5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. ISPA 2.1.1. Pengertian ISPA Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyebab terpenting morbiditas dan mortalitas pada anak. Yang dimaksud infeksi saluran pernapasan adalah mulai dari infeksi saluran atas dan adneksanya hingga parenkim paru. Pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung hingga 14 hari (Wantania et al, 2010). 2.1.2. Epidemiologi Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Period prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%). Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA. Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Meurut jenis kelamin, tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah (Riskesdas, 2013). 2.1.3. Klasifikasi Klasifikasi infeksi saluran pernapasan akut dibagi menjadi 2, yaitu ( Wantania et al, 2010): Universitas Sumatera Utara 6 1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas Infeksi saluran atas adalah infeksi primer saluran di atas laring. Infeksi saluran pernapasan atas terdiri dari rinitis, faringitis, tonsilitis, rinosinusitis, dan otitis media. 2. Infeksi Saluran Pernapasan Bawah Infeksi laring ke bawah disebut infeksi saluran bawah. infeksi saluran bawah terdiri atas terdiri atas epligotitis, croup (laringotrakeobrinkitis), bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia. Sebagian besar ISPA biasanya pada ISPA atas saja, tapi sekitar 5%nya melibatkan laring dan saluran bawah berikutnya, sehingga berpotensi menjadi serius. 2.1.4. Etiologi Infeksi saluran pernapasan akut biasanya disebabkan oleh virus,bakteri dan jamur.Virus paling banyak penyebab infeksi saluran pernapasan atas meliputi Rhinovirus, Parainfluenza virus, Coronavirus, Adenovirus, Respiratory syncytial virus, Coxsackivirus, dan Influenza virus. Sedangkan bakteri yang sering menyebabkan infeksi Corynebacterium saluran diphteriae, pernapasan Neisseria beta-hemolytic gonorrhoeae, streptococci, Arcanobacterium haemolyticum, Chlamidya pneumoniae, Haemophilus influenzae, Bordetella pertusis, dan Moraxella catarrhalis (Rohilla et al, 2013). 1. Respiratory Syncytial Virus (RSV) merupakan satu penyebab utama bronkiolitis, kira-kira meliputi sepertiga dari semua kasus. Virus ini merupakan penyebab yang lazim penyakit pneumonia, croup, dan bronkiolitis, juga penyakit infeksi saluran pernapasan atas yang tidak terdiferensiasi. 2. Parainfluenza virus menyebabkan sebagian besar kasus sindrom croup tetapi dapat juga menimbulkan bronkitis, bronkiolitis, dan penyakit saluran pernapasan atas. Virus influenza tidak memainkan peran besar Universitas Sumatera Utara 7 dalam berbagai sindrom pernapasan kecuali selama epidemi. Pada bayi dan anak, virus influenza lebih menyebabkan penyakit saluran pernapasan atas daripada penyakit aluran pernapasan bawah. 3. Adenovirus menyebabkan kurang dari 10% penyakit pernapasan, sebagian besar bersifat ringan atau tidak bergejala. Infeksi faringitis dan infeksi faringokonjungtivitis adalah manifestasi klinis yang paling sering pada anak. Namun, Adenovirus kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran pernapasan bawah yang lebih berat. 4. Rhinovirus dan Coronavirus biasanya menimbulkan gejala yang terbatas pada saluran pernapasan atas, paling sering hidung dan merupakan bagian yang berarti dari sindrom “common cold” . 5. Coxsackivirus A dan Coxsackivirus B terutama menimbulkan penyakit nasofaring. Mikoplasma dapat menyebabkan penyakit saluran pernapasan atas dan bawah, termasuk bronkiolitis, pneumonia, bonkitis, faringotonsilitis, dan otitis media (Nelson, 2012). 