Study of Androgenic Effect of Ethanolic Extract of Root Purwoceng

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina KDS)
Tanaman purwoceng (Pimpinella alpina KDS) termasuk tanaman endemik Indonesia
dan sudah lama dikenal sebagai obat herbal. Purwoceng merupakan terna tahunan, tinggi
tanaman purwoceng berkisar antara 15-50 cm, tumbuh di pegunungan dengan ketinggian
1800 - 3500 m di atas permukaan laut. Pada awalnya purwoceng hanya terdapat di Gunung
Pangrango, Papandayan, Tangkuban Perahu (Jawa Barat), Dataran Tinggi Dieng
(Jawa
Tengah), dan Gunung Bromo (Jawa Timur) (Heyne 1987). Sampai saat ini yang dikenal
sebagai daerah pengembangannya hanya di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah dengan luar
areal yang terbatas dan termasuk ke dalam 24 tanaman langka di Jawa (Pusat Konservasi
Tumbuhan 2007). Gambaran tanaman purwoceng disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Tanaman Purwoceng (Rostiana et al. 2003)
Klasifikasi dan Ciri Morfologis Purwoceng
Klasifikasi tanaman Purwoceng menurut sistem Cronquist (Jones 1987) adalah sebagai
berikut :
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Famili
: Apiaceae / Umbelliflorae
Suku
: Umbelliferae
Genus
: Pimpinella
Jenis
: Pimpinella alpina KDS/Pimpinella pruatjan Molk.
Morfologis dari tanaman purwoceng adalah :
Daun.
Daunnya merupakan daun majemuk berpasangan berhadapan, berbentuk jantung,
dengan panjang ± 3 cm dan lebar 2,5 cm, bentuk anak daun membulat dengan tepi bergerigi,
ujung daun tumpul, pangkal daun bertoreh, tangkai daun dengan panjang ± 5 cm berwarna
coklat kehijauan, warna permukaan atas daun hijau, dan permukaan bawah hijau keputihan.
Gambaran bentuk daun disajikan Gambar 2.
Gambar 2 Daun Purwoceng (Rostiana et al. 2003)
Batang
Batangnya merupakan batang semu, berbentuk bulat, lunak, dan warnanya hijau pucat.
Bunga.
Bunganya merupakan bunga majemuk berbentuk payung, tangkainya silindris,
panjangnya ± 2 cm, kelopak bunga berbentuk tabung berwarna hijau. Mulai berbunga antara
bulan ke-5 sampai bulan ke-6 dan dapat dipanen pada umur 7 - 8 bulan (Yuhono 2004).
Biji
Bijinya berbentuk lonjong kecil, berwarna coklat. Biji yang sudah masak berwarna
hitam, berukuran sangat kecil sekitar 0,52 g per 1.000 butir biji (Rahardjo et al. 2006).
Akar / rimpang.
Akarnya merupakan akar tunggang yang membesar membentuk struktur seperti umbi
pada
tanaman
ginseng
dengan
ukuran
yang
lebih
kecil,
berwarna putih kecoklatan. Gambaran bentuk akar purwoceng yang sudah kering disajikan
pada Gambar 3.
Gambar 3 Akar Purwoceng (Koleksi pribadi)
Kandungan Bahan Aktif dan Khasiat
Akar purwoceng mengandung turunan senyawa kumarin, sterol, alkaloid, dan saponin
(Caropeboka dan Lubis 1975, Rostiana et al. 2003), flavonoid, glikosida, dan tanin (Rostiana
et al. 2003), kelompok furanokumarin seperti bergapten, isobargapten, dan sphondin (Sidik
et al. 1975), sitosterol dan vitamin E (Rahardjo et al. 2006), saponin, alkaloid, glikosida,
kumarin, dan triterpenoid-steroid (Rostiana et al. 2003). Senyawa yang diketahui memberi
efek afrodisiaka diantaranya adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa
lain yang dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001). Dalam penelitiannya (Rahardjo
et al. 2005) menyatakan bahwa zat berkhasiat pada herbal purwoceng adalah senyawa
sitosterol dan stigmasterol yang terdapat pada bagian akarnya.
