4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Mangrove

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Mangrove
Mangrove merupakan sekelompok tumbuhan yang berbeda satu sama
lainnya, tetapi mempunyai persamaan yaitu kemampuan beradaptasi dan fisiologi
terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut (Soeroyo, 1992). Sedangkan
menurut Macnae (1968) dalam Setyawan NDWD³PDQJURYH´PHUXSDNDQ
perpaduan bahasa Portugis mangue (tumbuhan laut) dan bahasa Inggris grove
(belukar), yakni belukar yang tumbuh di tepi laut dengan siklus hidup seperti
diilustasikan pada Gambar 1. Mangrove terdiri dari 12 genus dan mencapai 60
spesies untuk tanaman berbunga (angiosperms). Diantaranya, genus yang
dominan adalah Rhizopora, Avicennia, dan Brugiuera. Mangrove memiliki ciriciri sebagai berikut:
(1) Memiliki toleransi terhadap garam dan tumbuh di daerah terbatas yaitu
pada daerah pasang surut
(2) Memiliki akar yang terpapar udara dan akar di dalam substrat yang terjalin
dan terhampar secara luas pada substrat berlumpur yang membentuk suatu
rangkaian akar yang sulit dilalui.
(3) Mangrove mempunyai adaptasi fisiologi khusus untuk mencegah garam
masuk ke dalam jaringannya, atau mensekresikan garam yang masuk ke
dalam tubuhnya
(4) Banyak tumbuhan mangrove bersifat viviparous, yang memproduksi biji
yang dibuahi di pohon. Tumbuhan muda jatuh dari pohon ke air, kemudian
mengapung, dan disebarkan oleh aliran air (Lalli and Parsons, 1997).
4
5
Biji berkecambah di
pohon
Tanaman muda
jatuh ke air
Pertumbuhan
Penyebaran air
Rata-rata tinggi
air terendah
Gambar 1. Ilustrasi hidup tumbuhan mangrove viviparous (Lalli and Parsons,
1997)
Kebanyakan mangrove tumbuh di tempat terlindung, terjadi antara ratarata permukaan laut terendah dan rata-rata air pasang penuh dalam garis pasang
surut, muara dan di beberapa terumbu karang mati (Soeroyo, 1992). Secara
ekologi, sebuah komunitas mangrove bisa dibagi menjadi 3 kelompok yaitu, (1)
hutan diatas air, (2) pada daerah pasang surut, dan (3) terendam di bawah daerah
pasang surut. Menurut Bengen (2001) dalam Setyawan (2008), penyebaran dan
zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut
beberapa tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia :
(1) Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir,
sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi
Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya
bahan organik.
6
(2) Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh
Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus
spp.
(3) Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
(4) Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa
ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
Ekosistem mangrove di Indonesia umumnya terpencar-pencar dalam
kelompok kecil, sebagian besar terletak di Irian (Papua). Mangrove di Pulau Jawa,
Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Irian sudah berubah akibat kegiatan
pembangunan, sedangkan di Maluku dan Nusa Tenggarra relative masih alami. Di
Indonesia mangrove tumbuh pada berbagai substrat seperti lumpur, pasir, terumbu
karang dan kadang-kadang pada batuan, namun paling baik tumbuh pada pantai
berlumpur yang terlindung dari gelombang laut dan masukan dari sungai
(Setyawan, 2008).
Mangrove juga berada di wilayah dengan radiasi matahari maksimum dan
kombinasi dengan kandungan nutrien yang tinggi, sehingga menghasilkan tingkat
produktivitas primer kotor yang tinggi. Respirasi tumbuhan bervariasi dan
mungkin berhubungan dengan tingkat stress oleh salinitas. Komunitas mangrove
di dunia memberikan kontribusi produktivitas antara 350 sampai 500 g C m-2 yr -1
produksi netto/bersih ke perairan pesisir (Lalli and Parsons, 1997).
2.2 Peranan Ekosistem Mangrove
Sebagai suatu ekosistem, mangrove mempunyai fungsi ekologis dan
ekonomis. Fungsi ekologis ekosistem mangrove antara lain : pelindung garis
pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan
7
(feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat
pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur
iklim mikro (Rochana, 2007). Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus,
sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh
arus laut. Mangrove dari aspek ekologis juga membentuk penghalang yang
melawan angin dan erosi di beberapa daerah yang sering terjadi badai. Pada
beberapa wilayah, mangrove memfasilitasi konversi antara daerah pasang surut
dan daerah semi-terestrial dengan cara menangkap dan mengakumulasi sedimen.