2.1.5. Faktor Resiko Terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit ISPA pada anak. Hal ini berhubungan dengan penjamu, agen penyakit, dan lingkungan (Wantania, 2010). 1. Usia ISPA dapat ditemukan pada 50% anak berusia di bawah 5 tahun dan 30% anak usia 5-12 tahun. Rahman dkk mendapatkan 23% kasus ISPA berat dari seluruh kasus ISPA pada anak berusia di atas 6 bulan. World Health Organization melaporkan bahwa di negara berkembang, ISPA termasuk infeksi resporatori bawah (pneumonia, bronkiolitis, dan lain-lain) adalah penyebab utama dari empat penyebab terbanyak kematian anak, dengan kasus terbanyak terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. Universitas Sumatera Utara 8 2. Jenis kelamin Pada umumnya, tidak ada perbedaan insiden ISPA akibat virus atau bakteri pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, ada yang mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan, yaitu insiden lebih pada anak laki-laki berusia 6 tahun. 3. Status gizi Status gizi anak merupakan faktor resiko penting timbulnya pneumonia. Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA pada anak. Hal ini dikarenakan adanya gangguan respon imun. Deb SK menyatakan riskratio (RR) anak malnutrisi dengan ISPA/pneumonia adalah 2,3. Vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Grant melaporkan bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak mengalami defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, selain perbaikan gizi dan pemberian ASI, harus dilakukan pula perbaikan terhadap defisiensi vitamin A untuk mencegah ISPA. 4. Pemberian air susu ibu (ASI) Terdapat banyak penelitian yang menunujukkan hubungan antara pemberian ASI dengan terjadinya ISPA. Air susu ibu mempunyai nilai proteksi terhadap pneumonia, terutama selama 1 bulan pertama. Lopez mendapatkan bahwa prevalens ISPA berhubungan dengan lamanya pemberian ASI. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling sedikit selama 1 bulan. Cesar JA dkk melaporkan bahwa bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali lebih rentan mengalami perawatan di rumah sakit akibat pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI. Pemberian ASI dengan durasi yang lama mempunyai pengaruh proteksi terhadap ISPA bawah selama tahun pertama. 5. Berat badan lahir rendah (BBLR) Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat ISPA. Di negara berkembang, kematian akibat pneumonia berhubungan BBLR. Universitas Sumatera Utara 9 Sebanyak 22% kematian pada pneumonia diperkirakan terjadi pada BBLR. Meta-analisis menunjukkan bahwa BBLR mempunyai RR kematian 6,4 pada bayi berusia 6-11 bulan. 6. Imunisasi Campak, pertusis, dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan resiko terkena ISPA dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi sebetulnya hal ini dapat dicegah. Di india, anak yang baru sembuh dari campak, selama 6 bulan berikutnya dapat mengalami ISPA enam kali lebih sering daripada anak yang tidak terkena campak. Campak, pertusis, dan difteri bersamasama dapat menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan ISPA. Deb SK mendapatkan RR sebesar 2,7 pada kelompok anak yang tidak mendapatkan imunisasi. Vaksi campak cukup efektif dan dapat mencegah kematian hingga 25%. Usaha global dalam meningkatkan cakupan imunisasi campak dan pertusis telah mengurangi angka kematian ISPA akibat kedua penyakit ini. 7. Pendidikan orang tua Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan terbalik antara angka kejadian dengan kematian ISPA. Tingkat pendidikan ini berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi, dan juga berkaitan dengan pengetahuan orang tua. Kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati. 8. Status sosial ekonomi Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor-faktor lain seperti nutrisi, lingkungan, dan penerimaan layanan kesehatan. Anak yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah mempunyai risiko lebih besar mengalami episode ISPA. Rahman menyatakan bahwa risiko mengalami ISPA adalah 3,3 kali lebih tinggi pada anak dengan status sosial ekonomi rendah. 