BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Saham
Saham merupakan tanda bukti memiliki perusahaan dimana pemiliknya
disebut juga sebagai pemegang saham (shareholder atau stakeholder) (Samsul,
2006 : 45). Definisi lain saham adalah tanda penyertaan atau kepemilikan
seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas (Darmadji
dan Fakhruddin, 2001: 5). Menurut Sutriawan (2013), saham menyatakan bahwa
pemilik saham merupakan pemilik sebagian dari perusahaan tersebut.
Menurut Samsul (2006 : 45), jenis-jenis saham adalah :
1)
Saham Preferen (preferrend stock), adalah jenis saham yang memiliki hak
terlebih dahulu untuk menerima laba dan memiliki hak laba kumulatif. Hak
kumulatif adalah hak untuk mendapatkan laba yang tidak dibagikan pada
suatu tahun yang mengalami kerugian, tetapi akan dibayar pada tahun
yangmengalami keuntungan, sehingga saham preferen akan menerima laba
dua kali. Hak istimewa ini diberikan kepada pemegang saham preferen
karena merekalah yang memasok dana ke perusahaan sewaktu mengalami
kesulitan keuangan.
2)
Saham Biasa (common stock), adalah jenis saham yang akan menerima
laba setelah laba bagian saham preferen dibayarkan. Apabila perusahaan
bangkrut, maka pemegang saham biasa yang menderita terlebih dahulu.
Perhitungan indeks harga saham didasarkan pada harga saham biasa. Hanya
pemegang saham biasa yang mempunyai suara dalam RUPS.
2.1.2 Teori Investasi
Menurut Nanga (2005 : 123) investasi didefinisikan sebagai tambahan
bersih terhadap stock capital yang ada (net addition to existing capital stock).
Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pengeluaran penanam-penanam
modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal atau perlengkapanperlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barangbarang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian (Sukirno, 2010: 121).
2.1.2.1 Teori Investasi dari Keynes
Menurut Keynes (1936 : 124) di dalam bukunya The General Theory of
Employment, Interest and Money, mendasarkan teori tentang permintaan investasi
atas konsep efisiensi marjinal kapital (marginal efficiency of capital atau MEC).
Sebagai suatu definisi kerja, MEC didefinisikan sebagai tingkat perolehan bersih
yang diharapkan (expected net rate of return) atas pengeluaran kapital tambahan.
Tepatnya, MEC adalah tingkat diskonto yang menyamakan aliran perolehan yang
diharapkan dimasa yang akan datang dengan biaya sekarang dari kapital
tambahan.
2.1.2.2 Teori Akselerator
Teori akselerator ini memusatkan perhatian pada hubungan antara
permintaan akan barang modal (capital goods) dan permintaan akan produk akhir
(final product), dimana permintaan akan barang modal dilihat sebagai permintaan
turunan (derived demand) dari perminataan akan barang atau produk akhir. Dalam
bentuknya yang paling sederhana, teori tersebut mulai mangasumsikan adanya
capital output ratio (COR) yang tertentu, yang ditentukan oleh kondisi teknis
produksi (Muana Nanga, 2005 : 126).
2.1.2.3 Teori Dana Internal
Teori dana internal tentang investasi (internal funds theory of investment)
mengatakan bahwa stok kapital dan investasi yang diinginkan, bergantung pada
tingkat keuntungan. Beberapa penjelasan lain tentang hal ini telah dikemukakan
sebelumnya oleh Jan Tinbergen yang mengatakan bahwa keuntungan yang terjadi
(realized profits) secara akurat merefleksikan keuntungan yang diharapkan.
Karena investasi bergantung pada keuntungan yang diharapkan (expected profits),
maka investasi memiliki hubungan positif dengan realized profits(Muana Nanga,
2005 : 129).
2.1.3 Inflasi
2.1.3.1 Definisi Inflasi
Inflasi sebagai suatu fenomena ekonomi yang terjadi di negara-negara yang
sedang berkembang, merupakan obyek kajian yang sangat menarik. Masalah
inflasi mudah dialami oleh sebagian besar negara-negara sedang berkembang
dengan tingkat yang berbeda-beda(Donna, 2009). Definisi inflasi banyak
ragamnya seperti yang dapat ditemukan dalam literatur ekonomi. Inflasi adalah
suatu keadaan yang mengindikasikan semakin lemahnya daya beli yang diikuti
dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara.
Menurut Lena Shiblee (2009) menggambarkan inflasi sebagai peningkatan
harga barang dan jasa dalam tingkat umum secara berkelanjutan. Apabila inflasi
meningkat, setiap dollar yang anda miliki hanya dapat membeli persentase yang
lebih kecil dari barang atau jasa. Nilai dollar tidak akan tetap konstan ketika
terjadi inflasi. Nilai dolar diamati dalam hal daya beli, yang nyata dan barang
berwujud yang bisa dibeli dengan uang.
Inflasi adalah suatu keadaan harga barang dan jasa secara keseluruhan naik,
sehingga mengakibatkan nilai uang turun. Definisi lain, inflasi terjadi apabila
tingkat harga dan biaya-biaya umum naik. Sedangkan deflasi terjadi apabila
barang-barang dan biaya-biaya umum turun. (Samuelson, 1990:296). Dengan
adanya tingkat inflasi yang tinggi menunjukkan kondisi perkonomian suatu
negara yang kurang stabil dan akan memberikan efek pada harga saham yang
diperdagangkan di lantai bursa. Inflasi dapat menurunkan keuntungan suatu
perusahaan sehingga saham atau sekuritas yang diperdagangkan di pasar modal
menjadi suatu komoditi yang tidak menarik (Anton dkk, 2011).
Tingkat inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang
terlalu panas (overheated). Artinya, kondisi ekonomi mengalami permintaan atas
produk yang melebihi kapasitas penawaran produknya, sehingga harga-harga
cenderung mengalami kenaikan. Inflasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan
penurunan daya beli uang (purchasing power of money) serta dapat mengurangi
tingkat pendapatan riil yang diperoleh investor dari investasinya. Jadi inflasi yang
tinggi menyebabkan menurunnya keuntungan perusahan, sehingga efek ekuitas
menjadi kurang kompetitif (Tandelilin, 2001). Abdul Qayyum (2006) menyatakan
bahwa pertumbuhan jumlah uang beredar menjadi kontributor yang sangat penting
terhadap kenaikan inflasi.
Nanga (2005: 237), mendefinisikan inflasi sebagai suatu kecenderungan
meningkatnya tingkat harga umum secara terus menerus sepanjang waktu (a
sustained tendency for the general level of prices to rise over time). Secara umum
inflasi diartikan sebagai suatu kecendrungan terjadinya kenaikan harga-harga
umum secara terus menerus (Jamli, 1996: 156).
Menurut Martin Feldstein (1978) menjelaskan bahwa ketika tingkat inflasi
lebih tinggi, harga saham akan meningkat pada tingkat yang lebih cepat. Ketika
tingkat inflasi yang stabil, harga saham meningkat secara proporsional dengan
tingkat harga untuk mempertahankan rasio konstan harga saham terhadap laba
yang riil. Sebaliknya, peningkatan masa depan yang diharapkan tentang tingkat
inflasi menyebabkan penurunan secara bersamaan dalam rasio harga saham untuk
laba saat ini.
Dari penjelasan sebelumnya, menurut Nanga (2005: 237) setidaknya ada
tiga hal penting yang ditekankan, yaitu :
1)
Adanya kecendrungan harga-harga untuk meningkat, yang berarti bisa saja
tingkat harga yang terjadi pada waktu tertentu turun atau naik dibandingkan
dengan sebelumnya, tetapi tetap menunjukkan tendensi yang meningkat.
2)
Bahwa kenaikan tingkat harga tersebut berlangsung secara terus menerus
(sustained), yang berarti bukan terjadi pada suatu waktu saja, akan tetapi
bisa beberapa waktu lamanya.
3)
Bahwa tingkat harga yang dimaksud disini adalah tingkat harga umum, yang
berarti tingkat harga yang mengalami kenaikan itu bukan hanya pada satu
atau beberapa komoditi saja, akan tetapi untuk harga barang secara umum.
