BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
Tingkat suku bunga dan nilai tukar adalah dua variabel ekonomi makro
yang sangat menentukan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Untuk
mencapai kestabilan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, maka tingkat suku bunga
dan nilai tukar harus dapat dipelihara dan dipertahankan pada tingkat tertentu dan
tidak berfluktuasi secara tajam.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak dikelola dengan baik,
dapat memiliki
siklus pasang surut tertentu yang disebabkan oleh akibat dari pertumbuhan ekonomi
itu sendiri. Secara teori, pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi tanpa diiringi
dengan pertumbuhan produktifitas yang memadai, berpotensi menimbulkan inflasi
yang disebabkan peningkatan permintaan (aggregat demand) yang
tidak dapat
dipenuhi dari segi penawaran (aggregat supply). Peningkatan inflasi akan menekan
daya beli masyarakat dan selanjutnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Tingkat suku bunga adalah salah satu instrumen yang digunakan untuk
menekan inflasi. Dengan peningkatan suku bunga diharapkan orang akan cenderung
menunda konsumsi dengan menabung, sehingga akan menurunkan permintaan
barang.
Penurunan permintaan dan mahalnya biaya dana akan menyebabkan
investasi menurun sehingga pertumbuhan ekonomi akan menjadi melambat.
11
12
Dewasa ini dalam era globalisasi dimana sistem keuangan telah terintegrasi,
investor memiliki pilihan dan kesempatan memaksimalkan imbal hasil dananya. Arus
keluar masuk modal, barang dan jasa antar negara telah menyebabkan mata uang
menjadi komoditi pasar. Nilai tukar suatu mata uang menjadi sangat penting bagi
kestabilan perekonomian di suatu negara. Karena itu pemerintah berkewajiban untuk
mempertahankan dan memelihara tingkat suku bunga dan nilai tukar untuk
mendorong kestabilan dan pertumbuhan ekonomi.
Perubahan tingkat suku bunga dan nilai tukar rupiah akan mempengaruhi
perekonomian nasional secara umum dan perusahaan pada khususnya. Perbankan
adalah perusahaan yang sangat terkait erat dengan perubahan tingkat suku bunga dan
nilai tukar rupiah yang disebut sebagai risiko pasar (market risk) bagi perbankan.
Sebagai perantara jasa keuangan,
yang menentukan nilai uang sebagai barang
dagangan adalah tingkat suku bunga. Demikian pula bank yang telah memiliki ijin
melakukan transaksi valuta asing dapat memiliki portfolio dalam valuta asing yang
rentan terhadap perubahan nilai tukar rupiah.
13
2.1. Tinjauan Teori Tingkat Suku Bunga dan Nilai Tukar Rupiah
2.1.1. Tingkat Suku Bunga
Tingkat suku bunga atau interest
adalah
harga (price) atau
biaya
kesempatan (opportunity cost) atas penggunaan dana/uang yang harus dibayar
karena daya beli (purchasing power) dana tersebut pada saat sekarang. Umumnya
suku bunga menggambarkan prosentasi dari jumlah dana yang digunakan dalam
setahun. Bagi pengguna dana atau peminjam (borrower), suku bunga adalah biaya
untuk penggunaan dana lebih awal, sedangkan bagi yang meminjamkan dana atau
investor,
suku bunga adalah pendapatan karena penundaan kesempatan untuk
menggunakan dana tersebut. (Kidwell,2005,p86)
Peningkatan suku bunga akan menyebabkan penggunaan dana saat ini
menjadi lebih mahal dan menjadi pendorong bagi investor untuk menabung,
sebaliknya penurunan suku bunga menyebabkan penggunaan dana menjadi lebih
murah yang menjadi pendorong bagi peminjam.
Faktor fundamental yang menentukan tingkat suku bunga adalah interaksi dari
kesempatan dan peluang keuntungan dari investasi/produksi dengan nilai waktu
penundaan konsumsi oleh investor.
Kegiatan produksi membutuhkan dana yang
dapat diperoleh dari investor, tetapi jika hasil produksi dapat menghasilkan lebih
besar dari biaya dana, maka terdapat keuntungan yang mendorong untuk berinvestasi
14
pada sektor produksi. Di sisi lain, orang cenderung melakukan konsumsi sekarang
daripada masa mendatang, kecuali jika mendapatkan imbalan memadai atas
penundaan konsumsi tersebut. Faktor fundamental ini dapat juga diartikan sebagai
hukum permintaan (demand) dan penawaran (supply) uang, dimana investor
bertindak sebagai yang melakukan penawaran uang sedangkan peminjam dana
bertindak sebagai pihak yang melakukan permintaan uang.
Dalam keadaan
keseimbangan, semakin tinggi permintaan akan uang, maka semakin tinggi suku
bunga, dan semakin tinggi penawaran uang maka semakin rendah suku bunga.
Suku bunga yang terjadi pada suatu saat tertentu adalah harga yang disepakati pada
saat terjadi keseimbangan permintaan dan penawaran.
Terdapat dua jenis tingkat suku bunga, yaitu suku bunga nominal dan suku
bunga riil, dimana suku bunga nominal adalah suku bunga yang ditentukan secara
nominal, sedangkan suku bunga riil adalah suku bunga yang telah memperhitungkan
antisipasi tingkat inflasi. Dengan kata lain suku nominal adalah suku bunga riil
ditambah dengan tingkat inflasi. Insentif untuk menabung daripada mengkonsumsi
biasanya dilakukan orang berdasarkan tingkat suku bunga riil.
Dalam keadaan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan terjadi peningkatan
permintaan barang dan jasa yang berpotensi meningkatkan inflasi atau kenaikan
harga barang dan jasa. Inflasi akan mendorong kenaikan suku bunga sebagai akibat
kompensasi dari berkurangnya daya beli uang. Peningkatan suku bunga cenderung
menyebabkan pengurangan pengeluaran untuk investasi dan konsumsi
menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat.
sehingga
Dengan demikian perubahan suku
15
bunga dapat memberikan pengaruh yang sangat penting terhadap investasi, konsumsi
dan pertumbuhan ekonomi.
Karena adanya hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi,
permintaan dan penawaran uang dan tingkat suku bunga, maka faktor-faktor ini
harus diseimbangkan sehingga tidak menimbulkan fluktuasi yang besar. Pemerintah
suatu negara berusaha untuk mempertahankan kestabilan peningkatan pertumbuhan
ekonomi, salah satunya dengan melakukan intervensi dalam menentukan jumlah
uang yang beredar dan tingkat suku bunga yang biasanya disebut dengan kebijakan
moneter.
Kebijakan moneter dilakukan oleh Bank Indonesia,
yang mana jika
kebijakan kontraksi dilakukan untuk mengurangi jumlah uang beredar, maka BI dapat
menjual Surat Berharga Bank Indonesia (SBI) dan menaikkan suku bunga.
Sebaliknya jika kebijakan ekspansi dilakukan untuk menambah jumlah uang beredar,
maka BI dapat membeli kembali SBI atau membeli Surat Berharga Pasar Uang
(SBPU) dan menurunkan tingkat suku bunga.
Suku Bunga SBI 1 bulan umumnya dipakai sebagai indikator tingkat suku
bunga bebas risiko yang berlaku di Indonesia. Kenaikan atau penurunan tingkat suku
bunga SBI mencerminkan tingkat suku bunga rupiah yang berlaku di pasar.
16
2.1.2. Perubahan Nilai Tukar Rupiah
Dalam kehidupan perekonomian global dewasa ini, setiap negara dihadapkan
kepada terintegrasinya keuangan dunia melalui arus barang, jasa dan modal yang
seakan-akan telah menghilangkan batas-batas wilayah suatu negara.
Umumnya
setiap negara memiliki mata uang sendiri yang digunakan secara terbatas untuk
transaksi dalam wilayah negaranya.
Arus barang, jasa dan modal lintas negara
menyebabkan pengaruh dan perubahan terhadap nilai tukar mata uang suatu negara
terhadap mata uang negara lain.
Dalam kaitan dengan perubahan terhadap nilai tukar mata uang terhadap mata
uang negara lain, maka suatu negara dapat memilih beberapa jenis sistem nilai tukar,
antara lain:
a. Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate), dimana nilai tukar mata uang
suatu negara di tetapkan berdasarkan nilai dari suatu mata uang tertentu, atau nilai
dari kumpulan mata uang tertentu. Biasanya yang dijadikan patokan adalah mata
uang negara yang memiliki ekonomi kuat.
b. Sistem Nilai Tukar Mengambang (Free Floating Exchange Rate), dimana nilai
tukar mata uang berdasarkan mekanisme pasar.
c. Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali (Managed Floating Exchange Rate),
dimana nilai tukar mata uang dibiarkan sesuai dengan mekanisme pasar, tetapi
dipelihara dalam batas-batas/limit tertentu. (Madura,2003,pp 170-176)
17
Penentuan penggunaan suatu sistem mata uang oleh suatu negara, biasanya
sangat tergantung pada kebijakan pemerintah yang mempertimbangkan kondisi dan
fundamental ekonomi negara tersebut, dengan tujuan akhir untuk mencapai stabilitas
dan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.
Stabilitas nilai tukar merupakan prasyarat mutlak bagi kestabilan dan
pertumbuhan perekonomian. Bagi Indonesia stabilitas nilai tukar rupiah merupakan
hal yang sangat penting, karena berdasarkan sejarah krisis moneter dan keruntuhan
ekonomi di Indonesia yang dimulai Juli 1997 berawal dari fluktuasi nilai rupiah yang
tidak terkontrol.
UU No. 23 tahun 1999
Pasal
7 tentang Bank Indonesia
menyatakan secara tegas mengenai hal ini bahwa tujuan Bank Indonesia adalah
memelihara stabilitas nilai tukar rupiah.
Berdasarkan UU No. 24 tahun 1999, dinyatakan bahwa Indonesia menganut
kebijakan devisa bebas, yang berarti bahwa setiap penduduk dapat dengan bebas
memiliki dan menggunakan devisa. Devisa dapat diartikan sebagai aset dan
kewajiban finansial yang digunakan dalam transaksi internasional, yang secara
sederhana dalam diartikan sebagai mata uang negara lain. Implementasi kebijakan ini
adalah setiap penduduk dapat membeli, memiliki dan menjual devisa
mentransfer ke segala penjuru dunia.
dan
Kebijakan devisa bebas yang dianut oleh
Indonesia adalah dengan pertimbangan untuk memperlancar lalulintas perdagangan,
investasi dan pembayaran luar negeri.
Sejak 14 Agustus 1997, sistem nilai tukar yang dianut oleh Indonesia adalah
sistem nilai tukar mengambang (free floating exchange rate), yang berarti bahwa nilai
18
tukar rupiah akan terbentuk dan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar
atau berdasarkan hukum permintaan dan penawaran di pasar.
Indonesia yang menganut sistem devisa bebas dan sistem nilai tukar
mengambang, menyebabkan nilai rupiah akan sangat tergantung pada mekanisme
pasar. Nilai tukar rupiah pada suatu saat tertentu mencerminkan titik keseimbangan
antara permintaan dan penawaran.
Peningkatan permintaan akan rupiah dapat
menyebabkan nilai tukar rupiah meningkat (apresiasi) dan sebaliknya peningkatan
permintaan akan mata uang negara lain menyebabkan nilai tukar rupiah melemah
(depresiasi).
Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai mata uang suatu negara terhadap
mata uang negara lain adalah sebagai berikut:
a. Tingkat inflasi. Peningkatan inflasi di suatu negara relatif terhadap negara lain
akan menyebabkan biaya produksi di negara tersebut menjadi mahal, sehingga
mendorong import yang menyebabkan kebutuhan mata uang negara lain
meningkat, yang akhirnya menurunkan nilai tukar mata uang di negara tersebut.
b. Tingkat suku bunga. Peningkatan suku bunga di suatu negara relatif terhadap
negara lain akan menyebabkan modal masuk (capital inflow) ke negara tersebut,
sehingga mendorong permintaan akan mata uang negara tersebut, sehingga akan
meningkatkan nilai tukar mata uang negara tersebut.
c. Tingkat Pendapatan. Peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan
import yang berarti meningkatkan kebutuhan mata uang negara lain, sehingga
akan menurunkan nilai tukar mata uang negara tersebut.
19
d. Kontrol dari Pemerintah. Pemerintah memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
mengontrol nilai tukar mata uang, dengan melakukan berbagai kebijakan, antara
lain: 1) menerapkan pembatasan nilai tukar mata uang (exchange rate barriers),
2) menerapkan pembatasan perdagangan (foreign trade barriers), 3) melakukan
intervensi pembelian dan penjualan mata uang secara langsung di pasar, 4)
mempengaruhi variabel-variabel makro seperti tingkat inflasi, tingkat suku bunga
dan tingkat pendapatan.
e.
Ekspetasi Pasar. Umumnya ekspetasi pasar didasarkan atas kemungkinan
perubahan tingkat suku bunga dan kondisi ekonomi suatu negara di masa depan.
Spekulator dapat memanfaatkan hal ini untuk mengambil posisi yang berakibat
langsung pada perubahan nilai tukar. (Madura,2003,pp 111-117)
Semua faktor di atas berinteraksi di pasar untuk membentuk nilai tukar suatu
mata uang. Pemahaman mengenai keseimbangan nilai tukar suatu mata uang dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya tidak menjamin keakuratan peramalan nilai
tukar di masa depan.
2.1.3. Hubungan antara Tingkat Suku Bunga dengan Nilai
Tukar Rupiah
Hubungan antara tingkat suku bunga dengan nilai tukar rupiah dapat
dijelaskan dengan menggunakan teori International Fisher Effect (IFE).
20
ef = (1 + ih)/ (1 + if) – 1
dimana:
ef = perubahan nilai tukar rupiah
ih = tingkat suku bunga rupiah
if = tingkat suku bunga USD (US Dollar)
Tingkat suku bunga yang yang dimaksud di sini adalah tingkat suku bunga
nominal, dengan asumsi bahwa suku bunga riil yang diharapkan adalah sama
sehingga perbedaan tingkat suku bunga semata-mata disebabkan perbedaan inflasi,
yang berarti adanya perbedaan Disparitas Daya Beli atau Purchasing Power Parity
(PPP).
