tinjauan pustaka

advertisement
9
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Kandung Empedu dan Traktus Biliaris
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau membran mukosa
jaringan tubuh lainnya menjadi kuning, akibat peningkatan kadar bilirubin dalam
sirkulasi darah oleh berbagai sebab. Bilirubin dibentuk sebagai akibat pemecahan
cincin heme pada metabolisme sel darah merah. Ikterus yang ringan dapat dilihat
paling awal pada sklera mata, biasanya terjadi jika kadar bilirubin dalam darah
berkisar antara 2,0-2,5 mg/dl atau lebih. Makin tinggi kadar bilirubin dalam darah,
warna kuning akan semakin nyata. Kata ikterus (jaundice) berasal dari bahasa
Perancis jaune yang berarti kuning (Talley 1996; Amirudin 2006).
Gambar 7. Anatomi kandung empedu dan traktus biliaris
(Dikutip dari Amirudin 2006)
Empedu dan komponen-komponennya diproduksi oleh sel-sel hati setiap
saat untuk kemudian dialirkan ke dalam kanalikulus hati, kemudian dialirkan
melalui duktus hepatikus kiri dan duktus hepatikus kanan yang keduanya
membentuk duktus hepatikus komunis. Sebagian dari empedu ini sebelum
10
dialirkan ke dalam duodenum, disimpan di dalam kandung empedu melalui
duktus sistikus. Setelah penggabungan dengan duktus sistikus dari kandung
empedu, duktus hepatikus komunis menjadi duktus biliaris komunis (common bile
duct) atau disebut juga duktus koledokus. Dalam keadaan normal, kandung
empedu dapat menampung ± 50 ml cairan empedu (Amirudin 2006). Pada bagian
distal duktus koledokus sebelum mencapai muaranya di duodenum terdapat muara
duktus pankreatikus. Kedua saluran ini bermuara di duodenum melalui papilla
Vateri. Pada keadaan ikterus dapat terjadi berbagai perubahan biokimiawi,
fisiologi bahkan perubahan struktur jaringan hati, baik yang bersifat reversible
maupun yang irreversible. Tergantung penyebabnya, ikterus dapat diikuti dengan
berbagai perubahan/kerusakan pada berbagai bagian organ tubuh lain seperti
pankreas, usus, ginjal bahkan otak (Sulaiman 2006).
Hati mempunyai fungsi yang beraneka ragam yang meliputi fungsi
metabolisme, fungsi sintesis, fungsi ekskresi, fungsi endokrin, fungsi imunologi
dan lain-lain. Fungsi utama hati adalah pembentukan dan ekskresi empedu. Hati
mengekskresikan sebanyak ± 1 liter empedu perhari ke dalam usus halus melalui
muara saluran empedu di duodenum. Empedu terdiri dari asam empedu (asam
kolat, asam kenodeoksikolat, asam deoksikolat dan dalam jumlah kecil asam
ursodeoksikolat), bilirubin, kolesterol, trace metal, serta metabolit obat, dengan
air sebagai unsur utama (97%). Hasil metabolisme monosakarida dari usus halus
diubah menjadi glikogen untuk kemudian disimpan di hati (glikogenesis). Dari
depot glikogen ini disuplai glukosa secara konstan ke dalam darah (glikogenolisis)
untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme di
dalam jaringan untuk menghasilkan energi dan sisanya diubah menjadi glikogen
yang disimpan dalam otot atau lemak yang disimpan dalam jaringan subkutan.
Fungsi metabolisme protein dari hati terutama menghasilkan protein plasma
berupa albumin, protrombin, fibrinogen serta faktor-faktor pembekuan lainnya.
Adapun fungsi metabolisme lemak dari hati terutama dalam pembentukan
lipoprotein, kolesterol, fosfolipid dan asam asetoasetat (Sherlock 1993; Amirudin
2006).
Empedu sangat berperan dalam membantu pencernaan dan absorpsi lemak,
ekskresi metabolit hati dan produk sisa seperti kolesterol, bilirubin dan logam
11
berat. Asam empedu dibentuk dari kolesterol di dalam sel-sel hati (hepatosit),
bersifat larut dalam air akibat konyugasi dengan glisin, taurin dan sulfat. Asam
empedu berfungsi sebagai deterjen dalam mengemulsi lemak, membantu kerja
enzim-enzim pankreas serta berperan utama dalam absorpsi lemak intraluminal.
Bilirubin, suatu pigmen kuning dengan sebuah struktur tetrapirol yang tidak larut
dalam air, sebagian besar berasal dari sel-sel darah yang telah hancur dan sebagian
lagi berasal dari katabolisme protein-protein heme lainnya (Talley 1996;
Amirudin 2006).
Patofisiologi Ikterus
Setiap hari tubuh manusia membentuk sekitar 250 sampai 350 mg
bilirubin atau sekitar 4 mg/kg bobot badan. 70-80% berasal dari pemecahan sel
darah merah yang matang, sedangkan 20-30% sisanya berasal dari protein heme
lainnya di sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein heme dipecah menjadi
besi dan bilirubin (produk antara) dengan perantaraan enzim hemeoksigenase.
Sementara itu enzim biliverdin reduktase akan mengubah biliverdin menjadi
bilirubin. Tahapan ini terutama terjadi di dalam sel sistem retikuloendotelial.
