5 Bab II Tinjauan Pustaka Nanoteknologi telah membangkitkan perhatian yang sangat besar dari para ilmuwan di seluruh dunia, dan saat ini merupakan bidang riset yang paling populer. Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa dalam penciptaan material, struktur fungsional, maupun piranti dalam skala nanometer. Nanometer adalah “suatu titik magik dalam skala panjang, dalam hal ini titik merupakan divais terkecil yang dibuat manusia yang menunjukkan sifat alami dari atom dan molekul”. (11) II.1 Nanomaterial Dalam terminologi ilmiah, nanometer berarti 10-9 m (0,000000001 m). Riset bidang skala nanometer sangat pesat dilakukan di seluruh dunia saat ini. Jika diamati, hasil akhir riset tersebut adalah mengubah teknologi yang ada sekarang yang umumnya berbasis pada material skala mikrometer menjadi teknologi yang berbasis pada material skala nanometer. Material berukuran nanometer memiliki sejumlah sifat fisika dan kimia yang lebih unggul dari material ukuran ruah (bulk).(12) Disamping itu hal yang sangat menarik dari material skala nanometer ini adalah sifat kimia dan fisika yang dapat diubah-ubah melalui pengontrolan ukuran material, pengaturan komposisi kimiawi, modifikasi permukaan, dan pengontrolan interaksi antar partikel. Berbagai aplikasi dari material skala nanometer telah berhasil dikembangkan dalam berbagai bidang, seperti bidang elektronik (pengembangan divais ukuran nanometer), energi (pembuatan sel surya yang lebih efisien), katalis, sensor, baterei dengan kualitas yang lebih baik, kedokteran, farmasi, lingkungan dan sebagainya.(11) II.1.1 Klasifikasi Nanomaterial Setiap senyawa dan material yang dikenal akan menghasilkan serangkaian sifatsifat baru tergantung pada ukurannya. Sifat optik, sifat magnetik, titik leleh, panas spesifik dan mofologi kristal dapat dipengaruhi karena nanomaterial merupakan jembatan antara fasa molekular dan fasa terkondensasi. Berbagai istilah dan nama telah digunakan dalam bidang material berstruktur nano, diantaranya: (11) 6 a. Kluster Kluster adalah sekumpulan satuan (atom atau molekul reaktif) hingga sekitar 50 satuan. Senyawa kluster adalah lingkungan yang dikelilingi oleh suatu ligan. b. Koloid Suatu fasa cair yang stabil mengandung partikel-partikel dalam ukuran 1-1000 nm. c. Nanopartikel Suatu partikel padat pada daerah 1-1000 nm yang dapat berupa nonkristalin, kumpulan kristalit atau kristal tunggal. d. Nanokristal Suatu partikel padat berupa kristal tunggal dalam ukuran nanometer. e. Material berstruktur atau berukuran nano Suatu material padat yang mempunyai dimensi nanometer yaitu tiga dimensi (3-D) berupa partikel-partikel; dua dimensi (2-D) berupa film tipis; satu dimensi (1-D) berupa thin wire. f. Material fasa nano Sama seperti material berstruktur nano. g. Kuantum dot Partikel yang menunjukkan efek kuantisasi ukuran pada dimensi terendah. Bentuk dan ukuran material nano yang beragam memerlukan pengelompokan untuk mendeskripsikan karakteristik building block material nano. Ada dua tipe utama building block material nano yang digunakan untuk pembuatan divais dan aplikasi yaitu: 1. 0-D (yaitu nanopartikel, nanokluster, nanokristal) 2. 1-D (yaitu nanotubes, nanofibers, nanowires) Beberapa penggambaran material struktur nano sesuai dengan tata namanya terlihat seperti pada Gambar II.1. 7 Kluster Nano kluster Nano kristal Nano powder Nano partikel Partkel sub-mikron Bulk powder 1-100 µm: “mikrostruktur” >100 µm: “partikulat” Gambar II.1 Tata nama material struktur nano 0-D. Sumber: (www. Springerlink.com) II.1.2 Nanokristal Semikonduktor Fabrikasi kristalit berukuran nanometer (kristal kuantum) yang sempurna secara identik meniru suatu keadaan yang dapat dimanipulasi seperti senyawa makromolekular murni, yaitu suatu penelitian material modern dengan pengertian dasar dan potensial teknologi. Potensi ini disebabkan karena sifat elektronik yang tergantung pada ukuran partikel. Begitu juga dengan sifat optik dari material semikonduktor akan berubah dengan perubahan ukuran partikel. Beberapa 8 semikonduktor golongan II-VI dan III-V akan mengalami perubahan celah pita energi dengan perubahan ukuran partikel yang menghasilkan pergeseran pada spektrum optiknya.(13) Kristal semikonduktor ditandai dengan adanya band gap, yaitu celah pita energi yang terletak di antara pita valensi yang berisi elektron penuh dengan pita konduksi yang kosong. Celah pita energi ini berkaitan dengan sifat luminesen material: eksitasi tahap pertama pada semikonduktor adalah pada elektron di bawah pita konduksi dan hole pada pita valensi bagian atas.