BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tata kelola

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tata kelola pemerintahan yang buruk merupakan permasalahan yang
dihadapi oleh Pemerintah Indonesia dalam implementasi kebijakan otonomi
daerah dan desentralisasi fiskal (Djalil, 2014). Reformasi birokrasi merupakan
salah satu langkah yang diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk menciptakan
tata kelola pemerintahan yang baik. Pelaksanaan reformasi birokrasi di bidang
pemerintahan di Indonesia pada prinsipnya dimulai sejak tahun 2006 melalui
penetapan Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa
Keuangan sebagai pilot project (Djalil, 2014). Pemerintah Indonesia selanjutnya
menyusun dan mengembangkan konsep dan kebijakan reformasi birokrasi yang
ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang grand design
reformasi birokrasi 2010-2025 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan-rb) No. 20 Tahun 2010 tentang road
map reformasi birokrasi 2010-2014.
Reformasi birokrasi mulai diterapkan pada pemerintah daerah secara
formal sejak tahun 2012 melalui penerbitan Permenpan-rb No. 30 Tahun 2012
tentang Pedoman Pengusulan, Penetapan, dan Pembinaan Reformasi Birokrasi
pada Pemerintah Daerah. Reformasi birokrasi bertujuan untuk menciptakan
birokrasi
pemerintahan
yang
profesional
dengan
karakteristik
adaptif,
berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme,
mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh
nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara (Asosiasi Auditor Intern
Pemerintah Indonesia, 2014). Reformasi birokrasi juga bertujuan untuk
membentuk sikap mental birokrat agar mampu melaksanakan tugasnya secara
lebih efisien dan efektif sehingga pemerintahan yang akuntabel dan transparan
dapat terwujud dengan baik (Djalil, 2014).
Salah satu program yang harus dilaksanakan untuk mendukung suksesnya
reformasi birokrasi di pemerintah daerah adalah penguatan fungsi pengawasan.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2005 menjelaskan bahwa tujuan
pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah adalah untuk mendorong
ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan, mendorong efisiensi dan
efektivitas pelaksanaan tugas, mendorong terwujudnya akuntabilitas yang tinggi,
mengawal reformasi birokrasi, dan mengawasi disfunctional behavior aparat
pemerintah (Djalil, 2014). Fungsi pengawasan di pemerintahan ini bergantung
pada peran Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP). APIP memainkan
perannya sebagai aparat pengawas internal yang bertugas untuk melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintah agar pelaksanaan program
pemerintah yang efisien dan efektif dapat tercapai. Salah satu bagian dari APIP
adalah auditor Inspektorat Pemerintah Kabupaten/Kota yang disebut juga sebagai
auditor internal pemerintah daerah.
Auditor internal pemerintah daerah berperan sangat penting dalam
menyukseskan reformasi birokrasi di pemerintah daerah. Menurut Asosiasi
Auditor Intern Pemerintah Indonesia (2014), peran auditor internal pemerintah
daerah dalam menyukseskan reformasi birokrasi diwujudkan dalam bentuk: (a)
assurance activities, yaitu memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan,
kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas
dan fungsi instansi pemerintah; (b) anti corruption activities, yaitu memberikan
peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam
penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah; (c) consulting activities,
memberikan masukan yang dapat memelihara dan meningkatkan kualitas tata
kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah. Berbagai aktivitas
auditor internal pemerintah daerah tersebut akan menghasilkan informasi dan
laporan hasil pengawasan dalam rangka untuk memberikan keyakinan yang
memadai kepada kepala daerah bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan
tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Informasi dan laporan
hasil pengawasan dari auditor internal pemerintah daerah ini diperlukan oleh
kepala daerah sebagai pedoman untuk membuat kebijakan dalam rangka
mewujudkan sistem birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Pentingnya peran auditor internal pemerintah daerah dalam menyukseskan
reformasi birokasi di pemerintah daerah menunjukkan perlunya auditor internal
pemerintah daerah melaksanakan perannya dengan sebaik mungkin. Namun, hasil
studi sebelumnya yang dilakukan di sektor swasta menunjukkan bahwa profesi
auditor dapat mengalami role conflict dan role ambiguity. Hasil studi sebelumnya
menunjukkan bahwa role conflict dan role ambiguity terjadi pada auditor
eksternal di kantor akuntan publik yang ada di Australia (Chong dan Monroe,
2015), Amerika Serikat (Jones et al., 2012; Jones et al., 2010, Viator, 2001),
Thailand (Ussahawanitchakit, 2008), dan Selandia Baru (Fisher, 2001). Hasil
studi sebelumnya juga menunjukkan bahwa role conflict dan role ambiguity
terjadi pada auditor internal di perusahaan yang terdaftar di Bursa Malaysia
(Aghghaleh et al., 2014; Ahmad dan Taylor, 2009) dan auditor internal yang
merupakan anggota American Institute of Certified Public Accountants (Larson,
2004).
