TINJAUAN PUSTAKA Silase Silase merupakan makanan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi bahan pakan dengan kandungan kadar air tinggi. Tujuan pembuatan silase ini adalah memaksimalkan nutrient yang dapat diawetkan (Sapienza dan Keith 1993) dan pakan dapat lebih tahan lama dalam penyimpanan. Untuk meningkatkan kualitas silase sering ditambahkan bahan aditif yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 yaitu : 1. sebagai stimulan fermentasi dan 2. sebagai inhibitor fermentasi. Zat aditif stimulan fermentasi bekerja membantu pertumbuhan bakteri asam laktat sehingga kondisi asam dapat segera tercapai. Sedangkan inhibitor fermentasi digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk seperti clostridia agar pakan dapat lebih awet. Keberhasilan pembuatan silase adalah memaksimalkan nutrien yang dapat diawetkan. Silase yang baik diperoleh dengan menekan berbagai aktivitas enzim yang berada dalam bahan baku yang tidak dikehendaki, dan dapat mendorong berkembangnya bakteri penghasil asam laktat (Sapienza dan Keith 1993). Selain menghasilkan asam laktat, bakteri ini juga mampu menghasilkan berbagai substansi antimikroba yang potensial seperti asam organik, hidrogen peroksida, diasetil, dan bakteriosin (Cintas et al. 1995). Bakteriosin merupakan substansi protein yang memiliki berat molekul kecil dan memiliki efek antagonis sebagai bakterisidal atau bakteriostatik terhadap pertumbuhan bakteri patogen (Suarsana et al. 2001). Bakteriosin akan terbentuk setelah 10 jam sampai 26 jam selama ensilase, bakteriosin ini memiliki aktivitas optimum pada pH 6, bersifat termostabil pada pH 3-5 dengan pemanasan 121oC selama 15 menit (Suarsana 2001). Namun mekanisme antimikroba dari bakteriosin secara detail masih belum diketahui. Karakteristik silase yang penting dalam hal ini adalah kandungan asam lemak terbangnya (asam asetat, asam propionat dan asam butirat) akan menekan tumbuhnya jamur. Dari ketiga asam lemak terbang tersebut yang paling toksik adalah asam butirat dan yang paling baik adalah asam asetat. Asam butirat dikatakan paling toksik karena memiliki antifungal yang sangat kuat sehingga menyebabkan bakteri clostridial menjadi stabil (McDonald et al. 1991). Asam laktat dapat menekan pertumbuhan jamur meskipun tidak seefektif asam asetat. Secara keseluruhan, semakin besar tingkat fermentasi asam laktat dan asam asetat maka silase tersebut akan semakin stabil dari kondisi aerob. Secara garis besar proses pembuatan silase terdiri dari empat fase : (1). Fase aerob (2). Fase fermentasi (3). Fase stabil dan (4). Fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak. Untuk lebih detail mengenai fase, aktivitas dan produksi dalam fermentasi silase dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Enam fase dari fermentasi silase dan penyimpanannya Suhu (oC) pH Respirasi sel; produksi CO2, panas dan air 15.5 - 32.2 6.5 - 6.0 2-3 Produksi asam asetat dan etanol asam laktat 32.2 - 27.7 6.0 - 5.0 Asam asetat dan bakteri asam laktat III 3-4 Pembentukan asam laktat 32.2 - 27.7 5.0 - 4.0 Bakteri asam laktat IV 4-21 Pembentukan asam laktat 27.7 4.0 Bakteri asam laktat V 21 Penyimpanan materi 27.7 4.0 27.7 4.0-7.0 Fase Umur Silase (hari) I 0-2 II VI Aktivitas Dekomposisi aerobik terhadap produksi oksigen Sumber : Schroeder (2004) Produksi Pembentukan dan aktivitas jamur Selama ini silase pakan hanya digunakan pada ternak ruminansia yaitu sapi perah, karena telah diketahui silase ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain : (1) Ransum lebih awet, (2) Memiliki kandungan bakteri asam laktat (BAL) yang berperan sebagai probiotik, (3) Memiliki kandungan asam organik yang cukup baik, yang berperan sebagai growth promotor dan penghambat penyakit, (4) Kandungan air yang terdapat dalam silase cukup tinggi, kondisi ini sangat bermanfaat bagi ternak. Bakteri Asam Laktat Bakteri asam laktat yang umum digunakan dalam proses fermentasi adalah kelompok Lactobacillus, Pediococcus, Leuconostoc, Enterococcus, Lactococcus and Streptococcus (Stefanie et al. 2000). Bakteri penghasil asam laktat akan memfermentasi gula menjadi asam laktat yang disertai dengan produksi asam asetat, etanol, karbondioksida dan lain-lain. Bakteri ini terbagi kedalam dua ketegori, yaitu yang homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri penghasil asam laktat yang homofermentatif hanya menghasilkan asam laktat dari fermentasi gula, seperti yang terlihat pada Gambar 1. Sumber : http://www.bact.wisc.edu/Microtextbook (1999) Gambar 1. Pembentukan laktat oleh bakteri homofermentatif Fermentasi heterofermentatif, selain menghasilkan asam laktat juga menghasilkan etanol, asam asetat dan karbondioksida, seperti yang terlihat pada Gambar 2. Sumber : http://www.bact.wisc.edu/Microtextbook (1999) Gambar 2. Pembentukan laktat oleh bakteri heterofermentatif Oleh karena asam laktat lebih kuat daripada asam asetat maka bakteri penghasil asam laktat homofermentatif lebih diinginkan daripada heterofermentatif di dalam proses fermentasi karena bakteri homofermentatif akan merombak gula dengan tingkat kehilangan bahan kering sangat kecil serta tingkat kehilangan energinya sangat sedikit. Bakteri asam laktat merupakan golongan mikroorganisme yang bermanfaat karena sifatnya tidak toksik bagi inang dan mampu menghasilkan senyawa yang dapat membunuh mikroorganisme patogen. Sesuai dengan namanya bakteri asam laktat ini menghasilkan asam laktat sebagai hasil metabolismenya yang sangat bermanfaat dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain yang merugikan bagi tubuh. Bakteri asam laktat ini juga memproduksi metabolit sekunder seperti asam hidroksi peroksida, diasetil, amonia, asam lemak dan bakteriosin (Lopez 2000). Produksi bakteriosin ini dapat menghambat perkembangan bakteri patogen (Wiryawan dan Anita 2001). Mekanisme kerja bakteri asam laktat yang dikemukakan oleh Lopez (2000), yaitu menekan kemampuan hidup mikroorganisme patogen karena mampu memproduksi komponen antibakteria seperti hidroksi peroksida dan asam-asam organik seperti asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan tersebut berguna untuk menurunkan pH. Ada beberapa mekanisme kerja yang dilakukan oleh asam laktat sebagai probiotik, yaitu : (1) Berkompetisi dengan mikroorganisme patogen untuk mendapat nutrisi dan tempat tinggal (2) Menjaga keseimbangan ekosistem melalui penjagaan pH lingkungan agar tetap berada dalam kondisi asam, sehingga perkembangan bakteri patogen dapat terhambat (3) Menyediakan kebutuhan enzim-enzim yang mampu mencerna serat kasar, protein, lemak dan karbohidrat (4) Mendetoksifikasi zat beracun dalam tubuh (5) Mampu menstimulasi kekebalan tubuh dengan cara meningkatkan konsentrasi dari antibodi imunoglobulin (Lopez 2000). Bakteri asam laktat dalam pengawetan bahan pakan digunakan dalam proses ensilase yang akan menghasilkan suatu produk yaitu silase. Silase ini dapat dikategorikan sebagai probiotik yang bermanfaat sebagai feed additive dengan beberapa kelebihan sebagai berikut : dapat