tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di

advertisement
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam proses perjalanan yang panjang, bangsa Indonesia telah melakukan beberapa proses
politik yang disebut Pemilihan Umum (Pemilu). Tetapi dapat dirasakan bersama bahwa keberhasilan
menyelenggarakan Pemilu tidak segera dapat menyelesaikan persoalan bangsa. Hal ini disebabkan
perilaku elit politik sangat berorientasi kepada kepentingan pribadi dan kelompok sempitnya
(Kristiadi dalam Koirudin, 2004 : 13).
Wilayah politik yang seharusnya menjadi tempat di mana para elit bertanding merebut
dukungan rakyat dengan menawarkan gagasan-gagasan yang berorientasi kepada kepentingan
umum, hanya menjadi ajang perburuan kekuasaan yang didominasi oleh intrik dan akrobat politik
yang mengabaikan norma dan etik serta komitmen kepada kepentingan rakyat. Namun ironisnya
meskipun pada tingkat persaingan memperebutkan pengaruh dapat diibaratkan menghalalkan cara
untuk memperoleh kemenangan, tetapi setelah mereka mendapatkan kedudukan yang diinginkan,
mereka dengan mudah melakukan deal-deal politik dengan bekas lawan-lawan politiknya untuk
membuat oligarki politik.
Sementara itu dalam mewujudkan demokrasi tidak ada pilihan lain kecuali dengan
memulainya dari sebuah Pemilu yang bebas, jujur, adil dan kompetitif. Pengalaman Pemilu pada
Orde Baru sangat traumatik bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka yang memahami
hakekat Pemilu yang demokratik (Gaffar, 2005 : 11).
Salah satu pilar penting demokrasi adalah partisipasi. Jika demokrasi diartikan secara
sederhana sebagai suatu pemerintahan yang berasal dari – dan untuk – rakyat, maka partisipasi
merupakan sarana di mana rakyat dapat menentukan siapa yang memimpin melalui pemilihan
umum, dan apa yang harus dikerjakan oleh pemimpin (pemerintah) melalui keterlibatan dalam
proses pembuatan keputusan politik yang mengikat rakyat banyak.
Dalam hubungannya dengan pengembangan demokrasi, partisipasi masyarakat sebenarnya
tidak hanya sebatas dalam proses menentukan pemimpin dan apa yang harus dilakukan oleh
pemimpin, tetapi juga menentukan proses demokrasi itu sendiri. Dalam proses transisi dan
konsolidasi demokrasi misalnya, masyarakat mempunyai peranan sangat signifikan
dalam
1
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
menentukan percepatan proses transisi dan konsolidasi demokrasi melalui berbagai bentuk
partisipasi dan gerakan sosial lainnya (Hollifield dan Jillson, 2003: 3-20) dalam Asfar (2006 : 12).
Partisipasi politik hanya mungkin terjadi dalam suatu sistem politik yang demokratis. Salah
satu bentuk partisipasi politik yang sangat penting dilakukan oleh warga negara adalah pemilihan
umum. Yang dimaksud pemilihan umum di sini adalah pemilihan legislatif, pemilihan presiden,
termasuk pemilihan kepala daerah (Asfar, 2006 : 12-13). Peserta Pemilu Legislatif adalah Parpol.
Sistem yang digunakan adalah sistem proposional dengan daftar calon terbuka atau semi distrik.
Dalam surat suara tertera tanda gambar parpol yang di bawah tanda gambar parpol bersangkutan
terdapat daftar nama calon wakil yang akan duduk di legislatif. Pemilih diberi kesempatan memilih
salah satu tanda gambar parpol dan calon yang terdapat di bawahnya.
Dari adanya perubahan aturan main tersebut, sejak Pemilu Legislatif 2004 sedikit membawa
angin segar karena adanya dinamika perilaku memilih. Pada tataran masyarakat terjadi
perkembangan yang positif bagi politik di Indonesia ke depan. Pertama, sebagian perilaku pemilih
masyarakat, meskipun masih banyak yang menjadi pendukung fanatik partai politik tertentu, tetapi
sebagian telah mulai bergeser dari pola panutan (tradisional) menjadi lebih rasional. Dalam arti
mereka tidak lagi berorientasi kepada tokoh yang dianggap sebagai panutan atau patronnya. Hal lain
yang dapat disebutkan adalah pergeseran pola tersebut terjadi dari sikap pemilih yang semula
menganggap Pemilu sebagai kewajiban telah mulai bergerak ke arah sikap yang menunjukkan pilihan
mereka di dasari atas kesadaran bahwa memilih itu adalah hak.
Pemilu Legislatif adalah pemilihan untuk calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/
Kota. Pemilu legislatif diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat, mulai dari tingkat pusat,
provinsi dan kabupaten/ kota. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003, tentang Pemilu, pemberian suara
untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/ kota dilakukan dengan mencoblos salah
satu tanda gambar partai politik peserta Pemilu dan mencoblos salah satu calon di bawah tanda
gambar partai politik peserta Pemilu, sedang untuk DPD langsung mencoblos pada tanda gambar
calon yang bersangkutan.
Ketika pemilih akan melakukan pencoblosan, dalam menentukan pilihannya dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan
politik seseorang. Dengan demikian para pemilih bukan hanya pasif tetapi juga aktif, bukan hanya
terbelenggu oleh karakteristik sosiologis tetapi juga bebas bertindak. Faktor- faktor situasional itu
2
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
bisa berupa isu-isu politik atau kandidat yang dicalonkan. Namun meskipun sistem Pemilu sudah
dilakukan perubahan, dari sistem proposional dengan daftar calon tertutup (tanpa daftar calon) ke
sistem proposional dengan daftar calon terbuka, ternyata belum memberikan adanya perubahan
yang berarti. Selain itu sikap apatis dari masyarakat secara umum masih menonjol, ini bila dicermati
terhadap penyelenggaraan Pemilu Legislatif yang telah dilakukan.
Faktor lain berdasarkan pengamatan pendahuluan, dengan melakukan wawancara terhadap
beberapa tokoh masyarakat dan beberapa masyarakat umum, diperoleh suatu gambaran adanya
kejenuhan terhadap Pemilu. Alasan lain, adanya anggapan Pemilu itu hanya merupakan kepentingan
partai politik, belum bisa menampung kepentingan masyarakat yang mempunyai kedaulatan rakyat.
Pandangan lain dari masyarakat adalah Pemilu, dengan sistem baru hanya menghabiskan anggaran
besar, apalagi banyaknya Parpol yang menjadi peserta Pemilu. Lebih parah para wakil rakyat yang
terpilih, sering melupakan kepentingan rakyat yang telah memilihnya.
Sementara itu, masyarakat cenderung masih memiliki pandangan yang kurang baik,
terhadap partai politik. Masih ada anggapan bahwa Pemilu tidak ubahnya hanya sebatas untuk
kepentingan orang-orang Parpol belaka. Sementara aspirasi yang disalurkan lewat Pemilu tidak
pernah tersalurkan melalui wakil-wakilnya.
Berdasarkan fakta di lapangan, beberapa isu atau fenomena muncul terkait partisipasi
masyarakat dalam pemilu yaitu di antaranya adalah :Kehadiran dan ketidakhadiran pemilih di TPS
(Voter turn-out), perilaku memilih (voting behaviour), politik uang (money politics), tingkat melek
politik warga (political literacy) dan kesukarelaan warga dalam politik (political voluntarism).
Tingkat kesukarelaan warga dalam masyarakat (political voluntarism) menjadi isu yang
paling menarik ketika dikaitkan dengan tujuan demokrasi yang menghendaki adanya masyarakat
yang cerdas secara politik, dan tujuan akhir dari pelaksanaan sistem demokrasi untuk mewujudkan
masyarakat madani dapat tercapai.
Khusus untuk Kabupaten Majalengka, berdasarkan data dari KPU Kabupaten Majalengka
bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilgub 2013 adalah 73.08 %, Pilbub 72,23 %, Pileg 2014
75,23 % dan Pilpres 75,76 %. Menurut penjelasan dari KPU Kabupaten Majalengka khususnya untuk
Pileg dan Pilpres 2014 ternyata memenuhi harapan yaitu 75 %, padahal jika dibandingkan dengan
kabupaten lain di wilayah Provinsi Jawa Barat, anggaran untuk sosialisasi termasuk minim akan
tetapi ternyata tingkat partisipasi dibandingkan dengan wilayah lain memiliki keunggulan. Tentunya
3
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
hal ini menjadi fenomen menarik untuk dikaji jika dikaitkan dengan kecerdasan politik warga
Majalengka yang diindikasikan dengan tingkat kesukarelaan warga Majalengka dalam Pemilu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, dapat digambarkan secara
sederhana tingkat partisipasi terhadap Pemilu, sehingga perlunya suatu kajian tentang adanya
tingkat kesukarelaan warga dalam pemilu di Kabupaten Majalengka dan faktor yang
mempengaruhinya.
Oleh karena itu perlu adanya rumusan dan kajian permasalahan. Adapun rumusan
permasalahan kajian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat kesukarelaan masyarakat Kabupaten Majalengka dalam Pemilu 2014?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat kesukarelaan tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui tingkat kesukarelaan masyarakat Kabupaten Majalengka dalam Pemilu 2014..
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesukarelaan masyarakat Majalengka
dalam politik.
D. Manfaat Penelitian
Ada beberapa manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, yaitu :
1. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat Akan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat
dalam usaha untuk
pemahaman terhadap arti pentingnya Pemilu dan pemilihan kepala daerah di masa yang akan
datang. Akan secara langsung dan tidak langsung meningkatkan pengetahuan yang luas bagi
masyarakat dengan sistem Pemilu Legislatif yang baru dalam usaha peningkatan pemberdayaan
masyarakat dalam partisipasi politik melalui Pemilu.
b. Bagi Lembaga Bisa digunakan untuk memberikan sumbangan pikiran kepada KPU Kabupaten
dalam rangka peningkatan partisipasi politik bagi masyarakat dalam menyongsong Pemilu yang
akan datang.
2. Manfaat Teoritis
4
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Akan dapat memberikan gambaran realistis yang terjadi di lapangan terhadap teori
pemikiran tentang keterlibatan masyarakat dalam partisipasi politik khususnya teori partisipasi
masyarakat.
5
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A.
Kajian Teori
1. Partisipasi Politik
a. Pengertian Partisipasi
Keith Davis dan W. Newstrom (1990 : 179) mengartikan partisipasi sebagai keterlibatan
mental dan emosional orang- orang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk
memberikan kontribusi kepada pencapaian tujuan kelompok dan bertanggung jawab dalam
pencapaian tujuan itu. Pendapat tersebut tidak begitu berbeda dengan pendefinisian menurut
Pariata Westra (1987 :17) yang menyatakan bahwa “partisipasi adalah penyertaan pikiran dan emosi
dari pekerjaan ke dalam situasi kelompok yang mendorong agar mereka menyumbangkan
kemampuan ke arah tujuan kelompok yang bersangkutan dan ikut serta bertanggung jawab atas
kelompoknya”. Dari pendapat di atas, ada tiga hal gagasan penting yaitu :
1) Keterlibatan Mental dan Emosional Dalam hal ini keterlibatan bersifat psikologis ketimbang fisik.