Berkaitan dengan inflasi, ada tiga hal yang perlu dipahami yaitu inflasi
(inflation) itu sendiri, tingkat inflasi (inflation rate) dan indeks harga (price
index). Inflasi itu sendiri pada dasarnya adalah tingkat perubahan harga-harga,
sedangkan tingkat inflasi adalah akumulasi dari inflasi-inflasi terdahulu, atau
persentase erubahan di dalam tingkat harga (Nanga, 2005: 237). Tingkat inflasi
dapat dijelaskan dengan formula sebagai berikut :
πœ‹=
𝑃𝑑 −𝑃𝑑−1
𝑃𝑑−1
…………………………………………………………………… (1)
Keterangan :
πœ‹ = π‘‘π‘–π‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘‘π‘–π‘›π‘“π‘™π‘Žπ‘ π‘–
Pt=tingkathargapadatahunt (tahunsekarang)
P(t-1)=tingkathargapadatahunt-1 (tahunsebelumnya)
Atau tingkat harga sekarang (𝑃𝑑 ) dapat ditulis sebagai berikut :
𝑃𝑑 = 𝑃𝑑−1 + πœ‹ (𝑃𝑑−1 ) ………………………………………………….……….(2)
2.1.3.2 Sebab- sebab Timbulnya Inflasi
Menurut Nanga (2005: 238), berkaitan dengan faktor-faktor penyebab
timbulnya inflasi dan cara-cara untuk mengatasinya, ada berbagai teori atau
pandangan yang berkembang selama ini, diantaranya :
1)
Pandangan Kaum Klasik dan Moneteris
Teori inflasi dari kaum Klasik dapat dianalisis dalam kerangka teori
kuantitas uang dengan menggunakan persamaan pertukaran (equation of
exchange), 𝑀𝑉 = π‘ƒπ‘Œ. Persamaan pertukaran tersebut dapat ditulis kembali
dimana masing-masing peubah dalam persamaan tersebut dinyatakan sebagai
persentase perubahan sepanjang waktu sebagai berikut :
βˆ†π‘€π‘ 
𝑀𝑠
+
βˆ†π‘‰
𝑉
=
βˆ†π‘‰
𝑃
+
βˆ†π‘Œ
π‘Œ
……………………………………...................................(3)
Dengan menempatkan tingkat inflasi di sebelah kiri, maka persamaan (3)
sebelumnya dapat ditulis kembali menjadi sebagai berikut :
βˆ†π‘ƒ
𝑃
=
βˆ†Ms
Ms
−
βˆ†π‘Œ
π‘Œ
+
βˆ†V
V
…………………………...………………………………. (4)
Dimana :
βˆ†P
P
= tingkat inflasi
βˆ†Ms
= pertumbuhan jumlah uang beredar
Ms
βˆ†V
= persentase perubahan di dalam kecepatan perputaran uang
P
βˆ†Y
= laju pertumbuhan output
Y
Persamaan (4) tersebut bisa digunakan untuk mengetahui sumber inflasi,
dimana berdasarkan persamaan tersebut inflasi disebabkan oleh pertumbuhan
jumlah uang beredar, pertumbuhan output, perubahan dalam kecepatan perputaran
uang. Karena kaum klasik mengasumsikan kecepatan perputaran uang (V) itu
adalah konstan, yang berarti
βˆ†P
P
= 0, maka persamaan 2.4 akan menjadi sebagai
berikut :
βˆ†π‘ƒ
𝑃
=
βˆ†Ms
Ms
−
βˆ†π‘Œ
π‘Œ
…………………………………….....…………………………. (5)
Persamaan (5) menyatakan bahwa tingkat inflasi adalah sama dengan
pertumbuhan jumlah uang beredar dikurangi dengan pertumbuhan output. Kamu
klasik mengasumsikan bahwa perekonomian berada dalam tingkat kesempatan
kerja penuh (full employment), yang berarti peubah Y dalam persamaan
pertukaran adalah tetap. Selain itu, kaum Klasik juga mengasumsikan peubah V
konstan atau tetap. Dengan asumsi V dan Y yang tetap, maka kaum Klasik lebih
jauh mengatakan bahwa kenaikan di dalam jumlah uang beredar (𝑀𝑠 ) akan
menyebabkan perubahan yang proporsional dalam peubah tingkat harga (P).
dengan demikian penyebab utama timbulnya inflasi atau kenaikan harga menurut
kaum Klasik adalah karena kenaikan atau pertumbuhan jumlah uang beredar.
Dengan perkatan lain, inflasi menurut mereka merupakan gejala atau fenomena
moneter.
Hal yang senada juga dikemukakan oleh kaum Moneteris yang mengklaim
inflasi itu sebagai fenomena moneter dan bahwa peubah kecepatan perputaran
uang (V) itu adalah stabil atau konstan. Tetapi kaum Moneteris berbeda dengan
kaum Klasik dimana mereka mengatakan bahwa pertumbuhan jumlah uang
beredar (𝑀𝑠 ) tersebut juga berpengaruh terhadap output dan kesempatan kerja.
Jadi tidak hanya berpengaruh terhadap tingkat harga (P) sebagaimana
dikemukakan oleh kaum Klasik.
2)
Pandangan Keynes
Keynes mengatakan bahwa kecepatan perputaran uang (V) merupakan
sesuatu yang bersifat dapat berubah-ubah (variable). Hal ini berbeda dengan kaum
Klasik dan Moneteris yang mengatakan V adalah konstan atau tetap. Oleh karena
V dapat berubah-ubah, maka apabila terjadi kenaikan jumlah uang uang beredar
(𝑀𝑠 ) tidak akan menyebabkan perubahan di dalam tingkat harga (P) atau dengan
kata lain, tingkat harga akan tetap.
Penekanan Keynes pada variabilitas output dan jangka pendek (short-run)
juga memberikan konstribusi terhadap pandangan bahwa inflasi bukanlah murni
sebagai fenomena moneter. Berbda dengan kaum Klasik yang mengasumsikan
perekonomian selalu dalam kondisi kesempatan kerja penuh, Keynes sebaliknya
mengatakan bahwa pengangguran dapat saja terjadi untuk suatu jangka waktu
yang panjang dan bahkan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Dengan adanya
penggangguran, maka suatu kenaikan di dalam jumlah uang beredar (𝑀𝑠 ) (kecuali
dalam kasus ekstrim) akan menyebabkan, baik tingkat harga maupun tingkat
output tersebut mengalami kenaikan. Dengan kenaikan di dalam output tersebut,
kenaikan di dalam tingkat harga akan menjadi lebih kecil daripada kenaikan di
dalam jumlah uang beredar (tidak proporsional), sekalipun kecepatan perputaran
uang beredar itu konstan.
Seperti halnya dengan kaum Klasik dan Moneteris, para ahli ekonomi
Keynesian kontemporer (Contemporary Keynesian) percaya bahwa inflasi
merupakan fenomena moneter dan sebagai akibatnya, mereka menempatkan
pengurangan laju pertumbuhan jumlah uang beredar sebagai salah satu cara untuk
mengurangi tingkat inflasi. Tetapi walau demikian, menyangkut sejumlah isu
yang berkaitan dengan inflasi, seperti kaitan antara tingkat inflasi dengan
pengangguran misalnya, Keynesians dan Moneteris memiliki pandangan yang
sangat berbeda satu dengan yang lainnya.
3)
Pandangan Aliran Ekspektasi Rasional dan Ekonomi Sisi Penawaran
Para teoritisi dari aliran ekspektasi rasional (rational expectation atau
Ratex) juga memandang inflasi sebagai fenomena moneter. Namun, mereka juga
percaya bahwa perubahan yang bersifat antisipatif di dalam jumlah uang beredar
hanya akan membawa dampak terhadap tingkat harga (P), dan tidak mempunyai
pengaruh terhadap output (Y) dan kesempatan kerja.
Pandangan kaum Ratex tentang inflasi, nampaknya lebih dekat dengan
pandangan kaum Klasik daripada pandangan kaum Moneteris dan Keynesians.
Karena teoritisi Ratex percaya bahwa inflasi merupakan fenomena moneter, maka
mereka juga mengatakan bahwa jumlah uang beredar merupakan kunci untuk
mencapai stabilitas harga.
4)
Pandangan Kaum Strukturalis
Aliran ini berkembang dari pemikiran sejumlah ahli ekonomi Amerika
Latin. Mereka melihat bahwa inflasi adalah sesuatu yang berakar dari adanya
berbagai kendala (constraints) atau kekakuan structural (structural rigidities) dan
termasuk didalamnya kelembagaan yang ada di dalam perekonomian negara-
negara yang sedang berkembang. Analisis tentang inflasi menurut aliran ini
memfokuskan pada persoalan inflasi yang terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang pada umumnya dan terutama negara-negara Amerika Latin.
