara melakukan ROM back massage dan fisioterapi dada e) 3. Manfaat ROM, back massage dan fisioterapi dada Penutup Sumber informasi yang dapat diakses pasien D. METODE PENGAJARAN a. Ceramah b. Tanya jawab/ diskusi c. Demonstrasi Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 3 E. MEDIA a. Leaflet b. Bookklet c. Infokus dan komputer atau Lembar balik II. KEGIATAN No. 1. Tahapan & Waktu Pembukaan (5 menit) Kegiatan peneliti 2. 3. Kegiatan (20 menit) Penutup (5 menit) Memberi salam Menjelaskan tujuan dan materi yang akan diberikan Evaluasi Awal tentang pengetahuan dan ketrampilan serta sikap responden terkait pelaksanaan latihan ROM, masage, positioning Kegiatan responden Kegiatan inti penyuluhan ¾ Menjelaskan dan menguraikan materi tentang: ROM, masage, positioning, penanganan kejang dan KIE obat ¾ Memberikan leaflet/booklet ¾ Memperagakan latihan ROM baik aktif maupun pasif ¾ Meminta keluarga mengikuti ¾ Memberikan motivasi kepada kelurga untuk mau melaksanakan setiap prosedur bertahap sesuai batas toleransi klien dengan mengedepankan kemandirian klien dan keluarga ¾ Memberikan kesempatan kepada keluarga yang disuluh untuk bertanya ¾ Menjawab pertanyaan terkait dengan materi yang belum jelas ¾ Melontarkan stimulus untuk melakukan diskusi Meminta untuk menyimpulkan materi belajar Membuat kontrak waktu pertemuan kedua pelaksanaan edukasi suportif terstruktur Mengucapkan terima kasih Mengucapkan salam penutup ¾ ¾ ¾ ¾ Menjawab salam Memperhatikan dan mendengarkan Menjawab Memperhatikan penjelasan penyuluh dengan cermat Menanyakan hal-hal yang belum jelas. Klien mengerti dan menerima motivasi yang diberikan Mengikuti peragaan yang dilakukan pemateri Memperhatikan jawaban dari penyuluh Memperhatikan dan mendengarkan Mengajukan pertanyaan Meringkas dan atau menyimpulkan Menyetujui kontrak waktu pertemuan kedua Menjawab pertanyaan Menjawab salam Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 4 VII. EVALUASI 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Apa yang disebut dengan ROM, masage, positioning, penanganan kejang dan KIE obat? Apa saja tujuan dan manfaat dilakukan ROM, masage, positioning, penanganan kejang dan KIE obat? Apa kontraindikasi melakukan ROM, masage, positioning, penanganan kejang dan KIE obat? Bagaimana cara melakukan ROM, masage, positioning, penanganan kejang dan KIE obat Keluarga dipersilahkan untuk melakukan demontrasi dari masing-masing prosedur Kuesioner tentang pengetahuan dan Sikap pelaksaan Lembar observasi demontrasi latihan ROM back massage dan fisioterapi dada VIII. SUMBER Shepherd, Roberta B.2001. jurnal : Exercise and Training to Optimize Functional Motor Performance in METB:Driving Neural Reorganization vol 8. Sydney: Australia http://www.nismat.org, Range of Motion, 1996-2002 The Nicholas Institute of Sports Medicine and Athletic Trauma, unless otherwise notedQuestions, [email protected] http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery, Cedera Cord Spinal, Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon. mailto:%[email protected], Ka. SMF/Lab. Bedah Saraf RS. M. Jamil/FKUNAND Padang. Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 5 MATERI PENYULUHAN 1. Pengertian ROM ROM (Range of Motion) adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif. ROM juga bisa disebut sebagai latihan Rentang Pergerakan Sendi (RPS). 