BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Perubahan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Perubahan Struktural
Teori perubahan struktur ekonomi menitik beratkan pada mekanisme
transformasi ekonomi yang di alami oleh negara maupun pada daerah sedang
berkembang yang semula bersifat subsisten dan menitik beratkan pada sektor
pertanian menuju ke struktur ekonomi yang modern di dominasi oleh sektor industri
dan jasa (Todaro, 1999).
Menurut Kuznet dalam Jhingan (1992: 420), perubahan struktur ekonomi
atau disebut juga tranformasi struktural sebagai suatu rangkaian perubahan yang
saling berkaitan satu sama lainnya dalam komposisi dari permintaan agregat,
perdagangan luar negri (ekspor dan impor), penawaran agregat (produksi dan
penggunaan faktor-faktor produksi, seperti penggunaan tanaga kerja dan modal)
yang disebabkan dengan adanya proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan. Perekonomian pada suatu daerah dalam jangka panjang akan
mengalami perubahan struktur perekonomian yang semula mengandalkan sektor
pertanian akan menuju sektor industri atau jasa. Pada sisi tenaga kerja akan
menyebabkan terjadinya perpindahan penggunaan tenaga kerja dari sektor
pertanian desa menuju ke sektor industri kota, sehingga kontribusi pertanian
menurun. Ada beberapa pendapat para ahli tentang terjadinya transformasi
struktural yang terjadi di antaranya sebagai berikut:
2.1.1.1 Teori Fei-Ranis (Ranis and Fei)
Dalam Model Fei-Ranis, konsep yang berkaitan dengan transfer tenaga
kerja dari sektor pertanian ke sektor industri (Dirgantoro, dkk, 2009: 4). Menurut
Kariyasa (2001: 4-7), tahap transfer tenaga kerja ini dibagi menjadi tiga
berdasarkan pada produk fisik marginal (MPP) dan upah yang dianggap konstan
dan ditetapkan secara eksogenus, sebagai berikut:
a) Pada tahap pertama, karena tenaga kerja melimpah maka MPP tenaga kerja sama
dengan atau mendekati nol sehingga surplus tenaga kerja yang ditransfer dari
sektor pertanian ke sektor industri mempunyai kurva penawaran yang elastis
sempurna. Pada tahap ini walaupun ada transfer tenaga kerja, total produksi di
sektor pertanian tidak menurun, produktivitas tenaga kerja meningkat dan sektor
industri dapat tumbuh karena didukung oleh adanya tambahan tenaga kerja yang
disediakan sektor pertanian. Dengan demikian, transfer tenaga kerja
mengungtungkan kedua sektor ekonomi. Dalam gambar 2.1.. MPP tenaga kerja
nol digambarkan pada ruas OA, tingkat upah sepanjang garis W (gambar b), dan
penawaran tenaga kerja yang elastis sempurna sepanjang S0-S1 (gambar a).
b) Pada tahap kedua, pengurangan satu satuan tenaga kerja di sektor pertanian akan
menurunkan produksi karena MPP tenaga kerja sudah positif (ruas AB) namun
besarnya MPP masih lebih kecil dari tingkat upah W. Transfer tenaga kerja dari
pertanian ke industri pada tahap ini mempunyai biaya seimbang yang positif,
sehingga kurva penawaran tenaga kerja di sektor industri mempunyai elastisitas
positif sejak titik S1. Transfer akan tetap terjadi, produsen disektor pertanian
akan melepaskan tenaga kerjanya walaupun mengakibatkan produksi menurun
karena penurunan tersebut lebih rendah dari besarnya upah yang tidak jadi
dibayarkan. Di pihak lain, karena surplus produksi yang ditawarkan ke sektor
industry menurun sementara permintaannya meningkat (karena tambahan tenaga
kerja masuk), harga relative komoditi pertanian akan meningkat.
c) Tahap ketiga adalah tahap komersialisasi di kedua sektor ekonomi, dimana MPP
tenaga kerja sudah lebih tinggi dari tingkat upah. Produsen pertanian akan
mempertahankan tenaga kerjanya sehingga masing-masing sektor berusaha
efisien. Transfer masih akan terus terjadi jika inovasi teknologi di sektor
pertanian dapat menigkatkan MPP tenaga kerja. Sementara permintaan tenaga
kerja terus meningkat dari sektor industri dengan asumsi keuntungan di sektor
ini di investasikan kembali untuk memperluas usaha. Mekanismenya dapat
dilihat pada gambar 2.1.
