BAB I

advertisement
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Sapi Bali
Sapi Bali termasuk familia Bovidae, Genus Bos dan Sub-Genus Bovine,
yang termasuk dalam sub-genus tersebut adalah; Bibos gaurus, Bibos frontalis
dan Bibos sondaicus (Hardjosubroto, 1994). Sapi Bali mempunyai ciri-ciri
khusus antara lain; warna bulu merah bata, tetapi yang jantan dewasa berubah
menjadi hitam (Hardjosubroto, 1994). Satu karakter lain yakni perubahan warna
sapi jantan kebirian dari warna hitam kembali pada warna semula yakni coklat
muda keemasan yang diduga karena makin tersedianya hormon testosteron
sebagai hasil produk testes (Darmaja, 1980).
Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa ada tanda-tanda khusus yang
harus dipenuhi sebagai sapi Bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang
paha, pinggiran bibir atas, dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus
sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian
dalam telinga putih, terdapat garis belut (garis hitam) yang jelas pada bagian atas
punggung, bentuk tanduk pada jantan yang paling edial disebut bentuk tanduk
silak congklok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit
keluar lalu membengkok keatas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit
keluar. Pada yang betina bentuk tanduk yang edial yang disebut manggul gangsa
yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah kebelakang
sedikit melengkung kebawah dan pada ujungnya sedikit mengarah kebawah dan
kedalam, tanduk ini berwarna hitam.
5
6
Sapi Bali memiliki beberapa keunggulan antara lain : kemampuan
reproduksi yang tinggi, kualitas daging dan karkas yang cukup baik, dapat
digunakan sebagai ternak kerja di sawah dan tegalan, serta memiliki daya
adaptasi yang tinggi pada lingkungan yang sangat kritis (Soehadji, 1990).
Martojo (1990) menyatakan bahwa sapi Bali mempunyai tingkat kesuburan yang
tinggi, terlihat dari selang beranak yang pendek mendekati satu tahun.
Sapi Bali cepat beradaptasi pada lingkungan baru/kurang menguntungkan
dan mampu memanfaatkan berbagai jenis pakan berkualitas rendah seperti jerami
padi, rumput kering maupun jenis pakan berserat lainnya. Disamping itu sapi Bali
juga memiliki respon positif terhadap perbaikan pakan dengan meningkatkan laju
pertambahan bobot badan dan efisiensi pemanfaatan ransum. Hasil penelitian
menunjukkan, sapi Bali yang hanya diberi pakan hijauan menghasilkan
pertambahan bobot badan (PBB) rendah yaitu 200-250 g/ekor/hari (Sukanten et
al.,1990), namun suplementasi 60% konsentrat (18-20% CP dan 72-77% TDN)
sebanyak 4 kg/ekor/hari pada pakan basal hijauan meningkatkan PBB menjadi
760-850 g/ekor/hari (Mastika, 2006) bahkan mencapai 0,9 kg/ekor/hari dengan
pemberian ransum komplit berbentuk wafer berbasis jerami padi amoniasi urea
dengan suplementasi mineral S dan Zn (Partama, 2003).
2.2 Sintesis Protein Mikroba
Hungate (1966) dan Leng (1997) mengungkapkan pertumbuhan mikroba
rumen yang maksimal dan dengan produksi mikrobial protein yang tinggi
membutuhkan kondisi lingkungan rumen optimal serta didukung pasokan makro
dan mikro nutrien yang cukup dan seimbang. Mikroba rumen membutuhkan
7
kondisi rumen dengan temperatur + 39oC, laju alir digesta optimal, pH 6,0 - 6,9
(Karma, 2005) sampai 7,2 (Hermawan, 2006).
Arora (1995) mengungkapkan pertumbuhan mikroba rumen khususnya
sintesis protein mikroba rumen tergantung pada kecepatan pemecahan nitrogen
pakan, kecepatan absorbsi amonia dan asam-asam amino, laju alir pakan keluar
rumen, kebutuhan mikroba akan asam amino dan jenis fermentasi rumen
berdasarkan
jenis
pakan
yang
dikonsumsi.
Sedangkan
Verbic
(2002)
menyebutkan sintesis protein mikroba rumen dipengaruhi beberapa faktor yaitu;
ketersediaan energi mudah terfermentasi, ketersediaan nitrogen (protein) dalam
rumen, kondisi lingkungan rumen, laju alir digesta rumen, serta konsentrasi
mineral dan vitamin. Produksi mikrobial protein juga sangat terkait dengan
populasi mikroba rumen, khususnya bakteri, protozoa dan fungi. Hal ini
mengingat bakteri merupakan penyumbang utama massa protein mikrobial rumen,
yaitu 60 – 90%, sedangkan protozoa dan fungi masing-masing menyumbangkan
10 – 40% dan 5 – 10% (Van Soest, 1994), sehingga peningkatan populasi mikroba
rumen akan meningkatkan produksi mikrobial protein dalam rumen.
Disamping itu, peningkatan populasi mikroba rumen juga mempengaruhi
laju alir digesta dan proses degradasi pakan dalam rumen sehingga pasokan
nutrien baik untuk mikroba rumen maupun induk semang akan meningkat (Karsli
dan Russell, 2001; Verbic, 2002). Harrison dan McAllan, 1980 (disitasi Peterson,
2006) juga mengungkapkan laju alir digesta dari rumen juga berpengaruh
terhadap proses degradasi pakan dan SPM. Hoover dan Miller, 1992 (disitasi
Bach et al., 2005) menyatakan peningkatan laju alir digesta dari rumen akan
8
menurunkan jumlah bakteri lisis (mati) dan bakteri yang dimangsa protozoa.
