ISPA - Universitas Sumatera Utara

advertisement
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
ISPA
2.1.1.
Pengertian ISPA
Infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) merupakan penyebab terpenting
morbiditas dan mortalitas pada anak. Yang dimaksud infeksi saluran pernapasan
adalah mulai dari infeksi saluran atas dan adneksanya hingga parenkim paru.
Pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung hingga 14 hari (Wantania et al,
2010).
2.1.2.
Epidemiologi
Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini
diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau
nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Period prevalence ISPA dihitung
dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah
Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara
Barat (28,3%). Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan
provinsi tertinggi dengan ISPA.
Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Meurut jenis kelamin, tidak berbeda antara
laki-laki dan perempuan. Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok
penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah
(Riskesdas, 2013).
2.1.3.
Klasifikasi
Klasifikasi infeksi saluran pernapasan akut dibagi menjadi 2, yaitu ( Wantania et
al, 2010):
Universitas Sumatera Utara
6
1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Infeksi saluran atas adalah infeksi primer saluran di atas laring. Infeksi
saluran pernapasan atas terdiri dari rinitis, faringitis, tonsilitis,
rinosinusitis, dan otitis media.
2. Infeksi Saluran Pernapasan Bawah
Infeksi laring ke bawah disebut infeksi saluran bawah. infeksi saluran
bawah
terdiri
atas
terdiri
atas
epligotitis,
croup
(laringotrakeobrinkitis), bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia.
Sebagian besar ISPA biasanya pada ISPA atas saja, tapi sekitar 5%nya melibatkan laring dan saluran bawah berikutnya, sehingga
berpotensi menjadi serius.
2.1.4.
Etiologi
Infeksi saluran pernapasan akut biasanya disebabkan oleh virus,bakteri dan
jamur.Virus paling banyak penyebab infeksi saluran pernapasan atas meliputi
Rhinovirus, Parainfluenza virus, Coronavirus, Adenovirus, Respiratory syncytial
virus, Coxsackivirus, dan Influenza virus. Sedangkan bakteri yang sering
menyebabkan
infeksi
Corynebacterium
saluran
diphteriae,
pernapasan
Neisseria
beta-hemolytic
gonorrhoeae,
streptococci,
Arcanobacterium
haemolyticum, Chlamidya pneumoniae, Haemophilus influenzae, Bordetella
pertusis, dan Moraxella catarrhalis (Rohilla et al, 2013).
1. Respiratory Syncytial Virus (RSV) merupakan satu penyebab utama
bronkiolitis, kira-kira meliputi sepertiga dari semua kasus. Virus ini
merupakan penyebab yang lazim penyakit pneumonia, croup, dan
bronkiolitis, juga penyakit infeksi saluran pernapasan atas yang tidak
terdiferensiasi.
2. Parainfluenza virus menyebabkan sebagian besar kasus sindrom croup
tetapi dapat juga menimbulkan bronkitis, bronkiolitis, dan penyakit
saluran pernapasan atas. Virus influenza tidak memainkan peran besar
Universitas Sumatera Utara
7
dalam berbagai sindrom pernapasan kecuali selama epidemi. Pada bayi
dan anak, virus influenza lebih menyebabkan penyakit saluran
pernapasan atas daripada penyakit aluran pernapasan bawah.
3. Adenovirus menyebabkan kurang dari 10% penyakit pernapasan,
sebagian besar bersifat ringan atau tidak bergejala. Infeksi faringitis dan
infeksi faringokonjungtivitis adalah manifestasi klinis yang paling sering
pada anak. Namun, Adenovirus kadang-kadang menyebabkan infeksi
saluran pernapasan bawah yang lebih berat.
4. Rhinovirus dan Coronavirus biasanya menimbulkan gejala yang terbatas
pada saluran pernapasan atas, paling sering hidung dan merupakan
