Zoonosis yang baru muncul bersumber satwa liar

advertisement
PEMBAHASAN
Jumlah dan keanekaragaman spesies satwa liar di seluruh dunia sangat
besar dan
terdistribusi pada
habitat
dan
ekologi yang
berbeda-beda.
Keanekaragaman hayati terus mengalami penyusutan, terutama di hutan tropis
(Anonim 2011a).
kecenderungan
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup RI (2008),
penyusutan
keanekaragaman
hayati
disebabkan
oleh
penebangan hutan, pengalihan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan,
penambangan, perburuan, perdagangan satwa liar, dan introduksi spesies asing
invasif (invasive alien species). Kemunculan agen patogen penyebab penyakit
dihubungkan dengan perubahan ekologi dan faktor risiko spesifik yang terkait
dengan tipe patogen, rute penularan, dan cakupan inang (Woolhouse 2002).
Dari 1415 agen patogen penyebab penyakit menular pada manusia yang saat ini
diketahui, sekitar 58-61%-nya bersumber pada hewan.
Persentase tersebut
akan meningkat hingga 73-75% bila EID dan REID yang selama 30 hingga 40
tahun terakhir masih diperhitungkan (Roche dan Guégan 2011). Sebanyak 75%
dari jumlah penyakit menular pada manusia bersifat zoonotik (Taylor et al. 2001)
yang lebih dikategorikan sebagai EID dan REID (Woolhouse dan Sequera 2005).
EZ dan REZ merupakan tantangan besar bagi manusia dan dunia veteriner
karena memiliki dampak besar bagi kesehatan masyarakat (Sleeman 2006).
Kejadian EZ dan REZ muncul akibat perubahan lingkungan dan peningkatan
aktivitas manusia (Smolinski et al. 2003). Perubahan lingkungan sering dikaitkan
dengan faktor risiko yang dapat mempengaruhi dinamika infeksi agen patogen
zoonotik, yaitu (1) terjadi peningkatan jumlah inang reservoar; (2) peningkatan
insidensi infeksi pada inang reservoar; atau (3) perubahan pola, laju, dan
frekuensi kontak antara hewan sebagai inang reservoar dan manusia.
Pemahaman terhadap faktor-faktor tersebut digunakan untuk menentukan
keberhasilan upaya pengendalian penyakit zoonotik (Cleaveland et al. 2007).
Patogen yang baru muncul (emerging pathogen) didefinisikan sebagai
agen penyebab penyakit menular yang insidensinya meningkat dalam populasi
induk semang baru atau populasi induk semang yang telah ada namun
mempengaruhi epidemiologi penyakit (Cleaveland et al. 2007). Menurut Jones et
al. (2008), patogen penyebab timbulnya EID berasal dari bakteri atau riketsia
(54.3%), virus dan prion (25.4%), protozoa (10.7%), cendawan (6.3%), dan
cacing (3.3%). Dalam pengklasifikasian tersebut galur individu patogen yang
25
resisten terhadap obat antimikroba dipisahkan sebagai patogen tersendiri karena
galur yang berbeda dapat menyebabkan wabah penyakit yang secara signifikan
berbeda.
Patogen yang menyebabkan penyakit menular pada manusia jarang yang
terbatas hanya menularkan ke manusia saja.
Kemampuan agen patogen
menginfeksi cakupan inang yang luas menjadi faktor risiko bagi kemunculan
penyakit baik pada manusia maupun hewan domestik (Cleaveland et al. 2001).
Woolhouse dan Sequera (2005) menunjukkan bahwa lebih dari 40% patogen EID
dan REID memiliki cakupan spesies luas (tiga atau lebih spesies inang).
Sebanyak 77% patogen pada ternak dan 91% patogen pada karnivora domestik
menginfeksi lebih dari satu inang (Haydon et al. 2002). Ruminansia, karnivora,
rodensia, burung, dan primata merupakan lima kategori hewan utama penular
penyakit ke manusia (Roche dan Guégan 2011). Patogen multispesies terdapat
pada beberapa populasi inang dengan membentuk reservoar infeksi.
