File

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ayat-ayat Al Qur’an banyak sekali yang mengandung nilai konseling,
walaupun
hal itu belum terungkap dan tersaji secara konseptual dan
sistematis. Al-quran begitu banyak mengungkap tentang hakikat manusia,
pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat, dan menyajikannya secara konseptual
dan sistematis.
Allah mengisyaratkan untuk memberikan kemudahan bagi orang yang
mau mempelajari ayat-ayat Al Qur’an. Firman Allah Swt. yang artinya :
“Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran,
maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?” (Q.S. Al-Qamar: 40).
Ayat-ayat Al Qur’an itu mudah dipelajari, memahaminya tidak
memerlukan penafsiran yang rumit, serta kandungannya bisa dikaitkan kepada
hal-hal yang aktual, karena ayat-ayat Al Qur’an memang memuat fakta-fakta
hukum yang bersifat emperik, sekaligus memuat nilai-nilai yang bersifat
filosofis, sehingga isinya mudah diungkap dan bisa dikaitkan ke berbagai
aspek realitas kehidupan.
B. Tujuan
Sebuah kebanggaan dan kesuksesan besar bagi seorang hamba yang
berusaha memahami dan mengisi setiap kehidupannya dengan kesempurnaan
agama dan restu tuhannya Allah SWT.
Dengan
mempelajari
konsep
Islam
terhadap
konseling
dan
hubungannya diharapkan
1. Timbulnya pemahaman akan sejalannya kehidupan dunia dan akhirat,
sehingga proses konseling dapat di warnai dengan kesempurnaan agama.
1
C. Metode pengumpulan data
Bentuk penelitian ini adalah berupa kajian pustaka (library research).
Kajian pustaka berusaha mengungkapkan konsep-konsep baru dengan cara
membaca dan mencatat informasi-informasi yang relevan dengan kebutuhan.
Bahan bacaan mencakup buku-buku teks, jurnal atau majalah-majalah ilmiah
dan hasil-hasil penelitian (Pidarta, 1999: 3-4).
Selain itu data diperoleh secara online dengan bantuan search engine.
Penelitian ini bersifat kualitatif karena uraian datanya bersifat
deskriptif, menekankan proses, menganalisa data secara induktif, dan
rancangan bersifat sementara (Bogdan & Biklen, 1990: 28-29).
D. Sistematika Penulisan Laporan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Metode Pengumpulan Data
D. Sistematika Penulisan Laporan
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Psikologi Religius (khususya konseling Islami)
Dewasa ini terutama di dunia barat, teori Bimbingan dan Konseling
(BK) terus berkembang dengan pesat. Perkembangan itu berawal dari
berkembangnya aliran konseling psikodinamika, behaviorisme, humanisme,
dan multikultural. Akhir-akhir ini tengah berkembang konseling spiritual
sebagai kekuatan kelima selain keempat kekuatan terdahulu (Stanard, Singh,
dan Piantar, 2000:204). Salah satu berkembangnya konseling spiritual ini
adalah berkembangnya konseling religius.
Perkembangan konseling religius ini dapat dilihat dari beberapa hasil
laporan jurnal penelitian berikut. Stanard, Singh, dan Piantar (2000: 204)
melaporkan bahwa telah muncul suatu era baru tentang pemahaman yang
memprihatinkan tentang bagaimana untuk membuka misteri tentang
penyembuhan melalui kepercayaan , keimanan, dan imajinasi selain melalui
penjelasan rasional tentang sebab-sebab fisik dan akibatnya sendiri. Seiring
dengan keterangan tersebut hasil penelitian Chalfant dan Heller pada tahun
1990, sebagaimana dikutip oleh Gania (1994: 396) menyatakan bahwa sekitar
40 persen orang yang mengalami kegelisahan jiwa lebih suka pergi meminta
bantuan kepada agamawan. Lovinger dan Worthington (dalam Keating dan
Fretz, 1990: 293) menyatakan bahwa klien yang agamis memandang negatif
terhadap konselor yang bersikap sekuler, seringkali mereka menolak dan
bahkan menghentikan terapi secara dini.