Caropeboka (1979) melakukan penelitian terhadap aktivitas reproduksi pada tikus
yang diberi ekstrak akar purwoceng yang mempunyai aktivitas androgenik. Selanjutnya
Caropeboka (1980) melakukan penelitian pada tikus jantan yang dikebiri dan tikus betina
tanpa indung telur, hasilnya menunjukkan bahwa pemberian ekstrak ekstrak akar purwoceng
memperlihatkan aktivitas androgenik dan kecenderungan aktivitas estrogenik. Kosin (1992)
melakukan terhadap anak ayam jantan, hasilnya ekstrak purwoceng mempunyai efek
androgenik terhadap peningkatan pertumbuhan ukuran jengger. Beberapa penelitian tentang
pemberian purwoceng sudah dilakukan terhadap tikus putih. Hasil uji praklinis itu,
menyatakan bahwa tikus yang diberi 50 mg purwoceng meningkat kadar testosteronnya
mencapai 125%. Testosteron merupakan hormon steroid dan kelompok androgen yang
menyebabkan kaum pria bersuara rendah, berotot gempal, dan tumbuh kumis. Testosteron
fungsinya antara lain meningkatkan libido, energi, fungsi imun, dan perlindungan. Selain
meningkatkan testosteron hingga 125%, dosis 50 mg purwoceng juga menaikkan hormon
luteinizing hingga 29,2%. Luteinizing merupakan hormon yang diproduksi hipofisis anterior
di otak. Perannya merangsang sel-sel dalam testis untuk memproduksi
testosteron.
Pemberian 25 mg purwoceng yang dikombinasikan dengan pasak bumi memberikan hasil
peningkatan kadar testosteron hingga 196,3% sedangkan kadar luteinizing hanya naik 2,5%
(Trubus, Oktober 2008).
Hal ini tiak lepas dari khasiat yang dimiliki oleh tanaman herbal
purwoceng yang banyak mengandung alkaloid, tanin, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan
glikosida. Flavonoid termasuk ke dalam golongan fitoestrogen yang kerjanya sangat mirip
dengan estrogen.
Afrodisiaka
Ekstrak akar purwoceng dapat
berfungsi sebagai bahan afrodisiaka yaitu
meningkatkan potensi seksual sehingga tenaga dan kemampuan seksualnya lebih kuat.
Potensi seksual ini sangat dipengaruhi oleh adanya hormon testosteron (Gauthaman et al.
2002). Hasil uji secara farmakologis pada tikus jantan Sprague Dawley menunjukkan
pemberian ekstrak akar purwoceng dengan zat pelarut metanol 99% dapat meningkatkan
motilitas spermatozoa (Juniarto 2004) dan meningkatkan kadar LH dan testosteron
(Taufiqqurrachman dan Wibowo 2006). Peningkatan kadar testosteron ini disebabkan efek
stimulasi ekstrak purwoceng terhadap LH dan konversi fitosterol yang ada pada ekstrak
purwoceng menjadi testosteron pada jaringan hewan uji (Taufiqqurrachman dan Wibowo
2006). Testosteron merupakan hormon utama yang mempengaruhi perilaku seksual jantan.
Pada ayam jantan yang diberi hormon androgenik dapat menimbulkan sifat kelamin sekunder
(Harper et al 1979). Ini sesuai dengan hasil penelitian dari Kosin (1992) terhadap ayam
jantan yang diberi ekstrak akar purwoceng, terjadi peningkatan ukuran jengger anak ayam
jantan.