2.1.3.3 Jenis Inflasi
Menurut Nanga (2005: 245)dilihat dari penyebab timbulnya, inflasi dapat
dibedakan dalam tiga macam, yaitu :
1)
Inflasi tarikan permintaan (demand-pull inflation)
Inflasi ini disebut juga inflasi sisi permintaan(demand-side inflation) atau
inflasi karena guncangan permintaan (demand-shock inflation) adalah inflasi yang
terjadi sebagai akibat dari adanya kenaikan permintaan agregat yang terlalu besar
dibandingkan dengan penawaran atau produksi agregat. Barang-barang menjadi
berkurang dikarenakan pemanfaatan sumberdaya yang telah mencapai tingkat
maksimum atau karena produksi tidak dapat ditingkatkan secepatnya untuk
mengimbangi permintaan yang semakin meningkat.
2)
Inflasi dorongan biaya (cost-pust inflation)
Sering disebut juga inflasi sisi penawaran (supply-side inflation) atau inflasi
karena guncangan penawaran (supply-shock inflation) adalah inflasi yang terjadi
sebagai akibat dari adanya kenaikan biaya produksi yang pesatdibandingkan
dengan
produktivitas
dan
efisiensi,
yang
menyebabkan
perperusahaaan
pengurangi supply barang dan jasa mereka ke pasar. Dengan kata lain, inflasi sisi
penawaran adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya restriksi atau
pembatasan terhadap penawaran dari satu atau lebih sumberdaya, atau inflasi yang
terjadi apabila harga dari satu atau lebih sumberdaya mengalami kenaikan atau
dinaikkan.
3)
Inflasi struktural (structural inflation)
Inflasi structural adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya
berbagai
kendala atau
kekakuan struktural
(structural
rigidities)
yang
menyebabkan penawaran di dalam perekonomian menjadi kurang atau tidak
responsif terhadap permintaan yang meningkat.
2.1.3.4 Dampak Inflasi
Menurut Nanga (2005: 245) menyatakan bahwa di dalam suatu
perekonomian, inflasi yang terjadi memiliki beberapa dampak atau akibat, sebagai
berikut :
1)
Inflasi dapat mendorong terjadinya redistribusi pendapatan diantara anggota
masyarakat,
yang
disebut
dengan
efek
redistribusi
dari
inflasi
(redistribution effect of inflation). Hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan
ekonomi dari anggota masyarakat, sebab redistribusi pendapatan yang
terjadi akan menyebabkan pendapatan riil satu orang meningkat, tetapi
pendapatan riil orang lainnya jatuh.
2)
Inflasi dapat menyebabkan penurunan dalam efisiensi ekonomi (economic
efficiency). Hal ini bisa terjadi karena inflasi dapat mengalihkan sumberdaya
dari investasi yang produktif (productive investment) ke investasi yang tidak
produktif (underproductive investment) sehingga mengurangi kapasitas
ekonomi produktif. Hal ini sering disebut ”efficiency effect of inflation”.
3)
Inflasi dapat menyebabkan perubahan-perubahan di dalam output dan
kesempatan kerja, dengan cara yang lebih langsung yaitu dengan
memotivasi perusahaan untuk memproduksi lebih atau kurang dari yang
telah dilakukan, dan juga memotivasi orang untuk bekerja lebih atau kurang
dari yang telah dilakukan selama ini. Ini sering disebut ”output and
employment effect of inflation”.
4)
Inflasi dapat menciptakan suatu lingkungan yang tidak stabil (unstable
environment) bagi keputusan ekonomi.
2.1.4 Jumlah Uang Beredar
Uang adalah persediaan aset yang dapat dengan segera digunakan untuk
melakukan transaksi (Mankiw, 2006: 76). Definisi dari uang adalah benda-benda
yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantara untuk mengadakan tukar
menukar atau perdagangan (Sukirno, 2000: 267). Uang adalah segala sesuatu yang
diterima masyarakat secara umum dan dapat dipercaya sebagai alat pembayaran
yang sah untuk keperluan transaksi, sebagai satuan hitung, dan sebagai alat
penyimpan nilai (Kurniadi, 2013).
Berbagai teori permintaan uang telah dikembangkan oleh beberapa
ahli/ilmuawan. Salah satu teori yang banyak ditelaah dan dibahas oleh sejumlah
ekonom dunia adalah teori Keynessian. Menurut John Maynard Keynes,
permintaan
terhadap
uang
merupakan
tindakan
rasional.
Meningkatnya
permintaan uang akan menaikkan suku bunga. Investasi pada surat berharga
(obligasi) pada saat suku bunga naik akan mengakibatkan kerugian capital gain ,
dari sisi lain apabila suku bunga turun, permintaan surat berharga akan naik.
erdapat tiga macam tujuan seseorang memegang uang tunai, yaitu motif transaksi,
berjaga-jaga dan spekulasi (Nugroho, 2008).
Permintaan uang tunai untuk tujuan transaksi menunjukkan jumlah uang
tunai yang diminta untuk tujuan membiayai transaksi/pengeluaran yang sifatnya
tertentu (perbulan) membayar dalam jumlah tetap dan rutin. Permintaan uang
tunai untuk berjaga-jaga menunjukkan uang tunai yang diminta untuk bertujuan
untuk tujuan membiayai transaksi/pengeluaran yang sifatnya bukan rutin dan
bukan spekulatif. Jumlah uang tunai yang diminta untuk tujuan transaksi dan
berjaga-jaga dipengaruhi secara positif oleh tingkat pendapatan. Artinya semakin
besar tingkat pendapatan semakin besar pula jumlah uang tunai yang diminta
untuk tujuan transaksi dan berjaga-jaga, dan sebaliknya (Nugroho, 2008).
Permintaan uang tunai untuk tujuan spekulasi menunjukkan jumlah uang
tunai yang diminta untuk tujuan membiayai transaksi/pengeluaran yang sifatnya
spekulatif. Misalnya membeli surat berharga (obligasi) atau saham. Jumlah uang
tunai yang diminta untuk tujuan spekulasi dipengaruhi secara negatif oleh suku
bunga. Artinya semakin tinggi suku bunga semakin sedikit jumlah uang tunai
yang diminta untuk tujuan spekulasi, dan sebaliknya. Sehingga jumlah uang yang
beredar akan berpengaruh secara positif terhadap kinerja saham (Nugroho, 2008).
Menurut Sadono Sukirno (2006), fungsi uang dibedakan menjadi 4 jenis :
1)
Fungsi uang sebagai alat ukur
Dengan adanya uang, kegiatan tukar-menukar akan jauh lebih mudah
dijalankan kalau dibandingkan dengan perekonomian yag bertransaksi dengan
menggunakan barter. Sehingga uang yang dipakai pada masyarakat digunakan
untuk bertransaksi mengganti sistem barter.
2)
Fungsi uang sebagai satuan hitung
Penggunaan uang dalam masyarakat bersumber dari kesanggupannya untuk
bertindak sebagai satuan nilai. Dalam hal ini yang dimaksud dengan satuan nilai
adalah satuan ukuran yang menentukan besarnya nilai dari berbagai jenis barang
dengan adanya uang. Nilai suatu barang dapat dengan mudah dinyatakan yaitu
dengan menunjukkan jumlah uang yang diperlukan untuk memperoleh barang
tersebut.
3)
Fungsi uang sebagai pembayaran tertunda
Penggunaan uang sebagai alat pembayaran atau perantara dalam
tukarmenukar dapat mendorong pembayarannya ditunda karena para pelaku
ekonomi akan merasa yakin bahwa pembayarannya yang ditunda itu adalah sesuai
dengan yang diharapkan.
4)
Fungsi uang sebagai penyimpan nilai
Uang bisa digunakan sebagai alat penyimpanan nilai. Maksudnya adalah
penggunaannya memungkinkan kekayaan orang disimpan dalam bentuk uang.
Terdapat dua jenis uang yang beredar di masyarakat. Menurut Asfia (2006:
158), jenis uang yang beredar di masyarakat adalah :
1)
Uang Giral
Jenis uang ini biasanya diterbitkan oleh bank umum yang diatur oleh
perundangan-undangan seperti surat utang, deposito dan sebagainya.
2)
Uang Kartal
Uang kartal adalah uang yang dikeluarkan dan diterbitkan oleh pemerintah
berupa uang logam dan uang kertas baik yang memiliki nilai intrinsik maupun
yang memiliki nilai nominal.
