hubungan antara pola asuh orang tua dan tipe

advertisement
1
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DAN TIPE
KEPRIBADIAN DENGAN PERILAKU BULLYING DI SEKOLAH PADA
SISWA SMP
Fitri Yuniartiningtyas
Universitas Negeri Malang
E-mail: [email protected]
ABSTRACT: This study aims to determine (1) parents of students, (2) personality types of
students, (3) study the behavior of bullying in school, (4) relationship between parenting
parents and bullying behavior in schools, (5) relationship between personality type and
behavior of students bullying at school, (6) relationship between parenting style and parental
personality types of students against bullying behavior in schools. This type of quantitative
research is descriptive correlational, with sampling using cluster random sampling. Research
subjects in this study is 87 student class VIII SMP Negeri 1 Gudo, Jombang. Results showed
(1) parenting parents in classification permissive parenting (69%), (2) the classification of
personality types on personality type sanguinis (39%), (3) classification of bullying behavior
are at a low (62%), (4) there is a negative relationship patterns of parenting and bullying
behavior, (5) there is a negative relationship between personality type and bullying behavior
and (6) there is a relationship between parental upbringing, personality type, and bullying
behavior.
1
2
ABSTRAK: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui (1) pola asuh orang tua siswa, (2) tipe
kepribadian siswa, (3) perilaku bullying di sekolah, (4) hubungan antara pola asuh orang tua
dan perilaku bullying di sekolah, (5) hubungan antara tipe kepribadian siswa dan perilaku
bullying di sekolah, (6) hubungan antara pola asuh orang tua dan tipe kepribadian siswa
terhadap perilaku bullying di sekolah. Jenis penelitian kuantitatif ini adalah deskriptif dan
korelasional, dengan pengambilan sampel menggunakan teknik cluster random sampling.
Subjek penelitian dalam penelitian ini berjumlah 87 siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Gudo,
Jombang. Hasil penelitian menunjukkan (1) pola asuh orang tua pada klasifikasi pola asuh
permisif (69%), (2) tipe kepribadian berada pada klasifikasi tipe kepribadian sanguinis
(39%), (3) perilaku bullying berada pada klasifikasi rendah (62%), (4) ada hubungan negatif
pola asuh orang tua dan perilaku bullying, (5) ada hubungan negatif antara tipe kepribadian
dan perilaku bullying, (6) ada hubungan antara pola asuh orang tua, tipe kepribadian, dan
perilaku bullying.
Kata kunci: pola asuh orang tua, tipe kepribadian, perilaku bullying
3
PENDAHULUAN
Selama berabad-abad kekerasan telah menjadi ciri yang biasa dari kehidupan sekolah,
dengan penyebabnya yang terkandung dalam konteks sosial, kultural, historis, dari periode
itu. Namun, di pertengahan abad dua puluh, kekerasan terhadap anak telah dianggap sebagai
pelanggaran hak-hak dasar mereka; terutama hak keselamatan fisik dan keamanan psikologis
serta kesejahteraannya (Cowie & Jennifer, 2009). Menurut data KPAI 87,6 persen anak
mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah dalam berbagai bentuk. Dari
angka 87,6 persen tersebut, sebanyak 29,9 persen kekerasan dilakukan oleh guru, 42,1 persen
dilakukan oleh teman sekelas, dan 28,0 persen dilakukan oleh teman lain kelas (Prima, 2012).
Dalam perilaku kekerasan, keluarga dan orang-orang dekat semenjak kecil menjadi
referensi sentral pembentukan karakter pribadi seseorang. Jika orang tua atau yang bertindak
sebagai orang tua cenderung otoriter, atmosfer yang terbentuk dalam keluarga tempat seorang
anak pertama kali belajar hidup adalah sebuah atmosfer otoritarianisme dan ini menjadi
kebiasaan sehari-hari sang anak. Keluarga otoriter dapat dikatakan merupakan agen utama
yang mencipta sosok individu otoriter yang cenderung melakukan kekerasan (Kusumadewi,
2012).
Metode yang digunakan orang tua maupun guru dalam menegakkan disiplin anak
dengan kekerasan akan mempengaruhi perilaku anak di kemudian hari. Anak adalah peniru
yang baik, mereka akan mereplikasi apapun yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami.
Jika orang tua dan guru memperlakukan mereka dengan keras, maka anak akan tercetak
berkepribadian keras dan kemungkinan besar mereka akan mempraktikannya dalam situasi
bullying (Nusantara, 2008).
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti tentang Hubungan Antara
Pola Asuh Orang Tua Dan Tipe Kepribadian Dengan Perilaku Bullying Di Sekolah.