Oleh
karena itu, kunci penting dalam pengendalian patogen multispesies adalah
mengidentifikasi reservoar infeksi (Haydon et al. 2002).
Reservoar didefinisikan sebagai satu atau lebih populasi dan lingkungan
yang secara epidemiologi terhubung dimana patogen dapat secara permanen
dipelihara dan infeksi dapat ditularkan ke target populasi yang terbatas.
Reservoar inang infeksi yakni semua inang yang secara epidemiologi terhubung
atau berkontribusi pada penularan ke inang target (Haydon et al. 2002).
Reservoar infeksi meliputi semua populasi inang, inang antara atau vektor pada
lingkungan yang diperlukan untuk mempertahankan agen tanpa batas. Inang
insidentil atau inang penghubung adalah inang yang dapat terinfeksi patogen
namun tidak ikut berperan dalam pemeliharaan populasi patogen (Ashford 2003).
Satwa liar berperan penting sebagai reservoar zoonosis.
Saat ini,
kepentingan dan pengetahuan mengenai satwa liar sebagai reservoar semakin
meningkat
karena
zoonosis
yang
bersumber
satwa
liar
menyebabkan
permasalahan utama kesehatan masyarakat di dunia (Kruse et al. 2004).
Daszak et al. (2000) mengategorikan EID bersumber pada satwa liar
berdasarkan epizootiologi menjadi tiga kriteria utama, yakni (1) EID yang terkait
dengan hubungan timbal balik (spill-over) dari hewan domestik ke populasi satwa
liar yang hidup berdampingan, (2) EID yang terkait secara langsung dengan
intervensi manusia melalui translokasi inang atau parasit, serta (3) EID yang
timbul tidak ada keterlibatan antara manusia atau hewan domestik. Hal tersebut
26
berimplikasi pada banyaknya spesies satwa liar merupakan reservoar patogen
yang mengancam hewan domestik dan manusia, serta EID mengancam
konservasi keanekaragaman hayati global.
Satwa liar berperan sebagai
pangkalan zoonotik (zoonotic pool) patogen yang sebelumnya tidak diketahui.
Hal tersebut secara klasik dapat terjadi pada virus influenza yang menyebabkan
pandemi pada manusia setelah terjadi perubahan gen antara virus di burung liar
dan domestik, babi, serta manusia.
Pemahaman proses emergence (baru muncul) memerlukan kajian
dinamika mikroorganisme pada populasi reservoar satwa liar, biologi populasi
reservoar, serta perubahan demografi dan perilaku manusia (seperti perburuan,
produksi ternak) terhadap perubahan lingkungan, seperti deforestasi dan
perkembangan pertanian (Wolfe et al. 2005).
Risiko kemunculan patogen
zoonotik bergantung pada tiga faktor, yaitu (1) keragaman mikroorganisme pada
satwa liar dalam suatu wilayah, (2) pengaruh perubahan lingkungan pada
prevalensi patogen dalam populasi satwa liar, dan (3) frekuensi kontak manusia
dan hewan domestik dengan satwa liar sebagai reservoar penyakit zoonotik.
Faktor pertama menjadi perhatian utama ahli virologi, khususnya yang mengkaji
kecenderungan evolusi dalam virus-virus yang baru. Faktor kedua dan ketiga
menjadi kajian dokter hewan satwa liar, ahli ekologi penyakit, ahli biologi populasi
satwa liar, ahli antropologi, ahli ekonomi dan ahli geografi (Wolfe et al. 2005).
Menurut Daszak et al. (2000), faktor risiko kemunculan penyakit pada
program konservasi sangat kompleks. EID menyebabkan kepunahan spesies
terancam punah; mengubah rasio predator, mangsa, kompetitor; serta mengubah
habitat melalui fragmentasi dan perubahan iklim global.
Agen patogen yang
berinduk semang pada satwa liar memiliki risiko relatif (relative risk) lebih tinggi
dalam kemunculan penyakit baru (emergence) daripada agen patogen yang
memiliki sebaran induk semang yang terbatas (Cleaveland et al. 2007).
Deforestasi hutan tropis menyebabkan peningkatan kontak antara satwa
liar dan pemburu.
