Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013 IDENTIFIKASI MASALAH KESEHATAN SAPI POTONG DI WILAYAH PENDAMPINGAN PSDSK PROVINSI SUMATERA SELATAN (Identification of Status of Beef Cattle Diseases in Area of Beef Cattle Self Sufficiency Program in South Sumatera Province) Aulia Evi Susanti, Prabowo A Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan, Jl. Kol. H. Burlian Km. 6 No. 83 Palembang [email protected] ABSTRACT In order to improve beef cattle production in the district of PSDSK in South Sumatra Province, it is needed to identificatify status of animal diseases in those area. Data and information were collected by interviewing 1500 farmers. Results showed that the main animal diseases identified were intestinal worm dissorder (35%) and pynk eye disease (15.6%). Disease associated with reproductive disorders was calving difficulty at first birth (0.7%). This study was important, since in order to increase cattle population there were variety of issues that might become obstacle in achieving the goal of increasing cattle population. Key Words: Disease, Health, Beef Cattle ABSTRAK Identifikasi masalah kesehatan sapi potong yang dipelihara peternak di wilayah pendampingan PSDSK dilaksanakan di enam kabupaten Sumatera Selatan. Pengambilan data dilakukan menggunakan metode wawancara dengan 1.200 peternak. Hasil identifikasi menunjukkan masalah kesehatan yang sering terjadi pada sapi yang dipelihara oleh peternak, yaitu sapi mengalami cacingan (35%) dan sapi terserang penyakit mata (15,6%). Dari keseluruhan masalah kesehatan, yang berhubungan dengan gangguan reproduksi adalah sapi kesulitan beranak pada kelahiran pertama (0,7%). Penelitian ini menjadi penting, karena dalam upaya meningkatkan populasi sapi kita dihadapkan dengan berbagai masalah yang dapat menjadi kendala pencapaian peningkatan populasi sapi. Kata Kunci: Penyakit, Kesehatan, Sapi Potong PENDAHULUAN Petenakan adalah salah satu sub sektor pertanian yang berperan serta dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Usaha peternakan telah dilakukan oleh pengusaha skala besar maupun petani dalam skala kecil. Sasaran akhir tiap usaha peternakan adalah pencapaian keuntungan maksimal, sehingga harus dipertimbangan 6 syarat peternakan yang berupa: 1. Digunakannya bibit ternak yang terjamin mutunya 2. Tersedianya pakan yang cukup secara kualitatif dan kuantitatif 300 3. Penerapan tata laksana reproduksi yang optimal 4. Penerapan pengetahuan zooteknik yang tepat 5. Pencegahan dan pengendalian gangguan penyakit 6. Penguasaan cara pemasaran produk ternaknya. Keenam faktor tersebut harus didukung dengan sistem pencatatan (recording) yang baik (Subronto dan Tjahajati 2001). Kementerian Pertanian telah mencanangkan program swasembada daging sapi dan kerbau (PSDSK). Swasembada dapat dicapai apabila impor setara daging sapi hanya Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013 <10%. Penurunan importasi setara daging dari sekitar 120 ribu ton pada tahun 2010 menjadi 46,6 ribu ton pada tahun 2014. (Antara News 2008; Bbalitvet 2009). Salah satu ruang lingkup kegiatan PSDSK dan menjadi salah satu faktor keberhasilan pengembangan sapi potong adalah pencegahan dan pengendalian penyakit. Dalam upaya pencegahan dan pengendalian tersebut salah satu langkah pertama yang dilakukan adalah identifikasi penyakit. Gangguan kesehatan sapi dapat disebabkan oleh agen penyakit infeksius dan non infeksius, seperti bakteri, virus, jamur serta karena manajemen pemeliharaan yang kurang tepat (difisiensi nutrisi). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah pemeliharaan sapi potong yang dipelihara oleh rakyat serta alternatif pemecahan masalahnya. Penelitian ini menjadi penting, karena dalam upaya meningkatkan populasi sapi, kita dihadapkan dengan berbagai masalah yang dapat menjadi kendala pencapaian peningkatan populasi sapi. MATERI DAN METODE Salah satu usaha yang ditempuh untuk meningkatkan jumlah populasi sapi adalah dengan menerapkan manajemen pemeliharaan yang baik. Salah satu manajemen pemeliharaan sapi adalah kesehatan. Identifikasi permasalahan kesehatan menjadi penting agar dapat dicarikan solusi dan penanganan yangn tepat dalam mengatasinya. Data keragaan permasalahan kesehatan sapi di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Keragaan permasalahan kesehatan sapi Masalah Sapi berak darah 4,1 Kesulitan beranak pada kelahiran pertama 0,7 Sapi cacingan HASIL DAN PEMBAHASAN Beberapa fakor yang sangat menentukan keberhasilan pemeliharaan ternak sapi, baik yang dipelihara secara intensif maupun semi intensif antara lain: 1. Pemberian pakan yang cukup dan bergizi 2. Tersedianya bibit yang berkualitas 3. Pengendalian penyakit (Prawiradiputra et al. 2006). 35,0 Sapi keguguran 1,7 Sapi kejang 0,7 Sapi kembung 3,4 Sapi keracunan 0,7 Pertumbuhan pedet lambat 3,1 Sapi lumpuh 4,1 Sapi terserang penyakit mata Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Komering Ulu Timur (OKUT), M. Enim, Lahat, MuBa, MuRa dari bulan April sampai Agustus 2010. Kabupaten tersebut merupakan sentra peternakan sapi potong di Provinsi Sumatera Selatan. Penelitian dilakukan dengan metode survei. Survei dilakukan terhadap 1200 responden. Permasalahan yang ada di lokasi digali melalui wawancara secara individual melalui inumerator dengan peternak. Semua data yang diperoleh ditabulasi dengan statistik sederhana. Data hasil analisis selanjutnya dilaporkan secara deskriptif. Persentase kejadian Pedet mati Sapi mencret Sapi kurang nafsu makan 15,6 1,0 7,8 10,2 Peternak kesulitan menangani penyakit 2,0 Sapi menderita penyakit pernafasan 0,3 Sapi pincang 7,5 Retensi plasenta 0,7 Pedet mengalami radang tali pusar 1,4 Total 100,0 Dari Tabel 1, masalah utama adalah sapi mengalami cacingan (35%) dan sapi terserang penyakit mata (15,6%). Peternak dapat menduga bahwa sapi mereka menderita cacingan bedasarkan ciri fisik yaitu: bulu kusam, nafsu makan kurang atau nafsu makan banyak tetapi sapi tetap kurus dan sering dijumpai sapi mencret. Menurut Subronto dan Tjahajati (2001) Gejala umum dari hewan yang terinfeksi cacing internal antara lain badan lemah dan bulu kusam, gangguan pertumbuhan yang berlangsung lama. Jika infeksi sudah lanjut diikuti dengan anemia, diare dan badannya 301 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013 menjadi kurus yang akhirnya bias menyebabkan kematian. Kehadiran parasit cacing bias diketahui dari pemeriksaan feses untuk mengetahui telur cacing. Perubahan populasi cacing dalam perut sapi dapat diketahui dengan menghitung total telur per gram feses (EPG) secara rutin. Tingkat prevalensi parasit cacing tergantung pada jumlah dan jenis cacing yang menginfeksinya. Berbagai jenis parasit internal yang dapat menginfeksi ruminansia tersebar secara kosmopolitan. Penyakit yang disebabkan oleh cacing merupakan kejadian yang cukup sering menyerang ternak sapi dan biasanya menyerang pada musim hujan atau dalam kondisi lingkungan yang basah. Infestasi parasit internal memberikan efek bervariasi tergantung pada dan tingkat stres yang dialami ternak. Ternak muda dan ternak stres sangat rentan terhadap serangan parasit internal (Gadberryy et al. 2011). Infestasi parasit internal menyebabkan penurunan kondisi fisik dan sistem kekebalan tubuh sehingga ternak sangat peka terhadap serangan penyakit yang berujung pada kematian ternak. Beberapa bagian