TEORI-TEORI DASAR PERKEMBANGAN MORAL PADA USIA DINI: SUATU PERSPEKTIF PSIKOLOGI Abstrak Yulia Ayriza Pendidikan karakter memiliki tiga komponen yang penting, yaitu moral knowing, moral feelings, dan moral action. Ketiga komponen dasar ini merupakan satu kesatuan yang kontinyu dalam perkembangan moral anak. Dengan demikian mempelajari perkembangan moral anak akan bermanfaat juga sebagai dasar pengetahuan untuk melaksanakan pendidikan karakter. Meskipun demikian, banyak praktisi yang tidak mengetahui teori dasar dari perspektif psikologi yang menerangkan ketiga komponen penting dalam perkembangan moral tersebut, padahal pendidikan karakter sangat erat hubungannya dengan psikologi – ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Dalam artikel ini akan dibahas tiga teori psikologi mayor yang menjelaskan komponen dasar dari perkembangan moral: Teori Perkembangan Kognitif – menjelaskan moral knowing, Teori Psikoanalitik – menjelaskan moral feelings, dan Teori Sosial Kognitif – menjelaskan moral action/behavior. Diharapkan dengan memahami dasar terbentuknya perilaku tiga komponen dasar perkembangan moral ini, pendidik memiliki pegangan lebih baik dalam mengimplementasikan pendidikan karakter kepada peserta didiknya. Pendahuluan Sehubungan dengan adanya Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025, maka pendidikan karakter pada akhir-akhir ini menjadi topik hangat di kancah nasional yang banyak diperhatikan dan dikerjakan baik oleh kelompok profesional maupun awam dari unsur masyarakat. Konsep pendidikan karakter sendiri memiliki dasar teori yang dapat dikaji dari berbagai perspektif ilmu, antara lain dari filsafat, psikologi, pedagogi, dan bidang ilmu lainnya. Yang menjadi masalah, para praktisi jarang berniat meninjau lebih dalam asal mula teori yang mencetuskan konsep pendidikan karakter tersebut, melainkan yang umum terjadi konsep-konsep yang ada sudah “ready used”, sehingga langsung digunakan pada implementasinya di lapangan. Tentu hal ini tidak menjadi masalah sejauh tidak ada hambatan yang dihadapi pada proses pendidikan, namun demikian alangkah baiknya apabila si calon pengguna mengetahui dasar teori yang mendasari lahirnya konsep yang akan 1 digunakan, sehingga dapat dipahami dinamika perkembangan terbentuknya perilaku yang diharapkan, serta mampu mengimplementasikannya sesuai dengan kerangka dasar teoritiknya, khususnya dari perspektif psikologi – ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Secara khusus dalam kaitannya dengan proses pemerolehan dan internalisasi nilai-nilai karakter yang dikehendaki, pendidikan karakter memiliki hubungan yang sangat erat dengan teori perkembangan moral, oleh karena itu dalam artikel ini akan diuraikan tiga teori besar dalam psikologi yang menerangkan tentang perkembangan moral anak, dengan masing-masing menekankan pada fokus yang berbeda, yaitu dalam hal moral reasoning, moral feeling, dan moral behavior. Diharapkan dengan memahami dasar teori yang melandasi masing-masing aspek perilaku moral, pendidik akan memiliki pegangan lebih kuat dalam mengimplementasikan pendidikan karakter kepada peserta didiknya, dan dengan demikian pula akan diperoleh proses yang lancar serta hasil yang memuaskan. Pendidikan Karakter dan Perkembangan Moral Pendidikan karakter merupakan pendidikan budi pekerti yang menanamkan nilai moral manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata. Dalam proses penanaman nilai moralitas ini melibatkan unsur kognitif yang meliputi pikiran, pengetahuan, dan kesadaran; unsur afektif atau perasaan; serta unsur psikomotorik atau perilaku (Muslich, 2011; Suyanto, 2009). Sementara Lickona (1992) berpendapat bahwa tiga komponen dari karakter yang baik terdiri dari: (1) knowing the good/moral knowing, (2) desiring the good atau loving the good/moral feeling, dan (3) acting the good/moral action. Pendapat Lickona tentang komponen-komponen karakter ini apabila digabungkan sebagai satu kesatuan yang kontinyu merupakan dinamika dari