perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KAJIAN TEORI
1. Kecemasan
Kecemasan adalah reaksi rasa khawatir, takut manusia yang tidak jelas
sebabnya, meskipun
kecemasan perioperatif dianggap bagian normal dari
pengalaman bedah. Kecemasan memicu respon stres fisiologis, dan dapat
menghambat
penyembuhan luka, meningkatkan kebutuhan untuk anestesi,
meningkatkan resiko pada anestesi ,meningkatkan kebutuhan obat nyeri pasca
operasi serta dapat mempengaruhi pemulihan pasca operasi misalnya dengan
memperlambat pernapasan, meningkatkan risiko komplikasi pada paru,
penurunan aktivitas yang dapat meningkatkan risiko thrombosis ( Grieve,
2002; Stirling, et al., 2007; Spaulding, 2003).
Starkweather et al., (2006) menemukan bahwa pasien yang menjalani
operasi tulang belakang mengalami tingkat stres yang tinggi terlepas dari ruang
lingkup operasi. Stres tinggi dan kecemasan yang berhubungan dengan
penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh yang diukur dengan tingkat aktivitas
sel pembunuh alami dan interleukin-6.
Kagan dan Bar-Tal (2008) menemukan bahwa ketidakpastian pada
pra operasi dan kecemasan mempengaruhi pemulihan jangka pendek. Kedua
variabel terbukti memiliki efek negatif pada gejala dan pemulihan fisik pasca
operasi serta kesehatan mental secara keseluruhan. Banyak faktor yang dapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
berkontribusi terhadap tingkat kecemasan pasien bedah, serta faktor-faktor ini
dapat memiliki efek kumulatif. Seringkali, operasi dikaitkan dengan hilangnya
kontrol, takut nyeri pasca operasi dan terdapat perubahan dalam tubuh.
a. Respon Neuro endokrin terhadap stress
Efektor utama respon stres adalah corticotrophin-releasing hormone
(CRH) dan lokus coeruleus-norepinefrin (LC-NE) / sistem simpatis, CRH dan
neuron noradrenergik merangsang satu sama lain dalam mekanisme umpan
balik positif, sehingga aktivasi satu sistem menyebabkan aktivasi yang lain (
Calogero et al.,1988).
CRH adalah peptida 41-asam amino yang ditemukan dalam hipotalamus
dan banyak daerah otak lainnya, kelenjar adrenal, plasenta, ovarium, limfosit
dan pada tempat inflamasi. Sitokin dan mediator inflamasi merangsang
hipotalamus melepaskan
CRH,
yang
mengarah ke
sekresi
hipofisis
adrenocorticotrophic (ACTH) hormon ke dalam sirkulasi yang pada gilirannya,
menyebabkan produksi dan pelepasan glukokortikoid adrenal. Respon
adrenocorticosteroid ini mengontrol respon imun dengan menghambat produksi
sitokin lebih lanjut (Karalis et al., 1991;Trainer et al., 1995).
Vasopressin arginin (AVP) sendiri memiliki sedikit efek pada sekresi
ACTH, tetapi bertindak secara sinergis dengan CRH u ntuk membantu
pelepasan hipofisis ACTH dan hipotalamus proopiomelanocortin (POMC) derived peptida opioid release. Peptida ini, se
-endorphin dan dynorphin,
meningkatkan analgesia dan dengan ACTH, menghambat respon stres dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
menghambat sekresi CRH hipotalamus lebih lanjut. CRH, AVP, dan neuron
noradrenergik dirangsang oleh serotoninergik dan sistem kolinergik otak dan
dihambat oleh asam-benzodiazepine gamma-aminobutyric (GABA-BDZ) dan
sistem opioid peptida otak, maupun oleh glukokortikoid (Lamberts, 1984;
Burns et al., 1989).
