BAB II LANDASAN TEORI Tingkat suku bunga dan nilai tukar adalah dua variabel ekonomi makro yang sangat menentukan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Untuk mencapai kestabilan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, maka tingkat suku bunga dan nilai tukar harus dapat dipelihara dan dipertahankan pada tingkat tertentu dan tidak berfluktuasi secara tajam. Pertumbuhan ekonomi yang tidak dikelola dengan baik, dapat memiliki siklus pasang surut tertentu yang disebabkan oleh akibat dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Secara teori, pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi tanpa diiringi dengan pertumbuhan produktifitas yang memadai, berpotensi menimbulkan inflasi yang disebabkan peningkatan permintaan (aggregat demand) yang tidak dapat dipenuhi dari segi penawaran (aggregat supply). Peningkatan inflasi akan menekan daya beli masyarakat dan selanjutnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Tingkat suku bunga adalah salah satu instrumen yang digunakan untuk menekan inflasi. Dengan peningkatan suku bunga diharapkan orang akan cenderung menunda konsumsi dengan menabung, sehingga akan menurunkan permintaan barang. Penurunan permintaan dan mahalnya biaya dana akan menyebabkan investasi menurun sehingga pertumbuhan ekonomi akan menjadi melambat. 11 12 Dewasa ini dalam era globalisasi dimana sistem keuangan telah terintegrasi, investor memiliki pilihan dan kesempatan memaksimalkan imbal hasil dananya. Arus keluar masuk modal, barang dan jasa antar negara telah menyebabkan mata uang menjadi komoditi pasar. Nilai tukar suatu mata uang menjadi sangat penting bagi kestabilan perekonomian di suatu negara. Karena itu pemerintah berkewajiban untuk mempertahankan dan memelihara tingkat suku bunga dan nilai tukar untuk mendorong kestabilan dan pertumbuhan ekonomi. Perubahan tingkat suku bunga dan nilai tukar rupiah akan mempengaruhi perekonomian nasional secara umum dan perusahaan pada khususnya. Perbankan adalah perusahaan yang sangat terkait erat dengan perubahan tingkat suku bunga dan nilai tukar rupiah yang disebut sebagai risiko pasar (market risk) bagi perbankan. Sebagai perantara jasa keuangan, yang menentukan nilai uang sebagai barang dagangan adalah tingkat suku bunga. Demikian pula bank yang telah memiliki ijin melakukan transaksi valuta asing dapat memiliki portfolio dalam valuta asing yang rentan terhadap perubahan nilai tukar rupiah. 13 2.1. Tinjauan Teori Tingkat Suku Bunga dan Nilai Tukar Rupiah 2.1.1. Tingkat Suku Bunga Tingkat suku bunga atau interest adalah harga (price) atau biaya kesempatan (opportunity cost) atas penggunaan dana/uang yang harus dibayar karena daya beli (purchasing power) dana tersebut pada saat sekarang. Umumnya suku bunga menggambarkan prosentasi dari jumlah dana yang digunakan dalam setahun. Bagi pengguna dana atau peminjam (borrower), suku bunga adalah biaya untuk penggunaan dana lebih awal, sedangkan bagi yang meminjamkan dana atau investor, suku bunga adalah pendapatan karena penundaan kesempatan untuk menggunakan dana tersebut. (Kidwell,2005,p86) Peningkatan suku bunga akan menyebabkan penggunaan dana saat ini menjadi lebih mahal dan menjadi pendorong bagi investor untuk menabung, sebaliknya penurunan suku bunga menyebabkan penggunaan dana menjadi lebih murah yang menjadi pendorong bagi peminjam. Faktor fundamental yang menentukan tingkat suku bunga adalah interaksi dari kesempatan dan peluang keuntungan dari investasi/produksi dengan nilai waktu penundaan konsumsi oleh investor. Kegiatan produksi membutuhkan dana yang dapat diperoleh dari investor, tetapi jika hasil produksi dapat menghasilkan lebih besar dari biaya dana, maka terdapat keuntungan yang mendorong untuk berinvestasi 14 pada sektor produksi. Di sisi lain, orang cenderung melakukan konsumsi sekarang daripada masa mendatang, kecuali jika mendapatkan imbalan memadai atas penundaan konsumsi tersebut. Faktor fundamental ini dapat juga diartikan sebagai hukum permintaan (demand) dan penawaran (supply) uang, dimana investor bertindak sebagai yang melakukan penawaran uang sedangkan peminjam dana bertindak sebagai pihak yang melakukan permintaan uang. Dalam keadaan keseimbangan, semakin tinggi permintaan akan uang, maka semakin tinggi suku bunga, dan semakin tinggi penawaran uang maka semakin rendah suku bunga. Suku bunga yang terjadi pada suatu saat tertentu adalah harga yang disepakati pada saat terjadi keseimbangan permintaan dan penawaran. Terdapat dua jenis tingkat suku bunga, yaitu suku bunga nominal dan suku bunga riil, dimana suku bunga nominal adalah suku bunga yang ditentukan secara nominal, sedangkan suku bunga riil adalah suku bunga yang telah memperhitungkan antisipasi tingkat inflasi. Dengan kata lain suku nominal adalah suku bunga riil ditambah dengan tingkat inflasi. Insentif untuk menabung daripada mengkonsumsi biasanya dilakukan orang berdasarkan tingkat suku bunga riil. Dalam keadaan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan terjadi peningkatan permintaan barang dan jasa yang berpotensi meningkatkan inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa. Inflasi akan mendorong kenaikan suku bunga sebagai akibat kompensasi dari berkurangnya daya beli uang. Peningkatan suku bunga cenderung menyebabkan pengurangan pengeluaran untuk investasi dan konsumsi menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat. sehingga Dengan demikian perubahan suku 15 bunga dapat memberikan pengaruh yang sangat penting terhadap investasi, konsumsi dan pertumbuhan ekonomi. Karena adanya hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi, permintaan dan penawaran uang dan tingkat suku bunga, maka faktor-faktor ini harus diseimbangkan sehingga tidak menimbulkan fluktuasi yang besar. Pemerintah suatu negara berusaha untuk mempertahankan kestabilan peningkatan pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan melakukan intervensi dalam menentukan jumlah uang yang beredar dan tingkat suku bunga yang biasanya disebut dengan kebijakan moneter. Kebijakan moneter dilakukan oleh Bank Indonesia, yang mana jika kebijakan kontraksi dilakukan untuk mengurangi jumlah uang beredar, maka BI dapat menjual Surat Berharga Bank Indonesia (SBI) dan menaikkan suku bunga. Sebaliknya jika kebijakan ekspansi dilakukan untuk menambah jumlah uang beredar, maka BI dapat membeli kembali SBI atau membeli Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) dan menurunkan tingkat suku bunga. Suku Bunga SBI 1 bulan umumnya dipakai sebagai indikator tingkat suku bunga bebas risiko yang berlaku di Indonesia. Kenaikan atau penurunan tingkat suku bunga SBI mencerminkan tingkat suku bunga rupiah yang berlaku di pasar. 16 2.1.2. Perubahan Nilai Tukar Rupiah Dalam kehidupan perekonomian global dewasa ini, setiap negara dihadapkan kepada terintegrasinya keuangan dunia melalui arus barang, jasa dan modal yang seakan-akan telah menghilangkan batas-batas wilayah suatu negara. Umumnya setiap negara memiliki mata uang sendiri yang digunakan secara terbatas untuk transaksi dalam wilayah negaranya. Arus barang, jasa dan modal lintas negara menyebabkan pengaruh dan perubahan terhadap nilai tukar mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain. Dalam kaitan dengan perubahan terhadap nilai tukar mata uang terhadap mata uang negara lain, maka suatu negara dapat memilih beberapa jenis sistem nilai tukar, antara lain: a. Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate), dimana nilai tukar mata uang suatu negara di tetapkan berdasarkan nilai dari suatu mata uang tertentu, atau nilai dari kumpulan mata uang tertentu. Biasanya yang dijadikan patokan adalah mata uang negara yang memiliki ekonomi kuat. b. Sistem Nilai Tukar Mengambang (Free Floating Exchange Rate), dimana nilai tukar mata uang berdasarkan mekanisme pasar. c. Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali (Managed Floating Exchange Rate), dimana nilai tukar mata uang dibiarkan sesuai dengan mekanisme pasar, tetapi dipelihara dalam batas-batas/limit tertentu. (Madura,2003,pp 170-176) 17 Penentuan penggunaan suatu sistem mata uang oleh suatu negara, biasanya sangat tergantung pada kebijakan pemerintah yang mempertimbangkan kondisi dan fundamental ekonomi negara tersebut, dengan tujuan akhir untuk mencapai stabilitas dan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Stabilitas nilai tukar merupakan prasyarat mutlak bagi kestabilan dan pertumbuhan perekonomian. Bagi Indonesia stabilitas nilai tukar rupiah merupakan hal yang sangat penting, karena berdasarkan sejarah krisis moneter dan keruntuhan ekonomi di Indonesia yang dimulai Juli 1997 berawal dari fluktuasi nilai rupiah yang tidak terkontrol. UU No. 23 tahun 1999 Pasal 7 tentang Bank Indonesia menyatakan secara tegas mengenai hal ini bahwa tujuan Bank Indonesia adalah memelihara stabilitas nilai tukar rupiah. Berdasarkan UU No. 24 tahun 1999, dinyatakan bahwa Indonesia menganut kebijakan devisa bebas, yang berarti bahwa setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa. Devisa dapat diartikan sebagai aset dan kewajiban finansial yang digunakan dalam transaksi internasional, yang secara sederhana dalam diartikan sebagai mata uang negara lain. Implementasi kebijakan ini adalah setiap penduduk dapat membeli, memiliki dan menjual devisa mentransfer ke segala penjuru dunia. dan Kebijakan devisa bebas yang dianut oleh Indonesia adalah dengan pertimbangan untuk memperlancar lalulintas perdagangan, investasi dan pembayaran luar negeri. Sejak 14 Agustus 1997, sistem nilai tukar yang dianut oleh Indonesia adalah sistem nilai tukar mengambang (free floating exchange rate), yang berarti bahwa nilai 18 tukar rupiah akan terbentuk dan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar atau berdasarkan hukum permintaan dan penawaran di pasar. Indonesia yang menganut sistem devisa bebas dan sistem nilai tukar mengambang, menyebabkan nilai rupiah akan sangat tergantung pada mekanisme pasar. Nilai tukar rupiah pada suatu saat tertentu mencerminkan titik keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Peningkatan permintaan akan rupiah dapat menyebabkan nilai tukar rupiah meningkat (apresiasi) dan sebaliknya peningkatan permintaan akan mata uang negara lain menyebabkan nilai tukar rupiah melemah (depresiasi). Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain adalah sebagai berikut: a. Tingkat inflasi. Peningkatan inflasi di suatu negara relatif terhadap negara lain akan menyebabkan biaya produksi di negara tersebut menjadi mahal, sehingga mendorong import yang menyebabkan kebutuhan mata uang negara lain meningkat, yang akhirnya menurunkan nilai tukar mata uang di negara tersebut. b. Tingkat suku bunga. Peningkatan suku bunga di suatu negara relatif terhadap negara lain akan menyebabkan modal masuk (capital inflow) ke negara tersebut, sehingga mendorong permintaan akan mata uang negara tersebut, sehingga akan meningkatkan nilai tukar mata uang negara tersebut. c. Tingkat Pendapatan. Peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan import yang berarti meningkatkan kebutuhan mata uang negara lain, sehingga akan menurunkan nilai tukar mata uang negara tersebut. 19 d. Kontrol dari Pemerintah. Pemerintah memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mengontrol nilai tukar mata uang, dengan melakukan berbagai kebijakan, antara lain: 1) menerapkan pembatasan nilai tukar mata uang (exchange rate barriers), 2) menerapkan pembatasan perdagangan (foreign trade barriers), 3) melakukan intervensi pembelian dan penjualan mata uang secara langsung di pasar, 4) mempengaruhi variabel-variabel makro seperti tingkat inflasi, tingkat suku bunga dan tingkat pendapatan. e. Ekspetasi Pasar. Umumnya ekspetasi pasar didasarkan atas kemungkinan perubahan tingkat suku bunga dan kondisi ekonomi suatu negara di masa depan. Spekulator dapat memanfaatkan hal ini untuk mengambil posisi yang berakibat langsung pada perubahan nilai tukar. (Madura,2003,pp 111-117) Semua faktor di atas berinteraksi di pasar untuk membentuk nilai tukar suatu mata uang. Pemahaman mengenai keseimbangan nilai tukar suatu mata uang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya tidak menjamin keakuratan peramalan nilai tukar di masa depan. 2.1.3. Hubungan antara Tingkat Suku Bunga dengan Nilai Tukar Rupiah Hubungan antara tingkat suku bunga dengan nilai tukar rupiah dapat dijelaskan dengan menggunakan teori International Fisher Effect (IFE). 