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konyugasi dengan
asam glukuronat membentuk bilirubin diglukuronida (disebut juga bilirubin
terkonyugasi atau bilirubin direk) yang larut dalam air. Reaksi ini dikatalisis oleh
enzim mikrosomal glukuronil transferase. Dalam beberapa keadaan reaksi ini
hanya menghasilkan bilirubin monoglukuronida, dengan bagian asam glukuronat
kedua ditambahkan dalam saluran empedu melalui enzim yang berbeda, namun
ini tidak fisiologis. Bilirubin terkonyugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus hati
bersama zat-zat lainnya, sampai ke duodenum. Di dalam usus, flora bakteri
men”dekonyugasi” bilirubin menjadi sterkobilinogen, dan mengeluarkannya
sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan
dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai urin
sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida tetapi tidak bisa
mengeluarkan bilirubin terkonyugasi. Hal ini dapat menerangkan warna urin yang
lebih gelap pada gangguan hepatoselular atau kolestasis intrahepatik (Sherlock
1993; Talley 1996).
12
Bilirubin tak terkonyugasi (disebut juga bilirubin indirek) bersifat tidak
larut dalam air namun larut dalam lemak, sehingga bisa melalui sawar darah otak
serta dapat melewati plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonyugasi
mengalami proses konyugasi dengan gula melalui enzim glukuronil transferase
dan larut dalam empedu.
Pendapat yang lain menambahkan lagi proses metabolisme bilirubin
dengan 2 tahap lagi yaitu tahap transpor plasma dan tahap liver uptake (Amirudin
2006).
Sel darah merah matang
Bilirubin tak terkonyugasi + albumin
Uptake (3)
Hemolisis (1)
Heme (+ haptoglobin)
Bilirubin tak terkonyugasi
Biliverdin reduktase
Konyugasi (3)
Bilirubin tak terkonyugasi
Glukuronil transferase (2)
Bilirubin terkonyugasi
HEPATOSIT
Ekskresi (3)
(4)
Kanalikulus empedu
(4)
Duktus biliaris
(4)
Duodenum
Gambar 8. Skema metabolisme bilirubin
(Dikutip dari Talley 1996)
13
Dengan memperhatikan proses metabolisme bilirubin di atas, maka ikterus
dibagi atas 3 kelompok, yaitu ikterus prehepatik (ikterus hemolitik), ikterus
hepatik (ikterus hepatoselular) dan ikterus kolestatik (ikterus obstruktif). Kadangkadang terdapat overlap antara ikterus hepatoselular dengan ikterus kolestatik
(Sherlock 1993; Sulaiman 2006).
Ikterus prehepatik (ikterus hemolitik)
Pada keadaan ini terdapat peningkatan ringan kadar bilirubin total
terutama bilirubin tak terkonyugasi, namun enzim SGOT (serum glutamic
oxaloacetic transaminase) dan SGPT (serum glutamic pyruvic transaminase)
serta fosfatase alkali normal. Begitu pula fungsi hati dan ekskresi empedu normal.
Keadaan ini dapat terjadi pada anemia hemolitik oleh berbagai sebab (misalnya
pada keadaan autoimmune hemolytic anemia (AIHA), defisiensi enzim G6PD
(Glucose-6-phosphate dehydrogenase), thalassemia, infeksi malaria, dan lainlain) atau pada beberapa penyakit gangguan metabolisme bilirubin yang bersifat
familial seperti Sindrom Gilbert dan Sindrom Crigler-Najjar (Sherlock 1993;
Talley 1996).
Ikterus hepatoseluler
Keadaan ini disebabkan proses inflamasi/kerusakan pada jaringan hati,
misalnya pada hepatitis (karena virus, bakteri atau obat-obatan). Dalam keadaan
ini, kadar bilirubin meningkat, baik bilirubin terkonyugasi maupun bilirubin tak
terkonyugasi, disertai dengan peningkatan enzim transaminase. Pada keadaan ini,
dapat pula terjadi kolestasis intrahepatik yang akan memperberat keadaan ikterus
(Sherlock 1993; Sulaiman 2006). Tergantung penyebabnya keadaan ini bisa
bermanifestasi akut maupun kronik dengan gambaran fungsi hati yang berbeda
walaupun bisa memberikan gambaran sebagian fungsi hati yang hampir sama.
Umumnya terdapat peningkatan enzim SGOT dan SGPT, dan pada keadaan yang
kronik bisa terjadi penurunan kadar albumin sebagai manifestasi terganggunya
fungsi sintesis hati (Sherlock 1993).
Pada sindrom Dubin-Johnson dan sindrom Rotor yang merupakan
penyakit herediter, terjadi keadaan ikterus ringan dan tanpa keluhan, yang
disebabkan oleh gangguan berbagai anion organik termasuk bilirubin, namun
ekskresi empedu tidak terganggu. Berbeda dengan sindrom Gilbert, pada kedua
14
keadaan ini hiperbilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin terkonyugasi dan
empedu terdapat dalam urin.
Ikterus Kolestatik
Pada keadaan ini terjadi sumbatan (obstruksi) total atau parsial dari aliran
empedu dan komponen-komponennya dari mulai sel hati (kanalikulus) sampai ke
duodenum. Untuk kepentingan klinik, ikterus kolestatik dibagi menjadi dua yaitu
kolestasis intrahepatik dan kolestasis ekstrahepatik. Kolestasis intrahepatik bisa
terjadi pada keadaan hepatitis, sirosis hati bilier primer atau pada karsinoma hati
metastatik. Pada kolestasis ekstrahepatik terjadi sumbatan secara mekanis pada
duktus biliaris ekstrahepatik mulai dari duktus hepatikus komunis sampai muara
duktus koledokus (common bile duct) di duodenum. Keadaan ikterus kolestatik
ekstrahepatik ini sering disebut sebagai ikterus obstruktif (obstructive jaundice).
