3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Artemia sp. Artemia merupakan organisme sejenis udang-udangan berukuran kecil (renik) dikenal dengan nama brine shrimp. Klasifikasi Artemia menurut Barnes (1963), adalah sebagai berikut. Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Subkelas : Branchiopoda Ordo : Anostraca Famili : Artemidae Genus : Artemia Spesies : Artemia sp. Gambar 1. Morforlogi Artemia sp. (White and Kazlev, 2008) Artemia merupakan salah satu pakan hidup yang banyak digunakan dalam pemeliharaan ikan dan udang. Artemia memiliki kandungan nutrisi yang tinggi; protein 52,50%, karbohidrat 14,80%, dan lemak 23,40% (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Individu Artemia dewasa mencapai panjang antara 1-2 cm dan berat 10 mg. Telur Artemia beratnya 3,6 mikrogram, diameternya sekitar 300 mikron (Djarijah, 1996). Artemia bersifat pemakan segala atau omnivora. Makanan Artemia berupa plankton, detritus, dan partikel-partikel halus yang dapat masuk 4 ke mulut. Artemia dalam mengambil makanan bersifat penyaring tidak selektif (nonselective filter feeder), sehingga apa saja yang dapat masuk mulut akan menjadi makanannya. Kandungan gizi Artemia sangat dipengaruhi oleh kualitas pakan yang tersedia pada perairan tersebut. Artemia dapat memakan partikel yang berukuran sampai 50 µm (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Makanan disaring dengan apendik tanpa diseleksi, dikumpulkan dan digumpalkan dalam alur tengah ventral hampir sepanjang badan, kemudian dialirkan ke anterior terutama menggunakan bagian dari pangkal kaki (Suwignyo et al., 1998). Pada Artemia dewasa pengambilan makanan dibantu oleh torakopoda, sedangkan pada fase nauplius dibantu oleh sungut atau antena II (Gambar 1). Artemia memiliki keistimewaan yaitu tidak berhenti makan jika persediaan makanan terus ada (Mudjiman, 1989). Media kultur Artemia adalah air laut dengan salinitas sekitar 10-30 ppt atau media buatan berupa air garam (Mudjiman, 1989). Artemia bersifat euryhaline yang dapat bertahan pada salinitas 3-300 ppt. Artemia dapat juga bertahan dalam waktu yang singkat dalam air tawar (Treece, 2000). Sebelum ditetaskan, terkadang siste dicuci dengan merendamnya dalam air tawar. Proses penetasan siste, suhu air media penetasan dipertahankan antara 25-30ºC. Air media diareasi menggunakan aerator atau kompressor. Aerasi ini selain untuk mengaduk agar siste tidak mengumpul (mengendap di dasar wadah) juga untuk menambah kadar oksigen. Siste akan menetas menjadi nauplius setelah 24-36 jam (Mudjiman, 1989). Mulanya cangkang siste seolah-olah terbelah menjadi 2 bagian. Bagian bawah merupakan nauplius berwarna kemerah-merahan dan bagian atasnya adalah cangkang perlindungannya. Untuk memisahkan kedua bagian ini dilakukan dengan menutup bagian atas wadah menggunakan kain hitam dan bagian bawah wadah disinari dengan lampu. Dalam proses pemisahan ini, aerasi dihentikan sementara. Dalam waktu 5-10 menit kemudian nauplius tersebut akan terlepas dari cangkangnya. Individu-individu nauplius tersebut akan mengumpul di bagian dasar wadah, sedangkan cangkangnya akan mengapung di permukaan. Nauplius yang mengumpul di dasar wadah tersebut disedot dengan selang plastik dan ditampung dalam saringan 125 mikron (plankton net). Di dalam 5 saringan penampung tersebut, nauplius dibersihkan dari kotorannya dengan menyemprotkan air bersih sampai kotorannya hilang dan siap dijadikan pakan alami ikan (Djarijah, 1996). 