20 ef = (1 + ih)/ (1 + if) – 1 dimana: ef = perubahan nilai tukar rupiah ih = tingkat suku bunga rupiah if = tingkat suku bunga USD (US Dollar) Tingkat suku bunga yang yang dimaksud di sini adalah tingkat suku bunga nominal, dengan asumsi bahwa suku bunga riil yang diharapkan adalah sama sehingga perbedaan tingkat suku bunga semata-mata disebabkan perbedaan inflasi, yang berarti adanya perbedaan Disparitas Daya Beli atau Purchasing Power Parity (PPP). Jika tingkat suku bunga rupiah lebih besar dari tingkat suku bunga USD, maka nilai tukar rupiah akan melemah (depresiasi) terhadap USD, sebaliknya jika tingkat suku bunga USD lebih besar dari tingkat suku bunga rupiah maka nilai tukar rupiah akan menguat (apresiasi) terhadap USD. (Madura, 2003, p247). Suku bunga riil biasanya digunakan sebagai instrumen untuk mempengaruhi nilai tukar suatu mata uang. Jika tingkat suku bunga riil suatu negara ditingkatkan, maka diharapkan investor akan tertarik berinvestasi pada mata uang negara tersebut, sehingga permintaan akan mata uang tersebut meningkat yang berdampak pada menguatnya nilai tukar mata uang negara tersebut. Jika tingkat suku bunga riil rupiah lebih tinggi dari tingkat suku bunga USD maka investor akan cenderung menukar USDnya ke nilai rupiah dan menginvestasikan ke instrumen rupiah yang memberikan imbal hasil lebih tinggi. Akibatnya nilai tukar rupiah akan menguat terhadap USD. 21 2.2. Bank 2.2.1. Pengertian Bank Menurut Undang-Undang No.7 tahun 1992 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan, definisi bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. A. Abdurrachman dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan menjelaskan bahwa, “Bank adalah suatu jenis lembaga keuangan yang melaksanakan berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan bendabenda berharga, membiayai usaha perusahaan-perusahaan, dan lain-lain”. Berdasarkan atas fungsinya, Rose (2002,p4) mendefinisikan bank sebagai “intermediasi keuangan dalam menerima dana dari pihak luar dan memberikan pinjaman kepada sejumlah pihak tertentu yang membutuhkan, di samping memberikan pelayanan jasa keuangan lainnya”. Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum bank adalah lembaga intermediasi keuangan, dengan fungsi utama menerima dana dari investor dan memberikan pinjaman kepada yang membutuhkan, serta melakukan pelayanan jasa keuangan lainnya terkait dengan fungsinya sebagai lembaga keuangan. 22 Berdasarkan tujuan operasinya, bank dapat dibagi menjadi 2 yaitu bank komersial (commercial bank) dan bank sentral (central), dimana operasi bank komersial bertujuan untuk memperoleh laba sedangkan operasi bank sentral bertujuan untuk menjaga stabilitas perekonomian makro. Bank komersial di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 berdasarkan cakupan operasionalnya, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank Umum dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sedangkan BPR dibatasi hanya pada intermediasi keuangan saja. Karena keterbatasan ini, umumnya BPR hanya beroperasi pada wilayah terbatas dan memiliki jumlah aset yang relatif kecil dibanding bank umum. Berdasarkan cara pengelolaannya, maka bank dapat dibagi menjadi 2 yaitu bank konvensional dan bank syariah. Perbedaan paling prinsip antara bank yang dikelola dengan prinsip syariah dibanding bank konvensional adalah dalam bank syariah tidak diterapkan sistem bunga, tetapi berdasarkan bagi hasil sesuai dengan ajaran agama islam yang mengharamkan riba (bunga). Berdasarkan besarnya kontribusi terhadap perekonomian nasional dan untuk memperbandingkan kinerja perbankan nasional, maka Bank di Indonesia biasanya digolongkan berdasarkan kepemilikannya, yaitu: a. Bank Pemerintah Pusat. Merupakan bank di mana seluruh sahamnya atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh pemerintah pusat. 23 b. Bank Pemerintah Daerah. Merupakan bank di mana seluruh sahamnya atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh pemerintah daerah. c. Bank Swasta Nasional. Merupakan bank di mana seluruh sahamnya atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh swasta nasional. d. Bank Asing. Merupakan bank yang seluruh sahamnya dimiliki oleh pihak asing yang membuka kantor cabangnya di Indonesia, sedangkan kantor pusatnya berada di luar negeri. e. Bank Campuran. Merupakan bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh pihak asing dan sebagian dimiliki oleh pihak swasta nasional. Berdasarkan perizinan untuk melakukan transaksi dalam mata uang asing, bank dibedakan atas: a. Bank Devisa. Merupakan bank yang menggunakan lebih dari satu jenis mata uang dalam transaksi perbankan. b. Bank Non-Devisa. Merupakan bank yang hanya menggunakan satu jenis mata uang (rupiah) dalam transaksi perbankan 24 2.2.1.1. Bank Sentral Di Indonesia yang berfungsi sebagai bank sentral adalah Bank Indonesia, yang pembentukan, fungsi dan tanggungjawabnya berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2004. Dengan adanya Undangundang ini, maka keberadaan Bank Indonesia terpisah dan independen dari pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya, sehingga diharapkan dapat secara efektif memelihara kestabilan ekonomi makro melalui keputusan dan kebijakan moneter yang obyektif tanpa adanya campur tangan dari pihak manapun. Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, dimana untuk mencapai tujuan ini maka Bank Indonesia memiliki tugas sebagai berikut: a) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan dengan tetap mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Tugas ini dilakukan melalui operasi pasar terbuka, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum (reserve requirements), dan pengaturan kredit atau pembiayaan. b) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Pemberian ijin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, menetapkan penggunaan alat pembayaran, mengatur sistem kliring antar bank, juga memiliki 25 wewenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah, serta mencabut, menarik, dan memusnahkannya. c) Mengatur dan mengawasi bank. Menetapkan ketentuan dalam mengatur perbankan, memberikan ijin usaha suatu bank, mencabut ijin usaha suatu bank, mewajibkan penyampaian laporan terhadap bank, melakukan pemeriksaan bank, dan mengatur perkembangan sistem informasi antar bank. d) Penyampaian informasi dan laporan keuangan berdasarkan atas prinsip transparansi dan akuntabilitas. e) Stabilisator moneter. Memberikan pinjaman dalam keadaan darurat (lender of last resort) kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas karena mismatch pendanaan dengan pinjaman, serta melaksanakan kebijakan moneter melalui berbagai instrumen kebijakan dalam pengendalian moneter. (Kamsir,2001,p17) 2.2.1.2. Bank Komersial Bank komersial didirikan dengan tujuan untuk memperoleh laba. Di dalam melaksanakan fungsinya dan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, Bank Umum memiliki tiga kegiatan pokok, yaitu: 26 a) Penghimpunan dana dari masyarakat, dengan sasaran meminimumkan biaya perolehan dana. b) Alokasi dana atau menanamkan dana yang dikelolanya ke dalam berbagai aset produktif, dengan sasaran memaksimumkan pendapatan bank. c) Pelayanan jasa keuangan seperti jasa lalulintas pembayaran dan jasa nonkeuangan lainnya, dengan sasaran memaksimumkan kepuasan nasabah. Kegiatan utama Bank komersial adalah jasa intermediasi, yang mana penghasilan utama bank diperoleh dari kegiatan intermediasi ini, berupa selisih antara bunga pinjaman (alokasi dana) dengan bunga simpanan (penghimpunan dana). Selain itu bank komersial dapat menyediakan berbagai jasa keuangan dan jasa nonkeuangan lain untuk mendapatkan pendapatan non bunga (fee base income), antara lain dari kegiatan: jasa jual/beli valuta asing, jasa penyimpanan surat berharga, jasa pembayaran/transfer, pemberian garansi, penerbitan L/C dan lain sebagainya. 2.2.2. Kinerja Bank Secara umum, sama seperti perusahaan pada industri lainnya, kinerja bank diukur berdasarkan laporan keuangan yang umum seperti neraca (balance sheet), laporan laba rugi (income statement) dan rasio-rasio keuangan umum lainnya, seperti likuiditas, solvabilitas dan profitabilitas. Selain faktor kuantitatif berdasarkan laporan 27 keuangan yang relatif mudah diukur, kinerja bank ditentukan juga oleh faktor kualitas seperti sistem dan prosedur operasional, kontrol internal, kualitas dan kompetensi manajemen dan good corporate governance. Bank merupakan lembaga intermediasi keuangan yang mengelola risiko dan merupakan lembaga kepercayaan masyarakat, karena itu bank diwajibkan oleh BI untuk mempublikasikan laporan keuangannya yang mencerminkan kondisi, kinerja dan perkembangan bank secara teratur, sebagai salah satu bentuk transparansinya kepada publik. Salah satu sarana publikasi laporan keuangan bank adalah pada website Bank Indonesia (www.bi.go.id). 2.2.2.1. Penjelasan mengenai Laporan Keuangan Bank Laporan keuangan bank dibuat dan disusun berdasarkan Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) No.31 tentang Akuntansi Perbankan, dan PSAK yang terkait, misalnya PSAK No.55 tentang Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai, PSAK No. 54 tentang Restrukturisasi Hutang Piutang Bermasalah, PSAK 16, 17 tentang Aktiva Tetap dan Akuntansi Penyusutan, dan lain sebagainya. Selain itu Bank Indonesia juga menerbitkan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) yang dapat dijadikan referensi bagi bank dalam menyusun laporan keuangannya. 28 Laporan keuangan bank yang dipublikasikan pada website BI terdiri atas 6 laporan, yaitu sebagai berikut: a) Neraca (Balance Sheet) b) Laporan Laba Rugi (Income Statement) c) Komitmen dan Kontinjensi d) Kualitas Aktiva Produktif e) Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) atau Capital Adequacy Ratio (CAR) f) Perhitungan Rasio Keuangan a) Neraca Seperti umumnya neraca perusahaan, maka sisi aset pada bank diurut berdasarkan ukuran kelancaran (likuiditas) suatu aset. Sebagai lembaga perantara keuangan (intermediary), maka sebagian besar sisi aset bank adalah aset yang menghasilkan pendapatan bunga (interest bearing asset) yang biasa juga disebut aktiva produktif, baik berupa investasi pada surat berharga maupun pemberian pinjaman. Pada kondisi ekonomi normal, pinjaman merupakan aset yang paling besar dari suatu bank karena dapat memberikan imbal hasil (return) tertinggi dibandingkan dengan aset lainnya. Bank juga memiliki aset yang tidak menghasilkan pendapatan bunga, antara lain yang digunakan sebagai cadangan primer likuiditas yaitu kas dan Giro Wajib Minimum (reserve requirement) yang ditempatkan sebagai giro pada BI, yang 29 mana besarnya ditentukan oleh BI. Selain itu bank memiliki aktiva tetap (fixed asset) yang digunakan untuk mendukung kegiatan operasionalnya. Umumnya aktiva tetap suatu bank sangat kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan nilai asetnya. Sisi kewajiban diurut berdasarkan jatuh temponya dan menunjukkan struktur dana bank. Umumnya kewajiban terbesar bank adalah dana yang ditempatkan oleh masyarakat yang umumnya disebut sebagai Dana Pihak Ketiga (DPK) baik dalam bentuk giro, tabungan dan deposito, yangmana bank memberikan bunga atas penempatan dana tersebut (interest bearing liabilities). Semakin mudah dana ditarik, maka semakin rendah pula suku bunga yang diberikan oleh bank. Karena itu deposito yang memiliki tanggal jatuh tempo merupakan dana mahal dibandingkan dengan giro atau tabungan, yang dapat ditarik kapan saja. Kadang bank juga memiliki kewajiban dalam bentuk pinjaman dari bank lain, baik yang biasanya bersifat pinjaman jangka pendek, ataupun pinjaman jangka panjang dari penerbitan obligasi. Bank memiliki modal (equity) yang sangat kecil dibandingkan dengan total asetnya, karena itu bank dikatakan memiliki tingkat financial leverage yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan jenis industri lain. Modal bank terdiri dari modal disetor dan hasil akumulasi dari laba operasional. b) Laporan Laba Rugi (Income Statement) Informasi paling penting yang dapat diperoleh dari laporan laba-rugi adalah struktur penerimaan dan biaya bank, selain dapat memberikan gambaran tentang efisiensi operasional bank. 30 Penghasilan utama bank berasal dari selisih (spread) antara bunga yang diterima dari pinjaman/penempatan pada investasi dengan bunga yang dibayarkan kepada investor. Selisih bunga ini sering disebut pendapatan bunga bersih (net interest margin). Selain melakukan intermediasi keuangan, bank juga menyediakan layanan jasa-jasa keuangan lain seperti memperlancar sistem pembayaran, melakukan transaksi valuta asing. Aktivitas ini menyebabkan bank memiliki sumber penghasilan lain yang biasa disebut pendapatan non-bunga (non-interest income) atau yang biasanya disebut fee base income. Pendapatan