Role
theory
menyatakan
bahwa
ketika
individu
menghadapi
ketidakcocokan harapan peran secara bersamaan sehingga kepatuhan pada satu
harapan peran akan membuat sulit atau tidak mungkin untuk memenuhi harapan
peran lainnya secara efektif maka individu tersebut akan mengalami role conflict
(Kahn et al., 1964 seperti yang dikutip Agarwal, 1999). Role theory juga
menyatakan bahwa ketika seorang individu tidak memiliki informasi yang
memadai untuk menghasilkan kinerja yang efektif dari suatu peran tertentu maka
individu tersebut akan mengalami role ambiguity (Kahn et al., 1964 seperti yang
dikutip Senatra, 1980).
Auditor internal pemerintah daerah mempunyai indikasi mengalami role
conflict dan role ambiguity. Role conflict dapat timbul pada auditor internal
pemerintah daerah karena adanya peran auditor internal pemerintah daerah dalam
memberikan assurance activities (peran pengawasan audit) kepada instansi
pemerintah daerah sekaligus bersama-sama memberikan consulting activities
(peran konsultasi) pada manajemen instansi pemerintah daerah. Role ambiguity
dapat terjadi pada auditor internal pemerintah daerah ketika mereka tidak
memiliki kejelasan tugas, wewenang, tanggung jawab, dan standar dalam
melaksanakan tugas-tugas audit pada saat pelaksanaan peran pengawasan audit.
Peran auditor internal pemerintah daerah berupa peran pengawasan audit
dan peran konsultasi dijelaskan dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara (Permenpan) No. PER/05/M.PAN/03/2008, Permenpan No. 19
Tahun 2009, dan Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia (SAIPI). Peraturan
dan standar tersebut menjelaskan bahwa kegiatan utama auditor internal
pemerintah daerah adalah melakukan audit, reviu, pemantauan, evaluasi, dan
kegiatan pengawasan lainnya berupa sosialisasi, asistensi, dan konsultasi. Peran
pengawasan audit yang dilakukan oleh auditor internal pemerintah daerah
merupakan kegiatan pemberian keyakinan yang mencakup audit, reviu,
pemantauan, dan evaluasi (Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia, 2014).
Peran konsultasi yang dilakukan oleh auditor internal pemerintah daerah
merupakan kegiatan pemberian masukan dan rekomendasi yang dapat memelihara
dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi
pemerintah daerah yang mencakup sosialisasi, asistensi, dan konsultasi (Asosiasi
Auditor Intern Pemerintah Indonesia, 2014).
Peran pengawasan audit dan peran konsultasi merupakan dua peran auditor
internal pemerintah daerah yang memiliki harapan peran yang saling bertentangan
atau tidak konsisten. Hubungan antara auditor internal pemerintah daerah dan
instansi pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan pengawasaan audit
merupakan hubungan antara auditor dan auditee yang mengharuskan adanya
independensi (Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia, 2014). Permenpan
No. PER/05/M.PAN/03/2008 poin 2100 menyatakan bahwa auditor internal
pemerintah daerah harus bersikap independen dalam semua hal yang berkaitan
dengan audit. Hubungan antara auditor internal pemerintah daerah dan
manajemen instansi pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan konsultasi
merupakan hubungan antara konsultan dengan penerima jasa yang memerlukan
adanya kerjasama (Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia, 2014). Auditor
internal pemerintah daerah pada saat melaksanakan kegiatan konsultasi perlu
menjalin kerjasama dan koordinasi dengan manajemen instansi pemerintah daerah
untuk meningkatkan kualitas fungsi pengawasan dan tata kelola di instansi
pemerintah daerah.
