Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang TEOLOGI ABU-ABU (Pluralisme Iman) Oleh: Pdt. Stevri Indra Lumintang, M.Th. Prakata: Prof. Joseph Tong, Ph.D. Prakata: Evendy Tobing, M.Div. Diterbitkan oleh: Departemen Literatur YPPII, Malang. Cetakan pertama, 2002. Page 1 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang BAB II LATAR BELAKANG BANGKITNYA TEOLOGI ABU-ABU (PLURALISME) DALAM TEOLOGI KRISTEN Dalam konteks kemajemukan agama, maka Pluralisme, secara historis sudah ada sejak adanya fakta pluralitas agama dalam masyarakat. Dari perspektif kekristenan, sejak generasi kedua dari manusia pertama, sudah ada kemajemukan agama yang diwakili oleh Kain dan Habel, dan sesudah itu, zaman para pendahulu Israel (para Patriarkh), seperti Abraham dan Israel fakta kemajemukan agama sudah tidak asing lagi sebagai pengalaman sesehari seperti pengalaman orang kristen di Indonesia yang lahir dan langsung berhadapan dengan fakta kemajemukan agama. Dengan kata lain, sejak dunia ini memiliki dua atau lebih agama, maka sejak itulah masyarakat sudah mulai mengembangkan pluralisme, apakah dalam bentuk teori atau praktek. Jadi pluralitas agama khususnya yang diikuti dengan pluralisme, tidaklah lahir pada zaman modern ini. Pada masa kini, memang sangat terasa pengaruhnya karena adanya kebangkitan agamaagama. Kebangkitan agama-agama ini, disertai juga dengan kebangkitan fundamentalisme atau militanisme yang sangat berpotensi untuk menciptakan perang agama dan yang kemudian bisa menyebabkan perang dunia. Untuk para teolog dari semua agama, tidak ketinggalan teolog-teolog Kristen, berusaha membangun teologi abu-abu atau pluralisme dalam teologi kristen. Inilah kebangkitan pluralisme. Ada beberapa faktor yang menyebabkan bangkitnya semangat pluralisme dalam teologi Kristen, sehingga membuat banyak teolog Kristen khususnya yang beraliran Oikumenikal, menilai kembali secara serius sikap eksklusif atau tertutup dari ajaran Kristen tradisional atau ortodoks yang telah berurat akar sejak gereja abad pertama dan yang dipegang juga oleh pada umumnya bapak gereja. Dalam konteks Page 2 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang masyarakat dunia yang majemuk dalam keagamaan, maka paling sedikit, ada tiga faktor yang menjadi penyebab bangkitnya semangat pluralisme di kalangan teolog dunia termasuk di Indonesia, yaitu: pertama, adanya fenomena pluralitas agama clan kebudayaan yang masing-masing mengakui kemutlakkan agama dan budayanya masing-masing; kedua, merasuknya filsafat relativisme diantara para pemikir dari masing-masing agama; dan ketiga, pengaruh teolog dan teologi Barat, khususnya Asia. A. Fakta Kemajemukan Agama dan Tuntutannya Pada umumnya negara-negara dunia ketiga atau belahan dunia selatan adalah negara-negara yang kaya dengan latar belakang budaya, agama, ras. Agama dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Karena agama ada dalam satu konteks budaya tertentu dan paling sedikit agama tersebut dipengaruhi oleh budaya lokal. Misalnya agama Islam di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh perpaduan budaya Hindu, Budha dan Islam. Sehingga Islam Indonesia, khususnya Jawa adalah berbeda dengan Islam Timur Tengah. Begitu juga, kekristenan Indonesia adalah berbeda dengan kekristenan Barat. Karena kekristenan di Indonesia sejak awalnya berhadapan dengan fakta kemajemukan agama, apalagi kekristenan di Indonesia dipersulit karena dikondisikan sebagai kelompok minoritas. Negara-negara dunia ketiga, yang sebagian besar mendiami benua Asia dan Afrika serta Amerika Latin, memiliki kesamaan fenomena agama, budaya yang majemuk. Kekeristenan di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tidak bisa menghindarkan diri dari perjumpaan yang sungguh dengan agama-agama lain. Dalam konteks kemajemukan agama, maka agama kristen tidak bisa acuh tak acuh dengan keanekaragaman agama disekitarnya. Karena itu, Hans Kung dalam tulisan Pinnock berkata : " For the first time in world history it is impossible for any one religion to exist in splendid isolation and ignore the others ".1 Apakah mereka memilih atau tidak, agamaagama tidak akan mampu menghindarkan kontak dengan agama lain. Page 3 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang Kesadaran masing-masing agama mengenai fakta kemajemukan agama, tidak hanya sampai pada tingkat mengakui kehadiran atau keberadaan agama-agama lain, melainkan juga dituntut kesiapan dan kemauan untuk membangun hubungan yang baik atau toloransi agama. Fakta ini dihadapi oleh banyak negara berkembang di dunia, sebagai suatu tantangan yang sudah lama berakar dalam masingmasing agama misalnya di Indonesia. Keberagaman agama sudah menjadi pengalaman tiap-tiap hari dari masyarakat yang dialami oleh banyak tempat di dunia kedua dan ketiga, berbeda dengan orang yang tinggal di negara-negara yang terbilang dalam golongan dunia pertama, yang asing dengan kemajemukan. Pinnock berkomentar sama, bahwa: Bagi orang-orang percaya di dunia kedua clan ketiga, pluralisme merupakan suatu fakta kehidupan yang dihadapi setiap hari, namun itu adalah suatu pengalaman baru untuk kita bertemu dengan orang Sikh, Islam dan Budha di jalan-jalan dan di toko-toko. Globalisasi telah datang ke Amerika Utara. Kita sedang mengalaminya untuk diri kita, pertama kali dan kita akan menjadi lebih global dalam pemikiran kita.2 Pengalaman hidup bersama dalam keberagaman agama, bukanlah suatu fakta yang mudah dihadapi. Oleh karena masing-masing agama memiliki klaim keabsolutan dan kefinalitas agamanya masing-masing. Selain itu, masing-masing agama juga memiliki misi untuk penyebarluasan agamanya. Fakta ini, bukan tidak mungkin, bahkan sangat rawan menimbulkan konflik antar agama yang mengancam keutuhkan suatu negara. Maka itu selain pemerintah, pemimpin-pemimpin agama dituntut untuk menstimulasi jiwa toleransi antar pemeluk agama yang berlainan. Tuntutan kemajemukan inilah yang membuat para pemimpin agama menyusun ulang posisi doktrinalnya untuk menjawab tuntutan dan tantangan pluralitas agama. Hal inilah yang menstimulasi bangkitnya pluralisme dalam teologi masing-masing agama, termasuk kristen. Indonesia khususnya, dikenal sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman budaya, suku, bahasa, kelompok etnis, dan agama.3 Sekalipun Indonesia adalah negara yang paling majemuk di dunia, namun kemajemukan ini dapat diharmonisasikan oleh dasar Page 4 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang falsafah negara, yaitu Pancasila, dengan lambang negara, yaitu Burung Garuda, dan semboyannya, yaitu Bhinneka Tunggal Ika, serta bahasa pemersatunya ialah bahasa Indonesia. Memang fakta ini tidak menghapuskan kemelut yaitu "perang dingin agama". Karena masing-masing agama, tetap mempertahankan klaim keabsolutan dan kefinalitasannya masing-masing.4 Terhadap kenyataan ini, masingmasing agama dan didukung oleh pemerintah, menggalang persatuan melalui pertemuan-pertemuan antar pemimpin agama dan berdialog. Dalam kubu kekristenan, yang paling bersemangat dalam upaya dialog ini, ialah kelompok yang menamakan dirinya Golongan Oikumene yang pada umumnya berada di bawah payung PGI dan DGD.5 Mereka memandang bahwa kemajemukan agama ini adalah kekayaan yang tiada taranya, maka studi mengenai agama-agama lain harus secara intensif. Hal ini dikarenakan oleh presuposisi yang telah berakar pada mereka, yaitu dalam tradisi-tradisi agama, banyak menyimpan kekayaan rohani, kebenaran yang adalah kebenaran Allah. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagian tokoh PGI dan DGD, tidak puas dengan hasil yang dicapai melalui dialog selama ini. Karena itu, mereka berusaha untuk mengkaji ulang konsep dialog yang menurut mereka adalah keliru, karena masih ada unsur pemberitaan Injil, keunikan, dan keabsolutan Kekristenan.6 Dialog merupakan metodologi kaum pluralisme. Dialog menjadi keharusan dalarn kebersamaan. Menurut Rakhmat bahwa ada dua faktor yang menyebabkan dialog menjadi kebutuhan yang mendesak, yaitu faktorfaktor ekstragerejawi dan faktor-faktor intra-gerejawi. dan konsep dasar dari metodologi ini adalah dibangun di atas doktrin Kristus yang dikuasai oleh pandangan pluralisme juga. Berkenaan dengan itu, ia mengemukakan tiga faktor yang mendesak adanya dialog.7 Sedangkan Tanja memaparkan dua langkah dalam perjumpaan antara agama Kristen dan Islam, yaitu langkah membagi pengalaman, dimana makna yang terdalam dari iman haruslah ditemukan dalam agama hati dan bukan pada hukum-hukum; kedua ialah diskusi teologi tanpa mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang ada.8 Dari beberapa rumusan, maka ternyata konsep dialog kaum pluralisme di atas, adalah dibangun di atas rumusan teologis. Page 5 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang Karena itu, Darmaputera menulis: "Dialogue needs, of course, psychological readiness. But it also needs theological readiness." (dialog pasti membutuhkan kesediaan psikologis, juga memerlukan 9 kesediaan teologis). Kesiapan teologis ini, adalah dalam pengertian siap untuk bersikap inklusif, yaitu kesiapan untuk menerima pandangan teologis agama-agama lain, dan kesiapan untuk merubah posisi teologis kristen yang selama ini sudah dijadikan pegangan dan pengakuan. Kesiapan untuk merubah atau menyangkal finalitas kebenaran Alkitab. Tuntutan kemajemukan agama dengan metode dialogis yang dijagokan sebagai jalan keluar, telah mendesak para teolog khususnya kaum pluralis untuk mengkaji ulang pemahaman doktrinal yang selama ini sudah berurat-akar, untuk menemukan teologi yang baru, sebagai suatu tanggapan positif terhadap tuntutan kemajemukan, dan sebagai usaha membuka jalan raya bagi berlangsungnya dialog yang mulus. Di sinilah dan dalam hal inilah, pluralisme semakin merajalela di dunia kekeristenan khususnya yang hadir dalam konteks kemajemukan agama. B. Relativisme: " Semua adalah Relatif dan Sama " Relativisme mengatakan bahwa kebenaran adalah relatif. Berkenaan dengan itu, filsuf Yunani, yaitu Protagoras menegaskan bahwa tiap manusia adalah ukuran bagi segala sesuatu.10 Relativisme telah menguasai hampir semua bidang kehidupan dan penelitian, diantaranya dibidang Etika dengan etika situasional dan dibidang agama dengan mencanangkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak atau universal.11 Pada abad XX, Banyak pemikir, khususnya kaum pluralis yang berusaha mencari jalan keluar atas persoalan hubungan antara agama-agama, yaitu dengan memakai titik tolak yang relativistis. Diantaranya ialah Ernst Troeltsch yang melihat kekristenan dari sudut relativisme kultural. Ia mengemukakan tiga sikap yang populer terhadap agama-agama, yaitu : " 1). Semua agama adalah relatif; 2). Semua Page 6 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang secara esensial adalah sama; 3). Semua memiliki suatu asal-usul psikologis yang umum."12 Yang dimaksud dengan semua agama adalah relatif, yaitu terbatas, tidak sempurna, satu cara pencarian. Karena itu, Kekristenan adalah agama yang terbaik untuk orang Kristen, begitu juga, Hindu adalah agama yang terbaik untuk orang Hindu. Dan semua agama secara hakiki adalah sama, karena semuanya memiliki commen essence, commen purpose dan klaim superiornya masingmasing. Semuanya ini didasarkan pada pemahaman bahwa segala sesuatu adalah relatif. Inilah yang membangkitkan motto kaum pluralis bahwa : " pada intinya, semua agama adalah sama, jalan-jalan yang berbeda memimpin ke tujuan yang sama" - Deep down, all religions are the same different paths leading to the same goal." 13 Semua agama adalah sama tapi relatif, artinya sama-sama memiliki jalan yang berbeda mencapai tujuan yang sama, yaitu sorga. Tokoh lain yang menekankan Relativisme sebagai sikap atas persoalan hubungan antar agama, ialah Arnold Toynbee yang mengatakan bahwa semua agama sementara mempertahankan identitas historis masing-masing, akan menjadi lebih terbuka pikiranpikiran dan hatinya terhadap satu dengan yang lainnya sebagaimana warisan-warisan spiritual dan kultural dunia yang berbeda-beda, makin menjadi kepunyaan bersama seluruh umat manusia.14 Rakhmat memaparkan tiga kemungkinan relativisme yang biasa dianut oleh orang dalam menghadapi persoalan hubungan antar agama. Namun ketiganya, menurut dia adalah bukanlah jalan keluar.15 Apalagi dengan pendekatan eksklusivisme tidaklah mendatangkan pemecahan. Karena itu, ia mengusulkan satu jalan keluar yang radikal yaitu dialog.16 Relativisme telah menjadi api yang membakar semangat kaum pluralis dalam berdialog dengan pendekatan yang inklusif, dan yang membuang finalitas Yesus. Pluralis India, Stanley Samartha berpendapat : " Semua pendekatan orang kristen terhadap agama lain adalah berdasarkan pada suatu teori kekristenan yang tanpa nama atau kristologi kosmik ... Orang kristen tidak boleh melupakan bahwa dalam inkarnasi, Allah merelatifkan diri-Nya - all christian approaches to other religions based on a theory of anonymous Christianity or Page 7 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang cosmic christology...Christian must never forget that in the incarnation God relativezes himself." 17 C. Teologi Sekularisasi Barat Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, bahwa teologi di negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia adalah teologi yang kental dengan muatan budaya Barat. Hal ini dimungkinkan oleh karena dua Faktor. Faktor pertama ialah para misionaris Barat membawa Injil dalam wadah kebudayaannya sendiri yaitu kebudayaan Barat. Hal ini dipersalahkan oleh banyak misiolog dunia ketiga,18 dengan argumentasi bahwa penginjilan adalah tidak lebih dari pada westernisasi atau pembudayaan kekristenan. Akibatnya menurut mereka ialah kekristenan masih menjadi asing di negaranegara berkembang. Di sisi lain, mereka juga berusaha untuk menghindarkan diri dari upaya pempribumian (indigenization). Bagi penulis, warna kekristenan di Indonesia khususnya, tidaklah mutlak mempersalahkan gereja-gereja Barat. yang membawa Injil dengan budaya Barat, oleh karena mereka sangat berhati-hati dengan bahaya sinkritisme. Selain itu, tidak mungkin mereka menjadi orang lain, mereka tetap menjadi diri mereka sebagai orang Barat yang berbudaya Barat. Faktor kedua, ialah banyak teolog nasional pergi ke dunia Barat dengan sponsor penuh orang Barat, mendapat pendidikan teologi dengan cara pikir Barat. Setelah menyelesaikan studi, langsung kembali ke Indonesia dan menerapkan teologi dengan cara pikir dan budaya Barat. Tanpa mempertimbangkan kebutuhan konteks, mereka dengan serta merta menerapkan teologi Barat di negara-negara dunia ketiga, seperti di Indonesia. Apakah kesalahan hanya dialamatkan kepada gerejagereja Barat. Dalam hal ini, gerejagereja dunia ketiga yang mempersalahkan kekristenan masih menjadi asing, adalah lempar batu sembunyi tangan. Dalam arti turut bersalah, namun melimpahkan kesalahannya hanya kepada gerejagereja Barat yang sesungguhnya sudah " berjasa " dalam hal membawa Injil ke negara-negara dunia ketiga. Page 8 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang Teologi Barat yang dibawa pulang oleh pada umumnya teolog dunia ketiga tamatan seminary Barat seperti Indonesia yang adalah teologi yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Barat. Salah satu teologi Barat yang sarat dengan muatan budaya Barat ialah teologi sekularisasi. Istilah itu sendiri muncul pada era renaissance, kemudian ditransfer oleh gereja, khususnya oleh sebagian teolog yang menyadari kekurangan gereja selama ini. Karena itu, mereka mulai membangun teologi sekularisasi untuk menghadapi kekolotan gereja yang mengisolasikan diri dari dunia sekuler, yang berdampak pada pemisahan gereja dengan dunia disekitarnya. Teologi sekularisasi merupakan upaya masyarakat modern yang ingin keluar dari penjajahan gereja atas dunia sekuler. Sebagai gantinya, mereka menekankan kewajiban gereja terhadap masalah dunia dan menekankan keterlibatan para teolog di bidang sosial. Teologi sekularisasi berupaya untuk menghilangkan batas antara gereja dan dunia, batas antara dunia sakral dan dunia sekuler. Hal ini memang merupakan suatu kontribusi positif bagi gereja yang tidak berperan sebagai terang dalam dunia, bagi gereja yang demi mempertahankan kesuciannya, maka mengasingkan diri dari dunia kehidupan yang nyata. Namun bahayanya cita-cita kaum sekularis ialah membangun cita-cita tersebut di atas dasar konsep yang anti-scriptural, yakni menolak konsep Allah yang transenden, menolak keilahian Yesus. Selain itu teologi sekularisasi adalah teologi yang dibangun di atas filsafat yang menolak atau menyangkal adanya Tuhan, serta mendasarkan pemikirannya kepada kemampuan manusia yang harus mandiri, tanpa bergantung kepada Allah, seperti komentar seorang tokoh teologi sekularisasi yang terkenal yakni Dietrich Bonhoeffer. Beliau berpendapat bahwa : " manusia yang akan