2.2 Kutu Air Spesies yang biasa ditemukan dalam kultur kutu air adalah Daphnia sp. dan Moina sp. yang termasuk ke dalam kelompok udang-udangan renik, phyllum Arthropoda, dan kelas Crustacea. Ciri khas kedua organisme ini adalah bentuk tubuhnya pipih dan beruas-ruas. Dinding tubuh bagian punggung membentuk lipatan yang menutupi anggota tubuh lain pada kedua sisi tubuhnya sehingga tampak seperti cangkang kerang. Pada sisi atas bagian belakang tubuh, ‘cangkang’ tersebut membentuk sebuah kantong yang berguna sebagai tempat penampungan dan perkembangan telur. Menurut Djarijah (1996), ukuran Daphnia sp. sekitar 1000-5000 mikron, sedangkan ukuran Moina sp. sekitar 500-1000 mikron. Moina restirostris Daphnia longispina Daphnia pulex Moina brachiata Daphnia rosea Moina macrocopa Gambar 2. Beberapa jenis Daphnia sp. dan Moina sp. Daphnia sp. dan Moina sp. hidup planktonik di air tawar. Kutu air baik Daphnia sp. maupun Moina sp. memiliki banyak jenis diantaranya Daphnia longispina, Daphnia pulex, Daphnia rosea, Moina macrocopa, Moina brachiata, dan Moina restirostris (Gambar 2). Kutu air bergerak aktif dengan alat gerak khusus berupa kaki renang. Dinges (1973), menyebutkan bahwa kutu air bersifat non-selective feeder. Kutu air menyeleksi pakannya berdasarkan ukurannya saja, bukan berdasarkan 6 rasanya. Hewan ini hidup di perairan yang banyak mengandung bahan organik tersuspensi. Makanan utamanya terdiri dari tumbuh-tumbuhan renik (fitoplankton), sisa-sisa (hancuran) bahan organik (detritus) dan hewan-hewan renik (zooplankton) maupun bakteri. Bakteri memungkinkan untuk dimangsa kutu air apabila menempel pada detritus. Nutrien dalam sel bakteri selalu seimbang karena dalam perkembangannya, bakteri tidak mengalami diferensiasi sel seperti halnya mahluk hidup tingkat tinggi. Tingkat konsumsi kutu air dipengaruhi oleh suhu perairan . Faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat konsumsi kutu air adalah konsentrasi pakan, intensitas dan kualitas cahaya, serta derajat keasaman (Dinges, 1973 ; Delbare & Dhert, 1996). Menurut Djarijah (1996), kutu air umumnya berkembangbiak secara partenogenesis, meskipun pada kondisi tertentu berkembang secara seksual. Telur yang dihasilkan induk betina ditampung dalam kantong telur yang terletak di punggung. Di dalam kantong ini telur akan menetas tanpa harus dibuahi oleh induk jantan. Proses kultur kutu air diawali dengan penyiapan wadah budidaya yang telah dibersihkan dan berisi air dengan kedalaman minimal 60 cm dan sudah diberi potongan-potongan jerami sebanyak 0.2 gram/liter dan kotoran ayam sebanyak 0.2 gram/liter yang telah dihaluskan terlebih dahulu. Kemudian media ini diaerasi selama 2 minggu. Menurut Djarijah (1996), warna air akan berubah jika ditumbuhi oleh fitoplankton yang merupakan pakan utama kutu air. Kualitas air meliputi oksigen terlarut yang harus cukup tinggi, kadar amonia rendah, pH antara 7-8 dan mengandung mineral atau kesadahan tinggi. Kemudian air dalam wadah ini di saring dan dipindahkan ke wadah lain dalam keadaan tetap diaerasi. Selanjutnya bibit kutu air dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air tersebut. Wadah harus ditempatkan di ruang terbuka yang mendapat sinar matahari yang cukup dan sangat dibutuhkan untuk proses fotosintesis fitoplankton. Dalam penangkaran kutu air, air media diberikan pupuk susulan berupa sari pupuk kandang berupa sari pupuk kandang ynag dibuat dari pelumatan 0,2 kg pupuk kandang dalam 1 liter air. Pemupukan susulan ini sekaligus sebagai upaya penambahan volume air media. Dalam wadah penangkaran ini dapat pula ditambahkan pakan alami fitoplankton dari hasil produksi massal yang telah 7 dilakukan sebelumnya. Penambahan fitoplankton