1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Perkembangan perekonomian dunia yang terus memburuk dan belum
munculnya tanda-tanda akan segera berakhirnya krisis global menyebabkan
prospek perekonomian Indonesia ke depan masih diliputi oleh nuansa
ketidakpastian yang tinggi. Dampak krisis dipastikan akan memberikan tekanan
yang cukup signifikan, tidak saja pada perekonomian domestik jangka pendek,
namun juga akan mempengaruhi lintasan variabel-variabel ekonomi makro dalam
jangka menengah. Meskipun diperkirakan akan mengalami tekanan yang cukup
kuat pada tahun 2009, namun dalam jangka menengah perekonomian diperkirakan
akan tetap bergerak dalam lintasan pertumbuhan ekonomi yang makin tinggi
dengan laju inflasi yang tetap terkendali. Permintaan domestik diperkirakan akan
tetap menjadi kekuatan utama pertumbuhan ekonomi, sementara kinerja ekspor
juga akan kembali mengalami penguatan sejalan dengan mulai bangkitnya
perekonomian global pada tahun 2010.
Menjelang akhir triwulan III-2008, perekonomian dunia dihadapkan
pada satu babak baru yaitu runtuhnya stabilitas ekonomi global, seiring dengan
meluasnya krisis finansial ke berbagai negara.
Krisis finansial global mulai
muncul sejak bulan Agustus 2007, yaitu pada saat salah satu bank terbesar
Perancis BNP Paribas mengumumkan pembekuan beberapa sekuritas yang terkait
dengan kredit perumahan berisiko tinggi AS (subprime mortgage). Pembekuan
ini lantas mulai memicu gejolak di pasar finansial dan akhirnya merambat ke
seluruh dunia.
Di penghujung triwulan III-2008, intensitas krisis semakin
membesar seiring dengan bangkrutnya bank investasi terbesar AS Lehman
Brothers, yang diikuti oleh kesulitan keuangan yang semakin parah di sejumlah
lembaga keuangan berskala besar di AS, Eropa, dan Jepang.
Krisis keuangan dunia tersebut telah berimbas ke perekonomian
Indonesia sebagaimana tercermin dari gejolak di pasar modal dan pasar uang.
1
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada bulan Desember 2008 ditutup pada
level 1.355,4, terpangkas hampir separuhnya dari level pada awal tahun 2008
sebesar 2.627,3, bersamaan dengan jatuhnya nilai kapitalisasi pasar dan
penurunan tajam volume perdagangan saham. Arus keluar kepemilikan asing di
saham, surat utang negara (SUN), maupun SBI masih terus berlangsung. Hingga
akhir Desember 2008, posisi asing di SUN tercatat Rp.87,4 triliun, menurun
dibandingkan posisi September 2008 yang sempat mencapai Rp104,3 triliun.
Sementara posisi asing di SBI tercatat Rp.8,4 triliun, menurun tajam dibandingkan
posisi Agustus 2008 sebesar Rp.68,4 triliun. Bersamaan dengan itu, nilai tukar
Rupiah ikut terkoreksi tajam hingga mencapai level Rp10.900/USD pada akhir
Desember 2008. Kondisi ini sejalan dengan kinerja neraca pembayaran yang
menunjukkan penurunan sejak Triwulan III-2008, sebagaimana tercermin dari
peningkatan defisit transaksi berjalan (current account) dan mulai defisitnya
neraca transaksi modal dan finansial (financial account). Peningkatan defisit
transaksi berjalan terutama bersumber dari anjloknya kinerja ekspor sejalan
dengan kontraksi perekonomian global yang diiringi dengan merosotnya harga
berbagai komoditas ekspor. Sementara itu, kesulitan likuiditas keuangan global
dan meningkatnya perilaku risk aversion dari pemodal asing memicu terjadinya
realokasi ke aset yang lebih aman (flight to quality) juga berdampak pada
menurunnya kinerja neraca transaksi modal dan finansial. Menyusul tertekannya
kinerja ekspor secara signifikan, dunia usaha pun mulai terkena imbas dan
gelombang pemutusan hubungan kerja mulai terjadi, khususnya di industriindustri berorientasi ekspor seperti industri kayu, tekstil, dan pengalengan ikan.
