Perlukah Kekuatan Hukum yang Memaksa dalam

advertisement
OPINI
Perlukah Kekuatan Hukum yang
Memaksa dalam Program Penanggulangan TB?
Anjang Kusuma Netra
UPT Puskesmas Penumping, Surakarta
Dokter di puskesmas hampir setiap hari disibukkan dengan program-program pemberantasan penyakit menular. Salah satu yang
tetap menjadi masalah besar, walaupun programnya sudah berjalan lama adalah Program
Penanggulangan TB (P2TB). Saat ini, program
ini telah diperluas dengan PMDT.
Penanggulangan TB di Indonesia
Penanggulangan TB sudah dilakukan sejak
zaman penjajahan Belanda. Sesuai dengan pemahaman tentang penanganan TB saat itu
(akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, saat
antibiotik belum ditemukan), yang menekankan
peningkatan sistem kekebalan tubuh pasien
dengan istirahat, lingkungan yang baik dan
nutrisi yang adekuat, dibangunlah sanatorium di beberapa tempat di Indonesia.
Vereeniging voor Tuberculose Bestrijding (CVT)
bentukan Pemerintah Hindia Belanda di tahun
1908, mendirikan 15 sanatorium besar dan
kecil dan 20 biro konsultasi (CB) yang tersebar
terutama di Pulau Jawa. Tempat yang dipilih
biasanya adalah dataran tinggi karena menurut pemahaman saat itu, udara pegunungan
yang bersih dan dingin adalah terapi terbaik
penyakit paru. Di antaranya adalah Sanatorium Pakem di Kaliurang, Yogyakarta yang
pernah menjadi tempat merawat Panglima
Besar Jenderal Soedirman dan Cornel Simanjuntak; Sanatorium Cisarua di Bogor yang
dibangun bulan November 1938 dan saat ini
menjadi Rumah Sakit Paru Dr. M. Goenawan
Partowidigdo; Sanatorium Dungus di Madiun
yang berdiri tahun 1939; Sanatorium Batu di
Malang; Sanatorium Batu Raden dan beberapa
tempat lain.
Strategi DOTS sendiri proyek percontohannya
sudah dimulai sejak tahun 1995; diterapkan
secara nasional sejak tahun 2000. Setelah 10
tahun, 98% puskesmas dan 38% RS telah
dikembangkan untuk melaksanakan DOTS.
Tetapi muncul masalah baru, yaitu kasus TB
yang kebal dengan OAT menurut strategi
DOTS, atau yang disebut MDR TB.
CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011
Angka MDR TB di Indonesia masih tergolong
rendah, yaitu 2% untuk kasus baru yang
belum mendapatkan pengobatan dan 19%
untuk kasus yang sudah mendapatkan pengobatan. Tetapi mengingat tingginya angka
kasus baru TB di Indonesia - 528.063 kasus
baru di tahun 2007, maka ancaman resistensi
sesungguhnya cukup tinggi. Setidaknya 1 dari
5 pasien yang pernah berobat TB dan kembali
sakit adalah pasien yang sudah kebal OAT.
Mengapa timbul MDR TB?
Penyebab utama MDR TB adalah pengobatan
yang tidak adekuat (USAID). Kasus putus berobat dan misuse dari obat lini kedua di RS juga
berkontribusi pada peningkatan MDR TB.
PMDT di Surakarta
PMDT atau Programmed Management on
Drug-resistant TB adalah program lanjutan
strategi DOTS (Directly Observed Treatment,
Shortcourse chemotherapy) dalam penanggulangan tuberkulosis (TB) yang bertujuan
mengurangi dampak kasus TB MDR (Multi
Drug Resistance) atau kasus TB yang basil M.
tuberculosis-nya telah resisten terhadap INH
dan Rifampisin (dua regimen utama obat anti
tuberkulosis /OAT lini pertama dalam strategi
DOTS). Dalam bahasa sederhana, program
untuk menangani pasien TB yang sudah kebal
terhadap obat yang biasa digunakan.
