4 TINJAUAN PUSTAKA Strategi Strategi dalam perspektif teoritis dapat ditemui dalam berbagai studi, di antaranya oleh Whittington (2001) menyebutkan ada empat teori tentang strategi yakni: teori klasik, evolusioner, proses, dan sistem. Teori Klasik menekankan pada perencanaan, evolusi menekankan keterbukaan, teori proses menekankan sifat dinamis dan spontanitas, dan teori sistem menekankan pada aspek sosiologis dan perilaku manusia. Gray (1999) memetakan strategi ke dalam tiga kategori: People and Politics, Preparation for War, War Proper. “People and Politics” adalah dimensi paling dasar dari strategi. Dalam kategori ini strategi disusun dalam konstitusi dan dilaksanakan oleh kumpulan masyarakat tertentu, terikat budaya dan isu metodologikal. Strategi dalam kategori ini menempatkan proses penentuan kebijakan pada bidang politik. Dimana kebijakan tersebut merupakan hasil dari proses berkelanjutan dari proses politik dan strategi itu sendiri sebagai hasil dari proses pembuatan strategi. Kategori “preparation of war” adalah gabungan dari dimensi sumber daya ekonomi organisasi pembuat strategi, proses manajerial organisasi, informasi, proses pemikiran dan pemaknaan secara bersungguh-sungguh melalui doktrin. Poin penting dari kategori ini, yaitu dimensi teknologi, ekonomi dan logistik. “War proper” adalah kategori yang menjadikan kondisi geografi sebagai bagian penting menyusun strategi. Dimensi ini dianggap paling konstan dan permanen, akan tetapi pengaruhnya berbeda terhadap konflik tertentu dan waktu tertentu. Diantara semua dimensi strategi, ada dimensi yang paling kuat, yaitu Politik, individu, dan waktu. Hubungan antar dimensi tersebut tidak pasti, tidak ada batas yang jelas. Hal ini menjelaskan sifat alami subjek dan bagaimana subjek suatu strategi bekerja. Strategi memberikan arti serta menentukan perilaku di lapangan. Strategi bernilai ekstrinsik dan intrinsik. Ekstrinsik, untuk menjaga aset komunitas tetap seimbang dengan dunia luar, sedangkan nilai intrinsiknya adalah peran suatu strategi sebagai perantara dan aset yang dapat diaplikasikan untuk tanggung jawab politik. Komunikasi Sifat komunikasi hadir dimana-mana dan melekat secara ensensial di setiap aktifitas dasar manusia. Komunikasi menghubungkan manusia satu sama lainnya (Muhammad, 2008). Strategi disampaikan melalui cara berkomunikasi. Bermacammacam definisi tentang komunikasi, disesuaikan dengan bidang dan tujuan-tujuan tertentu yang terkandung pada konteks definisi tersebut berada. Berikut ini adalah definisi dari komunikasi: Komunikasi adalah proses suatu pesan dipindahkan lewat suatu saluran dari suatu sumber kepada penerima dengan maksud mengubah perilaku, perubahan dalam pengetahuan, sikap dan perilaku. Sekurang-kurangnya didapati empat unsur utama dalam model komunikasi yaitu sumber (the source), pesan (the message), saluran (the 5 channel) dan penerima (the receiver). Komunikasi sendiri berasal dari bahasa Latin communis yang berarti umum (common) atau bersama. Apabila kita berkomunikasi, sebenarnya kita sedang berusaha menumbuhkan suatu kebersamaan (commonnes) dengan seseorang, berbagi informasi, ide atau sikap. Tujuan komunikasi adalah usaha membuat penerima atau pemberi komunikasi memiliki pengertian (pemahaman) yang sama terhadap pesan tertentu (Suprapto, 2006). Berbicara tentang definisi komunikasi, tidak ada definisi yang benar atau yang salah, tetapi dilihat dari manfaat definisi tersebut dari suatu fenomena yang hendak dijelaskan atau dievaluasi. Beberapa definisi mungkin terlalu sempit, misalnya “Komunikasi adalah penyampaian pesan melalui media elektronik”, atau lebih luas lagi, misalnya “Komunikasi adalah interaksi antara dua pihak atau lebih sehingga peserta komunikasi memahami pesan yang disampaikannya (Effendy, 2006) Pola Komunikasi Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan atau informasi dari seseorang kepada orang lain dapat berupa kelompok atau perorangan. Begitu pula dengan penerima, dapat berupa perorangan atau kelompok. Komunikasi dapat dianalogikan seperti udara, setiap kegiatan dan aktivitas manusia tidak dapat dipisahkan dari komunikasi (Wayne dan Faules 2000). Setiap orang yang berkomunikasi memiliki perbedaan proses pengiriman mau penerimaan pesan, tergantung dari pemahaman mau pengalaman yang dimiliki masing-masing. Berdasarkan kebutuhan akan berkomunikasi, ada 5 pola komunikasi yaitu: ”Komunikasi Antarpribadi, Komunikasi Kelompok Kecil, Komunikasi Organisasi, komunikasi massa, komunikasi publik. Pola komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga dapat dipahami” (Djamarah, 2004). Dimensi pola