Biologi Umum Tikus
Gambar 4 Tikus putih (Rattus norvegicus) (Anonim 2007)
Tikus putih (Rattus norvegicus) atau tikus albino (Gambar 4) merupakan jenis tikus
yang paling banyak digunakan sebagai hewan model dalam penelitian, terutama untuk galur
Sprague Dawley (SD) yang mempunyai ciri morfologis: bentuk kepala kecil dan ekor lebih
panjang dari badannya. Hewan ini memiliki keistimewaan yaitu umur relatif pendek, sifat
produksi dan reproduksinya menyerupai mamalia besar, lama produksi ekonomis 2,5 - 3
tahun, lama kebuntingan berkisar antara 21- 23 hari, umur sapih 21 hari, umur pubertas 50 60 hari, vagina mulai terbuka pada umur 35 – 90 hari, dan testis turun atau keluar pada umur
20 - 50 hari, angka kelahiran 6 - 12 ekor per kelahiran, memiliki siklus estrus yang pendek 4 5 hari dengan karakteristik setiap fase siklus yang jelas, lama estrus 9 - 12 jam, interval antar
generasi relatif pendek, dan berukuran kecil sehingga memudahkan dalam pemeliharaan serta
efisien dalam mengkonsumsi pakan (10 g/100 g BB/hari) (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
Berat badan tikus betina dewasa sekitar 250 g - 300 g dan berat badan tikus jantan dewasa
450 g - 520 g, mulai dikawinkan umur 65 - 110 hari untuk jantan dan betina. Tikus yang
baru lahir memiliki berat lahir antara 5- 6 g (Harkness 1989). Tikus laboratorium (Rattus
norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan
hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian (Malole dan Pramono 1989).
Klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Myers dan Armitage (2004)
adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Rodentia
Famili
: Muridae
Subfamili
: Murinae
Genus
: Rattus
Species
: Rattus norvegicus
Strain
: Rattus norvegicus galur Sprague Dawley
Organ Reproduksi Betina
Uterus
Uterus merupakan organ yang terdiri dari korpus (badan), servik (leher), dan dua
tanduk (kornua). Bagian-bagian uterus mempunyai bentuk dan susunan tanduk yang
bervariasi tergantung speciesnya. Pada hewan rodensia (tikus, mencit, dan kelinci) uterusnya
mempunyai internal dua servik, tanduk secara utuh terpisah (duplex uterus). Gambaran
bentuk uterus tipe duplex disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Uterus tipe duplex (Koleksi pribadi 2011)
Seperti organ yang menyerupai tabung, dinding uterus terdiri atas lapisan membran
mukosa, lapisan otot polos intermediat, dan lapisan serosa bagian luar (peritoneum). Servik
(leher uterus) mengarah kaudal menuju ke vagina. Servik merupakan sfingter otot polos yang
kuat dan tertutup rapat kecuali saat terjadi birahi atau saat kelahiran. Pada saat birahi servik
agak relaks sehingga memungkinkan spermatozoa memasuki uterus (Frandson 1986).
Uterus merupakan saluran muskuler yang diperlukan untuk penerimaan ovum yang
telah dibuahi menjadi zigot dan embrio. Selanjutnya embrio akan berkembang pada
endometrium dengan melalui suatu proses yang disebut dengan implantasi. Pada saat terjadi
perkawinan, uterus akan berkontraksi untuk mempermudah pengangkutan sperma ke tuba
Falopii. Sebelum implantasi cairan uterus merupakan medium yang bersifat suspensi bagi
blastosit sedangkan sesudah implantasi uterus menjadi tempat pembentukan plasenta dan
perkembangan fetus (Toelihere 1981).
Perubahan-perubahan histologis dan morfologis uterus terjadi pada saat siklus estrus
berjalan sehingga ukuran maupun histologi organ ini tidak pernah statis. Hormon yang
berkaitan dengan perkembangan dan pertumbuhan uterus adalah estrogen yang merangsang
pertumbuhan uterus (sintesa protein dan pembelahan sel). Ketika pada tingkat vagina terjadi
fase proestrus dan estrus, pada ovarium terjadi fase folikuler dan pada uterus terjadi fase
proliferasi. Selama fase folikuler ovarium, yang terjadi pada saat proestrus dan estrus pada
vagina dari siklus estrus, kelenjar uterus sederhana dan lurus dengan sedikit cabang. Estrogen
yang dihasilkan pada saat fase folikuler ini akan menyebabkan pertumbuhan dan
perkembangan uterus. Fase inilah yang disebut sebagai fase proliferasi uterus. Selama fase
proliferasi uterus dipengaruhi oleh hormon estradiol sedangkan saat fase sekresi dipengaruhi
oleh hormon progersteron. Selama fase luteal, yang terjadi saat fase metestrus dan diestrus
pada vagina, progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum akan beraksi terhadap
pertumbuhan dan perkembangan uterus, endometrium bertambah tebal secara nyata.