Jika tingkat suku bunga rupiah lebih besar dari tingkat suku bunga USD,
maka nilai tukar rupiah akan melemah (depresiasi) terhadap USD, sebaliknya jika
tingkat suku bunga USD lebih besar dari tingkat suku bunga rupiah maka nilai tukar
rupiah akan menguat (apresiasi) terhadap USD. (Madura, 2003, p247).
Suku bunga riil biasanya digunakan sebagai instrumen untuk mempengaruhi
nilai tukar suatu mata uang. Jika tingkat suku bunga riil suatu negara ditingkatkan,
maka diharapkan investor akan tertarik berinvestasi pada mata uang negara tersebut,
sehingga permintaan akan mata uang tersebut meningkat yang berdampak pada
menguatnya nilai tukar mata uang negara tersebut. Jika tingkat suku bunga riil rupiah
lebih tinggi dari tingkat suku bunga USD maka investor akan cenderung menukar
USDnya ke nilai rupiah dan menginvestasikan ke instrumen rupiah yang memberikan
imbal hasil lebih tinggi. Akibatnya nilai tukar rupiah akan menguat terhadap USD.
21
2.2. Bank
2.2.1. Pengertian Bank
Menurut Undang-Undang No.7 tahun 1992 sebagaimana diubah menjadi
Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan, definisi bank adalah badan
usaha yang menghimpun dana dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
A. Abdurrachman dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan
menjelaskan bahwa, “Bank adalah suatu jenis lembaga keuangan yang melaksanakan
berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang,
pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan bendabenda berharga, membiayai usaha perusahaan-perusahaan, dan lain-lain”.
Berdasarkan atas fungsinya, Rose (2002,p4) mendefinisikan bank sebagai
“intermediasi keuangan dalam menerima dana dari pihak luar dan memberikan
pinjaman kepada sejumlah pihak tertentu yang membutuhkan, di samping
memberikan pelayanan jasa keuangan lainnya”.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum
bank adalah lembaga intermediasi keuangan, dengan fungsi utama menerima dana
dari investor dan memberikan pinjaman kepada yang membutuhkan, serta melakukan
pelayanan jasa keuangan lainnya terkait dengan fungsinya sebagai lembaga
keuangan.
22
Berdasarkan tujuan operasinya, bank dapat dibagi menjadi 2 yaitu bank
komersial (commercial bank) dan bank sentral (central), dimana operasi bank
komersial
bertujuan untuk
memperoleh laba sedangkan operasi bank sentral
bertujuan untuk menjaga stabilitas perekonomian makro.
Bank komersial di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 berdasarkan cakupan
operasionalnya, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank
Umum dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sedangkan BPR
dibatasi hanya pada intermediasi keuangan saja. Karena keterbatasan ini, umumnya
BPR hanya beroperasi pada wilayah terbatas dan memiliki jumlah aset yang relatif
kecil dibanding bank umum.
Berdasarkan cara pengelolaannya, maka bank dapat dibagi menjadi 2 yaitu
bank konvensional dan bank syariah. Perbedaan paling prinsip antara bank yang
dikelola dengan prinsip syariah dibanding bank konvensional adalah dalam bank
syariah tidak diterapkan sistem bunga, tetapi berdasarkan bagi hasil sesuai dengan
ajaran agama islam yang mengharamkan riba (bunga).
Berdasarkan besarnya kontribusi terhadap perekonomian nasional dan untuk
memperbandingkan kinerja perbankan nasional, maka Bank di Indonesia biasanya
digolongkan berdasarkan kepemilikannya, yaitu:
a.
Bank Pemerintah Pusat.
Merupakan bank di mana seluruh sahamnya atau sebagian besar sahamnya
dimiliki oleh pemerintah pusat.
23
b.
Bank Pemerintah Daerah.
Merupakan bank di mana seluruh sahamnya atau sebagian besar sahamnya
dimiliki oleh pemerintah daerah.
c.
Bank Swasta Nasional.
Merupakan bank di mana seluruh sahamnya atau sebagian besar sahamnya
dimiliki oleh swasta nasional.
d.
Bank Asing.
Merupakan bank yang seluruh sahamnya dimiliki oleh pihak asing yang
membuka kantor cabangnya di Indonesia, sedangkan kantor pusatnya berada
di luar negeri.
e.
Bank Campuran.
Merupakan bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh pihak asing dan
sebagian dimiliki oleh pihak swasta nasional.
Berdasarkan perizinan untuk melakukan transaksi dalam mata uang asing,
bank dibedakan atas:
a.
Bank Devisa.
Merupakan bank yang menggunakan lebih dari satu jenis mata uang dalam
transaksi perbankan.
b.
Bank Non-Devisa.
Merupakan bank yang hanya menggunakan satu jenis mata uang (rupiah)
dalam transaksi perbankan
24
2.2.1.1. Bank Sentral
Di Indonesia yang berfungsi sebagai bank sentral adalah Bank Indonesia,
yang pembentukan, fungsi dan tanggungjawabnya berdasarkan UU No. 23 tahun
1999 yang telah diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2004. Dengan adanya Undangundang
ini, maka keberadaan Bank Indonesia terpisah dan independen dari
pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya, sehingga diharapkan dapat secara efektif
memelihara kestabilan ekonomi makro melalui keputusan dan kebijakan moneter
yang obyektif tanpa adanya campur tangan dari pihak manapun.
Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah, dimana untuk mencapai tujuan ini maka Bank Indonesia memiliki tugas
sebagai berikut:
a) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter moneter secara berkelanjutan,
konsisten, transparan dengan tetap mempertimbangkan kebijakan umum
pemerintah di bidang perekonomian.
Tugas ini dilakukan melalui operasi pasar terbuka, penetapan tingkat diskonto,
penetapan cadangan wajib minimum (reserve requirements), dan pengaturan
kredit atau pembiayaan.
b) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Pemberian ijin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, menetapkan
penggunaan alat pembayaran, mengatur sistem kliring antar bank, juga memiliki
25
wewenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah, serta mencabut,
menarik, dan memusnahkannya.
c) Mengatur dan mengawasi bank.
Menetapkan ketentuan dalam mengatur perbankan, memberikan ijin usaha suatu
bank, mencabut ijin usaha suatu bank, mewajibkan penyampaian laporan terhadap
bank, melakukan pemeriksaan bank, dan mengatur perkembangan sistem
informasi antar bank.
d) Penyampaian informasi dan laporan keuangan berdasarkan atas prinsip
transparansi dan akuntabilitas.
e) Stabilisator moneter.
Memberikan pinjaman dalam keadaan darurat (lender of last resort) kepada bank
yang mengalami kesulitan likuiditas karena mismatch pendanaan dengan
pinjaman, serta melaksanakan kebijakan moneter melalui berbagai instrumen
kebijakan dalam pengendalian moneter. (Kamsir,2001,p17)
2.2.1.2. Bank Komersial
Bank komersial didirikan dengan tujuan untuk memperoleh laba. Di dalam
melaksanakan fungsinya dan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, Bank Umum
memiliki tiga kegiatan pokok, yaitu:
26
a) Penghimpunan dana dari masyarakat, dengan sasaran meminimumkan biaya
perolehan dana.
b) Alokasi dana atau menanamkan dana yang dikelolanya ke dalam berbagai aset
produktif, dengan sasaran memaksimumkan pendapatan bank.
c) Pelayanan jasa keuangan seperti jasa lalulintas pembayaran dan jasa nonkeuangan lainnya, dengan sasaran memaksimumkan kepuasan nasabah.
Kegiatan utama Bank komersial adalah jasa intermediasi, yang mana
penghasilan utama bank diperoleh dari kegiatan intermediasi ini, berupa selisih
antara bunga pinjaman (alokasi dana) dengan bunga simpanan (penghimpunan dana).
Selain itu bank komersial dapat menyediakan berbagai jasa keuangan dan jasa nonkeuangan lain untuk mendapatkan pendapatan non bunga (fee base income), antara
lain dari kegiatan: jasa jual/beli valuta asing, jasa penyimpanan surat berharga, jasa
pembayaran/transfer, pemberian garansi, penerbitan L/C dan lain sebagainya.
2.2.2. Kinerja Bank
Secara umum, sama seperti perusahaan pada industri lainnya, kinerja bank
diukur berdasarkan laporan keuangan yang umum seperti neraca (balance sheet),
laporan laba rugi (income statement) dan rasio-rasio keuangan umum lainnya, seperti
likuiditas, solvabilitas dan profitabilitas. Selain faktor kuantitatif berdasarkan laporan
27
keuangan yang relatif mudah diukur, kinerja bank ditentukan juga oleh faktor kualitas
seperti sistem dan prosedur operasional, kontrol internal, kualitas dan kompetensi
manajemen dan good corporate governance.
Bank merupakan lembaga intermediasi keuangan yang mengelola risiko dan
merupakan lembaga kepercayaan masyarakat, karena itu bank diwajibkan oleh BI
untuk mempublikasikan laporan keuangannya yang mencerminkan kondisi, kinerja
dan perkembangan bank secara teratur, sebagai salah satu bentuk transparansinya
kepada publik.
Salah satu sarana publikasi laporan keuangan bank adalah pada
website Bank Indonesia (www.bi.go.id).
2.2.2.1. Penjelasan mengenai Laporan Keuangan Bank
Laporan keuangan bank dibuat dan disusun berdasarkan Pernyataan Standard
Akuntansi Keuangan (PSAK) No.31 tentang Akuntansi Perbankan, dan PSAK yang
terkait, misalnya PSAK No.55 tentang Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktivitas
Lindung Nilai, PSAK No. 54 tentang Restrukturisasi Hutang Piutang Bermasalah,
PSAK 16, 17 tentang Aktiva Tetap dan Akuntansi Penyusutan, dan lain sebagainya.
Selain itu Bank Indonesia juga menerbitkan Pedoman Akuntansi Perbankan
Indonesia (PAPI) yang dapat dijadikan referensi bagi bank dalam menyusun laporan
keuangannya.
28
Laporan keuangan bank yang dipublikasikan pada website BI terdiri atas 6
laporan, yaitu sebagai berikut:
a) Neraca (Balance Sheet)
b) Laporan Laba Rugi (Income Statement)
c) Komitmen dan Kontinjensi
d) Kualitas Aktiva Produktif
e) Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) atau Capital
Adequacy Ratio (CAR)
f) Perhitungan Rasio Keuangan
a) Neraca
Seperti umumnya neraca perusahaan, maka
sisi aset pada bank diurut
berdasarkan ukuran kelancaran (likuiditas) suatu aset. Sebagai lembaga perantara
keuangan (intermediary), maka sebagian besar sisi aset bank adalah aset yang
menghasilkan pendapatan bunga (interest bearing asset) yang biasa juga disebut
aktiva produktif, baik berupa investasi pada surat berharga maupun pemberian
pinjaman. Pada kondisi ekonomi normal, pinjaman merupakan aset yang paling
besar dari suatu bank karena dapat memberikan imbal hasil (return) tertinggi
dibandingkan dengan aset lainnya.
Bank juga memiliki aset yang tidak menghasilkan pendapatan bunga, antara lain
yang digunakan sebagai cadangan primer likuiditas yaitu kas dan Giro Wajib
Minimum (reserve requirement) yang ditempatkan sebagai giro pada BI, yang
29
mana besarnya ditentukan oleh BI. Selain itu bank memiliki aktiva tetap (fixed
asset) yang digunakan untuk mendukung kegiatan operasionalnya. Umumnya
aktiva tetap suatu bank sangat kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan nilai
asetnya.
Sisi kewajiban diurut berdasarkan jatuh temponya dan menunjukkan struktur
dana bank. Umumnya kewajiban terbesar bank adalah dana yang ditempatkan
oleh masyarakat yang umumnya disebut sebagai Dana Pihak Ketiga (DPK) baik
dalam bentuk giro, tabungan dan deposito, yangmana bank memberikan bunga
atas penempatan dana tersebut (interest bearing liabilities). Semakin mudah
dana ditarik, maka semakin rendah pula suku bunga yang diberikan oleh bank.
Karena itu deposito yang memiliki tanggal jatuh tempo merupakan dana mahal
dibandingkan dengan giro atau tabungan, yang dapat ditarik kapan saja. Kadang
bank juga memiliki kewajiban dalam bentuk pinjaman dari bank lain, baik yang
biasanya bersifat pinjaman jangka pendek, ataupun pinjaman jangka panjang dari
penerbitan obligasi.
Bank memiliki modal (equity) yang sangat kecil dibandingkan dengan total
asetnya, karena itu bank dikatakan memiliki tingkat financial leverage yang
sangat tinggi jika dibandingkan dengan jenis industri lain. Modal bank terdiri
dari modal disetor dan hasil akumulasi dari laba operasional.
b) Laporan Laba Rugi (Income Statement)
Informasi paling penting yang dapat diperoleh dari laporan laba-rugi adalah
struktur penerimaan dan biaya bank, selain dapat memberikan gambaran tentang
efisiensi operasional bank.
30
Penghasilan utama bank berasal dari selisih (spread) antara bunga yang diterima
dari pinjaman/penempatan pada investasi dengan bunga yang dibayarkan kepada
investor. Selisih bunga ini sering disebut pendapatan bunga bersih (net interest
margin).
Selain melakukan intermediasi keuangan, bank juga menyediakan
layanan jasa-jasa keuangan lain seperti memperlancar sistem pembayaran,
melakukan transaksi valuta asing. Aktivitas ini menyebabkan bank memiliki
sumber penghasilan lain yang biasa disebut pendapatan non-bunga (non-interest
income) atau yang biasanya disebut fee base income. Pendapatan non-bunga
relatif tidak berisiko bagi bank, karena merupakan pendapatan komisi/jasa atas
pelayanan bank.