terbentuknya moralitas anak dalam perkembangan moralnya. Santrock (2008, h. 316) dalam menerangkan tentang perkembangan moral menyatakan bahwa: 2 “Moral development involves the development of thoughts, feelings, and behaviors regarding rules and conventions about what people should do in their interactions with other people”. Berdasar pendapat-pendapat yang sudah diuraikan tersebut, dapat disimpulkan adanya kesamaan antara pendidikan karakter dengan perkembangan moral individu, terutama dalam proses pemerolehan dan internalisasinya; bahwa untuk terbentuknya nilai-nilai yang diharapkan, individu tidak cukup hanya mengetahui saja nilai yang ditanamkan, melainkan perlu juga dapat merasakan dan mencintai nilai tersebut, serta melaksanakan atau mewujudkannya dalam bentuk tingkah laku. Dengan demikian pula, dapat disimpulkan bahwa uraian tentang teori-teri dasar yang mencetuskan aspek-aspek perkembangan moral dapat pula digunakan untuk memahami dinamika terbentuknya aspek-aspek perilaku pada pendidikan karakter. Teori-Teori Dasar Perkembangan Moral Sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwa ada tiga aspek perkembangan moral yang meliputi moral knowing, moral feelings, dan moral action, masing-masing diterangkan oleh tiga teori perkembangan mayor, yaitu teori perkembangan kognitif oleh Piaget, teori psikoanalitik oleh Freud, dan teori social kognitif oleh Bandura (Santrock, 2008). 1. Teori Perkembangan Kognitif – Penalaran Moral/Moral Reasoning Perhatian tentang bagaimana anak-anak berpikir tentang hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai moral dirintis oleh Piaget pada tahun 1932 (dalam Santrock, 2008) melalui penelitian-penelitiannya yang luas dan mendalam dengan menggunakan metode observasi dan wawancara pada anak-anak berusia 4-12 tahun. Dalam penelitiannya, Piaget mengangkat persoalan-persoalan moral seperti mencuri, berbohong, hukuman, dan keadilan. Dari hasil penelitiannya, Piaget membagi tahap-tahap perkembangan moral berdasarkan cara penalarannya, yaitu: 3 a. 4-7 tahun: tahap moralitas heteronom; pada tahap ini cara berpikir anak tentang keadilan dan peraturan bersifat obyektif dan mutlak (dalam Monks, Knoer, & Haditono, 2001) , artinya tidak dapat diubah dan tidak dapat ditiadakan oleh kekuasaan manusia. b. 7-10 tahun: tahap transisi; anak menunjukkan sebagian sifat dari tahap moralitas heteronom, dan sebagian sifat lain dari tahap moralitas autonom. c. 10- dan seterusnya: tahap moralitas autonom; anak menunjukkan kesadaran bahwa peraturan dan hukum diciptakan oleh manusia, oleh karenanya dalam menilai suatu perbuatan, anak-anak selain mempertimbangkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan, juga sekaligus mempertimbangkan maksud dan ikhtiar dari si pelaku. Teori perkembangan moral yang dirintis Piaget ini kemudian dikembangkan oleh Kohlberg yang membagi tahap-tahap perkembangan moral dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Perbedaan Cara Berpikir Moralitas Heteronom dan Autonom Anak pada tahap moralitas heteronom dan autonom tentu memiliki cara berpikir moral yang berbeda. Berikut akan diuraikan pendapat Piaget (dalam Monks, Knoer, & Haditono, 2001; Santrock, 2008) tentang perbedaan karakteristik penalaran moral anak pada kedua tahap tersebut. a. Pada Tahap Moralitas Heteronom 1) Anak-anak menilai benar-salah dengan mempertimbangkan akibatakibat yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan. Misalnya, pada cerita tentang anak yang ingin menunjukkan nilai rapornya yang bagus dan secara tidak sengaja telah memecahkan 12 cangkir dibandingkan dengan anak yang bermaksud mencuri kue dan memecahkan sebuah 4 cangkir. Pada tahap hateronom, memecahkan 12 cangkir dinilai lebih besar kesalahannya daripada memecahkan sebuah cangkir. Dalam hal ini penilaian moral didasarkan pada kerugian material yang dinilai secara kuantitatif. 