Penebangan hutan sekaligus (clear-cut logging) kurang
menyebabkan munculnya zoonotik dibandingkan dengan tebang pilih (selective
extraction) karena terjadinya kontak antara manusia dan satwa liar relatif kurang
dibandingkan dengan tebang pilih.
Praktik tebang pilih dapat menjaga
kelestarian keragaman hayati satwa liar dibandingkan dengan penebangan hutan
sekaligus, yang berarti juga menjaga keragaman patogen zoonotik potensial bagi
manusia (Wolfe et al. 2005).
27
Faktor risiko lain yang terkait dengan kemunculan penyakit zoonotik
bersumber satwa liar adalah peningkatan konsumsi bushmeat atau daging asal
satwa liar di beberapa belahan dunia, terutama Afrika Tengah dan lembah sungai
Amazon. Virus simian foamy diidentifikasi sebagai retrovirus yang menginfeksi
manusia melalui kontak langsung bushmeat primata non-manusia segar. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa zoonosis menjadi lebih sering, lebih meluas
penyebarannya, dan lebih kontemporer.
Retrovirus baru yakni tipe 3 dan 4
penyebab limfotropik-T manusia ditemukan pada pemburu, butcher, dan penjaga
monyet dan/atau kera yang digunakan sebagai hewan kesayangan di Kamerun
bagian selatan.
Permintaan bushmeat, akses luas ke habitat primata,
penebangan hutan, dan perburuan di Afrika menyebabkan peningkatan frekuensi
paparan retrovirus dari primata ke manusia. Wabah virus Ebola di Afrika bagian
barat dikaitkan dengan konsumsi bushmeat simpanse yang telah mati (Chomel et
al. 2007).
Risiko munculnya zoonosis yang disebabkan oleh perburuan dan
konsumsi satwa liar masih menjadi perhatian global karena terkait dengan
peningkatan populasi manusia, perdagangan global, dan kontak antara manusia
dan hewan.
Perburuan satwa liar oleh manusia dapat membawa risiko
perpindahan patogen antar spesies (Wolfe et al. 2005).
Menurut Chomel et al. (2007), pasar tradisional dan makanan lokal di
beberapa negara dikaitkan dengan kemunculan zoonosis baru. Pasar hewan
hidup atau dikenal sebagai pasar basah (wet market) merupakan tempat utama
dalam mengomersialisasikan unggas dan spesies hewan lainnya.
Sebagai
contoh adalah epidemi avian influenza di Asia Tenggara pada 2004 dikaitkan
secara langsung dengan penjualan burung hidup terinfeksi di pasar tradisional.
Burung hidup memfasilitasi menyebaran avian influenza H5N1 yang bersumber
dari burung liar. SARS yang disebabkan oleh perdagangan karnivora liar hidup
di Cina. Musang yang banyak diperdagangkan berperan sebagai amplifier dari
siklus alami virus SARS. Trikinelosis dikaitkan dengan konsumsi daging satwa
liar yang dimasak kurang sempuna dari rusa dan babi liar menyebabkan hepatitis
E pada pemburu di Jepang. Makanan dengan rasa eksotik baru dihubungkan
dengan variasi patogen dan parasit, seperti protozoa (Toxoplasma sp.),
trematoda
(Fasciola
sp.,
Paragonimus
spp.),
cestoda
(Taenia
spp.,
Diphyllobothrium sp.), dan nematoda (Trichinella spp., Parastrongylus spp.,
Anisakis sp.).
28
Peningkatan jumlah EID bersumber satwa liar menimbulkan kewaspadaan
karena terdapat hubungan yang saling terkait faktor penyebab kemunculan
penyakit antara manusia dan satwa liar (Gambar 1). Hubungan paralel antara
manusia dan EID pada satwa liar terjadi sudah terjadi sejak lama yang secara
global menyebabkan terjadinya penyebaran patogen eksotik. Sebagai contoh
adalah introduksi smallpox dan measles oleh bangsa Spanyol ke Amerika melalui
perpindahan hewan domestik selama masa penjajahan. Panzootik rinderpest
Afrika terjadi karena introduksi, penyebaran, dan dampak dari virulensi patogen
eksotik dari Asia pada populasi satwa liar (Daszak et al. 2000).
