yaitu tingkat proliferasi, PDT dan panjang akson-dendrit dianalisis menggunakan metoda statistik T-test dengan tingkat kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam Kultur Berdasarkan morfologi, sel-sel yang tumbuh dan berkembang dalam kultur primer terdiri dari dua tipe sel yaitu sel saraf dan sel-sel glia. Tipe sel saraf yang teramati dalam kultur adalah sel saraf bipolar dan sel saraf multipolar (Gambar 3). d a A a s d s B Gambar 3 Morfologi sel-sel saraf dalam kultur in vitro, a: akson, d: dendrit, s: badan sel. (A) Sel saraf multipolar. (B) Sel saraf bipolar. Pewarnaan HE. Bar: 10µm. Sel saraf umumnya memiliki morfologi badan sel yang besar dengan penjuluran akson dan dendrit. Morfologi sel saraf mudah diidentifikasi karena dicirikan oleh banyaknya penjuluran panjang yang khas (Junqueira & Carneiro 2005). Sel saraf bipolar memiliki inti sel bulat dengan satu penjuluran akson dan satu penjuluran dendrit. Sel saraf multipolar memiliki morfologi inti sel besar dengan beberapa penjuluran dendrit dan satu penjuluran akson. Penyusun utama jaringan saraf adalah sel saraf dan sel glia (Beresford 2001) dan sel saraf multipolar dan sel saraf bipolar merupakan jenis sel saraf yang sering ditemukan dalam susunan saraf pusat (Junqueira & Carneiro 2005; Cormack 2001). Tidak ditemukannya sel saraf unipolar dalam kultur karena biasanya sel ini berbentuk menyerupai sel saraf bipolar. Ditegaskan pula oleh Beitz dan Fletcher (2006) bahwa sel saraf unipolar berasal dari sel saraf bipolar dan setelah dewasa (mature) akan berkembang menjadi sel saraf bipolar. Sel-sel glia diidentifikasi dengan melihat morfologi, memiliki inti sel yang lebih gelap, dan ukuran yang relatif lebih kecil dari sel saraf. Sel glia yang teramati dalam kultur antara lain astrosit, oligodendrosit, dan mikroglia (Gambar 4). Sel glia terlihat lebih gelap dengan pewarnaan HE akan. Hal ini dikarenakan pada inti sel mengandung banyak kromatin (Beitz & Fletcher 2006). Astrosit memiliki morfologi yang khas dengan penjuluran sitoplasma seperti bintang. Astrosit protoplasmik memiliki inti yang bulat berbeda dengan astrosit fibrous yang memiliki inti sedikit lebar dan memanjang. Oligodendrosit dapat diidentifikasi dari morfologinya yang menyerupai astrosit dengan jumlah penjuluran lebih sedikit dan kecil. Mikroglia memiliki inti sel kecil dan bulat dikelilingi dengan banyak penjuluran berukuran kecil. A B C D Gambar 4 Morfologi sel glia. (A) Astrosit protoplasmik. (B) Astrosit fibrous. (C) Oligodendrosit. (D) Mikroglia. Pewarnaan HE. Bar: 10µm. Beberapa sel glia seperti sel Schwann dan sel ependymal tidak ditemukan dalam pengamatan. Tidak ditemukannya pertumbuhan sel Schwann dalam kultur karena sel tipe ini ditemukan di susunan saraf perifer (Junqueira & Carneiro 2005). Sel-sel ependymal memiliki morfologi yang cukup berbeda dibandingkan sel glia lainnya akan tetapi sel ini juga tidak ditemukan di dalam kultur. Sel ini berbentuk seperti epitel kubus dan kadang memiliki silia (Junqueira & Carneiro 2005). Identifikasi dan karakterisasi sel ini berdasarkan penelitian Gabrion et al. (1998) dilakukan menggunakan transmission electron microscopy (TEM) dan teknik pewarnaan imunositokimia. Sel-sel glia yang ditemukan dalam kultur memiliki fungsi masing-masing yang spesifik. Astrosit berfungsi dalam memberi nutrisi sel saraf, mengontrol sinyal antarneuron, mengatur ion dan metabolisme sel saraf, serta sebagai blood brain barrier (Cormack 2001). Oligodendrosit berfungsi dalam sintesis selubung myelin