PEMBAHASAN Jumlah dan keanekaragaman spesies satwa liar di seluruh dunia sangat besar dan terdistribusi pada habitat dan ekologi yang berbeda-beda. Keanekaragaman hayati terus mengalami penyusutan, terutama di hutan tropis (Anonim 2011a). kecenderungan Menurut Kementerian Lingkungan Hidup RI (2008), penyusutan keanekaragaman hayati disebabkan oleh penebangan hutan, pengalihan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan, penambangan, perburuan, perdagangan satwa liar, dan introduksi spesies asing invasif (invasive alien species). Kemunculan agen patogen penyebab penyakit dihubungkan dengan perubahan ekologi dan faktor risiko spesifik yang terkait dengan tipe patogen, rute penularan, dan cakupan inang (Woolhouse 2002). Dari 1415 agen patogen penyebab penyakit menular pada manusia yang saat ini diketahui, sekitar 58-61%-nya bersumber pada hewan. Persentase tersebut akan meningkat hingga 73-75% bila EID dan REID yang selama 30 hingga 40 tahun terakhir masih diperhitungkan (Roche dan Guégan 2011). Sebanyak 75% dari jumlah penyakit menular pada manusia bersifat zoonotik (Taylor et al. 2001) yang lebih dikategorikan sebagai EID dan REID (Woolhouse dan Sequera 2005). EZ dan REZ merupakan tantangan besar bagi manusia dan dunia veteriner karena memiliki dampak besar bagi kesehatan masyarakat (Sleeman 2006). Kejadian EZ dan REZ muncul akibat perubahan lingkungan dan peningkatan aktivitas manusia (Smolinski et al. 2003). Perubahan lingkungan sering dikaitkan dengan faktor risiko yang dapat mempengaruhi dinamika infeksi agen patogen zoonotik, yaitu (1) terjadi peningkatan jumlah inang reservoar; (2) peningkatan insidensi infeksi pada inang reservoar; atau (3) perubahan pola, laju, dan frekuensi kontak antara hewan sebagai inang reservoar dan manusia. Pemahaman terhadap faktor-faktor tersebut digunakan untuk menentukan keberhasilan upaya pengendalian penyakit zoonotik (Cleaveland et al. 2007). Patogen yang baru muncul (emerging pathogen) didefinisikan sebagai agen penyebab penyakit menular yang insidensinya meningkat dalam populasi induk semang baru atau populasi induk semang yang telah ada namun mempengaruhi epidemiologi penyakit (Cleaveland et al. 2007). Menurut Jones et al. (2008), patogen penyebab timbulnya EID berasal dari bakteri atau riketsia (54.3%), virus dan prion (25.4%), protozoa (10.7%), cendawan (6.3%), dan cacing (3.3%). Dalam pengklasifikasian tersebut galur individu patogen yang 25 resisten terhadap obat antimikroba dipisahkan sebagai patogen tersendiri karena galur yang berbeda dapat menyebabkan wabah penyakit yang secara signifikan berbeda. Patogen yang menyebabkan penyakit menular pada manusia jarang yang terbatas hanya menularkan ke manusia saja. Kemampuan agen patogen menginfeksi cakupan inang yang luas menjadi faktor risiko bagi kemunculan penyakit baik pada manusia maupun hewan domestik (Cleaveland et al. 2001). Woolhouse dan Sequera (2005) menunjukkan bahwa lebih dari 40% patogen EID dan REID memiliki cakupan spesies luas (tiga atau lebih spesies inang). Sebanyak 77% patogen pada ternak dan 91% patogen pada karnivora domestik menginfeksi lebih dari satu inang (Haydon et al. 2002). Ruminansia, karnivora, rodensia, burung, dan primata merupakan lima kategori hewan utama penular penyakit ke manusia (Roche dan Guégan 2011). Patogen multispesies terdapat pada beberapa populasi inang dengan membentuk reservoar