komunikasi terdiri dari pola yang berorientasi pada konsep dan pola yang berorientasi pada sosial. Pola komunikasi dicirikan oleh: komplementaris atau simetris. Dalam hubungan komplementer, perilaku dominan mendatangkan perilaku tunduk. Dalam simetri, interaksi dilakukan atas dasar kesamaan. Dominasi bertemu dengan dominasi atau kepatuhan dengan kepatuhan” (Djuarsa, 2004). Pola komunikasi melihat struktur atau sistem interaksi sebagai proses merespon pemberi dan penerima pesan untuk menetukan jenis hubungan yang mereka miliki. Pola komunikasi adalah pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan yang dikaitkan dua komponen, yaitu gambaran atau rencana yang meliputi langkah-langkah pada suatu aktifitas dengan komponen komponen yang merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan komunikasi antar manusia atau kelompok dan organisasi (Wayne dan Faules 2000). 6 Strategi Komunikasi Strategi komunikasi merupakan paduan perencanaan komunikasi (communication planning) dan manajemen komunikasi (communication management) untuk mencapai tujuan tertentu melalui pendekatan (approach) yang berbeda-beda, bergantung dari situasi dan kondisi. Strategi komunikasi akan sangat menentukan efektifitas suatu kegiatan komunkasi. Oleh karena itu secara makro (plammed multi-media strategi) mau mikro (single communication medium strategi) strategi komunikasi mempunyai fungsi ganda (Effendi, 2000), yakni : 1. Mensistematisasi penyebarluasan pesan yang bersifat informatif, persuasif dan instruktif kepada sasaran untuk memperoleh hasil optimal; 2. Menjembatani cultural gap yang diakibatkan oleh arus informasi yang tidak seimbang. Strategi komunikasi berdampak positif apabila tujuan program pembangunan tercapai dan perubahan perilaku khalayak sasaran dapat diamati serta diukur. Pencapaian tersebut menurut Arifin, A (2003) ditandai dengan: (1) timbulnya kesadaran masyarakat untuk memahami manfaat inovasi, (2) perwujudan tindakan kongkret masyarakat dalam bentuk mengadopsi inovasi tersebut, dan (3) timbulnya sumberdaya manusia yang berkualitas sebagai akibat adopsi inovasi. Kriteria keberhasilan beragam strategi komunikasi pembangunan perlu dikaitkan dengan kekhasan tiap inovasi pembangunan. Kriteria tersebut tidak hanya mengukur keberhasilan atau kegagalan khalayak sasaran dalam nenerapkan inovasi, tetapi juga kesuksesasn dan kegagalan pelaku komunikasi pembangunan dalam mengalihkan informasi pembangunan dalam keterpaduan. Keberhasilan strategi komunikasi menurut Arifin. A (2003) dicirikan oleh: (1) unsur pemahaman, kepedulian, dan kemampuan masyarakat dalam menyeleksi dan menerapkan beragam inovasi, (2) komitmen dan kesepakatan aktif untuk meningkatkan kesuksesan beragam dimensi program pembangunan, dan (3) perluasan kehidupan yang lebih baik. Sedangkan kriteria keberhasilan strategi komunikasi dari sudut pelaku komunikasi dicirikan: (1) Citra positif pelaku komunikasi pembangunan di mata masyarakat dengan cara memberikan kemudahan pelayanan komunikasi, (2) penyampaian informasi pembangunan yang yang lengkap dan benar berkenaan dengan prioritas utama pada kepentingan khalayak sasaran, dan (3) perluasan jangkauan informasi, dan pemantapan kelembagaan masyarakat dengan memperhatikan aspek kebudayaan setempat. Berbicara tentang pemilihan strategi komunikasi pembangunan, ada hal-hal yang tercakup di dalamnya: (1) alternatif pilihan strategi, (2) kondisi prioritas dan penunjang komunikasi pembangunan, (3) sasaran komunikasi pembangunan, (4) konsekuensi dari filosofi kegiatan dan (5) upaya meningkatkan dampak ganda dari kegiatan yang dilakukan. Masih menurut Arifin. A (2003) ada tiga strategi komunikasi pembangunan yang dapat dipilih untuk melakukan rekayasa sosial, pemasaran sosial dan partisipasi sosial. Namun efektifitas strategi komunikasi pembangunan tersebut akan bergantung pada motivasi khalayak sasaran dan kondisi kelompok sasaran lebih lanjut. 7 Komunikasi Pembangunan Konsep komunikasi pembangunan dapat dilihat dalam arti yang luas dan sempit. Dalam arti yang luas, komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal-balik) diantara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan, terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, kemudian pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan. Sedang dalam arti yang sempit, komunikasi pembangunan merupakan segala upaya dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan keterampilan-keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas. Kegiatan tersebut bertujuan agar masyarakat yang dituju dapat memahami, menerima, dan berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan-gagasan yang disampaikan. Menurut Nasution (2004) ada tiga aspek komunikasi dalam pembangunan yang berkaitan yaitu: 1. Aspek kebijakan komunikasi, merupakan pendekatan paling luas dan bersifat umum. Aspek ini menekankan pada bagaimana media massa dapat fokus pada pembangunan suatu bangsa. Politik dan fungsi-fungsi media massa dalam pengertian yang umum merupakan objek studi, sekaligus masalah-masalah yang menyangkut struktur organisasional dan pemilikan, serta kontrol terhadap media. 