Diameter dan panjang kelenjar meningkat secara cepat menjadi bercabang-cabang dan
berkelok-kelok (Nalbandov 1990).
Ovarium
Ovarium merupakan organ primer reproduksi betina. Ovarium dapat menghasilkan
hormon yang akan diserap langsung ke dalam peredaran darah dan ovum yang dapat
dilepaskan dari kelenjar. Ovarium merupakan sepasang kelenjar yang terdiri atas ovarium
kanan yang letaknya di belakang ginjal kanan dan ovarium kiri yang letaknya di belakang
ginjal kiri. Pada kebanyakan species hewan, ovariumnya mempunyai bentuk menyerupai biji
almond. Ukuran normal ovarium sangat bervariasi antar species (Frandson 1986). Lokasi
ovarium berada pada ujung kornua uterus. Gambaran ovarium tikus disajikan pada gambar 6.
Gambar 6 Ovarium Tikus (Koleksi pribadi 2011)
Fungsi ovarium sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur (ovum) dan
organ endokrin yang mensekresikan hormon-hormon kelamin betina (estrogen dan
progesteron).
Hormon – hormon yang berkaitan dengan perkembangan dan pertumbuhan ovarium adalah:
1. Estrogen berperan saat fase folikuler
2. Progesteron berperan saat fase luteal
Steroidogenesis
Steroidogenesis merupakan proses pembentukan hormon-hormon steroid antara lain
progesteron, testosteron, dan estradiol yang memegang peranan penting dalam proses
reproduksi pada hewan jantan dan betina. Terdapat perbedaan metabolisme pada jantan dan
betina dari hormon-hormon yang dihasilkan pada steroidogenesis tersebut. Steroidogenesis
pada jantan dan betina dijelaskan sebagai berikut:
Pada Jantan
Pada hewan jantan, testosteron disekresikan oleh sel Leydig yang terletak diantara
tubulus seminiferi testis akibat adanya perangsangan hormon Luteneizing hormone (LH) yang
disekresikan oleh hipofise anterior. Testosteron disekresikan mulai dari proses perubahan
asam asetat menjadi kolesterol kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi
menjadi progesteron. Dari pregnenolon dan progesteron akhirnya melalui beberapa
perubahan menjadi testosteron. Testosteron yang sudah disekresikan oleh sel Leydig akan
menuju sel Sertoli melalui sirkulasi darah dan berperan dalam proses pematangan sperma. Di
dalam sirkulasi darah testosteron ditransportasi oleh adanya steroid binding globulin (β
globulin) yang disekresikan oleh sel Sertoli akibat adanya rangsangan dari FSH. Sekitar 98%
dari testosteron yang bersirkulasi dalam darah berada dalam keadaan terikat sisanya
merupakan testosteron yang bebas dapat masuk ke organ target. Proses tersebut terjadi bila
terdapat enzim dalam sitoplasma yang akan merubah testosteron menjadi dehidrotestosteron
sehingga dapat bereaksi dengan reseptor testosteron pada organ target (Hafez 2000).
Steroidogenesis pada hewan jantan disajikan dalam Gambar 7.