tidak boleh berlebihan karena akan mengakibatkan tingginya kadar amonia dan rendahnya oksigen terlarut yang selanjutnya akan meningkatkan persentase kematian dari kutu air. 2.3 Konstruksi DNA Keratin-Green Fluorescent Protein (Krt-GFP) Gen GFP (Green Fluorescent Protein) adalah gen berpendar hijau yang diisolasi dari Aequorea victoria (Felts et al., 2001). Gen ini mengontrol protein yang dapat berpendar dan divisualisasikan ekspresinya menggunakan bantuan sinar UV atau mikroskop fluoresen (Chalfie, 1994 dalam Iyengar et al., 1996). Gen ini dapat dijadikan gen target dalam pembuatan ikan berpendar yang berwarna-warni (Gong et al., 2002). Dalam konstruksi ini, ekspresi GFP dikendalikan oleh promoter keratin. Keratin merupakan suatu promoter yang diisolasi dari ikan flounder Jepang Paralichthys olivaceus (Hirono et al., 2003). Pada awalnya promoter ini digunakan pada teknologi transgenesis yang terkait dengan sistem imun, karena efektivitasnya yang tinggi pada jaringan kulit (Gong et al., 2002). Promoter ini tidak hanya aktif pada jaringan kulit dan epitel, melainkan juga pada sel yang sedang berkembang dan sel saraf tertentu (Giordano et al., 1990). Yazawa et al. (2005) menjelaskan bahwa promoter keratin yang telah diujikan pada ikan zebra mampu bersifat aktif dimana-mana atau tidak spesifik pada jaringan tertentu (ubiquitous) dan dapat aktif kapan saja diperlukan (house keeping). Sekuen promoter keratin yang telah dilaporkan oleh Yazawa et al. (2005) memiliki panjang 1288 base pairs (Gambar 3). Ekson pertama ditunjukkan oleh huruf kapital, coding region dan asam amino ditunjukkan oleh huruf dalam kotak. Bagian awal transkripsi ditunjukkan oleh tanda bintang (*) dan bagian predictive transcriptional factor binding ditunjukkan dengan garis bawah. Konstruksi DNA keratin-GFP (Lampiran 3) disebut juga DNA vektor. DNA vektor merupakan molekul DNA yang secara khusus dirancang untuk membawa molekul DNA asing yang akan dimasukkan ke dalam jasad target. DNA vektor yang sekarang umum digunakan dalam kloning DNA merupakan vektor buatan yang struktur dasarnya berasal dari komponen genetik alami (Yuwono, 2008). 8 gctcggtacccggggatcctctagagtcgacctgcagctgtggccactcatgtgggagcagagtgactcatgatgtgctg actgagacacatgcgagcccacaacaccttgatactcaaatatcaacctctacccaacatgcacccacgactgcacataa caggcacctcaagatcaaagattaactcaacactcaatttgttctttaaaatatatatatatatatattttaaagaacaa attgatatatatatatatatatatatatatatatatatatatatctttttgaatttctctttttttttatcgatggcaca agttgttatgcagcagaaattcctgcgaaaacagaaatcgtcttcatgggaaaagtacagaaacattgagatataggcgt tgttgctaatgcaatgtattgaattcactagtgatttgatgccagtggaggtgttgcatcaacaaccgtgtaaagtgatg AP-1 atgaagcaggtagtttctgagaaattggccagaaacaacaatactgtaatactgcaaagaatcaaatctaaagacttcaa aacctcagtaattgccaccaaagcactgagctctttgtctgcctcatttattgatccacttagataagggaaattctatt atgatgaaagtggaaccatatcacgactttaagcatagaataacagaagtgtctggcctggtcccaatgatgagtgttgt actcaggtgaaatacaaaaaaatgtgcatgacaacttctcccataaattgagagataatatcgacaatccacactgagca tatgtgctatgctctgtaggttattctctgatctatttttattgcagttgtatgatgtaagttcctaaaaaaacagaact ttaaaaaccctccccaagtaaatttgtcttttagtgaataatttctgtaggattttcaggcatgcgttaacttaataata aataataaataataaataatttgccatcattggtcttatcaaccaccacagctgtttacccagcaccacaccgtttgagc oct-1 tggaaataactccaaaaaagaatgattagttaaccactcattacctgtttggtagagctaaatgtggacattttggaaat tccccaagtcaatgtaacaagacagtttgtcaagatgtaagtgggaggtttgactttggtagtaggcggagacaaggtta agtgactaagaagttaccctgcataaatacaaggtccacagccaagggcacacagcagagacaacagcaggagccaccag tcaaaacaaagaggaaagccaacaacactgatcttcaaggggcttttcatttcgttttggctgactgagcacttgttccc tgcaaggctctttttgtttgttttctcACATTTTTTCAGCGATCCAAAGTAACTCTCATCATGAGATCTGGCGCTTTAGC * M R S G A L A Gambar 3. Sekuen promoter keratin (Yazawa et al., 2005) Struktur dasar suatu vektor dapat berupa plasmid alami yang berasal dari suatu bakteri atau berupa DNA virus tertentu. Pada penelitian ini, struktur dasar yang digunakan berupa plasmid yang telah ditransformasi ke dalam sel bakteri strain DH5α. Transformasi merupakan proses memasukkan molekul DNA dari luar ke dalam sel inang (bakteri). Beberapa strain lain dari E. coli yang sering digunakan sebagai sel inang dalam menyusun konstruksi atau kloning DNA yaitu strain JM105, JM109, HB101, LB21, NM522, dan C600 (Yuwono, 2008). 2.4 Isolasi DNA Genom Isolasi DNA dilakukan untuk mendapatkan DNA genom terpisah dari komponen-komponen lain yang berada di dalam jaringan. Terdapat dua tahap yang dilakukan dalam ekstraksi DNA. Tahap pertama adalah menghancurkan sel dan mengisolasi DNA (asam nukleat). Penghancuran sel dilakukan dengan 9 menambahkan larutan deterjen pekat seperti sodium dodecyl sulphate (SDS). Deterjen ini bertindak sebagai penghancur inti sel sehingga DNA akan terlepas dan meningkatkan viskositas larutan, sehingga molekul DNA terlihat lebih nyata. Menurut Karp (1984) dan Brown (1995), deterjen juga bertindak sebagai penghambat aktivitas semua enzim nuklease yang ada selama proses isolasi. Tahap kedua adalah pemisahan DNA dari bahan-bahan kontaminan seperti RNA dan protein. Untuk menghilangkan kontaminasi RNA digunakan enzim ribonuklease (RNase), sedangkan untuk menghilangkan kontaminasi dari protein digunakan enzim proteolitik (Proteinase K) pada larutan DNA (Saunders & Parkes, 1999). Dalam proses isolasi, proses sentrifugasi sangat berperan penting dimana sentrifugasi akan menyebabkan cairan DNA terletak di lapisan atas larutan. Prinsip sentrifugasi didasarkan atas fenomena bahwa partikel yang tersuspensi di dalam suatu wadah akan mengendap ke dasar wadah karena pengaruh gravitasi (Yuwono, 2005). DNA yang sudah terpisah dari kontaminasi RNA dan protein dipindahkan dari microtube. Dengan proses sentrifugasi juga asam nukleat diendapkan dari larutan supernatan dengan penambahan etanol dingin. Setelah proses sentrifugasi, pelet DNA yang terbentuk dilarutkan kembali dengan buffer yang mengandung Ethylenediaminetetraacetic (EDTA) (Saunders & Parkes, 1999) atau Steril Destillation Water (SDW). Penghitungan jumlah DNA hasil ekstraksi dilakukan dengan melihat hubungan DNA dengan absorbansi optikalnya pada panjang gelombang 260 nm dimana 1 mg DNA mempunyai daya absorbansi sebesar 20 unit (Saunders & Parkes, 1999). Brown (1995) menyebutkan bahwa rasio absorbansi 260 nm/280 nm yang kurang dari 1,8 menunjukkan bahwa DNA hasil isolasi terkontaminasi oleh protein atau fenol. 2.6 Polymerase Chain Reaction Polymerase Chain Reaction (PCR) atau reaksi berantai polimerase merupakan suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial sekuen nukleotida tertentu secara in vitro dalam waktu yang relatif singkat (Dunham, 2004). Dengan menggunakan metode PCR, dapat diperoleh 10 pelipatgandaan suatu fragmen DNA dalam waktu yang relatif singkat. Bagian spesifik molekul DNA yang dapat dihasilkan paling sedikit satu juta copy dan produk PCR dapat dideteksi dalam gel agarosa menggunakan etidium bromida. Daerah yang diamplifikasi biasanya mencapai panjang antara 150-3000 pasang basa (bp). Proses PCR memerlukan (1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (18-30 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer. Optimalisasi suatu amplifikasi dipengaruhi oleh tiga kondisi penting yaitu DNA cetakan, suhu annealing