7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pelatihan Olahraga

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Pelatihan Olahraga
Pelatihan adalah suatu proses yang sistematis dari berlatih atau bekerja yang
dilakukan secara berulang-ulang dengan kian hari meningkatkan jumlah beban
latihan atau pekerjaan, dan salah satu yang paling penting dari latihan harus
dilakukan secara berulang-ulang dan meningkatkan beban atau tahanan untuk
meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot yang diperlukan untuk pekerjaannya
(Iskandar, 2011). Pelatihan dilakukan secara (repetitive) dalam jangka waktu
lama, dengan pembebanan yang meningkat secara progressive, memiliki tujuan
untuk memperbaiki sistema serta fungsi fisiologi dan psikologi tubuh agar pada
waktu melakukan aktivitas olahraga dapat mencapai penampilan yang optimal
(Nala, 2011).
Menurut Nossek (1982) pelatihan adalah suatu proses atau dinyatakan
dengan kata lain periode waktu yang berlangsung selama beberapa tahun
sampaiatlet tersebut mencapai standar penampilan yang tertinggi. Nossek (1982)
menyatakan pelatihan adalah suatu proses penyempurnaan olahraga yang diatur
dengan
prinsip-prinsip
yang
bersifat
ilmiah,
khususnya
prinsip-prinsip
paedagogis. Proses ini direncanakan dan sistematis, yang meningkatkan kesiapan
untuk melakukan dan kepastian penampilan atlet. Pelatihan adalah sebuah
aktivitas olahraga yang sistematik dalam waktu yang lama ditingkatkan secara
progresif dan individual, yang mana mengarah kepada ciri-ciri fungsi fisiologis
7
8
dan psikologis manusia untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan (Bompa,
2005). Pelatihan juga merupakan aktivitas fisik yang dilakukan secara
berkesinambungan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelatihan yang benar.
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat beberapa kesamaan dalam
mendefinisikan pelatihan antara lain:
1. Aktivitas yang dilakukan secara sistematis.
2. Bentuk suatu proses
3. Dilaksanakan dengan waktu yang relatif lama.
4. Berkesinambungan.
5. Adanya pembebanan secara bertahap
6. Untuk mencapai tujuan peningkatan kemampuan atau prestasi olahraga.
Dengan demikian pengertian pelatihan dapat disimpulkan sebagai suatu
proses penyempurnaan kemampuan olahraga, yang dilakukan secara sistematis
dan berkesinambungan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelatihan yang
benar, untuk mencapai tujuan peningkatan kemampuan atau prestasi olahraga.
2.1.1 Tujuan Pelatihan
Tujuan pelatihan dalam bidang olahraga adalah untuk memperbaiki
kemampuan teknik (keterampilan) atau penampilan atlet sesuai dengan kebutuhan
dalam bidang olahraga spesialisasi atau yang digeluti, dan bertujuan untuk
meningkatkan kebugaran, jasmani dan menjaga kesehatan (Nala, 2011).
Berdasarkan atas hal ini maka pelatihan ditujukan untuk meningkatkan
pengembangan fisik baik menyeluruh maupun khusus perbaikan terhadap teknik,
pemapinggang strategi, dan teknik permainan sesuai dengan kebutuhan cabang
9
olahraga, menanamkan kemauan dan disiplin yang tinggi, pengoptimalan
persiapan tim dan olahraga beregu, meningkatkan serta memelihara kebugaran
jasmani dan kesehatan serta mencegah kemungkinan cedera.
Menurut Bompa (2005), untuk mencapai tujuan dalam latihan, yaitu
memperbaiki prestasi tingkat terampil maupun unjuk kerja dari atlet, diarahkan
oleh pelatihnya untuk mencapai tujuan umum latihan. Adapun tujuan-tujuan
latihan sebagai berikut:
1. Untuk mencapai dan memperluas perkembangan fisik secara menyeluruh.
2. Untuk menjamin dan memperbaiki perkembangan fisik khusus sebagai suatu
kebutuhan yang telah ditentukan di dalam praktik olahraga.
3. Untuk memoles atau menyempurnakan teknik olahraga yang dipilih.
4. Memperbaiki dan menyempurnakan strategi yang penting yang dapat
diperoleh dari belajar teknik lawan berikutnya.
5. Menanamkan kualitas kemauan melalui latihan yang mencukupi serta disiplin
untuk tingkah laku, ketekunan, dan keingginan untuk menanggulangi
kerasnya latihan dan menjamin persiapan psikologis.
6. Menjamin dan mengamankan persiapan tim secara optimal.
7. Untuk mempertahankan keadaan sehat setiap atlet.
8. Untuk mencegah cedera melalui pengamanan terhadap penyebabnya dan juga
meningkatkan fleksibelitas di atas tingkat ketentuan untuk melakukan
gerakan yang penting.
10
9. Untuk menambah pengetahuan seorang atlet dengan sejumlah pengetahuan
teoritis yang berkaitan dengan dasar-dasar fisiologis dan psikologis latihan,
pencernaan gizi, dan regenerasi.
Beberapa kesimpulan tersebut tidak menyarankan untuk dipakai secara
kaku dalam upaya latihan yang dilakukan, hal tersebut harus disesuaikan dengan
ciri-ciri
khusus
pada
kecabangan
olahraga
yang
dilakukan
dan
juga
memperhatikan kondisi atlet itu sendiri. Pendekatan yang perlu mendapat
perhatian untuk mencapai tujuan pelatihan utama adalah mengembangkan dasardasar latihan secara fungsional diarahkan untuk mencapai tujuan khusus sesuai
dengan kebutuhan cabang olahraga itu sendiri. Pada cabang olahraga bola voli
kebutuhan yang digunakan kekuatan, kecepatan, dayatahan disesuaikan dengan
kebutuhan cabang olahraganya. Jenis Pelatihan jinjit merupakan salah satu tipe
pelatihan yang digunakan dalam penelitian ini.
Menurut Nala (2011), cara pelatihan yang paling tepat untuk melatih
kekuatan otot agar smesannya kuat atau pukulannya keras yang dilakukan dengan
pelatihan jinjit berulang-ulang dengan sikap dan arah gerakan lengan seperti
melakukan smash atau melakukan pukulan overhead. Apabila diberi pelatihan,
efek pada otot terjadi pada unit motorik (saraf dan otot), ko-kontraksi otot
antagonis, sinkronisasi. Adaptasi neural akan meningkatkan kekuatan dan
meningkatkan koordinasi.
2.1.2 Prinsip-Prinsip Pelatihan
Pelatihan yang modern harus direncanakan secara berhati-hati. Sebuah
rancangan pelatihan mencakup semua tindakan yang diperlukan untuk mencapai
11
sasaran-sasaran latihan (Nossek, 1982). Tujuan pelatihan yang telah dijelaskan
akan memberikan arah dari suatu pelatihan olahraga, dan untuk mencapai tujuan
tersebut secara maksimal, suatu pelatihan harus dilaksanakan sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar pelatihan. Adapun prinsip-prinsip pelatihan adalah:
a. Prinsip Pelatihan beraturan (the principle of arrange ment of exercise).
Dalam setiap melaksanakan latihan, ada tiga tahap yang harus dilakukan
yaitu; pemanasan, latihan inti serta pendinginan. Latihan hendaknya dimulai dari
kelompok otot besar, kemudian dilanjutkan pada kelompok otot kecil (Fox, dkk.,
1993). Pemanasan bertujuan menyiapkan kondisi fisik dan psikis sebelum latihan
atau pertandingan/ perlombaan. Pemanasan juga bertujuan meningkatkan suhu
tubuh dan aliran darah pada otot sekelet yang aktif (Nala, 2011).
Dalam pelaksanaannya pemanasan tidak harus selalu lama dilakukan,
pemanasan yang berkisar lima sampai limabelas menit sudah cukup untuk
membuat tubuh berkeringat dan bernafas dalam, sebagai tanda metabolisme
meningkat dan tubuh siap untuk mengikuti latihan berikutrnya. Selanjutnya
latihan inti, gerakan inti olahraga merupakan gerakan atau aktivitas yang pokok
dalam suatu pelatihan atau kecabangan olahraga. Kegiatan ini merupakan utama
untuk
mencapai
tujuan
dari
pelatihan.