datang (intinya manusia modern), bukan sebagai pemberontak kepada Allah, melainkan sebagai penganjaran Allah untuk manusia, dimana manusia akan menjadi manusia yang tidak bergantung lagi kepadaNya. Manusia kan menjadi manusia yang mandiri. Hal ini sama dengan harapan orang tua yang bertanggung-jawab ialah menghendaki agar supaya anakanaknya kelak, tidak bergantung kepada mereka, orang tua. Demikian dengan harapan Allah bagi umat-Nya.19 Inilah yang disebut pragmatisme, Page 9 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang yang mengukur segala sesuatu berdasarkan aspek manfaat, mengakui keberadaan dan kebenaran Tuhan dari segi manfaatnya Tuhan bagi manusia dan kemanusiaan. Pada era enlightenment abad 18, teologi sekularisasi semakin besar pengaruhnya dalam kekristenan, semakin mempertajam pergulatan antara rasionalisme dan agama, antara ilmu dan iman. Teologi sekularisasi menuntut gereja untuk melayani dan memberikan perhatian utama kepada dunia sekuler dengan dasar konsep Allah yang imanensi dan menolak konsep Allah yang transendental. Sama dengan pandangan yang merasuk teolog panteistik, yang memandang dunia sebagai allah. Semangat teologi sekularisasi dipacu oleh motto "menjadi jujur kepada Allah" mereka mencela ajaran-ajaran kristen yang menurut mereka adalah tidak jujur kepada Alah, karena ajaran produk budaya, filsafat ontologis, kekeristenan yang religius. Salah satu teologi sekularisasi ialah "teologi yang sudah mati" yang bertolak dari konsep "gerakan Allah mati". Teologi ini mencoba untuk mendeklarasikan kematian Allah, ketidak berdayaan Allah, namun sesungguhnya teologi ini sedang mendeklarasikan kematian penganut teologi ini yang sedang mati. Teologi sekularisasi adalah teologi yang sudah mulai tidak laris, sekalipun demikian kalau tanpa disadari maka prinsip-prinsip teologi tersebut masih sangat berpengaruh, karena menyerang inti iman kristen. Dengan motto kejujuran, mereka sendiri tidak berlaku jujur, karena menentang keberadaan Allah yang transenden, tidak jujur terhadap Alkitab. Apa yang mereka persoalkan di atas ialah konsep Deisme yang pada hakekatnya bukanlah ajaran kristen. Sekalipun demikian, mereka tetap tidak jujur karena tidak membuka mulut untuk membicarakan apa yang Alkitab bicarakan. Mereka hanya menekankan satu sisi dari keberadaan Allah oleh karena tuntutan cita-cita teologi mereka. Inilah ketidak jujuran mereka yang bermottokan kejujuran. Mereka telah membuang konsep theistik yang mengakui keberadaan Allah yang transenden sekaligus imanen. Sebaliknya merekamembuka mulut lebar-lebar membicarakan konsep Allah yang pantheistik yang sejujurnya tidak dibicarakan sedikitpun oleh Alkitab. Inilah ketidakjujuran mereka yang menjunjung tinggi kejujuran. Page 10 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang Ada tendensi yang sangat kuat, bahwa teologi sekularisasi merupakan akar atau sumber pemikiran dari kaum pluralis dalam membangun teologi kemajemukan mereka. Karena sekularisasi merupakan istilah yang sangat dominan membahas hubungan antara agama dan masyarakat. Pokok persoalan yang utama dibahas oleh para teolog mengenai relasi agama dan masyarakat ialah Pluralisme. Professor Sosiologi dari Queens University, Kanada yakni D. Lyon berkomentar bahwa : Pluralisme merupakan pengasingan agama kepada lingkungan kehidupan yang bersifat urusan pribadi, mengasingkan gereja pada pingiran-pingiran sosial, bahkan membuat suatu berhala baru. Pluralisme mencuat bersama dengan sekularisasi.19b Dalam hal ini., antara pluralisme dan sekularisme adalah saling terkait erat satu dengan yang lain. Yang jelas, pluralisme sangat dijiwai oleh semangat sekularisme. Ada pun indikasi ini dapat dilihat di bawah ini : 1. Tokoh-tokoh teologi sekularisasi, seperti Harvey Cox dalam bukunya yang berjudul "The secular City" (1965) mencoba membuktikan bahwa sekularisasi mendapat dukungan Alkitab, dengan menegaskan bahwa Allah bukanlah Allah milik agama, melainkan milik dunia yang imanen. Untuk itu manusia harus dibebaskan dari pengaruh gereja yang menekankan hal-hal yang metafisik atau supernatural; Paul Tillich dalam bukunya " The Shaking of the Foundations " berusaha mengoncangkan dasardasar iman kristen yang menurutnya adalah jauh dari jangkauan dunia sekuler; Dietrich Bonhoeffer dengan tulisan-tulisannya yang banyak jadikan dasar berpijak teologi sekularisasinya Robinson; John.A.T. Robinson dengan bukunya yang terkenal " Honest to God (1963). Pada umumnya, pandangan mereka adalah berusaha meniadakan semua unsur supernatural atau yang metafisik. Dengan kata lain, Allah yang transenden tidak diakui oleh mereka. Itu berarti menolak Allah (theistik) dalam aj aran Alkitab. Pemikiran para pelopor teologi sekularisasi ini, banyak dijadikan referensi oleh kaum pluralis. Misalnya C.S. Song mengakui pengaruh Bonhoeffer dalam gerakan teologi sekularisasi di Barat sebagai wujud tanggung-jawab geraja atas dunia, sebagaimana cita-citanya dengan tanggungjawab gereja Asia di dunia Asia yang penuh Page 11 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang dengan penderitaan sosial. Song juga mendukung dan mengembangkan teologi sekularisasinya Harvie Cox dan John A.T. Robinson untuk menyusun ulang pemahaman kristen seperti usahanya selama ini.20 2. Berdasarkan studi banding antara tulisan Robinson dalam bukunya yang terkenal Honest to God, dengan tulisan para pelopor dan penganut pluralisme, maka dapat ditemukan titik kesamaan konsep teologi. Kesamaan konsep ini mengindikasikan bahwa keduanya saling mendukung. Berdasarkan studi yang lebih terkosentrasi, maka penulis beranggapan bahwa teologi sekularisasi yang melahirkan, atau paling tidak menumbuhkan dengan suburnya pluralisme dalam teologi Kristen. Ada pun titik kesamaan konsep teologi kaum pluralis dan sekularis, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Metodologi kaum pluralis yang menekankan pendekatan kristologi dari. bawah, juga merupakan pendekatan kaum sekularis. Sebagaimana Robinson menyangkal konsep Allah yang transenden dan supernatural, ia juga menyangkal kesatuan dua natur dalam pribadi Yesus (natur insani dan ilahi). Ia menolak keilahian Yesus dan hanya menerima keinsanian Yesus, dengan menekankan bahwa Yesus adalah salah satu dari manusia yang menyerahkan dirinya untuk manusia dan kemanusiaan.21 Demikian dengan metode pendekatan kaum pluralis dengan sekutu-sekutunya yakni teologi hitam, teologi pembebasan, teologi pengharapan, clan feminisme, adalah menekankan keinsanian Yesus sambil mempropaganda citacita kemanusiaan mereka yang tanpa Allah. Yesus Kristus tidak dilihat sebagai Allah yang menjadi manusia, melainkan berusaha memahami bagaimana keunggulan Yesus dengan referensi Roh Allah ada pada-Nya, kemudian mereka melihat Yesus sebagai Allah atau yang memiliki sifat Allah. Pandangan seperti ini, sama dengan pandangan adopsianisme, yang memahami Yesus sebagai manusia biasa, namun diangkat menjadi Allah pada waktu Ia dibaptis. Semua pandangan ini, jelas bukanlah ajaran Alkitab, karena berseberangan dengan kristologi Injil Yohanes. Page 12 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang b. Penekanan pada Kristologi Fungsional merupakan ciri khas yang sangat menonjol baik dalam pemikiran dan praktek kaum pluralis maupun kaum sekularis, yaitu melihat Yesus dari sudut manfaat. Robinson sangat menekankan Allah yang imanen, Allah yang dekat dengan manusia, yaitu Allah yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. Dengan prinsip kasih, maka beliau menyatakan bahwa kasih adalah kebenaran tertinggi. Kaum pluralis seperti Song, Takenaka clan Koyama melihat Allah dalam perspektif yang sangat menyentuh kebutuhan manusia yang konkrit, yaitu masalah-masalah penderitaan yang sebabkan oleh kemiskinan, ketidakadilan sosial, peperangan, sambil mengevaluasi teologi Asia yang selama ini didominasi oleh teologi Barat yang menurut mereka tidak menyentuh kebutuhan manusia Asia yang menderita 22 Mereka sangat berantusias untuk menempnkan manfaat Yesus bagi manusia. Lebih tepat lagi, mereka menggali makna kehadiran Yesus dalam dunia yang menderita. Hal ini dikembangkan oleh para teolog Katolik dengan mengemukakan mengenai kehadiran Yesus dalam penderitaan manusia tanpa mengenal batas-batas agama, dan tanpa mengenal nama Yesus itu sendiri, namun kehadiranNya pasti ada sekalipun tanpa dikenal dengan nama Yesus. c. Baik kaum pluralis maupun kaum sekularis, keduanya