BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ayat-ayat Al Qur’an banyak sekali yang mengandung nilai konseling, walaupun hal itu belum terungkap dan tersaji secara konseptual dan sistematis. Al-quran begitu banyak mengungkap tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat, dan menyajikannya secara konseptual dan sistematis. Allah mengisyaratkan untuk memberikan kemudahan bagi orang yang mau mempelajari ayat-ayat Al Qur’an. Firman Allah Swt. yang artinya : “Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?” (Q.S. Al-Qamar: 40). Ayat-ayat Al Qur’an itu mudah dipelajari, memahaminya tidak memerlukan penafsiran yang rumit, serta kandungannya bisa dikaitkan kepada hal-hal yang aktual, karena ayat-ayat Al Qur’an memang memuat fakta-fakta hukum yang bersifat emperik, sekaligus memuat nilai-nilai yang bersifat filosofis, sehingga isinya mudah diungkap dan bisa dikaitkan ke berbagai aspek realitas kehidupan. B. Tujuan Sebuah kebanggaan dan kesuksesan besar bagi seorang hamba yang berusaha memahami dan mengisi setiap kehidupannya dengan kesempurnaan agama dan restu tuhannya Allah SWT. Dengan mempelajari konsep Islam terhadap konseling dan hubungannya diharapkan 1. Timbulnya pemahaman akan sejalannya kehidupan dunia dan akhirat, sehingga proses konseling dapat di warnai dengan kesempurnaan agama. 1 C. Metode pengumpulan data Bentuk penelitian ini adalah berupa kajian pustaka (library research). Kajian pustaka berusaha mengungkapkan konsep-konsep baru dengan cara membaca dan mencatat informasi-informasi yang relevan dengan kebutuhan. Bahan bacaan mencakup buku-buku teks, jurnal atau majalah-majalah ilmiah dan hasil-hasil penelitian (Pidarta, 1999: 3-4). Selain itu data diperoleh secara online dengan bantuan search engine. Penelitian ini bersifat kualitatif karena uraian datanya bersifat deskriptif, menekankan proses, menganalisa data secara induktif, dan rancangan bersifat sementara (Bogdan & Biklen, 1990: 28-29). D. Sistematika Penulisan Laporan Kata Pengantar Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan C. Metode Pengumpulan Data D. Sistematika Penulisan Laporan BAB II PEMBAHASAN BAB III PENUTUP A. Kesimpulan B. Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA 2 BAB II PEMBAHASAN A. Perkembangan Psikologi Religius (khususya konseling Islami) Dewasa ini terutama di dunia barat, teori Bimbingan dan Konseling (BK) terus berkembang dengan pesat. Perkembangan itu berawal dari berkembangnya aliran konseling psikodinamika, behaviorisme, humanisme, dan multikultural. Akhir-akhir ini tengah berkembang konseling spiritual sebagai kekuatan kelima selain keempat kekuatan terdahulu (Stanard, Singh, dan Piantar, 2000:204). Salah satu berkembangnya konseling spiritual ini adalah berkembangnya konseling religius. Perkembangan konseling religius ini dapat dilihat dari beberapa hasil laporan jurnal penelitian berikut. Stanard, Singh, dan Piantar (2000: 204) melaporkan bahwa telah muncul suatu era baru tentang pemahaman yang memprihatinkan tentang bagaimana untuk membuka misteri tentang penyembuhan melalui kepercayaan , keimanan, dan imajinasi selain melalui penjelasan rasional tentang sebab-sebab fisik dan akibatnya sendiri. Seiring dengan keterangan tersebut hasil penelitian Chalfant dan Heller pada tahun 1990, sebagaimana dikutip oleh Gania (1994: 396) menyatakan bahwa sekitar 40 persen orang yang mengalami kegelisahan jiwa lebih suka pergi meminta bantuan kepada agamawan. Lovinger dan Worthington (dalam Keating dan Fretz, 1990: 293) menyatakan bahwa klien yang agamis memandang negatif terhadap konselor yang bersikap sekuler, seringkali mereka menolak dan bahkan menghentikan terapi secara