Hubungan kerjasama
dan koordinasi
selama kegiatan
konsultasi
memungkinkan timbulnya hubungan sosial yang dekat antara auditor internal
pemerintah daerah dan manajemen instansi pemerintah daerah. Hubungan sosial
yang dekat dapat timbul dari adanya kedekatan emosional yang tercipta melalui
seringnya interaksi kerja, tingginya intensitas kebutuhan komunikasi kerja, dan
perlakuan yang baik dari manajemen instansi pemerintah daerah kepada auditor
internal pemerintah daerah selama kegiatan konsultasi. Hubungan sosial yang
dekat dengan manajemen instansi pemerintah daerah dapat mengganggu
independensi auditor internal pemerintah daerah pada saat mereka melaksanakan
peran pengawasan audit pada instansi pemerintah daerah. Kedekatan emosional
antara auditor internal pemerintah daerah dan manajemen instansi pemerintah
daerah yang tercipta melalui kegiatan konsultasi akan membuat auditor internal
pemerintah daerah menjadi lebih segan untuk melakukan pemeriksaan audit yang
ketat sehingga auditor internal pemerintah daerah cenderung akan bersikap lebih
toleran kepada manajemen instansi pemerintah daerah selama pemeriksaan audit.
Rasa segan dan sikap toleran auditor internal pemerintah daerah kepada
manajemen instansi pemerintah daerah tersebut menyebabkan auditor internal
pemerintah daerah sulit untuk bersikap independen selama melakukan peran
pengawasan audit. Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa auditor internal
pemerintah daerah yang sebelumnya telah melaksanakan peran konsultasi akan
mengalami kesulitan untuk melaksanakan peran pengawasan audit dengan baik
karena kedua peran tersebut memiliki harapan/persyaratan pemenuhan peran yang
saling bertentangan. Hal ini mengindikasikan terjadinya role conflict pada auditor
internal pemerintah daerah.
Pekerjaan auditor internal pemerintah daerah sangat tergantung pada
kejelasan tugas, wewenang, tanggung jawab, dan standar. Ketiadaan tugas,
wewenang, tanggung jawab, dan standar yang jelas dapat mengakibatkan auditor
internal pemerintah daerah mengalami role ambiguity. Ketidakjelasan kejelasan
tugas, wewenang, tanggung jawab, dan standar akan mengakibatkan auditor
internal pemerintah daerah memiliki informasi dan pemahaman yang kurang
memadai tentang tugas-tugas audit yang harus mereka lakukan sehingga mereka
akan merasa kurang percaya diri dan kurang fokus dalam melaksanakan audit.
Kondisi ini dapat membuat auditor internal pemerintah daerah menjadi tidak dapat
menghasilkan kinerja yang efektif dalam memenuhi peran pengawasan audit
karena mereka tidak mengetahui dengan pasti bagaimana cara melaksanakan
tugas-tugas audit secara efektif. Ahmad dan Taylor (2009) menyatakan bahwa
tidak adanya kejelasan tugas, wewenang, tanggung jawab, dan standar akan
membuat auditor internal merasa kurang percaya diri dalam membuat penilaian
dan keputusan audit karena mereka tidak memiliki pemahaman yang memadai
sehingga mereka akan mengalami role ambiguity. Breaugh dan Colihan (1994)
menyatakan bahwa role ambiguity mengacu pada persepsi karyawan mengenai
ketidakpastian berbagai aspek pekerjaan mereka.
Fenomena role conflict dan role ambiguity perlu untuk dikaji karena hasil
studi sebelumnya menunjukkan role conflict dan role ambiguity dapat membawa
dampak buruk pada sikap kerja dan hasil pekerjaan seseorang. Hasil studi
sebelumnya menunjukkan bahwa role conflict berhubungan dengan rendahnya job
satisfaction (Jones et al., 2010; Kim et al., 2009; Anton, 2009; Jaramillo et al.,
2006; Fisher, 2001), rendahnya affective commitment (Addae et al., 2008), job
performance yang kurang baik (Viator, 2001; Fisher, 2001), dan tingginya
turnover intention (Solli-Saether, 2011; Jones et al., 2010; Anton, 2009; Hang-yue
et al., 2005; Viator 2001). Hasil studi sebelumnya juga menunjukkan bahwa role
ambiguity berhubungan dengan rendahnya job satisfaction (Jones et al., 2010;
Kim et al., 2009; Anton, 2009; Jaramillo et al., 2006; Hang-yue et al., 2005;
Fisher, 2001), rendahnya affective commitment (Solli-Saether, 2011; Addae et al.,
2008), job performance yang kurang baik (Solli-Saether, 2011; Jones et al., 2010;
Anton, 2009; Viator, 2001; Fisher, 2001), dan tingginya turnover intention (SolliSaether, 2011; Jaramillo et al., 2006; Hang-yue et al., 2005; Viator 2001). Sikap
kerja dan hasil kerja pegawai yang kurang baik tentunya akan menghambat
perkembangan organisasi.
