72-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015 KIPRAH ULAMA PEREMPUAN NYAI HJ. MAKKIYAH AS’AD DALAM MEMBENTENGI MORALITAS UMAT DI PAMEKASAN MADURA Mohammad Takdir Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga [email protected] Abstrak: ___________________ Istilah ulama identik dengan kaum laki-laki. Padahal, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam sejarah kemunculan Islam, terdapat sejumlah ulama perempuan yang memiliki kontribusi penting dalam membantu dakwah dan penyiaran islam di tengah-tengah ambruknya moralitas masyarakat. Di Indonesia sendiri, keberadaan ulama perempuan belum mendapatkan perhatian dari masyarakat. Padahal, tidak sedikit kaum perempuan yang berlatar belakang pesantren banyak bergelut dalam pembinaan moralitas dan keagaman masyarakat. Artikel ini secara khusus akan membahas sosok dan kiprah Nyai Hj. Makkiah As’ad sebagai ulama perempuan dari Pamekasan Madura. Penelitian ini bertujuan untuk mengangkat kiprah dan kontribusi penting Nyai Hj. Makkiah As’ad dalam membina moralitas masyarakat di sekitar pesantren dan Madura secara umum.Penelitian ini menyimpulkan bahwa sosok Nyai Hj. Makkiah As’ad memenuhi syarat untuk disebut sebagai “ulama”, karena memiliki karakter yang melekat dalam dirinya. Pertama, memiliki kapasitas keilmuan agama yang memadai sebagai juru dakwah profesional. Kedua, memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi terhadap masyarakat luas. Ketiga, kemampuan menyesuaikan diri dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Keempat, ketokohan sebagai pendiri dan pengasuh beberapa pesantren di Pamekasan. Kelima, beliau merupakan putri dari pendiri NU, yakni KH. As’ad Syamsul Arifin yang memiliki pengaruh luar biasa di JawaMadura. ___________________ Kata Kunci: Ulama Perempuan, Nyai Hj. Makkiyah As’ad, Moralitas Umat, Pamekasan Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 73-97 Abstract: ___________________ The term ulama>’ is identical to having men characteristics. It is undeniable that during the history of Islam, there were many women ulama>’ with their great contributions on the islamic magnicience and missionaries in the mids of behavioral decadence. In Indonesia, a little attention was given to women ulama>’, while the islamic boarding school (pesantren) has played important role to create them in terms of social empowerment. This study is aimed to address a bibliographical significance of an older woman, or what Javanese popularly known, ‘Nyai’ Makkiah As’ad from Pamekasan, Madura. This study attemps to explore critical contributions of Nyai Makkiah As’ad as moral guider around the pesantrens in Pamekasan. It has been concluded that Nyai Makkiah As’ad mets preconditional requirements of being called ‘ulama’, including having religious capacity to be a professional Muslim proselytizer, having social sense of belonging in the mids of heterogeneous people, having a moral sense of adaptivity in dealing with many social issues, having leadership character to be a prominent figure in some pesantrens in Pamekasan, and having an ulama’ linkage genealogy as daughter of Nahdlatul Ulama leader, Kyai As’ad Syamsul Arifin, with spreadly high influence in Java. ___________________ Keywords: women ulama’, Nyai Makkiyah As’ad, social behavior, Pamekasan 74-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015 Pendahuluan Kehadiran Nabi Muhammad sebagai seorang rasul memang menjadi berkah bagi kaum perempuan yang selama masa Jahiliyyah selalu mendapatkan tindakan diskriminatif dan berada pada posisi yang paling rendah dibandingkan dengan kaum laki-laki. Pada masa itu, kaum perempuan dianggap mahluk Tuhan yang paling hina sehingga banyak ditemukan perlakuan tragis terhadap kaum perempuan.1 Perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan di zaman Jahiliyyah secara perlahan mulai memudar seiring dengan misi suci Nabi Muhammad dalam membebaskan manusia dari segala bentuk ketidakadilan, kebodohan, dan keterbelakangan. Islam hadir sebagai sebuah agama yang mempunyai misi suci untuk membebaskan kaum perempuaan dari ketertindasan. Kaum perempuan menjadi salah satu kelompok masyarakat yang memperoleh perhatian khusus agar terlepas dari belenggu ketidakadilan dan penistaan. Perlakuan diskriminatif di masa lalu menjadi salah satu misi penting bagi Islam untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan setinggitingginya sehingga bisa mengubah cara pandang dan cara memperlakukan perempuan secara manusiawi tanpa adanya tindakan diskriminatif yang diterima. Posisi perempuan pada masa Nabi Muhammad secara perlahan mulai memperoleh kedudukan yang terhormat diantara kaum laki-laki. Apalagi salah satu misi Nabi Muhammad dalam risalah kenabiannya adalah untuk membebaskan kaum perempuan dari ketertindasan yang membelenggu peran dan kebebasannya sebagai mahluk Allah. Ini karena, kaum perempuan merupakan pusat peradaban manusia yang menentukan masa depan bangsa dari satu generasi ke generasi berikutnya. 1 Pada zaman Jahiliyyah, kaum perempuan dianggap sebagai mahluk yang lemah dan hanya menjadi beban ketika masa perang. Padahal, kebiasan orang Arab ketika itu adalah berperang sehingga bila ada lahir anak perempuan dari kalangan mereka, bisa dipastikan akan mendapatkan perlakuan yang keji. Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajdi (Yogyakarta: LSSPA, 2000), 33-34. Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 75-97 Faktanya, semua laki-laki yang ada dan pernah tinggal di muka bumi ini telah berdiam dan lahir dari rahim seorang perempuan. Semua generasi yang membangun peradaban manusia tidak bisa lepas dari bimbingan kaum perempuan yang senantiasa selalu menjadi obor pencerahan bagi kehidupan umat manusia. Sejak Allah menciptakan Hawa sebagai perempuan pertama di muka bumi, posisi kaum perempuan telah memperoleh posisi yang terhormat dan menentukan semua hal dalam tindakan Nabi Adam. Perempuan adalah ruh bagi seluruh kaum laki dari segala peran dan kedudukannya. Ketidaktaatan kaum perempuan bisa menjadi bencana bagi kehidupan manusia sehingga tidak heran bila perempuan disebut sebagai tiang negara. Dari sisi peran perempuan dalam praktik mistik-spiritual pun, dapat dipahami bahwa sebagian besar pemimpin spiritual menerim inspirasi religius pertama mereka dari ibu-bu yang saleh. Begitu mulianya posisi perempuan, sehingga Ibnu ‘Arabi memandang bahwa spiritualitas wanita telah menjadi perantara yang paling sempurna untuk memperoleh pemahaman estetik dan perpaduan dengan Tuhan. Setelah memperoleh posisi mulia diantara kaum lakilaki, perempuan mulai menampakkan diri sebagai kelompok masyarakat yang banyak berperan dalam dakwah Islam. Memang harus diakui bahwa kemunculan ulama lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki.2 Padahal, dalam sejarah awal Islam, telah muncul ulama perempuan yang memiliki pengetahuan agama yang sangat mendalam dan berperan penting dalam membantu Nabi untuk menyebarkan Islam secara menyeluruh ke berbagai penjuru tanah Arab. Peran ulama perempuan dalam spiritualitas Islam dimulai sejak Istri Nabi, Khadijah mendukung dengan segenap jiwa dan raga proses penyebaran Islam demi 2 Jajat Burhanuddin (ed.), Ulama Perempuan Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), xxxiii-xxxvi. Lihat perbincangan para ulama dalam, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1994); Azyumardi Azra, “Ulama Perempuan dan Wacana Islam: Pemberdayaan Perempuan dalam Keilmuan,” dalam Makalah Seminar Internasional tentang Islam dan Pengembangan SDM MAsalah Pemberdayaan Wanita (PPI SDM) IAIN Imam Bonjol Padang, 1998). 