Pendinginan
bertujuan
untuk
mengembalikan kondisi fisik dan psikis pada keadaan semula. Pendinginan
dilakukan setelah aktivitas fisik atau pelatihan selesai dilaksanakan.
Pendinginan akan bermanfaat untuk pulih asal (recovery) setelah aktivitas
fisik yang berat. Latihan-latihan pendinginan mengikuti urutan yang sebaliknya
dari urutan latihan pemanasan (yaitu latihan aerobik ringan, kalistenik dinamis,
12
dan pereganganstatis) (Giam, 1993). Lamanya pendinginan tergantung pada
tingkat kelelahan yang diperoleh dari latihan inti atau tergantung pada cepatnya
asam laktat dirubah, lama pendinginan bisa dari 10 sampai 30 menit.
b. Prinsip Kekhususan (the principle of speciafity).
Adalah latihan untuk cabang olahraga mengarah pada perubahan
morphologis dan fungsional yang berkaitan dengan kekhususan cabang olahraga
tersebut (Bompa, 2005). Untuk itu, sebagai bahan pertimbangan dalam
menerapkan prinsip kekhususan, antara lain ditentukan oleh:(a) spesifikasi
kebutuhan energi, (b) spesifikasi bentuk dan model latihan, (c) spesifikasi ciri
gerak dan kelompok otot yang digunakan, dan (d) waktu periodisasinya
c. Prinsip Individualisasi (the principle of individuality).
Pelatihan yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan atlet untuk
mencapai hasil yang baik. Menurut Bompa (2005) faktor individu harus
diperhatikan, karena pada dasarnya setiap inividu mempunyai karakteristik yang
berbeda, baik secara fisik maupun secara psikologis. Sukadiyanto (2005)
menjelaskan, hal yang harus diperhatikan dalam prinsip individualisasi adalah
faktor keturunan, kemapinggang, status gizi, waktu istirahat dan tidur, tingkat
kebugaran, pengaruh lingkungan, cidera, dan motivasi.
d. Prinsip Beban Bertambah (the principle of progressive resistance).
Adalah beban kerja dalam latihan ditingkatkan secara bertahap dan
disesuaikan dengan kemampuan fisiologis dan psikologis setiap individu
olahragawan. Pelatihan dengan penambahaan beban secara bertahap merupakan
suatu keharusan, untuk mencapai hasil dari pelatihan tersebut. Menurut Bompa
13
(2005) untuk menyiapkan fungsi dan reaksi sistem-sistem syaraf, koordinasi
neuromuskular, dan kapasitas psikologi untuk menanggulangi stres peningkatan
beban latihan, atlet membutuhkan waktu, dan pendapat (Syaranamual, 2009)
bahwa peningkatan kinerja olahragawan memerlukan latihan dan penyesuaian
dalam waktu yang panjang, disamping itu peningkatan kemampuan organisme
secara morphologis, fisiologis dan psikologis bergantung pada peningkatan beban
latihan.
Dalam pembebanan latihan, tuntutan ini adalah bahwa beban latihan harus
berkelanjutan jika harus ditingkatkan secara regular (progressive overloa). Dalam
mendisain pelatihan overload, Bompa (2005) menyarankan untuk memakai the
steptype approach system atau sistem tangga yang tampak pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 The Step Type Approach System (Bompa, 2005).
Setiap garis vertikal menunjukan perubahan (penambahan) beban,
sedangkan garis horisontal adalah fase adaptasi terhadap beban yang baru. Beban
latihan tiga tangga (cycle) pertama ditingkatkan secara bertahap. Pada cycleke
empat beban diturunkan (ini adalah yang dimaksud unloading fase) yang
maksudnya adalah untuk memberi kesempatan kepada organ-organ tubuh untuk
melakukan regenerasi (Harsono, 1988). The step typeapproach atau sistem tangga
14
berlaku untuk pelatihan olahraga yang bertujuan untuk prestasi maupun
kesehatan.
e. Prinsip Beban Berlebih (the overload principle).
Pelatihan untuk komponen kebugaran membutuhkan berkali-kali kondisikondisi overload yang di ikuti dengan kesempatan untuk istirahat untuk
mendapatkan efek pelatihan (Iskandar, 2011). Menurut Sukadiyanto (2005),
beban latihan harus mencapai atau melampaui sedikit di atas batas ambang
rangsang. Sebab beban yang telalu berat akan mengakibatkan tidak mampu
diadaptasi oleh tubuh, sedangkan bila terlalu ringan tidak akan berpengaruh
terhadap peningkatan kualitas, sehingga beban latihan harus memenuhi prinsip
moderat. Untuk pembebanan dilakukan secara progresif dan diubah sesuai dengan
tingkat perubahan yang terjadi pada olahragawan. Apabila tubuh sudah mampu
mengatasi beban latihan yang diberikan, maka beban berikutnya harus
ditingkatkan secara bertahap. Irianto (2002) mengatakan apabila tubuh ditantang
dengan beban latihan maka terjadi proses penyesuaian. Penyesuaian tersebut tidak
saja seperti pada kondisi awal namun secara bertahap mengarah pada tingkat yang
lebih tinggi yang disebut over kompensasi. Over kompensasi (peningkatan
prestasi) akan terjadi bila pembebanan yang diberikan pada latihan tepat di atas
ambang rangsang (threshold), disertai dengan pemulihan (recovery).
Tingkat penambahan beban latihan berkaitan dengan tiga faktor, yaitu
frekuensi, intensitas, dan durasi. Penambahan frekuensi dapat dilakukan dengan
cara menambah sesi latihan. Untuk intensitas latihan dapat dengan cara
meningkatkan kualitas pembebanan. Sedangkan durasi dapat dilakukan dengan
15
cara menambah jam latihan atau bila jam latihan tetap dapat dengan cara
memperpendek waktu recovery dan interval, sehingga kualitas latihan menjadi
meningkat (Sukadiyanto, 2005).
f. Prinsip Beragam (variety principle).
Latihan memerlukan proses panjang yang dilakukan berulang-ulang, hal
ini sering menimbulkan kebosanan. Untuk mengatasi kebosanan pelatih
menciptakan suasana yang menyenangkan serta membuat aneka macam bentuk
latihan (Bompa, 2005).
g. Prinsip Pulih Asal (revercible principle)
Kualitas yang diperoleh dari latihan dapat menurun kembali apabila tidak
melakukan latihan dalam waktu tertentu. Proses adaptasi yang terjadi sebagai
hasil dari latihan akan menurun bahkan hilang bila tidak dipraktekkan dan
dipelihara melalui latihan yang kontinyu. Dengan demikian latihan harus
berkesinambungan.
2.1.3 Volume Pelatihan
Sebagai komponen utama latihan, volume adalah prasarat yang sangat
penting untuk mendapatkan teknik yang tinggi, taktik dan khususnya pencapaian
fisik. Volume latihan disebut juga jangka waktu yang dipakai selama sesion
latihan, yang melibatkan beberapa bagian secara integral sebagai berikut: (1)
waktu atau jangka waktu yang dipakai dalam pelatihan, (2) jarak atau jumlah
tegangan yang dapat ditanggulangin atau diangkat persatuan waktu, (3) jumlah
pengulangan bentuk latihan atau elemen teknik yang dilakukan dalam waktu
tertentu. Jadi diperkirakan bahwa volume terdiri jumlah keseluruhan dari kegiatan
16
yang dilakukan dalam latihan. Volume diartikan sebagai jumlah kerja yang
dilakukan selama satu kali latihan atau selama fase latihan (Bompa, 2005).
Menurut Nala (2011), bahwa volume latihan merupakan jumlah seluruh
aktivitas yang dilakukan selama latihan. Sering secara tidak tepat, volume latihan
ini disamakan dengan durasi atau lama latihan. Padahal durasi ini merupakan
bagian dari volume latihan. Pada umumnya volume latihan ini terdiri atas:
a. Durasi atau lama waktu pelatihan (dalam detik, menit, jam, hari, minggu
atau bulan).
b. Jarak tempuh (meter), berat beban (kilogram) atau jumlah angkatan dalam
satuan waktu (berapa kilo-gram dapat diangkat dalam waktu satu menit).
c. Jumlah repetisi, set atau penampilan unsur teknik dalam satu kesatuan
waktu (berapa kali ulangan dapat dilakukan dalam waktu semenit).