Jumlah uang beredar dapat dibedakan menjadi dua pengertian yaitu dalam
arti sempit dan dalam arti luas (Kurniadi, 2013).
1)
Pengertian jumlah uang beredar dalam arti sempit
Uang dalam arti sempit adalah uang yang dalam peredarannya ditambah
dengan uang giral yang dimiliki oleh perseorangan, perusahaan dan badan
pemerintah.
2)
Pengertian uang dalam arti luas
Uang dalam arti luas adalah mata uang yang dalam peredaraannya ditambah
dengan uang giral dan uang kuasi yang terdiri dari tabungan, deposito, valas milik
swasta dalam negeri.
Jumlah uang beredar adalah nilai keseluruhan uang yang berada di tangan
masyarakat. Jumlah uang beredar dalam arti sempit (narrow money) adalah
jumlah uang beredar yang terdiri atas uang kartal dan uang giral (Navianto, 2011).
Perkembangan jumlah uang beredar (JUB) di Indonesia dipengaruhi oleh
berbagai faktor, antara lain kegiatan luar negri, sektor pemerintah, sektor swasta
domestik, maupun sektor lainnya. Strategi pengendalian jumlah uang beredar
(JUB) dirumuskan berdasarkan instrumen kebijakan moneter, sesorang yang
memiliki uang maka dengan mudah mampu memenuhi kebutuhannya dalam
pasar, termasuk pasar modal (Kurniadi, 2013).
Tingginya jumlah uang beredar (JUB) dalam masyarakat belum tentu akan
meningkatkan indeks harga saham pada pasar modal, tingginya beban biaya bunga
simpanan yang dikapitalisasi dan ekspansi pada beberapa komponen tagihan
bersih kepada pemerintah terutama pembayaran dalam rangka program
penjaminan terhadap kewajiban perbankan dan pembayaran kupon obligasi
rekapitalisasi bank mengakibatkan jumlah uang beredar (JUB) riil pada
masyarakat tak mengalami kenaikan sehingga masyarakat tak memiliki kelebihan
uang untuk masuk ke pasar modal (Oksiana dan Musdholifah, 2007).
M1 = C + D ……………………………………………………………………(6)
Keterangan :
M1 = jumlah uang yang beredar dalam arti sempit
C = Uang kartal (uang kertas + uang logam)
D = uang giral atau cek
Uang beredar dalam arti luas (M2) adalah uang bererdar dalam arti sempit
(M1) ditambah deposito berjangka (time deposit), atau:
M2 = M1 + TD …………………………………………………………………(7)
Keterangan:
M2 = jumlah uang beredar dalam arti luas
TD = deposito berjangka (time deposit)
Menururt teori kuantitas uang yang menyatakan bahwa perubahan uang
beredar akan mengakibatkan perubahan harga secara proporsional. Menurut
Boediono (2005: 23), teori marshal dapat dituliskan sebagai berikut :
M = kPT atau M = Kpy …………………………………………………....(8)
Keterangan :
M : jumlah uang beredar
K : besarnya uang tunai yang dipegang masyarakat
P : harga umum
T atau Y : jumlah produk setengah jadi atau jadi
Persamaan diatas menjelaskan apabila laju uang beredar diketahui oleh
besarnya uang yang dipegang masyarakat, jumlah produksi dan tingkat harga.
Teori permintaan uang berkaitan dengan faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya pertumbuhan uang dan teori penawaran uang sangat berkaitan dengan
jumlah uang yang beredar.
1)
Teori Permintaan Uang
Menurut Asfia (2006: 156), merujuk pada pandangan ekonomi klasik fungsi
uang hanyalah sebagai alat tukar, oleh sebab itu jumlah uang yang diminta
berbanding proporsional dengan tingkat produk atau pendapatan nasional. Bila
tingkat produk nasional meningkat permintaan uang untuk transaksi dipandang
sebagai nilai likuiditas (L) dalam arti riil yang ada ditangan masyarakat.
Sementara L merupakan nilai nominal uang (Md) dibagi dengan tingkat harga (P)
dan jika diformulasikan adalah sebagai berikut:
L = kY
L = Md/P=kY ……………………….…. (9)
Keterangan :
L : permintaan riil
Md : nilai nominal pendapatan
P : tingkat harga
Y : produk nasional
2)
Teori Penawaran Uang
Teori penawaran uang menjelaskan bahwa uang terdiri dari M1 dan M2 yang
keduanya tersedia dalam rangka kegiatan ekonomi suatu negara. Penawaran uang
M1 merupakan jumlah uang yang digunakan untuk keperluan transaksi yang terdiri
dari uang logam dan uang kertas yang secara umum disebut uang kartal, dan uang
giral yaitu deposito yang dikeluarkan oleh bank umum. Penawaran uang M2 terdiri
dari M1 ditambah dengan rekening tabungan dan kekayaan lain yang ditukarkan
atau dicairkan dalam waktu dekat.
Secara teknis, yang dihitung sebagai jumlah uang beredar adalah uang yang
benar-benar berada di tangan masyarakat. Uang yang berada di tangan bank (bank
umum dan bank sentral), serta uang kertas dan logam (kuartal) milik pemerintah
tidak dihitung sebagai uang beredar.
2.1.5 Nilai Kurs Dollar
Kurs atau nilai tukar adalah harga di mana penduduk antarnegara saling
melakukan perdagangan. Nilai tukar merupakan indikator penting yang akan
berpengaruh pada aktivitas di pasar saham maupun pasar uang. Jika kurs
terdepresiasi, harga barang domestik akan relatif lebih murah dibandingkan harga
barang di luar negeri. Hal ini akan mengakibatkan penduduk domestik akan
membeli sedikit barang-barang impor dan orang-orang asing akan membeli lebih
banyak produk domestik. Akibatnya, jumlah ekspor akan lebih tinggi daripada
impor dan akan terjadi surplus neraca pembayaran. Neraca pembayaran yang baik
akan menarik minat dan kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia.
Para investor akan tertarik untuk berinvestasi di Indonesia dan perdagangan
saham di pasar modal pun akan meningkat (Suta, 2000).
Nilai Tukar Rupiah merupakan nilai mata uang rupiah yang ditranslasikan
ke dalam mata uang negara lain. Misalnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika, nilai tukar rupiah terhadap Euro, dan lain sebagainya (Novianto, 2011).
Kurniadi (2013) mendefinisikan nilai tukar mata uang (kurs) sebagai suatu
harga mata uang terhadap mata uang lainnya dan merupakan salah satu harga
yang terpenting dalam perekonomian terbuka mengingat pengaruh yang demikian
besar bagi neraca transaksi berjalan maupun variabel-variabel makro ekonomi
yang lain dan pada dasarnya merupakan jaringan kerja dari perbankan dan
lembaga keuangan dalam melayani masyarakat untuk membeli dan menjual valuta
asing.
Kurs merupakan salah satu harga yang terpenting dalam perekonomian
terbuka mengingat pengaruh yang demikian besar bagi neraca transaksi berjalan
maupun variabel‐variabel makro ekonomi yang lain. Ada dua pendekatan yang
digunakan untuk menentukan nilai tukar mata uang yaitu pendekatan moneter dan
pendekatan pasar. Dalam pendekatan moneter, nilai tukar mata uang di
definisikan sebagai harga dimana mata uang asing diperjual belikan terhadap mata
uang domestik dan harga tersebut berhubungan dengan penawaran dan permintaan
uang (Thobarry, 2009).
Kurs merupakan salah satu harga terpenting dalam perekonomian terbuka
mengingat pengaruhnya yang demikian besar bagi transaksi berjalan maupun
variabel-variabel makro yang lainnya. Oleh karena itulah, kurs juga merupakan
sebuah harga aktiva atau harga asset (asset price), sehingga prinsip-prinsip
pengaturan harga asset-asset lainnya juga berlaku dalam pengaturan kurs
(Salvatore, 2007).
Nilai tukar suatu mata uang adalah harga mata uang suatu negara terhadap
negara asing lainya, misalnya harga dari satu dollar Amerika saat ini Rp9.900,00
atau harga satu dollar Hongkong (HKD) adalah Rp1.500,00 dan seterusnya. Harga
pada umumnya terkait dengan sejumlah uang, dan nilai tukar mata uang ini
bersifat stabil dan bisa labil atau terlalu bergerak naik atau turun sebagainya
(Thobharry, 2009).