9. Penggunaan fasilitas kesehatan Angka kematian untuk semua kasus pneumonia pada anak yang tidak diobati diperkirakan 10-20%. Penggunaan fasilitas kesehatan dapat Universitas Sumatera Utara 10 mencerminkan tingginya insiden ISPA, yaitu sebesar 60% dari kunjungan rawat jalan di puskesmas dan 20-40% dari kunjungan rawat jalan dan rawat inap rumah sakit. Penggunaan fasilitas kesehatan sangat berpengaruh pada tingkat keparahan ISPA. Di sebagian negara berkembang, pemanfaatan fasilitas kesehatan masih rendah. 10. Lingkungan Polusi udara Penyakit lain Bancana alam 2.1.6. Patofisiologi Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya mikroba dengan tubuh. Masuknya mikroba sebagai antigen ke saluran pernapasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran napas bergerak ke atas mendorong mikroba atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal, maka mikroba akan bereplikasi dan merusak lapisan epitel mukosa saliran pernapasan. Sel epitel yang rusak akan merangsang natural killer dan limfosit untuk menghasilkan sitokin. Setelah melintasi epitel, partikel mikroba memasuki membran basal. Dibawah membran basal terdapat sub-epitel, dimana mikroba bertemu dengan cairan jaringan, sistem limfatik, dan fagosit yang menguraikan beberapa sitokin dan interferon untuk mencegah replikasi lebih lanjut. Pelepasan mikroba pada membran basal menyediakan akses penyebaran secara sistemik (Manjarrez-Zavala et al dalam Sari, 2014). Sel yang rusak juga akan meningkatkan produksi IL-8, sebagai akibatnya mukosa saluran pernapasan dirangsang untuk menghasilkan sekresi mukus yang cukup banyak. Sekresi mukus yang berlebih menyebabkan penderita batuk sebagai usaha untuk mengeluarkan mukus (Treanor, 2008). Apabila seseorang mengalami gangguan imunitas yang rendah tanpa adanya kerusakan saluran pernapasan, maka agen-agen yang masuk akan sulit dibunuh sehingga menimbulkan gejala infeksi. Gejala pada ISPA bukan merupakan efek langsung dari jumlah virus yang bereplikasi atau jumlah sel yang terinfeksi, tetapi Universitas Sumatera Utara 11 disebabkan oleh mediator inflamasi yang dihasilkan (Riyadi, 2009 dalam Sari, 2014) 2.1.7. Manifestasi Klinik Manifestasi klinis ISPA adalah sebagai berikut (Djojodibroto, 2009): A. Infeksi saluran pernapasan atas Penyakit infeksi saluran pernapasan bagian atas dapat memberikan gejala klinik yang beragam, antar lain: 1. Gejala koriza (coryzal syndrome), yaitu pengeluaran cairan (discharge) nasal yang berlebihan, bersin, obstruksi nasal, mata berair, konjungtivitis ringan. Sakit tenggorokan (sore throat), rasa kering pada bagian posterior palatum mole dan uvula, sakit kepala, malaise, nyeri otot, lesu serta rasa kedinginan (chiliness). Demam jarang terjadi. 2. Gejala faringeal, yaitu sakit tenggorokan yang ringan sampai berat. Peradangan pada faring, tonsil dan pembesaran kelenjar adenoid yang dapat menyebabkan obstruksi nasal, batuk sering terjadi, tetapi gejala koriza jarang. Gejala umum seperti rasa kedinginan, malaise, rasa sakit di seluruh badan, sakit kepala, demam ringan, parau (hoarseness). 