a) Sektor Industri
b) Sektor Pertanian
Gambar 2.1 Model Fei-Ranis tentang trnasfer tenaga kerja dari
sektor pertanian ke sektor industri
Dalam model FR kecepatan transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke
sektor industri tergantung kepada: a) tingkat pertumbuhan penduduk, b)
perkembangan teknologi di sektor pertanian dan c) tingkat pertumbuhan stok modal
di sektor industri serta surplus yang dicapai sekotr pertanian. Ksesimbangan
petumbuhan di kedua sektor menjadi syarat untuk menghindari stagnasi dalam
pertumbuhan ekonomi nasional. Kedua sektor ini harus tumbuh secara seimbang
dan transfer penyerapan kerja di sektor industri harus lebih cepat dari pertumbuhan
angkatan kerja.
2.1.1.2 Teori W. Arthur Lewis
Menurut Todaro dalam Kuncoro (2003: 59-62), transformasi struktural
suatu perekonomian subsistem di rumuskan oleh seorang ekonom besar seperti W.
Arthur Lewis. Dengan Teorinya model dua sektor Lewis antara lain:
a) Perekonomian Tradisional
Dalam teori ini, Lewis berasumsi di daerah pedesaan dengan perekonomian
tradisional
mengalami
surplus
tenaga
kerja.
Perekonomian
tradisional
menggambarkan bahwa tingkat hidup masyarakat berada di kondisi subsisten, ini
diakibatkan adanya kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal
tenaga kerja sama dengan nol. Situasi ini memungkinkan Lewis untuk
mendefinisikan kondisi dimana surplus tenaga kerja sebagai suatu fakta bahwa jika
sebagian tenaga kerja tersebut di tarik dari sektor pertanian, maka sektor pertanian
tidak akan kehilangan outputnya.
b) Perekonomian Industri
Pada perekonomian industri terletak pada perkotaan modern yang berperan
penting adalah sektor industri. Ciri-ciri perekonomian ini adalah tingkat
produktivitas yang tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang di
transfer dari sektor subsisten. Dengan demikian perekonomian perkotaan
merupakan daerah tujuan bagi para perkerja yag berasal dari pedesaan sehingga
menambahnya tenaga kerja pada sistem produksi yang ada akan meningkatkan
output yang diproduksi.
a) Sektor Modern (industri)
b) Sektor Tradisional (Pertanian)
Gambar 2.2 Model Pertumbuhan Sektor Modern dalam Perekonomian
Dua Sektor dengan Surplus Tenaga Kerja
Rangkaian dari proses pertumbuhan berkesinambungan dan perluasan
kesempatan kerja di sektor modern tersebut diasumsikan akan terus brlangsung
sampai semua surplus tenaga kerja pedesaan diserap habis oleh sektor industri.
Tenaga kerja tambahan hanya dapat ditarik dari sektor pertnian dengan biaya yang
lebih tinggi karena hal tersebut akan mengakibatkan merosotnya produksi pangan.
Transformasi struktural perekonomian dengan sendirinya akan menjadi suatu
kenyataan dan perekonomian itu pada akhirnya beralih dari perekonomian
pertanian yang berpusat pada pedesaan menjadi sebuah perkonomian industri
modern yang berorientasi kepada pola kehidupan perkotaan.
2.1.1.3 Teori Chenery
Analisis teori pola pembangunan (Pattern of Developmen) menjelaskan
perubahan struktur dalam proses perubahan ekonomi dari negara berkembang yang
mengalami transformasi dari pertanian tradisional beralih ke sektor industri sebagai
mesin utama pertumbuhan ekonomi. Peningkatan peran sektor industri dalam
perekonomian sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita yang berhubungan
sangat erat dengan akumulasi capital dan peningkatan sumber daya manusia.