B. Definisi konseling Islami
Konseling religius (islami) merupakan proses bantuan yang diberikan
kepada individu agar memperoleh pencarahan diri dalam memahami dan
mengamalkan nilai-nilai agama (aqidah, ibadah, dan akhlak mulia) melalui
3
uswah hasanah, pembiasaan atau pelatihan, dialog, dan pemberian informasi
yang berlangsung sejak usia dini sampai usia dewasa.
Terkait dengan konseling islami ini, Imam Magid (ww. Isna. Net/
library/paper 2003) mengemukakan bahwa “Islamic Counseling emphasizes
spiritual solution, based on love and fear of ALLAH and the duty of fulfil our
responsibility as the servants of ALLAH on this earth”. Menurutnya,
konseling islami mempunyai beberapa prinsip, yaitu : (a) kerahasiaan
(confidentiality), (b) kepercayaan (trust), (c) kecintaan berbuat baik dengan
orang lain, (d) mengembangkan sikap persaudaraan, atau menciptakan sikap
damai di antara sesama, (e) memperhatikan masalah-masalah kaum muslimin,
(f) memiliki kebiasaan untuk mendengarkan dengan baik, (g) memahami
budaya orang lain, (h) adanya kerjasama antara ulama dengan konselor, (i)
memiliki kesadaran hukum, (j) bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah, dan (k) menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai
model (uswah hasanah) utama dalam kehidupan, khususnya menyangkut sikap
kasih sayangnya kepada orang lain.
Konseling ini merupakan proses motivasional kepada individu
(manusia) agar memiliki kesadaran untuk “come back to region”. Karena
agama akan memberikan pencerahan terhadap pola sikap, pikir dan
perilakunya kearah kehidupan personal dan sosial yang Sakinah, Mawaddah,
Rahmah, dan Ukhuwwah, sehingga manusia akan terhindar dari mental yang
tidak sehat, atau sifat-sifat individualistik, nafsu eksploitatif (tamak atau
rakus), borjiustik, materalistik atau hedonistik (hubbud dunya wakaraahiyatul
maut), yang menjadi pemicu munculnya malapetaka kehidupan di muka bumi
ini (Alfasaadu fil ardhi). Orang yang punya penyakit rohaniah hubbud dunya
wakaraahiyatul
maut,
dalam
memenuhi
kebutuhan
hidupnya,
atau
keinginannya tidak lagi memperhatikan norma agama atau etika moral
(bathal-haram), tetapi menggunakan prinsip menghalalkan segala cara (seperti
dalam meraih jabatan atau harta kekayaan dia melakukan k0orupsi, mencuri,
4
kolusi, memalsukan ijazah, berjanji palsu/ berbohong, membunuh orang lain
yang dianggapnya saingannya, merusak lingkungan hidup).
Pada dasarnya konseling islami merupakan proses pemaknaan diri
dalam kebermaknaan sosial, autau proses pengembangan pribadi yang
bercirikan kesalehan individu al (ritual) dan kesalehan sosial.
Di kalangan masyarakat terpelajar sudah dikenal adanya layanan
konseling, karena pasarnya ada. Orang terpelajar secara sadar mencari solusi
problemnya dengan mencari konselor, sementara orang awam tidak tahu
persis apa problemnya, dan tak tahu juga harus kemana. Namun demikian
bukan berarti masyarakat awam tidak mengenal terapi yang bernuansa
psikologi. Di kalangan masyarakat santri, orang yang mengalami problem
kejiwaan biasanya pergi kepada kyai, dan kyai memberikan layanan yang
bernuansa psikologis, tetapi bukan berbasis psikologi, yakni berbasis akhlak
dan tasauf. Sebagaimana diketahui dalam sejarah keilmuan Islam tidak
muncul ilmu semacam psikologi yang berbicara tentang tingkah laku. Jiwa
dalam sejarah keilmua Islam dibahas dalam ilmu akhlak dan ilmu tasauf. Apa
yang dilakukan oleh para kyai barangkali memang tidak “ilmiah”, tetapi tak
terbantah justeru banyak yang bernilai tepat guna, karena sesuai dengan
kejiwaan klien yang santri. Hingga hari ini masih banyak orang mencari
“pendekaan alternatip” setelah gagal menjalani terapi modern melalui
konselor psikologi.