non-bunga relatif tidak berisiko bagi bank, karena merupakan pendapatan komisi/jasa atas pelayanan bank. Jika dilihat dari sisi biaya, maka biaya yang paling besar bagi bank adalah biaya bunga yang dibayarkan kepada investor. Sebagai bagian dari manajemen risiko kredit, maka bank diwajibkan mencadangkan biaya provisi sebagai cadangan penempatan investasi/pinjaman bermasalah yang disebut juga beban/biaya penghapusan aktiva produktif (provision for loan losses (PLL)), yang ditentukan besarnya berdasarkan kriteria tertentu. Berdasarkan kriteria umum, besarnya biaya ini selain mencerminkan besarnya penempatan investasi/pinjaman juga mencerminkan permasalahan yang ada pada investasi/pinjaman. Semakin buruk kualitas investasi/pinjaman, maka semakin besar pula biaya penghapusan aktiva produktif. Sebagai industri jasa yang memanfaatkan sumber daya manusia untuk menghasilkan pendapatan, administrasi yang cukup besar. maka bank memiliki biaya personalia dan 31 c) Komitmen dan Kontijensi Laporan komitmen dan kontinjensi merupakan laporan yang biasanya tidak ada pada neraca, tetapi umumnya dilampirkan sebagai catatan tambahan dari neraca dan biasanya disebut off-balance sheet. Laporan komitmen dan kontinjensi memiliki pengaruh terhadap kondisi keuangan bank di masa depan. Komitmen adalah ikatan atau kontrak berupa janji yang tidak dapat dibatalkan (irrevocable) secara sepihak dan harus dilaksanakan apabila persyaratan yang disepakati bersama dipenuhi. Komitmen dalam kegiatan usaha bank meliputi antara lain: penerbitan L/C yang tidak dapat dibatalkan (irrevocable L/C), penerbitan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN), Fasilitas kredit diberikan yang belum ditarik, dan fasilitas pinjaman diterima yang belum ditarik. Kontinjensi adalah kondisi atau situasi dengan hasil akhir berupa keuntungan atau kerugian yang baru dapat dikonfirmasi setelah terjadinya satu peristiwa atau lebih pada masa yang akan datang. Kontinjensi dalam kegiatan usaha bank meliputi antara lain: Garansi Bank, Standby L/C, Revocable L/C dan Pendapatan Bunga dalam Penyelesaian. d) Kualitas Aktiva Produktif BI menggolongkan Kualitas Aktiva Produktif ke dalam 5 tingkatan berdasarkan kriteria kuantitatif dan kualitatif, yang jika diurut dari kualitas terbaik adalah sebagai berikut: 1) Lancar (L), 2) Dalam Perhatian Khusus (DPK), 3) Kurang Lancar (KL), 4) Diragukan (D), dan 5 Macet (M). Standar kriteria kuantitatif yang umum digunakan adalah kemampuan peminjam/debitur dalam melakukan pembayaran bunga dan hutang pokok. 32 Semakin buruk kualitas aktiva produktif, maka semakin sedikit pendapatan bunga yang didapat oleh bank karena ketentuan akuntansi yang tidak memperbolehkan pencatatan cadangan bunga secara accrual basis untuk kualitas aktiva produktif mulai dari level 3 ke atas. Semakin buruk kualitas aktiva produktif, maka semakin besar pula kewajiban pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP), sehingga akan menyebabkan biaya penghapusan aktiva produktif (PLL) meningkat. PPAP merupakan cadangan dana bank untuk menghadapi potensi kerugian dari permasalahan aktiva produktif. e) Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) atau Capital Adequacy Ratio (CAR) KPMM merupakan rasio kewajiban penyediaan modal minimum, yang dihitung berdasarkan perbandingan antara 2 komponen yaitu: Modal (equity) dengan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) atau Risk Weighted Asset (RWA). Modal dibedakan berdasarkan Modal Inti dan Modal Pelengkap, sedangkan aset dibobotkan berdasarkan risikonya masing-masing. Rasio KPMM ini sangat penting bagi bank, karena merupakan ukuran modal bank untuk mendukung risiko usahanya, dan karena itu akan dibahas secara terperinci pada sub bab lainnya. f) Perhitungan Rasio Keuangan Rasio keuangan bank digunakan untuk melihat kinerja bank dan membandingkan kinerja bank antara satu bank dengan bank yang lain. Beberapa rasio keuangan bank yang umum digunakan dalam menilai kinerja bank dan yang dipublikasikan 33 adalah bagian dari penilaian kinerja bank berdasarkan metode Capital, Asset, Management, Earning, Liquidity, Sensitifity to Market Risk (CAMELS) yang dapat diukur secara kuantitatif, yaitu antara lain: 1. Rasio Permodalan, yaitu a) CAR (Capital Adequacy Ratio) atau KPMM dan b) Aktiva Tetap terhadap Modal 2. Rasio Aktiva Produktif, yaitu: a) Aktiva produktif Bermasalah, b) Non Performing Loan (NPL), c) PPAP terhadap Aktiva Produktif, d) Pemenuhan PPAP. 3. Rasio Rentabilitas atau Profitabilitas, yaitu: a) ROA, b) ROE, c) NIM, d) BOPO 4. Rasio Likuiditas, yaitu: LDR 5. Rasio Kepatuhan, yaitu: a) pelanggaran BMPK, b) GWM dan c) Posisi Devisa Netto. (Siamat.2001.p91) 2.2.2.2. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank berdasarkan CAMELS Tingkat kesehatan bank merupakan penilaian kinerja bank secara menyeluruh dan komprehensif yang dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan komponen penilaian dan kriteria tertentu. Pada tanggal 12 April 2004, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank mengeluarkan Peraturan BI No. 6/10/PBI/2004 tentang sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum yang dimaksudkan untuk mengetahui 34 kondisi suatu bank secara berkesinambungan dan melakukan tindakan perbaikan untuk menghindari kerugian yang lebih besar bagi semua pihak terkait, terutama bagi masyarakat pengguna jasa bank. Peraturan BI ini memperbaharui sistem penilaian tingkat kesehatan bank yang sebelumnya dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/277/KEP/DIR tanggal 19 Maret 1998. Dasar pertimbangan perubahan dan perbaikan sistem penilaian tingkat kesehatan bank adalah karena pesatnya perkembangan yang terjadi di bidang perbankan yang berpengaruh pada meningkatnya kompleksitas usaha bank dan profil risiko yang dimiliki bank dan perubahan metodologi penilaian kondisi bank berdasarkan standar penerapan secara internasional. Tingkat kesehatan Bank merupakan hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian kuantitatif, dan atau penilaian kualitatif terhadap faktor-faktor permodalan, kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas dan sensitifitas terhadap risiko pasar. Penilaian terhadap faktor-faktor tersebut dilakukan melalui penilaian kuantitatif dan atau kualitatif serta mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari faktor-faktor penilaian serta pengaruh dari faktor lainnya seperti kondisi perbankan dan perekonomian nasional. Bagi perbankan, hasil akhir penilaian tingkat kesehatan bank dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di masa depan sedangkan 35 bagi Bank Indonesia dapat digunakan sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan bank oleh Bank Indonesia. Penilaian tingkat kesehatan bank mencakup penilaian terhadap faktor-faktor CAMELS (Capital, Asset Quality, Management, Earning, Liquidity and Sensitivity to Market Risk) (Kasmir,2004,p49-50 dan PBI No. 6/10/PBI/2004). 2.2.2.3. Manajemen Risiko Bank Secara umum risiko dapat didefinisikan sebagai potensi atau kecenderungan kejadian yang berlanjut yang dapat menyebabkan kerugian di masa depan atau fluktuasi pendapatan di masa depan. Risiko jika dilihat dari sudut pandang teori keuangan adalah ketidakpastian akibat fluktuasi (naik-turunnya) laba perusahaan. Risiko dapat dibedakan menjadi risiko khusus dan risiko sistemik, dimana risiko khusus (spesifik risk) adalah risiko yang dialami oleh industri atau perusahaan tertentu terkait dengan operasionalnya karena suatu kejadian tertentu, sedangkan risiko sistemik (systemic risk) adalah risiko yang dialami oleh seluruh perusahaan atau pasar (market) karena adanya suatu kejadian tertentu. Peranan bank sebagai lembaga perantara dari pihak investor (deposits) kepada peminjam (lender), telah mentransfer risiko-risiko yang mungkin dihadapi oleh kedua pihak tersebut kepada bank. Karena itu bisnis bank sangat terkait dengan pengambilan risiko dan pengelolaan risiko, sehingga diperlukan manajemen risiko 36 yang baik. Manajemen Risiko dapat didefinisikan sebagai serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank. Pada dewasa ini, situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan mengalami perkembangan yang pesat yang secara otomatis akan diikuti oleh semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan usaha perbankan. Dengan semakin kompleksnya risiko tersebut akan meningkatkan kebutuhan pengelolaan risiko secara terukur yang dapat mengurangi kerugian bagi bank sehingga tidak menimbulkan kerugian yang melebihi kemampuan bank atau yang dapat mengganggu kelangsungan usaha bank. Keharusan perbankan Indonesia untuk melakukan manajemen risiko ditetapkan oleh Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003. Manajemen risiko dapat dilakukan secara efektif oleh bank dengan menjalankan sistem tata kelola perusahaan yang sehat (good corporate governance) yang melibatkan partisipasi aktif organisasi dan seluruh karyawan bank dengan melakukan pengelolaan risiko secara sistematis dan menyeluruh terhadap semua kemungkinan risiko yang dihadapi bank, yang mencakup antara lain: • Pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi • Kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit • Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko, dan • Sistem pengendalian intern secara menyeluruh 37 Terkait dengan perubahan dan pergerakan tingkat suku bunga dan nilai tukar rupiah, maka secara langsung bank menghadapi risiko pasar yang didefinisikan sebagai risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh Bank yang dapat merugikan Bank. Yang dimaksud dengan variabel pasar adalah suku bunga dan nilai tukar termasuk derivasi dari kedua jenis risiko pasar tersebut yaitu perubahan harga option. Risiko pasar antara lain terdapat pada aktivitas fungsional Bank seperti kegiatan treasury dan investasi dalam bentuk surat berharga dan pasar uang maupun penyertaan pada lembaga keuangan lainnya, penyediaan dana (pinjaman dan bentuk sejenis) dan kegiatan pendanaan dan penerbitan surat utang, serta kegiatan pembiayaan perdagangan. Dalam bisnis bank di Indonesia, terdapat 2 jenis variabel risiko pasar yaitu: 1. Risiko suku bunga (interest rate risk) adalah potensi kerugian yang timbul akibat pergerakan suku bunga di pasar yang berlawanan dengan posisi atau transaksi bank yang mengandung risiko suku bunga. 2. Risiko nilai tukar (foreign exhange risk) adalah risiko kerugian akibat pergerakan yang berlawanan dari nilai tukar pada saat bank memiliki posisi terbuka. Skala dan kompleksitas operasional dan usaha dari setiap bank yang berbeda menyebabkan penerapan manajemen risiko di setiap bank disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan bank. Semakin baik suatu bank melakukan aktivitas manajemen risiko, maka semakin tinggi kemampuan bank untuk menghadapi risiko dan semakin meningkatkan nilai bank di hadapan masyarakat. 38 2.2.2.4. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) atau Capital Adequacy Ratio (CAR) Bank sebagai lembaga keuangan memiliki tingkat financial leverage yang sangat tinggi, karena rasio aset dibanding modal sangat besar. Risiko-risiko yang sangat tinggi sebagai lembaga perantara menghadapkan bank kepada kemungkinan kerugian yang dapat mengurangi modal bank dan pada akhirnya berakibat pada ketidakmampuan bank untuk menyelesaikan kewajibannya kepada masyarakat dan dapat memberikan pengaruh buruk kepada perekonomian suatu negara. Modal bank merupakan motor penggerak kegiatan usaha bank, sehingga besar kecilnya modal akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan bank untuk melaksanakan kegiatan operasinya. Dengan modal yang kecil maka kapasitas usaha bank menjadi terbatas mengingat modal merupakan proxi daripada kemampuan bank untuk meng-cover risiko-risiko usaha yang dihadapi. Industri perbankan merupakan suatu industri yang bersifat capital intensive, sangat berbeda dengan industri lainnya yang bersifat skill intensive seperti industri teknologi informasi, atau labour intensive seperti pabrik. Merupakan sesuatu yang logis, jika industri perbankan yang bersifat capital intensive membutuhkan modal yang besar, karena bank harus mengelola dana masyarakat dengan segala macam risikonya, sehingga bank tentunya harus memiliki kapasitas dan kemampuan yang memadai untuk menanggung kerugian yang timbul dari risiko-risiko yang muncul. 