(14) Jika mendapat energi yang cukup misalnya dari foton atau panas, atau tumbukan oleh partikel lain, elektron yang semula berada di pita valensi dapat meloncat ke pita konduksi. Loncatan tersebut meninggalkan keadaan kosong di pita konduksi, yang dikenal dengan hole. Agar elektron dapat mencapai pita konduksi, energi yang diterima harus lebih besar dari celah pita energi, Eg. Umumnya, cahaya yang digunakan untuk mengeksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi adalah cahaya ultraviolet.(12) Gambar II.2 Diagram energi (kurva dispersi) untuk semikonduktor langsung (a) dan tidak langsung (b). Pada semikonduktor tidak langsung, panjang gelombang cahaya cukup besar, transisi optis ditunjukkan oleh tanda panah vertikal, maka relaksasi tidak terjadi pada daerah yang sama (forbidden zone). Sumber: (Subramanian, 2004) Keadaan tereksitasi bukan merupakan keadaan stabil. Elektron hanya bertahan beberapa saat di keadaan eksitasi, setelah itu kembali ke keadaan awal mengisi kembali keadaan kosong yang semula ditinggalkannya. Proses ini disebut deeksitasi atau rekombinasi. Pada saat deeksitasi, terjadi pelepasan energi berupa 9 panas atau pemancaran cahaya. Deeksitasi yang disertai dengan pelepasan panas disebut transisi tanpa radiasi, sedangkan deeksitasi yang disertai pemancaran gelombang elektromagnetik disebut transisi radiatif. Pada transisi radiatif, energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan kira-kira sama dengan lebar celah pita energi, yaitu hf’ ≈ Eg.(12) Kebergantungan lebar celah pita energi nanopartikel semikonduktor terhadap ukuran partikel diturunkan pertama kali oleh Brus(12) dengan menggunakan pendekatan massa efektif. Brus mendapatkan Persamaan II.1. E g ( R ) = E g (∞ ) + π 2h2 1 2 R 2 me* + 1 1,8e 2 − mh* kR (II.1) Dengan Eg (R) adalah lebar celah pita energi nanopartikel yang berjari-jari R, Eg (∞) adalah lebar celah pita energi material yang sama dalam ukuran ruah (bulk), h adalah konstanta Planck, R jari-jari partikel, me* adalah massa efektif elektron, mh* adalah massa efektif hole, e adalah muatan elektron, dan k adalah konstanta dielektrik material. Persamaan ini cukup sesuai dengan hasil eksperimen jika ukuran partikel lebih besar dari 3 nm, tetapi agak menyimpang jika ukuran partikel kurang dari 3 nm. Hal ini disebabkan karena massa efektif tidak terlalu tepat digunakan jika ukuran partikel sangat kecil, di mana partikel hanya mengandung ratusan atom.(12) Pada Persamaan II.1 suku kedua muncul akibat keterbatasan ruang gerak elektron dan hole di dalam partikel (disebut confinement effect). Efek ini memperbesar jarak antara pita valensi dan pita konduksi. Suku ketiga muncul akibat adanya tarikan Coulomb antara elektron dan hole setelah elektron mengalami eksitasi. Karena ruang gerak elektron yang terbatas, maka jarak elektron dan hole tidak bisa jauh. Akibatnya, tarikan antara keduanya selalu ada yang beimbas pada pengurangan energi yang dimiliki elektron setelah mengalami eksitasi. Jika ukuran partikel sangat besar (bulk) maka elektron dan hole dapat berpisah sangat jauh sehingga tarikan antara keduanya dapat dianggap nol. Akibatnya tidak ada pengurangan energi yang dimiliki elektron setelah meloncat ke pita valensi.(12) 10 Adanya interaksi Coulomb antara elektron dan hole setelah elektron mengalami eksitasi dapat meningkatkan kemungkinan pembentukan pasangan elektron-hole yang dapat meningkatkan laju transisi optik. Pasangan elektron-hole terikat netral ini disebut sebagai eksiton. Eksiton dapat digambarkan seperti suatu sistem hidrogenik yang sama dengan atom positronium dengan elektron dan hole pada suatu orbit/lintasan stabil. Eksiton dapat teramati pada material kristalin. Ada dua tipe eksiton yaitu: (15) • Wannier-Mott eksiton, disebut juga eksiton bebas • Frenkel eksiton, disebut juga eksiton terikat Dua tipe eksiton tersebut digambarkan secara skematis pada Gambar II.3 (a) (b) Gambar II.3 Diagram skematik dari: (a) Wannier-Mott eksiton atau disebut juga eksiton bebas, (b) Frenkel eksiton atau disebut juga eksiton terikat Eksiton tipe Wannier-Mott mempunyai jari-jari yang besar yang meliputi banyak atom dan atom-atom berada dalam keadaan terdelokalisasi sehingga dapat bergerak bebas diseluruh kristal. Sedangkan eksiton tipe Frenkel mempunyai jarijari yang lebih kecil dibandingkan dengan ukuran sel satuan, akibatnya atom-atom berada dalam keadaan terlokalisasi di mana terikat ke atom atau molekul spesifik.