Penggunaan repetisi dan set ini amat penting dalam meningkatkan
kemampuan komponen biomotorik. Volume ini juga menunjukkan jumlah kerja
atau aktivitas yang dapat dilakukan selama phase latihan (Bompa, 2005).
Sedangkan menurut Sukadiyanto (2005) adalah ukuran yang menunjukkan
kuantitas (jumlah) suatu rangsangan atau pembebanan.
Adapun dalam proses latihan yang digunakan untuk meningkatkan volume
latihan dapat dilakukan dengan cara latihan itu: (1) diperberat, (2) diperlama, (3)
dipercepat, atau (4) diperbanyak. Untuk itu dalam menentukan besarnya volume
dapat dilakukan dengan cara menghitung: (a) jumlah bobot berat persesi, (b)
jumlah ulangan persesi, (c) jumlah set per sesi, (d) jumlah pembebanan per sesi,
17
(e) jumlah seri atau sirkuit per sesi, dan (f) lama-singkatnya pemberian waktu
recovery dan interval.
Dalam penelitian ini volume pelatihan terhadap beban dan repetisi
ditentukan berdasarkan pengukuran sampel yang dilakukan pada penelitian
pendahuluan. Hasil penelitian pendahuluan bahwa kemampuan jinjit berbeban di
pinggang dengan beban sebelas kg. Dari beban sebelas kg diambil 40% dari
kemampuan maksimal (Satriya, dkk., 2007) yaitu empat kg. Beban yang diberikan
dari terendah karena melibatkan anak pemula dalam penggunaan beban untuk
daya ledak otot tungkai. Untuk menentukan repetisi dan set dilakukan jinjit beban
di pinggang empat kg hasil yang diperoleh berkisar 12-15 kali dengan tiga set.
Sehingga dalam penelitian daya ledak otot tungkai dengan jinjit beban di
pinggang empat kg, 12 repetisi dan tiga set dengan istirahat lima menit yang
ditentukan dari denyut nadi istirahat.
2.1.4
Intensitas Pelatihan
Intensitas pelatihan adalah dosis pelatihan yang harus dilakukan seseorang
menurut program yang telah ditentukan (Iskandar, 2011). Intensitas merupakan
salah satu komponen terpenting dari latihan. Intensitas menunjukan komponen
kualitatif pada penampilan kerja dalam suatu periode.
Menurut Bompa (2005) bahwa intensitas adalah fungsi dari kekuatan
rangsangan syaraf yang dilakukan dalam latihan dan kekuatan rangsangan
tergantung dari beban kecepatan gerakannya, variasi interval atau istirahat
diantara tiap ulangannya. Intensitas adalah faktor terpenting dalam pengembangan
maksimal pemasukan oksigen (VO2 max), intensitas merefleksikan kebutuhan
18
energi dan kalor energi yang dikeluarkan (Sharkey, 2003). Intensitas juga
merupakan ukuran yang menunjukan kualitas suatu rangsangan atau pembebanan.
Menurut Harsono (1988) tingkatan intensitas beban pelatihan yang
dianjurkan untuk pelatihan kondisi fisik: rendah: 30-50%, ringan: 51-60%,
sedang: 61-75%, submaksimal: 76-85%, maksimal: 86-100% dan super maksimal:
100%. Sedangkan kondisi fisik untuk daya ledak (Satriya, dkk., 2007) pelatihan
dengan tahanan beban yang digunakan 40-80% kemampuan maksimal, kontraksi
cepat, repetisinya kalau kecepatan berkurang pengulangan dihentikan karena
dalam daya ledak ada kekuatan terdapat pula kecepatan.
Derajat intensitas dapat diukur berdasarkan kepada bentuk latihan yang
dilakukan untuk pelatihan yang melibatkan kecepatan diukur dalam satuan meter
/detik, atau intensitas untuk kekuatan diukur dengan satuan kg, sedangkan untuk
jarak contohnya jauh dan tinggi diukur dalam satuan meter (Bompa, 2005). Dalam
meningkatkan
kekuatan
tanpa
mengabaikan
kecepatan,
pembebanannya
submaksimal dengan lama waktu berkontraksi 7-10 detik. Pembebanan berkisar
60-90% dari kekuatan maksimal berdasarkan Oshea (1976). Sedangkan
meningkatkan kecepatan tanpa mengabaikan kekuatan, intensitas pembebanannya
berskala ringan dan sedang dari kemampuan maksimal, demikian pula waktu
rangsangan saraf dan kontraksi diperpendek (Iskandar, 2011). Manfaat dari
pemberian beban untuk melatih kecepatan atau kemampuan maksimal dapat
dipertahankan karena penyediaan energi dari sistem phospagen berlangsung cepat
atau dua kali lipat kecepatan dalam sistem asam laktat (Guyton dan Hall, 2007).
19
2.1.5
Repetisi dan Set
Repetisi adalah jumlah ulangan pada waktu pelatihan sedangkan set adalah
suatu rangkaian kegiatan dari suatu repetisi. Menurut Widana (1983) mensitir
pelatihan dari De Lorme dan Watkins, bahwa pelatihan meningkatkan kekuatan
otot dapat terwujud melaui program dengan menggunakan 1-3 repetisi untuk 3-4
set dengan menggunakan beban maksimum. Sedangkan pelatihan yang
menggunakan daya tahan otot hendaknya menggunakan program 10-12 repetisi
dan 3-4 set. Dalam Harsono (1988) untuk meningkatkan daya ledak menggunakan
12–15 repetisi, 3-5 set.
Menurut Oshea, (1976) dalam meningkatkan daya ledak antara repetisi 810 repetisi dan 3-4 set. Menurut Fox (1984) manfaat pengulangan yang tinggi
untuk mengembangkan serabut otot tipe cepat yang sangat dibutuhkan dalam
kecepatan.
2.1.6
Densitas dan Frekuensi Pelatihan
Suatu frekuensi dimana atlet dihadapkan pada sejumlah rangsangan
persatuan waktu disebut densitas latihan. Jadi densitas latihan berkaitan dengan
suatu hubungan yang dinyatakan dalam waktu kerja dan pemulihan latihan. Suatu
densitas yang seimbang akan mengarah kepada pencapaian rasio optimal antara
rangsangan latihan dan pemulihan (Bompa, 2005).
Berdasarkan hal tersebut, padat atau tidaknya densitas ini sangat
tergantung oleh lamanya pemberian waktu pemulihan yang diberikan. Semakin
pendek waktu pemulihan maka densitas latihan makin tinggi, sebaliknya semakin
lama waktu pemulihan maka densitas pelatihan semakin rendah (kurang padat).
20
Menurut Harre (Bompa, 2005) untuk membangun komponen biomotorik dalam
daya tahan otot misalnya densitas pelatihan yang optimal antara waktu kerja dan
waktu istirahat perbandingannya berkisar antara 1:½, atau 1:1. Sedangkan untuk
rangsangan yang itensif, perbandingannya 1:3 atau 1:6. Sehingga dalam
melakukan aktivitas menyemes bola atau memukul shuttle terus menerus untuk
meningkatkan daya tahan otot lengan dan otot bahu bagi pemain bulutangkis
diperlukan selama satu menit maka waktu yang digunakan selama 3-6 menit
(selama 3x \1 menit =3 menit sampai 6x1 menit= 6 menit). Setelah itu dilanjutkan
kembali dengan gerakan menyemes atau memukul selama 1 menit. Untuk
komponen kekuatan kekuatan otot waktu istirahat selama 2-5 menit, bukan ½-1
menit.
Lama istirahat untuk meningkatkan kekuatan tergantung pada berat
ringannya beban, jumlah repetisi, banyak set dan kecepatan irama angkatannya.