39 Untuk itu, permodalan bank sebagai buffer dari risiko yang dihadapi bank harus diperkuat dan terus ditingkatkan sejalan dengan besarnya risiko yang dihadapi bank. Dari sisi investor, semakin tinggi rasio financial leverage equity multiplier (Equity Multiplier = asset / equity), berpotensi meningkatkan Return on Equity (ROE). Semua investor/pemilik bank berkeinginan mendapatan imbal hasil yang tinggi dengan nilai investasi/penyertaan saham sekecil mungkin. Sebagai akibat dari semakin kecil modal, maka akan semakin kecil insentif dari pemegang saham untuk mengawasi tindakan manajemen yang berani mengambil risiko secara berlebihan, dengan asumsi logis bahwa lebih besar kemungkinan keuntungan jika sesuatunya berjalan lancar dibandingkan dengan kemungkinan kerugian yang akan dialami. Sebaliknya masyarakat penyimpan dana menginginkan rasio kapital (modal/total aset) yang lebih tinggi untuk melindungi dana masyarakat atas potensi tidak terbayarnya dana yang disimpan ke bank. Demikian pula pemerintah menginginkan rasio kapital yang lebih tinggi untuk melindungi kerugian dana pemerintah (lembaga penjaminan simpanan) dan meyakinkan bahwa sistem pembayaran dapat berjalan dengan lancar. Untuk mengakomodir dua kepentingan tersebut, dari sisi kepentingan investor dan dari sisi kepentingan masyarakat dan pemerintah, maka diperlukan keseimbangan mengenai besarnya modal yang diperlukan oleh lembaga perbankan dalam menjalankan usahanya. Karena itu BI sebagai pengatur perbankan menetapkan besar minimum rasio kecukupan modal yang biasa disebut Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) atau Capital Adequacy Ratio (CAR) untuk mendukung usaha dan operasional bank. 40 Besarnya modal bank sangat penting jika ditinjau dari alasan-alasan sebagai berikut, di antaranya: a) untuk mengantisipasi kerugian di masa depan, b) untuk dapat memenuhi kewajiban pembayaran dana pihak ketiga dan mendukung kelancaran sistem pembayaran, c) memberikan dana jangka panjang untuk untuk investasi jangka panjang dan pertumbuhan aset termasuk akusisi perusahaan lain, d) memberikan kepercayaan kepada masyarakat atau kreditor untuk dana yang tidak masuk dalam skema penjaminan, e) menghindari intervensi pemerintah dengan memenuhi persyaratan modal, f) memberikan kontribusi untuk peringkat kredit yang lebih tinggi sehingga bisa mendapatkan dana dengan biaya yang lebih rendah. Besaran CAR minimum dan metode perhitungan CAR di Indonesia ditentukan dan diatur oleh Bank Indonesia, dimana dalam menentukan Bank Indonesia mengadopsi standard best practice International, the Basel Capital Accord 1988 dan The New Basel Capital Accord yang dilakukan secara bertahap dengan penyesuaian tertentu sesuai kondisi Indonesia. Rumus perhitungan CAR adalah sebagai berikut: CAR = Capital / Risk Weighted Asset (RWA) atau KPMM = Modal / Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) Modal yang dipakai untuk perhitungan CAR menurut PBI No.3/21/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dan PBI No.5/12/PBI/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Market Risk): 41 1. Modal Inti (Tier 1), yang terdiri dari: a. Modal Disetor, yang mana goodwill diperhitungkan sebagai faktor pengurang b. Cadangan Tambahan Modal (disclosed reserve), yang mana faktor-faktornya terdiri dari: agio/disagio, modal sumbangan, cadangan umum modal, cadangan tujuan modal, laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak/rugi tahun lalu, laba tahun berjalan setelah diperhitungkan taksiran pajak sebesar 50%/rugi tahun berjalan, selisih lebih/kurang penjabaran laporan keuangan cabang luar negeri, dana setoran modal, penurunan nilai penyertaan pada portfolio yang tersedia untuk dijual. 2. Modal Pelengkap (Tier 2), yang terdiri dari: a. Cadangan revaluasi aktiva tetap b. Cadangan umum penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) maksimal 1,25% dari aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) c. Modal pinjaman (hybrid/kuasi kapital) d. Pinjaman subordinasi maksimal 50% dari modal inti e. Peningkatan nilai penyertaan pada portfolio yang tersedia untuk dijual maksimal 45%. Modal pelengkap yang diijinkan maksimal hanya sebesar modal inti. 3 Modal Pelengkap Tambahan (Tier 3), yaitu pinjaman subordinasi jangka pendek yang hanya dapat digunakan untuk memperhitungkan risiko pasar yang terdiri risiko bunga (interest risk) dan risiko nilai tukar (foreign exchange risk), dengan persyaratan maksimal sebesar 50% dari modal inti. 42 Pada saat ini perhitungan Risk Weighted Asset (RWA) atau Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) yang berlaku untuk perbankan Indonesia adalah berdasarkan SK.DIR.BI 26/20/KEP/.DIR tanggal 29 Mei 1993 dan SE.BI No.26/1/BPPP tanggal 29 Mei 1993. Pengertian aktiva dalam perhitungan ini mencakup baik aktiva yang tercantum dalam neraca (on-balance sheet) maupun aktiva yang bersifat administratif (off-balance sheet). Terhadap masing-masing jenis aktiva tersebut ditetapkan bobot risiko yang didasarkan pada kadar risiko yang terkandung pada aktiva itu sendiri atau bobot risiko yang didasarkan pada golongan nasabah, penjamin serta sifat agunan. Untuk kredit-kredit yang penarikannya dilakukan secara bertahap, bobot risiko dihitung berdasarkan besarnya penarikan kredit pada tahap yang bersangkutan. Bobot risiko aktiva di mulai dari 0% yang berarti tidak berisiko, misalnya uang tunai, tagihan kepada BI atau pemerintah sampai pada risiko 100% untuk pinjaman dan aktiva tetap. 2.2.3. Hubungan antara Tingkat Suku Bunga dan Perubahan Nilai Tukar Rupiah terhadap Kinerja Bank 2.2.3.1. Hubungan antara Kinerja Bank dengan Tingkat Suku Bunga Pendapatan utama bank berasal dari selisih antara suku bunga yang diberikan kepada peminjam dengan suku bunga yang diberikan kepada deposan. Perubahan 43 tingkat suku bunga secara langsung akan mempengaruhi pendapatan bunga dari bank. Sebagai pengaman, jika terjadi kenaikan suku bunga deposan (liability), maka bank akan menanggapi kenaikan tersebut dengan menaikkan suku bunga aktiva produktifnya (pinjaman), sehingga bank akan tetap dapat mempertahankan selisih bunga bersih (net interest margin). Secara ideal kebijakan ini dapat dilakukan jika tidak ada perbedaan jatuh tempo (maturity gap) antara sisi pendanaan dan aktiva produktif, dan suku bunga pendanaan dan aktiva produktif adalah sama-sama berdasarkan suku bunga mengambang (variable/floating rate). Kenyataan pada praktek adalah sangat sulit bagi bank untuk menyesuaikan jatuh tempo dan jenis suku bunga antara aktiva produktif dan pendanaan. Aktiva produktif bank terdiri dari suku bunga tetap dan suku bunga mengambang dengan jatuh tempo yang berbeda-beda, dan pada sisi lain pendanaan bank juga terdiri dari suku bunga tetap dan suku bunga mengambang dengan jatuh tempo yang juga berbeda-beda. Ketidaksesuaian (mismatch) antara aktiva produktif dan pendanaan baik dari faktor jenis bunga (suku bunga tetap/ mengambang) maupun dari faktor jatuh tempo menyebabkan bank dihadapkan kepada risiko akibat perubahan suku bunga (interest rate risk). Dalam hal suku bunga pendanaan dinaikkan karena perubahan di pasar, sedangkan suku bunga aktiva produktif tidak dinaikkan, maka selisih suku bunga bersih (net interest margin) bank akan turun, yang akan mengurangi laba. Sebaliknya jika suku bunga pendanaan turun, sedangkan suku bunga pada sisi aktiva produktif tidak diturunkan maka selisih suku bunga bersih bank akan naik yang akan meningkatkan laba. Bank yang tidak dapat mengelola dengan baik mismatch jatuh 44 tempo dan jenis suku bunga antara aktiva produktif dan pendanaan, akan memiliki risiko perubahan suku bunga yang besar. Sisi lain dari kenaikan suku bunga adalah potensi aktiva produktif bank menjadi bermasalah, karena peminjam tidak mampu untuk membayar bunga dan pokok pinjaman selain karena suku bunga yang lebih tinggi, juga disebabkan suku bunga yang tinggi dapat menghantam bisnis dan operasional perusahaan. Bank dapat pula memanfaatkan kecenderungan perubahan suku bunga untuk memaksimalkan keuntungannya. Jika suku bunga cenderung naik, maka bank dapat mengantisipasi dengan strategi pendanaan dengan suku bunga tetap, sedangkan penempatan pada aktiva produktif dengan suku bunga mengambang. Sebaliknya jika suku bunga turun, maka bank dapat mengantisipasi dengan strategi pendanaan dengan suku bunga mengambang dan penempatan pada aktiva produktif dengan suku bunga tetap. Jika dianalisis dari kondisi perbankan Indonesia terlihat bahwa secara umum suku bunga pendanaan sebagian besar mengambang, karena penempatan yang dilakukan deposan paling besar dengan jatuh tempo maksimal 1 bulan, sedangkan paling lama adalah deposito 2 tahun dengan jumlah yang tidak berarti. Sedangkan dari sisi aktiva produktif kelihatan bahwa suku bunga pinjaman hampir sebagian besar juga adalah variabel dengan jangka waktu yang lebih panjang minimal 1 tahun. Dalam 3 tahun terakhir, dengan semakin maraknya obligasi yang diterbitkan pemerintah berupa obligasi rekapitalisasi dan Surat Utang Negara dan obligasi sektor swasta serta kecenderungan suku bunga turun, maka beberapa bank telah memiliki portfolio aktiva berupa obligasi dengan suku bunga tetap. Akhir-akhir ini dengan 45 suku bunga yang cenderung meningkat, harga pasar dari obligasi dengan suku bunga tetap menurun secara tajam. 2.2.3.2. Hubungan antara Kinerja Bank dengan Perubahan Nilai Tukar Rupiah Bank yang memiliki izin untuk melakukan transaksi dalam mata uang selain rupiah atau Bank Devisa memiliki risiko langsung terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah. Pengaruh fluktuasi nilai tukar rupiah sangat tergantung kepada komposisi aktiva dan pasiva bank, termasuk komitmen tagihan dan kewajiban. Jika bank memiliki posisi aktiva dan komitmen tagihan yang dalam valuta asing lebih besar dari posisi pasiva dan komitmen kewajiban dalam valuta asing (posisi long atau overbought), maka bank akan memperoleh pendapatan selisih kurs jika nilai tukar rupiah melemah. Sebaliknya pada posisi short atau oversold, bank akan memperoleh kerugian selisih kurs jika nilai tukar rupiah menguat. Selisih antara posisi aktiva dan komitmen tagihan dengan posisi pasiva dan komitmen kewajiban valuta asing bank dinamakan sebagai posisi terbuka (open position) valuta asing bank. Untuk mengamankan posisi bank terhadap fluktuasi nilai tukar, bank dapat mengambil posisi netral (square), dimana posisi terbuka adalah nihil. Dengan tidak adanya posisi terbuka, berarti bank tidak memiliki risiko terhadap perubahan nilai tukar rupiah. 46 Berdasarkan data historis, posisi terbuka ini sangat berbahaya bagi bank. Di dalam negeri dapat dikemukakan contoh Bank Duta yang bangkrut akibat posisi terbuka valuta asing ini. Menyadari hal ini, Bank Indonesia telah mengeluarkan peraturan mengenai pembatasan Posisi Devisa Neto (PDN) atau Net Open Position (NOP) maksimal yang dapat dipelihara oleh bank. Dengan pengaturan ini, maka diharapkan kerugian dibatasi/diminimalkan. bank akibat fluktuasi nilai tukar rupiah dapat Pengaturan mengenai PDN berubah sesuai dengan perkembangan keadaan dan kondisi, dan dapat digunakan sebagai salah satu alat bagi Bank Indonesia untuk membatasi kegiatan spekulasi nilai tukar rupiah. Perubahan nilai tukar rupiah dapat dimanfaatkan oleh bank untuk memaksimalkan keuntungan, dengan melakukan perdagangan valuta asing. Banyak bank memiliki divisi dealing room yang salah satu tugasnya adalah memperdagangkan mata uang untuk mendapatkan keuntungan. Dengan ekspektasi yang benar terhadap pergerakan mata uang, maka bank dapat diuntungkan dengan kegiatan ini, sebaliknya jika ekspektasinya salah maka bank berpotensi untuk rugi. Secara tidak langsung perubahan nilai tukar rupiah juga mempengaruhi pendapatan dan biaya operasional bank. Jika komponen biaya bank lebih banyak terdiri dari mata uang asing, misalnya: biaya sistem informasi teknologi dan biaya layanan nostro, maka jika terjadi depresiasi nilai rupiah akan menyebabkan peningkatan biaya bank. Lebih jauh pengaruh perubahan nilai tukar juga dapat berdampak pada pinjaman bermasalah. Jika terjadi depresiasi rupiah, maka pinjaman bank yang diberikan dalam mata uang asing kepada debitur yang bukan berorientasi ekspor 47 berpotensi untuk macet, karena nominal rupiah dari pinjaman tersebut akan meningkat sedangkan pendapatan debitur dalam rupiah yang semakin kecil nilainya. Bank Devisa yang tidak dapat melakukan manajemen risiko terhadap risiko nilai tukar rupiah, akan terpengaruh kinerjanya dengan adanya fluktuasi nilai tukar rupiah. 