artikel ojk - Akhisx

advertisement
Memahami Grey Area Otoritas Perbankan dan Otoritas Moneter
Akhis R. Hutabarat
Memurnikan otoritas moneter. Itulah salah satu motivasi pemerintah di sejumlah negara
memindahkan otoritas perbankan dari bank sentral kepada suatu otoritas jasa keuangan. Otoritas
moneter dan otoritas perbankan, dalam hal ini otoritas pengaturan dan supervisi mikro-prudensial
bank, diyakini punya potensi konflik kepentingan karena masing-masing memiliki tujuan dan
kepentingan yang berbeda dalam melaksanakan fungsinya. Konflik kepentingan ini adakalanya
dianggap sebagai salah satu kambing hitam kegagalan pencapaian tujuan pengawasan perbankan.
Karenanya, tak elok membiarkan kedua otoritas itu berada dalam satu institusi.
Sebelum membeli argumen itu untuk dipakai di Indonesia, ada baiknya kita pahami terlebih
dahulu bagaimana wujud potensi konflik itu terutama jika dikaitkan dengan kondisi khusus
ekonomi Indonesia. Kita jangan menjadi bangsa yang inferior dengan menganggap suatu sistem
yang berjalan baik di negara maju pasti menjadi praktek terbaik di sistem ekonomi negara kita.
Juga sebaliknya, kegagalan suatu sistem di negara maju, misalnya gagalnya otoritas tripartite
Inggris (FSA, Bank of England, Treasury) mencegah kasus Bank Northern Rock, tidak serta
merta dijadikan alasan untuk alergi pada sistem tersebut. Yang lebih penting adalah memahami
apa kelemahan suatu sistem yang akan diadopsi atau seberapa patut dan layak sistem itu
menjawab permasalahan ekonomi spesifik negara kita. Paling sedikit ada tiga bentuk potensi
konflik kepentingan yang perlu kita beri perhatian.
Konflik #1: Preferensi suku bunga ketika otoritas moneter melakukan disinflasi
Argumen potensi konflik kepentingan yang paling lazim diangkat oleh pendukung pemisahan
otoritas perbankan dari bank sentral adalah ketika otoritas moneter menginginkan kenaikan suku
bunga untuk meredam inflasi karena tarikan permintaan (demand-pull inflation). Bank sentral
yang juga memegang otoritas perbankan bisa bersikap mendua dalam upaya disinflasi karena
otoritas perbankan cenderung mengkuatirkan dampak buruk suku bunga yang lebih tinggi bagi
solvabilitas dan profitabilitas sektor perbankan. Akibatnya, kebijakan moneter bisa bersifat bias
inflasi.
Untuk kondisi ekonomi Indonesia, konflik jenis ini sebenarnya bisa diredam jika respon
kebijakan moneter memperhitungkan saluran langsung transmisi kebijakan suku bunga ke harga
barang dan inflasi melalui biaya bunga. Tampaknya kanal transmisi ini cukup lebar dan deras
mengaliri kebijakan suku bunga ke penetapan harga barang. Indikasinya bisa kita lihat dari
Gambar 1 yang menunjukkan struktur pendapatan domestik bruto Indonesia sebagaimana tersirat
dari nilai tambah bruto pada tabel Input-Output 2005. Sebanyak 34 persen dari nilai tambah
perekonomian Indonesia berupa upah atau gaji. Porsi terbesar nilai tambah, yaitu 64 persen,
berupa pendapatan bunga dan laba usaha. Selebihnya, pendapatan pajak bersih pemerintah.
Bandingkan dengan struktur sebaliknya di negara maju semisal UK di Gambar 2. Porsi terbesar
kue perekonomian mereka dinikmati kaum pekerja, yakni sebanyak 60 persen. Para pemilik
modal hanya menikmati 39 persennya. Tingginya pangsa laba dalam struktur pendapatan
domestik Indonesia mengindikasikan besarnya porsi dividen atau return on equity dalam struktur
pengeluaran perusahaan, termasuk produsen barang konsumen. Produsen barang biasanya
menetapkan marjin laba atau tingkat pengembalian ekuitasnya dengan mengacu pada suku bunga
penempatan dana di pasar finansial, misalnya suku bunga tabungan bank, sebagai batas
bawahnya. Jika produsen mempunyai kebijakan harga jual dengan mempertahankan marjin laba
1
(cost plus fixed margin), maka kenaikan suku bunga tabungan akan direspon dengan kenaikan
harga barang. Ini yang disebut inflasi tekanan biaya bunga (interest cost-push inflation).