Sistem perakaran mangrove juga menyediakan wilayah pembesaran untuk
beberapa spesies ikan, udang, juvenil lobster, dan kepiting ( Lalli and Parsons,
1997). Mangrove mencegah erosi pantai, dan bertindak sebagai penghalang angin
typhoons, cyclones, hurricanes, dan tsunami, membantu meminimalisir kerusakan
yang terjadi pada barang-barang dan kelangsungan kehidupan manusia
(Environmental Justice Foundation, 2009).
Mangrove memiliki beberapa fungsi ekonomis yang bermanfaat bagi
masyarakat sekitarnya secara langsung. Mangrove berguna sebagai hutan produksi
yang digunakan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan
khususnya untuk pembangunan industri dan ekspor ( UUPK, 1967 dalam
Soeroyo, 1992). Bagian pohon dari tumbuhan mangrove secara tradisional dapat
digunakan sebagai kayu bakar dan arang. Kayu mangrove juga digunakan untuk
konstruksi perahu dan rumah. Daunnya juga dapat digunakan untuk makanan
ternak yaitu sapi dan kambing. Selain itu beberapa daun spesies mangrove tertentu
digunakan untuk pembungkus rokok (Lalli and Parsons, 1997). Selain sebagai
hutan produksi, lindung, dan konservasi sumber daya alam, hutan mangrove
8
mempunyai kepentingan lain, antara lain untuk daerah pemukiman, industri, areal
pertanian, dan areal pertambakan (Soeroyo, 1992). Contoh peranan sosial
ekonomis mangrove, baik langsung maupun tidak langsung yaitu, sebagai bahan
baku chip, Tanin, obat-obatan, daerah pertambakan, dan pariwisata (Anwar dan
Gunawan, 2008). Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi objek
wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI),
Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa
Tengah). Karakteristik hutannnya yang berada di wilayah peralihan memiliki
keunikan dalam beberapa hal mnejadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Peran
ekologis dan ekonomis mangrove dapat divisualisasikan pada Gambar 2.
Habitat untuk burung, lebah, kera, dan hewan liar lainnya
Bakteri pengurai dan herbivora
Detritus
Wilayah penyemaian
Perlindungan dari badai,
Moluska
gelombang, dan erosi
Juvenil
Perangkap sedimen dan
akuakultur
stabilisator wilayah pantai
pengurai
Keuntungan bagi manusia:
x Air bersih
x Ikan, kerang, moluska,
dll
x Obat
x Tannin
x Kayu
x Madu
x Pelindung pantai
x Alcohol
x Data penelitian
x Pendidikan
x Pariwisata
Mendukung rantai
makanan yang jauh dari
Karnivora kecil
wilayah mangrove
Perikanan komersial
dan nonkomersial
Karnivora besar
Gambar 2. Peranan ekologis dan ekonomis mangrove (Berjak et al,1977 dalam
Melana et al, 2000)
2.3 Gangguan Kelestarian Ekosistem Mangrove
Secara umum gangguan terhadap kelestarian hutan mangrove dipengaruhi
oleh aktivitas manusia, menurut Simbolon (1990) dalam Soeroyo (1992)
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu:
9
(1) Perubahan hutan mangrove dan penebangan liar yang bertujuan untuk
usaha perikanan/pertambakan, perkebunan, dan pemukiman.
(2) Pelanggaran dalam pelaksanaan pengusahaan hutan mangrove terutama
terhadap jalur hijau, pohon inti, dan penanaman serta pemeliharaan yang
belum dilaksanakan sebagaimana mestinya.
(3) Sedimentasi yang terjadi di beberapa tempat di muara sungai yang
menyebabkan permukaan tanah lebih tinggi sehingga mengurangi
pengaruh pasang surut air laut serat mengurangi kadar garam dalam tanah.