a) Dilihat dari permintaan Domestik
Apabila dilihat dari permintaan domestik akan terjadi penurunan permintaan
terhadap konsomsi bahan makanan karena dikompensasikan oleh peningkatan
perminataan pada barang non kebutuhan pangan, peningkatan investasi, dan
peningkatan anggaran belanja pemerintah yang mengalami peningkatan dalam
GNP yang ada. Di sektor perdagangan internasional terjadi juga perubahan yaitu
peningkatan nilai ekspor dan impor. Epanjan perubahan struktural ini berlangsung
terjadi peningkatan pangsa ekspor komoditas hasil produksi sektor industri dan
penurunan pangsa sektor yang sama pada sisi impor.
b) Dilihat dari Tenaga Kerja
Apabila dilihat dari sisi tenaga kerja ini akan terjadi proses perpindahan dari
sektor pertanian menuju sektor industri, meski pergeseran ini masih tertinggal (lag)
dibandingkan proses perubahan struktural itu sendiri. Dengan lag ini maka sektor
pertanian akan berperan penting dalam peningkatan penyediaan tenaga kerja, baik
dari awal maupun akhir dari proses transformasi perubahan struktural tersebut
(Kuncoro, 2003: 65-69)
2.1.2 Teori Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi sering dikaitkan dengan perkembangan ekonomi di
negara-negara berkembang. Sebagian ahli ekonomi mengartikan pembangunan
ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan dalam struktur
dan corak kegiatan ekonomi. Dalam mengartikan istilah pembangunan ekonomi,
ahli ekonomi tidak hanya tertarik pada masalah perkembangan pendapatan nasional
riil, tetapi juga pada modernisasi kegiatan ekonomi, misalnya kepada usaha dalam
merombak sektor pertanian yang tradisional, masalah mempercepat pertumbuhan
ekonomi dan masalah pemerataan pembagian pendapatan ( Sukirno, 2011: 423).
Pembangunan ekonomi daerah pada hakekatnya merupakan bentuk realisasi
pembangunan pembangunan nasional di suatu daerah yang disesuaikan dengan
kemampuan sumber daya manusia (SDM), sosial, tingkat ekonomi dan peraturan
yang berlaku (purnomo dan istiqomah, 2008: 137). Menurut Radianto dalam
Nugraha (2007: 4), pembangunan ekonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan
laju pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur. Perubahan struktur yang terjadi
dapat berupa peralihan dari perekonomian ke non-pertanian, industri ke jasa,
perubahan dalam unit-unit produktif, serta perubahan status kerja buruh.
Menurut Adisasmita (2008: 13), pembangunan wilayah (regional)
merupakan fungsi dari potensi dari sumber daya alam, tenaga kerja dan sumber
daya manusia investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan
komunikasi, komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdangan antar
wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah,
kewirausahaan (wiraswasta), kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan
secara luas. Keberhasilan dari pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu
indikasi dari keberhasilan kinerja dari pemerintah daerah yang bersangkutan.
Pembangunan tidak hanya melihat dari pertumbuhan PDRB suatu daerah, namun
bagaimana masyarakat dapat menikmati hasil yang di dapatkan dari pembangunan
ekonomi di daerahnya.
2.1.2.1 Teori Neo Klasik
Teori ini berkembang sejak tahun 1950-an yang berkembang berdasarkan
analisis-analisis mengenai pertumbuhan ekonomi. Ekonom yang menjadi perintis
dalam mengembangkan teori tersebut adalah Robert Solow dan Trevor Swan.
Menurut teori ini, pertumbuhan ekonomi tergantung kepada pertambahan
penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, akumulasi modal) dan
tingkat kemajuan teknologi. Pandangan teori ini didasarkan kepada anggapan yang
mendasari analisis klasik, yaitu perekonomian akan tetap mengalami tingkat
pengerjaan penuh (full employment) dan kapasitas peralatan modal akan tetap
sepenuhnya digunakan sepanjang waktu (Arsyad, 1999: 61-62).
Menurut teori ini rasio modal-output bisa berubah (bersifat dinamis),
dengan kata lain untuk menciptakan sejumlah output tertentu, bisa digunakan
jumlah modal dan bantuan tenaga kerja yang jumlahnya berbeda-beda sesuai
penggunaannya. Modal yang digunakan lebih banyak maka kebutuhan tenaga kerja
akan lebih sedikit, sebaliknya jika modal digunakan lebih sedikit maka kebutuhan
tenaga kerja akan lebih banyak (Arsyad, 1999: 61-62).