2.2.4. Pengaturan dan Pengawasan Bank di Indonesia 2.2.4.1 Standar Pengawasan Internasional Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) yang berpusat di Basel, Swiss didirikan pada akhir tahun 1974 oleh para gubernur bank sentral dari negaranegara industri/maju. Tujuan Basel Committee adalah melakukan kerjasama dan harmonisasi dalam pengawasan perbankan secara internasional. Dengan adanya harmonisasi standar internasional dalam pengaturan dan pengawasan perbankan, diharapkan dapat memperbaiki iklim dan lingkungan operasi bagi bank-bank yang aktif melakukan transaksi internasional, di era globalisasi dengan semakin terintegrasinya sistem finansial dunia. Bank yang dapat melakukan transaksi secara internasional memiliki risiko yang lebih luas dan dapat memberikan risiko kepada pihak lawan transaksinya (counterparty), karena hal-hal yang dijelaskan sebagai berikut: 48 a. Sulitnya pengawasan, karena struktur organisasi yang rumit dan luas jangkauan operasi yang meliputi berbagai yurisdiksi yang berbeda. b. Perbedaan pengaturan dan pengawasan bank antar negara yang digunakan oleh bank sebagai peluang untuk memiliki yurisdiksi yang paling longgar peraturannya, sehingga risiko usahanya menjadi lebih besar. c. Sistem perbankan antar negara yang saling terkait dan semakin terintegrasi menyebabkan krisis perbankan yang cukup signifikan di suatu negara dapat berdampak luas secara internasional atau global. Sepanjang sejarah perbankan dunia, terdapat berbagai negara yang mengalami masalah perbankan dengan kategori signifikan sampai dengan krisis, termasuk negara-negara yang tergolong maju seperti Amerika Serikat (1982 – 1992) dan Kanada (1983 – 1985). Masalah perbankan sebagian besar juga dialami oleh negara berkembang. Penyebab pokoknya adalah besarnya kredit bermasalah serta kondisi dan kebijakan ekonomi makro yang kurang kondusif. Penyebab permasalahan perbankan, bersumber dari 3 faktor penting yang saling terkait, yaitu: 1) kualitas manajemen bank, terutama dalam melakukan manajemen risiko, 2) kondisi dan kebijakan ekonomi makro, dan 3) efektifitas pengawasan bank (Gandapraja, 2004, pp 40-41). Ada 3 produk kesepakatan Basel Committee yang relevan untuk kerja sama dan harmonisasi pengaturan dan pengawasan bank secara internasional dan menyeluruh dewasa ini, yaitu: a. International Convergence of Capital Measurement and Capital Standard, Oktober 1988 (Capital Accord 1988). 49 b. Consultative Document Overview of The New Basel Capital Accord, Januari 2001 (New Basel Capital Accord). c. Core Principles for Effective Banking Supervision, September 1997. a. Capital Accord 1988 Capital Accord 1988 dikenal juga dengan nama Basel Accord I, merupakan kesepakatan dan upaya bersama dari bank-bank sentral di dunia untuk memperkuat permodalan bank di masing-masing negara sedemikian rupa sehingga modal bank dinilai cukup kuat untuk memikul potensi kerugian di masa datang sebagai risiko atas pemberian kreditnya. Hal ini mencakup prinsip, sistem pembobotan, formula dan standar minimum permodalan bank serta target waktu penerapan. Secara prinsip Basel Accord I ini mewajibkan Kewajiban Pembentukan Modal Minimum (KPMM) atau Capital Adequacy Ratio (CAR) yang perhitungannya berdasarkan ketentuan dan pertimbangan yang ada pada dokumen tersebut. Memperhatikan perkembangan risiko dan sistem perbankan, pada tahun 1996 The Basel Committee mengumumkan kesepakatan yang merupakan amandemen terhadap ”The Basel Accord 1988” , dengan memasukkan unsur risiko pasar (market risk) untuk memperhitungkan kecukupan modal minimum bagi bank. Risiko pasar adalah risiko yang ditimbulkan oleh perubahan suku bunga (interest rate) dan nilai tukar (exchange rate) di pasar terhadap aset yang dikelola oleh bank. Sehubungan dengan hal ini, modal pada lapisan ketiga (Tier 3 In Capital) bisa dibentuk, misalnya dengan pinjaman subordinasi jangka pendek yang mengandung klausul dapat diubah 50 menjadi modal, jika bank mengalami kekurangan modal untuk memikul risiko usahanya (Gandapraja, 2004, pp 49-50). b. The New Basel Capital Accord Dalam perkembangannya Basel Accord I dinilai tidak memadai lagi, karena perkembangan yang pesat dalam aktivitas dunia perbankan antara lain pasar keuangan yang semakin dinamis, perkembangan teknologi dan instrumen-instrumen baru di pasar keuangan termasuk transaksi derivatif, semakin meluasnya kegiatan bank dengan dilakukannya pula kegiatan di luar perbankan, seperti aktivitas sekuritas dan asuransi. The New Basel Capital Accord atau yang biasa disebut Basel Accord II mengusulkan penerapan tiga pilar secara bersamaan, yaitu: • Pilar 1 Kecukupan modal minimum (Minimum Capital Requirements) • Pilar 2 Review yang dilakukan oleh pengawasan bank (Supervisory Review) • Pilar 3 Disiplin pasar (Market Dicipline) Basel Accord II menekankan peran dari review pengawasan bank dan disiplin pasar sebagai komponen esensial bagi persyaratan minimum modal bank. Selain itu juga ditegaskan bahwa ketiga pilar tersebut merupakan satu paket yang harus diterapkan secara penuh, karena penerapan yang hanya sebagian tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan (Gandapraja, 2004, pp 53-54). Guna melaksanakan peran pengawasan bank, maka otoritas pengawasan dituntut untuk memiliki dan/atau 51 meningkatkan dasar-dasar pertimbangan, pengetahuan dan praktik terbaik yang berlandaskan prinsip yang sehat dan berhati-hati dalam menilai risiko perbankan. c. The Basel Core Principles The Basel Core Principles merupakan persyaratan minimum bagi pengawasan bank dan diharapkan untuk diadopsi dan diterapkan oleh semua otoritas pengawasan bank secara global di seluruh negara. Lahirnya dokumen ini didasarkan pada pemahaman bahwa kelemahan sistem perbankan di suatu negara dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan di negara tersebut maupun negara lain di seluruh dunia. Konsep dasar yang digunakan dalam mengembangkan The Basel Core Principles antara lain sebagai berikut: a) Tujuan pokok pengawasan bank adalah menjaga kestabilan dan kepercayaan sistem keuangan sedemikian rupa sehingga mengurangi risiko kerugian bagi deposan dan kreditur lainnya. b) Pengawasan bank harus mendorong dan menumbuhkan disiplin pasar dengan mendorong penerapan good governance, serta meningkatkan transparansi dan pengawasan pasar. c) Agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif, pengawasan bank harus memiliki independesi operasional, perangkat, dan wewenang untuk mengumpulkan informasi serta menerapkan hal-hal yang telah diputuskannya. d) Pengawasan bank harus memahami sifat bisnis yang dilakukan bank dan memastikan bahwa kemungkinan risiko yang terjadi pada bank telah dikelola dengan memadai 52 e) Pengawasan bank yang efektif mensyaratkan adanya kemampuan untuk menilai profil risiko bank secara individual dan melakukan alokasi pengawasan bank sesuai dengan tuntutan tersebut. f) Pengawasan bank harus memastikan bahwa bank memiliki sumber daya yang memadai untuk melakukan manajemen risiko, termasuk kecukupan modal, manajemen yang sehat dan sistem kontrol yang efektif, serta data akuntansi . g) Kerja sama yang erat dengan unsur pengawasan bank lainnya sungguh esensial, terutama bila operasi bank yang diawasinya mencakup lintas negara. (Gandapraja, 2004, pp 73-74). 2.2.4.2. Pengaturan dan Pengawasan Bank di Indonesia Berdasarkan UU No.23 tahun 1999 pasal 24 Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan serta kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan Bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam rangka mengatur Bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian. Bank Indonesia (PBI). Pelaksanaan kewenangan ini ditetapkan dengan Peraturan 53 Pengaturan yang dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain dengan: a) Mengatur persyaratan dan tata cara perizinan bagi pendirian suatu bank termasuk jaringan kantornya. Termasuk dalam hal ini seleksi terhadap integritas calon pemilik dan pengurus, kecukupan modal guna mendukung perkembangan dan risiko usaha, profesionalisme manajemen untuk mengelola bank secara sehat dan bertanggung jawab, serta feasibilitas dan prospek usaha yang layak sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi sistem perbankan yang sehat. b) Mengatur segala aspek yang berkaitan dengan usaha bank, yang mencakup pemberian arah dan pedoman bagi bank tentang 1) kegiatan yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh bank, 2) manajemen bank berdasarkan prinsip-prinsip manajemen yang sehat, 3) prinsip-prinsip manajemen risiko yang hati-hati dan dapat diandalkan, dokumentasi dan 4) kewajiban akuntansi untuk yang menyelenggarakan lengkap, akurat, administrasi, dan dapat dipertanggungjawabkan, baik untuk kepentingan manajemen maupun untuk informasi yang diperlukan untuk pengawasan bank, 5) penetapan sanksi terhadap penyimpangan dan pelanggaran terhadap ketetapan dan aturan, 6) hal-hal lain yang dinilai penting dan mengandung risiko yang dapat merugikan masyarakat dan/atau kepentingan sistem perbankan yang sehat. c) Mengatur tentang informasi yang diperlukan bagi otoritas pengawasan bank. Pengaturan-pengaturan yang dilakukan oleh Bank Indonesia diusahakan mengadopsi standar dan perkembangan pengaturan perbankan internasional (Basel Committee) yang disesuaikan dan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kondisi 54 perbankan nasional. Dengan pengaturan tersebut diharapkan perbankan Indonesia pun dapat memiliki standar internasional. Pengawasan bank bertujuan menjaga jatidiri bank sebagai lembaga kepercayaan yang dapat dipercaya masyaratkat. Wujudnya berupa perlindungan maksimal terhadap kepentingan deposan dan kreditur. Pengawasan bank hanya mengizinkan bank yang mampu tampil dengan kinerja sehat untuk masuk atau tetap berada dalam sistem perbankan. Bank yang tidak memenuhi syarat tersebut menjadi sasaran pengawasan bank untuk dibenahi. Bila tidak bisa diperbaiki lagi dan mengganggu kesehatan perbankan, bank itu harus dikeluarkan dari sistem. Pengawasan bank saat ini masih dilakukan oleh Bank Indonesia, tetapi di masa depan akan dialihkan ke Lembaga Pengawasan Sektor Keuangan yang independen untuk memisahkan dari tugas BI yang berfungsi sebagai pengatur (regulasi) keuangan. 2.2.5. Tantangan Perbankan Indonesia di Masa Depan Perbankan nasional di masa depan akan menghadapi banyak tantangan sehubungan dengan regulasi dan komitmen Bank Indonesia untuk memperkuat struktur dan kinerja perbankan, pemberlakuan dan pembatasan skema penjaminan melalui Lembaga Penjaminan Simpanan, dan tantangan umum lainnya yang tekait 55 dengan efisiensi operasional perbankan, perkembangan dan pemanfaatan sistem Informasi Teknologi serta globalisasi. Jika ingin hidup dan terus berkembang bank harus mampu menjawab tantangan tersebut dengan baik. Tidak ada pilihan lain, selain likuidasi jika bank tidak memiliki visi, misi dan strategi untuk menghadapi tantangan tersebut. Bank yang kinerja yang baik saat ini dan memiliki visi, misi, strategi yang fokus di masa depan akan memiliki nilai (value) yang tinggi. 2.2.5.1 Arsitektur Perbankan Indonesia dan Kriteria Bank Jangkar Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa depan oleh API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. API menjadi kebutuhan yang mendesak bagi perbankan Indonesia dalam rangka memperkuat fundamental industri perbankan. Krisis ekonomi tahun 1997 menunjukkan bahwa industri perbankan nasional belum memiliki kelembagaan perbankan yang kokoh yang didukung dengan infrastruktur perbankan yang baik 56 sehingga secara fundamental masih harus diperkuat untuk dapat mengatasi gejolak internal maupun eksternal. Belum kokohnya fundamental perbankan nasional merupakan tantangan bukan hanya bagi industri perbankan secara umum, tetapi juga bagi Bank Indonesia sebagai otoritas pengawasnya. Secara keseluruhan progam API terdiri dari 6 pilar dengan 19 program kegiatan, yang keseluruhannya dimulai pada tahun 2004. Ke-enam pilar tersebut adalah sebagai berikut: 1. Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan. Program-program dalam pilar ini bertujuan untuk memperkuat permodalan bank umum (konventional dam syariah) dalam rangka meningkatkan kemampuan bank mengelola usaha maupun risiko, mengembangkan teknologi informasi, maupun meningkatkan skala usahanya guna mendukung peningkatan kapasitas pertumbuhan kredit perbankan. Dalam waktu sepuluh sampai limabelas tahun ke depan program peningkatan permodalan tersebut diharapkan akan mengarah pada terciptanya struktur perbankan yang lebih optimal, yaitu terdapatnya : • 2 sampai 3 bank yang mengarah kepada bank internasional dengan kapasitas dan kemampuan untuk beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal di atas Rp. 50 triliun; 57 • 3 samapai 5 bank nasional yang memiliki cakupan usaha yang sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp. 10 triliun sampai dengan Rp. 50 triliun; • 30 sampai 50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank. Bank-bank tersebut memilki modal antara Rp. 100 miliar sampai dengan Rp.10 triliun; • Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah Rp. 100 miliar. 2. Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada standar internasional. Program-program dalam pilar ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengaturan serta memenuhi standar pengaturan yang mengacu pada international best practices. Program tersebut dapat dicapai dengan penyempurnaan proses penyusunan kebijakan perbankan serta penerapan 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision. Dari sisi proses penyusunan kebijakan perbankan diharapkan dalam dua tahun ke depan Bank Indonesia telah memiliki sistem penyusunan kebijakan perbankan yang efektif yang telah melibatkan pihak-pihak terkait dalam proses penyusunannya. 3. Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko. 58 Program-program dalam pilar ini bertujuan untuk meningkatkan independensi dan efektivitas pengawasan perbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini dicapai dengan peningkatan koordinasi antar lembaga pengawas, pengembangan pengawasan berbasis risiko, peningkatan efektivitas enforcement, dan konsolidasi organisasi sektor perbankan di Bank Indonesia. Dalam jangka waktu dua tahun kedepan diharapkan fungsi pengawasan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia akan lebih efektif dan sejajar dengan pengawas di negara lain. 4. Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional. Program-program dalam pilar ini bertujuan untuk meningkatkan good corporate governance (GCG), kualitas manajemen risiko dan kemampuan operasional manajemen. Semakin tingginya standar GCG dengan didukung oleh kemampuan operasional (termasuk manajemen risiko) yang handal diharapkan dapat meningkatkan kinerja operasional perbankan. Dalam waktu dua sampai lima tahun ke depan diharapkan kondisi inetrnal perbankan nasional menjadi semakin kuat. 5. Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat. Program-program dalam pilar ini bertujuan untuk mengembangkan sarana pendukung operasional perbankan yang efektif seperti credit bureau, lembaga pemeringkat kredit domestik, dan pengembangan credit bureau akan membantu perbankan dalam meningkatkan kualitas keputusan kreditnya. Penggunaan 59 lembaga pemeringkat kredit dalam public-traded debt yang dimiliki bank akan meningkatkan transparansi dan efektivitas manajemen keuangan perbankan. Sedangkan pemgembangan skim penjaminan kredit akan meningkatkan akses kredit bagi masyarakat. Dalam waktu tiga tahun ke depan diharapkan telah terrsedia infrastruktur pendukung perbankan yang mencukupi. 6. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan. Program-program dalam pilar ini bertujuan untuk memberdayakan nasabah melalui penetapan standar penyusunan mekanisme pengaduan nasabah, pendirian lembaga mediasi independen, peningkatan transparansi informasi produk perbankan dan edukasi bagi nasabah. Dalam waktu dua sampai lima tahun ke depan diharapkan program-program tersebut dapat meningkatkan kepercayaan nasabah pada sistem perbankan Implementasi API berdasarkan ke-enam pilar tersebut yang dapat diperinci menjadi 19 program akan dilaksanakan secara bertahap dimulai pada tahun 2004. Salah satu program API terkait dengan pilar pertama, yang sangat mendapat perhatian perbankan nasional akhir-akhir ini adalah program memperkuat permodalan bank, karena memiliki ukuran obyektif yang jelas dan berdampak besar pada perbankan nasional. Implementasi program ini telah mulai ditindaklanjuti pada awal Juli 2005, dimana BI mengeluarkan sejumlah kebijakan percepatan konsolidasi yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/15/2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum, dimana ditetapkan modal inti minimum bank umum pada 31 Desember 2007 sebesar Rp. 80 miliar. Bagi bank umum yang tidak dapat memenuhi 60 ketentuan ini, maka akan dikenai sanksi berupa pembatasan penyaluran kredit dan pengumpulan dana pihak ketiga serta harus menutup seluruh jaringan kantor yang berada di luar wilayah provinsi kantor pusat bank. Dan selanjutnya pada 31 Desember 2010, modal inti minimum ditingkatkan menjadi Rp. 100 miliar. Selain itu bank harus tetap dapat memenuhi kriteria Bank Berkinerja Baik (BKB) yaitu modal inti di atas Rp. 100 miliar, sehat, rasio kecukupan modal minimum 10%, dan memiliki peringkat tata kelola yang baik. Jika tidak memenuhi kriteria BKB pada tahun 2010, bank akan dipaksa merger, melikuidasi dirinya atau menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sehubungan dengan rencana merger dan akusisi, Bank Indonesia telah mengeluarkan kriteria bank jangkar (anchor bank), yang akan diberi kemudahan dalam melakukan proses merger dan akusisi terhadap bank lain. Kriteria bank jangkar ini telah diumumkan awal Juli 2005, yaitu sebagai berikut: 1. CAR minimal 12%, Modal Inti/ATMR minimal 6% 2. Rasio Return on Asset (ROA) minimal 1,5% 3. Pertumbuhan kredit riil minimum 22% 4. Rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR = Loan to Deposit Ratio) minimal 50 persen 5. Rasio kredit bermasalah (NPL = Non performing Loan) di bawah 5% 6. Harus merupakan perusahaan terbuka (Tbk) atau berencana go public dalam waktu dekat. 7. Memiliki kemampuan menjadi bank konsolidator. 61 Bagi bank yang masih memiliki modal inti di bawah 100 miliar akan terancam kelangsungan operasionalnya. Jika ingin tetap bertahan maka bank harus memiliki rencana strategis ke depan untuk meningkatkan modal inti sampai dengan 80 miliar pada akhir tahun 2007 dan selanjutnya 100 miliar pada akhir tahun 2010. Sebaliknya bagi bank yang memiliki kinerja baik dan memenuhi kriteria bank jangkar, memperoleh kesempatan untuk memperkuat dan memperbesar aset melalui rencana merger dan akusisi. 2.2.5.2. Penjaminan Simpanan Sejak krisis moneter, untuk mencegah semakin memburuknya perekonomian nasional karena ambruknya sistem perbankan yang disebabkan penarikan dana besarbesaran (rush), maka pemerintah memperkenalkan skema penjaminan simpanan. Simpanan masyarakat di bank pada saat itu dan masih berlaku sampai sekarang ini, dijamin melalui skim blanket guarantee yang menjamin keseluruhan dana simpanan masyarakat pada bank. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang dibentuk berdasarkan UndangUndang Nomor 24 tahun 2004, secara resmi mulai beroperasi pada tanggal 22 September 2005. Lembaga ini berfungsi secara khusus untuk melaksanakan program penjaminan disamping menangani penyelamatan bank yang gagal. Dengan keberadaan LPS, maka secara bertahap akan menggantikan skim blanket guarantee 62 yang sangat membebani pemerintah dengan skim penjaminan simpanan yang berlaku secara universal. Jika dalam skim blanket guarantee keseluruhan dana simpanan akan dijamin, maka mulai pada 22 Maret 2006, jumlah simpanan yang dijamin paling tinggi adalah Rp. 5 miliar, dan mulai 22 September 2006, jumlah simpanan yang dijamin paling tinggi adalah Rp. 1 miliar. Selanjutnya mulai 22 Maret 2007 jumlah simpanan yang dijamin paling tinggi adalah Rp. 100 juta untuk setiap deposan di sebuah bank. Pada saat ini penjaminan dilakukan oleh LPS dengan membebankan sejumlah premi penjaminan dari bank, yang pada saat ini adalah sejumlah 0,2% per tahun dari jumlah simpanan pada bank itu. Dengan pemberlakuan ketentuan penjaminan ini, maka masyarakat yang memiliki uang dalam jumlah besar, didorong untuk melakukan penilaian kinerja bank sebelum menempatkan dananya pada bank tersebut. Bank yang memiliki kinerja buruk, akan kesulitan mendapatkan dana masyarakat, dan bank akan berusaha meningkatkan suku bunga sebagai kompensasi kepada masyarakat penyimpan. Pada sisi lain, LPS dapat juga membuat kebijakan untuk pengelolaan risiko, dengan membebankan premi penjaminan yang lebih mahal kepada bank jika tidak memenuhi kriteria kinerja tertentu. Akibatnya adalah biaya dana (cost of fund) bank akan meningkat. Peningkatan biaya dana akan menyebabkan bank kesulitan untuk menjalankan intermediasinya karena dana yang diperoleh lebih mahal dibandingkan dengan bank lain. Akibatnya pinjaman hanya dapat dikucurkan kepada peminjam ber-rating jelek yang mau membayar mahal. Jika tidak dikelola dengan baik, maka potensi kredit 63 bermasalah akan meningkat. Semua hal ini akan menekan profitabilitas bank, dan jika ini terjadi secara terus-menerus, akan menurunkan daya saing bank dan menyebabkan bank di ambang kebangrutan. Hal-hal yang dijelaskan di atas merupakan tantangan bagi bank supaya terus menerus memperbaiki kinerjanya sehingga mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat, dan selanjutnya dapat tetap bertahan dan bertumbuh di tengah kompetisi. 2.2.5.3. Globalisasi, Inovasi Produk dan Pemanfaatan sistem IT Persaingan yang semakin ketat secara global dalam segala bidang, termasuk di industri perbankan sudah di depan mata dan tidak bisa dihindari. Pemanfaatan sistem Komunikasi dan Teknologi Informasi dalam dunia perbankan sudah menembus batas jarak dan waktu, sehingga memungkinkan jasa dan layanan perbankan dunia dapat diakses dengan mudah kapan dan dimanapun. Hanya ada satu pilihan untuk terus tumbuh dan berkembang yaitu menghadapi tantangan kompetisi tersebut. Sangat sulit membendung persaingan bebas hanya dengan cara retorik dengan mengatasnamakan nasionalisme, kesatuan dan persatuan. Bisnis adalah bisnis dimana retorikanya tentu adalah kenyataan akan manfaat dan keuntungan mutualisme dari semua pihak yang terlibat. Posisi perbankan nasional harus diperkuat secara berkelanjutan menuju skala efisiensi dan operasional yang tinggi, inovasi produk yang dapat memenuhi dan memuaskan kebutuhan nasabah yang 64 didukung oleh modal yang cukup dengan memperkuat tiga hal pokok di masa depan yaitu risk based, capital based dan IT based, sehingga tidak ada kekhawatiran jika harus bersaing dengan bank asing. Perkembangan inovasi produk dan jasa perbankan dalam satu dekade terakhir memperlihatkan kemajuan yang sangat pesat. Produk dan jasa yang ditawarkan oleh bank berkembang sejalan dengan keinginan nasabah untuk mendapatkan pelayanan keuangan yang semakin lengkap dan komprehensif dari perbankan. Kecenderungan nasabah untuk melihat sebuah bank sebagai financial supermarket telah mendorong bank untuk terus berinovasi menciptakan dan memasarkan produk-produk keuangan yang lebih bervariasi. Sebagai konsekuensinya bank dituntut untuk menyediakan semua jasa keuangan dalam satu atap sehingga nasabah tidak hanya mendapatkan produk-produk bank saja tetapi juga produk-produk yang disediakan oleh lembaga keuangan lain seperti asuransi dan perusahaan sekuritas. Kondisi tersebut telah memaksa bank-bank untuk menawarkan produk yang lebih beragam tidak hanya produk tradisional atau generik bank seperti deposito, tabungan, kredit dan sebagainya melainkan juga menawarkan produk-produk baru yang memiliki nilai tambah tertentu sesuai kebutuhan nasabah yang selama ini belum banyak dilakukan oleh sektor perbankan seperti bancassurance (produk asuransi), derivatif (asset back securities, credit link notes) dan investasi (reksadana dan equity link deposit). Adanya risiko-risiko yang dihadapi seperti fluktuasi tingkat suku bunga dan nilai tukar yang tinggi menuntut perbankan agar dapat memagari kedua risiko tadi agar tidak terlalu mempengaruhi tingkat pendapatan dan permodalan. Kebijakan diversifikasi aset dan memperluas jenis layanan harus terus diupayakan dengan 65 berbagai sarana yang dimiliki untuk menggali pendapatan non-bunga (fee base income) yang relatif bebas risiko untuk meningkatkan laba bank. Aspek informasi teknologi (IT) akan sangat menentukan di masa depan dalam meningkatkan kapasitas sebuah bank. Fungsi IT di dalam bisnis bank sudah menjadi suatu keharusan, antara lain dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada nasabah, peningkatan fitur produk dan manajamen informasi sistem, dan efisiensi operasional. Dengan kata lain IT akan berfungsi sebagai enabler factor bagi sebuah bank di dalam memasuki kompetisi global. Saat ini hampir mustahil dapat ditemukan sebuah produk bank yang dapat memenuhi kebutuhan nasabah dan memiliki fitur lengkap tanpa ada dukungan suatu sistem teknologi yang canggih. Kemajuan dan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat menyebabkan distribution channel, untuk memasarkan produk dan jasa bank menjadi semakin cepat dan mudah serta bersifat borderless. Bank-Bank semakin banyak menawarkan dan mendistribusikan produk dan jasanya dengan memanfaatkan electronic based channels yang menyebabkan keberadaan bank lebih dekat ke masyarakat. Penggunaan automatic teller machine (ATM), internet banking, phone banking, point of sales (POS) merupakan contoh bahwa industri perbankan selalu di depan dalam memanfaatkan sistem informasi teknologi. Dengan semakin beragamnya produk, mata uang, maupun jangkauan wilayah geografis operasional sebuah bank, maka kemampuan bank di dalam mengidentifikasi, mengukur dan mengelola risiko semakin diperlukan. Tanpa adanya manajemen risiko yang memadai, maka kemampuan sebuah bank akan sangat rendah di dalam mengatasi terjadinya berbagai gejolak yang akan mempengaruhi pendapatan 66 maupun modal bank tersebut, sehingga rentan terhadap fluktuasi kondisi internal dan eksternal. Dalam hal permodalan, sebuah bank harus memiliki permodalan yang memadai jika akan memperluas jangkauan operasinya. Dengan operasi yang lebih luas jelas sebuah bank akan menanggung risiko operasional dan risiko pasar yang semakin meningkat. Sebagaimana ditetapkan oleh Bank International for Settlement (BIS), seluruh risiko tersebut harus didukung dengan permodalan yang cukup sesuai dengan ketentuan dan standar yang berlaku secara global. Dengan gambaran kondisi seperti yang dijelaskan di atas, maka tantangan untuk tetap hidup dan memenangkan persaingan sangatlah berat. Bagi bank yang memiliki aset kecil akan lebih sulit untuk bersaing karena dari skala ekonomi tidak akan efisien dalam beroperasi. Bagi sebuah bank besar, belanja sistem Teknologi Informasi yang relatif besar mungkin masih dapat dijangkau, namun bagi bank kecil hal ini tentu menjadi masalah. Untuk menjawab tantangan ini, bank harus fokus dengan kompetensi yang dimilikinya. Visi dan Misi perusahaan harus dibangun berdasarkan kompetensi dan keunggulan komparatif, harus disosialisasikan sehingga menjadi bagian dari sendisendi kehidupan organisasi. Dengan demikian setiap produk dan pelayanan yang disediakan akan memiliki keunggulan tertentu dan dapat mencapai sasaran pasar yang ditargetkan. 