meningkatkan ketersediaan lemak dan protein bagi ternak, mempertahankan konversi pakan, meningkatkan pertumbuhan berat badan, mampu memperbaiki resistensi penyakit akibat stimulasi dan peningkatan natural immunity, selain itu juga dapat meningkatkan kandungan vitamin B komplek melalui proses fermentasi (McDonald et al. 1991). Genus bakteri asam laktat yang banyak digunakan dalam fermentasi makanan biakan starter adalah genus Lactococcus, Pediococcus, Leuconostoc, Lactobacillus dan Carnobacterium (Nettles dan Barefoot 1993). Berdasarkan proses metabolisme gula, BAL dibagai dalam 3 kelompok, yaitu : 1. obligat homofermentatif (Pediococcus damnosus dan Lactobacillus ruminis), 2. fakultatif heterofermentatif (Lactobacillus plantarum, L. pentosus, Pediococcus acidilactici, P. pentosaceus dan Enterococcus faecium), 3. obligat heterofermentatif (Leuconostoc, dan beberapa Lactobacillus spp., seperti Lactobacillus brevis dan Lactobacillus buchneri). Obligat homofermentatif menghasilkan lebih dari 85% asam laktat dari heksosa (C6) seperti glukosa, tapi tidak dapat memecah pentosa (C5) seperti xylosa. Fakultatif heterofermentatif menghasilkan produk utama asam laktat dari heksosa dan dalam jumlah kecil dapat memecah pentosa menjadi asam laktat dan asam asetat atau etanol. Obligat heterofermentatif dapat memecah heksosa dan pentosa, namun berbeda dengan homofermentatif mereka memecah heksosa menjadi sejumlah equimolar dari asam laktat, CO2 dan asam asetat atau etanol (McDonald et al. 1991). Habitat dari bakteri asam laktat (BAL) sangat beragam dan bertoleran baik terhadap pH, suhu dan udara. BAL bisa bertahan hidup pada kondisi pH yang beragam mulai dari pH 4.0 - 6.8. BAL dari spesies Streptococcus umumnya bertahan pada pH sekitar 4.5 – 5.0. sedangkan untuk spesies Lactobacillus akan tumbuh subur pada media asam mulai dari pH 4.5 – 6.4. Kisaran suhu hidup BAL sangat luas dan beragam mulai dari 5oC – 50oC. Suhu optimal bakteri asam laktat adalah 30oC (untuk strain L. plantarum) dan 37oC (untuk strain L. paracasei) (Koenen et al. 2004). Asam Organik Beberapa asam organik memiliki sifat anti-bakteri. Prinsip dasar kerja asam organik sebagai antibakteri adalah asam organik dapat menembus dinding sel bakteri dan mengganggu fisiologi normal beberapa tipe bakteri. Asam organik dapat berfungsi sebagai growth promotor yang dapat digunakan untuk menstabilkan mikroflora pada saluran pencernaan dan meningkatkan performan secara umum pada unggas (Gauthier 2002). Asam organik meliputi seluruh senyawa asam yang terdiri atas rantai karbon sebagai rantai cabang utama (R-COH) atau yang dikenal sebagai golongan asam karboksilat. Asam-asam karboksilat tersebut umumnya dapat diproduksi oleh mahluk hidup melalui proses metabolisme tubuh. Asam organik dalam saluran pencernaan dapat melakukan proses ionisasi dengan mudah yaitu dengan cara melepaskan ion hidrogen. Peningkatan jumlah ion hidrogen tersebut akan menurunkan pH saluran pencernaan sehingga mikroorganisme yang tidak tahan terhadap kondisi asam akan terhambat pertumbuhannya (Hardy 2003). Pada bakteri yang sensitif terhadap perubahan pH, asam organik menembus dinding sel bakteri sehingga asam organik akan terurai (H+ dan RCOO-), mengakibatkan pH dalam sel akan turun. Pada kondisi tersebut bakteri berusaha melepaskan H+ dari dalam sel agar pH dalam sel menjadi normal, namun proses ini membutuhkan energi yang besar sehingga mengakibatkan bakteri akan berhenti tumbuh dan mati. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Kerja asam organik pada bakteri yang sensitif (Coliform, Clostridis, Salmonella, Listeria spp) terhadap perubahan pH (Gauthier 2002). Beberapa bakteri memiliki struktur dinding sel yang berbeda, dinding sel bakteri yang tidak sensitif terhadap perubahan pH memungkinkan jumlah asam organik yang masuk ke dalam sel bakteri berkurang, sehingga bakteri tersebut lebih tahan terhadap lingkungan asam (Gauthier 2002). organik dapat dilihat pada Gambar 4. Proses pelepasan proton asam Gambar 4. Kerja asam organik pada bakteri yang tidak sensitif (bakteri asam laktat, bifidobakteria) terhadap perubahan pH (Gauthier 2002). Pemanfaatan Bakteri Asam Laktat pada Unggas Bakteri asam laktat (BAL) mampu menghasilkan asam laktat, hidrogen peroksida, antimikroba dan hasil metabolisme lain yang memberikan pengaruh positif bagi produktivitas ternak. BAL yang selama ini digunakan terbukti dapat meningkatkan produktivitas ternak. Pemberian BAL sebagai supplemen diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan bakteri (rasio antara bakteri patogen dan nonpatogen) dalam saluran pencernaan ternak terutama dalam usus. BAL adalah pakan imbuhan dalam bentuk mikroorganisme hidup yang berpengaruh positif pada hewan inang dan dapat meningkatkan keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan unggas. Pemberian BAL pada ayam memiliki dua sasaran, yaitu di saluran pencernaan dan di sekum yang diharapkan dapat menghasilkan senyawa antimikroba sehingga dapat berpengaruh terhadap ternak (Fuller 1992). Watkins dan Miller (1983) menunjukkan adanya penurunan mortalitas pada ayam gnotobiotik yang diberi kultur Lactobacillus acidophilus dua hari sebelum diberi kultur bakteri patogen yaitu Salmonella typhimurium. Suplementasi pakan dengan probiotik ataupun prebiotik nyata meningkatkan bobot badan dan efisiensi serta konversi pakan broiler diusia muda namun tidak berlaku pada broiler berumur lebih dari 2 minggu (Palliyaguru et al. 2004). Penggunaan Antibiotika pada Unggas Broiler mampu mengolah makanannya dengan cepat begitu makanan dikonsumsi. Tingkah laku makan yang seperti ini menyebabkan broiler memiliki laju pertumbuhan yang sangat cepat, selain dipengaruhi oleh genetik, cepatnya laju pertumbuhan juga dipicu oleh adanya growth promotor yang umunya menggunakan senyawa antibiotika. Selain sabagai growth promotor, senyawa antibiotika ini juga dapat meningkatkan efisiensi pakan, alternatif pengobatan dan juga dapat meningkatkan reproduksi ternak. Namun akhir-akhir ini penggunaan antibiotika mulai mengalami penurunan yang sangat drastis, bahkan di beberapa negara telah dilarang penggunaannya sebagai aditif, yaitu : Virginamycin, Tylosin, Spiramycin dan Zinc bacitracyn (Bouliane 2003). Penurunan penggunaan antibiotika ini disebabkan oleh 2 hal utama, yaitu : (1). Antibiotik dapat meninggalkan residu dalam jangka panjang, sehingga dapat membahayakan kesehatan konsumen, (2). Antibiotik menyebabkan mikroorganisme yang berada dalam tubuh manusia ataupun hewan menjadi resisten, terutama bakteri patogen seperti Salmonellae sp, Escherichia coli, dan Clostridium sp. Sehingga penggunaan probiotik sebagai bahan aditif menggantikan antibiotik dalam pakan sebagai growth promotor menjadi suatu pilihan yang tepat. Salmonellosis pada Unggas Salmonellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, dapat terjadi pada ternak maupun manusia. Serotipe bakteri ini potensial bersifat patogen, juga merupakan kontaminan bagi produk ternak seperti