76-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015 mewujudkan misi kenabian. Demikian pula dengan Siti Fatimah juga berperan penting dalam peningkatan spiritualitas Islam, karena ia meresapi benih-benih kenabian dari sang ayah tercinta. Kiprah perempuan dalam menopang dakwah Islam memang tidak dipungkiri, semisal Aisyah yang merupakan sumber ilmu pengetahuan dalam bidang hadits dan sumber pengetahuan lainnya. Aisyah adalah isteri Nabi Muhammad yang paling berjasa dalam meriwayatkan hadits sebagai tonggak penting dalam penyebaran Islam secara menyeluruh. Kontribusi signifikan yang dimainkan Aisyah adalah bukti nyata akan posisi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam bidang dakwah keislaman. Aisyah boleh dibilang sebagai representasi ulama perempuan di masa Nabi yang memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadits, fiqh, sejarah, tafsir, dan lain sebagainya.3 Di Indonesia, kiprah ulama perempuan dalam berbagai aspek kehidupan sesungguhnya sudah terlihat sejak era reformasi sampai sekarang. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya perempuan dari kalangan pesantren yang menduduki posisi strategis di pemerintahan maupun di organisasi keagamaan, semisal NU dan Muhammadiyah. Kondisi ini menjadi momentum bagi kaum perempuan untuk memanfaatkan peluang di depan mata untuk lebih giat dan bersemangat dalam mengisi jabatanjabatan strategis di pemerintahan maupun menjadi pemimpin pesantren dengan ribuan santri. Peluang kaum perempuan Indonesia untuk merambah ke berbagai bidang, khususnya, bidang keilmuan dan keulamaan, sesungguhnya jauh lebih besar dibandingkan dengan sesama perempuan dari negara-negara 3 Karena kecerdasannya dalam bidang agama, Aisyah kemudian diberi gelar ummu al-mu’mini>n (ibu orang-orang beriman). Kecerdasan Aisyah dalam meriwayatkan hadits merupakan salah satu puncak prestasi beliau dalam membantu Nabi dalam mengembangkan ajaran Islam. Sebagai seorang isteri Nabi, Aisyah banyak menyerap ilmu secara langsung dari Nabi sehingga beliau betul-betul menjadi penopang ajaran Islam. Tidak heran bila beliau menjadi sumber rujukan dan tempat bertanya bagi banyak sahabat dan menjadi guru bagi para tabiin. Lihat Muhammad Ali Quthb, 36 Perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah, terj. Syaifuddin dan Imran Rasyadi (Bandung: Mizan Pustaka, 2010), 8. Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 77-97 muslim lainnya. Perempuan muslim Indonesia sudah semakin survive seiring dengan semakin banyak peluang untuk tampil di depan publik, termasuk menjadi ulama kondang yang mengisi pengajian umum atau aktifis gender yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di ruang publik. Meskipun ulama sering identik dengan kaum-laki-laki, namun masyarakat muslim Indonesia sudah mulai melirik kiprah kaum perempuan sebagai tokoh masyarakat yang berperan penting dalam membentengi moralitas umat dari pergaulan bebas maupun perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Siti Ruhaini Dzuhayatin, dosen pascasarjana UIN Sunana Kalijaga Yogyakarta, mengatakan bahwa sekarang ini masyarakat muslim Indonesia sudah mulai mengakui ketokohan ulama perempuan sebagai benteng terakhir bagi umat Islam dalam mengarungi derasnya arus modernisasi. Di lingkungan organisasi sosial-keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah, ulama perempuan sudah masuk dalam struktural dengan mengisi jabatan strategis. Bahkan di kalangan Muhammadiyah, ulama perempuan sudah masuk di jajaran Majlis Tarjih, yang menunjukkan sebuah pengakuan besar terhadap keulamaan perempuan. Demikian pula dalam organisasi MUI, yang sudah diisi oleh Prof. Dr. Zakiyah Darajat dan Prof. Dr. Khuzaimah T Yanggo.4 Di berbagai wilayah Indonesia, sesungguhnya banyak ulama perempuan yang memiliki kontribusi penting bagi perubahan sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Namun, keberadaan mereka masih belum terekspos oleh media dan kiprahnya hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan yang bersifat lokal. Di Madura, ulama perempuan sudah menempati posisi Siti Ruhaini Dzuhayatin adalah seorang aktifits gender yang memiliki pengaruh luar biasa di kalangan intelektual Indonesia, karena beliau sekarang menjadi dosen UIN Sunan Kalijaga. Dalam banyak kesempatan ketika mengisi seminar atau diskusi kelas, Ibu Ruhaini selalu memberikan semangat kepada kaum perempuan untuk tidak selalu berpangku tangan dan harus terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, termasuk juga bisa terlibat dalam politik di pemerintahan. Lihat Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Perlunya Kaderisasi Ulama” dalam http//www.rahima.or.id. Diakses 15 April 2015 4 78-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015 penting di tengah-tengah kehidupan masyarakat, karena banyak yang terlibat dalam kegiatan dakwah, politik, sosial, dan lain sebagainya. Meskipun kiai tetap menjadi tokoh utama dalam setiap kegiatan pesantren, namun ulama perempuan yang sering disebut dengan “nyai”, sudah semakin menampakkan taringnya sebagai elite di lingkungan masyarakat Madura. Salah satu sosok ulama perempuan yang sangat dikenal oleh masyarakat Madura adalah Ibu Nyai Hj. Makkiyah As’ad. Beliau adalah isteri dari alm. Drs. K.H. Shidqie Mudzhar, pengasuh pondok pesantren Al-Huda Sumber Nangka, Duko Timur, Larangan, Pamekasan. Kiprah Nyai Makki semakin dikenal, ketika suaminya wafat pada tahun 2002, sehingga perjuangan pesantren secara otomatis dilanjutkan oleh ulama perempuan ini. Ketokohan Nyai Hj. Makkiyah As’ad tidak lepas dari darah yang mengalir dalam dirinya, karena beliau adalah putri dari pelaku sejarah NU, yakni K.H. As’ad Syamsul Arifin dari pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukerojo, Situbondo. Sebagai