Penelitian ini akan mengkaji fenomena role conflict dan role ambiguity,
khususnya yang terkait dengan faktor penentu dan dampaknya. Penelitian
sebelumnya telah mengkaji fenomena role conflict dan role ambiguity dengan
menggunakan sampel auditor internal yang bekerja di perusahaan swasta di
Malaysia (lihat: Aghghaleh et al., 2014; Ahmad dan Taylor, 2009). Aghghaleh et
al. (2014) mengkaji faktor penentu role ambiguity yang ditinjau dari faktor
personal dan organisasional, sementara Ahmad dan Taylor (2009) mengkaji
dampak role conflict dan role ambiguity terhadap commitment to independence.
Penelitian ini berusaha untuk mengetahui apakah hasil penelitian sebelumnya
tentang faktor penentu dan dampak dari role conflict dan role ambiguity pada
auditor internal di sektor swasta mampu digeneralisasi dalam jenis organisasi
yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk memperkuat validitas eksternal penelitian
tentang fenomena role conflict dan role ambiguity. Penelitian ini mengkaji faktor
penentu dan dampak dari role conflict dan role ambiguity pada auditor internal di
sektor publik, khususnya di dalam organisasi pemerintah daerah. Penelitian ini
mengkaji faktor organisasional berupa formalization sebagai faktor penentu dari
role conflict dan role ambiguity. Penelitian ini juga akan mengkaji dampak dari
role conflict dan role ambiguity terhadap commitment to independence dan job
performance.
Formalization mengacu pada sejauh mana organisasi secara eksplisit
memformalkan standar pelaksanaan, deskripsi pekerjaan, dan kebijakannya
(Podsakoff et al., 1986). Pemilihan formalization sebagai variabel dalam
penelitian ini karena hasil penelitian sebelumnya masih menunjukkan hubungan
yang belum konsisten. Hasil penelitian Aghghaleh et al. (2014), Podsakoff et al.
(1986), Rogers dan Molnar (1976), dan Rizzo et al. (1970) menunjukkan bahwa
formalization berhubungan negatif dengan role conflict dan role ambiguity. Hasil
penelitian Agarwal (1999) menunjukkan bahwa formalization berhubungan positif
dengan role conflict dan role ambiguity. Hasil penelitian Organ dan Greene
(1981) menunjukkan bahwa formalization berhubungan negatif dengan role
ambiguity dan berhubungan positif dengan role conflict. Hasil penelitian Jackson
dan Schuler (1985) dan Bamber et al. (1989) menunjukkan bahwa formalization
berhubungan negatif dengan role ambiguity dan tidak berhubungan dengan role
conflict.
Penelitian sebelumnya mengkaji formalization dengan menggunakan unit
analisis berupa organisasi (Aghghaleh et al., 2014; Agarwal, 1999; Jackson dan
Schuler, 1985). Fenomena role conflict dan role ambiguity yang dikaji dalam
penelitian ini merupakan fenomena yang dialami oleh individu dalam suatu
organisasi sehingga unit analisisnya adalah individu. Penelitian ini akan mengkaji
formalization dengan menggunakan unit analisis individu. Penelitian ini mengkaji
formalization dalam bentuk persepsi atau kondisi yang dirasakan responden
terhadap tingkat formalization yang terjadi dalam organisasi mereka. Hal ini
seperti yang dilakukan dalam penelitian Podsakoff et al. (1986).