Menurut Kurniadi (2013), Valuta asing (foreign exchange) adalah semua
mata uang Negara yang dapat digunakan untuk kegiatan perekonomian suatu
Negara dengan Negara lain. Misalnya mata yang Amerika serikat berupa US $,
mata uang Yen dari Jepang, dan lain sebagainya. Setiap valuta asing tersebut
mempunyai harga tertentu dalam mata uang suatu Negara lain. Misalnya US $
dengan Rp, $1=Rp 9.600, (artinya harga 1 US $ sama dengan Rp 9.600).
Melemahnya kurs rupiah dapat mempengaruhi tingkat pengembalian
investasi suatu perusahaan terutama pada perusahaan yang tingkat impor dan
hutang luar negerinya tinggi. Melemahnya kurs rupiah ini akan mengakibatkan
biaya yang ditanggung perusahaan semakin besar sehingga dapat menekan tingkat
keuntungan yang pada akhirnya akan menurunkan harga saham (Riantani dan
Tambunan, 2013).
Kenaikan harga valuta asing disebut depresiasi atas mata uang dalam negeri.
Mata uang asing menjadi lebih mahal, ini berarti nilai relatif mata uang dalam
negeri merosot. Turunnya harga valuta asing disebut apresiasi mata uang dalam
negeri. Mata uang asing menjadi lebih murah, ini berarti nilai relatif mata uang
dalam negeri meningkat. Perubahan nilai tukar valuta asing disebabkan karena
adanya perubahan permintaan atau penawaran dalam bursa valuta asing (Ria dkk,
2013).
Nilai tukar atau lazim juga disebut kurs valuta dalam berbagai transaksi
ataupun jual beli valuta asing, dikenal ada empat jenis yakni (Dornbusch dan
Fischer, 1992) :
1)
Selling Rate (kurs jual), yakni kurs yang ditentukan oleh suatu Bank untuk
penjualan valuta asing tertentu pada saat tertentu
2)
Middle Rate (kurs tengah), adalah kurs tengah antara kurs jual dan kur beli
valuta asing terhadap mata uang nasional, yang ditetapkan oleh Bank
Central pada suatu saat tertentu.
3)
Buying Rate (kurs beli), adalah kurs yang ditentukan oleh suatu bank untuk
pembelian valuta asing tertentu pada saat tertentu.
4)
Flat Rate (kurs flat), adalah kurs yang berlaku dalam transaksi jual beli bank
notes dan traveller chaque, di mana dalam kurs tersebut sudah
diperhitungkan promosi dan biaya‐biaya lainya.
Kurs merupakan salah satu harga yang terpenting dalam perekonomian
terbuka mengingat pengaruh yang demikian besar bagi neraca transaksi berjalan
maupun variabel‐variabel makro ekonomi yang lain. Ada dua pendekatan yang
digunakan untuk menentukan nilai tukar mata uang yaitu pendekatan moneter dan
pendekatan pasar.Dalam pendekatan moneter, nilai tukar mata uang di definisikan
sebagai harga dimana mata uang asing diperjual belikan terhadap mata uang
domestik dan harga tersebut berhubungan dengan penawaran dan permintaan uang
(Thobarry, 2009).
Menururt Thobarry (2009), naik turunnya nilai tukar mata uang atau kurs
valuta asing bisa terjadi dengan berbagai cara, yakni bisa dengan cara dilakukan
secara resmi oleh pemerintah suatu negara yang menganut sistem managed
floating exchange rate, atau bisa juga karena tarik menariknya kekuatan-kekuatan
penawaran dan permintaan di dalam pasar (market mechanism) dan lazimnya
perubahan nilai tukar mata uang tersebut bisa terjadi karena empat hal, yaitu:
1)
Depresiasi (depreciation), adalah penurunan harga mata uang nasional
berbagai terhadap mata uang asing lainnya, yang terjadi karena tarik
menariknya kekuatan-kekuatan supply and demand di dalam pasar (market
mechanism).
2)
Appresiasi (appreciation), adalah peningkatan harga mata uang nasional
terhadap berbagai mata uang asing lainnya, yang terjadi karena tarik
menariknya kekuatan - kekuatan supply dan demand di dalam pasar (market
mechanism).
3)
Devaluasi (devaluation), adalah penurunan harga mata uang nasional
terhadap berbagai mata uang asing lainnya yang dilakukan secara resmi oleh
pemerintah suatu negara.
4)
Revaluasi (revaluation), adalah peningkatan harga mata uang nasional
terhadap berbagai mata uang asing lainnya yang dilakukan secara resmi oleh
pemerintah suatu negara.
Bagi investor depresiasi rupiah terhadap dollar menandakan bahwa prospek
perekonomian Indonesia suram. Sebab depresiasi rupiah dapat terjadi apabila
faktor fundamental perekonomian Indonesia tidaklah kuat (Sunariyah, 2006). Hal
ini tentunya menambah resiko bagi investor apabila hendak berinvestasi di bursa
saham Indonesia (Robert Ang,1997). Investor tentunya akan menghindari resiko,
sehingga investor akan cenderung melakukan aksi jual dan menunggu hingga
situasi perekonomian dirasakan membaik. Aksi jual yang dilakukan investor ini
akan mendorong penurunan indeks harga saham di BEI (Jose Rizal, 2007).
Para ekonom lain yakin bahwa apresiasi mata uang dalam sistem nilai tukar
mengambang (the floating exchange rate regime) akan mempengaruhi daya saing
produk lokal secara international dan posisi neraca perdagangan. Nantinya, aliran
kas perusahaan di masa datang akan terpengaruh karena buruknya output riil dan
hal ini menurunkan harga saham. Intinya, model tersebut menyimpulkan bahwa
nilai tukar berpengaruh pada harga saham secara positif (Saini dkk.,2002).
Sistem nilai tukar yang dianut oleh suatu negara sangat berpengaruh sekali
dalam menentukan pergerakan nilai tukar. Seperti misalnya negara Indonesia yang
sebelum tanggal 14 Agustus 1997 menerapkan sistem nilai tukar mengambang
terkendali, maka laju depresiasi sangat ditentukan oleh pemegang otoritas
moneter, sehingga ketika Bank Indonesia melepas kendali nilai tukar
menyebabkan
nilai
tukar
akan
segera
mengikuti
hukum
pasar
dan
pengaruhpengaruh dari luar. Untuk mengurangi tekanan terhadap rupiah, upaya
lain yang telah dilakukan Bank Indonesia adalah pengembangan pasar valas
domestik antar bank melalui band intervensi. Dengan band intervensi, nilai tukar
diperkenankan berfluktuasi dalam kisaran band yang telah ditetapkan.Apabila
valuta asing diperdagangkan melebihi band yang telah ditetapkan maka Bank
Indonesia segera melakukan intervensi untuk mengembalikan nilai tukar pada
posisi semula (Kurniadi, 2013).
Mekanisme penentuan nilai tukar melalui analisis Demand dan Supply di
Pasar Valuta Asing akan dijelaskan sebagai berikut (Thobarry, 2009) :
Gambar 2.1
Mekanisme Demands dan Supply Kurs
Kurs
Kurs
Sv
Kurs
Sv
9500
A
B
E1
Sv
Sv1
Dv1
9000
E
E
Dv
E
E1
8500
Dv
0
Q*
A
Qs
Dv
0 Q* Q1b
Qs
0 Q*
B
Q1c
Q
C
Keterangan :
1)
Gambar A menunjukkan kurs pada tingkat Rp 9.000
2)
Gambar B menunjukkan terjadi perubahan/kenaikan kurs sebagai akibat
dari adanya kenaikan permintaan terhadap barang impor. Naiknya impor
akan mendorong kenaikan permintaan terhadap Dollar dari Q* menjadi Q1b
dan kurva permintaan terhadap valuta asing bergeser ke kanan dari kurva
Dv menjadi kurva Dv1, sehingga kurs naik mencapai Rp 9.500. kondisi ini
dapat diartikan melemahnya nilai mata uang rupiah terhadap dollar. Gejala
melemahnya nilai tukar rupiah karena kekuatan pasar disebut depresiasi.
3)
Gambar C menunjukkan terjadinya perubahan/penurunan kurs sebagai
akibat tingginya ekspor. Sebab dengan naiknya ekspor akan menambah
supply dollar dari Q* menjadi Q1c dan kurva supply dollar bergeser dari
kurva Sv menjadi kurva Sv1, akibatnya kurs turun mencapai Rp 8.500.