67 2.3 Pasar Modal dan Saham 2.3.1 Pengertian Pasar Modal dan Surat Berharga Pasar Modal dijumpai di banyak negara karena pasar modal menjalankan fungsi ekonomi dan keuangan. “Dalam melaksanakan fungsi ekonominya, pasar modal menyediakan fasilitas untuk memindahkan dana dari lender (pihak yang mempunyai kelebihan dana) kepada borrower (pihak yang memerlukan dana). Dari sisi lender mengharapkan akan memperoleh imbalan dari dana yang ditempatkan, sedangkan dari sisi borrower yang memperoleh dana dapat digunakan untuk meningkatkan produksi yang pada gilirannya dapat meningkatkan keuntungan. Fungsi keuangan dilakukan dengan menyediakan dana yang diperlukan oleh para borrowers dan para lenders menyediakan dana tanpa harus terlibat langsung dalam kepemilikan aktiva riil yang diperlukan untuk investasi tersebut. Meskipun harus diakui perbedaan fungsi ekonomi dan keuangan ini sering tidak jelas”. (Husnan,2001,p4). Pada dasarnya, pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk utang ataupun modal sendiri. Pasar modal merupakan pasar untuk surat berharga jangka panjang, sedangkan Pasar Uang (money market) pada sisi yang lain merupakan pasar surat berharga jangka pendek. Baik pasar modal maupun pasar uang merupakan bagian dari pasar keuangan (financial market). Jika di pasar modal 68 diperjualbelikan instrumen keuangan seperti saham, obligasi, warrant, right, obligasi konvertibel dan berbagai produk turunan (derivatif) seperti opsi (put dan call), maka di pasar uang diperjualbelikan antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), Commercial Paper, Promissory Notes, Call Money, Repurchase agreement, Banker’s acceptance, Treasury bills dan lain-lain. Undang-undang Pasar Modal No. 8 tahun 1995 memberikan pengertian pasar modal yang lebih spesifik yaitu “kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, Perusahaan publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek. “ 2.3.2. Saham dan Faktor-Faktor Pembentuk Harga Saham Menurut William H. Pike, “Saham didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan. Selembar saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik (berapapun porsinya) dari suatu perusahaan yang menerbitkan kertas (saham) tersebut, sesuai porsi kepemilikannya yang tertera pada saham”. (Dwiyanti,1999, p11). Saham merupakan salah satu jenis surat berharga yang diperjualbelikan di pasar modal. Faktor-faktor yang menggerakkan harga suatu saham adalah: 69 a) Faktor Fundamental Faktor fundamental adalah faktor yang berkaitan langsung dengan kinerja emiten itu sendiri. Semakin baik kinerja emiten maka semakin besar pengaruhnya terhadap kenaikan harga saham. Begitu juga sebaliknya, semakin menurun kinerja emiten maka semakin besar kemungkinan merosotnya harga sahamnya. Secara umum kinerja emiten dinilai dari rasio profitabilitas atau kemampuan perusahaan menghasilkan laba, rasio pembagian dividen, potensi dan prospek perusahaan di masa depan. Analisis fundamental suatu perusahaan umumnya tidak dapat dipisahkan dari pengaruh kondisi/ekonomi dan pasar. Karenanya tahapan analisis fundamental harga suatu saham biasanya dimulai dengan melakukan analisis kondisi ekonomi makro, dilanjutkan dengan analisis industri saham bersangkutan termasuk, kaitannya dengan kondisi dan perubahan ekonomi makro, dan akhirnya analisis terhadap perusahaan yang menerbitkan saham tersebut. Penggunaan pendekatan ini didasarkan atas pemikiran bahwa kondisi perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal perusahaan, tetapi faktor-faktor eksternal yaitu kondisi ekonomi/pasar dan industri juga ikut mempengaruhi kondisi perusahaan. “Dalam melakukan analisis fundamental, penilaian terhadap kondisi ekonomi dan keadaan berbagai variabel utama seperti laba yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan dan tingkat bunga. Variabel-variabel tersebut sangat mempengaruhi keputusan-keputusan investasi yang akan diambil oleh para pemodal. Apabila resesi diperkirakan akan terjadi, atau perekonomian sedang 70 menuju ke situasi resesi, harga saham-saham akan sangat terpengaruh oleh situasi tersebut”. (Husnan,2001,pp 317-318). b) Hukum Permintaan dan Penawaran Seperti perdagangan pada umumnya, faktor hukum permintaan dan penawaran juga sangat menentukan fluktuasi harga saham. Pada saat keadaan ekonomi makro membaik, harapan secara umum terhadap kinerja emitenpun membaik, sehingga terjadi kelebihan permintaan yang menyebabkan harga saham menjadi naik. Demikian pula rumors yang beredar tentang emiten dapat menciptakan ekspektasi tertentu, sehingga meningkatkan permintaan yang menyebabkan harga sahamnya naik, ataupun meningkatkan penawaran yang menyebabkan harga sahamnya turun. Keadaan pasar yang bullish (dimana indeks harga saham meningkat secara terus menerus) selain ditentukan oleh kondisi perekonomian yang sedang membaik, juga lebih banyak ditentukan oleh meningkatnya permintaan. Demikian pula keadaan pasar yang bearish (dimana indeks harga saham menurun secara terus menerus), selain ditentukan oleh kondisi perekonomian yang sedang memburuk, juga ditentukan oleh meningkatnya penawaran. Menurut Teweles, J. dan Bradley E. (1998, p435), aspek yang paling sulit dari pasar saham adalah memahami faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham. Tidak ada jalan yang mudah untuk mengerti bagaimana dan mengapa harga saham berubah, dan tidak ada aturan dan pedoman yang pasti untuk bisa mendapatkan keuntungan dari pasar. Perubahan harga saham umumnya memberikan keuntungan lebih signifikan dibandingkan dari dividen. Faktor dan kondisi yang mempengaruhi pasar saham dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu 1) kondisi fundamental yang 71 berasal dan dikembangkan di luar pasar, yang merupakan dasar perubahan harga untuk jangka panjang, dan 2) faktor teknikal, yang berasal dari dalam pasar dan mempengaruhi harga saham umumnya dalam jangka pendek, dengan mengabaikan kondisi fundamental jangka panjang. Kedua faktor ini kadang-kadang saling mendukung, dan kadang-kadang berlawanan. Faktor-faktor ekonomi yang menjadi dasar pergerakan dan harga saham masih merupakan misteri bagi banyak orang. Pada akhir hari perdagangan, para analist saham menghubungkan pergerakan harga saham dengan beberapa faktor seperti: pengumuman pemerintah atas tingkat inflasi (customer price index), perubahan tingkat suku bunga dan pasar obligasi, peningkatan sentimen ”bullish” atau ”bearish”, pernyataan dari Bank Indonesia, atau laporan laba rugi perusahaan yang dibandingkan dengan ekspektasi awal. Secara umum perbedaan investasi pasar saham dan strategi valuasi dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok, yaitu analisis fundamental, analisis teknikal dan teori portfolio modern. Ketiganya memiliki keyakinan yang berbeda antara harga saham yang ada di pasar dengan nilai intrinsik yang mendasari nilai saham, seperti terlihat pada tabel 2.1. Bagaimana Menilai Saham. (Gray, G, Cusatis P, 2004, pp 82-84) 72 Tabel 2.1. Bagaimana Menilai Saham Analisis Teknikal Apa yang menggerakkan harga saham? Bagaimana menilai suatu saham? Hubungan antara nilai dan Harga Saham? Psikologi teknikal kosmis Trend Harga ≠ nilai Analisis Fundamental Profit dan dividen Prediksi profit dan dividen Harga pada akhirnya sama dengan nilai Teori Portfolio Risiko dan imbal hasil Risiko dan imbal hasil Harga = Nilai Analisis fundamental menggunakan prosedur valuasi yaitu analisis discounted cash flow, dimana melalui pendekatan ini kinerja operasional dan keuangan perusahaan sekarang dan masa depan menentukan nilai intrinsik dari harga saham suatu perusahaan pada saat ini. Untuk menilai prospek perusahaan, analisis fundamental mengevaluasi kondisi ekonomi makro, industri dan data perusahaan untuk memperkirakan nilai intrinsik saham. Pada sisi lain, analisis teknikal percaya bahwa pergerakan harga saham jangka pendek utamanya dipengaruhi oleh perubahan psikologis pasar. 2.3.3. Pengertian Indeks Harga Saham Indeks harga saham merupakan indikator utama yang menggambarkan pergerakan harga saham. Di pasar modal sebuah indeks diharapkan memiliki lima fungsi yaitu : 73 1. Sebagai indikator tren pasar 2. Sebagai indikator tingkat keuntungan 3. Sebagai tolak ukur ( benchmark ) kinerja suatu portofolio 4. Memfasilitasi pembentukan portofolio dengan strategi pasif 5. Memfasilitasi berkembangnya produk derivatif Angka Indeks Harga Saham adalah angka-angka yang menjadi ukuran situasi pasar modal yang dapat digunakan untuk membandingkan peristiwa dan sebagai alat analisis. Dengan menganalisis perubahan harga Indeks Harga Saham berarti menganalisis saham. Ada beberapa macam pendekatan atau metode penghitungan yang digunakan untuk menghitung indeks, yaitu : 1. Menghitung rata-rata (arithmetic mean ) harga saham yang masuk dalam anggota indeks, 2. Menghitung geometric mean dari indeks individual saham yang masuk anggota bursa, 3. Menghitung rata-rata tertimbang nilai pasar. Umumnya semua indeks harga saham gabungan (composite) menggunakan metode rata-rata tertimbang termasuk di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Di Bursa Efek Jakarta terdapat lima indeks, antara lain : 1. Indeks individual, menggunakan indeks harga masing-masing saham terhadap harga dasarnya. Perhitungan indeks ini menggunakan prinsip yang sama dengan IHSG, yaitu : Harga Pasar / Harga Dasar X 100 . BEJ memberi angka dasar 74 IHSG 100 ketika saham diluncurkan pada pasar perdana dan berubah sesuai dengan perubahan pasar. 2. Indeks Harga saham sektoral, menggunakan semua saham yang termasuk dalam masing-masing sektor. Perhitungan harga dasar masing-masing sektor didasarkan pada kurs / harga akhir setiap saham tanggal 28 desember 1995. Indeks ini mulai diberlakukan tanggal 2 Januari 1996 . 3. Indeks LQ 45 menggunakan 45 saham yang terpilih berdasarkan likuiditas perdagangan saham dan disesuaikan setiap enam bulan (setiap awal bulan Februari dan Agustus). Dengan demikian saham yang terdapat dalam indeks tersebut akan selalu berubah. 4. Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG (composite share price index), menggunakan semua saham yang tercatat sebagai komponen perhitungan indeks. Tanggal 10 Agustus 1982 ditetapkan sebagai hari dasar ( nilai indeks = 100 ) . IHSG = Nilai Pasar ( Jumlah saham tercatat x harga terakhir ) x 100 Nilai Dasar ( Jumlah saham tercatat x harga perdana ) 5. Indeks Syariah atau JII ( Jakarta Islamic Index ) . JII merupakan indeks terakhir yang dikembangkan oleh BEJ bekerja sama dengan Danareksa Investment Management. Indeks ini merupakan indeks yang mengakomodasi syariat investasi dalam Islam atau indeks yang berdasarkan syariah Islam . 