Pembedaan partisipasi yang didasarkan pada aktivitas atau didasarkan pada ego-psikologis
dapat dilihat dari apakah tindakan tersebut dilakukan karena tugas , anjuran atau perintah yang
ditetapkan baginya apakah tindakan tersebut dilakukan atas dasar kesadaran dan kesediaan
pribadi.
2)
Motivasi Kontribusi Partisipasi akan memotivasi seseorang untuk memberikan kontribusi.
Kerelaan hati orang-orang akan menyalurkan inisiatif dan kreativitas mereka guna mencapai
tujuan organisasi. Partisipasi berbeda dari kesepakatan yang hanya menggunakan kreativitas
manajer yang mengajukan gagasan kepada kelompok untuk mereka sepakati, para penyepakat
tidak memberikan kontribusi, mereka sekedar menyetujui.
3)
Tunjang Terima tanggung jawab Partisipasi mendorong orang-orang untuk menerima tanggung
jawab dalam aktivitas kelompok. Kemajuan kelompok adalah kemajuan orang-orang dalam
kelompok tersebut. Jadi mereka bertanggung jawab atas maju mundurnya kelompok.
Ada 3 (tiga) alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat penting.
Pertama, masyarakat merupakan suatu alat guna untuk memperoleh informasi mengenai kondisi,
6
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
kebutuhan dan sikap masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta
proyek-proyek akan gagal. Kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program
pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka
lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek
tersebut. Ketiga, partisipasi menjadi penting karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak
demokrasi jika masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat (Diana Conyers dalam
Suparjan dan Hempri, 2003 : 53). Mubyarto dalam Sutrisno (2000: 76) berpendapat bahwa
partisipasi adalah kesediaan untuk membantu setiap program sesuai kemampuan setiap masyarakat
tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Sedangkan partisipasi menurut pandangan
Davis dalam Khairudin (1992) mendefinisikan sebagai keterlibatan mental atau pikiran dan emosi
atau perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan
sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut serta bertanggung jawab
terhadap usaha yang bersangkutan.
Ada 3 (tiga) ide dasar yang dikemukakan Davis, yaitu (a) partisipasi itu keterlibatan mental
dan emosi. Jadi bukan sekedar aktivitas fisik atau lahiriyah saja. Keterlibatan seseorang dalam
kelompok lebih bersifat psikologis daripada fisik. Oleh sebab itu keterlibatannya bukan hanya dalam
suatu tugas akan tetapi berupa keterlibatan diri; (b) ide dari partisipasi adalah motivasi seseorang
untuk memberikan sumbangan yang diwujudkan dalam kesempatan untuk mengembangkan inisiatif
dan kreativitas kearah tercapainya tujuan kelompok. Sehingga parisipasi mempunyai sumbangan
dalam memanfaatkan inisiatif dan kretaivitas dari seluruh anggota kelompok; (c) ide partisipasi
adalah mendorong seseorang agar menerima tanggung jawab dalam aktivitas kelompok. Partisipasi
merupakan proses sosial di antara yang menginginkan kerja berhasil. Perasaan kebersamaan lebih
menonjol dalam menghadapi problema kerja daripada kepentingan diri sendiri. Dengan adanya
partisipasi dapat mendorong masyarakat lebih bertanggung jawab secara sosial.
Wujud partisipasi itu sendiri sebenarnya terungkap pada sikap, tanggapan dan pemikiran
terhadap gejala-gejala dalam kehidupan suatu bangsa yang bernegara. Yang menjadi persoalan
adalah, bagaimana menghidupkan partisipasi positif bagi pembangunan tersebut, dimana rakyat
tanpa merasa terpaksa dan dipaksa, menjadi pendorong sekaligus pelaksana
dari keputusan-
keputusan dan kebijaksanaan pembangunan nasional. Jelas bahwa partisipasi masyarakat
sebenarnya merupakan akibat komunikasi timbal balik yang positif (Rudini dalam Aida Vitayala 1992
: 30).
7
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
b. Jenis dan Bentuk Partisipasi
Partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari yang berupa keikutsertaan
langsung masyarakat dalam program pemerintahan yang sifatnya tidak langsung, seperti berupa
sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuat kebijakan pemerintah
(Carolina, 2005 :1). Namun demikian, ragam dan kadar partisipasi seringkali hanya ditentukan secara
pasif, yakni dari banyaknya individu yang dilibatkan. Padahal partisipasi masyarakat hakekatnya akan
berkaitan dengan akses masyarakat untuk memperoleh informasi. Hingga saat ini partisipasi
masyarakat masih belum menjadi kegiatan tetap dan terlembaga khususnya dalam pembuatan
keputusan. Ada 4 (empat) jenis partisipasi yang dikemukakan oleh Cohen dan Uphoff (Ndara, 1990 :
16), yaitu :
1) Partisipasi dalam pengambilan keputusan, terutama berkaitan dengan alternatif tujuan dari
suatu rencana program. Partisipasi dalam pengambilan keputusan bermacam-macam
seperti kehadiran dalam rapat, sumbangan pikiran, gagasan diskusi dan lain-lain. Dengan
demikian partisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan proses pemilihan alternatif
berasarkan musyawarah untuk mufakat.
2) Partisipasi dalam pelaksanaan merupakan kelanjutan dari rencana yang telah disepakati
sebelumnya, baik yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan tujuan. Di dalam
tahap pelaksanaan suatu program sangat dibutuhkan keterlibatan berbagai unsur,
khususnya pemerintah dalam kedudukannya sebagai fokus atau sumber utama usaha
peningkatan mutu.
3) Partisipasi dalam mengambil manfaat, yang tidak terlepas dari kualitas maupun kuantitas
hasil pelaksanaan program yang bisa dicapai. Dari segi kualitas akan ditandai dengan adanya
peningkatan output, sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat dari besar prosentase
keberhasilan program yang dilaksanakan.
4) Partisipasi dalam evaluasi bertujuan untuk mengetahui apakah pelaksanaan program telah
sesuai dengan rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
atau ada penyimpangan. Partisipasi ini lebih mengedepankan tindakan preventif. Dengan
demikian diharapkan pelaksanan suatu program dapat sesuai aspirasi masyarakat.
Sedangkan menurut Sastro Poetro (1998), jenis-jenis partisipasi antara lain sebagai berikut :
1) Partisipasi buah pikiran yang diberikan dalam bentuk pemikiran, gagasan, rapat-rapat dan
pertemuan, dll. 2) Partisipasi yang diberikan dalam bentuk uang atau kekayaan. 3) Partisipasi yang
8
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
diberikan dalam bentuk tenaga, mengemukakan ketrampilan atau ilmu yang dimiliki. 4) Partisipasi
sosial yang diberikan semata-mata sebagai tanda paguyuban. Supaya berbagai jenis partisipasi dapat
terwujud, maka masyarakat harus bergerak untuk berpartisipaasi. Smith dan Blustain (Ndraha, 1990)
mengemukakan bahwa masyarakat akan berpartisipasi jika : 1) Partisipasi dilakukan melalui
organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada di tengah masyarakat. 2) Partisipasi memberikan
manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan. 3) Manfaat yang diperoleh melalui
partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat. 4) Dalam proses partisipasi itu
terjamin adanya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat.
c. Indikator Partisipasi
Partisipasi tidak sekedar fisik saja, selama ini ada kesan bahwa masyarakat dikatakan sudah
berpartisipasi ketika sudah terlihat secara fisik, seperti mengikuti penyuluhan, mengikuti kerja bakti.
Esensi yang terkandung dalam partisipasi sebenarnya tidak sesempit itu. Inisiatif dan sumbang saran
dari warga masyarakat dikatakan sebagai wujud partisipasi.
Tjokroamidjojo dalam Hempri (2003: 58) mengungkapkan bahwa kaitan partisipasi
masyarakat dengan pembangunan sebagai berikut : 1) Keterlibatan aktif atau partisipasi masyarakat
tersebut dapat berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan
pembangunan yang dilakukan pemerintah. Hal ini terutama berlangsung dalam proses politik tetapi
juga dalam proses sosial hubungan antara kelompok-kelompok kepentingan masyarakat. 2)
Keterlibatan dalam memikul beban dan tanggung jawab dalampelaksanaan pembangunan. Hal ini
dapat berupa sumbangan dalam memobilisasi sumber-sumber pembiayaan dalam pembangunan
dan lain-lain. 3) Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara
berkeadilan.Bagian-bagian daerah maupun golongan-golongan masyarakat tertentu dapat
ditingkatkan keterlibatannya dalam bentuk kegiatan produktif mereka melalui perluasan dan
pembinaan-pembinaan tertentu.
d. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Demokrasi
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan politik melalui Pemilu, khususnya masyarakat
yang telah memiliki hak memilih akan menentukan dalam proses pembangunan politik tersebut.
Menurut Margono dalam Yustina dan Sudrajat (2003), partisipasi masyarakat dalam pembangunan
ialah keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan, ikut kegiatan- kegiatan pembangunan dan ikut
serta memanfaatkan serta menikmati hasil-hasil pembangunan. Partisipasi begitu penting dalam
9
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
sebuah sistem politik demokrasi. Demokrasi itu sendiri mengasumsikan bahwa yang paling
mengetahui tentang apa yang baik bagi seseorang adalah orang itu sendiri. Oleh karena itu
dibutuhkan partisipasi secara terus-menerus dari masyarakat untuk menunjukkan apa yang dianggap
baik bagi dirinya. Upaya masyarakat untuk menunjukkan apa yang dianggap baik (sesuai dengan
aspirasi dan kepentingannya) bisa dilakukan dengan melalui berbagai cara (Asfar,2006: 13).
Menurut Margono dalam Yustina (2003: 8), partisipasi dalam pembangunan dapat dibagi menjadi 5
(lima) macam, yaitu : 1) Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input
tersebut dan ikut menikmati hasilnya. 2) Ikut memberi input dan menikmati hasilnya. 3) Ikut
memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung. 4)
Menikmati (memanfaatkan) hasil pembangunan tanpa ikut memberi input. 5) Memberi input tanpa
menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya.