daging, telur, dan susu. Salmonellosis merupakan penyakit zoonose ini juga disebut “Food Borne Disease” karena penularannya terjadi melalui makanan dan minuman. Salmonella sp. banyak ditemukan pada saluran pencernaan vertebrata maupun invertebrata, dan juga terdapat pada feses ternak. Bakteri ini juga terdapat pada tembolok broiler sehingga dapat mengkontaminasi karkas (Lee 2000). Salmonella adalah bakteri berbentuk batang langsing. Ukuran lebar Salmonella antara 0.3 – 0.5 µm dan panjang 0.7 – 2.5 µm. Pertumbuhan optimal pada temperatur 37.0 – 37.5oC (Shivaprasad 1997). Di alam bakteri Salmonella tidak tahan hidup lama, terutama bila keadaan sekitarnya kering. Sumber infeksi Salmonella yang paling sering terjadi pada flock unggas diduga berasal dari pakan. Cox et al. (1996) melaporkan bahwa tempat penetasan merupakan sumber penularan Salmonella yang dominan pada peternakan ayam broiler. Infeksi Salmonella terjadi melalui 3 cara yaitu kongenital, oral dan aerogen (Ressang 1984). Secara kongenital yaitu penularan melalui telur, sehingga anak ayam yang menetas melalui telur tersebut akan terinfeksi Salmonella. Infeksi secara oral terjadi melalui pakan dan air minum yang tercemari Salmonella. Sedang aerogen adalah infeksi yang terjadi di dalam mesin penetas telur dimana masa tunas penyakit berkisar antara 1 minggu. Penularan melalui vektor juga lazim terjadi, penyebaran ini terjadi melalui hewan-hewan kecil seperti tikus, lalat, burung liar dan peralatan yang mengandung bakteri Salmonella yang digunakan di dalam kandang (Cox et al. 1996). Daging dan telur unggas merupakan sumber utama tertularnya Salmonella pada manusia. Banyak cara organisme tersebut dapat masuk, menyebar, dan bertahan di dalam tubuh unggas yang pada akhirnya produk yang dihasilkan oleh unggas juga akan terinfeksi oleh Salmonella. Baik perusahaan kecil maupun besar telah menggalakkan kebijakan kontrol dalam mengurangi berkembangnya bakteri Salmonella, jika gagal kemungkinan terinfeksi bakteri Salmonella akan lebih besar. Peningkatan monitoring dan kontrol di dalam kawasan peternakan lebih di fokuskan pada bagian breeding, umumnya lebih menekan berkembangnya S. Enteritidis dan S. Typhimurium. Kawasan breeding, pabrik pakan dan kawasan hatcheries merupakan kawasan utama terjadinya kontaminasi Salmonella. Kontaminasi pada kawasan tersebut umumnya melalui sistem ventilasi (Davis dan Breslin 2004). Bentuk penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella antara lain : fowl typoid, pullorum dan fowl paratyphoid. Pada kasus fowl typoid, akan terjadi hepatitis parenkimatosa yang menyebar dan pada kasus akut akan terjadi distrofi lemak, sedang pada usus dan ginjal akan ditemukan adanya infiltrasi limfosit dan heterofil, sehingga jumlah eritrosit dapat menurun dari 3.5 juta menjadi 1.5 juta per ml dan leukosit akan meningkat dari 18 000 menjadi 240 000 per ml (Tabbu 2000). Pada ayam muda yang mengalami pullorum akan menunjukkan peradangan dan pendarahan pada hati, paru-paru dan ginjal. Demikian pula dengan sekum pada ayam muda ini akan mengalami nekrosis pada mukosa dan submukosa dengan akumulasi nekrosis debris dengan campuran fibrin dan heterofil dalam lumen (Shivaprasad 1997). Perubahan yang terjadi pada kasus fowl paratyphoid adalah adanya pendarahan dan infiltrasi heterofil pada berbagai jaringan seperti hati, limpa, ginjal, usus dan paru-paru (Tabbu 2000). Mekanisme infeksi Salmonella di dalam usus dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Infeksi pada