bagi primer, dan suhu dan waktu yang cukup untuk ekstensi. Suhu annealing dan konsentrasi garam akan mempengaruhi kestabilan DNA duplex. Komponen-komponen yang mendukung reaksi amplifikasi selain keempat komponen di atas adalah volume reaksi, waktu siklus dan suhu (Rasmussen, 1992). Proses thermocycling dalam proses amplifikasi adalah DNA templet didenaturasi, primer menempel pada daerah komplemennya dan enzim polimerase mengkatalis penambahan nukleotida pada masing-masing primer, kemudian membuat copy baru dari daerah targetnya (Dale & Schantz, 2002). Sebagaimana yang disebutkan di atas, salah satu komponen PCR adalah primer. Primer merupakan hal yang penting untuk mencapai sensitivitas dan spesivitasnya yang lebih tinggi. Disain primer sangat mempengaruhi keberhasilan amplifikasi. Primer yang memiliki fleksibilitas saat seleksi primer, adalah primer terbaik yang dapat mengoptimalisasi dan memaksimalkan hasil dan spesivisitas produk amplifikasi. Agar primer dapat bekerja secara optimal, maka primer yang didisain sebaiknya memiliki panjang 18-30 basa nukleotida dengan kandungan GC sekitar 30-70%. Pembentukan primer dimer terjadi apabila ujung basa 3’ merupakan komplemen (Rasmussen, 1992). Primer akan mengikat pada untai DNA yang berlawanan, dengan ujung titik 3’ pada ujung 5’. Penambahan enzim polimerase pada primer, dan proses polimerisasi bolak-balik dari belakang ke 11 depan, membentuk suatu jumlah pertambahan DNA secara eksponensial dari molekul untai ganda DNA (Griffith et al., 2005). Proses PCR memerlukan sejumlah siklus untuk mengamplifikasi suatu sekuen DNA spesifik. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap, yaitu denaturasi, annealing (hibridisasi), dan ekstensi (polimerasi). Denaturasi dilakukan pada suhu 90-96°C, sehingga terjadi pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal DNA yang menjadi cetakan (template) tempat penempelan primer dan tempat kerja DNA polimerase. Selanjutnya, suhu diturunkan untuk penempelan primer oligonukleotida pada sekuen yang komplementer pada molekul DNA cetakan. Tahap ini disebut annealing. Suhu diturunkan sampai mencapai ~55°C atau sesuai melting temperature (Tm) dari primer oligonukleotida (Glick & Pasternak, 2003). Selama tahap ini, primer berpasangan dengan sekuen komplementernya di dalam DNA cetakan. Primer oligonukleotida melekat pada masing-masing utas tunggal DNA dengan arah yang berlawanan; satu primer melekat pada ujung utas DNA sense, sedangkan primer yang lain melekat pada ujung utas DNA antisense. Tahap selanjutnya adalah tahap ekstensi yang dilakukan pada suhu 72°C. Suhu ini merupakan suhu optimum untuk kerja enzim Taq DNA polimerase. Pada tahap ini enzim Taq DNA polimerase mengkatalis reaksi penambahan mononukleotida pada primer yang sesuai dengan utas DNA komplemen yang berada di sebelahnya. Hasil amplifikasi DNA yang dihasilkan tergantung dari berapa siklus yang pakai. Contohnya jika siklusnya 20, maka amplifikasi PCR yang dihasilkan adalah 220 (Erlich, 1989). Tahapan kerja PCR secara singkat diilustrasikan pada Gambar 4. Pada penelitian ini primer β-aktin Artemia dan kutu air dirancang berdasarkan database pada Bank Gen (Lampiran 4 dan Lampiran 5). Komponen primer pada pereaksi PCR sangat menentukan keberhasilan suatu reaksi amplifikasi, yang pada dasarnya merupakan DNA atau RNA untai tunggal pendek yang berfungsi sebagai titik inisiasi proses amplifikasi DNA target. Menurut Erlich (1989), bahwa primer dapat didisain dengan mempertimbangkan beberapa faktor yaitu: a. Distribusi basa acak dan kandungan GC yang mirip dengan fragmenfragmen yang akan diamplifikasi. Primer dengan sekuen polipurin, 12 polipirimidin, atau sekuen lain yang unusual seperti palindrome, harus dihindari. b. Sekuen dengan struktur kedua (secondary structure) dalam bentuk loop, khususnya pada ujung 3’ primer juga dihindari. c. Sekuen primer tidak saling komplemen. 