bagian yang berarti dari sindrom “common cold” .
5. Coxsackivirus A dan Coxsackivirus B terutama menimbulkan penyakit
nasofaring. Mikoplasma dapat menyebabkan penyakit saluran pernapasan
atas
dan
bawah,
termasuk
bronkiolitis,
pneumonia,
bonkitis,
faringotonsilitis, dan otitis media (Nelson, 2012).
2.1.5.
Faktor Resiko
Terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit ISPA pada anak. Hal
ini berhubungan dengan penjamu, agen penyakit, dan lingkungan (Wantania,
2010).
1. Usia
ISPA dapat ditemukan pada 50% anak berusia di bawah 5 tahun dan 30%
anak usia 5-12 tahun. Rahman dkk mendapatkan 23% kasus ISPA berat
dari seluruh kasus ISPA pada anak berusia di atas 6 bulan. World Health
Organization melaporkan bahwa di negara berkembang, ISPA termasuk
infeksi resporatori bawah (pneumonia, bronkiolitis, dan lain-lain) adalah
penyebab utama dari empat penyebab terbanyak kematian anak, dengan
kasus terbanyak terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun.
Universitas Sumatera Utara
8
2. Jenis kelamin
Pada umumnya, tidak ada perbedaan insiden ISPA akibat virus atau
bakteri
pada laki-laki
dan perempuan. Akan tetapi,
ada
yang
mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan, yaitu insiden lebih pada
anak laki-laki berusia 6 tahun.
3. Status gizi
Status gizi anak merupakan faktor resiko penting timbulnya pneumonia.
Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA pada anak. Hal
ini dikarenakan adanya gangguan respon imun. Deb SK menyatakan
riskratio (RR) anak malnutrisi dengan ISPA/pneumonia adalah 2,3.
Vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Grant
melaporkan bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan
mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak
mengalami defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, selain perbaikan gizi dan
pemberian ASI, harus dilakukan pula perbaikan terhadap defisiensi
vitamin A untuk mencegah ISPA.
4. Pemberian air susu ibu (ASI)
Terdapat banyak penelitian yang menunujukkan hubungan antara
pemberian ASI dengan terjadinya ISPA. Air susu ibu mempunyai nilai
proteksi terhadap pneumonia, terutama selama 1 bulan pertama. Lopez
mendapatkan bahwa prevalens ISPA berhubungan dengan lamanya
pemberian ASI. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami
ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling sedikit selama 1
bulan. Cesar JA dkk melaporkan bahwa bayi yang tidak diberi ASI akan
17 kali lebih rentan mengalami perawatan di rumah sakit akibat
pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI. Pemberian
ASI dengan durasi yang lama mempunyai pengaruh proteksi terhadap
ISPA bawah selama tahun pertama.
5. Berat badan lahir rendah (BBLR)
Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat ISPA.
Di negara berkembang, kematian akibat pneumonia berhubungan BBLR.
Universitas Sumatera Utara
9
Sebanyak 22% kematian pada pneumonia diperkirakan terjadi pada
BBLR. Meta-analisis menunjukkan bahwa BBLR mempunyai RR
kematian 6,4 pada bayi berusia 6-11 bulan.
6. Imunisasi
Campak, pertusis, dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan resiko
terkena ISPA dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi sebetulnya hal ini
dapat dicegah. Di india, anak yang baru sembuh dari campak, selama 6
bulan berikutnya dapat mengalami ISPA enam kali lebih sering daripada
anak yang tidak terkena campak. Campak, pertusis, dan difteri bersamasama dapat menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan
dengan ISPA. Deb SK mendapatkan RR sebesar 2,7 pada kelompok anak
yang tidak mendapatkan imunisasi. Vaksi campak cukup efektif dan dapat
mencegah kematian hingga 25%. Usaha global dalam meningkatkan
cakupan imunisasi campak dan pertusis telah mengurangi angka kematian