Peranan teori ekonomi Neo Klasik tidak terlalu besar dalam menganalisis
pembangunan daerah (regional). Teori ini tidak memiliki dimensi spasial yang
signifikan, namun teori ini memberikan dua konsep penting dalam pembangunan
ekonomi daerah, yaitu keseimbangan (equilibrium) dan mobilitas faktor produksi,
artinya sistem perekonomian akan mencapai keseimbangan alamiahnya jika modal
dapat mengalir tanpa restriksi (pembatasan). Modal akan mengalir dari daerah
berupah tinggi menuju ke daerah berupah rendah (Arsyad, 2004: 300).
2.1.2.2 Teori Basis Ekonomi
Menurut Prishardoyo (2008: 3), teori basis ekonomi (economic base theory)
dikemukakan oleh Harry W. Richardson yang menyatakan bahwa faktor penentu
utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan
permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Teori basis ekonomi, menyatakan
semua wilayah merupakan sebuah sistem sosio ekonomi yang terpadu.
Teori basis ekonomi menyatakan bahwa permintaan terhadap input hanya
dapat meningkat melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi
oleh sektor basis (ekspor) dan sektor non basis (lokal). Permintaan terhadap
produksi sektor non basis hanya dapat meningkat apabila pendapatan lokal
meningkat, namun peningkatan pendapatan lokal akan terbatas apabila
perekonomiannya hanya mengandalkan pada sektor non basis. Suatu perekonomian
yang mampu mengembangkan dan meningkatkan sektor basis maka sektor basis
akan mendorong sektor non basis sehingga pendapatan lokal akan meningkat
melebihi peningkatan pendapatan lokal sektor non basis. Hal tersebut membuat
ekspor daerah merupakan penentu dalam perekonomian daerah (Alim, 2008: 226).
2.1.2.3 Teori Tempat Sentral
Teori tempat sentral beranggapan bahwa ada hirarki tempat. Setiap tempat
sentral ini didukung oleh adanya sejumlah tempat yang lebih kecil yang
menyediakan sumber daya entah itu sumber daya alam maupun sumber daya
manusia. Tempat sentral ini merupakan suatu pemukiman yang menyediakan jasajasa bagi penduduk daerah yang mendukungnya (Arsyad, 2004:301).
Tempat sentral merupakan suatu pemukiman yang menyediakan jasa-jasa
bagi penduduk daerah yang mendukungnya. Teori tempat sentral memperlihatkan
bagaimana pola-pola lahan dari industri yang berbeda-beda terpadu membentuk
suatu sistem regional kota-kota. Teori ini bisa diterapkan pada pembangunan
ekonomi daerah, baik daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. Misalnya,
perlunya melakukan pembedaan fungsi antara daerah-daerah yang berbatasan
(bertetangga). Seorang ahli pembangunan ekonomi daerah dapat membantu
masyarakat untuk mengembangkan peranan fungsional mereka dalam sistem
ekonomi daerah (Prasetyo, 2000 : 415).
2.1.2.4 Teori Lokasi
Model pengembangan industri kuno menyatakan lokasi yang terbaik adalah
biaya yang termurah antara bahan baku dengan pasar. Hal ini mengakibatkan
perusahaan akan cenderung lebih memilih lokasi yang bisa meminimumkan biaya
namun dapat memaksimalkan peluangnya untuk mendekati pasar (Arsyad,2004:
301).
Bapak teori lokasi Von Thunnen (1783-1850) mengembangkan teori lokasi
pada awal abad 19. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di daerah tempat
tinggalnya, babrbagai komoditas pertanian diusahakan menurut pola tertentu.
Dengan memperhatikan jarak tempuh antara daerah produksi dan pasar, pola
tersebut memasukan variabel keawetan, berat dan harga dari berbagai komoditas
pertanian ( Saraswati, staff.ui.ac.id)
2.1.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi
2.1.3.1 Teori Adam Smith
Adam Smith membagi tahapan pertumbuhan ekonomi menjadi 5 tahap yang
berurutan yang dimulai dari masa berburu, masa berternak, masa bercocok tanam,
masa berdagangan, dan tahap masa industri. Menurut teori ini, masyarakat akan
bergerak dari masyarakat tradisional kemasyarakat modern yang kapitalis. Dalam
prosesnya, pertumbuhan ekonomi akan semakin terpacu dengan adanya sistem
pembagian kerja antar pelaku ekonomi. Adam Smith memandang pekerja sebagai
salah satu input bagi proses produksi, pembagian tenaga kerja merupakan titik
sentral pembahasan dalam teori ini, dalam upaya peningkatan produktifitas kerja.
