KIPRAH ULAMA PEREMPUAN NYAI HJ. MAKKIYAH AS`AD DALAM

advertisement
72-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015
KIPRAH ULAMA PEREMPUAN
NYAI HJ. MAKKIYAH AS’AD DALAM
MEMBENTENGI MORALITAS UMAT
DI PAMEKASAN MADURA
Mohammad Takdir
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
[email protected]
Abstrak:
___________________
Istilah ulama identik dengan kaum laki-laki. Padahal, tidak bisa dipungkiri
bahwa dalam sejarah kemunculan Islam, terdapat sejumlah ulama
perempuan yang memiliki kontribusi penting dalam membantu dakwah
dan penyiaran islam di tengah-tengah ambruknya moralitas masyarakat.
Di Indonesia sendiri, keberadaan ulama perempuan belum mendapatkan
perhatian dari masyarakat. Padahal, tidak sedikit kaum perempuan yang
berlatar belakang pesantren banyak bergelut dalam pembinaan moralitas
dan keagaman masyarakat. Artikel ini secara khusus akan membahas
sosok dan kiprah Nyai Hj. Makkiah As’ad sebagai ulama perempuan dari
Pamekasan Madura. Penelitian ini bertujuan untuk mengangkat kiprah
dan kontribusi penting Nyai Hj. Makkiah As’ad dalam membina moralitas
masyarakat di sekitar pesantren dan Madura secara umum.Penelitian
ini menyimpulkan bahwa sosok Nyai Hj. Makkiah As’ad memenuhi
syarat untuk disebut sebagai “ulama”, karena memiliki karakter yang
melekat dalam dirinya. Pertama, memiliki kapasitas keilmuan agama
yang memadai sebagai juru dakwah profesional. Kedua, memiliki jiwa
sosial yang sangat tinggi terhadap masyarakat luas. Ketiga, kemampuan
menyesuaikan diri dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Keempat, ketokohan sebagai pendiri dan pengasuh beberapa pesantren
di Pamekasan. Kelima, beliau merupakan putri dari pendiri NU, yakni
KH. As’ad Syamsul Arifin yang memiliki pengaruh luar biasa di JawaMadura.
___________________
Kata Kunci: Ulama Perempuan, Nyai Hj. Makkiyah As’ad, Moralitas
Umat, Pamekasan
Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 73-97
Abstract:
___________________
The term ulama>’ is identical to having men characteristics. It is
undeniable that during the history of Islam, there were many women
ulama>’ with their great contributions on the islamic magnicience and
missionaries in the mids of behavioral decadence. In Indonesia, a little
attention was given to women ulama>’, while the islamic boarding
school (pesantren) has played important role to create them in terms of
social empowerment. This study is aimed to address a bibliographical
significance of an older woman, or what Javanese popularly known,
‘Nyai’ Makkiah As’ad from Pamekasan, Madura. This study attemps
to explore critical contributions of Nyai Makkiah As’ad as moral
guider around the pesantrens in Pamekasan. It has been concluded
that Nyai Makkiah As’ad mets preconditional requirements of being
called ‘ulama’, including having religious capacity to be a professional
Muslim proselytizer, having social sense of belonging in the mids of
heterogeneous people, having a moral sense of adaptivity in dealing
with many social issues, having leadership character to be a prominent
figure in some pesantrens in Pamekasan, and having an ulama’ linkage
genealogy as daughter of Nahdlatul Ulama leader, Kyai As’ad Syamsul
Arifin, with spreadly high influence in Java.
___________________
Keywords: women ulama’, Nyai Makkiyah As’ad, social behavior,
Pamekasan
74-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015
Pendahuluan
Kehadiran Nabi Muhammad sebagai seorang rasul memang
menjadi berkah bagi kaum perempuan yang selama masa
Jahiliyyah selalu mendapatkan tindakan diskriminatif dan
berada pada posisi yang paling rendah dibandingkan dengan
kaum laki-laki. Pada masa itu, kaum perempuan dianggap
mahluk Tuhan yang paling hina sehingga banyak ditemukan
perlakuan tragis terhadap kaum perempuan.1 Perlakuan
diskriminatif terhadap kaum perempuan di zaman Jahiliyyah
secara perlahan mulai memudar seiring dengan misi suci Nabi
Muhammad dalam membebaskan manusia dari segala bentuk
ketidakadilan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Islam hadir sebagai sebuah agama yang mempunyai misi
suci untuk membebaskan kaum perempuaan dari ketertindasan.
Kaum perempuan menjadi salah satu kelompok masyarakat
yang memperoleh perhatian khusus agar terlepas dari belenggu
ketidakadilan dan penistaan. Perlakuan diskriminatif di
masa lalu menjadi salah satu misi penting bagi Islam untuk
mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan setinggitingginya sehingga bisa mengubah cara pandang dan cara
memperlakukan perempuan secara manusiawi tanpa adanya
tindakan diskriminatif yang diterima.
Posisi perempuan pada masa Nabi Muhammad secara
perlahan mulai memperoleh kedudukan yang terhormat diantara
kaum laki-laki. Apalagi salah satu misi Nabi Muhammad
dalam risalah kenabiannya adalah untuk membebaskan kaum
perempuan dari ketertindasan yang membelenggu peran dan
kebebasannya sebagai mahluk Allah. Ini karena, kaum perempuan
merupakan pusat peradaban manusia yang menentukan
masa depan bangsa dari satu generasi ke generasi berikutnya.
1
Pada zaman Jahiliyyah, kaum perempuan dianggap sebagai mahluk
yang lemah dan hanya menjadi beban ketika masa perang. Padahal, kebiasan
orang Arab ketika itu adalah berperang sehingga bila ada lahir anak perempuan
dari kalangan mereka, bisa dipastikan akan mendapatkan perlakuan yang
keji. Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajdi
(Yogyakarta: LSSPA, 2000), 33-34.
Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 75-97
Faktanya, semua laki-laki yang ada dan pernah tinggal di muka
bumi ini telah berdiam dan lahir dari rahim seorang perempuan.
Semua generasi yang membangun peradaban manusia tidak
bisa lepas dari bimbingan kaum perempuan yang senantiasa
selalu menjadi obor pencerahan bagi kehidupan umat manusia.
Sejak Allah menciptakan Hawa sebagai perempuan pertama
di muka bumi, posisi kaum perempuan telah memperoleh posisi
yang terhormat dan menentukan semua hal dalam tindakan
Nabi Adam. Perempuan adalah ruh bagi seluruh kaum laki
dari segala peran dan kedudukannya. Ketidaktaatan kaum
perempuan bisa menjadi bencana bagi kehidupan manusia
sehingga tidak heran bila perempuan disebut sebagai tiang
negara. Dari sisi peran perempuan dalam praktik mistik-spiritual
pun, dapat dipahami bahwa sebagian besar pemimpin spiritual
menerim inspirasi religius pertama mereka dari ibu-bu yang
saleh. Begitu mulianya posisi perempuan, sehingga Ibnu ‘Arabi
memandang bahwa spiritualitas wanita telah menjadi perantara
yang paling sempurna untuk memperoleh pemahaman estetik
dan perpaduan dengan Tuhan.
Setelah memperoleh posisi mulia diantara kaum lakilaki, perempuan mulai menampakkan diri sebagai kelompok
masyarakat yang banyak berperan dalam dakwah Islam. Memang
harus diakui bahwa kemunculan ulama lebih banyak didominasi
oleh kaum laki-laki.2 Padahal, dalam sejarah awal Islam,
telah muncul ulama perempuan yang memiliki pengetahuan
agama yang sangat mendalam dan berperan penting dalam
membantu Nabi untuk menyebarkan Islam secara menyeluruh
ke berbagai penjuru tanah Arab. Peran ulama perempuan dalam
spiritualitas Islam dimulai sejak Istri Nabi, Khadijah mendukung
dengan segenap jiwa dan raga proses penyebaran Islam demi
2
Jajat Burhanuddin (ed.), Ulama Perempuan Indonesia (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), xxxiii-xxxvi. Lihat perbincangan para ulama dalam,
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1994); Azyumardi Azra, “Ulama Perempuan
dan Wacana Islam: Pemberdayaan Perempuan dalam Keilmuan,” dalam
Makalah Seminar Internasional tentang Islam dan Pengembangan SDM MAsalah
Pemberdayaan Wanita (PPI SDM) IAIN Imam Bonjol Padang, 1998).