2.4 Hutan Mangrove di Belitung Timur
Berdasarkan hasil survei pemetaan mangrove Indonesia yang dilakukan
BAKOSURTANAL tahun 2009 diketahui luas tutupan mangrove di Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung sebesar 64.567,396 ha. Luasan tersebut merupakan
total dari area hutan mangrove yang tersebar pada 7 (tujuh) Kabupaten/Kota
sebagaimana tertera pada Tabel berikut:
Tabel 1.Luas Mangrove pada 7 (tujuh) Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung
No.
1
2
3
4
5
6
7
Total
Kabupaten/ Kota
Bangka
Bangka Barat
Bangka Selatan
Bangka Tengah
Belitung
Belitung Timur
Pangkalpinang
Luas (ha)
15.136,384
18.235,911
9.597,286
4.652,077
9.075,936
7.398,932
470,870
64.567,396
Sumber : BAKOSURTANAL, 2009
Berdasarkan data hasil survei BPDAS Musi tahun 2006 luas mangrove di
Provinsi Bangka Belitung adalah 273.692,81 ha. Dari kegiatan inventarisasi dan
identifikasi mangrove yang dilakukan BPDAS Musi ini, secara keseluruhan
ditemukan 7 (tujuh) spesies, sebagai berikut :
10
(1). Pohon Bakau; Spesies Rhizophora apiculata; Family Rhizopohoraceae
(2). Pohon Api-api Hitam; Spesies Avicenia marina; Family Aviceniaceae
(3). Pohon Api-api Putih; Spesies Avicenia alba; Family Aviceniaceae
(4). Pohon Tumu/ Siji; Spesies Bruguiera gymnorhiza; Family
Rhizopohoraceae
(5). Pohon Nyireh Bunga; Spesies Xylocarpus granatum; Family Meliaceae
(6). Pohon Buta-buta; Spesies Excoecaria agallocha; Family Euphorbiaceae
(7). Pohon Perepat; Spesies Sonneratia alba; Family Sonneratiaceae
Berdasarkan hasil analisis vegetasi pohon penyusun mangrove di land
system Kajapah (KJP) yang merupakan interpretasi dari citra Landsat
menunjukkan sebaran mangrove yang cukup merata, di Provinsi Sumatera Selatan
dan Provinsi Bangka Belitung. Di Provinsi Bangka Belitung, mencakup daerah
Kabupaten Belitung dan Belitung Timur masing ±masing seluas: 29.047 ha (7,23
%) dan 16.164 ha (4.02 %), dilihat dari aspek kekritisan mangrovenya land
system ini dikategorikan menjadi tiga tingkat kekritisan yaitu tidak rusak seluas
176.535 ha ( 48,8% dari luas land system KJP), rusak sedang 57.219 ha ( 15,8%)
dan rusak berat 127.801 ha ( 35,4%) (BPDAS, 2006). Pada daerah Belitung
Timur, hutan mangrove sebagaian besar tumbuh disepanjang pinggir sungai
Manggar. Pada daerah dekat kota Manggar sudah tidak ditumbuhi oleh hutan
mangrove karena sudah menjadi pelabuhan perikanan, jalan, dan bangunan pantai.
2.4.1. Manfaat Mangrove di Belitung Timur
Manfaat mangrove di Belitung terdiri dari manfaat ekologis dan ekonomis.
Manfaat ekologis dari keberadaan mangrove yaitu: (1) pelindung garis dari abrasi,
(2) mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, (3) mencegeah intrusi air
11
laut ke daratan, dan (4) tempat memijah berbagai biota laut (Lalli and Parsons,
1997), sebagai penagatur iklim mikro (Santoso dan Arifin, 1998 dalam Rochana,
2007). Fungsi ekonomis mangrove di Belitung Timur lebih ke bagian tubuh
tumbuhannya yaitu, daun, buah, dan batang. Daun mangrove nipah digunakan
untuk pembuatan atap daun, buah nipah dapat dikonsumsi secara langsung, dan
batang dari beberapa jenis mangrove dapat digunakan oleh masyarakat setempat
untuk kayu bakar. Selain itu pohon mangrove yang berukuran besar dapat
digunakan untuk membuat perahu.