Adanya krisis-krisis di berbagai belahan dunia ini akan berdampak pada
pembangunan daerah, bukan hanya di kota-kota besar, melainkan terjadi juga di
pelosok-pelosok daerah. Terlebih, masyarakat yang hidup di daerah bukan kota
besar akan mengalami perubahan yang signifikan terhadap kegiatan ekonomi
mereka.
Pembangunan daerah sebagai daerah integral dari pembangunan
nasional diarahkan untuk mengembangkan daerah dan laju perkembangan
antardaerah, antar kota dan desa, antar sektor dan daerah (GBHN, 1998).
Pada
2
umumnya pembangunan daerah difokuskan pada pembangunan ekonomi melalui
usaha pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan peningkatan produksi barang
dan jasa, yang antara lain diukur dengan besaran yang disebut dengan Produk
Domestik Bruto Regional (PDRB). Sasaran yang diinginkan dalam konsep pusat
pertumbuhan wilayah adalah meningkatnya laju pertumbuhan yang relatif menjadi
lebih tinggi dibanding dengan daerah lainnya. Adanya pertumbuhan daerah yang
cepat menurut Myrdal (1974) akan memberikan pengaruh backwash effect dan
spread effect (lihat meardon, 2001 : 5, dan Tjahjati, 1997 : 395).
Pertumbuhan
semacam ini biasanya diikuti dengan pertumbuhan-pertumbuhan pada sektor lain,
diantaranya pada pertumbuhan penduduk.
Pengembangan wilayah strategis yang sudah ada dan pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi baru yang potensial cepat tumbuh berdasarkan keunggulan
geografis dan produk unggulan daerah yang berorientasi pada pasar lokal,
regional, dan global serta mendorong perkembangan fungsinya sebagai andalan
perkembangan ekonomi wilayah dan penggerak ekonomi kawasan sekitarnya
(BAPPENAS ; 2000 : 225).
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu
proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang
ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor
swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dalam merangsang perkembangan
pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut.
Setiap usaha pembagunan
ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis
peluang kerja untuk masyarakat (Arsyad, 1999: 108-109).
Salah satu penyebab meningkatnya pertumbuhan penduduk pada lokasilokasi pertumbuhan disebabkan adanya arus migrasi penduduk dari luar daerah.
Migrasi penduduk yang mengarah pada pusat-pusat pertumbuhan akan
mempercepat pertumbuhan ekonomi pada lokasi tersebut, sehingga terdapat
kecenderungan positif antara jumlah penduduk dengan pertumbuhan ekonomi.
Menurut model Von Thunen (1961) pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan
oleh pertumbuhan pendapatan per kapita akan mengalami peningkatan seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk pada daerah tersebut (lihat Soepono,
3
1999:46).
Upaya pencapaian kemandirian daerah dan pemerataan pertumbuhan
diseluruh wilayah dalam realitasnya dipengaruhi banyak faktor yang saling
terjalin, berkaitan dengan tumpang tindih sehingga sasaran pembangunan daerah
seringkali tidak tercapai.
Pada akhirnya akan ada daerah yang lebih maju
dibanding dengan daerah lain bahkan berujung pada ketimpangan ekonomi
antarpenduduk daerah yang berada di daerah yang lebih maju dibanding penduduk
di daerah lainnya yang kurang maju.
Tahun 2013 pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,78 persen
sedangkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun yang sama
mencapai 5,81 persen, sedikit lebih tinggi dari angka nasional.
Laju inflasi
nasional tahun 2013 sebesar 8,38 persen lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya
sebesar 4,30 persen. Demikian juga laju inflasi di Jawa Tengah tahun 2013
mencapai 7,98 persen, lebih tinggi dibanding tahun 2012 sebesar 4,24 persen.
Sedangkan untuk Kabupaten Magelang pertumbuhan ekonomi tahun 2013
mencapai 5,60 persen, sedikit mengalami penurunan dari tahun 2012 yang tumbuh
5,84 persen. Laju inflasi tahun 2013 mencapai 8,49 persen, lebih tinggi dibanding
tahun 2012 yang hanya 2,59 persen.