Kota Surakarta sudah melaksanakan strategi
DOTS untuk menangani TB di semua puskesmas, RS negeri dan RS swasta. Penemuan
kasus sudah cukup tinggi (sekitar 90%,
melebihi target nasional 70%). Mungkin ini
salah satu alasan penunjukan Kota Surakarta
(Solo) untuk Pilot Project PMDT bersama 4
kota lain di seluruh Indonesia, yaitu Jakarta,
Surabaya, Malang dan Makassar.
Pembagian peran UPK (Unit Pelayanan
Kesehatan) dalam PMDT ini, yaitu UPK Satelit
1 yang berfungsi menemukan kasus suspect
(dugaan) MDR dan palacakan pasiennya, termasuk Puskesmas Penumping tempat penulis
bekerja, bersama puskesmas non rawat inap
lain, dan beberapa RS swasta di Solo. UPK
Satelit 2 meliputi puskesmas rawat inap yang
saat ini di Solo meliputi Puskesmas Pajang,
Banyuanyar, Sibela dan dalam waktu dekat,
Gajahan, adalah unit yang melanjutkan pengobatan pasien TB MDR setelah didiagnosis
oleh RS Rujukan RS dr. Moewardi. Satu lagi UPK
yang berperan adalah Laboratorium Rujukan,
yang masih sedikit sekali di Indonesia, yaitu
Laboratorium UI, BBLK (Balai Besar Laboratorium Kesehatan) Bandung dan Surabaya,
serta NECHRI di Makassar. Solo merujuk ke
BBLK Bandung.
Belajar dari Cina
Cina saat ini masih menduduki peringkat kedua dalam jumlah kasus TB terbanyak di
dunia. Tetapi dalam 10 tahun terakhir, negara
ini mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Sebelum tahun 2003, angka deteksi kasus
TB Cina selalu stagnan di 30%, peningkatan
sangat pesat terjadi di 2 tahun berikutnya,
64% di tahun 2004 dan 80% di tahun 2005.
Cina mengalami epidemi SARS di awal tahun
2003, dan belajar dari pengalaman ini, pada
Maret 2004, Pemerintah Pusat merevisi hukum
pengendalian penyakit menular. Termasuk di
dalamnya instruksi penanganan lonjakan penyakit infeksi, peningkatan pelaporan, intervensi untuk mengendalikan penyebaran penyakit, dan mendanainya. Peraturan ini secara
langsung menekankan bahwa setiap kasus TB
harus segera dilaporkan ke otoritas kesehatan
masyarakat setempat dalam 24 jam. Pelanggaran terhadapnya dianggap kejahatan.
Hal di atas hanya sedikit dari banyak hal yang
dilakukan pemerintah Cina dalam menangani
kasus TB. Tetapi, intinya adalah, tampak sekali
adanya komitmen politis pemerintah di dunia
kesehatan. Lalu, dimana posisi komitmen politik
pemerintah kita? Haruskah kita mengalami
dulu suatu kejadian epidemi luar biasa agar
kita sadar dan mulai berbenah?
141
OPINI
Kekuatan hukum yang cukup mengikat?
Jika ada kekuatan hukum yang cukup mengikat sehingga setidaknya surveilans dapat
dilaksanakan, pasien dapat lebih patuh dan
sektor pemberi pelayanan kesehatan juga
lebih berhati-hati. Untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal bagi setiap orang,
yang merupakan bagian integral dari
kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum
bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di
bidang kesehatan.
Tetapi, lingkup hukum kesehatan, menurut
Biro Hukum dan Organisasi Departemen
Kesehatan RI sepertinya masih terbatas pada
hal-hal yang berkaitan dengan:
1. Eksistensi Badan Pertimbangan Kesehatan
Nasional.
2. Konsil untuk tenaga kesehatan. Dalam dunia
kedokteran dan kedokteran gigi telah dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran;
3. Perlu dibangun lembaga registrasi tenaga
kesehatan dalam upaya untuk menilai
kemampuan profesional yang dimiliki
tenaga kesehatan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan.
4. Perlu dikaji adanya lembaga Peradilan Disiplin
Profesi Tenaga Kesehatan. Dimana untuk
tenaga medis telah dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004.
5. Perlu dibangun lembaga untuk akreditasi
berbagai sarana kesehatan.