2.4.2 Kerusakan Mangrove di Belitung Timur
Kerusakan hutan mangrove di Belitung Timur disebabkan sebagian besar
karena adanya alih fungsi dari kawasan mangrove yang dikonversi untuk kawasan
pemukiman, pertanian lahan kering, sawah, tambak,maupun untuk peruntukkan
lainnya ( Departemen Kehutanan, 2007). Kerusakan yang terjadi pada hutan
mangrove ini tidak diimbangi dengan upaya restorasi dari pemerintah dan tidak
menjadi perhatian khusus oleh masyarakat. Penebangan pohon mangrove secara
liar juga sudah mengurangi sedikit banyak luas hutan mangrove. Adanya
pembangunan jalan di sepanjang pesisir pantai Belitung Timur juga
mempengaruhi luas penutupan hutan mangrove. Secara ekologi pembuangan
sampah sembarangan pada ekosistem mangrove di dekat sungai Manggar juga
dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup mangrove beserta biota asosiasinya.
Namun ini dapat berkurang jika diimbangi dengan upaya restorasi dan
pelesatarian hutan mangrove oleh pemerintah Belitung Timur salah satunya
dengan penetapan daerah perlindungan laut dan pesisir.
12
2.5 Metode Observasi Permukaan Bumi dengan Remote Sensing
Remote sensing adalah ilmu dan seni pengumpulan informasi dengan
menggunakan alat perekaman yang secara fisik tidak bersentuhan langsung
dengan obyek dalam pengamatan (Yang, 2009). Remote Sensing atau
penginderaan jauh adalah sebuah proses observasi, pengukuran, dan perekaman
obyek atau peristiwa dari jarak tertentu. Istilah ini diciptakan pada awal 1960 ±an
ketika data dikirim oleh sensor pesawat udara yang mulai menggunakan kamera
fotografi untuk aplikasi yang luas bidang pada komunitas keilmuan dan
manajemen sumberdaya. Teknik-teknik pengamatan yang terdapat dalam metode
remote sensing sangat bervariasi. Walaupun demikian, teknik ±teknik ini pada
umumnya dapat dipisahkan berdasarkan tipe flatform yang digunakannya: satelit,
pesawat terbang, atau lainnya Autonomous Underwater Vehicles (AUV), balon
terbang, layang-layang, dan sebagainya). Peralatan remote sensing mengukur
radiasi elektromagnetik yang diemisikan atau dipantulkan oleh sebuah obyek dan
mentransmisikan data secara langsung untuk dianalisis atau disimpan untuk
transmisi data selanjutnya (U.S Congress, 1993).
Setiap satelit remote sensing membawa sensor tertentu sesuai dengan
keperluan dan karakteristik objek yang dideteksi. Sensor melakukan penyapuan
pada permukaan bumi dibawah satelit atau pesawat udara dan bergerak kedepan
sehingga dihasilkan suatu gambar kenampakan muka bumi dalam bentuk citra.
Gambar 3 menunjukkan ilustrasi pergerakan penyapuan permukaan bumi oleh
sensor satelit. Data gambar dua dimensi bisa dikoleksi dari dua tipe sensor
gambar, yaitu nadir looking atau side looking (Reddy, 2008).
13
Gelombang elektromagnetik
Jalur subsatelit
Titik nadir
Gambar 3. Ilustrasi sistem penyapuan oleh sensor satelit (Reddy, 2008)
Sensor satelit mendeteksi pantulan energi dari porsi inframerah dan sinar
tampak pada spektrum. Intensitas dan jangkauan luas dari energi inimemberikan
kenampakan mengenai atmosfer yang rendah dan permukaan bumi. Radar dari
satelit dan pesawat udara membangkitkan radiasi gelombang mikro yang
dipantulkan oleh permukaan. Pemantulan dari gelombang mikro ini digunakan
oleh peneliti untuk mempelajari ciri-ciri daratan dan mengobservasi mengenai
luas penutupan salju/es (U.S Congress, 1993). Ilustrasi sistem deteksi oleh sensor
seperti pada Gambar 4.
