BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Manajemen Sumber Daya Manusia 1. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Samsudin (2006), manajemen sumber daya manusia (human resources management) adalah suatu kegiatan pengelolaan yang meliputi pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa bagi manusia sebagai individu anggota organisasi atau perusahaan. Sementara itu, menurut Dessler (2015) manajemen sumber daya manusia adalah proses untuk memperoleh, melatih, menilai, dan mengompensasikan karyawan, dan untuk mengurus relasi tenaga kerja mereka, kesehatan dan keselamatan mereka, serta hal-hal yang berhubungan dengan keadilan. 2. Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia Desseler (2015) berpendapat bahwa, sebagian besar para ahli sependapat bahwa pengelolaan melibatkan lima fungsi. Secara keseluruhan fungsi-fungsi ini mewakili proses manajemen (management process). Aktivitas spesifik yang terlibat dalam setiap fungsi meliputi : 1) Perencanaan, menetapkan sasaran dan standar; mengembangkan aturan dan prosedur; mengembangkan rencana dan peramalan. 2) Pengorganisasian, memberikan tugas spesifik kepada setiap bawahan; membentuk departemen; mendelegasikan otoritas kepada bawahan; 13 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 14 menetapkan saluran otoritas dan komunikasi; mengkoordinasikan pekerjaan bawahan. 3) Penyusunan staf, menentukan tipe orang yang harus anda pekerjakan; merekrut karyawan prospektif; memilih karyawan; melatih dan mengembangkan karyawan; menetapkan standar kinerja; mengevaluasi kinerja; menasehati karyawan; memberikan kompensasi kepada karyawan. 4) Kepemimpinan, meminta orang lain menyelesaikan pekerjaan; menegakkan moral; memotivasi bawahan. 5) Pengendalian, menetapkan standar seperti kuota penjualan, standar mutu, atau tingkat produksi; memeriksa bagaimana kinerja aktual dibandingkan dengan standar-standar ini; mengambil tindakan korektif sesuai kebutuhan. B. Konflik Peran 1. Pengertian Konflik Peran Ketika individu mengalami frustasi yang belum terselesaikan dalam menjalankan proses kehidupan, maka ia tidak akan terlepas dari konflik pendapat ini dikemukan oleh Wijono (2010). Konflik dapat membuat seseorang individu mengalami perubahan-perubahan perilaku, yang seringkali mengganggu bahkan menyebabkan individu tersebut mengalami stres yang mengakibatkan menurutnya produtivitas kerja. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 15 Menurut Luthans dalam Wijono (2010) munculnya konflik yang ada dalam diri individu mempunyai kecenderungan berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict) dan pertentangan dalam peran yang dimainkan (role conflict). Berkaitan dengan tujuan yang hendak di capai (goal conflict), pertentangan yang terjadi ketika tujuan yang hendak dicapai saling berimbang kekuatannya (saling tarik-menarik). Berkaitan dengan pertentangan peran yang dimainkan (role conflict), konflik dalam diri ini muncul ketika seringkali terjadi adanya perbedaan peran dan ambiguitas dalam tugas dan tanggung jawab yang diampu individu, inilah yang selanjutnya disebut dengan konflik peran. Menurut Robbins dan Judge (2008) konflik peran didefinisikan sebagai sebuah situasi dimana individu dihadapkan pada harapan peran (role expectation) yang berbeda. Konflik peran muncul ketika seorang individu menemukan bahwa untuk memenuhi syarat satu peran dapat membuatnya lebih sulit untuk memenuhi peran lain. Sementara role expectation sendiri adalah bagaimana orang lain yakin seseorang harus berbuat pada situasi tertentu. Penjelasan tersebut memberikan suatu gambaran bahwa konflik peran memunculkan harapan yang mungkin sulit untuk dicapai atau dipuaskan. Memperhatikan beberapa definisi konflik peran diatas secara umum dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan konflik peran adalah pertentangan prilaku, pola pikir dan nilai yang dialami individu akibat adanya ekspektasi peran yang berlainan yang diterima individu tersebut sehingga individu tersebut kesulitan dalam mengambil suatu tindakan mengenai apa yang harus http://digilib.mercubuana.ac.id/ 16 dilakukannya. Konflik peran juga dialami individu ketika nilai-nilai internal, etika, atau standar dirinya bertabrakan dengan tuntutan lainnya. 2. Jenis-Jenis Konflik Peran Konflik peran dapat terjadi kapan dan dimanapun pada manusia baik dalam kedudukannya sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Konlfik peran yang terjadi tersebut banyak bentuknya dan beragam pula jenisnya. Menurut Wijono (2010) konflik dapat dikelompokan kedalam dua unsur yaitu konflik antara individu dengan dirinya sendiri dan konflik antara individu dengan lingkungan organisasi. Konflik antara individu dengan dirinya sendiri terjadi jika ada suatu pertentangan yang terjadi didalam diri individu yang diakibatkan oleh adanya unsur-unsur yang saling berbenturan yang mengakibatkan individu tersebut mengalami kesulitan dalam menentukan sikap. Konflik antara individu dengan lingkungan dalam organisasi muncul ketika individu mengalami ketidakcocokan antara kepentingan diri sendiri dengan kepentingan orang lain atau kelompok yang mempunyai tujuan yang sama dalam organisasi tersebut. Menurut Wirawan (2010) konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi dalam diri seseorang individu karena harus memilih dari sejumlah alternatif pilihan yang ada. alternatif pilihan yang dianggap memiliki prioritas yang sama akan membuat seorang individu mengalami kesulitan mengenai alternatif mana yang dirasa tepat untuk segera dikerjakan terlebih dahulu. Muchlas (2008) menjelaskan bahwa ada tiga jenis konflik peran diantaranya yaitu : 1) Konflik antara orang dan peran http://digilib.mercubuana.ac.id/ 17 Konflik ini terjadi akibat adanya pertentangan kepribadian seseorang dengan ekspektasi peran. Misalnya, karyawan bagian produksi yang sekaligus sebagai anggota serikat buruh yang ditujuk menduduki jabatan penyelia. Penyelia yang baru ini tentu tidak mempercayai perlunya control produksi yang ketat. Hal ini bertentangan dengan kepribadian yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengawas produksi yang begitu diharapkan oleh kepala produksi. 