76-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015
mewujudkan misi kenabian. Demikian pula dengan Siti Fatimah
juga berperan penting dalam peningkatan spiritualitas Islam,
karena ia meresapi benih-benih kenabian dari sang ayah tercinta.
Kiprah perempuan dalam menopang dakwah Islam
memang tidak dipungkiri, semisal Aisyah yang merupakan
sumber ilmu pengetahuan dalam bidang hadits dan sumber
pengetahuan lainnya. Aisyah adalah isteri Nabi Muhammad
yang paling berjasa dalam meriwayatkan hadits sebagai tonggak
penting dalam penyebaran Islam secara menyeluruh. Kontribusi
signifikan yang dimainkan Aisyah adalah bukti nyata akan
posisi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama
dalam bidang dakwah keislaman. Aisyah boleh dibilang sebagai
representasi ulama perempuan di masa Nabi yang memiliki
pengetahuan luas dalam bidang hadits, fiqh, sejarah, tafsir, dan
lain sebagainya.3
Di Indonesia, kiprah ulama perempuan dalam berbagai aspek
kehidupan sesungguhnya sudah terlihat sejak era reformasi
sampai sekarang. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
perempuan dari kalangan pesantren yang menduduki posisi
strategis di pemerintahan maupun di organisasi keagamaan,
semisal NU dan Muhammadiyah. Kondisi ini menjadi momentum
bagi kaum perempuan untuk memanfaatkan peluang di depan
mata untuk lebih giat dan bersemangat dalam mengisi jabatanjabatan strategis di pemerintahan maupun menjadi pemimpin
pesantren dengan ribuan santri. Peluang kaum perempuan
Indonesia untuk merambah ke berbagai bidang, khususnya,
bidang keilmuan dan keulamaan, sesungguhnya jauh lebih besar
dibandingkan dengan sesama perempuan dari negara-negara
3
Karena kecerdasannya dalam bidang agama, Aisyah kemudian diberi
gelar ummu al-mu’mini>n (ibu orang-orang beriman). Kecerdasan Aisyah dalam
meriwayatkan hadits merupakan salah satu puncak prestasi beliau dalam
membantu Nabi dalam mengembangkan ajaran Islam. Sebagai seorang isteri
Nabi, Aisyah banyak menyerap ilmu secara langsung dari Nabi sehingga beliau
betul-betul menjadi penopang ajaran Islam. Tidak heran bila beliau menjadi
sumber rujukan dan tempat bertanya bagi banyak sahabat dan menjadi guru
bagi para tabiin. Lihat Muhammad Ali Quthb, 36 Perempuan Mulia di Sekitar
Rasulullah, terj. Syaifuddin dan Imran Rasyadi (Bandung: Mizan Pustaka,
2010), 8.
Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 77-97
muslim lainnya. Perempuan muslim Indonesia sudah semakin
survive seiring dengan semakin banyak peluang untuk tampil di
depan publik, termasuk menjadi ulama kondang yang mengisi
pengajian umum atau aktifis gender yang memperjuangkan
hak-hak kaum perempuan di ruang publik.
Meskipun ulama sering identik dengan kaum-laki-laki,
namun masyarakat muslim Indonesia sudah mulai melirik kiprah
kaum perempuan sebagai tokoh masyarakat yang berperan
penting dalam membentengi moralitas umat dari pergaulan
bebas maupun perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai
ajaran Islam. Siti Ruhaini Dzuhayatin, dosen pascasarjana UIN
Sunana Kalijaga Yogyakarta, mengatakan bahwa sekarang ini
masyarakat muslim Indonesia sudah mulai mengakui ketokohan
ulama perempuan sebagai benteng terakhir bagi umat Islam
dalam mengarungi derasnya arus modernisasi. Di lingkungan
organisasi sosial-keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah,
ulama perempuan sudah masuk dalam struktural dengan
mengisi jabatan strategis. Bahkan di kalangan Muhammadiyah,
ulama perempuan sudah masuk di jajaran Majlis Tarjih, yang
menunjukkan sebuah pengakuan besar terhadap keulamaan
perempuan. Demikian pula dalam organisasi MUI, yang sudah
diisi oleh Prof. Dr. Zakiyah Darajat dan Prof. Dr. Khuzaimah T
Yanggo.4
Di berbagai wilayah Indonesia, sesungguhnya banyak ulama
perempuan yang memiliki kontribusi penting bagi perubahan
sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Namun,
keberadaan mereka masih belum terekspos oleh media dan
kiprahnya hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan yang bersifat
lokal. Di Madura, ulama perempuan sudah menempati posisi
Siti Ruhaini Dzuhayatin adalah seorang aktifits gender yang memiliki
pengaruh luar biasa di kalangan intelektual Indonesia, karena beliau sekarang
menjadi dosen UIN Sunan Kalijaga. Dalam banyak kesempatan ketika mengisi
seminar atau diskusi kelas, Ibu Ruhaini selalu memberikan semangat kepada
kaum perempuan untuk tidak selalu berpangku tangan dan harus terlibat
dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, termasuk juga bisa terlibat dalam politik
di pemerintahan. Lihat Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Perlunya Kaderisasi Ulama”
dalam http//www.rahima.or.id. Diakses 15 April 2015
4
78-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015
penting di tengah-tengah kehidupan masyarakat, karena banyak
yang terlibat dalam kegiatan dakwah, politik, sosial, dan lain
sebagainya. Meskipun kiai tetap menjadi tokoh utama dalam
setiap kegiatan pesantren, namun ulama perempuan yang sering
disebut dengan “nyai”, sudah semakin menampakkan taringnya
sebagai elite di lingkungan masyarakat Madura.
Salah satu sosok ulama perempuan yang sangat dikenal oleh
masyarakat Madura adalah Ibu Nyai Hj. Makkiyah As’ad. Beliau
adalah isteri dari alm. Drs. K.H. Shidqie Mudzhar, pengasuh
pondok pesantren Al-Huda Sumber Nangka, Duko Timur,
Larangan, Pamekasan. Kiprah Nyai Makki semakin dikenal,
ketika suaminya wafat pada tahun 2002, sehingga perjuangan
pesantren secara otomatis dilanjutkan oleh ulama perempuan
ini. Ketokohan Nyai Hj. Makkiyah As’ad tidak lepas dari
darah yang mengalir dalam dirinya, karena beliau adalah putri
dari pelaku sejarah NU, yakni K.H. As’ad Syamsul Arifin dari
pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukerojo, Situbondo.
Sebagai seorang anak dari ulama kharismatik, Nyai Hj.
Makkiyah As’ad tentu saja memiliki modal spiritual dan
intelektual untuk menjadi ulama perempuan yang bisa berperan
penting dalam memperjuangkan syariat Islam di tengahtengah pengaruh budaya Barat yang semakin tidak terbendung.
Jaringan keulamaan yang melekat dalam diri Nyai Hj. Makkiyah
As’ad semakin memudahkan kiprah beliau untuk meneruskan
perjuangan pesantren yang sudah ditinggal oleh ayahnya
sendiri dan suami tercinta. Sampai saat ini, Nyai Hj. Makkiyah
As’ad menjadi tiga pengasuh pesantren sekaligus, yakni Pondok
Pesantren Salafiyah Safi’iyah, Sukerojo, Situbondo, Pondok
Pesantren al-Huda Sumber Nangka, Larangan, Pamekasan, dan
Pondok Pesantren As-Shidqiyah, Perum Batu Kencana, Batuan,
Sumenep.