ISPA akibat kedua penyakit ini.
7. Pendidikan orang tua
Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan terbalik
antara angka kejadian dengan kematian ISPA. Tingkat pendidikan ini
berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi, dan juga berkaitan
dengan pengetahuan orang tua. Kurangnya pengetahuan menyebabkan
sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati.
8. Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor-faktor
lain seperti nutrisi, lingkungan, dan penerimaan layanan kesehatan. Anak
yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah
mempunyai risiko lebih besar mengalami episode ISPA. Rahman
menyatakan bahwa risiko mengalami ISPA adalah 3,3 kali lebih tinggi
pada anak dengan status sosial ekonomi rendah.
9. Penggunaan fasilitas kesehatan
Angka kematian untuk semua kasus pneumonia pada anak yang tidak
diobati diperkirakan 10-20%. Penggunaan fasilitas kesehatan dapat
Universitas Sumatera Utara
10
mencerminkan tingginya insiden ISPA, yaitu sebesar 60% dari kunjungan
rawat jalan di puskesmas dan 20-40% dari kunjungan rawat jalan dan
rawat inap rumah sakit. Penggunaan fasilitas kesehatan sangat
berpengaruh pada tingkat keparahan ISPA. Di sebagian negara
berkembang, pemanfaatan fasilitas kesehatan masih rendah.
10. Lingkungan
 Polusi udara
 Penyakit lain
 Bancana alam
2.1.6.
Patofisiologi
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya mikroba dengan
tubuh. Masuknya mikroba sebagai antigen ke saluran pernapasan menyebabkan
silia yang terdapat pada permukaan saluran napas bergerak ke atas mendorong
mikroba atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks
tersebut gagal, maka mikroba akan bereplikasi dan merusak lapisan epitel mukosa
saliran pernapasan. Sel epitel yang rusak akan merangsang natural killer dan
limfosit untuk menghasilkan sitokin. Setelah melintasi epitel, partikel mikroba
memasuki membran basal. Dibawah membran basal terdapat sub-epitel, dimana
mikroba bertemu dengan cairan jaringan, sistem limfatik, dan fagosit yang
menguraikan beberapa sitokin dan interferon untuk mencegah replikasi lebih
lanjut. Pelepasan mikroba pada membran basal menyediakan akses penyebaran
secara sistemik (Manjarrez-Zavala et al dalam Sari, 2014).
Sel yang rusak juga akan meningkatkan produksi IL-8, sebagai
akibatnya mukosa saluran pernapasan dirangsang untuk menghasilkan sekresi
mukus yang cukup banyak. Sekresi mukus yang berlebih menyebabkan penderita
batuk sebagai usaha untuk mengeluarkan mukus (Treanor, 2008). Apabila
seseorang mengalami gangguan imunitas yang rendah tanpa adanya kerusakan
saluran pernapasan, maka agen-agen yang masuk akan sulit dibunuh sehingga
menimbulkan gejala infeksi. Gejala pada ISPA bukan merupakan efek langsung
dari jumlah virus yang bereplikasi atau jumlah sel yang terinfeksi, tetapi
Universitas Sumatera Utara
11
disebabkan oleh mediator inflamasi yang dihasilkan (Riyadi, 2009 dalam Sari,
2014)
2.1.7.
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis ISPA adalah sebagai berikut (Djojodibroto, 2009):
A. Infeksi saluran pernapasan atas
Penyakit infeksi saluran pernapasan bagian atas dapat memberikan
gejala klinik yang beragam, antar lain:
1.
Gejala koriza (coryzal syndrome), yaitu pengeluaran cairan (discharge)
nasal yang berlebihan, bersin, obstruksi nasal, mata berair, konjungtivitis
ringan. Sakit tenggorokan (sore throat), rasa kering pada bagian posterior
palatum mole dan uvula, sakit kepala, malaise, nyeri otot, lesu serta rasa
kedinginan (chiliness). Demam jarang terjadi.
2.
Gejala faringeal, yaitu sakit tenggorokan yang ringan sampai berat.
Peradangan pada faring, tonsil dan pembesaran kelenjar adenoid yang