mukosa usus oleh bakteri Salmonella (Giannella 1996) Pada saat Salmonella masuk ke dalam usus halus, maka sel goblet akan menghasilkan mukus yaitu cairan yang berfungsi untuk mengusir benda asing seperti bakteri patogen, jika ternyata mukus ini tidak dapat mengusir bakteri patogen (Salmonella) maka Salmonella ini akan tetap bertahan dan masuk ke dalam sel epitel usus menembus lapisan atas vili. Selanjutnya, Salmonella ini akan dihambat pertumbuhannya oleh sel-sel limfosit, namun jika sel-sel limfosit tidak dapat menghambat pertumbuhan Salmonella maka Salmonella ini akan masuk ke dalam pembuluh darah. Organ Vital dan Usus Halus Organ Vital Organ vital ayam terdiri dari hati, empedu, limpa, jantung, dan bursa fabrisius (North dan Bell 1990). Hati merupakan organ yang berperan dalam sekresi empedu, metabolisme lemak, karbohidrat, zat besi, fungsi detoksifikasi serta berperan dalam metabolisme dan penyerapan vitamin (Ressang 1984). Gejala-gejala klinis pada jaringan hati tidak selalu dapat ditemui, karena hati memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam regenerasi jaringan hati. Persentase hati ayam berkisar antara 1.7–2.8 % dari berat hidup (Putnam 1991). Limpa merupakan organ tubuh komplek dengan banyak fungsi. Fungsi limpa yang utama adalah sebagai penyaring darah dan penyimpanan zat besi untuk dimanfaatkan kembali dalam sintesis hemoglobin (Dellman dan Brown 1989). Selain menyimpan darah, limpa bersama hati dan sumsum tulang berperan dalam pembinasaan eritrosit-eritrosit tua dan ikut serta dalam metabolisme sel limfosit yang berhubungan dengan pembentukan antibodi (Ressang 1984). Ukuran limpa bervariasi dari waktu ke waktu tergantung banyaknya darah di dalam tubuh. Persentase berat limpa ayam normal berkisar antara 0.18–0.23 % dari bobot hidup (Putnam 1991). Pada unggas terdapat dua saluran empedu yang berfungsi untuk menyalurkan isi empedu dari hati ke usus. Fungsi utama empedu adalah mensekresikan kolesterol dan emulsi lemak dengan bantuan asam-asam empedu yang disekresikan oleh hati (Ressang 1984). Usus Halus Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan illeum (Sturkie 1976). Usus halus pada bagian jejenum merupakan tempat terjadinya pencernaan dan penyerapan makanan. Selaput lendir usus halus memiliki jonjot yang lembut dan menonjol seperti jari. Fungsi usus halus selain sebagai penggerak aliran pakan dalam usus juga untuk meningkatkan penyerapan sari makanan (Akoso 1993). Pada usus halus terjadi gerakan peristaltik yang berperan mencampur digesta dengan cairan pankreas dan empedu. Usus halus bagian kripta lieberkuhn menghasilkan enzim amilase, protease, dan lipase yang berfungsi memecah zat makanan menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat diserap tubuh (Moran 1985), selain itu usus halus juga melaksanakan pencernaan kimiawi serta memegang peranan penting dalam transfer material nutrisi dari lumen ke dalam pembuluh darah dan limfe. Peristiwa pencernaan serta penyerapan dalam usus halus ditunjang oleh bentuk-bentuk khusus. Efisiensi penyerapan dapat ditingkatkan oleh tiga bentuk khusus yang memperluas areal penyerapan terhadap isi usus: (1) dua pertiga bagian depan usus halus memiliki plika sirkularis yang menjulur kearah lumen setinggi dua pertiganya. Pada ruminansia, lipatan ini bersifat permanen, tetapi pada hampir semua hewan piaraan lain tampak pada usus yang sedang istirahat (kosong) dan hilang bila usus mengembang. (2) permukaan selaput lendir menunjukkan penjuluran berbentuk jari