Karakteristik Psikologi Islam
Jika psikologi merupakan hasil pemikiran dan laboratorium yang
menghasilkan hukum-hukum kejiwaan manusia, Psikologi Islam merumuskan
hukum2 kejiwaan pertama melalui teks wahyu, yakni apa kata al Qur’an (dan
hadis) tentang jiwa
. Selanjutnya ulama “Psikologi Islam” ini berijtihad dengan
penghayatan atas jiwa sendiri dan orang lain (menjadikan diri sendiri menjadi
5
obyek penghayatan), sementara teori2 psikologi modern dijadikan alat bantu
dalam memahami sumber wahyu.
Jika tugas psikologi itu hanya mengungkap makna tingkah laku,
meramalkan dan mengendalikan tingkah laku, maka tugas Psikologi Islam
menambahnya dengan berusaha membentuk tingkah laku yang baik (akhlak)
hingga jiwa seseorang dapat merasa dekat dengan Tuhan (tasauf). Jika
psikologi Barat hanya berdimensi horizontal, psikologi Islam melengkapinya
dengan dimensi vertikal.
Konseling Islami
Ciri healing dan konseling Islam adalah pada menggunakan getar iman
(daya rohaniah) dalam mengatasi problem kejiwaan. Oleh karena itu maka
terapi sabar, tawakkal, ikhlas, itsar, sadaqah, ridla, cinta, ibadah, suluk, zikir,
jihad dan lain-lainnya pasti digunakan sesuai dengan problemnya.
Problem Pemahaman
Yang menjadi problem dari term tersebut diatas ialah bahwa psikolog
muslim masih memahaminya sebagai term akhlak dan tasauf, bukan sebagai
term
psikologi.
Tawakkal
menurut
term
tasauf
lebih
menekankan
kepasrahannya, sementara menurut psikologi justeru lebih menekankan
kesiapan komprehensip menghadapi tugas. Sabar menurut nuansa tasauf lebih
menekankan pada menerima dengan pasif, sementara menurut psikologi sabar
justeru merupakan dinamika kerja di medan sulit. Demikian juga term-term
lain, menjadi sangat berbeda ketika dilihat dari sudut yang berbeda. Disinilah
tantangan ilmu Psikologi Islam. Diperlukan dialog dan interaksi antara konsep
perilaku horizontal dengan konsep orientasi vertikal. Insya Allah 20-30 tahun
mendatang, interaksi dua kutub ini akan menghasilkan psikologi mazhab
kelima yang sudah bisa diterima oleh semua kalangan ilmiah. Insya Allah,
Wallohu a`lamu bissawab.
6
Berdasarkan makna di atas, maka layanan konseling religius bertujuan
membantu individu agar memilki sikap, kesadaran, pemahaman atau perilaku
sebagai berikut :
1. Memiliki kesadaran akan hakikat dirinya sebagai makhluk atau hamba
Allah.
2. Memiliki kesadaran akan fungsi hidupnya di dunia sebagai khalifah
Allah.
3. Memahami dan menerima keadaan dirinya sendiri (kelebihan dan
kekurangannya) secara sehat.
4. Memiliki kebiasaan yang sehat dalam cara makan, tidur dan
menggunakan waktu luang.
5. Bagi yang sudah berkeluarga seyogyanya menciptakan iklim
kehidupan keluarga yang fungsional.
6. Memiliki komitmen diri untuk senantiasa mengamalkan ajaran agama
(beribadah)
dengan
sebaik-baiknya,
baik
yang
bersifat
hablumminallah maupun hablumminannas.
7. Memiliki sikap dan kebiasaan belajar atau bekerja yang positif.
8. Memahami masalah dan menghadapinya secara wajar atau sabar.
9. Memahami faktor-faktor yang mnyebabkan timbulnya masalah atau
stress.
10. Mampu merubah persepsi atau minat.
11. Mampu mengambil hikmah dari musibah (masalah) yang dialami.
12. Mampu mengontrol emosi dan berusaha meredamnya dengan
introspeksi diri.
C. Konsep Manusia di dalam Islam
Segi positif nya manusia yang disebutkan dalam al-Qur’an yaitu:
1. Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi (lihat misalnya QS alBaqarah, 2:30, QS al-An’am, 6: 165)
7
2. Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan
kata lain, manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh didasar sanubari
mereka. Segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan sesungguhnya
muncul ketika manusia menyimpang dari jati dirinya (fitrah) mereka
sendiri (lihat QS al-A’raf, 7:172, QS ar-Rum, 30: 43).