infeksi. Oleh karena itu, kunci penting dalam pengendalian patogen multispesies adalah mengidentifikasi reservoar infeksi (Haydon et al. 2002). Reservoar didefinisikan sebagai satu atau lebih populasi dan lingkungan yang secara epidemiologi terhubung dimana patogen dapat secara permanen dipelihara dan infeksi dapat ditularkan ke target populasi yang terbatas. Reservoar inang infeksi yakni semua inang yang secara epidemiologi terhubung atau berkontribusi pada penularan ke inang target (Haydon et al. 2002). Reservoar infeksi meliputi semua populasi inang, inang antara atau vektor pada lingkungan yang diperlukan untuk mempertahankan agen tanpa batas. Inang insidentil atau inang penghubung adalah inang yang dapat terinfeksi patogen namun tidak ikut berperan dalam pemeliharaan populasi patogen (Ashford 2003). Satwa liar berperan penting sebagai reservoar zoonosis. Saat ini, kepentingan dan pengetahuan mengenai satwa liar sebagai reservoar semakin meningkat karena zoonosis yang bersumber satwa liar menyebabkan permasalahan utama kesehatan masyarakat di dunia (Kruse et al. 2004). Daszak et al. (2000) mengategorikan EID bersumber pada satwa liar berdasarkan epizootiologi menjadi tiga kriteria utama, yakni (1) EID yang terkait dengan hubungan timbal balik (spill-over) dari hewan domestik ke populasi satwa liar yang hidup berdampingan, (2) EID yang terkait secara langsung dengan intervensi manusia melalui translokasi inang atau parasit, serta (3) EID yang timbul tidak ada keterlibatan antara manusia atau hewan domestik. Hal tersebut 26 berimplikasi pada banyaknya spesies satwa liar merupakan reservoar patogen yang mengancam hewan domestik dan manusia, serta EID mengancam konservasi keanekaragaman hayati global. Satwa liar berperan sebagai pangkalan zoonotik (zoonotic pool) patogen yang sebelumnya tidak diketahui. Hal tersebut secara klasik dapat terjadi pada virus influenza yang menyebabkan pandemi pada manusia setelah terjadi perubahan gen antara virus di burung liar dan domestik, babi, serta manusia. Pemahaman proses emergence (baru muncul) memerlukan kajian dinamika mikroorganisme pada populasi reservoar satwa liar, biologi populasi reservoar, serta perubahan demografi dan perilaku manusia (seperti perburuan, produksi ternak) terhadap perubahan lingkungan, seperti deforestasi dan perkembangan pertanian (Wolfe et al. 2005). Risiko kemunculan patogen zoonotik bergantung pada tiga faktor, yaitu (1) keragaman mikroorganisme pada satwa liar dalam suatu wilayah, (2) pengaruh perubahan lingkungan pada prevalensi patogen dalam populasi satwa liar, dan (3) frekuensi kontak manusia dan hewan domestik dengan satwa liar sebagai reservoar penyakit zoonotik. Faktor pertama menjadi perhatian utama ahli virologi, khususnya yang mengkaji kecenderungan evolusi dalam virus-virus yang baru. Faktor kedua dan ketiga menjadi kajian dokter hewan satwa liar, ahli ekologi penyakit, ahli biologi populasi satwa liar, ahli antropologi, ahli ekonomi dan ahli geografi (Wolfe et al. 2005). Menurut Daszak et al. (2000), faktor risiko kemunculan penyakit pada program konservasi sangat kompleks. EID menyebabkan kepunahan spesies terancam punah; mengubah rasio predator, mangsa, kompetitor; serta mengubah habitat melalui fragmentasi dan perubahan iklim global. Agen patogen yang berinduk semang pada satwa liar memiliki risiko relatif (relative risk) lebih tinggi dalam kemunculan