sedangkan mikroglia berfungsi sebagai makrofag dalam jaringan saraf (Junqueira & Carneiro 2005). Sel saraf berkembang dari progenitor saraf yang belum berdiferensiasi (Svendsen et al. 2001). Progenitor saraf atau neuroblast yang ditemukan dalam kultur memiliki morfologi bulat, bulat dengan disertai penjuluran pendek (bipolar neuroblast), serta berbentuk spindel yang memanjang (Gambar 5). Menurut Tzeng (2002) umumnya neuroblast di dalam kultur berbentuk bulat. Neuroblast akan berkembang menjadi sel saraf dan penjuluran neuroblast pada akhirnya akan membentuk akson dan dendrit (Kalverbour et al. 1999). Gambar 5 Morfologi neuroblast (tanda panah) dengan pengamatan secara natif. Bar: 10 µm. Sel saraf selain dikelilingi oleh berbagai sel glia juga dikelilingi oleh protein transmitter. Protein ini memiliki morfologi bulat, memiliki ukuran kecil, dan menempel pada sel saraf dengan jumlah cukup banyak (Gambar 6). Sel ini dibedakan dengan sel glia dengan melihat morfologi dan cara menempel pada sel saraf. Sel glia menempel pada sel saraf melalui penjuluran-penjulurannya sedangkan protein transmitter tidak memiliki penjuluran. a s n d Gambar 6 Morfologi sel saraf dengan pengamatan secara natif, a: akson, d: dendrit, s: soma, n: inti sel, tanda panah: protein transmitter. Bar: 10 µm. Beberapa sel saraf ditemukan memiliki myelin. Myelin tampak seperti badan sel saraf namun berukuran kecil dan hanya terdapat pada akson (Gambar 7). Antar myelin dipisahkan oleh nodus Ranvier yang merupakan bagian akson yang tidak bermyelin (Agamanolis 2010). Myelin berfungsi untuk melindungi akson dan meningkatkan kecepatan impuls. Pada saraf perifer myelin dibentuk oleh sel Scwann sedangkan pada saraf pusat dibentuk oleh oligodendrosit (Agamanolis 2010). Gambar 7 Sel saraf bipolar dengan akson bermyelin (tanda panah hitam) yang dipisahkan oleh nodus Ranvier (tanda panah merah). Bar: 10 µm. Pertumbuhan Sel Saraf Tingkat Proliferasi dan Population Doubling Time. Jumlah sel yang tumbuh dalam medium mDMEM dengan penambahan ITS secara nyata lebih banyak dibandingkan dengan medium mDMEM (P<0,05). Demikian pula dengan PDT yang dihasilkan pada medium mDMEM+ITS lebih cepat dibandingkan tanpa penambahan ITS (Tabel 1). Tabel 1 Tingkat proliferasi sel yang tumbuh dalam medium mDMEM dan mDMEM+ITS mDMEM Jumlah awal 9,0x104 mDMEM+ITS Jumlah akhir PDT 6,2x105a ±104083 3,9 ± 0,3 Jumlah akhir 8,6x105b ± 28868 PDT 3,2 ± 0,2 Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05). Menurut Freshney (1994) insulin dalam suplemen ITS memiliki fungsi untuk meningkatkan penyerapan glukosa dan asam amino ke dalam sel. Efek mitogenik yang dihasilkan insulin dikarenakan pada sel terdapat reseptor terhadap insulin yaitu insulin-like growth factor receptor (reseptor IGF-1). Adanya transferin dan selenium juga membantu pertumbuhan sel menjadi lebih baik. Transferin diketahui sebagai protein pengangkut zat besi ke dalam sel. Protein ini juga dapat mengoptimalkan pertumbuhan sel melalui proses detoksifikasi terhadap peroksidase dan radikal bebas dalam medium (Freshney 1994). Selenium dalam medium digunakan sebagai antioksidan. Selenium dapat mengoptimalkan pertumbuhan sel melalui aktivasi glutathione peroxidase yang berfungsi dalam detoksifikasi dari radikal bebas. Suplemen ITS selain berfungsi dalam pertumbuhan sel juga dipakai untuk mengurangi penggunaan serum dalam medium (Freshney 1994). Population Doubling Time (PDT) adalah waktu yang diperlukan oleh populasi sel untuk menjadikan jumlahnya dua kali dari jumlah