3. Manusia dalam fitrahnya memiliki sekumpulan unsur surgawi yang
luhur, yang berbeda dengan unsur badani yang ada pada hewan,
tumbuhan, benda-benda tak bernyawa. Unsur-unsur ini merupakan
suatu senyawa antara alam nyata dan metafisis, antara rasa dan nonrasa
(materi) antara jiwa dan raga (QS as-sajdah, 32: 7-9). Penciptaan
manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti, bukan suatu
kebetulan. Karena manusia merupakan makhluk pilihan. Al-Qur’an
menuturkan :
Kemudian Tuhannya memilihnya, menerima tobatnya dan
membimbingnya (QS Thaha, 20 :122)
4. Manusia diciptakan Tuhan agar menyembah-Nya, dan tunduk patuh
kepada-Nya, dan merupakan tanggung jawab yang utama bagi mereka.
Disebutkan dalam al-Qur’an :
Aku telah menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya
mereka menyembah-KU (QS. Adz- Dzaariyaat, 51:56)
5. Manusia tidak semata-mata tersentuh oleh motivasi-motivasi duniawi
saja. Dengan kata lain, kebutuhan bendawi bukanlah satu-satunya
stimilus baginya. Lebih dari itu, mereka selalu berupaya untuk meraih
cita-cita dan aspirasi-aspirasi yang lebih adiluhung dalam hidup
mereka satu tujuan kecuali mengharapkan keridlaan ALLAH SWT.
Al-Qur’an, dalam hal ini menyebutkan :
8
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas lagi diridlai-Nya(QS. Al-Fajr, 89:27-28).
Walhasil, al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan
Tuhan, sebagai Khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk yang semisamawi dan semi duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan sifat-sifat :
mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya
maupun alam semesta, langit
dan
bumi. Manusia dipustakai
dengan
kecenderungan jiwa ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan meraka
dimulai dari kelemahan dan ketidak mampuan, yang kemudian bergerak ke arah
kekuatan. Tetapi itu tidak akan menghapus kegelisahan psikis mereka, kecuali jika
mereka dekat dengan Tuhan dan selalu mengingat-Nya.
Disamping al-Qur’an menyebutkan segi positif manusia, al-Qur’an juga
banyak menyebutkan segi negatif dari padanya. Manusia banyak dicela. Mereka
dinyatakan sebagai luar biasa keji dan bodoh. Al-Qur’an menggambarkan mereka
dengan cercaan berikut :
1. Manusia dikatakan oleh al-Qur’an sebagai makhluk yang amat
zhalim dan bodoh (QS al-Ahzab, 33:72)
2. Manusia dinilai sebagai makhluk yang sombong dan congkak
(baca QS. An-Nisaa, 4: 36)
3. Manusia benar-benar sangat mengingkari nikmat (QS.al-Hajj,
22:66)
4. Manusia berkarakter suka iri hati
5. Manusia berwatak sangat kikir
6. Manusia mudah berputus asa dan cenderung pesimistik
7. Manusia diciptakan berwatak paling banyak membantah.
D. Hubungan Konseling dan Keriligiusan
Agama dan konseling merupakan dua hal yang berbeda, demikian
penegasan Brammer dan Shostrom (1992). Agama dikembangkan atas dasar
9
teologis, sementara konseling dikembangkan dari sains, sehingga antara
keduannya berbeda pula cara memandang problem yang dihadapi manusia.
Agama biasanya melihat problem manusia diakaitkan dengan aspek ketuhanan
manusia terhadap kekuatan tuhannya, sementara konseling melihat masalah
dari diri pribadi orangnya.
Dilihat dari efek psikologisnya, agama dan psikoterapi terdapat
aspek kesamaan. Perilaku agama (tertentu) dapat meningkatkan kesehatan
mental dan mengembangkan potensinya secara baik yang tentunya sama
dengan maksud diselenggarakannya konseling. Tetapi harus disadari bahwa
tidak semua (perilaku) agama, baik dalam bentuk doktrin dan perilaku
beragamanya, menimbulkan kesehatan dan perkembangan psikis, justru
sebaliknya dapat mengarah pada perilaku patologis yang neurosis
atau
psikosis (Allport, 1950 ; Ellis, 1997)
Gejala perilaku agama yang patologis ini dapat diketahui dari
berbagai ajaran sekte keagamaan yang melakukan bunuh diri massal,
kecurigaan yang berlebihan (paranoid) dan bertindak bermusuhan terhadap
penganut atau kelompok lain, melakukan tindak sadisme terhadap pihak yang
menentang keyakinannya, dan timbulnya ras bersalah yang patologis bagi
pengikutnya.