Belum ada hukum yang menjamin terlaksananya program-program kesehatan pemerintah.
Jika seorang ayah penderita TB lalai memeriksakan diri, sementara ia tahu bahwa batuk
lama dan tidak dapat sembuh dengan obat
biasa harus dicurigai menderita penyakit TB;
kemudian ia menulari anak balitanya, sehingga
karenanya pertumbuhan dan perkembangan
anaknya terganggu, apakah ia dapat dihukum?
yang termasuk dalam health promotion (promosi kesehatan); ada kegiatan lain yang tidak
kalah pentingnya, yaitu early detection atau
deteksi dini, rehabilitasi fungsi atau mengurangi komplikasi dan mitigasi kesehatan.
Dalam tingkatan akan terlihat berikut ini:
1. Preventif primer, yaitu promosi kesehatan,
mencegah agar suatu penyakit tidak terjadi.
2. Preventif sekunder, yaitu deteksi dini, mencegah agar suatu penyakit yang sudah terjadi
tidak berlanjut.
3. Preventif tersier, yaitu rehabilitasi fungsi atau
mengurangi komplikasi, mencegah agar penyakit yang sudah lanjut tidak memberikan efek
negatif.
4. Preventif kuartener, yaitu mitigasi kesehatan,
mencegah agar penyakit yang sudah terlanjur memberikan efek negatif tidak membebani dan berdampak lebih luas terhadap
sistem kesehatan secara keseluruhan.
Adanya kasus MDR berarti sudah terjadi pelanggaran batas paradigma sehat hingga tiga
tingkat, dan mengancam menembus tingkat
keempat, membebani sistem kesehatan jika
terjadi peningkatan kasus baik secara kuantitatif atau secara kualitatif menjadi kasus XDR
atau extensive drug resistance.
Jika paradigma sehat ini dibawa ke dalam
ranah hukum, maka contoh kasus di atas merupakan suatu kesalahan; sudah dilakukan
kegiatan promosi kesehatan sehingga si ayah
sudah tahu mengenai penyakit TB dan gejalagejalanya, tetapi kegiatan deteksi dini tidak
dapat dilakukan.
Kegiatan deteksi dini bukan kegiatan satu
pihak kesehatan; petugas kesehatan tidak
mungkin, juga tidak berwenang memasuki
setiap rumah penduduk hanya untuk mencari
kasus TB. Dibutuhkan peran serta aktif
masyarakat.
Bahasa hukum adalah bahasa sederhana, dikotomis hitam-putih, benar-salah, boleh-tidak
boleh, wajib-tidak wajib. Jika mencegah adalah
benar, maka kelalaian mencegah adalah salah.
Pertanyaannya adalah, apakah ada peraturanperundangan yang mengaturnya ?
Penyakit TB bisa disembuhkan; dibutuhkan
komitmen yang besar, luas dan kuat agar penyakit TB ini dapat diberantas. Tetapi apakah
kita mau? Sampai kapan kita akan mengurusi
hal-hal seperti ini sementara tantangan di
dunia kesehatan juga makin bertambah?
REFERENSI
1. Modul-2 Penemuan Kasus. Pelatihan Penanggulangan TB MDR. Sub Direktorat Tuberkulosis. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI, 2009
2. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Cetakan ke-2. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2008
3. Lembar fakta TB. www.tbindonesia.or.id/pdf/Lembar_Fakta_TB.pdf
4. Tuberculosis profile in Indonesia. http://www.usaid.gov/our_work/global_health/id/tuberculosis/countries/asia/
indonesia_profile.html
5. Tuberculosis in China. http://en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis_in_China
6. Hukum Kesehatan. http://www.hukor.depkes.go.id/?art=31
7. Preventive medicine. http://en.wikipedia.org/wiki/Preventive_medicine
Paradigma sehat
Indonesia saat ini sudah menganut paradigma
sehat, bukan paradigma sakit; kegiatan pencegahan (preventif) lebih diutamakan daripada
kegiatan penyembuhan (kuratif). Mencegah
lebih baik dari mengobati. Yang perlu diingat
adalah bahwa kegiatan pencegahan tidak
melulu soal penyuluhan, informasi dan edukasi
142
CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011
OPINI
Perlukah Kekuatan Hukum yang
Memaksa dalam Program Penanggulangan TB?