Jika dilihat dari sisi biaya, maka biaya yang paling besar bagi bank adalah biaya
bunga yang dibayarkan kepada investor. Sebagai bagian dari manajemen risiko
kredit, maka bank diwajibkan mencadangkan biaya provisi sebagai cadangan
penempatan investasi/pinjaman bermasalah yang disebut juga beban/biaya
penghapusan aktiva produktif (provision for loan losses (PLL)), yang ditentukan
besarnya berdasarkan kriteria tertentu. Berdasarkan kriteria umum, besarnya
biaya ini selain mencerminkan besarnya penempatan investasi/pinjaman juga
mencerminkan permasalahan yang ada pada investasi/pinjaman. Semakin buruk
kualitas investasi/pinjaman, maka semakin besar pula biaya penghapusan aktiva
produktif.
Sebagai
industri jasa yang memanfaatkan sumber daya manusia untuk
menghasilkan pendapatan,
administrasi yang cukup besar.
maka bank memiliki
biaya personalia dan
31
c) Komitmen dan Kontijensi
Laporan komitmen dan kontinjensi merupakan laporan yang biasanya tidak ada
pada neraca, tetapi umumnya dilampirkan sebagai catatan tambahan dari neraca
dan biasanya disebut off-balance sheet.
Laporan komitmen dan kontinjensi
memiliki pengaruh terhadap kondisi keuangan bank di masa depan.
Komitmen adalah ikatan atau kontrak berupa janji yang tidak dapat dibatalkan
(irrevocable) secara sepihak dan harus dilaksanakan apabila persyaratan yang
disepakati bersama dipenuhi. Komitmen dalam kegiatan usaha bank meliputi
antara lain: penerbitan L/C yang tidak dapat dibatalkan (irrevocable L/C),
penerbitan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN), Fasilitas kredit
diberikan yang belum ditarik, dan fasilitas pinjaman diterima yang belum ditarik.
Kontinjensi adalah kondisi atau situasi dengan hasil akhir berupa keuntungan atau
kerugian yang baru dapat dikonfirmasi setelah terjadinya satu peristiwa atau lebih
pada masa yang akan datang. Kontinjensi dalam kegiatan usaha bank meliputi
antara lain: Garansi Bank, Standby L/C, Revocable L/C dan Pendapatan Bunga
dalam Penyelesaian.
d) Kualitas Aktiva Produktif
BI menggolongkan Kualitas Aktiva Produktif ke dalam 5 tingkatan berdasarkan
kriteria kuantitatif dan kualitatif, yang jika diurut dari kualitas terbaik adalah
sebagai berikut: 1) Lancar (L), 2) Dalam Perhatian Khusus (DPK), 3) Kurang
Lancar (KL), 4) Diragukan (D), dan 5 Macet (M).
Standar kriteria kuantitatif yang umum digunakan adalah kemampuan
peminjam/debitur dalam melakukan pembayaran bunga dan hutang pokok.
32
Semakin buruk kualitas aktiva produktif,
maka semakin sedikit pendapatan
bunga yang didapat oleh bank karena ketentuan akuntansi yang tidak
memperbolehkan pencatatan cadangan bunga secara accrual basis untuk kualitas
aktiva produktif mulai dari level 3 ke atas.
Semakin buruk kualitas aktiva
produktif, maka semakin besar pula kewajiban pembentukan Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif
(PPAP), sehingga akan menyebabkan biaya
penghapusan aktiva produktif (PLL) meningkat.
PPAP merupakan cadangan
dana bank untuk menghadapi potensi kerugian dari permasalahan aktiva
produktif.
e) Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) atau Capital
Adequacy Ratio (CAR)
KPMM merupakan rasio kewajiban penyediaan modal minimum, yang dihitung
berdasarkan perbandingan antara 2 komponen yaitu:
Modal (equity) dengan
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) atau Risk Weighted Asset (RWA).
Modal dibedakan berdasarkan Modal Inti dan Modal Pelengkap, sedangkan aset
dibobotkan berdasarkan risikonya masing-masing.
Rasio KPMM ini sangat penting bagi bank, karena merupakan ukuran modal bank
untuk mendukung risiko usahanya, dan karena itu akan dibahas secara terperinci
pada sub bab lainnya.
f) Perhitungan Rasio Keuangan
Rasio keuangan bank digunakan untuk melihat kinerja bank dan membandingkan
kinerja bank antara satu bank dengan bank yang lain. Beberapa rasio keuangan
bank yang umum digunakan dalam menilai kinerja bank dan yang dipublikasikan
33
adalah bagian dari penilaian kinerja bank berdasarkan metode Capital, Asset,
Management, Earning, Liquidity, Sensitifity to Market Risk (CAMELS) yang
dapat diukur secara kuantitatif, yaitu antara lain:
1. Rasio Permodalan, yaitu a) CAR (Capital Adequacy Ratio) atau KPMM dan
b) Aktiva Tetap terhadap Modal
2. Rasio Aktiva Produktif, yaitu: a) Aktiva produktif Bermasalah,
b) Non
Performing Loan (NPL), c) PPAP terhadap Aktiva Produktif, d) Pemenuhan
PPAP.
3. Rasio Rentabilitas atau Profitabilitas, yaitu: a) ROA, b) ROE, c) NIM, d)
BOPO
4. Rasio Likuiditas, yaitu: LDR
5. Rasio Kepatuhan, yaitu: a) pelanggaran BMPK, b) GWM
dan c) Posisi
Devisa Netto. (Siamat.2001.p91)
2.2.2.2. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank berdasarkan
CAMELS
Tingkat kesehatan bank merupakan penilaian kinerja bank secara menyeluruh
dan komprehensif yang dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan komponen
penilaian dan kriteria tertentu. Pada tanggal 12 April 2004, Bank Indonesia selaku
otoritas pengawasan bank mengeluarkan Peraturan BI No. 6/10/PBI/2004 tentang
sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum yang dimaksudkan untuk mengetahui
34
kondisi suatu bank secara berkesinambungan dan melakukan tindakan perbaikan
untuk menghindari kerugian yang lebih besar bagi semua pihak terkait, terutama bagi
masyarakat pengguna jasa bank.
Peraturan BI ini memperbaharui sistem penilaian tingkat kesehatan bank
yang sebelumnya dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 sebagaimana telah diubah dengan Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/277/KEP/DIR tanggal 19 Maret 1998.
Dasar pertimbangan perubahan dan perbaikan sistem penilaian tingkat kesehatan
bank adalah karena pesatnya perkembangan yang terjadi di bidang perbankan yang
berpengaruh pada meningkatnya kompleksitas usaha bank dan profil risiko yang
dimiliki bank dan perubahan metodologi penilaian kondisi bank berdasarkan standar
penerapan secara internasional.
Tingkat kesehatan Bank merupakan hasil penilaian kualitatif atas berbagai
aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian
kuantitatif, dan atau penilaian kualitatif terhadap faktor-faktor permodalan, kualitas
aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas dan sensitifitas terhadap risiko pasar.
Penilaian terhadap faktor-faktor tersebut dilakukan melalui penilaian kuantitatif dan
atau kualitatif serta mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas
materialitas dan signifikansi dari faktor-faktor penilaian serta pengaruh dari faktor
lainnya seperti kondisi perbankan dan perekonomian nasional.
Bagi perbankan, hasil akhir penilaian tingkat kesehatan bank dapat digunakan
sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di masa depan sedangkan
35
bagi Bank Indonesia dapat digunakan sebagai sarana penetapan dan implementasi
strategi pengawasan bank oleh Bank Indonesia.
Penilaian tingkat kesehatan bank mencakup penilaian terhadap faktor-faktor
CAMELS (Capital, Asset Quality, Management, Earning, Liquidity and Sensitivity to
Market Risk) (Kasmir,2004,p49-50 dan PBI No. 6/10/PBI/2004).
2.2.2.3. Manajemen Risiko Bank
Secara umum risiko dapat didefinisikan sebagai potensi atau kecenderungan
kejadian yang berlanjut yang dapat menyebabkan kerugian di masa depan atau
fluktuasi pendapatan di masa depan. Risiko jika dilihat dari sudut pandang teori
keuangan adalah ketidakpastian akibat fluktuasi (naik-turunnya) laba perusahaan.
Risiko dapat dibedakan menjadi risiko khusus dan risiko sistemik, dimana risiko
khusus (spesifik risk) adalah risiko yang dialami oleh industri atau perusahaan
tertentu terkait dengan operasionalnya karena suatu kejadian tertentu, sedangkan
risiko sistemik (systemic risk) adalah risiko yang dialami oleh seluruh perusahaan
atau pasar (market) karena adanya suatu kejadian tertentu.
Peranan bank sebagai lembaga perantara
dari pihak
investor (deposits)
kepada peminjam (lender), telah mentransfer risiko-risiko yang mungkin dihadapi
oleh kedua pihak tersebut kepada bank. Karena itu bisnis bank sangat terkait dengan
pengambilan risiko dan pengelolaan risiko, sehingga diperlukan manajemen risiko
36
yang baik. Manajemen Risiko dapat didefinisikan sebagai serangkaian prosedur dan
metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank.
Pada dewasa ini, situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan
mengalami perkembangan yang pesat yang secara otomatis akan diikuti oleh semakin
kompleksnya risiko bagi kegiatan usaha perbankan. Dengan semakin kompleksnya
risiko tersebut akan meningkatkan kebutuhan pengelolaan risiko secara terukur yang
dapat mengurangi kerugian bagi bank sehingga tidak menimbulkan kerugian yang
melebihi kemampuan bank atau yang dapat mengganggu kelangsungan usaha bank.
Keharusan perbankan Indonesia untuk melakukan manajemen risiko
ditetapkan oleh Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003. Manajemen risiko dapat
dilakukan secara efektif oleh bank dengan menjalankan sistem tata kelola perusahaan
yang sehat (good corporate governance) yang melibatkan partisipasi aktif organisasi
dan seluruh karyawan bank dengan melakukan pengelolaan risiko secara sistematis
dan menyeluruh terhadap semua kemungkinan risiko yang dihadapi bank, yang
mencakup antara lain:
•
Pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi
•
Kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit
•
Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian
risiko serta sistem informasi manajemen risiko, dan
•
Sistem pengendalian intern secara menyeluruh
37
Terkait dengan perubahan dan pergerakan tingkat suku bunga dan nilai tukar
rupiah, maka secara langsung bank menghadapi risiko pasar yang didefinisikan
sebagai risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio
yang dimiliki oleh Bank yang dapat merugikan Bank. Yang dimaksud dengan
variabel pasar adalah suku bunga dan nilai tukar termasuk derivasi dari kedua jenis
risiko pasar tersebut yaitu perubahan harga option.
Risiko pasar antara lain terdapat pada aktivitas fungsional Bank seperti
kegiatan treasury dan investasi dalam bentuk surat berharga dan pasar uang maupun
penyertaan pada lembaga keuangan lainnya, penyediaan dana (pinjaman dan bentuk
sejenis) dan kegiatan pendanaan dan penerbitan surat utang, serta kegiatan
pembiayaan perdagangan.
Dalam bisnis bank di Indonesia, terdapat 2 jenis variabel risiko pasar yaitu:
1. Risiko suku bunga (interest rate risk) adalah potensi kerugian yang timbul akibat
pergerakan suku bunga di pasar yang berlawanan dengan posisi atau transaksi
bank yang mengandung risiko suku bunga.
2. Risiko nilai tukar (foreign exhange risk) adalah risiko kerugian akibat pergerakan
yang berlawanan dari nilai tukar pada saat bank memiliki posisi terbuka.
Skala dan kompleksitas operasional dan usaha dari setiap bank yang berbeda
menyebabkan penerapan manajemen risiko di setiap bank disesuaikan dengan tujuan,
kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan bank. Semakin
baik suatu bank melakukan aktivitas manajemen risiko, maka semakin tinggi
kemampuan bank untuk menghadapi risiko dan semakin meningkatkan nilai bank di
hadapan masyarakat.
38
2.2.2.4.
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) atau
Capital Adequacy Ratio (CAR)
Bank sebagai lembaga keuangan memiliki tingkat financial leverage yang
sangat tinggi, karena rasio aset dibanding modal sangat besar. Risiko-risiko yang
sangat tinggi sebagai lembaga perantara menghadapkan bank kepada kemungkinan
kerugian yang dapat mengurangi modal bank dan pada akhirnya berakibat pada
ketidakmampuan bank untuk menyelesaikan kewajibannya kepada masyarakat dan
dapat memberikan pengaruh buruk kepada perekonomian suatu negara.
Modal bank merupakan motor penggerak kegiatan usaha bank, sehingga
besar kecilnya modal akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan bank untuk
melaksanakan kegiatan operasinya. Dengan modal yang kecil maka kapasitas usaha
bank menjadi terbatas mengingat modal merupakan proxi daripada kemampuan bank
untuk meng-cover risiko-risiko usaha yang dihadapi.
Industri perbankan merupakan suatu industri yang bersifat capital intensive,
sangat berbeda dengan industri lainnya yang bersifat skill intensive seperti industri
teknologi informasi, atau labour intensive seperti pabrik. Merupakan sesuatu yang
logis, jika industri perbankan yang bersifat capital intensive membutuhkan modal
yang besar, karena bank harus mengelola dana masyarakat dengan segala macam
risikonya, sehingga bank tentunya harus memiliki kapasitas dan kemampuan yang
memadai untuk menanggung kerugian yang timbul dari risiko-risiko yang muncul.
39
Untuk itu, permodalan bank sebagai buffer dari risiko yang dihadapi bank harus
diperkuat dan terus ditingkatkan sejalan dengan besarnya risiko yang dihadapi bank.
Dari sisi investor, semakin tinggi rasio financial leverage equity multiplier
(Equity Multiplier = asset / equity), berpotensi meningkatkan Return on Equity
(ROE). Semua investor/pemilik bank berkeinginan mendapatan imbal hasil yang
tinggi dengan nilai investasi/penyertaan saham sekecil mungkin. Sebagai akibat dari
semakin kecil modal, maka akan semakin kecil insentif dari pemegang saham untuk
mengawasi tindakan manajemen yang berani mengambil risiko secara berlebihan,
dengan asumsi logis bahwa lebih besar kemungkinan keuntungan jika sesuatunya
berjalan lancar dibandingkan dengan kemungkinan kerugian yang akan dialami.