yang disebut vili. Tinggi vili ini bervariasi (1.5–1.0 µm), tergantung pada daerah serta jenis hewannya. Pada karnivora, vili langsing dan panjang, sedang pada sapi vili pendek dan lebar. (3) permukaan penyebaran ditingkatkan oleh mikrovili. Mikrovili merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel vili (Dellmann dan Brown 1992). Permukaan bagian dalam dari usus halus adalah membran mukosa yang terdiri dari sel epitel kolumnar, beberapa diantaranya akan mengalami modifikasi dan membentuk sel goblet guna produksi mukosa. Luar permukaan membran mukosa yang menyelimuti usus halus meningkat oleh adanya vili yang berguna untuk absorpsi zat makanan (Frandson 1996). Dalam keadaan normal selaput lendir usus terlapisi oleh isi usus yang bercampur dengan getah usus, getah pankreas, empedu, lendir usus dan flora kuman-kuman. Pada usus halus ayam juga ditemukan mikroflora yang merupakan komponen normal dalam saluran pencernaan ayam. Spesies bakteri utama yang ada pada usus halus ayam adalah Lactobacillus sp, Streptococcus sp, dan koliform dengan konsentrasi normal 1014 cfu/ml (Rahardjo 2003). Adanya mikroorganisme dalam usus menyebabkan banyak perubahan anatomis. Umumnya usus halus ayam yang mengandung flora bakteria yang normal lebih panjang dan lebih berat dari pada usus halus ayam yang bebas dari flora bakteri (Wahju 1997). Keberadaan mikroflora dalam usus ini juga didukung dengan kondisi pH usus broiler yang memang cenderung netral, seperti yang terlihat pada Gambar 6. Sehingga sangat mendukung perkembangan berbagai jenis mikroba di dalam usus halus. Gambar 6. pH organ dan saluran pencernaan broiler (Gauthier 2002). Usus halus bagian bawah, terutama sekum ayam mengandung asam lemak terbang dan senyawa lain seperti amonia. Sekum mengandung banyak sekali vitamin B. Akan tetapi vitamin tersebut tidak banyak membantu kebutuhan induk semang karena digunakan untuk biosintesis mikroba (Wahju 1997). Gambaran usus halus normal dapat dilihat pada Gambar 7. Vili hanya terdapat pada usus halus yang berfungsi untuk memperluas permukaan penyerapan, sedang mekanisme penyerapan dilakukan oleh sel-sel penyerap. Resorpsi lemak ditampung dalam pembuluh limfa dan sisanya dalam pembuluh darah.Vili merupakan penjuluran selaput lendir yang menjorok ke dalam lumen usus halus. Pada tiap vili terdapat 3 unsur, yaitu pembuluh limfa, pembuluh darah dan syaraf (Hartono 1982). Serosa Mukosa Sub Mukosa Muskularis Mukosa Kripta Lieberkuhn Sel Goblet Gambar 7. Gambaran mikroskopis usus halus normal broiler Sel goblet melekat dan tersebar secara tidak teratur diantara sel penyerap. Sel goblet akan mengeluarkan mukus yang berfungsi untuk mengusir bakteri patogen yang masuk ke dalam usus. Sel goblet akan semakin banyak jumlahnya di dalam usus halus bagian belakang (Hartono 1982). Kripta lieberkuhn terdapat di dalam tunika propia mulai dari duodenum sampai anus. Kripta lieberkuhn menghasilkan lendir (mukus) dan beberapa enzim yang memecah peptida, lemak dan hidrat arang (Hartono 1982). Salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi usus halus broiler adalah pakan, jika pakan yang dikonsumsikan memiliki kualitas yang baik dan tidak mengandung racun maka usus broiler akan berada dalam kondisi yang cukup baik dan dapat melakukan tugasnya dalam mencerna dan menyerap makanan dengan baik. Namun jika pakan yang diberikan mengandung racun, maka kerusakan pada vili-vili usus akan terjadi. Secara keseluruhan, usus akan selalu merespon setiap pakan yang diberikan.