Gambar 7 Steroidogenesis pada hewan jantan (Johnson dan Everitt 2004)
Pada Betina
Estrogen
merupakan
hormon
utama
pada
hewan
betina,
dalam
proses
pembentukannya melibatkan 2 sel yaitu sel teka dan sel granulosa. Sel teka akan berkembang
di bawah pengaruh Luteinizing Hormone (LH) dan sel granulosa akan berkembang di bawah
pengaruh Follicle Stimulating Hormone (FSH). Di dalam sel teka yang berkembang, estrogen
disekresikan mulai dari proses perubahan asam asetat menjadi kolesterol kemudian berubah
menjadi pregnenolon dan berubah lagi menjadi progesteron. Dari progesteron berubah
menjadi androstenedion dengan bantuan enzim 17α-hidroksi progesteron, kemudian berubah
menjadi testosteron. Sel granulosa mendapat asupan testosteron dari sel teka dan akan
berubah menjadi estrogen setelah diaromatisasi oleh enzim aromatase yang distimulasi FSH.
Ada 3 bentuk estrogen di dalam plasma hewan betina yaitu 17β-estradiol, estron, dan estriol
(Johnson dan Everitt 1984). Di dalam tubuh hewan betina, ketiga jenis estrogen tersebut
disintesis dari testosteron endogen dengan bantuan enzim aromatase pada sel teka, kemudian
proses konversi yang sama juga terjadi pada sel granulosa. Di bawah rangsangan FSH,
konversi estron berasal dari androstenedion, bersifat lebih lemah daripada estradiol.
Gambaran steroidogenesis pada hewan betina disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Steroidogenesis pada hewan betina (Johnson dan Everitt 1984)
Estrogen merupakan hormon yang mengandung senyawa steroid, fungsinya sebagai
hormon seks wanita. Hormon estrogen terdapat dalam tubuh pria maupun wanita dimana
dalam tubuh wanita usia subur kandungannya lebih tinggi. Hormon ini mempertahankan
tanda – tanda
kelamin sekunder wanita,
menyebabkan penebalan
endometrium dan
pengaturan siklus haid.
Fungsi estrogen berguna pada proses pembentukan jaringan tulang dengan cara
mengatur kadar kalsium dalam darah. Estrogen (khususnya estradiol) bertanggung jawab
untuk persiapan kelenjar ambing di dalam proses laktogenesis. Estrogen juga berfungsi di
dalam sistem saraf pusat sehingga menimbulkan perilaku persiapan kawin (estrus) dengan
cara memodulasi sekresi LH dan FSH melalui sistem hipotalamus-hipofisis hewan jantan
dan betina (Johnson dan Everitt 1984). Menurut Guyton dan Hall (1997) fungsi estrogen
adalah: terhadap uterus, ovarium, tuba Falopii, dan vagina akan bertambah bobotnya karena
pengaruh estrogen. Estrogen juga mengubah epitel vagina yang semula berbentuk epitel
pipih selapis menjadi kuboid bertingkat.
Estrogen menyebabkan perubahan nyata pada
endometrium dan kelenjarnya yang mengakibatkan ukuran uterus bertambah dua sampai tiga
kali lipat dibandingkan sebelum pubertas. Pada tuba Falopii keberadaan estrogen akan
menyebabkan terjadinya proses proliferasi sel.
Siklus Reproduksi Tikus
Tikus merupakan hewan poliestrus yang dapat beberapa kali mengalami siklus estrus
dan melahirkan anak dalam satu tahunnya. Panjang siklus estrus tikus rata-rata berkisar
antara 4 - 5 hari yang terdiri atas fase proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Masingmasing fase tersebut menggambarkan proses fisiologis yang berbeda terkait dengan gambaran
anatomi sel epitel dari dinding vaginanya. Perbedaan gambaran sel epitel dapat digunakan
untuk menentukan masing-masing fase siklus reproduksinya (Gambar 9).