Sebaliknya masyarakat
penyimpan dana
menginginkan
rasio kapital
(modal/total aset) yang lebih tinggi untuk melindungi dana masyarakat atas potensi
tidak terbayarnya dana yang disimpan ke bank.
Demikian pula pemerintah
menginginkan rasio kapital yang lebih tinggi untuk melindungi kerugian dana
pemerintah (lembaga penjaminan simpanan) dan meyakinkan bahwa
sistem
pembayaran dapat berjalan dengan lancar.
Untuk mengakomodir dua kepentingan tersebut, dari sisi kepentingan investor
dan dari sisi kepentingan masyarakat dan pemerintah, maka diperlukan keseimbangan
mengenai besarnya modal yang diperlukan oleh lembaga perbankan dalam
menjalankan usahanya. Karena itu BI sebagai pengatur perbankan menetapkan besar
minimum rasio kecukupan modal yang biasa disebut Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) atau Capital Adequacy Ratio (CAR) untuk mendukung usaha
dan operasional bank.
40
Besarnya modal bank sangat penting jika ditinjau dari alasan-alasan sebagai
berikut, di antaranya: a) untuk mengantisipasi kerugian di masa depan, b) untuk dapat
memenuhi kewajiban pembayaran dana pihak ketiga dan mendukung kelancaran
sistem pembayaran, c) memberikan dana jangka panjang untuk untuk investasi jangka
panjang dan pertumbuhan aset termasuk akusisi perusahaan lain, d) memberikan
kepercayaan kepada masyarakat atau kreditor untuk dana yang tidak masuk dalam
skema penjaminan,
e) menghindari intervensi pemerintah dengan memenuhi
persyaratan modal, f) memberikan kontribusi untuk peringkat kredit
yang lebih
tinggi sehingga bisa mendapatkan dana dengan biaya yang lebih rendah.
Besaran CAR minimum dan metode perhitungan CAR di Indonesia
ditentukan dan diatur oleh Bank Indonesia, dimana dalam menentukan Bank
Indonesia mengadopsi standard best practice International, the Basel Capital Accord
1988 dan The New Basel Capital Accord yang dilakukan secara bertahap dengan
penyesuaian tertentu sesuai kondisi Indonesia.
Rumus perhitungan CAR adalah sebagai berikut:
CAR = Capital / Risk Weighted Asset (RWA)
atau
KPMM = Modal / Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)
Modal yang dipakai untuk perhitungan CAR menurut PBI No.3/21/PBI/2001
tanggal 13 Desember 2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Umum dan PBI No.5/12/PBI/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar
(Market Risk):
41
1. Modal Inti (Tier 1), yang terdiri dari:
a. Modal Disetor, yang mana goodwill diperhitungkan sebagai faktor pengurang
b. Cadangan Tambahan Modal (disclosed reserve), yang mana faktor-faktornya
terdiri dari: agio/disagio, modal sumbangan, cadangan umum modal,
cadangan tujuan modal, laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan
pajak/rugi tahun lalu, laba tahun berjalan setelah diperhitungkan taksiran
pajak sebesar 50%/rugi tahun berjalan, selisih lebih/kurang penjabaran
laporan keuangan cabang luar negeri, dana setoran modal, penurunan nilai
penyertaan pada portfolio yang tersedia untuk dijual.
2. Modal Pelengkap (Tier 2), yang terdiri dari:
a. Cadangan revaluasi aktiva tetap
b. Cadangan umum penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) maksimal
1,25% dari aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR)
c. Modal pinjaman (hybrid/kuasi kapital)
d. Pinjaman subordinasi maksimal 50% dari modal inti
e. Peningkatan nilai penyertaan pada portfolio yang tersedia untuk dijual
maksimal 45%. Modal pelengkap yang diijinkan maksimal hanya sebesar
modal inti.
3
Modal Pelengkap Tambahan (Tier 3),
yaitu pinjaman subordinasi jangka
pendek yang hanya dapat digunakan untuk memperhitungkan risiko pasar yang
terdiri risiko bunga (interest risk) dan risiko nilai tukar (foreign exchange risk),
dengan persyaratan maksimal sebesar 50% dari modal inti.
42
Pada saat ini perhitungan Risk Weighted Asset (RWA) atau Aktiva Tertimbang
Menurut Risiko (ATMR) yang berlaku untuk perbankan Indonesia adalah
berdasarkan SK.DIR.BI 26/20/KEP/.DIR tanggal 29 Mei 1993 dan SE.BI
No.26/1/BPPP tanggal 29 Mei 1993.
Pengertian aktiva dalam perhitungan ini
mencakup baik aktiva yang tercantum dalam neraca (on-balance sheet) maupun
aktiva yang bersifat administratif (off-balance sheet). Terhadap masing-masing jenis
aktiva tersebut ditetapkan bobot risiko yang didasarkan pada kadar risiko yang
terkandung pada aktiva itu sendiri atau bobot risiko yang didasarkan pada golongan
nasabah, penjamin serta sifat agunan. Untuk kredit-kredit yang penarikannya
dilakukan secara bertahap, bobot risiko dihitung berdasarkan besarnya penarikan
kredit pada tahap yang bersangkutan. Bobot risiko aktiva di mulai dari 0% yang
berarti tidak berisiko, misalnya uang tunai, tagihan kepada BI atau pemerintah sampai
pada risiko 100% untuk pinjaman dan aktiva tetap.
2.2.3. Hubungan antara Tingkat Suku Bunga dan Perubahan
Nilai Tukar Rupiah terhadap Kinerja Bank
2.2.3.1. Hubungan antara Kinerja Bank dengan Tingkat Suku
Bunga
Pendapatan utama bank berasal dari selisih antara suku bunga yang diberikan
kepada peminjam dengan suku bunga yang diberikan kepada deposan.
Perubahan
43
tingkat suku bunga secara langsung akan mempengaruhi pendapatan bunga dari bank.
Sebagai pengaman, jika terjadi kenaikan suku bunga deposan (liability), maka bank
akan menanggapi
kenaikan tersebut dengan menaikkan suku bunga aktiva
produktifnya (pinjaman), sehingga bank akan tetap dapat mempertahankan selisih
bunga bersih (net interest margin). Secara ideal kebijakan ini dapat dilakukan jika
tidak ada perbedaan jatuh tempo (maturity gap) antara sisi pendanaan dan aktiva
produktif, dan suku bunga pendanaan dan aktiva produktif
adalah sama-sama
berdasarkan suku bunga mengambang (variable/floating rate).
Kenyataan pada praktek adalah sangat sulit bagi bank untuk menyesuaikan
jatuh tempo dan jenis suku bunga antara aktiva produktif dan pendanaan. Aktiva
produktif bank terdiri dari suku bunga tetap dan suku bunga mengambang dengan
jatuh tempo yang berbeda-beda, dan pada sisi lain pendanaan bank juga terdiri dari
suku bunga tetap dan suku bunga mengambang dengan jatuh tempo yang juga
berbeda-beda. Ketidaksesuaian (mismatch) antara aktiva produktif dan pendanaan
baik dari faktor jenis bunga (suku bunga tetap/ mengambang) maupun dari faktor
jatuh tempo menyebabkan bank dihadapkan kepada risiko akibat perubahan suku
bunga (interest rate risk).
Dalam hal suku bunga pendanaan dinaikkan karena perubahan di pasar,
sedangkan suku bunga aktiva produktif tidak dinaikkan, maka selisih suku bunga
bersih (net interest margin)
bank akan turun, yang akan mengurangi laba.
Sebaliknya jika suku bunga pendanaan turun, sedangkan suku bunga pada sisi aktiva
produktif tidak diturunkan maka selisih suku bunga bersih bank akan naik yang akan
meningkatkan laba. Bank yang tidak dapat mengelola dengan baik mismatch jatuh
44
tempo dan jenis suku bunga antara aktiva produktif dan pendanaan, akan memiliki
risiko perubahan suku bunga yang besar.
Sisi lain dari kenaikan suku bunga adalah potensi aktiva produktif bank
menjadi bermasalah, karena peminjam tidak mampu untuk membayar bunga dan
pokok pinjaman selain karena suku bunga yang lebih tinggi, juga disebabkan suku
bunga yang tinggi dapat menghantam bisnis dan operasional perusahaan.
Bank dapat pula memanfaatkan kecenderungan perubahan suku bunga untuk
memaksimalkan keuntungannya. Jika suku bunga cenderung naik, maka bank dapat
mengantisipasi dengan strategi pendanaan dengan suku bunga tetap, sedangkan
penempatan pada aktiva produktif dengan suku bunga mengambang. Sebaliknya jika
suku bunga turun, maka bank dapat mengantisipasi dengan strategi pendanaan
dengan suku bunga mengambang dan penempatan pada aktiva produktif dengan suku
bunga tetap.
Jika dianalisis dari kondisi perbankan Indonesia terlihat bahwa secara umum
suku bunga pendanaan sebagian besar mengambang, karena penempatan yang
dilakukan deposan paling besar dengan jatuh tempo maksimal 1 bulan, sedangkan
paling lama adalah deposito 2 tahun dengan jumlah yang tidak berarti.
Sedangkan
dari sisi aktiva produktif kelihatan bahwa suku bunga pinjaman hampir sebagian
besar juga adalah variabel dengan jangka waktu yang lebih panjang minimal 1 tahun.
Dalam 3 tahun terakhir, dengan semakin maraknya obligasi yang diterbitkan
pemerintah berupa obligasi rekapitalisasi dan Surat Utang Negara dan obligasi sektor
swasta serta kecenderungan suku bunga turun, maka beberapa bank telah memiliki
portfolio aktiva berupa obligasi dengan suku bunga tetap.
Akhir-akhir ini dengan
45
suku bunga yang cenderung meningkat, harga pasar dari obligasi dengan suku bunga
tetap menurun secara tajam.
2.2.3.2. Hubungan antara Kinerja Bank dengan Perubahan
Nilai Tukar Rupiah
Bank yang memiliki izin untuk melakukan transaksi dalam mata uang selain
rupiah atau Bank Devisa memiliki risiko langsung terhadap fluktuasi nilai tukar
rupiah. Pengaruh fluktuasi nilai tukar rupiah sangat tergantung kepada komposisi
aktiva dan pasiva bank, termasuk komitmen tagihan dan kewajiban.
Jika bank
memiliki posisi aktiva dan komitmen tagihan yang dalam valuta asing lebih besar
dari posisi pasiva dan komitmen kewajiban dalam valuta asing (posisi long atau
overbought), maka bank akan memperoleh pendapatan selisih kurs jika nilai tukar
rupiah melemah. Sebaliknya pada posisi short atau oversold, bank akan memperoleh
kerugian selisih kurs jika nilai tukar rupiah menguat.
Selisih antara posisi aktiva dan komitmen tagihan dengan posisi pasiva dan
komitmen kewajiban valuta asing bank dinamakan sebagai posisi terbuka (open
position) valuta asing bank. Untuk mengamankan posisi bank terhadap fluktuasi
nilai tukar, bank dapat mengambil posisi netral (square), dimana posisi terbuka
adalah nihil. Dengan tidak adanya posisi terbuka, berarti bank tidak memiliki risiko
terhadap perubahan nilai tukar rupiah.
46
Berdasarkan data historis, posisi terbuka ini sangat berbahaya bagi bank. Di
dalam negeri dapat dikemukakan contoh Bank Duta yang bangkrut akibat posisi
terbuka valuta asing ini. Menyadari hal ini, Bank Indonesia telah mengeluarkan
peraturan mengenai pembatasan Posisi Devisa Neto (PDN) atau Net Open Position
(NOP) maksimal yang dapat dipelihara oleh bank. Dengan pengaturan ini, maka
diharapkan
kerugian
dibatasi/diminimalkan.
bank
akibat
fluktuasi
nilai
tukar
rupiah
dapat
Pengaturan mengenai PDN berubah sesuai dengan
perkembangan keadaan dan kondisi, dan dapat digunakan sebagai salah satu alat bagi
Bank Indonesia untuk membatasi kegiatan spekulasi nilai tukar rupiah.
Perubahan nilai tukar rupiah dapat dimanfaatkan oleh bank untuk
memaksimalkan keuntungan, dengan melakukan perdagangan valuta asing. Banyak
bank
memiliki
divisi
dealing
room
yang
salah
satu
tugasnya
adalah
memperdagangkan mata uang untuk mendapatkan keuntungan. Dengan ekspektasi
yang benar terhadap pergerakan mata uang, maka bank dapat diuntungkan dengan
kegiatan ini, sebaliknya jika ekspektasinya salah maka bank berpotensi untuk rugi.
Secara tidak langsung perubahan nilai tukar rupiah juga mempengaruhi
pendapatan dan biaya operasional bank. Jika komponen biaya bank lebih banyak
terdiri dari mata uang asing, misalnya: biaya sistem informasi teknologi dan biaya
layanan nostro, maka jika terjadi depresiasi nilai rupiah akan menyebabkan
peningkatan biaya bank.
Lebih jauh pengaruh perubahan nilai tukar juga dapat berdampak pada
pinjaman bermasalah. Jika terjadi depresiasi rupiah, maka pinjaman bank yang
diberikan dalam mata uang asing kepada debitur yang bukan berorientasi ekspor
47
berpotensi untuk macet, karena nominal rupiah dari pinjaman tersebut akan
meningkat sedangkan pendapatan debitur dalam rupiah yang semakin kecil nilainya.
Bank Devisa yang tidak dapat melakukan manajemen risiko terhadap risiko
nilai tukar rupiah, akan terpengaruh kinerjanya dengan adanya fluktuasi nilai tukar
rupiah.
2.2.4. Pengaturan dan Pengawasan Bank di Indonesia
2.2.4.1 Standar Pengawasan Internasional
Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) yang berpusat di Basel,
Swiss didirikan pada akhir tahun 1974 oleh para gubernur bank sentral dari negaranegara industri/maju.
Tujuan Basel Committee adalah melakukan kerjasama dan
harmonisasi dalam pengawasan perbankan secara internasional.