seorang anak dari ulama kharismatik, Nyai Hj. Makkiyah As’ad tentu saja memiliki modal spiritual dan intelektual untuk menjadi ulama perempuan yang bisa berperan penting dalam memperjuangkan syariat Islam di tengahtengah pengaruh budaya Barat yang semakin tidak terbendung. Jaringan keulamaan yang melekat dalam diri Nyai Hj. Makkiyah As’ad semakin memudahkan kiprah beliau untuk meneruskan perjuangan pesantren yang sudah ditinggal oleh ayahnya sendiri dan suami tercinta. Sampai saat ini, Nyai Hj. Makkiyah As’ad menjadi tiga pengasuh pesantren sekaligus, yakni Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah, Sukerojo, Situbondo, Pondok Pesantren al-Huda Sumber Nangka, Larangan, Pamekasan, dan Pondok Pesantren As-Shidqiyah, Perum Batu Kencana, Batuan, Sumenep. Kiprah dan posisi Nyai Hj. Makkiyah As’ad sebagai pengasuh tiga pesantren besar merupakan sebuah tanggung jawab yang tidak mudah untuk dilaksanakan. Namun, beliau masih tetap semangat untuk meneruskan perjuangan ayahanda dan suami tercintanya. Bahkan, di sela-sela sebagai pengasuh pesantren, Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 79-97 beliau termasuk ulama perempuan yang tidak mau berpangku tangan meskipun ditinggal oleh alm. K.H. Shidqie Mudzhar. Sejak menikah dengan alm. K.H. Shidqie Mudzhar, Nyai Makki ikut terlibat dalam organisasi NU, mulai dari Fatayat sampai Muslimat. Puncak dari kiprah luar biasa dari ulama perempuan kharismatik ini adalah menjadi anggota dewan penasehat Pimpinan Pusat Muslimat NU. Beliau merupakan atasan langsung dari Menteri Sosial, Hj. Khofifah Indar Parawansa, yang menjadi ketua umum Pimpinan Pusat Muslimat NU. Gambaran sekilas dari kiprah Nyai Hj. Makkiyah As’ad menunjukkan bahwa beliau termasuk tokoh masyarakat yang menasional karena jaringan dan darah keulamaan yang melekat dalam dirinya. Nyai Hj. Makkiyah As’ad adalah representasi ulama perempuan yang aktif berdakwah di tengah kesibukannya memimpin tiga pesantren besar. Buktinya, Nyai Hj. Makkiyah As’ad sering diundang ke luar negeri untuk mengisi acara pengajian muslimat yang dihadiri umat Islam dari berbagai negara. Kiprah Nyai Hj. Makkiyah As’ad merupakan wujud nyata dari ulama perempuan yang pantas dikaji dalam sebuah penelitian, karena beliau adalah sosok ulama perempuan yang memiliki kontribusi penting bagi pengembangan ajaran Islam dan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan sosial yang dilaksanakan secara rutin. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan Memperkenalkan sosok ulama perempuan yang dianggap memiliki kontribusi penting bagi perubahan sosial di tengahtengah kehidupan masyarakat, tentu saja tidak lepas dari pengetahuan tentang latar belakang keluarga dan pendidikan yang pernah dijalani oleh yang bersangkutan. Profil tentang kiprah Nyai Hj. Makkiyah sebagai ulama perempuan kharismatik, memang masih belum ada yang membahas secara komprehensif melalui penelitian mendalam. Nyai Hj. Makkiyah As’ad lahir di Situbondo pada tanggal 31 Desember 1954 dari pasangan KH. As’ad Syamsul Arifin dan 80-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015 Nyai. Hj. Zubaidah Baidhowi. Beliau adalah anak keempat dari sembilan bersaudara, yakni Nyai Hj. Zainiyah As’ad, Nyai Hj. Mukarromah, Nyai. Hj. Makkiyah As’ad, Nyai Hj. Isaiyah As’ad, KH. Fawaid As’ad. Sementara saudara lain ibu adalah R.KH. Cholil As’ad Syamsul Arifin dan Abdurrahman. Sosok Nyai Hj. Makkiyah As’ad yang lahir dari darah ulama terkemuka, semakin mempertegas posisi keulamaannya yang tidak bisa dianggap remeh. Ayahanda Nyai Hj. Makkiyah As’ad adalah seorang ulama terpandang yang menjadi pelaku sejarah lahirnya sebuah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, yakni NU. KH. As’ad Syamsul Arifin adalah anak pertama dari pasangan Raden Ibrahim atau KH. Syamsul Arifin dan Nyai Siti Maimunah yang keduanya berasal dari Pamekasan Madura. Dari jalur ayah, K.H. As’ad adalah keturunan Sunan Ampel dan dari pihak ibu masih memiliki garis keturunan dari Pangeran Ketandur, cucu langsung dari Sunan Kudus.5 Jaringan keulamaan yang melekat dalam diri Nyai Hj. Makkiyah As’ad merupakan sebuah pertanda bahwa beliau memang mewarisi keteladanan dan kewibawaan sebagaimana yang terdapat dalam diri KH. As’ad Syamsul Arifin. Meskipun KH. As’ad Syamsul Arifin sudah meninggal dunia, namun Nyai Hj. Makkiyah masih selalu teringat dengan pesan penting yang disampaikan kepada para santrinya. Salah satunya adalah “santri yang keluar dari NU, jangan harap berkumpul dengan saya di akhirat”.6 Pesan moral yang disampaikan ayahanda, membuat Nyai Makki merasa bertanggung jawab untuk meneruskan perjuangan pesantren agar terus membentengi umat dari perbuatan amoral di tengah-tengah kehidupan modern yang semakin tidak menentu. Sebagai seorang putri ulama terkemuka, Nyai Hj. Makkiyah As’ad menyadari bahwa ayandanya adalah tokoh agama yang 5 Sebagai keturunan langsung dari bangsawan, K.H. As’ad tentu memiliki kharisma yang tinggi dan nantinya mengalir ke putra-putrinya, termasuk kepada Nyai Hj. Makkiyah As’ad. Lihat Syamsul A. Hasan, Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat (Yogyakarta: LKIS, 2003), 3. 6 Wawancara dengan Nya Hj. Makkiyah As’ad di Pondok Pesantren alHuda Sumber Nangka Duko Timur. Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 81-97 berperan penting dalam menentukan pancasila sebagai satusatunya asas tunggal organisasi Nahdlatul Ulama di Indonesia. Ketika deklarasi yang dicetuskan oleh NU tentang pernyataan hubungan antara pancasila dengan Islam di Sukerojo pada 21 Desember 1983, Kia As’ad Syamsul Arifin adalah ulama pertama yang mengatakan bahwa sila pertama Pancasila adalah cerminan dari ajaran tauhid dalam Islam.7 Sebagai ulama perempuan yang lahir dan dibesarkan di pesantren, Nyai Hj. Makkiyah As’ad dibimbing langsung oleh KH. As’ad Syamsul Arifin tentang pengetahuan agama sebagaimana yang diajarkan di berbagai pesantren, mulai ilmu hadits, akhlak, fikih, tafsir, tauhid, nahwu, sa}rrof, dan lain sebagainya. Sejak kecil, Nyai Hj. Makkiyah As’ad dibimbing oleh ayahandanya agar menjadi pribadi atau generasi muslim yang taat beragama dan bisa meneruskan perjuangan ulama dalam membesarkan organisasi Nahdlatul Ulama. Nyai Hj. Makkiyah sendiri hanya menempuh pendidikan salaf setingkat Madrasah Tsawiyah sekarang. Meski begitu, kecerdasan dan keilmuan Nyai Hj. Makkiyah tidak kalah dengan orang-orang yang menempuh pendidikan formal di zamannya. Di pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Nyai Hj. Makkiyah As’ad menjadi bagian dari keluarga besar yang memiliki tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan ayahanda, KH. As’ad Syamsul Arifin dalam berdakwah melalui pendidikan pesantren. Nyai Hj. Makkiyah menikah muda pada usia 16 tahun dengan KH. Nawawi Abdul Jalil dari pesantren Sidogiri, dan dikarunia 2 orang putri. Pernikahan Nyai Hj. Makkiyah dengan KH. Nawawi tidak berlangsung lama karena suratan takdir tidak menghendaki keduanya selalu bersama. Setelah berpisah dengan KH. Nawawi, Nyai Hj. Makkiyah As’ad menikah untuk kedua kalinya pada tahun 1980 dengan dua pupu beliau sendiri, yaitu Drs. KH. Shidqie Mudzhar, yang berasal Pondok Pesantren al-Huda Sumber Nangka, Duko Timur, Larangan, Pamekasan. Drs. KH. Shidqie Mudzhar merupakan M. Hasan Basri, R.KH. As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya (Semarang: Toha Putra, 1994), 88. 