Performan Dan Histopatologi Usus Halus Broiler

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Silase
Silase merupakan makanan ternak yang dihasilkan melalui proses
fermentasi bahan pakan dengan kandungan kadar air tinggi. Tujuan pembuatan
silase ini adalah memaksimalkan nutrient yang dapat diawetkan (Sapienza dan
Keith 1993) dan pakan dapat lebih tahan lama dalam penyimpanan.
Untuk meningkatkan kualitas silase sering ditambahkan bahan aditif yang
pada dasarnya dibagi menjadi 2 yaitu : 1. sebagai stimulan fermentasi dan 2.
sebagai inhibitor fermentasi. Zat aditif stimulan fermentasi bekerja membantu
pertumbuhan bakteri asam laktat sehingga kondisi asam dapat segera tercapai.
Sedangkan inhibitor fermentasi digunakan untuk menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk seperti clostridia agar pakan dapat lebih awet.
Keberhasilan pembuatan silase adalah memaksimalkan nutrien yang dapat
diawetkan. Silase yang baik diperoleh dengan menekan berbagai aktivitas enzim
yang berada dalam bahan baku yang tidak dikehendaki, dan dapat mendorong
berkembangnya bakteri penghasil asam laktat (Sapienza dan Keith 1993). Selain
menghasilkan asam laktat, bakteri ini juga mampu menghasilkan berbagai
substansi antimikroba yang potensial seperti asam organik, hidrogen peroksida,
diasetil, dan bakteriosin (Cintas et al. 1995). Bakteriosin merupakan substansi
protein yang memiliki berat molekul kecil dan memiliki efek antagonis sebagai
bakterisidal atau bakteriostatik terhadap pertumbuhan bakteri patogen (Suarsana
et al. 2001). Bakteriosin akan terbentuk setelah 10 jam sampai 26 jam selama
ensilase, bakteriosin ini memiliki aktivitas optimum pada pH 6, bersifat
termostabil pada pH 3-5 dengan pemanasan 121oC selama 15 menit (Suarsana
2001). Namun mekanisme antimikroba dari bakteriosin secara detail masih belum
diketahui.
Karakteristik silase yang penting dalam hal ini adalah kandungan asam
lemak terbangnya (asam asetat, asam propionat dan asam butirat) akan menekan
tumbuhnya jamur. Dari ketiga asam lemak terbang tersebut yang paling toksik
adalah asam butirat dan yang paling baik adalah asam asetat. Asam butirat
dikatakan paling toksik karena memiliki antifungal yang sangat kuat sehingga
menyebabkan bakteri clostridial menjadi stabil (McDonald et al. 1991). Asam
laktat dapat menekan pertumbuhan jamur meskipun tidak seefektif asam asetat.
Secara keseluruhan, semakin besar tingkat fermentasi asam laktat dan asam asetat
maka silase tersebut akan semakin stabil dari kondisi aerob.
Secara garis besar proses pembuatan silase terdiri dari empat fase : (1).
Fase aerob (2). Fase fermentasi (3). Fase stabil dan (4). Fase pengeluaran untuk
diberikan pada ternak. Untuk lebih detail mengenai fase, aktivitas dan produksi
dalam fermentasi silase dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Enam fase dari fermentasi silase dan penyimpanannya
Suhu
(oC)
pH
Respirasi sel;
produksi CO2,
panas dan air
15.5 - 32.2
6.5 - 6.0
2-3
Produksi asam
asetat dan etanol
asam laktat
32.2 - 27.7
6.0 - 5.0
Asam asetat
dan bakteri
asam laktat
III
3-4
Pembentukan asam
laktat
32.2 - 27.7
5.0 - 4.0
Bakteri asam
laktat
IV
4-21
Pembentukan asam
laktat
27.7
4.0
Bakteri asam
laktat
V
21
Penyimpanan
materi
27.7
4.0
27.7
4.0-7.0
Fase
Umur Silase
(hari)
I
0-2
II
VI
Aktivitas
Dekomposisi
aerobik terhadap
produksi oksigen
Sumber : Schroeder (2004)
Produksi
Pembentukan
dan aktivitas
jamur
Selama ini silase pakan hanya digunakan pada ternak ruminansia yaitu
sapi perah, karena telah diketahui silase ini memiliki beberapa kelebihan, antara
lain : (1) Ransum lebih awet, (2) Memiliki kandungan bakteri asam laktat (BAL)
yang berperan sebagai probiotik, (3) Memiliki kandungan asam organik yang
cukup baik, yang berperan sebagai growth promotor dan penghambat penyakit,
(4) Kandungan air yang terdapat dalam silase cukup tinggi, kondisi ini sangat
bermanfaat bagi ternak.
Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat yang umum digunakan dalam proses fermentasi adalah
kelompok Lactobacillus, Pediococcus, Leuconostoc, Enterococcus, Lactococcus
and Streptococcus (Stefanie et al. 2000). Bakteri penghasil asam laktat akan
memfermentasi gula menjadi asam laktat yang disertai dengan produksi asam
asetat, etanol, karbondioksida dan lain-lain. Bakteri ini terbagi kedalam dua
ketegori, yaitu yang homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri penghasil
asam laktat yang homofermentatif hanya menghasilkan asam laktat dari
fermentasi gula, seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Sumber : http://www.bact.wisc.edu/Microtextbook (1999)
Gambar 1. Pembentukan laktat oleh bakteri homofermentatif
Fermentasi heterofermentatif, selain menghasilkan asam laktat juga
menghasilkan etanol, asam asetat dan karbondioksida, seperti yang terlihat pada
Gambar 2.
Sumber : http://www.bact.wisc.edu/Microtextbook (1999)
Gambar 2. Pembentukan laktat oleh bakteri heterofermentatif
Oleh karena asam laktat lebih kuat daripada asam asetat maka bakteri
penghasil
asam
laktat
homofermentatif
lebih
diinginkan
daripada
heterofermentatif di dalam proses fermentasi karena bakteri homofermentatif akan
merombak gula dengan tingkat kehilangan bahan kering sangat kecil serta tingkat
kehilangan energinya sangat sedikit.
Bakteri
asam
laktat
merupakan
golongan
mikroorganisme
yang
bermanfaat karena sifatnya tidak toksik bagi inang dan mampu menghasilkan
senyawa yang dapat membunuh mikroorganisme patogen. Sesuai dengan
namanya bakteri asam laktat ini menghasilkan asam laktat sebagai hasil
metabolismenya yang sangat bermanfaat dalam menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lain yang merugikan bagi tubuh. Bakteri asam laktat ini juga
memproduksi metabolit sekunder seperti asam hidroksi peroksida, diasetil,
amonia, asam lemak dan bakteriosin (Lopez 2000). Produksi bakteriosin ini dapat
menghambat perkembangan bakteri patogen (Wiryawan dan Anita 2001).
Mekanisme kerja bakteri asam laktat yang dikemukakan oleh Lopez
(2000), yaitu menekan kemampuan hidup mikroorganisme patogen karena mampu
memproduksi komponen antibakteria seperti hidroksi peroksida dan asam-asam
organik seperti asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan tersebut berguna untuk
menurunkan pH. Ada beberapa mekanisme kerja yang dilakukan oleh asam laktat
sebagai probiotik, yaitu : (1) Berkompetisi dengan mikroorganisme patogen untuk
mendapat nutrisi dan tempat tinggal (2) Menjaga keseimbangan ekosistem melalui
penjagaan pH lingkungan agar tetap berada dalam kondisi asam, sehingga
perkembangan bakteri patogen dapat terhambat (3) Menyediakan kebutuhan
enzim-enzim yang mampu mencerna serat kasar, protein, lemak dan karbohidrat
(4) Mendetoksifikasi zat beracun dalam tubuh (5) Mampu menstimulasi kekebalan
tubuh dengan cara meningkatkan konsentrasi dari antibodi imunoglobulin (Lopez
2000).