Gambar 1 Hubungan EID antara satwa liar, hewan domestik, dan manusia
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi (Daszak 2000).
Keberadaan inang reservoar terinfeksi dapat memicu kepunahan populasi
satwa liar lokal. Translokasi dan introduksi satwa liar ke wilayah geografis baru
disamakan dengan peningkatan perjalanan dan perdagangan global yang dapat
29
memicu kemunculan penyakit menular.
Sebagian besar penyakit muncul
sebagai akibat dari perubahan ekologi inang, agen patogen, atau keduanya.
Penularan agen patogen menular dari populasi hewan reservoar (hewan
domestik) ke satwa liar diistilahkan dengan spill-over, sebaliknya penularan agen
patogen menular dari satwa liar ke hewan domestik yang rentan disebut spillback. Spill-over dan spill-back menjadi ancaman yang membahayakan spesies
karena terjadi proses timbal balik patogen antara hewan domestik, satwa liar,
dan manusia (Tabel 6). Selain itu, keberadaan inang reservoar terinfeksi dapat
menurunkan ambang batas kepadatan patogen dan memicu kepunahan populasi
lokal.
Contoh spill-over adalah perkembangan populasi manusia dan anjing
domestik menyebabkan kemunculan rabies pada anjing liar, sedangkan contoh
spill-back adalah bruselosis dapat menular ke elk dan bison akibat hewan ternak
domestik merumput di sekeliling habitat satwa liar (Daszak et al. 2000).
Virus merupakan agen patogen yang paling sering menyebabkan wabah
penyakit pada satwa liar (Tabel 7). Virus RNA lebih banyak menjadi penyebab
EID dan REID pada manusia dan hewan dibandingkan dengan virus DNA
(Cleaveland et al. 2007).
EID dan REID muncul diakibatkan oleh gangguan
manusia pada habitat satwa liar, yakni deforestasi, perkembangan pemukiman
penduduk, dan pertambangan.
Sebagai contoh adalah kemunculan kembali
rabies pada manusia oleh gigitan kelelawar vampir di lembah sungai Amazon
yang menyebabkan 46 orang meninggal dunia tahun 2004 (Chomel et al. 2007).
Perdagangan
satwa
liar
memungkinkan
penularan
penyakit
yang
mengancam manusia, peternakan, perdagangan internasional, populasi satwa
liar asli, dan kesehatan ekosistem. Perdagangan satwa liar mencakup barter
lokal hingga internasional baik secara ilegal informal maupun formal (Karesh et
al. 2005). Mamalia, burung, dan reptil liar yang ditampung di pusat perdagangan
mengalami
kontak
dengan
manusia
dan
spesies
lainnya
sebelum
diperdagangkan kembali ke pasar lain atau dikembalikan ke habitatnya sebagai
bagian dari ritual agama atau dijadikan hewan peliharaan.
Tahun 2001,
sebanyak 38 000 mamalia, 365 000 burung, 2 juta reptil, 49 juta amfibi, dan 216
juta ikan diimpor ke Amerika Serikat (Zommers dan Macdonald 2006).
Di
30
31
32
33
Tabel 7
A.
Contoh virus yang telah muncul sebagai hasil dari lompatan spesies.