Kiprah dan posisi Nyai Hj. Makkiyah As’ad sebagai pengasuh
tiga pesantren besar merupakan sebuah tanggung jawab yang
tidak mudah untuk dilaksanakan. Namun, beliau masih tetap
semangat untuk meneruskan perjuangan ayahanda dan suami
tercintanya. Bahkan, di sela-sela sebagai pengasuh pesantren,
Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 79-97
beliau termasuk ulama perempuan yang tidak mau berpangku
tangan meskipun ditinggal oleh alm. K.H. Shidqie Mudzhar.
Sejak menikah dengan alm. K.H. Shidqie Mudzhar, Nyai Makki
ikut terlibat dalam organisasi NU, mulai dari Fatayat sampai
Muslimat. Puncak dari kiprah luar biasa dari ulama perempuan
kharismatik ini adalah menjadi anggota dewan penasehat
Pimpinan Pusat Muslimat NU. Beliau merupakan atasan
langsung dari Menteri Sosial, Hj. Khofifah Indar Parawansa,
yang menjadi ketua umum Pimpinan Pusat Muslimat NU.
Gambaran sekilas dari kiprah Nyai Hj. Makkiyah As’ad
menunjukkan bahwa beliau termasuk tokoh masyarakat yang
menasional karena jaringan dan darah keulamaan yang melekat
dalam dirinya. Nyai Hj. Makkiyah As’ad adalah representasi
ulama perempuan yang aktif berdakwah di tengah kesibukannya
memimpin tiga pesantren besar. Buktinya, Nyai Hj. Makkiyah
As’ad sering diundang ke luar negeri untuk mengisi acara
pengajian muslimat yang dihadiri umat Islam dari berbagai
negara. Kiprah Nyai Hj. Makkiyah As’ad merupakan wujud
nyata dari ulama perempuan yang pantas dikaji dalam sebuah
penelitian, karena beliau adalah sosok ulama perempuan yang
memiliki kontribusi penting bagi pengembangan ajaran Islam
dan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan sosial
yang dilaksanakan secara rutin.
Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
Memperkenalkan sosok ulama perempuan yang dianggap
memiliki kontribusi penting bagi perubahan sosial di tengahtengah kehidupan masyarakat, tentu saja tidak lepas dari
pengetahuan tentang latar belakang keluarga dan pendidikan
yang pernah dijalani oleh yang bersangkutan. Profil tentang
kiprah Nyai Hj. Makkiyah sebagai ulama perempuan
kharismatik, memang masih belum ada yang membahas secara
komprehensif melalui penelitian mendalam.
Nyai Hj. Makkiyah As’ad lahir di Situbondo pada tanggal
31 Desember 1954 dari pasangan KH. As’ad Syamsul Arifin dan
80-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015
Nyai. Hj. Zubaidah Baidhowi. Beliau adalah anak keempat dari
sembilan bersaudara, yakni Nyai Hj. Zainiyah As’ad, Nyai Hj.
Mukarromah, Nyai. Hj. Makkiyah As’ad, Nyai Hj. Isaiyah As’ad,
KH. Fawaid As’ad. Sementara saudara lain ibu adalah R.KH.
Cholil As’ad Syamsul Arifin dan Abdurrahman.
Sosok Nyai Hj. Makkiyah As’ad yang lahir dari darah ulama
terkemuka, semakin mempertegas posisi keulamaannya yang
tidak bisa dianggap remeh. Ayahanda Nyai Hj. Makkiyah As’ad
adalah seorang ulama terpandang yang menjadi pelaku sejarah
lahirnya sebuah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia,
yakni NU. KH. As’ad Syamsul Arifin adalah anak pertama dari
pasangan Raden Ibrahim atau KH. Syamsul Arifin dan Nyai Siti
Maimunah yang keduanya berasal dari Pamekasan Madura.
Dari jalur ayah, K.H. As’ad adalah keturunan Sunan Ampel dan
dari pihak ibu masih memiliki garis keturunan dari Pangeran
Ketandur, cucu langsung dari Sunan Kudus.5
Jaringan keulamaan yang melekat dalam diri Nyai Hj.
Makkiyah As’ad merupakan sebuah pertanda bahwa beliau
memang mewarisi keteladanan dan kewibawaan sebagaimana
yang terdapat dalam diri KH. As’ad Syamsul Arifin. Meskipun
KH. As’ad Syamsul Arifin sudah meninggal dunia, namun Nyai
Hj. Makkiyah masih selalu teringat dengan pesan penting yang
disampaikan kepada para santrinya. Salah satunya adalah “santri
yang keluar dari NU, jangan harap berkumpul dengan saya di
akhirat”.6 Pesan moral yang disampaikan ayahanda, membuat
Nyai Makki merasa bertanggung jawab untuk meneruskan
perjuangan pesantren agar terus membentengi umat dari
perbuatan amoral di tengah-tengah kehidupan modern yang
semakin tidak menentu.
Sebagai seorang putri ulama terkemuka, Nyai Hj. Makkiyah
As’ad menyadari bahwa ayandanya adalah tokoh agama yang
5
Sebagai keturunan langsung dari bangsawan, K.H. As’ad tentu memiliki
kharisma yang tinggi dan nantinya mengalir ke putra-putrinya, termasuk
kepada Nyai Hj. Makkiyah As’ad. Lihat Syamsul A. Hasan, Kharisma Kiai As’ad
di Mata Umat (Yogyakarta: LKIS, 2003), 3.
6
Wawancara dengan Nya Hj. Makkiyah As’ad di Pondok Pesantren alHuda Sumber Nangka Duko Timur.
Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 81-97
berperan penting dalam menentukan pancasila sebagai satusatunya asas tunggal organisasi Nahdlatul Ulama di Indonesia.
Ketika deklarasi yang dicetuskan oleh NU tentang pernyataan
hubungan antara pancasila dengan Islam di Sukerojo pada 21
Desember 1983, Kia As’ad Syamsul Arifin adalah ulama pertama
yang mengatakan bahwa sila pertama Pancasila adalah cerminan
dari ajaran tauhid dalam Islam.7
Sebagai ulama perempuan yang lahir dan dibesarkan
di pesantren, Nyai Hj. Makkiyah As’ad dibimbing langsung
oleh KH. As’ad Syamsul Arifin tentang pengetahuan agama
sebagaimana yang diajarkan di berbagai pesantren, mulai ilmu
hadits, akhlak, fikih, tafsir, tauhid, nahwu, sa}rrof, dan lain
sebagainya. Sejak kecil, Nyai Hj. Makkiyah As’ad dibimbing oleh
ayahandanya agar menjadi pribadi atau generasi muslim yang
taat beragama dan bisa meneruskan perjuangan ulama dalam
membesarkan organisasi Nahdlatul Ulama. Nyai Hj. Makkiyah
sendiri hanya menempuh pendidikan salaf setingkat Madrasah
Tsawiyah sekarang. Meski begitu, kecerdasan dan keilmuan Nyai
Hj. Makkiyah tidak kalah dengan orang-orang yang menempuh
pendidikan formal di zamannya.
Di pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Nyai Hj.
Makkiyah As’ad menjadi bagian dari keluarga besar yang
memiliki tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan
ayahanda, KH. As’ad Syamsul Arifin dalam berdakwah melalui
pendidikan pesantren. Nyai Hj. Makkiyah menikah muda pada
usia 16 tahun dengan KH. Nawawi Abdul Jalil dari pesantren
Sidogiri, dan dikarunia 2 orang putri. Pernikahan Nyai Hj.
Makkiyah dengan KH. Nawawi tidak berlangsung lama karena
suratan takdir tidak menghendaki keduanya selalu bersama.