A
B
D
C
Gambar 9 Apusan ulasvagina masing-masing fase siklus berahi
Keterangan gambar: A (Proestrus), sel epitel berinti; B (Estrus),
sel kornifikasi; C (Metestrus), sel lekosit; D (Diestrus),
sel lekosit dan sel epitel berinti (Koleksi pribadi 2011)
Proestrus
Proestrus merupakan fase awal yang menandakan akan datangnya berahi. Fase ini
ditandai oleh periode pertumbuhan folikel pada ovarium yang cepat karena pengaruh dari
Folicle Stimulating Hormone (FSH) (Mc.Donald, 1989). Folikel yang berkembang ini
mensekresikan hormon estrogen. Estrogen dapat menyebabkan terjadinya vaskularisasi dan
penandukkan pada sel epitel vagina pada beberapa spesies. Pada pemeriksaan apusan ulas
vagina akan didominasi oleh sel-sel epitel berinti (Gambar 9A). Fase proestrus terjadi
selama + 12 jam (Nalbandov 1990; Baker et al 1980). Ketika pada tingkat vagina terjadi fase
proestrus, estrogen akan memulai merangsang pertumbuhan uterus (sintesa protein dan
pembelahan sel).
Estrus
Fase estrus merupakan fase penerimaan seksual (berahi) hewan betina yang bersedia
menerima pejantan untuk kawin. Stadium ini berlangsung kira-kira 12 jam dimulai pada
malam hari (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Kondisi ini berakhir setelah 9-15 jam dengan
ciri-ciri aktivitas hewan berlari-lari sangat tinggi di bawah pengaruh FSH. Pengaruh FSH
menyebabkan sel-sel folikel ovari tumbuh dengan cepat sehingga sekresi estrogen meningkat.
Pada pemeriksaan apusan ulas vagina terlihat banyaknya sel pavement /sel yang menumpuk
dan sel kornifikasi /sel yang mengalami penandukan (Gambar 9B) (Nalbandov 1990; Baker
et al. 1980). Pada fase estrus, vaskularisasi semakin meningkat estrus, pada ovarium terjadi
fase folikuler dan pada uterus terjadi fase proliferasi.
Metestrus
Metestrus merupakan fase yang terjadi setelah estrus selesai berlangsung kira-kira 21
jam (Baker et al. 1980). Pada umumnya fase ini masih didapatkan gejala-gejala estrus, tetapi
betina menolak untuk kopulasi. Pada fase ini folikel pecah sehingga kadar estrogen menurun,
dan mengalami reorganisasi kemudian mulai terbentuk korpus luteum yang mensekresi
progesteron dan berlanjut hingga fase diestrus. Ovarium mengandung korpus luteum dan
folikel-folikel baru yang kecil, uterus mengalami vaskularisasi dan kontraksi berkurang
(Turner dan Bagnara 1988). Menurut (Smith dan Mangkoewidjojo 1988) metestrus dapat
dibedakan menjadi metestrus I dan metestrus II. Metestrus I berlangsung selama kira-kira 15
jam. Pada sediaan apusan ulas vagina terlihat sel-sel kornifikasi, biasanya ada sumbat air
mani menggumpal dalam vagina bila hewan sudah kawin. Metestrus II berlangsung kirakira 6 jam. Pada pemeriksaan apusan ulas vagina tampak sel-sel kornifikasi dan mulai tampak
lekosit (sel darah putih) (Gambar 9C). Progesteron yang dihasilkan pada fase metestrus pada
tingkat vagina dan fase luteal pada ovarium ini akan menyebabkan fase sekresi pada uterus.
Selama fase proliferasi uterus dipengaruhi oleh hormon estradiol sedangkan saat fase sekresi
dipengaruhi oleh hormon progesteron. Selama fase luteal, yang terjadi saat fase metestrus dan
diestrus pada vagina, progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum akan bereaksi terhadap
pertumbuhan dan perkembangan uterus, endometrium bertambah tebal secara nyata.
Diameter dan panjang kelenjar meningkat secara cepat menjadi bercabang-cabang dan
berkelok-kelok akibat adanya progesteron (Nalbandov 1990).
Diestrus
Fase diestrus merupakan periode terakhir dan terlama dari siklus birahi, fase ini
berlangsung antara 60 - 70 jam (Turner dan Bagnara 1976), sedangkan menurut (Smith dan
Mangkoewidjojo 1988) fase ini berlangsung kira-kira 57 - 60 jam. Pada fase ini terjadi
pematangan korpus luteum, bila terjadi fertilisasi korpus luteum akan dipertahankan, tetapi
jika tidak terjadi regresi dari korpus luteum akibat pengaruh PGF 2α (Hafez 1980). Pada
pemeriksaan apusan ulas vagina (Gambar (D) terlihat sel-sel epitel berinti dan lekosit (sel
darah putih) (Baker et al. 1980).