2. Tujuan ROM • Meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot. • Mempertrahankan fungsi jantung dan pernapasan Mencegah kontraktur dan kekakuan pada sendi 3. Manfaat ROM • Menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam melakukan pergerakan • Mengkaji tulang sendi, otot • Mencegah terjadinya kekakuan sendi • Memperlancar sirkulasi darah 4. Jenis ROM • ROM pasif:Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot 50 % • ROM aktif: Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif). Kekuatan otot 75 % 5. Indikasi ROM 1. Penting untuk mempertahankan normal ROM dari sendi dan jaringan lunak 2. Menurunkan resiko cedera pada musculotendenous unit 3. Mencegah kerusakan dan penyusutan sendi 4. Mengurangi bahaya dan komplikasi imobilisasi 5. Fleksibilitas sendi yang optimal akan mengurangi tekanan untuk sekitar sendi dan sel-sel 6. Kontraindikasi ROM 1. Jangan lakukan latihan ini pada sendi yang terinfeksi 2. Jangan dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan mobilitas sendi baik secara herediter maupun patologi 3. Pasien dengan gangguan respirasi dan kardiovaskuler 4. Pasien METB yang rentan mengalami peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial) Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 6 7. Hal-hal yang harus diperhatikan ROM • Monitor keadaan umum klien dan tanda-tanda vital sebelum dan setelah latihan • Tanggap terhadap respon ketidak nyamanan atau nyeri pada klien • Ulangi gerakan sebanyak 3 kali • Waspadai komplikasi seperti : Kelainan sendi dan tulang : dislokasi, subflukasasi, fraktur 8. Prosedur ROM Exercise a. Ekstremitas atas NO 1 URAIAN Gerakan menekuk dan meluruskan sendi bahu dengan sudut 90 Satu tangan penolong memegang sikut. Tangan lainnya memegang lengan pasien Meluruskan sikut, menaikkan dan menurunkan lengan dengan sikut tetap lurus. 2 Gerakan menekuk dan meluruskan sikut dengan sudut 90 Pegang lengan atas dengan satu tangan Tangan lainnya menekuk dan meluruskan sikut 3 Gerakan memutar pergelangan tangan dengan sudut 180 Pegang lengan bawah dengan satu tangan Tangan lainnya memegang telapak tangan pasien Putar pergelangan tangan pasien ke arah luar (supinasi) Putar pergelangan tangan pasien ke arah dalam (pronasi) 4 Gerakan menekuk dan meluruskan pergelangan tangan dengan sudut 90 Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 7 Pegang lengan bawah dengan satu tangan. Tangan lainnya memegang pergelangan tangan pasien Tekuk pergelangan pasien ke atas dan kebawah 5 Gerakan memutar ibu jari dengan sudut 180 Pegang pergelangan tangan dan keempat jari tangan dengan satu tangan. Tangan lainnya memutar ibu jari tangan. 6 Gerakan menekuk dan meluruskan jari-jari tangan dengan sudut 90 Pegang pergelangan tangan dengan satu tangan Tangan lainnya menekuk dan meluruskan jari-jari tangan b. Ekstremitas bawah No. Uraian 7 Gerakan menekuk dan meluruskan pangkal paha dengan sudut 90 Pegang lutut dengan satu tangan Tangan lainnya memegang tungkai Naikan dan turunkan kakai dengan lutut tetap lurus 8 Gerakan menekuk dan meluruskan lutut dengan sudut 90 Pegang lutut dengan satu tangan Tangan lainnya memegang tungkai Tekuk dan luruskan lutut Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 8 9 Gerakan pangkal paha dengan sudut 90 Gerakan kaki mejauh dan mendekati badan pasien (abduksi dan adduksi). 10 Gerakan memutar pergelangan kaki dengan sudut 180 Pegang tungkai dengan satu tangan Tangan lainnya memegang pergelangan kaki 11 Gerakan sendi-sendi jari kaki dengan sudut 90 Pegang jari-jari kaki pasien dengan satu tangan Tangan lain memegang kaki pasien Tekuk jari kaki ke bawah Luruskan jari kaki dan dorong ke belakang Kembali ke posisi semula Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Diberikan LATIHAN RENTANG PERGERAKAN SENDI (RPS) Untuk Ekstremitas Atas/Tangan Latihan RPS adalah Latihan RENTANG GERAK dimana klien melakukan pergerakan sendi semaksimal mungkin Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 2012 sehingga mengalami latihan RPS dilaksanakan dengan dibantu oleh orang lain. ¾ RPS aktif keluarga memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai Tujuan RPS Exercise adalah : a. Untuk mengkaji kemampuan rentang gerak sendi. b. Untuk mempertahankan mobilitas dan fleksibilitas fungsi sendi. c. Untuk mengembalikan fungsi sendi. d. Untuk evaluasi respons suatu program latihan Mahasiswa Magister Keperawatan Kekhususan KMB kelumpuhun pasien tanpa menimbulkan nyeri. Disusun Oleh : Eva Dwi Ramayanti bila ¾ RPS pasif dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif). Kekuatan otot 75 %. Dilakukan bila pasien masih bisa melakukan pergerakan sehingga alat geraknya belum lumpuh namun hanya mengalami diberikan kelemahan. dengan meminta Latihan pasien melakukan gerakan sesuai dengan yang diinstruksikan oleh keluarga. Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot 50 % Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 1. Penting untuk mempertahankan normal RPS dari sendi dan jaringan lunak 2. Menurunkan resiko musculotendenous unit cedera pada 3. Mencegah kerusakan dan penyusutan sendi (3). Posisikan pasien dalam posisi tubuh lurus yang normal; 4. Mengurangi bahaya dan komplikasi imobilisasi mengurangi tekanan untuk sekitar sendi dan sel-sel a. Klien dengan penyakit yang memerlukan energi yang lebih. dengan gangguan persendian seperti inflamasi dan gangguan muskuloskeletal seperti trauma atau injuri. (1). Pilih waktu di saat pasien nyaman dan bebas dari rasa nyeri untuk meningkatkan kolaborasi pasien; Latihan RPS dilakukan setaip hari sebanyak 2 kali sehari pada waktu pagi menghindari stimulus dari lingkungan 5. Fleksibilitas sendi yang optimal akan b. Klien • (4). Pasang tirai untuk privasi pasien dan dan sore hari. yang mungkin dapat mengganggu latihan; • (5). Atur suhu ruangan nyaman untuk Dalam seminggu diberikan selama 6 pasien sehingga mencegah pasien hari. Dimana dalam setiap sesinya kedinginan dan mencegah adanya pasien stroke melakukan minimal 6-8 kontraksi otot yang tidak diinginkan; gerakan. • (6). Pandang wajah pasien untuk Latihan RPS dilakukan dalam kurun mengamati adanya reaksi terhadap latihan waktu 1-3 bulan dimulai ketika pasien yang dilakukan; di rawat inap di RS pada fase rehabilitasi (7). Gerakan latihan harus dilakukan atau secara lembut, perlahan dan berirama; ketika sudah berada di rumah • (8). Sendi tidak boleh digerakkan pemulihan dilanjutkan dengan .Latihan RPS dilakukan secara rutin, melebihi rentang gerak bebasnya. Jadi, perlahan-lahan sesuai dengan urutan sendi digerakkan ke titik tahanan dan mulai dari alat gerak atas kemudian dihentikan pada titik nyeri; dilanjutkan pada alat gerak bawah. • (9). Jika pasien tampak kelelahan, Latihan RPS dilakukan dengan suasana yang hentikan latihan nyaman dan memberikan kebahagianan pada pasien dan keluarga. (2). Jelaskan apa yang akan dilakukan Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Langkah­Langkah : tangan Gerakan menekuk dan meluruskan sendi bahu Satu tangan penolong memegang sikut. Tangan lainnya memegang lengan pasien Meluruskan sikut, menaikkan dan menurunkan lengan dengan sikut tetap lurus. Gerakan memutar pergelangan tangan Pegang lengan bawah dengan satu tangan Tangan lainnya memegang telapak tangan pasien Putar pergelangan tangan pasien ke arah luar (supinasi) Putar pergelangan tangan pasien ke arah dalam (pronasi) Gerakan memutar ibu jari Pegang pergelangan tangan dan keempat jari tangan dengan satu tangan. Tangan lainnya memutar ibu jari tangan. Gerakan menekuk dan meluruskan sikut Pegang lengan atas dengan satu tangan Tangan lainnya menekuk dan meluruskan sikut Gerakan menekuk dan meluruskan pergelangan tangan Pegang lengan bawah dengan satu tangan Tangan lainnya memegang pergelangan tangan pasien Tekuk pergelangan pasien ke atas dan