4
TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui pola asuh orang tua siswa di sekolah
2. Untuk mengetahui tipe kepribadian siswa di sekolah
3. Untuk mengetahui perilaku bullying di sekolah
4. Untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dan perilaku bullying di
sekolah
5. Untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian siswa dan perilaku bullying di
sekolah
6. Untuk mengeatahui hubungan antara pola asuh orang tua dan tipe kepribadian siswa
terhadap perilaku bullying di sekolah
LANDASAN TEORI
Pola berarti susunan, model, bentuk, tata cara, gaya dalam melakukan sesuatu.
Sedangkan mengasuh berarti, membina interaksi dan komunikasi secara penuh perhatian
sehingga anak tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dewasa serta mampu
menciptakan suatu kondisi yang harmonis dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Berdasarkan kedua pengertian ini maka pola asuh dapat diartikan sebagai gambaran tentang
sikap dan perilaku orang tua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan
kegiatan pengasuhan (Krisnawati dalam Fortuna, 2008).
Santrock (2002) mengatakan yang dimaksud dengan pola asuh adalah cara atau
metode pengasuhan yang digunakan oleh orang tua agar anak-anaknya dapat tumbuh menjadi
individu-individu yang dewasa secara sosial.
5
Menurut Hurlock (1993) pola asuh dibagi menjadi tiga yaitu otoriter, demokratis, dan
permisif. Ciri-ciri pola asuh otoriter anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua,
Pengontrolan orang tua pada tingkah laku anak sangat ketat hampir tidak pernah memberi
pujian, Sering memberikan hukuman fisik jika terjadi kegagalan memenuhi standar yang
telah ditetapkan orang tua, Pengendalian tingkah laku melalui kontrol eksternal. Pola asuh
demokratis memiliki ciri-ciri Anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan
kontrol internal, Anak diakui sebagai pribadi oleh orang tua dan turut dilibatkan dalam
pengambilan keputusan, Menetapkan peraturan serta mengatur kehidupan anak. Pola asuh
permisif memiliki ciri-ciri Kontrol orang tua kurang, Bersifat longgar atau bebas, Anak
kurang dibimbing dalam mengatur dirinya, Hampir tidak menggunakan hukuman, Anak
diijinkan membuat keputusan sendiri dan dapat berbuat sekehendaknya sendiri.
Menurut Allport (1971 dalam Sobur, 2003) kepribadian adalah organisasi-organisai
dinamis sistem-sistem psikofisik dalam individu yang turut menentukan cara-caranya yang
unik/khas dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sedangkan menurut Cattel (1965
dalam Sobur, 2003) kepribadian adalah apa yang menentukan perilaku dalam situasi yang
ditetapkan dan dalam kesadaran jiwa yang ditetapkan.
Menurut Galenus (Suryabrata, 2002) mengemukakan bahwa kepribadian memiliki
aspek tempramen, tempramen adalah sifat-sifat kejiwaan yang ditentukan oleh campuran
(komposisi) cairan-cairan dalam tubuh. Sedangkan menurut teori Immanuel Kant (1724-1804
dalam Suryabrata, 2002) kepribadian manusia adalah watak manusia yang mempunyai arti
kualitas-kualitas yang membedakan orang yang satu dari orang yang lain secara khas.
Macam tipe kepribadian menurut Hippocrates dan Galenus (400 SM dan 175 M
dalam Sobur 2003) yaitu: Melancholicus (melankolisi) yaitu orang-orang yang banyak
empedu hitamnya, sehingga orang-orang dengan tipe ini selalu bersikap murung atau muram,
6
pesimistis dan selalu menaruh curiga. Sanguinicus (sanguinisi) yaitu orang-orang yang
banyak darahnya, sehingga orang-orang tipe ini selalu menunjukkan wajah yang berseri-seri,
periang atau selalu gembira, dan bersikap optimistik. Flegmaticus (Flegmatisi) yaitu orangorang yang banyak lendirnya. Orang tipe ini sifatnya lamban dan pemalas, wajahnya selalu
pucat, pesimis, pembawaannya tenang, pendiriannya tidak mudah berubah. Cholericus
(kolerisi) yaitu orang-orang yang banyak empedu kuningnya. Orang tipe ini bertubuh besar
dan kuat, namun penaik darah dan sukar mengendalikan diri, sifatnya garang dan agresif.