Di sisi lain, bukti empiris menunjukkan betapa kenaikan suku bunga riil tabungan tak banyak
mempengaruhi penabung untuk mengurangi belanja barang dan menambah tabungan (efek
substitusi dari perubahan suku bunga). Ini bisa dimengerti karena struktur pendapatan agregat
rakyat Indonesia yang didominasi pendapatan bunga dan laba sehingga kenaikan bunga justru
meningkatkan konsumsi sebagian rumah tangga (efek pendapatan dari perubahan suku bunga).
Sementara itu, nilai belanja barang dan jasa oleh rumah tangga dengan cara kredit hanya sekitar
seperdelapan dari belanja total rumah tangga. Dengan demikian tekanan inflasi karena tarikan
permintaan pada dasarnya tidak perlu direspon dengan kenaikan bunga terlalu besar. Dampak
negatif kenaikan bunga pada perbankan pun bisa direduksi.
Gambar 1: Struktur Nilai Tambah Bruto
Indonesia
Gambar 2: Struktur Nilai Tambah Bruto
United Kingdom
pajak minus
subsidi
1%
pajak minus
subsidi
2%
upah
34%
laba
39%
upah
60%
laba
64%
Sumber: Tabel Input-Output 2005, BPS, data diolah; Blue Book 2009, Office of National Statistics, UK
Konflik #2: Respon kebijakan saat dan pasca krisis
Ada argumen dan pengalaman bahwa kebijakan moneter dan perbankan dapat mengalami
konflik ketika merespon krisis perbankan. Pada saat krisis, pejabat otoritas moneter cenderung
memilih menyelamatkan sebuah bank apabila diyakini dapat memicu ketidakstabilan sistemik
sistem keuangan. Sementara, pejabat pengawasan perbankan kemungkinan lebih memilih
menutup bank untuk menghindari moral hazard. Pasca krisis, otoritas moneter biasanya
cenderung ingin melonggarkan kebijakan moneter untuk memulihkan ekonomi dan mencegah
deflasi atau inflasi yang terlalu rendah. Sebaliknya, otoritas perbankan cenderung lebih suka
menempuh kebijakan yang semakin berhati-hati untuk memperkuat langkah preventif dan
memulihkan kredibilitas.
Aspek krusial dalam mengelola konflik kepentingan pada saat krisis ekonomi adalah kecepatan
pengambilan keputusan, efisiensi rantai koordinasi antara otoritas moneter dan otoritas
perbankan dan kejelasan akuntabilitas.
Stanley Fisher, Gubernur Bank of Israel, mantan Wakil Presiden Bank Dunia dan Deputi
Pertama Direktur Pelaksana IMF menggarisbawahi pengalamannya akan peran pengawas
perbankan dalam proses penanganan krisis finansial dan betapa pentingnya memperhatikan
masalah koordinasi dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan krisis, pada pidatonya 8
November 2008: “in managing the current crisis we have gained enormously from having the
2
banking supervisor at the table with us throughout, playing an integral part in every discussion,
with all the data as needed. Those who have not worked in bureaucracies might argue that all
this can be achieved through better coordination. The world does not work that way. Information
flows between organizations are simply less efficient than those within organizations. Decisionmaking that has to be coordinated between organizations is slower and less clear-cut than when
the decisions are made within a single organization. It is very likely that prudential supervision
will return to central banks when the lessons of this crisis are drawn.”
Christian Noyer, Gubernur Banque de France, dalam pidatonya 3 Juli 2009 mengakui kelebihan
bank sentral yang memegang fungsi pengawasan bank: “Indeed, one of the main lessons of the
crisis may be that those countries where Central Banks assume banking supervision took
advantage of their ability to react quickly and flexibly to emergency situations.”