2. Aspek spesifik peranan media massa dalam pembangunan nasional, yaitu bagaimana media secara efisien dapat mengajarkan pengetahuan tertentu bagi masyarakat suatu bangsa. 3. Aspek orientasi perubahan pada komunitas lokal atau desa agar dapat menerima ide-ide dan produk baru dalam pembangunan. Masih menurut Nasution (2004), ada 12 peran yang dapat dilakukan komunikasi dalam pembangunan, yakni: 1. Menciptakan iklim perubahan dengan menawarkan nilai-nilai, sikap mental, dan bentuk perilaku yang menunjang modernisasi. 2. Mengajarkan keterampilan-keterampilan baru pada masyarakat lokal. 3. Menjadikan media massa sebagai pengganda sumber-sumber daya pengetahuan. 4. Menjadikan media massa sebagai pengantar pengalaman-pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri, sehingga mengurangi biaya psikis dan ekonomis untuk menciptakan kepribadian yang mobile. 5. Meningkatkan aspirasi untuk memotivasi bertindak nyata. 6. Membantu masyarakat menemukan norma-norma baru dan keharmonisan masa transisi. 7. Mendorong orang untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di tengah kehidupan masyarakat. 8. Mengubah struktur kekuasaan masyarakat yang bercirikan tradisional, dengan membawa pengetahuan kepada massa. 9. Menciptakan rasa kebangsaan untuk mengatasi kesetiaan-kesetiaan lokal. 8 10. Menyadari pentingnya arti masyarakat sebagai warga negara, sehingga dapat membantu meningkatkan aktivitas politik. 11. Memudahkan perencanaan dan implementasi program-program pembangunan yang berkaitan dengan kebutuhan penduduk 12. Komunikasi dapat membuat pembangunan ekonomi, sosial, dan politik menjadi suatu proses yang berlangsung sendiri (self-perpetuating) Teori Dramatisme Richard (2008), mengemukakan teori dramatisme mengonseptualisasikan kehidupan manusia sebagai sebuah drama, dimana kritik yang timbul menempati posisi penting dalam suatu adegan yang dimainkan oleh berbagai pemain di dalamnya dalam kerangka menyingkap motivasi. Sebagai sebuah metodelogi, dramatisme membahas tindakan komunikasi antara teks dan khalayak, serta tindakan di dalam teks itu sendiri. Ada tiga alasan mengapa drama dianggap sebagai metafora yang penting dalam mengungkap motivasi manusia: (1) drama menggambarkan hubungan manusia yang didasarkan pada interaksi atau dialog, (2) drama cenderung mengikuti tipe-tipe atau genre yang mudah dikenali: komedi, musikal, melodrama dan lainnya, (3) drama selalu ditujukan pada khalayak, dimana sastra adalah “peralatan untuk hidup”, artinya teks dapat mengkomunikasikan pengalaman dan permasalahan hidup seseorang serta memberikan reaksi di dalamnya. Dramatisme mengkaji cara-cara dimana bahasa dan penggunaannya berhubungan dengan khalayak. Dramatisme berangkat dari asumsi: (1) Manusia adalah hewan yang menggunakan simbol, terutama bahasa, (2) bahasa dan simbol membentuk sebuah sistem penggunaan kata-kata, pemikiran, dan tindakan yang memiliki hubungan yang sangat dekat satu sama lain, (3) manusia selalu membuat pilihan dan dramatisme adalah sebuah kemampuan aktor sosial untuk bertindak sebagai hasil pilihannya. Dramatisme adalah retorika yang menekankan pada identifikasi dan faktorfaktor parsial “tidak sadar” dalam mengajukan pernyataannya. Berbeda dengan retorika konvensional yang menekankan pada persuasi dan desain yang terencana. Ketika terdapat ketumpangtindihan diantara dua orang pada substansi yang sama, maka semakin besar ketumpangtindihan yang terjadi, makin besar identifikasi yang terjadi. Sebaliknya, semakin kecil tingkat ketumpangtindihan individu, makin besar pemisahannya. Kenyataannya tidak ada ketumpangtindihan satu dengan lainnya secara penuh, selalu ada “ambiguitas substansi”, dimana identifikasi selalu terletak pada kesatuan dan pemisahan. Retorika dibutuhkan untuk menjembatani pemisahan dan membangun kesatuan. Proses ini disebut konsubstansiasi (ketika permohonan dibuat untuk meningkatkan ketumpangtindihan antara orang) atau meningkatkan identifikasi mereka satu sama lain. Proses retorika berhubungan dengan siklus rasa bersalah, dimana rasa bersalah dapat dihilangkan sebagai hasil identifikasi