Dalam pembangunan politik yang menentukan arah bangsa dibangun, partisipasi masyarakat
khususnya yang telah mempunyai hak pilih dalam Pemilu sangat penting. Karena dalam
pembangunan dalam bidang apapun termasuk pembangunan politik melalui Pemilu, tanpa adanya
partisipasi masyarakat,
keberhasilan pembangunan tersebut tidak dapat dapat dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat itu. Dengan demikian proses pembangunan itu dapat dikatan tidak
berhasil. Seperti yang dikemukanan oleh Margono dalam Yustina dan Sudrajat (2003), bahwa ada
tiga syarat yang diperlukan agar masyarakat berpartisipasi, yaitu adanya kesempatan untuk
membangun kesempatan dalam pembangunan, kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan dan
kemauan untuk berpartisipasi. Menurut Himawan S Pambudi (2003 : 60) yang berhubungan dengan
partisipasi dan pemberdayaan, dalam bidang politik adalah menggerakan perubahan sedemikian
rupa, sehingga dipenuhinya syarat minimal bagi sebuah kondisi baru. Syarat yang harus dipenuhi
menyangkut dua hal utama, yakni (1) kepastian mengenai pengakuan hak-hak dasar rakyat untuk
ambil bagian dalam proses politik; (2) adanya suatu kepastian mengenai mekanisme yang
memungkinkan adanya kontrol dari masyarakat terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan.
e. Partisipasi Politik
Partisipasi politik merupakan salah satu dari sejumlah istilah yang memiliki banyak arti,
namun biasanya istilah tersebut diterapkan pada aktivitas orang pada semua tingkat sistem politik,
pemilih berpartisipasi dalam kegiatan kampanye, pemberian suara pada pemilu, berpartisipasi
dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Akan tetapi dalam hal lain, partisipasi politik juga
diterapkan lebih kepada orientasi ketimbang aktivitas (Nie dan Verba, 1975) dalam Hadi (2006 : 19).
10
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Sebagai definisi umum, dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau
kelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih
pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah
(public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum,
menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan
hubungan dengan pejabat pemerintahan atau anggota parlemen dan sebagainya (Budihardjo,
1998:1). Menurut Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Sciences :
“Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka
mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung,
dalam proses pembentukan kebijakan umum” (The term “political participation” will refer to those
voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or
indirectly, in the formation of public policy).
Menurut Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Science :
“
Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung
bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/ atau tindakan-tindakan yang
diambil oleh mereka”. (By political participation we refer to those legal activities by private citizens
which are more or less directly aimed at influencing the selection of government personnel and/ or
the actions they take).
Di negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah
bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk
menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat dan untuk menentukan orang-orang yang
akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari
penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat (Miriam Budihardjo, 1998: 3). Partisipasi
politik ialah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan
kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan yang dimaksud
antara lain mengajukan tuntutan, membayar pajak, melaksanakan keputusan, mengajukan kritik dan
koreksi atas pelaksanaan suatu kebijakan umum dan mendukung atau menentang calon pemimpin
tertentu, mengajukan alternatif pemimpin dan memilih wakil rakyat dalam pemilihan umum. Oleh
karena itu yang dimaksud dengan partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam
menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya (Surbakti, 1992:
141).
11
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Menurut Keyth Fauls (1999: 133) dalam Krisno Hadi (2006: 19), ditegaskan bahwa partisipasi
politik adalah keterlibatan secara aktif (the active engagement) dari individu atau kelompok ke
dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan
keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah. Sehingga dari pengertian partisipasi politik
merupakan pengertian yang luas mencakup aktivitas mendukung atau terlibat dalam suatu
pemerintahan serta aktivitas mendukung atau terlibat dalam suatu pemerintahan serta aktivitas
yang berkaitan dengan penolakan atau beroposisi kepada pemerintah. Bentuk-bentuk partisipasi
politik, menurut Gabriel A Almond dalam Krisno Hadi (2006: 19) dibedakan menjadi kegiatan politik
konvensional dan non konvensional. Bentuk konvensional adalah bentuk partisipasi yang normal
dalam demokrasi modern. Bentuknya meliputi pemberian suara, diskusi politik, kegiatan kampanye,
membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, dan komunikasi individual dengan
pejabat politik dan administratif. Bentuk non konvensional adalah beberapa bentuk yang mungkin
legal (seperti petisi) maupun yang ilegal, penuh kekerasan dan revolusioner. Bentuknya meliputi
pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok, tindakan kekerasan politik terhadap harta
benda, dan tindak kekerasan politik terhadap manusia.
2. Kesukarelaan Politik
Dalam Teori atau Model Voluntarisme Sipil (Civic Volunteerism Model) dijelaskan bahwa
seseorang akan berpartisipasi dalam politik jika memiliki kapasitas atau sumberdaya (resources) dan
hubungan masyarakat (Social network). Di dalam model ini dinyatakan bahwa ada tiga komponen
dalam voluntarisme, yaitu resources (kapasitas), engagement (keterikatan atau pilihan), dan
recruitment (mengajak atau menyuruh memilih). Akan tetapi, kapasitas sendiri lebih menjadi faktor
pendorong voluntarisme, sedangkan engagement dan recruitment menjadi output dari
voluntarisme. Lebih jauh lagi, model menyebutkan bahwa indikator dari kesukarelaan politik adalah
desire to vote (keinginan untuk memilih),
the ability to vote (kemampuan mengambil keputusan
dalam memilih), being asked to vote (menyuruh atau meminta orang lain untuk memilih).
2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik dan kesukarelaan politik
Menurut hasil penelitian Seymour Martin Lipset, dalam Political Man : the Social Bases of
Politics (1960) dalam Miriam Budihardjo (1998 : 10) karakteristik sosial berpengaruh terhadap
partisipasi politik. Karakteristik sosial tersebut meliputi pendapatan, pendidikan, pekerjaan, ras, jenis
12
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
kelamin, umur, tempat tinggal, situasi, status dan organisasi. Berdasarkan tinggi rendahnya faktorfaktor yangg mempengaruhi partisipasi politik seseorang, Paige (1987) membagi partisipasi menjadi
4 (empat) tipe. Pertama, apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada
pemerintah
yang tinggi, maka partisipasi politik
cenderung aktif. Kedua, sebaliknya apabila
kesadaan politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah, maka partisipasi politik cenderung
pasif-tertekan (apatis). Ketiga, berupa militan radikal, yakni apabila kesadaran tinggi tetapi
kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah. Keempat, apabila kesadaran politik sangat rendah,
tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi maka partisipasi tersebut disebut tidak aktif.
Sedangkan menurut Ramlan Surbakti (1992: 144), dijelaskan bahwa faktor-faktor yang diperkirakan
mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang, ialah kesadaran politik dan
kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik). Yang dimaksud dengan kesadaran politik ialah
kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Sedangkan yang dimaksud dengan sikap
dan kepercayaan kepada pemerintah ialah penilaian seseorang terhadap pemerintah. Kedua faktor
di atas menurut Ramlan Surbakti (1992: 144), bukan faktor-faktor yang berdiri sendiri (bukan
variabel yang independen). Artinya, tinggi rendah kedua faktor tersebut dipengaruhi oleh faktorfaktor lain, seperti status sosial dan status ekonomi, afiliasi politik orang tua dan pengalaman
organisasi.
Yang dimaksud dengan status sosial ialah kedudukan seseorang dalam masyarakat karena
keturunan, pendidikan dan pekerjaan. Sedangkan yang dimaksud dengan status ekonomi ialah
kedudukan seseorang dalam pelapisan masyarakat berdasarkan pemilikan kekayaan. Hal ini
diketahui dari pendapatan, pengeluaran, ataupun pemilikan benda-benda berharga.
3. Analisis Jalur
3.1 Sejarah Analisis jalur
Analisis jalur yang dikenal dengan path analysis dikembangkan pertama pada tahun
1920-an oleh seorang ahli genetika yaitu Sewall Wright (Joreskog dan Sorbom, 1996;
Johnson dan Wichern, 1992). Teknik analisis jalur sebenarnya merupakan perkembangan
korelasi yang diuraikan menjadi beberapa interpretasi akibat yang ditimbulkannya. Lebih
lanjut, analisis jalur mempunyai kedekatan dengan regresi berganda. Dengan kata lain,
13
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
regresi berganda merupakan bentuk khusus dari analisis jalur. Teknik ini juga dikenal sebagai
model sebab akibat (causing modeling). Penanaman ini didasarkan pada alas an bahwa
analisis jalur memungkinkan pengguna dapat menguji proposisi teoritis mengenai hubungan
sebab akibat tanpa memanipulasi variabel-variabel (Sarwono, 2007).
1. Definisi Analisis Jalur
Telaah statistika menyatakan bahwa untuk tujuan peramalan atau pendugaan nilai Y
atas dasar nilai-nilai X1, X2, ….., Xi, pola hubungan yang sesuai adalah pola hubungan yang
mengikuti model regresi, sedangkan untuk menganalisis pola hubungan kausal antar variabel
dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung, secara serempak
atau mandiri beberapa variabel penyebab terhadap sebuah variabel akibat, maka pola yang
tepat adalah model analisis jalur. Analisis jalur (path analysis) dikembangkan oleh Sewall
Wright (1934). Path analysis digunakan apabila secara teori kita yakin berhadapan dengan
masalah yang berhubungan sebab akibat. Tujuannya adalah menerangkan akibat langsung
dan tidak langsung seperangkat variabel, sebagai variabel penyebab, terhadap variabel
lainnya yang merupakan variabel akibat. Terdapat beberapa defenisi mengenai analisis jalur,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Analisis jalur adalah suatu teknik untuk menganalisis hubungan sebab akibat yang terjadi
pada regresi berganda jika variabel bebasnya mempengaruhi variabel tergantung tidak
hanya secara langsung, tetapi juga secara tidak langsung (Robert D. Rutherford 1993).
2. Analisis jalur merupakan pengembangan langsung bentuk regresi berganda dengan tujuan
untuk memberikan estimasi tingkat kepentingan (magnitude) dan signifikansi (significance)
hubungan sebab akibat hipotetikal dalam seperangkat variabel (Paul Webley, 1997).
3. Model perluasan regresi yang digunakan untuk menguji keselarasan matriks korelasi
dengan dua atau lebih model hubungan sebab akibat yang dibandingkan oleh peneliti.
Modelnya digambarkan dalam bentuk gambar lingkaran dan panah dimana anak panah
tunggal menunjukkan sebagai penyebab. Regresi dikenakan pada masing-masing variabel
dalam suatu model sebagai variabel tergantung (pemberi respon) sedang yang lain sebagai
penyebab. Pembobotan regresi diprediksikan dalam suatu model yang dibandingkan dengan
matriks korelasi yang diobservasi untuk semua variabel dan juga dilakukan perhitungan uji
keselarasan statistik (David Garson, 2003).