(15) II.2 Nanokristal Zink Oksida (ZnO) ZnO merupakan suatu material yang penting karena memiliki celah pita energi yang besar, murah dalam produksi serta sifat luminesen yang baik. ZnO biasanya digunakan sebagai pigmen putih dan industri katalis, khususnya untuk reaksi yang 11 menghasilkan metanol. Selain itu, ZnO juga digunakan sebagai sensor karena ZnO akan mengalami peningkatan konduktivitas permukaan bila mengadsorpsi dan sebagai oksida konduktif transparan (TCO), varistor, divais piezoelektrik dan transduser elektroakustik. Selain itu sifat optoelektroniknya bermanfaat untuk foto anoda, short-wavelength lasing dan katodoluminesen karena pita emisi yang lebar pada daerah kuning-hijau. ZnO mudah dietsa dalam semua asam dan basa sehingga tepat untuk menghasilkan divais-divais berukuran kecil. ZnO juga digunakan sebagai substrat alternatif untuk pertumbuhan epitaksial GaN dan InGaN karena isomorfis dan kecocokan kisi yang baik.(4, 8) II.2.1 Struktur Kristal ZnO Kebanyakan senyawa semikonduktor biner golongan II-VI mempunyai struktur kubik zink blenda atau heksagonal wurtzit, dimana setiap anion dikelilingi oleh empat kation pada sudut tetrahedron dan sebaliknya. Koordinasi tetrahedral ini merupakan tipe ikatan kovalen sp3, akan tetapi material-material ini juga mempunyai karakter ionik yang substansial. ZnO adalah suatu senyawa semikonduktor II-VI yang berada pada perbatasan antara semikonduktor kovalen dan ionik. Struktur kristal ZnO dapat berupa wurtzit (B4), zink blenda (B3), dan garam batu (B1) seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.4. Pada kondisi ruang, fasa stabil secara termodinamika adalah wurtzit. Kristal ZnO dengan struktur zink blenda dapat menjadi stabil hanya dengan penumbuhan pada substrat-substrat yang memiliki struktur kubik dan struktur garam batu (NaCl) dihasilkan pada tekanan yang relatif tinggi.(4) Garam batu (B1) Zink Blenda (B3) Wurtzit (B4) Zn O Gambar II.4 Gambaran Struktur-struktur kristal ZnO: (a) kubik garam batu, (b) kubik Zink blenda, (c) Wurtzite heksagonal. 12 Struktur wurtzit mempunyai sel satuan heksagonal dengan dua parameter kisi, a dan c dengan rasio c/a = 8/3 = 1,633 dan mempunyai grup ruang C 64ϑ atau P63mc. Gambaran skematik dari sruktur wurtzit ditunjukkan pada Gambar II.5. Gambar II.5 Gambaran skematik dari struktur wurtzit ZnO yang mempunyai konstanta kisi a pada bidang basal dan c pada arah basal; parameter u adalah panjang ikatan atau jarak tetangga terdekat b dibagi dengan c (0,375° pada kristal ideal) dan α dan β (109, 47° pada kristal ideal) adalah sudut ikatan. Struktur wurtzit terdiri dari dua sub kisi hexagonal close packed (hcp) di mana masing-masing terdiri dari satu tipe atom yang ditempatkan dengan tepat satu sama lain sepanjang sumbu-c lipat tiga dengan nilai u = 3/8 = 0.375 (pada suatu struktur wurtzit ideal) pada koordinat fraksional (parameter u didefinisikan sebagai panjang ikatan paralel ke sumbu-c, dalam satuan c). Setiap sub kisi terdiri dari empat atom per sel satuan dan setiap atom dari satu jenis (atom golongan II) dikelilingi oleh empat atom dari jenis lain (golongan VI) atau sebaliknya yang terkoordinasi pada sudut tetrahedron.(4) II.2.2 Sifat Optik ZnO Sifat optik suatu semikonduktor berhubungan dengan efek instrinsik dan ekstrinsik. Transisi optik instrinsik berada antara elektron pada pita konduksi dan hole pada pita valensi, meliputi efek eksitonik yang disebabkan oleh interaksi Coulomb. Eksiton dikelompokkan menjadi eksiton bebas dan eksiton terikat. Pada sampel kualitas tinggi dengan konsentrasi pengotor rendah, eksiton bebas menunjukkan keadaan tereksitasi. Sifat ekstrinsik dihubungkan dengan dopan atau cacat yang biasanya menghasilkan keadaan elektronik yang berlainan pada celah 13 pita energi sehingga mempengaruhi proses absorpsi dan emisi optik. Keadaan elektronik dari eksiton terikat (BEs) sangat bergantung pada material semikonduktor khususnya pada struktur pita. Secara teori, eksiton dapat terikat ke donor netral atau bermuatan dan akseptor. Suatu asumsi dasar pada penjabaran prinsip keadaan eksiton terikat untuk donor netral dan akseptor adalah kopling dominan dari partikel-partikel pada keadaan BE. Untuk eksiton terikat donor netral (Donor Bound Exciton/DBE), contohnya dua elektron pada keadaan BE diambil untuk berpasangan menjadi keadaan dua elektron dengan spin nol. Hole tambahan kemudian berikatan dengan lemah pada jaringan atraktif hole potensial Coulomb yang disusun oleh kumpulan dua elektron terikat ini. Begitu juga eksiton akseptor terikat (ABEs) mempunyai dua keadaan hole yang dihasilkan dari pita valensi paling atas dan interaksi elektron. Transisi yang berhubungan dengan cacat dapat terlihat pada spektrum optik sebagai bebas ke terikat (akseptor elektron), terikat ke terikat (akseptor-donor) dan juga disebut luminesen kuning/hijau.