75 2.3.4 Tingkat Suku Bunga dan Imbal Hasil Saham Secara teori harga saham berkorelasi negatif dengan peningkatan suku bunga, karena alasan-alasan sebagai berikut: a) jika terjadi peningkatan suku bunga, maka investor cenderung untuk menempatkan dananya ke investasi lain yang berbasis suku bunga, misalnya deposito, b) peningkatan suku bunga menyebabkan pengalihan dari sektor konsumsi ke sektor tabungan (penundaan konsumsi), dan c) peningkatan suku bunga cenderung menurunkan kinerja emiten, karena adanya peningkatan biaya bunga dan kesulitan untuk meningkatkan penjualan. Hubungan yang saling mempengaruhi antara tingkat suku bunga dan harga saham sangatlah kompleks. Berdasarkan pemikiran bahwa tingkat suku bunga adalah penentu utama dari investasi saham, maka ketika tingkat suku bunga mendekati imbal hasil rata-rata saham, maka hanya terdapat sedikit insentif untuk membeli saham dan umumnya pasar saham akan menurun. Pada suatu waktu, harga saham kelihatannya bergerak berlawanan dengan perubahan suku bunga, dan di saat yang lain keduanya bisa meningkat dan menurun secara bersamaan. Pada kenyataannya, terdapat alasan rasional bahwa tingkat suku bunga dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap harga saham. Tingkat suku bunga yang tinggi meningkatkan biaya dana (cost of capital) dari perusahaan dan menyebabkan perusahaan kesulitan untuk mendapatkan profit memadai atas modal yang diinvestasikan. Berbagai penelitian telah dilakukan bertahun-tahun untuk mengetahui hubungan antara pergerakan tingkat suku bunga dengan perubahan harga saham. 76 Kesimpulan yang didapat jauh dari keseragaman dan malahan kadang berlawanan. Secara umum yang diterima sebagai kebenaran adalah valuasi pasar saham yang tinggi dan tingkat suku bunga yang tinggi tidak terjadi bersamaan dalam jangka waktu panjang, dan selanjutnya pada jangka panjang pasar saham adalah salah satu investasi anti-inflasi yang baik. (Teweles,R dan Bradley E., 1998, pp 446-447) Menurut Reilly F. dan Brown K. (2000, pp 489-491), hubungan antara tingkat suku bunga dan harga saham adalah tidak langsung dan tidak konsisten. Alasannya adalah bahwa cash flow dari saham dapat berubah berdasarkan perubahan suku bunga dan kita tidak dapat memastikan apakah perubahan cash flow tersebut akan meningkatkan atau mengurangi perubahan suku bunga. Hubungan sebenarnya antara inflasi, tingkat suku bunga dan harga saham adalah pertanyaan yang harus diuji secara empiris dan hasilnya dapat berbeda sepanjang masa. Walaupun secara teori terdapat hubungan negatif yang signifikan antara inflasi dan suku bunga, terhadap harga saham, hal ini tidak selalu benar. Bahkan pada industri tertentu terdapat hubungan positif antara suku bunga dengan harga saham. Studi empirik tentang pasar modal umumnya dan mengenai variabel – variabel indeks ekonomi dan indeks pasar, telah memberikan penjelasan mengenai variabel-variabel “tingkat inflasi, tingkat bunga, nilai tukar domestik dan indeks pasar” terhadap tingkat pengembalian investasi saham. Variabel-variabel tersebut menurut studi empirik yang dilakukan oleh beberapa peneliti menunjukkan bahwa terjadi pola hubungan negatif antara inflasi dengan tingkat pengembalian investasi saham dan komoditas future (Jacob and Pettit, 1989, p 137 ). 77 Beberapa hasil penelitian tentang pasar modal di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat pengembalian investasi saham yang dihitung dari pendapatan dividen dan selisih harga (capital gain) ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh variabel ekonomi makro daripada variabel ekonomi mikro (keadaan fundamental perusahaan). Penelitian di Bursa Efek Jakarta tentang faktor-faktor penentu tingkat risiko yang diukur dari nilai variabilitas tingkat pendapatan saham menunjukkan hasil bahwa, Tingkat risiko dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel ekonomi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, dan kurs valuta asing (Rp/USD), sedangkan dalam variabel mikro hanya struktur aktiva saja yang mempengaruhi tingkat risiko saham (Sinaga, 1994, p 123). 2.3.5. Perubahan Nilai Tukar Mata Uang dan Imbal Hasil Saham Mata uang telah menjadi komoditas utama perdagangan dunia, karena ekonomi dunia telah menjadi lebih terintegrasi pada akhir-akhir ini. Umumnya ekonomi yang kuat akan menghasilkan mata uang yang kuat, tetapi informasi ini sangat berbahaya bagi investor saham. Ketika nilai saham meningkat di Amerika pada periode 1980 dan 1990, nilai tukar USD terdepresiasi terhadap JPY, dari 1 USD = JPY 275 menjadi 1 USD = JPY 100 (Teweles R dan Bradley E, 1998, p 448). Depresiasi mata uang suatu negara secara teori juga berpotensi untuk menurunkan harga saham, dengan penjelasan sebagai berikut: a) dalam era pasar 78 bebas, depresiasi/pelemahan mata uang suatu negara akan menyebabkan investasi pada saham di negara tersebut tidak menarik, karena menghasilkan imbal hasil yang berkurang dibandingkan dengan investasi dalam mata uang negara lain, b) emiten yang memiliki hutang dalam mata uang lain atau bahan bakunya adalah impor, akan sangat terbebani dengan peningkatan nilai hutang dan bunganya atau biaya produksi, yang berpotensi untuk menurunkan laba perusahaan. Studi Roll ( 1992 ) dan Drummen & Zimmerman ( 1992 ) menunjukkan bukti empiris adanya korelasi yang rendah antara pasar saham dan gerakan-gerakan mata uang dari negara-negara industri periode 1973-1993. Husnan dan Pudjiastuti (1994) mendapatkan korelasi negatif antara perubahan nilai tukar dollar AS dan imbal hasil beberapa pasar saham. Telaah teori mengungkapkan dua model yang berkaitan dengan hubungan antara kurs mata uang domestik terhadap mata uang asing dengan kinerja bursa, yaitu model flow oriented dan model stock - oriented. Model flow - oriented (Dombusch dan Fischer) mengungkapkan, perubahan nilai tukar mempunyai aliran terhadap perubahan neraca perdagangan, pendapatan dan lebih lanjut ke harga saham di bursa efek. Perubahan itu lebih lanjut akan berpengaruh terhadap permintaan uang dan nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing. Model Stock - oriented (Branson, Frankel) dikatakan sebagai model yang dinamis. Ekspektasi atau prediksi nilai uang masa yang akan datang merupakan dasar pertimbangan harga saham saat ini. Nilai suatu saham hakikatnya merupakan nilai sekarang (present value) dari cash flow perusahaan di masa mendatang. Bila 79 nilai tukar mata uang masa depan diprediksi baik, maka cash flow perusahaan akan cenderung baik dan lebih lanjut harga sahamnya di bursa juga baik. Penelitian empiris pengaruh dari perubahan nilai tukar mata uang terhadap kinerja saham di bursa menunjukkan hasil beragam. Pada bursa efek yang sudah maju (developing market) umumnya terdapat korelasi negatif signifikan antara kurs mata uang dengan kinerja bursa. Bila kurs mata uang dalam negeri melemah atau nilai dolar naik, maka kinerja saham di bursa efek dalam negeri akan melemah. Sedangkan penelitian empiris pada bursa efek yang tergolong sedang berkembang (emerging market), seperti Indonesia menunjukkan hasil berbeda pada kurun waktu yang berbeda. Bila perubahan dari kurs mata uang tinggi, maka umumnya hubungannya dengan kinerja saham di bursa akan negatif signifikan. Namun bila perubahannya tidak mengagetkan pelaku pasar, maka umumnya tidak berkorelasi secara signifikan. Artinya, dalam jangka pendek perubahan dari kurs mata uang tak berhubungan dengan penurunan atau kenaikan kinerja saham di bursa efek. Perusahaan Pertamina selaku perusahaan penghasil minyak, saat ini masih mempunyai ketergantungan impor dalam hal pengadaan bahan baku produksi. Untuk keperluan impor bahan produksi membutuhkan mata uang asing dalam bentuk dolar. Pertamina mempunyai ketergantungan dengan kebutuhan masyarakat dalam hal penyediaan bahan bakar minyak. Adanya antrian pada beberapa stasiun pengisian bahan bakar minyak (SPBU) dan di beberapa tempat kehabisan stok menunjukkan dan mengindikasikan adanya hambatan dalam produksi dan distribusi BBM. Kebutuhan peningkatan produksi memerlukan bahan baku produksi yang lebih banyak. Dampaknya kebutuhan impor bahan produksi menjadi meningkat, berarti ada 80 peningkatan kebutuhan mata uang dolar. Peningkatan kebutuhan mata uang dolar, sejalan dengan teori pada model flow - oriented, maka kurs dolar akan menguat atau rupiah menjadi melemah. Menjadi pertanyaan, apakah kelemahan rupiah lebih lanjut akan berpengaruh signifikan terhadap kinerja saham di BEJ? Sejalan dengan teori pada model stock oriented, maka salah satu faktor yang sangat menentukan, yaitu ekspektasi pasar terhadap nilai uang rupiah waktu mendatang. Sedangkan melalui teori model floworiented perlu memperhatikan ambang batas perubahan dari kurs rupiah. Dengan demikian dapat dirumuskan, ekspektasi pasar terhadap nilai uang rupiah waktu mendatang dan ambang batas perubahan dari kurs rupiah merupakan dua faktor penentu untuk menjawab pertanyaan, bagaimana pengaruh dari perubahan kurs mata uang terhadap kinerja saham di bursa efek. (Wahyudi, 2005, http://www.suaramerdeka.com/harian/0507/04/eko2.htm) 2.3.6. Teori Portofolio Saham Dalam terminologi investasi, dikenal istilah portofolio (portfolio), yaitu kumpulan dari berbagai jenis instrumen investasi. Seorang investor individual ataupun investor institusi, manajer investasi (fund manager), memilih berbagai jenis instrumen investasi yang ada ke dalam portofolionya, dengan tujuan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki agar dapat memberikan imbal hasil yang optimal, menekan risiko pada tingkat tertentu yang dapat ditoleransi. 81 Dengan memiliki portofolio yang terdiversifikasi, risiko yang tinggi pada suatu jenis instrumen yang dapat memberikan imbal hasil tinggi pula, biasanya dikompensasikan ke instrumen investasi yang rendah risikonya namun hanya dapat memberikan imbal hasil yang rata-rata saja. Itulah yang dipesankan investor bijak; don’t put the eggs in one basket, jangan menyimpan telur dalam satu keranjang saja. Terdapat empat langkah pendekatan teori portofolio yang dianjurkan untuk dilalui bagi setiap investor atau manajer investasi dalam membentuk portofolionya. Pertama, security valuation, yang menjelaskan sejumlah sekuritas (instrumen) tak terhingga dalam pengertian laba yang diharapkan dan risiko yang diperkirakan. Kedua, asset allocation decision (keputusan pengalokasian aset atau aktiva) yakni menentukan bagaimana aset akan didistribusikan di antara kelas-kelas investasi, seperti saham atau obligasi. Ketiga, yaitu portfolio optimization (optimasi portofolio), yakni merekonsiliasikan risiko dan laba dalam memilih sekuritas untuk dimasukkan ke dalam portofolio, seperti menentukan portofolio saham mana yang menawarkan laba terbaik untuk suatu risiko tertentu. Keempat, performance measurement (mengukur kinerja), klasifikasi yakni membagi setiap kinerja saham (risiko) ke dalam (sistematis) terkait-pasar dan klasifikasi (residual) terkait- industri/sekuritas. Semua langkah itu tentu saja supaya portofolio itu dapat memberikan imbal hasil yang optimal. (Suruji, kompas, 2005) Harry Markowitz (2000) telah membuktikan bahwa investor akan mendapatkan manfaat yang maksimal dari diversifikasi jika saham-saham dalam portofolionya berada pada industri atau sektor yang berbeda. Berbeda disini berarti adanya kecenderungan pergerakan tingkat imbal hasil atau pergerakan harga yang 82 tidak searah. Dengan menambahkan saham yang mempunyai korelasi negatif atau rendah (semakin mendekati –1) pada portofolionya, investor dapat mengurangi risiko portofolionya sampai pada level yang minimal tetapi tidak pernah bisa dihilangkan, karena pada akhirnya risiko pada portofolio akan tergantung pada korelasi antara saham-saham yang membentuk portofolio tersebut. Meir Statman (2000) melakukan penelitian dengan membentuk “equally weighted portfolio“ dengan sampel saham-saham di New York Stock Exchange (NYSE) yang diambil secara acak mengemukakan 2 kesimpulan. Pertama , secara rata-rata risiko portofolio akan semakin menurun dengan semakin banyaknya saham yang ditambahkan ke dalam portofolio. Kesimpulan yang kedua yaitu berkurangnya risiko dengan semakin banyaknya saham yang ditambahkan ke dalam portofolio akan terhenti dan risiko tidak akan pernah mencapai nol. Sumber utama risiko investasi saham terdiri dari dua hal. Pertama, risiko yang disumbangkan dari kondisi umum perekonomian (risiko pasar), misalkan siklus usaha, tingkat inflasi,tingkat suku bunga, nilai tukar, dan kondisi politik atau hal lain yang merupakan faktor makroekonomi yang tidak bisa diprediksi dengan pasti dan mempengaruhi tingkat imbal hasil dari masing-masing saham. Kedua, risiko khusus dari masing-masing perusahaan (firm specific risk), misalkan perubahan susunan karyawan, kegagalan dalam pemasaran produk dan lain-lain yang tidak berpengaruh pada perusahaan lain dalam suatu perekonomian.