14
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Dari defenisi-defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya analisis jalur
merupakan kepanjangan dari analisis regresi berganda. Jadi, model path analysis digunakan
untuk menganalisis pola hubungan antar variabel dengan tujuan untuk mengetahui
pengaruh langsung maupun tidak langsung seperangkat variabel bebas (eksogen) terhadap
variabel terikat (endogen). Oleh sebab itu, rumusan masalah penelitian dalam kerangka path
analysis berkisar pada:
a. Apakah variabel eksogen (X1, X2, ….., Xk) berpengaruh terhadap variabel endogen Y?
b. Berapa besar pengaruh kausal langsung, kausal tidak langsung, kausal total maupun
simultan seperangkat variabel eksogen (X1, X2, ….., Xk) terhadap variabel endogen?
2. Kegunaan Analisis jalur
Kegunaan model path analysis adalah untuk:
a. Penjelasan terhadap fenomena yang dipelajari atau permasalahan yang diteliti.
b. Prediksi nilai variabel terikat (Y) berdasarkan nilai variabel bebas (X), dan prediksi
dengan path analysis ini bersifat kualitatif.
c. Faktor determinan yaitu penentuan variabel bebas (X) mana yang berpengaruh dominan
terhadap variabel terikat (Y), juga dapat digunakan untuk menelusuri mekanisme (jalur-jalur)
pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y).
d. Pengujian model, menggunakan teori trimming, baik untuk uji reliabilitas konsep yang
sudah ada ataupun uji pengembangan konsep baru.
3. Asumsi-asumsi Analisis Jalur
Berikut adalah asumsi- asumsi dari analisis jalur :
a. Pada model analisis jalur, hubungan antar variabel adalah bersifat linier, adaptif dan
bersifat normal.
b. Hanya system aliran kausal kesatu arah artinya tidak ada arah kausalitas yang berbalik.
c. Variabel terikat (endogen) minimal dalam skala ukur interval dan rasio.
d. Menggunakan sampel probability sampling yaitu teknik pengambilan sampel untuk
memberikan peluang yang sama pada setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota
sampel.
15
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
e. Observed variables diukur tanpa kesalahan instrument pengukuran valid dan reliable
artinya variabel yang diteliti dapat diobservasi secara langsung.
f. Model yang dianalisis dispesifikasikan dengan benar berdasarkan teori-teori dan konsepkonsep yang relevan artinya model teori yang dikaji atau diuji dibangun berdasarkan teoritis
tertentu yang mampu menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang diteliti
4. Model Analisis Jalur
Beberapa istilah dan defenisi dalam path analysis: (1) Dalam path Analysis, kita
hanya menggunakan sebuah lambung variabel, yaitu X. Untuk membedakan X yang satu
dengan X yang lainnya, kita menggunakan subscript (indeks). Contoh : X1, X2, X3, ….., Xk. (2)
Kita membedakan dua jenis variabel, yaitu variabel yang menjadi pengaruh (exogenous
variable), dan variabel yang dipengaruhi (endogenous variable). (3) Lambang hubungan
langsung dari eksogen ke endogen adalah panah bermata satu, yang bersifat recursive atau
arah hubungan yang tidak berbalik/satu arah. (4) Diagram jalur merupakan diagram atau
gambar yang mensyaratkan hubungan terstruktur antar variabel (Harun Al Rasyid, 2005).
Ada beberapa model jalur mulai dari yang paling sederhana sampai dengan yang
lebih rumit, diantaranya diterangkan di bawah ini:
a. Analisa Jalur Model Trimming
Model Trimming adalah model yang digunakan untuk memperbaiki suatu model
struktur analisis jalur dengan cara mengeluarkan dari model variabel eksogen yang koefisien
jalur diuji secara keseluruhan apabila ternyata ada variabel yang tidak signifikan. Walaupun
ada satu, dua, atau lebih variabel yang tidak signifikan, perlu memperbaiki model struktur
analisis jalur yang telah dihipotesiskan.
b. Analisis Jalur Model Dekomposisi
Model dekomposisi adalah model yang menekankan pada pengaruh yang bersifat
kausalitas antar variabel, baik pengaruh langsung ataupun tidak langsung dalam kerangka
path analysis, sedangkan hubungan yang sifatnya nonkausalitas atau hubungan korelasional
yang terjadi antar variabel eksogen tidak termasuk dalam perhitungan ini. Perhitungan
menggunakan analisis jalur dengan menggunakan model dekomposisi pengaruh kausal antar
variabel dapat dibedakan menjadi tiga:
1. Direct causal effects (Pengaruh Kausal Langsung) adalah pengaruh satu variabel eksogen
16
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
terhadap variabel endogen yang terjadi tanpa melalui variabel endogen lain.
2. Indirect causal effects (Pengaruh Kausal Tidak Langsung) adalah pengaruh satu variabel
eksogen terhadap variabel endogen yang terjadi melalui variabel endogen lain terdapat
dalam satu model kausalitas yang sedang dianalisis.
3. Total causal effects (Pengaruh Kausal Total) adalah jumlah dari pengaruh kausal langsung
dan pengaruh kausal tidak langsung.
c. Model Regresi Berganda
Model ini merupakan pengembangan regresi berganda dengan menggunakan dua
variabel eksogenous, yaitu X1 dan X2 dengan satu variabel endogenous Y. model
digambarkan sebagai berikut:
X1
Y
X2
Gambar 1. Model regresi berganda dua variabel
d.Model Mediasi
Model mediasi atau perantara dimana variabel Y memodifikasi pengaruh variabel X
terhadap variabel Z. Model digambarkan sebagai berikut
X
Z
Y
Gambar 2 Model Mediasi
17
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
e. Model Kombinasi Regresi Berganda Dan Mediasi
Model ini merupakan kombinasi antara model regresi berganda dan mediasi, yaitu
variabel X berpengaruh terhadap variabel Z secara langsung dan tidak langsung
mempengaruhi variabel Z melalui variabel Y . Model digambarkan sebagai berikut:
X
Z
Y
Gambar 3. Model Kombinasi Regresi Berganda dan Mediasi
f. Model Kompleks
Model ini merupakan model yang lebih kompleks, yaitu variabel X1 secara langsung
mempengaruhi Y2 dan melalui variabel X2 secara tidak langsung mempengaruhi Y2,
sementara variabel Y2 juga dipengaruhi oleh variabel Y1. Model digambarkan sebagai
berikut:
X1
X2
Y1
Y2
Gambar 4. Model Kompleks
18
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
g. Model Rekursif dan Model Non Rekursif
Dari sisi pandang arah sebab dan akibat, ada dua tipe model jalur, yaitu jalur rekursif dan
non rekursif. Model rekursif ialah jika semua anak panah menuju satu arah seperti gambar dibawah
ini
1
P41
P21
P31
3
4
P32
P42
2
Gambar 5. Model Rekursif
Model tersebut dapat diterangkan sebagai berikut:
1. Anak panah menuju satu arah, yaitu dari 1 ke 2, 3, dan 4; dari 2 ke 3 dan dari 3 menuju ke
4. Tidak ada arah yang terbalik, misalnya dari 4 ke 1.
2. Hanya terdapat satu variabel exogenous, yaitu 1 dan tiga variabel endogenous, yaitu 2, 3,
dan 4. Masing-masing variabel endogenous diterangkan oleh variabel 1 dan error (e2, e3,
dan e4).
3. Satu variabel endogenous dapat menjadi penyebab variabel endogenous lainnya, tetapi
bukan ke variabel exogenous.
Model non rekursif terjadi jika arah anak panah tidak searah atau terjadi arah yang terbalik,
misalnya dari 4 ke 3 atau dari 3 ke 1 dan 2, atau bersifat sebab akibat.
19
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Kesadaran Politik :
Kesadaran akan hak dan
kewajiban sebagai warga
negara
1. Status Sosial
- Usia
- Pekerjaan
- Latar
belakang
keluarga
- Pendidikan
2. Status Ekonomi
- pendapatan
3. Afiliasi Politik
4. Pengalaman Organisasi
Tingkat
kesukarelaan
masyarakat dalam Pemilu
1. Desire to vote
2. The ability to vote
3. Being asked to vote
Kepercayaan
Terhadap
Pemerintah (Sistem Politik)
a. Kinerja Parpol dan
pemerintah
b. Jalannya pemerintahan
c. Dampak Kebijakan
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Penelitian
20
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan mixed method research yang merupakan gabungan antara
metode kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan yang dipakai dalam metode penelitian campuran ini
adalah pendekatan pragmatis, dimana peneliti melihat kepentingan yang besar pada masalah yang
diangkat dalam penelitian (Rossman and Wilson, 1985). Di dalam penelitian ini juga dijelaskan
alasan penggunaan metode campuran serta proses pengambilan data(Tashakkori and Teddlie, 1998).
Metode campuran digunakan dengan alasan agar penelitian ini mendapatkan data yang
komprehensif baik dari lapangan melalui pertanyan-pertanyaan yang dirancang dalam kuesioner
juga dengan menggabungkan data hasi observasi melalui wawancara terbuka kepada pihak-pihak
yang dianggap berpengaruh.
Di dalam penelitian ini juga menggunaan data tambahan seperti data sensus, data observasi,
data mengenai sikap, data berupa dokumen. Peneliti melakukan dua analisa, yaitu analisis statistik
dan juga analisis tulisan serta gambar. Dengan kata lain, metode penelitian campuran dilakukan
dengan pengukuran data secara tertutup yang digabung dengan observasi data terbuka (Creswell,
2003).
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah wilayah Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat.
3.3 Jenis Data
Data yang dikumpulkan dalam pelaksanaan penelitian mencakup data primer dan data
sekunder. Data primer terdiri dari data karakteristik responden, persepsi dan perilaku pemilih,
partisipasi politik. Data primer ini akan didapatkan dari pengisian kuesioner dan dilengkapi dengan
informasi terkait yang didapatkan dari FGD dan wawancara mendalam (indepth interview).
Sedangkan data sekunder di dapat dari data demografi.
Setelah semua data yang diperlukan telah terkumpul, peneliti melaksanakan manajemen
data yang terdiri dari pengolahan, penyuntingan, entri data, pembersihan, dan analisis data. Analisis
data yang dilakukan adalah analisis univariat dari setiap variabel yang diukur, analisis bivariat yang
21
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
akan mengukur hubungan setiap variabel independen serta analisis multivariat untuk mengetahui
variabel independen apa yang paling mempengaruhi variabel dependen.
3.3 Responden
Populasi Penelitian adalah seluruh populasi pemilih di Kabupaten Majalengka, sedangkan
sampel penelitian adalah responden yang diambil secara Multi Stage Cluster Sampling dengan
berdasarkan dua pertimbangan, yaitu 1) jumlah atau prosentase tingkat partisipasi dari wilayah
kecamatan yang dibagi dua, tinggi dan rendah; dan 2) tiga tipologi wilayah, yaitu utara, tengah dan
selatan.
Berdasarkan pertimbangan tipologi wilayah:
1. Wilayah selatan; dengan tingkat partisipasi tertinggi adalah Kecamatan Banjaran (84,46 %) dan
tingkat partisipasi terendah yaitu Kecamatan Malausma (67,45 %).