(4) Untuk menghasilkan divais optoelektronik berkinerja tinggi, dibutuhkan penelitian sifat optik dan proses transisi pada ZnO. Ada banyak teknik eksperimen untuk mempelajari proses transisi optik pada ZnO, seperti absorpsi optik, transmisi, refleksi, fotorefleksi, spektroskopik, elipsometri, fotoluminesen, katodoluminesen, spektroskopi kalorimetri dan lainnya. a. Eksiton-eksiton bebas Pita konduksi ZnO dengan struktur kristal wurtzit dibangun dari keadaan s-like yang mempunyai bentuk simetrik Гc7, sedangkan pita valensi adalah keadaan p-like yang terpecah menjadi tiga pita karena disebabkan oleh medan kristal dan interaksi spin-orbit. Absorpsi instrinsik celah pita energi dekat dan spektrum emisi didominasi oleh transisi dari tiga pita valensi ini. Transisi yang berhubungan dengan eksiton terikat ke tiga pita valensi ini atau sebaliknya biasanya diberi lambang A (heavy hole), B (light hole), dan C (pemecahan pita medan kristal). Adanya ketersediaan kristal tunggal kualitas tinggi ZnO membuka jalan untuk mengamati transisi eksiton instrinsik pada fotoluminesen suhu rendah, magnetoluminesen dan 14 pengukuran reflektansi. Adapun untuk energi transisi dari eksiton instrinsik dapat diukur dengan berbagai teknik, seperti absorpsi suhu rendah, refleksi, fotoreflektans (PR) dan teknik spektroskopi PL, dan lainnya. Sifat-sifat optik dari proses transisi eksitonik ZnO dapat diamati secara detail dengan teknikteknik ini.(4) Fotoluminesen (PL) adalah salah satu teknik yang paling baik untuk mengenal struktur eksiton.(4) Ada banyak spektra PL hasil penelitian yang dilaporkan oleh berbagai kelompok penelitian. Gambar II.6 menunjukkan spektrum PL khusus dari dari eksitonik dasar pada 15 K. Garis emisi pada 3,378 eV dikenal sebagai eksiton bebas A dan transisi keadaan eksitasi Intensitas PL (Rel. Units) pertama. Posisi puncak yang sama juga dilaporkan oleh Teke.(16) Eksiton bebas Energi foton (eV) Gambar II.6 Daerah eksiton bebas dari spektrum PL ZnO pada 15 K Kelompok penelitian lain juga meneliti energi puncak eksitonik untuk kristal tunggal ZnO kualitas tinggi dengan PL, fotoreflektan, pengukuran absorpsi. Ada beberapa sedikit perbedaan kuantitatif dari penelitian ini yang disebabkan oleh perbedaan sampel ZnO atau variasi kondisi eksperimental. b. Eksiton terikat Eksiton terikat adalah transisi ekstrinsik dan berhubungan dengan dopan atau cacat yang biasanya menghasilkan keadaan elektronik tersendiri pada 15 celah pita energi yang mempengaruhi proses absorpsi emisi dan optik. Jenis dan struktur pita dari material semikonduktor mempengaruhi keadaan elektronik dari eksiton terikat. Donor netral atau bermuatan dan akseptor dapat mengikat eksiton yang menghasilkan eksiton terikat.(4) Donor-bound eksiton (DBE) dangkal netral secara umum mendominasi spektrum PL dari film ZnO kualitas tinggi pada suhu rendah karena adanya sumber donor yang berasal dari pengotor atau cacat. Acceptor-bound exciton (ABE) kadang-kadang juga terlihat pada beberapa film ZnO yang mengandung konsentrasi substansial akseptor. Garis tajam pada spektrum PL yang dihasilkan oleh rekombinasi eksiton terikat adalah signal yang digunakan untuk menganalisa perbedaan cacat atau sumber pengotor. Kebanyakan garis-garis tajam eksiton donor dan akseptor terlihat pada daerah dari 3,34 sampai 3,38 eV pada film ZnO kualitas tinggi.(4) Intensitas PL (Rel. units) T = 15 K, laser He-Cd Energi foton (eV) Gambar II.7 Spektrum PL dari ZnO pada daerah TES dari garis-garis eksiton ikatan Suatu contoh spektrum PL ZnO pada suhu rendah ditunjukkan pada Gambar II.7 di mana terlihat beberapa puncak emisi tajam pada 3,357 eV; 3,361 eV; 3,365 eV; 3,372 eV. Puncak ABE tertinggi adalah pada 3,357 eV yang berasal dari akseptor Na atau Li.(17) 16 c. Cacat-cacat pada ZnO Energi pembentukan dan struktur elektronik dari cacat titik dan hidrogen pada ZnO dihitung oleh Van de Walle et al.