dini. B. Definisi konseling Islami Konseling religius (islami) merupakan proses bantuan yang diberikan kepada individu agar memperoleh pencarahan diri dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama (aqidah, ibadah, dan akhlak mulia) melalui 3 uswah hasanah, pembiasaan atau pelatihan, dialog, dan pemberian informasi yang berlangsung sejak usia dini sampai usia dewasa. Terkait dengan konseling islami ini, Imam Magid (ww. Isna. Net/ library/paper 2003) mengemukakan bahwa “Islamic Counseling emphasizes spiritual solution, based on love and fear of ALLAH and the duty of fulfil our responsibility as the servants of ALLAH on this earth”. Menurutnya, konseling islami mempunyai beberapa prinsip, yaitu : (a) kerahasiaan (confidentiality), (b) kepercayaan (trust), (c) kecintaan berbuat baik dengan orang lain, (d) mengembangkan sikap persaudaraan, atau menciptakan sikap damai di antara sesama, (e) memperhatikan masalah-masalah kaum muslimin, (f) memiliki kebiasaan untuk mendengarkan dengan baik, (g) memahami budaya orang lain, (h) adanya kerjasama antara ulama dengan konselor, (i) memiliki kesadaran hukum, (j) bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, dan (k) menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai model (uswah hasanah) utama dalam kehidupan, khususnya menyangkut sikap kasih sayangnya kepada orang lain. Konseling ini merupakan proses motivasional kepada individu (manusia) agar memiliki kesadaran untuk “come back to region”. Karena agama akan memberikan pencerahan terhadap pola sikap, pikir dan perilakunya kearah kehidupan personal dan sosial yang Sakinah, Mawaddah, Rahmah, dan Ukhuwwah, sehingga manusia akan terhindar dari mental yang tidak sehat, atau sifat-sifat individualistik, nafsu eksploitatif (tamak atau rakus), borjiustik, materalistik atau hedonistik (hubbud dunya wakaraahiyatul maut), yang menjadi pemicu munculnya malapetaka kehidupan di muka bumi ini (Alfasaadu fil ardhi). Orang yang punya penyakit rohaniah hubbud dunya wakaraahiyatul maut, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, atau keinginannya tidak lagi memperhatikan norma agama atau etika moral (bathal-haram), tetapi menggunakan prinsip menghalalkan segala cara (seperti dalam meraih jabatan atau harta kekayaan dia melakukan k0orupsi, mencuri, 4 kolusi, memalsukan ijazah, berjanji palsu/ berbohong, membunuh orang lain yang dianggapnya saingannya, merusak lingkungan hidup). Pada dasarnya konseling islami merupakan proses pemaknaan diri dalam kebermaknaan sosial, autau proses pengembangan pribadi yang bercirikan kesalehan individu al (ritual) dan kesalehan sosial. Di kalangan masyarakat terpelajar sudah dikenal adanya layanan konseling, karena pasarnya ada. Orang terpelajar secara sadar mencari solusi problemnya dengan mencari konselor, sementara orang awam tidak tahu persis apa problemnya, dan tak tahu juga harus kemana. Namun demikian bukan berarti masyarakat awam tidak mengenal terapi yang bernuansa psikologi. Di kalangan masyarakat santri, orang yang mengalami problem kejiwaan biasanya pergi kepada kyai, dan kyai memberikan layanan yang bernuansa psikologis, tetapi bukan berbasis psikologi, yakni berbasis akhlak dan tasauf. Sebagaimana diketahui dalam sejarah keilmuan Islam tidak muncul ilmu semacam psikologi yang berbicara tentang tingkah laku. Jiwa dalam sejarah keilmua Islam dibahas dalam ilmu akhlak dan ilmu tasauf. Apa yang dilakukan oleh para kyai barangkali memang tidak “ilmiah”, tetapi tak terbantah justeru banyak yang bernilai tepat guna, karena sesuai dengan kejiwaan klien yang santri. Hingga hari ini masih banyak orang mencari “pendekaan alternatip” setelah gagal menjalani