Berbeda dengan efek sentralnya, CRH dan AVP memiliki efek proinflamasi pada tempat peradangan, di mana sel-sel kekebalan tubuh dan
eksudat inflamasi mengandung konsentrasi tinggi dari immunoreactive CRH
dan reseptor CRH (Ekman et al., 1993; Karalis et al., 1991).
CRH telah terdeteksi dalam cairan sinovial pasien dengan rheumatoid
arthritis, dan dalam sel folikel tiroid pasien dengan thyroiditis autoimun,
tingkat CRH di lokasi inflamasi akan naik menjadi konsentrasi yang sama
dengan yang ditemukan dalam sistem portal hypophyseal, absorpsi yang cepat,
katabolisme dapat menjelaskan gradien ini. Dengan demikian, CRH memiliki
efek pro-inflamasi pusat anti-inflamasi dan lawan perifer (Crofford et al., 1993;
Scopa et al., 1994).
Sitokin yang ditemukan dalam sistem saraf pusat memainkan peranan
penting dalam sel saraf, Sistem saraf pusat manusia mengandung jalur neuronal
dan reseptor untuk sitokin (misalnya IL-1) di daerah-daerah yang mengontrol
respons fase akut. Sebagian sitokin
mempunya molekul besar yang tidak
diharapkan untuk menyeberangi penghalang darah-otak dengan mudah.
Namun, IL-1 merangsang produksi prostaglandin sel endotel (PGE2, PGI2),
yang pada gilirannya merangsang sekresi CRH dari terminal saraf di eminensia
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
median, yang terletak di luar sawar darah otak, IL-1 dapat melintasi sawar
darah otak di bagian yang relatif bocor, seperti vasculosum organum dari
lamina terminalis, atau selama keadaan penyakit seperti infeksi atau
peradangan yang dapat merusak penghalang. IL-1 juga mungkin menandakan
sentral melalui utusan sekunder seperti oksida nitrat dan prostaglandin, atau
melalui vagus dan lainnya nerves. IL-1, IL-6, dan TNF, serta sitokin lain,
mengaktifkan HPA-axis, tapi efek ini dapat diblokir oleh glucocorticoids (
Brenneman et al., 1992 Ericsson et al., 1995 Sternberg et al., 1992).
2. Interleukin-6 (IL-6)
Interleukin-6 (IL-6) adalah sitokin yang
disintesis oleh sel fagosit
mononuklear, sel endotel vaskuler, fibroblast, dan sel yang lain sebagai
respons terhadap rangsangan lipopolisakarida pada infeksi bakteri mempunyai
berat molekul 26 kD (Maat, 2012). Ekspresi IL-6 diinduksi oleh stimulasi
sitokin (IL-1, IL-10, TNF-
platelet-derived growth factor (PDGF)),
infeksi bakteri dan virus, serta komponen mikrobial seperti lipopolisakarida
(LPS).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
Gambar 2.1. Struktur IL(kuning) dan D (biru), dihubung oleh loop (abu-abu) (Heinrich et al., 1998).
Aktivitas IL-6 ini sangat bervariasi karenanya makna biologis IL-6
didasarkan pada istilah yang digunakan untuk menjelaskan hal ini seperti
hepatocite stimulating factor, cytokine T cell
differential factor, B cell differential factor dan B cell stimulatory factor 2. IL6 merangsang proses inflamasi melalui ekspansi dan aktifitas sel T,
diferensiasi sel B dan induksi acute-phase proteins pada hepatosit (Jones et
al., 2001).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
Tabel 2.1. Karakteristik Interleukin-6 (IL-6).