Formalization penting untuk dikaji pada auditor internal pemerintah
daerah karena Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (Kemenpan-rb) dalam upaya membangun pilar reformasi
birokrasi sejak tahun 2007 hingga saat ini sedang dalam proses menyusun dan
mengesahkan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU), termasuk didalamnya
RUU yang berkaitan dengan eksistensi dan peran auditor internal pemerintah
daerah. Kemenpan-rb dalam upaya untuk membangun pilar reformasi birokrasi
telah mengembangkan 9 RUU paket reformasi birokrasi. Lima RUU telah berhasil
ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU), yaitu: UU No. 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU No.
43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara, dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
(Rahman, 2015). Empat RUU yang belum dijadikan sebagai UU adalah RUU
Sistem Pengawasan Nasional (disebut juga RUU Sistem Pengawasan Intern
Pemerintah),
RUU
Etika
Penyelenggara
Negara,
RUU
Akuntabilitas
Penyelenggara Negara, dan RUU Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah
(Rahman, 2015). RUU yang berkaitan dengan auditor internal pemerintah daerah
adalah RUU SPIP. Salah satu latar belakang disusunnya RUU SPIP adalah kurang
maksimalnya kinerja APIP di daerah (auditor internal pemerintah daerah). RUU
SPIP diharapkan nantinya dapat menjadi UU yang akan memberikan landasan
yang kuat bagi auditor internal pemerintah daerah dan APIP lainnya agar dapat
menjalankan tugas dan perannya secara lebih efektif dan efisien.
Independensi merupakan isu yang sering menjadi sorotan pada profesi
auditor internal pemerintah daerah. Ahmad dan Taylor (2009) menyatakan bahwa
independensi merupakan aspek yang tidak mudah untuk diterapkan oleh auditor
internal. UU No. 23 Tahun 2014 pasal 216 poin 3 menyatakan bahwa Inspektorat
Daerah dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada kepala daerah
melalui sekretaris daerah. Posisi auditor internal pemerintah daerah yang sejajar
atau berada di bawah pihak/lembaga yang diawasi dapat membuat auditor internal
pemerintah daerah sulit untuk bersikap independen karena posisi tersebut
memberikan keterbatasan kendali pada auditor internal pemerintah daerah dalam
melakukan pemeriksaan dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan. Padahal,
independensi merupakan aspek penting yang harus dimiliki oleh seluruh auditor
saat melakukan pemeriksaan/audit. Nilai suatu audit sangat tergantung pada
persepsi publik tentang independensi auditor (Arens et al., 2012). Arena dan
Azzone (2009) menyatakan bahwa unit audit internal harus memiliki
independensi dan kompetensi yang cukup besar untuk dapat melaksanakan
pekerjaan mereka dengan cara yang tepat. Independensi sangat diperlukan agar
kredibilitas hasil audit meningkat (Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia,
2014). Pentingnya independensi dalam aktivitas audit internal mengindikasikan
perlunya auditor internal untuk memiliki komitmen yang kuat dalam menjaga
independensi mereka (commitment to independence). Auditor internal pemerintah
daerah yang memiliki commitment to independence yang kuat tentunya akan
selalu berusaha mengutamakan independensi pada saat melakukan aktivitas audit
internal. Adanya isu independensi auditor internal pemerintah daerah ini membuat
penelitian ini perlu untuk mengkaji aspek independensi auditor internal
pemerintah daerah, khususnya yang terkait dengan commitment to independence.
Commitment to independence merupakan (a) sebuah keyakinan yang kuat
dan penerimaan atas kode etik profesi yang bersangkutan dengan nilai
independensi profesional; (b) kesediaan untuk mengerahkan upaya yang besar
untuk memenuhi prinsip dasar profesi dalam mempertahankan independensi; (c)
keinginan pribadi yang kuat untuk independen setiap saat (Ahmad dan Taylor,
2009). Ahmad dan Taylor (2009) sebelumnya telah mengkaji dampak role conflict
dan role ambiguity terhadap commitment to independence pada auditor internal
perusahaan swasta di Malaysia. Ahmad dan Taylor (2009) berargumen bahwa
peran auditor internal saat ini menjadi semakin meningkat dipengaruhi oleh
konflik peran dan ambiguitas peran sehingga hal tersebut mungkin akan
berdampak buruk pada komitmen mereka untuk melaksanakan independensi.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa role conflict dan role ambiguity dapat
mengakibatkan commitment to independence menjadi sulit untuk dilakukan oleh
auditor internal pada saat melaksanakan tugas audit. Penelitian ini akan menguji
apakah hasil penelitian Ahmad dan Taylor (2009) ini mampu digeneralisasi dalam
konteks organisasi pemerintah daerah. Penelitian ini mengkaji dampak role
conflict dan role ambiguity terhadap commitment to independence auditor internal
pemerintah daerah.