2. Wilayah Tengah; dengan tingkat partisipasi tertinggi adalah Kecamatan Majalengka (81,59 %)
daan tingkat partisipasi terendah yaitu Kecamatan Sukahaji (72,77 %).
3. Wilayah Utara; dengan tingkat partisipasi tertinggi adalah Kecamatan Kasokandel (79,88 %) dan
tingkat partisipasi terendah yaitu Kecamatan Ligung (70,36 %).
Setelah didapat 6 Kecamatan sebagai lokasi penelitian, maka akan dipilih satu
Desa/Kelurahan dari tiap Kecamatan tersebut secara acak. Terpilih sebagai lokasi adalah Desa
Banjaran, Desa Malausma, Kelurahan Majalengka Kulon, Desa Sukahaji, Desa Kasokandel, dan Desa
Ligung.
Tahap terakhir, setelah didapat lokasi 6 Desa tersebut, ditentukan jumlah responden untuk
satu desa adalah 50 orang, sehingga total responden adalah 300 orang.
3.4 Durasi Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan mulai Bulan Maret sampai dengan Bulan Agustus 2015 dengan
rincian pelaksanaan seperti tabel berikut:
No.
Kegiatan
1.
Penyusunan Proposal Penelitian
2.
Pengumpulan data
3.
Penulisan hasil penelitian
4.
Ekspose hasil penelitian
Bulan
April Mei
Juni
Juli
22
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
3.5 Biaya Penelitian
Sumber biaya penelitian berasal dari anggaran KPU dengan rincian biaya sebagai berikut :
No.
1.
Komponen Biaya
Kajian
pendahuluan
dan
penyusunan
Besaran Biaya (Rp)
proposal
1,000,000,00
a. Biaya enumerasi (survei data) per wilayah @
6,000,000,00
penelitian
2.
Pengumpulan data
Rp. 1 juta (total 6 kelurahan/desa)
b. Biaya pengumpulan data sekunder (fotokopi,
500,000,00
transport dll)
3.
Penulisan hasil penelitian (pengolahan data)
1,000,000,00
4.
Ekspose hasil penelitian
1,000,000,00
5.
Publikasi hasil
Total
500,000,00
10,000,000,00
3.6 Analisis Data
Analisis data menggunakan metode Analisis Jalur (Path Analysis) untuk mengetahui
seberapa besar pengaruh dari faktor-faktor yang telah diduga terhadap tingkat kesukarelaan politik
warga.
Analisis Jalur adalah sebuah metode statistika untuk menganalisis pola hubungan kausal
antar variable dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung atau tidak langsung, secara
serempak atau mandiri beberapa variable penyebab terhadap sebuah variable akibat (Sambas 2007).
Analisis jalur (Path Analysis) dikembangkan oleh Sewall Wright (1934). Path Analysis digunakan
menurut teori apabila kita yakin berhadapan dengan masalah yang berkaitan dengan sebab akibat.
Tujuannya adalah menerangkan akibat langsung dan tidak langsung seperangkat variable, sebagai
variable penyebab, terhadap variable lainnya yang merupakan variable akibat.
23
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
X2
X1
Y
X3
Gambar 7. Pengaruh antar Variabel secara Konseptual pada Penelitian
Tingkat Kesukarelaan Masyarakat Majalengka dalam Pemilu dan Faktor-faktor yang
mempengaruhinya
Hipotesis 1 : X2 = P*x1X1 + e
Hipotesis 2 : X3 = P*x2X2 + e
Hipotesis Y = P*Yx1X1 +P *Yx2 X2 + β *Yx3 X3 + ε dimana
Y= Tingkat Kesukarelaan Politik
X1 = Karakteristik Responden
X2 = Kesadaran Politik
X3 = Kepercayaan Terhadap Pemerintah
Metode jalur ini akan diolah melalui software SPSS.
24
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
3.7 Definisi Operasional Variabel
3.7.1
status sosial ialah kedudukan seseorang dalam masyarakat karena umur,keturunan,
pendidikan dan pekerjaan.
3.7.2
status ekonomi ialah kedudukan seseorang dalam pelapisan masyarakat berdasarkan
pemilikan kekayaan. Hal ini diketahui dari pendapatan, pengeluaran, ataupun
pemilikan benda-benda berharga.
3.7.3
Umur adalah satuan usia responden yang dihitung sejak lahir sampai penelitian ini
dilakukan, dengan skala pengukuran rasio. Pengukuranya adalah dalam tahun pada
ulang tahun terdekat.
3.7.4
Pendidikan formal adalah jumlah tahun pendidikan formal yang pernah diikuti
responden.
3.7.5
Pekerjaan adalah kegiatan rutin sehari-hari yang bernilai ekonomis.
3.7.6
Latar Belakang Keluarga atau keturunan adalah galur silsilah keluarga yang
memberikan keterangan tentang pendahulu.
3.7.7
Pengalaman Berorganisasi adalah jumlah tahun menjadi anggota organisasi.
3.7.8
Kesadaran Politik adalah Kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara
yang diukur dari pengetahuan responden akan hak dan kewajibannya sebagai warga
negara.
3.7.9
Kepercayaan terhadap pemerintah diukur dari Kinerja Parpol dan pemerintah,
Jalannya pemerintahan, dampak Kebijakan
3.7.10 Kesukarelaan Politik adalah kemandirian responden dalam berpolitik yang diukur
dari memiliki minat untuk memilih, kemampuan memilih, dan mengajak orang lain
untuk memilih.
25
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
3.7.2 Operasional Variabel
Tabel 3.1 Operasionalisasi Variabel
Variabel : Sub Variabel
Indikator
Parameter
Satuan/Skor
Karakteristik Responden : Status
Sosial
Umur
≤16, 17 -29, 30 – 39, 40 – 49, ≥ 50
Tahun
Pendidikan formal
Tidak sekolah/buta huruf, SD, SMP,
Rendah = tidak sekolah/buta huruf,
SMA, Sarjana ke atas
sedang = SMP-SMA, tinggi = sarjana
ke atas
Pekerjaan
Pekerjaan utama
PNS, wiraswasta, buruh, petani, Rendah
lainnnya
=
buruh,
sedang
=
wiraswasta,
petani,
tinggi
=
PNS/karyawan kantoran lainnya
Pekerjaan sampingan
Wiraswasta, buruh, petani, lainnnya
Rendah = buruh, sedang = petani,
tinggi = wiraswasta
Keturunan
Memiliki
Ketokohan
generasi
Ya = tinggi, tidak = rendah
pendahulu
Karakteristik Responden : Status
Ekonomi
Pendapatan/penghasilan
< 1 jt,
Rp. 1.000.001 s.d Rp.
Rendah < 1 jt,
Sedang = Rp.
26
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
1.500.000,
Kepemilikan lahan
Rp. 1.500.001 s.d Rp.
1.000.001 s.d Rp. 1.500.000,
Rp.
2.000.000, Rp. 2.000.001 s.d Rp.
1.500.001 s.d Rp. 2.000.000, tinggi =
2.500.000, > Rp. 2.500.000
di atas 2 juta
Kepemilikan
Ya = tinggi, tidak = rendah.
Luasan lahan
Rendah = < 0.25 Ha, sedang = 0.26 –
1 Ha, tinggi = > 1 Ha
Kepemilikan kendaraan
Kepemilikan roda empat
Ya = tinggi, tidak = rendah
Preferensi terhadap parpol tertentu
Ya = tinggi, tidak = rendah
Keanggotaan dalam parpol tertentu
Ya = tinggi, tidak = rendah
Keanggotaan dalam organisasi ttt
Ya = tinggi, tidak = rendah
Lama Berorganisasi
Rendah = < 1 tahun, sedang = 1 s.d 5
Karakteristik responden : Afiliasi
Politik
Afiliasi Politik
Karakteristik
responden
:
Pengalaman Berorganisasi
Pengalaman Berorganisasi
tahun, tinggi = > 5 tahun
Kesadaran Politik
Pengetahuan akan hak-hak WN
Ya = tinggi, tidak = rendah
Tingkat pengetahuan akan hak-hak Jumlah hak-hak WN yang diketahui
Rendah = 1, sedang = 2 s.d 3, tinggi =
27
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
WN
>3
Pengetahuan akan kewajiban WN
Ya = tinggi, tidak = rendah
Tingkat
Kepercayaan Terhadap Pemerintah
pengetahuan
akan Jumlah
kewajiban
yang Rendah = 1, sedang = 2 s.d 3, tinggi =
kewajiban WN
diketahui
>3
Prestasi Pemerintah
Persepsi akan prestasi yang pernah Ya= tinggi, tidak tahu= sedang, tidak
dicapai pemerintah
Prestasi Parpol
Evaluasi kinerja pemerintah
Minat untuk memilih
= rendah
Persepsi akan kinerja yang pernah Ya= tinggi, tidak tahu= sedang, tidak
dicapai pemerintah
Evaluasi kinerja parpol
= rendah
Persepsi akan prestasi yang pernah Ya= tinggi, tidak tahu= sedang, tidak
dicapai parpol
Tingkat Kesukarelaan Politik
WN
= rendah
Persepsi akan kinerja yang pernah Ya= tinggi, tidak tahu= sedang, tidak
dicapai parpol
= rendah
Kedatangan ke TPS
Tinggi
=
Ya,
datang
dengan
kesadaran sendiri, sedang = Ya,
datang dengan ajakan orang lain,
rendah = tidak datang ke TPS
Kemampuan untuk memilih
Penggunaan hak suara
Tinggi = ya, rendah = tidak
Memiliki pilihan sendiri
Tinggi = ya, rendah = tidak
Pilihan
sendiri
berdasarkan Tinggi = Ya, berdasarkan pemikiran
28
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
pemikiran sendiri atau pihak lain
sendiri, rendah = tidak, ada ajakan
orang lain
Kemampuan mengajak orang lain
Mempengaruhi orang lain untuk Tinggi = Ya, mempengaruhi orang
datang ke TPS
lain untuk datang ke TPS, sedang =
tidak
tahu/cuek,
rendah
=
mempengaruhi untuk tidak datang
ke TPS
Mempengaruhi orang lain untuk Tinggi = tidak mempengaruhi orang
memilih pilihan tertentu
lain untuk memilih pilihan tertentu,
sedang = tidak tahu/cuek, rendah =
mempengaruhi orang lain untuk
memilih pilihan tertentu
29
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Geografis Wilayah
Secara geografis Kabupaten Majalengka terletak di bagian timur Propinsi Jawa Barat.
Kabupaten Majalengka terletak pada titik koordinat yaitu Sebelah Barat 108° 03' - 108° 19 Bujur
Timur, Sebelah Timur 108° 12' - 108° 25 Bujur Timur, Sebelah Utara 6° 36' - 5°58 Lintang Selatan dan
Sebelah Selatan 6° 43' - 7°44.