Tempat sintesis
Jaringan Darah, kartilago, sumsum tulang, kulit, paru-paru,
sistem saraf pusat
Sel
Monosit, makrofag, sel endotel, fibroblast,
sel T, CH, sinoviosit, osteoblast, sel kupfer, sel otot
Stimulator
IL-
-
-
Inhibitor
Glukokortikoid, estrogen, IL-4, IL-10
Respons
Hemopoisis
Diferensiasi dan proliferasi sel B dan sel T
Stimulasi proliferasi keratinosit dan mesangial
Regulasi sintesis APP
Regulasi TMP-1
Stimulasi produks ACTH
Kompleks reseptor yang memediasi aktifitas biologi IL-6 terdiri dari dua
glikoprotein trans-membran: subunit molekul dengan BM 80 kD reseptor (IL-6R)
dan satu molekul dengan BM 130 kDa yang merupakan elemen transduksi sinyal
(gp130). Ekspresi gp130 ditemukan hampir pada semua organ. Distribusi soluble
IL-6R terbatas dan ekspresi yang dominan ditemukan di hepatosit dan subpopulasi
lekosit (monosit, netrofil, sel T dan sel B). Molekul gp130 awalnya diidentifikasi
sebagai komponen transduksi sinyal dari IL-6, kemudian sebagai reseptor
transmisi aktifasi sinyal bersama IL-11 pada leukemia inhibitory factor (LIF),
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
oncostatin M (OSM), ciliary neurotrophic factor (CNTF), cardiotrophin-1 (CT1) dan cardiotrophin-like cytokine (CLC) dan novel neutrophin-1/ B cell
stimulating factor 3 (Jones et al., 2001).
Pola rekruitmen leukosit diawali dengan masuknya neutrofil kenudian
diikuti dengan clearance dan pergantian dengan populasi sel mononuklear yang
dapat bertahan lebih lama. Infiltrasi netrofil dikontrol IL-6 namun rentan
dihambat oleh sgp130. Peningkatan soluble IL-6R berkorelasi dengan tingkat
infiltrasi netrofil dan secara in vitro aktivasi netrofil dengan C-reaktive protein
(CRP), kemokin inflamasi dan bahan kemotaktik lainnya menyebabkan IL-6R
yang melimpah. Keberadaan neutrofil infiltrat selanjutnya mendorong IL-6
transsignaling pada sel dan mengarah transisi dari neutrofil ke rekruitmen sel
mononuklear (Jones et al., 2001).
Transisi sistem imun natural menjadi adaptif tidak hanya didorong oleh
kontrol rekruitmen leukosit menuju kemokin, tetapi juga oleh aktivasi apoptosis
leukosit yang efesien. Perubahan pada respons apoptosis menyebabkan penundaan
clearance neutrofil dan retensi populasi sel mononukler aktif dalam jaringan.
Beberapa penelitian menekankan peran IL-6 dalam mengontrol kejadian apoptosis
tersebut. IL-6 in vitro menyelamatkan sel T dari apoptosis dan melindungi sel dari
kematian sel yang diperantarai Fas. Kejadian ini dikontrol oleh STAT3, yang
mendorong ekspresi regulasi anti-apoptosis (Bcl-2, Bcl-x1) dan memodulasi
ekspresi Fas permukaan. IL-6 trans-signaling mendorong apoptosis neutrofil
melalui mekanisme caspase-3 (Jones et al., 2001).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
IL-
cytotoxic T cell differential factor, B cell
differential factor dan B cell stimulatory factor 2. IL-6 sebagai regulator dominan
dalam proliferasi, diferensiasi, survival sel T dan sekresi imunoglobulin oleh sel
B. Defisiensi IL-6 tidak dapat dikaitkan dengan besarnya diferensiasi fenotipe dan
komposisi subset sel T dan induksi inflamasi akut tidak akan mempengaruhi
aktivasi populasi sel T, ada trans-signaling IL-6 sebagai mekanisme utama dalam
regulasi IL-6 in vitro (Jones et al., 2001).
IL-6 merupakan faktor induksi utama pada diferensiasi sel B fase terminal,
berperan penting pada respons sel T terhadap antigen dan pembentukan sel T
sitotoksik, meningkatkan respons timosit terhadap rangsangan IL-1 dan IL-4. IL-6
berperan mempercepat masuknya sel ke dalam fase G1 pada siklus sel. IL-6 juga
berperan memicu produksi ACTH dan merangsang pembentukan glukokortikoid
(Jones et al., 2001).