dan pemisahan. Proses rasa bersalah dan penebusan mengamankan keseluruhan konsep simbolisasi. Rasa bersalah (tekanan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang menyebalkan lainnya) adalah 9 motif utama untuk semua aktifitas simbolik. Rasa bersalah secara luas mencakup berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang tidak menyenangkan lainnya. Rasa bersalah bersifat intrinsik dalam kondisi manusia. Ketika merasa diri bersalah oleh karenanya diperlukan usaha memurnikan diri sendiri dari ketidaknyamanan rasa bersalah. Proses merasa bersalah dan berusaha untuk menghilangkannya ada di dalam satu siklus mengikuti pola: 1. Tatanan atau hierarki (peringkat yang ada dalam masyarakat terutama karena kempuan kita untuk menggunakan bahasa). 2. Negatifitas (menolak tempat seseorang dalam tatanan sosial; memperlihatkan resistensi). 3. Pengorbanan (cara dimana kita berusaha untuk memurnikan diri kita dari rasa bersalah yang kita rasakan sebagai bagian dari menjadi manusia). Ada dua metode untuk memurnikan diri dari rasa bersalah, dengan menyalahkan diri sendiri dan mengkambinghitamkan dengan menyalahkan orang lain. 4. Penebusan (penolakan sesuatu yang tidak bersih dan kembali pada tatanan baru setelah rasa bersalah diami sementara). Teori Identitas Morissan dan Wardhany (2009), mengatakan bahwa berbagai elemen masyarakat dalam pembangunan perlu dilihat sebagai identitas dan entitas dari caracara menempatkan diri mereka secara sosial. Identitas dan entitas berbagai elemen masyarakat dalam pembangunan memiliki implikasi penting sebagai komuikator, dimana dalam teori identitas, sebagian besar anggota masyarakat dari masing-masing elemen itu pada umumnya memiliki pandangan sama bahwa mereka menerima perlakuan yang dirasakan sama oleh mereka. Perlakuan yang diterima secara bersama oleh mereka inilah yang akan menjadi identitas utama, misalnya rasa ketidakadilan. Berdasarkan identitas itu maka mereka membuat organisasi bersama. Oleh karena itu, Morissan dan Wardhany (2009) membahas teori identitas ini menjadi tiga bagian: 1. Standpoint theory, adalah konstruksi masyarakat (sosial world) yang didapat dari perhatian dan pemahaman individu melalui cara yang berbeda, kemudian digunakan untuk mengkontruksikan kembali kondisi atau situasi dimana masyarakat berada. Secara epistemologi, teori ini membedakan variasi komunikasi individu tersebut ketika memahami suatu pengalaman yang didapatinya dan ketika mengkonstruksi pemahaman tersebut. Ide teori ini adalah pandangan berlapis (layered understanding), setiap individu memiliki banyak identitas yang tumpang tindih sehingga menghasilkan pandangan yang unik. 2. Konstruksi Identitas. Setiap identitas saling berkaitan (interlocking identities). Tidak ada identitas yang berada diluar kontruksi sosial dan budaya. Sebagian besar identitas berasal dari konstruksi yang ditawarkan kelompok sosial dimana identitas tersebut menjadi bagian di dalamnya. 3. Queer Theory. Teori ini menentang segala hal yang bersifat berpasangan dalam segala bentuknya namun menawarkan gagasan bahwa identitas lebih dari sekedar kategori kaku yang bersifat dikotomis. 10 Kelembagaan Pendidikan Agama Islam: Pesantren Menurut Jauhari (2012), Pesantren adalah wacana yang hidup. Selagi mau, memperbincangkan pesantren senantiasa menarik, segar, aktual, dan perlu dicatat tidak mudah. Banyak aspek yang mesti dilalui ketika diskursus Pesantren digelar. Dari sisi keberadaannya saja, pesantren memiliki banyak dimensi terkait (multi dimensional). Dalam lilitan multidimensional itu, menariknya, Pesantren sangat percaya diri (self confident) dan penuh pertahanan diri (self defensive) dalam menghadapi tantangan di luar dirinya. Karena itu hingga sekarang, orang kesulitan mencari sebuah definisi yang tepat tentang Pesantren. Pesantren kelihatan berpola seragam, tetapi beragam; tampak konservatif, tetapi diam-diam atau terang-terangan mengubah diri dan mengimbangi denyut perkembangan zamannya. Ambisi merumuskan Pesantren secara tunggal, apalagi coba-coba memaksakan suatu konsep tertentu untuk pesantren, tampaknya tidak mungkin berhasil. Rahmad Pulung Sudibyo (2010) mendefinisikan pesantren sebagai institusi pendidikan Islam di Indonesia dengan ciri-ciri khas tersendiri. Pesantren berasal dari bahasa sansekerta, “san” artinya orang baik (laki-laki) disambung “tra” artinya suka menolong, “santra” berarti orang baik baik yang suka menolong. Pesantren berarti tempat membina manusia menjadi orang baik. Pesantren memiliki komponenkomponen (Dhofier, 1985) berikut: Kyai, berasal dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986) dipakai untuk: (1) gelar kehormatan barang yang dianggap keramat. Contohnya "Kyai garuda kencana" (kereta emas di Kraton Yogyakarta), (2) gelar kehormatan bagi orang yang di tuakan, dan (3) gelar ahli agama Islam dan pimpinan pesantren yang berperan penting dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren. Keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan Kyai. 2. Masjid sangat berkaitan erat dengan pendidikan Islam. Sejak dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani, sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Masjid dianggap sebagai "tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik" (Dhofier 1985). 