Namun Mosely dan Jones, 1984 (disitasi Peterson, 2006) menyebutkan laju aliran
pakan dari rumen akan membatasi kecernaan pakan khususnya pemecahan
partikel pakan dalam rumen.
2.3 Suplementasi Vitamin dan Mineral
Pada sapi bakalan, suplementasi sumber-sumber mineral dalam ransum
perlu diperhatikan. Little (1986) menyatakan bahwa suplemenasi mineral-vitamin
komplek perlu dilakukan terkait dengan kondisi pakan yang ada di Indonesia baik
hijauan maupun konsentrat dalam keadaan defisiensi sampai marginal mineral
seng (Zn). Menurut Arora (1995) bahwa mineral sulfur (S) dan seng (Zn) sangat
penting dalam meningkatkan aktivitas mikroba rumen. Mineral S diperlukan oleh
induk semang dan mikroba rumen untuk mensintesis protein tubuhnya (Wodzicka
Tomaszewska et al.,1993) karena S merupakan komponen penyusun asam amino
(sistein, sistin, dan metionin) dan vitamin (tiamin dan biotin). Defisiensi mineral S
dapat menurunkan kecernaan bahan kering ransum.
Mineral Zn berperan penting dalam produksi enzim dehidrogenas,
peptidase, dan fosfatase yang terlibat dalam proses metabolisme asam nukleat,
sintesis protein, dan metabolisme asam nukleat, sintesis nutrien dan metabolisme
karbohidrat (McDonald et al., 1995). Suplementasi mineral Zn dalam bentuk Zn
asetat dalam ransum dapat meningkatkan aktivitas mikroba rumen, sintesis protein
mikroba, keceernaan bahan kering ransum, dan pertambahan bobot hidup sapi
(Putra, 1999). Defisiensi mineral Zn dapat menurunkan kecernaan bahan kering
9
ransum karena menurunnya aktivitas enzim pencernan (Wodzicka Tomaszewska
et al.,1993)
Suplementasi multi vitamin-mineral pada ransum sangat diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral untuk mikroba maupun hewan itu
sendiri. Vitamin berfungsi dalam proses metabolisme dalam suatu organisme
hidup (Tillman et al., 1984). Ketersediaan vitamin dalam rumen terutama vitamin
A dan E cukup besar pengaruhnya terhadap sintesis protein mikroba rumen.
Sedangkan vitamin-vitamin B kompleks dan K tidak terlalu bermasalah bagi
ruminansia karena dapat disintesis oleh mikroba rumen. Namun ketersediaan
vitamin B kompleks dalam rumen juga dipengaruhi kondisi rumen dan jenis
pakan yang dikonsumsi. Sintesis vitamin B khususnya Biotin dan Tiamin
dipengaruhi konsentrasi Sulfur pakan, sedangkan sintesis vitamin B12
dipengaruhi ketersediaan Cobalt (Co) dalam pakan (Berger, 2003 dan 2005).
Sehingga pada kondisi tertentu seperti peningkatan pemberian konsentrat pada
ternak atau pengolahan bahan pakan sebelum diberikan pada ternak, perhatian
terhadap konsentrasi vitamin B kompleks cukup penting untuk dilakukan
(Parakkasi, 1999).
Vitamin-vitamin B dibutuhkan oleh mikroba rumen untuk pertumbuhan
dan proses degradasi pakan, seperti Pyridoxin dibutuhkan dalam proses degradasi
selulosa oleh Ruminococcus albus, Biotin dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
meningkatkan kecernaan selulosa oleh Ruminococcus, Bacteroides succinogenes .
Vitamin B kompleks juga penting dalam pengaturan metabolisme energi dalam
10
sel karena vitamin B merupakan bagian sistem koenzim dalam siklus asam sitrat
dan glikolisis serta berperanan dalam pembentukan ATP (Parakkasi, 1999).
Vitamin A memegang peranan penting dalam pembentukan protein
melalui stimulasi aliran energi yang efisien melalui mitokondria. Sapi dewasa
membutuhkan ketersediaan vitamin A sebesar 20 – 25 g%, namun tingkat
ketersediaan vitamin A bagi mikroba rumen sangat dipengaruhi oleh sumber dan
beberapa faktor lain penghambat ketersediaannya seperti adanya etanol (dalam
silase), nitrat, defisiensi energi dan mineral (Parakkasi, 1999) serta perlakuan
bahan pakan sebelum diberikan pada ternak (Chenost dan Kayouli, 1997).
Kebutuhan vitamin A dapat juga meningkat apabila ransum yang diberikan
berprotein rendah/tinggi, defisiensi P, pemberian lemak yang kurang tercerna,
maupun akibat pemberian ransum berenergi tinggi (Parakkasi, 1999). Vitamin E
memegang peranan penting dalam pertumbuhan sel mikroba melalui pencegahan
peroksidasi asam lemak tak jenuh rantai panjang (poly-unsaturated fatty acid)
didalam/pada dinding sel mikroba rumen (Parakkasi, 1999). Konsentrasi vitamin
E yang optimal dalam rumen akan dapat mendukung pertumbuhan dan aktivitas
mikroba rumen yang maksimal.
Download