Kondisi ini dapat diartikan menguatnya nilai mata uang rupiah terhadap
dolar. Gejala menguatnya nilai tukar rupiah karena kekuatan pasar disebut
apresiasi.
2.1.6 Pertumbuhan GDP
Di negara-negara berkembang, atau sering disebut dengan dunia ketiga,
konsep Produk Domestik Bruto adalah konsep yang paling penting dibandingkan
dengan konsep pendapatan nasional lainnya. Produk Domestik Bruto atau dalam
istilah Inggrisnya “Gross Domestic Bruto (GDP)” adalah nilai barang dan jasa
dalam suatu negara yang diproduksikan oleh faktor-faktor produksi milik warga
negara-negara tersebut dan negara asing (Sadono Sukirno, 2004: 34).
Pertumbuhan
GDP
mengindikasikan
pertumbuhan
ekonomi,
jika
pertumbuhan ekonomi membaik maka daya beli masyarakatpun akan meningkat
dan memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk meningkatkan penjualan,
sehingga menghasilkan keuntungan bagi perusahaan (Hismendi dkk, 2013).
PDB berbeda dari Produk Nasional Bruto (PNB) karena memasukkan
pendapatan faktor produksi dari luar negeri yang bekerja di negara tersebut. PDB
hanya menghitung total produksi dari suatu negara tanpa memperhitungkan
apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi dalam negeri atau
tidak. Sebaliknya, PNB memperhatikan asal usul faktor produksi yang digunakan
(Amansyah, 2014).
Pertumbuhan PDB yang cepat merupakan indikasi terjadinya pertumbuhan
ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi membaik, maka daya beli masyarakat pun
akan meningkat. Hal ini merupakan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan
untuk meningkatkan penjualannya. Dengan meningkatkan penjualan, kesempatan
perusahaan memperoleh keuntungan juga akan semakin meningkat sehingga akan
berdampak positif terhadap harga saham perusahaan tersebut dan dapat menarik
investor untuk berinvestasi pada perusahaan tersebut (Amansyah, 2014). Panos N.
Patatoukas (2014) menyimpulkan bahwa sebuah kebijaksanaan yang menyatakan
bahwa return saham harus bergerak seiring dengan berita tentang pertumbuhan
PDB yang menjadi ukuran terluas dari kesehatan ekonomi sebuah negara.
Thobarry (2009) mengatakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi adalah
suatu proses kenaikkan output perkapita jangka panjang. Penekanan pada proses
karena mengandung unsur dinamis, perubahan dan perkembangan. Oleh karena
itu pemakaian indikator pertumbuhan ekonomi akan dilihat dalam kurun waktu
tertentu. Misalnya Pelita atau periode tertentu tapi dapat pula secara tahun. Laju
pertumbuhan ekonomi akan diukur melalui perkembangan PDB yang diperoleh
dari Badan Pusat Statistik. Adapun cara perhitungannya:
βˆ†π‘ƒπ·π΅ =
𝑃𝐷𝐡π‘₯ −𝑃𝐷𝐡π‘₯−1
𝑃𝐷𝐡π‘₯−1
π‘₯100%……………………………..…………… (10)
Dimana : Δ PDBx = Laju pertumbuhan ekonomi (rate of growth)
PDB = Produk domestik bruto
x-1 = Tahun sebelum
Produk Domestik Bruto sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja
perekonomian. Statistik ini dihitung setiap tiga bulan oleh Biro Analisis Ekonomi
(bagian dari Departemen Perdagangan AS) dari segudang sumber data
primer.Tujuan GDP adalah meringkas aktivitas ekonomi dalam suatu nilai uang
tertentu selama periode waktu tertentu (Mankiw, 2006: 16).
Produk domestik bruto dinilai menurut harga pasar dan dapat didasarkan
kepada harga yang berlaku dan harga tetap. Meningkatnya PDB merupakan sinyal
yang baik (positif) untuk investasi dan sebaliknya. Meningkatkan PDB
mempunyai pengaruh positif terhadap daya beli konsumen sehingga dapat
meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan. Adanya peningkatan
permintaan terhadap produk perusahaan akan meningkatkan profit perusahaan dan
pada akhirnya dapat meningkatkan harga saham perusahaan (Kewal, 2012).
Menurut Jamli (1996: 22), Produk Domestik Bruto dapat diiterpretasikan
dalam 3 pendekatan :
1)
Pendekatan Produksi
Menurut pendekatan ini, PDB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir
yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka
waktu tertentu. Unit- unit produksi tersebut dalam penyajiannya dikelompokkan
menjadi lapangan usaha, yaitu :
a) Pertanian
b) Pertambangan dan Penggalian
c) Industri Pengolahan
d) Listrik, Gas dan Air Minum
e) Bangunan
f) Perdagangan
g) Pengangkutan dan Komunikasi
h) Bank dan Lembaga Keuangan
i) Sewa Rumah
j) Pemerintah, dan
k) Jasa-jasa.
2)
Pendekatan Pendapatan
Menurut pendekatan ini, PDB merupakan jumlah balas jasa yang diterima
oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara
dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa produksi yang dimaksud adalah upah dan
gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak
penghasilan dan pajak langsung lainnya.
3)
Pendekatan Pengeluaran
Menurut pendekatan ini, PDB adalah komponen permintaan akhir seperti :
a) Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak
mencari laba
b) Konsumsi pemerintah
c) Pembentukan modal tetap domestik bruto
d) Perubahan stok, dan
e) Ekspor neto, dalam jangka waktu tertentu.
2.1.7 Indeks Harga Saham Gabungan
Untuk mengukur kinerja saham yang diperdagangkan di bursa digunakan
suatu indeks, yaitu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). IHSG merupakan
angka indeks harga saham yang sudah disusun dan dihitung sehingga
menghasilkan trend, dimana angka indeks adalah angka yang diolah sedemikian
rupa sehingga dapat digunakan membandingkan kejadian yang dapat berupa
perubahan harga saham dari waktu ke waktu.
Dalam perhitungan angka indeks ini digunakan waktu dasar (base period)
dan waktu yang sedang berjalan (given/parent period), (Jogiyanto, 2000). Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) menggambarkan suatu rangkaian informasi
historis mengenai pergerakan harga saham gabungan seluruh saham, sampai pada
tanggal tertentu. Pergerakan harga saham tersebut disajikan setiap hari,
berdasarkan harga penutupan di bursa pada hari tersebut. Indeks tersebut disajikan
untuk periode tertentu. Indeks harga saham gabungan berubah setiap hari karena,
(1) perubahan harga pasar yang terjadi setiap hari, (2) adanya saham tambahan
(masuknya emiten baru yang tercatat di Bursa Efek, atau terjadinya tindakan
corporate action berupa stock split, right, waran, deviden saham, saham bonus,
dan saham konversi).
Ada beberapa pendekatan atau metode perhitungan yang digunakan untuk
menghitung indeks, yaitu: (1) menghitung rata-rata (arithmetic mean) harga
saham yang masuk dalam anggota indeks, (2) menghitung (geometric mean) dari
indeks individual saham yang masuk anggota indeks, (3) menghitung rata-rata
tertimbang nilai pasar. Umumnya semua indeks harga saham gabungan
(composite) menggunakan metode rata-rata tertimbang termasuk di Bursa Efek
Indonesia (BEI, 2012).
2.2
Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah, maka
rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam kalimat pertanyaan
(Sugiyono, 2013:93). Berdasarkan rumusan masalah, maka hipotesis yang
dikemukakan adalah :
2.2.1 Pengaruh Inflasi terhadap IHSG
Inflasi adalah suatu kecendrungan meningkatnya tingkat harga umum
secara terus menerus sepanjang waktu (Nanga, 2005: 237). Jamli (1996: 156)
mendefinisikan inflasi sebagai suatu kecendrungan terjadinya kenaikan hargaharga umum secara terus menerus.
Inflasi adalah suatu keadaan harga barang dan jasa secara keseluruhan
naik, sehingga mengakibatkan nilai uang turun. Definisi lain, inflasi terjadi
apabila tingkat harga dan biaya-biaya umum naik. Sedangkan deflasi terjadi
apabila barang-barang dan biaya-biaya umum turun. (Samuelson, 1990:296).
Dengan adanya tingkat inflasi yang tinggi menunjukkan kondisi perkonomian
suatu negara yang kurang stabil dan akan memberikan efek pada harga saham
yang diperdagangkan di lantai bursa. Inflasi dapat menurunkan keuntungan
suatu perusahaan sehingga saham atau sekuritas yang diperdagangkan di pasar
modal menjadi suatu komoditi yang tidak menarik (Anton dkk, 2011).