2) Anak-anak yakin bahwa peraturan tidak dapat diubah karena diturunkan secara tradisi oleh orang-orang yang memiliki wewenang sangat besar. Sebagai contoh: ketika Piaget menganjurkan anak-anak kecil untuk menggunakan peraturan baru dalam bermain marbel, mereka dengan tegas menolak, karena hal itu dianggap melanggar peraturan. 3) Anak-anak yakin bahwa keadilan bersifat tetap dan selalu ada, sebagai akibatnya, anak menghubungkan pelanggaran dengan datangnya hukuman secara otomatis. Oleh karena itu dapat disaksikan bahwa anak kecil yang melakukan kesalahan sering melihat ke sekeliling dengan cemas, karena yakin bahwa datangnya hukuman tak dapat dihindari. b. Pada Tahap Moralitas Autonom 1) Anak-anak menilai benar-salah berdasarkan tujuan si pelaku, oleh sebab itu dalam kasus anak yang memecahkan cangkir, anak yang bermaksud mencuri kue dan memecahkan satu cangkir dinilai lebih besar kesalahannya karena dinilai tujuannya tidak baik dibandingkan anak yang memecahkan 12 cangkir secara tidak sengaja. 2) Anak-anak menilai bahwa peraturan semata-mata merupakan kesepakatan yang disetujui bersama, sehingga memungkinkan untuk diubah. Pada contoh permainan marbel, anak-anak pada tahap autonom ini dapat menerima anjuran untuk bermain dengan peraturan baru yang disetujui bersama. 5 3) Anak-anak pada tahap ini mengetahui bahwa hukuman hanya akan datang apabila perbuatan salahnya disaksikan oleh orang lain, bahkan anak-anak beranggapan bahwa hukuman itu memiliki kemungkinan untuk dihindari. Cara berpikir autonom ini dinyatakan bersifat subyektif dan relatif tergantung pada tujuannya, dan hal ini sudah dimulai sejak anak berusia 7 tahun pada fase operasional konkrit (Rathus, 2007). Pemerolehan Cara Berpikir Heteronom dan Autonom Pada tahap heteronom, cara berpikir moralitas anak diperoleh dari orang tua dan teman sebayanya, namun lebih dominan diperoleh dari orang tua melalui pengasuhannya. Menurut Santrock (2008), dalam hubungannya dengan orang tua, perkembangan moral anak diperoleh melalui tiga hal penting, yaitu: 1) Sifat hubungan: hubungan orang tua – anak yang hangat dan bertanggung jawab mengenalkan nilai-nilai kewajiban yang bersifat timbal balik antara kedua belah pihak tersebut (Thompson, 2006); dalam hal ini tanggung jawab orang tua ialah memberikan pengasuhan dan bimbingan yang positif pada anak untuk menjadi manusia yang berkompeten, sedangkan kewajiban anak ialah merespon secara memadai prakarsaprakarsa orang tua, serta mempertahankan hubungan yang positif dengan orang tua. 2) Strategi proaktif: salah satu strategi pengasuhan ialah secara proaktif mencegah atau menghindarkan anak dari perbuatan yang salah sebelum hal itu terjadi (Thompson, Meyer, & McGinley, dalam Shamrock, 2008). Cara yang digunakan orang tua yaitu dengan tindakan pengalihan seperti mengalihkan perhatian anak pada hal-hal yang tidak baik atau mengarahkan mereka pada kegiatan-kegiatan lain supaya terhindar dari perbuatan jelek. Misalnya, anak yang sedang menonton televisi tentang 6 adegan agresivitas bisa dialihkan pada kegiatan bermain di taman. Dengan anak-anak yang sudah lebih besar, orang tua dapat secara proaktif mendiskusikan nilai-nilai moral yang dipandang penting bagi anak untuk bisa menghindarkan diri dari perbuatan tidak baik. 3) Percakapan dua arah: percakapan dengan anak, baik yang disengaja ataupun tidak disengaja tentang nilai-nilai moral dapat memberikan kontribusi tinggi pada perkembangan moral anak. Percakapan dapat mencakup nilai moral yang positif seperti disiplin, ataupun nilai yang negatif seperti perbuatan curang. Pada anak-anak di atas 10 tahun, pemerolehan cara berpikir moralitas lebih banyak berasal dari hubungannya dengan kelompok teman sebaya. Sejalan dengan perkembangan kognisinya, anak-anak juga semakin terampil dalam berpikir tentang masalah-masalah social. Piaget menekankan bahwa pemahaman masalah sosial diperoleh melalui hubungan timbal balik dalam hal memberi dan menerima dengan teman-teman sebayanya. Dalam kelompok teman sebaya, anak-anak memiliki kekuasaan dan status yang seimbang dalam hal membuat perencanaan-perencaaan yang kemudian dinegosiasikan dan dikoordinasikan untuk mendapatkan kesepakatan. Apabila terdapat ketidaksepakatan, maka hal ini dipikirkan bersama dengan nalar hingga akhirnya dapat diselesaikan atau dengan kata lain dicapai kesepakatan. Melalui cara seperti ini, penalaran anak tentang moralitas berkembang, sedangkan dalam hubungan orang tua-anak yang ditandai hubungan otoriter atau hubungan kepatuhan searah, maka cara berpikir moralitas anak kurang dapat berkembang (Santrock, 2008). Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Piaget menitik-beratkan aspek kognisi sebagai fungsi utama dalam perkembangan moral anak, baik pada tahap moralitas heteronom yang cenderung bersifat pasif menerima dari orang tua maupun pada tahap moralitas autonom yang cenderung bersifat aktif mengadakan negosiasi dengan kelompok teman sebaya tentang norma 7 dan peraturan-peraturan yang akan diadopsi dan kemudian dikonsepsi dalam kepribadiannya. 2. Teori Psikoanalitik – Perasaan Moral/Moral Feelings Menurut Freud dengan teori psikoanalitiknya, perasaan cemas dan bersalah merupakan inti dari perkembangan moral. Penyelesaian terhadap konflik Oedipus dan Electra yang terjadi pada usia 3-5 tahun memainkan peranan penting pada perkembangan moral anak. Pada usia tersebut, anakanak mengembangkan keinginan yang tinggi untuk menggantikan posisi orang tua yang sama jenis kelamin dengan dirinya serta menikmati kasih sayang dari orang tua lawan jenisnya. Namun demikian, pada usia 5-6 tahun, anak menyadari bahwa orang tua mereka yang sesama jenis dapat menghukum mereka atas dorongan seksual yang tidak dapat diterima menurut norma, oleh karena itu anak-anak lalu mengidentifikasikan diri pada orang tua sesama jenis, menginternalisasi norma-norma mereka. Sebagai pengganti rasa permusuhan yang semula ditujukan pada orang tua sesama jenis, maka dengan cara mengidentifikasikan diri pada kepribadian mereka, anak-anak menekan rasa permusuhan itu ke dalam bawah sadar yang kemudian muncul dalam kesadaran sebagai perasaan bersalah (Freud, dalam Santrock, 2008). Dengan demikian, rasa bersalah ini muncul karena anak merasa melanggar norma, sehingga anak perlu melakukan penyesuaian diri terhadap standar norma dari masyarakat untuk mengurangi rasa bersalah. Dalam hal ini, pengendalian terhadap diri sendiri menggantikan pengendalian dari orang tua. Ditinjau dari struktur kepribadian menurut teori psikoanalitik yang terdiri dari id, ego dan superego, maka perkembangan superego sebagai agen moral terjadi ketika anak berusaha mengumpulkan dan mengadopsi standar dan nilai-nilai moral dari orang tua dan anggota komunitas yang lain. Anak melakukannya melalui identifikasi, yaitu dengan mencoba menjadi sama seperti orang-orang yang menjadi ego idealnya. Setelah berhasil 8 mengidentifikasi, superego menggantikan kedudukan model-model dari ego ideal dan memonitor tujuan-tujuan dari ego dalam memenuhi dorong id dengan cara memberikan pertimbangan benar dan salah. Penggantian posisi ini menjadikan ego dipenuhi perasaan bersalah dan malu ketika pertimbangan yang diberikan superego terhadap apa yang dilakukan ego bersifat negatif atau dinyatakan bersalah (Freud, dalam Rathus, 2007). Meskipun teori Freud tentang pembentukan ego ideal dan superego tidak dapat dibuktikan, namun para peneliti menemukan bahwa intensitas perasaan bersalah anak ketika melakukan perbuatan salah dapat dibuktikan. Sebagai contoh, pada salah satu penelitian yang melibatkan 106 anak prasekolah, mereka diberitahu bahwa mereka telah merusakkan suatu benda yang berharga, maka reaksi mereka yang menunjukkan perasaan bersalah diukur, ada yang menghindari tatapan mata (melempar pandang, melihat ke bawah), menampakkan tekanan fisik (melanggang-lenggokkan badan, membelakangi orang dengan punggungnya, menunduk, menutup wajah dengan tangan), serta menampakkan rasa sedih (memperlihatkan ekspresi tidak nyaman, menangis). Anak-anak perempuan mengekspresikan rasa bersalah yang lebih besar daripada anak laki-laki, dan