Ben Bernanke, Chairman Federal Reserve dalam tulisan mengenai Lessons of the Financial
Crisis for Banking Supervision, Mei 2009 juga menyoroti keuntungan Fedres memiliki
kewenangan pengawasan bank ketika mengeksekusi perannya sebagai lender of last resort dan
menyusun respon kebijakan moneter terhadap krisis financial: “The Federal Reserve’s role in
banking supervision complements its other responsibilities, especially its role in managing
financial crises…During the current crisis, supervisory expertise and information have
repeatedly proved invaluable in helping us to address potential systemic risks involving specific
financial institutions and markets and to effectively fulfil our role as lender of last resort…The
Fed’s prudential supervision benefits, in turn, from the expertise we develop in carrying out
other parts of our mission – for example, the knowledge of financial and economic conditions we
gather in the formulation of monetary policy”
Terkait manfaat keberadaan otoritas perbankan di bank sentral dari sisi akuntabilitas, Alan
Blinder, mantan Vice Chairman Federal Reserve, dalam tulisannya di Journal of Economic
Literature Maret 2010, menekankan bahwa “accountability seems to demand a single agency
that can be held responsible for financial stability, not a committee--which would allow each
member to point the finger of guilt at the others.”
Masalah yang akan dihadapi otoritas moneter jika otoritas perbankan tak lagi berada di Bank
Indonesia bukanlah terletak pada kebutuhan akses data, informasi dan laporan keuangan
perbankan yang diperlukan untuk menetapkan kebijakan moneter. Itu bisa diatasi dengan
menyepakati prosedur operasional aliran data dan informasi plus sentuhan teknologi informasi.
Yang jauh lebih penting dari itu, Bank Indonesia harus punya kendali atas neraca dan laporan
laba rugi bank. Alan Blinder, dalam tulisannya pada CEPS Working Paper Januari 2010,
menggarisbawahi pentingnya bank sentral mengawasi dan memeriksa bank, khususnya bankbank yang tergolong kategori systemically important financial institutions (SIFIs). Alasannya
sederhana: “It is mainly the actions and balance sheets of SIFIs that can, and occasionally do,
imperil financial stability. And when things go awry, changes in the SIFIs’ balance sheets,
managements, risk-management systems, and the like will almost certainly be major elements of
the cure”.
Konflik #3: Preferensi pada kondisi umum, normal atau saat kebijakan penurunan bunga
Kodrat tugas otoritas pengaturan dan pengawasan perbankan adalah bagaimana menjaga agar
bank menjalankan bisnis jasa keuangannya dengan sehat dan mampu mencetak untung. Harga
dan obyek penanaman dana bukan menjadi pertimbangan utama, meski keuntungan dan
3
kesehatan yang dialami dari aktivitas intermediasi dana ke perusahaan dan rumah tangga adalah
kondisi yang ideal. Otoritas pengawasan bank cenderung lebih senang melihat bank yang
diawasinya punya cadangan modal ekuitas yang banyak agar lebih aman dan tersangga dari
risiko mengalami kerugian yang tak diharapkan. Dengan demikian bank dapat menyediakan
perlindungan yang lebih baik kepada nasabah penabung. Modal cadangan bank ibarat persediaan
bahan baku dan barang jadi di suatu industri manufaktur. Inventori dibutuhkan untuk menyangga
risiko kendala produksi dan distribusi pasokan material. Tetapi inventori yang terlalu banyak
adalah kemubaziran dan biaya oportunitas. “Uang mati” yang tersimpan dalam stok barang, baik
berupa real equity atau real working capital loan, harus dibebankan ke harga jual produk. Kirakira demikian analoginya dengan modal cadangan ekuitas bank, meski tak persis. Modal
cadangan bank tak sepenuhnya bersifat “uang mati” (real reserved equity) karena tetap memiliki
pengembalian dari penempatan yang likuid dan tidak beresiko tinggi. Tetapi semakin besar
modal cadangan ekuitas dan rasio kecukupan modal (CAR), semakin banyak kesempatan yang
hilang untuk memperoleh laba lebih besar melalui penyaluran kredit atau penempatan pada asset
lain yang lebih menguntungkan. Jika bank ingin mempertahankan marjin labanya, maka
debiturlah yang harus menanggungnya dengan membayar bunga kredit yang lebih mahal.
Debitur yang merupakan produsen barang pada akhirnya akan meneruskannya ke harga
produknya, sehingga konsumen baranglah yang pada dasarnya membayar biaya kelebihan modal
cadangan bank. Kita bisa lihat bahwa secara tidak langsung CAR merupakan faktor penentu
harga barang dan inflasi harga konsumen juga.