Inframerah
Inframerah
Radar gelombang
mikro
termal
gelombang
Inframerah
Sinar
pendek
dekat
tampak
Pantulan radiasi
gelombang mikro
Awan
Suhu dan
Topografi
Lautan dan
meteorologi
Bentuk permukaan
pertanian
perikanan
(darat, air, es, salju)
Sumberdaya
Sumberdaya
perairan
mineral
Tata guna
lahan
kehutanan
\
Sumber: Reddy, 2008
Gambar 4. Sistem sensor dan spektrum elektromagnetik yang digunakan pada
perekaman data satelit dan pesawat udara
14
Remote sensing dan hubungannya dengan teknologi geospasial dapat
membantu meningkatkan pemahaman mengenai ekosistem pesisir dengan
beberapa cara, meskipun potensi kebenarannya sering ditantang oleh kompleksitas
pada lingkungan pantai. Remote sensing dan hubungan teknologi geospasial
menyediakan 5 keuntungan dalam studi pesisir (Reddy,2008), yaitu:
(1) Mampu menghasilkan foto atau gambar yang mencakup area yang sangat
luas, sehingga dapat dilakukan identifikasi terhadap objek, pola, dan
interaksi manusia dengan daratan.
(2) Remote sensing menyediakan pengukuran tambahan untuk studi mengenai
pesisir dengan mengukur energi panjang gelombang yang diluar rentang
penglihatan manusia.
(3) Remote sensing menyediakan data deret waktu yang dapat digunakan
untuk mengetahui suatu fenomena atau proses yang terjadi dalam kurun
waktu tertentu dari data historis.
(4) Remote sensing dapat membantu membuat koneksi pada level dan skala
analisis yang berseberangan pada studi pesisir.
(5) Remote sensing diintegrasikan dengan teknologi geospasial yang relevan
seperti sistem informasi geografis, pemodelan dan analisis spasial yang
tidak mengabaikan sistem kerja untuk monitoring lingkungan pesisir.
Sejak tahun 1960- an, datangnya komputer, Sistem Informasi Geografis (SIG),
dan peralatan baru untuk koleksi data, seperti satelit, sudah memberikan
kemampuan pengumpulan, penyimpanan, dan manipulasi data dengan cara- cara
yang berbeda. Lingkungan pesisir sebagai obyek dalam pendeteksian sensor
satelit, mungkin memiliki paling banyak keunikan di dunia. Integrasi antara
15
remote sensing dan SIG secara luas sudah digunakan dalam penelitian mengenai
pesisir. Bagaimanapun juga, meskipun SIG baik dalam integrasi, manajemen dan
analisis data, ini bukan merupakan sumberdata maupun metode primer
pengumpulan data. Remote Sensing merupakan sumber koleksi data utama dan
menjadi sumber data (raw data) (Green dan King 2003). Beberapa contoh satelit
remote sensing dari optik ke termal dan gelombang mikro, serta misi satelit,
seperti, Terra-MODIS, Envisat-MERIS, Landsat-TM/ETM+, ALOS-SAR,
Envisat-SAR, Radar Altimeters, dan lainnya variasi data ini akan memperluas
masa depan yang sudah dekat dengan banyak misi lainnya yang direncanakan oleh
agensi antariksa yang berbeda-beda (Chuvieco et. al, 2010).
2.5.1 Spesifikasi Satelit Landsat
Secara umum dalam pendeteksian obyek di permukaan bumi diperlukan
persyaratan tertentu untuk memperoleh informasi dan kenampakan obyek secara
jelas sesuai dengan kebutuhan yang djabarkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Persyaratan Remote Sensing untuk deteksi obyek lautan terbuka,
estuari, dan daratan
Permukaan Bumi
Persyaratan Parameter Lautan Terbuka Estuari
Daratan
Resolusi Spasial
1-10 km
20-200 m
1-30 m
Cakupan Wilayah
2000 × 2000 km 200 × 200 km
200 × 200 km
Frekuensi Cakupan
1-6 hari
0.5-6 jam
0.5-5 tahun
Rentang Dinamis
sempit
luas
luas
Resolusi Radiometrik
10-12 bit
10-12 bit
8-10 bit
Resolusi Spasial
multispektral
hiperspektral
multispektral/hiperspektral
(Sumber :Yang, 2009)
Peluncuran satelit Landsat pertama oleh National and Space
Administration (NASA) pada tanggal 23 Juni 1972. Earth Resource Technology
Satellite atau yang sekarang dikenal dengan Landsat merupakan program satelit
tak berawak pertama yang didesain khusus untuk menghasilkan data mengenai
16
bumi dalam resolusi tingkat medium dan data multispektral. Satelit ini
mempunyai orbit berbentuk sirkular (melingkar) dan sun-synchronous pada sudut
inklinasi 990 (Gao, 2009). Menurut Yang (2009), data resolusi medium dari sistem
Landsat dan SPOT menyediakan informasi lokal atau regional tetapi data ini tidak
cocok untuk investigasi skala global karena penutupan awan dan perbedaan pada
sudut serta data ini terpotong- potong dalam bentuk scene pada ukuran tertentu
sehingga sulit diterapkan untuk area permukaan bumi secara keseluruhan.