Bagian A menunjukkan waktu lampau (5000 hingga 10000 tahun lalu)
dan bagian B menunjukkan waktu beberapa dekade terakhir
(Cleaveland 2007)
Waktu lampau
Penyakit/patogen
Inang asal yang
diduga
Inang baru
Measles
Sapi, anjing
Manusia
Smallpox
Sapi, onta
Manusia
Sapi
Manusia
Penyakit/patogen
Inang asal
Inang baru
Tahun pertama
dilakukannya observasi
pada inang baru
Feline panleukopenia
virus/Canine panleukopenia
virus (FPLV/CPV)
Kucing
Anjing
1978
Simian immunodeficiency
virus simpanse (SIV cpz) /
HIV-1
Simpanse
Manusia
1983
Simian immunodeficiency
virus makaka (SIV mac) /
HIV-2
Makaka
Manusia
1986
Virus distemper
Harp seal
Harbor seal
1988
Virus Hendra
Kelelawar pemakan
buah
Manusia, kuda
1994
Lyssavirus kelelawar
Australia
Kelelawar pemakan
buah
Manusia
1996
Virus Menagle
Kelelawar pemakan
buah
Babi, manusia
1997
Virus Nipah
Kelelawar pemakan
buah
Manusia, babi
1999
Virus distemper anjing
Anjing
Singa
1994
Sledge dog
Crab-eating seal
1955
Anjing/karnivora liar
Lake Baikal seal
1987/1988
Anjing/karnivora liar
Caspian sea seal
2000
H5N1 influenza A
Ayam
Manusia
1997
Virus hepatitis E
Rusa
Manusia
2003
Coronavirus SARS
Musang palm
Manusia
2003
Common cold
B. Beberapa dekade terakhir
34
Afrika, penggunaan satwa liar, seperti cane rat hingga gorila, untuk dijadikan
makanan. Peningkatan perdagangan bushmeat dipicu oleh faktor kebudayaan,
politik, dan ekonomi (Karesh dan Noble 2009). Di Asia Timur dan Tenggara,
puluhan juta satwa liar didatangkan tiap tahun dari regional dan seluruh dunia
untuk makanan atau penggunaan obat tradisional. Diperkirakan lebih dari satu
miliar kilogram bushmeat diperdagangkan di Afrika Tengah baik untuk konsumsi
lokal maupun regional, sedangkan di lembah Sungai Amazon diperdagangkan 67
hingga 164 kilogram bushmeat dengan jumlah mamalia yang dikonsumsi
sebanyak 6.4 juta hingga 15.8 juta individu (Karesh et al. 2005).
Mekanisme yang digunakan dalam menyediakan satwa liar sebagai bahan
pangan, obat, hewan kesayangan, kesenangan baru, dan produk lainnya sangat
kompleks dan bervariasi bergantung pada wilayah, penggunaan, dan spesies
satwa liar. Di hutan Afrika Tengah, bushmeat menjadi sumber utama protein
hewani karena kemampuan keterbasan beternak hewan domestik (Karesh dan
Noble 2009).
Pemburu satwa liar, pedagang, dan konsumen merupakan
golongan manusia yang paling sering kontak dan terpapar satwa liar (Karesh et
al. 2005). Bushmeat monyet juga menularkan parasit gastrointestinal, seperti
Trichuris sp., Entamoeba coli, Strongyloides fulleborni, dan Ancylostoma spp. di
Kamerun. Menurut Pourrut et al. (2010), parasit-parasit tersebut ditularkan ke
manusia secara transkutaneus melalui infeksi larva selama penanganan daging
(butchering).
Kelelawar juga sering digunakan sebagai bushmeat untuk
dikonsumsi. Kelelawar memiliki peran signifikan bagi kesehatan karena berperan
sebagai inang reservoar beberapa virus (Calisher et al. 2006). Menurut Krauss
et al. (2003), kelelawar menularkan virus ke hewan domestik dan manusia
melalui kontak, gigitan, dan aerosol (Tabel 8).
Translokasi satwa liar dikaitkan dengan penyebaran beberapa zoonosis
(Chomel et al. 2007).
Program penangkaran satwa bertujuan menjaga
keberlangsungan genetik dan kesehatan populasi satwa untuk dilepasliarkan ke
alam. Terjadinya translokasi satwa liar untuk kegiatan konservasi, pertanian, dan
berburu berisiko terpaparnya spesies satwa liar dengan agen menular eksotik.
Translokasi dan penangkaran berpotensi pada perpindahan patogen ke dalam
populasi satwa liar yang sebelumnya tidak terpapar (Daszak et al. 2000).
35
36
EZ dan REZ disebabkan pula oleh kerusakan lingkungan melalui introduksi
spesies asing invasif (invasive alien species/IAS) dalam suatu wilayah.