Karena beraneka ragam paham dan perilaku keagamaan, maka
ahli-ahli konseling tidak mudah untuk menyetujui keterlibatan agama dalam
psikoterapi dan konseling. Barangkali agak berlebihan sekalipun tidak salah
yang dikemukakan Allport (1950) bahwa keterlibatan agama dalam konseling
dan psikoterapi dapat diterima, tetapi harus diingat bahwa agama tersebut
harus mengikuti dan tidak menentang psikologi, dalam hal ini adalah agama
yang dapat meningkatkan kesehatan mental klien.
10
Teori-teori konseling jarang menyebut secara eksplisit fungsi
agama sebagai instrument untuk mengatasi masalah klien. Bahkan dalam
beberap teori, khususnya psikoanalisis dan REBT secara langsung maupun
tidak memberi penilaian bahwa agama dapat menimbulkan psikopatologis
bagi penganutnya. Namun demikian dalam praktiknya banyak konselor yang
menggunakan agama sebagai instrumen dan tujuan dalam penyelesaian
beberapa kasus klien.
Konselor perlu menyadari bahwa perannya tidak sama dengan
petugas keagamaan, yang berkewajiban menyampaikan keyakinan dan nilanilai kegamannya kepada pihak lain dan sekaligus mempengaruhinya. Hal ini
tidak terjadi dalam proses konseling yang selalu dibatasi oleh wilayah
kerjanya dan prosedur profesionalnya (Brammer & Shostrom, 1982). Karena
itu tidaklah mudah bagi konselor memanfaatkan kesempatan berinteraksi
dengan klien untuk mengemukakan pendapat, pandangan, nilai dan keyakinan
keagamaanya agar klien mengikuti apa yang menjadi keyakinannya. Para ahli
berpandangan bahwa klien memiliki kebebasan penuh terhadap dirinya sendiri
dan tidak sepatutnya konselor mempengaruhi secara terus terang maupun
tersembunyi. Karena itulah konselor seharusnya menghargai segenap
keyakinan dan nilai-nilai kliennya.
Jika konselor membatasi diri untuk tidak memasuki wilayah kerja
keagamaan, apakah berarti dia harus berada dalam posisi netral? Sebagai
gambaran bahwa persoalan keterlibatan agama dalam konseling ini menjadi
kontrofersi. Dapat dikemukakan disini bahwa Freud, sangat mencurigai
objektivitas konseling yang dilakukan oleh konselor yang tekun beragama
(Brammer Shostrom, 1982). Tentunya pandangan ini tidak diikuti oleh semua
ahli konseling. Aspek netralitas memang menjadi persoalan tersendiri dalam
konseling.
11
Netralitas mengandung banyak penafsiran. Pengertian pertama,
konselor
mengerti nilainya sendiri dan nilai klien tetapi dia menolak
menyampaikan nila-nilanya kepada klien, dan klien sendiri yang menilai
dirinya sendiri (Hansen, 1982). Kedua, konselor menahan diri supaya tidak
memberi pertimbangan moral
secara terburu-buru terhadap apa yang
dibayangkan atau yang dipikirkan, kecuali jika berbahaya bagi klien, orang
lain, atau kebahagiaannya, barulah konselor menunjukkan ketidaksetujuannya
(Menninger, 1963).
Dalam pandangan psikoanalisis, netralis adalah hal yang esensial,
dan tugas konselor adalah menginteprestasi dari apa yang klien lihat tentang
dirinya (self-observation) tanpa memberi pertimbangan moral (Menninger,
1963). Pandangan ini jelas bertentangan dengan paham REBTyang
menyatakan bahwa justru tugas konselor adalah mengubah cara pandangan
dan keyakinan klien yang irrasional, caranya dapat dilakukan dengan teknik
konfrontasi (Ellis, 1997).