IL-6 dilepaskan dari beberapa tempat dan dipengaruhi berbagai keadaan,
disekresi oleh sel imun, adiposit dan sel endotel. Peran IL-6 telah diketahui pada
keadaan inflamasi kronis minimal, obesitas, diabetes dan penyakit kardiovaskular,
serta pada infeksi dan sepsis (Guzman et al., 2010).
Kadar IL-6 plasma pada individu sehat yang bebas dari reaksi inflamasi
sangat rendah, yaitu 0,2-7,8 pg/mL, kadar normal IL-6 dalam plasma adalah 8500 pg/mL, sedangkan pada sepsis dapat meningkat tinggi mencapai konsentrasi
1600 pg/mL. IL-6 adalah stimulator poten dari sekresi ACTH dan kortisol, ini
mungkin akibat dari IL-6 yang diinduksi sekresi AVP, yang bertindak sinergis
dengan CRH untuk menghasilkan konsentrasi lebih tinggi dari level ACTH, IL-6
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
juga dapat bertindak langsung pada hipofisis dan kelenjar adrenal, dan
mensensitisasi adrenal (Spath Schwalbe et al., 1998; Mastorakas, 1993). Pada
dosis tinggi, IL-6 meningkatkan kadar AVP plasma yang mungkin memainkan
peran dalam SIADH.
3. Alprazolam
Alprazolam,
8-kloro-1-metil-6-fenil-4H-s-triazolo
benzodiazepine, adalah turunan yang
[4,3-á]
(1,4)
digunakan dalam pengobatan berbagai
gangguan, termasuk serangan panik, kecemasan umum, dan depresi. Sejak
diperkenalkan pada tahun 1960, alprazolam menjadi salah satu obat yang
paling banyak digunakan di Amerika Serikat dan saat ini yang paling sering
digunakan sebagai obat psikoaktif (Verster dan Volkerts, 2004).
a. Farmakologi klinis
Alprazolam adalah analog 1,4-triazolobenzodiazepine. Struktur
kimia alprazolam berbeda dengan benzodiazepin klasik seperti diazepam
dengan adanya cincin triazol. Greenblatt dan rekannya mempelajari
farmakokinetik alprazolam selama tahun 1980 dan 1990. Pada 1 sampai 2
jam setelah pemberian (Tmax) dari 1 mg dosis tunggal alprazolam
konsentrasi plasma puncak (Cmax) berkisar antara 12 dan 22 mcg/ L,
volume distribusi (VD) 0,8-1,3 L/kg waktu paruh (t1/2) 9-16 jam dan 0,71,5 mL/ min/ kg. Setelah pemberian oral, sekitar 90% dari alprazolam
diserap dan terikat pada protein plasma (fraksi terikat alprazolam adalah
sekitar 30%). Tingkat penyerapan independen dari dosis yang diberikan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
Namun, kadar plasma alprazolam (dan metabolitnya) linear dengan dosis
yang diberikan (Ciraulo et al., 1990).
Alprazolam dimetabolisme di hati oleh mikrosomal oksidasi hati.
Proses ini dimediasi oleh isoform sitokrom P4503A (CYP3A4). Hingga kini
29 metabolit alprazolam telah diidentifikasi. Dua metabolit prinsip
Alprazolam yaitu 4-hidroksi alprazolam dan á-hidroksi alprazolam yang
menunjukkan afinitas reseptor benzodiazepine jauh lebih sedikit daripada
alprazolam. Oleh karena itu, metabolit ini mungkin berkontribusi pada efek
klinis dari alprazolam. Sekitar 80% dari alprazolam diekskresikan oleh
ginjal dengan bentuk yang tidak berubah (Verster dan Volkerts, 2004).