Bila beban ringan waktu istirahat cukup 2 menit tapi bila bebannya berat, waktu
istirahat sampai 5 menit. Densitas latihan menunjukkan kepadatan (densitas) atau
kekerapan (frekuensi) dari suatu seri rangsangan persatuan waktu yang terjadi
pada atlet ketika sedang berlatih sedangkan Frekuensi adalah kekerapan atau
kerapnya latihan per-minggu. Menetapkan frekuensi latihan amat tergantung pada
tipe olahraganya dan jenis komponen biomotorik yang akan dikembangkan.
Frekuensi latihan untuk mengembangkan komponen kekuatan otot, jika
dilakukan sebanyak tujuh kali dalam seminggu dianggap densitasnya terlalu
tinggi. Bila dilakukan sekali seminggu dianggap densitasnya terlalu rendah.
Frekuensi latihan merupakan jumlah latihan yang dilakukan dalam periode waktu
21
tertentu. Pada umunya periode waktu yang digunakan untuk menghitung jumlah
frekuensi tersebut adalah dalam satu minggu. Frekuensi latihan bertujuan untuk
menunjukkan jumlah tatap muka latihan pada setiap minggunya. Frekuensi latihan
misalnya:
a. Untuk meningkatkan kekuatan otot dianggap cukup baik bila dilakukan
sebanyak 2-3 kali seminggu.
b. Sebaliknya untuk meningkatkan komponen daya tahan kardiovaskular atau
kesegaran jasmani
c. (physical fitness), maka frekuensi latihannya sebanyak 4-5 kali seminggu,
dengan selingan istirahat maksimal selama 48 jam atau tidak lebih dari dua
hari berturutan.
d. Untuk daya tahan perenang dan pelari jarak jauh frekuensi latihannya lebih
keras , tidak cukup sebanyak 3 – 4 kali seminggu, tetapi sebanyak 6-7 kali
seminggu.
e. Frekuensi latihan bagi atlet non-daya tahan aerobik (non-endurance) atau
anaerobik, cukup sebanyak 3 kali per minggu, dengan durasi latihan selama
8-10 minggu (Nala, 2011).
Frekuensi tergantung dari jenis komponen yang akan dikembangkan,
untuk menjalankan program latihan tiga kali setiap minggu, agar tidak terjadi
kelelahan yang kronis dan lama latihan diperlukan selama enam minggu atau
lebih (Sajoto, 2002). Dalam penelitian ini menggunakan frekuensi pelatihan tiga
kali setiap minggu dan dilaksanakan selama enam minggu. Manfaat gerakan
22
pelatihan yang dilakukan berulang-ulang selama enam minggu akan terpola pada
sistem saraf sebagai pengalaman sensoris (Guyton, 2007).
2.2
Pelatihan Fisik
Kondisi fisik adalah satu kesatuan utuh dari komponen-komponen yang
tidak dapat dipisahkan begitu saja, baik peningkatan maupun pemeliharaannya.
Artinya bahwa didalam usaha peningkatan kondisi fisik maka seluruh komponen
tersebut harus dikembangkan. Walaupun dilakukan dengan sistem prioritas tiap
komponen dan untuk keperluan apa keadaan atau status yang dibutuhkan. (Sajoto,
1988). Kondisi fisik adalah satu prasyarat yang sangat diperlukan dalam usaha
peningkatan prestasi seorang atlet, bahkan dapat dikatakan sebagai keperluan
dasar yang tidak dapat ditunda atau ditawar-tawar lagi.
Menurut Harsono (1988), jika kondisi fisik baik maka: (1) akan ada
peningkatan dalam kemampuan sistem sirkulasi dan kerja jantung. (2) akan ada
peningkatan dalam kekuatan, kelentukan, stamina, kecepatan dan lain-lain
komponen kondisi fisik. (3) akan ada ekonomi gerak yang lebih baik pada waktu
latihan. (4) akan ada pemulihan yang lebih cepat dalam organ-organ tubuh setelah
latihan. (5) akan ada respon yang cepat dari organisme tubuh apabila sewaktuwaktu respon demikian diperlukan. Proses latihan kondisi fisik dalam olahraga,
adalah suatu proses yang harus dilakukan dengan hati-hati, dengan sabar dan
dengan penuh kewaspadaan terhadap atlet. Melalui latihan yang berulang-ulang
dilakukan, yang intensitas dan kompleksitasnya sedikit demi sedikit bertambah,
lama kelamaan atlet akan berubah menjadi seseorang yang lebih pegas, lebih
lincah, lebih terampil dan lebih berhasil menurut Harsono (1988).
23
Kondisi fisik memegang peranan yang sangat penting. Program latihan
kondisi fisik haruslah direncanakan secara sistematis yang ditunjukkan untuk
meningkatkan kondisi fisik dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh
sehingga dengan demikian dapat mencapai prestasi yang lebih baik haruslah
direncanakan secara sistematis yang ditujukan untuk meningkatkan kondisi fisik
dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh sehingga dengan demikian dapat
mencapai prestasi yang lebih baik.
2.3
Komponen Biomotorik
Komponen biomotorik merupakan kemampuan dasar gerak fisik atau
aktivitas fisik dari tubuh manusia (Nala, 2011). Menurut Sajoto (2002) komponen
kondisi fisik adalah satu kesatuan utuh dari komponen-komponen yang tidak
dapat
dipisahkan
baik
peningkatan
maupun
pemeliharanya.
Komponen
biomotorik yakni kekuatan, daya tahan, daya ledak, kecepatan, kelentukan,
kelincahan, ketepatan, waktu reaksi, keseimbangan, dan koordinasi (Nala, 2011).
Menurut Jensen (1983) daya ledak merupakan unsur biomotorik yang
sangat penting untuk melakukan berbagai aktivitas dan menentukan seberapa
cepat dapat berlari dan berenang, seberapa tinggi dapat meloncat, seberapa jauh
dapat melempar, dan seberapa keras seseorang dapat memukul. Dari kesepuluh
komponen biomotorik ini salah satu komponen biomotorik yaitu daya ledak yang
akan digunakan dalam pelatihan bulutangkis.
24
2.4
Daya Ledak
Daya ledak adalah kemampuan otot untuk menggerahkan kekuatan
maksimal dalam waktu yang sangat cepat (Juliantine, dkk., 2007). Daya ledak
sering disebut eksplosif atau daya otot. Menurut Sajoto (2002) daya otot
(muscular power) adalah kemampuan seseorang untuk mempergunakan kekuatan
maksimum yang dikerahkan dalam waktu yang sependek-pendeknya. Daya ledak
sangat penting untuk cabang-cabang olahraga yang memerlukan eksplosif, seperti
lari sprint, nomor-nomor lempar dalam atletik, atau cabang-cabang olahraga yang
gerakannya didominasi oleh meloncat, dalam olahraga voli dan juga pada
bulutangkis serta olahraga sejenisnya. Otot yang kuat otot yang mempunyai daya
ledak yang besar, sebaliknya otot yang mempunyai daya ledak yang besar hampir
dapat dipastikan mempunyai nilai kekuatan yang besar (Nugroho, 2012). Daya
ledak ialah kemampuan sebuah otot atau sekelompok otot untuk mengatasi
tahanan beban dengan kekuatan dan kecepatan tinggi dalam satu gerakan yang
utuh (Suharno, 1993). Daya ledak merupakan hasil dari kekuatan maksimum dan
kecepatan maksimum (Bompa, 2005). Daya ledak adalah kemampuan seseorang
mengatasi tahanan dengan kecepatan yang tinggi dalam gerak yang utuh
(Iskandar, 2011).