Fitoestrogen
Fitoestrogen
merupakan
senyawa
merupakan
non
sumber
steroidal
estrogen yang
dan
mempunyai
berasal dari tanaman yang
aktivitas
dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen (Tsourounis
estrogenik atau
2004). Fitoestrogen
merupakan substrat dari tanaman yang berkhasiat seperti estrogen dan mempunyai inti
yang sama seperti estrogen walaupun rumus bangun kimianya berbeda dengan estrogen.
Khasiat estrogenik terjadi karena fitoestrogen mempunyai 2 gugus -OH/hidroksil yang
jaraknya sama (11.0 - 11,5 Aº) pada intinya, begitu
juga dengan inti estrogen sendiri.
Para ilmuwan sepakat bahwa jarak 11 A0 dan gugus -OH menjadi struktur pokok suatu
substrat mempunyai efek estrogenik (memiliki afinitas tertentu untuk dapat menduduki
reseptor estrogen (Achadiat 2007). Suatu substrat baru akan berefek estrogenik bila telah
berikatan dengan reseptor estrogen. Tetapi afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen
sangat rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen (Tsourounis 2004). Menurut
Tsourounis (2004) beberapa senyawa fitoestrogen yang terdapat dalam tanaman antara lain:
 Isoflavone pada buah-buahan, teh hijau, kacang kedelai, dan produk kedelai seperti
tempe, tahu, dan tauco.
 Lignane pada biji gandum dan wijen.
 Coumestane pada kacang-kacangan dan biji bunga matahari.
 Glikoside Tripterpen pada tanaman Cimifuga racemosa (Black cohosh) yang tumbuh
di hutan Amerika Selatan, saat ini telah diekstraksi dan dikemas menajdi produk obat
menopause.
 Senyawa-senyawa estrogenik lain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti
flavone, chalcone, diterpenoid, triterpenoid, coumarine, dan acyclic.
Zat yang paling banyak dalam akar purwoceng adalah alkaloid dan flavonoid.
Alkaloid dan flavonoid termasuk dalam golongan fitoestrogen.
Berdasarkan struktur
kimianya, seluruh senyawa golongan flavonoid pada tanaman merupakan induk flavon.
Flavonoid merupakan senyawa larut air, etanol, metanol, dan mengandung sistem atomatik
yang terkonyugasi. Secara umum flavonoid ditemukan pada tumbuhan sebagai campuran dan
terikat pada gula seperti glikosida, aglikon atau dalam kombinasi beberapa bentuk aglikon.
Senyawa flavonoid diklasifikasikan menjadi 10 golongan yang terkarakterisasi oleh warna
pada teknik spektrofotometer dan pemisahan pada teknik kromatografi. Golongan tersebut
adalah antosianin, proantosianin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, flavonon,
dan isoflavon (Harborne 1987). Flavonoid mempunyai efek hormonal khususnya efek
estrogenik karena mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen.
Flavonoid pada ekstrak akar purwoceng merupakan senyawa fitoestrogen yang mempunyai
kesamaan struktur kimia dengan estrogen mamalia. Berikut adalah kemiripan struktur kimia
antara estrogen dan flavonoid (Gambar 10).
Gambar 10 Struktur kimia estrogen dan flavonoid (Guyton 1997; Harborne 1987)
Flavonoid mampu berikatan dengan reseptor estrogwn (RE), di dalam tubuh ada 2 reseptor
estrogen yaitu reseptor estrogen alfa (Reα) dan reseptor estrogen beta (Reβ). Reseptor
estrogen α terdapat pada organ uterus, testis, hipofisis, ginjal, epididimis, dan adrenal.
Sedangkan reseptor estrogenβ terdapat di ovarium, prostat, paru-paru, kandung kemih, dan
tulang (Barnes dan Kim 1998).
Download