Ikterus obstruktif sering disebabkan oleh batu duktus koledokus, kanker kaput
pankreas, tumor duktus koledokus, tumor papilla Vateri atau striktur CBD (Lu
dan Kaplowitz 1995; Siddique et al. 2008; Pangestu et al. 2007). Pada keadaan ini
terjadi peningkatan kadar bilirubin plasma terutama bilirubin terkonyugasi.
Gambaran Fungsi Hati pada Ikterus Obstruktif
Dalam menghadapi keadaan ikterus, harus segera dapat ditentukan bila ada
ikterus prehepatik (hemolitik), ikterus hepatoselular atau ikterus obstruktif.
Pemeriksaan fungsi hati yang meliputi kadar bilirubin (bilirubin total, bilirubin
direk
dan
bilirubin
indirek),
SGOT/AST
(Aspartate Aminotransferase),
SGPT/ALT (Alanine Transaminase), dan fosfatase alkali dapat memberi petunjuk
awal untuk membedakan ketiga kelompok ikterus di atas. Pada ikterus hemolitik
yang menonjol adalah kadar bilirubin indirek lebih tinggi dibanding bilirubin
direk, hal ini tidak terjadi pada ikterus obstruktif maupun ikterus hepatoselular,
dengan fungsi enzimatik hati umumnya normal (Sherlock 1993; Hayat et al. 2005).
Peningkatan kadar SGOT dan SGPT merupakan indikator yang sensitif untuk
ikterus hepatoselular (misalnya pada hepatitis virus akut maupun kronik, hepatitis
autoimun, hemokromatosis, defisiensi α 1 -antitripsin serta penyakit Wilson),
sedangkan pada ikterus obstruktif peningkatan kadar fosfatase alkali lebih tinggi
dibanding peningkatan SGOT/SGPT.
15
Seiring dengan peningkatan kadar bilirubin darah, pada keadaan ikterus
obstruktif terjadi peningkatan kadar fosfatase alkali lebih dari 3 kali nilai normal,
sedangkan peningkatan enzim transminase (SGOT dan SGPT) umumnya kurang
dari 3 kali nilai normal. Kadar enzim gamma glutamyl transpeptidase (GGT)
umumnya meningkat pada keadaan ikterus obstruktif, namun peningkatan ini bisa
juga terjadi pada keadaan-keadaan lain, misalnya pada keadaan fatty liver,
hepatitis akibat obat-obatan serta penyakit-penyakit non-hepatik yang lain
(Giannini et al. 2005).
Keadaan ikterus obstruktif berkepanjangan dapat menimbulkan kerusakan
struktur hati terutama hepatosit yang akan diikuti dengan menurunnya fungsi
sintesis hati khususnya sintesis albumin. Kadar albumin plasma dapat menurun
jika sudah terjadi keadaan kerusakan hati lanjut (sirosis bilier). Hal ini terjadi
karena pada keadaan ikterus obstruktif lanjut akan terjadi kerusakan hati yaitu
nekrosis hepatoselular, proliferasi sel-sel epitelial duktulus biliaris, aktivasi
sel-sel stelat yang diikuti dengan fibrosis hati (Giannini et al. 2005; Hong et al.
2007).
Berbagai hasil penelitian telah dilaporkan mengenai mekanisme terjadinya
kerusakan hati pada keadaan ikterus obstruktif. Wang et al. (2005) pada
penelitiannya mengenai ikterus obstruktif dengan hewan model tikus melaporkan
bahwa kerusakan hati yang terjadi pada keadaan ini, disebabkan akumulasi garam
empedu di dalam sel-sel hati. Mekanisme yang pasti mengenai hal ini belum
diketahui, namun diduga hal ini disebabkan oleh karena terganggunya proses
apoptosis selular oleh protein kinase C pada keadaan ikterus obstruktif.
Mekanisme patogenesis lain tentang terjadinya kerusakan hati pada keadaan
ikterus obstruktif dilaporkan juga oleh penelitian Hong et al. (2007) dengan
hewan model tikus, yang melaporkan adanya peranan bakteri intestinal, efek dari
endotoksin plasma akibat translokasi bakteri melalui mukosa usus halus,
meningkatnya kadar sitokin dan kadar imunoglobulin A (IgA) serta meningkatnya
oxidative stress di dalam plasma. Mekanisme patogenesis lainnya disampaikan
oleh Cindoruk et al. (2007) yang melaporkan peranan peroxisome proliferatorsactivated receptor alpha (PPARα) dalam mengurangi derajat kerusakan hati pada
tikus percobaan dengan ikterus obstruktif. Hal ini dihubungkan dengan pemberian
16
fenofibrat yang merupakan PPARα agonist yang ternyata dapat meningkatkan
metabolisme kolesterol, serta menekan sintesis asam empedu yang pada akhirnya
akan mempengaruhi sitokin proinflamasi, apoptosis, serta kerusakan hepatoselular
lebih lanjut.
Untuk mengetahui reversibilitas gangguan fungsi hati pada keadaan
ikterus obstruktif, Fraser et al. (1989) melakukan penelitian dengan mengikat
(ligasi) duktus koledokus pada 11 ekor anjing. Setelah 4 minggu, dilakukan
dekompresi dengan melakukan anastomosis bilioenterik. Selama 2 bulan setelah
dekompresi, dilakukan evaluasi berkala fungsi hati, perubahan mikroskopik dari
biopsi hati serta pemeriksaan dynamic liver scintiscanning, dibandingkan dengan
keadaan sebelum dilakukan dekompresi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa perlu waktu yang lama (lebih dari 10 hari) untuk mengembalikan berbagai
fungsi hati setelah dilakukan dekompresi.
Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Kocher et al. (1997), untuk
melihat perubahan histopatologi jaringan hati pada 14 ekor anjing mongrel yang
mengalami pengikatan duktus koledokus. Dari penelitian ini diketahui bahwa
perubahan histopatologi jaringan hati pada ikterus obstruktif dimulai dengan
proses inflamasi akut, edema, fibrosis serta akhirnya terjadi distorsi arsitektur
jaringan hati yang irreversible.
Metabolisme Lemak pada Ikterus Obstruktif
Ikterus obstruktif ditandai dengan akumulasi bilirubin, asam empedu dan
kolesterol intraselular akibat terhambatnya sekresi empedu, yang diikuti dengan
keadaan hiperbilirubinemia dan hiperlipidemia. Asam empedu yang merupakan
produk utama dari metabolisme kolesterol di dalam hati, berfungsi sebagai
deterjen fisiologis yang memfasilitasi absorpsi dan transpor lemak dan vitamin
yang larut dalam lemak melalui mukosa usus halus.
Gangguan metabolisme lemak pada ikterus obstruktif telah banyak
dilaporkan, baik pada manusia maupun hewan percobaan. Peningkatan kadar
kolesterol plasma terjadi setelah pengikatan duktus koledokus pada tikus
percobaan, tetapi perlu waktu yang lebih lama, untuk memastikan adanya
peningkatan kadar kolesterol plasma ini berlanjut terus atau tidak. Eliminasi
17
kolesterol dari tubuh terutama melalui ekskresi kolesterol bebas/fosfolipid dan
asam empedu melalui traktus biliaris. Dengan demikian, pada ikterus obstruktif
akan terjadi gangguan homeostasis kolesterol. Penelitian Dueland et al. (1991)
dengan mengikat duktus koledokus tikus Sprague-Dawley menunjukkan:
1) penurunan kadar dan fungsi enzim sitokrom P-450 di hati,
2) akumulasi asam empedu di hati,
3) peningkatan aktivitas enzim kolesterol 7 α hidroksilase,
4) peningkatan aktivitas enzim HMG-CoA reduktase serta peningkatan kadar
kolesterol plasma, dan
5) peningkatan ekskresi asam empedu melalui urin.
Dengan tidak adanya ekskresi cairan empedu ke dalam duodenum akibat
ikterus obstruktif, akan terjadi gangguan pada absorbsi lemak enteral. Pengaruh
pemberian fat emulsion enteral pada absorpsi lemak dilaporkan oleh Sato et al.
(1991). Sato membagi hewan percobaannya (tikus) atas kelompok ikterus
obstruktif dan non-ikterus obstruktif. Kepada kedua kelompok diberikan fat
emulsion dan unemulsified fat yang dilabel dengan 14C. Dengan mengukur kadar
14CO 2 melalui pernafasan dapat diukur penyerapan dari lemak melalui usus halus.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa absorpsi lemak (baik emulsified fat maupun
unemulsified fat) pada kelompok ikterus obstruktif lebih rendah dibanding
kelompok non-ikterus obstruktif.
Pengaruh Ikterus Obstruktif terhadap Mukosa Lambung
Kerusakan mukosa lambung akut dalam bentuk erosi atau ulkus
merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien-pasien dengan ikterus
obstruktif. Berbagai mekanisme patogenesis mengenai hal ini telah banyak
dilaporkan yang meliputi faktor-faktor lokal maupun sistemik. Faktor-faktor lokal
meliputi
keadaan
hiperasiditas
lambung,
berkurangnya
lapisan
mukus,
menurunnya kadar prostaglandin mukosa serta berkurangnya aliran darah mukosa.
Adapun yang termasuk faktor sistemik meliputi berkurangnya asupan lemak,
faktor infeksi serta peningkatan kadar bilirubin plasma (Mizumoto 1986).
Dalam mempertahankan integritas mukosa lambung terhadap berbagai
faktor agresif, baik yang berasal dari luar maupun yang berasal dari dalam, tubuh
memiliki berbagai faktor defensif antara lain lapisan mukus mukosa lambung,
18
bikarbonat, prostaglandin serta sirkulasi darah mukosa lambung. Dalam keadaan
normal terdapat keseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif. Apabila
faktor agresif lebih kuat daripada faktor defensif maka integritas mukosa lambung
terganggu diikuti dengan pembentukan erosi, ulkus bahkan tidak jarang terjadi
perdarahan dan perforasi (Makmun 2005).
Secara anatomis, struktur dari saluran cerna termasuk lambung terdiri dari
lapisan mukosa, submukosa, muskularis dan serosa. Lapisan mukosa terdiri dari
sel-sel epitelial yang didasari oleh lamina propria yang terdiri dari sel-sel
penunjang, pembuluh darah, pembuluh limfa, serat saraf enterik dan sel-sel sistem
imun yang meliputi sel mast, leukosit dan makrofag. Di bawah lamina propria
terdapat lapisan muskularis mukosa yang tipis. Lapisan submukosa terdiri dari
jaringan ikat padat yang mengandung serat-serta saraf enterik, pembuluh darah
dan pembuluh limfa, serta di bawahnya terdapat lapisan muskularis submukosa.
Bagian luar dari struktur anatomis saluran cerna adalah lapisan serosa yang terdiri
dari jaringan ikat yang longgar yang ditutupi oleh sel-sel skuamosa (Atuma 2000).
Dalam tiga dekade terakhir telah banyak dilakukan studi intensif mengenai
mekanisme defensif dari saluran pencernaan. Pendapat terkini mengenai
mekanisme defensif saluran pencernaan ini dikenal dengan the three levels of
gastrointestinal mucosal defense (Atuma 2000), yang membagi mekanisme
defensif ini menjadi 3 faktor yaitu faktor pre-epitelial, faktor epitelial dan faktor
sub-epitelial (Gambar 9).