Patterson mengemukakan bahwa nilai-nilai konselor sebenarnya
mempengaruhi proses konseling, hanya saja tercermin dalam etika hubungan,
tujuan, dan metode yang digunakan dalam konseling. Jadi keseluruhan proses
konseling itu pada prinsipnya, mencerminkan nilai dan keyakinan konselor
(George & Cristiani, 1990). Penegasan Patterson ini menggambarkan bahwa
tujuan konseling dalam bentuk ‘’pribadi yang bertanggung jawab’’., ‘’klien
mengenal dan menyadari nilai dasarnya’’, ‘’pribadi yang realistis’’, dan
sebagainya.
Dalam kajia lain, sebagaimana yang dikemukakan Dishington
(1996) makna ‘agama’ dalam konseling tidak cukup tuuan-tujuan yang
bersifat umum dan tampak terlepas dari lambang-lambang keagamaan. Dia
memberikan
ulasan
bahwa
‘’penyerahan
diri
pada
Tuhan
karena
12
ketidakmampuan’’. ‘’penemuan makna hidup baru’’, dan ajaran-ajaran
keagamaan yang lain dapat dijadikan sebagai bagian dari konseling.
Dengan demikian, keterlibatan agama, nilai, dan keyakinan
konselor dalam proses konseling dapat dibenarkan secara teoritik, tetapi dalam
pelaksanaanya harus melihat etika professional yang memberi tuntutan cra
kerja konselor sekaligfus memberikan hak-hak pribadi klien. Penyelenggaran
konseling bukan untuk kepentingan agama dan konselor, tetapi untuk klien.
13
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yeng telah dikemukakan,
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut .
1. Konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi
tidak sehat berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, secara umum relevan
dengan konsep konseling, hanya istilah penamaan atau terminologi
yang berbeda, namun maksudnya selaras.
2. Al Qur’an menerangkan bahwa manusia pada hakikatnya tidak hanya
sebagai makhuk biologis, pribadi, dan sosial, tetapi juga sebagai
makhluk religius. Begitu juga dengan pribadi sehat dan tidak sehat,
tidak hanya mampu atau tidak mampu mengatur diri dalam
hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, tetapi
juga terhadap Alah Swt.
3. Satu hal yang berbeda secara mendasar, yaitu sifat pembawaan dasar
manusia. Konsep konseling seperti yang dikemukakan oleh Freud
menyatakan bahwa potensi dasar manusia yang merupakan sumber
penentu kepribadian adalah insting. Sebaliknya, menurut kandungan
ayat-ayat Al Qur’an bahwa potensi manusia yang paling mendasar
adalah fitrah, yaitu nilai-nilai keimanan untuk beragama kepada
agama Allah yang selalu menuntut untuk diaktualisasikan.
4. Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an, manusia itu pada hakikatnya
adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk
biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius (At Tin: 4). Manusia
sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu
manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat
dengan nilai-nilai religius.
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, konsep konsling
tentang hakikat manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat berdasarkan
ayat-ayat Al Qur’an ini bukan merupakan konsep yang sudah lengkap dan
14
final dan dapat mewakili nilai kandungan ayat-ayat Al Qur’an secara utuh,
maka untuk melengkapi dan menyempurnakan kajian ini disarankan kepada
peneliti lain untuk meneruskan menggali dan meneliti konsep konseling
berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini, baik memperluas atau memperdalam
kajian dalam topik yang sama, atau meneruskan kepada konsep-konsep
konseling yang lain, seperti proses terapiotik atau aplikasi prosedur dan
teknik konseling.
15
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Qarim
Corey, G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5.
Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996.
Taufik, Muhammad Izzuddin.2006.Panduan lengkap dan praktis PSIKOLOGI
ISLAM.Jakarta:Gema Insani Pers.
Latipun 2001. Psikologi Konseling. Malang : Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang
http://www.eric.ed.gov/ERICWebPortal/custom/portlets/recordDetails/detailmini.j
sp?_nfpb=true&_&ERICExtSearch_SearchValue_0=ED403514&ERICEx
tSearch_SearchType_0=eric_accno&accno=ED403514
http://mubarok-institute.blogspot.com/2006/07/pengembangan-healing-dankonseling.html
16
Download