kebawah Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Gerakan menekuk dan meluruskan jarijari tangan Pegang pergelangan tangan dengan satu tangan Tangan lainnya menekuk dan meluruskan jari-jari tangan Langkah­langkah : kaki Gerakan menekuk dan meluruskan pangkal paha Pegang lutut dengan satu tangan Tangan lainnya memegang tungkai Naikan dan turunkan kakai dengan lutut tetap lurus Gerakan pangkal paha Gerakan kaki mejauh dan mendekati badan pasien (abduksi dan adduksi). Gerakan sendi­sendi jari kaki • Pegang jari‐jari kaki pasien dengan satu tangan • Tangan lain memegang kaki pasien dengan satu tangan • Tekuk jari kaki ke bawah • Luruskan jari kaki dan dorong ke belakang • Kembali ke posisi normal Gerakan menekuk dan meluruskan lutut Pegang lutut dengan satu tangan Tangan lainnya memegang tungkai Gerakan memutar pergelangan kaki • Pegang tungkai dengan satu tangan • Tangan lainnya memegang pergelangan kaki Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Cara melakukan fisioterapi dada “CLUPPING” 1. Cuci tangan 2. Letakkan kain tipis atau klien menggunakan baju tipis pada daerah yang akan diclupping 3. Tangan perawat dilengkungkan kaku membentuk kubah 4. Tepuk-tepukan tangan clupping di atas lobus paru secara benar untuk mengalirkan sekret 5. Gerakan tangan clupping dari costae bawah ke bahu belakang dan dari costae bawah ke dada depan atas. Jangan menepuk di bagian bawah costae, di atas spinal, mammae 6. Dengarkan suara gema saat clupping, klien tidak boleh merasa nyeri 7. Lakukan clupping dalam 30-60 detik di atas area lobus paru. Lakukan beberapa kali sehari tapi pada klien dengan sekret yang sangat kental dapat dilakukan 3-5 menit 8. kembalikan klien pada posisi yang nyaman 9. cuci tangan Cara melakukan fisioterapi dada “VIBRASI” 1. Cuci tangan 2. Letakkan tangan perawat mendatar/ menapak di atas dinding dada klien, dimana vibrasi diinginkan. 3. Letakkan tangan bersisihan dengan jari-jari melebar, atau satu tangan diletakkan di atas tangan lain 4. Anjurkan klien untuk bernafas dalam dan kemudian mengeluarkan perlahan-lahan. 5. Saat klien berexhalasi, vibrasikan dinding dada klien secara tepat dan berirama 6. Hentikan vibrasi saat klien inhalasi Lakukan vibrasi dalam beberapa menit, beberapa kali sehari 7. kaji respon pasien 8. cuci tangan Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013 Cara melakukan “BATUK EFEKTIF” a) Cuci tangan b) Pakai sarung tangan dan masker b/p c) Lakukan latihan napas beberapa kali. d) Batuk 2 kali selama tiap kali ekhalasi ketika mengkontraksi (menarik ke dalam) abdomen dengan tajam bersamaan dengan setiap kali batuk e) Keluarkan dahak atau sputum ke cangkir yang telah dipersiapkan f) Kaji sputum g) Cuci tangan h) Rapikan peralatan Lampiran 9: RIWAYAT HIDUP PENULIS Nama : Eva Dwi Ramayanti Tempat, Tanggal Lahir : Kediri, 01 September 1982 Jenis Kelamin : Perempuan Pekerjaan : Staf Pengajar Jurusan Keperawatan FIK Univ. Kadiri-Kediri Alamat Rumah : Jl. Panjatian No.47 Kertosono Kab. Nganjuk Jawa Timur Alamat Institusi : Jl. Selomangkleng No 1 Kediri Jawa Timur E-Mail : [email protected] Riwayat Pendidikan 1991 – 1996 : SDN Kudu II Nganjuk Jawa Timur 1996 – 1999 : SMPN 1 Kertosono Nganjuk 1999 – 2001 : SMU 1 Kertosono Nganjuk 2001 – 2004 : Pogram Studi Ilmu Keperawatan FK Univ. Brawijaya Malang Jawa Timur 2004 – 2005 : Profesi Ners PSIK FK Univ. Brawijaya Malang 2009 – 2011 : Pascasarjana KMB Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia 2011 – 2012 : Program Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah FIK-UI Riwayat Pekerjaan 01 September 2007- sekarang : Staf Pengajar PSIK Universitas Kadiri Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Eva Dwi Ramayanti, FIK UI, 2013