Bagian Utara wilayah kabupaten ini merupakan dataran rendah, sementara wilayah tengah
berbukit-bukit dan wilayah selatan merupakan wilayah pegunungan dengan puncaknya Gunung
Ceremai yang berbatasan dengan Kabupaten Kuningan serta Gunung Cakrabuana yang berbatasan
dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Sumedang. Secara administratif berbatasan dengan:

Sebelah Utara : Kabupaten Indramayu.

Sebelah Selatan : Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis.

Sebaleh Barat : Kabupaten Sumedang.

Sebelah Timur : Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan
Kabupaten Majalengka terdiri dari 26 Kecamatan, yang terbagi atas 330 Desa dan 13
Kelurahan. Pusat pemerintahan Kabupaten berada di Kecamatan Majalengka.
Berikut adalah kecamatan-kecamatan dalam wilayah Kabupaten Majalengka:
1. Kecamatan Argapura
2. Kecamatan Banjaran
3. Kecamatan Bantarujeg
4. Kecamatan Cigasong
5. Kecamatan Cikijing
6. Kecamatan Cingambul
7. Kecamatan Dawuan
8. Kecamatan Jatitujuh
9. Kecamatan Jatiwangi
10. Kecamatan Kadipaten.
11. Kecamatan Kasokandel
30
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
12. Kecamatan Kertajati
13. Kecamatan Lemahsugih
14. Kecamatan Leuwimunding
15. Kecamatan Ligung
16. Kecamatan Maja
17. Kecamatan Majalengka
18. Kecamatan Malausma
19. Kecamatan Palasah
20. Kecamatan Panyingkiran
21. Kecamatan Rajagaluh
22. Kecamatan Sindang
23. Kecamatan Sindangwangi
24. Kecamatan Sukahaji
25. Kecamatan Sumberjaya
26. Kecamatan Talaga
Topografi dan Geografi
Bagian utara wilayah kabupaten ini adalah dataran rendah, sedang di bagian selatan berupa
pegunungan. Gunung Ciremai (3.076 m) berada di bagian timur, yakni di perbatasan dengan
Kabupaten Kuningan. Gunung ini adalah gunung tertinggi di Provinsi Jawa Barat, dan merupakan
taman nasional, dengan nama Taman Nasional Gunung Ciremai
Keadaan geografi khususnya morfologi dan fisiografi wilayah Kabupaten Majalengka sangat
bervariasi dan dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian suatu daerah dengan daerah lainnya, dengan
distribusi sebagai berikut :
Morfologi dataran rendah yang meliputi Kecamatan Kadipaten, Kasokandel, Panyingkiran,
Dawuan, Jatiwangi, Sumberjaya, Ligung, Jatitujuh, Kertajati, Cigasong, Majalengka, Leuwimunding
dan Palasah. Kemiringan tanah di daerah ini antara 5%-8% dengan ketinggian antara 20-100 m di
atas permukaan laut (dpl), kecuali di Kecamatan Majalengka tersebar beberapa perbukitan rendah
dengan kemiringan antara 15%-25%.
31
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Morfologi berbukit dan bergelombang meliputi Kecamatan Rajagaluh dan Sukahaji sebelah
Selatan, Kecamatan Maja, sebagian Kecamatan Majalengka. Kemiringan tanah di daerah ini berkisar
antara 15-40%, dengan ketinggian 300-700 m dpl.
Morfologi perbukitan terjal meliputi daerah sekitar Gunung Ciremai, sebagian kecil
Kecamatan Rajagaluh, Argapura, Sindang, Talaga, sebagian Kecamatan Sindangwangi, Cingambul,
Banjaran, Bantarujeg, Malausma dan Lemahsugih dan Kecamatan Cikijing bagian Utara. Kemiringan
di daerah ini berkisar 25%-40% dengan ketinggian antara 400-2000 m di atas permukaan laut.
Geologi
Menurut keadaan geologi yang meliputi sebaran dan struktur batuan, terdapat beberapa
batuan dan formasi batuan yaitu Aluvium seluas 17.162 Ha (14,25%), Pleistocene Sedimentary Facies
seluas 13.716 Ha (13,39%), Miocene Sedimentary Facies seluas 23,48 Ha (19,50%), Undiferentionet
Vulcanic Product seluas 51.650 Ha (42,89%), Pliocene Sedimentary Facies, seluas 3.870 Ha (3,22%),
Liparite Dacite seluas 179 Ha (0,15%), Eosene seluas 78 Ha (0,006%), Old Quartenary Volkanik
Product seluas 10.283 Ha (8,54%). Jenis-jenis tanah di Kabupaten Majalengka ada beberapa macam,
secara umum jenis tanah terdiri atas Latosol, Podsolik, Grumosol, Aluvial, Regosol, Mediteran, dan
asosianya. Jenis-jenis tanah tersebut memegang peranan penting dalam menentukan tingkat
kesuburan tanah dalam menunjang keberhasilan sektor pertanian.
Hidrologi
Dari aspek hidrologis di Kabupaten Majalengka mempunyai beberapa jenis potensi sumber
daya air yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Potensi sumber daya air
tersebut meliputi:
Air permukaan, seperti mata air, sungai, danau, waduk lapangan atau rawa, Air tanah,
seperti sumur bor dan pompa pantek dan air hujan. Sungai yang besar di antaranya adalah Cilutung,
Cijurey, Cideres, Cikeruh, Ciherang, Cikadondong, Ciwaringin, Cilongkrang, Ciawi dan Cimanuk.
Iklim
32
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Curah hujan tahunan rata-rata di Kabupaten Majalengka berkisar antara 2.400 mm-3.800
mm/tahun dengan rata-rata hari hujan sebanyak 11 hari/bulan. Angin pada umumnya bertiup dari
arah Selatan dan tenggara, kecuali pada bulan April sampai dengan Juli bertiup dari arah Barat Laut
dengan kecepatan antara 3-6 knot (1 knot =1.285 m/jam).
Demografi
Jumlah Penduduk Kabupaten Majalengka Berdasarkan BPS Kabupaten Majalengka Tahun
2013 adalah 1.180.774 Jiwa terdiri dari 590.038 jiwa penduduk laki-laki dan 590.736 jiwa penduduk
perempuan. Rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 adalah 981
jiwa/km². Kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Jatiwangi dengan kepadatan 2.087 jiwa/km².
Wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak adalah:
1. Kecamatan Jatiwangi : 83.450 jiwa.
2. Kecamatan Majalengka : 69.946 jiwa.
3. Kecamatan Cikijing : 60.581 jiwa.
4. Kecamatan Lemahsugih : 57.928 jiwa.
5. Kecamatan Sumberjaya : 57.353 jiwa.
Mayoritas Masyarakat Majalengka berasal dari etnis Sunda. Bahasa yang digunakan Bahasa
Sunda, akan tetapi memiliki perbedaan beberapa arti dan kosakata dengan Bahasa Sunda di
Kawasan Priangan. Bahasa Sunda di Majalengka merupakan bahasa Sunda dialek Tengah Timur.
Dibeberapa wilayah Majalengka masyarakatnya merupakan Etnis Cirebon/Wong Cerbon dan
menggunakan bahasa Cirebon, seperti di utara dan Timur Jatitujuh, Kertajati, Ligung, Sumberjaya
dan Desa Patuanan di Kecamatan Leuwimunding.
33
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
4.2 Kondisi Lokasi Penelitian
4.2.1 Karakteristik Responden
4.2.1.1 Karakteristik Responden di Kelurahan Majalengka Kulon
Karakteristik responden dilihat dari sebarannya berdasarkan umur, tingkat pendidikan
formal, pekerjaan dan pendapatannya. Dari karakteristik ini akan dapat terlihat status sosial dan
ekonomi dari responden.
Tabel 4.1. Responden Berdasarkan Umur
No.
Umur Responden
Responden
Tahun
Orang
%
1.
0 – 16
0
0
2.
17 – 49
38
76
3.
≥ 50
12
24
Total
50
100
Sebaran responden berdasarkan umur, terlihat bahwa responden terpetakan pada
kelompok umur sedang dan tinggi yang berarti mayoritas masih berada pada usia produktif.
Tabel 4.2. Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal
No.
Tingkat Pendidikan
Responden
Orang
%
1.
Tamat SD
3
6
2.
SMP – SMA
26
52
3.
≥ Sarjana
21
42
Total
50
100
Dilihat dari Tabel-tabel di atas, karakteristik yang tergolong ke dalam kategori tinggi adalah
karakteristik pendidikan dan pekerjaan. Responden dengan pendidikan dan pekerjaan yang baik
berada dalam jumlah yang cukup banyak walaupun dari segi pendapatan masih didominasi dalam
kategori pendapatan yang sedang, akan tetapi dengan pendidikan dan pekerjaan yang baik (kategori
tinggi) diduga hal ini akan berpengaruh terhadap pola pikir dari masyarakat itu sendiri.
34
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Tabel 4.3. Responden Berdasarkan Pekerjaan
No.
Pekerjaan Responden
Responden
Orang
%
1.
Buruh
9
18
2.
Wiraswasta, petani
23
46
3.
Pegawai Kantoran (PNS,Bank
18
36
50
100
dll)
Total
Tabel 4.4. Responden Berdasarkan Pendapatan
No.
Pendapatan Responden
Responden
Orang
%
1.
≤ 1 jt
9
18
2.
1,1 jt – 2,4 jt
36
72
3.
≥ 2,5 jt
5
10
Total
50
4.2.1.2 Karakteristik Responden di Desa Banjaran
Tabel 4.5. Responden Berdasarkan Umur
No.
Umur Responden
Responden
Tahun
Orang
%
1.
0 – 16
0
0
2.
17 – 49
40
80
3.
≥ 50
10
20
Total
50
100
35
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Tabel 4.6. Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal
No.
Tingkat Pendidikan
Responden
Orang
%
1.
Tamat SD
3
6
2.
SMP – SMA
36
72
3.
≥ Sarjana
11
22
Total
50
100
Tabel 4.7. Responden Berdasarkan Pekerjaan
No.
Pekerjaan Responden
Responden
Orang
%
1.
Buruh
10
20
2.
Wiraswasta, petani
25
50
3.
PNS dan Pegawai kantoran
15
30
Total
50
100
Tabel 4.8. Responden Berdasarkan Pendapatan
No.
Pendapatan Responden
Responden
Orang
%
1.
≤ 1 jt
10
20
2.
1.1 jt – 2,5 jt
40
80
3.
≥2,5 jt
0
0
Total
50
100
Profil responden Desa Banjaran memperlihatkan gambaran yang tidak jauh berbeda dengan
kondisi di Kelurahan Majalengka Kulon, walaupun sedikit di bawah Kelurahan Majalengka kulon
untuk karakteristik pendidikan dan pekerjaan, akan tetapi dengan kecenderungan yang mendekati,
maka patut di yakini bahwa pola pikir masyarakat Desa Banjaran sudah cukup baik/maju.