Bosco (1983) menyatakan bahwa, daya ledak adalah kemampuan
melakukan gerakan secepat mungkin dengan kekuatan maksimum. Jensen (1983)
menyatakan bahwa daya ledak merupakan komponen yang penting untuk
melakukan aktivitas yang berat seperti meloncat, melempar, memukul dan
sebagainya. Bompa (2005), daya ledak merupakan hasil dari kekuatan dalam
25
waktu yang singkat. Menurut Bucher (Harsono, 1988) dikatakan bahwa seorang
individu yang mempunyai power adalah orang yang memiliki (a) derajat kekuatan
otot yang tinggi, (b) derajat kecepatan yang tinggi, dan (c) derajat yang tinggi
dalam keterampilan menggabungkan kecepatan dan kekuatan otot. Menurut
Suharno (1993), beberapa faktor yang menentukan daya ledak otot adalah: 1)
banyak sedikitnya fibril otot putih dalam tubuh atlet, 2) tergantung banyak
sedikitnya zat kimia dalam otot (ATP), 3) kekuatan dan kecepatan, 4) waktu
rangsangan dibatasi secara konkrit lamanya, 5) Koordinasi gerakan yang
harmonis.
Menurut Brandon (2004) daya ledak adalah kemampuan untuk
menghasilkan kekuatan dengan cepat, diistilahkan dalam matematis sebagai
kekuatan dikalikan kecepatan. Berdasar pada definisi-definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa dua unsur penting yang menentukan kualitas daya ledak
adalah kekuatan dan kecepatan.
2.4.1 Jenis Daya Ledak
Bompa (2005) membagi daya ledak berdasarkan gerakan olahraga yang
dilakukan yaitu:
a. Daya ledak asiklik, biasanya dilakukan pada olahraga yang gerakannya tidak
sama. Contoh olahraga atletik, loncat, lempar. Pada olahraga permainan
bolavoli, sepakbola, bola basket, bulutangkis dll.
b. Daya ledak siklik, ini biasanya digunakan pada olahraga yang gerakannya
sama dan berulang-ulang. Contoh pada olahraga lari cepat, berenang, balap
sepeda, dan olahraga yang memerlukan kecepatan tinggi. Nossek (1982)
26
membagi daya ledak menjadi dua bagian berdasarkan aktivitas yang
dilakukan yaitu:
1) Kekuatan eksplosif ini diterapkan untuk mengatasi atau menanggulangi
perlawanan yang lebih rendah dari pada perlawanan yang maksimum,
tetapi dengan kekuatan akselarasi maksimum.
2) Kekuatan Kecepatan, ini dilakukan melawan perlawanan dengan
akselarasi di bawah maksimum.
Penggunaan tenaga oleh otot atau sekelompok otot secara eksplosif
berlangsung dalam kondisi dinamis. Ini terjadi pada melemparkan benda,
pemindahan tempat sebagian atau seluruh tubuh, dan sebagainya hal ini untuk
gerakan tunggal atau satu pengulangan. Kekuatan maksimum dan eksplosif atau
perkembangan kekuatan kecepatan hendaknya dilatih sejajar (Nossek, 1982).
Faktor yang mempengaruhi daya ledak otot tungkai bila dilihat lebih mendalam
potensi daya ledak seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor ekternal
(Berger, 1982).
a. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh atlet sendiri
diantaranya: jenis kelamin, berat badan, panjang anggota gerak atas, kebugaran
fisik, umur, menunjukkan tingkat kemapinggang yang dikaitkan dengan
pengalaman. Perbedaan dan penambahan umur sangat menentukan kekuatan otot,
selain itu dimensi anatomis dan diameter otot (Iskandar, 2011).
Tenaga mencapai puncak pada umur 20 tahun (Sharkey, 2003). Adapun
beberapa faktor internal yaitu:
27
1. Jenis Kelamin.
Secara biologis laki-laki dan wanita akan berbeda kekuatan dan kecepatan
karena adanya hormone testosterone pada laki-laki dan wanita. Perbedaan terjadi
sangat mencolok setelah mengalami pubertas karena adanya perbedaan proporsi
dan besar otot dalam tubuh. Pada umur 18 tahun ke atas laki-laki mempunyai
kekuatan dua kali lebih besar daripada wanita (Powers dan Howleys, 2004).
2. Berat Badan
Berat badan menentukan penampilan. Persen lemak adalah presentasi
keseluruhan berat badan yang berlemak. Berat badan seseorang menyebabkan
pembesaran massa otot dan juga akan meningkatkan kekuatan. Makin tebal otot
makin kuat otot tersebut. Sehingga tebal otot mempengaruhi berat badan.
Kekuatan otot erat kaitannya dengan berat badan. Semakin berat badan seseorang
karena otot makin tebal maka kekuatan akan bertambah. Tetapi otot kuat belum
menjamin akan mempunyai daya ledak tinggi tetapi dengan memiliki otot kuat
merupakan modal utama untuk dapat meraih daya ledak yang tinggi.
3. Tinggi badan
Tinggi badan adalah jarak dari alas kaki sampai titik tertinggi pada posisi
kepala dalam posisi berdiri. Tinggi badan yang lebih tinggi dapat menpengaruhi
pertumbuhan organ tubuh lainnya yaitu panjang lengan dan panjang tungkai
(Hadi, 2005)
4. Kesegaran jasmani
Kesegaran jasmani seseorang, merupakan salah satu parameter dalam
memberikan pembebanan pelatihan, karena tingkat kesegaran jasmani yang
28
kurang dapat mengakibatkan kelelahan sehingga tidak dapat melakukan pelatihan
secara maksimal. Semakin baik kapasitas aerobik sesorang akan makin baik pula
kebugaran fisiknya (Sajoto, 2002).
Kebugaran fisik dapat diukur melalui lari 2,4 km diukur menggunakan
stopwatch, yang dinyatakan dalam waktu tempuh, satuan menit dengan ketelitian
0,01 menit. Penilaian kebugaran fisik berdasarkan umur dan jenis kelamin dalam
tabel (Sajoto, 2002).
b. Faktor Eskternal
1. Suhu lingkungan
Suhu lingkungan yang panas akan berpengaruh terhadap aktivitas kerja
otot karena akan mempercepat terjadinya pengeluaran keringat. Sebagaian dari
volume darah akan dibawa kekulit untuk mengkompensasi kelebihan panas. Hal
ini berarti bahwa telah terjadi kekurangan kerja otot didalam melakukan pelatihan.
Begitu juga sebaliknya, pada suhu lingkungan yang dingin tubuh akan bereaksi
untuk mengimbangi kosentrasi panas tubuh dengan reaksi menggigil, gerakan
mengigil memerlukan energi tambahan (Nugroho, 2012).
2. Kelembaban relatif
Kelembaban relatif menentukan proses pelatihan karena perbandingan
udara basah dan kering sangat menentukan kenyamanan dalam pelatihan. Apabila
kelembaban udara cukup tinggi atau diatas 90%, maka akan sangat mempengaruhi
kesanggupan pengeluaran panas tubuh akibat aktivitas pelatihan melalui
evaporasi. Apabila kelembaban udara dibawah 80%, maka akan mempengaruhi
keseimbangan panas tubuh, metabolisme meningkat akibat aktivitas tubuh untuk
29
mengimbangi suhu dingin sehingga tubuh mengeluarkan energi yang lebih besar
untuk menyesuaikan suhu tubuh dan suhu lingkungan. Kelembaban relatif
Indonesia berkisar antara 70-80% (Nugroho, 2012).
2.5
Pengertian Bola Voli
Olahraga
bola
voli
pada
dasarnya
merupakan
permainan
yang
menyenangkan dan biasa dijadikan rekreasi di waktu jenuh setelah melakukan
aktivitas. Perkembangan bolavoli sangat cepat seiring dengan perkembangan
olahraga sehingga bola voli tidak hanya untuk rekreasi dan untuk mengisi waktu
luang tetapi berkembang sebagai suatu profesi dan menuntut prestasi tinggi.
Menurut Sugiyono (2008), Permainan bola voli merupakan cabang
olahraga beregu yang dimainkan oleh enam orang setiap team. Permainan ini akan
berjalan dengan baik apabila setiap pemain minimal telah menguasai teknik dasar
bermain bola voli.