3. Santri merupakan unsur penting, keberadaan santri di rumah seorang alim, menyebabkan seorang alim tadi disebut Kyai. (Dhofier, 1985). 4. adalah tempat sederhana, tempat tinggal Kyai bersama para santrinya. Di Jawa, besarnya tergantung pada jumlah santrinya. Adanya yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. 5. Kitab kuning atau kitab safinah merupakan kitab tradisional berisi pelajaran agama islam (diraasah al-islamiyyah), mulai dari fiqh, aqidah, akhlaq/ tasawuf, tata bahasa arab ('ilmu nahwu dan 'ilmu. sharf), hadits, tafsir, 'ulumul qufaan, hingga 1. 11 pada ilmu sosial dan kemasyarakatan (mu'amalah). Kitab kuning disebut juga kitab gundul karena tidak memiliki harakat (fathah, kasrah, dhammah, sukun), tidak seperti kitab al-Quran pada umumnya. Tipologi Pesantren Muin (2007) mengelompokkan Pesantren ke dalam tipologi kelompok sebagai berikut: 1. Pesantren Salafiyah Pesantren Salafiyah adalah Pesantren tradisional yang menetapkan kurikulum pesantren dan tradisi yang dijalaninya sebagai sesuatu yang baku dan tidak bisa diubah. Umumnya, Pesantren ini mengambil bentuk-bentuk pelayanan pendidikan pada: (1) Madrasah Salafiyah menggunakan kurikulum Pesantren; (2) Majelis Taklim meliputi: Majelis Taklim kelompok orangtua, Majelis Taklim kelompok alumni Pesantren yang berangkutan, Majelis Taklim kelompok remaja (putri dan putra), Majelis Taklim dengan program khusus Masyayih (lanjut usia), (3) Bustanul Athfal, (4) Al- Ma'had A1 Aly (Perguruan Tinggi Ilmu-Ilmu Salafiyah), (5) peringatan hari-hari besar islam, (6) setiap hari Jum'at menugaskan santrinya untuk menjadi Khatib dan Imam pada masjid, khususnya masjid yang di sekitar pondok, (7) setiap bulan Ramadhan menugaskan santrinya untuk berceramah pada masjid dan mushalla di kampung halamannya atau mengaji “pasaran”, yakni membaca kitab berdasarkan kemampuan santri secara tekun dan terus menerus sampai selesai. 2. Pesantren Khalafiyah (Modern) Pesantren Khalafiyah memadukan sistem Pesantren, Madrasah dan sekolah umum. Tipologi Pesantren Khalafiyah mengembangkan pendidikan keagamaan sejalan dengan pendidikan umum dengan bentuk-bentuk pelayanan pendidikan kepada masyarakat sebagai berikut: (1) Madrasah (MI, MTs, MA) dengan menggunakan kurikulum Departemen Agama, bahkan di antaranya sudah ada yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam, (2) Sekolah Umum (SDIT, SMPIT, SMAIT, SMKIT) dengan menggunakan kurikulum Depdiknas, bahkan di antaranya sudah ada yang mendirikan Perguruan Tinggi Umum, terutama yang berorientasi kepada masalah ekonomi dan keuangan, (3) RA/BA danTKA/ TPA/TPQ (4) Usaha-usaha di bidang ekonomi, seperti: koperasi simpan pinjam, warnet, wartel, toserba, waserda, rental komputer, (5) usaha-usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan perikanan, (6) pendidikan keterampilan, seperti: pertukangan kayu (mebelair), menjahit, elektronik, jasa boga, dan sebagainya, (7) mendirikan KBIH, (8) mendirikan panti asuhan, (9) peringatan hari-hari besar Islam, (10) mendirikan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). 3. Pesantren Kombinasi Pesantren Kombinasi memfokuskan diri pada'pendalaman dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman serta ilmu-ilmu umum dengan tetap menjaga dan mempertahankan karakteristik kepesantrenan. Bentuk-bentuk pelayanan pendidikan keagamaannya sebagai berikut: (1) menyelenggarakan Madrasah Diniyah menggunakan kurikulum pesantren, (2) menyelenggarakan majelis taklim, (3) menyelenggarakan Madrasah (MI, MTs, MA, MAK) dengan menggunakan kuriku- 12 lum Departemen Agama, tapi alokasi waktu pelajaran-nya diperbanyak. Bahkan di antaranya sudah ada yang mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam, (4) menyelenggarakan sekolah umum yang islami (SD, SMP, SMA, SMK) pada mata pelajaran umum menggunakan kurikulum Depdiknas, sedangkan pada mata pelajaran pendidikan agama Islam menggunakan kurikulum Departemen Agama yang telah dikembangkan oleh pesantren, (5) Menyelenggarakan pendidikan keterampilan, (6) Menyelenggarakan KBIH (7) Menyelenggarakan BA, TKA, TPA, TPQ. (8) Menyelenggarakan ZIS. Salafiyah Sebutan Salafiyah merupakan penisbatan dari As-Salafiyah, yaitu orangorang yang mendahului atau hidup sebelum zaman Nabi Muhammad SAW. Secara terminologis As-Salafiyah adalah generasi yang dibatasi penjelasan Rasullulah SAW, bahwa sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (tabi at-tabi’in) (HR. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadist ini, maka yang dimaksud dengan AsSalafiyah adalah para sahabat Nabi SAW, kemudian pengikut Nabi setelah masa sahabat, termasuk di dalamnya para Imam Mahzab karena mereka semua hidup di tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah Saw. Oleh karena itu, ketiga kurun ini kemudian dikenal juga dengan sebutan Al-quran Al-Mufadhdhalah (kurun-kurun yang mendapatkan keutamaan). Sebagian ulama kemudian menambahkan label AshShalih sehingga menjadi As-Salafiyahu Ash-Shalih untuk memberikan karakter pembeda dengan pendahulu kita yang lain yang datang sesudah generasi tiga kurun ini (yang kemudian dikenal dengan Al-Khalaf) sehingga seorang Salafiyah berarti seorang yang mengaku megikuti jalan para sahabat Nabi Saw dalam seluruh ajaran dan pemahaman mereka (Idahram, 2012). Istilah Salafiyah digunakan oleh kalangan pesantren untuk merujuk pada pengertian pesantren tradisional yang memandang dunia dan praktek Islam sebagai warisan sejarah, khususnya dalam bidang syaria’ah dan tasawuf. Dalam pengertian yang lebih umum, Pesantren Salafiyah merujuk pada paham Islam yang murni pada masa sebelum dipengaruhi oleh bid’ah dan kurafat (Bruinessen, 1995).Walau tidak diketahui secara pasti kapan Pesantren Salafiyah ada untuk pertamakalinya, namun dari pendapat beberapa sejawaran dapat diketahui bahwa Pesantren Salafiyah di Indonesia sudah ada sejak zaman Wali Songo. Pesantren Salafiyah adalah lembaga pendidikan tradisional Islam sebagai pedoman perilaku dengan karakteristik pendidikan yang sederhana dimana para santri yang menuntut ilmu bermukim (Mastuhu, 2004). Pesantren Salafiyah adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, termasuk di Banten. Lahir dan tumbuh dari budaya Indonesia yang asli. Ia tumbuh atas dasar prakarsa dan dukungan masyarakat, serta didorong oleh permintaan dan kebutuhan masyarakat (Yasmani, 2002). Pesantren Salafiyah di Banten sendiri bisa ditelusuri dari penelitian Martin Van Bruinessen yang menemukan situs pesantren paling tua, terletak di sekitar gunung Karang, sebelah barat Pandeglang. Pesantren ini termaktub dalam serat Centhini, sekitar tahun 1527 sebagai pusat pendidikan Islam yang dikenal hingga ke 13 Baghdad (Baedhawy; 2012). Temuan ini menjadikan Banten sebagai salah satu akar keberadaan Pesantren Salafiyah yang sampai kini masih ada. Sejak masa paling awal Banten telah dikenal sebagai tempat menimba ilmu dan memberikan kontribusi bagi perkembangan keilmuan di Jawa. Di antaranya adalah Nawawi al-Bantani (1220H/1815M) sebagai ulama dan tokoh Banten dengan 115 Kitab karangannya yang mendunia diseantero pendidikan dan peradaban Islam saat itu. Eksistensi Pesantren Salafiyah ditengah modernisasi pembangunan dan globalisasi menimbulkan tanggapan beragam. Bahkan tidak jarang mengundang konflik dan perdebatan tersendiri. Sebagian bersikap optimis dan sebagian lagi bersikap pesimis. Kalangan yang bersikap pesimis berpendapat bahwa Pesantren Salafiyah merupakan lembaga pendidikan tradisional yang eksklusif, sehingga ia akan sulit berkembang ditengah proses modernisasi karena pola pendidikannya terlalu lamban mencetak lulusan yang diharapkan masyarakat. Sedangkan kalangan yang bersikap optimis berpandangan sebaliknya, Pesantren Salafiyah sebagai lembaga pendidikan dan pemberdayaan masyarakat sampai kapan akan tetap eksis. Sebab Pesantren model ini berkarakteristik tradisional, asli Indonesia dan unik, serta kelahirannya dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan pendidikan bagi masyarakat pedesaan. Interaksi yang harmonis dan saling membutuhkan antara pesantren dan masyarakat menjadikan Pesantren Salafiyah kebal oleh situasi dan kondisi, sehingga ia mampu bertahan dan berkembang hingga saat ini (Rofa’i, 1994). Pesantren Salafiyah merupakan salah satu lembaga sosial keagamaan yang dapat dijadikan alternatif untuk sebuah perubahan. Kepemimpinan Kyai di Pesantren Salafiyah bersifat independen dengan visi moral yang kuat (Hefner 2000, Fatchan, 2004). Ketradisionalan Pesantren Salafiyah bukan berarti konservatisme intelektual. Justru sebaliknya, Pesantren Salafiyah