Hasil
pengolahan
PDRB
Kabupaten
Magelang
tahun
2013
menunjukkan pertumbuhan positif pada semua sektor. Sektor pertanian tumbuh
sebesar 2,87 persen. Pertambangan dan penggalian sebesar 5,65 persen, Industri
Pengolahan sebesar 6,39 persen, Listrik, gas dan air sebesar 8,39 persen,
Konstruksi sebesar 7,57 persen, Perdagangan, hotel dan restoran sebesar 7,11
persen, Pengangkutan dan komunikasi sebesar 6,55 persen, Keuangan, real estate
dan jasa perusahaan sebesar 7,77 persen, dan Jasa-jasa sebesar 5,73 persen.
Selama tahun 2009-2013, baik atas dasar harga berlaku maupun harga
konstan nilai PDRB Kabupaten Magelang selalu mengalami kenaikan.
Pada
tahun 2013 PDRB Kabupaten Magelang atas dasar harga berlaku telah mencapai
10,814 trilyun rupiah, naik 1,5 kali dari tahun 2009 (7,151 triliun rupiah).
Sedangkan menurut harga konstan mencapai 4,797 trilyun rupiah pada tahun
2013, mengalami kenaikan 1,2 kali dari tahun 2009 (3,939 triliun rupiah). Untuk
4
lebih jelasnya perkembangan PDRB Kabupaten Magelang selama lima tahun
terakhir bisa dilihat pada grafik di bawah ini.
Gambar 1.1 PDRB Kabupaten Magelang Atas Dasar Harga Berlaku & Harga Konstan
2000, 2009-2013
Sumber : Statistik Kabupaten Magelang Tahun 2015, Bappeda
1.2
Pertanyaan Penelitian
1.
Kecamatan - kecamatan mana saja yang menjadi pusat pertumbuhan
wilayah dan sebagai daerah hinterland di Kabupaten Magelang ?
2.
Bagaimana memetakan kecamatan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi
dan kecamatan sebagai hinterland ?
3.
Apa yang menyebabkan suatu kecamatan dapat menjadi pusat
pertumbuhan wilayah dan bagaimana interaksinya terhadap daerah
hinterland ?
1.3
Tujuan Penelitian
1.
Menetukan kecamatan-kecamatan yang menjadi pusat pertumbuhan
wilayah dan hinterlandnya di Kabupaten Magelang.
2.
Menganalisis faktor penentu kecamatan menjadi pusat pertumbuhan
wilayah dan kecamatan sebagai hinterland.
5
3.
Memetakan kecamatan yang berperan sebagai pusat pertumbuhan
wilayah dan daerah sekelilingnya (hinterland).
1.4
Manfaat Penelitian
1.
Sebagai sumber informasi kepada pemerintah, khususnya pemerintah
daerah dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan.
2.
Penelitian ini menjadi sumber pengetahuan dan informasi tentang potensi
- potensi apa yang ada disetiap daerah yang memiliki interaksi ekonomi
dengan daerah pusat pertumbuhan, sehingga dapat diprioritaskan
pembangunannya.
3.
Sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi peneliti, mahasiswa dan
dosen yang berminat melakukan penelitian dengan tema yang sama.
1.5
Batasan Masalah
Ruang lingkup kajian adalah Kabupaten Magelang dengan fokus
penelitian
adalah
hinterlandnya.
kecamatan
sebagai
pusat
pertumbuhan
wilayah
dan
Kemudian dari masing-masing daerah pusat pertumbuhan
diidentifikasi sektor unggulan sehingga ketika suatu daerah memiliki ciri-ciri
nodal yang kuat, maka semakin tinggi tingkat pertumbuhannya dan perkembangan
ekonomi sosialnya. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder
tahun 2014 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang dan
berbagai instansi/dinas terkait. Data-data tersebut merupakan data jumlah fasilitas
umum (ekonomi, sosial dan pemerintahan), jumlah penduduk serta banyaknya
PDRB berdasarkan harga konstan menurut sektor ekonomi.
6
Download