Anti Korupsi; Berawal dari Kampus Korupsi; itulah kata yang tidak pernah luput dari berita sehari-hari. Dalam seminggu saja dapat kita temukan berbagai macam berita tentang korupsi, mulai dari korupsi tingkat daerah sampai korupsi kelas kakap yang melibatkan pejabat negara dan wakil rakyat, dari korupsi yang melibatkan dana ratusan ribu hingga yang menghabiskan kas negara yang berjumlah trilyunan, dan itu semua masuk kedalam kantong pejabat-pejabat egois yang mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dibandingkan kepentingan masyarakat. Sejak zaman penjajahan sebelum Indonesia merdeka, sebenarnya sudah dimulai “budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyimak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia. Apa sebenarnya faktor seseorang melakukan tindak korupsi? Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Lukman Hakim mengatakan, ada empat faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. "Keempat faktor yang mendorong orang korupsi itu antara lain faktor kebutuhan, tekanan, kesempatan dan rasionalisasi," katanya saat berbicara pada seminar nasional "Pemberantasan Kejahatan Perbankan, Tantangan Pengawasan Bank dan Masyarakat" di Kendari, beberapa waktu yang lalu. Selain 4 faktor diatas, Menurut Arya Maheka, Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya Korupsi adalah : 1. Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan huku hanya sebagai meke-up politik, bersifat sementara dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan. 2. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan kesempatan. 3. Langkanya lingkungan yang antikorup : sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas. 4. Rendahnya pndapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. 5. Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. 6. Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah. 7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi : saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya. Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap. 8. Budaya permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu : menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak perduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi. 9. Gagalnya pendidikan agama dan etika : ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang besar dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan emosional antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya maupun orang lain. Dari pendapat berikut, yang paling menarik perhatian saya adalah faktor kesempatan, karena kesempatan untuk berbuat tindak korupsi dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dimana saja. Tidak memandang status ataupun kedudukan seseorang. Sebagai contohnya, seorang pelajar atau mahasiswa yang sedang melakukan ujian menyontek, baik dari buku, melihat hasil jawaban temannya maupun dari sumber lain. Ia melakukan tindakan tersebut karena adanya kesempatan yang terbuka. Meskipun hal ini dapat dihindari namun tidak dapat dipungkiri bahwa godaan untuk melakukannya sangatlah besar, harus ada kesadaran yang mendalam bahwa hal yang kita lakukan tersebut adalah benih-benih tindak korupsi. Selain kesempatan, pendidikan agama dan etika yang gagal juga berpengaruh besar dalam terjadinya tindak korupsi, karena agama yang harusnya bertindak penting dalam bidang sosial hanya dianggap penting dalam bidang peribadatan saja, tidak penting dalam bidang sosial karena manusia menganggap bahwa yang memegang kontrol sosial adalah masyarakat sekitar, mereka yang dapat secara langsung mengoreksi tindakan manusia, bukan agama apalagi Tuhan. Pesan penulis, sebagai mahasiswa yang baik dan menerapkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang dimana pada poin ketiga bertuliskan pengabdian pada masyarakat, sudah seharusnya kita menghilangkan benih-benih korupsi seperti menyontek, mengambil uang dari koperasi dan tidak dikembalikan lagi atau mengambil uang tanpa sepengetahuan orang, dan hal buruk lainnya. Kita harus bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan sikap-sikap seperti itu dan diberikan sanksi yang adil dan memberikan efek jera bagi oknum yang melakukannya. Karena ditakutkan korupsi akan menjadi budaya laten yang susah dihilangkan dari bangsa Indonesia karena seluruh lapisan masyarakatnya yang sudah terkena sifat budaya korupsi tersebut. Maka dimulai dari kitalah, mahasiswa-mahasiswa calon pemimpin bangsa nantinya untuk menghilangkan sikap dan tindak korupsi semaksimal mungkin, dan tanpa rasa takut.