dengan peran utamanya sebagai lembaga pendidikan mampu mengembangkan masyarakat, menjadi tempat bertanya segala hal termasuk politik dan menjadi simpul budaya, memiliki dinamika intelektual yang tetap terjaga dan tidak tergoyahkan esensinya selama berabad-abad (Mas’ud 2004: 35). Ziemek (1983) mempertegas pendapat tersebut bahwa dalam menghadapi arus modernisasi, pesantren bukan saja mampu mempertahankan eksistensinya, tetapi justru memiliki antusiasme dan konsisten menyambut esensi pembangunan (modernisasi) sekaligus mengejawantahkan etos dan misinya. Hingga kini, peran aktif Kyai Salafiyah dapat mempertahankan dan mengembangkan Pesantren Salafiyah semakin kuat. Fenomena itu menandakan bahwa Pesantren Salafiyah dan peran Kyai Salafiyah dalam pendidikan telah mendapatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat. Setidaknya Pesantren Salafiyah memiliki 3 (tiga) fungsi utama: religius (diniyah), sosial, (ijtimaiyah), dan pendidikan (tarbawiyah) (Mas’ ud 2004). Fungsi religius bermakna sebagai pengemban amanah menyebarkan agama, fungsi sosial bermakna mengemban tanggung jawab memberdayakan masyarakat melalui beragam aktivitas sosial keagamaan, fungsi pendidikan bermakna sebagai pengemban tugas sebagai penanggung jawab pengembangan pendidikan dan keagamaan (Sulaiman, 2010). Kyai Salafiyah juga dikenal sebagai pemimpin informal, berperan sebagai orang kunci (key person) dan agen perubahan sosial (Horikoshi, 1988). Sebagai agen perubahan, Kyai Salafiyah merespon perubahan dari luar, aktif melakukan 14 pemberdayaan masyarakat pedesaan di bidang sosial keagamaan (Fakih M, 2001). Pesantren Salafiyah di pedesaan memiliki peran penting dalam pembangunan “mulai dari bawah” atau ”dari yang paling membutuhkan.” Pesantren Salafiyah sekaligus juga menjadi organisasi sosial kemasyarakatan lokal (lokal organization) berperan penting dalam membantu mengembangkan komunikasi timbal balik antar berbagai pihak. Syaba (2004) menjelaskan bahwa Kyai dan Pesantren Salafiyah memiliki 3 (tiga) peran strategis dalam pembangunan masyarakat, yaitu Pesantren sebagai lembaga pendidikan, sebagai pusat penggemblengan kader-kader muslim, dan sebagai agen perubahan sosial melalui pengajian rutin, tahlilan, dan berbagai media kultural lainnya. Ketiga peran tersebut membuat kokoh masyarakat pedesaan yang masih ”terbelakang”, dimana kondisi masyarakat pedesaan cenderung rentan dalam menghadapi kekuatan penguasa yang sangat hegemonik dan arus globalisasi yang terus bergerak cepat. Secara sosiologis Kyai Salafiyah memiliki kedekatan dengan masyarakat pedesaan, memiliki keunggulan ilmu agama dan akses jaringan komunikasi di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Kyai Salafiyah berada pada posisi strategis sebagai agen pembaharuan (Syaba, 2004). Penelitian Terdahulu Penelitian dengan tema Pesantren sudah sering dilakukan. Namun, penelitian pesantren di bidang strategi komunikasi pembangunan Pesantren Salafiyah merupakan topik baru dalam penelitian. Pesantren dan Pelayanan Masyarakat (Muin, 2007) merupakan salah satu penelitian yang mengkaji: (1) sejauh mana tingkat kualitas pelayanan pendidikan keagamaan pesantren terhadap masyarakat? (2) Bagaimana bentuk pelayanan pendidikan keagamaan yang dilakukan pesantren terhadap masyarakat? (3) Bagaimana harapan masyarakat terhadap pelayanan pendidikan keagamaan yang dilakukan pesantren? Melalui penelitian ini, Muin menyimpulkan bahwa proses perubahan di Pesantren merupakan tuntutan untuk memenuhi pelayanan pendidikan keagamaan bagi masyarakat. Dewasa ini pesantren telah memberikan kontribusi melalui peran pendidikan, sosial dan budaya kepada masyarakat. Kontribusi ini diberikan oleh pesantren dengan tipologinya tradisional (tipologi Salafiyah), tipologi Khalafiyah dan tipologi Kombinasi (terpadu). Kontribusi yang diberikan pesantren memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. Sehingga dalam perjalanannya, pesantren semakin tumbuh dan berkembang baik secara kuantitas mau kualitas. Sampai saat ini, tidak sedikit masyarakat yang masih tetap menaruh perhatian terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan non formal yang mampu memberikan pelayanan pemenuhan pendidikan keagamaan yang berkualitas. Terlebih lagi dengan berbagai inovasi sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dengan mengadopsi corak pendidikan umum, termasuk pengembangan life skills dan pengembangan agrobisnis menjadikan Pesantren semakin kompetitif. Penelitian tentang Masa Depan Pesantren: Eksistensi Pesantren di tengah Gelombang Modernisasi (Sulaiman, 2010) mengkaji wali santri sebagai stakeholders