Dalam peraturan PBVSI (2005), bola voli adalah olahraga yang dimainkan
oleh dua team dalam satu lapangan yang dipisahkan oleh sebuah net. Terdapat
versi yang berbeda tentang jumlah pemain, jenis/ukuran lapangan, angka
kemenangan yang digunakan, untuk keperluan tertentu. Namun pada hakikatnya
permainan bola voli bermaksud menyebarluaskan kemahiran bermain kepada
setiap orang yang meminatinya.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa permainan bola voli
adalah permainan yang dimainkan oleh enam orang tiap team dan dilakukan di
lapangan yang bentuknya persegi panjang, ditengahnya dibatasi net yang
fungsinya untuk memisahkan pemain antar team. Teknik dasar sangat besar
30
pengaruhnya terhadap permainan ini, baik dan jeleknya permainan tergantung
penguasaan teknik dasar pemain dan penegakan peraturan permainan oleh wasit.
2.6
Analisis Biomekanik Smash Pada Bola Voli
Smash merupakan teknik yang menjadi andalan untuk menyerang agar
mendapatkan poin. Saat melakukan smash kekuatan dan power otot sangat
menentukan keberhasilan melakuan smash. Menurut Fadiel (2011), adapun
langkah-langkah teknik smash sebagai berikut:
2.6.1
Tolakan
Pada tahap tolakan ini, kaki berikutnya dilangkahkan hingga kedua telapak
kaki hampir sejajar dan salah satu kaki agak ke depan sedikit untuk mengerem
gerak ke depan, dan sebagai persiapan meloncat ke arah vertikal. Kedua lengan
diayun ke belakang atas sebatas kemampuan berupa gerak rotasi bahu. Bersamaan
dengan gerakan ini, kaki ditekuk sehingga lutut membentuk sudut kurang lebih
110º yang merupakan sudut yang efektif untuk menolak karena dengan sudut
tarikan otot yang besar akan menghasilkan gaya besar, terlebih karena sudut ini
bekerja pada sendi lutut yang mempunyai sistem katrol anatomik pada sendi lutut
yang bersifat ellipsoidea rangkap (sendi bujur telur). Setelah itu badan siap untuk
meloncat dengan berat badan lebih banyak bertumpu pada kaki yang depan.
Gerakan ini merupakan gerak fleksi tungkai bawah (flexi genu) yang melibatkan
otot hamstring dan gerak dorsoflexi yang melibatkan otot tibialis anterio untuk
persiapan menolak.
31
Tahap menolak secara kontinu dilanjutkan gerakan meloncat dengan tumit
dan jari kaki menghentak tanah. Gerakan ini merupakan gerak ekstensi tungkai
bawah (ekstensi genu) yang melibatkan otot quadricep feimoris dan gerakan
plantarflexi yang melibatkan otot gastrocnemius. Sambil meloncat kedua lengan
diayunkan ke depan atas yang merupakan gerak rotasi bahu ke atas (anteflexi)
pada sendi bahu yang bersifat globoidea (sendi peluru) dengan melibatkan otot
deltoideus, otot pectoralis major, otot biceps brachii, dan otot coracobrachialis.
Sesaat setelah meloncat ketika tubuh melayang di udara posisi togok membusur
ke belakang, yang merupakan gerak hiperekstensi togok (kayang). Telapak kaki,
pergelangan kaki, panggul, dan togok digerakkan serasi untuk memperoleh
rangkaian gerak yang sempurna agar terwujud gerakan eksplosif dan loncatan
vertikal
2.6.2
Pendaratan
Dalam fase pendaratan, otot-otot tungkai menjadi dominan pula dalam
menahan berat badan. Gerakan selanjutnya setelah memukul bola di atas net
adalah mendarat dengan kedua kaki mengeper dengan menekuk lutut (gerak fleksi
tungkai bawah) yang lentur untuk meredam perkenaan kaki dengan tanah.
Pendaratan dilekukan dengan jari-jari kaki (telapak kaki bagian depan) dan sikap
badan condong ke depan dengan memperlambat gerakan. Perlambatan gerakan
dilakukan untuk memperkecil momentum hingga menjadi nol (berhenti bergerak)
untuk mencegah cedera dalam bentuk kerusakan sendi.
2.7
Analisis Gerak Smash Pada Bola Voli
32
Menurut Fadiel (2011), bentuk serangan dalam permainan bola voli yang
mempunyai ciri-ciri menukik, tajam, dan cepat. Cara melakukannya adalah ;
2.7.1
Awalan
Berdiri dengan salah satu kaki dibelakang sesuai dengan kebiasaan
individu (tergantung smasher normal atau smasher kidal). Langkahkan kaki satu
langkah kedepan (pemain yang baik, dapat mengambil ancang-ancang sebanyak 2
sampai 4 langkah), kedua lengan mulai bergerak kebelakang, berat badan
berangsur-angsur merendah untuk membantu tolakan.
2.7.2
Tolakan
Langkahkan kaki selanjutnya, hingga kedua telapak kaki hampir sejajar
dan salah satu kaki agak kedepan sedikit untuk mengerem gerak kedepan dan
sebagai persiapan meloncat kearah vertical. Ayunkan kedua lengan kebelakang
atas sebatas kemampuan, kaki ditekuk sehingga lutut membuat sudut ±110º,
badan siap untuk meloncat dengan berat badan lebih banyak bertumpu pada kaki
yang didepan.
2.7.3
Meloncat
Mulailah meloncat dengan tumit & jari kaki menghentak lantai dan
mengayunkan kedua lengan kedepan atas saat kedua kaki mendorong naik keatas.
Telapak kaki, pergelangan pinggang, pinggul dan batang tubuh digerakkan serasi
merupakan rangkaian gerak yang sempurna. Gerakan eksplosif dan loncatan
vertikal.
2.7.4
Memukul Bola
33
Jarak bola didepan atas sejangkauan lengan pemukul, segera lecutkan
lengan kebelakang kepala dan dengan cepat lecutkan kedepan sejangkauan lengan
terpanjang dan tertinggi terhadap bola. Pukul bola secepat dan setinggi mungkin,
perkenaan bola dengan telapak pinggang tepat diatas tengah bola bagian atas.
Pergelangan pinggang aktif menghentak kedepan dengan telapak pinggang dan
jari menutup bola. Setelah perkenaan bola lengan pemukul membuat gerakan
lanjutan kearah garis tengah badan dengan diikuti gerak tubuh membungkuk.
Gerak lecutan lengan, telapak pinggang, badan, pinggang yang tidak memukul
dan kaki harus harmonis dan eksplosif untuk menjaga keseimbangan saat berada
diudara. Pukulan yang benar akan menghasilkan bola keras dan cepat turun
kelantai
2.7.5 Mendarat
Mendarat dengan kedua kaki mengeper. Lutut lentur saat mendarat untuk
meredam perkenaan kaki dengan lantai, mendarat dengan jari-jari kaki (telapak
kaki bagian depan) dan sikap badan condong kedepan. Usahakan tempat mendarat
kedua kaki hampir sama dengan tempat saat meloncat.
Gambar 2.2 Analisis gerakan smash
2.8
Struktur Otot Tungkai
34
Menurut Husada (2011), Struktur otot tungkai dibagi menjadi dua bagian,
yaitu struktur otot tungkai atas dan struktur otot tungkai bawah.
2.8.1 Struktur Otot Tungkai Atas
1. Muskulus Sartorius, otot penjahit. Bentuknya panjang seperti pita,
terdapat dbagian paha depan dan melintang ke bagian bawah lutut.
Berfungsi memutar tungkai ke luar pada waktu lutu menekuk serta
membantu gerakan fleksi femur dan membengkokkan keluar.
2. Muskulus Iliopsoas, otot ini terletak pada pangkal paha fungsinya
untuk membantu fleksi femur dan badan jika paha terfiksasi.
3. Muskulus Quadriceps femoris, terdiri dari empat otot yaitu otot Rectur
femoris, otot Vastus lateralis, otot Vastus medialis, otot Vastus
intermedius. Otot ini terletak di bagian depan paha yang melintang
dari pangkal paha sampai menyebar ke sisi luar dan tengah lutut. Otot
ini berfungsi meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut.
4. Muskulus Hamstring, terdiri dari tiga otot besar yaitu otot biceps
femoris, semitendinosus dan semimembranosus. Otot ini terletak di
bagian belakang paha yang memanjang mulai dari pinggul hingga
lutut belakang. Otot ini berfungsi untuk menekuk lutut.