dapat menyebabkan obstruksi nasal, batuk sering terjadi, tetapi gejala
koriza jarang. Gejala umum seperti rasa kedinginan, malaise, rasa sakit di
seluruh badan, sakit kepala, demam ringan, parau (hoarseness).
3.
Gejala faringokonjungtival yang merupakan varian dari gejala faringeal.
Gejala faringeal sering disusul oleh konjungtivitis yang disertai fotofobia
dan sering pula disertai rasa sakit pada bola mata. Kadang-kadang
konjungtivitis timbul terlebih dahulu dan hilang setelah seminggu sampai
dua minggu, dan setelah gejala lain hilang. Sering terjadi epidemi.
4.
Gejala influenza yang dapat merupakan kondisi sakit berat. Demam,
menggigil, lesu, sakit kepala, nyeri otot menyeluruh, malaise, dan
anoreksia yang timbul tiba-tiba, batuk, sakit tenggorokan dan nyeri
retrosternal. Keadaan ini dapat dapat menjadi berat. Dapat terjadi
pandemik yang hebat dan ditumpangi oleh infeksi bakterial.
5.
Gejala herpangina yang sering menyerang anak-anak, yaitu sakit
beberapa hari yang disebabkan oleh virus Coxsackie A. Sering
Universitas Sumatera Utara
12
menimbulkan vesikel faringeal, oral dan gingival yang berubah menjadi
ulkus.
6.
Gejala obstruksi laringotrakeobronkitis akut (croup), yaitu suatu kondisi
serius yang mengenai anak-anak ditandai dengan batuk, dispnea, stridor
inspirasi yang disertai sianosis.
B. Infeksi saluran pernapasan bawah
Biasanya didahului oleh gejala infeksi saluran pernapasan bagian
atas seperti hidung buntu (stuffy). Pilek (runny nose) dan sakit tenggorokan.
Batuk yang bervariasi dari ringan sampai berat, biasanya dimulai dengan
batuk yang tidak produktif. Batuk ini sangat mengganggu di waktu malam.
Udara dingin, banyak bicara, napas dalam, serta tertawa akan merangsang
terjadinya batuk. Pasien akan mengeluh adanya nyeri retrosternal, dan rasa
gatal pada kulit. Setelah beberapa hari akan terdapat produksi sputum yang
banyak; dapat bersifat mukus tetapi dapat juga mukopurulen. Sesak napas
hanya terjadi jika terdapat penyakit kronik kardiopulmonal. Peradangan
bronkus biasanya menyebabkan hiperaktivitas saluran pernapasan yang
memudahkan terjadinya bronkospasme. Pada penderita asma, penyakit ini
dapat menjadi pencetus serangan asma. Pada pemeriksaan fisik, biasanya
ditemukan keadaan normal, dan kadang-kadang terdengar suara wheezing di
bebrapa tempat; ronkhi dapat terdengar jika produksi sputum meningkat. Foto
toraks menunjukkan gambaran normal.
2.1.8.
Diagnosa
Diagnosis ISPA bisa ditegakkan berdasarkan gejala yang timbul pada bayi/balita
seperti yang telah dijelaskan pada uraian manifestasi klinis diatas .
Diagnosis ISPA pada bayi/balita cukup sulit ditegakkan karena
pengambilan dahak sulit dilakukan. Prosedur pemeriksaan imunologi pun belum
bisa memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan penyebab ISPA.
Pemeriksaan darah dan pembiakan spesimen fungsi atau aspirasi paru bisa
dilakukan untuk mendiagnosis penyebab ISPA (Gulo, 2010)
Universitas Sumatera Utara
13
2.1.9.
Penatalaksanaan
2.1.9.1. Nonmedikamentosa
Apabila gejala klinis pada anak tidak terlalu berat, dianjurkan untuk tidak
menggunakan medikamentosa/obat-obatan. Terdapat beberapa usaha untuk
mengatasi hidung tersumbat, misalnya pada anak yang lebih besar dianjurkan
untuk melakukan elevasi kepala saat tidur. Pada bayi dan anak direkomendasikan
untuk memberikan terapi suportif cairan yang adekuat, karena pemberian minum
dapat mengurangi gejala nyeri atau gatal pada tenggorokan.
2.1.9.2. Medikamentosa
Apabila gejala yang ditimbulkan terlalu mengganggu, maka dianjurkan untuk
memberikan obat untuk mengurangi gejala. Gejala yang membuat anak tidak
nyaman biasanya adalah demam, malaise, rinorea, hidung tersumbat, dan batuk
persisten.
Dalam penanganan ISPA yang menjadi pusat perhatian adalah