Gambar 9. The three levels of gastrointestinal mucosal defense
(Dikutip dari Atuma 2000)
19
Faktor-faktor pre-epitelial disekresikan kedalam lumen saluran cerna,
terdiri dari mukus, bikarbonat, imunoglobulin dan laktoferin. Faktor-faktor
epitelial terdiri dari membran sel, jaringan ikat intraselular, membran plasma serta
restitusi yang merupakan proses perbaikan secara cepat dari sel-sel mukosa yang
rusak dengan cara migrasi sel-sel epitel yang normal ke tempat sel-sel epitel yang
rusak. Adapun faktor-faktor sub-epitelial terdiri dari aliran darah mukosa, sistem
saraf, berbagai mediator inflamasi seperti nitric oxide, berbagai eikosanoid seperti
prostaglandin, leukotrien dan tromboksan serta sel-sel sistem imun seperti
makrofag dan sel mast (Atuma 2000; Makmun 2005).
Lapisan mukus merupakan faktor defensif pertama dari saluran cerna
mulai dari lambung sampai dengan usus besar, melindungi mukosa saluran cerna
dari difusi zat-zat yang bersifat merusak, sebagai perangkap bagi mikroorganisme,
berinteraksi dengan sistem imun saluran cerna serta sebagai lubrikan. Mukus
merupakan senyawa yang kohesif yang terdiri dari air (merupakan bagian
terbesar)
dan
glikoprotein.
Fosfolipid
merupakan
unsur
utama
dalam
pembentukan dan kekuatan lapisan mukus (Slomiany dan Slomiany 1991; Atuma
2000) (Gambar 10). Keberadaan fosfolipid dalam lapisan mukus mukosa lambung
ini dapat melindungi mukosa lambung terhadap berbagai faktor agresif termasuk
obat-obatan golongan anti inflamasi nonsteroid seperti golongan coxib dan aspirin
(Anand et al. 1999; Lichtenberger et al. 2007).
Gambar 10. Skematik mukosa gaster (Dikutip dari Slomiany dan Slomiany 1991)
Prostaglandin merupakan salah satu eikosanoid, dibentuk dari asam
arakhidonat melalui aktivitas enzim cyclooxygenase (COX). Terdapat dua isoform
COX yaitu COX-1 dan COX-2. Peranan prostaglandin dalam ketahanan mukosa
20
lambung antara lain dengan merangsang sekresi mukus dan bikarbonat,
mempertahankan aliran darah mukosa yang optimal, meningkatkan ketahanan selsel epitelial terhadap pengaruh buruk sitotoksin, serta menghambat inflitrasi
leukosit pada saat terjadi proses inflamasi mukosa (Makmun 2005; Takeuchi et al.
2010).
PUFA merupakan sumber pembentukan fosfolipid dan prostaglandin,
disamping sebagai sumber sebagian energi tubuh. PUFA tidak bisa disintesis
dalam tubuh, sehingga satu-satunya sumber PUFA tubuh adalah diet sehari-hari.
Pada keadaan ikterus obstruktif terjadi gangguan absorpsi lemak terutama asam
lemak esensial, menyebabkan terganggunya absorpsi PUFA melalui usus. Jika
keadaan ini terus berlanjut, maka akan terjadi berbagai komplikasi terutama
terganggunya integritas membran sel, menurunnya berbagai respon biologis tubuh,
menurunnya pembentukan reseptor serta terganggunya pembentukan berbagai
eikosanoid termasuk prostaglandin (Popovic et al. 2009).
Pada Gambar 11 dijelaskan tentang peranan PUFA sebagai pembentuk
fosfolipid (fungsi struktural) melalui bantuan enzim fosfolipase, sebagai sumber
energi melalui katabolisme oksidatif, serta PUFA sebagai sumber pembentukan
prostaglandin melalui jalur asam arakhidonat. PUFA (dalam hal ini asam linoleat)
akan mengalami desaturasi menjadi asam linolenat, yang kemudian mengalami
elongasi menjadi asam dihomo-γ-linolenat, serta selanjutnya mengalami
denaturasi menjadi asam arakhidonat. Prostaglandin dibentuk dari asam
arakhidonat melalui bantuan enzim COX-1 dan COX-2. Prostaglandin yang
dibentuk melalui jalur COX-1 berperan penting pada upaya tubuh untuk
mempertahankan integritas mukosa saluran cerna, sementara itu prostaglandin
yang dibentuk melalui jalur COX-2 berperan dalam timbulnya edema, demam dan
rasa nyeri (Sessler dan Ntambi 1998; Makmun 2005; Coste et al. 2010; Takeuchi
et al. 2010).
21
Diet
Fosfolipid
PUFA
Katabolisme oksidatif
fosfolipase
(Sumber Energi)
(Fungsi Struktural)
Asam linoleat 18:2 ω-6
Desaturase D6
Asam linolenat C 18:3 ω-6
Elongase
Asam dihomo-γ-linolenat C20:3 ω-6
Desaturase D5
Asam arakhidonat
Cyclooxygenase
Prostaglandin
Lipoxygenase
Leukotrien
Gambar 11. Jalur metabolisme PUFA menjadi fosfolipid dan prostaglandin
(Diadaptasi dari Sessler dan Ntambi 1998; Coste et al. 2010)
Peranan prostaglandin dalam mekanisme patogenesis kerusakan mukosa
lambung akut pada keadaan ikterus obstruktif, dilaporkan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Nagahata et al. (1997) serta Aslan et al. (2007). Kedua penelitian
ini melaporkan terjadinya penurunan kadar prostaglandin E2 jaringan mukosa
lambung yang disertai dengan penurunan aliran darah mukosa lambung pada tikus
percobaan dengan ikterus obstruktif. Keadaan ini diikuti dengan terjadinya erosi
dan ulserasi pada tikus percobaan dengan ikterus obstruktif dibanding dengan
tikus kontrol.