IAS
merupakan spesies yang bukan menjadi spesies asli suatu habitat yang
diintroduksi baik secara sengaja maupun tidak disengaja (Sharp et al. 2011). IAS
secara sengaja diintroduksi karena faktor ekonomi, lingkungan, dan sosial. IAS
merusak spesies asli pada ekosistem secara global, menyebabkan degradasi
lingkungan, serta kehilangan habitat bagi spesies yang terancam punah (Stroud
2009). Contoh penyakit yang disebabkan yang terkait dengan IAS adalah H5N1
avian influenza dan SARS yang disebabkan karena introduksi burung liar melalui
migrasi dan introduksi karnivora liar ke Cina yang bukan merupakan habitat
aslinya akibat perdagangan (Crowl et al. 2008).
Aktivitas perubahan ekologi dan penggunaan lahan, antara lain gangguan
pertanian, deforestasi, pembangunan bendungan, irigasi, modifikasi lahan basah,
pertambangan, urbanisasi, pembuatan jalan, degradasi pantai (Patz et al. 2004).
Perburuan spesies dan deforestasi hutan hujan tropis di dunia berdampak
turunnya kemampuan regenerasi hutan dan kehilangan keanekaragaman
spesies. Deforestasi menimbulkan munculnya agen patogen dan vektor baru
yang sebelumnya tidak diketahui.
Penyakit oleh vektor nyamuk yang timbul
akibat deforestasi adalah demam berdarah dengue, Rift Valley Fever, malaria,
dan water-borne disease like cholera. Di Indonesia, deforestasi menyebabkan
kemunculan wabah malaria (Butler 2006).
Pencegahan dan pengendalian zoonosis yang bersumber satwa liar
memerlukan biaya tinggi (Tabel 9). Otte et al. (2004) melakukan analisis yang
digunakan untuk membuat keputusan dan manajemen pencegahan dan
pengendaliann hama dan penyakit menular melalui (1) analisis risiko (risk
analysis), mengidentifikasi dan menghitung risiko dan memasukkannya dalam
pertimbangan pengambilan keputusan; (2) cost-benefit analysis, menghitung
harga dan keuntungan terhadap pilihan manajemen; (3) risk acceptability,
mengevaluasi risiko yang diperlukan dalam manajemen.
Konsep one health
diperlukan dalam kolaborasi dan kerjasama antara bidang kesehatan manusia,
hewan, dan lingkungan dalam mengendalikan dan mencegah EZ dan REZ.
Kerjasama tersebut melibatkan organisasi dunia, seperti World Organisation of
Animal Health (OIE), World Health Organization (WHO), dan Food and
37
Tabel 9
Biaya yang dikeluarkan dalam pengendalian dan pemberantasan
penyakit zoonotik di beberapa negara
Penyakit
Avian influenza
Negara
Indonesia
Tahun
Biaya yang
dikeluarkan
Pustaka
2003
470 juta dolar
Amerika
Foster (2009)
2003-2004
630 juta dolar
Amerika
Anonim (2011b)
Hong Kong
1997
13 juta dolar
Amerika
Anonim (2008)
HIV/AIDS
Thailand
2000
7.3 miliar dolar
Amerika
Anonim (2008)
Kolera
Peru
1991
700 juta-1.5
miliar dolar
Amerika
Anonim (2008)
Pneumonic
plague
India
1994
1.3 miliar dolar
Amerika
Anonim (2008)
E. coli O157:H7
Jepang
1996
1.5 juta dolar
Amerika
Anonim (2008)
SARS
Cina, Hong Kong,
Singapura,
Kanada
1999-2003
50 miliar dolar
Amerika
Anonim (2008)
Virus Nipah
Malaysia
1999
350-400 miliar
dolar Amerika
Anonim (2008)
Lyme disease
Amerika Serikat
1997
2.5 miliar dolar
Amerika
Anonim (2008)
BSE
Inggris
10-13 miliar dolar
Amerika
Anonim (2008)
BSE
Amerika Serikat
3.5 miliar dolar
Amerika
Anonim (2008)
Vietnam
1994-1996
2003
Agricultural Organization (FAO) dengan kesepakatan membentuk World Trade
Organization (WTO), Sanitary and Phytosanitary (SPS), EMPRES, dan GLEWS
(Otte et al. 2004).