(18) Hubungan antara konsentrasi cacat pada kristal dan energi pembentukannya ditentukan oleh persamaan berikut: Ef c = N sites exp − kbT II.2 Nsites adalah konsentrasi dari posisi yang ada pada kristal dimana cacat dapat terjadi. Dari persamaan II.2, cacat tidak dapat terbentuk dengan energi pembentukan tinggi. Energi pembentukan dapat dihasilkan dari persamaan II.3 E f (q ) = E tot (q ) − nZn µ Zn − no µo − qE f II.3 Etot (q) adalah energi total suatu sistem yang mengandung nZn dan nO atom zink dan oksigen, dan µZn dan µO adalah potensial kimia untuk zink dan oksigen, q adalah muatan cacat, dan Ef adalah energi Fermi. Potensial kimia tergantung pada kondisi pertumbuhan. µZn = µZn (bulk) untuk keadaan kaya Zn sedangkan µ o = µ o2 untuk keadaan kaya oksigen. Di bawah kondisi kaya Zn, kekosongan oksigen mendominasi ketika kekosongan oksigen memiliki energi pembentukan lebih rendah daripada interstisi Zn. Sebaliknya pada kondisi kaya oksigen, kekosongan Zn mendominasi. Level transisi untuk keadaan muatan -1/-2 dari VZn sekitar 0,8 eV di atas pita valensi. Jadi transisi dari pita konduksi atau suatu donor dangkal ke akseptor VZn sekitar 2,6 eV pada ZnO tipe-n dimana berada pada daerah luminesen hijau. Luminesen kuning pada GaN disebabkan oleh cacat titik yang sama.(17) Hidrogen juga merupakan pengotor umum yang ada pada ZnO. Secara umum, hidrogen berlaku sebagai donor dan terikat khusus ke suatu atom oksigen pada ZnO yang membentuk suatu ikatan OH. Energi pembentukan untuk hidrogen pada ZnO tipe-n sekitar 1,56 eV. Inkorporasi hidrogen ketika pertumbuhan ZnO tipe-n meningkatkan kelarutan akseptor dan menekan pembentukan kompensasi cacat. Setelah proses pertumbuhan, 17 hidrogen dapat dihilangkan dengan mudah oleh metoda annealing setelah pertumbuhan.(4) II.3 Penumbuhan Kristal ZnO Berbagai teknik penumbuhan telah dilakukan pada berbagai substrat seperti gelas, safir dan intan untuk menghasilkan kristal ZnO, di antaranya yaitu magneton sputtering, deposisi uap kimia yang dapat menghasilkan film polikristalin ZnO. Kemudian dilakukan teknik pertumbuhan lain untuk menghasilkan film kristal tunggal ZnO seperti Molecular-Beam Epitaxy (MBE), Pulsed Laser Deposition (PLD), Metal Organic Chemical-Vapor Deposition (MOCVD), metoda hidrotermal dan epitaksi fasa uap halida atau hidrida (HVPE). Di antara berbagai metoda tersebut, metoda hidrotermal yang tergolong metoda fasa larutan merupakan metoda yang dapat mengontrol pertumbuhan kristal ZnO karena supersaturasi yang lambat dari larutan selama reaksi hidrotermal membantu proses pertumbuhan kristal.(4) Dalam metoda fasa larutan, kontrol morfologi partikel-partikel oksida tergantung pada kinetika pembentukan prekursor dengan muatan nol, yaitu pada tahap hidrolisis dan kondensasi serta sifat dan jumlah kation yang mengompleks pada larutan. Untuk unsur-unsur bermuatan +3 dan +4, kontrol kinetika dicapai melalui termohidrolisis atau gaya hidrolisis. Pada proses ini, hidrolisis kation dibawa oleh air melalui peningkatan suhu untuk menghasilkan nilai negatif pada entalpi reaksi. Untuk unsur-unsur dengan muatan formal +11 dalam suatu media asam, suhu dibutuhkan untuk menghasilkan deprotonasi kation aquo. Kontrol kinetika reaksi dapat dicapai melalui pemberian sejumlah basa ke dalam medium atau melalui pelepasan secara lambat kation-kation logam dalam larutan basa. Ini dapat dilakukan melalui dekomposisi termal dari senyawa seperti urea, formamida atau kelat logam dalam medium basa. Produksi partikel ZnO melalui dekomposisi termal dari kompleks heksametiltetramin adalah suatu contoh dari teknik ini. ZnO wurtzit dihasilkan sebagai suatu prisma atau jarum-jarum. Adanya ligan pengompleks kuat seperti heksametiltetramin, ion klorida atau nitrat dari garam memberikan sedikit pengaruh terhadap karakteristik partikel. Kedua morfologi 18 dihasilkan dalam konsentrasi dan kondisi suhu yang sama, di mana kemungkinan kuat hanya dipengaruhi oleh faktor kinetika.(19) Perubahan morfologi dari kristal tunggal ZnO selama proses pertumbuhan dalam larutan ditunjukkan pada Gambar II.8. Gambar II.8 Perubahan morfologi kristal tunggal ZnO yang terbentuk dalam suatu larutan Zn(NO3)2 (0,05 mol L-1) dan heksametiltetramin (0,05 mol L-1) yang dipanaskan pada suhu 100 °C: (a) permulaan turbiditas; (b) setelah 3 menit; (c) setelah 7 menit; (d) setelah 30 menit. Sumber: (Bescher, 2000) Spheres terbentuk pada tahap awal hidrolisis, kemudian mengumpul dan bergabung untuk membentuk calon kristal (bibit). Bibit ini tumbuh melalui disolusi kristalisasi. Di bawah kondisi kinetika yang lambat, partikel-partikel prismatik dengan jelas membentuk bidang pada partikel asikular silindris. Beberapa prisma dibentuk oleh hidrolisis pada 80 °C kemudian membentuk jarum setelah pemanasan pada suhu 100 °C.