Lauterbach et al. (1980) melakukan penelitian mengenai kerusakan
mukosa lambung akut pada tikus percobaan dengan ikterus obstruktif melalui
pengikatan duktus koledokus. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ulkus lambung
lebih sering terjadi pada tikus yang mengalami ikterus obstruktif dibanding
dengan tikus kontrol.
Sasaki et al. (1997) melakukan penelitian pada 240 ekor tikus yang dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok ikterus obstruktif (dengan pengikatan
22
duktus koledokus) dan kelompok kontrol (simple laparotomy). Dua minggu
setelah operasi, dilakukan prosedur water immersion restraint stress (WIRS).
Aliran darah mukosa lambung diukur dengan teknik hydrogen clearance.
Dilakukan juga pengukuran kadar lipid (fosfolipid) hidroperoksida (PCOOH)
dengan teknik kromatografi dikombinasi dengan teknik chemiluminescence serta
kadar glutation pada mukosa lambung dan hati dengan metode Akerboom. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan tingginya ulcer index dan penurunan aliran darah
mukosa lambung pada kelompok ikterus obstruktif dibanding kontrol. Begitu pula
pada kelompok ikterus obstruktif didapatkan kadar glutation yang rendah pada
hati serta mukosa lambung dan kadar lipid hidroperoksida yang tinggi pada
mukosa lambung dibanding kontrol. Pemberian glutation intraperitoneal dapat
meningkatkan kadar glutation mukosa lambung serta menurunkan ulcer index dan
kadar lipid hidroperoksida mukosa lambung. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
penurunan aliran darah mukosa lambung yang menyebabkan penurunan
metabolisme energi dan lipid hidroperoksida mempunyai peranan penting dalam
patogenesis terjadinya ulserasi gaster akut pada ikterus obstruktif.
Penelitian yang senada dilakukan oleh Ito et al. (1993) pada tikus yang
dibagi atas 4 kelompok, yaitu kelompok ikterus obstruktif (pengikatan duktus
koledokus), vagotomi, vagotomi dan ikterus obstruktif, dan kelompok kontrol.
Hasil penelitian ini menunjukkan:
1) pada kelompok ikterus obstruktif terdapat peningkatan ulcer index, penurunan
aliran darah mukosa lambung tanpa perubahan pH intragastrik, peningkatan
oxygen radical generating system (aktivitas XOD mukosa gaster dan asam
tiobarbiturat) dan oxygen radical scavenging system dibanding kontrol;
2) pada kelompok yang mengalami vagotomi terdapat peningkatan pH
intragastric dibanding kontrol, tanpa perubahan aktivitas oxygen radical
generating system dan oxygen radical scavenging system; dan
3) pada kelompok ikterus obstruktif dengan vagotomi memperlihatkan
penurunan ulcer index dan peningkatan aktivitas oxygen radical generating
system dan oxygen radical scavenging system tanpa perubahan pH intragastric
dibanding kelompok kontrol.
23
Penelitian ini menyimpulkan adanya peranan oxygen radical dalam patogenesis
terjadinya kerusakan mukosa lambung akut pada ikterus obstruktif.
Hal yang sama dilaporkan juga oleh Ljubuncic et al. (2000) yang
menemukan adanya penurunan kadar glutation dan peningkatan kadar peroksida
lipid pada plasma, ginjal, otak dan jantung tikus yang mengalami ikterus
obstruktif.
Glutation berperan dalam respon tubuh terhadap berbagai oxidative stress
pada mukosa lambung melalui pembentukan heat shock protein yang berperan
sebagai pelindung sel-sel epitel. Berkurangnya kadar glutation intraselular 10%,
dapat menghambat pembentukan heat shock protein tersebut yang bisa diikuti
dengan kerusakan mukosa lambung akut (Terano 1998).
Mizumoto et al. (1986) melaporkan mekanisme patogenesis lain terjadinya
kerusakan mukosa lambung akut pada ikterus obstruktif. Pada penelitiannya
dengan tikus percobaan yang mengalami pengikatan duktus koledokus, dilakukan
pengukuran kadar bilirubin plasma, pengukuran lapisan mukus mukosa lambung
secara biokimia maupun histokimia. Penelitian ini melaporkan bahwa peningkatan
kadar asam empedu plasma terutama asam taurokholat menyebabkan terjadinya
efek toksik langsung terhadap lapisan mukus mukosa lambung serta berkurangnya
lapisan mukus mukosa lambung sehingga terjadi erosi dan ulserasi.
Hal yang senada dilaporkan oleh Kameyama et al. (1984) melalui
penelitiannya pada anjing dengan ikterus obstruktif. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa peningkatan
kadar bilirubin
plasma terutama asam
taurokholat
menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas mukosa yang dapat mendasari
kerusakan mukosa lambung akut pada keadaan ikterus obstruktif.
Peningkatan permeabilitas mukosa saluran cerna pada keadaan ikterus
obstruktif diduga juga disebabkan karena faktor-faktor oxidative stress, serta
ketidakseimbangan pada proliferasi dan apoptosis sel-sel enterosit. Hal ini dapat
diikuti dengan keadaan endotoksemia yang akan meningkatkan mortalitas pasien
karena sepsis dan gangguan fungsi ginjal (Assimakopoulos et al. 2007).
