OPINI Perlukah Kekuatan Hukum yang Memaksa dalam Program Penanggulangan TB? Anjang Kusuma Netra UPT Puskesmas Penumping, Surakarta Dokter di puskesmas hampir setiap hari disibukkan dengan program-program pemberantasan penyakit menular. Salah satu yang tetap menjadi masalah besar, walaupun programnya sudah berjalan lama adalah Program Penanggulangan TB (P2TB). Saat ini, program ini telah diperluas dengan PMDT. Penanggulangan TB di Indonesia Penanggulangan TB sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Sesuai dengan pemahaman tentang penanganan TB saat itu (akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, saat antibiotik belum ditemukan), yang menekankan peningkatan sistem kekebalan tubuh pasien dengan istirahat, lingkungan yang baik dan nutrisi yang adekuat, dibangunlah sanatorium di beberapa tempat di Indonesia. Vereeniging voor Tuberculose Bestrijding (CVT) bentukan Pemerintah Hindia Belanda di tahun 1908, mendirikan 15 sanatorium besar dan kecil dan 20 biro konsultasi (CB) yang tersebar terutama di Pulau Jawa. Tempat yang dipilih biasanya adalah dataran tinggi karena menurut pemahaman saat itu, udara pegunungan yang bersih dan dingin adalah terapi terbaik penyakit paru. Di antaranya adalah Sanatorium Pakem di Kaliurang, Yogyakarta yang pernah menjadi tempat merawat Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Cornel Simanjuntak; Sanatorium Cisarua di Bogor yang dibangun bulan November 1938 dan saat ini menjadi Rumah Sakit Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo; Sanatorium Dungus di Madiun yang berdiri tahun 1939; Sanatorium Batu di Malang; Sanatorium Batu Raden dan beberapa tempat lain. Strategi DOTS sendiri proyek percontohannya sudah dimulai sejak tahun 1995; diterapkan secara nasional sejak tahun 2000. Setelah 10 tahun, 98% puskesmas dan 38% RS telah dikembangkan untuk melaksanakan DOTS. Tetapi muncul masalah baru, yaitu kasus TB yang kebal dengan OAT menurut strategi DOTS, atau yang disebut MDR TB. CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011 Angka MDR TB di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu 2% untuk kasus baru yang belum mendapatkan pengobatan dan 19% untuk kasus yang sudah mendapatkan pengobatan. Tetapi mengingat tingginya angka kasus baru TB di Indonesia - 528.063 kasus baru di tahun 2007, maka ancaman resistensi sesungguhnya cukup tinggi. Setidaknya 1 dari 5 pasien yang pernah berobat TB dan kembali sakit adalah pasien yang sudah kebal OAT. Mengapa timbul MDR TB? Penyebab utama MDR TB adalah pengobatan yang tidak adekuat (USAID). Kasus putus berobat dan misuse dari obat lini kedua di RS juga berkontribusi pada peningkatan MDR TB. PMDT di Surakarta PMDT atau Programmed Management on Drug-resistant TB adalah program lanjutan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy) dalam penanggulangan tuberkulosis (TB) yang bertujuan mengurangi dampak kasus TB MDR (Multi Drug Resistance) atau kasus TB yang basil M. tuberculosis-nya telah resisten terhadap INH dan Rifampisin (dua regimen utama obat anti tuberkulosis /OAT lini pertama dalam strategi DOTS). Dalam bahasa sederhana, program untuk menangani pasien TB yang sudah kebal terhadap obat yang biasa digunakan. Kota Surakarta sudah melaksanakan strategi DOTS untuk menangani TB di semua puskesmas, RS negeri dan RS swasta. Penemuan kasus sudah cukup tinggi (sekitar 90%, melebihi target nasional 70%). Mungkin ini salah satu alasan penunjukan Kota Surakarta (Solo) untuk Pilot Project PMDT bersama 4 kota lain di seluruh Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, Malang dan Makassar. Pembagian peran UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) dalam PMDT ini, yaitu UPK Satelit 1 yang berfungsi menemukan kasus suspect (dugaan) MDR dan palacakan pasiennya, termasuk Puskesmas Penumping tempat penulis bekerja, bersama puskesmas non rawat inap lain, dan beberapa RS swasta di Solo. UPK Satelit 2 meliputi puskesmas rawat inap yang saat ini di Solo meliputi Puskesmas Pajang, Banyuanyar, Sibela dan dalam waktu dekat, Gajahan, adalah unit yang melanjutkan pengobatan pasien TB MDR setelah didiagnosis oleh RS Rujukan RS