3. Gejala faringokonjungtival yang merupakan varian dari gejala faringeal. Gejala faringeal sering disusul oleh konjungtivitis yang disertai fotofobia dan sering pula disertai rasa sakit pada bola mata. Kadang-kadang konjungtivitis timbul terlebih dahulu dan hilang setelah seminggu sampai dua minggu, dan setelah gejala lain hilang. Sering terjadi epidemi. 4. Gejala influenza yang dapat merupakan kondisi sakit berat. Demam, menggigil, lesu, sakit kepala, nyeri otot menyeluruh, malaise, dan anoreksia yang timbul tiba-tiba, batuk, sakit tenggorokan dan nyeri retrosternal. Keadaan ini dapat dapat menjadi berat. Dapat terjadi pandemik yang hebat dan ditumpangi oleh infeksi bakterial. 5. Gejala herpangina yang sering menyerang anak-anak, yaitu sakit beberapa hari yang disebabkan oleh virus Coxsackie A. Sering Universitas Sumatera Utara 12 menimbulkan vesikel faringeal, oral dan gingival yang berubah menjadi ulkus. 6. Gejala obstruksi laringotrakeobronkitis akut (croup), yaitu suatu kondisi serius yang mengenai anak-anak ditandai dengan batuk, dispnea, stridor inspirasi yang disertai sianosis. B. Infeksi saluran pernapasan bawah Biasanya didahului oleh gejala infeksi saluran pernapasan bagian atas seperti hidung buntu (stuffy). Pilek (runny nose) dan sakit tenggorokan. Batuk yang bervariasi dari ringan sampai berat, biasanya dimulai dengan batuk yang tidak produktif. Batuk ini sangat mengganggu di waktu malam. Udara dingin, banyak bicara, napas dalam, serta tertawa akan merangsang terjadinya batuk. Pasien akan mengeluh adanya nyeri retrosternal, dan rasa gatal pada kulit. Setelah beberapa hari akan terdapat produksi sputum yang banyak; dapat bersifat mukus tetapi dapat juga mukopurulen. Sesak napas hanya terjadi jika terdapat penyakit kronik kardiopulmonal. Peradangan bronkus biasanya menyebabkan hiperaktivitas saluran pernapasan yang memudahkan terjadinya bronkospasme. Pada penderita asma, penyakit ini dapat menjadi pencetus serangan asma. Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan keadaan normal, dan kadang-kadang terdengar suara wheezing di bebrapa tempat; ronkhi dapat terdengar jika produksi sputum meningkat. Foto toraks menunjukkan gambaran normal. 2.1.8. Diagnosa Diagnosis ISPA bisa ditegakkan berdasarkan gejala yang timbul pada bayi/balita seperti yang telah dijelaskan pada uraian manifestasi klinis diatas . Diagnosis ISPA pada bayi/balita cukup sulit ditegakkan karena pengambilan dahak sulit dilakukan. Prosedur pemeriksaan imunologi pun belum bisa memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan penyebab ISPA. Pemeriksaan darah dan pembiakan spesimen fungsi atau aspirasi paru bisa dilakukan untuk mendiagnosis penyebab ISPA (Gulo, 2010) Universitas Sumatera Utara 13 2.1.9. Penatalaksanaan 2.1.9.1. Nonmedikamentosa Apabila gejala klinis pada anak tidak terlalu berat, dianjurkan untuk tidak menggunakan medikamentosa/obat-obatan. Terdapat beberapa usaha untuk mengatasi hidung tersumbat, misalnya pada anak yang lebih besar dianjurkan untuk melakukan elevasi kepala saat tidur. Pada bayi dan anak direkomendasikan untuk memberikan terapi suportif cairan yang adekuat, karena pemberian minum dapat mengurangi gejala nyeri atau gatal pada tenggorokan. 