Yusuf dan Nurihsan (2007) mengemukakan faktor utama yang mempengaruhi tipe
kepribadian adalah faktor Genetik (Pembawaan) yaitu fungsi hereditas dalam perkembangan
kepribadian adalah sebagai sumber bahan bahan mentah (raw materials) kepribadian seperti
fisik, intelegensi, dan tempramen, membatasi perkembangan kepribadian dan mempengaruhi
keunikan kepribadian. Faktor Lingkungan (Enviroment) yaitu keluarga, kebudayaan, dan
sekolah.
Menurut Nusantara (2008) bullying adalah sebuah situasi dimana terjadinya
penyalahgunaan kekuatan / kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang / sekelompok orang.
Olweus (Flynt dan Morton, 2006 dalam Maghfiroh dan Rahmawati, 2009 ) mengartikan
bullying sebagai suatu perilaku agresif yang diniatkan untuk menjahati atau membuat
individu merasa kesusahan, terjadi berulang kali dari waktu ke waktu dan berlangsung dalam
suatu hubungan yang tidak terdapat keseimbangan kekuasaan atau kekuatan di dalamnya.
Hergert (Flynt dan Morton, 2006 dalam Maghfiroh dan Rahmawati, 2009) mendefinisikan
bullying dengan agresi secara bebas atau perilaku melukai secara penuh kepada orang lain
yang dilakukan secara berulang dari waktu ke waktu.
Storey, dkk (2008 dalam Hertinjung et al, 2012) mendefinisikan bullying sebagai
suatu bentuk abuse emosional atau fisik yang mempunyai 3 karakteristik, yakni : deliberate,
7
yaitu pelaku cenderung untuk menyakiti seseorang; repeated, yakni seringkali target
bullying adalah orang yang sama; dan power imbalance, dalam hal ini pelaku memilih
korban yang dianggapnya rentan. Riauskina et al (2005 dalam Hertinjung et al, 2012)
mendefinisikan bullying di sekolah sebagai perilaku agresif yang dilakukan secara
berulang oleh seseorang / sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa / siswi
lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Menurut Coloroso (2006
dalam Siswati, 2009) bullying akan selalu melibatkan adanya ketidakseimbangan kekuatan,
niat untuk mencederai, ancaman agresi lebih lanjut, dan teror.
Nusantara (2008) mengidentifikasi jenis dan wujud bullying secara umum dapat
dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu Bullying Fisik, meliputi tindakan menampar,
menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang,
menghukum dengan berlari keliling lapangan dan menghukum dengan cara push up. Bullying
Verbal, bullying ini terdeteksi karena tertangkap oleh indera pendengaran, seperti memaki,
menghina, menjuluki, meneriaki, memalukan di depan umum, menuduh, menyoraki, menebar
gossip, memfitnah. Bullying mental atau psikologis, bullying ini merupakan bullying yang
paling berbahaya karena tidak tertangkap mata. Praktik ini terjadi secara diam-diam dan di
luar pemantauan si korban. Contohnya: memandang sinis, memandang penuh ancaman,
mendiamkan, mengucilkan, meneror lewat pesan sms, memandang yang merendahkan,
memelototi dan mencibir.
Faktor-faktor yang mempengaruhi bullying (Astuti, 2008 dalam Maghfiroh &
Rahmawati, 2009 ) yaitu perbedaan kelas (senioritas), ekonomi, agama, jender, etnisitas atau
rasisme, yakni pada dasarnya, perbedaan (terlebih jika perbedaan tersebut bersifat ekstrim)
individu dengan suatu kelompok dimana ia bergabung, jika tidak dapat disikapi dengan baik
oleh anggota kelompok tersebut, dapat menjadi faktor penyebab bullying. Tradisi senioritas
yakni senioritas yang salah diartikan dan dijadikan kesempatan atau alasan untuk membully
8
junior terkadang tidak berhenti dalam suatu periode saja. Hal ini tak jarang menjadi peraturan
tak tertulis yang diwariskan secara turun temurun kepada tingkatan berikutnya. Keluarga
yang tidak rukun yakni Kompleksitas masalah keluarga seperti ketidakhadiran ayah, ibu
menderita depresi, kurangnya komunikasi antara orangtua dan anak, perceraian atau
ketidakharmonisan orang tua dan ketidakmampuan sosial ekonomi merupakan penyebab
tindakan agresi yang signifikan.
METODE
Subjek penelitian ini berjumlah 87 siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Gudo, Jombang.