dr. Moewardi. Satu lagi UPK yang berperan adalah Laboratorium Rujukan, yang masih sedikit sekali di Indonesia, yaitu Laboratorium UI, BBLK (Balai Besar Laboratorium Kesehatan) Bandung dan Surabaya, serta NECHRI di Makassar. Solo merujuk ke BBLK Bandung. Belajar dari Cina Cina saat ini masih menduduki peringkat kedua dalam jumlah kasus TB terbanyak di dunia. Tetapi dalam 10 tahun terakhir, negara ini mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Sebelum tahun 2003, angka deteksi kasus TB Cina selalu stagnan di 30%, peningkatan sangat pesat terjadi di 2 tahun berikutnya, 64% di tahun 2004 dan 80% di tahun 2005. Cina mengalami epidemi SARS di awal tahun 2003, dan belajar dari pengalaman ini, pada Maret 2004, Pemerintah Pusat merevisi hukum pengendalian penyakit menular. Termasuk di dalamnya instruksi penanganan lonjakan penyakit infeksi, peningkatan pelaporan, intervensi untuk mengendalikan penyebaran penyakit, dan mendanainya. Peraturan ini secara langsung menekankan bahwa setiap kasus TB harus segera dilaporkan ke otoritas kesehatan masyarakat setempat dalam 24 jam. Pelanggaran terhadapnya dianggap kejahatan. Hal di atas hanya sedikit dari banyak hal yang dilakukan pemerintah Cina dalam menangani kasus TB. Tetapi, intinya adalah, tampak sekali adanya komitmen politis pemerintah di dunia kesehatan. Lalu, dimana posisi komitmen politik pemerintah kita? Haruskah kita mengalami dulu suatu kejadian epidemi luar biasa agar kita sadar dan mulai berbenah? 141 OPINI Kekuatan hukum yang cukup mengikat? Jika ada kekuatan hukum yang cukup mengikat sehingga setidaknya surveilans dapat dilaksanakan, pasien dapat lebih patuh dan sektor pemberi pelayanan kesehatan juga lebih berhati-hati. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di bidang kesehatan. Tetapi, lingkup hukum kesehatan, menurut Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kesehatan RI sepertinya masih terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan: 1. Eksistensi Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional. 2. Konsil untuk tenaga kesehatan. Dalam dunia kedokteran dan kedokteran gigi telah dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; 3. Perlu dibangun lembaga registrasi tenaga kesehatan dalam upaya untuk menilai kemampuan profesional yang dimiliki tenaga kesehatan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. 4. Perlu dikaji adanya lembaga Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Kesehatan. Dimana untuk tenaga medis telah dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004. 5. Perlu dibangun lembaga untuk akreditasi berbagai sarana kesehatan. Belum ada hukum yang menjamin terlaksananya program-program kesehatan pemerintah. Jika seorang ayah penderita TB lalai memeriksakan diri, sementara ia tahu bahwa batuk lama dan tidak dapat sembuh dengan obat biasa harus dicurigai menderita penyakit TB; kemudian ia menulari anak balitanya, sehingga karenanya pertumbuhan dan perkembangan anaknya terganggu, apakah ia dapat dihukum? yang termasuk dalam health promotion (promosi kesehatan); ada kegiatan lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu early detection atau deteksi dini, rehabilitasi fungsi atau mengurangi komplikasi dan mitigasi kesehatan. Dalam tingkatan akan terlihat berikut ini: 1. Preventif primer, yaitu promosi kesehatan, mencegah agar suatu penyakit tidak terjadi. 2. Preventif sekunder, yaitu deteksi dini, mencegah agar suatu penyakit yang sudah terjadi tidak berlanjut. 3. Preventif tersier, yaitu rehabilitasi fungsi atau mengurangi komplikasi, mencegah agar penyakit yang sudah lanjut tidak memberikan efek negatif. 