Anjang Kusuma Netra
UPT Puskesmas Penumping, Surakarta
Dokter di puskesmas hampir setiap hari disibukkan dengan program-program pemberantasan penyakit menular. Salah satu yang
tetap menjadi masalah besar, walaupun programnya sudah berjalan lama adalah Program
Penanggulangan TB (P2TB). Saat ini, program
ini telah diperluas dengan PMDT.
Penanggulangan TB di Indonesia
Penanggulangan TB sudah dilakukan sejak
zaman penjajahan Belanda. Sesuai dengan pemahaman tentang penanganan TB saat itu
(akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, saat
antibiotik belum ditemukan), yang menekankan
peningkatan sistem kekebalan tubuh pasien
dengan istirahat, lingkungan yang baik dan
nutrisi yang adekuat, dibangunlah sanatorium di beberapa tempat di Indonesia.
Vereeniging voor Tuberculose Bestrijding (CVT)
bentukan Pemerintah Hindia Belanda di tahun
1908, mendirikan 15 sanatorium besar dan
kecil dan 20 biro konsultasi (CB) yang tersebar
terutama di Pulau Jawa. Tempat yang dipilih
biasanya adalah dataran tinggi karena menurut pemahaman saat itu, udara pegunungan
yang bersih dan dingin adalah terapi terbaik
penyakit paru. Di antaranya adalah Sanatorium Pakem di Kaliurang, Yogyakarta yang
pernah menjadi tempat merawat Panglima
Besar Jenderal Soedirman dan Cornel Simanjuntak; Sanatorium Cisarua di Bogor yang
dibangun bulan November 1938 dan saat ini
menjadi Rumah Sakit Paru Dr. M. Goenawan
Partowidigdo; Sanatorium Dungus di Madiun
yang berdiri tahun 1939; Sanatorium Batu di
Malang; Sanatorium Batu Raden dan beberapa
tempat lain.
Strategi DOTS sendiri proyek percontohannya
sudah dimulai sejak tahun 1995; diterapkan
secara nasional sejak tahun 2000. Setelah 10
tahun, 98% puskesmas dan 38% RS telah
dikembangkan untuk melaksanakan DOTS.
Tetapi muncul masalah baru, yaitu kasus TB
yang kebal dengan OAT menurut strategi
DOTS, atau yang disebut MDR TB.
CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011
Angka MDR TB di Indonesia masih tergolong
rendah, yaitu 2% untuk kasus baru yang
belum mendapatkan pengobatan dan 19%
untuk kasus yang sudah mendapatkan pengobatan. Tetapi mengingat tingginya angka
kasus baru TB di Indonesia - 528.063 kasus
baru di tahun 2007, maka ancaman resistensi
sesungguhnya cukup tinggi. Setidaknya 1 dari
5 pasien yang pernah berobat TB dan kembali
sakit adalah pasien yang sudah kebal OAT.
Mengapa timbul MDR TB?
Penyebab utama MDR TB adalah pengobatan
yang tidak adekuat (USAID). Kasus putus berobat dan misuse dari obat lini kedua di RS juga
berkontribusi pada peningkatan MDR TB.
PMDT di Surakarta
PMDT atau Programmed Management on
Drug-resistant TB adalah program lanjutan
strategi DOTS (Directly Observed Treatment,
Shortcourse chemotherapy) dalam penanggulangan tuberkulosis (TB) yang bertujuan
mengurangi dampak kasus TB MDR (Multi
Drug Resistance) atau kasus TB yang basil M.
tuberculosis-nya telah resisten terhadap INH
dan Rifampisin (dua regimen utama obat anti
tuberkulosis /OAT lini pertama dalam strategi
DOTS). Dalam bahasa sederhana, program
untuk menangani pasien TB yang sudah kebal
terhadap obat yang biasa digunakan.