Pengambilan sampel dengan menggunakan cluster random sampling. Metode penelitian yang
digunakan adalalah penelitian kuantitatif. Peneliti menggunakan rancangan penelitian
deskriptif dan korelasional. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan
menjabarkan atau memaparkan variabel yang diteliti. Analisis yang digunakan untuk
mengetahuai kategorisasi pola asuh orang tua, tipe kepribadian dan perilaku bullying di
sekolah. Pendeskripsian ini dilakukan dengan cara mengklasifikasikan skor subyek sesuai
dengan norma kelompok sebelum dilakukan presentase. Analisis data yang digunakan untuk
menjawab hubungan antara pola asuh orang tua dan tipe kepribadian dengan perilaku
bullying di sekolah yaitu teknik analisis korelasi Product Moment. Untuk menjawab
hubungan antara pola asuh orang tua dan tipe kepribadian dengan perilaku bullying di
sekolah dengan menggunakan teknik regresi linear berganda.
HASIL
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh orang tua dari 87 subjek yang masuk
dalam kategori Demokratis 15 orang (17 %), Permisif 66 orang (69%) dan Otoriter 12 orang
(14%). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pola asuh berada dalam
kategori pola asuh permisif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe kepribadian dari 87
9
subjek penelitian yang masuk kategori plegmatis sebanyak 25 orang (29%), sanguinis
sebanyak 34 orang (39%), melankolis sebanyak 15 orang (17%) dan koleris sebanyak 13
orang (15%). Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar tipe
kepribadian berada dalam kategori tipe kepribadian sanguinis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku bullying dari 87 orang subjek penelitian
yang masuk dalam kategori sangat tinggi 10 orang (12%), tinggi 8 orang (9%), rendah 54
(62%) dan sangat rendah 15 orang (17%). Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar perilaku bullying berada dalam kategori rendah.
Berdasarkan hasil analisis korelasi dapat diketahui bahwa ada hubungan negatif antara
pola asuh orang tua dengan perilaku bullying di sekolah. Korelasi antara pola asuh orang tua
dengan perilaku bullying sebesar -0,561 dengan taraf significansi 0,000 (p < 0, 05).
Berdasarkan hasil analisis korelasi dapat diketahui bahwa ada hubungan negatif antara
tipe kepribadian dengan perilaku bullying di sekolah. Korelasi antara tipe kepribadian dengan
perilaku bullying sebesar -0,601 dengan taraf significansi 0,000 (p < 0, 05).
Dari hasil analisis yang diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan antara pola
asuh orang tua dan tipe kepribadian dengan perilaku bullying di sekolah. Nilai koefisien
korelasi R = 0,664 mampu menjelaskan jika nilai R semakin mendekati nilai 1 maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan kuat antara variabel pola asuh orang tua, variabel tipe
kepribadian dengan variabel perilaku bullying di sekolah. Nilai ini signifikan, ditunjukkan
oleh signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05).
DISKUSI
Sesuai dengan hasil penelitian sebagian besar subyek penelitian berada pada pola asuh
orang tua kategori permisif yaitu terdapat 66 siswa dari 87 siswa yang menjadi subyek
10
penelitian. Menurut Hurlock (1993) siswa yang berada pada pola asuh permisif adalah siswa
memiliki pola asuh orang tua siswa yang bersifat kurang mengontrol anak, membebaskan
anak, anak kurang mendapat bimbingan, orang tua hampir tidak pernah menghukum anak,
anak diijinkan membuat keputusan sendiri dan berbuat sesuai dengan keinginan sang anak.
Pola asuh permisif terdiri dari dua macam yaitu permisif yang bersifat memanjakan
dan permisif yang bersifat mengabaikan. Pola asuh permisif memanjakan membiarkan
anaknya melakukan apapun yang mereka inginkan, tanpa memberikan kendali terhadap
mereka. Sehingga, pada saat remaja mereka tidak pernah belajar untuk mengendalikan
perilakunya sendiri dan selalu berharap agar keinginannya dituruti. Orang tua yang mengasuh
dengan pola ini, memiliki pemikiran bahwa dengan kombinasi sedikitnya pembatasan yang
diberikan dan kelekatan yang terjadi, akan menghasilkan remaja yang percaya diri. Namun,
pengasuhan ini justru berkaian dengan rendahnya kompetensi sosial remaja, khususnya dalam
pengendalian diri (Santrock, 2002).
Serupa dengan permisif bersifat memanjakan, pola asuh permisif bersifat
mengabaikan juga menghasilkan remaja yang tidak kompeten secara sosial, tidak menyikapi
kebebasan dengan baik dan memiliki pengendalian diri yang buruk. Remaja yang diasuh
dengan pola asuh permisif bersifat mengabaikan merasa bahwa hal-hal lain dalam kehidupan
orangtuanya lebih penting dari dirinya, sehingga kebutuhan akan perhatian dari orangtuanya
tidak pernah terpenuhi. Orangtua yang menerapkan pola asuh ini bahkan tidak bisa menjawab
pertanyaan mengenai dimana keberadaan dan apa kegiatan anaknya (Santrock, 2002).