Bakteri asam laktat dalam pengawetan bahan pakan digunakan dalam
proses ensilase yang akan menghasilkan suatu produk yaitu silase. Silase ini dapat
dikategorikan sebagai probiotik yang bermanfaat sebagai feed additive dengan
beberapa kelebihan sebagai berikut : dapat meningkatkan ketersediaan lemak dan
protein bagi ternak, mempertahankan konversi pakan, meningkatkan pertumbuhan
berat badan, mampu memperbaiki resistensi penyakit akibat stimulasi dan
peningkatan natural immunity, selain itu juga dapat meningkatkan kandungan
vitamin B komplek melalui proses fermentasi (McDonald et al. 1991).
Genus bakteri asam laktat yang banyak digunakan dalam fermentasi
makanan biakan starter adalah genus Lactococcus, Pediococcus, Leuconostoc,
Lactobacillus dan Carnobacterium (Nettles dan Barefoot 1993). Berdasarkan
proses metabolisme gula, BAL dibagai dalam 3 kelompok, yaitu : 1. obligat
homofermentatif (Pediococcus damnosus dan Lactobacillus ruminis), 2. fakultatif
heterofermentatif (Lactobacillus plantarum, L. pentosus, Pediococcus acidilactici,
P. pentosaceus dan Enterococcus faecium), 3. obligat heterofermentatif
(Leuconostoc, dan beberapa Lactobacillus spp., seperti Lactobacillus brevis dan
Lactobacillus buchneri). Obligat homofermentatif menghasilkan lebih dari 85%
asam laktat dari heksosa (C6) seperti glukosa, tapi tidak dapat memecah pentosa
(C5) seperti xylosa. Fakultatif heterofermentatif menghasilkan produk utama asam
laktat dari heksosa dan dalam jumlah kecil dapat memecah pentosa menjadi asam
laktat dan asam asetat atau etanol. Obligat heterofermentatif dapat memecah
heksosa dan pentosa, namun berbeda dengan homofermentatif mereka memecah
heksosa menjadi sejumlah equimolar dari asam laktat, CO2 dan asam asetat atau
etanol (McDonald et al. 1991).
Habitat dari bakteri asam laktat (BAL) sangat beragam dan bertoleran baik
terhadap pH, suhu dan udara. BAL bisa bertahan hidup pada kondisi pH yang
beragam mulai dari pH 4.0 - 6.8. BAL dari spesies Streptococcus umumnya
bertahan pada pH sekitar 4.5 – 5.0. sedangkan untuk spesies Lactobacillus akan
tumbuh subur pada media asam mulai dari pH 4.5 – 6.4. Kisaran suhu hidup BAL
sangat luas dan beragam mulai dari 5oC – 50oC. Suhu optimal bakteri asam laktat
adalah 30oC (untuk strain L. plantarum) dan 37oC (untuk strain L. paracasei)
(Koenen et al. 2004).
Asam Organik
Beberapa asam organik memiliki sifat anti-bakteri. Prinsip dasar kerja
asam organik sebagai antibakteri adalah asam organik dapat menembus dinding
sel bakteri dan mengganggu fisiologi normal beberapa tipe bakteri. Asam organik
dapat berfungsi sebagai growth promotor yang dapat digunakan untuk
menstabilkan mikroflora pada saluran pencernaan dan meningkatkan performan
secara umum pada unggas (Gauthier 2002). Asam organik meliputi seluruh
senyawa asam yang terdiri atas rantai karbon sebagai rantai cabang utama (R-COH) atau yang dikenal sebagai golongan asam karboksilat.
Asam-asam karboksilat tersebut umumnya dapat diproduksi oleh mahluk
hidup melalui proses metabolisme tubuh. Asam organik
dalam saluran
pencernaan dapat melakukan proses ionisasi dengan mudah yaitu dengan cara
melepaskan ion hidrogen. Peningkatan jumlah ion hidrogen tersebut akan
menurunkan pH saluran pencernaan sehingga mikroorganisme yang tidak tahan
terhadap kondisi asam akan terhambat pertumbuhannya (Hardy 2003).
Pada
bakteri yang sensitif terhadap perubahan pH, asam organik menembus dinding sel
bakteri sehingga asam organik akan terurai (H+ dan RCOO-), mengakibatkan pH
dalam sel akan turun. Pada kondisi tersebut bakteri berusaha melepaskan H+ dari
dalam sel agar pH dalam sel menjadi normal, namun proses ini membutuhkan
energi yang besar sehingga mengakibatkan bakteri akan berhenti tumbuh dan
mati. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kerja asam organik pada bakteri yang sensitif (Coliform,
Clostridis, Salmonella, Listeria spp) terhadap perubahan pH
(Gauthier 2002).