Setelah berpisah dengan KH. Nawawi, Nyai Hj. Makkiyah
As’ad menikah untuk kedua kalinya pada tahun 1980 dengan
dua pupu beliau sendiri, yaitu Drs. KH. Shidqie Mudzhar, yang
berasal Pondok Pesantren al-Huda Sumber Nangka, Duko Timur,
Larangan, Pamekasan. Drs. KH. Shidqie Mudzhar merupakan
M. Hasan Basri, R.KH. As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan
Perjuangannya (Semarang: Toha Putra, 1994), 88.
7
82-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015
ulama terkemuka dari Pamekasan yang memiliki pengaruh luar
biasa di tengah-tengah masyarakat. KH. Shidqie Mudzhar adalah
seorang aktivis PMII, NU, dan dosen di berbagai perguruan
tinggi di Jawa Timur. Bahkan, beliau menjadi salah satu pendiri
kampus Universitas Islam Madura (UIM) Betet, Pamekasan, IAI
Ibrahimy Sukerojo, dan IDIA al-Amien, Prenduan, Sumenep.8
Hasil pernikahan Nyai Hj. Makkiyah dengan Drs. KH. Shidqie
Mudhar dikarunia 5 orang putra-putri, diantaranya Nyai Hj.
Makhsusi Zakiyah, Nyai Hj. Asma Zubaidah, Nyai Hj. Aisyatul
As’adiyah, K. Zainul Hasan, dan Nyai Hj. Diana Kholidah.
Sosok Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad di
Mata Keluarga
Sebagaimana yang dituturkan Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah
Shidqie,9 sosok Nyai Hj. Makkiyah As’ad adalah seorang figur
ibu teladan yang memberikan perhatian penuh pada masa
depan anak-anaknya. Di mata Ning Dia, sapaan akrabnya, Nyai
Hj. Makkiyah As’ad adalah sosok inspiratif yang berjuang tanpa
kenal lelah untuk membesarkan anak-anaknya. Sejak ditinggal
alm. Drs. KH. Shidqie Mudzhar, Nyai Makkiyah harus berjuang
untuk membesarkan tiga anaknya yang masih kecil agar tetap
tegar dalam menghadapi berbagai cobaan yang datang. Sikap
pantang menyerah diakui Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah sebagai
keteladanan yang pantas diikuti oleh semua saudara-saudaranya
yang lain.10
Bagi Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah, sosok Nyai Makkiyah
adalah seorang ibu yang tegas dalam mendidik anak-anaknya.
Jika anak yang bersangkutan memang salah, maka Nyai Hj.
Makkiyah As’ad tidak akan segan-segan untuk menegur dan
Wawancara dengan Ning Hj. Aisyatul As’adiyah Shidqie, putri dari
Nyai Hj. Makkiyah As’ad.
9
Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah adalah putri ketiga dari pasangan KH.
Shidqie Mudzhar dan Nyai Hj. Makkiyah As’ad. Beliau sekarang menjadi
Ketua Yayasan Ponpes Al-Huda, ketua Majlis Alumni PAC Larangan, Pembina
PC IPPNU Pamekasan, dan Wakil Ketua Fatayat Larangan, Pamekasan.
10
Wawancara dengan Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah di Ponpes al-Huda
Sumber Nangka, Duko Timur, Larangan Pamekasan.
8
Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 83-97
memberikan peringatan untuk tidak mengulangi perbuatannya
lagi. Meskipun dikenal sangat tegas, namun Nyai Hj.
Makkiyah As’ad tidak menyimpan amarah yang berlebihan.
Beliau memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk
memperbaiki sikap dan perilaku yang bertentangan dengan
ajaran agama maupun norma di masyarakat. Sikap tegas disertai
dengan kebijaksanaan dalam menyikapi setiap persoalan
menjadi nilai keteladanan yang patut diikuti oleh semua santri
dan keluarga besarnya.
Dalam pandangan Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah, keberadaan
Nyai Hj. Makkiyah As’ad di tengah-tengah keluarga merupakan
sebuah anugerah yang luar biasa, karena beliau memberikan
keteladanan kepada anak-anaknya untuk menjadi pribadi yang
mandiri. Nyai Hj. Makkiyah mengajarkan kepada anak-anaknya
bahwa perempuan tidak boleh sekadar berpangku tangan, tetapi
harus belajar organisasi dan terjun langsung ke masyarakat.
Dorongan yang terus-menerus dari Nyai Hj. Makkiyah As’ad
ini, membuat Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah Shidqie semakin
bersemangat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi. Saat ini Ning Dia tercatat sebagai mahasiswi
Ekonomi Syariah, Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya.
Dalam penuturan putranya, Lora Zainul Hasan, sosok Nyai
Makki merupakan ibu yang sangat perhatian dalam memberikan
kasih sayang kepada semua anak-anaknya. Meskipun memiliki
aktifitas yang sangat padat, beliau tidak lupa untuk memberikan
kasih sayang dengan sepenuh hati. Di tengah kesibukan mengisi
acara pengajian dan menghadiri berbagai pertemuan muslimat,
Nya Hj. Makkiyah As’ad terus memantau perkembangan anakanaknya agar belajar dan mengaji setiap hari.
Ulama Perempuan yang Memimpin Tiga Pesantren
Jika Anda bertanya, Siapa ulama perempuan yang menjadi
pengasuh tiga pesantren sekaligus di Madura? Maka tentu
saja penulis akan menjawab, Nyai Hj. Makkiyah As’ad, istri
almarhum Drs. KH. Shidqie Mudzhar. Menjadi pengasuh tiga
84-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015
pesantren sekaligus merupakan sebuah hal yang langka bagi
ulama perempuan di Madura, karena mengemban amanah
yang sangat besar untuk mempertahankan eksistensi dan peran
pesantren dalam pembangunan moralitas umat dan bangsa secara
keseluruhan. Bagi Nyai Hj. Makkiyah As’ad, memimpin tiga
pesantren sekaligus bukanlah sebuah kesengajaan, melainkan
memang karena situasi dan kondisi yang mengharuskan
beliau memegang kendali keberlangsungan pesantren yang
dipimpinnya.
Sebagaimana diketahui bahwa Nyai Hj. Makkiyah As’ad
adalah menjadi pengasuh tiga pesantren, yakni Pondok Pesantren
Salafiyah Safiiyah, Sukerojo, Situbondo, Pondok Pesantren AlHuda, Sumber Nangka, Duko Timur, Larangan, Pamekasan, dan
Pondok Pesantren As-Shidqiyah, Perum Batu Kencana, Batuan,
Sumenep. Bagi penulis, menjadi pengasuh di tiga pesantren
sekaligus merupakan hal yang luar biasa di tengah usianya yang
sudah memasuki 60 tahun. Sangat jarang ada ulama perempuan
yang memegang kendali beberapa pesantren di Madura yang
memang tonggak estafet kepemimpinan pesantren lebih banyak
dipegang oleh kiai atau ulama laki-laki.
Di pondok Pesantren Salafiah Syafi’iyah, Sukerojo, Nyai Hj.
Makkiyah memegang kendali sebagai pimpinan pesantren yang
dihuni puluhan ribu santri dari berbagai daerah di Indonesia.
Pesantren ini berlokasi di desa Sukorejo, Kecamatan Banyuputih,
Situbondo, yang berdiri sejak tahun 1914 oleh KH. Syamsul Arifin
yang merupakan asal Pamekasan Madura. Sepeninggal KH.
Syamsul Arifin, estafet kepemimpinan pesantren dilanjutkan
oleh putranya, yakni KH. As’ad Syamsul Arifin yang dikenal
sebagai ulama kharismatik karena memiliki karomah sebagai
seorang wali.11 Ciri khas dari pesantren ini adalah perpaduan
antara sistem salaf dan sistem modern sehingga sampai
sekarang jumlah santri yang mondok tidak kurang dari 15000
orang. Sampai saat ini, pesantren Salafiyah Syafi’iyah telah
mengembangkan pendidikan umum, mulai dari tingkat SMP,
Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai (Yogyakarta: LKIS, 2008), 210-
11
212.
Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 85-97
SMA, Ma’had Aly dan Institut Agama Islam Ibrahimy.
Dalam penuturan Nyai Hj. Makkiyah As’ad, pesantren
Salafiyah Syafi’iyah kemudian dipimpin oleh RKH. Fawaid
As’ad, yang tiada lain merupakan saudaranya sendiri. KH.
Fawaid As’ad merupakan tokoh NU yang berpengaruh di
kalangan masyarakat bawah karena kewibaan yang melekat
dalam dirinya. Dalam kepemimpinannya, KH. Fawaid telah
melakukan banyak pembenahan dalam sistem pendidikan yang
menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Salah satunya
adalah diadakan pemilihan beberapa santri yang mempunyai
prestasi agar bisa memegang kendali dalam kepengurusan
pesantren. Menurut Nyai Hj. Makkiyah As’ad, usaha adiknya
ternyata mampu menghasilkan terobosan yang luar biasa
sehingga pesantren Salafiyah Syafi’iyah berkembang pesat
sampai sekarang.12 Kepemimpinan KH. Fawaid harus terhenti
karena beliau meninggal dunia dengan usia yang relatif masih
sangat muda di usia 43 tahun, karena penyakit diabetes dan
jantung. Beliau meninggal tepatnya pada 9 Maret 2012 di
Surabaya dan kemudian dimakamkan di samping makam
ayahnya KH. As’ad Syamsul Arifin.
Sepeninggal KH. Fawaid As’ad, pesantren Salafiyah Syafi’iyah
kemudian dipimpin oleh KH. Azaim Ibrahimy. Pergantian
pengasuh ini diceritakan langsung Nyai Hj. Makkiyah As’ad,
putri Kiai As’ad Syamsul Arifin. Menurut Nyai Hj. Makkiyah
As’ad, isyarat estafet kepemimpinan pondok pesantren
Salafiyah Syafi’iyah dari KH. Fawaid As’ad ke tangan KH. Azaim
Ibrahimy sudah ada sejak dulu. Nyai Hj, Makkiyah As’ad sudah
memaparkan isyarat ini di hadapan ribuan alumni Salafiyah
Syafi’iyah di Mushalla Ibrahimy. Menurut beliau, sekitar tahun
1980, Nyai Zainiyah As’ad sering bercanda, setelah Kiai Fawaid,
yang memimpin pesantren adalah Ra Zaim. Candaan tersebut
ternyata sekarang menjadi kenyataan.13
Meskipun estafet kepemimpinan pesantren jatuh ke tangan
12
Wawancara langsung dengan Nyai Hj. Makkiyah Asa’d di ponpes alHuda Sumber Nangka, Duko Timur, Larangan, Pamekasan.
13
Wawancara dengan Nyai Hj. Makkiyah As’ad di pesantren al-Huda.
86-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015
KH. Azaim Ibrahimy, namun Nyai Hj. Makkiyah As’ad tetap
memegang kendali sebagai ketua Yayasan Pesantren, karena
dianggap memiliki kharisma sebagai ulama perempuan yang
sangat luar biasa. Bagi Nyai Makkiyah, pesantren Salafiyah
Syafi’iyah merupakan amanah yang harus tetap diperjuangkan
sampai titik darah penghabisan. Bersama dengan KH. Azaim
Ibrahimy, yang juga merupakan keponakannya, Nyai Hj.
Makkiyah As’ad membangun sinergi dan kerjasama untuk
memajukan pesantren agar terus menjadi benteng terakhir
moralitas umat dan bangsa dari kehancuran.
Demikian pula di Pondok Pesantren Al-Huda Sumber
Nangka, Duko Timur, Larangan, Pamekasan, Nyai Hj. Makkiyah
menjadi pengasuh yang memegang kendali semua kegiatan
pesantren, termasuk kegiatan belajar di lembaga pendidikan
formal mulai dari tingkat Madrasah Ibtidaiah (MI) sampai
Madrasah Aliyah (MA). Sepeninggal KH. Shidqi Mudzhar,
secara otomatis kendali kepemimpinan pesantren berada di
pundak Nyai Hj. Makkiyah As’ad yang secara berkala memantau
langsung semua kegiatan pesantren.
Ketika penulis masih sekolah di MTs Al-Huda Sumber
Nangka, pucuk kepemimpinan masih dipegang oleh Drs. KH.
Shidqi Mudzhar. Namun dua tahun kemudian, tepatnya pada
tahun 2002, KH. Shidqie Mudzhar dipanggil Sang Maha Kuasa
sehingga estafet kepemimpinan pesantren dipegang oleh
Nyai Hj. Makkiyah As’ad. Pondok Pesantren al-Huda Sumber
Nangka, terletak di desa Duko Timur, Larangan, Pamekasan.
Pesantren yang satu ini luasnya kurang lebih 30.0000 m2, di mana
sebelah baratnya berbatasan dengan perkampungan dan sebelah
timurnya ada area persawahan yang sangat luas. Setidaknya
adal 500-an santri yang menetap di asrama atau pun yang tidak
menetap.
Sebagai alumni pesantren Al-Huda Sumber Nangka,
penulis cukup mengenal keberadaan pesantren ini. Sebagian
besar masyarakat mengenal pondok ini dengan sebutan
Ponpes Sumber Nangka, karena di belakang pesantren ini
terdapat sungai yang ada sumber mata airnya. Oleh sebagian
Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 87-97
warga sekitar, mata air yang mengalir tersebut dinamakan
Sumber Nangka. Pesantren Al-Huda Sumber Nangka menurut
keterangan Nyai Hj. Makkiyah As’ad didirikan pada tahun 1907
oleh KHR. Zainuddin yang beristerikan Nyai Hj. Siti Aisyah dari
Penang Malaysia. Sepeninggal KH. Shidqie Mudzhar, pesantren
ini kemudian diasuh oleh Nyai Hj. Makkiyah As’ad.14
Sebagai pimpinan pesantren, Nyai Hj. Makkiyah As’ad
mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk
meneruskan perjuangan suaminya yang sudah dipanggil sang
maha kuasa. Apalagi pesantren ini sudah berdiri lebih dari
satu abad sehingga sistem pendidikan yang dijalankan harus
mengikuti perkembangan zaman. Tidak heran bila ponpes yang
diasuh oleh kakak kandung, KH. Fawaid As’ad ini dikenal sebagai
pondok pesantren “basic nature” (pesantren yang berwawasan
modern). Adanya jenjang pendidikan formal dan non-formal
menjadi salah satu keunggulan pesantren ini. Pendidikan non
formal diantaranya adalah pengajian kitab, jami’yatul qurro’ wal
huffadz, diniyah, dan khitobah. Sementara pendidikan formal
dimulai dari jenjang PAUD sampai MA.15
Sementara pesantren ketiga yang dipimpin oleh Nyai Hj.
Makkiyah As’ad adalah Pondok pesantren As-Shidqiyah, Perum
Batu Kencana, Batuan, Sumenep. Pesantren ini didirikan oleh
KH. Shidqie Mudzhar pada tahun 1998 di atas tanah yang
dihibahkan oleh masyarakat setempat.16 Tujuan didirikannya
pesantren ini tentu saja adalah untuk menyebarluaskan ajaran
Islam di tengah-tengah masyarakat agar mampu membentengi
umat dari perbuatan amoral. Pesantren As-Shidqiyah didirikan
sebagai cabang dari pesantren Al-Huda, Sumber Nangka.
Wawancara dengan Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah.