yang berperan penting dalam dunia pesantren. Pemahaman dan pengertian wali santri yang sangat beragam memberikan gambaran eksistensi pesantren baik sebagai 15 pengemban Islamic values, sosial control dan sosial engineering dengan latar belakang wali santri yang berpendidikan rendah dan bermukim di pedesaan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tindakan para wali santri memondokkan anak ke pesantren memiliki beragam makna dan hal ini sangat ditentukan oleh latar belakang sosial-budaya dan sosial ekonominya. Makna-makna tindakan wali santri tampak dari motif adanya pengakuan akan ke-Salafiyahiahan Pesantren, pengelolaan Pesantren yang baik dan sistematis, program pendidikan yang beragam dan aplikatif, kedisiplinan pesantren, karisma Kyai, ketidakterlibatan Kyai dalam kegiatan politik praktis, keberhasilan alumni, menghindari pengaruh negatif teman sebaya, mempertahankan tradisi keluarga dan mempertahankan status sosial. Dilihat dari motif tujuan wali santri memasukan anak mereka ke pesantren dimaknai sebagai tindakan untuk memperoleh barakah ilmu Kyai, menjadi ahli di bidang ilmu agama, pembentukan budi pekerti yang baik dan pembentukan sikap mandiri. Makna-makna tindakan wali santri tersebut mencerminkan bentuk-bentuk dukungan terhadap Pesantren, sekaligus sebagai suatu bantahan terhadap pendapat sebagian kalangan bahwa Pesantren Salafiyah tidak akan mampu bertahan di tengah proses perubahan sosial. Selanjutnya, Rasyid (2012), membahas bagaimana karakteristik pendidikan tradisional, apa yang menjadi elemen-elemen pesantren? Bagaimana struktur Organisasi dan pola Manajemen Pesantren Tradisional? Kesimpulan dari penelitian ini adalah pola umum pendidikan tradisional meliputi dua aspek, (1) pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan literatur tradisional yang bersifat letterlijk, (2) pola umum pendidikan Islam tradisional yang memelihara subkultur pesantren, yakni landasan ukhrawi, terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak kepada ulama, mengutamakan ibadah, memuliakan Ustadz atau Kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Elemen-elemen pesantren meliputi lima elemen dasar yaitu; Kyai, santri, podok, mesjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning. Dalam struktur organisasi pesantren tradisional, peran Kyai sangat menonjol, Kyai sering kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang memyai kelebihan (maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya. Memaknai Eksistensi Pesantren Salafiyah Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang di Tengah Transformasi Zaman dari Perspektif Fenomenologi merupakan topik penelitian dari Hanafi dan Ahsanuddin (2008), bermaksud menjawab permasalahan: (1) bagaimanakah Pesantren Salafiyah Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang mendapatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat sekitarnya? (2) Bagaimanakah proses transformasi yang dilakukan oleh Pesantren Salafiyah Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang sehingga tetap mampu melayani kebutuhan pendidikan masyarakat modern? Kesimpulan dari penelitian ini adalah Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang, pada awalnya tampak enggan dan rikuh dalam menerima perubahan sehingga tercipta kesenjangan antara pesantren dengan dunia luar. Secara gradual Pesantren Mamba'ul Ma'arif akomodatif akhirnya menentukan pola yang dipandangnya tepat guna menghadapi perubahan yang semakin cepat dan berdampak luas. Hal itu 16 setidaknya dapat dilihat dari beragam inovasi layanan pendidikan yang ditawarkan Pesantren Mamba'ul Ma'arif. Namun demikian, perubahan tersebut hanya pada aspek artikulasi lahiriah saja, sementara aspek instrinsik (ruh, semangat, pemahaman keagamaan, dan nilai-nilai) tetap dipertahankan. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan perlunya peningkatan kepercayaan masyarakat melalui penyempurnaan sarana dan prasarana, serta layanan pendidikan pesantren, termasuk perlunya penelitian lanjutan yang terfokus pada inovasi layanan pendidikan sebagai wujud respon pesantren terhadap transformasi zaman yang hasilnya digunakan sebagai bahan program-program pesantren. Penelitian terdahulu tentang Pesantren Salafiyah memiliki kesamaan dengan apa yang dikaji oleh penulis pada sisi bagaimana Pesantren Salafiyah bertahan dalam era modern sekarang sejak kelahirannya 400 tahun lalu. Namun perbedaan kajian yang dilakukan penulis adalah menganalisis aspek pola, dan strategi komunikasi Pesantren Salafiyah untuk mengetahui peran apa yang dapat ditigkatkan oleh Pesantren Salafiyah dalam pembangunan.