Beberapa bakteri memiliki struktur dinding sel yang berbeda, dinding sel bakteri
yang tidak sensitif terhadap perubahan pH memungkinkan jumlah asam organik
yang masuk ke dalam sel bakteri berkurang, sehingga bakteri tersebut lebih tahan
terhadap lingkungan asam (Gauthier 2002).
organik dapat dilihat pada Gambar 4.
Proses
pelepasan proton asam
Gambar 4. Kerja asam organik pada bakteri yang tidak sensitif (bakteri asam
laktat, bifidobakteria) terhadap perubahan pH (Gauthier 2002).
Pemanfaatan Bakteri Asam Laktat pada Unggas
Bakteri asam laktat (BAL) mampu menghasilkan asam laktat, hidrogen
peroksida, antimikroba dan hasil metabolisme lain yang memberikan pengaruh
positif bagi produktivitas ternak. BAL yang selama ini digunakan terbukti dapat
meningkatkan produktivitas ternak. Pemberian BAL sebagai supplemen
diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan bakteri (rasio antara bakteri
patogen dan nonpatogen) dalam saluran pencernaan ternak terutama dalam usus.
BAL adalah pakan imbuhan dalam bentuk mikroorganisme hidup yang
berpengaruh positif pada hewan inang dan dapat meningkatkan keseimbangan
mikroflora dalam saluran pencernaan unggas.
Pemberian BAL pada ayam memiliki dua sasaran, yaitu di saluran
pencernaan dan di sekum yang diharapkan dapat menghasilkan senyawa
antimikroba sehingga dapat berpengaruh terhadap ternak (Fuller 1992). Watkins
dan Miller (1983) menunjukkan adanya penurunan mortalitas pada ayam
gnotobiotik yang diberi kultur Lactobacillus acidophilus dua hari sebelum diberi
kultur bakteri patogen yaitu Salmonella typhimurium. Suplementasi pakan dengan
probiotik ataupun prebiotik nyata meningkatkan bobot badan dan efisiensi serta
konversi pakan broiler diusia muda namun tidak berlaku pada broiler berumur
lebih dari 2 minggu (Palliyaguru et al. 2004).
Penggunaan Antibiotika pada Unggas
Broiler mampu mengolah makanannya dengan cepat begitu makanan
dikonsumsi. Tingkah laku makan yang seperti ini menyebabkan broiler memiliki
laju pertumbuhan yang sangat cepat, selain dipengaruhi oleh genetik, cepatnya
laju pertumbuhan juga dipicu oleh adanya growth promotor yang umunya
menggunakan senyawa antibiotika. Selain sabagai growth promotor, senyawa
antibiotika ini juga dapat meningkatkan efisiensi pakan, alternatif pengobatan dan
juga dapat meningkatkan reproduksi ternak. Namun akhir-akhir ini penggunaan
antibiotika mulai mengalami penurunan yang sangat drastis, bahkan di beberapa
negara telah dilarang penggunaannya sebagai aditif, yaitu : Virginamycin,
Tylosin, Spiramycin dan Zinc bacitracyn (Bouliane 2003).
Penurunan penggunaan antibiotika ini disebabkan oleh 2 hal utama, yaitu :
(1). Antibiotik dapat meninggalkan residu dalam jangka panjang, sehingga dapat
membahayakan
kesehatan
konsumen,
(2).
Antibiotik
menyebabkan
mikroorganisme yang berada dalam tubuh manusia ataupun hewan menjadi
resisten, terutama bakteri patogen seperti Salmonellae sp, Escherichia coli, dan
Clostridium
sp.
Sehingga
penggunaan
probiotik
sebagai
bahan
aditif
menggantikan antibiotik dalam pakan sebagai growth promotor menjadi suatu
pilihan yang tepat.