Selain pengajaran kitab kuning, model pesantren ini juga masih terus
menerus mengembangkan nalar kritis dan keterampilan santri sehingga
keberadaanya pun mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan
berkiprah dalam pengembangan sosial kemasyarakatan. Pesantren yang
menerapkan model ini adalah pesantren Annuqayah Sumenep, Tebuireng
Jombang, dan Mathali’ul Falah Kajen. Lihat Suyoto, “Pondok Pesantren dalam
Alam Pendidikan Nasional”, dalam Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaruan,
(Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 61.
16
Wawancara dengan Nyai Hj. Makkiyah As’ad di MA Al-Huda
14
15
88-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015
Meskipun pesantren ini hanya terdapat pendidikan PUAD dan
madrasah diniyah, namun masyarakat sekitar sangat menyambut
baik kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilaksanakan secara
rutin di pesantren ini.
Ketika KH. Shidqie Mudzhar wafat pada tahun 2002, pucuk
pimpinan pesantren secara otomatis dipegang oleh Nyai Hj.
Makkiyah As’ad. Semua bentuk kegiatan dan pembangunan
pesantren berada di bawah pengawasan dan pantauan Nyai
Hj. Makkiyah As’ad sehingga masyarakat harus berkordinasi
langsung dengan beliau. Keberadaan pesantren ini diakui
masyarakat sebagai sebuah anugerah yang luar biasa, karena
didirikan oleh ulama besar dan dipimpin oleh putri pelaku sejarah
NU, yakni KH. As’ad Syamsul Arifin. Menurut penuturan K.
Syamsul Hadi Anwar, salah seorang kerabat Nyai Hj. Makkiyah
As’ad, pendirian pesantren As-Shidqiyah dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk belajar
menjadi pemimpin di masyarakat. Pesantren ini memang
dipersiapkan untuk keturunan beliau agar siap menjadi ulama
yang memimpin lembaga pendidikan pesantren.17
Berdirinya lembaga pendidikan pesantren, seperti pesantren
As-Shidqiyah, tentu saja dalam rangka memperluas jaringan
dakwah yang bisa memberikan kesadaran spiritual dalam
menerima nasehat-nasehat yang bersifat religius. Tujuan
berdirinya lembaga pesantren ini tidak lepas dari keperihatinan
KH. Shidqi Mudzhar dan Nyai Hj. Makkiyah As’ad terhadap
dinamika moralitas yang terjadi di masyarakat bawah dan
perkotaan. Keperihatinan sang ulama memang cukup beralasan
karena dekadensi moral masyarakat semakin tidak terkendali
sehingga perlu dilakukan gerakan kultural-religius yang bisa
memperkuat kegiatan keagamaan masyarakat agar semakin
sadar akan pentingnya komunitas berlabel religius yang siap
menampung semua kalangan dalam menimba ilmu agama.
Ketika itulah lembaga pesantren ini menjadi pusat kegiatan
keagamaan yang siap menampung semua semua kalangan
Wawancara dengan K. Syamsul Hadi Anwar di Ponpes Raudhatul
Jannah, Sumber Rejo, Gagah, Kadur Pamekasan.
17
Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 89-97
dari berbagai daerah dalam rangka menuntut ilmu agama dan
pembinaan moral maupun akhlaq yang menjadi prinsip dasar
bagi pembangunan bangsa yang lebih religius. Berdirinya
pesantren As-Shidqiyah seolah memberikan harapan besar akan
terciptanya kualitas sumberdaya insani yang berwatak religius,
mandiri, berkeperibadian luhur, intelek, dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi pesantren menjadi salah satu
lembaga pendidikan Islam yang bersifat tradisional dengan
mengemban cita-cita besar, yaitu tafaqquh fi al-di>n sehingga
penekanan moral dalam kehidupan masyarakat dapat tercapai
dengan baik.18
Eksistensi pesantren As-Shidqiyah dipimpin Nyai Hj.
Makkiyah As’ad, diharapkan dapat membantu para santri untuk
mendalami kitab-kitab kuning yang ditulis oleh ulama-ulama
klasik terdahulu pada abad pertengahan sehingga target awal
untuk mencetak kader-kader religius dapat tercapai. Selain
penekanan kitab kuning sebagai pedoman dalam memecahkan
persoalan umat, santri juga dilatih untuk menjadi pribadi
muslim yang tangguh dan lebih mandiri dari segi psikologis.
Kematangan santri dalam menghadapi segala tantangan dari
luar menjadi modal berharga dalam mengembangan potensi
pribadinya agar lebih berkembang.19
Secara fungsional, keberadaan pesantren As-Shidqiyah
tidak lepas dari tujuan awal berdirinya, yaitu untuk
memperkenalkan ajaran-ajaran Islam yang bersifat primer dan
menyangkut masalah ibadah mahdah sehingga penerapan
ajaran agama dapat dikhayati dalam sanubari mereka masingmasing. Kendati penanaman ajaran-ajaran dasar keislaman
menjadi penting, namun penanaman nilai-nilai edukatif yang
menyangkut kemampuan pengetahuan atau intelektualitas juga
tidak kalah vitalnya bagi tingkat kematangan keperibadiannya.
Sementara nilai-nilai progresif yang bersentuhan langsung
18
H. Mansur, Moralitas Pesantren: Meneguk Kearifan dari Telaga Kehidupan
(Yogyakarta: Safaria Insania Press, 2004), 7.
19
M. Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan (Jakarta: CV.
Prasasti, 2003), 36.
90-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015
dengan perubahan sosial di masyarakat menjadi pelengkap
kematangan seorang santri dalam menerima arus perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, karena disadari tantangan
perubahan di depan kita semakin kompleks saja.20
Kiprah Nyai Hj. Makkiyah As’ad yang menjadi pengasuh
tiga pesantren sekaligus merepresentasikan bahwa beliau
memang sebagai ulama perempuan yang mengabdi secara
total untuk kemajuan pendidikan pesantren. Mengasuh tiga
pesantren sekaligus tentu saja bukanlah pekerjaan mudah,
melainkan terdapat beban besar yang harus dipikul untuk
meneruskan perjuangan ulama dalam mempertahankan akidah
dan memperbaiki moralitas umat yang semakin tidak karuan.
Tidak heran bila capaian prestasi yang ditorehkan Nyai Hj.
Makkiyah As’ad dalam memimpin pesantren besar merupakan
buah dari kerja keras dan semangat yang berlipat ganda untuk
meneruskan perjuangan ayahanda, KH. As’ad Syamsul Arifin
dan suami tercintanya, KH. Shidqie Mudzhar.
Di usianya yang sudah memasuki 60 tahun, Nyai Hj.
Makkiyah As’ad masih tetap semangat untuk memimpin tiga
pesantren. Ketika penulis sowan ke Ponpes Al-Huda, beliau
masih tampak segar bugar layaknya perempuan yang masih
umur 30-an. Beliau memaparkan bahwa rahasianya adalah
selalu rutin mengonsumsi vitamin, istirahat yang cukup, dan
menjaga pola makan dengan mengonsumsi makanan yang
bergizi. Kiprah beliau dalam dunia pendidikan pesantren, harus
diakui sebagai sebuah revolusi besar bag ulama perempuan
yang berhasil memimpin tiga pesantren dengan puluhan ribu
santri yang menetap di dalamnya. Tidak ayal bila beliau menjadi
representasi ulama perempuan yang tidak hanya berpangku
20
Kendati lembaga pesantren lahir dan berkembang di daerah pedesaan,
namun konsistensi untuk mengembangkan ajaran Islam secara total tidak
pernah pudar. Walaupun diterpa gelombang globalisasi dan derasnya arus
modernisasi, pesantren masih tetap berdiri kokoh untuk menopang laju
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang sering mengalami labilitas
dalam membendung segala arus yang menelikung aroma kultural-religius
di internalnya. Di tengah arus modernisasi tersebut, pesantren tidak boleh
terjebak dengan geliat perkembangan zaman yang bisa memupus nilai dan
tradisi yang sudah dibangun sejak awal berdirinya pesantren. Ibid, 35.
Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 91-97
tangan, tapi mampu melakukan perubahan nyata di tengahtengah kehidupan masyarakat.
Juru Dakwah Profesional
Kiprah keulamaan Nyai Hj. Makkiyah As’ad bukan sekadar
dilandasi oleh ketokohan sang ayah sebagai ulama terkemuka
di Nusantara, melainkan beliau memang memiliki kecerdasan
dalam menyampaikan pesan-pesan agama secara jernih kepada
masyarakat. Harus diakui bahwa Nyai Hj. Makkiyah memiliki
modal simbolik yang berasal dari latar belakang keluarga
yang memiliki kemasyhuran dan prestise tinggi sebagai ulama
kondang yang berperan penting dalam pendirian organisasi
keagamaan terbesar di Indonesia, yakni NU. Jaringan keulamaan
memang menjadi modal penting bagi seseorang untuk
membangun relasi dan menjadi juru dakwah di tengah-tengah
kehidupan masyarakat.
Kekerabatan Nyai dalam tradisi pesantren di Madura
memang menjadi modal utama dalam membangun sebuah
relasi yang semakin mempermudah untuk menjadi juru dakwah
atau mengisi pengajian umum di tengah-tengah kehidupan
masyarakat. Harus diakui bahwa tradisi pesantren merupakan
bentuk sistem sosial yang tumbuh melalui sistem kekerabatan
yang dibangun kiai. Sistem kekerabatan yang dikembangkan
kiai pesantren dibangun atas dasar ikatan yang kuat melalui
hubungan geneologis sosial kiai. Tidak heran bila jaringan sosial
yang dilakukan santri secara khusus dapat memperat peran
internal pesantren dalam membentuk kekuatan ekonomi dan
pemberdayaan masyarakat secara luas, di samping itu yang
paling penting adalah peningkatan nilai-nilai tradisi pesantren
yang harus tetap dijaga sebagai bentuk pengabdian dan
sumbangsih atas apa yang diberikan pesantren itu sendiri.
Tradisi yang dibangun di pesantren tersebut telah
membentuk hubungan kekeluargaan yang sangat kuat dan
memperkuat jaringan sosial di lingkungan masyarakat. Kendati
dibentuk atas dasar hubungan patron-klien, pesantren masih
92-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015
memegang teguh sistem nilai yang melembaga yang kemudian
membentuk tradisi mendengar dan taat kepada seorang kiai.21
Dalam tradisi pesantren telah terbangun sebuah konstruksi
sosial yang menempatkan kiai sebagai pribadi yang memiliki
integritas moral dan spiritual serta di iikuti oleh masyarakat luas.
Konstruksi sosial tersebut menempatkan kiai pada posisi yang
strategis dan elite di dalam lingkungan pesantren,22 di mana
keberadaan elite kiai tidak tergantikan oleh pimpinan lembaga
mana pun, karena pengaruh seorang kiai sangat kuat dan kokoh
di lingkungan masyarakat. Tidak berlebihan bila tugas seoarang
kiai adalah bagaimana ia mampu meningkatkan pengaruh dan
selalu melekatkan pada dirinya dengan status kepemimpinan
yang mutlak serta mendorong santri senantiasa belajar dengan
tekun dan giat.
Keturunan dari seorang ulama atau kiai besar merupakan
sebuah modal penting yang bisa mempermudah Nyai Hj.
Makkiyah As’ad untuk mengemban misi dakwah sebagaimana
yang pernah dianjurkan oleh sang suami tercinta, KH. Shidqie
Mudzhar. Ketokohan Kia As’ad merupakan pintu masuk
bagi Nyai Hj. Makkiyah As’ad untuk berkiprah di bidang
dakwah demi meneruskan perjuangan sang suami yang telah
memberikan idzin kepada beliau untuk aktif dalam kegiatan
sosial-keagamaan di masyarakat. Modal latar belakang keluarga
inilah yang membuat Nyai Makkiyah disegani sebagai ulama
Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren (Jakarta: PT Pustaka
LP3ES, 1999), 79. Adanya Kiai dalam suatu lembaga pesantren merupakan
ciri utama yang tak bisa tergantikan oleh pimpinan lembaga yang lain. Ini
karena, kiai memegang estafet kepemimpinan dan kedaultan pesantren yang
mengharuskan seorang santri patut dan taat kepada kiai yang bersangkutan.
Kiai pada dasarnya adalah gelar yang diberikan masyarakat sekitarnya
kepada seorang yang dianggap alim dalam bidang ilmu agama Islam. Tidak
heran bila suatu institusi pendidikan Islam bisa disebut pesantren apabila ada
seseoang yang difigurkan, yakni seorang kiai. Sebab, dalam suatu pesantren,
kiai merupakan tokoh sentral, disamping sebagai pemegang kebijakan mutlak,
ia juga merupakan penggerak dan pengemban amanah potensi-potensi yang
dimiliki santri. Dengan demikian, kemajuan dan kemunduran sebuah lembaga
pesantren sangat tergantung pada kemampuan dan kepemimpinan kiai dalam
mengatur segala kebijakan yang berkaitan dengan aktifitas kepesantrenan.
22
Ahmad Siddiq, Khittah Nahdliyah (Surabaya: Balai Buku, 1979), 21.
21
Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 93-97
perempuan yang piawai dalam menyampaikan dakwahnya.
Jika Nyai keturunan dari seorang kiai kharismatik dan banyak
disegani masyarakat, maka posisi Nyai juga akan diperlakukan
atau memperoleh penghormatan yang lebih baik.23
Kiprah Nyai Hj. Makkiyah As’ad dalam bidang dakwah
tidak lepas dari peran KH. As’ad yang sejak kecil sudah sering
mengajak beliau untuk mengikuti acara pengajian maupun
pertemuan organisasi NU. Sejak umur 7 tahun, Nyai Hj. Makkiyah
As’ad sering di bawah ayahnya untuk menghadiri pengajian
atau pun pertemuan NU. Dari bekal pengajaran sang ayah ini,
membuat Nyai Hj. Makkiyah As’ad menjadi seorang ulama
perempuan yang tidak takut dengan stigma negatif di tengahtengah kehidupan masyarakat. KH. As’ad memberikan pelajaran
luar biasa bagi beliau yang telah mendidik dengan mandiri agar
tidak hanya berpangku tangan di rumah, melainkan harus bisa
melakukan kegiatan positif yang bermanfaat bagi masyarakat.
Ketika menikah dengan KH. Shidqi Mudzhar pada tahun
1980, Nyai Hj. Makkiyah As’ad diberikan kebebasan untuk
mengekspresikan keterampilannya dalam bidang dakwah. Beliau
dianjurkan untuk mengisi pengajian di desa-desa melalui acara
muslimat dan fatayat yang berada di bawah naungan Nadhlatul
Ulama. Dukungan penuh dari sang suami tercinta, membuat
Nyai Hj. Makkiyah As’ad merasa terpacu untuk lebih giat dalam
memberikan dakwah kepada masyarakat. Sejak itulah, Nyai
Hj. Makkiyah As’ad aktif mengisi pengajian di berbagai acara
muslimat, mulai dari tingkat ranting sampai tingkat pusat.
Kegiatan dakwah yang dijalani Nyai Hj. Makkiyah As’ad
masih tetap berlangsung hingga sekarang. Beliau termasuk ulama
perempuan yang aktif dalam memberikan dakwah, baik tingkat
lokal, nasional, bahkan dunia. Selain diundang ke berbagai
wilayah di Indonesia, beliau juga sering diminta untuk mengisi
pengajian ke beberapa negara, semisal Malaysia, Singapura,
Arab Saudi, dan lain sebagainya. Dalam penuturannya, beliau
mengatakan bahwa kegiatan dakwah tidak hanya sebatas
Martin Van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana
Baru, (Yogyakarta; LKIS, 1994), 21.