Dengan adanya
harmonisasi standar internasional dalam pengaturan dan pengawasan perbankan,
diharapkan dapat memperbaiki iklim dan lingkungan operasi bagi bank-bank yang
aktif melakukan transaksi internasional, di era globalisasi dengan semakin
terintegrasinya sistem finansial dunia.
Bank yang dapat melakukan transaksi secara internasional memiliki risiko
yang lebih luas dan dapat
memberikan risiko kepada pihak lawan transaksinya
(counterparty), karena hal-hal yang dijelaskan sebagai berikut:
48
a. Sulitnya pengawasan, karena struktur organisasi yang rumit dan luas jangkauan
operasi yang meliputi berbagai yurisdiksi yang berbeda.
b. Perbedaan pengaturan dan pengawasan bank antar negara yang digunakan oleh
bank sebagai peluang untuk memiliki yurisdiksi yang paling longgar
peraturannya, sehingga risiko usahanya menjadi lebih besar.
c. Sistem perbankan antar negara yang saling terkait dan semakin terintegrasi
menyebabkan krisis perbankan yang cukup signifikan di suatu negara dapat
berdampak luas secara internasional atau global.
Sepanjang sejarah perbankan dunia, terdapat berbagai negara yang mengalami
masalah perbankan dengan kategori signifikan
sampai dengan krisis, termasuk
negara-negara yang tergolong maju seperti Amerika Serikat (1982 – 1992) dan
Kanada (1983 – 1985). Masalah perbankan sebagian besar juga dialami oleh negara
berkembang. Penyebab pokoknya adalah besarnya kredit bermasalah serta kondisi
dan kebijakan ekonomi makro yang kurang kondusif.
Penyebab permasalahan
perbankan, bersumber dari 3 faktor penting yang saling terkait, yaitu: 1) kualitas
manajemen bank, terutama dalam melakukan manajemen risiko, 2) kondisi dan
kebijakan ekonomi makro, dan 3) efektifitas pengawasan bank (Gandapraja, 2004, pp
40-41).
Ada 3 produk kesepakatan Basel Committee yang relevan untuk kerja sama
dan harmonisasi pengaturan dan pengawasan bank secara internasional dan
menyeluruh dewasa ini, yaitu:
a. International Convergence of Capital Measurement and Capital Standard,
Oktober 1988 (Capital Accord 1988).
49
b. Consultative Document Overview of The New Basel Capital Accord, Januari 2001
(New Basel Capital Accord).
c. Core Principles for Effective Banking Supervision, September 1997.
a. Capital Accord 1988
Capital Accord 1988 dikenal juga dengan nama Basel Accord I, merupakan
kesepakatan dan upaya bersama dari bank-bank sentral di dunia untuk memperkuat
permodalan bank di masing-masing negara sedemikian rupa sehingga modal bank
dinilai cukup kuat untuk memikul potensi kerugian di masa datang sebagai risiko atas
pemberian kreditnya. Hal ini mencakup prinsip, sistem pembobotan, formula dan
standar minimum permodalan bank serta target waktu penerapan.
Secara prinsip Basel Accord I ini mewajibkan Kewajiban Pembentukan
Modal Minimum (KPMM) atau Capital Adequacy Ratio (CAR)
yang
perhitungannya berdasarkan ketentuan dan pertimbangan yang ada pada dokumen
tersebut.
Memperhatikan perkembangan risiko dan sistem perbankan, pada tahun 1996
The Basel Committee mengumumkan kesepakatan yang merupakan amandemen
terhadap ”The Basel Accord 1988” , dengan memasukkan unsur risiko pasar (market
risk) untuk memperhitungkan kecukupan modal minimum bagi bank. Risiko pasar
adalah risiko yang ditimbulkan oleh perubahan suku bunga (interest rate) dan nilai
tukar (exchange rate) di pasar terhadap aset yang dikelola oleh bank. Sehubungan
dengan hal ini, modal pada lapisan ketiga (Tier 3 In Capital) bisa dibentuk, misalnya
dengan pinjaman subordinasi jangka pendek yang mengandung klausul dapat diubah
50
menjadi modal, jika bank mengalami kekurangan modal untuk memikul risiko
usahanya (Gandapraja, 2004, pp 49-50).
b. The New Basel Capital Accord
Dalam perkembangannya Basel Accord I dinilai tidak memadai lagi, karena
perkembangan yang pesat dalam aktivitas dunia perbankan antara lain pasar
keuangan yang semakin dinamis, perkembangan teknologi dan instrumen-instrumen
baru di pasar keuangan termasuk transaksi derivatif, semakin meluasnya kegiatan
bank dengan dilakukannya pula kegiatan di luar perbankan, seperti aktivitas sekuritas
dan asuransi.
The New Basel Capital Accord atau yang biasa disebut Basel Accord II
mengusulkan penerapan tiga pilar secara bersamaan, yaitu:
•
Pilar 1 Kecukupan modal minimum (Minimum Capital Requirements)
•
Pilar 2 Review yang dilakukan oleh pengawasan bank (Supervisory Review)
•
Pilar 3 Disiplin pasar (Market Dicipline)
Basel Accord II menekankan peran dari review pengawasan bank dan disiplin
pasar sebagai komponen esensial bagi persyaratan minimum modal bank. Selain itu
juga ditegaskan bahwa ketiga pilar tersebut merupakan satu paket yang harus
diterapkan secara penuh, karena penerapan yang hanya sebagian tidak akan mencapai
tujuan yang diharapkan (Gandapraja, 2004, pp 53-54).
Guna melaksanakan peran
pengawasan bank, maka otoritas pengawasan dituntut untuk memiliki dan/atau
51
meningkatkan dasar-dasar pertimbangan, pengetahuan dan praktik terbaik yang
berlandaskan prinsip yang sehat dan berhati-hati dalam menilai risiko perbankan.
c. The Basel Core Principles
The Basel Core Principles merupakan persyaratan minimum bagi pengawasan
bank dan diharapkan untuk diadopsi dan diterapkan oleh semua otoritas pengawasan
bank secara global di seluruh negara.
Lahirnya dokumen ini didasarkan pada
pemahaman bahwa kelemahan sistem perbankan di suatu negara dapat mengganggu
stabilitas sistem keuangan di negara tersebut maupun negara lain di seluruh dunia.
Konsep dasar yang digunakan dalam mengembangkan The Basel Core
Principles antara lain sebagai berikut:
a) Tujuan pokok pengawasan bank adalah menjaga kestabilan dan kepercayaan
sistem keuangan sedemikian rupa sehingga mengurangi risiko kerugian bagi
deposan dan kreditur lainnya.
b) Pengawasan bank harus mendorong dan menumbuhkan disiplin pasar dengan
mendorong penerapan good governance, serta meningkatkan transparansi dan
pengawasan pasar.
c) Agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif, pengawasan bank harus
memiliki
independesi
operasional,
perangkat,
dan
wewenang
untuk
mengumpulkan informasi serta menerapkan hal-hal yang telah diputuskannya.
d) Pengawasan bank harus memahami sifat bisnis yang dilakukan bank dan
memastikan bahwa kemungkinan risiko yang terjadi pada bank telah dikelola
dengan memadai
52
e) Pengawasan bank yang efektif mensyaratkan adanya kemampuan untuk menilai
profil risiko bank secara individual dan melakukan alokasi pengawasan bank
sesuai dengan tuntutan tersebut.
f) Pengawasan bank harus memastikan bahwa bank memiliki sumber daya yang
memadai untuk melakukan manajemen risiko, termasuk kecukupan modal,
manajemen yang sehat dan sistem kontrol yang efektif, serta data akuntansi .
g) Kerja sama yang erat dengan unsur pengawasan bank lainnya sungguh esensial,
terutama bila operasi bank yang diawasinya mencakup lintas negara. (Gandapraja,
2004, pp 73-74).
2.2.4.2. Pengaturan dan Pengawasan Bank di Indonesia
Berdasarkan UU No.23 tahun 1999 pasal 24 Bank Indonesia menetapkan
peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan serta kegiatan usaha
tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan Bank dan mengenakan sanksi terhadap
bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam rangka mengatur Bank,
Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat
prinsip kehati-hatian.
Bank Indonesia (PBI).
Pelaksanaan kewenangan ini ditetapkan dengan Peraturan
53
Pengaturan yang dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain dengan:
a) Mengatur persyaratan dan tata cara perizinan bagi pendirian suatu bank termasuk
jaringan kantornya. Termasuk dalam hal ini seleksi terhadap integritas calon
pemilik dan pengurus, kecukupan modal guna mendukung perkembangan dan
risiko usaha, profesionalisme manajemen untuk mengelola bank secara sehat dan
bertanggung jawab, serta feasibilitas dan prospek usaha yang layak sehingga
dapat memberikan kontribusi positif bagi sistem perbankan yang sehat.
b) Mengatur segala aspek yang berkaitan dengan usaha bank, yang mencakup
pemberian arah dan pedoman bagi bank tentang 1) kegiatan yang dapat dan tidak
dapat dilakukan oleh bank, 2) manajemen bank berdasarkan prinsip-prinsip
manajemen yang sehat, 3) prinsip-prinsip manajemen risiko yang hati-hati dan
dapat
diandalkan,
dokumentasi
dan
4)
kewajiban
akuntansi
untuk
yang
menyelenggarakan
lengkap,
akurat,
administrasi,
dan
dapat
dipertanggungjawabkan, baik untuk kepentingan manajemen maupun untuk
informasi yang diperlukan untuk pengawasan bank, 5) penetapan sanksi terhadap
penyimpangan dan pelanggaran terhadap ketetapan dan aturan, 6) hal-hal lain
yang dinilai penting dan mengandung risiko yang dapat merugikan masyarakat
dan/atau kepentingan sistem perbankan yang sehat.
c) Mengatur tentang informasi yang diperlukan bagi otoritas pengawasan bank.
Pengaturan-pengaturan yang dilakukan oleh Bank Indonesia diusahakan
mengadopsi standar dan perkembangan pengaturan perbankan internasional (Basel
Committee) yang disesuaikan dan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kondisi
54
perbankan nasional. Dengan pengaturan tersebut diharapkan perbankan Indonesia
pun dapat memiliki standar internasional.
Pengawasan bank bertujuan menjaga jatidiri bank sebagai lembaga
kepercayaan yang dapat dipercaya masyaratkat. Wujudnya berupa perlindungan
maksimal terhadap kepentingan deposan dan kreditur. Pengawasan bank hanya
mengizinkan bank yang mampu tampil dengan kinerja sehat untuk masuk atau tetap
berada dalam sistem perbankan. Bank yang tidak memenuhi syarat tersebut menjadi
sasaran pengawasan bank untuk dibenahi. Bila tidak bisa diperbaiki lagi dan
mengganggu kesehatan perbankan, bank itu harus dikeluarkan dari sistem.
Pengawasan bank saat ini masih dilakukan oleh Bank Indonesia, tetapi di
masa depan akan dialihkan ke Lembaga Pengawasan Sektor Keuangan yang
independen untuk memisahkan dari tugas BI yang berfungsi sebagai
pengatur
(regulasi) keuangan.
2.2.5. Tantangan Perbankan Indonesia di Masa Depan
Perbankan nasional di masa depan akan menghadapi banyak tantangan
sehubungan dengan regulasi dan komitmen Bank Indonesia untuk memperkuat
struktur dan kinerja perbankan, pemberlakuan dan pembatasan skema penjaminan
melalui Lembaga Penjaminan Simpanan, dan tantangan umum lainnya yang tekait
55
dengan efisiensi operasional perbankan, perkembangan dan pemanfaatan sistem
Informasi Teknologi serta globalisasi.
Jika ingin hidup dan terus berkembang bank harus mampu menjawab
tantangan tersebut dengan baik. Tidak ada pilihan lain, selain likuidasi jika bank tidak
memiliki visi, misi dan strategi untuk menghadapi tantangan tersebut. Bank yang
kinerja yang baik saat ini dan memiliki visi, misi, strategi yang fokus di masa depan
akan memiliki nilai (value) yang tinggi.
2.2.5.1 Arsitektur Perbankan Indonesia dan Kriteria Bank
Jangkar
Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem
perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan
tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan.
Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa depan oleh API dilandasi
oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna
menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional.
API menjadi kebutuhan yang mendesak bagi perbankan Indonesia dalam
rangka memperkuat fundamental industri perbankan. Krisis ekonomi tahun 1997
menunjukkan bahwa industri perbankan nasional belum memiliki kelembagaan
perbankan yang kokoh yang didukung dengan infrastruktur perbankan yang baik
56
sehingga secara fundamental masih harus diperkuat untuk dapat mengatasi gejolak
internal maupun eksternal. Belum kokohnya fundamental perbankan nasional
merupakan tantangan bukan hanya bagi industri perbankan secara umum, tetapi juga
bagi Bank Indonesia sebagai otoritas pengawasnya.
Secara keseluruhan progam API terdiri dari 6 pilar dengan 19 program
kegiatan, yang keseluruhannya dimulai pada tahun 2004. Ke-enam pilar tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat yang mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang
berkesinambungan.
Program-program dalam pilar ini bertujuan untuk memperkuat permodalan bank
umum (konventional dam syariah) dalam rangka meningkatkan kemampuan bank
mengelola usaha maupun risiko, mengembangkan teknologi informasi, maupun
meningkatkan
skala
usahanya
guna
mendukung
peningkatan
kapasitas
pertumbuhan kredit perbankan.
Dalam waktu sepuluh sampai limabelas tahun ke depan program peningkatan
permodalan tersebut diharapkan akan mengarah pada terciptanya struktur
perbankan yang lebih optimal, yaitu terdapatnya :
•
2 sampai 3 bank yang mengarah kepada bank internasional dengan kapasitas
dan kemampuan untuk beroperasi di wilayah internasional serta memiliki
modal di atas Rp. 50 triliun;
57
•
3 samapai 5 bank nasional yang memiliki cakupan usaha yang sangat luas dan
beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp. 10 triliun sampai
dengan Rp. 50 triliun;
•
30 sampai 50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha
tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank.
Bank-bank tersebut memilki modal antara Rp. 100 miliar sampai dengan
Rp.10 triliun;
•
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas
yang memiliki modal di bawah Rp. 100 miliar.
2. Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu
pada standar internasional.
Program-program dalam pilar ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas
pengaturan serta memenuhi standar pengaturan yang mengacu pada international
best practices. Program tersebut dapat dicapai dengan penyempurnaan proses
penyusunan kebijakan perbankan serta penerapan 25 Basel Core Principles for
Effective Banking Supervision. Dari sisi proses penyusunan kebijakan perbankan
diharapkan dalam dua tahun ke depan Bank Indonesia telah memiliki sistem
penyusunan kebijakan perbankan yang efektif yang telah melibatkan pihak-pihak
terkait dalam proses penyusunannya.
3. Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi
serta memiliki ketahanan daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam
menghadapi risiko.
58
Program-program dalam pilar ini bertujuan untuk meningkatkan independensi
dan efektivitas pengawasan perbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal
ini
dicapai
dengan
peningkatan
koordinasi
antar
lembaga
pengawas,
pengembangan pengawasan berbasis risiko, peningkatan efektivitas enforcement,
dan konsolidasi organisasi sektor perbankan di Bank Indonesia. Dalam jangka
waktu dua tahun kedepan diharapkan fungsi pengawasan bank yang dilakukan
oleh Bank Indonesia akan lebih efektif dan sejajar dengan pengawas di negara
lain.
4. Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi
internal perbankan nasional.
Program-program dalam pilar ini bertujuan untuk meningkatkan good corporate
governance (GCG), kualitas manajemen risiko dan kemampuan operasional
manajemen. Semakin tingginya standar GCG dengan didukung oleh kemampuan
operasional (termasuk manajemen risiko) yang handal diharapkan dapat
meningkatkan kinerja operasional perbankan. Dalam waktu dua sampai lima
tahun ke depan diharapkan kondisi inetrnal perbankan nasional menjadi semakin
kuat.
5. Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri
perbankan yang sehat.
Program-program dalam pilar ini bertujuan untuk mengembangkan sarana
pendukung operasional perbankan yang efektif seperti credit bureau, lembaga
pemeringkat kredit domestik, dan pengembangan credit bureau akan membantu
perbankan dalam meningkatkan kualitas keputusan kreditnya. Penggunaan
59
lembaga pemeringkat kredit dalam public-traded debt yang dimiliki bank akan
meningkatkan transparansi dan efektivitas manajemen keuangan perbankan.
Sedangkan pemgembangan skim penjaminan kredit akan meningkatkan akses
kredit bagi masyarakat. Dalam waktu tiga tahun ke depan diharapkan telah
terrsedia infrastruktur pendukung perbankan yang mencukupi.
6. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan.
Program-program dalam pilar ini bertujuan untuk memberdayakan nasabah
melalui penetapan standar penyusunan mekanisme pengaduan nasabah, pendirian
lembaga mediasi independen, peningkatan transparansi informasi produk
perbankan dan edukasi bagi nasabah. Dalam waktu dua sampai lima tahun ke
depan diharapkan program-program tersebut dapat meningkatkan kepercayaan
nasabah pada sistem perbankan
Implementasi API berdasarkan ke-enam pilar tersebut yang dapat diperinci
menjadi 19 program akan dilaksanakan secara bertahap dimulai pada tahun 2004.
Salah satu program API terkait dengan pilar pertama, yang sangat mendapat perhatian
perbankan nasional akhir-akhir ini adalah program memperkuat permodalan bank,
karena memiliki ukuran obyektif yang jelas dan berdampak besar pada perbankan
nasional. Implementasi program ini telah mulai ditindaklanjuti pada awal Juli 2005,
dimana BI mengeluarkan sejumlah kebijakan percepatan konsolidasi yang tertuang
dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/15/2005 tentang Jumlah Modal Inti
Minimum Bank Umum, dimana ditetapkan modal inti minimum bank umum pada 31
Desember 2007 sebesar Rp. 80 miliar. Bagi bank umum yang tidak dapat memenuhi
60
ketentuan ini, maka akan dikenai sanksi berupa pembatasan penyaluran kredit dan
pengumpulan dana pihak ketiga serta harus menutup seluruh jaringan kantor yang
berada di luar wilayah provinsi kantor pusat bank.
Dan selanjutnya pada 31
Desember 2010, modal inti minimum ditingkatkan menjadi Rp. 100 miliar. Selain itu
bank harus tetap dapat memenuhi kriteria Bank Berkinerja Baik (BKB) yaitu modal
inti di atas Rp. 100 miliar, sehat, rasio kecukupan modal minimum 10%, dan
memiliki peringkat tata kelola yang baik. Jika tidak memenuhi kriteria BKB pada
tahun 2010, bank akan dipaksa merger, melikuidasi dirinya atau menjadi Bank
Perkreditan Rakyat (BPR).
Sehubungan dengan rencana merger dan akusisi, Bank Indonesia telah
mengeluarkan kriteria bank jangkar (anchor bank), yang akan diberi kemudahan
dalam melakukan proses merger dan akusisi terhadap bank lain. Kriteria bank jangkar
ini telah diumumkan awal Juli 2005, yaitu sebagai berikut:
1. CAR minimal 12%, Modal Inti/ATMR minimal 6%
2. Rasio Return on Asset (ROA) minimal 1,5%
3. Pertumbuhan kredit riil minimum 22%
4. Rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR = Loan to Deposit Ratio) minimal
50 persen
5. Rasio kredit bermasalah (NPL = Non performing Loan) di bawah 5%
6. Harus merupakan perusahaan terbuka (Tbk) atau berencana go public dalam
waktu dekat.
7. Memiliki kemampuan menjadi bank konsolidator.
61
Bagi bank yang masih memiliki modal inti di bawah 100 miliar akan terancam
kelangsungan operasionalnya. Jika ingin tetap bertahan maka bank harus memiliki
rencana strategis ke depan untuk meningkatkan modal inti sampai dengan 80 miliar
pada akhir tahun 2007 dan selanjutnya 100 miliar pada akhir tahun 2010. Sebaliknya
bagi bank yang memiliki kinerja baik dan memenuhi
kriteria bank jangkar,
memperoleh kesempatan untuk memperkuat dan memperbesar aset melalui rencana
merger dan akusisi.
2.2.5.2. Penjaminan Simpanan
Sejak krisis moneter, untuk mencegah semakin memburuknya perekonomian
nasional karena ambruknya sistem perbankan yang disebabkan penarikan dana besarbesaran (rush), maka pemerintah memperkenalkan skema penjaminan simpanan.
Simpanan masyarakat di bank pada saat itu dan masih berlaku sampai sekarang ini,
dijamin melalui skim blanket guarantee yang menjamin keseluruhan dana simpanan
masyarakat pada bank.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang dibentuk berdasarkan UndangUndang Nomor 24 tahun 2004, secara resmi mulai beroperasi pada tanggal 22
September 2005. Lembaga ini berfungsi secara khusus untuk melaksanakan program
penjaminan disamping menangani penyelamatan bank yang gagal.
Dengan
keberadaan LPS, maka secara bertahap akan menggantikan skim blanket guarantee
62
yang sangat membebani pemerintah dengan skim penjaminan simpanan yang berlaku
secara universal.
Jika dalam skim blanket guarantee keseluruhan dana simpanan akan dijamin,
maka mulai pada 22 Maret 2006, jumlah simpanan yang dijamin paling tinggi adalah
Rp. 5 miliar, dan mulai 22 September 2006, jumlah simpanan yang dijamin paling
tinggi adalah Rp. 1 miliar. Selanjutnya mulai 22 Maret 2007 jumlah simpanan yang
dijamin paling tinggi adalah Rp. 100 juta untuk setiap deposan di sebuah bank.
Pada saat ini penjaminan dilakukan oleh LPS dengan membebankan sejumlah
premi penjaminan dari bank, yang pada saat ini adalah sejumlah 0,2% per tahun dari
jumlah simpanan pada bank itu.
Dengan pemberlakuan ketentuan penjaminan ini, maka masyarakat yang
memiliki uang dalam jumlah besar, didorong untuk melakukan penilaian kinerja bank
sebelum menempatkan dananya pada bank tersebut.
Bank yang memiliki kinerja
buruk, akan kesulitan mendapatkan dana masyarakat, dan bank akan berusaha
meningkatkan suku bunga sebagai kompensasi kepada masyarakat penyimpan. Pada
sisi lain, LPS dapat juga membuat kebijakan untuk pengelolaan risiko, dengan
membebankan
premi penjaminan yang lebih mahal kepada bank jika tidak
memenuhi kriteria kinerja tertentu. Akibatnya adalah biaya dana (cost of fund) bank
akan meningkat.
Peningkatan biaya dana akan menyebabkan bank kesulitan untuk menjalankan
intermediasinya karena dana yang diperoleh lebih mahal dibandingkan dengan bank
lain. Akibatnya pinjaman hanya dapat dikucurkan kepada peminjam ber-rating jelek
yang mau membayar mahal. Jika tidak dikelola dengan baik, maka potensi kredit
63
bermasalah akan meningkat. Semua hal ini akan menekan profitabilitas bank, dan
jika ini terjadi secara terus-menerus, akan menurunkan daya saing bank dan
menyebabkan bank di ambang kebangrutan.
Hal-hal yang dijelaskan di atas merupakan tantangan bagi bank supaya terus
menerus memperbaiki kinerjanya sehingga mendapat tanggapan yang positif dari
masyarakat, dan selanjutnya dapat tetap bertahan dan bertumbuh di tengah kompetisi.
2.2.5.3. Globalisasi, Inovasi Produk dan Pemanfaatan
sistem IT
Persaingan yang semakin ketat secara global dalam segala bidang, termasuk
di industri perbankan sudah di depan mata dan tidak bisa dihindari. Pemanfaatan
sistem Komunikasi dan
Teknologi Informasi
dalam dunia perbankan sudah
menembus batas jarak dan waktu, sehingga memungkinkan jasa dan layanan
perbankan dunia dapat diakses dengan mudah kapan dan dimanapun. Hanya ada satu
pilihan untuk terus tumbuh dan berkembang yaitu menghadapi tantangan kompetisi
tersebut. Sangat sulit membendung persaingan bebas hanya dengan cara retorik
dengan mengatasnamakan nasionalisme, kesatuan dan persatuan.
Bisnis adalah
bisnis dimana retorikanya tentu adalah kenyataan akan manfaat dan keuntungan
mutualisme dari semua pihak yang terlibat.
Posisi perbankan nasional harus
diperkuat secara berkelanjutan menuju skala efisiensi dan operasional yang tinggi,
inovasi produk yang dapat memenuhi dan memuaskan kebutuhan nasabah yang
64
didukung oleh modal yang cukup dengan memperkuat tiga hal pokok di masa depan
yaitu risk based, capital based dan IT based, sehingga tidak ada kekhawatiran jika
harus bersaing dengan bank asing.
Perkembangan inovasi produk dan jasa perbankan dalam satu dekade terakhir
memperlihatkan kemajuan yang sangat pesat. Produk dan jasa yang ditawarkan oleh
bank berkembang sejalan dengan keinginan nasabah untuk mendapatkan pelayanan
keuangan yang semakin lengkap dan komprehensif dari perbankan. Kecenderungan
nasabah untuk melihat sebuah bank sebagai financial supermarket telah mendorong
bank untuk terus berinovasi menciptakan dan memasarkan produk-produk keuangan
yang lebih bervariasi. Sebagai konsekuensinya bank dituntut untuk menyediakan
semua jasa keuangan dalam satu atap sehingga nasabah tidak hanya mendapatkan
produk-produk bank saja tetapi juga produk-produk yang disediakan oleh lembaga
keuangan lain seperti asuransi dan perusahaan sekuritas. Kondisi tersebut telah
memaksa bank-bank untuk menawarkan produk yang lebih beragam tidak hanya
produk tradisional atau generik bank seperti deposito, tabungan, kredit dan
sebagainya melainkan juga menawarkan produk-produk baru yang memiliki nilai
tambah tertentu sesuai kebutuhan nasabah yang selama ini belum banyak dilakukan
oleh sektor perbankan seperti bancassurance (produk asuransi), derivatif (asset back
securities, credit link notes) dan investasi (reksadana dan equity link deposit).
Adanya risiko-risiko yang dihadapi seperti fluktuasi tingkat suku bunga dan
nilai tukar yang tinggi menuntut perbankan agar dapat memagari kedua risiko tadi
agar tidak terlalu mempengaruhi tingkat pendapatan dan permodalan. Kebijakan
diversifikasi aset dan memperluas jenis layanan harus terus diupayakan dengan
65
berbagai sarana yang dimiliki untuk menggali pendapatan non-bunga (fee base
income) yang relatif bebas risiko untuk meningkatkan laba bank.
Aspek informasi teknologi (IT)
akan sangat menentukan di masa depan
dalam meningkatkan kapasitas sebuah bank. Fungsi IT di dalam bisnis bank sudah
menjadi suatu keharusan, antara lain dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada
nasabah, peningkatan fitur produk dan manajamen informasi sistem, dan efisiensi
operasional. Dengan kata lain IT akan berfungsi sebagai enabler factor bagi sebuah
bank di dalam memasuki kompetisi global. Saat ini hampir mustahil dapat ditemukan
sebuah produk bank yang dapat memenuhi kebutuhan nasabah dan memiliki fitur
lengkap tanpa ada dukungan suatu sistem teknologi yang canggih.
Kemajuan dan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat
menyebabkan distribution channel, untuk memasarkan produk dan jasa bank menjadi
semakin cepat dan mudah serta bersifat borderless. Bank-Bank semakin banyak
menawarkan dan mendistribusikan produk dan jasanya dengan memanfaatkan
electronic based channels yang menyebabkan keberadaan bank lebih dekat ke
masyarakat. Penggunaan automatic teller machine (ATM), internet banking, phone
banking, point of sales (POS) merupakan contoh bahwa industri perbankan selalu di
depan dalam memanfaatkan sistem informasi teknologi.