2.8.2
Struktur Otot Tungkai Bawah
1. Muskulus Tibialis anterior, otot ini melintang dari luar lutut sampai
pangkal kaki bagian dalam. Berfungsi mengangkat kaki ke arah atas.
35
2. Muskulus Peroneus tertius, otot ini terletak disisi luar tungkai bawah,
melintang dari lutut bagian luar hingga kaki tengah bagian luar.
Berufungsi menarik kaki keluar.
3. Muskulus Extensor hallucis longus, terletak pada pangkal kaki dan
berujung pada jari kaki pertama. Otot ini berfungsi mengangkat jari
kaki khususnya jari kaki pertama (jempol)
4. Muskulus Extensor digitorum brevis, terlektak pada pangkal kaki dan
menyebar ke jari kedua hingga jari keempat. Berfungsi mengangkat
jari-jari kaki kedua hingga keempat.
5. Muskulus Gastrocnemius, otot besar ini terletak di bagian belakang
tungkai bawah. Otot terlihat seperti terdiri dari dua belahan otot yang
melintang dari luar dan dalam lutut belakang dan menjadi satu berujung
pada ujung tumit. Otot ini terdapat tendon besar yang disebut tendon
achiles. Pada bagian dalam otot ini terdapat otot kecil yaitu otot soleus.
Otot soleus dan gastrocnemius bersama-sama berfungsi untuk menarik
kaki kearah bawah atau belakang.
36
Gambar 2.3 Otot tungkai atas dan bawah
2.9
Pengukuran Daya Ledak Otot Tungkai
Salah satu cara untuk mengetahui kekuatan otot tungkai adalah dengan
mengukur tinggi loncat vertikal atau vertical jump seseorang. Vertical jump test
biasanya dilakukan sebagai bagian dari tes kebugaran jasmani (Anonim, 2012).
Untuk mengukur vertical jump dengan mudah dan akhurat kita dapat
menggunakan sebuah alat yaitu Jump MD, dapat dilihat pada gambar 2.3.
Adapun ketentuan dan penggunaannya adalah sebagai berikut:
1. Pasanglah belt di pinggang subjek, pastikan supaya alat telah terpasang
dengan erat. Perintahkan subjek untuk berdiri di atas rubber plate dengan
tegak. Putarlah punggung tali yang ada pada alat, pastikan agar tali tidak
kendor.
2. Tekan tombol ON/C untuk menyalakan alat. Perintahkan kepada subjek
untuk melakukan vertical jump. Dengan cara menekuk lutut dengan sudut
37
90o lalu loncat setinggi-tingginya,
tekan tombol SET untuk menyimpan
nilai yang pertama, display akan menunjukkan nilai “0”.
3. Perintahkan agar subjek kembali berdiri di atas rubber plate dengan tegak.
Putar kembali penggulung tali agar tali kembali tegang. Perintahkan agar
subjek melakukan vertical jump sekali lagi. Setelah 5 detik, display akan
menunjukkan nilai vertical jump terbaik dari 3 kali tes yang dilakukan.
4. Untuk mengatur subjek berikutnya, tekan
tombol
ON/C
untuk
mengembalikan display ke “0”. Vertical jump diukur dalam satuan
centimeter (cm).
Belt
rubber plate
Gambar 2.4 Jump MD
38
TABEL 2.1
Kriteria Vertical Jump pada Perempuan (cm)
(Purba, 2014)
Norma
Baik
Sekali
Baik
Cukup
Kurang
Kurang
sekali
2.10
13 tahun
14 tahun
Usia
15 tahun 16 tahun
40,64
40,64
43,18
43,18
43,18
>18
tahun
35,56
35,56
30,48
25,4
10,16
35,56
30,48
25,4
10,16
38,1
33,02
20,32
7,62
38,1
33,02
20,32
7,62
38,1
3302
20.32
7.62
33,02
25,4
15,24
5,08
17 tahun
Pelatihan Jinjit Dengan Empat Kg di Pinggang
Pelatihan jinjit merupakan kontraksi dari otot kaki dengan bertumpu pada
ujung kaki atau telapak kaki depan di dukung dengan perluasan persendian
pergelangan kaki. Gerakan-gerakan ini memberikan rangsangan kekuatan pada
tungkai sehingga cepat sekali melelahkan otot kaki. Dalam latihan jinjit terjadi
proses kontraksi pada otot-otot tungkai yaitu otot gastroknemius dan soleus.
Pelatihan ini akan di modifikasi dengan menggunakan beban di pinggang
(Novitasari, 2013). Hal ini, juga tidak akan mengganggu otot tungkai dalam
melakukan kontraksi saat jinjit. Adapun ketentuan pelatihan jinjit yang diinginkan
sebagai berikut:
1. Subjek berdiri tegap dengan papan kayu setinggi 10 cm di ujung kaki
2. Subjek memegang beban di pinggang sejumlah empat kg
3. Angkat tumit setinggi mungkin.
39
Beban diletakkan di pinggang karena pusat dari gravitasi pada tubuh saat
berdiri. Dimana dari pusat gravitasi tersebut berat pada tubuh akan jatuh ke bawah
tepat pada sisi samping kaki sehingga dapat memberikan beban pada kaki saat
melakukan latihan, dapat dilihat pada gambar 2.5. Pusat gravitasi (center of
gravity) merupakan titik gravitasi yang terdapat pada semua benda baik benda
hidup maupun mati, titik pusat gravitasi terdapat pada titik tengah benda tersebut.
Fungsi dari center of gravity adalah untuk mendistribusikan massa benda secara
merata, pada manusia beban tubuh selalu ditopang oleh titik ini (Huxam, 2005).
COG
Gambar 2.5 Pusat Gravitasi
Menurut Sudarsono (2011), beban dapat diketahui dengan cara
menghitung beban maksimum yang dapat diangkat satu kali melewati sebuah
lingkup gerak sendi disebut dengan satu RM (repetition maximum). Satu RM juga
40
berguna mendorong perasaan subyek untuk menyelesaikan latihan seperti adanya
keinginan untuk melihat hasil dari maksimum satu kali beban yang dapat
diangkat. Cara menghitung satu RM dapat menggunakan rumus:
Keterangan:
A : Beban yang diberikan kepada subjek
B : Presentasi dari diagram Holten berdasarkan jumlah repitisi gerakan yang telah
dilakukan subjek
Gambar 2.6 Diagram Holten
Beban empat kg didapat dari perhitungan pendahuluan yang dilakukan
oleh salah satu subjek penelitian. Subjek diminta untuk melakukan jinjit
semampunya dengan beban di pinggang delapan kg (masing-masing pinggang
empat kg). Subjek dapat melakukan jinjit sebanyak 16 repitisi. Dari diagram
41
Holten, dapat ditarik garis dari sisi repetisi 16 ke arah kiri, didapatkan angka 75%.
Sehingga didapatkan perhitungan nilai satu RM adalah sebagai berikut:
Untuk mendapatkan beban latihan, dari beban maksimum 10,66 kg diambil 40%
didapatkan hasil empat kg.
2.11
Sistem Energi Latihan
Energi didefinisikan sebagai kapasitas atau kemampuan untuk melakukan
pekerjaan. Kerja kita artikan sebagai penerapan tenaga sehingga tenaga dan kerja
tidak dapat dipisahkan (Foss dan Keteyian, 1998). Energi diperoleh dari
pemecahan glukosa.
Karbohidrat glukosa merupakan karbohidrat terpenting
dalam kaitannya dengan penyediaan energi di dalam tubuh. Hal ini disebabkan
karena semua jenis karbohidrat baik, monosakarida, disakarida maupun
polisakarida yang dikonsumsi oleh manusia akan terkonversi menjadi glukosa di
dalam hati. Banyak energi yang digunakan untuk kerja otot tergantung pada
intensitas, densitas, frekuensi, dam jenis latihan. Energi yang diperlukan untuk
suatu kegiatan 42 atau kontarsi otot tidak dapat diserap langsung dari makanan
yang kita makan, akan tetapi melalui proses oksidasi yang terjadi di dalam sel-sel
tubuh, karbohidrat ataupun lemak kemudian akan digunakan untuk mensint esis
molekul ATP (adenosine triphosphate) yang merupakan molekul-molekul dasar
42
penghasil energi di dalam tubuh. ATP terdiri dari satu molekul adenosine dan tiga
molekul phosphate. Energi dibutuhkan untuk kontraksi otot diperoleh dari
pembebasan dengan merubah ATP menjadi ADP + Pi (Bompa, 2005). Persediaan
ATP dalam sel otot sangat terbatas, walaupun begitu suplai ATP harus secara
berkesinambungan diganti lagi untuk memudahkan aktivitas fisik secara
berkelanjutan.