Memiliki rasio kredit bermasalah (NPL) yang tinggi secara tidak langsung juga mengganggu
pencapaian target inflasi melalui jalur biaya bunga pinjaman perusahaan produsen barang
konsumen. Dalam hal kredit macet yang tak tertagih, bank terpaksa mengkonversi sebagian
modal cadangannya menjadi asset baru untuk mengganti asset yang hilang. Lalu bank perlu
menambah laba ditahan untuk mengganti modal cadangan agar CAR relatif stabil. Langkah ini
dapat berakibat pada harga kredit yang lebih mahal jika bank memilih untuk tak terlalu, atau
sama sekali tidak mau, mengurangi biaya operasional dan mengorbankan dividen.
Di sisi lain, otoritas moneter berkepentingan agar bank menjalankan bisnis tradisionalnya yaitu
menyalurkan kredit terutama kredit modal kerja dan investasi kepada dunia usaha. Kedua jenis
kredit ini menambah pasokan barang dan kapasitas ekonomi sehingga tak hanya memacu
pertumbuhan ekonomi tapi juga membantu menurunkan inflasi. Harga kredit yang murah juga
menjadi kepentingan otoritas moneter karena mengurangi biaya dunia usaha dan berdampak
positif bagi inflasi. Karenanya, pengaturan mikro perbankan dan pengawasan kepatuhannya oleh
otoritas perbankan diperlukan untuk mendukung pencapaian target kebijakan moneter. Perlu
disadari, ketentuan dan praktek perbankan seperti CAR dan penyisihan aktiva produktif tak
hanya bersifat mikro-prudensial tapi juga mikro-intermediasi dan mikro-biaya, yang sejatinya
menjadi lahan kepedulian otoritas moneter.
Ketika kondisi ekonomi ditandai dengan permintaan yang masih lemah, nilai tukar yang menguat
atau bahkan overvalued dan ketiadaan hambatan pasokan bahan makanan yang berarti, implikasi
kebijakan suku bunga yang melintasi kanal permintaan yang lemah dan saluran biaya bunga
yang kuat, menjadi kesempatan spesial. Otoritas moneter punya peluang mengurangi biaya
bunga ekuitas dan pinjaman tanpa mengorbankan inflasi. Namun suku bunga kredit yang kaku
atau lembam merespon penurunan BI Rate merupakan masalah pelik yang kini tengah dihadapi
oleh dunia usaha dan Bank Indonesia.
4
Jika Bank Indonesia tak lagi berfungsi sebagai otoritas perbankan, kendali Bank Indonesia untuk
menurunkan buku kredit yang saat ini saja masih terbatas, nantinya akan semakin melemah
karena hanya mengandalkan kemampuan menurunkan biaya dana. Pemindahan tugas pengaturan
dan pengawasan bank ke OJK diperkirakan tak mengurangi kemampuan Bank Indonesia
menurunkan suku bunga simpanan karena faktor utama penentu suku bunga dana bank dari
pihak ketiga adalah tingkat bunga pinjaman antar bank yang dalam hal ini dikendalikan Bank
Indonesia melalui kebijakan BI Rate dan penyesuaian likuiditas bank lewat operasi pasar terbuka
moneter. Tetapi penurunan suku bunga kredit, atau lebih jauh lagi, penurunan marjin bunga
bank, akan menjumpai kendala jika Bank Indonesia tak punya lagi kendali kebijakan pengaturan
atas seluruh aspek mikro perbankan, termasuk kemungkinan mengatur standarisasi biaya
operasional bank seperti yang tengah dirintis. Belum lagi masalah struktur dan kekuatan pasar
dan persaingan usaha antar bank yang ditengarai punya andil terhadap bunga kredit yang enggan
turun. Apakah kepedulian Bank Indonesia akan masalah ini bisa efektif jika tak lagi diberi
kewenangan meregulasi mikro perbankan? Cakupan dan kewenangan tugas otoritas perbankan
yang dimiliki saat ini saja tampaknya belum memadai untuk bisa berbuat banyak mengatasi
kebergemingan marjin laba bank terhadap perubahan BI Rate. Barangkali Bank Indonesia bisa
berkontribusi lebih banyak mengatasi masalah ini jika fungsi pengawasan persaingan usaha bank
dipindahkan dari Komite Pengawas Persaingan Usaha ke satuan kerja pengawasan perbankan di
BI.
Kesimpulannya, pemindahan otoritas pengaturan dan pengawasan perbankan ke OJK berisiko
negatif bagi sektor riil, pertumbuhan dan inflasi. Jika itu terjadi, harapan pelaku usaha akan
keran saluran kredit yang makin deras dengan harga terjangkau bakal makin sulit terwujud.