menolak formula teologi tradisional (Orthodoks). Hal ini nampak dalarn sikap mereka yang terang-terangan menolak formula teologi tradisional atau orthodoks. Seperti sikap seorang sekularis radikal yakni John A.T.Robinson, ia menolak rumusan Chalcedon mengenai kedua natur Yesus, karena baginya rumusan tersebut telah bekerja dengan satu skema supernatural. Hal ini oleh dunia modern adalah mitos karena bersifat metafisik.23 Demikian juga dengan sikap seorang pluralis tulen seperti C.S. Song, beliau mati-matian menyangkal rumusan Chalcedon, karena rumusan tersebut merupakan rumusan teologi tradisional yang sangat dibenci oleh kaum pluralis. d. Baik kaum pluralis maupun kaum sekularis, keduanya sangat menjunjung tinggi norma kasih sebagai dasar etis yang Page 13 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang paling tinggi. Bagi Robinson, kasih merupakan kebenaran akhir. Karena kasih adalah dasar keberadaan manusia, kasih adalah kompas dan kebutuhan mendasar manusia, maka kasih adalah ukuran skmua kebenaran manusia. Benar tidaknya sesuatu dan segala sesuatu diukur dengan kasih, yaitu apakah ada kasih. Demikian juga dengan Song yang menempatkan kasih sebagai dasar keselamatan dan etika. Beliau memisahkan antara kasih dan kebenaran. Baginya kebenaran itu adalah menghakimi dan memisahkan, sedangkan kasih adalah merangkul. Karena itu kasih adalah lebih tinggi dari kebenaran.24 Jadi baik kaum pluralis maupun kaum sekularis, keduanya membangun suatu teologi etis yang seirama dengan etika situasinya Fletcher yang antinominal sekaligus antiAlkitab. e. Adanya kemiripan pandangan kaum pluralis dan kaum sekularis. Seperti Bonhoeffer, is tidak memikirkan kealpaan Allah dalam dunia sekuler. Bagi dia, Allah hadir dalam dunia tanpa agama. Karena itu menj adi kristen bukan berarti menjadi orang yang beragama, melainkan menjadi manusia. (Erickson, 1985:900). Itu berarti agama kristen bukanlah satusatunya agama yang memiliki Allah yang benar, karena Allah justru hadir di luar batasan agama apapun. Hal ini pun dipropaganda oleh kaum pluralis, bahwa klaim kekristenan mengenai keabsolutan Yesus merupakan batu sandungan orang beragama lain. Sehingga dengan mengembangkan konsep kehadiran Allah, bukan hanya di dunia sekuler, juga di agama-agama lain, mereka menegaskan bahwa agama kristen bukanlah satusatunya agama yang memiliki kebenaran. Sebenarnya, cita-cita baik para penganut Teologi Sekularisasi maupun para penganut pluralisme adalah baik, dalam artian bahwa mereka bertolak dari kerinduan yang dalam dengan upaya yang kuat untuk menghadirkan kekristenan yang kuat dan relevan di tengah-tengah pemikiran modern dan di tengah-tengah fenomena dan tantangan kemajemukan agama. Namun sangat disayangkan cita-cita tersebut sangat tidak terpuji karena rela mengorbankan asas utama dari semua agama, secara khusus mengorbankan asas utama iman dan ajaran Kristen, yakni finalitas Yesus Page 14 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang atau keabsolutan kebenaran Alkitab sebagai satu-satunya penyataan khusus Allah bagi manusia. D. Globalisasi Perkembangan budaya manusia dewasa ini ditandai oleh proses modernisasi dan globalisasi, telah mencapai taraf yang luar biasa. Manusia terus bergerak ke arah terwujudnya satu masyarakat yang maju dan global. Peluang terciptanya masyarakat yang demikian semakin dipacu oleh kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi interaktif yang serba canggih, setelah era industrialisasi. Dunia seolah semakin sempit, ruang dan waktu semakin relatif. Kemudahan demi kemudahan semakin akrab dengan manusia. Tidak ada lagi yang tersembunyi pada manusia, dibelahan bumi manapun ia berada. Semuanya serba terbuka, dan serba cepat, serta serba gampang diperoleh. Proses globalisasi yang demikian menciptakan mental manusia yang serba instant. Namun di sisi lain, kenyataan seperti ini melahirkan kebudayaan yang rusak dengan prinsip "Siapa cepat dia dapat dan siapa kuat dia bertahan atau menguasai." Tentu saja hal ini akan sangat berpotensial dalam memberikan dampak negatif pada manusia, khususnya dalam berkenaan dengan hubungan antar sesama manusia yang pasti diwarnai dengan kemerosotan ahlak dan moral. Untuk mengatasi semua ini, maka dunia agama bangkit dengan beban yang sama. Semua agama bersama-sama memikirkan beban yang sama ini, sehingga melahirkan paling seclikit kerja sama antar agama. Kerja sama antar agama untuk mengatasi masalah-masalah moral, tentu tidak luput dari penyatuan persepsi. Penyatuan persepsi ini tentu tidaklah gampang, karena masing-masing agama memiliki dasar berpikir. Untuk menanggulanginya, maka kaum pluralis dari masing-masing agama bangkit untuk memelopori pertemuan agama tanpa membawa keabsolutan masing-masing agama. Di sinilah salah satu aliran anak sungai yang mengalir ke induk sungai, untuk memperbanyak alasan bangkitnya Teologi Agama-agama. Page 15 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang Selain apa yang telah dikemukakan di atas, maka globalisasi juga telah memberikan angin segar bagi tumbuh suburnya pluralisme. Globalisasi telah memberikan kesadaran kepada kaum pluralis untuk menanggapi clan mengikuti proses globalisasi yang sedang bergulir dengan cepatnya sehingga keterbukaan agama yang satu dengan agama lain semakin ditumbuh-kembangkan. Inilah kesadaran pluralisme yang searah dengan tuntutan globalisasi. Karena itu kaum pluralis merasa perluh untuk membangun suatu metode yang baru dalam rangka mewadahi keterbukaan dunia sekaligus juga keterbukaan agama melalui persekutuan bersama tanpa ada rasa curiga diantaranya. Dunia telah menjadi suatu kampung global, tidak ada lagi yang tersembunyi. Dalam konteks agama, maka persoalan keagamaan yang terjadi di satu wilayah dunia ini, langsung diketahui dalam waktu singkat oleh semua agama yang ada di dunia ini. Kenyataan ini, mengundang para pemikir agama untuk membangkitkan semangat keterbukaan agama demi kesejahteraan kampung global. Karena itu, Knitter mengusulkan suatu teologi global atau teologi mendunia. Teologi Global yang dimaksudkannya ialah teologi yang dapat diterima oleh semua agama-agama yang ada di seluruh dunia ini. Teologi Global tersebut adalah teologi yang tidak hanya dapat menjembatani pertemuan antar semua agama, melahnkan juga mewadahi dan menerima semua kebenaran agama-agama yang ada di dunia ini. (Knitter 1989:223) Akhinya pengaruh Globalisasi dengan sistem teknologi media elektronika yang serba canggih, semakin mempercepat penyebaran pluralisme dalam teologi kristen, khususnya melalui media internet yang secara bebas orang memuat pandangannya dan secara bebas pula orang memperolehnya dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini ternyata sudah dimulai dengan antusias oleh beberapa teolog pluralis Indonesia dengan Forum Elektronik Cyber GKI.25 Page 16 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang E. Sekolah Tinggi Teologi dan Literatur Kaum Pluralis Dunia Barat atau negara-negara yang dikenal sebagai dunia pertama, hingga saat ini diakui sebagai negara yang mempengaruhi hampir seluruh benua, tidak terkecuali Asia, dalam semua bidang kehidupan manusia. Secara khusus, dalam dunia pendidikan teologia, dunia Barat sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu menjadi sentral pendidikan dunia pada umumnya. Bersamaan dengan itu, sekularisasi dan humanisasi dari masyarakat Barat, secara khusus yang mencuat pada permulaan abad 20, telah membawa perubahan yang sangat signifikan dalam dunia pendidikan teologi Kristen khususnya di Asia termasuk Indonesia. Ilmu Teologi yang diperoleh oleh para teolog yang menganut pluralisme di Indonesia ialah berasal dari Teologi Barat. Mereka melanjutkan studinya di seminari-seminari Barat seperti diantaranya ialah Union Theological Seminary, New York-USA; Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda (Eropa) yang menjadi gudangnya teologi liberal, pabriknya universalisme dan pemasok pikiran pluralisme di Indonesia. Pikiran Pluralisme mereka adalah bertolak dari metode kritik Alkitab untuk memberikan landasan teologis mengenai teologi agama atau pluralisme agama yang sudah dirumuskan sebelumnya. Pikiran ini sangat merusak pemikiran dari beberapa pluralis Indonesia yang umumnya dididik dalam pendidikan teologi Barat yang kental dengan pikiran liberal26 Anehnya, setelah mereka kembali ke Indonesia, mereka justru memandang rendah teologi Barat yang