(19) 19 II.4 Efek Medan Listrik II.4.1 Pengenalan Medan Listrik Medan listrik adalah setiap daerah dalam ruang di mana sebuah muatan listrik mengalami gaya yang disebabkan oleh adanya muatan lain di dalam daerah tersebut. Berdasarkan definisi intensitas medan listrik, ε, di sebuah titik sama dengan gaya per satuan muatan yang dialami oleh muatan uji yang ditempatkan di titik itu (Persamaan II.4). ε= F atau F = qε q II. 4 Intensitas medan listrik ε dinyatakan dalam newton/coulomb atau NC-1 atau kg m det-2 C-1, dalam satuan dasar. Dari Persamaan II.4, jika q positif maka gaya F yang bekerja pada muatan itu mempunyai arah yang sama dengan medan ε; tetapi jika q negatif, maka gaya F memiliki arah yang berlawanan dengan ε. Karena itu jika ada medan listrik dalam sebuah daerah di mana terdapat partikel-partikel atau ionion positif dan negatif, maka medan akan menyebabkan benda-benda yang bermuatan positif dan negatif bergerak dalam arah yang berlawanan, dan menghasilkan pemisahan muatan. Efek ini kadang-kadang disebut polarisasi.(20) II.4.2 Polarisasi Materi Dielektrik Telah kita ketahui bahwa atom-atom tidak mempunyai momen dua kutub listrik yang permanen karena simetrinya yang berbentuk bola. Tetapi jika atom diletakkan di tempat yang mempunyai medan listrik, atom akan terpolarisasi dan akan mendapatkan momen dua kutub listrik terinduksi dalam arah yang sama dengan medan. Polarisasi ini merupakan hasil gangguan gerakan elektron yang dihasilkan oleh medan listrik yang diterapkan.(20) 20 Tak terpolarisasi Terpolarisasi oleh medan listrik v P v E Gambar II.9 Orientasi molekul polar tanpa dan dengan pemakaian medan listrik. Sumber: (www. Hyper physics, Georgia State University). Jika suatu material yang mengandung molekul-molekul polar, molekul ini secara umum mempunyai orientasi acak ketika tidak adanya medan listrik. Suatu medan listrik akan mempolarisasi material dengan mengorientasi momen dipol dari molekul-molekul polar seperti yang terlihat pada Gambar II.9. II.4.3 Aplikasi Medan Listrik pada Proses Pertumbuhan Kristal Telah banyak dilakukan penelitian yang menggunakan medan listrik pada proses sintesis senyawa nanokristal semikonduktor khususnya semikonduktor golongan II-VI yang merupakan material-material untuk divais optik nonlinier seperti generator harmonik dan switches optik.(21) Iwanaga et al.(1) pada tahun 1979 telah mempelajari ketergantungan polaritas dari laju pertumbuhan kristal dengan metoda sublimasi untuk kristal ZnO, CdS dan CdSe dengan struktur wurtzit. Pada penelitian ini dihasilkan bahwa setiap kristal mempunyai arah pertumbuhan tertentu sepanjang sumbu polar. Arah pertumbuhan ZnO adalah arah +c dan CdS serta CdSe adalah arah sumbu–c.(1) Iwanaga juga telah menggunakan medan listrik pada pertumbuhan kristal CdS menggunakan metoda sublimasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa polaritas arah pertumbuhan pada CdS tergantung pada polaritas medan listrik yang dipakai terhadap zona pertumbuhan.(1) Pada tahun 21 2001, Narazaki et al. juga telah mempelajari efek medan listrik DC pada nanokristal CdSe yang ditumbuhkan pada film ITO (Indium Tin Oxide). Dari penelitian tersebut dihasilkan kesimpulan bahwa medan listrik DC sebagai panas Joule memberikan pengaruh pada kristalisasi CdSe, di mana ketika tegangan tinggi digunakan, panas Joule memberikan suhu lebih tinggi pada fase CdSe menuju pada pertumbuhan kristal CdSe.(22) Penelitian ini juga menjelaskan efek medan listrik DC pada sifat kristalisasi nanopartikel semikonduktor II-VI pada matriks ITO. Adapun penggunaan medan listrik pada sintesis ZnO telah dilakukan oleh Hirose et al. pada tahun 2004.(10) Hirose menggunakan medan medan listrik pada deposition pulsed laser dari film tipis ZnO secara epitaksial. Penelitian ini dilakukan berdasarkan sifat kimia dan fisika anisotropi dari ZnO, dimana ZnO mempunyai lapisan atom Zn dan O yang bersifat polar. Polaritas film tipis dari ZnO dapat dikontrol dengan mengatur kondisi pertumbuhan seperti suhu dan laju deposisi. Untuk meningkatkan parameter tersebut dapat menggunakan pengaruh medan listrik eksternal pada proses deposisi. Dari penelitian tersebut di atas dihasilkan bahwa medan listrik negatif dapat meningkatkan kristalinitas film ZnO.