3’ 5’ 5’ 3’ 1 5’ 3’ 5’ 3’ 3’ 5’ 3’ P 5’ 3’ 5’ 3’ 5’ 5’ 3’ 5’ 3’ 3’ 5’ 5’ 3’ 3’ 5’ 5’ 3’ 5’ 3’ 5’ 3’ 3’ + 5’ 2 5’ 5’ 3 3’ 5’ 4 5’ 3’ 5’ 3’ 3’ P 5’ 3’ 5’ 3’ 5’ 3’ 3’ 5’ 3’ 5’ 3’ 5’ 5’ 3’ 5’ 3’ 3’ 5’ 5’ 3’ 3’ 5’ 5’ 3’ 5’ 3’ 3’ 5’ 3’ 5’ 3’ 5’ 3’ 5’ 5’ 3’ 3’ 5’ 5’ 3’ 3’ 5’ 3’ 5’ Gambar 4. Tahapan kerja PCR; 1. Tahap denaturasi; 2. Tahap annealing; 3. Tahap ekstensi (P: Polimerase); 4. Perkembangan pada siklus selanjutnya (Erlich, 1989) 2.6 Elektroforesis Metode yang umumnya digunakan dalam analisis produk reaksi PCR adalah elektroforesis. Elektroforesis adalah suatu metode pemisahan molekul selular berdasrkan atas ukurannya, dengan menggunakan medan listrik yang 13 dialirkan pada suatu medium (gel agarosa) yang mengandung sampel yang akan dipisahkan. Teknik ini digunakan dengan memanfaatkan muatan listrik yang ada pada makromolekul, misalnya pada DNA yang bermuatan negatif (Yuwono, 2005). Molekul asam nukleat yang bermuatan negatif tersebut, akan bergerak ke arah kutub positif (anoda). Elektroforesis gel agarosa dapat digunakan untuk menganalisis komposisi dan kualitas dari sampel asam nukleat. Secara khusus, hal ini sangat membantu untuk menentukan ukuran fragmen DNA hasil restriksi (restriction digest) atau produk reaksi PCR. Untuk tujuan ini diperlukan kalibrasi terhadap gel menggunakan penanda (marker) standar yang mengandung fragmen dari ukuran DNA yang diketahui (Dale & Schantz, 2002). Dalam prosesnya, elektroforesis membutuhkan pewarna yaitu etidium bromida. Pewarna ini umumnya digunakan baik untuk mendeteksi maupun mengkuantifikasi asam nukleat. Etidium bromida memiliki struktur cincin datar yang mampu menumpuk (stack) di antara basa-basa dalam asam nukleat; hal ini dikenal dengan istilah intercalation. Selanjutnya, pewarna dapat dideteksi melalui pendarannya, pada daerah spektrum merah-oranye, ketika dipaparkan dengan sinar UV. Hal ini merupakan metode yang paling luas digunakan untuk pewarnaan gel elektroforesis, dan juga dapat digunakan untuk menduga jumlah DNA (atau RNA) dalam sampel. Hal ini dilakukan dengan membandingkan intensitas dari pendaran sampel yang telah diketahui konsentrasinya dan dimuatkan pada gel yang sama (Dale & Schantz, 2002). Menurut Muladno (2002) kecepatan migrasi DNA ditentukan oleh beberapa faktor, misalnya ukuran molekul DNA dimana molekul DNA yang berukuran besar lebih lambat daripada migrasi molekul berukuran kecil. Konsentrasi gel agarosa yang rendah memudahkan percepatan migrasi molekul DNA dibandingkan dengan konsentrasi DNA yang berkonsentrasi tinggi (molekul DNA yang sama). Kecepatan migrasi yang tinggi terjadi pada rangkaian molekul DNA yang memiliki ukuran yang sama. Voltase rendah mengakibatkan kecepatan migrasi DNA sebanding dengan tingginya voltase yang digunakan, tetapi apabila voltase dinaikkan, maka mobilitas molekul DNA meningkat secara tajam. Adanya etidium bromida di dalam gel mengakibatkan pengurangan tingkat kecepatan 14 migrasi molekul DNA linear sebesar 15%. Komposisi larutan buffer juga mempengaruhi migrasi DNA, dimana apabila tidak ada kekuatan ion di dalam larutan, maka aliran listrik akan sangat minimal dan migrasi DNA sangat lambat, sedangkan larutan buffer berkekuatan ion tinggi akan meningkatkan panas sehingga aliran listrik menjadi sangat maksimal.