meringankan gejala dari demam, hidung tersumbat, dan batuk. Adrenergic
agonist, anticholinergic, antihistamin, antitussives dan expectoran adalah obatobat yang tersedia di pasaran. Pemilihan obat yang seing digunakan adalah
antihistamin generasi pertama, antipiretik (paracetamol) atau anti-inflamasi
(ibuprofen),
penekan
dekongestan
seperti
batuk
seperti
pseudoefedrin
dextromethorphan,
dan
expectoran
dan
phenilpropanolamin. Penggunaan
antibiotik pada anak digunakan karena lebih dari 90% adalah terinveksi virus
(Cotton, 2008).
Universitas Sumatera Utara
14
2.2.
ASI
2.2.1.
Pengertian ASI
ASI eksklusif merupakan pemberian ASI dalam 6 bulan pertama kelahiran tanpa
disertai pemberian makanan dan minuman apapun (WHO dalam harahap, 2010).
2.2.2.
Komposisi ASI
Air susu ibu menurut stadium laktasi:
1.
Kolostrum
Kolostrum adalah susu awal yang diproduksi oleh ibu yang baru
melahirkan yakni dihasilkan dalam waktu 24 jam pertama setelah melahirkan.
Cairan ini berwarna kuning, atau jernih, merupakan bahan yang sangat kaya akan
anti infeksi, dapat membersihkan alat pencernaan bayi dari zat-zat yang tidak
berguna. Protein utama dalam kolostrum adalah immunoglobulin (IgG, IgA, IgM),
yang merupakan antibodi guna menangkal dan menetralisir bakteri, virus, jamur,
dan parasit. IGF-1 dan IGF-2 merupakan kelompok lain dalam kolostrum, dan
keduanya dapat memicu dan mempercepat pertumbuhan sel dan mempunyai
kemampuan untuk membantu pengeluaran hormon dari berbagai sistem tubuh.
Protein lain termasuk hormon, enzym, gula kompleks serta faktor pertumbuhan
akan mempercepat proses pemulihan. Kolostrum juga mengandung proline-richpolipeptides (PRP) yang dapat membantu menormalkan sistem imun yang terlalu
aktif ataupun kurang aktif.
Bahan-bahan protein antibodi tersebut diatas zat anti-infeksi yang
keberadaannya adalah 10-17 kali lebih banyak, dibanding ASI yang matang.
Kadar karbohidrat dan lemak lebih rendah dibanding ASI matang. Total energi
lebih rendah jika dibanding susu matang. Volume kolostrum antara 150-300
ml/24 jam (Suherni et al, 2010).
2.
ASI transisi
ASI peralihan adalah ASI yang keluar setelah kolostrum sampai dengan
sebelum menjadi ASI yang matang. Pada ASI peralihan ini kadar protein makin
Universitas Sumatera Utara
15
merendah, sedangkan kadar karbohidrat dan lemak makin meninggi. Volumenya
akan semakin meningkat (Suherni et al, 2010).
3.
ASI matur
Adapun ciri dari ASI matur adalah sebagai berikut (saleha, 2009):
1. Merupakan ASI yang disekresikan pada hari ke-10 dan seterusnya,
komposisi relatif konstan (ada pula yang mengatakan bahwa komposisi
ASI relatif konstan baru dimulai pada minggu ke-3 sampai minggu ke-5)
2. Pada ibu yang sehat, maka produksi ASI untuk bayi akan tercukupi, ASI
ini merupakan makanan satu-satunya yang paling baik dan cukup untuk
bayi sampai usia 6 bulan.
3. Merupakan suatu cairan berwarna putih kekuning-kuningan yang
diakibatkan warna dari garam kalsium caseinat, riboflavin, dan karoten
yang terdapat di dalamnya.
4. Tidak menggumpal jika dipanaskan.
5. Terdapat antimikrobial faktor, antara lain sebagai berikut.
a) Antibodi terhadap bakteri dan virus.
b) Sel (fagosit, granulosit, makrofag, dan limfosit tipe T).
c) Enzim (lisozim, laktoperosidase, lipase, katalase, fosfatase,
amilase, fosfodiesterase, dan alkalin fosfatase).
d) Protein (laktoferin, B12binding protein).
e) Resistensi faktor terhadap stafilokokus.
f) Komplemen.
g) Interferon producting cell.
h) Sifat biokimia yang khas, kapasitas buffer yang rendah dan adanya
faktor bifidus.
i) Hormon-hormon.
Universitas Sumatera Utara
16
2.2.3.
Manfaat ASI
Manfaat ASI adalah sebagai berikut (Medforth et al, 2013):
1. Komposisi nutrisionalASI