terapi modern melalui konselor psikologi. Karakteristik Psikologi Islam Jika psikologi merupakan hasil pemikiran dan laboratorium yang menghasilkan hukum-hukum kejiwaan manusia, Psikologi Islam merumuskan hukum2 kejiwaan pertama melalui teks wahyu, yakni apa kata al Qur’an (dan hadis) tentang jiwa . Selanjutnya ulama “Psikologi Islam” ini berijtihad dengan penghayatan atas jiwa sendiri dan orang lain (menjadikan diri sendiri menjadi 5 obyek penghayatan), sementara teori2 psikologi modern dijadikan alat bantu dalam memahami sumber wahyu. Jika tugas psikologi itu hanya mengungkap makna tingkah laku, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku, maka tugas Psikologi Islam menambahnya dengan berusaha membentuk tingkah laku yang baik (akhlak) hingga jiwa seseorang dapat merasa dekat dengan Tuhan (tasauf). Jika psikologi Barat hanya berdimensi horizontal, psikologi Islam melengkapinya dengan dimensi vertikal. Konseling Islami Ciri healing dan konseling Islam adalah pada menggunakan getar iman (daya rohaniah) dalam mengatasi problem kejiwaan. Oleh karena itu maka terapi sabar, tawakkal, ikhlas, itsar, sadaqah, ridla, cinta, ibadah, suluk, zikir, jihad dan lain-lainnya pasti digunakan sesuai dengan problemnya. Problem Pemahaman Yang menjadi problem dari term tersebut diatas ialah bahwa psikolog muslim masih memahaminya sebagai term akhlak dan tasauf, bukan sebagai term psikologi. Tawakkal menurut term tasauf lebih menekankan kepasrahannya, sementara menurut psikologi justeru lebih menekankan kesiapan komprehensip menghadapi tugas. Sabar menurut nuansa tasauf lebih menekankan pada menerima dengan pasif, sementara menurut psikologi sabar justeru merupakan dinamika kerja di medan sulit. Demikian juga term-term lain, menjadi sangat berbeda ketika dilihat dari sudut yang berbeda. Disinilah tantangan ilmu Psikologi Islam. Diperlukan dialog dan interaksi antara konsep perilaku horizontal dengan konsep orientasi vertikal. Insya Allah 20-30 tahun mendatang, interaksi dua kutub ini akan menghasilkan psikologi mazhab kelima yang sudah bisa diterima oleh semua kalangan ilmiah. Insya Allah, Wallohu a`lamu bissawab. 6 Berdasarkan makna di atas, maka layanan konseling religius bertujuan membantu individu agar memilki sikap, kesadaran, pemahaman atau perilaku sebagai berikut : 1. Memiliki kesadaran akan hakikat dirinya sebagai makhluk atau hamba Allah. 2. Memiliki kesadaran akan fungsi hidupnya di dunia sebagai khalifah Allah. 3. Memahami dan menerima keadaan dirinya sendiri (kelebihan dan kekurangannya) secara sehat. 4. Memiliki kebiasaan yang sehat dalam cara makan, tidur dan menggunakan waktu luang. 5. Bagi yang sudah berkeluarga seyogyanya menciptakan iklim kehidupan keluarga yang fungsional. 6. Memiliki komitmen diri untuk senantiasa mengamalkan ajaran agama (beribadah) dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat hablumminallah maupun hablumminannas. 7. Memiliki sikap dan kebiasaan belajar atau bekerja yang positif. 8. Memahami masalah dan menghadapinya secara wajar atau sabar. 9. Memahami faktor-faktor yang mnyebabkan timbulnya masalah atau stress. 10. Mampu merubah persepsi atau minat. 11. Mampu mengambil hikmah dari musibah (masalah) yang dialami. 12. Mampu mengontrol emosi dan berusaha meredamnya dengan introspeksi diri. C. Konsep Manusia di dalam Islam Segi positif nya manusia yang disebutkan dalam al-Qur’an yaitu: 1. Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi (lihat misalnya QS alBaqarah, 2:30, QS al-An’am, 6: 165) 7 2. Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain, manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh didasar sanubari mereka. Segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan sesungguhnya muncul ketika manusia menyimpang dari jati dirinya (fitrah) mereka sendiri (lihat QS al-A’raf, 7:172, QS ar-Rum, 30: 43). 3. Manusia dalam fitrahnya memiliki sekumpulan unsur surgawi yang luhur, yang berbeda dengan unsur badani yang ada pada hewan, tumbuhan, benda-benda tak bernyawa. Unsur-unsur ini merupakan suatu senyawa antara alam nyata dan metafisis, antara rasa dan nonrasa (materi) antara jiwa dan raga (QS as-sajdah, 32: 7-9). Penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti, bukan suatu kebetulan. Karena manusia merupakan makhluk pilihan. Al-Qur’an menuturkan : Kemudian Tuhannya memilihnya, menerima tobatnya dan membimbingnya (QS Thaha, 20 :122) 4. Manusia diciptakan Tuhan agar menyembah-Nya, dan tunduk patuh kepada-Nya, dan merupakan tanggung jawab yang utama bagi mereka. Disebutkan dalam al-Qur’an : Aku telah menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-KU (QS. Adz- Dzaariyaat, 51:56) 5. Manusia tidak semata-mata tersentuh oleh motivasi-motivasi duniawi saja. Dengan kata lain, kebutuhan bendawi bukanlah satu-satunya stimilus baginya. Lebih dari itu, mereka selalu berupaya untuk meraih cita-cita dan aspirasi-aspirasi yang lebih adiluhung dalam hidup mereka satu tujuan kecuali mengharapkan keridlaan ALLAH SWT. Al-Qur’an, dalam hal ini menyebutkan : 8 Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya(QS. Al-Fajr, 89:27-28). Walhasil, al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai Khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk yang semisamawi dan semi duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan sifat-sifat : mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta, langit dan bumi. Manusia dipustakai dengan kecenderungan jiwa ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan meraka dimulai dari kelemahan dan ketidak mampuan, yang kemudian bergerak ke arah kekuatan. Tetapi itu tidak akan menghapus kegelisahan psikis mereka, kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan selalu mengingat-Nya. Disamping al-Qur’an menyebutkan segi positif manusia, al-Qur’an juga banyak menyebutkan segi negatif dari padanya. Manusia banyak dicela. Mereka dinyatakan sebagai luar biasa keji dan bodoh. Al-Qur’an menggambarkan mereka dengan cercaan berikut : 1. Manusia dikatakan oleh al-Qur’an sebagai makhluk yang amat zhalim dan bodoh (QS al-Ahzab, 33:72) 2. Manusia dinilai sebagai makhluk yang sombong dan congkak (baca QS. An-Nisaa, 4: 36) 3. Manusia benar-benar sangat mengingkari nikmat (QS.al-Hajj, 22:66) 4. Manusia berkarakter suka iri hati 5. Manusia berwatak sangat kikir 6. Manusia mudah berputus asa dan cenderung pesimistik 7. Manusia diciptakan berwatak paling banyak membantah. D. Hubungan Konseling dan Keriligiusan Agama dan konseling merupakan dua hal yang berbeda, demikian penegasan Brammer dan Shostrom (1992). Agama dikembangkan atas dasar 9 teologis, sementara konseling dikembangkan dari sains, sehingga antara keduannya berbeda pula cara memandang problem yang dihadapi manusia. Agama biasanya melihat problem manusia diakaitkan dengan aspek ketuhanan manusia terhadap kekuatan tuhannya, sementara konseling melihat masalah dari diri pribadi orangnya. Dilihat dari efek psikologisnya, agama dan psikoterapi terdapat aspek kesamaan. Perilaku agama (tertentu) dapat meningkatkan kesehatan mental dan mengembangkan potensinya secara baik yang tentunya sama dengan maksud diselenggarakannya konseling. Tetapi harus disadari bahwa tidak semua (perilaku) agama, baik dalam bentuk doktrin dan perilaku beragamanya, menimbulkan kesehatan dan perkembangan psikis, justru sebaliknya dapat mengarah pada