organ ternak yang dipotong tidak jarang terpaksa diafkir karena mengalami kerusakan (Heath dan Harris 2003; Swai et al. 2006). Penanggulangan terhadap infeksi parasit cacing saat ini sering dilakukan adalah dengan memberi obat cacing (antelmintik). Pemberian obat cacing harus dilakukan berulang kali, karena ternak yang digembalakan selalui terinfeksi melalui rumput. (Larsen 2000). Selain pemberian antelmintik, pengendalian yang sering dilakukan adalah dengan manajemen penggembalaan dan penambahan pakan tambahan pada pakan (Beriajaya et al. 1995). Seluruh cara tersebut harus merupakan kesatuan yang terpadu dan keberhasilan pengendalian bergantung pada berat ringannya peyakit serta kondisi lingkungan (Waller 1997). Masalah kedua yang umum dijumpai peternak adalah sapi mengalami sakit mata atau radang selaput mata. Gejala umum yang nampak dari sapi penderita adalah mata merah, sering mengeluarkan air mata dan sering dihinggapi lalat. Bedasarkan ciri-ciri tersebut sapi diduga menderita pink eye. Pink eye adalah penyakit mata akut yang menular pada sapi, domba dan kambing. Pink eye atau infectious bovine keratoconjunctivitis dapat menyerang semua umur sapi akan tetapi lebih 302 sering menyerang pedet. Infeksi primer disebabkan oleh bakteri Moraxella bovis (Hilton 2002). Walaupun angka kematian akibat pink eye rendah namun infeksinya cepat menular. Tanda-tanda klinis dari penyakit ini pada sapi antara lain kekeruhan pada kornea mata, mata selalu berair dan kebutaan, sehingga sapi tidak dapat makan dengan baik, akhirnya kurus dan pertambahan bobot badan menurun (Hilton 2002). Penularan pink eye dapat terjadi melalui kontak dengan ternak terinfeksi, serangga (lalat), rumput dan percikan air yang tercemar. Penyakit ini sering terjadi pada musim panas karena banyaknya debu dan meningkatnya populasi lalat Musca autumnalis sebagai vektor. Pink eye dapat juga terjadi pada waktu ternak dalam perjalanan (transportasi) sehingga menimbulkan iritasi oleh debu atau sumbersumber lain yang menyebabkan goresan. Perubahan cuaca yang mendadak, terlalu padatnya ternak dalam kandang dilaporkan dapat memicu terjadinya penyakit ini. Penularan penyakit ini melalui debu, lalat, rumput dan percikkan air yang terkontaminasi kuman penyebab (Thomas 2008). Pencegahan penyakit yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga kebersihan kandang, menggembalakan sapi pada tempat yang teduh, mengindari kepadatan ternak, pemotongan hijauan saat waktu panen dan kontrol lalat dengan pestisida. Pengobatan yang dapat diberikan berupa injeksi antibiotik dan salep mata yang mengandung antbiotik. Berdasarkan Tabel 1, terdapat beberapa penyakit yang berhubungan dengan gangguan reproduksi, antara lain: kesulitan beranak pada kelahiran pertama (0,7%), sapi keguguran (1,7%) dan retensi plasenta (0,7%). Masalah ganguan reproduksi yang paling sering dijumpai pada lokasi pendampingan adalah kesulitan beranak pada kelahiran pertama. Dari hasil wawancara dengan pemilik sapi, bangsa sapi yang umumnya mereka miliki adalah sapi bali. Sapi yang dimiliki berukuran kecil dengan rataan berat 170-200 kg dan metode perkawinan melalui inseminasi buatan atau kawin alam. Kondisi tersebut diduga karena ukuran induk lebih kecil dari ukuran fetus, umur induk pertama kali dikawinkan terlalu muda atau adanya abnormalitas fetal dan maternal. Dalam kondisi tertentu, perkawinan betina sengaja ditunda dengan Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013 maksud agar ternak tidak beranak terlalu kecil untuk menghindari terjadinya distokia (Lindsay et al. 1982). Umur dan ukuran badan sapi dara pada waktu dikawinkan pertama kali perlu mendapat perhatian sehingga