Salmonellosis pada Unggas
Salmonellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella, dapat terjadi pada ternak maupun manusia. Serotipe bakteri ini
potensial bersifat patogen, juga merupakan kontaminan bagi produk ternak seperti
daging, telur, dan susu. Salmonellosis merupakan penyakit zoonose ini juga
disebut “Food Borne Disease” karena penularannya terjadi melalui makanan dan
minuman. Salmonella sp. banyak ditemukan pada saluran pencernaan vertebrata
maupun invertebrata, dan juga terdapat pada feses ternak. Bakteri ini juga terdapat
pada tembolok broiler sehingga dapat mengkontaminasi karkas (Lee 2000).
Salmonella adalah bakteri berbentuk batang langsing. Ukuran lebar
Salmonella antara 0.3 – 0.5 µm dan panjang 0.7 – 2.5 µm. Pertumbuhan optimal
pada temperatur 37.0 – 37.5oC (Shivaprasad 1997). Di alam bakteri Salmonella
tidak tahan hidup lama, terutama bila keadaan sekitarnya kering. Sumber infeksi
Salmonella yang paling sering terjadi pada flock unggas diduga berasal dari
pakan. Cox et al. (1996) melaporkan bahwa tempat penetasan merupakan sumber
penularan Salmonella yang dominan pada peternakan ayam broiler.
Infeksi Salmonella terjadi melalui 3 cara yaitu kongenital, oral dan
aerogen (Ressang 1984). Secara kongenital yaitu penularan melalui telur,
sehingga anak ayam yang menetas melalui telur tersebut akan terinfeksi
Salmonella. Infeksi secara oral terjadi melalui pakan dan air minum yang
tercemari Salmonella. Sedang aerogen adalah infeksi yang terjadi di dalam mesin
penetas telur dimana masa tunas penyakit berkisar antara 1 minggu. Penularan
melalui vektor juga lazim terjadi, penyebaran ini terjadi melalui hewan-hewan
kecil seperti tikus, lalat, burung liar dan peralatan yang mengandung bakteri
Salmonella yang digunakan di dalam kandang (Cox et al. 1996).
Daging dan telur unggas merupakan sumber utama tertularnya Salmonella
pada manusia. Banyak cara organisme tersebut dapat masuk, menyebar, dan
bertahan di dalam tubuh unggas yang pada akhirnya produk yang dihasilkan oleh
unggas juga akan terinfeksi oleh Salmonella. Baik perusahaan kecil maupun besar
telah menggalakkan kebijakan kontrol dalam mengurangi berkembangnya bakteri
Salmonella, jika gagal kemungkinan terinfeksi bakteri Salmonella akan lebih
besar. Peningkatan monitoring dan kontrol di dalam kawasan peternakan lebih di
fokuskan pada bagian breeding, umumnya lebih menekan berkembangnya S.
Enteritidis dan S. Typhimurium. Kawasan breeding, pabrik pakan dan kawasan
hatcheries merupakan kawasan utama terjadinya kontaminasi Salmonella.
Kontaminasi pada kawasan tersebut umumnya melalui sistem ventilasi (Davis dan
Breslin 2004).
Bentuk penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella antara lain :
fowl typoid, pullorum dan fowl paratyphoid. Pada kasus fowl typoid, akan terjadi
hepatitis parenkimatosa yang menyebar dan pada kasus akut akan terjadi distrofi
lemak, sedang pada usus dan ginjal akan ditemukan adanya infiltrasi limfosit dan
heterofil, sehingga jumlah eritrosit dapat menurun dari 3.5 juta menjadi 1.5 juta
per ml dan leukosit akan meningkat dari 18 000 menjadi 240 000 per ml (Tabbu
2000).
Pada ayam muda yang mengalami pullorum akan menunjukkan
peradangan dan pendarahan pada hati, paru-paru dan ginjal. Demikian pula
dengan sekum pada ayam muda ini akan mengalami nekrosis pada mukosa dan
submukosa dengan akumulasi nekrosis debris dengan campuran fibrin dan
heterofil dalam lumen (Shivaprasad 1997). Perubahan yang terjadi pada kasus
fowl paratyphoid adalah adanya pendarahan dan infiltrasi heterofil pada berbagai
jaringan seperti hati, limpa, ginjal, usus dan paru-paru (Tabbu 2000).