7 82-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015 ulama terkemuka dari Pamekasan yang memiliki pengaruh luar biasa di tengah-tengah masyarakat. KH. Shidqie Mudzhar adalah seorang aktivis PMII, NU, dan dosen di berbagai perguruan tinggi di Jawa Timur. Bahkan, beliau menjadi salah satu pendiri kampus Universitas Islam Madura (UIM) Betet, Pamekasan, IAI Ibrahimy Sukerojo, dan IDIA al-Amien, Prenduan, Sumenep.8 Hasil pernikahan Nyai Hj. Makkiyah dengan Drs. KH. Shidqie Mudhar dikarunia 5 orang putra-putri, diantaranya Nyai Hj. Makhsusi Zakiyah, Nyai Hj. Asma Zubaidah, Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah, K. Zainul Hasan, dan Nyai Hj. Diana Kholidah. Sosok Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad di Mata Keluarga Sebagaimana yang dituturkan Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah Shidqie,9 sosok Nyai Hj. Makkiyah As’ad adalah seorang figur ibu teladan yang memberikan perhatian penuh pada masa depan anak-anaknya. Di mata Ning Dia, sapaan akrabnya, Nyai Hj. Makkiyah As’ad adalah sosok inspiratif yang berjuang tanpa kenal lelah untuk membesarkan anak-anaknya. Sejak ditinggal alm. Drs. KH. Shidqie Mudzhar, Nyai Makkiyah harus berjuang untuk membesarkan tiga anaknya yang masih kecil agar tetap tegar dalam menghadapi berbagai cobaan yang datang. Sikap pantang menyerah diakui Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah sebagai keteladanan yang pantas diikuti oleh semua saudara-saudaranya yang lain.10 Bagi Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah, sosok Nyai Makkiyah adalah seorang ibu yang tegas dalam mendidik anak-anaknya. Jika anak yang bersangkutan memang salah, maka Nyai Hj. Makkiyah As’ad tidak akan segan-segan untuk menegur dan Wawancara dengan Ning Hj. Aisyatul As’adiyah Shidqie, putri dari Nyai Hj. Makkiyah As’ad. 9 Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah adalah putri ketiga dari pasangan KH. Shidqie Mudzhar dan Nyai Hj. Makkiyah As’ad. Beliau sekarang menjadi Ketua Yayasan Ponpes Al-Huda, ketua Majlis Alumni PAC Larangan, Pembina PC IPPNU Pamekasan, dan Wakil Ketua Fatayat Larangan, Pamekasan. 10 Wawancara dengan Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah di Ponpes al-Huda Sumber Nangka, Duko Timur, Larangan Pamekasan. 8 Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 83-97 memberikan peringatan untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Meskipun dikenal sangat tegas, namun Nyai Hj. Makkiyah As’ad tidak menyimpan amarah yang berlebihan. Beliau memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk memperbaiki sikap dan perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama maupun norma di masyarakat. Sikap tegas disertai dengan kebijaksanaan dalam menyikapi setiap persoalan menjadi nilai keteladanan yang patut diikuti oleh semua santri dan keluarga besarnya. Dalam pandangan Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah, keberadaan Nyai Hj. Makkiyah As’ad di tengah-tengah keluarga merupakan sebuah anugerah yang luar biasa, karena beliau memberikan keteladanan kepada anak-anaknya untuk menjadi pribadi yang mandiri. Nyai Hj. Makkiyah mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa perempuan tidak boleh sekadar berpangku tangan, tetapi harus belajar organisasi dan terjun langsung ke masyarakat. Dorongan yang terus-menerus dari Nyai Hj. Makkiyah As’ad ini, membuat Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah Shidqie semakin bersemangat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Saat ini Ning Dia tercatat sebagai mahasiswi Ekonomi Syariah, Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya. Dalam penuturan putranya, Lora Zainul Hasan, sosok Nyai Makki merupakan ibu yang sangat perhatian dalam memberikan kasih sayang kepada semua anak-anaknya. Meskipun memiliki aktifitas yang sangat padat, beliau tidak lupa untuk memberikan kasih sayang dengan sepenuh hati. Di tengah kesibukan mengisi acara pengajian dan menghadiri berbagai pertemuan muslimat, Nya Hj. Makkiyah As’ad terus memantau perkembangan anakanaknya agar belajar dan mengaji setiap hari. Ulama Perempuan yang Memimpin Tiga Pesantren Jika Anda bertanya, Siapa ulama perempuan yang menjadi pengasuh tiga pesantren sekaligus di Madura? Maka tentu saja penulis akan menjawab, Nyai Hj. Makkiyah As’ad, istri almarhum Drs. KH. Shidqie Mudzhar. Menjadi pengasuh tiga 84-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015 pesantren sekaligus merupakan sebuah hal yang langka bagi ulama perempuan di Madura, karena mengemban amanah yang sangat besar untuk mempertahankan eksistensi dan peran pesantren dalam pembangunan moralitas umat dan bangsa secara keseluruhan. Bagi Nyai Hj. Makkiyah As’ad, memimpin tiga pesantren sekaligus bukanlah sebuah kesengajaan, melainkan memang karena situasi dan kondisi yang mengharuskan beliau memegang kendali keberlangsungan pesantren yang dipimpinnya. Sebagaimana diketahui bahwa Nyai Hj. Makkiyah As’ad adalah menjadi pengasuh tiga pesantren, yakni Pondok Pesantren Salafiyah Safiiyah, Sukerojo, Situbondo, Pondok Pesantren AlHuda, Sumber Nangka, Duko Timur, Larangan, Pamekasan, dan Pondok Pesantren As-Shidqiyah, Perum Batu Kencana, Batuan, Sumenep. Bagi penulis, menjadi pengasuh di tiga pesantren sekaligus merupakan hal yang luar biasa di tengah usianya yang sudah memasuki 60 tahun. Sangat jarang ada ulama perempuan yang memegang kendali beberapa pesantren di Madura yang memang tonggak estafet kepemimpinan pesantren lebih banyak dipegang oleh kiai atau ulama laki-laki. Di pondok Pesantren Salafiah Syafi’iyah, Sukerojo, Nyai Hj. Makkiyah memegang kendali sebagai pimpinan pesantren yang dihuni puluhan ribu santri dari berbagai daerah di Indonesia. Pesantren ini berlokasi di desa Sukorejo, Kecamatan Banyuputih, Situbondo, yang berdiri sejak tahun 1914 oleh KH. Syamsul Arifin yang merupakan asal Pamekasan Madura. Sepeninggal KH. Syamsul Arifin, estafet kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh putranya, yakni KH. As’ad Syamsul Arifin yang dikenal sebagai ulama kharismatik karena memiliki karomah sebagai seorang wali.11 Ciri khas dari pesantren ini adalah perpaduan antara sistem salaf dan sistem modern sehingga sampai sekarang jumlah santri yang mondok tidak kurang dari 15000 orang. Sampai saat ini, pesantren Salafiyah Syafi’iyah telah mengembangkan pendidikan umum, mulai dari tingkat SMP, Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai (Yogyakarta: LKIS, 2008), 210- 11 212. Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 85-97 SMA, Ma’had Aly dan Institut Agama Islam Ibrahimy. Dalam penuturan Nyai Hj. Makkiyah As’ad, pesantren Salafiyah Syafi’iyah kemudian dipimpin oleh RKH. Fawaid As’ad, yang tiada lain merupakan saudaranya sendiri. KH. Fawaid As’ad merupakan tokoh NU yang berpengaruh di kalangan masyarakat bawah karena kewibaan yang melekat dalam dirinya. Dalam kepemimpinannya, KH. Fawaid telah melakukan banyak pembenahan dalam sistem pendidikan yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Salah satunya adalah diadakan pemilihan beberapa santri yang mempunyai prestasi agar bisa memegang kendali dalam kepengurusan pesantren. Menurut Nyai Hj. Makkiyah As’ad, usaha adiknya ternyata mampu menghasilkan terobosan yang luar biasa sehingga pesantren Salafiyah Syafi’iyah berkembang pesat sampai sekarang.12 Kepemimpinan KH. Fawaid harus terhenti karena beliau meninggal dunia dengan usia yang relatif masih sangat muda di usia 43 tahun, karena penyakit diabetes dan jantung. Beliau meninggal tepatnya pada 9 Maret 2012 di Surabaya dan kemudian dimakamkan di samping makam ayahnya KH. As’ad Syamsul Arifin. Sepeninggal KH. Fawaid As’ad, pesantren Salafiyah Syafi’iyah kemudian dipimpin oleh KH. Azaim Ibrahimy. Pergantian pengasuh ini diceritakan langsung Nyai Hj. Makkiyah As’ad, putri Kiai As’ad Syamsul Arifin. Menurut Nyai Hj. Makkiyah As’ad, isyarat estafet kepemimpinan pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah dari KH. Fawaid As’ad ke tangan KH. Azaim Ibrahimy sudah ada sejak dulu. Nyai Hj, Makkiyah As’ad sudah memaparkan isyarat ini di hadapan ribuan alumni Salafiyah Syafi’iyah di Mushalla Ibrahimy. Menurut beliau, sekitar tahun 1980, Nyai Zainiyah As’ad sering bercanda, setelah Kiai Fawaid, yang memimpin pesantren adalah Ra Zaim. Candaan tersebut ternyata sekarang menjadi kenyataan.13 Meskipun estafet kepemimpinan pesantren jatuh ke tangan 12 Wawancara langsung dengan Nyai Hj. Makkiyah Asa’d di ponpes alHuda Sumber Nangka, Duko Timur, Larangan, Pamekasan. 13 Wawancara dengan Nyai Hj. Makkiyah As’ad di pesantren al-Huda. 86-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015 KH. Azaim Ibrahimy, namun Nyai Hj. Makkiyah As’ad tetap memegang kendali sebagai ketua Yayasan Pesantren, karena dianggap memiliki kharisma sebagai ulama perempuan yang sangat luar biasa. Bagi Nyai Makkiyah, pesantren Salafiyah Syafi’iyah merupakan amanah yang harus tetap diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Bersama dengan KH. Azaim Ibrahimy, yang juga merupakan keponakannya, Nyai Hj. Makkiyah As’ad membangun sinergi dan kerjasama untuk memajukan pesantren agar terus menjadi benteng terakhir moralitas umat dan bangsa dari kehancuran. Demikian pula di Pondok Pesantren Al-Huda Sumber Nangka, Duko Timur, Larangan, Pamekasan, Nyai Hj. Makkiyah menjadi pengasuh yang memegang kendali semua kegiatan pesantren, termasuk kegiatan belajar di lembaga pendidikan formal mulai dari tingkat Madrasah Ibtidaiah (MI) sampai Madrasah Aliyah (MA). Sepeninggal KH. Shidqi Mudzhar, secara otomatis kendali kepemimpinan pesantren berada di pundak Nyai Hj. Makkiyah As’ad yang secara berkala memantau langsung semua kegiatan pesantren. Ketika penulis masih sekolah di MTs Al-Huda Sumber Nangka, pucuk kepemimpinan masih dipegang oleh Drs. KH. Shidqi Mudzhar. Namun dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2002, KH. Shidqie Mudzhar dipanggil Sang Maha Kuasa sehingga estafet kepemimpinan pesantren dipegang oleh Nyai Hj. Makkiyah As’ad. Pondok Pesantren al-Huda Sumber Nangka, terletak di desa Duko Timur, Larangan, Pamekasan. Pesantren yang satu ini luasnya kurang lebih 30.0000 m2, di mana sebelah baratnya berbatasan dengan perkampungan dan sebelah timurnya ada area persawahan yang sangat luas. Setidaknya adal 500-an santri yang menetap di asrama atau pun yang tidak menetap. Sebagai alumni pesantren Al-Huda Sumber Nangka, penulis cukup mengenal keberadaan pesantren ini. Sebagian besar masyarakat mengenal pondok ini dengan sebutan Ponpes Sumber Nangka, karena di belakang pesantren ini terdapat sungai yang ada sumber mata airnya. Oleh sebagian Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 87-97 warga sekitar, mata air yang mengalir tersebut dinamakan Sumber Nangka. Pesantren Al-Huda Sumber Nangka menurut keterangan Nyai Hj. Makkiyah As’ad didirikan pada tahun 1907 oleh KHR. Zainuddin yang beristerikan Nyai Hj. Siti Aisyah dari Penang Malaysia. Sepeninggal KH. Shidqie Mudzhar, pesantren ini kemudian diasuh oleh Nyai Hj. Makkiyah As’ad.14 Sebagai pimpinan pesantren, Nyai Hj. Makkiyah As’ad mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk meneruskan perjuangan suaminya yang sudah dipanggil sang maha kuasa. Apalagi pesantren ini sudah berdiri lebih dari satu abad sehingga sistem pendidikan yang dijalankan harus mengikuti perkembangan zaman. Tidak heran bila ponpes yang diasuh oleh kakak kandung, KH. Fawaid As’ad ini dikenal sebagai pondok pesantren “basic nature” (pesantren yang berwawasan modern). Adanya jenjang pendidikan formal dan non-formal menjadi salah satu keunggulan pesantren ini. Pendidikan non formal diantaranya adalah pengajian kitab, jami’yatul qurro’ wal huffadz, diniyah, dan khitobah. Sementara pendidikan formal dimulai dari jenjang PAUD sampai MA.15 Sementara pesantren ketiga yang dipimpin oleh Nyai Hj. Makkiyah As’ad adalah Pondok pesantren As-Shidqiyah, Perum Batu Kencana, Batuan, Sumenep. Pesantren ini didirikan oleh KH. Shidqie Mudzhar pada tahun 1998 di atas tanah yang dihibahkan oleh masyarakat setempat.16 Tujuan didirikannya pesantren ini tentu saja adalah untuk menyebarluaskan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat agar mampu membentengi umat dari perbuatan amoral. Pesantren As-Shidqiyah didirikan sebagai cabang dari pesantren Al-Huda, Sumber Nangka. Wawancara dengan Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah. Selain pengajaran kitab kuning, model pesantren ini juga masih terus menerus mengembangkan nalar kritis dan keterampilan santri sehingga keberadaanya pun mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan berkiprah dalam pengembangan sosial kemasyarakatan. Pesantren yang menerapkan model ini adalah pesantren Annuqayah Sumenep, Tebuireng Jombang, dan Mathali’ul Falah Kajen. Lihat Suyoto, “Pondok Pesantren dalam Alam Pendidikan Nasional”, dalam Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaruan, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 61. 