Dengan semakin beragamnya produk, mata uang, maupun jangkauan wilayah
geografis
operasional
sebuah
bank,
maka
kemampuan
bank
di
dalam
mengidentifikasi, mengukur dan mengelola risiko semakin diperlukan. Tanpa adanya
manajemen risiko yang memadai, maka kemampuan sebuah bank akan sangat rendah
di dalam mengatasi terjadinya berbagai gejolak yang akan mempengaruhi pendapatan
66
maupun modal bank tersebut, sehingga rentan terhadap fluktuasi kondisi internal dan
eksternal.
Dalam hal permodalan, sebuah bank harus memiliki permodalan yang
memadai jika akan memperluas jangkauan operasinya. Dengan operasi yang lebih
luas jelas sebuah bank akan menanggung risiko operasional dan risiko pasar yang
semakin meningkat. Sebagaimana ditetapkan oleh Bank International for Settlement
(BIS), seluruh risiko tersebut harus didukung dengan permodalan yang cukup sesuai
dengan ketentuan dan standar yang berlaku secara global.
Dengan gambaran kondisi seperti yang dijelaskan di atas, maka tantangan
untuk tetap hidup dan memenangkan persaingan sangatlah berat. Bagi bank yang
memiliki aset kecil akan lebih sulit untuk bersaing karena dari skala ekonomi tidak
akan efisien dalam beroperasi. Bagi sebuah bank besar, belanja sistem Teknologi
Informasi yang relatif besar mungkin masih dapat dijangkau, namun bagi bank kecil
hal ini tentu menjadi masalah.
Untuk menjawab tantangan ini, bank harus fokus dengan kompetensi yang
dimilikinya. Visi dan Misi perusahaan harus dibangun berdasarkan kompetensi dan
keunggulan komparatif, harus disosialisasikan sehingga menjadi bagian dari sendisendi kehidupan organisasi. Dengan demikian setiap produk dan pelayanan yang
disediakan akan memiliki keunggulan tertentu dan dapat mencapai sasaran pasar yang
ditargetkan.
67
2.3 Pasar Modal dan Saham
2.3.1 Pengertian Pasar Modal dan Surat Berharga
Pasar Modal dijumpai di banyak negara karena pasar modal menjalankan
fungsi ekonomi dan keuangan. “Dalam melaksanakan fungsi ekonominya, pasar
modal menyediakan fasilitas untuk memindahkan dana dari lender
(pihak yang
mempunyai kelebihan dana) kepada borrower (pihak yang memerlukan dana). Dari
sisi lender mengharapkan akan memperoleh imbalan dari dana yang ditempatkan,
sedangkan dari sisi borrower yang memperoleh dana dapat digunakan untuk
meningkatkan produksi yang pada gilirannya dapat meningkatkan keuntungan.
Fungsi keuangan dilakukan dengan menyediakan dana yang diperlukan oleh para
borrowers dan para lenders menyediakan dana tanpa harus terlibat langsung dalam
kepemilikan aktiva riil yang diperlukan untuk investasi tersebut. Meskipun harus
diakui perbedaan fungsi ekonomi dan keuangan ini sering tidak jelas”.
(Husnan,2001,p4).
Pada dasarnya, pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk berbagai
instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk
utang ataupun modal sendiri. Pasar modal merupakan pasar untuk surat berharga
jangka panjang, sedangkan Pasar Uang (money market) pada sisi yang lain
merupakan pasar surat berharga jangka pendek. Baik pasar modal maupun pasar uang
merupakan bagian dari pasar keuangan (financial market).
Jika di pasar modal
68
diperjualbelikan instrumen keuangan seperti saham, obligasi, warrant, right, obligasi
konvertibel dan berbagai produk turunan (derivatif) seperti opsi (put dan call), maka
di pasar uang diperjualbelikan antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat
Berharga Pasar Uang (SBPU), Commercial Paper, Promissory Notes, Call Money,
Repurchase agreement, Banker’s acceptance, Treasury bills dan lain-lain.
Undang-undang Pasar Modal
No. 8 tahun 1995 memberikan pengertian
pasar modal yang lebih spesifik yaitu “kegiatan yang bersangkutan dengan
penawaran umum dan perdagangan efek, Perusahaan publik yang berkaitan dengan
Efek yang diterbitkannya serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek. “
2.3.2. Saham dan Faktor-Faktor Pembentuk Harga Saham
Menurut William H. Pike, “Saham didefinisikan sebagai tanda penyertaan
atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan. Selembar saham
adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah
pemilik (berapapun porsinya) dari suatu perusahaan yang menerbitkan kertas (saham)
tersebut, sesuai porsi kepemilikannya yang tertera pada saham”. (Dwiyanti,1999,
p11).
Saham merupakan salah satu jenis surat berharga yang diperjualbelikan di
pasar modal. Faktor-faktor yang menggerakkan harga suatu saham adalah:
69
a) Faktor Fundamental
Faktor fundamental adalah faktor yang berkaitan langsung dengan kinerja
emiten itu sendiri. Semakin baik kinerja emiten maka semakin besar pengaruhnya
terhadap kenaikan harga saham. Begitu juga sebaliknya, semakin menurun kinerja
emiten maka semakin besar kemungkinan merosotnya harga sahamnya.
Secara
umum kinerja emiten dinilai dari rasio profitabilitas atau kemampuan perusahaan
menghasilkan laba, rasio pembagian dividen, potensi dan prospek perusahaan di
masa depan.
Analisis fundamental suatu perusahaan umumnya tidak dapat dipisahkan dari
pengaruh kondisi/ekonomi dan pasar. Karenanya tahapan analisis fundamental harga
suatu saham biasanya dimulai dengan melakukan analisis kondisi ekonomi makro,
dilanjutkan dengan analisis industri saham bersangkutan termasuk, kaitannya dengan
kondisi dan perubahan ekonomi makro, dan akhirnya analisis terhadap perusahaan
yang menerbitkan saham tersebut.
Penggunaan pendekatan ini didasarkan atas pemikiran bahwa kondisi
perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal perusahaan, tetapi
faktor-faktor eksternal yaitu kondisi ekonomi/pasar dan industri juga ikut
mempengaruhi kondisi perusahaan. “Dalam melakukan analisis fundamental,
penilaian terhadap kondisi ekonomi dan keadaan berbagai variabel utama seperti laba
yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan dan tingkat bunga. Variabel-variabel
tersebut sangat mempengaruhi keputusan-keputusan investasi yang akan diambil oleh
para pemodal. Apabila resesi diperkirakan akan terjadi, atau perekonomian sedang
70
menuju ke situasi resesi, harga saham-saham akan sangat terpengaruh oleh situasi
tersebut”. (Husnan,2001,pp 317-318).
b) Hukum Permintaan dan Penawaran
Seperti perdagangan pada umumnya, faktor hukum permintaan dan
penawaran juga sangat menentukan fluktuasi harga saham. Pada saat keadaan
ekonomi makro membaik, harapan secara umum terhadap kinerja emitenpun
membaik, sehingga terjadi kelebihan permintaan yang menyebabkan harga saham
menjadi naik. Demikian pula rumors yang beredar tentang emiten dapat menciptakan
ekspektasi tertentu, sehingga meningkatkan permintaan yang menyebabkan harga
sahamnya naik, ataupun meningkatkan penawaran yang menyebabkan harga
sahamnya turun. Keadaan pasar yang bullish (dimana indeks harga saham meningkat
secara terus menerus) selain ditentukan oleh kondisi perekonomian yang sedang
membaik, juga lebih banyak ditentukan oleh meningkatnya permintaan.
Demikian
pula keadaan pasar yang bearish (dimana indeks harga saham menurun secara terus
menerus), selain ditentukan oleh kondisi perekonomian yang sedang memburuk, juga
ditentukan oleh meningkatnya penawaran.
Menurut Teweles, J. dan Bradley E. (1998, p435), aspek yang paling sulit
dari pasar saham adalah memahami faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham.
Tidak ada jalan yang mudah untuk mengerti bagaimana dan mengapa harga saham
berubah, dan tidak ada aturan dan pedoman yang pasti untuk bisa mendapatkan
keuntungan dari pasar. Perubahan harga saham umumnya memberikan keuntungan
lebih signifikan dibandingkan dari dividen. Faktor dan kondisi yang mempengaruhi
pasar saham dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu 1) kondisi fundamental yang
71
berasal dan dikembangkan di luar pasar, yang merupakan dasar perubahan harga
untuk jangka panjang,
dan 2) faktor teknikal, yang berasal dari dalam pasar dan
mempengaruhi harga saham umumnya dalam jangka pendek, dengan mengabaikan
kondisi fundamental jangka panjang.
Kedua faktor ini kadang-kadang saling
mendukung, dan kadang-kadang berlawanan.
Faktor-faktor ekonomi yang menjadi dasar pergerakan dan
harga saham
masih merupakan misteri bagi banyak orang. Pada akhir hari perdagangan, para
analist saham menghubungkan pergerakan harga saham dengan beberapa faktor
seperti: pengumuman pemerintah atas tingkat inflasi (customer price index),
perubahan tingkat suku bunga dan pasar obligasi, peningkatan sentimen ”bullish”
atau ”bearish”, pernyataan dari Bank Indonesia, atau laporan laba rugi perusahaan
yang dibandingkan dengan ekspektasi awal. Secara umum perbedaan investasi pasar
saham dan strategi valuasi dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok, yaitu analisis
fundamental, analisis teknikal dan teori portfolio modern.
Ketiganya memiliki
keyakinan yang berbeda antara harga saham yang ada di pasar dengan nilai intrinsik
yang mendasari nilai saham, seperti terlihat pada tabel 2.1. Bagaimana Menilai
Saham. (Gray, G, Cusatis P, 2004, pp 82-84)
72
Tabel 2.1. Bagaimana Menilai Saham
Analisis Teknikal
Apa yang
menggerakkan
harga saham?
Bagaimana menilai
suatu saham?
Hubungan antara
nilai dan Harga
Saham?
Psikologi teknikal
kosmis
Trend
Harga ≠ nilai
Analisis
Fundamental
Profit dan dividen
Prediksi profit dan
dividen
Harga pada
akhirnya sama
dengan nilai
Teori Portfolio
Risiko dan imbal
hasil
Risiko dan imbal
hasil
Harga = Nilai
Analisis fundamental menggunakan prosedur valuasi yaitu analisis discounted cash
flow, dimana melalui pendekatan ini kinerja operasional dan keuangan perusahaan
sekarang dan masa depan menentukan nilai intrinsik dari harga saham suatu
perusahaan pada saat ini. Untuk menilai prospek perusahaan, analisis fundamental
mengevaluasi kondisi ekonomi makro, industri dan data perusahaan untuk
memperkirakan nilai intrinsik saham. Pada sisi lain, analisis teknikal percaya bahwa
pergerakan harga saham jangka pendek utamanya dipengaruhi oleh perubahan
psikologis pasar.
2.3.3. Pengertian Indeks Harga Saham
Indeks harga saham merupakan indikator utama yang menggambarkan
pergerakan harga saham. Di pasar modal sebuah indeks diharapkan memiliki lima
fungsi yaitu :
73
1. Sebagai indikator tren pasar
2. Sebagai indikator tingkat keuntungan
3. Sebagai tolak ukur ( benchmark ) kinerja suatu portofolio
4. Memfasilitasi pembentukan portofolio dengan strategi pasif
5. Memfasilitasi berkembangnya produk derivatif
Angka Indeks Harga Saham adalah angka-angka yang menjadi ukuran situasi
pasar modal yang dapat digunakan untuk membandingkan peristiwa dan sebagai alat
analisis.
Dengan menganalisis perubahan harga Indeks Harga Saham berarti
menganalisis saham.
Ada beberapa macam pendekatan atau metode penghitungan yang digunakan
untuk menghitung indeks, yaitu :
1. Menghitung rata-rata (arithmetic mean ) harga saham yang masuk dalam anggota
indeks,
2. Menghitung geometric mean dari indeks individual saham yang masuk anggota
bursa,
3. Menghitung rata-rata tertimbang nilai pasar.
Umumnya semua indeks harga saham gabungan (composite) menggunakan
metode rata-rata tertimbang termasuk di Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Di Bursa Efek Jakarta terdapat lima indeks, antara lain :
1. Indeks individual, menggunakan indeks harga masing-masing saham terhadap
harga dasarnya. Perhitungan indeks ini menggunakan prinsip yang sama dengan
IHSG, yaitu : Harga Pasar / Harga Dasar X 100 . BEJ memberi angka dasar
74
IHSG 100 ketika saham diluncurkan pada pasar perdana dan berubah sesuai
dengan perubahan pasar.
2. Indeks Harga saham sektoral, menggunakan semua saham yang termasuk dalam
masing-masing sektor. Perhitungan harga dasar masing-masing sektor didasarkan
pada kurs / harga akhir setiap saham tanggal 28 desember 1995. Indeks ini mulai
diberlakukan tanggal 2 Januari 1996 .
3. Indeks LQ 45 menggunakan 45 saham yang terpilih berdasarkan likuiditas
perdagangan saham dan disesuaikan setiap enam bulan
(setiap awal bulan
Februari dan Agustus). Dengan demikian saham yang terdapat dalam indeks
tersebut akan selalu berubah.
4. Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG (composite share price index),
menggunakan semua saham yang tercatat sebagai komponen perhitungan indeks.
Tanggal 10 Agustus 1982 ditetapkan sebagai hari dasar ( nilai indeks = 100 ) .
IHSG = Nilai Pasar ( Jumlah saham tercatat x harga terakhir ) x 100
Nilai Dasar ( Jumlah saham tercatat x harga perdana )
5. Indeks Syariah atau JII ( Jakarta Islamic Index ) . JII merupakan indeks terakhir
yang dikembangkan oleh BEJ bekerja sama dengan Danareksa Investment
Management. Indeks ini merupakan indeks yang mengakomodasi syariat investasi
dalam Islam atau indeks yang berdasarkan syariah Islam .