2) Konflik dalam peran (intrarole) Jenis yang kedua adalah konflik yang timbul akibat adanya ekspektasi yang saling bertentangan, bagaimana peran yang diberikan itu sebaiknya dimainkan atau dijalankan. 3) Konflik antar peran (interrole) Konflik ini muncul akibat adanya persyaratan yang berbeda antara dua atau lebih peran-peran yang harus dijalankan pada saat yang sama. Penjelasan lain dikemukakan oleh Kahn et al dalam Rahim (2001) dalam Naafi’i (2013) mengenai jenis-jenis konflik peran diantaranya yaitu : 1) Intrasender Conflict Konflik ini terjadi karena peran individu yang diterima dari pengirim peran bertentangan dengan nilai-nilai yang dipegang oleh penerima peran atau yang menjalankan peran tersebut. 2) Intersender Conflict Individu penerima peran mengalami konflik akibat adanya perbedaan harapan dengan peran yang dijalankan individu tersebut, misalnya adalah http://digilib.mercubuana.ac.id/ 18 mandor yang menerima intruksi dari seorang mandor umum, tidak konsisten dengan kebutuhan dan harapan dari para pekerja dibawahnya. 3) Interrole Conflict Konflik jenis ini muncul ketika individu menempati dua atau lebih peran yang tidak konsisten. Seseorang presiden perusahaan yang sedang bekerja menghabiskan banyak waktu untuk kegiatan sosial perusahaan guna mempromosikan citra korporasi. Hal ini akan bertentangan dengan perannya sebagai orangtua, dimana dia diharapkan untuk lebih banyak mengahabiskan waktu bersama anak-anaknya agar dia bisa menjadi sosok orangtua yang ideal. 4) Intarrole Conflict (Person-Role) Konflik ini muncul dari aktivitas individu yang diharapkan menjalankan suatu peran, merasa bahwa apa yang dijalankannya tidak selaras dengan keinginan individu tersebut. Dari pengertian berbagai macam konflik diatas, konflik peran yang dimaksud dalam penelitian ini termasuk pada jenis konflik intrapersonal. Konflik intrapersonal dipahami sebagai suatu pertentangan yang terjadi didalam diri individu sebagai akibat dari adanya benturan antara nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat dengan prinsip-prinsip individu itu sendiri. Konflik peran ini kemudian dapat disimpulkan menjadi beberapa jenis yaitu intrasender conflict, intersender conflict, interrole conflict, intra-role conflict. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Peran http://digilib.mercubuana.ac.id/ 19 Konflik peran terjadi ketika individu tidak mampu mengatasi berbagai macam permasalahan yang dihadapinya. Filey dan House dalam Wijano (2010) memberikan kesimpulan atas hasil penelitian kepustakaaan mereka tentang konflik peran, yang dicatat melalui berbagai indikasi dipengaruhi oleh empat variabel : 1) Mempunyai kesadaran akan terjadi konflik (awareness of role conflict) Pada saat individu mengalami ketidakcocokan atas peran yang dimainkan, maka individu perlu mempunyai kesadaran melalui intropeksi bahwa peran yang dimaikannya akan membuat dirinya mengalami konflik peran yang dapat mengganggu dirinya dan organisasi. 2) Menerima kondisi dan situasi jika muncul konflik yang dapat membuat tekanan-tekanan dalam pekerjaan (acceptance of conflicting job pressures). Ada baiknya ketika individu mengalami pertentangan dalam dirinya, individu menerima kondisi dan situasi yang dapat membuat dirinya menjadi tertekan. Dengan begitu individu dapat belajar untuk menerima kondisi dan situasi yang baru, sehingga lebih membuat dirinya merasa nyaman dan produktif. 3) Memiliki kemampuan untuk menoleransi stres (abilty to tolerance stress) Individu yang tidak mampu mentoleransi stresnya yang akan mengalami konflik peran, namun jika individu mampu untuk mentoleransi stress maka ia akan mampu untuk lebih produktif. 4) Memperkuat sikap atau sifat pribadi lebih tahan dalam menghadapi konflik yang muncul dalam organisasi (general personality make-up) http://digilib.mercubuana.ac.id/ 20 Perbedaan sikap atau sifat pribadi, akan menentukan bagaimana individu mengahadapi konflik yang muncul pada dirinya, sehingga bermanfaat untuk menghadapi konflik didalam organisasi. 4. Aspek-Aspek Konflik Peran Konflik peran memiliki beberapa aspek yang membentuknya. Menurut penelitian yang dilakukan Rosaputri (2012) konflik peran dapat diukur menggunakan skala pengukuran yang dikembangkan oleh Rizzo et al dalam Rosaputri (2012). Indikatornya adalah : 1) Melakukan suatu pekerjaan dengan cara yang berbeda-beda dan menerima penugasan tanpa sumber daya manusia yang cukup untuk menyelesaikannya. 2) Mengesampingkan aturan agar dapat menyelesaikan tugas dan menerima permintaan dua pihak atau lebih yang tidak sesuai satu sama lain. 3) Melakukan pekerjaan yang cenderung diterima oleh satu pihak tetapi tidak diterima oleh pihak lain dan melakukan kegiatan yang sebenarnya tidak perlu. 4) Bekerja dibawah arahan yang tidak pasti dan perintah yang tidak jelas. Greenhaus dan Beutell dalam Ariyanti (2012) mengidentifikasi tiga dimensi konflik peran, yaitu : 1) Konflik berdasarkan perilaku (Behavior based conflict), konflik ini dapat menunjukan ketidaksesuaian pola tingkah laku yang diinginkan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 21 oleh kedua peran tersebut. Indikatornya : tanggung jawab, harapan, tugas dan komitmen pada keluarga dan pekerjaan. 2) konflik berdasarkan waktu (Time based conflict), merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya. Indikatornya : waktu dan komunikasi untuk keluarga, waktu untuk pekerjaan. 3) Konflik berdasarkan ketegangan (Strain based conflict), konflik ini dapat terjadi karena ketegangan yang dihasilkan dalam satu peran berpengaruh terhadap pelaksanaan peran lain. Indikatornya : tekanan kerja atau tekenan karir, tekanan keluarga, menentukan prioritas. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Permana (2010) konflik peran dispesifikasikan menurut indicator dari Rizzo et al dalam Mas’ud (2004) dalam yaitu : 1) Adanya tekanan (keharusan) untuk melakukan suatu kegiatan dari peran yang dimiliki 2) Merasa memiliki sumber daya yang terbatas untuk melakukan suatu peran 3) Merasa pelaksanaan peran yang satu akan mempengaruhi hasil pelaksanaan peran lain. Dari beberapa pendapat ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa aspek-aspek konflik peran yaitu : http://digilib.mercubuana.ac.id/ 22 1) Adanya perbedaan atau ketidaksesuaian tindakan dengan harapan. Indikatornya adalah merasa kehilangan semangat kerja, mengesampingkan aturan (perilaku tidak displin), tanggung jawab yang terbengkalai. 2) Adanya pertentangan antara nilai-nilai hidup dengan peran yang dimiliki. Indikator adalah adanya tekanan dan merasa pelaksanaan peran yang satu akan mempengaruhi hasil pelaksanaan peran lain. 5. Penyebab Konflik Peran Konflik peran telah menjadi bagian dari kehidupan setiap individu yang tidak dapat dihindarkan yang mempunyai beberapa faktor penyebabnya. Menurut Muchlas (2008) ada tiga faktor yang dapat dianggap sebagai sebab atau sumber dari konfik, yaitu : 1) Komunikasi Sumber komunikasi direpressentasikan sebagai kekuatan-kekuatan yang bertentangan yang bisa muncul dari kesulitan-kesulitan semantik, salah pengertian dan gumuruhnya suara-suara lain dalam media komunikasi. Sesuatu yang sudah klasik disebutkan adalah komunikasi yang buruh sebagai alasan timbulnya konflik. 2) Struktur Semakin besar sebuah kelompok dan semakin terspesialisasinya kegiatankegiatan, makin besar pula kemungkinan terjadinya konflik. Kelompokkelompok didalam organisasi memliki tujuan yang berbeda-beda, perbedaan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 23 tujuan diantara kelompok-kelompok ini bisa menjadi sumber pokok terjadi konflik. 3) Variabel-variabel pribadi Variabel-variabel pribadi dalam konteks ini adalah faktor-faktor pribadi, termasuk sistem nilai individual yang dimiliki oleh setiap orang dan karakteristik-karakteristik kepribadian yang bertanggung jawab terhadap terjadinya penyimpangan dan perbedaan-perbedaan. C. Ambiguitas Peran 1. Pengertian Ambiguitas Peran Konflik peran yang dialami para karyawan kemungkinan dikarenakan mereka mengalami kesulitan dalam hal memenuhi tuntutan atas peranannya, akan tetapi setidaknya mereka mengetahui apa yang menjadi harapan mereka. Berbeda halnya dengan ambiguitas peran yang kekurangan informasi dalam hal tugastugas yang harus mereka kerjakan. Menurut Kreitner dan Kinicki (2005), ambiguitas peran adalah pengaharapan orang lain yang tidak diketahui. Sedangkan menurut Cahyono (2008), ambiguitas peran muncul karena kurangnya informasi atau karena tidak adanya informasi sama sekali atau informasinya tidak disampaikan. Ambiguitas peran dirasakan jika seorang karyawan tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu (Munandar, 2008). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 24 Para karyawan baru organisasi seringkali mengeluhkan deskripsi kerja dan kriteria promosi mereka yang tidak jelas. Menerut teori peran, ambiguitas peran berkepanjangan dapat mendorong terjadinya ketidakpuasan kerja, mengikis rasa percaya diri, dan menghambat kinerja pekerjaan. Ambiguitas peran diperlukan untuk menghasilkan performance yang baik, karena karyawan perlu mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan serta skope dan tanggung jawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya maka akan timbul ambiguitas peran (Rivai dan Deddy, 2010). Dari beberapa uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ambiguitas peran terjadi saat karyawan tidak memiliki informasi, arahan dan tujuan yang jelas mengenai peran atau tugas-tugas yang harus dilaksanakannya. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketaksaan peran menurut Everly dan Giordano dalam Munandar (2008) antara lain : 1) Ketidakjelasan dari sasaran-sasaran (tujuan-tujuan) kerja. 2) Kesamaran tentang tanggung jawab 3) Ketidakjelasan tentang prosedur kerja. 4) Kesamaran tentang apa yang diaharapkan oleh orang lain. 5) Kurang adanya balikan, atau ketidakpastian tentang unjuk kerja pekerjaan. 2. Indikator Ambiguitas Peran http://digilib.mercubuana.ac.id/ 25 Indikator dari ambiguitas peran dengan skala pengukuran yang dikembangkan oleh Rizzo, House dan Lirtzman (1970) dalam Mas’ud (2004) dalam Rosaputri (2012). Adapun indikator dari ambiguitas peran sebagai berikut : 1) Merasa pasti dengan seberapa besar wewenang yang dimiliki dan mempunyai rencana yang jelas untuk pekerjaan. 2) Mempunyai tujuan yang jelas untuk pekerjaan dan mengetahui bahwa perlunya membagi waktu dengan tepat. 3) Mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab dan penjelasan tentang apa yang harus dikerjakan adalah jelas. 4) Mengetahui cakupan dari pekerjaan dan bagaimana kinerja dievaluasi. D. Keinginan untuk Keluar (Turnover Intention) 1. Pengertian Keinginan Keluar Karyawan (Turnover Intention) Keinginan untuk keluar (Turnover intentions) sering terjadi pada dunia bisnis. Berbagai faktor yang mempengaruhi perputaran tersebut yang lebih dikenal sebagai antesenden. Peristiwa ini untuk saja sangat mahal bagi suatu perusahaan, hal ini disebabkan karena karyawan merupakan sumber daya yang vital dalam suatu organisasi. Untuk mencapai kesamaan antara tujuan yang diinginkan perusahaan dengan tujuan karyawan, tentu saja organisasi harus memberikan pelatihan khusus bagi karyawan-karyawannya. Peristiwa pengalihan tersebut mengakibatkan perusahaan kehilangan sumber daya yang ada, dan harus mencari sumber daya pengganti. Dapat dipastikan bahwa hal tersebut sangat mahal sekali atau costly. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 26 Tett dan Mayer (1993) dalam Wang et al (2010) intentions of turnover didefinisikan sebagai kesadaran dalam diri seseorang untuk meninggalkan suatu organisasi yang ada saat ini, atau dengan arti lain bahwa seseorang berusaha untuk mencari kesempatan kerja yang baru. Menurut Hamida (2010), Turnover intentions pada dasarnya adalah sama dengan keinginan berpindah karyawan dari suatu tempat kerja ke tempat kerja lain. Pendapat tersebut menunjukan bahwa turnover intentions adalah keinginan untuk berpindah, belum sampai pada tahap yaitu melakukan perpindahan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Menurut Handoko (2009) menyatakan bahwa perputaran (turnover) merupakan tantangan khusus bagi pengembangan sumber daya manusia. Karena kejadian-kejadian tersebut tidak dapat diperkirakan, kegiatan-kegiatan pengembangan harus mempersiapkan setiap saat pengganti karyawan yang keluar. Di lain pihak dalam banyak kasus nyata, program pengembangan perusahaan yang sangat baik justru meningkatkan turnover intentions. Penggantian karyawan atau keluar masuknya karyawan dari organisasi adalah suatu fenomena penting dalam kehidupan organisasi. Ada kalanya pergantian karyawan membawa pengaruh yang kurang baik terhadap organisasi, baik dari segi biaya maupun dari segi kehilangannya waktu dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang. Turnover diartikan sebagai aliran pada karyawan yang masuk dan keluar perusahaan pendapat tersebut dikemukakan oleh Ronodipuro dan Husnan (2008). Sedangkan menurut Mobley (2008), mengemukakan bahwa batasan umum tentang pergantian karyawan adalah : http://digilib.mercubuana.ac.id/ 27 “berhentinya individu sebagai anggota suatu organisasi dengan disertai pemberian imbalan keuangan oleh organisasi yang bersangkutan”. 2. Faktor-Faktor Turnover Intentions Menurut Harnoto (2002) dalam Sulistianingsih (2015), turnover intentions ditandai oleh berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan, antara lain : Absensi yang mengikat, mulai malas bekerja, naiknya keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, keberanian untuk menentang atau protes kepada atasan, maupun keseriusan untuk menyelesaikan semua tanggung jawab karyawan yang sangat berbeda dari biayanya. Faktor-faktor tersebut digunakan sebagai acuan untuk memprediksikan turnover intentions karayawan dalam sebuah perusahaan. 1) Absensi yang mengikat Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat tanggung-jawab karyawan dalam fase ini sangat kurang dibandingkan dengan sebelumnya. 2) Mulai malas bekerja Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, akan lebih malas berkerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di tempat lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi semua keinginan karyawan yang bersangkutan. 3) Peningkatan terhadap pelanggaran tata-tertib kerja http://digilib.mercubuana.ac.id/ 28 Berbagai pelanggaran terhadap tata-tertib dalam lingkungan pekerjaan sering dilakukan karyawan yang akan melakukan turnover. Karyawan lebih sering meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam kerja berlangsung, namun berbagai bentuk pelanggaran lainnya. 4) Peningkatan protes terhadap atasan Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak sependapat dengan keinginan. 5) Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang karakteristik positif. Karyawan ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan, dan jika perilaku positif karyawan ini meningkatkan jauh dan berbeda dari biasanya justru menunjukan karyawan ini akan melakukan turnover. 3. Dampak Turnover Bagi Perusahaan Turnover ini merupakan petunjuk kestabilan karyawan. Semakin tinggi turnover, berarti semakin sering terjadi pergantian karyawan. Tentu hal ini akan merugikan perusahaan. Sebab apabila seseorang karyawan meninggalkan perusahaan atau membawa berbagai biaya seperti : 1) Biaya penarikan karyawan, menyangkut waktu dan fasilitas untuk wawancara dalam proses seleksi mempelajari penggantian. http://digilib.mercubuana.ac.id/ karyawan, penarikan dan 29 2) Biaya latihan, menyangkut waktu pengawas, departemen personalia dan karyawan yang dilatih. 3) Apa yang dikeluarkan untuk lebih kecil dari yang dihasilkan karayawan baru tersebut. 4) Tingkat kecelakaan para karyawan baru, biasanya cenderung tinggi. 5) Adanya produksi yang hilang selama masa pergantian karyawan. 6) Peralatan produksi yang tidak bisa digunakan sepenuhnya. 7) Banyak pemborosan karena adanya karyawan baru. 8) Perlu melakukan kerja lebur, kalau tidak akan mengalami penundaan penyerahaan turnover yang tinggi pada suatu bidang dalam suatu organisasi, menunjukan bahwa bidang yang bersangkutan perlu diperbaiki kondisi kerja nya atau cara pembinaannya. 4. Faktor yang Mempengaruhi Turnover Intention Karyawan Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya turnover cukup kompleks dan saling berkaitan satu sama lain, antara lain : 1) Usia Menurut Maier dalam Novliadi (2007) pekerja muda mempunyai tingkat turnover yang lebih tinggi daripada pekerja-perkerja yang lebih tua. 2) Lama kerja Semakin lama masa kerja maka semakin rendah kecenderungan turnovernya. Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat menurut Parson dalam Novliadi (2007). 3) Tingkat pendidikan dan intelegensi http://digilib.mercubuana.ac.id/ 30 Maier dalam Novliadi (2007) menyatakan karyawan yang mempunyai tingkat intelegensi tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Ia mudah merasa gelisah akan tanggungjawab yang diberikan padanya dan merasa tidak aman. Sebaliknya mereka yang mempunyai tingkat intelegensi yang lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaan-pekerjaan yang monoton. Mereka akan lebih berani keluar dan mencari pekerjaan baru daripada mereka yang tingkat pendidikan terbatas, kerena kemampuan intelegensinya yang terbatas pula (Handoyo dalam Novliadi, 2007). 