Kota Surakarta sudah melaksanakan strategi
DOTS untuk menangani TB di semua puskesmas, RS negeri dan RS swasta. Penemuan
kasus sudah cukup tinggi (sekitar 90%,
melebihi target nasional 70%). Mungkin ini
salah satu alasan penunjukan Kota Surakarta
(Solo) untuk Pilot Project PMDT bersama 4
kota lain di seluruh Indonesia, yaitu Jakarta,
Surabaya, Malang dan Makassar.
Pembagian peran UPK (Unit Pelayanan
Kesehatan) dalam PMDT ini, yaitu UPK Satelit
1 yang berfungsi menemukan kasus suspect
(dugaan) MDR dan palacakan pasiennya, termasuk Puskesmas Penumping tempat penulis
bekerja, bersama puskesmas non rawat inap
lain, dan beberapa RS swasta di Solo. UPK
Satelit 2 meliputi puskesmas rawat inap yang
saat ini di Solo meliputi Puskesmas Pajang,
Banyuanyar, Sibela dan dalam waktu dekat,
Gajahan, adalah unit yang melanjutkan pengobatan pasien TB MDR setelah didiagnosis
oleh RS Rujukan RS dr. Moewardi. Satu lagi UPK
yang berperan adalah Laboratorium Rujukan,
yang masih sedikit sekali di Indonesia, yaitu
Laboratorium UI, BBLK (Balai Besar Laboratorium Kesehatan) Bandung dan Surabaya,
serta NECHRI di Makassar. Solo merujuk ke
BBLK Bandung.
Belajar dari Cina
Cina saat ini masih menduduki peringkat kedua dalam jumlah kasus TB terbanyak di
dunia. Tetapi dalam 10 tahun terakhir, negara
ini mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Sebelum tahun 2003, angka deteksi kasus
TB Cina selalu stagnan di 30%, peningkatan
sangat pesat terjadi di 2 tahun berikutnya,
64% di tahun 2004 dan 80% di tahun 2005.
Cina mengalami epidemi SARS di awal tahun
2003, dan belajar dari pengalaman ini, pada
Maret 2004, Pemerintah Pusat merevisi hukum
pengendalian penyakit menular. Termasuk di
dalamnya instruksi penanganan lonjakan penyakit infeksi, peningkatan pelaporan, intervensi untuk mengendalikan penyebaran penyakit, dan mendanainya. Peraturan ini secara
langsung menekankan bahwa setiap kasus TB
harus segera dilaporkan ke otoritas kesehatan
masyarakat setempat dalam 24 jam. Pelanggaran terhadapnya dianggap kejahatan.
Hal di atas hanya sedikit dari banyak hal yang
dilakukan pemerintah Cina dalam menangani
kasus TB. Tetapi, intinya adalah, tampak sekali
adanya komitmen politis pemerintah di dunia
kesehatan. Lalu, dimana posisi komitmen politik
pemerintah kita? Haruskah kita mengalami
dulu suatu kejadian epidemi luar biasa agar
kita sadar dan mulai berbenah?
141
OPINI
Kekuatan hukum yang cukup mengikat?
Jika ada kekuatan hukum yang cukup mengikat sehingga setidaknya surveilans dapat
dilaksanakan, pasien dapat lebih patuh dan
sektor pemberi pelayanan kesehatan juga
lebih berhati-hati. Untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal bagi setiap orang,
yang merupakan bagian integral dari
kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum
bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di
bidang kesehatan.
Tetapi, lingkup hukum kesehatan, menurut
Biro Hukum dan Organisasi Departemen
Kesehatan RI sepertinya masih terbatas pada
hal-hal yang berkaitan dengan:
1. Eksistensi Badan Pertimbangan Kesehatan
Nasional.
2. Konsil untuk tenaga kesehatan. Dalam dunia
kedokteran dan kedokteran gigi telah dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran;
3. Perlu dibangun lembaga registrasi tenaga
kesehatan dalam upaya untuk menilai
kemampuan profesional yang dimiliki
tenaga kesehatan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan.
4. Perlu dikaji adanya lembaga Peradilan Disiplin
Profesi Tenaga Kesehatan. Dimana untuk
tenaga medis telah dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004.
5. Perlu dibangun lembaga untuk akreditasi
berbagai sarana kesehatan.
Belum ada hukum yang menjamin terlaksananya program-program kesehatan pemerintah.