Mekanisme infeksi Salmonella di dalam usus dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Infeksi pada mukosa usus oleh bakteri Salmonella (Giannella 1996)
Pada saat Salmonella masuk ke dalam usus halus, maka sel goblet akan
menghasilkan mukus yaitu cairan yang berfungsi untuk mengusir benda asing
seperti bakteri patogen, jika ternyata mukus ini tidak dapat mengusir bakteri
patogen (Salmonella) maka Salmonella ini akan tetap bertahan dan masuk ke
dalam sel epitel usus menembus lapisan atas vili. Selanjutnya, Salmonella ini akan
dihambat pertumbuhannya oleh sel-sel limfosit, namun jika sel-sel limfosit tidak
dapat menghambat pertumbuhan Salmonella maka Salmonella ini akan masuk ke
dalam pembuluh darah.
Organ Vital dan Usus Halus
Organ Vital
Organ vital ayam terdiri dari hati, empedu, limpa, jantung, dan bursa
fabrisius (North dan Bell 1990). Hati merupakan organ yang berperan dalam
sekresi empedu, metabolisme lemak, karbohidrat, zat besi, fungsi detoksifikasi
serta berperan dalam metabolisme dan penyerapan vitamin (Ressang 1984).
Gejala-gejala klinis pada jaringan hati tidak selalu dapat ditemui, karena hati
memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam regenerasi jaringan hati.
Persentase hati ayam berkisar antara 1.7–2.8 % dari berat hidup (Putnam 1991).
Limpa merupakan organ tubuh komplek dengan banyak fungsi. Fungsi
limpa yang utama adalah sebagai penyaring darah dan penyimpanan zat besi
untuk dimanfaatkan kembali dalam sintesis hemoglobin (Dellman dan Brown
1989). Selain menyimpan darah, limpa bersama hati dan sumsum tulang berperan
dalam pembinasaan eritrosit-eritrosit tua dan ikut serta dalam metabolisme sel
limfosit yang berhubungan dengan pembentukan antibodi (Ressang 1984).
Ukuran limpa bervariasi dari waktu ke waktu tergantung banyaknya darah di
dalam tubuh. Persentase berat limpa ayam normal berkisar antara 0.18–0.23 %
dari bobot hidup (Putnam 1991).
Pada unggas terdapat dua saluran empedu yang berfungsi untuk
menyalurkan isi empedu dari hati ke usus. Fungsi utama empedu adalah
mensekresikan kolesterol dan emulsi lemak dengan bantuan asam-asam empedu
yang disekresikan oleh hati (Ressang 1984).
Usus Halus
Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan illeum
(Sturkie 1976). Usus halus pada bagian jejenum merupakan tempat terjadinya
pencernaan dan penyerapan makanan. Selaput lendir usus halus memiliki jonjot
yang lembut dan menonjol seperti jari. Fungsi usus halus selain sebagai penggerak
aliran pakan dalam usus juga untuk meningkatkan penyerapan sari makanan
(Akoso 1993).
Pada usus halus terjadi gerakan peristaltik yang berperan mencampur
digesta dengan cairan pankreas dan empedu. Usus halus bagian kripta lieberkuhn
menghasilkan enzim amilase, protease, dan lipase yang berfungsi memecah zat
makanan menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat diserap tubuh
(Moran 1985), selain itu usus halus juga melaksanakan pencernaan kimiawi serta
memegang peranan penting dalam transfer material nutrisi dari lumen ke dalam
pembuluh darah dan limfe.
Peristiwa pencernaan serta penyerapan dalam usus halus ditunjang oleh
bentuk-bentuk khusus. Efisiensi penyerapan dapat ditingkatkan oleh tiga bentuk
khusus yang memperluas areal penyerapan terhadap isi usus: (1) dua pertiga
bagian depan usus halus memiliki plika sirkularis yang menjulur kearah lumen
setinggi dua pertiganya. Pada ruminansia, lipatan ini bersifat permanen, tetapi
pada hampir semua hewan piaraan lain tampak pada usus yang sedang istirahat
(kosong) dan hilang bila usus mengembang. (2) permukaan selaput lendir
menunjukkan penjuluran berbentuk jari yang disebut vili. Tinggi vili ini bervariasi
(1.5–1.0 µm), tergantung pada daerah serta jenis hewannya. Pada karnivora, vili
langsing dan panjang, sedang pada sapi vili pendek dan lebar. (3) permukaan
penyebaran ditingkatkan oleh mikrovili. Mikrovili merupakan penjuluran
sitoplasma pada permukaan bebas epitel vili (Dellmann dan Brown 1992).