semula. Sel saraf yang dikultur dalam medium dengan dan tanpa ITS menunjukkan kisaran PDT yang normal. Menurut Martin (1994) sel saraf memiliki PDT sekitar 3-4 hari. Proliferasi sel yang cepat ditunjukkan dengan PDT yang rendah. Kultur sel saraf dalam medium dengan ITS menunjukkan nilai PDT yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan ITS ke dalam medium mampu meningkatkan proliferasi sel. Panjang Akson dan Dendrit. Panjang akson dalam medium mDMEM berkisar dari 58-469 µm dengan rata-rata 167,7 µm dan panjang dendrit 20,3-432 µm dengan rata-rata 102,5 µm. Panjang akson dalam medium mDMEM+ITS berkisar dari 52,2-478,5µm dengan rata-rata 211,3 µm dan panjang dendrit 20,3252,3 µm dengan rata-rata 115 µm. Panjang akson dan dendrit dalam medium mDMEM dan mDMEM+ITS tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun demikian secara rataan didapatkan angka lebih besar pada medium mDMEM+ITS (Tabel 2). Tabel 2 Rataan panjang akson dan dendrit pada medium mDMEM dan mDMEM+ITS Parameter akson dendrit Ukuran panjang (µm ) dalam medium mDMEM 167,7 ± 9,6 102,5 ± 6,6 mDMEM+ITS 211,3 ± 36,4 115,0 ± 26,9 Akson dan dendrit dijadikan salah satu parameter ukuran pertumbuhan sel karena sel saraf yang mature dilihat dari ukuran akson dan dendrit yang dimilikinya. Isnaeni (2006) memaparkan bahwa penjuluran dendrit dan akson sangat bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Hasil pengukuran menunjukkan panjang akson dan dendrit yang dihasilkan dari kultur sel saraf memiliki ukuran bervariasi yaitu berkisar antara 20-400 µm. Menurut Korogod dan Dumont (2009) ukuran dendrit yang paling pendek pada tikus adalah 20,803 µm dan dapat mencapai panjang 250-300 µm. Akson umumnya memiliki ukuran lebih panjang daripada dendrit meskipun beberapa neuron ditemukan memiliki ukuran akson yang pendek (Junqueira & Carneiro 2005). Sama seperti dendrit, ukuran akson yang dihasilkan dalam kultur juga bervariasi. Akson tikus berukuran kurang dari 1 mm dan dapat mencapai panjang 1 cm (Barres 1997). Ukuran akson yang dihasilkan dalam kultur relatif lebih pendek. Butler (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan akson dan dendrit dapat menjadi lebih baik dengan penambahan NGF ke dalam kultur. Neuron cukup dapat teramati dengan pewarnaan HE namun penjuluran neuron tidak terwarnai jelas dengan HE (Agamanolis 2010). Akson dan dendrit dapat ditunjukkan dengan lebih jelas dengan pewarnaan silver (Agamanolis 2010). Umumnya pewarnaan silver yang digunakan untuk mewarnai akson dan dendrit adalah Bielschowsky stain (Agamanolis 2010). Komposisi Sel Saraf dan Glia. Hasil kultur in vitro menunjukkan bahwa komposisi rata-rata antara sel saraf dan glia tidak berbeda nyata yaitu masingmasing 47,8% dan 52,2%. (Tabel 3). Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop menunjukkan jumlah sel saraf dan sel glia lebih banyak pada medium mDMEM+ITS dibandingkan dengan dalam medium DMEM namun persentase sel-sel tersebut dalam kedua medium tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa sel yang dihasilkan memiliki komposisi yang sama tetapi berbeda tingkat kepadatannya. Tingkat kepadatan lebih tinggi dihasilkan pada medium mDMEM+ITS. Tabel 3 Persentase sel saraf dan sel glia yang berkembang di dalam kultur (%) Medium Jenis sel Sel saraf Sel glia Rata-rata mDMEM mDMEM+ITS 48,5 ± 10,3 51,5 ± 10,3 47,16 ± 1,06 52,84 ± 1,06 47,8 52,2 Sel glia memiliki persentase lebih banyak daripada sel saraf. Menurut Junqueira & Carneiro (2005) jumlah sel glia 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan sel saraf dan mengisi jaringan saraf sebesar 90% (Beitz dan Fletcher 2006). Sel glia memiliki jumlah lebih banyak karena digunakan untuk membantu pertumbuhan sel saraf melalui absorbsi nutrisi secara optimal. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh jumlah sel glia sedikit lebih banyak daripada sel saraf yaitu 52,2%. Komposisi sel saraf dan sel glia memiliki persentase yang sama pada otak manusia. Pewarnaan HE kurang mampu menggambarkan sel glia secara jelas terutama untuk sel yang berukuran sangat kecil. Penggunaan imunositokimia dalam pewarnaan sel dapat membantu identifikasi sel glia secara jelas (Beitz & Fletcher 2006). Analisis Protein pada Kultur Sel Saraf Otak dengan Menggunakan SDSPAGE Hasil elektroforesis menunjukkan bahwa CM yang dikoleksi dari kultur sel saraf baik dari medium mDMEM maupun mDMEM+ITS menghasilkan tiga pita dengan perkiraan berat molekul (BM) +66, +55 dan +30 kDa yang menunjukkan intensitas pita tebal (Gambar 8). Sampel CM medium dengan penambahan ITS menunjukkan intensitas warna yang lebih gelap pada gel elektroforesis yang mengindikasikan konsentrasi protein yang lebih tinggi. Hal ini selaras dengan hasil pada Tabel 1 yang menunjukkan bahwa jumlah sel yang tumbuh dalam mDMEM+ITS lebih tinggi dibandingkan dengan dalam mDMEM. Jumlah sel yang tinggi akan menghasilkan konsentrasi protein yang tinggi pula. 1 2 3 66,3 kDa 55,4 kDa 36,5 kDa 21,5 kDa 3,5 kDa Gambar 8 Hasil SDS elektroforesis CM kultur sel saraf yang diwarnai dengan silver nitrat. (1) Unstained marker. (2) Sampel mDMEM. (3) Sampel mDMEM+ITS. Sel saraf menghasilkan berbagai macam protein diantaranya protein tau, protein MBP (myelin basic protein), dan protein PLP (proteolipid protein). Protein tau memiliki berat molekul cukup besar yaitu 48-65 kDa (Holzer 2002). Protein yang dihasilkan myelin memiliki berat molekul lebih ringan, misalnya protein MBP yang memiliki berat molekul 21,5 kDa dan protein PLP dengan berat molekul 30 kDa (Quarles et al. 2006). Growth factor yang dihasilkan oleh sel saraf antara lain nerve growth factor (NGF), glial derived neurotrophic factor (GDNF), nestin, dan glial fibrillary acidic protein (GFAP) dengan berat molekul masing-masing 30 kDa (Bocchini dan Angeletti 1969), 39 kDa (Lin 1996), 240 kDa, dan 52 kDa (Jung et al. 2007). Berdasarkan berat molekul tersebut diperkirakan protein yang dihasilkan adalah NGF dan protein PLP, namun perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui secara pasti protein yang dihasilkan tersebut. Salah satu teknik identifikasi yang dapat dilakukan adalah western immunoblotting. Selanjutnya, untuk memisahkan protein dapat digunakan metode isoelectric focusing gel electrophoresis. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kultur sel saraf otak besar menghasilkan sel-sel saraf bipolar dan multipolar serta sel-sel glia berupa astrosit, oligodendrosit, dan mikroglia. Penambahan ITS ke dalam medium mampu meningkatkan proliferasi sel-sel yang berkembang dalam kultur dan menghasilkan protein dengan konsentrasi lebih banyak. Saran Kultur sel saraf menghasilkan protein yang diduga mengandung growth factor tertentu. Oleh karena itu diperlukan identifikasi, purifikasi, dan penghitungan konsentrasi protein tersebut. Peneguhan terhadap identifikasi sel-sel yang berkembang dalam kultur sel saraf dapat dilakukan dengan pewarnaan yang lebih spesifik yaitu imunositokimia. Peneguhan terhadap sekreta protein yang dihasilkan dapat menggunakan metode western immunoblotting.