Koalisi dan Oposisi dalam Sistem Presidensial HARIAN SINDO

advertisement
Koalisi dan Oposisi dalam Sistem Presidensial
HARIAN SINDO, Wednesday, 24 February 2010
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu bersaudara. Bahkan keduanya
merupakan saudara kembar yang lahir dari ibu kandung yang sama: rakyat.
Keduanya berhubungan dan harus berhubungan sesuai dengan fungsi masing-masing.
Presiden tanpa DPR akan menjadi otoriter, DPR tanpa presiden laksana pohon tanpa
buah atau dengan kata lain bagaikan ilmu tanpa amal. Rakyat memerlukan presiden
untuk menjalankan pemerintahan negara dan rakyat membutuhkan DPR untuk
mengawasi jalannya pemerintahan tersebut. Presiden disebut eksekutif (dari kata to
execute), bahkan eksekutif par excellence, yang berwenang menjalankan
(pemerintahan) untuk mengeksekusi apa yang ditetapkan undang-undang.
Sementara DPR disebut legislatif karena DPR-lah yang menjalankan fungsi legislasi
di samping fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan. Dalam menjalankan fungsi
legislasi DPR adalah pembentukundang- undang (lawmaker), bahkan pemegang
kekuasaan pembentukan undang-undang. Rancangan undang-undang (RUU) baik
yang datang dari DPR maupun yang diajukan presiden dibahas bersama-sama antara
DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Dalam menjalankan fungsi penganggaran DPR menerima dan membahas Rancangan
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan presiden untuk disetujui
menjadi APBN. Presiden melaksanakan APBN, DPR mengawasi pelaksanaannya.
Nah,dalam menjalankan fungsi pengawasan inilah DPR oleh UUD 1945 diberi
instrumen berupa beberapa hak, yaitu hak interpelasi (hak mengajukan pertanyaan),
hak angket (hak untuk melakukan penyelidikan), dan hak menyatakan pendapat
terhadap kebijakan pemerintah yang memiliki dampak besar dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara maupun terhadap dugaan bahwa presiden dan/atau wakil
presiden melakukan tindak pelanggaran hukum seperti korupsi, penyuapan, dan
pidana berat lain, melakukan perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
DPR menjalankan tugas dan kewenangannya berdasarkan UU, demikian juga
presiden.Memang benar sejatinya UUD 1945,apalagi setelah amendemen, menganut
sistem presidensial. Di antara ciri sistem presidensial adalah adanya periode masa
jabatan presiden yang pasti (fixed term), yakni lima tahun.
Presiden tidak dapat dimakzulkan dalam masa jabatannya kecuali melanggar hal-hal
yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 7A yang berbunyi: “Presiden dan/atau wakil
presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR,baik
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil
presiden.”
DPR“hanya”bisa berpendapat sesuai dengan hak menyatakan pendapat yang
dimilikinya bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan tindak pidana
berat lain atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
presiden/wakil presiden tersebut (lihat Pasal 7B ayat 1,2,3,4,5, 6, dan 7 UUD 1945).
Adapun pemeriksaan, penyelidikan, dan keputusan atas pendapat DPR tersebut
menjadi wewenang sepenuhnya Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan hukum
acara di sana. Bahkan lebih jauh dari itu, ketika seandainya MK telah membuktikan
kebenaran pendapat DPR sekalipun dan DPR mengajukan usulan kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan presiden/ wakil presiden,
MPR dapat saja tidak memberhentikannya.
Sebab, presiden/wakil presiden masih juga diberi kesempatan untuk memberikan
penjelasan atas keputusan MK yang menyatakan presiden telah terbukti bersalah.
Penjelasan presiden/wakil presiden tersebut toh bisa saja diterima oleh MPR.
Walhasil, dalam UUD 1945 sekarang ini kedudukan presiden secara politik sangatlah
kuat. Pintu pemakzulan (impeachment) memang ada, tetapi jalannya sangat panjang
dan berliku serta pintunya sangat-sangat kecil. Berbeda dengan sebelum ada
amendemen UUD 1945,proses pemakzulan sepenuhnya politis dan itu hanya terjadi
di dalam (within) dua lembaga politik saja, yaitu DPR (ingat mekanisme jatuhnya
memorandum kepada presiden jika DPR menduga presiden melanggar garis-garis
besar daripada haluan Negara) dan MPR (melalui Sidang Istimewa) saja.