Hurlock (1993) menyatakan bahwa setiap orang tua berbeda di dalam menerapkan
pola sikap dan perilaku mereka terhadap anak. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa sikap yang
mereka pelajari di dalam mengasuh dan mendidik anak antara lain adanya pengalaman awal
dengan anak, adanya nilai budaya mengenai cara terbaik dalam memperlakukan anak baik
secara otoriter, demokratis maupun permisif.
11
Sesuai dengan hasil penelitian sebagian besar subyek penelitian yang memiliki tipe
kepribadian sanguinis yaitu terdapat 34 siswa dari 87 siswa yang menjadi subyek penelitian.
Tipe kepribadian sanguinis menurut Hippocrates dan Galenus (400 SM dan 175 M dalam
Sobur 2003) yaitu orang-orang yang banyak darahnya, sehingga orang-orang tipe ini selalu
menunjukkan wajah yang berseri-seri, periang atau selalu gembira, dan bersikap optimistik.
Menurut Kant (Suryabrata, 2002) tempramen Sanguinis (orang dengan darah ringan)
tempramen ini ditandai oleh sifat yang mudah dan kuat menerima kesan (pengaruh kejiwaan),
tetapi yang tidak mendalam dan tidak tahan lama, suasana perasaan selalu penuh harapan,
segala sesuatu pada suatu waktu dipandangnya penting, tetapi sebentar kemudian tidak
dipikirkannya lagi; sanguinicus sering menjanjikan sesuatu tetapi jarang menepatinya karena
apa yang dijajinkannya itu tidak dipikirkannya secara mendalam apakah dia dapat
memenuhinya atau tidak, dengan senang menolong orang lain, tetapi tidak dapat dipakai
sebagai sandaran, dalam pergaulan peramah dan periang, umumnya bukan penakut, tetapi
kalau bersalah sukar bertaubat; dia menyesal tetapi sesal itu lekas lenyap.
Sesuai dengan hasil penelitian lebih dari separuh subyek penelitian yang berada pada
perilaku bullying kategori rendah yaitu terdapat 54 siswa dari 87 siswa yang menjadi subyek
penelitian. Siswa yang berada pada kategori rendah dapat disimpulkan bahwa siswa tersebut
tidak pernah melakukan perilaku bullying kepada teman atau adik kelasnya.
Subyek yang masuk dalam kategori sangat tinggi berarti subyek sangat sering
melakukan perilaku bullying. Subyek yang masuk dalam kategori tinggi berarti sering
melakukan perilaku bullying. Subyek yang masuk dalam kategori rendah berarti tidak pernah
melakukan perilaku bullying. Subyek yang masuk dalam kategori sangat rendah berarti tidak
pernah melakukan bullying sama sekali.
12
Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah saat ini
sangat memprihatinkan bagi pendidik, orang tua dan masyarakat. Sekolah yang seharusnya
menjadi tempat bagi anak untuk menimba ilmu serta membantu membentuk karakter pribadi
yang positif ternyata malah menjadi tempat tumbuhnya praktek-praktek bullying (Mudjijanti,
2011).
Riauskina, et al (2005 dalam Hertinjung et al, 2012) mendefinisikan bullying di
sekolah sebagai perilaku agresif yang dilakukan secara berulang oleh seseorang/sekelompok
siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan
menyakiti orang tersebut. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pelaku memiliki kekua saan
maupun kekuatan yang lebih dibandingkan siswa lain untuk melakukan bullying.
Kekerasan dalam pendidikan merupakan perilaku melampaui batas kode etik dan
aturan dalam pendidikan, baik dalam bentuk fisik maupun pelecehan atas hak seseorang.
Pelakunya bisa siapa saja, seperti: pimpinan sekolah, guru, staf, murid, orang tua atau wali
murid, bahkan masyarakat. Jika perilaku kekerasan sampai melampaui batas otoritas
lembaga, kode etik guru dan peraturan sekolah, maka kekerasan tersebut dapat mengarah
pada pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM), dan bahkan tindak pidana (Assegaf, 2003
dalam Efianingrum, 2009).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif yang sangat signifikan
antara pola asuh orang tua dan perilaku bullying di sekolah. Sebagian besar siswa SMPN 1
Gudo, Jombang tergolong dalam pola asuh permisif sedangkan perilaku bullying siswa
SMPN 1 Gudo tergolong rendah maka dapat disimpulkan bahwa siswa-siswa tersebut tidak
pernah melakukan perilaku bullying kepada teman atau adik kelasnya. Hal tersebut
dikarenakan pada pola asuh permisif menurut Hurlock (1993) pola asuh orang tua siswa yang
bersifat kurang mengontrol anak, membebaskan anak, anak kurang mendapat bimbingan,
13
orang tua hampir tidak pernah menghukum anak, anak diijinkan membuat keputusan sendiri
dan berbuat sesuai dengan keinginan sang anak, sehingga anak tidak dapat meniru perilaku
bullying dari orang tua karena pada pola asuh permisif orang tua hamper tidak pernah
menghukum anak.