4) Keikatan terhadap perusahaan Semakin tinggi keikatan seseorang terhadap perusahaannya akan semakin kecil turnover intention dan semakin rendah keikatan karyawan terhadap perusahaan semakin tinggi tingkat turnover intention. 5) Kepuasan kerja Penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan menunjukan bahwa semakin tidak puas seseorang terhadap pekerjaannya akan semakin kuat dorongannya untuk melakukan turnover. 6) Budaya perusahaan Budaya perusahaan dapat mempengaruhi persepsi karyawan, menentukan dan mengharapkan bagaimana cara individu dapat bekerja sehari-sehari dan dapat membuat individu tersebut merasa senang dalam menjalankan tugasnya. 5. Indikator Turnover Intention http://digilib.mercubuana.ac.id/ 31 Variabel turnover intention adalah kecenderungan atau tingkat dimana seorang karyawan memiliki kemungkinan untuk meninggalkan perusahaan. Indikator yang dipergunakan untuk mengetahui turnover intention yang dikembangkan dari hasil penelitian Chen dan Francesco dalam Novliadi (2007) meliputi : 1) Pikiran untuk keluar 2) Keinginan untuk mencari lowongan pekerjaan lain 3) Adanya keinginan untuk meninggalkan perusahaan dalam beberapa bulan mendatang. Mobley dalam Schwepker (2001) menyatakan bahwa ada tiga indikator yang digunakan untuk mengukur turnover intention, yakni : 1) Pikiran-pikiran untuk berhenti (thoughts of quiting) 2) Keinginan untuk meninggalkan (intention to quit) 3) Keinginan untuk mencari pekerjaan lain (intention to search for another job) E. Komitmen Organisasi 1. Pengertian Komitmen Organisasi Luthans (2008) mengartikan komitmen organisasi sebagai : a) A strong desire to remain a member of particular organization; keinginan yang kuat untuk seseorang mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tertentu. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 32 b) A willingness to exert high levels of effort on behalf of the organizations; sebuah kemauan yang kuat untuk berusaha mempertahankan nama organisasi. c) A definite belief in, and acceptance of, the values and goals of the orgazation; keyakinan dan penerimaan nilai-nilai dan tujuan organisasi. 2. Dimensi dan Indikator Komitmen Organisasi Meyer dan Allen dalam Umam (2010) menjelaskan terdapat tiga dimensi komitmen organisasi, yaitu Affective commitment, Continuance commitment dan Normative commitment. a) Affective commitment Komitmen afektif mengacu pada keterikatan emosional, indentifikasi serta keterlibatan seorang karyawan pada suatu organisasi. Pada dimensi ini karyawan mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan loyal terhadap organisasi. Komitmen efektif seseorang akan menjadi lebih kuat bila pengalamannya dalam suatu organisasi konsisten dengan harapan-harapan dan memuaskan kebutuhan dasarnya dan sebaliknya. Komitmen efektif menunjukan kuatnya keinginan seseorang untuk terus bekerja bagi suatu organisasi karena ia memang setuju dengan organisasi itu dan memang berkeinginan melakukannya. Komitmen efektif menjelaskan seberapa jauh seorang karyawan secara emosi terikat, mengenal dan terlibat dalam organisasi. Dengan demikian, karyawan yang memiliki efektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi kerena mereka memang ingin (want to) melakukan hal tersebut. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 33 b) Continuance commitment Dibandingkan dengan komitmen afektif, continuance commitment ini lebih terbuka. Menurut Becker dalam Steve (2002) dalam Umam (2010) continuance commitment berkitan dengan konsep side-bets orientation yang menekankan pada sumbangan seseorang sewaktu-waktu dapat hilang jika orang itu meninggalkan organisasi. Tindakan meninggalkan organisasi menjadi sesuatu yang beresiko tinggi karena orang merasa takut akan kehilangan sumbangan yang mereka tak mungkin mencari gantinya. Komitmen ini lebih menjelaskan persepsi karyawan tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi. c) Normative commitment Normative commitment menunjukan kepada tingkat seberapa jauh seseorang secara psikologis terikat untuk menjadi karyawan dari sebuah organisasi yang didasarkan kepada perasaan seperti kesetiaan, effeksi, kehangatan, pemilikan, kebanggaan, kebahagiaan, dll. Komitmen normatif bisa dipengaruhi beberapa aspek antara lain sosialisasi awal dan bentuk peran seseorang dari pengalaman organisasinya. Keterikatan yang kuat antara komitmen dan pemberdayaan disebabkan kerena adanya keinginan dan kesiapan karyawan dalam organisasi untuk diberdayakan dengan menerima berbagai tantangan dan tanggung jawab. Pemberdayaan dalam hal ini merupakan serangkaian proses yang dilakukan secara bertahap dalam organisasi agar dapat dicapai secara optimal dan membangun kesadaran dari karyawan http://digilib.mercubuana.ac.id/ akan pentingnya proses 34 pemberdayaan sehingga perlu adanya komitmen dari anggota terhadap organisasi, dengan pemberian wewenang dan tanggung jawab akan menimbulkan motivasi dan komitmen organisasi terhadap organisasi. Komitmen normatif ini lebih berhubungan dengan perasaan-perasaan tentang kewajiban pekerjaan yang harus ia berikan kepada organisasi. Mayer dan Allen juga menjelaskan bahwa karyawan yang memiliki komitmen normatif tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus melakukannya. Komitmen ini didasarkan kepada norma yang ada dalam diri karyawan, yang berisi keyakinan individu akan tanggung jawab terhadap organisasi. Ia merasa harus bertahan karena loyalitas. Kunci dari komitmen ini adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi (ought to). Tipe komitmen ini lebih dikarenakan nilai-nilai moral yang dimiliki karyawan secara pribadi. Indikator berdasarkan masing-masing dimensi : 1) Affective commitment : Hubungan emosional anggota terhadap organisasi, Mengidentifikasi organisasi, Keterlibatan anggota dalam kegiatan organisasi 2) Continuance commitment : Kerugian jika meninggalkan organisasi, Segan untuk meninggalkan organisasi 3) Normative commitment : Kesetiaan pada organisasi, Kewajiban dalam organisasi Ketiga komitmen di atas mencerminkan suatu keadaan psikologis, yaitu keinginan, kebutuhan dan kewajiban untuk berkomitmen pada organisasi yang ada dalam diri individu dan merupakan hasil dari pengalaman yang ada http://digilib.mercubuana.ac.id/ 35 dalam diri individu dan merupakan hasil dari pengalaman berbeda-beda yang diterima individu selama aktif pada suatu organisasi. Individu berkomitmen karena adanya kebutuhan untuk berkomitmen karena dirasakan bahwa organisasi memberikan keuntungan baginya. Individu juga merasa harus berkomitmen pada organisasi karena adanya suatu kewajiban dalam dirinya, serta memberikan pandangan bahwa komitmen merupakan kondisi psikologis yang mencirikan hubungan antara karyawan dengan organisasi dan memiliki implikasi bagi keputusan individu untuk tetap berada atau meninggalkan organisasi. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi Komitmen karyawan pada organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup panjang dan bertahap. Komitmen organisasi pada organisasi di tentukan oleh beberapa faktor. Menurut David dan Minner (1997) dalam Sopiah (2008) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi yaitu : 1) Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, kepribadian, dan lain-lain. 2) Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan, konflik peran dalam organisasi, tingkat kesulitan dalam pekerjaan, dan lain-lain. 3) Karakteristik struktur, misalnya besar/kecilnya organisasi, bentuk organisasi seperti sentralisasi atau desentralisasi, kehadiran serikat pekerja, dan tingkat pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 36 4) Pengalaman kerja, pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru beberapa tahun bekerja dan karyawan yang sudah puluhan tahun bekerja dalam organisasi tentu memiliki tingkat komitmen berlainan. 4. Pemberdayaan Komitmen Organisasi Pemberdayaan yang dapat dikembangkan untuk memperkuat komitmen organisasi yaitu sebagai berikut (Sharafat Khan dalam Rokhman (1997) dalam Umam (2010). 1) Lama bekerja (time) Lama bekerja merupakan waktu yang telah dijalani seseorang dalam melakukan pekerjaan pada perusahaan. Semakin lama seseorang bertahan dalam perusahaan, maka semakin terlihat bahwa dia berkomitmen terhadap perusahaan. 2) Kepercayaan (trust) Setelah pemberdayaan dilakukan oleh pihak manajemen, langkah selanjutnya adalah membangun kepercayaan antara manajemen dan karyawan. Adanya saling percaya diantara anggota organisasi akan menciptakan kondisi yang baik untuk pertukaran informasi dan saran tanpa adanya rasa takut, kepercayaan antara keduanya dapat diciptakan dengan cara : a) Menyediakan waktu dan sumber daya manusia yang cukup bagi karyawan dalam, menyelesaikan pekerjaan. b) Menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan kerja. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 37 c) Menghargai perbedaan pandangan dan perbedaan kesuksesan yang diraih karyawan. d) Menyediakan akses informasi yang cukup 3) Rasa percaya diri Rasa percaya diri menimbulkan rasa percaya diri pada karyawan dengan menghargai kemampuan yang dimiliki karyawan sehingga komitmen terhadap perusahaan semakin tinggi. Keyakinan karyawan dapat ditimbulkan dengan cara : a) Mendelegasikan tugas penting kepada karyawan b) Menggali saran dan ide karyawan c) Memperluas tugas dan membangun jaringan antar departemen d) Menyediakan instruksi tugas untuk penyelesaian pekerjaan yang baik 4) Kredibilitas Menjaga kredibilitas dengan pengahargaan dan mengembangkan lingkungan kerja yang mendorong kompetesi yang sehat sehingga tercipta organisasi yang memiliki kinerja tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara : a) Memandang karyawan sebagai partner strategis b) Meningkatkan target di semua bagian pekerjaan c) Mendorong inisiatif individu untuk melakukan perubahan melalui partisipasi http://digilib.mercubuana.ac.id/ 38 d) Membantu menyelesaikan perbedaan dalam penentuan tujuan dan prioritas 5) Pertanggungjawaban Pertanggungjawaban karyawan pada wewenang yang diberikan dengan menetapkan secara konsisten dan jelas tentang peran, standard dan tujuan tentang penilaian terhadap kinerja karyawan. Tahap ini merupakan sarana evaluasi terhadap kinerja karyawan dalam penyelesaian dan tanggung jawab terhadap kinerja karyawan dalam penyelesaian dan tanggung jawab terhadap wewenang yang diberikan. Akuntabilitas dapat dilakukan dengan cara : a) Menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja karyawan b) Memberikan tugas yang jelas dan ukuran yang jelas c) Melibatkan karyawan dalam penentuan standar dan ukuran kinerja d) Memberikan saran dan bantuan kepada karyawan dalam e) Menyelesaikan tugasnya F. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain : 1) Penelitian yang dilakukan Febrianty (2012) dengan judul penelitian “Pengaruh Role Conflict, Role Ambiguity dan Work-Family Conflict terhadap Komitmen Organisasional Studi Kasus pada KAP di Sumatera Bagian Selatan”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabel role http://digilib.mercubuana.ac.id/ 39 conflict, role ambiguity dan work-family conflict terhadap komitmen organisasional pada KAP di Sumatera bagian Selatan. Hasil penelitian ini menujukan bahwa hipotesis memberikan nilai negatif tentang role conflict, role ambiguity dan work-family conflict komitmen organisasional pada KAP di Sumatera bagian Selatan, tetapi tidak semua hipotesis memberi nilai yang negatif melainkan memberi nilai signifikan. 