Jumlah ATP yang terdapat dalam otot, bahkan didalam otot seorang atlet
yang berlatih baik, hanya cukup untuk mempertahankan daya tahan otot yang
maksimal yang baru terus menerus dibentuk (Guyton dan Hall 2008). ATP
diperlukan untuk menyediakan energi kontraksi otot dan daur cross bridge selama
kontraksi. Pemecahan ATP yang disebabkan oleh enzim ATPase akan
menghasilkan sejumlah energi, dimana energi tersebut akan memberikan
kesempatan pada cross bridge yang merupakan kepala dari filamen miosin untuk
berputar dan membentuk sudut baru dimana sebelumnya pada fase eksitasi cross
bridge saling tertarik dengan filamen aktin, sehingga filamen aktin akan meluncur
melewati filamen miosin mengakibatkan kedua filamen tersebut saling tumpangtindih dan terjadilah kontraksi otot.
Tanpa ATP filamen aktin tidak akan bisa meluncur melewati filamen
miosin. Tetapi persedian ATP di dalam otot hanya sedikit, cukup untuk kontraksi
maksimal otot yang berlangsung dalam satu detik. Untungnya tubuh mampu
mengisi/melengkapi ATP hampir secepat waktu yang dibutuhkan untuk
memecahkannya. Pengisian ATP ini terjadi apabila cadangan molekul bahan
bakar seperti karbohidrat dan lemak dipecah untuk menyediakan energi bebas
43
yang dapat dipergunakan bersama-sama ADP dan Pi untuk membentuk ATP
(Hairy, Junusul,1989). ATP senantiasa digunakan setiap kali otot berkontraksi,
oleh karena itu ATP harus selalu tersedia. Sedangkan untuk menyediakan ATP
saja diperlukan energi. Untuk itu tiga macam proses menghasilkan ATP (Hairy,
Junusul, 1989):
1. ATP-PC atau sistem fosfagen
Dalam sistem ini energi untuk resintesis ATP berasal dari hanya satu
persenyawaan creatin phosphate (PC). Creatin phosphate akan dipecah yang
akan menghasilkan energi untuk mensintesis ADP + P menjadi ATP dan
selanjutnya ATP akan dipecah lagi menjadi ADP +P yang akan menyebabkan
pelepasan energi yang akan digunakan untuk kontraksi otot. Menurut David
(1984) sistem ini sangat penting ketika melakukan latihan yang berat, seperti
larisprint dan angkat berat.
2. Glikolisis anaerobik atau sistem asam laktat (LA)
Penyediaan ATP berasal dari glukosa atau glikogen. Sistem ini dilakukan
dengan memecahkan glukosa atau glikogen yang disimpan dalam sel otot dan
hati. Sistem ini akan melepaskan energi untuk meresintesi ADP + P menjadi
ATP. Selama glikolisis anaerobik hanya beberapa mol ATP yang dapat
diresintesis dari glikogen, jika dibandingkan dengan adanya oksigen. Melalui
proses glikolisis ini 4 buah molekul ATP akan dihasilkan serta pada awal
tahapan prosesnya akan mengkonsumsi 2 buah molekul ATP sehingga total 2
buah ATP akan dapat terbentuk.
3. Sistem aerobik (O2).
44
Bila suplai oksigen berlimpah dan otot tidak bekerja berat, maka
pemecahan glikogen atau glukosa dimulai dengan cara yang sama pada
glikolisis anaerobik. Bagaimanapun juga, dalam kondisi aerobik molekul
asam piruvat tidak dikonversi menjadi asam laktat, tetai melewati
sarkoplasma masuk ke mitokondria, tempat rangkaian reaksi pemecahan. Di
dalam mitokondria asam piruvat hasil proses glikolisis akan teroksidasi
menjadi produk akhir berupa H2O dan CO2 di dalam tahapan proses yang
dinamakan respirasi selular (Cellular respiration). Proses respirasi selular ini
terbagi menjadi 3 tahap utama yaitu produksi Acetyl-CoA, proses oksidasi
Acetyl-CoA dalam siklus asam sitrat (Citric-Acid Cycle) serta Rantai
Transpor Elektron (Electron Transfer Chain/Oxidative Phosphorylation).
Sistem aerobik memerlukan kira-kira dua menit untuk memulai memproduksi
energi dalam meresintesis ATP dari ADP + P. Sistem aerobik memecahkan
glikogen berdasarkan hadirnya oksigen, sehingga denyut jantung dan
pernapasan harus ditingkatkan secara memadai untuk membawa sejumlah
oksigen yang dibutuhkan sel otot. Sistem aerobik merupakan sumbr energi
utama untuk aktivitas olahraga yang berjangka waktu 2 menit sampai 2-3
jam. Aktivitas yang lebih dari 3 jam akan mengakibatkan pemecahan lemak
dan protein untuk menggantikan cadangan glikogen yang mendekati habis.
Secara umum proses metabolisme secara aerobik akan mampu untuk
menghasilkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan proses secara
anaerobik. Dalam proses metabolisme secara aerobik, ATP akan terbentuk
sebanyak 36 buah sedangkan proses anaerobik hanya akan menghasilkan dua
45
buah ATP. Ikatan yang terdapat dalam molekul ATP ini akan mampu untuk
menghasilkan energi sebesar 7,3 kilokalori per-molnya. Kebanyakan cabang
olahraga dalam kaitannya dengan penggunaan sistem energi sering secara
kombinasi. Kegiatan fisik dalam waktu singkat dan eksplosif sebagian besar
energi diperoleh dari sistem energi anaerobik (ATP-PC dan LA). Sedangkan
kegiatan fisik dalam jangka waktu yang lama, energinya dicukupi dari sistem
aerobik.
Tabel 2.2
Karakteristik Sistem Energi (Fox, Bower, dan Foss, 1993)
Sistem ATV-PC
1. Anaerobik (tanpa
oksigen)
2. Sangat cepat
3. Bahanbakar dari
PC
4. Produksi ATP
sangat terbatas
5. Dengan simpanan
otot yang terbatas
6. Menggunakan
aktivitas lari cepat
atau berbagi
power yang tinggi
dengan aktivitas
pendek
Sistem Asam Laktat (LA)
1. Anaerobik
2. Cepat
3. Bahan bakar dari
glikogen
4. Produksi ATP
terbatas
5. Dengan
memproduksi
asam laktak,
menyebabkan
kelelahan otot
6. Menggunakan
aktivitas dengan
durasi antara 1-3
menit
Sistem Oksigen (O2)
1. Aerobik
2. Lambat
3. Bahanbakar dari
glikogen
4. Produksi ATP
bukan tak terbatas
5. Dengan
memproduksi
kembali, tidak
melelahkan
6. Menggunakan
dayatahan atau
aktivitas dengan
durasi yang
panjang
Pemahaman setiap pelatihan olahraga dalam menggunakan sistem energi
sangat diperlukan. Menurut Nala, (2011) bahwa dalam dunia olahraga
kebanyakan atlet menggunakan kedua sistem tersebut baik aerobik maupun
46
anaerobik. Penelitian ini tentang pelatihan jinjit dengan beban dipinggang yang
menekankan pada perbedaan jumlah set dan repetisi (pengulangan). Pengulangan
yang tinggi menurut Nala, (2011) akan menjadikan suatu pelatihan sangat efektif
dan sangat baik dalam mengembangkan tipe serabut otot putih yang sangat
diperlukan dalam daya ledak eksplosif.
Download