Spesifikasi satelit Landsat dari Landsat 1 sampai 7 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Spesifikasi Satelit Landsat
Sumber: Yang, 2009
NASA memperkenalkan program Landsat pada akhir 1960 ±an pada
program penelitian eksperimental untuk menguji kemampuan perolehan
multispektral, permukaan bumi pada skala resolusi menengah. Sejak itu sistem
Landsat sudah terlibat dalam penyediaan data 30 meter resolusi daratan secara
rutin di muka bumi. Berbagai pengguna seperti agen lokal, pusat, dan level
pemerintahan, akademik, dan industri menggunakan data Landsat (U.S Congress,
17
1993). Pada penelitian ini akan digunakan data citra dari satelit Landsat TM 5 dan
ETM+ 7 pada tahun akuisisi 1989, 1994, dan 2010.
2.5.2 Klasifikasi Citra Satelit/Digital
Klasifikasi Citra satelit/ digital merupakan suatu proses penyusunan,
pengurutan, dan pengelompokan semua piksel ke dalam beberapa kelas
berdasarkan kriteria suatu obyek. Dalam pengklasifikasian citra digital secara
umum dikenal 2 (dua) metode yaitu:
(1) Klasifikasi Tidak Terbimbing (Unsupervised). Pada klasifikasi ini,
program aplikasi mencari kelompok ± kelompok spektral piksel yang
bersifat alamiah, kemudian program juga akan menandai piksel sesuai
dengan hasil definisi penggunanya.
(2) Klasifikasi Terbimbing (Supervised). Proses klasifikasi ini dilakukan
dengan asumsi bahwa data citra digital yang bersangkutan terdiri dari
beberapa band citra yang mencakup area yang sama. Pada klasifikasi ini,
sebagian identitas atau tipe dari penutupan lahan sudah diketahui
sebelumnya (Prahasta, 2008).
2.5.3 Indeks Vegetasi
Perolehan informasi mengenai kerapatan biomassa atau vegetasi seringkali
menjadi tujuan studi dan investigasi terhadap penutupan lahan (land cover). Dari
beberapa wacana mengenai konsep indeks vegetasi, yang paling popular
digunakan adalah Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) (Prahasta,
2008) Berdasarkan penelitian Faizal dan Amran (2005), NDVI merupakan
algoritma indeks vegetasi yang cocok untuk mengamati vegetasi mangrove jenis
18
Rhizophora dengan nilai R=0,94. Nilai indeks vegetasi ini merupakan
perbandingan digital kanal 4 dan 3. Nilai rasio digital untuk mangrove haruslah
tinggi mengingat kanal 4 merupakan kanal inframerah (pantulan tinggi)
sedangkan kanal 3 adalah kanal merah (penyerapan tinggi).
2.5.4 Analisis Perubahan dan Beda Waktu
Untuk analisis perubahan seringkali dilakukan perbandingan secara
langsung antara citra- citra digital yang direkam pada waktu yang berbeda yang
disebut time ±series analysis. Berbeda dengan analisis perubahan, analisis beda
waktu terfokus pada pengamatan perubahan-perubahan terhadap citra-citra digital
beda-waktu (lebih dari 2) itu sendiri (Prahasta, 2008). Banyak tipe metode untuk
mendeteksi perubahan pada data citra multispektral. Menurut Kandare (2010),
metode ini dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kategori yaitu:
(1) Image substraction method (metode substraksi citra). Metode ini
umumnya dihubungkan pada basis nilai keabuan. Nilai keabuan dari
gambar hasil substraksi menunjukkan perbedaan pada hubungan pikel
antara dua buah citra
(2) Image ratio method ( metode rasio citra). Pada metode ini dilakukan
perhitungan rasio hubungan piksel setiap band dari dua citra pada periode
yang berbeda setelah registrasi citra.
(3) Change detection after classification method (metode deteksi perubahan
setelah klasifikasi citra). Setiap gambar pada citra multitemporal
diklasifikasi secara teripsah dan setelah itu dibandingkan gambar
hasilnya.