16 Wawancara dengan Nyai Hj. Makkiyah As’ad di MA Al-Huda 14 15 88-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015 Meskipun pesantren ini hanya terdapat pendidikan PUAD dan madrasah diniyah, namun masyarakat sekitar sangat menyambut baik kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilaksanakan secara rutin di pesantren ini. Ketika KH. Shidqie Mudzhar wafat pada tahun 2002, pucuk pimpinan pesantren secara otomatis dipegang oleh Nyai Hj. Makkiyah As’ad. Semua bentuk kegiatan dan pembangunan pesantren berada di bawah pengawasan dan pantauan Nyai Hj. Makkiyah As’ad sehingga masyarakat harus berkordinasi langsung dengan beliau. Keberadaan pesantren ini diakui masyarakat sebagai sebuah anugerah yang luar biasa, karena didirikan oleh ulama besar dan dipimpin oleh putri pelaku sejarah NU, yakni KH. As’ad Syamsul Arifin. Menurut penuturan K. Syamsul Hadi Anwar, salah seorang kerabat Nyai Hj. Makkiyah As’ad, pendirian pesantren As-Shidqiyah dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk belajar menjadi pemimpin di masyarakat. Pesantren ini memang dipersiapkan untuk keturunan beliau agar siap menjadi ulama yang memimpin lembaga pendidikan pesantren.17 Berdirinya lembaga pendidikan pesantren, seperti pesantren As-Shidqiyah, tentu saja dalam rangka memperluas jaringan dakwah yang bisa memberikan kesadaran spiritual dalam menerima nasehat-nasehat yang bersifat religius. Tujuan berdirinya lembaga pesantren ini tidak lepas dari keperihatinan KH. Shidqi Mudzhar dan Nyai Hj. Makkiyah As’ad terhadap dinamika moralitas yang terjadi di masyarakat bawah dan perkotaan. Keperihatinan sang ulama memang cukup beralasan karena dekadensi moral masyarakat semakin tidak terkendali sehingga perlu dilakukan gerakan kultural-religius yang bisa memperkuat kegiatan keagamaan masyarakat agar semakin sadar akan pentingnya komunitas berlabel religius yang siap menampung semua kalangan dalam menimba ilmu agama. Ketika itulah lembaga pesantren ini menjadi pusat kegiatan keagamaan yang siap menampung semua semua kalangan Wawancara dengan K. Syamsul Hadi Anwar di Ponpes Raudhatul Jannah, Sumber Rejo, Gagah, Kadur Pamekasan. 17 Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 89-97 dari berbagai daerah dalam rangka menuntut ilmu agama dan pembinaan moral maupun akhlaq yang menjadi prinsip dasar bagi pembangunan bangsa yang lebih religius. Berdirinya pesantren As-Shidqiyah seolah memberikan harapan besar akan terciptanya kualitas sumberdaya insani yang berwatak religius, mandiri, berkeperibadian luhur, intelek, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi pesantren menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam yang bersifat tradisional dengan mengemban cita-cita besar, yaitu tafaqquh fi al-di>n sehingga penekanan moral dalam kehidupan masyarakat dapat tercapai dengan baik.18 Eksistensi pesantren As-Shidqiyah dipimpin Nyai Hj. Makkiyah As’ad, diharapkan dapat membantu para santri untuk mendalami kitab-kitab kuning yang ditulis oleh ulama-ulama klasik terdahulu pada abad pertengahan sehingga target awal untuk mencetak kader-kader religius dapat tercapai. Selain penekanan kitab kuning sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan umat, santri juga dilatih untuk menjadi pribadi muslim yang tangguh dan lebih mandiri dari segi psikologis. Kematangan santri dalam menghadapi segala tantangan dari luar menjadi modal berharga dalam mengembangan potensi pribadinya agar lebih berkembang.19 Secara fungsional, keberadaan pesantren As-Shidqiyah tidak lepas dari tujuan awal berdirinya, yaitu untuk memperkenalkan ajaran-ajaran Islam yang bersifat primer dan menyangkut masalah ibadah mahdah sehingga penerapan ajaran agama dapat dikhayati dalam sanubari mereka masingmasing. Kendati penanaman ajaran-ajaran dasar keislaman menjadi penting, namun penanaman nilai-nilai edukatif yang menyangkut kemampuan pengetahuan atau intelektualitas juga tidak kalah vitalnya bagi tingkat kematangan keperibadiannya. Sementara nilai-nilai progresif yang bersentuhan langsung 18 H. Mansur, Moralitas Pesantren: Meneguk Kearifan dari Telaga Kehidupan (Yogyakarta: Safaria Insania Press, 2004), 7. 19 M. Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan (Jakarta: CV. Prasasti, 2003), 36. 90-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015 dengan perubahan sosial di masyarakat menjadi pelengkap kematangan seorang santri dalam menerima arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena disadari tantangan perubahan di depan kita semakin kompleks saja.20 Kiprah Nyai Hj. Makkiyah As’ad yang menjadi pengasuh tiga pesantren sekaligus merepresentasikan bahwa beliau memang sebagai ulama perempuan yang mengabdi secara total untuk kemajuan pendidikan pesantren. Mengasuh tiga pesantren sekaligus tentu saja bukanlah pekerjaan mudah, melainkan terdapat beban besar yang harus dipikul untuk meneruskan perjuangan ulama dalam mempertahankan akidah dan memperbaiki moralitas umat yang semakin tidak karuan. Tidak heran bila capaian prestasi yang ditorehkan Nyai Hj. Makkiyah As’ad dalam memimpin pesantren besar merupakan buah dari kerja keras dan semangat yang berlipat ganda untuk meneruskan perjuangan ayahanda, KH. As’ad Syamsul Arifin dan suami tercintanya, KH. Shidqie Mudzhar. Di usianya yang sudah memasuki 60 tahun, Nyai Hj. Makkiyah As’ad masih tetap semangat untuk memimpin tiga pesantren. Ketika penulis sowan ke Ponpes Al-Huda, beliau masih tampak segar bugar layaknya perempuan yang masih umur 30-an. Beliau memaparkan bahwa rahasianya adalah selalu rutin mengonsumsi vitamin, istirahat yang cukup, dan menjaga pola makan dengan mengonsumsi makanan yang bergizi. Kiprah beliau dalam dunia pendidikan pesantren, harus diakui sebagai sebuah revolusi besar bag ulama perempuan yang berhasil memimpin tiga pesantren dengan puluhan ribu santri yang menetap di dalamnya. Tidak ayal bila beliau menjadi representasi ulama perempuan yang tidak hanya berpangku 20 Kendati lembaga pesantren lahir dan berkembang di daerah pedesaan, namun konsistensi untuk mengembangkan ajaran Islam secara total tidak pernah pudar. Walaupun diterpa gelombang globalisasi dan derasnya arus modernisasi, pesantren masih tetap berdiri kokoh untuk menopang laju pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang sering mengalami labilitas dalam membendung segala arus yang menelikung aroma kultural-religius di internalnya. Di tengah arus modernisasi tersebut, pesantren tidak boleh terjebak dengan geliat perkembangan zaman yang bisa memupus nilai dan tradisi yang sudah dibangun sejak awal berdirinya pesantren. Ibid, 35. Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 91-97 tangan, tapi mampu melakukan perubahan nyata di tengahtengah kehidupan masyarakat. Juru Dakwah Profesional Kiprah keulamaan Nyai Hj. Makkiyah As’ad bukan sekadar dilandasi oleh ketokohan sang ayah sebagai ulama terkemuka di Nusantara, melainkan beliau memang memiliki kecerdasan dalam menyampaikan pesan-pesan agama secara jernih kepada masyarakat. Harus diakui bahwa Nyai Hj. Makkiyah memiliki modal simbolik yang berasal dari latar belakang keluarga yang memiliki kemasyhuran dan prestise tinggi sebagai ulama kondang yang berperan penting dalam pendirian organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, yakni NU. Jaringan keulamaan memang menjadi modal penting bagi seseorang untuk membangun relasi dan menjadi juru dakwah di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kekerabatan Nyai dalam tradisi pesantren di Madura memang menjadi modal utama dalam membangun sebuah relasi yang semakin mempermudah untuk menjadi juru dakwah atau mengisi pengajian umum di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Harus diakui bahwa tradisi pesantren merupakan bentuk sistem sosial yang tumbuh melalui sistem kekerabatan yang dibangun kiai. Sistem kekerabatan yang dikembangkan kiai pesantren dibangun atas dasar ikatan yang kuat melalui hubungan geneologis sosial kiai. Tidak heran bila jaringan sosial yang dilakukan santri secara khusus dapat memperat peran internal pesantren dalam membentuk kekuatan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat secara luas, di samping itu yang paling penting adalah peningkatan nilai-nilai tradisi pesantren yang harus tetap dijaga sebagai bentuk pengabdian dan sumbangsih atas apa yang diberikan pesantren itu sendiri. Tradisi yang dibangun di pesantren tersebut telah membentuk hubungan kekeluargaan yang sangat kuat dan memperkuat jaringan sosial di lingkungan masyarakat. Kendati dibentuk atas dasar hubungan patron-klien, pesantren masih 92-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015 memegang teguh sistem nilai yang melembaga yang kemudian membentuk tradisi mendengar dan taat kepada seorang kiai.21 Dalam tradisi pesantren telah terbangun sebuah konstruksi sosial yang menempatkan kiai sebagai pribadi yang memiliki integritas moral dan spiritual serta di iikuti oleh masyarakat luas. Konstruksi sosial tersebut menempatkan kiai pada posisi yang strategis dan elite di dalam lingkungan pesantren,22 di mana keberadaan elite kiai tidak tergantikan oleh pimpinan lembaga mana pun, karena pengaruh seorang kiai sangat kuat dan kokoh di lingkungan masyarakat. Tidak berlebihan bila tugas seoarang kiai adalah bagaimana ia mampu meningkatkan pengaruh dan selalu melekatkan pada dirinya dengan status kepemimpinan yang mutlak serta mendorong santri senantiasa belajar dengan tekun dan giat. Keturunan dari seorang ulama atau kiai besar merupakan sebuah modal penting yang bisa mempermudah Nyai Hj. Makkiyah As’ad untuk mengemban misi dakwah sebagaimana yang pernah dianjurkan oleh sang suami tercinta, KH. Shidqie Mudzhar. Ketokohan Kia As’ad merupakan pintu masuk bagi Nyai Hj. Makkiyah As’ad untuk berkiprah di bidang dakwah demi meneruskan perjuangan sang suami yang telah memberikan idzin kepada beliau untuk aktif dalam kegiatan sosial-keagamaan di masyarakat. Modal latar belakang keluarga inilah yang membuat Nyai Makkiyah disegani sebagai ulama Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1999), 79. Adanya Kiai dalam suatu lembaga pesantren merupakan ciri utama yang tak bisa tergantikan oleh pimpinan lembaga yang lain. Ini karena, kiai memegang estafet kepemimpinan dan kedaultan pesantren yang mengharuskan seorang santri patut dan taat kepada kiai yang bersangkutan. Kiai pada dasarnya adalah gelar yang diberikan masyarakat sekitarnya kepada seorang yang dianggap alim dalam bidang ilmu agama Islam. Tidak heran bila suatu institusi pendidikan Islam bisa disebut pesantren apabila ada seseoang yang difigurkan, yakni seorang kiai. Sebab, dalam suatu pesantren, kiai merupakan tokoh sentral, disamping sebagai pemegang kebijakan mutlak, ia juga merupakan penggerak dan pengemban amanah potensi-potensi yang dimiliki santri. Dengan demikian, kemajuan dan kemunduran sebuah lembaga pesantren sangat tergantung pada kemampuan dan kepemimpinan kiai dalam mengatur segala kebijakan yang berkaitan dengan aktifitas kepesantrenan. 22 Ahmad Siddiq, Khittah Nahdliyah (Surabaya: Balai Buku, 1979), 21. 21 Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 93-97 perempuan yang piawai dalam menyampaikan dakwahnya. Jika Nyai keturunan dari seorang kiai kharismatik dan banyak disegani masyarakat, maka posisi Nyai juga akan diperlakukan atau memperoleh penghormatan yang lebih baik.23 Kiprah Nyai Hj. Makkiyah As’ad dalam bidang dakwah tidak lepas dari peran KH. As’ad yang sejak kecil sudah sering mengajak beliau untuk mengikuti acara pengajian maupun pertemuan organisasi NU. Sejak umur 7 tahun, Nyai Hj. Makkiyah As’ad sering di bawah ayahnya untuk menghadiri pengajian atau pun pertemuan NU. Dari bekal pengajaran sang ayah ini, membuat Nyai Hj. Makkiyah As’ad menjadi seorang ulama perempuan yang tidak takut dengan stigma negatif di tengahtengah kehidupan masyarakat. KH. As’ad memberikan pelajaran luar biasa bagi beliau yang telah mendidik dengan mandiri agar tidak hanya berpangku tangan di rumah, melainkan harus bisa melakukan kegiatan positif yang bermanfaat bagi masyarakat. Ketika menikah dengan KH. Shidqi Mudzhar pada tahun 1980, Nyai Hj. Makkiyah As’ad diberikan kebebasan untuk mengekspresikan keterampilannya dalam bidang dakwah. Beliau dianjurkan untuk mengisi pengajian di desa-desa melalui acara muslimat dan fatayat yang berada di bawah naungan Nadhlatul Ulama. Dukungan penuh dari sang suami tercinta, membuat Nyai Hj. Makkiyah As’ad merasa terpacu untuk lebih giat dalam memberikan dakwah kepada masyarakat. Sejak itulah, Nyai Hj. Makkiyah As’ad aktif mengisi pengajian di berbagai acara muslimat, mulai dari tingkat ranting sampai tingkat pusat. Kegiatan dakwah yang dijalani Nyai Hj. Makkiyah As’ad masih tetap berlangsung hingga sekarang. Beliau termasuk ulama perempuan yang aktif dalam memberikan dakwah, baik tingkat lokal, nasional, bahkan dunia. Selain diundang ke berbagai wilayah di Indonesia, beliau juga sering diminta untuk mengisi pengajian ke beberapa negara, semisal Malaysia, Singapura, Arab Saudi, dan lain sebagainya. Dalam penuturannya, beliau mengatakan bahwa kegiatan dakwah tidak hanya sebatas Martin Van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta; LKIS, 1994), 21. 