2) Penelitian yang dilakukan oleh Vijaya dan Hemamalini (2011) dengan judul “Impact Of Organizational Climate, Role Ambiguity, And Role Conflict On Organizational Commitment Among The Faculty In Engineering Colleges”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komitmen yang terjadi pada fakultas tehnik. Dan penelitian ini bertujuan untuk memprediksi apakah role conflict dan role ambiguity berpengaruh terhadap komitmen organisasi. Dan pengaruhnya terhadap iklim organisasi yang lebih baik bagi fakultas tehnik tersebut. 3) Penelitian yang dilakukan oleh Churiyah (2011) dengan judul “Pengaruh Konflik Peran, Kelelahan Emosional, terhadap Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh konflik peran, kelelahan emosional terhadap kepuasan konsumen pada organisasi. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa konflik peran dan kelelahan emosional secara langsung berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Lebih jauh, hasil penelitian mengindikasikan bahwa konflik peran dan kelelahan emosional tidak berpengaruh terhadap komitmen organisasi. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 40 4) Penelitian yang dilakukan oleh Pesisiron dan Appono (2014) dengan judul “Pengaruh Konflik Peran dan Ambiguitas Peran terhadap Komitmen Organisasi Auditor Internal Pemerintah Daerah Kota Ambon”. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hasil dari konflik peran dan ambiguitas peran terhadap komitmen organisasi. Dan hasilnya pun mengindikasikan bahwa konflik peran dan ambiguitas peran sama-sama berpengaruh negatif terhadap komitmen organisasi. 5) Amyx et al (2014) melakukan penelitian yang berjudul “ The Influence Of Role Ambiguity And Goal Acceptance On Salesperson Performance And Commitment”. Penelitian Ini Bertujuan Untuk Mengetahui Pengaruh Role Ambiguity And Goal Acceptance On Salesperson Performance And Commitment”. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa ambiguitas peran berpengaruh negatif terhadap komitmen organisasi. Ambiguitas peran memberikan hasil negatif terhadap goal acceptance, dimana goal acceptance berpengaruh positif terhadap salesperson performance. 6) Irzani dan Witjaksono (2014) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Konflik Peran dan Ambiguitas Peran terhadap Keinginan Keluar Karyawan dengan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Mediasi pada PT. Asuransi Raksa Pratikara di Surabaya”. Penelitian ini bertujuan menyimpulkan bahwa konflik peran terbukti berpengaruh langsung terhadap keinginan keluar karyawan maupun terhadap kepuasan kerja karyawan. Sedangkan ambiguitas peran tidak memiliki pengaruh terhadap keinginan keluar karyawan, namun memiliki dampak langsung terhadap kepuasan kerja http://digilib.mercubuana.ac.id/ 41 karyawan. Hasil analisis berikutnya menyimpulkan bahwa kepuasan kerja memediasi secara parsial antara konflik peran dengan keinginan keluar karyawan sementara pada variabel ambiguitas peran mediasi kepuasan kerja menyeluruh (fully). 7) Penelitian yang dilakukan oleh Sidharta dan Margaretha (2011) dengan judul “Dampak Komitmen Organisasi dan Kepuasan Kerja terhadap Turnover Intention Studi Empiris pada Karyawan Bagian Operator Disalah satu Perusahaan Garment di Cimahi”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menginvestigasi dampak dari komitmen organisasi dan kepuasan kerja terhadap turnover intention karyawan bagian operator disalah perusahaan garment di cimahi. Dari empat hipotesis yang mendukung dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi dan kepuasan kerja memiliki hasil negatif dan memiliki hubungan signifikan terhadap turnover intention dan memiliki pengaruh negatif di dalamnya. 8) Penelitian yang dilakukan oleh Harijanto et al (2013) dengan judul “The Influence Of Role Conflict And Role Ambiguity On The Employee’s Performance Through Commitment And Self-Efficacy (Study On The Nurses At Public Health Service Center Of Kabupaten Kediri East Java)”. Hasil dari penelitian tersebut mengidikasikan bahwa konflik peran tidak memiliki pengaruh terhadap komitmen organisasi dan performance dari perawat. Di dalam nya di jelaskan bahwa tidak ada fungsi mediasi dari komitmen organisasi terhadap hubungan antara konflik peran dan performance dari perawat. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 42 9) Penelitian yang dilakukan Ali dan Baloch (2011) dengan judul “Predictors Of Organizational Commitment And Turnover Intention Of Medical Representatives (An Empirical Evidence Of Pakistani Companies)”. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa terdapat pengaruh negatif yang signifikan antara ambiguitas peran terhadap komitmen organisasi. Konflik peran dan komitmen organisasi, konflik pekerjaan dan keluarga terhadap komitmen dan terhadap keinginan keluar karyawan memiliki pengaruh positif antara ambiguitas peran dan keinginan keluar karyawan, konflik peran dan keinginan keluar karyawan ,konflik pekerjaan-keluarga terhadap keinginan keluar karyawan. G. Rerangka Pemikiran Dan Pengembangan Hipotesis 1. Pengaruh Konflik Peran terhadap Keinginan Keluar Karyawan Pekerjaan yang overload menimbulkan ancaman bagi karyawan dalam menjalankan perannya dan juga meningkatkan penarikan pola perilaku dari organisasi yang memperkerjakan, pensiun dini, dan meninggalkan organisasinya (Peller, 1992; Rahim, 1992; Jamal, 1990 dalam Basri, 2012). Stepanski (2002) dalam Lathifah (2008) mengemukakan bahwa sumber konflik yang substansial dalam kehidupan seseorang adalah konflik antara dua peran yang sangat prinsip yang harus dijalankan dengan seimbang, yaitu pekerjaan dan diri sendiri. Menurut Irzani dan Witjaksono (2014) dan Sulistyawati et al (2014) bahwa konflik peran memiliki pengaruh positif terhadap keinginan keluar kerja karyawan. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 43 Berdasarkan uraian di atas maka dapat di rumuskan hipotesis sebagai berikut : H1 : Konflik peran berpengaruh positif terhadap keinginan keluar karyawan. 