penyakit baru (emergence) daripada agen patogen yang memiliki sebaran induk semang yang terbatas (Cleaveland et al. 2007). Deforestasi hutan tropis menyebabkan peningkatan kontak antara satwa liar dan pemburu. Penebangan hutan sekaligus (clear-cut logging) kurang menyebabkan munculnya zoonotik dibandingkan dengan tebang pilih (selective extraction) karena terjadinya kontak antara manusia dan satwa liar relatif kurang dibandingkan dengan tebang pilih. Praktik tebang pilih dapat menjaga kelestarian keragaman hayati satwa liar dibandingkan dengan penebangan hutan sekaligus, yang berarti juga menjaga keragaman patogen zoonotik potensial bagi manusia (Wolfe et al. 2005). 27 Faktor risiko lain yang terkait dengan kemunculan penyakit zoonotik bersumber satwa liar adalah peningkatan konsumsi bushmeat atau daging asal satwa liar di beberapa belahan dunia, terutama Afrika Tengah dan lembah sungai Amazon. Virus simian foamy diidentifikasi sebagai retrovirus yang menginfeksi manusia melalui kontak langsung bushmeat primata non-manusia segar. Hal tersebut mengindikasikan bahwa zoonosis menjadi lebih sering, lebih meluas penyebarannya, dan lebih kontemporer. Retrovirus baru yakni tipe 3 dan 4 penyebab limfotropik-T manusia ditemukan pada pemburu, butcher, dan penjaga monyet dan/atau kera yang digunakan sebagai hewan kesayangan di Kamerun bagian selatan. Permintaan bushmeat, akses luas ke habitat primata, penebangan hutan, dan perburuan di Afrika menyebabkan peningkatan frekuensi paparan retrovirus dari primata ke manusia. Wabah virus Ebola di Afrika bagian barat dikaitkan dengan konsumsi bushmeat simpanse yang telah mati (Chomel et al. 2007). Risiko munculnya zoonosis yang disebabkan oleh perburuan dan konsumsi satwa liar masih menjadi perhatian global karena terkait dengan peningkatan populasi manusia, perdagangan global, dan kontak antara manusia dan hewan. Perburuan satwa liar oleh manusia dapat membawa risiko perpindahan patogen antar spesies (Wolfe et al. 2005). Menurut Chomel et al. (2007), pasar tradisional dan makanan lokal di beberapa negara dikaitkan dengan kemunculan zoonosis baru. Pasar hewan hidup atau dikenal sebagai pasar basah (wet market) merupakan tempat utama dalam mengomersialisasikan unggas dan spesies hewan lainnya. Sebagai contoh adalah epidemi avian influenza di Asia Tenggara pada 2004 dikaitkan secara langsung dengan penjualan burung hidup terinfeksi di pasar tradisional. Burung hidup memfasilitasi menyebaran avian influenza H5N1 yang bersumber dari burung liar. SARS yang disebabkan oleh perdagangan karnivora liar hidup di Cina. Musang yang banyak diperdagangkan berperan sebagai amplifier dari siklus alami virus SARS. Trikinelosis dikaitkan dengan konsumsi daging satwa liar yang dimasak kurang sempuna dari rusa dan babi liar menyebabkan hepatitis E pada pemburu di Jepang. Makanan dengan rasa eksotik baru dihubungkan dengan variasi patogen dan parasit, seperti protozoa (Toxoplasma sp.), trematoda (Fasciola sp., Paragonimus spp.), cestoda (Taenia spp., Diphyllobothrium sp.), dan nematoda (Trichinella spp., Parastrongylus spp., Anisakis sp.). 