Karbohidrat: tipe utamanya adalah laktosa, sebuah disakarida.

Lemak: unsur pokok yang paling beragam. memberikan 50%
energi yang disuplai dari ASI. linoleat dan asam linoleat diubah
menjadi asam lemak tak jenuh ganda rantai panjang, yang penting
untuk perkembangan saraf.

Protein:
dalam
bentuk
protein
dadih,
dibutuhkan
untuk
pertumbuhan dan energi. Terdiri dari faktor anti-infeksi, termasuk
laktalbumin, imunoglobulin, laktoferin, lisozim, dan enzim lain,
hormon serta faktor pertumbuhan.

Nitrogen non-protein: tiga yang paling penting adalah taurin,
nukleotida, dan karnitin. Taurin penting untuk konjugasi asam
empedu, untuk perkembangan otak dan retina. Nukleotida penting
untuk fungsi membran sel dan untuk perkembangan normal otak.
Karnitin memiliki peran penting dalam metabolisme lemak dan
diduga penting dalam termogenesis dan metabolisme nitrogen.

Mineral dan unsur renik: yang utama adalah natrium, kalsium,
fosfor, magnesium, zinc, tembaga, dan zat besi. Kuantitas dan rasio
elemen tersebut bergantung pada kekhususan spesies; susu
manusia dan sapi berbeda secara bermakna.

Vitamin: ASI mengandung semua vitamin yang dibutuhkan
neonatus cukup bulan, dengan kemungkinan pengecualian vitamin
D dan K.

Enzim: ASI mengandung minimal 70 enzim. Enzim berperan
dalam pencernaan dan pekembangan. Kemungkinan dua enzim
yang paling penting adalah amilase dan lipase. Keberadaan enzim
tersebut di dalam ASI mengompensasi keterbatasan aktivitas
Universitas Sumatera Utara
17
amilase dan lipase pankreas pada bayi baru lahir sehingga
membantu pencernaan.
2. Kandungan imunologis ASI
ASI memiliki peranan protektif non-nutrisi untuk bayi dan juga
melindungi payudara dari infeksi. Unsur pokok penting adalah:

Imunoglobulin: IgA, IgG, IgM, IgD, dan IgE, yang aktif melawan
orgnisme spesifik, misalnya, spesies salmonella dan poliovirus.

Sel: limfosit B, limfosit T, makrofag, dan neutrofil.

Kerja sel-sel inti terdiri dari:
 Produksi antibodi melawan mikroba spesifik.
 Membunuh sel yang terinfeksi.
 Produksi lisozim dan aktivasi sistem imun.
 Fagositosis bakteria.

Faktof lakto bifidus: meningkatkan lingkungan asam yang cocok
untuk
pertumbuhan
lactobacillus
bifidus
dan
mengahnbat
pertumbuhan organisme patogenik.

Laktoferin: mengurangi ketersediaan zat besi untuk pertumbuhan
bakteri, dengan mengikat zat besi. Laktoferin juga bekerja sebagai
agens bakteriostatik.

Protein
pengikat:
meningkatkan
absorbsi
nutrien
sehingga
mengurangi nutrien yang tersedia untuk digunakan bakteri.

Komplemen, lipid, fibronektin, y-interferon, musin, oligosakarida,
lipase yang distimulasi oleh garam empedu, faktor pertumbuhan
epidermal, dan banyak lagi.
2.2.4.
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI
Menurut Suraatmaja (1997) dalam Harahap (2010) ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi pemberian ASI antara lain:
1. Terjadinya perubahan sosial budaya
- Ibu – ibu bekerja atau kesibukan sosial lainnya.
Universitas Sumatera Utara
18
- Meniru teman, tetangga, atau orang terkemuka yang memberikan
susu botol.
- Merasa ketinggalan zaman jika menyusui bayinya.
2. Faktor psikologis
- Takut kehilangan daya tarik sebagai seorang wanita.
- Tekanan batin.
3. Faktor fisik ibu
- Ibu sakit, misalnya mastitis.
4. Faktor kurangnya petugas kesehatan, sehingga masyarakat kurang
mendapat penerangan atau dorongan tentang manfaat pemberian ASI
5. Meningkatnya promosi susu kaleng sebagai pengganti ASI.
6. Keterangan mengenai ASI yang salah, terkadang berasal dari petugas
kesehatan sendiri yang menganjurkan penggantian ASI dengan susu
kaleng.
Universitas Sumatera Utara
Download