Dampak role conflict dan role ambiguity terhadap commitment to
independence perlu untuk dikaji kembali karena Ahmad dan Taylor (2009)
mengembangkan sendiri instrumen commitment to independence, namun Ahmad
dan Taylor (2009) menyatakan bahwa instrumen commitment to independence
tersebut tidak memenuhi uji validitas secara statistik (nilai Kaiser-Meyer-Olkin
measure of sampling (KMO) di bawah 0,6 dan nilai factor variance di bawah 60
persen). Instrumen commitment to independence yang dikembangkan Ahmad dan
Taylor (2009) hanya memenuhi face validity dari tiga orang ahli.
Hal ini
menunjukkan bahwa validitas konstruk commitment to independence yang
dikembangkan Ahmad dan Taylor (2009) masih belum baik. Oleh karena itu,
dengan mengkaji kembali dampak role conflict dan role ambiguity terhadap
commitment to independence pada auditor internal pemerintah daerah diharapkan
akan diperoleh hasil penelitian yang telah memenuhi persyaratan validatas
instrumen penelitian dengan baik.
Penelitian sebelumnya telah menguji dampak role conflict dan role
ambiguity terhadap job performance, akan tetapi hasilnya masih belum konsisten
untuk hubungan antara role conflict dan job performance sehingga perlu dikaji
lebih lanjut. Fisher (2001) dan Viator (2001) menyatakan bahwa role conflict
berhubungan negatif dengan job performance, sementara Burney dan Widener
(2007), Gregson et al. (1994), dan Rebele dan Michaels (1990) menyatakan
bahwa role conflict tidak berhubungan dengan job performance. Fisher (2001)
menyarankan bahwa penelitian selanjutnya harus mencoba untuk mengkaji
apakah ketidakkonsistenan hasil penelitian tersebut merupakan konsekuensi dari
perbedaan dalam lokasi geografis, model penelitian, atau ukuran dari job
performance auditor. Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan dengan
menggunakan sampel auditor eksternal di New Zealand (Fisher, 2001) dan
Amerika (Viator, 2001; Gregson et al., 1994; Rebele dan Michaels, 1990).
Penelitian ini akan mengkaji dampak role conflict dan role ambiguity terhadap job
performance pada auditor internal di sektor publik di Indonesia. Ukuran job
performance yang akan digunakan dalam penelitian ini berbeda dengan ukuran
job performance yang digunakan dalam penelitian Burney dan Widener (2007),
Fisher (2001), Viator (2001), Gregson et al. (1994), dan Rebele dan Michaels
(1990). Penelitian ini akan menggunakan instrumen self-reported performance
evaluation yang dikembangkan oleh Fogarty et al. (2000). Kelebihan instrumen
job performance Fogarty et al. (2000) adalah instrumen tersebut meminta subjek
untuk mengevaluasi kinerja relatif mereka terhadap orang lain sehingga akan
meminimalkan kecenderungan bias kemurahan hati (leniency bias) yang sering
terjadi pada ukuran mutlak self-report pada saat auditor menilai job performance
diri mereka sendiri (Fogarty dan Kalbers, 2006).
Job performance auditor internal pemerintah daerah penting untuk dikaji
karena Pemerintah Indonesia saat ini sedang berfokus pada perbaikan kinerja
auditor internal pemerintah daerah yang dinilai masih rendah dalam melakukan
pengawasan intern dan pencegahan korupsi di pemerintah daerah. Hasil penilaian
tingkat kapabilitas 474 APIP kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dalam
kurun waktu 5 tahun terakhir (2010-2014) dengan menggunakan Internal Audit
Capability Model (IA-CM) yang dilakukan oleh BPKP menunjukkan bahwa
sebanyak 404 APIP (85,23%) masih berada pada level 1 (initial), 69 APIP
(14,56%) berada pada level 2 (infrastructure), dan 1 APIP (0,21%) berada pada
level 3 (integrated) (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangun, 2015).