bagi mereka adalah tidak dikemas dalam konteks kemajemukan agama seperti di Indonesia. Maka dengan didukung oleh para teolog Barat yang telah sadar dari mimpinya selama ini mengenai teologi tradisional, maka mereka kemudian membangun Teologi Abu-Abu yang berangkat dari konteks sambil membuang teks (Alkitab). Perkembangan Teologi Abu-Abu (pluralisme), selain ditopang oleh pengaruh pemikiran teologi Barat yang telah mengakui nuansa teologi belahan dunia selatan, juga didukung oleh dana dunia Barat. Dimana, para teolog dunia ketiga yang dipandang berpotensial didanai studinya di negara-negara Barat yang sarat dengan muatan Teologi Liberal, sebagai kakak kandung Teologi Abu-Abu. Misalnya, banyak teolog, khususnya Page 17 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang pluralis Indonesia melanjutkan studi di dunia Barat, dengan dukungan dana studi oleh badan keuangan pendidikan teologi (TEF) yang berada di bawah WCC (Dewan Gereja-gereja se-Dunia). Mereka menyiapkan dana jutaan dolar untuk membantu sekolah-sekolah teologi dari aliran yang menyebut diri "Arus Utama" yang berada di negara-negara dunia ketiga, tentu termasuk Indonesia. Dengan cara mendanai studi para teolog dunia ketiga, gereja Barat telah membantu sekolah-sekolah tinggi teologi yang ada di dunia ketiga, seperti Sekolah Tinggi Teologi Jakarta yang menyebut diri dari aliran " Arus Utama". Sekolah ini, telah banyak menghasilkan teolog pluralis seperti Ioanes Rakhmat, Victor I. Tanja. Kepluralisan mereka nampak dalam uraian selanjutnya. Perkembangan Teologi Abu-Abu sangat pesat karena media literatur yang sangat produksif dihasilkan oleh kaum pluralis. Literatur-literatur dalam bentuk buku atau artikel-artikel yang ditulis oleh teolog pluralis baik dari Indonesia sendiri maupun dari Barat atau pun Asia, adalah sangat berpengaruh dalam pengembangan penelitian teologia pluralisme di Indonesia. Hal ini, nampak dalam beberapa tulisan mereka baik artikel maupun buku para teolog penganut pluralisme Indonesia diantaranya Victor Tanja menulis buku: "Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan" terbitan BPK tahun 1994, "Tiada Hidup Tanpa Agama" terbitan BPK tahun 1988; juga menulis artikel yang berjudul " Gereja dan Umat beragama lainnya" Artikel Eka Darmaputera, Ioanes Rahmat, dalam "Masikah Benih Tersimpan...?" Terbitan BPK tahun 1990. Th. Sumartana, Eka Darmaputera, A.A. Yewangoe, dll; Puncak perkembangan kaum pluralis selama kurang lebih 15 tahun dituangkan dalam bentuk artikel-artikel yang mengusulkan mutlaknya teologi agama-agama. Adapun kaum pluralis yang mengusulkan Teologi Abu-Abu, diantaranya ialah Th. Sumartana, B.J. Banawiratma, SJ, Franz Von Magnis-Suseno, SJ, Martin L. Sinaga, E.G. Singgih, John A. Titaley dalam buku yang berjudul :"Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia" diterbitkan BPK tahun 2000.27 Selain karena jasa kaum pluralis nasional, perkembangan Teologi Abu-Abu juga dipengaruhi oleh tulisan kaum pluralis yang berskala internasional baik Eropa maupun Asia, baik yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maupun yang belum.28 Page 18 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang Badan Penerbit Literatur Kristen: Ada beberapa badan penerbit buku yang sangat bersemangat dalam penerbitan dan penerjemahan bukubuku yang ditulis oleh para teolog kaum Pluralis, diantara yaitu Orbis Book yang berada di Maryknoll, New York, merupakan penerbit buku kristen yang sangat terbuka dengan penerbitan buku-bku karya kaum pluralis; 29 dan Harper Collins Publishers, New York.30 Di Belanda, yaitu Uitgeverij G.F. Callenbach dan Uitgeverij Ten Have.31 Di Inggris, yaitu SCM Press, 58 Bloomsbury Street, London.32 Sedangkan di Indonesia, ialah Badan Penerbit Kristen (BPK) Gunung Mulia, yang berada di Jakarta, Jalan Kwitang 22-23 Jakarta dengan beberapa cabangnya di kotakota besar di Indonesia. F. Konsili Vatikan II (1962-1965) & Sidang DGD di Uppsala (1968) Perkembangan teologi di dunia ini memang berada di tangan pata teolog dunia, baik teolog kristen katolik maupun teolog kristen protestan. Munculnya Teologi Abu-Abu atau Teologi Agama-Agama tentu mulanya dipelopori oleh para teolog katolik, yang diakui satu langkah lebih maju dan cepat dari teolog protestan. Karena mereka yang terlebih dahulu mengubah posisi mereka yang semula adalah eksklusif menjadi inklusif. Baru beberapa tahun kemudian diikuti oleh teolog protestan. Berkenaan dengan itu, maka ada dua peristiwa besar yang sangat mempengaruhi perkembangan teologi gereja-gereja se-dunia, yakni konsili Vatikan II yang diadakan sejak tahun 1961 sampai tahun 1965, dan sidang raya Dewan Gereja-gereja Sedunia di Uppsala tahun 1968. 1. Rumusan Konsili Vatikan II Perkembangan teologi kristen di dunia ini sangatlah dipengaruhi oleh buah-buah pemikiran para teolog Katolik. Demikian pula, bangkitnya Page 19 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang semangat pluralisme di kalangan para teolog protestan yang pluralis adalah sangat banyak dipengaruhi oleh pemikiran pluralisme para teolog Katolik. Paling tidak ada lima teolog Katolik yang pikiran mereka mempengaruhi tumbuh suburnya pluralisme yakni Hans Kung, Karl Rahner, Raimundo Panikkar, Stanley Samartha dan Paul F. Knitter. Karl Rahner (19041984) adalah seorang teolog kontemporer dari Katolik yang pikirannya banyak dipegang dan dikembangkan oleh para teolog setelah dia. Karl Rahner menghancurkan posisi eksklusivisme yang tradisional yang dipegang gereja Katolik selama itu dengan mengemukakan teorinya bahwa Allah menghendaki semua orang diselamatkan. Itu berarti semua orang mendapat kesempatan untuk percaya. Lebih jauh lagi, Rahner mengemukakan mengenai "anonymous Christians", yaitu orang-orang yang diselamatkan karena kasih karunia Kristus yang sekalipun tanpa disadari oleh mereka, merekalah orang kristen tanpa nama kristen. Pikiran Rahner diakui para teolog Katolik adalah secara tidak langsung mempersiapkan jalan bagi Konsili Vatikan II atau sebagai motornya Konsili tersebut.33 Hans Kung diakui sebagai teolognya teolog Katolik. Beliau diangkat oleh Paus Yohanes XXIII sebagai penasehat teologi resmi dari Konsili Vatikan II, sekalipun pada tahuntahun kemudian is mendapat peringatan dari Roma karena doktrin-doktrinnya yang semakin kritis terhadap doktrin-doktrin tradisional yang dianut Katolik. Konsili Vatikan II berlangsung di bawah pimpinan Paus Yohanes XXIII yang dimulai pada tahun 1962 sampai 1965. Konsili ini telah membuka pintu kebebasan bagi Gereja katolik. Sepanjang konsili tersebut berlangsung, bukan tidak sedikit perdebatan terjadi. Salah satu diantaranya ialah perdebatan mengenai rumusan tradisional yang tidak mengakui adanya keselamatan di luar gereja. Kita telah rnengetahui bahwa sebelumnya gereja katolik adalah bersikap eksklusif, dimana gereja memegang kuat rumusan tradisional yang mengakui bahwa tidak ada keselamatan di luar gereja (eklesiosentris). Rumusan ini diperkuat dalam konsili Lateran IV di abad pertengahan tahun 1215. Namun sejak Konsili Vatikan II, posisi Katolik yang 3emikian dibahas, dan kemudian berubah posisi menjadi inklusif, sehingga mereka menolak rumusan tradisional yang eksklusif tersebut, seperti yang dinyatakan dalam Page 20 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang deklarasi mengenai Kristen, bahwa : hubungan gereja dengan agama-agama non- Mereka juga dapat memperoleh keselamatan yang kekal, yang bukan karena kesalahannya sendiri tidak mengenal Injil Kristen atau gerejanya, namun toh dengan tulus iklas mencari Allah dan tergerak oleh anugerah, berupaya dengan perbuatan-perbuatan mereka melakukan kehendak-Nya sebagaimana diketahui melalui hati nuraninya. Begitu pula pemeliharaan Allah tidak menolak pertolongan yang diperlukan untuk penyelamatan mereka yang bukan karena kesalahannya, belum sampai pada pengetahuan yang jelas mengenai Allah, tetapi yang berusaha hidup dengan baik berkat kasih karunia-Nya (Gereja, 2:15). (Penyelamatan) bukan hanya untuk orang Kristen, tetapi untuk semua orang yang berkehendak baik, yang di dalam hatinya kasih karunia bekerja dengan cara yang tidak kelihatan. Sebab, karena Kristus mati untuk semua orang, dan dengan panggilan pokok manusia sebenarnya satu dan ilahi, maka kita harus percaya bahwa Roh Kudus dengan cara yang hanya diketahui oleh Allah, menawarkan kepada setiap orang kemungkinan untuk berhubungan dengan rahasia Paskah ini (Gereja dalam dunia Modern, 1:22).34 Paul F. Knitter, penulis buku yang terkenal No Other Name mengadakan penelitian mengenai doktrin keunikan Kristus yang dipegang baik oleh Katolik maupun protestan. Di pasal tujuh tulisannya, is mengemukakan mengenai perubahan sikap yang radikal di kubuh Katolik. Beliau pada intinya menegaskan mengenai sikap inklusif yang dianut oleh gereja Katolik. Pengaruh Konsili Vatikan II bagi bangkitnya semangat pluralisme, nampak melalui komentar para pluralis terhadap rumusan Konsili Vatikan II tersebut, diantaranya: • Amaladoss menulis : " Setelah Konsili Vatikan II dan peristiwa di Asisi, Oktober 1986, pada waktu Sri Paus berkumpul bersama dengan anggota-anggota umat dari agama-agama lain Page 21 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang • • • • • • untuk menaikkan doa demi perdamaian, maka tidak ada seorang katolik yang dapat menjadi seorang eksklusivis". 