anak-anak yang memiliki temperamen penakut juga menunjukkan ekspresi bersalah lebih besar. Sementara anakanak dari ibu-ibu yang menerapkan pola disiplin keras seperti memukul pantat, menampar, dan membentak justru kurang mengekspresikan rasa bersalah (Kochanska dkk., dalam Santrock, 2008). Emosi lain yang berkontribusi pada perkembangan moral ialah rasa malu karena berbuat salah (Rathus, 2007), dan rasa empati yang berfungsi mereaksi perasaan orang lain dengan respon emosional serupa dengan yang dirasakan orang tersebut. Untuk hal ini, anak memerlukan kemampuan mengambil perspektif/sudut pandang orang lain (Eisenberg, 2006). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam perkembangan moral menurut teori psikoanalitik, anak-anak demi untuk mengurangi rasa cemas, 9 bersalah dan malu, menghindari hukuman serta mempertahankan kasih sayang orang tua, mereka melakukan identifikasi diri terhadap orang tua, menginternalisasi standar nilai tentang benar-salah dari orang tua, untuk kemudian membangun superego yang merupakan elemen moral dari kepribadian anak. Di samping itu dapat juga disimpulkan bahwa untuk mengembangkan moral anak, mereka perlu ditumbuhkan rasa cemas, bersalah, dan malu apabila melakukan kesalahan, serta diajarkan mengambil sudut pandang orang lain untuk mengembangkan rasa empati agar dapat merespon perasaan orang lain dengan reaksi emosional yang memadai. 3. Teori Sosial Kognitif – Perilaku Moral/Moral Behavior Perilaku atau tingkah laku moral merupakan fokus dari perkembangan moral menurut pendekatan sosial kognitif (Grusec, 2006), yang menyatakan bahwa penguatan/reinforsmen, hukuman, dan imitasi merupakan prosesproses yang dapat menerangkan perkembangan moral anak. Ketika anak diberi hadiah atas perbuatannya yang mematuhi hukum atau adat sosial, maka ia cenderung akan mengulangi perbuatan tersebut. Demikian juga ketika anak diberi hukuman atas perbuatannya yang salah, maka perbuatan tersebut cenderung akan dikurangi atau dihilangkan. Namun demikian, hukuman, terutama hukuman fisik, memiliki efek samping yang negatif, maka penggunaannya perlu dilakukan secara bijak dan hati-hati (Santrock, 2008). Berkaitan dengan hukuman fisik, Gershoff (2002) berdasarkan penelitiannya terhadap 36.000 anak lebih menemukan hubungan antara hukuman fisik dengan berbagai pola perilaku moral pada masa kanak-kanak dan dewasa sebagai berikut: 1) Anak-anak yang biasa dihukum secara fisik cenderung kurang mengembangkan standar moral internal. 2) Hukuman fisik berkorelasi dengan hubungan orang tua –anak yang tidak harmonis. 10 3) Anak-anak yang dihukum secara fisik cenderung bersifat agresif terhadap anak-anak lain, dan terlibat dalam perilaku kriminal pada kehidupan selanjutnya. 4) Anak-anak yang biasa dihukum secara fisik, setelah dewasa cenderung berperilaku kasar terhadap pasangan dan anak-anaknya sendiri. Berhubung efek negatif yang cukup banyak dari hukuman, maka penggunaan hukuman sebagai intervening pembentukan perilaku kurang dianjurkan, karena gagal memenuhi harapan yang ingin dicapai orang tua, guru, dan pendidik yang lain. Sementara ketika model yang memberikan teladan perilaku mematuhi peraturan moral tersedia bagi anak, maka anak-anak cenderung melakukan modeling dan mengadopsi perilaku tersebut. Dalam hal ini anak tidak secara pasif menyerap stimulus eksternal dari model, melainkan secara aktif melakukan seleksi model perilaku yang akan diadopsi dari apa yang diaobservasinya serta membangun konsepsi tentang standar internal yang akan membimbing perilakunya sendiri, di sinilah letak peran fungsi kognitif (Busey & Bandura, 2004). Menurut teori sosial kognitif, bahwa perilaku anak tidak semata-mata dipengaruhi oleh hadiah dan hukuman, tetapi situasi juga mempengaruhinya. Para peneliti behavioristik dan sosial kognitif menekankan bahwa apa yang anak lakukan pada satu situasi seringkali belum tentu dilakukan pada situasi yang lain; anak bisa curang di kelas tetapi tidak pada permainan, demikian