Tingkat inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi
yang terlalu panas (overheated). Artinya, kondisi ekonomi mengalami
permintaan atas produk yang melebihi kapasitas penawaran produknya,
sehingga harga-harga cenderung mengalami kenaikan. Inflasi yang terlalu
tinggi akan menyebabkan penurunan daya beli uang (purchasing power of
money) serta dapat mengurangi tingkat pendapatan riil yang diperoleh investor
dari investasinya. Jadi inflasi yang tinggi menyebabkan menurunnya
keuntungan perusahan, sehingga efek ekuitas menjadi kurang kompetitif
(Tandelilin, 2001).
Teori Keynes mengemukakan bahwa inflasi terjadi karena masyarakat
ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya, sehingga menyebabkan
permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan agregat)
melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat), akibatnya
akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang
(penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi
tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat.
Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian models
ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka
pendek.
Teori struktural lebih menekankan penyebab inflasi berasal dari struktur
perekonomian yang tidak mampu mengantisipasi secara cepat dan fleksibel
atas perkembangan perekonomian yang ada terutama terjadi di negara-negara
berkembang. Negara berkembang biasanya hanya menghasilkan hasil alam
dan pertanian yang daya tukarnya tidak berkembang secepat produk industri
yang diimpor dari negara maju.
Menurut Martin Feldstein (1978) menjelaskan bahwa ketika tingkat
inflasi lebih tinggi, harga saham akan meningkat pada tingkat yang lebih cepat.
Ketika tingkat inflasi yang stabil, harga saham meningkat secara proporsional
dengan tingkat harga untuk mempertahankan rasio konstan harga saham
terhadap laba yang riil. Sebaliknya, peningkatan masa depan yang diharapkan
tentang tingkat inflasi menyebabkan penurunan secara bersamaan dalam rasio
harga saham untuk laba saat ini.
Anton, dkk (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Nilai
Tingkat Suku Bunga SBI, Nilai Kurs Dollar US, Tingkat Inflasi, Harga Minya
Dunia Dan Harga Emas Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan diketahui
bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap IHSG. Hasil ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi inflasi maka masyarakat akan cenderung untuk
memegang uangnya daripada menginvestasikannya di pasar saham. Dengan
demikian, semakin tinggi inflasi akan berdampak pada menurunnya IHSG.
Penelitian yang dilakukan oleh Lena Shiblee (2009) yang berjudul The
Impact of Inflation, GDP, Unemployment, and Money Supply on Stock Prices
memberikan hasil bahwa Inflasi berpengaruh negative terhadap harga saham.
Adanyanya pengaruh negatif berarti inflasi yang meningkat menyebabkan
harga saham bulanan akan menurun.
Penelitian tentang Pengaruh Inflasi, Harga Minyak Mentah Indonesia,
Dan Suku Bunga (BI Rate) Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan oleh
Novitasari (2013) mampu membuktikan adanya pengaruh secara negatif antara
tingkat inflasi dengan IHSG. Tingkat inflasi akan mengakibatkan penurunan
IHSG. Berpengaruhnya inflasi terhadap IHSG secara negatif karena kenaikkan
inflasi menjadi sinyal negatif bagi investor untuk berinvestasi di pasar modal
dan cenderung melepaskan saham untuk beralih pada investasi pada bentuk
lain seperti tabungan atau deposito. Peralihan investasi ke bentuk yang lain
akan menyebabkan investor untuk melakukan penjualan saham, sehingga
menurunkan hargsa saham dan IHSG.
Dari paparan tersebut, dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :
H1 :Inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IHSG di BEI.
2.2.2 Pengaruh Jumlah Uang Beredar terhadap IHSG
Uang adalah persediaan aset yang dapat dengan segera digunakan untuk
melakukan transaksi (Mankiw, 2006: 76). Definisi dari uang adalah benda-benda
yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantara untuk mengadakan tukar
menukar atau perdagangan (Sukirno, 2000: 267). Uang adalah segala sesuatu yang
diterima masyarakat secara umum dan dapat dipercaya sebagai alat pembayaran
yang sah untuk keperluan transaksi, sebagai satuan hitung, dan sebagai alat
penyimpan nilai (Kurniadi, 2013).
Menurut Mohamad Samsul (2006: 210), jika jumlah uang beredar
meningkat, maka tingkat bunga akan menurun dan Indeks Harga Saham akan naik
sehingga pasar akan menjadi bullish. Jika jumlah uang beredar menurun, maka
tingkat bunga akan naik dan Indeks Harga Saham akan turun sehingga pasar akan
menjadi bearish. Jumlah Uang Beredar dalam arti luas (M2) adalah mata uang
yang dalam peredaraannya ditambah dengan uang giral dan uang kuasi yang
terdiri dari tabungan, deposito, valas milik swasta dalam negeri.
Berbagai teori permintaan uang telah dikembangkan oleh beberapa
ahli/ilmuawan. Salah satu teori yang banyak ditelaah dan dibahas oleh sejumlah
ekonom dunia adalah teori Keynessian. Menurut John Maynard Keynes,
permintaan
terhadap
uang
merupakan
tindakan
rasional.
Meningkatnya
permintaan uang akan menaikkan suku bunga. Investasi pada surat berharga
(obligasi) pada saat suku bunga naik akan mengakibatkan kerugian capital gain ,
dari sisi lain apabila suku bunga turun, permintaan surat berharga akan naik.
erdapat tiga macam tujuan seseorang memegang uang tunai, yaitu motif transaksi,
berjaga-jaga dan spekulasi (Nugroho, 2008).
Permintaan uang tunai untuk tujuan transaksi menunjukkan jumlah uang
tunai yang diminta untuk tujuan membiayai transaksi/pengeluaran yang sifatnya
tertentu (perbulan) membayar dalam jumlah tetap dan rutin. Permintaan uang
tunai untuk berjaga-jaga menunjukkan uang tunai yang diminta untuk bertujuan
untuk tujuan membiayai transaksi/pengeluaran yang sifatnya bukan rutin dan
bukan spekulatif. Jumlah uang tunai yang diminta untuk tujuan transaksi dan
berjaga-jaga dipengaruhi secara positif oleh tingkat pendapatan. Artinya semakin
besar tingkat pendapatan semakin besar pula jumlah uang tunai yang diminta
untuk tujuan transaksi dan berjaga-jaga, dan sebaliknya (Nugroho, 2008).
Permintaan uang tunai untuk tujuan spekulasi menunjukkan jumlah uang
tunai yang diminta untuk tujuan membiayai transaksi/pengeluaran yang sifatnya
spekulatif. Misalnya membeli surat berharga (obligasi) atau saham. Jumlah uang
tunai yang diminta untuk tujuan spekulasi dipengaruhi secara negatif oleh suku
bunga. Artinya semakin tinggi suku bunga semakin sedikit jumlah uang tunai
yang diminta untuk tujuan spekulasi, dan sebaliknya. Sehingga jumlah uang yang
beredar akan berpengaruh secara positif terhadap kinerja saham (Nugroho, 2008).
Teori kuanitas uang menyatakan bahwa bank sentral yang mengawasi
penawaan uang, memiliki kendali tertinggi atas tingkat inflasi. Jika bank sentral
mempertahankan penawaran uang tetap stabil, tingkat harga akan stabil. Jika bank
sentral meningkatkan penawaran uang dengan cepat, tingkat harga akan
meningkat dengan cepat (Mankiw, 2000: 153).
Perkembangan jumlah uang beredar (JUB) di Indonesia dipengaruhi oleh
berbagai faktor, antara lain kegiatan luar negri, sektor pemerintah, sektor swasta
domestik, maupun sektor lainnya. Strategi pengendalian jumlah uang beredar
(JUB) dirumuskan berdasarkan instrumen kebijakan moneter, sesorang yang
memiliki uang maka dengan mudah mampu memenuhi kebutuhannya dalam
pasar, termasuk pasar modal (Kurniadi, 2013).