4. Preventif kuartener, yaitu mitigasi kesehatan, mencegah agar penyakit yang sudah terlanjur memberikan efek negatif tidak membebani dan berdampak lebih luas terhadap sistem kesehatan secara keseluruhan. Adanya kasus MDR berarti sudah terjadi pelanggaran batas paradigma sehat hingga tiga tingkat, dan mengancam menembus tingkat keempat, membebani sistem kesehatan jika terjadi peningkatan kasus baik secara kuantitatif atau secara kualitatif menjadi kasus XDR atau extensive drug resistance. Jika paradigma sehat ini dibawa ke dalam ranah hukum, maka contoh kasus di atas merupakan suatu kesalahan; sudah dilakukan kegiatan promosi kesehatan sehingga si ayah sudah tahu mengenai penyakit TB dan gejalagejalanya, tetapi kegiatan deteksi dini tidak dapat dilakukan. Kegiatan deteksi dini bukan kegiatan satu pihak kesehatan; petugas kesehatan tidak mungkin, juga tidak berwenang memasuki setiap rumah penduduk hanya untuk mencari kasus TB. Dibutuhkan peran serta aktif masyarakat. Bahasa hukum adalah bahasa sederhana, dikotomis hitam-putih, benar-salah, boleh-tidak boleh, wajib-tidak wajib. Jika mencegah adalah benar, maka kelalaian mencegah adalah salah. Pertanyaannya adalah, apakah ada peraturanperundangan yang mengaturnya ? Penyakit TB bisa disembuhkan; dibutuhkan komitmen yang besar, luas dan kuat agar penyakit TB ini dapat diberantas. Tetapi apakah kita mau? Sampai kapan kita akan mengurusi hal-hal seperti ini sementara tantangan di dunia kesehatan juga makin bertambah? REFERENSI 1. Modul-2 Penemuan Kasus. Pelatihan Penanggulangan TB MDR. Sub Direktorat Tuberkulosis. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI, 2009 2. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Cetakan ke-2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008 3. Lembar fakta TB. www.tbindonesia.or.id/pdf/Lembar_Fakta_TB.pdf 4. Tuberculosis profile in Indonesia. http://www.usaid.gov/our_work/global_health/id/tuberculosis/countries/asia/ indonesia_profile.html 5. Tuberculosis in China. http://en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis_in_China 6. Hukum Kesehatan. http://www.hukor.depkes.go.id/?art=31 7. Preventive medicine. http://en.wikipedia.org/wiki/Preventive_medicine Paradigma sehat Indonesia saat ini sudah menganut paradigma sehat, bukan paradigma sakit; kegiatan pencegahan (preventif) lebih diutamakan daripada kegiatan penyembuhan (kuratif). Mencegah lebih baik dari mengobati. Yang perlu diingat adalah bahwa kegiatan pencegahan tidak melulu soal penyuluhan, informasi dan edukasi 142 CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011 OPINI Perlukah Kekuatan Hukum yang Memaksa dalam Program Penanggulangan TB? Anjang Kusuma Netra UPT Puskesmas Penumping, Surakarta Dokter di puskesmas hampir setiap hari disibukkan dengan program-program pemberantasan penyakit menular. Salah satu yang tetap menjadi masalah besar, walaupun programnya sudah berjalan lama adalah Program Penanggulangan TB (P2TB). Saat ini, program ini telah diperluas dengan PMDT. Penanggulangan TB di Indonesia Penanggulangan TB sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Sesuai dengan pemahaman tentang penanganan TB saat itu (akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, saat antibiotik belum ditemukan), yang menekankan peningkatan sistem kekebalan tubuh pasien dengan istirahat, lingkungan yang baik dan nutrisi yang adekuat, dibangunlah sanatorium di beberapa tempat di Indonesia. Vereeniging voor Tuberculose Bestrijding (CVT) bentukan Pemerintah Hindia Belanda di tahun 1908, mendirikan 15 sanatorium besar dan kecil dan 20 biro konsultasi (CB) yang tersebar terutama di Pulau Jawa. Tempat yang dipilih biasanya adalah dataran tinggi karena menurut pemahaman saat itu, udara pegunungan yang bersih dan dingin adalah terapi terbaik penyakit paru. Di antaranya adalah Sanatorium Pakem di Kaliurang, Yogyakarta yang pernah menjadi tempat merawat Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Cornel Simanjuntak; Sanatorium Cisarua di Bogor yang dibangun bulan November 1938 dan saat ini menjadi Rumah Sakit Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo; Sanatorium Dungus di Madiun yang berdiri tahun 1939; Sanatorium Batu di Malang; Sanatorium Batu Raden dan beberapa tempat lain. Strategi DOTS sendiri proyek percontohannya sudah dimulai sejak tahun 1995; diterapkan secara nasional sejak tahun 2000. Setelah 10 tahun, 98% puskesmas dan 38% RS telah dikembangkan untuk melaksanakan DOTS. Tetapi muncul masalah baru, yaitu kasus TB yang kebal dengan OAT menurut strategi DOTS, atau yang disebut MDR TB. CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011 Angka MDR TB