Menurut penelitian Tarmudji Tarsis (2001 dalam Nilakusmawati & Srinadi, 2009)
menemukan bahwa pola asuh demokratis mempunyai hubungan yang negatif dan tinggi,
sedangkan pola asuh otoriter memiliki hubungan positif tapi rendah, dan pola asuh permisif
mempunyai hubungan yang positif dan sedang dengan perilaku agresi pada remaja.
Pendapat Farrington (2000 dalam Pratiwi & Juneman, 2012) bahwa pola asuh orang
tua memiliki kemungkinan berkorelasi dengan perilaku pembulian pada anak, sehingga anak
yang berasal dari keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter, cenderung menjadi pelaku
pembulian. Namun, penelitian mengenai pola asuh orangtua yang yang terkait dengan
bagaimana seorang anak menjadi korban pembulian masih memuat banyak hasil yang
bertentangan. Temuan lain yaitu penelitian yang dilakukan Miller et al (2002; Georgiou, 2008
dalam Pratiwi & Juneman, 2012) menunjukkan bahwa pola asuh permisif cenderung
menjadikan anak kesulitan dalam membatasi perilaku agresif mereka, sehingga
mengembangkan mereka menjadi pelaku pembulian.
Menurut Handayani et al (2000 dalam Nilakusmawati & Srinadi, 2009) tinggi
rendahnya tingkat agresivitas pada sebagian remaja, salah satunya dipengaruhi oleh
pengasuhan yang mereka dapatkan. Pengasuhan dan pendidikan anak dalam keluarga
merupakan institusi pertama dalam proses perkembangan dan pendidikan anak dan remaja,
sehingga peran pola asuh orang tua terhadap anak sangat menentukan bagaimana
perkembangan mereka kelak di kemudian hari.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fortuna (2008) bahwa ada
hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku agresif pada remaja. Pemaksaan dan kontrol
14
yang sangat ketat dapat menyebabkan kegagalan dalam berinisiatif pada anak dan memiliki
keterampilan komunikasi yang sangat rendah. Anak akan menjadi seorang yang sulit untuk
bersosialisasi dengan teman-temannya sehingga anak akan mempunyai rasa sepi dan ingin
diperhatikan oleh orang lain dengan cara berperilaku agresif. Orang tua yang sering
memberikan hukuman fisik pada anaknya dikarenakan kegagalan memenuhi standar yang
telah ditetapkan oleh orang tua akan membuat anak marah dan kesal kepada orang tuanya
tetapi anak tidak berani mengungkapkan kemarahannya itu dan melampiaskan kepada orang
lain dalam bentuk perialku agresif. Dengan pola asuh orang tua yang tidak terlalu
mengekang, anak akan menjadi anak yang berinisiatif, percaya diri dan mampu menjalin
hubungan interpersonal yang positif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif yang sangat signifikan
antara tipe kepribadian dan perilaku bullying di sekolah. Siswa SMPN 1 Gudo sebagian besar
siswa tergolong bertipe kepribadian sanguinis sedangkan perilaku bullying di sekolah siswa
SMPN 1 Gudo Jombang sebagian besar siswa tergolong pada perilaku bullying tingkat
rendah maka dapat disimpulkan bahwa siswa-siswa tersebut tidak pernah melakukan perilaku
bullying kepada teman atau adik kelasnya. Hal tersebut dikarenakan menurut Hipocrates dan
Galenus (dalam Sobur 2002) tipe kepribadian sanguinis adalah orang yang memiliki sifat
ramah, periang dan optimistik sehingga siswa dengan kepribadian ini adalah seorang siswa
yang mudah berteman dan bergaul sehingga tidak akan melakukan perilaku bullying pada
temannya.
Slee dan Rigby (2003 dalam Hertijung et al, 2012), menemukan bahwa anak-anak
yang melakukan bullying secara berulang di sekolah, cenderung memiliki rasa empati yang
rendah terhadap orang lain dan cenderung psikotism. Anak-anak yang sering menjadi
target/korban bullying di sekolah biasa secara psikologis introvert, memiliki harga diri yang
rendah, dan kurang memiliki keterampilan sosial, khususnya dalam hal asertivitas.