Kondisi APIP yang sebagian besar masih berada pada level 1 menunjukkan
bahwa masih rendahnya kinerja APIP dalam melakukan pengawasan intern yang
efektif. APIP dinilai belum dapat memberikan jaminan atas proses tata kelola
sesuai peraturan dan belum dapat mencegah tindakan pelanggaran.
1.2
Perumusan Masalah
Auditor internal pemerintah daerah memiliki indikasi mengalami role
conflict dan role ambiguity. Role conflict dapat timbul pada auditor internal
pemerintah daerah karena adanya dua peran auditor internal pemerintah daerah
yang memiliki harapan peran yang saling bertentangan atau tidak konsisten, yaitu
peran pengawasan audit dan peran konsultasi. Auditor internal pemerintah daerah
untuk dapat melaksanakan peran konsultasi perlu menjalin kerjasama dan
koordinasi dengan manajemen instansi pemerintah daerah, namun di sisi lain
auditor internal pemerintah daerah memerlukan independensi agar dapat
melaksanakan peran pengawasan audit dengan baik. Hubungan kerjasama dan
koordinasi antara auditor internal pemerintah daerah dan manajemen instansi
pemerintah daerah selama pemberian jasa konsultasi memungkinkan timbulnya
kedekatan emosional yang dapat mengganggu independensi auditor internal
pemerintah daerah pada saat melakukan pengawasan audit kepada manajemen
instansi pemerintah daerah. Auditor internal pemerintah daerah dapat mengalami
role ambiguity ketika mereka tidak memiliki kejelasan tugas, wewenang,
tanggung jawab, dan standar untuk melaksanakan peran mereka. Ketidakjelasan
kejelasan tugas, wewenang, tanggung jawab, dan standar akan mengakibatkan
auditor internal pemerintah daerah memiliki informasi dan pemahaman yang
kurang memadai tentang tugas-tugas audit yang harus mereka lakukan sehingga
mereka akan merasa kurang fokus dan tidak mengetahui dengan pasti bagaimana
cara melaksanakan tugas-tugas audit secara efektif.
Role conflict dan role ambiguity dapat dipengaruhi oleh faktor
organisasional (Aghghaleh et al., 2014; Agarwal, 1999; Rogers dan Molnar, 1976;
Rizzo et al., 1970). Faktor organisasional merupakan faktor yang dapat
memengaruhi perilaku individu untuk sesuai dengan perilaku yang diharapkan
oleh organisasi. Organisasi dapat menekan perilaku individu melalui berbagai
peraturan dan kebijakan. Salah satu bentuk faktor organisasional adalah
formalization, yaitu sejauh mana organisasi secara eksplisit memformalkan
standar pelaksanaan, deskripsi pekerjaan, dan kebijakannya (Podsakoff et al.,
1986). Pemerintah Indonesia melalui Kemenpan-rb dalam upaya membangun
pilar reformasi birokrasi sejak tahun 2007 hingga saat ini sedang dalam proses
menyusun dan mengesahkan sembilan RUU paket reformasi birokrasi. Lima RUU
telah disahkan menjadi UU, sementara empat RUU lainnya masih dalam proses
pengesahan menjadi UU. Salah satu RUU yang belum disahkan adalah RUU
Sistem Pengawasan Intern Pemerintah yang berkaitan dengan eksistensi, peran,
dan pekerjaan auditor internal pemerintah daerah. Adanya formalization pada
auditor internal pemerintah daerah mungkin akan memberikan pengaruh terhadap
fenomena role conflict dan role ambiguity dengan cara formalization memberikan
kejelasan pada pekerjaan auditor internal pemerintah daerah.
Independensi merupakan aspek profesional yang penting bagi auditor
(Vanasco, 1996). Permenpan No. PER/05/M.PAN/03/2008 mengharuskan auditor
internal pemerintah daerah untuk bersikap independen dalam semua hal yang
berkaitan dengan audit. Independensi sangat diperlukan agar kredibilitas hasil
audit meningkat (Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia, 2014).