36
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
4.2.1.3 Karakteristik Responden di Desa Kasokandel
Tabel 4.9. Responden Berdasarkan Umur
No.
Umur Responden
Responden
Tahun
Orang
%
1.
0 – 16
0
0
2.
17 – 29
38
76
3.
≥ 50
12
24
Total
50
100
Tabel 4.10. Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal
No.
Tingkat Pendidikan
Responden
Orang
%
1.
Tamat SD
4
8
2.
SMP – SMA
31
62
3.
≥ Sarjana
15
30
Total
50
100
Tabel 4.11. Responden Berdasarkan Pekerjaan
No.
Pekerjaan Responden
Responden
Orang
%
1.
Buruh
9
18
2.
Wiraswasta, petani
27
54
3.
PNS dan Pegawai kantoran
14
28
Total
50
100
37
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Tabel 4.12. Responden Berdasarkan Pendapatan
No.
Pendapatan Responden
Responden
Orang
%
1.
≤ 1 jt
9
18
2.
1,1 jt – 2,4 jt
37
74
3.
≥ 2,5 jt
4
8
Total
50
100
Profil Desa Kasokandel terlihat hampir mirip dengan Desa Banjaran, dengan kondisi yang
sedikit di bawah Kelurahan Majalengka Kulon, akan tetapi dapat dikatakan juga bahwa pola pikir
masyarakat Desa Kasokandel sudah cukup baik.
4.2.1.4 Karakteristik Responden di Desa Sukahaji
Tabel 4.13. Responden Berdasarkan Umur
No.
Umur Responden
Responden
Orang
%
1.
0 – 16
0
0
2.
17 – 49
36
72
3.
≥ 50
14
28
Total
50
100
Tabel 4.14. Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal
No.
Tingkat Pendidikan
Responden
Orang
%
1.
Tamat SD
13
26
2.
SMP – SMA
30
60
3.
≥ Sarjana
7
14
Total
50
100
38
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Tabel 4.15. Responden Berdasarkan Pekerjaan
No.
Pekerjaan Responden
Responden
Orang
%
1.
Buruh
12
24
2.
Wiraswasta, petani
30
60
3.
PNS dan Pegawai kantoran
8
16
Total
50
100
Tabel 4.16. Responden Berdasarkan Pendapatan
No.
Pendapatan Responden
Responden
Orang
%
1.
≤ 1 jt
12
24
2.
1,1 jt – 2,4 jt
37
74
3.
≥ 2,5 jt
1
2
Total
50
100
Profil Desa Sukahaji memperlihatkan bahwa ada penurunan jumlah responden dengan profil
tingkat pendidikan yang maju, pekerjaan yang baik dan pendapatan yang tinggi bila dibandingkan
dengan profil yang ada di Kelurahan Majalengka Kulon, Desa Banjaran dan Desa Kasokandel.
4.2.1.5 Karakteristik Responden di Desa Ligung
Tabel 4.17. Responden Berdasarkan Umur
No.
Umur Responden
Responden
Tahun
Orang
%
1.
0 – 16
0
0
2.
17 – 49
37
74
3.
≥ 50
13
26
Total
50
100
39
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Tabel 4.18. Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal
No.
Tingkat Pendidikan
Responden
Orang
%
1.
Tamat SD
11
22
2.
SMP – SMA
29
58
3.
≥ Sarjana
10
20
Total
50
100
Tabel 4.19. Responden Berdasarkan Pekerjaan
No.
Pekerjaan Responden
Responden
Orang
%
1.
Buruh
10
20
2.
Wiraswasta, petani
29
58
3.
PNS dan Pegawai kantoran
11
22
Total
50
100
Tabel 4.20. Responden Berdasarkan Pendapatan
No.
Pendapatan Responden
Responden
Orang
%
1.
≤ 1 jt
10
20
2.
1,1 jt – 2,4 jt
37
74
3.
≥ 2,5 jt
3
6
Total
50
100
Profil Responden di Desa Ligung tidak jauh berbeda dengan Desa Sukahaji yaitu terdapat
jumlah yang cukup banyak untuk kategori pendidikan rendah, pekerjaan dan pendapatan rendah jika
dibandingkan dengan tiga wilayah pertama. Dengan profil yang tidak jauh berbeda, diperkirakan
pola pikir masyarakatnya hampir sama.
40
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
4.2.1.6 Karakteristik Responden di Desa Malausma
Begitu juga dengan profil masyarakat Desa Malausma yang memiliki kedekatan kondisi
dengan Desa Sukahaji dan Desa Ligung. Dengan kecenderungan gambaran kondisi yang ada, dapat
disimpulkan bahwa profil yang dimiliki oleh Kelurahan Majalengka Kulon memiliki kecenderungan
kesamaan kondisi dengan Desa Banjaran dan desa Kasokandel sedangkan profil yang dimiliki oleh
Desa Sukahaji memiliki kecenderungan kesamaan kondisi dengan Desa Ligung dan Desa Malausma.
Profil responden terbaik secara umum dimiliki oleh masyarakat Kelurahan Majalengka Kulon. Hal ini
dapat diterima karena kecenderungan ketersediaan akan berbagai akses terhadap pelayanan publik
lebih mudah didapat dibanding wilayah penelitian lain.
Tabel 4.21. Responden Berdasarkan Umur
No.
Umur Responden
Responden
Orang
%
1.
0 – 16
0
0
2.
17 – 49
36
72
3.
≥ 50
14
8
Total
50
100
Tabel 4.22. Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal
No.
Tingkat Pendidikan
Responden
Orang
%
1.
Tamat SD
13
26
2.
SMP – SMA
30
60
3.
≥ Sarjana
7
14
Total
50
100
41
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Tabel 4.23. Responden Berdasarkan Pekerjaan
No.
Pekerjaan Responden
Responden
Orang
%
1.
Buruh
12
24
2.
Wiraswasta, petani
30
60
3.
PNS dan Pegawai kantoran
8
16
Total
50
100
Tabel 4.24. Responden Berdasarkan Pendapatan
No.
Pendapatan Responden
Responden
Orang
%
1.
≤ 1 jt
12
24
2.
1,1 jt – 2,4 jt
35
70
3.
≥ 2,5 jt
3
6
Total
50
100
4.2.2 Tingkat Kesadaran Politik Masyarakat
Dari total responden,, dilihat dari tingkat kesadaran politiknya, mayoritas berada pada
kategori sedang hanya saja prosentase yang berada pada kategori tinggi juga cukup tinggi. Dapat
dikatakan ¾ dari responden sudah cukup mengetahui dan memahami akan hak-hak dan kewajiban
yang mereka miliki sebagai warga negara.
Tabel 4.25. Tingkat Kesadaran Politik
No.
Tingkat Kesadaran Politik
Responden
Kategori
Orang
%
1.
Rendah
77
25.7
2.
Sedang
174
58.0
3.
Tinggi
49
16.3
Total
300
100
42
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
4.2.3 Tingkat Kepercayaan Terhadap Pemerintah
Tidak jauh berbeda dengan tingkat kesadaran politik, kurang lebih ¾ responden mempunyai
tingkat kepercayaan yang cukup tinggi terhadap kinerja pemerintah, walaupun dari hasil penelitian
dapat diketahui bahwa masyarakat kurang percaya dengan kinerja parpol.
Tabel 4.26. Tingkat Kepercayaan Terhadap Pemerintah
No.
Tingkat Kepercayaan Thd
Responden
Pemerintah
Kategori
Orang
%
1.
Rendah
77
25.7
2.
Sedang
175
58.3
3.
Tinggi
48
16
Total
300
100
4.2.4 Tingkat Kesukarelaan Politik Masyarakat
Dari Tabel 4.27 terlihat bahwa ¼ responden memiliki tingkat kesukarelaan politik yang tinggi
dan lebih dari 50 % nya berada pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan fenomena tersendiri
bahwa masyarakat sedang merangkak menuju kecerdasan politik yang tinggi.
Tabel 4.27. Tingkat Kesukarelaan Politik
Cumulative
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Percent
8
48
16.0
16.0
16.0
10
180
60.0
60.0
76.0
12
72
24.0
24.0
100.0
300
100.0
100.0
Total
43
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
4.2.5 Uji Model Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kesukarelaan Politik Masyarakat
a. Pengujian Sub Struktur I
a.1 Pengaruh dari Karakteristik Responden terhadap tingkat kesadaran politik
Karakteristik umur dan lahan tidak memiliki kontribusi terhadap tingkat kesadaran politik
masyarakat, sehingga dikeluarkan dari model.
Tabel 4.28. Hasil Analisis Jalur Karakteristik responden terhadap tingkat kesadaran politik
Model
1
Unstandardized
Standardized
95,0% Confidence Interval
Coefficients
Coefficients
for B
B
Std. Error
(Constant)
7.833
.496
Pendidikan
.832
.126
Pekerjaan
.514
Beta
t
Sig.
Lower Bound Upper Bound
15.782
.000
6.856
8.809
.403
6.586
.000
.583
1.081
.149
.269
3.450
.001
.221
.807
-.698
.205
-.265
-3.407
.001
-1.102
-.295
Umur
.265
.166
.090
1.595
.112
-.062
.592
Lahan
.124
.138
.048
.896
.371
-.148
.396
Afiliasi
-1.051
.396
-.574
-2.652
.008
-1.831
-.271
.915
.346
.573
2.647
.009
.234
1.595
Pendapatan
Pengalaman
a. Dependent Variable: Kesadaran
a.2
Pengaruh Karakteristik responden terhadap Tingkat Kepercayaan masyarakat Terhadap
Pemerintah
Hal yang sama terjadi, yaitu karakteristik umur dan lahan harus tereliminir dari model
sehingga karakteristik responden yang dapat digunakan untuk pengujian selanjutnya adalah tingkat
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, afiliasi dan pengalaman organisasi.
44
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Tabel 4.29. Hasil Analisis Jalur Karakteristik responden terhadap tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah
Model
1
Unstandardized
Standardized
95,0% Confidence Interval
Coefficients
Coefficients
for B
B
Std. Error
(Constant)
8.016
.707
Pendidikan
1.493
.180
Pekerjaan
.745
Beta
t
Sig.
Lower Bound Upper Bound
11.331
.000
6.624
9.409
.483
8.291
.000
1.139
1.847
.212
.260
3.510
.001
.327
1.163
-.863
.292
-.218
-2.953
.003
-1.438
-.288
Umur
.394
.237
.089
1.664
.097
-.072
.861
Lahan
.093
.197
.024
.471
.638
-.295
.480
Afiliasi
-1.332
.565
-.485
-2.357
.019
-2.444
-.220
1.145
.493
.479
2.325
.021
.176
2.115
Pendapatan
Pengalaman
a. Dependent Variable: Kepercayaan
b. Pengujian Secara Simultan (Keseluruhan)
H1 : Karakteristik responden yaitu umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, Kepemilikan lahan,
Afiliasi, pengalaman organisasi serta tingkat kesadaran politik dan tingkat kepercayaan
terhadap pemerintah berkontribusi secara simultan dan signifikan terhadap tingkat
kesukarelaan berpolitik.