perilaku patologis yang neurosis atau psikosis (Allport, 1950 ; Ellis, 1997) Gejala perilaku agama yang patologis ini dapat diketahui dari berbagai ajaran sekte keagamaan yang melakukan bunuh diri massal, kecurigaan yang berlebihan (paranoid) dan bertindak bermusuhan terhadap penganut atau kelompok lain, melakukan tindak sadisme terhadap pihak yang menentang keyakinannya, dan timbulnya ras bersalah yang patologis bagi pengikutnya. Karena beraneka ragam paham dan perilaku keagamaan, maka ahli-ahli konseling tidak mudah untuk menyetujui keterlibatan agama dalam psikoterapi dan konseling. Barangkali agak berlebihan sekalipun tidak salah yang dikemukakan Allport (1950) bahwa keterlibatan agama dalam konseling dan psikoterapi dapat diterima, tetapi harus diingat bahwa agama tersebut harus mengikuti dan tidak menentang psikologi, dalam hal ini adalah agama yang dapat meningkatkan kesehatan mental klien. 10 Teori-teori konseling jarang menyebut secara eksplisit fungsi agama sebagai instrument untuk mengatasi masalah klien. Bahkan dalam beberap teori, khususnya psikoanalisis dan REBT secara langsung maupun tidak memberi penilaian bahwa agama dapat menimbulkan psikopatologis bagi penganutnya. Namun demikian dalam praktiknya banyak konselor yang menggunakan agama sebagai instrumen dan tujuan dalam penyelesaian beberapa kasus klien. Konselor perlu menyadari bahwa perannya tidak sama dengan petugas keagamaan, yang berkewajiban menyampaikan keyakinan dan nilanilai kegamannya kepada pihak lain dan sekaligus mempengaruhinya. Hal ini tidak terjadi dalam proses konseling yang selalu dibatasi oleh wilayah kerjanya dan prosedur profesionalnya (Brammer & Shostrom, 1982). Karena itu tidaklah mudah bagi konselor memanfaatkan kesempatan berinteraksi dengan klien untuk mengemukakan pendapat, pandangan, nilai dan keyakinan keagamaanya agar klien mengikuti apa yang menjadi keyakinannya. Para ahli berpandangan bahwa klien memiliki kebebasan penuh terhadap dirinya sendiri dan tidak sepatutnya konselor mempengaruhi secara terus terang maupun tersembunyi. Karena itulah konselor seharusnya menghargai segenap keyakinan dan nilai-nilai kliennya. Jika konselor membatasi diri untuk tidak memasuki wilayah kerja keagamaan, apakah berarti dia harus berada dalam posisi netral? Sebagai gambaran bahwa persoalan keterlibatan agama dalam konseling ini menjadi kontrofersi. Dapat dikemukakan disini bahwa Freud, sangat mencurigai objektivitas konseling yang dilakukan oleh konselor yang tekun beragama (Brammer Shostrom, 1982). Tentunya pandangan ini tidak diikuti oleh semua ahli konseling. Aspek netralitas memang menjadi persoalan tersendiri dalam konseling. 11 Netralitas mengandung banyak penafsiran. Pengertian pertama, konselor mengerti nilainya sendiri dan nilai klien tetapi dia menolak menyampaikan nila-nilanya kepada klien, dan klien sendiri yang menilai dirinya sendiri (Hansen, 1982). Kedua, konselor menahan diri supaya tidak memberi pertimbangan moral secara terburu-buru terhadap apa yang dibayangkan atau yang dipikirkan, kecuali jika berbahaya bagi klien, orang lain, atau kebahagiaannya, barulah konselor menunjukkan ketidaksetujuannya (Menninger, 1963). Dalam pandangan psikoanalisis, netralis adalah hal yang esensial, dan tugas konselor adalah menginteprestasi dari apa yang klien lihat tentang dirinya (self-observation) tanpa memberi pertimbangan moral (Menninger, 1963). Pandangan ini jelas bertentangan dengan paham REBTyang menyatakan bahwa justru tugas konselor adalah mengubah cara pandangan dan keyakinan klien yang irrasional, caranya dapat dilakukan dengan teknik konfrontasi (Ellis, 1997). Patterson mengemukakan bahwa nilai-nilai konselor