diperoleh angka konsepsi yang tinggi dan mencegah kesulitan beranak. Kasus distokia umumnya terjadi pada induk yang baru pertama kali beranak, induk yang masa kebuntingannya jauh melebihi waktu normal, induk yang terlalu cepat dikawinkan, hewan yang kurang bergerak, kelahiran kembar dan penyakit pada rahim. Distokia dapat disebabkan oleh faktor induk dan faktor anak (fetus) Aspek induk yang dapat mengakibatkan distokia diantaranya kegagalan untuk mengeluarkan fetus akibat gangguan pada rahim yaitu rahim sobek, luka atau terputar, gangguan pada abdomen (rongga perut) yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk merejan, tersumbatnya jalan kelahiran, dan ukuran panggul yang tidak memadai. Aspek fetus yang dapat mengakibatkan distokia diantaranya defisiensi hormon (ACTH/cortisol), ukuran fetus yang terlalu besar, kelainan posisi fetus dalam rahim serta kematian fetus dalam rahim. Ukuran fetus yang terlalu besar dipengaruhi oleh berbagai faktor yang yaitu keturunan, faktor pejantan yang terlalu besar sedangkan induk kecil, lama kebuntingan, jenis kelamin fetus yaitu fetus jantan cenderung lebih besar, kebuntingan kembar. Faktor nutrisi induk juga berperan, yakni pemberian pakan terlalu banyak dapat meningkatkan bobot badan fetus dan timbunan lemak dalam rongga panggul yang dapat menurunkan efektifitas perejanan. KESIMPULAN Masalah gangguan kesehatan sapi potong di wilayah pendampingan PSDSK di provinsi Sumatera Selatan telah teridentifikasi. Prosentase terbesar masalahnya adalah sapi mengalami cacingan dan sapi terserang penyakit mata. Upaya pencegahan dan penanggulangan masalah kesehatan harus didukung oleh berbagai pihak, yaitu pemerintah daerah dan peternak. Langkahlangkah yang dapat dilakukan antara lain dengan menjaga sanitasi kandang serta lingkungan pemeliharaan, pemberian pakan yang cukup secara kualitas dan kuantitasnya dan penguasaan manajemen peternakan yang baik. DAFTAR PUSTAKA Antara News. 2008. Pemerintah swasembada daging sapi. tak bisa Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor. 2009. Temu Koordinasi Kehumasan Ditjennak. Bogor: BBlitvet. Beriajaya SE, Estuningsih, Darmono, Knox MR, Stoltz DR, Wilson AJ. 1995. The use of wormolas in controlling gastrointestinal nematode infections in sheep under traditional grazing management in Indonesia. JITV. 1:4955. Gadberry S, Pennington J, Powell J. 2011 Internal parasites in beef and dairy cattle. Agriculture and Natural Resources. University of Arkansas. www.uaex.edu. Diakses 10 Maret 2011. Heath SE, Harris B Jr. 2. 2003. Common internal parasite of goat in Florida. University of Florida. CIR1023. IFAS Extension. Hilton. 2002. Pinkeye keratoconjunctivitis of cattle. School of Veterinary Medicine, Purdue University. Larsen M. 2000. Prospect for controlling animal parasitic nematodes by predacious micro fungi. Parasitology. 120:121-131. Lindsay DR, Enwistle, Winantea A. 1982. Reproduksit ternak di Indonesia Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang. Prawiradiputra BR, Sajimin, Purwantari ND, Herdiawan I. 2006. Hijauan pakan ternak di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Subronto, Tjahajati I. 2001. Ilmu penyakit ternak II. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Swai ES, Mtui PF, Mbise AN, Kaaya E, Sanka P, Loomu PM. 2006. Prevalence of gastrointestinal parasite infection in maasai cattle in Ngorongoro District Tanzania. Livest Res Rural Dev. 18. Thomas. 2008. Pink eye (conjunctivitis). Media Group LLC. http://www.drthomasblake. com/articles/conditions_PinkEye.htm. Diakses 9 Juni 2013. Waller PJ. 1997.Sustainable helminth control of ruminants in developing countries. Vet Parasitol. 71:195-207. 303