(10) II.5 Difraksi Sinar-X Serbuk Sinar-X merupakan radiasi gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang sekitar 1 Å, berada di antara panjang gelombang sinar gamma (γ) dan sinar ultraviolet. Sinar-X dihasilkan jika elektron berkecepatan tinggi menumbuk suatu logam target sehingga elektron pada logam mengalami eksitasi yang menyebabkan terjadinya kekosongan elektron. Kekosongan elektron selanjutnya diisi oleh elektron dari tingkat energi yang lebih tinggi yang menyebabkan terjadinya pancaran energi dalam bentuk sinar-X (Gambar II.10).(23) 22 sinar X Gambar II.10 Elektron berkecepatan tinggi yang mengenai elektron pada orbital 1s (kulit K) menyebabkan elektron tereksitasi sehingga terjadi kekosongan (□) pada orbital 1s, elektron pada orbital 2p mengisi kekosongan tersebut yang menyebabkan terjadinya pancaran sinar-X. Sinar-X yang diperoleh memberikan intensitas puncak tertentu yang bergantung pada kebolehjadian transisi elektron yang terjadi. Transisi Kα lebih mungkin terjadi dan memiliki intensitas yang lebih tinggi daripada transisi Kβ, sehingga radiasi Kα yang digunakan untuk keperluan difraksi sinar-X. Sinar-X juga dapat dihasilkan oleh proses perlambatan elektron pada saat menembus logam sasaran. Proses perlambatan ini menghasilkan sinar-X yang biasa disebut sebagai radiasi putih. Hasil dari semua proses tadi untuk logam tertentu adalah spektrum khas sinar-X, seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.11. Gambar II.11 Spektrum panjang gelombang sinar-X yang dipancarkan oleh logam Cu yang terdiri dari radiasi putih, radiasi Cu Kβ dan beberapa jenis radiasi Cu Kα. Sumber: (West, 1984). Radiasi Kα terdapat dalam beberapa jenis pancaran panjang gelombang dengan intensitas yang berbeda. Pancaran gelombang Kα1 dan Kα2 digunakan sebagai panjang gelombang untuk keperluan difraksi sinar-X.(23) 23 Pola difraksi suatu material kristalin dihasilkan sesuai dengan susunan atom pada kristal tersebut. Suatu kristal memiliki susunan atom yang tersusun secara teratur dan berulang, serta memiliki jarak antar atom yang ordenya sama dengan panjang gelombang sinar-X. Akibatnya bila seberkas sinar-X ditembakkan pada suatu material kristalin maka sinar tersebut akan menghasilkan pola difraksi yang khas. Menurut pendekatan Bragg, kristal dapat dipandang terdiri atas bidang-bidang datar (kisi kristal) yang masing-masing berfungsi sebagai cermin. Jika sinar-X ditembakkan pada tumpukan bidang datar tersebut, maka sebagian sinar-X tersebut akan dipantulkan oleh bidang tersebut dengan sudut pantul yang sama dengan sudut datangnya, seperti yang diilustrasikan pada Gambar II.12, sedangkan sisanya akan diteruskan menembus bidang. Gambar II.12 Difraksi sinar-X pada kisi kristal. λ adalah panjang gelombang sinar-X, d adalah jarak antar kisi kristal, θ adalah sudut datang sinar. Perumusan secara matematik dapat dikemukakan dengan menghubungkan panjang gelombang sinar-X, jarak antar bidang dalam kristal, dan sudut difraksi: nλ = 2d sin θ (Bragg) II.5 λ adalah panjang gelombang sinar-X, d adalah jarak antar kisi kristal, θ adalah sudut datang sinar, dan n = 1, 2, 3, dan seterusnya adalah orde difraksi. Persamaan Bragg tersebut digunakan untuk menentukan parameter sel kristal. Sedangkan untuk menentukan struktur kristal secara lengkap dengan menggunakan metoda 24 komputasi kristalografik, data intensitas digunakan untuk menentukan posisiposisi atomnya. II.6 Scanning Electron Microscope (SEM) Morfologi permukaan suatu material dapat dianalisis dengan menggunakan pencitraan mikroskop elektron atau Scanning Electron Microscope (SEM). SEM memiliki teknik dan kemampuan yang unik untuk menganalisa permukaan suatu bahan dengan perbesaran yang sangat tinggi. Dengan SEM maka tekstur, topografi, dan pola permukaan dari bahan dapat diamati dengan baik. Prinsip alat ini sama dengan mikroskop binokuler, hanya saja menggunakan sumber radiasi yang berbeda. Jika sinar pantul dari mikroskop membentuk gambar dari sinar yang dipantulkan permukaan sampel, sedangkan pada SEM menggunakan elektron untuk menghasilkan gambar. Perbedaan panjang gelombang dari sumber radiasi ini menghasilkan tingkat resolusi yang berbeda, elektron memiliki panjang gelombang yang jauh lebih pendek dibandingkan foton sinar tampak, dan panjang gelombang yang lebih pendek ini dapat menghasilkan informasi dengan resolusi yang lebih tinggi. Resolusi tambahan ini memungkinkan pembesaran yang lebih tinggi tanpa kehilangan sedikitpun detail. SEM dapat memberikan hasil yang baik untuk material konduktif dan semikonduktif. Material yang tidak dapat menghantarkan listrik dapat dipotret oleh SEM dengan teknik penyiapan tertentu. Teknik penyiapan sampel yang umum adalah dengan melapisi sampel dengan lapisan tipis material konduktif, seperti lapisan tipis emas-paladium (Au: 80% dan Pd: 20%). Teknik pelapisan dilakukan dengan metode sputtering.