Permukaan bagian dalam dari usus halus adalah membran mukosa yang
terdiri dari sel epitel kolumnar, beberapa diantaranya akan mengalami modifikasi
dan membentuk sel goblet guna produksi mukosa. Luar permukaan membran
mukosa yang menyelimuti usus halus meningkat oleh adanya vili yang berguna
untuk absorpsi zat makanan (Frandson 1996). Dalam keadaan normal selaput
lendir usus terlapisi oleh isi usus yang bercampur dengan getah usus, getah
pankreas, empedu, lendir usus dan flora kuman-kuman.
Pada usus halus ayam juga ditemukan mikroflora yang merupakan
komponen normal dalam saluran pencernaan ayam. Spesies bakteri utama yang
ada pada usus halus ayam adalah Lactobacillus sp, Streptococcus sp, dan koliform
dengan konsentrasi normal 1014 cfu/ml (Rahardjo 2003). Adanya mikroorganisme
dalam usus menyebabkan banyak perubahan anatomis. Umumnya usus halus
ayam yang mengandung flora bakteria yang normal lebih panjang dan lebih berat
dari pada usus halus ayam yang bebas dari flora bakteri (Wahju 1997).
Keberadaan mikroflora dalam usus ini juga didukung dengan kondisi pH usus
broiler yang memang cenderung netral, seperti yang terlihat pada Gambar 6.
Sehingga sangat mendukung perkembangan berbagai jenis mikroba di dalam usus
halus.
Gambar 6. pH organ dan saluran pencernaan broiler (Gauthier 2002).
Usus halus bagian bawah, terutama sekum ayam mengandung asam lemak
terbang dan senyawa lain seperti amonia. Sekum mengandung banyak sekali
vitamin B. Akan tetapi vitamin tersebut tidak banyak membantu kebutuhan induk
semang karena digunakan untuk biosintesis mikroba (Wahju 1997). Gambaran
usus halus normal dapat dilihat pada Gambar 7.
Vili hanya terdapat pada usus halus yang berfungsi untuk memperluas
permukaan penyerapan, sedang mekanisme penyerapan dilakukan oleh sel-sel
penyerap. Resorpsi lemak ditampung dalam pembuluh limfa dan sisanya dalam
pembuluh darah.Vili merupakan penjuluran selaput lendir yang menjorok ke
dalam lumen usus halus. Pada tiap vili terdapat 3 unsur, yaitu pembuluh limfa,
pembuluh darah dan syaraf (Hartono 1982).
Serosa
Mukosa
Sub Mukosa
Muskularis
Mukosa
Kripta Lieberkuhn
Sel Goblet
Gambar 7. Gambaran mikroskopis usus halus normal broiler
Sel goblet melekat dan tersebar secara tidak teratur diantara sel penyerap.
Sel goblet akan mengeluarkan mukus yang berfungsi untuk mengusir bakteri
patogen yang masuk ke dalam usus. Sel goblet akan semakin banyak jumlahnya di
dalam usus halus bagian belakang (Hartono 1982).
Kripta lieberkuhn terdapat di dalam tunika propia mulai dari duodenum
sampai anus. Kripta lieberkuhn menghasilkan lendir (mukus) dan beberapa enzim
yang memecah peptida, lemak dan hidrat arang (Hartono 1982).
Salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi usus halus broiler adalah
pakan, jika pakan yang dikonsumsikan memiliki kualitas yang baik dan tidak
mengandung racun maka usus broiler akan berada dalam kondisi yang cukup baik
dan dapat melakukan tugasnya dalam mencerna dan menyerap makanan dengan
baik. Namun jika pakan yang diberikan mengandung racun, maka kerusakan pada
vili-vili usus akan terjadi. Secara keseluruhan, usus akan selalu merespon setiap
pakan yang diberikan.
Download