b.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Farmakokinetik dari Alprazolam
Perbandingan farmakokinetik alprazolam (1 mg) setelah rute oral
dan sublingual pada 12 sukarelawan pria sehat menunjukkan bahwa tingkat
plasma puncak dicapai secara signifikan secara sublingual (2,8 jam)
dibandingkan setelah pemberian oral (1,8 jam)., Studi lain oleh penulis yang
sama melaporkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Farmakokinetik
setelah pemberian intravena tidak berbeda dari setelah pemberian oral,
kecuali untuk Tmax (0,48 h) setelah pemberian intravena (250). timbulnya
sedasi pada pemberian alprazolam lebih cepat secara intravena (10 sampai
20 menit) dibandingkan pemberian oral (40 menit) (Scavone et al., 1987;
Scavone et al., 1992).
Farmakokinetik alprazolam tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin
atau siklus menstruasi (Kirkwood et al, 1991). Namun, kontrasepsi oral telah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
dilaporkan mempengaruhi farmakokinetik alprazolam (Kroboth et al., 1985).
Pada wanita hamil alprazolam tampaknya meningkatkan risiko kelainan
kongenital bila digunakan selama trimester pertama (Iqbal et al., 2002).
Alprazolam dan 4-hydroxy-alprazolam telah ditemukan dalam
ASI, Farmakokinetik alprazolam dalam ASI adalah mirip dengan dengan
yang terdapat di plasma darah wanita menyusui, menunjukkan alprazolam
yang mudah melewati sawar darah-susu. Oleh karena itu, alprazolam
diklasifikasikan sebagai obat kategori kehamilan D dan menyusui
disarankan untuk berhenti menyusui jika sedang konsumsi alprazolam. Pada
lansia, kadar plasma puncak alprazolam lebih tinggi daripada di dewasa
muda (Oo CY et al., 1995).
Karena alprazolam dimetabolisme di hati, pasien dengan penyakit
hati harus hati-hati dan dipantau ketika di obati dengan alprazolam.
Pembersihan alprazolam secara signifikan berkurang dan waktu paruh
eliminasi meningkat secara signifikan pada pasien dengan sirosis hati (Juhl
et al., 1984).
Penyakit ginjal juga dapat menyebabkan akumulasi alprazolam dan
metabolitnya. Peningkatan kadar alprazolam bebas telah dilaporkan pada
pasien yang menerima baik hemodialisis atau berkelanjutan Dialisis
Peritoneal Ambulatory (CAPD) dibandingkan dengan kontrol yang sehat
(Schmith et al., 1991).
Pasien CAPD juga menunjukkan kecenderungan untuk meningkat
pada Tmax, clearance dan eliminasi berkepanjangan dari waktu paruh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
alprazolam. Metabolism secara signifikan diperlambat oleh obesitas,
sedangkan merokok telah dilaporkan dapat mempercepat eliminasi
alprazolam ( Otani K et al., 1997).
.
Obat yang menghambat enzim sitokrom P450 cenderung
mengubah
farmakokinetik
alprazolam.
Inhibitor
CYP3A4
dapat
meningkatkan waktu paruh eliminasi dan meningkatkan konsentrasi puncak
plasma obat ini, sedangkan obat lain dapat meningkatkan metabolisme
alprazolam (Verster dan Volkerts, 2004).
c. Cara Kerja Obat
Alprazolam mudah melintasi sawar darah otak dan memasuki
sistem saraf pusat. Meskipun mekanisme yang tepat benzodiazepin tidak
diketahui secara pasti, alprazolam berikatan non selektif dengan reseptor
gamma-amino butirat Acid (GABA)
benzodiazepine kompleks.