Membebani OJK dengan kepedulian menurunkan biaya operasional bank, menggenjot
intermediasi dan mengetatkan persaingan rasanya berlebihan dan aneh. Itu sama saja dengan
merelokasi sebagian tugas moneter ke OJK dan memindahkan konflik kepentingan moneterperbankan dari BI ke OJK.
Lebih jauh, perlu disadari bahwa memindahkan otoritas pengaturan dan supervisi mikroprudensial perbankan dari BI ke OJK sebenarnya hanya mengubah level organisasi pelaku
konflik kepentingan moneter-perbankan. Dari yang semula terjadi antar direktorat di Bank
Indonesia menjadi antara BI dan OJK. Konfliknya sama sekali tidak hilang, bahkan akan tambah
mengeras. Titik temu perbedaan kepentingan akan lebih sulit tercapai. Besar kemungkinan
kepentingan makroekonomi-moneter yang akan dikorbankan.
Situasi itu bisa diilustrasikan, meski tidak terlalu pas, dengan mobil kursus mengemudi yang
dilengkapi pedal rem dan akselerator tambahan yang biasa dioperasikan instruktur mengemudi
dari jok kiri depan mobil. Katakanlah roda kemudi mewakili target inflasi yang diarahkan oleh
Gubernur Bank Indonesia ke kiri (turun/disinflasi), lurus (tetap) atau ke kanan (naik/mencegah
deflasi). Kaki kanannya menentukan seberapa cepat disinflasi dan akselerasi pertumbuhan yang
diinginkan. Menginjak pedal akselerator berarti menempuh kebijakan moneter yang lebih
longgar. Menekan rem ibarat menjalankan kebijakan moneter yang lebih ketat. Di jok kiri duduk
Kepala Eksekutif OJK dengan kedudukan setara Gubernur BI tetapi tanpa pegang roda kemudi.
(Hubungan keduanya tentu bukan sebagai instruktur dan murid sekolah mengemudi).
Tindakannya menginjak pedal akselerator ibarat menempuh kebijakan perbankan yang lebih pro
intermediasi. Menekan rem berarti menjalankan kebijakan perbankan yang lebih mikro-pruden.
Kita bisa memprediksi bahwa pemimpin OJK, yang sesuai kodrat preferensi kehati-hatian
pengawasan bank, akan cenderung siaga menempatkan kakinya pada pedal rem. Ketika
5
Gubernur BI menekan pedal akselerator, mobil sulit melaju. Saat ia menginjak rem dengan
lembut, bisa jadi mobil justru berhenti seketika.
Konflik kepentingan antara otoritas moneter dan otoritas perbankan memang tidak bisa
dihilangkan tetapi bisa diminimalkan jika kedua otoritas itu berada di tangan bank sentral dimana
keduanya mengacu pada tujuan prioritas bersama (overarching objective), yaitu inflasi yang
rendah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Sesuatu yang selama ini menjadi tujuan
tradisional kebijakan moneter. Kontrol rem dan akselerator mobil moneter-perbankan oleh
pengemudi tunggal memungkinkan kendaraan melaju dan melambat secara normal karena
kepentingan moneter dan perbankan lebih bisa diselaraskan.
Tujuan prioritas bersama itu membutuhkan penyesuaian pada regulasi mikro perbankan.
Misalnya, batas bawah CAR perlu dilengkapi dengan batas atas sehingga menyediakan kisaran
modal cadangan yang optimal baik dari sisi penyanggaan risiko maupun tujuan inflasi.
Diperlukan juga target NPL yang lebih rendah dan stabil sehingga alokasi dana untuk penyisihan
aktiva produktif bisa dikurangi yang ujungnya mengurangi biaya operasional.
Tujuan prioritas bersama tersebut memang membawa konsekuensi beban yang lebih berat bagi
pelaku dan otoritas perbankan. Bank yang beroperasi dengan CAR di batas bawah ibarat sebuah
pabrik yang memilih beroperasi dengan tingkat persediaan barang jadi yang rendah. Dituntut
kepiawaian operator, mekanik pemelihara mesin dan penyelia produksi untuk memastikan
produksi berjalan lancar agar jangan sampai kehabisan inventori barang jadi apalagi calon
pembeli sampai inden barang.
Meski tidak mudah dan selama ini otoritas perbankan belum secara eksplisit mengacu pada
tujuan prioritas tersebut, Bank Indonesia sudah punya pengalaman mengelola perbedaan sifat
dan tujuan kedua otoritas itu dalam satu markas dan dibawah kendali satu komando.