(24) Perangkat SEM pada dasarnya terdiri dari empat sistem yang terintegrasi, yaitu(25): 1. Sistem iluminasi yang mengarahkannya ke sampel. menghasilkan berkas elektron dan 25 2. Sistem informasi, yang meliputi data yang dilepaskan oleh sampel selama penembakan elektron. Sinyal data ini dipisah-pisahkan dan dianalisis oleh suatu detektor. 3. Sistem layar, terdiri dari satu atau dua tabung sinar katoda untuk mengamati dan memotret permukaan yang diinginkan. 4. Sistem vakum, yang berfungsi untuk menghilangkan gas dari kolom mikroskop agar tidak berinteraksi dengan berkas elektron sehingga mengganggu dalam pembentukan gambar. II.7 Fotoluminesen II.7.1 Luminesen Emisi cahaya dari suatu proses selain radiasi benda hitam disebut sebagai luminesen. Luminesen merupakan suatu proses non-kesetimbangan di mana untuk dapat berlangsung harus menggunakan sumber eksitasi seperti lampu atau laser. Berdasarkan perbedaan sumber eksitasinya, dikenal beberapa jenis luminesen seperti fotoluminesen (PL) jika digunakan sumber eksitasi optis, elektroluminesen (EL) digunakan jika eksitasi terjadi akibat arus listrik, sedangkan jika terjadi akibat pembombardiran material target maka dikenal dengan katodoluminesen (CL). Fotoluminesen adalah suatu metoda eksperimen yang paling banyak digunakan untuk mempelajari material semikonduktor khususnya yang memiliki celah energi yang lebar. PL terbagi atas dua kelompok utama yaitu luminesen instrinsik dan ekstrinsik. Pada luminesen instrinsik terbagi lagi menjadi tiga jenis luminesen, yaitu: 1. luminesen dari pita-ke-pita 2. luminesen eksiton 3. luminesen silang (cross-luminescence) Luminesen ekstrinsik pada umumnya dihasilkan akibat ketidakmurnian yang secara sengaja atau tidak disengaja tak terlibat. Jenis pengotor dalam material ini dikenal sebagai aktivator. Ditinjau dari aktivator dalam semikonduktor dikenal dua jenis luminesen ekstrinsik yaitu tipe terlokalisasi dan tidak terlokalisasi.(17) 26 Defek (cacat) dalam semikonduktor dipelajari dari spektrum fotoluminesen. Adapun jenis-jenis cacat dalam semikonduktor di antaranya adalah: 1. Kekosongan kisi, kekosongan atom pada kisi kristal. 2. Interstisi, pengotor terisolasi dan menempati posisi pengganti. 3. Cacat Schottky, adanya kekosongan anion dan kation yang akan memenuhi kesetimbangan muatan. 4. Cacat Frenkel, kekosongan diseimbangkan oleh atom interstisi dari jenis yang sama. II.7.2 Pengukuran fotoluminesen Suatu sistem fotoluminesen yang lengkap biasanya melibatkan komponenkomponen seperti yang diperlihatkan pada Gambar II.13 berikut ini (17): Filter Detector (PMT) Kriostat kondensor Sampel Monokromator Sinar terefleksi Gambar II.13 Skema spektrofotometer fotoluminesen Secara garis besar, komponen utama dalam spektrofluorometer terdiri dari bagianbagian sebagai berikut: a) Sumber sinar untuk eksitasi, dapat berupa laser He-Cd atau Xenon. Lampu dengan monokromator atau laser dengan pengatur panjang gelombang digunakan untuk eksitasi PL. b) Holder sampel, biasanya material cryostat optis untuk suhu rendah. 27 c) Filter dan pengumpul optik. Satu filter untuk memilih emisi laser, filter lainnya untuk memecahkan hamburan sinar laser. d) Elemen dispersive untuk analisis spektra PL, biasanya suatu grating monokromator. e) Detektor optik. Tahap-tahap yang dilakukan dalam pengukuran fotoluminesen adalah pertamatama laser eksitasi dinyalakan dan sumber tegangan tinggi untuk tabung fotomultiplier juga dinyalakan. Kemudian suatu sampel kontrol dipasang pada holder sampel untuk memeriksa apakah alat bekerja dengan benar. Jika signal lebih lemah dari biasanya, posisi sinar eksitasi harus diatur untuk menghasilkan posisi yang benar ketika sampel, kondensor dan slit monokromator sejajar. Setelah alat diatur, sampel yang dipasang pada holder kemudian diukur. Slit monokromator dapat ditingkatkan untuk memperkuat signal PL dari sampel dan meningkatkan rasio signal-to-noise (SNR). Setelah pengumpulan data, spektrum harus dinormalisasi untuk membuat kurva responsifitas yang dihasilkan dengan data kalibrasi. Akhirnya, spektrum PL dapat diplot dengan bantuan software grafik Origin untuk analisis data.(17)