75
2.3.4 Tingkat Suku Bunga dan Imbal Hasil Saham
Secara teori harga saham berkorelasi negatif dengan peningkatan suku bunga,
karena alasan-alasan sebagai berikut: a) jika terjadi peningkatan suku bunga, maka
investor cenderung untuk menempatkan dananya ke investasi lain yang berbasis suku
bunga, misalnya deposito, b) peningkatan suku bunga menyebabkan pengalihan dari
sektor konsumsi ke sektor tabungan (penundaan konsumsi),
dan c) peningkatan
suku bunga cenderung menurunkan kinerja emiten, karena adanya peningkatan biaya
bunga dan kesulitan untuk meningkatkan penjualan.
Hubungan yang saling mempengaruhi antara tingkat suku bunga dan harga
saham sangatlah kompleks. Berdasarkan pemikiran bahwa tingkat suku bunga adalah
penentu utama dari investasi saham, maka ketika tingkat suku bunga mendekati imbal
hasil rata-rata saham, maka hanya terdapat sedikit insentif untuk membeli saham dan
umumnya pasar saham akan menurun. Pada suatu waktu, harga saham kelihatannya
bergerak berlawanan dengan perubahan suku bunga, dan di saat yang lain keduanya
bisa meningkat dan menurun secara bersamaan. Pada kenyataannya, terdapat alasan
rasional bahwa tingkat suku bunga dapat memberikan dampak yang signifikan
terhadap harga saham. Tingkat suku bunga yang tinggi meningkatkan biaya dana
(cost of capital)
dari perusahaan dan menyebabkan perusahaan kesulitan untuk
mendapatkan profit memadai atas modal yang diinvestasikan.
Berbagai penelitian telah dilakukan bertahun-tahun untuk mengetahui
hubungan antara pergerakan tingkat suku bunga dengan perubahan harga saham.
76
Kesimpulan yang didapat jauh dari keseragaman dan malahan kadang berlawanan.
Secara umum yang diterima sebagai kebenaran adalah valuasi pasar saham yang
tinggi dan tingkat suku bunga yang tinggi tidak terjadi bersamaan dalam jangka
waktu panjang, dan selanjutnya pada jangka panjang pasar saham adalah salah satu
investasi anti-inflasi yang baik. (Teweles,R dan Bradley E., 1998, pp 446-447)
Menurut Reilly F. dan Brown K. (2000, pp 489-491), hubungan antara tingkat
suku bunga dan harga saham adalah tidak langsung dan tidak konsisten. Alasannya
adalah bahwa cash flow dari saham dapat berubah berdasarkan perubahan suku bunga
dan kita tidak dapat memastikan apakah perubahan cash flow tersebut akan
meningkatkan atau mengurangi
perubahan suku bunga.
Hubungan sebenarnya
antara inflasi, tingkat suku bunga dan harga saham adalah pertanyaan yang harus
diuji secara empiris dan hasilnya dapat berbeda sepanjang masa. Walaupun secara
teori terdapat hubungan negatif yang signifikan antara inflasi dan suku bunga,
terhadap harga saham, hal ini tidak selalu benar. Bahkan pada industri tertentu
terdapat hubungan positif antara suku bunga dengan harga saham.
Studi empirik tentang pasar modal umumnya dan mengenai variabel –
variabel indeks ekonomi dan indeks pasar, telah memberikan penjelasan mengenai
variabel-variabel “tingkat inflasi, tingkat bunga, nilai tukar domestik dan indeks
pasar” terhadap tingkat pengembalian investasi saham. Variabel-variabel tersebut
menurut studi empirik yang dilakukan oleh beberapa peneliti menunjukkan bahwa
terjadi pola hubungan negatif antara inflasi dengan tingkat pengembalian investasi
saham dan komoditas future (Jacob and Pettit, 1989, p 137 ).
77
Beberapa hasil penelitian tentang pasar modal di Indonesia menunjukkan
bahwa tingkat pengembalian investasi saham yang dihitung dari pendapatan dividen
dan selisih harga (capital gain) ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh variabel
ekonomi makro daripada variabel ekonomi mikro (keadaan fundamental perusahaan).
Penelitian di Bursa Efek Jakarta tentang faktor-faktor penentu tingkat risiko yang
diukur dari nilai variabilitas tingkat pendapatan saham menunjukkan hasil bahwa,
Tingkat risiko dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel ekonomi makro, yaitu
pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, dan kurs valuta asing (Rp/USD), sedangkan
dalam variabel mikro hanya struktur aktiva saja yang mempengaruhi tingkat risiko
saham (Sinaga, 1994, p 123).
2.3.5. Perubahan Nilai Tukar Mata Uang dan Imbal Hasil
Saham
Mata uang telah menjadi komoditas utama perdagangan dunia, karena
ekonomi dunia telah menjadi lebih terintegrasi pada akhir-akhir ini.
Umumnya
ekonomi yang kuat akan menghasilkan mata uang yang kuat, tetapi informasi ini
sangat berbahaya bagi investor saham. Ketika nilai saham meningkat di Amerika
pada periode 1980 dan 1990, nilai tukar USD terdepresiasi terhadap JPY, dari 1 USD
= JPY 275 menjadi 1 USD = JPY 100 (Teweles R dan Bradley E, 1998, p 448).
Depresiasi mata uang suatu negara secara teori juga berpotensi untuk
menurunkan harga saham, dengan penjelasan sebagai berikut: a) dalam era pasar
78
bebas, depresiasi/pelemahan mata uang suatu negara akan menyebabkan investasi
pada saham di negara tersebut tidak menarik, karena menghasilkan imbal hasil yang
berkurang dibandingkan dengan investasi dalam mata uang negara lain, b) emiten
yang memiliki hutang dalam mata uang lain atau bahan bakunya adalah impor, akan
sangat terbebani dengan peningkatan nilai hutang dan bunganya atau biaya produksi,
yang berpotensi untuk menurunkan laba perusahaan.
Studi Roll ( 1992 ) dan Drummen & Zimmerman ( 1992 ) menunjukkan bukti
empiris adanya korelasi yang rendah antara pasar saham dan gerakan-gerakan mata
uang dari negara-negara industri periode 1973-1993. Husnan dan Pudjiastuti (1994)
mendapatkan korelasi negatif antara perubahan nilai tukar dollar AS dan imbal hasil
beberapa pasar saham.
Telaah teori mengungkapkan dua model yang berkaitan dengan hubungan
antara kurs mata uang domestik terhadap mata uang asing dengan kinerja bursa, yaitu
model flow oriented dan model stock - oriented. Model flow - oriented (Dombusch
dan Fischer) mengungkapkan, perubahan nilai tukar mempunyai aliran terhadap
perubahan neraca perdagangan, pendapatan dan lebih lanjut ke harga saham di bursa
efek. Perubahan itu lebih lanjut akan berpengaruh terhadap permintaan uang dan
nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing.
Model Stock - oriented (Branson, Frankel) dikatakan sebagai model yang
dinamis. Ekspektasi atau prediksi nilai uang masa yang akan datang merupakan
dasar pertimbangan harga saham saat ini. Nilai suatu saham hakikatnya merupakan
nilai sekarang (present value) dari cash flow perusahaan di masa mendatang. Bila
79
nilai tukar mata uang masa depan diprediksi baik, maka cash flow perusahaan akan
cenderung baik dan lebih lanjut harga sahamnya di bursa juga baik.
Penelitian empiris pengaruh dari perubahan nilai tukar mata uang terhadap
kinerja saham di bursa menunjukkan hasil beragam. Pada bursa efek yang sudah
maju (developing market) umumnya terdapat korelasi negatif signifikan antara kurs
mata uang dengan kinerja bursa. Bila kurs mata uang dalam negeri melemah atau
nilai dolar naik, maka kinerja saham di bursa efek dalam negeri akan melemah.
Sedangkan penelitian empiris pada bursa efek yang tergolong sedang
berkembang (emerging market), seperti Indonesia menunjukkan hasil berbeda pada
kurun waktu yang berbeda. Bila perubahan dari kurs mata uang tinggi, maka
umumnya hubungannya dengan kinerja saham di bursa akan negatif signifikan.
Namun bila perubahannya tidak mengagetkan pelaku pasar, maka umumnya tidak
berkorelasi secara signifikan. Artinya, dalam jangka pendek perubahan dari kurs mata
uang tak berhubungan dengan penurunan atau kenaikan kinerja saham di bursa efek.
Perusahaan Pertamina selaku perusahaan penghasil minyak, saat ini masih
mempunyai ketergantungan impor dalam hal pengadaan bahan baku produksi. Untuk
keperluan impor bahan produksi membutuhkan mata uang asing dalam bentuk dolar.
Pertamina mempunyai ketergantungan dengan kebutuhan masyarakat dalam hal
penyediaan bahan bakar minyak. Adanya antrian pada beberapa stasiun pengisian
bahan bakar minyak (SPBU) dan di beberapa tempat kehabisan stok menunjukkan
dan mengindikasikan adanya hambatan dalam produksi dan distribusi BBM.
Kebutuhan peningkatan produksi memerlukan bahan baku produksi yang lebih
banyak. Dampaknya kebutuhan impor bahan produksi menjadi meningkat, berarti ada
80
peningkatan kebutuhan mata uang dolar. Peningkatan kebutuhan mata uang dolar,
sejalan dengan teori pada model flow - oriented, maka kurs dolar akan menguat atau
rupiah menjadi melemah.
Menjadi pertanyaan, apakah kelemahan rupiah lebih lanjut akan berpengaruh
signifikan terhadap kinerja saham di BEJ? Sejalan dengan teori pada model stock oriented, maka salah satu faktor yang sangat menentukan, yaitu ekspektasi pasar
terhadap nilai uang rupiah waktu mendatang. Sedangkan melalui teori model floworiented perlu memperhatikan ambang batas perubahan dari kurs rupiah.
Dengan demikian dapat dirumuskan, ekspektasi pasar terhadap nilai uang
rupiah waktu mendatang dan ambang batas perubahan dari kurs rupiah merupakan
dua faktor penentu untuk menjawab pertanyaan, bagaimana pengaruh dari perubahan
kurs mata uang terhadap kinerja saham di bursa efek. (Wahyudi, 2005,
http://www.suaramerdeka.com/harian/0507/04/eko2.htm)
2.3.6. Teori Portofolio Saham
Dalam terminologi investasi, dikenal istilah portofolio (portfolio), yaitu
kumpulan dari berbagai jenis instrumen investasi. Seorang investor individual
ataupun investor institusi, manajer investasi (fund manager), memilih berbagai jenis
instrumen investasi yang ada ke dalam portofolionya, dengan tujuan mengoptimalkan
sumber daya yang dimiliki agar dapat memberikan imbal hasil yang optimal,
menekan risiko pada tingkat tertentu yang dapat ditoleransi.
81
Dengan memiliki portofolio yang terdiversifikasi, risiko yang tinggi pada
suatu jenis instrumen yang dapat memberikan imbal hasil tinggi pula, biasanya
dikompensasikan ke instrumen investasi yang rendah risikonya namun hanya dapat
memberikan imbal hasil yang rata-rata saja. Itulah yang dipesankan investor bijak;
don’t put the eggs in one basket, jangan menyimpan telur dalam satu keranjang saja.
Terdapat empat langkah pendekatan teori portofolio yang dianjurkan untuk
dilalui bagi setiap investor atau manajer investasi dalam membentuk portofolionya.
Pertama, security valuation, yang menjelaskan sejumlah sekuritas (instrumen) tak
terhingga dalam pengertian laba yang diharapkan dan risiko yang diperkirakan.
Kedua, asset allocation decision (keputusan pengalokasian aset atau aktiva) yakni
menentukan bagaimana aset akan didistribusikan di antara kelas-kelas investasi,
seperti saham atau obligasi. Ketiga, yaitu portfolio optimization (optimasi portofolio),
yakni merekonsiliasikan risiko dan laba dalam memilih sekuritas untuk dimasukkan
ke dalam portofolio, seperti menentukan portofolio saham mana yang menawarkan
laba terbaik untuk suatu risiko tertentu. Keempat, performance measurement
(mengukur kinerja),
klasifikasi
yakni membagi setiap kinerja saham (risiko) ke dalam
(sistematis)
terkait-pasar
dan
klasifikasi
(residual)
terkait-
industri/sekuritas. Semua langkah itu tentu saja supaya portofolio itu dapat
memberikan imbal hasil yang optimal. (Suruji, kompas, 2005)
Harry Markowitz (2000) telah membuktikan bahwa investor akan
mendapatkan manfaat yang maksimal dari diversifikasi jika saham-saham dalam
portofolionya berada pada industri atau sektor yang berbeda. Berbeda disini berarti
adanya kecenderungan pergerakan tingkat imbal hasil atau pergerakan harga yang
82
tidak searah. Dengan menambahkan saham yang mempunyai korelasi negatif atau
rendah (semakin mendekati –1) pada portofolionya, investor dapat mengurangi risiko
portofolionya sampai pada level yang minimal tetapi tidak pernah bisa dihilangkan,
karena pada akhirnya risiko pada portofolio akan tergantung pada korelasi antara
saham-saham yang membentuk portofolio tersebut.
Meir Statman (2000) melakukan penelitian dengan membentuk “equally
weighted portfolio“ dengan sampel saham-saham di New York Stock Exchange
(NYSE) yang diambil secara acak mengemukakan 2 kesimpulan. Pertama , secara
rata-rata risiko portofolio akan semakin menurun dengan semakin banyaknya saham
yang ditambahkan ke dalam portofolio. Kesimpulan yang kedua yaitu berkurangnya
risiko dengan semakin banyaknya saham yang ditambahkan ke dalam portofolio akan
terhenti dan risiko tidak akan pernah mencapai nol.
Sumber utama risiko investasi saham terdiri dari dua hal. Pertama, risiko
yang disumbangkan dari kondisi umum perekonomian (risiko pasar), misalkan siklus
usaha, tingkat inflasi,tingkat suku bunga, nilai tukar, dan kondisi politik atau hal lain
yang merupakan faktor makroekonomi yang tidak bisa diprediksi dengan pasti dan
mempengaruhi tingkat imbal hasil dari masing-masing saham. Kedua, risiko khusus
dari masing-masing perusahaan (firm specific risk), misalkan perubahan susunan
karyawan, kegagalan dalam pemasaran produk dan lain-lain yang tidak berpengaruh
pada perusahaan lain dalam suatu perekonomian.
Download