di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu 2% untuk kasus baru yang belum mendapatkan pengobatan dan 19% untuk kasus yang sudah mendapatkan pengobatan. Tetapi mengingat tingginya angka kasus baru TB di Indonesia - 528.063 kasus baru di tahun 2007, maka ancaman resistensi sesungguhnya cukup tinggi. Setidaknya 1 dari 5 pasien yang pernah berobat TB dan kembali sakit adalah pasien yang sudah kebal OAT. Mengapa timbul MDR TB? Penyebab utama MDR TB adalah pengobatan yang tidak adekuat (USAID). Kasus putus berobat dan misuse dari obat lini kedua di RS juga berkontribusi pada peningkatan MDR TB. PMDT di Surakarta PMDT atau Programmed Management on Drug-resistant TB adalah program lanjutan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy) dalam penanggulangan tuberkulosis (TB) yang bertujuan mengurangi dampak kasus TB MDR (Multi Drug Resistance) atau kasus TB yang basil M. tuberculosis-nya telah resisten terhadap INH dan Rifampisin (dua regimen utama obat anti tuberkulosis /OAT lini pertama dalam strategi DOTS). Dalam bahasa sederhana, program untuk menangani pasien TB yang sudah kebal terhadap obat yang biasa digunakan. Kota Surakarta sudah melaksanakan strategi DOTS untuk menangani TB di semua puskesmas, RS negeri dan RS swasta. Penemuan kasus sudah cukup tinggi (sekitar 90%, melebihi target nasional 70%). Mungkin ini salah satu alasan penunjukan Kota Surakarta (Solo) untuk Pilot Project PMDT bersama 4 kota lain di seluruh Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, Malang dan Makassar. Pembagian peran UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) dalam PMDT ini, yaitu UPK Satelit 1 yang berfungsi menemukan kasus suspect (dugaan) MDR dan palacakan pasiennya, termasuk Puskesmas Penumping tempat penulis bekerja, bersama puskesmas non rawat inap lain, dan beberapa RS swasta di Solo. UPK Satelit 2 meliputi puskesmas rawat inap yang saat ini di Solo meliputi Puskesmas Pajang, Banyuanyar, Sibela dan dalam waktu dekat, Gajahan, adalah unit yang melanjutkan pengobatan pasien TB MDR setelah didiagnosis oleh RS Rujukan RS dr. Moewardi. Satu lagi UPK yang berperan adalah Laboratorium Rujukan, yang masih sedikit sekali di Indonesia, yaitu Laboratorium UI, BBLK (Balai Besar Laboratorium Kesehatan) Bandung dan Surabaya, serta NECHRI di Makassar. Solo merujuk ke BBLK Bandung. Belajar dari Cina Cina saat ini masih menduduki peringkat kedua dalam jumlah kasus TB terbanyak di dunia. Tetapi dalam 10 tahun terakhir, negara ini mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Sebelum tahun 2003, angka deteksi kasus TB Cina selalu stagnan di 30%, peningkatan sangat pesat terjadi di 2 tahun berikutnya, 64% di tahun 2004 dan 80% di tahun 2005. Cina mengalami epidemi SARS di awal tahun 2003, dan belajar dari pengalaman ini, pada Maret 2004, Pemerintah Pusat merevisi hukum pengendalian penyakit menular. Termasuk di dalamnya instruksi penanganan lonjakan penyakit infeksi, peningkatan pelaporan, intervensi untuk mengendalikan penyebaran penyakit, dan mendanainya. Peraturan ini secara langsung menekankan bahwa setiap kasus TB harus segera dilaporkan ke otoritas kesehatan masyarakat setempat dalam 24 jam. Pelanggaran terhadapnya dianggap kejahatan. Hal di atas hanya sedikit dari banyak hal yang dilakukan pemerintah Cina dalam menangani kasus TB. Tetapi, intinya adalah, tampak sekali adanya komitmen politis pemerintah di dunia kesehatan. Lalu, dimana posisi komitmen politik pemerintah kita? Haruskah kita mengalami dulu suatu kejadian epidemi luar biasa agar kita sadar dan mulai berbenah? 141 OPINI Kekuatan hukum yang cukup mengikat? Jika ada kekuatan hukum yang cukup mengikat sehingga setidaknya surveilans dapat dilaksanakan, pasien dapat lebih patuh dan sektor pemberi pelayanan kesehatan juga lebih berhati-hati. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di bidang kesehatan. Tetapi, lingkup hukum kesehatan, menurut Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kesehatan RI sepertinya masih terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan: 1. Eksistensi Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional. 