23 94-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015 wilayah Indonesia, tapi juga dari Malaysia, yang dihadiri oleh alumni Sukorejo, TKI, dan warga dari berbagai negara.24 Kiprah keulamaan Nyai Hj. Makkiyah dalam bidang dakwah tidak bisa diragukan lagi, karena kegiatan dakwah yang beliau jalani sudah menyentuh ke hampir seluruh wilayah Indonesia dan beberapa negara di Asia. Tidak heran bila beliau pantas disebut sebagai ulama perempuan berdaya saing yang mampu menerobos sistem patriarkhi dan gender. Sebuah pencapaian luar biasa yang ditorehkan oleh ulama perempuan Madura yang menjadi inspirasi bagi muslimah di berbagai daerah untuk selalu menatap optimis dan berjuang untuk perbaikan moralitas umat dari kebobrokan yang sudah diambang kegawatan. Ulama Perempuan yang Aktifis dan Berjiwa Sosial Kiprah luar biasa yang ditorehkan Nyai Hj. Makkiyah As’ad ternyata tidak hanya di bidang pendidikan dan dakwah, tapi juga aktif dalam kegiatan organisasi keagamaan dan sosial di tengahtengah kehidupan masyarakat. Nyai Hj. Makkiyah As’ad adalah seorang aktifitas di berbagai organisasi ke-NU-an, semisal fatayat dan muslimat. Perjalanan karir beliau dimulai sejak menikah dengan Almarhum KH. Shidqi Mudzhar, pengasuh pondok pesantren Al-Huda Sumber Nangka, Duko Timur, Larangan, Pamekasan. Beliau memperoleh idzin dari sang suami untuk ikut organisasi di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Kegiatan organisasi dimulai dari tingkat ranting, PAC, PW, dan Pusat. Sampai saat ini beliau tercatat sebagai anggota dewan penasehat Pimpinnan Pusat Muslimat NU periode 2011-2016. Posisi beliau lebih tinggi dibandingkan dengan Menteri Sosial, Hj. Khofifah Indar Parawansa yang menjabat sebagai Ketua Umum Muslimat NU. Perjalanan karir beliau di organisasi muslimat, bukan sekadar faktor keturunan ulama besar yang menjadi pelaku sejarah dari sebuah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, melainkan juga ditopang oleh kepemimpinan yang sangat Wawancara dengan Nyai Hj. Makkiyah As’ad. 24 Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 95-97 kharismatik dan memiliki pesan-pesan moral yang sangat menyentuh hati masyarakat. Keterlibatan Nyai Hj. Makkiyah As’ad dalam kegiatan organisasi menunjukkan sebuah kiprah ulama perempuan Madura yang memiliki komitmen tinggi untuk memperjuangan NU dari segala bentuk ancaman. Nyai Hj. Makkiyah As’ad menyadari betul bahwa organisasi NU harus dikawal sebagai sebuah perjuangan untuk mempertahankan ajaran ahlussunah wal jamaah yang menjadi bagian penting dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Selain itu, Nyai Hj. Makkiyah dikenal sebagai sosok ulama perempuan yang berjiwa sosial kepada semua orang, baik kepada kerabat, sanak saudara, santri, maupun masyarakat secara umum. Beliau juga sering melakukan bakti sosial untuk anak yatim dan mengadakan doa bersama untuk masa depan mereka agar tetap semangat dalam menjalani kehidupan. Yang paling penting juga adalah bahwa beliau sangat menekankan pada santrinya untuk rajin bersilaturrahmi sebagai modal dasar untuk mempererat persaudaraan antar sesama manusia. Kesimpulan Dari uraian panjang di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Nyai Hj. Makkiyah As’ad adalah salah satu sosok ulama perempuan Nusantara yang telah banyak berkiprah dalam dunai pendidikan, dakwah, organisasi, dan sosial di tengahtengah kehidupan masyarakat. Kiprah ke-ulama-an beliau dapat terekam dari aktivitasnya sebagai pengasuh di tiga pesantren, yang berada di tiga kabupaten berbeda serta menjadi juru dakwah profesional di Pamekasan dan bahkan hingga ke luar negeri. Di samping itu, beliau juga memiliki kapasitas keilmuan agama yang memadai sebagai juru dakwah profesional, memiliki jiwa sosial yang tinggi terhadap masyarakat luas, memiliki kharisma yang kuat sebagai putri dari pendiri NU, yakni KH. As’ad Syamsul Arifin yang memiliki pengaruh luar biasa di Jawa-Madura serta istri dari salah satu tokoh penting pesantren di Pamekasan. 96-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015 Dengan membaca potret perjuangan keulamaan beliau, dapat dipahami bahwa perempuan juga memiliki peluang untuk tampil ke ranah publik dan lingkungan sosial tanpa meninggalkan tugas pokok sebagai isteri maupun ibu. Kiprahnya yang mendunia bisa dijadikan pelecut semangat bagi kaum perempuan untuk tidak takut bersaing dengan kaum lakilaki dalam berbagai aspek kehidupan. Sosoknya yang gigih dan semangat, menggambarkan representasi seorang ulama dan pemimpin umat dengan kapasitas keilmuan yang mendalam dan jiwa sosial yang menjadi teladan bagi semua orang. Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 97-97 DAFTAR PUSTAKA Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajdi. Yogyakarta: LSSPA, 2000 Burhanuddin, Jajat (ed.), Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002 Quthb, Muhammad Ali. 36 Perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah, terj. Syaifuddin dan Imran Rasyadi. Bandung: Mizan Pustaka, 2010. Dzuhayatin, Siti Ruhaini “Perlunya Kaderisasi Ulama” dalam http// www.rahima.or.id. Diakses 15 April 2015. Hasan, Syamsul A. Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat. Yogyakarta: LKIS, 2003. Wawancara dengan Nya Hj. Makkiyah As’ad di Pondok Pesantren alHuda Sumber Nangka Duko Timur. Basri, M. Hasan. R.KH. As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Semarang: Toha Putra, 1994 Wawancara dengan Ning Hj. Aisyatul As’adiyah Shidqie, putri dari Nyai Hj. Makkiyah As’ad. Amin, Samsul Munir. Karomah Para Kiai. Yogyakarta: LKIS, 2008. Wawancara langsung dengan Nyai Hj. Makkiyah Asa’d di Ponpes alHuda Sumber Nangka, Duko Timur, Larangan, Pamekasan. Wawancara dengan Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah. Suyoto, “Pondok Pesantren dalam Alam Pendidikan Nasional”, Dawam Raharjo (ed.), Pesantren dan Pembaruan. Jakarta: LP3ES, 1998 Wawancara dengan K. Syamsul Hadi Anwar di Ponpes Raudhatul Jannah, Sumber Rejo, Gagah, Kadur Pamekasan. Mansur, H. Moralitas Pesantren: Meneguk Kearifan dari Telaga Kehidupan. Yogyakarta: Safaria Insania Press, 2004. Ghazali, M. Bahri. Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta: CV. Prasasti, 2003 Sukamto. Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren. Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1999. Siddiq, Ahmad. Khittah Nahdliyah. Surabaya: Balai Buku, 1979. Bruinessen, Martin Van. NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru .Yogyakarta; LKIS, 1994.