2.1.9.2. Medikamentosa Apabila gejala yang ditimbulkan terlalu mengganggu, maka dianjurkan untuk memberikan obat untuk mengurangi gejala. Gejala yang membuat anak tidak nyaman biasanya adalah demam, malaise, rinorea, hidung tersumbat, dan batuk persisten. Dalam penanganan ISPA yang menjadi pusat perhatian adalah meringankan gejala dari demam, hidung tersumbat, dan batuk. Adrenergic agonist, anticholinergic, antihistamin, antitussives dan expectoran adalah obatobat yang tersedia di pasaran. Pemilihan obat yang seing digunakan adalah antihistamin generasi pertama, antipiretik (paracetamol) atau anti-inflamasi (ibuprofen), penekan dekongestan seperti batuk seperti pseudoefedrin dextromethorphan, dan expectoran dan phenilpropanolamin. Penggunaan antibiotik pada anak digunakan karena lebih dari 90% adalah terinveksi virus (Cotton, 2008). Universitas Sumatera Utara 14 2.2. ASI 2.2.1. Pengertian ASI ASI eksklusif merupakan pemberian ASI dalam 6 bulan pertama kelahiran tanpa disertai pemberian makanan dan minuman apapun (WHO dalam harahap, 2010). 2.2.2. Komposisi ASI Air susu ibu menurut stadium laktasi: 1. Kolostrum Kolostrum adalah susu awal yang diproduksi oleh ibu yang baru melahirkan yakni dihasilkan dalam waktu 24 jam pertama setelah melahirkan. Cairan ini berwarna kuning, atau jernih, merupakan bahan yang sangat kaya akan anti infeksi, dapat membersihkan alat pencernaan bayi dari zat-zat yang tidak berguna. Protein utama dalam kolostrum adalah immunoglobulin (IgG, IgA, IgM), yang merupakan antibodi guna menangkal dan menetralisir bakteri, virus, jamur, dan parasit. IGF-1 dan IGF-2 merupakan kelompok lain dalam kolostrum, dan keduanya dapat memicu dan mempercepat pertumbuhan sel dan mempunyai kemampuan untuk membantu pengeluaran hormon dari berbagai sistem tubuh. Protein lain termasuk hormon, enzym, gula kompleks serta faktor pertumbuhan akan mempercepat proses pemulihan. Kolostrum juga mengandung proline-richpolipeptides (PRP) yang dapat membantu menormalkan sistem imun yang terlalu aktif ataupun kurang aktif. Bahan-bahan protein antibodi tersebut diatas zat anti-infeksi yang keberadaannya adalah 10-17 kali lebih banyak, dibanding ASI yang matang. Kadar karbohidrat dan lemak lebih rendah dibanding ASI matang. Total energi lebih rendah jika dibanding susu matang. Volume kolostrum antara 150-300 ml/24 jam (Suherni et al, 2010). 2. ASI transisi ASI peralihan adalah ASI yang keluar setelah kolostrum sampai dengan sebelum menjadi ASI yang matang. Pada ASI peralihan ini kadar protein makin Universitas Sumatera Utara 15 merendah, sedangkan kadar karbohidrat dan lemak makin meninggi. Volumenya akan semakin meningkat (Suherni et al, 2010). 3. ASI matur Adapun ciri dari ASI matur adalah sebagai berikut (saleha, 2009): 1. Merupakan ASI yang disekresikan pada hari ke-10 dan seterusnya, komposisi relatif konstan (ada pula yang mengatakan bahwa komposisi ASI relatif konstan baru dimulai pada minggu ke-3 sampai minggu ke-5) 2. Pada ibu yang sehat, maka produksi ASI untuk bayi akan tercukupi, ASI ini merupakan makanan satu-satunya yang paling baik dan cukup untuk bayi sampai usia 6 bulan. 3. Merupakan suatu cairan berwarna putih kekuning-kuningan yang diakibatkan warna dari garam kalsium caseinat, riboflavin, dan karoten yang terdapat di dalamnya. 4. Tidak menggumpal jika dipanaskan. 5. Terdapat antimikrobial faktor, antara lain sebagai berikut. a) Antibodi terhadap bakteri dan virus. b) Sel (fagosit, granulosit, makrofag, dan limfosit tipe T). c) Enzim (lisozim, laktoperosidase, lipase, katalase, fosfatase, amilase, fosfodiesterase, dan alkalin fosfatase). d) Protein (laktoferin, B12binding protein). e) Resistensi faktor terhadap stafilokokus. f) Komplemen. g) Interferon producting cell. h) Sifat biokimia yang khas, kapasitas buffer yang rendah dan adanya faktor bifidus. i) Hormon-hormon. Universitas Sumatera Utara 16 2.2.3. Manfaat ASI Manfaat ASI adalah sebagai berikut (Medforth et al, 2013): 1. Komposisi