Jika seorang ayah penderita TB lalai memeriksakan diri, sementara ia tahu bahwa batuk
lama dan tidak dapat sembuh dengan obat
biasa harus dicurigai menderita penyakit TB;
kemudian ia menulari anak balitanya, sehingga
karenanya pertumbuhan dan perkembangan
anaknya terganggu, apakah ia dapat dihukum?
yang termasuk dalam health promotion (promosi kesehatan); ada kegiatan lain yang tidak
kalah pentingnya, yaitu early detection atau
deteksi dini, rehabilitasi fungsi atau mengurangi komplikasi dan mitigasi kesehatan.
Dalam tingkatan akan terlihat berikut ini:
1. Preventif primer, yaitu promosi kesehatan,
mencegah agar suatu penyakit tidak terjadi.
2. Preventif sekunder, yaitu deteksi dini, mencegah agar suatu penyakit yang sudah terjadi
tidak berlanjut.
3. Preventif tersier, yaitu rehabilitasi fungsi atau
mengurangi komplikasi, mencegah agar penyakit yang sudah lanjut tidak memberikan efek
negatif.
4. Preventif kuartener, yaitu mitigasi kesehatan,
mencegah agar penyakit yang sudah terlanjur memberikan efek negatif tidak membebani dan berdampak lebih luas terhadap
sistem kesehatan secara keseluruhan.
Adanya kasus MDR berarti sudah terjadi pelanggaran batas paradigma sehat hingga tiga
tingkat, dan mengancam menembus tingkat
keempat, membebani sistem kesehatan jika
terjadi peningkatan kasus baik secara kuantitatif atau secara kualitatif menjadi kasus XDR
atau extensive drug resistance.
Jika paradigma sehat ini dibawa ke dalam
ranah hukum, maka contoh kasus di atas merupakan suatu kesalahan; sudah dilakukan
kegiatan promosi kesehatan sehingga si ayah
sudah tahu mengenai penyakit TB dan gejalagejalanya, tetapi kegiatan deteksi dini tidak
dapat dilakukan.
Kegiatan deteksi dini bukan kegiatan satu
pihak kesehatan; petugas kesehatan tidak
mungkin, juga tidak berwenang memasuki
setiap rumah penduduk hanya untuk mencari
kasus TB. Dibutuhkan peran serta aktif
masyarakat.
Bahasa hukum adalah bahasa sederhana, dikotomis hitam-putih, benar-salah, boleh-tidak
boleh, wajib-tidak wajib. Jika mencegah adalah
benar, maka kelalaian mencegah adalah salah.
Pertanyaannya adalah, apakah ada peraturanperundangan yang mengaturnya ?
Penyakit TB bisa disembuhkan; dibutuhkan
komitmen yang besar, luas dan kuat agar penyakit TB ini dapat diberantas. Tetapi apakah
kita mau? Sampai kapan kita akan mengurusi
hal-hal seperti ini sementara tantangan di
dunia kesehatan juga makin bertambah?
REFERENSI
1. Modul-2 Penemuan Kasus. Pelatihan Penanggulangan TB MDR. Sub Direktorat Tuberkulosis. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI, 2009
2. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Cetakan ke-2. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2008
3. Lembar fakta TB. www.tbindonesia.or.id/pdf/Lembar_Fakta_TB.pdf
4. Tuberculosis profile in Indonesia. http://www.usaid.gov/our_work/global_health/id/tuberculosis/countries/asia/
indonesia_profile.html
5. Tuberculosis in China. http://en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis_in_China
6. Hukum Kesehatan. http://www.hukor.depkes.go.id/?art=31
7. Preventive medicine. http://en.wikipedia.org/wiki/Preventive_medicine
Paradigma sehat
Indonesia saat ini sudah menganut paradigma
sehat, bukan paradigma sakit; kegiatan pencegahan (preventif) lebih diutamakan daripada
kegiatan penyembuhan (kuratif). Mencegah
lebih baik dari mengobati. Yang perlu diingat
adalah bahwa kegiatan pencegahan tidak
melulu soal penyuluhan, informasi dan edukasi
142
CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011
Download