sebenarnya mempengaruhi proses konseling, hanya saja tercermin dalam etika hubungan, tujuan, dan metode yang digunakan dalam konseling. Jadi keseluruhan proses konseling itu pada prinsipnya, mencerminkan nilai dan keyakinan konselor (George & Cristiani, 1990). Penegasan Patterson ini menggambarkan bahwa tujuan konseling dalam bentuk ‘’pribadi yang bertanggung jawab’’., ‘’klien mengenal dan menyadari nilai dasarnya’’, ‘’pribadi yang realistis’’, dan sebagainya. Dalam kajia lain, sebagaimana yang dikemukakan Dishington (1996) makna ‘agama’ dalam konseling tidak cukup tuuan-tujuan yang bersifat umum dan tampak terlepas dari lambang-lambang keagamaan. Dia memberikan ulasan bahwa ‘’penyerahan diri pada Tuhan karena 12 ketidakmampuan’’. ‘’penemuan makna hidup baru’’, dan ajaran-ajaran keagamaan yang lain dapat dijadikan sebagai bagian dari konseling. Dengan demikian, keterlibatan agama, nilai, dan keyakinan konselor dalam proses konseling dapat dibenarkan secara teoritik, tetapi dalam pelaksanaanya harus melihat etika professional yang memberi tuntutan cra kerja konselor sekaligfus memberikan hak-hak pribadi klien. Penyelenggaran konseling bukan untuk kepentingan agama dan konselor, tetapi untuk klien. 13 BAB III PENUTUP Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yeng telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut . 1. Konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, secara umum relevan dengan konsep konseling, hanya istilah penamaan atau terminologi yang berbeda, namun maksudnya selaras. 2. Al Qur’an menerangkan bahwa manusia pada hakikatnya tidak hanya sebagai makhuk biologis, pribadi, dan sosial, tetapi juga sebagai makhluk religius. Begitu juga dengan pribadi sehat dan tidak sehat, tidak hanya mampu atau tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, tetapi juga terhadap Alah Swt. 3. Satu hal yang berbeda secara mendasar, yaitu sifat pembawaan dasar manusia. Konsep konseling seperti yang dikemukakan oleh Freud menyatakan bahwa potensi dasar manusia yang merupakan sumber penentu kepribadian adalah insting. Sebaliknya, menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an bahwa potensi manusia yang paling mendasar adalah fitrah, yaitu nilai-nilai keimanan untuk beragama kepada agama Allah yang selalu menuntut untuk diaktualisasikan. 4. Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an, manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius (At Tin: 4). Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, konsep konsling tentang hakikat manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini bukan merupakan konsep yang sudah lengkap dan 14 final dan dapat mewakili nilai kandungan ayat-ayat Al Qur’an secara utuh, maka untuk melengkapi dan menyempurnakan kajian ini disarankan kepada peneliti lain untuk meneruskan menggali dan meneliti konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini, baik memperluas atau memperdalam kajian dalam topik yang sama, atau meneruskan kepada konsep-konsep konseling yang lain, seperti proses terapiotik atau aplikasi prosedur dan teknik konseling. 15 DAFTAR PUSTAKA Al-Quranul Qarim Corey, G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996. Taufik, Muhammad Izzuddin.2006.Panduan lengkap dan praktis PSIKOLOGI ISLAM.Jakarta:Gema Insani Pers. Latipun 2001. Psikologi Konseling. Malang : Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang http://www.eric.ed.gov/ERICWebPortal/custom/portlets/recordDetails/detailmini.j sp?_nfpb=true&_&ERICExtSearch_SearchValue_0=ED403514&ERICEx tSearch_SearchType_0=eric_accno&accno=ED403514 http://mubarok-institute.blogspot.com/2006/07/pengembangan-healing-dankonseling.html 16