nutrisionalASI Karbohidrat: tipe utamanya adalah laktosa, sebuah disakarida. Lemak: unsur pokok yang paling beragam. memberikan 50% energi yang disuplai dari ASI. linoleat dan asam linoleat diubah menjadi asam lemak tak jenuh ganda rantai panjang, yang penting untuk perkembangan saraf. Protein: dalam bentuk protein dadih, dibutuhkan untuk pertumbuhan dan energi. Terdiri dari faktor anti-infeksi, termasuk laktalbumin, imunoglobulin, laktoferin, lisozim, dan enzim lain, hormon serta faktor pertumbuhan. Nitrogen non-protein: tiga yang paling penting adalah taurin, nukleotida, dan karnitin. Taurin penting untuk konjugasi asam empedu, untuk perkembangan otak dan retina. Nukleotida penting untuk fungsi membran sel dan untuk perkembangan normal otak. Karnitin memiliki peran penting dalam metabolisme lemak dan diduga penting dalam termogenesis dan metabolisme nitrogen. Mineral dan unsur renik: yang utama adalah natrium, kalsium, fosfor, magnesium, zinc, tembaga, dan zat besi. Kuantitas dan rasio elemen tersebut bergantung pada kekhususan spesies; susu manusia dan sapi berbeda secara bermakna. Vitamin: ASI mengandung semua vitamin yang dibutuhkan neonatus cukup bulan, dengan kemungkinan pengecualian vitamin D dan K. Enzim: ASI mengandung minimal 70 enzim. Enzim berperan dalam pencernaan dan pekembangan. Kemungkinan dua enzim yang paling penting adalah amilase dan lipase. Keberadaan enzim tersebut di dalam ASI mengompensasi keterbatasan aktivitas Universitas Sumatera Utara 17 amilase dan lipase pankreas pada bayi baru lahir sehingga membantu pencernaan. 2. Kandungan imunologis ASI ASI memiliki peranan protektif non-nutrisi untuk bayi dan juga melindungi payudara dari infeksi. Unsur pokok penting adalah: Imunoglobulin: IgA, IgG, IgM, IgD, dan IgE, yang aktif melawan orgnisme spesifik, misalnya, spesies salmonella dan poliovirus. Sel: limfosit B, limfosit T, makrofag, dan neutrofil. Kerja sel-sel inti terdiri dari: Produksi antibodi melawan mikroba spesifik. Membunuh sel yang terinfeksi. Produksi lisozim dan aktivasi sistem imun. Fagositosis bakteria. Faktof lakto bifidus: meningkatkan lingkungan asam yang cocok untuk pertumbuhan lactobacillus bifidus dan mengahnbat pertumbuhan organisme patogenik. Laktoferin: mengurangi ketersediaan zat besi untuk pertumbuhan bakteri, dengan mengikat zat besi. Laktoferin juga bekerja sebagai agens bakteriostatik. Protein pengikat: meningkatkan absorbsi nutrien sehingga mengurangi nutrien yang tersedia untuk digunakan bakteri. Komplemen, lipid, fibronektin, y-interferon, musin, oligosakarida, lipase yang distimulasi oleh garam empedu, faktor pertumbuhan epidermal, dan banyak lagi. 2.2.4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI Menurut Suraatmaja (1997) dalam Harahap (2010) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemberian ASI antara lain: 1. Terjadinya perubahan sosial budaya - Ibu – ibu bekerja atau kesibukan sosial lainnya. Universitas Sumatera Utara 18 - Meniru teman, tetangga, atau orang terkemuka yang memberikan susu botol. - Merasa ketinggalan zaman jika menyusui bayinya. 2. Faktor psikologis - Takut kehilangan daya tarik sebagai seorang wanita. - Tekanan batin. 3. Faktor fisik ibu - Ibu sakit, misalnya mastitis. 4. Faktor kurangnya petugas kesehatan, sehingga masyarakat kurang mendapat penerangan atau dorongan tentang manfaat pemberian ASI 5. Meningkatnya promosi susu kaleng sebagai pengganti ASI. 6. Keterangan mengenai ASI yang salah, terkadang berasal dari petugas kesehatan sendiri yang menganjurkan penggantian ASI dengan susu kaleng. Universitas Sumatera Utara