35 Banawiratma memulai tulisannya dengan menyatakan bahwa: " Sesudah Konsili Vatikan II (1962-1965), pandangan dan sikap Gereja Katolik mengenai agama-agama sudah banyak dibahas". Karena itu, bertolak dari Konsili Vatikan II, Banawiratma mengemukakan beberapa gagasan untuk mengembangkan teologi agama-agama, yaitu Pluralisme yang teologis (Theological Pluralism).36 Franz Magnis Suseno menyebutkan bahwa pada abad ini gereja-ereja mulai terbuka dengan agama-agama lain. Gereja Katolik, diantaranya mulai menerima dengan lapang dada toleransi agama dan kebebasan agama sejak Konsili Vatikan II.37 Paul F. Knitter menulis bahwa pada umumnya teolog kontemporer dari Katolik membangun teologi agama bertolak dari rumusan Konsili Vatikan II, dimana rumusan tersebut paling sedikit mengajarkan dengan jelas bahwa pengalaman agamawi yang otentik adalah berlangsung di dalam dan melalui agama-agama. Pietro Rossano bertolak dari rumusan Konsili Vatikan If berpendapat bahwa " Anugerah dan kebenaran memang atau mungkin mencapai hati manusia melalui tanda-tanda yang kelihatan dan yang dialami dari agama-agama yang berbeda." 38 Ioanes Rakhmat mengakui juga bahwa: "Perubahan pemahaman teologis dari Gereja Katolik terhadap agama-agama yang nonKristen secara luas dan positif dituangkan ke dalam salah satu dokumen Konsili Vatikan II, yakni Nostra Aetate. 39 Stanley J. Samarth : "Selama dua dasawarsa terakhir ini, perubahanperubahan penting telah terjadi dengan resmi pada sikap-sikap Kristen terhadap orang-orang yang menganut kepercayaankepercayaan lain di sekitarnya. Pernyataan yang terkenal dari Konsili Vatikan II (1965), dipandang sebagai "pernyataan pertama yang sungguh-sungguh positif dari Gereja Katolik mengenai agama-agama lain.40 Clark H. Pinnock seorang teolog yang mengaku injili, dengan pendekatan armeniannya terhadap isu keselamatan, maka ternyata pendekatannya tersebut diadopsi dan paralel Page 22 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang dengan dengan rumusan Konsili Vatikan II, secara khusus dengan tulisan-tulisan teolog katolik ternama yakni Karl Rahner. Hal ini dikemukan oleh Alister E. Mc Grath.41 Jadi, sejak Konsili Vatikal II, terjadi perubahan paradigma misi dan soteriologi Gereja Katolik, dari eksklusif menjadi yang inklusif. Perkembangan terakhir, dalam kubuh Katolik, menjadi ke arah pluralisme. 2. Sidang Raya DGD di Uppsala Dari kubu Protestan, khususnya yang menyebut diri dari aliran arus utama, yaitu gereja-gereja yang tergabung dalam satu semangat oikumenikal yang dipayungi oleh Dewan Gereja-Gereja SeDunia (DGD), dalam pelbagai Sidang yang diadakan oleh DGD dengan hasil yang dicapai, yaitu rumusan teologis mengenai sikap orang Kristen terhadap agama-agama lain, maka pluralisme semakin mendapat dukungan untuk membangun pahamnya dalam wadah teologi kristen. Keterbukaan para teolog DGD kepada agama-agama lain, masih terlalu lambat dibandingkan dengan para teolog Gereja Katolik. Kalau para Teolog Katolik mulai terbuka dan menerima agama-agama lain sejak tahun 1965 melalui Konsili Vatikan II, maka para teolog Protestan nanti terbuka untuk menerima agama-agama lain dalam konteks berdialog pada tahun 1968 berkenaan dengan Sidang Raya DGD di Uppsala. Pada bagian ini, penulis hanya memaparkan pertemuan-pertemuan atau sidang DGD yang sangat mempengaruhi kaum pluralis dalam mengembangkan pikiran pluralisme-nya dalam teologi Kristen. Sejak tahun 1910 gerakan iokumene bangkit diantara gereja-gereja Protestan (DGD), dan sejak itu pula ruang dialog terbuka sebagai bagian dari kehidupan gereja dan bergereja. Namun keterbukaan dalam berdialog masih terbatas dalam konteks gereja: Dalam perjalanan selanjutnya, terjadi perkembangan sekalipun lambat, dimana DGD mulai terbuka dengan Page 23 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang perjumpaan dengan agama-agama lain dan berdialog. Tuntutan dan kesadaran perlunya dialog ini merupakan response spontan terhadap fakta kemajemukan dalam masyarakat yang di dalamnya gereja hadir. Maka dialog dengan agama lain sudah mulai terbuka. Namun sampai pada Sidang Misi Se-Dunia dari DGD di Mexico tahun 1963, dialog tersebut masih dipandang sebagai kesempatan untuk memberitakan Injil. Karena itu menurut kaum pluralis, dialog yang demikian sesungguhnya belum dialog, melainkan monolog. Sidang Raya IV Dewan Gereja-Gereja SeDunia pada tanggal 4-19 Juli tahun 1968 di Uppsala menjadi titik tolak sikap gereja dalam perjumpaannya dengan agama-agama lain bahwa : Pertemuan dengan orang-orang yang berbeda keyakinan atau orang-orang yang tidak beriman harus memimpin kepada dialog. Dialog kristen dengan orang yang tidak seiman menunjukkan bukan suatu penyangkalan mengenai keunikan Yesus dan bukan meniadakan komitmennya sendiri kepada Yesus. Tetapi pendekatan orang kristen kepada orang yang tidak seiman harus manusiawi, bersifat pribadi, relevan dan rendah hati. Dalam dialog, kita membagi rasa kemanusiaan kita, baik harkatmartabatnya dan kejatuhannya, serta mengekspresikan kepedulian kita untuk kemanusiaan. ... Masing-masing bertemu dan menantang yang lain, bersaksi dari kedalaman keberadaannya kepada kepedulian yang tinggi yang mendatangkan pewujudan perkataan dan perkaatan. Sebagai orang kristen kita percaya bahwa Kristus berbicara dalam bentuk dialog, menyatakan diri-Nya kepada mereka yang tidak mengenal Dia dan mengkoreksi pengetahuan mereka yang terbatas dan kabur. Dialog dan proklamasi Injil adalah berbeda, tetapi kadang-kadang orang kristen tidak dapat menempatkan dalam pembukaan dialog dan proklamasi Injil...42 Mulai dari rumusan inilah, pemberitaan Injil dihilangkan dalam dialog, bahkan sudah sejak satu tahun sebelumnya yakni pada Sidang di Kandy Srilangka tahun 1967. Sekalipun demikian, masih banyak kritik terhadap hasil ini, khususnya yang datang dari mereka kaum pluralis yang belum puas. Karena bagi mereka rumusan ini masih dipandang belum begitu terbuka. Perkembangan pun datang, dimana sejak tahun 1971, DGD menerima suatu penyataan kebijakan yang sifatnya sementara mengenai Page 24 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang agama-agama lain. Rumusan ini telah mengalami perubahan yang sangat drastis. Dan sejak tahun itulah, maka DGD membentuk satu departemen yang baru lagi yakni departemen Dialog dengan orang-orang yang berkepercayaan dan berideologi. Departemen ini sejajar dengan departemen-departemen lain dari DGD seperti departemen Iman dan Tata Gereja (Faith and Order), Gereja dan Masyarakat dan Misi Dunia dan Pekabaran Injil. Selain membicarakan mengenai dialog, rumusan Uppsala juga membicarakan mengenai topik dialog yang menyangkut masalahmasalah kemanusiaan. Topik ini memang dikembangkan dalam pertemuan DGD di Bangkok tahun 1973 dalarn topik Salvation Today dengan menekankan social action.43 Sepuluh tahun sejak Sidang Raya di Uppsala, perdebatan masih terus berlanjut di dalam tubuh DGD. Khususnya berkenaan dengan sikap tertutupnya teolog-teolog Injili yang ada dalam tubuh DGD, yang masih menekankan mengenai proklamai Injil yang telah diganti dengan dialog. Bahkan konsep kesepmatan yang sudah diubah menjadi keselamatan manusia dari penderitaan di dunia, konsep misi yang berubah menjadi social action. Selain itu, kelompok pluralis yang ada dalam tubuh DGD, masih terus tidak puas dengan hasil yang dicapai. Dan setelah satu dasawarsa sejak Sidang Uppsala tahun 1968, setelah kerja keras yang sering ditandai oleh perdebatan, maka tahun 1979, DGD menyatakan untuk menerima suatu pennyataan teologis dan menyetujui seperangkat penuntun dialog Pernyataan tersebut berbunyi : " menerima kesepakatan dalarn tingkat tertentu dan pengertian timbal-balik yang diajukannya di antara mereka yang memegang pandangan-pandangan teologis yang berlainan". Tentang orang-orang dari kepercayaan-kepercayaan lain, pernyataan itu berbunyi: "Kami merasa sanggup dengan sejujurnya untuk meyakinkan mitra-mitra kami di dalam dialog bahwa kami datang bukan sebagai orang-orang yang memakai cara-cara licik untuk mencapai tujuan kami, tetapi sebagai sama-sama para peziarah." 