28 Peningkatan jumlah EID bersumber satwa liar menimbulkan kewaspadaan karena terdapat hubungan yang saling terkait faktor penyebab kemunculan penyakit antara manusia dan satwa liar (Gambar 1). Hubungan paralel antara manusia dan EID pada satwa liar terjadi sudah terjadi sejak lama yang secara global menyebabkan terjadinya penyebaran patogen eksotik. Sebagai contoh adalah introduksi smallpox dan measles oleh bangsa Spanyol ke Amerika melalui perpindahan hewan domestik selama masa penjajahan. Panzootik rinderpest Afrika terjadi karena introduksi, penyebaran, dan dampak dari virulensi patogen eksotik dari Asia pada populasi satwa liar (Daszak et al. 2000). Gambar 1 Hubungan EID antara satwa liar, hewan domestik, dan manusia dengan faktor-faktor yang mempengaruhi (Daszak 2000). Keberadaan inang reservoar terinfeksi dapat memicu kepunahan populasi satwa liar lokal. Translokasi dan introduksi satwa liar ke wilayah geografis baru disamakan dengan peningkatan perjalanan dan perdagangan global yang dapat 29 memicu kemunculan penyakit menular. Sebagian besar penyakit muncul sebagai akibat dari perubahan ekologi inang, agen patogen, atau keduanya. Penularan agen patogen menular dari populasi hewan reservoar (hewan domestik) ke satwa liar diistilahkan dengan spill-over, sebaliknya penularan agen patogen menular dari satwa liar ke hewan domestik yang rentan disebut spillback. Spill-over dan spill-back menjadi ancaman yang membahayakan spesies karena terjadi proses timbal balik patogen antara hewan domestik, satwa liar, dan manusia (Tabel 6). Selain itu, keberadaan inang reservoar terinfeksi dapat menurunkan ambang batas kepadatan patogen dan memicu kepunahan populasi lokal. Contoh spill-over adalah perkembangan populasi manusia dan anjing domestik menyebabkan kemunculan rabies pada anjing liar, sedangkan contoh spill-back adalah bruselosis dapat menular ke elk dan bison akibat hewan ternak domestik merumput di sekeliling habitat satwa liar (Daszak et al. 2000). Virus merupakan agen patogen yang paling sering menyebabkan wabah penyakit pada satwa liar (Tabel 7). Virus RNA lebih banyak menjadi penyebab EID dan REID pada manusia dan hewan dibandingkan dengan virus DNA (Cleaveland et al. 2007). EID dan REID muncul diakibatkan oleh gangguan manusia pada habitat satwa liar, yakni deforestasi, perkembangan pemukiman penduduk, dan pertambangan. Sebagai contoh adalah kemunculan kembali rabies pada manusia oleh gigitan kelelawar vampir di lembah sungai Amazon yang menyebabkan 46 orang meninggal dunia tahun 2004 (Chomel et al. 2007). Perdagangan satwa liar memungkinkan penularan penyakit yang mengancam manusia, peternakan, perdagangan internasional, populasi satwa liar asli, dan kesehatan ekosistem. Perdagangan satwa liar mencakup barter lokal hingga internasional baik secara ilegal informal maupun formal (Karesh et al. 2005). Mamalia, burung, dan reptil liar yang ditampung di pusat perdagangan mengalami kontak dengan manusia dan spesies lainnya sebelum diperdagangkan kembali ke pasar lain atau dikembalikan ke habitatnya sebagai bagian dari ritual agama atau dijadikan hewan peliharaan. Tahun 2001, sebanyak 38 000 mamalia, 365 000 burung, 2 juta reptil, 49 juta amfibi, dan 216 juta ikan diimpor ke Amerika Serikat (Zommers dan Macdonald 2006). Di 30 31 32 33 Tabel 7 A. Contoh virus yang telah muncul sebagai hasil dari lompatan spesies. Bagian A menunjukkan waktu lampau (5000 hingga 10000 tahun lalu) dan bagian B menunjukkan waktu beberapa dekade terakhir (Cleaveland 2007) Waktu lampau Penyakit/patogen Inang asal yang diduga Inang baru Measles Sapi, anjing Manusia Smallpox Sapi, onta Manusia Sapi Manusia Penyakit/patogen Inang asal Inang baru