2. Konsil untuk tenaga kesehatan. Dalam dunia kedokteran dan kedokteran gigi telah dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; 3. Perlu dibangun lembaga registrasi tenaga kesehatan dalam upaya untuk menilai kemampuan profesional yang dimiliki tenaga kesehatan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. 4. Perlu dikaji adanya lembaga Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Kesehatan. Dimana untuk tenaga medis telah dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004. 5. Perlu dibangun lembaga untuk akreditasi berbagai sarana kesehatan. Belum ada hukum yang menjamin terlaksananya program-program kesehatan pemerintah. Jika seorang ayah penderita TB lalai memeriksakan diri, sementara ia tahu bahwa batuk lama dan tidak dapat sembuh dengan obat biasa harus dicurigai menderita penyakit TB; kemudian ia menulari anak balitanya, sehingga karenanya pertumbuhan dan perkembangan anaknya terganggu, apakah ia dapat dihukum? yang termasuk dalam health promotion (promosi kesehatan); ada kegiatan lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu early detection atau deteksi dini, rehabilitasi fungsi atau mengurangi komplikasi dan mitigasi kesehatan. Dalam tingkatan akan terlihat berikut ini: 1. Preventif primer, yaitu promosi kesehatan, mencegah agar suatu penyakit tidak terjadi. 2. Preventif sekunder, yaitu deteksi dini, mencegah agar suatu penyakit yang sudah terjadi tidak berlanjut. 3. Preventif tersier, yaitu rehabilitasi fungsi atau mengurangi komplikasi, mencegah agar penyakit yang sudah lanjut tidak memberikan efek negatif. 4. Preventif kuartener, yaitu mitigasi kesehatan, mencegah agar penyakit yang sudah terlanjur memberikan efek negatif tidak membebani dan berdampak lebih luas terhadap sistem kesehatan secara keseluruhan. Adanya kasus MDR berarti sudah terjadi pelanggaran batas paradigma sehat hingga tiga tingkat, dan mengancam menembus tingkat keempat, membebani sistem kesehatan jika terjadi peningkatan kasus baik secara kuantitatif atau secara kualitatif menjadi kasus XDR atau extensive drug resistance. Jika paradigma sehat ini dibawa ke dalam ranah hukum, maka contoh kasus di atas merupakan suatu kesalahan; sudah dilakukan kegiatan promosi kesehatan sehingga si ayah sudah tahu mengenai penyakit TB dan gejalagejalanya, tetapi kegiatan deteksi dini tidak dapat dilakukan. Kegiatan deteksi dini bukan kegiatan satu pihak kesehatan; petugas kesehatan tidak mungkin, juga tidak berwenang memasuki setiap rumah penduduk hanya untuk mencari kasus TB. Dibutuhkan peran serta aktif masyarakat. Bahasa hukum adalah bahasa sederhana, dikotomis hitam-putih, benar-salah, boleh-tidak boleh, wajib-tidak wajib. Jika mencegah adalah benar, maka kelalaian mencegah adalah salah. Pertanyaannya adalah, apakah ada peraturanperundangan yang mengaturnya ? Penyakit TB bisa disembuhkan; dibutuhkan komitmen yang besar, luas dan kuat agar penyakit TB ini dapat diberantas. Tetapi apakah kita mau? Sampai kapan kita akan mengurusi hal-hal seperti ini sementara tantangan di dunia kesehatan juga makin bertambah? REFERENSI 1. Modul-2 Penemuan Kasus. Pelatihan Penanggulangan TB MDR. Sub Direktorat Tuberkulosis. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI, 2009 2. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Cetakan ke-2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008 3. Lembar fakta TB. www.tbindonesia.or.id/pdf/Lembar_Fakta_TB.pdf 4. Tuberculosis profile in Indonesia. http://www.usaid.gov/our_work/global_health/id/tuberculosis/countries/asia/ indonesia_profile.html 5. Tuberculosis in China. http://en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis_in_China 6. Hukum Kesehatan. http://www.hukor.depkes.go.id/?art=31 7. Preventive medicine. http://en.wikipedia.org/wiki/Preventive_medicine Paradigma sehat Indonesia saat ini sudah menganut paradigma sehat, bukan paradigma sakit; kegiatan pencegahan (preventif) lebih diutamakan daripada kegiatan penyembuhan (kuratif). Mencegah lebih baik dari mengobati. Yang perlu diingat adalah bahwa kegiatan pencegahan tidak melulu soal penyuluhan, informasi dan edukasi 142 CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011