19
Sedangkan menurut Prahasta (2008) teknik-teknik yang dimaksud adalah:
(1) Image differencing. Menggunakan hasil pengurangan nilai digital menjadi
nilai piksel milik citra terbaru
(2) Image rationing. Sama dengan metode Image Ratio Method
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi dari
metode Image substraction method, Image ratio method, dan Change detection
after classification method yang terdapat pada modul Software Idrisi Andes 15
(Clark Labs/Clark University).
2.5.5 Aplikasi Remote Sensing untuk Mangrove
Lingkungan pesisir terdiri dari sebuah habitat alami yang sangat luas
seperti bukit pasir, pulau penghalang, daerah pasang surut, hutan mangrove,
terumbu karang, dan vegetasi akuatik tergenang yang menyediakan
makanan,tempat peristirahatan, tempat pemijahan untuk spesies darat dan laut.
Teknologi dan ilmu remote sensing yang meliputi sensor satelit dan pesawat udara
dalam akuisi data sudah memberikan cara yang praktis dalam melakukan
monitoring dan memahami dinamika lingkungan pesisir. Hutan mangrove
merupakan salah satu ekosistem yang berada di wilayah pesisir yang menjadi
perhatian khusus karena manfaatnya. Saat ini, aplikasi remote sensing dalam
monitoring mangrove sudah banyak dilakukan. Banyak sekali data satelit yang
tersedia yang dapat digunakan untuk mengkaji ekosistem mangrove,terutama
untuk pemetaan dan klasifikasi mangrove. Remote sensing aktif dapat memetakan
struktur kanopi dari hutan mangrove yaitu melalui 3D modeling pada data Shuttle
Radar Topography Mission (SRTM) (Simard et al, 2010).
20
Aplikasi remote sensing untuk manajemen hutan mangrove berasal dari 3
(tiga) kategori yang digunakan untuk 3 (tiga) tujuan tertentu yaitu, (1) inventariasi
sumberdaya, (2) deteksi perubahan, (3) seleksi dan inventarisasi tempat budidaya
(Green et al, 2000 dalam Vaiphasa, 2006). Penginderaan jauh vegetasi mangrove
didasarkan atas dua sifat penting yaitu, mangrove mempunyai zat hijau daun
(klorofil) dan mangrove tumbuh di pesisir. Dua hal ini akan menjadi
pertimbangan penting di dalam mendeteksi mangrove melalui satelit. Banyak
sekali sensor satelit yang saat ini dapat digunakan untuk mendeteksi mangrove
karena mempunyai kanal sinar merah dan kanal sinar inframerah (Susilo, 2006).
Meskipun remote sensing sudah digunakan pada banyak peta tipe
penutupan lahan di bumi,tetapi ini masih belum digunakan secara luas untuk
memetakan mangrove karena keterbatasan spektral dan resolusi spasial pada
gambar konvensional. Dengan gambar konvensional, maka penggunaan lebih
ditujukan untuk membedakan mangrove dan bukan mangrove, tanpa memandang
jenis mangrove. Beberapa studi yang telah ada mengenai analisi perubahan
wilayah pesisir menggunakan data penginderaan jauh sebagai berikut:
(1) Dewi (2005) menggunakan data Landsat Tehmatic Mapper (TM) 5 dan
Landsat Enhanced Thematic Mapper (ETM+) 7 untuk mengevaluasi
perubahan wilayah pesisir Kabupaten Rembang Barat. Penelitian ini
dilakukan tanpa pengecekan akurasi hasil klasifikasi citra.
(2) Satapathy, et.al (2007) yang mengaplikasikan penggunaan data
penginderaan jauh Indian Remote Sensing (IRS) untuk kuantifikasi
degradasi hutan mangrove dan manajemen wilayah pesisir di estuari
21
Godavari, Pantai Timur India. Penelitian ini dilakukan tanpa pengecekan
akurasi hasil klasifikasi citra.
(3) James, et.al (2007) menggunakan data penginderaan jauh yaitu data citra
Landsat TM 5 dan ETM+ 7 untuk menduga perubahan dan perluasan
ekosistem Mangrove di Delta Nigeria dengan rata-rata hasil pendugaan
akurasi dari citra hasil klasifikasi adalah 91, 37%.
Download