Tahun pertama dilakukannya observasi pada inang baru Feline panleukopenia virus/Canine panleukopenia virus (FPLV/CPV) Kucing Anjing 1978 Simian immunodeficiency virus simpanse (SIV cpz) / HIV-1 Simpanse Manusia 1983 Simian immunodeficiency virus makaka (SIV mac) / HIV-2 Makaka Manusia 1986 Virus distemper Harp seal Harbor seal 1988 Virus Hendra Kelelawar pemakan buah Manusia, kuda 1994 Lyssavirus kelelawar Australia Kelelawar pemakan buah Manusia 1996 Virus Menagle Kelelawar pemakan buah Babi, manusia 1997 Virus Nipah Kelelawar pemakan buah Manusia, babi 1999 Virus distemper anjing Anjing Singa 1994 Sledge dog Crab-eating seal 1955 Anjing/karnivora liar Lake Baikal seal 1987/1988 Anjing/karnivora liar Caspian sea seal 2000 H5N1 influenza A Ayam Manusia 1997 Virus hepatitis E Rusa Manusia 2003 Coronavirus SARS Musang palm Manusia 2003 Common cold B. Beberapa dekade terakhir 34 Afrika, penggunaan satwa liar, seperti cane rat hingga gorila, untuk dijadikan makanan. Peningkatan perdagangan bushmeat dipicu oleh faktor kebudayaan, politik, dan ekonomi (Karesh dan Noble 2009). Di Asia Timur dan Tenggara, puluhan juta satwa liar didatangkan tiap tahun dari regional dan seluruh dunia untuk makanan atau penggunaan obat tradisional. Diperkirakan lebih dari satu miliar kilogram bushmeat diperdagangkan di Afrika Tengah baik untuk konsumsi lokal maupun regional, sedangkan di lembah Sungai Amazon diperdagangkan 67 hingga 164 kilogram bushmeat dengan jumlah mamalia yang dikonsumsi sebanyak 6.4 juta hingga 15.8 juta individu (Karesh et al. 2005). Mekanisme yang digunakan dalam menyediakan satwa liar sebagai bahan pangan, obat, hewan kesayangan, kesenangan baru, dan produk lainnya sangat kompleks dan bervariasi bergantung pada wilayah, penggunaan, dan spesies satwa liar. Di hutan Afrika Tengah, bushmeat menjadi sumber utama protein hewani karena kemampuan keterbasan beternak hewan domestik (Karesh dan Noble 2009). Pemburu satwa liar, pedagang, dan konsumen merupakan golongan manusia yang paling sering kontak dan terpapar satwa liar (Karesh et al. 2005). Bushmeat monyet juga menularkan parasit gastrointestinal, seperti Trichuris sp., Entamoeba coli, Strongyloides fulleborni, dan Ancylostoma spp. di Kamerun. Menurut Pourrut et al. (2010), parasit-parasit tersebut ditularkan ke manusia secara transkutaneus melalui infeksi larva selama penanganan daging (butchering). Kelelawar juga sering digunakan sebagai bushmeat untuk dikonsumsi. Kelelawar memiliki peran signifikan bagi kesehatan karena berperan sebagai inang reservoar beberapa virus (Calisher et al. 2006). Menurut Krauss et al. (2003), kelelawar menularkan virus ke hewan domestik dan manusia melalui kontak, gigitan, dan aerosol (Tabel 8). Translokasi satwa liar dikaitkan dengan penyebaran beberapa zoonosis (Chomel et al. 2007). Program penangkaran satwa bertujuan menjaga keberlangsungan genetik dan kesehatan populasi satwa untuk dilepasliarkan ke alam. Terjadinya translokasi satwa liar untuk kegiatan konservasi, pertanian, dan berburu berisiko terpaparnya spesies satwa liar dengan agen menular eksotik. Translokasi dan penangkaran berpotensi pada perpindahan patogen ke dalam populasi satwa liar yang sebelumnya tidak terpapar (Daszak et al. 2000). 