Sementara setelah amendemen pemakzulan presiden/wakil presiden merupakan
perpaduan atau gabungan antara proses politik dan proses hukum. Pemakzulan bukan
lagi hanya menjadi urusan DPR dan MPR, melainkan juga memutlakkan peran dan
wewenang MK.Bahkan menurut penafsiran penulis MK-lah yang lebih menentukan
secara signifikan: satu-satunya lembaga negara yang berhak memeriksa, mengadili,
dan memutus pendapat DPR mengenai pelanggaran tersebut di atas itu.
Jadi dalam sistem presidensial, DPR tidak bisa menjatuhkan Presiden, kecuali
Presiden sendiri yang menjatuhkan dirinya sendiri melalui tindak pelanggaran
hukum, perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil
presiden. Sebaliknya, presiden tidak bisa membubarkan DPR. Keduanya tidak lebih
tinggi atau lebih rendah satu sama lain dan hanya bisa dibedakan dari perspektif
fungsi dan kewenangannya.
*** Hubungan antara keduanya tidak didesain dalam pola koalisi atau oposisi,
melainkan lebih dalam relasi checks and balances.Dalam hal legislasi, DPR tidak
boleh menerima atau menolak RUU secara apriori yang diajukan pemerintah; dalam
fungsi anggaran DPR tidak dibenarkan menerima atau menolak secara arbitrer
RAPBN yang diajukan presiden dan dalam bidang pengawasan DPR tidak boleh
secara apriori menutup mata terhadap apa yang dilakukan presiden/ pemerintah. Hatta
ketika presiden tersebut datang dari partai politik yang sama! Kriterium penerimaan
atau penolakan DPR hanyalah satu: berpihak kepada kepentingan rakyat ataukah
tidak!
Di sini tidak ada kriterium koalisi atau oposisi! Memang ada pembagian kekuasaan
(legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang dimanifestasikan dalam lembaga-lembaga
negara yang juga berfungsi mengontrol kekuasaannya melalui mekanisme checks and
balances,tetapi presiden sebagai kepala pemerintahan adalah satu-satunya yang
berwenang melakukan eksekusi (to excecute). Sampai di sini semuanya jelas dan
terang-benderang.Yang namanya DPR,baik partai politik induknya bergabung dalam
koalisi pemerintahan maupun berada di luar pemerintahan, tugas konstitusionalnya
adalah menjalankan ketiga fungsi tersebut, terutama pengawasan.
Meskipun berasal dari partai yang berkoalisi, anggota DPR tetap bertugas mengawasi
Presiden yang didukung koalisi. Pasalnya, power tends to corrupt, absolute power
corrupt absolutely! Sebab siapa pun dia,begitu mereka memegang kekuasaan maka
yang berlaku adalah hukum kekuasaan: cenderung untuk korup! Dan karena itu harus
diawasi! Dalam konteks dan perspektif ini maka dalam sistem UUD 1945 koalisi
partai-partai politik hanya bisa dilakukan di dalam satu lembaga negara, tidak bisa
lintas lembaga negara.
Partai-partai politik di DPR justru harus berkoalisi untuk melaksanakan fungsifungsi
legislasi, anggaran, dan pengawasan. Partai-partai politik yang berkoalisi yang
menempatkan menteri-menterinya di kabinet/ pemerintahan harus berkoalisi untuk
menjalankan roda pemerintahan. Dalam perspektif ini maka agak aneh kalau akhirakhir ini, wacana tentang koalisi dan oposisi mendominasi ruang publik kita,
utamanya di kalangan pemerhati politik.Walhasil bagi anggota DPR sebenarnya
nothing to do dengan sikap partainya. Meski partainya bergabung dalam kabinet,
fungsi dan wewenang anggota DPR tetap seperti itu: menjalankan fungsi
pengawasan.
Konkretnya,kader Golkar yang menjadi menteri bertugas menjalankan pemerintahan
dan kader Golkar yang menjadi anggota DPR bertugas menjalankan fungsi
pengawasan.Tidak peduli meskipun yang diawasi adalah sesama kader
Golkar.Walhasil, yang bergabung dalam kabinet bertugas menjalankan pemerintahan
negara dan yang bergabung dalam DPR bertugas mengawasi jalannya
pemerintahan.Manis,bukan?(*)
Hajriyanto Y Thohari
Wakil Ketua MPR RI
SUMBER: HARIAN SINDO
Download