Kebanyakan reseptor GABA terdiri dari tiga kelas subunit dengan
beberapa varian (A1-6, â1-3, ã1-3). Reseptor benzodiazepin dapat
dibedakan pada struktur subunit mereka: tipe 1 reseptor terdiri dari subunit
á1â1-3ã2 sedangkan tipe 2 reseptor memiliki subunit á2,3,5â1-3ã2. Makna
fungsional subunit ini adalah masih dalam penyelidikan, tetapi telah
ditetapkan bahwa sedasi dan amnesia anterograde dimediasi oleh subunit
A1, sedangkan subunit A2 memediasi efek anxiolytic (Verster dan
Volkerts, 2004).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
Subunit benzodiazepin a1 banyak ditemukan di otak kecil dan
densitas rendah dalam hippocampus. Subunit benzodiazepin A2 banyak
terdapat di hippocampus, striatum, dan sumsum tulang belakang. Di
kompleks reseptor, alprazolam memfasilitasi pengikatan GABA dan
meningkatkan masuknya ion klorida. GABA akan menghambat aksi dari
beberapa struktur otak. GABA berikatan secara nonselektif pada 30%
sinapsis otak. Penghambatan GABA akan menghambat aktivitas otak
secara umum, hal ini dikenal sebagai obat penenang. Selanjutnya, sistem
GABA berinteraksi dengan sistem neurotransmitter lain, termasuk
noradrenergik, serotonergik, kolinergik, dan sistem opioidergic. Terutama
interaksi alprazolam dengan serotonergik dan noradrenergik jalur ke
sistem limbik dan struktur batang otak (misalnya, locus coeruleus)
berkontribusi terhadap efektivitas klinis dalam pengobatan kecemasan dan
depresi (Verster dan Volkerts, 2004).
d. Efek Samping
Sebuah studi di Inggris, yang melibatkan hampir 10.000 pasien
yang diobati dengan alprazolam, melaporkan tidak ada efek samping yang
serius. Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah mengantuk dan
sedasi (Edwards et al., 1991). Sebuah tinjauan literatur termasuk 3.574
pasien yang berpartisipasi dalam studi obat-dikendalikan aktif melaporkan
hasil yang sama. Pasien yang
menggunakan alprazolam melaporkan
meningkatnya efek merugikan khas benzodiazepin, seperti sedasi,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
kelelahan, kelemahan, masalah memori, ataksia dan bicara cadel (Jonas et
al., 1993).
B. PENELITIAN YANG RELEVAN
1. Hasil penelitian De Witte et al., (2002) menunjukkan Alprazolam 0,5 mg
yang diberikan secara oral dapat mengurangi kecemasan pasian ambulatory
surgery.
2. Starkweather et al., (2006) menemukan bahwa pasien yang menjalani
operasi tulang belakang mengalami tingkat stres yang tinggi terlepas dari
ruang lingkup operasi. Stres tinggi dan kecemasan yang berhubungan
dengan penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh yang diukur dengan
tingkat aktivitas NK cell dan interleukin-6.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
C. KERANGKA BERPIKIR
1. Kerangka Teori
Sistem Saraf Pusat
Locus Coeruleus
Nor Epinefrin
Enkephalin
Hipotalamus
Tablet
Alprazolam 0,5mg
CRH
AVP
Kelenjar Hipofise
ACTH
Sistem Saraf
Perifer
Nor Epinefrin
Epinefrin
Enkephalin
Kelenjar Adrenal
Medula
Korteks
Nor Epinefrin
Epinefrin
Enkephalin
Kortisol
TH 1
IL-2
INF
Gambar 2.2 Kerangka teori
commit to user
TH 2
IL-4
IL-5
IL-6
IL-10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
2. Kerangka konsep
Kecemasan preoperatif
Pemberian alprazolam
Tanpa pemberian
alprazolam
Sekresi
Sekresi
- CRH
- CRH
- ACTH
- ACTH
Sekresi IL-6
Sekresi IL-6
D. HIPOTESIS
Ada pengaruh pemberian premedikasi Alprazolam terhadap penurunan kadar IL-6
serum pada pasien perioperatif..
commit to user
Download