Pentingnya independensi dalam aktivitas audit internal mengindikasikan perlunya
auditor internal untuk memiliki komitmen yang kuat dalam menjaga independensi
mereka (commitment to independence). Ahmad dan Taylor (2009) mendefinisikan
commitment to independence sebagai (a) sebuah keyakinan yang kuat dan
penerimaan atas kode etik profesi yang bersangkutan dengan nilai independensi
profesional; (b) kesediaan untuk mengerahkan upaya yang besar untuk memenuhi
prinsip dasar profesi dalam mempertahankan independensi; (c) keinginan pribadi
yang kuat untuk independen setiap saat. Commitment to independence
ditunjukkan dalam bentuk sikap auditor internal untuk tidak mendasarkan
penilaian mereka tentang hal-hal audit kepada orang lain, terutama manajemen
(Ahmad dan Taylor, 2009). Fenomena role conflict dan role ambiguity mungkin
akan memberikan dampak pada kemampuan auditor internal pemerintah daerah
dalam mempertahankan commitment to independence. Role conflict dan role
ambiguity dapat menciptakan tekanan atau ketegangan kerja yang akan
melemahkan kemampuan auditor dalam mempertahankan commitment to
independence (Ahmad dan Taylor, 2009).
Job performance berkaitan dengan evaluasi kinerja yang dilakukan atas
suatu pekerjaan dan akan berpengaruh pada peningkatan jabatan dan insentif yang
akan diberikan pada auditor internal pemerintah daerah. Pemerintah Indonesia
saat ini sedang berfokus pada perbaikan kinerja auditor internal pemerintah daerah
yang dinilai masih rendah dalam melakukan pengawasan intern dan pencegahan
korupsi di pemerintah daerah. Fenomena role conflict dan role ambiguity
mungkin akan memberikan dampak pada job performance auditor internal
pemerintah daerah. Rizzo et al. (1970) menyatakan bahwa ketika seseorang
mengalami role conflict dan role ambiguity maka dia akan mengalami stres,
menjadi tidak puas, dan menunjukkan job performance yang rendah dibandingkan
jika dia tidak mengalami role conflict dan role ambiguity.
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan utama yang muncul dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah formalization berhubungan dengan role conflict dan role
ambiguity?
2. Apakah role conflict dan role ambiguity berhubungan dengan commitment
to independence dan job performance?
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris hubungan antara
formalization dengan role conflict dan role ambiguity pada auditor internal
pemerintah daerah. Penelitian ini juga bertujuan untuk menguji secara empiris
hubungan antara role conflict dan role ambiguity dengan commitment to
independence dan job performance auditor internal pemerintah daerah.
1.4
Kontribusi Penelitian
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi
dengan
memperluas literatur tentang fenomena role conflict dan role ambiguity yang
terjadi di sektor publik khususnya di organisasi pemerintah daerah dengan
menguji secara empiris faktor penentu dan dampak dari role conflict dan role
ambiguity pada auditor internal pemerintah daerah. Fenomena role conflict dan
role ambiguity perlu dikaji pada auditor internal pemerintah daerah karena
sebagian besar penelitian sebelumnya mengenai faktor penentu dan dampak dari
role conflict dan role ambiguity lebih berfokus pada auditor internal di sektor
swasta (lihat: Aghghaleh et al., 2014; Ahmad dan Taylor, 2009; Larson, 2004),
sementara belum ada penelitian yang mengkaji topik tersebut pada auditor internal
pemerintah daerah.
Adanya reformasi birokrasi di sektor publik Pemerintah Indonesia,
termasuk pemerintah daerah, membuat peran auditor internal pemerintah daerah
menjadi semakin diperkuat. Peran auditor internal pemerintah daerah tidak lagi
diwujudkan hanya dalam bentuk assurance activities, tetapi diperluas dalam
bentuk anti corruption activities dan consulting activities. Kemenpan-rb juga
dalam upaya membangun pilar reformasi birokrasi saat ini sedang dalam proses
menyusun dan mengesahkan RUU yang akan lebih memperkuat eksistensi dan
peran auditor internal pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan intern.
Adanya perubahan yang cukup signifikan dalam peran auditor internal pemerintah
daerah ini mungkin akan menimbulkan indikasi terjadinya role conflict dan role
ambiguity pada auditor internal pemerintah daerah. Indikasi role conflict dan role
ambiguity pada auditor internal pemerintah daerah ini perlu diuji secara empiris.
Dengan mengkaji fenomena role conflict dan role ambiguity pada auditor internal
pemerintah daerah diharapkan akan meningkatkan validitas eksternal penelitian
tentang fenomena role conflict dan role ambiguity.
Download