24
Pengaruh Ikterus Obstruktif terhadap Fungsi Ginjal
Penelitian pada kelinci sebagai hewan model ikterus obstruktif yang
dilakukan oleh Hishida et al. (1982) memperlihatkan adanya penurunan perfusi
ginjal dan peningkatan kadar aldosteron plasma pada kelompok ikterus obstruktif
dibanding kontrol tanpa adanya retensi natrium. Pada kelompok ikterus obstruktif
juga tidak ditemukan adanya perubahan tekanan darah maupun perubahan laju
filtrasi glomerulus.
Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Kaler et al. (2004) pada tikus
percobaan berdasarkan atas asumsi bahwa ekskresi asam empedu melalui urin
akan meningkat pada ikterus obstruktif, sebagai bagian dari upaya tubuh untuk
mempertahankan homeostasis kolesterol. Hal ini terjadi beberapa hari setelah
obstruksi bilier. Hasil penelitian ini memperlihatkan peningkatan kadar asam
empedu plasma, peningkatan kadar asam empedu urin, perubahan gambaran
histologi ginjal serta penurunan fungsi ginjal 3-4 hari pasca pengikatan duktus
koledokus. Semua peubah ini kembali menjadi normal setelah kadar asam empedu
plasma dan urin menurun. Penelitian ini menunjukkan bahwa asam empedu
bersifat nefrotoksik.
Yuceyar et al. (1998) melaporkan bahwa pada ikterus obstruktif terjadi
keadaan gagal ginjal akut. Dengan mengukur kadar ureum dan kreatinin plasma,
kadar enzim xanthine oxidase (XOD), superoxide dismutase (SOD), catalase
dan glutathione peroxidase (GSH-Px) plasma pada tikus percobaan dengan
ikterus obstruktif dibanding dengan tikus kontrol dapat disimpulkan bahwa iskemi
ginjal yang terjadi pada keadaan ikterus obstruktif disebabkan oleh karena
terjadinya oxidant injury yang dapat berlanjut menjadi gagal ginjal.
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Tanaka et al. (2002),
Assimakopoulos dan Vagianos (2009) tentang penurunan fungsi ginjal pada tikus
percobaan dengan ikterus obstruktif, keduanya melaporkan hasil penelitian yang
hampir senada dengan laporan hasil penelitian Kaler et al. (2004). Gangguan
fungsi ginjal akut pada keadaan ikterus obstruktif disebabkan peningkatan kadar
empedu dalam sirkulasi darah yang bersifat nefrotoksik, disamping adanya
peranan endotoksemia. Jika obstruksi berkelanjutan, dapat terjadi kerusakan hati
lanjut (sirosis bilier) yang dapat mencetuskan terjadinya sindrom hepatorenal.
25
Sepsis pada Ikterus Obstruktif
Obstruksi sistem bilier berkelanjutan dapat menimbulkan keadaan sepsis,
serta dalam jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya fibrosis hati dengan
patogenesis yang belum sepenuhnya dimengerti. Salah satu faktor yang diduga
berperan dalam hal tersebut adalah peranan kemotaksis netrofil yang diduga
dirangsang oleh cairan empedu sendiri yang mengandung sitokin dan endotoksin.
Beberapa penelitian mengenai hal ini antara lain dilakukan oleh Shibatani et al.
(2002) yang melaporkan adanya peningkatan kemotaksis netrofil pada tikus yang
mengalami pengikatan duktus koledokus, dengan mengukur kadar interleukin 8
yang telah diketahui sebagai chemoattractant. Tindakan drainase bilier dapat
menurunkan aktivitas netrofil, sehingga dapat mencegah timbulnya komplikasi
sepsis.
Di sisi lain, Saito dan Maher (2000) melaporkan adanya infiltrasi netrofil
pada jaringan hati dari tikus yang mengalami ikterus obstruktif, serta menemukan
adanya peningkatan kadar cytokine induced neutrophil chemoattractant (CIMC)
dalam darah. Hal ini menunjukkan adanya peranan netrofil dalam patogenesis
terjadinya kerusakan jaringan hati pada ikterus obstruktif.
Penelitian yang sama mengenai kemotaksis netrofil pada tikus percobaan
juga dilakukan oleh Tsuji et al. (1999) dengan hasil yang sama bahwa
peningkatan aktivitas netrofil bertanggung jawab atas respons inflamasi pada
ikterus obstruktif.
Keadaan sepsis merupakan komplikasi yang sering bersifat fatal pada
ikterus obstruktif. Hal ini diduga karena adanya gangguan homeostatic
environment dari gut-liver-axis. Saluran cerna merupakan sumber dari banyak
bakteri gram negatif dalam tubuh, sementara itu integritas dari barier mukosa
saluran cerna dapat mencegah terjadinya translokasi dari bakteri tersebut. Dalam
keadaan ikterus obstruktif (seperti halnya dalam keadaan obstruksi usus,
perdarahan, infeksi, trauma dan luka bakar) terjadi kerusakan pada integritas
mukosa saluran cerna, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya translokasi
bakteri dan endotoksin. Pada tahun 1996, Clements et al. melakukan penelitian
tentang endotoksemia pada ikterus obstruktif dengan mengukur kadar endotoksin
plasma dan translokasi bakteri pada dinding usus (baik secara kuantitatif maupun
26
kualitatif) pada tikus percobaan. Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan
kadar endotoksin plasma serta translokasi bakteri secara bermakna pada dinding
kolon dan ileum terminal. Dua tahun kemudian (1998), Clements et al.
melaporkan adanya peningkatan endotoksin pada tikus yang mengalami ikterus
obstruktif dengan mengukur anticore glycolipid antibody (ACGA) dengan
menggunakan teknik enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Hal senada
dilaporkan oleh Abdeldayem et al. (2007) dan Assimakopoulos et al. (2007). Ada
4 faktor yang diduga berperan dalam fenomena ini:
1) penurunan sistem imun tubuh,
2) disfungsi barier intestinal,
3) overgrowth flora intestinal, dan
4) endotoksemia.