Penelitian terdahulu yang berjudul Analisis Pengaruh Inflasi, Suku Bunga,
Kurs Dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Indeks LQ45 Pada BEI Periode 20022007 oleh Heru Nugroho (2008) menunjukkan hasil bahwa variabel jumlah uang
beredar berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel perubahan Indeks
LQ45. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah uang beredar di Indonesia sangat
mempengaruhi kinerja pasar saham pada periode tahun 20002 – 2007. Artinya
bahwa masyarakat Indonesia telah menggunakan uangnya selain untuk tujuan
transaksi juga menggunakan uangnya untuk tujuan spekulatif, yaitu dengan
membeli surat-surat berharga atau saham.
Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Aditya Novianto (2011) yang
memperlihatkan hasil penelitiannya, bahwa Jumlah Uang Beredar (M 2) secara
parsial berpengaruh secara signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan.
Dari paparan tersebut, dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :
H2 : Jumlah uang beredar berpengaruh positif dan signifikan terhadap IHSG di
BEI
2.2.3 Pengaruh Nilai Kurs Dollar terhadap IHSG
Kurs atau nilai tukar adalah harga di mana penduduk antarnegara saling
melakukan perdagangan. Nilai tukar merupakan indikator penting yang akan
berpengaruh pada aktivitas di pasar saham maupun pasar uang. Nilai Tukar
Rupiah merupakan nilai mata uang rupiah yang ditranslasikan ke dalam mata uang
negara lain. Misalnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, nilai tukar
rupiah terhadap Euro, dan lain sebagainya (Navianto, 2011).
Kurniadi (2013) mendefinisikan nilai tukar mata uang (kurs) sebagai suatu
harga mata uang terhadap mata uang lainnya dan merupakan salah satu harga
yang terpenting dalam perekonomian terbuka mengingat pengaruh yang demikian
besar bagi neraca transaksi berjalan maupun variabel-variabel makro ekonomi
yang lain dan pada dasarnya merupakan jaringan kerja dari perbankan dan
lembaga keuangan dalam melayani masyarakat untuk membeli dan menjual valuta
asing.
Kurs merupakan salah satu harga terpenting dalam perekonomian terbuka
mengingat pengaruhnya yang demikian besar bagi transaksi berjalan maupun
variabel-variabel makro yang lainnya. Oleh karena itulah, kurs juga merupakan
sebuah harga aktiva atau harga asset (asset price), sehingga prinsip-prinsip
pengaturan harga asset-asset lainnya juga berlaku dalam pengaturan kurs
(Salvatore, 2007).
Jika kurs terdepresiasi, harga barang domestik akan relatif lebih murah
dibandingkan harga barang di luar negeri. Hal ini akan mengakibatkan penduduk
domestik akan membeli sedikit barang-barang impor dan orang-orang asing akan
membeli lebih banyak produk domestik. Akibatnya, jumlah ekspor akan lebih
tinggi daripada impor dan akan terjadi surplus neraca pembayaran. Neraca
pembayaran yang baik akan menarik minat dan kepercayaan investor terhadap
perekonomian Indonesia. Para investor akan tertarik untuk berinvestasi di
Indonesia dan perdagangan saham di pasar modal pun akan meningkat (Suta,
2000).
Para ekonom lain yakin bahwa apresiasi mata uang dalam sistem nilai tukar
mengambang (the floating exchange rate regime) akan mempengaruhi daya saing
produk lokal secara international dan posisi neraca perdagangan. Nantinya, aliran
kas perusahaan di masa datang akan terpengaruh karena buruknya output riil dan
hal ini menurunkan harga saham. Intinya, model tersebut menyimpulkan bahwa
nilai tukar berpengaruh pada harga saham secara positif (Saini dkk.,2002).
Dengan melihat porsi kepemilikan saham di bursa efek indonesia yang didominasi
oleh asing maka kecenderungannya adalah semakin tinggi nilai mata uang dollar
maka semakin tinggi pula indeks harga saham gabungan.
Penelitian tentang Analisis Pengaruh Inflasi, Suku Bunga, Kurs Dan Jumlah
Uang Beredar Terhadap Indeks LQ45 oleh Heru (2008) memperlihatkan hasil
bahwa variabel kurs berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap Indeks
LQ45. Artinya semakin besar variabel perubahan kurs mata uang $, semakin
menambah baik kinerja saham LQ45.
Hasil yang sama juga ditemukan dari penelitian yang dilakukan oleh Krisna
dan Wirawati (2013) bahwa variabel nilai tukar rupiah dikatakan berpengaruh
positif dan signifikan pada IHSG. Pengaruh positif ini berarti bahwa nilai tukar
rupiah dan IHSG berbanding lurus. Jika nilai tukar rupiah semakin kuat
mengakibatkan IHSG semakin baik. Begitu pula sebaliknya jika nilai tukar rupiah
semakin lemah maka IHSG akan semakin buruk.
Dari paparan diatas, dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :
H3 : Nilai Kurs Dollar berpengaruh positif dan signifikan terhadap IHSG di BEI
2.2.4 Pengaruh Pertumbuhan GDP terhadap IHSG
Produk Domestik Bruto atau dalam istilah Inggrisnya “Gross Domestic
Bruto (GDP)” adalah nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang
diproduksikan oleh faktor-faktor produksi milik warga negara-negara tersebut dan
negara asing (Sadono Sukirno, 2004: 34).
PDB berbeda dari Produk Nasional Bruto (PNB) karena memasukkan
pendapatan faktor produksi dari luar negeri yang bekerja di negara tersebut. PDB
hanya menghitung total produksi dari suatu negara tanpa memperhitungkan
apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi dalam negeri atau
tidak. Sebaliknya, PNB memperhatikan asal usul faktor produksi yang digunakan
(Amansyah, 2014).
Thobarry (2009) mengatakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi adalah
suatu proses kenaikkan output perkapita jangka panjang. Penekanan pada proses
karena mengandung unsur dinamis, perubahan dan perkembangan. Oleh karena
itu pemakaian indikator pertumbuhan ekonomi akan dilihat dalam kurun waktu
tertentu.
Produk Domestik Bruto sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja
perekonomian.Statistik ini dihitung setiap tiga bulan oleh Biro Analisis Ekonomi
(bagian dari Departemen Perdagangan AS) dari segudang sumber data primer.
Tujuan GDP adalah meringkas aktivitas ekonomi dalam suatu nilai uang tertentu
selama periode waktu tertentu (Mankiw, 2006: 16).
Produk domestik bruto dinilai menurut harga pasar dan dapat didasarkan
kepada harga yang berlaku dan harga tetap. Meningkatnya PDB merupakan sinyal
yang baik (positif) untuk investasi dan sebaliknya. Meningkatkan PDB
mempunyai pengaruh positif terhadap daya beli konsumen sehingga dapat
meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan. Adanya peningkatan
permintaan terhadap produk perusahaan akan meningkatkan profit perusahaan dan
pada akhirnya dapat meningkatkan harga saham perusahaan (Kewal, 2012).
Hismendi, dkk (2013) menjelaskan bahwa pertumbuhan GDP memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap pergerakan IHSG. Pertumbuhan GDP
mengindikasikan pertumbuhan ekonomi, jika pertumbuhan ekonomi membaik
maka daya beli masyarakatpun akan meningkat dan memberikan kesempatan bagi
perusahaan untuk meningkatkan penjualan, sehingga menghasilkan keuntungan
bagi perusahaan.
Amansyah (2014) meneliti Pengaruh Nilai Tukar, Cadangan Devisa, Produk
Domestik Bruto Terhadap IHSG Tahun 2001-2011 menunjukkan bahwa PDB
berpengaruh positif dan signifikan terhadap IHSG. Dengan meningkatnya kinerja
ekonomi yang dicerminkan oleh pertumbuhan PDB, investor cenderung akan
lebih banyak berinvestasi di pasar modal. Meningkatnya pertumbuhan PDB juga
dapat mengakibatkan naiknya daya beli masyarakat yang imbasnya bisa saja
dirasakan oleh pasar saham.
Dari paparan tersebut, dapat diajukan hipotesis :
H4 : Pertumbuhan GDP berpengaruh positif dan signifikan terhadap IHSG di BEI.
2.3 Model Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah terdapat
pengaruh antara inflasi, jumlah uang beredar, nilai kurs dollar dan gross domestic
product terhadap IHSG di BEI, maka dapat digambarkan model penelitian sebagai
berikut:
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran Teoritis
Inflasi
X1
H1 (-)
x
Jumlah Uang Beredar
(JUB)
H2 (+)
X2
Indeks Harga Saham
Gabungan di BEI
Y
Nilai Kurs Dolar
H3 (+)
X3
H4 (+)
Pertumbuhan GDP
X4
Download