2. Pengaruh Ambiguitas Peran terhadap Keinginan Keluar Karyawan Ambiguitas peran mengahalangi peluang untuk meningkatkan kinerja, mengurangi kepuasan kerja, dan meningkatkan keluar-masuk karyawan (Singh, 1993). Pendapat ini sesuai dengan Zakaria (1991) dalam Aziz dan Ramli (2009) yang telah mendefinisikan keinginan berpindah kerja merupakan suatu perubahan psikologi yang menunjukan perasaan seseorang terhadap keahliannya di dalam suatu organisasi, untuk terus berada di dalamnya atau berhenti. Berkaitan dengan pengaruh tekanan peran (ambiguitas peran) terhadap keinginan berpindah kerja ditemukan korelasi positif ambiguitas peran dan konflik peran dengan keinginan berpindah kerja Menurut Ngadiman, et al (2014) menemukan bahwa ambiguitas peran berpengaruh positif terhadap keinginan keluar karyawan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat di rumuskan hipotesis sebagai berikut : H2 : Ambiguitas peran berpengaruh positif terhadap keinginan keluar karyawan. 3. Pengaruh Konflik Peran terhadap Komitmen Organisasi Menurut Robbins (2006) menyatakan bahwa konflik peran merupakan suatu situasi dimana seorang individu dihadapkan pada pengharapan peran yang http://digilib.mercubuana.ac.id/ 44 berlainan. Konflik peran tersebut akan muncul apabila individu menemukan bahwa patuh pada tuntutan satu peran menyebabkan dirinya kesulitan mematuhi tuntutan peran yang lainnya. Berdasarkan teori motivasi faktor hygiene yang dikembangkan oleh Hezerberg, yaitu apabila kondisi kerja memadai, seperti konflik peran yang dihadapi kecil, maka dapat menentramkan pekerjaan, seperti meningkatnya komitmen organisasi. Dengan kata lain, meningkatnya konflik peran yang dialami oleh seorang karyawan akan berakibat pada turunnya kinerja karyawan karena karyawan tersebut lebih mencurahkan tenaganya untuk mengatasi konflik peran yang dihadapi daripada menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Senada dengan hasil penelitian Vijaya dan Hemamalini (2011) dan Febrianty (2012) menemukan bahwa konflik peran berpengaruh negatif terhadap komitmen organisasi. Berdasarkan uraian di atas maka dapat di rumuskan hipotesis sebagai berikut : H3 : Konflik peran berpengaruh negatif terhadap komitmen organisasi 4. Pengaruh Ambiguitas Peran terhadap Komitmen Organisasi Menurut Toly (2001) dalam Pesisiron dan Appono (2014), mendefinisikan ketidakjelasan peran (ambiguitas peran) sebagai kurangnya kejelasan mengenai tugas, wewenang, dan tanggung jawab terhadap pekerjaan. Ambiguitas peran bisa terjadi akibat job description yang tidak ditulis atau dijelaskan dengan rinci serta tidak adanya standar kerja yang jelas, sehingga ukuran kinerja karyawan yang baik dipersepsikan secara kabur oleh karyawan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 45 (Catharina, 2001 dalam Pesisiron dan Appono, 2014) . Berdasarkan teori motivasi faktor hygiene yang dikembangkan oleh Herzberg, yaitu apabila kondisi kerja memadai, seperti rendahnya ambiguitas peran yang dialami, maka dapat menentramkan pekerjaan, seperti meningkatnya komitmen organisasi. Seorang karyawan yang memiliki ambiguitas peran tidak mengetahui secara jelas apa yang sebaiknya dilakukan dengan pekerjaan. Hal ini mengakibatkan kebingungan dan ketidaknyamaan karyawan tidak melaksanakan semua pekerjaan dengan baik. karyawan yang memiliki kinerja yang rendah akan berakibat oada rendahnya loyalitas karyawan terhadap organisasi. Dengan demikian, tingkat ambiguitas peran yang tinggi dapat mengakibatkan rendahnya komitmen organisasi karena ambiguitas peran dapat mengganggu hubungan peran karyawan dengan tujuan organisasi yang akan dicapai (Sasangka, 2001 dalam Pesisiron dan Appono, 2014). Menurut Vijaya dan Hemamalini (2011) dan Pesisiron dan Appono (2014), Amyx et al (2014) menemukan bahwa ambiguitas peran berpengaruh negatif terhadap komitmen organisasi. Berdasarkan uraian di atas maka dapat di rumuskan hipotesis sebagai berikut : H4 : Ambiguitas peran berpengaruh negatif terhadap komitmen organisasi. 5. Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Keinginan Keluar Karyawan Komitmen merupakan variabel yang sangat penting dalam memahami sikap kerja seorang karyawan dalam suatu organisasi. Karyawan yang mempunyai http://digilib.mercubuana.ac.id/ 46 kecenderungan turnover biasanya memiliki komitmen yang rendah terhadap organisasi tempat ia bekerja. Keadaan demikian dapat terjadi karena individu yang memiliki kecenderungan mengundurkan diri biasanya sudah tidak menyukai tempat organisasi, serta memiliki semangat kerja yang menurun. Sejumlah riset menunjukan hubungan signifikan dan negatif antara komitmen organisasi dan turnover intention (Mayer, 1989 dalam Yulianto, 2001 dalam Sidharta dan Margaretha, 2011). Robbins (2001) dalam Sidharta dan Margaretha (2011) mendefinisikan komitmen pada organisasi yaitu sampai tingkat mana seorang karyawan memihak suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi tersebut. Dengan kata lain semakin tinggi komitmen seseorang terhadap perusahaan akan berdampak pada kemauan untuk menjalankan kegiatan lain yang harus dilakukan tanpa mempertimbangkan imbalan. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi komitmen organisasi seorang karyawan makan semakin rendah pula nilai keinginan pindah kerja ke perusahaan lain. Hasil penelitian Sulistyawati, et al (2014) dan Sidharta dan Margaretha (2011) menemukan bahwa komitmen organisasi berpengaruh negatif terhadap keinginan berpindah kerja karyawan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat di rumuskan hipotesis sebagai berikut : H5 : Komitmen organisasi berpengaruh negatif terhadap keinginan keluar karyawan. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 47 Dari rerangka pemikiran dan pengembangan hipotesis diatas, maka dapat di gambarkan model penelitian pada Gambar 2.1 Konflik Peran (X1) H1 H3 H4 Komitmen Organisasi (Y) H5 H2 Ambiguitas Peran (X2) Gambar 2.1 Model Rerangka Konseptual Penelitian http://digilib.mercubuana.ac.id/ Keinginan Keluar Karyawan (Z)