Ho : Karakteristik responden yaitu umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, Kepemilikan lahan,
Afiliasi, pengalaman organisasi serta tingkat kesadaran politik dan tingkat kepercayaan
terhadap pemerintah tidak berkontribusi secara simultan dan signifikan terhadap tingkat
kesukarelaan berpolitik.
45
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Tabel 4.30. Uji Model Fit
Model
1
Sum of Squares
Mean Square
df
Regression
275.119
7
39.303
Residual
197.201
292
.675
Total
472.320
299
F
Sig.
58.196
.000
a
a. Predictors: (Constant), Kesadaran, Afiliasi, Pendapatan, Pendidikan, Pekerjaan, Kepercayaan,
Pengalaman
b. Dependent Variable: Kesukarelaan
Dari Tabel Annova didapat F untuk model = 58.196 dengan nilai probabilitas (sig) = 0.000.
Karena nilai sig < 0.05, maka keputusannya Ho ditolak dan bisa dilanjutkan ke pengujian secara
individu.
b. Pengujian secara individu
Pengujian secara dilakukan untuk menguji kontribusi masing-masing faktor terhadap
kesukarelaan dalam berpolitik.
Tabel 4.31. Hasil Uji Model Keseluruhan
Model
1
Unstandardized
Standardized
95,0% Confidence Interval
Coefficients
Coefficients
for B
B
Std. Error
(Constant)
5.431
.452
Pendidikan
1.315
.100
Pekerjaan
-.193
Beta
t
Sig.
Lower Bound Upper Bound
12.005
.000
4.540
6.321
.652
13.130
.000
1.118
1.512
.111
-.103
-1.732
.084
-.412
.026
.288
.144
.112
2.002
.046
.005
.572
-.466
.289
-.260
-1.613
.108
-1.034
.103
Pengalaman
.452
.252
.290
1.793
.074
-.044
.949
Kepercayaa
-.027
.040
-.042
-.694
.488
-.105
.050
.223
.056
.228
3.959
.000
.112
.334
Pendapatan
Afiliasi
n
Kesadaran
a. Dependent Variable: Kesukarelaan
46
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
1. pekerjaan, afiliasi politik , pengalaman organisasi dan tingkat kepercayaan terhadap pemerintah
tidak berkontribusi secara signifikan terhadap tingkat kesukarelaan berpolitik sehingga dilakukan
metode trimming yaitu mengeluarkan variabel yang disebut di atas yang dianggal tidak berkontribusi
secara signifikan.
2. Hasil akhir setelah trimming adalah faktor pendidikan dan kesadaran berpolitik berkontribusi
signifikan terhadap tingkat kesukarelaan berpolitik. Dilihat nilai beta nya dapat diketahui bahwa
faktor pendidikan lah yang berkontribusi paling signifikan terhadap tingkat kesukarelaan berpolitik.
Tabel 4.32. Hasil Final Uji Model
Model
1
Unstandardized
Standardized
95,0% Confidence Interval
Coefficients
Coefficients
for B
B
Std. Error
(Constant)
5.387
.395
Pendidikan
1.268
.094
Pendapatan
.125
Kesadaran
.194
Beta
t
Sig.
Lower Bound Upper Bound
13.627
.000
4.609
6.165
.629
13.471
.000
1.083
1.453
.110
.048
1.135
.257
-.091
.341
.041
.199
4.715
.000
.113
.275
a. Dependent Variable: Kesukarelaan
4.3. Kesimpulan dan rekomendasi
4.3.1 Kesimpulan
1. Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesukarelaan politik adalah faktor tingkat pendidikan
dan tingkat kesadaran berpolitik.
2. Faktor tingkat pendidikan menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat kesukarelaan
berpolitik.
4.3.2. Saran dan Rekomendasi
1.
Kebijakan dan Program Pemerintah untuk penguatan IPM (Indeks Pembangunan Manusia)
terutama sektor pendidikan harus terus ditingkatkan dari tahun ke tahun.
2.
KPU perlu memiliki program untuk bekerjasama dengan berbagai stakeholder, khususnya
lembaga pendidikan, baik tingkat menengah maupun perguruan tinggi untuk melakukan
pembinaan mengenai kesadaran berpolitik dalam rangka mewujudkan kecerdasan politik.
47
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
DAFTAR PUSTAKA
Affan Gaffar. 2005. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Anonim. 2003. Undang Undang Nomor. 2 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Jakarta : Komisi
Pemilihan Umum.
_______. 2003. Undang Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jakarta
: Komisi Pemilihan Umum.
_______. 2003. Undang Undang Nomor 23 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Jakarta : Komisi Pemilihan Umum.
Asfar Muhammad, Ariwibowo,Zaidun, Wahyudi Purnomo, Bimo. 2003. Model- Model Sistem
Pemilihan di Indonesia. Surabaya : Pusat Studi Demokrasi dan HAM.
Asfar Muhammad. 2006. Mendesain Managemen Pilkada. Surabaya : Pustaka Eureka.
_______. 2006. Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004. Surabaya : Pustaka Eureka.
Gibson. James. 1986. Organisasi Perilaku, Struktur dan Proses (Edisi Terjemahan oleh Djoerban
Wahid). Jakarta : Erlangga..
Gouzali Saydam, Aswi Warman, Abdul Munir. 1999. Dari Bilik Suara Ke Masa Depan Reformasi.
Potret Konflik Politik Pasca Pemilu dan Nasib Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Indonesia.
Harry Hikmat. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung : Humaniora Utama Pers.
Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
48
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
KUISIONER PENELITIAN
TINGKAT KESUKARELAAN MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN MAJALENGKA DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Penelitian ini dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum bekerjasama dengan Lembaga Penelitian
dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Majalengka
PENTING
Identitas anda tidak akan dipublikasikan.
Jawaban yang anda berikan dijamin
kerahasiaannya
DAFTAR PERTANYAAN
Nomor Responden
:
Hari/Tgl
:
Waktu
:
Tempat/Desa/Kel
:
IDENTIFIKASI RESPONDEN
1. Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Perempuan
2. Kelompok Usia
:
≤ 19 tahun
20 – 29 tahun
49
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
30 – 39 tahun
40 – 49 tahun
≥ 50 tahun
3. Status Perkawinan
:
Belum kawin
Kawin
Janda/Duda
4. Agama
:
_______________________
A.
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK
1.
Apakah Bapak/Ibu/sdr mengikuti pemungutan suara pada Pemilu 2014 ?
Ya, datang ke TPS dengan kesadaran sendiri
Ya, datang ke TPS dengan ajakan orang lain
Tidak datang ke TPS
2.
Apakah Bapak/Ibu/sdr menggunakan hak suara/mencoblos dalam pemilu?
Ya
Tidak
3.
Apakah dari awal sebelum waktu pemungutan suara, Bapak/Ibu/Sdr telah memiliki pilihan
sendiri?
Ya
Tidak
4.
Apakah pilihan sendiri itu berdasarkan pemikiran sendiri atau ajakan orang lain?
50
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Ya, berdasarkan pemikiran sendiri
Tidak, ada ajakan orang lain
B.
STATUS SOSIAL
1.
Pendidikan terakhir Bapak/Ibu/Sdr yang ditempuh :
Sarjana (S1/S2)
Sekolah Menengah Atas (SMA)
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
SD/Buta huruf
2.
Apa jenis pekerjaan utama Bapak/Ibu/Sdr ?
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Wiraswasta
Buruh
Petani
Lainnya (sebutkan)
3.
Apa jenis pekerjaan sampingan Bapak/Ibu/Sdr?
Wiraswasta
Buruh
Petani
Lainnya (sebutkan)
4.
Apakah Bapak/Ibu/Sdr memiliki ayah/ibu/kakek/nenek yang menjadi tokoh masyarakat?
51
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Ya
Tidak
C.
STATUS EKONOMI
1.
Besarnya penghasilan.
< 1.000.000
Rp. 1.000.001 s.d Rp. 1.500.000
Rp. 1.500.001 s.d Rp. 2.000.000
Rp. 2.000.001 s.d Rp. 2.500.000
>Rp. 2.500.000
2.
Apakah Bapak/Ibu/Sdr mempunyai lahan sawah/kebun ?
Ya
Tidak
3.
Jika jawaban pertanyaan No.2 adalah Ya, Berapa luasan lahan
< 0.25 Ha
0.26 s.d 0.5 Ha
0.51 s.d 1 Ha
>1 Ha
4.
Apakah Bapak/Ibu/Sdr memiliki kendaraan roda empat.
Ya
Tidak
52
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
D.
AFILIASI POLITIK
1.
Apakah Bapak/Ibu/Sdr menyukai organisasi politik/partai politik tertentu?
Ya
Tidak
2.
Apakah Bapak/Ibu/Sdr menjadi anggota organisasi politik/partai politik tertentu?
Ya
Tidak
E.
PENGALAMAN ORGANISASI
1.
Apakah Bapak/Ibu/Sdr menjadi atau pernah menjadi anggota organisasi tertentu?
Ya
Tidak
2.
Jika Ya, berapa lama Bapak/Ibu/Sdr aktif di organisasi tersebut?
<1 tahun
1 s.d 3 tahun
3.1 s.d 5 tahun
>5 tahun
F.
KESADARAN POLITIK
1.
Apakah Bapak/Ibu/Sdr mengetahui sebagai warganegara, memiliki hak-hak tertentu?
Ya
Tidak
53
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
2.
Coba Bapak/Ibu/Sdr sebutkan hak-hak apa saja yang dimiliki
1.
2.
3.
4.
3.
Apakah Bapak/Ibu/Sdr mengetahui sebagai warganegara, memiliki kewajiban tertentu?
Ya
Tidak
4.
Coba Bapak/Ibu/Sdr sebutkan kewajiban apa saja yang mesti dilakukan
1.
2.
3.
4.
G.
KEPERCAYAAN TERHADAP PEMERINTAH
1.
Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, pemerintahan SBY-Boediono sudah menghasilkan prestasi
dalam pemerintahannya?
Ya
Tidak
Tidak tahu
2.
Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, partai politik sudah menghasilkan prestasi dalam kinerjanya?
Ya
Tidak
54
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN
MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Tidak tahu
3.
Apakah
menurut
Bapak/Ibu/Sdr,
pemerintahan
SBY-Boediono
sudah
menjalankan
pemerintahannya dengan baik?
Ya
Tidak
Tidak tahu
4.
Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, partai politik yang ada telah bekerja dengan baik di parlemen?
Ya
Tidak
Tidak tahu
5.
Apakah Bapak/Ibu/Sdr, sudah merasakan dampak dari kebijakan pemerintah SBY?
Ya
Tidak
Tidak tahu
55
Download