Dalam pembangunan ekonomi modal memegang peranan penting. Menurut
teori ini, akumulasi modal akan menentukan cepat atau lambatnya pertumbuhan
ekonomi yang terjadi pada suatu negara. Proses pertumbuhan akan terjadi secara
simultan dan memiliki hubungan keterkaitan satu sama lainnya. Timbulnya
peningkatan kinerja pada suatu sektor akan meningkatkan daya tarik bagi
pemupukan modal, mendorong kemajuan teknologi, meningkatkan spesialisasi dan
memperluas pasar. Hal ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang semakin
cepat. Proses pertumbuhan ekonomi sebagai suatu fungsi tujuan pada akhirnya
harus tunduk kepada fungsi kendala yaitu adanya keterbatasan sumberdaya
(Kuncoro, 2003: 46-47).
2.1.3.2 Teori Schumpeter
Teori schumpeter menekankan pada pentingya peranan pengusaha dalam
pertumbuhan ekonomi. Dalam teori ini ditujukan bahwa para pengusaha merupakan
golongan yang akan terus membuat inovasi baru dalam kegiatan perekonomian.
Berbagai inovasi baru ini nantinya akan memerlukan investasi yang baru. Dalam
mengemukakan teori pertumbuhannya schumpeter memulai analisis dengan
memisalkan perekonomian yang berjalan belum berkembang. Tetapi keadaan ini
tidak berlangsung lama. Pada saat keadaan itu berlangsung, para pengusaha
menyadari tentang berbagai kemungkinan untuk mengadakan inovasi yang
menguntungkan. Dorongan keinginan untuk medapatkan keuntungan dari
mengadakan pembaharuan tersebut para pengusaha akan meminjam modal dan
melakukan penanaman modal.maka pendapatan masyarakat akan bertambah dan
konsumsi masyarakat akan bertambah pula.
Kenaikan tersebut akan mendorong pengusaha lain untuk menghasilkan
lebih banyak barang dan melakukan penanaman modal baru. Menurut schumpeter
makin tinggi tingkat kemajuan perekonomian maka semakin terbatas kemungkinan
untuk melakukan inovasi. Maka pertumbuhan ekonomi akan melambat (Sukirno,
2011: 434-435).
2.1.3.4 Teori Walt Whitman Rostow
Menurut Arsyad (1999: 47-54), Rostow dalam bukunya yang berjudul The
Stages of Economic Growth, proses pembangunan ekonomi dibedakan ke dalam
lima tahapan yaitu: masyarakat tradisional (the traditional society), prasyarat untuk
tinggal landas (the preconditions for take off), tinggal landas (take off), menuju
kedewasaan (the drive maturity) dan masa konsumsi tinggi ( the age of high mass
consumption).
Lima tahapan tersebut menurut Todaro (2003: 129) dijelaskan sebagai
berikut:
a) Masyarakat tradisonal (the traditional society), adalah masyarakat
yang fungsi produksinya terbatas ditandai oleh cara produksi relatif
masih primitif didasarkan pada ilmu dan teknologi pra-Newton serta
cara hidup masyarakat masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai
kurang rasional, tetapi kebiasaan tersebut telah turun temurun.
b) Prasyarat untuk tinggal landas (the preconditions for take off), adalah
suatu masa transisi saat masyarakat mempersiapkan dirinya untuk
mencapai pertumbuhan atas kekuatan sendiri. Menurut Rostow, pada
tahap ini dan sesudahnya pertumbuhan ekonomi akan terjadi secara
otomatis.
c) Tinggal landas (take off), adalah suatu masa terjadinya perubahan
drastis dalam masyarakat seperti evolusi politik, terciptanya kemajuan
yang pesat dalam inovasi atau berupa terbukanya pasar-pasar baru.
Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan terciptanya inovasiinovasi dan peningkatan investasi secara teratur.
d) Menuju kedewasaan (the drive maturity), adalah masa saat
masyarakat secara efektif menggunakan teknologi modern pada
hampir semua kegiatan produksi. Tahap ini, sektor-sektor pemimpin
baru akan muncul menggantikan sektor-sektor pemimpin lama yang
mengalami kemunduran.
e) Konsumsi tinggi (the age of high mass consumption), adalah tahap
terakhir dari teori pembangunan ekonomi Rostow. Tahap ini perhatian
masyarakat lebih menekankan masalah-masalah yang berkaitan
dengan konsumsi dan kesejahteraan masyarakat.
Tahapan-tahapan tersebut bukanlah sekedar uraian deskriptif, tidak pula
merupakan generalisasi observasi-observasi fakta tertentu tentang urutan kemajuan
masyarakat
modern,
melainkan
terkandung
logika
yang
kuat
dan
berkesinambungan (Todaro 2003: 129).
2.1.4 Ukuran Pertumbuhan Ekonomi
Ukuran
mengenai
keterkaitan
ekonomi
pada
dasarnya
akan
menggambarkan hubungan antara perekonomian daerah dengan lingkungan di
sekitarnya. Shift share analisis merupakan teknik yang sangat berguna dalam
mengnalisis perubahan yang terjadi pada struktur ekonomi daerah dibandingkan
dengan perekonomian nasional. Analisis ini akan memberikan data tentang kinerja
perekonomian dalam tiga bidang yang berhubungan satu sama lain diantaranya:
a) Pertumbuhan ekonomi daerah diukur dengan cara menganalisis perubahan
pengerjaan agregat secara sekotral dibandingkan dengan perubahan sektor yang
sama diperekonomian yang akan di jadikan acuan.
b) Pergeseran diferensial mebantu dalam menentukan seberapa jauh daya saing
industri daerah dengan perekonomian yang di jadikan acuan. Jika pergeseran
diferensial dari suatu industri adalah positif, maka industri tersebt lebih tinggi
daya saingnya dari pada industri yang sama pada perekonomian yang dijadikan
acuan.
c) Pergeseran proposional mengukur perubahan relatif, pertumbuhan atau
peurunan pada daerah dibandingkan dengan perekonomian yang lebih besar
dijadikan acuan. Pengukuran ini memungkinkan untuk mengetahui apakah
perekonomian daerah terkonsentrasi pada inudstri lebih cepat dari pada
perekonomian yang dijadikan acuan (Arsyad, 2004: 314).
Untuk memperluas analisis shift share maka digunakan teknik Locattion
Questients (LQ). Teknik ini membantu untuk menentukan kapasitas ekspor
perekonomian daerah dan derajat self-sufficiency suatu sektor. Dalam teknik ini
kegiatan perekonomian dibagi menjadi dua yaitu:
a) Kegiatan ekonomi atau industri yang melayani pasar di daerah tersebut, jenis ini
dinamakan indusri non basic atau industri lokal.
b) Kegiatan industri yang melayani pasar di daerah itu sendiri maupun di luar
daerah yang bersangkutan. Industri ini dinamakan industri basic (Arsyad,
2004:315).
2.1.5 Ketenagakerjaan
2.1.5.1 Definisi Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan penduduk yang berumur dalam batas usia kerja.
Batasan usia kerja yang dianut oleh indonesia adalah minimun 15 tahun, tanpa batas
maksimum. Tenaga kerja dibagi dalam dua kelompok yaitu angkatan kerja dan
bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah tenaga kerja atau penduduk dalam
usia kerja atau yang mempunyai pekerjaan namun untuk sementara sedang tidak
bekerja, dan yang mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk bukan angkatan
kerjaialah tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja, tidak
mempunyai pekerjaan dan sedang tidak mencari pekerjaan (Dumairy, 1996).
Menurut Simanjuntak (1990: 69) tenaga kerja mengandung dua pengertian
yaitu:
a) Tenaga kerja mengandung pengertian usaha kerja atau jasa yang dapat
diberikan dalam proses produksi. Tenaga kerja mencerminkan kualitas
usaha yang diberikan oleh seseorang dalam waktu tertentu untuk
menghasilkan barang dan jasa.
b) Tenaga kerja mencakup orang yang mampu bekerja untuk memberikan
jasa/usaha kerja. Bekerja berarti mampu melakukan kegiatan yang
mempunyai nilai ekonomis, yaitu kegiatan menghasilkan barang dan
jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
2.1.5.2 Tenaga Kerja di Negara Sedang Berkembang (NSB)
Tingkat pertumbuhan angkatan kerja yang cepat dibandingkan dengan
pertumbuhan lapangan kerja yang relatif lambat maka akan menyebabkan masalah
pengangguran di negara sedang berkembang akan menjadi semakin serius. Tingkat
pengguran di perkotaan hanya menunjukan aspek-aspek yang tampak saja dari
maslah kesempatan kerja di negara sedang berkembang. Tenaga kerja yang tidak
bekerja secara penuh mempunyai berbagai bentuk, termasuk berbagai bentuk dan
underployment di negara sedang berkembang sangat jarang.