35 36 EZ dan REZ disebabkan pula oleh kerusakan lingkungan melalui introduksi spesies asing invasif (invasive alien species/IAS) dalam suatu wilayah. IAS merupakan spesies yang bukan menjadi spesies asli suatu habitat yang diintroduksi baik secara sengaja maupun tidak disengaja (Sharp et al. 2011). IAS secara sengaja diintroduksi karena faktor ekonomi, lingkungan, dan sosial. IAS merusak spesies asli pada ekosistem secara global, menyebabkan degradasi lingkungan, serta kehilangan habitat bagi spesies yang terancam punah (Stroud 2009). Contoh penyakit yang disebabkan yang terkait dengan IAS adalah H5N1 avian influenza dan SARS yang disebabkan karena introduksi burung liar melalui migrasi dan introduksi karnivora liar ke Cina yang bukan merupakan habitat aslinya akibat perdagangan (Crowl et al. 2008). Aktivitas perubahan ekologi dan penggunaan lahan, antara lain gangguan pertanian, deforestasi, pembangunan bendungan, irigasi, modifikasi lahan basah, pertambangan, urbanisasi, pembuatan jalan, degradasi pantai (Patz et al. 2004). Perburuan spesies dan deforestasi hutan hujan tropis di dunia berdampak turunnya kemampuan regenerasi hutan dan kehilangan keanekaragaman spesies. Deforestasi menimbulkan munculnya agen patogen dan vektor baru yang sebelumnya tidak diketahui. Penyakit oleh vektor nyamuk yang timbul akibat deforestasi adalah demam berdarah dengue, Rift Valley Fever, malaria, dan water-borne disease like cholera. Di Indonesia, deforestasi menyebabkan kemunculan wabah malaria (Butler 2006). Pencegahan dan pengendalian zoonosis yang bersumber satwa liar memerlukan biaya tinggi (Tabel 9). Otte et al. (2004) melakukan analisis yang digunakan untuk membuat keputusan dan manajemen pencegahan dan pengendaliann hama dan penyakit menular melalui (1) analisis risiko (risk analysis), mengidentifikasi dan menghitung risiko dan memasukkannya dalam pertimbangan pengambilan keputusan; (2) cost-benefit analysis, menghitung harga dan keuntungan terhadap pilihan manajemen; (3) risk acceptability, mengevaluasi risiko yang diperlukan dalam manajemen. Konsep one health diperlukan dalam kolaborasi dan kerjasama antara bidang kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan dalam mengendalikan dan mencegah EZ dan REZ. Kerjasama tersebut melibatkan organisasi dunia, seperti World Organisation of Animal Health (OIE), World Health Organization (WHO), dan Food and 37 Tabel 9 Biaya yang dikeluarkan dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonotik di beberapa negara Penyakit Avian influenza Negara Indonesia Tahun Biaya yang dikeluarkan Pustaka 2003 470 juta dolar Amerika Foster (2009) 2003-2004 630 juta dolar Amerika Anonim (2011b) Hong Kong 1997 13 juta dolar Amerika Anonim (2008) HIV/AIDS Thailand 2000 7.3 miliar dolar Amerika Anonim (2008) Kolera Peru 1991 700 juta-1.5 miliar dolar Amerika Anonim (2008) Pneumonic plague India 1994 1.3 miliar dolar Amerika Anonim (2008) E. coli O157:H7 Jepang 1996 1.5 juta dolar Amerika Anonim (2008) SARS Cina, Hong Kong, Singapura, Kanada 1999-2003 50 miliar dolar Amerika Anonim (2008) Virus Nipah Malaysia 1999 350-400 miliar dolar Amerika Anonim (2008) Lyme disease Amerika Serikat 1997 2.5 miliar dolar Amerika Anonim (2008) BSE Inggris 10-13 miliar dolar Amerika Anonim (2008) BSE Amerika Serikat 3.5 miliar dolar Amerika Anonim (2008) Vietnam 1994-1996 2003 Agricultural Organization (FAO) dengan kesepakatan membentuk World Trade Organization (WTO), Sanitary and Phytosanitary (SPS), EMPRES, dan GLEWS (Otte et al. 2004). Menurut Leboeuf (2011), Prinsip Manhattan