Kelemahan tugas makro-prudensial tanpa fungsi regulasi dan supervisi mikro-prudensial
Migrasi otoritas pengaturan dan supervisi mikro-prudensial dari bank sentral ke otoritas jasa
keuangan dan menyisakan kepada bank sentral tugas menjaga stabilitas keuangan, atau yang
sering disebut makro-prudential, mengandung kelemahan seperti yang diungkap dengan jeli oleh
Partai Konservatif Inggris dalam buku putih manifesto ekonomi mereka. Undang-Undang
Perbankan United Kingdom 2009, yang disusun sebagai bagian dari reformasi pasca krisis
finansial global 2008, dinilai malah memperkokoh struktur tripartite yang telah terbukti gagal,
yang ditandai dengan koordinasi buruk antar institusi. Melalui undang-undang itu pemerintah
Partai Buruh membagi tanggung jawab di antara institusi berbeda, membentuk komite stabilitas
keuangan dalam Bank of England (BoE) dan memberikan tanggung jawab konstitusional kepada
BoE untuk kestabilan keuangan. Bahkan akan dibentuk Dewan Stabilitas Keuangan sebagai
badan tertinggi dengan tanggung jawab memproteksi stabilitas keuangan.
Partai Konservatif mengkritik pemberian tanggung jawab stabilitas keuangan kepada BoE tanpa
memperlengkapinya dengan “senjata makro-prudensial” atau kekuasaan untuk mengambil
tindakan jika diperlukan. Sehingga pada dasarnya partai oposisi ini menilai reformasi itu tidak
menambah proteksi bagi stabilitas keuangan. Akibatnya, BoE tetap pada posisi sebelum krisis:
hanya mampu mengeluarkan peringatan bahaya, tak lebih dari itu. Sesuatu yang sebenarnya telah
dilakukan berulang-ulang tanpa hasil oleh BoE sebelum krisis keuangan 2008.
Mervyn King, gubernur BoE, beberapa kali mengeluhkan keterbatasan kemampuan institusinya
menjalankan amanat menjaga stabilitas keuangan dengan hanya bisa membuat laporan, berpidato
6
dan berkotbah soal stabilitas keuangan. Pada bagian pidato Mansion House 17 Juni 2009 ia
mengatakan: “Warnings are unlikely to be effective when people are being asked to change
behaviour which seems to them to be highly profitable. So it is not entirely clear how the Bank
will be able to discharge its new statutory responsibility if we can do no more than issue
sermons”.
Dalam kesempatan lain di depan The House of Commons Treasury Select Committee, 24 Juni
2009, ia mengingatkan anggota parlemen: “We were given a statutory responsibility for financial
stability in the Banking Act, and the question I put to you in February at this committee, to which
I have not really received any adequate answer from anywhere, was: what exactly is it that
people expect the Bank of England to do? All we can do at present, before a bank is deemed by
the FSA to have failed, is to write our financial stability report and give speeches.”
The House of Lords’ Select Committee on Economic Affairs, Banking Supervision and
Regulation juga menyadari hal itu dalam salah satu bagian pernyataannya pada 2 Juni 2009:
“Without a clear executive role, the Bank can do no more than talk about financial stability. This
exposes it to reputational risk, without generating clear benefit.”
Penutup
Maksud baik untuk memurnikan otoritas moneter dan menghilangkan konflik kepentingan antara
otoritas moneter dan otoritas perbankan, patut diapresiasi. Namun para wakil rakyat pembahas
RUU OJK perlu menyadari dan mempertimbangkan dengan seksama masalah yang akan timbul
karena penghapusan fungsi pengaturan dan supervisi mikro-prudensial perbankan dari Bank
Indonesia. Undang-undang itu justru berpotensi besar mempertajam konflik kepentingan
kebijakan moneter-perbankan dan menyisakan otoritas moneter dan makro-prudensial perbankan
yang kurang berdaya, yang pada gilirannya dapat menghambat pencapaian target pertumbuhan
ekonomi dan inflasi. Mungkin kedengarannya berlebihan dan pesimistis. Tapi bukan suatu yang
mustahil.
Leicester, 25 April 2010
Akhis R. Hutabarat, Pegawai Bank Indonesia; mahasiswa S3 Ekonomi Moneter Universitas Leicester, Inggris.
Tulisan ini pendapat pribadi.
7
Download