Hasil studi menunjukan sekitar tiga puluh persen dari penduduk perkotaan
di ngara sedang berkembang bisa dikatakan tidak bekerja secara penuh. Untuk itu
dalam mengurangi masalah ketenegakerjaan yan gdihadapi di negara sedang
berkembang perlu adanya solusi yaitu, memberikan upah yang memadai dan
menyediakan kesempata-kesempatan kerja bagi kelompok masyarakat miskin.
Oleh karena itu peningkatan kesempatan kerja merupakan unsur yang paling
esensial dalam setiap strategis pembangunan yang menitikberatkan kepada
penghapusan (Arsyad, 1999).
2.1.6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah dapat diukur dengan
menggunakan indikator Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau biasa juga
disebut pendapatan perkapita. Pendapatan perkapita merupakan pendapatan ratarata penduduk suatu negara pada suatu masa tertentu. Nilai ini diperoleh dengan
membagi nilai PDRB suatu tahun tertentu dengan jumlah penduduk pada tahun
tersebut. Dalam menghitung pendapatan perkapita ada dua macam perhitungan
yang dapat dilakukan, yaitu dengan berdasarkan harga yang berlaku dan harga
tetap.
Pendapatan perkapita menurut harga harga yang berlaku penting untuk
memberi gambaran tentang kemampuan rata-rata dari penduduk negara itu
berbelanja dan membeli barang-barang dan jasa yang diperlukan. Ini juga penting
sebagai bahan perbandingan dalam menunjukan perbedaan tingkat kemakmuran di
suatu negara berbanding dengan negara-negara lain.
Pendapatan perkapita menurut harga tetap perlu dihitung untuk menunjukan
perkembangan tingkat kemakmuran di seuatu negara. Kenaikan pendapatan
nasional menurut harga berlaku tidak memberikan gambaran yang sempurna
tentang perkembangan kemakmuran yang sebenarnya karena efek kenaikan harga
dalam menaikan pendapatan perkapita belum diperhitungkan. Pertumbuhan
ekonomi, dan pertambahan kemakmuran yang diwujudkan ditentukan oleh
kenaikan harga. Untuk mengetahui gambaran perkembangan kemakmuran suatu
masyarakat perlu dihitung pendapatan dengan harga tetap. Masyarakat dipandang
mengalami pertambahan dalam kemakmuran apabila pendapatan per kapita
menurut harga tetap atau pendapatan per kapita riil terus menerus mengalami
pertambahan dari tahun ke tahun (Sukirno, 2011:424-425).
2.1.7 Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory)
Teori ekonomi basis menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan
ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan
barang dan jasa dari luar daerah. Pertumbuhan industri-industri uang menggunakan
sumber daya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk dieskpor akan
menghasilkan kekayaan daerah dan menciptakan peluang kerja (Arsyad,1999:
300).
Perekonomian regional dapat dibagi menjadi dua sektor, yaitu kegiatankegiatan basis dan non basis. Kegiatan basis merupakan kegiatan yang mengekspor
barang-barang atau jasa-jasa ke tempat di luar batas-batas perekonomian
masyarakat yang bersangkutan atau memasarkan barang-barang atau asa-jasa
mereka kepada orang diluar perbatasan perekonomian masyarakat yang
bersangkutan. Kegiatan non basis merupakan kegiatan yang menyediakan barangbarang yang dibutuhkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal di dalam batasbatas perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Kegiatan ini tidak mengekspor
barang-barang, jadi luas lingkup produksi mereka dan daerah pasar yang terutama
adalah baersifat lokal (Glason, 1997).
Salah satu metode yang dapat diterapkan untuk mengidentifikasi sektor
basis ekonomi pada wilayah dengan menggunakan metode loqattion question.