yang menjadi dasar one health terdiri atas 12 butir, yakni (1) mengetahui hubungan antara kesehatan manusia, hewan domestik, satwa liar dan ancaman pada timbulnya penyakit manusia, 38 suplai makanan, ekonomi, dan biodiversitas; (2) mengetahui penggunaan lahan dan air yang berimplikasi pada kesehatan; (3) mengetahui ilmu kesehatan satwa liar yang penting dalam pencegahan, surveilanss, monitoring, pengendalian dan mitigasi penyakit global; (4) mengenali program kesehatan manusia yang berkontribusi terhadap usaha-usaha konservasi; (5) menciptakan pendekatan adaptif, holistik, dan pandangan ke depan terkait pencegahan, surveilanss, monitoring, pencegahan, dan mitigasi kemunculan penyakit antar spesies; (6) mengintegrasikan pandangan konservasi biodiversitas dan kebutuhan manusia terhadap ancaman penyakit menular; (7) mengurangi permintaan perdagangan satwa liar dan bushmeat untuk melindungi populasi satwa liar, memperkecil risiko perpindahan penyakit, penularan lintas spesies, dan perkembangan hubungan inang dan patogen, perkembangan perdagangan yang mengancam keamanan sosio-ekonomi global; (8) membatasai pergerakan bebas satwa liar dalam pengendalian penyakit secara luas; (9) meningkatkan investasi pada infrastruktur kesehatan manusia dan hewan yang sepadan dengan keseriusan dalam menangani ancaman penyakit; (10) menjalin hubungan kolaboratif antara pemerintahan, masyarakat lokal, dan kepentingan umum dalam menangani kesehatan global dan konservasi; (11) menyediakan sumber daya memadai dan dukungan untuk surveilans kesehatan satwa liar dan sistem peringatan dini ancaman EID; (12) mengedukasi dan meningkatkan kewaspadaan antar manusia di dunia Medik konservasi adalah suatu disiplin ilmu yang muncul dengan mengedepankan kaitan antara kesehatan manusia dan hewan dengan perubahan kesehatan ekosistem dan lingkungan global. Prinsip utama dari medik konservasi adalah kesehatan menghubungkan semua spesies sehingga terjadi hubungan proses ekologik (Aguirre dan Gomez 2009). Pendekatan ekosistem pada kesehatan (ecohealth) adalah suatu sistem pendekatan dalam pemahaman dan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan melalui interaksi sosial dan ekologi (Nguyen 2011). Ecohealth mengkaji perubahan lingkungan biologik, fisik, sosial dan ekonomi dan dampaknya terhadap kesehatan manusia. Ecohealth mempersatukan berbagai kalangan mulai dari dokter, dokter hewan, ahli konservasi, ahli ekologi, ahli ekonomi, ahli sosial, ahli perencana dan lain untuk secara komprehensif mempelajari dan memahami bagaimana perubahan ekosistem secara negatif berdampak kepada kesehatan manusia dan hewan (Naipospos 2011). 39 Pendekatan konsep one health mendorong upaya kolaboratif dari banyak disiplin ilmu yang bekerja secara lokal, nasional, dan global untuk mencapai kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan (AVMA 2008). Medik konservasi dan ecohealth dimasukkan dalam penelitan dan kurikulum pendidikan kedokteran hewan di seluruh dunia diharapkan mampu mengubah pola berpikir dan penekanan dari pengobatan (treatment) ke pencegahan (prevention). Para dokter hewan akan mampu bekerja dalam wujud kerja kelompok transdisiplin. Para profesional veteriner akan mampu mengembangkan alat baru untuk menilai dan memantau kesehatan lingkungan dan ekologik serta lebih siap untuk memenuhi peranannya dalam mempertahankan kesehatan global (Aguirre dan Gomez 2009).