Menurut Leboeuf (2011), Prinsip Manhattan yang menjadi dasar one health
terdiri atas 12 butir, yakni (1) mengetahui hubungan antara kesehatan manusia,
hewan domestik, satwa liar dan ancaman pada timbulnya penyakit manusia,
38
suplai makanan, ekonomi, dan biodiversitas; (2) mengetahui penggunaan lahan
dan air yang berimplikasi pada kesehatan; (3) mengetahui ilmu kesehatan satwa
liar yang penting dalam pencegahan, surveilanss, monitoring, pengendalian dan
mitigasi penyakit global; (4) mengenali program kesehatan manusia yang
berkontribusi terhadap usaha-usaha konservasi; (5) menciptakan pendekatan
adaptif, holistik, dan pandangan ke depan terkait pencegahan, surveilanss,
monitoring, pencegahan, dan mitigasi kemunculan penyakit antar spesies; (6)
mengintegrasikan pandangan konservasi biodiversitas dan kebutuhan manusia
terhadap ancaman penyakit menular; (7) mengurangi permintaan perdagangan
satwa liar dan bushmeat untuk melindungi populasi satwa liar, memperkecil risiko
perpindahan penyakit, penularan lintas spesies, dan perkembangan hubungan
inang dan patogen, perkembangan perdagangan yang mengancam keamanan
sosio-ekonomi global; (8) membatasai pergerakan bebas satwa liar dalam
pengendalian penyakit secara luas; (9) meningkatkan investasi pada infrastruktur
kesehatan manusia dan hewan yang sepadan dengan keseriusan dalam
menangani ancaman penyakit; (10) menjalin hubungan kolaboratif antara
pemerintahan, masyarakat lokal, dan kepentingan umum dalam menangani
kesehatan global dan konservasi; (11) menyediakan sumber daya memadai dan
dukungan untuk surveilans kesehatan satwa liar dan sistem peringatan dini
ancaman EID; (12) mengedukasi dan meningkatkan kewaspadaan antar
manusia di dunia
Medik konservasi adalah suatu disiplin ilmu yang muncul dengan
mengedepankan kaitan antara kesehatan manusia dan hewan dengan
perubahan kesehatan ekosistem dan lingkungan global.
Prinsip utama dari
medik konservasi adalah kesehatan menghubungkan semua spesies sehingga
terjadi hubungan proses ekologik (Aguirre dan Gomez 2009).
Pendekatan
ekosistem pada kesehatan (ecohealth) adalah suatu sistem pendekatan dalam
pemahaman dan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan melalui interaksi
sosial dan ekologi (Nguyen 2011). Ecohealth mengkaji perubahan lingkungan
biologik, fisik, sosial dan ekonomi dan dampaknya terhadap kesehatan manusia.
Ecohealth mempersatukan berbagai kalangan mulai dari dokter, dokter hewan,
ahli konservasi, ahli ekologi, ahli ekonomi, ahli sosial, ahli perencana dan lain
untuk secara komprehensif mempelajari dan memahami bagaimana perubahan
ekosistem secara negatif berdampak kepada kesehatan manusia dan hewan
(Naipospos 2011).
39
Pendekatan konsep one health mendorong upaya kolaboratif dari banyak
disiplin ilmu yang bekerja secara lokal, nasional, dan global untuk mencapai
kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan (AVMA 2008). Medik konservasi
dan ecohealth dimasukkan dalam penelitan dan kurikulum pendidikan kedokteran
hewan di seluruh dunia diharapkan mampu mengubah pola berpikir dan
penekanan dari pengobatan (treatment) ke pencegahan (prevention).
Para
dokter hewan akan mampu bekerja dalam wujud kerja kelompok transdisiplin.
Para profesional veteriner akan mampu mengembangkan alat baru untuk menilai
dan memantau kesehatan lingkungan dan ekologik serta lebih siap untuk
memenuhi peranannya dalam mempertahankan kesehatan global (Aguirre dan
Gomez 2009).
Download