23
94-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015
wilayah Indonesia, tapi juga dari Malaysia, yang dihadiri oleh
alumni Sukorejo, TKI, dan warga dari berbagai negara.24
Kiprah keulamaan Nyai Hj. Makkiyah dalam bidang dakwah
tidak bisa diragukan lagi, karena kegiatan dakwah yang beliau
jalani sudah menyentuh ke hampir seluruh wilayah Indonesia
dan beberapa negara di Asia. Tidak heran bila beliau pantas
disebut sebagai ulama perempuan berdaya saing yang mampu
menerobos sistem patriarkhi dan gender. Sebuah pencapaian
luar biasa yang ditorehkan oleh ulama perempuan Madura yang
menjadi inspirasi bagi muslimah di berbagai daerah untuk selalu
menatap optimis dan berjuang untuk perbaikan moralitas umat
dari kebobrokan yang sudah diambang kegawatan.
Ulama Perempuan yang Aktifis dan Berjiwa Sosial
Kiprah luar biasa yang ditorehkan Nyai Hj. Makkiyah As’ad
ternyata tidak hanya di bidang pendidikan dan dakwah, tapi juga
aktif dalam kegiatan organisasi keagamaan dan sosial di tengahtengah kehidupan masyarakat. Nyai Hj. Makkiyah As’ad adalah
seorang aktifitas di berbagai organisasi ke-NU-an, semisal fatayat
dan muslimat. Perjalanan karir beliau dimulai sejak menikah
dengan Almarhum KH. Shidqi Mudzhar, pengasuh pondok
pesantren Al-Huda Sumber Nangka, Duko Timur, Larangan,
Pamekasan. Beliau memperoleh idzin dari sang suami untuk
ikut organisasi di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Kegiatan
organisasi dimulai dari tingkat ranting, PAC, PW, dan Pusat.
Sampai saat ini beliau tercatat sebagai anggota dewan penasehat
Pimpinnan Pusat Muslimat NU periode 2011-2016. Posisi beliau
lebih tinggi dibandingkan dengan Menteri Sosial, Hj. Khofifah
Indar Parawansa yang menjabat sebagai Ketua Umum Muslimat
NU.
Perjalanan karir beliau di organisasi muslimat, bukan
sekadar faktor keturunan ulama besar yang menjadi pelaku
sejarah dari sebuah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia,
melainkan juga ditopang oleh kepemimpinan yang sangat
Wawancara dengan Nyai Hj. Makkiyah As’ad.
24
Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 95-97
kharismatik dan memiliki pesan-pesan moral yang sangat
menyentuh hati masyarakat. Keterlibatan Nyai Hj. Makkiyah
As’ad dalam kegiatan organisasi menunjukkan sebuah kiprah
ulama perempuan Madura yang memiliki komitmen tinggi
untuk memperjuangan NU dari segala bentuk ancaman. Nyai
Hj. Makkiyah As’ad menyadari betul bahwa organisasi NU harus
dikawal sebagai sebuah perjuangan untuk mempertahankan
ajaran ahlussunah wal jamaah yang menjadi bagian penting dari
ajaran Nabi Muhammad SAW.
Selain itu, Nyai Hj. Makkiyah dikenal sebagai sosok ulama
perempuan yang berjiwa sosial kepada semua orang, baik
kepada kerabat, sanak saudara, santri, maupun masyarakat
secara umum. Beliau juga sering melakukan bakti sosial untuk
anak yatim dan mengadakan doa bersama untuk masa depan
mereka agar tetap semangat dalam menjalani kehidupan. Yang
paling penting juga adalah bahwa beliau sangat menekankan
pada santrinya untuk rajin bersilaturrahmi sebagai modal dasar
untuk mempererat persaudaraan antar sesama manusia.
Kesimpulan
Dari uraian panjang di atas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa Nyai Hj. Makkiyah As’ad adalah salah satu sosok ulama
perempuan Nusantara yang telah banyak berkiprah dalam
dunai pendidikan, dakwah, organisasi, dan sosial di tengahtengah kehidupan masyarakat. Kiprah ke-ulama-an beliau dapat
terekam dari aktivitasnya sebagai pengasuh di tiga pesantren,
yang berada di tiga kabupaten berbeda serta menjadi juru
dakwah profesional di Pamekasan dan bahkan hingga ke luar
negeri. Di samping itu, beliau juga memiliki kapasitas keilmuan
agama yang memadai sebagai juru dakwah profesional, memiliki
jiwa sosial yang tinggi terhadap masyarakat luas, memiliki
kharisma yang kuat sebagai putri dari pendiri NU, yakni KH.
As’ad Syamsul Arifin yang memiliki pengaruh luar biasa di
Jawa-Madura serta istri dari salah satu tokoh penting pesantren
di Pamekasan.
96-97 | ’Anil Islam Vol. 8. Nomor 1, Juni 2015
Dengan membaca potret perjuangan keulamaan beliau,
dapat dipahami bahwa perempuan juga memiliki peluang
untuk tampil ke ranah publik dan lingkungan sosial tanpa
meninggalkan tugas pokok sebagai isteri maupun ibu.
Kiprahnya yang mendunia bisa dijadikan pelecut semangat bagi
kaum perempuan untuk tidak takut bersaing dengan kaum lakilaki dalam berbagai aspek kehidupan. Sosoknya yang gigih dan
semangat, menggambarkan representasi seorang ulama dan
pemimpin umat dengan kapasitas keilmuan yang mendalam
dan jiwa sosial yang menjadi teladan bagi semua orang.
Mohammad Takdir, Kiprah Ulama Perempuan Nyai Hj. Makkiyah As’ad | 97-97
DAFTAR PUSTAKA
Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajdi.
Yogyakarta: LSSPA, 2000
Burhanuddin, Jajat (ed.), Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002
Quthb, Muhammad Ali. 36 Perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah, terj.
Syaifuddin dan Imran Rasyadi. Bandung: Mizan Pustaka,
2010.
Dzuhayatin, Siti Ruhaini “Perlunya Kaderisasi Ulama” dalam http//
www.rahima.or.id. Diakses 15 April 2015.
Hasan, Syamsul A. Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat. Yogyakarta: LKIS,
2003.
Wawancara dengan Nya Hj. Makkiyah As’ad di Pondok Pesantren alHuda Sumber Nangka Duko Timur.
Basri, M. Hasan. R.KH. As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan
Perjuangannya. Semarang: Toha Putra, 1994
Wawancara dengan Ning Hj. Aisyatul As’adiyah Shidqie, putri dari
Nyai Hj. Makkiyah As’ad.
Amin, Samsul Munir. Karomah Para Kiai. Yogyakarta: LKIS, 2008.
Wawancara langsung dengan Nyai Hj. Makkiyah Asa’d di Ponpes alHuda Sumber Nangka, Duko Timur, Larangan, Pamekasan.
Wawancara dengan Nyai Hj. Aisyatul As’adiyah.
Suyoto, “Pondok Pesantren dalam Alam Pendidikan Nasional”, Dawam
Raharjo (ed.), Pesantren dan Pembaruan. Jakarta: LP3ES, 1998
Wawancara dengan K. Syamsul Hadi Anwar di Ponpes Raudhatul
Jannah, Sumber Rejo, Gagah, Kadur Pamekasan.
Mansur, H. Moralitas Pesantren: Meneguk Kearifan dari Telaga Kehidupan.
Yogyakarta: Safaria Insania Press, 2004.
Ghazali, M. Bahri. Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta: CV.
Prasasti, 2003
Sukamto. Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren. Jakarta: PT Pustaka
LP3ES, 1999.
Siddiq, Ahmad. Khittah Nahdliyah. Surabaya: Balai Buku, 1979.
Bruinessen, Martin Van. NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian
Wacana Baru .Yogyakarta; LKIS, 1994.
Download