44 Banyak teolog yang menganut dan memelopori Pluralisme mengembangkan teologi agama-agama bertolak dari rumusanrumusan dari hasil beberapa komprensi yang diadakan oleh DGD. Itu mengindikasikan bahwa rumusan dokumen-dokumen Sidang DGD turut memberikan kontribusi bagi bangkit dan berkembangnya pluralisme dalam Page 25 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang teologi kristen. Beberapa contoh pluralis yang membangun teologi agamaagama mereka berdasarkan rumusan dokumen DGD seperti • • • C.S. Song mendefinisikan misi kristennya yang pluralis bertolak dari rumusan hasil Sidang Raya DGD kelima di Nairobi tahun 1975, bahwa Misi berarti mencari persekutuan dengan orang-orang lain dalam kasih Allah. Ia pun menyetujui rumusan dialog sebagai hasil Sidang DGD di Bangalore tahun 1978 bahwa dialog adalah perjumpaan yang sejati dengan orang lain kepercayaan dan ideologi lain dan menemukan bahwa ada jalan lain untuk mengenal kebenaran dari pada yang telah kita pelajari. 45 Ioanes Rakhmat mengakui bahwa dalam kekristenan terjadi pergeseran sikap terhadap orang beragama lain, yakni dari monolog menjadi dialog. Rumusan Uppsala membuktikan hal itu.46 Olaf Schumann pernah menjadi staf ahli ilmu agama-agama di DGI meresponi rumusan Kandy-Srilangka 1967, bahwa dialog tidak dapat lebih tepat diartikan dari pada istilah " persekutuan" lebih baik ia dilukiskan di alam dan perkembangannya sebagai cara hidup... kita berbicara, mengobrol, memberi dan meminta keterangan, diskusi, semua ini bagi Schumann belumlah disebut dialog. Bagi dia, dialog adalah suatu usaha positif untuk mendapatkan pengertian yang lebih dalam mengenai kebenaran melalui sating pengertian akan keyakinan.47 Dalam hal ini, Schumann telah melangkah sangat jauh dari rumusan Kandy dan Uppsala. Karena beliau menganjurkan untuk menemukan kebenaran melalui berdialog dengan orang beragama lain. Itu berarti, Schumann tidak mengakui kebenaran dalam Alkitab sebagai kebenaran final. Page 26 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang 1 Clark H. Pinnock, A Wideness in God's Mercy, (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1992), p. 9. 2 Ibid. 3 Indonesia dikenal sebagai negara paling majemuk di dunia. Karena Indonesia memiliki ratusan bentuk budaya, 250 bahasa, dan kira-kira 300 kelompok etnis, memiliki semua agama besar di dunia yaitu Hindu, Budha, Islam clan Kristen serta agama-agama Cina dan animistis. T.B. Simatupang, Iman Kristen clan Pancasila, (Jakarta :BPK Gunung Mulia, 1985), h. 3. 4 Perang dingin agama, khususnya Islam dan Kristen semakin nampak pada masa sebelum proklamasi berkenaan dengan penyusunan dasar Negara, yaitu Pancasila, dimana sekelompok orang beragama Islam berupaya memproklamirkan negara Indonesia sebagai Negara Islam. Hal ini nampak dalam penyusunan Dasar Pancasila, sila pertama. Namun usaha ini tidak terwujud, dan upaya kearah itu terus berlanjut hingga kini. 5 Band. F. Ukur, Jerih Dan Juang-Laporan Nasional Survey menyeluruh gereja di Indonesia, (Jakarta: LPS-PGI, 1979), h. 673. 6 Sejak tahun 1971, DGD membentuk sub-unit dialog dengan orang-orang yang berkepercayaan dan berideologi yang hidup di dalam unit program iman dan kesaksian, yang paralel dengan ketiga sub-unit lain yaitu bidangbidang Iman dan Tata gereja, Gereja dan masyarakat dan Misi dunia dan pekabaran Injil. Olaf Schumann, Dialog Antar Umat Beragama... h. 22. 7 Faktor pertama dan utama dari antara pelbagai faktor ekstra-gerejawi adalah kenyataan bahwa dunia kita ini semakin menjadi majemuk dalam kawasan keagamaan dewasa ini. Serentak dengan itu dalam diri agamaagama dunia sendiri telah tumbuh dan berkembang pemahaman tentang dunia ini sebagai suatu keseluruhan, bersamaan dengan itu telah timbul pula semangat misioner dari masing-masing agama dunia. Faktor kedua yang amat penting adalah tumbangnya sistem kolonialis negara-negara Eropa yang mengakibatkan bangkitnya agama-agama dan kebudayaankebudayaan kuno. Ketiga, Perubahan sikap antara kekristenan dan agamaagama dunia lainnya dalam memandang citra manusia. Faktor Intragerejawi, yaitu banyak diselenggarakan studi tentang agama-agama dan kebudayaan., Ioanes Rakhmat, " Pluralitas Agama, Dialog dan Page 27 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang Prespektif Kristiani ", Fundamentalisme, Agama-agama dan teknologi, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1993), h. 69-70. 8 Ibid, h. 91. 9 Eka Darmaputera, " Inter-relationship among Religious Groups in Indonesia ", Masihkah Benih Tersimpan, (Jakarta:BPK Gunung Mulia,1990), h.39. 10 Relativisme mengklaim bahwa keberagaman yang ada pada satu waktu, tempat dan orang kepada yang lain, itu bergantung pada kondisi yang berubah. Hal inilah yang menyebabkan bahwa tidak ada kebenaran yang universal, yang valid untuk semua orang di segala tempat dan waktu.; A.F. Holmes, "Relativism", New Dictionary of Theology, Edited by Sinclair B. Ferguson, ... p. 574. 11 Penganut aliran relativisme etis melihat standar moral adalah relatif secara budaya; Etika situasi menolak hukum moral yang diberlakukan secara universal, karena keputusan etis bergantung pada konsteks khusus mereka. Penganut relativisme agama membedakan kepercayan agama dengan praktek agama sebagai hasil yang sah dari perbedaan kondisi historis dan budaya. Ibid, p. 575. 12 Paul F. Knitter, No Other Name ? , ... p. 21. 13 Ibid. p. 37-41. 14 Ioanes Rakhmat, "Pluralitas Agama, Dialog dan Perspektif Kristiani", Fundamentalisme..., h.75. 15 Relativisme Kultural menganggap bahwa setiap agama adalah ekspresi yang sesuai atau cocok dengan kebudayaannya sendiri. Jadi bagi aliran ini, Kekristenan adalah agama barat, dan Budhisme adalah agama Asia Tenggara. Relativisme Epistemologis yang menganggap bahwa kita mengetahui kebenaran hanya sejauh itu absah bagi kita. Kita boleh memandang kekristenan itu benar, tetapi kita tidak boleh menekankan bahwa itu berlaku bagi semua orang. Relativisme Teologis yang juga disebut sinkritisme, mempertahankan bahwa semua agama adalah jalanjalan yang menuju ketujuan yang sama. Pendekatan relativisme dan sinkritisme dalam hubungan antara agama-agama tidaklah merupakan pemecahan. Klaim absolut dari kekristenan dan realitas hakiki dari agamaagama lain semuanya lenyap. Ibid. Page 28 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang 16 Metodologi & pendekatan yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi kekristenan, Ibid.h.89 17 Paul F. Knitter, No Other Name-?..., p. 158 18 Penulis sendiri tidak setuju dengan penggunaan frase "dunia ketiga" karena bernafaskan diskriminasi, yang menempatkan negara-negara sebagai negara dari kelas tiga. Kali ini, penulis tetap memakainya, namun dengan pengertian yaitu negara-negara yang masih berkembang di segala sektor, terutama sektor ekonomi, seperti pada umumnya dialami oleh negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. 19 Millard J. Erickson, Christian Theology, (Grand Rapids: Baker Book House, 1985). P. 900 19b D.Lyon, " Secularization ", New Dictionary of Theology ... p. 636. 20 Choan Seng Song, " Misi Ilahi Penciptaan ", Teologi Kristen Asia, diedit oleh Douglas J. Elwood, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), p. 191. 21 John A.T. Robinson, Honest to God, ( Philadelphia: The Westminster Press, 1963), p.66 22 Kosuke Koyama, Tidak ada Gagang pada salib, ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996 ), Allah yang berkecepatan tiga mil perjam, dalam Teologi Kristen Asia yang diedit oleh Douglas J. Elwood, ( Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1992); Masao Takenaka, Nasi clan Allah, ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996 ). C.S.Song, Allah yang turut menderita ... (1995), Sebutkanlah Nama-Nama Kami... (1993) 23 John A.T. Robinson, Honest to God,... p. 64 24 C. S. Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami, ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), p. 26-27. 25 I. Rakhmat, Serba-Serbi Doktrin " Yesus satu-satunya Jalan " Via GKI I-Kan- untuk-cybergki @ XC. Rrg, Tue, 5 Jan.1999 26 Ioanes Rakhmat mendapat gelar M.Th dari STT Jakarta dan sedang melanjutkan studi untuk program doktoralnya di Belanda. Eka Darmaputera meraih gelar Doctor of Philosophy di Boston College dan Andover Newton Theological School, Boston, USA; Victor Tanja memperoleh gelar Doctornya dalam Ilmu perbandingan agama di The Hartford Seminary Foundation, Hartford, Connecticut. AS; Th Sumartana, menyelesaikan studinya untuk program doktoral di Vrije Universiteit Amsterdam. Semuanya sedang giatgiatnya membangun teologi Abu-Abu di Indonesia. Hal ini nampak melalui Page 29 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang tulisan-tulisan mereka, baik dalam bentuk artikel maupun buku. 27 Buku ini diakui oleh salah satu anggota tim Balitbang PGI sebagai hasil seminar yang disimpulkan sebagai puncak pergulatan Balitbang PGI selama 15 tahun menyelenggarakan Seminar Agama-agama tersebut. 28 Teolog Pluralis Barat & Amerika yang sangat berpengaruh di Indonesia melalui tulisannya, selain sekian banyak buku dalam bahasa Inggris, juga banyak buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, antara lain :Prof. Dr. Mr.D.C. Mulder " Hubungan antara Dialog dan Misi " dalam Konteks Berteologia di Indonesia, Eka Darmaputera (peny.), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), h. 157; Dr. A. Van de Beek, Mujizat dan Cerita-cerita Mujizat, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996); John Barton, Umat Berkitab ?, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993); Marcus J. Borg, Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1997). Anton Wessels, Memandang Yesus, Gambar Yesus Dalam Berbagai Budaya, (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1990). A. Roy Eckardt, Menggali Ulang Yesus Sejarah, Kristologi Masakini, (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1996); M.H. Bolkestein, Kerajaan Yang Terselubung, (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1997). Daniel J. Adams, Teologi Lintas Budaya Refleksi Barat di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1996); R.T. France, Yesus Sang Radikal, Potret Manusia Yang disalibkan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1998); Lesslie Newbigin, Injil Dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2000). John Hich, Paul F. Knitter; Alen Race dengan tulisannya, Christian and Religious Pluralism, (Mary knoll: Orbis Book, 1982); Teolog Pluralis Asia Yang sangat berpengaruh di Indonesia melalui tulisannya : Masao Takenaka, seorang teolog Oikumenis terkenal di Asia, mengajar Teologi Universitas Doshisha Kyoto, Jepang, dengan karyanya, Nasi Dan Allah, (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1996); Kosuke Koyama, teolog Jepang yang menjadi Dosen studi agama-agama di Universitas Otago dan profesor di Union Theological Seminary, Slandia Baru, dengan bukunya yang berjudul: Tidak ada Gagang Pada Salib, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996). R.S. Sugirtharajah, teolog Sri Langka dan Dosen Dunia Ketiga Pada Selly Oak Colleges, dengan bukunya berjudul: W ajah Yesus Di Asia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996); Stanley J. Samartha, direktur pertama dari program Dialog DGD, Genewa, dengan bukunya yang terkenal : One Christ - Many Religions , (New York : Orbis Book, Page 30 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang 1991); Ovey N. Mohammed " Yesus dan Krisna ", Seiichi Yagi " Kristus Dan Buddha ", Alexander J. Malik " Mengakui Kristus dalam Konteks Islam ", Byung Mu Ahn " Yesus Dan Rakyat ", Salvodor T. Martinez " Yesus Kristus Di dalam Kesalehan Orang Banyak Di Philipina ", Virginia Fabella "Kristologi Dari Sudut Pandang Seorang Perempuan.Asia ", Sebastian Kappen " Yesus Dan Transkulturasi ", dalam R.S. Sugirtharajah (peny.) Wajah Yesus Di Asia; Raymundo Panikar, " Dialog Intra Religius "... Choan-Seng Song, teolog Asia asal Taiwan, dengan dua karya tulisnya yang beredar di Indonesia, yaitu : " Allah yang Turut menderita ", (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1995) dan Sebutkanlah Nama- Nama Kami, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993). 29 Orbis Book menerbitkan buku-buku yang ditulis oleh kaum pluralis, diantaranya, Gerald H. Anderson (ed), Asian Voices In Christian Theology, (Maryknoll, New York : Orbis Books, 1976), Choan Seng Song, Tell Us Our Names, The Compassionate God, (Maryknoll, New York : Orbis Books, 1982); Paul F. Knitter, No Other Name, (Maryknoll, New York : Orbis Books, 1989); Robert J. Schreiter, Constructing Local Theology, (Maryknoll, New York Orbis Books, 1985); R.S. Sugirtharajah, Asian Faces of Jesus, (Maryknoll, New York : Orbis Books, 1993); Alan Race, Christian and Religious Pluralism, (Maryknoll, New York: Orbis Book, 1982); Harold Coward, Pluralism, Challenge to World Religions, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1985). 30 Marcus J. Borg, Meeting Jesus Again For The First Time, (New York: Harper Collins Publishers, 1994); Luke Timothy Johnson, T he Real Jesus, (Harper , 1996). 31 A. Van de Beek, Wonder en Wonderverhalen, (Nijkerk : Uitgeverij G.F. Callenbach , 1991); Anton Wessels, Jezus Zien Hoe Jezus is Overgeleverd in andere Culturen, (Baarn: UitgeverijTen Have, 1986). M.H. Bolkestein, Het Evangelie Naar Marcus; Het Verborgen Rijk, (Nijkerk Uitgeverij G.F, 1985). 32 Kosuke Koyama, No Handle On the Cross, (London : SCM Press, 1976), tidak menyetujui bahwa agama kristen dianggap superior terhadap agama lain, karena itu is menyeruhkan pembebasan agama; John Macquarrie, Jesus Christ in Modern Thought, (London: SCM Press, 1992), merekonstrusi ulang formulasi kristologi dalam pemikiran Page 31 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang manusia moderen. 33 Paul F. Knitter, No Other Name ? ... p. 125. 34 Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), h. 257; John Hick, Christianity and Other Religions, (Philadelphia: Fortress Press, 1980), p.80 35 Michael Amaladoss, "Pluralisme Agama-Agama dan makna Kristus", dalam Wajah Yesus di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), p. 139. 36 B.J. Banawiratma, "Mengembangkan Teologi Agama-Agama", dalam Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), h. 40. 37 Ibid. h. 55 38 Paul F. Knitter, No Other Name ? ... p. 124. Ioanes Rakhmat, "Pluralitas Agama, Dialog dan Perspektif Kristiani", dalam Fundamentalisme Agama Agama dan Teknologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), p.71. 40 Stanley J. Samartha, "Salib dan Bianglala Kristus di dalam suatu Kebudayaan Beragam Agama," dalam Wajah Yesus di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), h. 169. 41 Alister E. McGrath, "Response to Clarck H. Pinnock," Four V iews on Salvation in a Pluralistic World, edited by Dennies L. Okholm, Timothy R. Phillips, (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1996), p. 129; Vatican II "Nostra Aetate" (October 28, 1965), in Vatican II: Conciliar and Post- Conciliar Documents, edited by Austin Flannery, OP (New York: Castello, 1975/ Dublin: Dominican Publications, 1966), p. 738-742; Karl Rahner, Theological Investigations, Vol.5 (London: DLT, 1966), 115- 134. 42 Roger Hedlund, " Document Seventeen, Section II of the Uppsala Report " Roots of the Great Debate in Mission, (Bangelore: Theological Book Trust, 1997), p.243. 43 M.M. Thomas, " The Meaning of Salvation Today", A Paper presented at the World Conference on Salvation Today, Bangkok, Thailand, December 29, 1972 to January 9, 1973. Dalam Roots of the Great Debate in Mission, by Roger Hedlund, (Bangelore: Theological Book Trust, 1997), p. 269. 44 Stanley J. Samartha, Salib dan Bianglala Kristus di dalam suatu Kebudayaan Beragam Agama,"... p. 169. 39 Page 32 Pluralisme: Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Dalam Teologi Kristen – Stevri Indra Lumintang 45 C. S. Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami... h. 154 Ioanes Rakhmat, Pluralitas Agama, Dialog dan Perspektif, ...h. 70 47 Olaf Schumann, Dialog antar Umat Beragama, dimanakah kita berada kini ? (Jakarta: LPS-DGI, 1980), h. 57,66. 46 Pengutipan dari artikel ini harus mencantumkan: Dikutip dari http://www.geocities.com/thisisreformed/artikel/pluralisme01.html Page 33