15
Priyatna (2007, dalam Hertijung et al, 2012) juga menyebutkan hal yang sama bahwa
pelaku sulit untuk mengontrol emosinya, sulit mengontrol perasaan-perasaan marah dan
frustrasi membuat mereka rentan terjerumus masuk ke dalam tindakan-tindakan agresi.
Korban bullying memiliki perasaan rendah diri dan selalu menyalahkan diri sendiri, mereka
jadi merasa bahwa mereka pantas menerima perilaku pembulian tersebut sehingga diam saja
dan tidak melaporkannya kepada orang tua atau guru, sehingga tindakan pembulian terus
terjadi (Nusantara, 2008). Hasil studi lain menyatakan bahwa korban tidak hanya merupakan
anak yang pasif, yang pendiam dan sulit untuk menghargai diri sendiri. Tetapi juga ada
korban yang agresif, anak seperti ini cenderung lebih impulsif dan sering menggunakan
agresi fisikal bila ada anak lain yang mengganggunya, sulit mengontrol diri, serta cenderung
bereaksi terlalu cepat terhadap segala bentuk provokasi pada dirinya (Priyatna, 2010 dalam
Pratiwi & Juneman, 2012). Hal tersebut justru dimanfaatkan oleh pelaku untuk memanipulasi
sifatnya tersebut dan menjadikannya target pembulian untuk memenuhi keinginan mereka
atas penghargaan diri dari lingkungan pergaulannya. Hal ini juga didukung oleh temuan lain
yang menyatakan bahwa karakteristik korban pembulian mirip dengan profill pelaku
pembulian (Komiyama, 1986; Ahmed & Braithwaite, 2004; dalam Pratiwi & Juneman,
2012).
Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang positif antara pola asuh orang tua, tipe
kepribadian dengan perilaku bullying di sekolah. Faktor keluarga memberikan kontribusi
terhadap perkembangan perilaku anak. Sejumlah karakteristik keluarga seperti kekerasan
domestik, praktek pengasuhan, status sosial-ekonomi, latar belakang pendidikan dan
kepribadian antisosial orang tua memberikan kontribusi terhadap perkembangan perilaku
anak termasuk perilaku kekerasan. Orang tua sebagai pemegang posisi kunci dalam keluarga
memainkan peran besar dalam memunculkan perilaku agresif dan kekerasan (Grusec, 1997
dalam Budi, 2009).
16
Menurut Santrock (Suwarjo, 2009 dalam Efianingrum, 2009) korban bully memiliki
karakteristik individual tertentu, seperti: sulit bergaul/canggung, kurang percaya diri, siswa
pandai/kurang pandai, cantik/ganteng atau sebaliknya, siswa yang pelit atau tidak mau
memberi contekan, siswa yang berpenampilan lain (kuper/tidak gaul), mempunyai logat
bicara tertentu/gagap, siswa dengan ekonomi yang baik/kurang baik. Jika dikaitkan dengan
perlakuan orang tua, anak-anak korban bullying adalah anak-anak dari orang tua yang
cenderung terlalu melindungi (over prorective) dan selalu mengkhawatirkan atau terlalu
mencemaskan anak.
Allan et al (1997 dalam Budi, 2009) menjelaskan bahwa faktor-faktor keluarga,
sekolah, sosial budaya dan kepribadian sebagai faktor utama yang mempengaruhi perilaku
kekerasan siswa. Selain itu pola asuh orang tua memiliki pengaruh yang amat besar dalam
membentuk kepribadian anak yang tangguh sehingga anak berkembang menjadi pribadi
yang percaya diri, berinisiatif, berambisi, beremosi stabil, bertanggung jawab, mampu
menjalin hubungan interpersonal yang positif dan lainā€lain. Kepribadian tersebut dapat
dikembangkan dalam keluarga.
Astuti (2008 dalam Hertinjung et al, 2012), mengemukakan bahwa faktor eksternal
bullying dapat berupa kondisi keluarga yang kurang harmonis, pengaruh teman sebaya, dan
sistem pengawasan dan bimbingan etika di sekolah yang kurang berjalan efektif. Faktor
internal berupa karakter pribadi, seperti agresif, pencemas, kurang memiliki ketrampilan
sosial, dan lainlain. Hal ini sebagaimana perspektif teori Atribusi terhadap Perbedaan
Individual. Perilaku kekerasan merupakan persoalan yang multidimensional, dipengaruhi
bukan hanya faktor-faktor dari dalam diri siswa tetapi juga oleh faktor-faktor dari luar diri
siswa. Secara umum perilaku kekerasan dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik dan intrinsik (Alan
et al, 1997; Conger at al, 1999 dalam Budi 2009).