Menurut Rondinelli pada Suhartono (2011) LQ merupakan suatu teknik
perhitungan yang mudah untuk menunjukan spesialisasi (kemampuan) wilayah
dalam kegiatan atau karakteristik tertentu. Teknik ini dapat menyajikan
perbandingan antara kemampuan suatu sektor di daerah yang sedang di teliti dengan
kemampuan sektor yang sama pada darah yang lebih luas. Dalam matematis dapat
dinyatakan sebagai berikut:
𝑣𝑖/𝑣𝑑
𝐿𝑄𝑖 =
𝑉𝑖/𝑉𝑑
......................................................................................................(2.1)
Keterangan:
LQi= Angka indeks Loqattion question
vi= pendapatan sektor i pada tingkat wilayah
vt= pendapatan total wilayah
Vi= pendapatan sektor i pada tingkat nasional
Vt= pendapatan total nasional
Apabila LQ lebih besar dari 1 maka sektor tersebut merupakan sektor basis.
Apabila nilai LQ lebih kecil dari satu maka sektor bukan merupakan sektor basis.
Prinsip DLQ masih sama dengan LQ, hanya untuk mengintroduksikan laju
pertumbuhan. DLQ merupakan modifikasi dari LQ dengan mengakomodasi
besarnya nilai produksi suatu sektor dari waktu ke waktu ( Sapratama dan Martha,
2013). Persamaan DLQ yang terbentuk sebagai berikut:
𝐷𝐿𝑄 =
𝑑
(1+𝑔 π‘–π‘˜)
⁄(1+𝑔 π‘˜)
{ (1+𝐺 𝑖)
}
⁄(1+𝐺)
................................................................................(2.2)
Keterangan:
g ik = Laju pertumbuhan sektor i di regional (Kabupaten Buleleng)
g k = Rata-rata laju pertumbuhan PDRB sektor di regional (Kabupaten
Buleleng)
Gi = Laju pertumbuhan sektor i di nasional (Provinsi Bali)
G = Rata-rata laju pertumbuhan PDRB sektor di nasional (Provinsi Bali)
t = Jumlah tahun yang akan di analisis
Tafsiran DLQ masih sama dengan LQ. Tetapi perbandingan ini lebih
menekankan pada laju pertumbuhan dan sektor yang dapat dikembangkan
selanjutnya. Jika DLQ sama dengan satu berarti laju pertumbuhan sektor i terhadap
laju pertumbuhan PDRB daerah sebanding dengan lajur pertumbuhan sektor
tersebut secara nasional. Jika DLQ lebih kecil dari satu maka proporsi pertumbuhan
sektor i terhadap laju pertumbuhan PDRB daerah lebih rendah debandingkan laju
pertumbuhan sektor tersebut terhadap nasional. Apabila DLQ lebih besar dari satu
maka pertumbuhan sektor i terhadap pertumbuhan PDRB daerah lebih cepat
dibandingkan laju nasional (Ma’ruf , 2009).
2.1.8 Analisis Shift Share
Analisis Shift Share ini merupakan analisis yang bertujuan untuk
menentukan kinerja perekonomian daerah dengan mebandingkan dengan daerah
yang lebih besar. Teknik ini membagi pertumbuhan sebagai perubahan (D) suatu
variabel wilayah, seperti tenaga kerja, nilai tambah, pendapatan atau output, selama
kurun waktu tertentu menjadi pengaruh-pengaruh: pertumbuhan nasional (N),
industri campuran/bauran industri (M), dan keunggulan kompetitif (C) (Arsyad,
2010 : 389).
Menurut Soepomo (1993) bentuk umum dari persamaan shift share dan
komponennya adalah:
Dij =Nij + M ij + C ij........................................................................................(2.3)
Keterangan :
i
j
n
D ij
N ij
M ij
= sektor-sektor ekonomi yang diteliti
= variabel wilayah yang diteliti Kabupaten Buleleng
= variabel wilayah Provinsi Bali
= Perubahan sektor i di daerah j (Kabupaten Buleleng)
= Pertumbuhan nasional sektor i di daerah j (Kabupaten Buleleng)
= Bauran industri sektor i di daerah j (Kabupaten Buleleng)
C ij
= Keunggulan kompetitif sektor i di daerah j (Kabupaten
Buleleng)
Download