Peranan defisiensi arginin dalam patogenesis terjadinya penurunan sistem
imun selular pada ikterus obstruktif dilaporkan oleh Houdijk et al.
Dengan
menggunakan
tikus
sebagai
hewan
percobaan,
(1997).
penelitian
ini
menunjukkan adanya defisiensi arginin yang disebabkan karena peningkatan
aktivitas enzim arginase plasma akibat peningkatan kadar endotoksin. Arginin
adalah salah satu asam amino yang sangat berperan dalam fungsi limfosit. Pada
penelitian ini juga dilaporkan bahwa kolestiramin dapat mencegah terjadinya
defisiensi arginin dengan menurunkan aktivitas enzim arginase plasma melalui
pengikatan terhadap endotoksin.
Zhou et al. (1992) meneliti tentang peranan platelet activating factor
(PAF) pada patogenesis terjadinya inflamasi dan endotoksemia pada tikus yang
mengalami ikterus obstruktif.
Penelitian ini menunjukkan:
1) adanya hubungan antara endotoksemia dengan peningkatan kadar PAF plasma,
dan
2) adanya peranan PAF dalam kerusakan jaringan hati serta hubungan antara
PAF dengan mediator inflamasi lainnya.
27
Gangguan Hemostasis pada Ikterus Obstruktif
Sebagai bagian dari fungsi sintesis protein dari hati, berbagai faktor
koagulasi (fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X, XI, XII, XIII,
prekalikrein), natural anticoagulant (anti-trombin III, heparin, kofaktor II, Protein
C dan Protein S) serta faktor fibrinolitik diproduksi di dalam hati. Oleh sebab itu
pada penyakit hati yang berkepanjangan (karena obstruksi atau penyakit parenkim
hati) akan terjadi gangguan hemostasis. Menurunnya faktor-faktor koagulasi
akibat kerusakan hepatosit diperberat dengan adanya penurunan absorpsi vitamin
K (yang larut dalam lemak) karena tidak adanya cairan empedu dalam usus pada
keadaan ikterus obstruktif. Dalam keadaan ini terjadi penurunan sintesis faktorfaktor koagulasi yang vitamin K dependent yaitu faktor II, VII. IX, X, protein C,
protein S dan anti-trombin III), yang akan memperburuk sistem koagulasi. Faktor
lain yang diduga turut berperan pada gangguan hemostasis dalam keadaan ikterus
obstruktif adalah adanya translokasi bakteri. Dalam keadaan ini translokasi bakteri
dan endotoksin melewati barier mukosa lambung akan mencapai kelenjar getah
bening mesentrium atau jaringan tubuh yang lebih jauh yang menyebabkan
timbulnya respons inflamasi sistemik yang pada akhirnya akan mengganggu
sistem koagulasi melalui penurunan produksi tissue factor (Clarke et al. 2006;
Papadopoulos et al. 2007). Gangguan hemostasis ini pada akhirnya akan
memperberat terjadinya perdarahan yang diakibatkan oleh adanya kerusakan
mukosa lambung akut pada keadaan ikterus obstruktif.
Hewan Model
Penelitian mengenai ikterus obstruktif dengan menggunakan hewan model
telah banyak dilakukan dengan menggunakan tikus, anjing atau kelinci. Keadaan
ikterus obstruktif pada hewan-hewan model ini terjadi setelah dilakukan
pengikatan duktus koledokus. Pada hewan model tikus, umumnya dilakukan
berbagai observasi yang bersifat jangka pendek, karena keadaan tikus akan segera
memburuk jika tidak dilakukan drainase bilier. Observasi yang agak lama dalam
keadaan ikterus obstruktif dilakukan pada kelinci dan anjing. Pada keadaan ini,
selain dilakukan evaluasi fisik dan biokimiawi, dapat dilakukan juga evaluasi
perubahan histopatologik jaringan seperti ginjal dan hati. Hal ini memungkinkan
28
untuk dilakukan, karena kedua hewan model ini dapat bertahan lebih lama dalam
keadaan ikterus obstruktif sebelum dilakukan drainase bilier (Hishida et al. 1982;
Fraser et al. 1989).
Penggunaan satwa primata dalam penelitian biomedis, khususnya ikterus
obstruktif didasari atas kenyataan bahwa karakteristik fisiologi satwa primata
hapir sama dengan manusia. Begitu pula anatomi tubuh khususnya saluran cerna
hampir sama dengan saluran cerna manusia. Di sisi lain, pola nutrisi yang
dibutuhkan satwa primata umumnya tak jauh berbeda dengan yang dibutuhkan
manusia (Napier dan Napier 1985, Fleagle 1996; Nishizono dan Fuioka 2005).
Keuntungan lain dari penggunaan satwa primata pada penelitian ini, bahwa hewan
ini mudah diperoleh di negara kita (tidak harus diimpor dari luar negeri), mudah
di handle (dikelola) dengan fasilitas yang kita sediakan, serta jumlah hewan
model yang akan digunakan memungkinkan untuk dikelola oleh peneliti. Dengan
menggunakan hewan model satwa primata pada penelitian ini diharapkan dapat
dilakukan
berbagai
observasi,
baik
secara
fisik,
biokimiawi
histopatologik jaringan sehingga dapat menjawab tujuan penelitian.
maupun
Download