17
DAFTAR PUSTAKA
Cowie,Helen & Dawn Jennifer.2009. Penanganan Kekerasan Di Sekolah:Pendekatan
Lingkup Di Sekolah Untuk Mencapai Praktik Terbaik. Jakarta: PT Indeks
Budi, S. Hafsah. 2009. Perilaku Agresif Ditinjau Dari Persepsi Pola Asuh Outhoritharian,
Asertivitas, Dan Tahap Perkembangan Remaja Pada Anak Binaan Lembaga Pemasyarakatan
Anak Kutoarja Jawa Tengah. Jurnal Humanitas, (online), 6 (1) : 42-55,
(Http://Isjd.Lipi.Go.Id/Admin/Jurnal/61094255_1693-7236.Pdf) diakses 09 November 2012
Efianingrum, Ariefa. 2009. Mengurai Akar Kekerasan (Bullying) Di Sekolah, (online),
(Http://Staff.Uny.Ac.Id/Sites/Default/Files /Artikel %20 dinamika%202009.Pdf) diakses 09
November 2012
Fortuna, Fini.2008. Hubungan Pola Asuh Otoriter Dengan Perilaku Agresif Pada Remaja.
Jakarta : Universitas Gunadarma
Hertinjung, S.W, Susilowati, & I. R. Wardhani. 2012 Profil Kepribadian 16 PF Pelaku Dan
Korban Bullying. Prosiding disajikan pada Seminar Nasional Psikologi Islami, Surakarta, 21
April 2012. (online),
(Http://Publikasiilmiah.Ums.Ac.Id/Bitstream/Handle/123456789/1768/C8. %20hertinUms%20%28fixed%29.Pdf?Sequence=1), diakses 09 November 2012
Hurlock, E. B. 1993. Psikologi Perkembangan Anak. Edisi 6. Alih Bahasa: dr. Med.
Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kusumadewi.2012.Memotong Budaya Kekerasan, (online),
(http://cetak.kompas.com/read/2012/05/16/02094365/memotong.budaya.kekerasan), diakses
03 November 2012
18
Maghfiro, U.& Rahmawati M.A. 2009. Hubungan Antara Iklim Sekolah Dengan
Kecenderungan Perilaku Bullying. Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya
Universitas Islam Indonesia
Mudjijanti, Fransisca. 2011. School Bullying Dan Peran Guru Dalam Mengatasinya, (online),
(Http://Wimamadiun.Com/Krida/Busisca12des2011.Pdf), diakses 09 November 2012
Nilakusmawati, Desak P.E & Srinadi, I G. A.M. 2009. Agresivitas Remaja: Analisis FaktorFaktor Yang Berpengaruh. Jurnal Sosial Budaya, (online), 11 (1) : 15-28,
(Http://Isjd.Pdii.Lipi.Go.Id/ Admin/Jurnal/ 111091528_1410-9859.Pdf), diakses 09
November 2012
Nusantara, Ariobimo. 2008. Bullying: Mengatasi kekerasan di sekolah dan lingkungan.
Jakarta: PT. Grasindo
Pratiwi, Mutiara dan Juneman. 2012. Hubungan Antara Jenis Pola Asuh Orang Tua Dengan
Kecenderungan Menjadi Pelaku Dan/Atau Korban Pembulian Pada Siswa-Siswi Sma Di
Jakarta Selatan. Jakarta Selatan : BINUS University
Prima, Adri.2012. Kekerasan di Sekolah Pernah Dialami 87,6 Persen Siswa, (online),
(http://edukasi.kompas.com/read/2012/07/30/12305778/Kekerasan.di.Sekolah.Pernah.Dialami.87,6
Persen.Siswa), diakses 03 November 2012
Santrock, J. W. (2002). Life Span Development (Perkembangan Masa Hidup). Jilid 1: Edisi
Kelima. Penerbit Erlangga.
Siswati & Widayanti , C.G. 2009. Fenomena Bullying Di Sekolah Dasar Negeri Di
Semarang: Sebuah Studi Deskriptif. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, (online), 5
(2), (Http://Eprints.Undip.Ac.Id/10123/1/Fenomena Bullying Di Sekolah Dasar Negeri Di
Semarang.Pdf) diakses 09 November 2012
19
Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. CV Pustaka Setia: Bandung
Suryabrata, Sumadi. 2002. Psikologi Kepribadian. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Yusuf, Syamsu & Juntika Nurihsan. 2008. Teori Kepribadian. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Download