juga anak dapat mencuri gula-gula ketika sedang sendirian, tetapi tidak melakukannya ketika ada orang lain di situ (Santrock, 2008). Para penganut teori sosial kognitif juga yakin bahwa kemampuan untuk menolak godaan sangat erat hubungannya dengan perkembangan pengendalian diri, dan untuk memperoleh kemampuan tersebut, anak perlu belajar menunda pemuasan diri. Menurut Bandura, faktor kognitif yang mendukung efikasi-diri sangat penting kontribusinya bagi berkembangnya pengendalian diri (Bandura, 1997), karena anak perlu merasa yakin dalam 11 memilahkan mana yang benar dan mana yang salah untuk kemudian dapat menjadi pengendali bagi perilakunya sendiri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut teori sosial kognitif, inti dari perkembangan moral terletak pada proses penguatan/reinforsmen, hukuman, dan imitasi. Selain itu pengaruh situasi, dan fungsi kognitif memiliki pengaruh sangat esensial dalam berkembangnya pengendali diri yang mengatur perilaku bermoral anak. Penutup Tiga teori mayor dalam psikologi menerangkan tiga komponen dasar pendidikan karakter yang secara keseluruhan merupakan dinamika terjadinya perkembangan moral anak, yaitu: Teori Perkembangan Kognitif – menjelaskan moral knowing, Teori Psikoanalitik – menjelaskan moral feelings, dan Teori Sosial Kognitif – menjelaskan moral action/behavior. Menurut Piaget dengan teori perkembangan kognitifnya, aspek kognitif memiliki fungsi sentral dalam perkembangan moral anak, karena pemerolehannya tidak dapat dilepaskan dari kompetensi kognitif anak sesuai dengan tingkat perkembangannya, baik pada tingkat moralitas heteronom maupun pada tingkat moralitas autonom. Hubungan dengan teman sebaya yang bersifat negosiatif lebih menstimulasi perkembangan moral anak dibanding hubungan dengan orang tua yang bersifat kepatuhan searah. Menurut teori psikoanalitik Freud, rasa cemas, bersalah dan malu berkontribusi pada perkembangan moral anak, karena demi mengurangi atau menekan perasaan-perasaan tersebut, anak melakukan identifikasi diri pada orang tuanya, menginternalisasi standar norma dari orang tua dan komunitas lain untuk kemudian digunakan membangun superego yang merupakan elemen moral dari kepribadian. Menurut teori sosial kognitif dari Bandura, proses penguatan/reinforsmen, hukuman dan imitasi memiliki peran penting dalam membentuk kebiasaan 12 melaksanakan perilaku moral. Dalam proses ini, perlu dipertimbangkan juga pengaruh situasi dan berfungsinya kognitif, karena anak secara aktif melakukan seleksi terhadap model-model yang diobservasi, untuk kemudian dikonsepsi menjadi standar internal yang akan membimbing perilakunya sendiri. Implikasi dari ketiga teori ini ialah: dalam perkembangan moral, anak memerlukan hubungan yang baik dengan orang tua pada tahap heteronom, serta dengan teman sebaya pada tahap autonom, agar melalui hubungan interpersonal yang baik itu, anak dengan fungsi kognisinya mampu mengabsorbsi dan memahami nilai-nilai moral dari eksternal, baik secara pasif maupun aktif. Selain itu, anak perlu ditumbuhkan rasa cemas, bersalah dan malu apabila melakukan perbuatan salah setelah proses internalisasi nilai-nilai dari eksternal, serta diajarkan mengambil sudut pandang orang lain (persective taking) untuk mengembangkan rasa empati. Terakhir dengan proses penguatan/reinforsmen, hukuman dan imitasi, anak dibiasakan meningkatkan perbuatan baik, mengurangi atau menghilangkan perbuatan negatif, serta melakukan modeling dengan cara aktif menyeleksi model-model yang sesuai dengan nilai moral atau karakter yang diharapkan lingkungannya. Dengan demikian, sejalan dengan perkembangan waktu, perilaku bermoral atau berkarakter akan terbiasa dan melekat pada kehidupan sehari-harinya, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Daftar Pustaka Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: W. H. Freeman and Company. Bussey, K., & Bandura, A. (2004). 2 nd ed. Social cognitive theory of gender development and functioning. In Eagly, H.A., Beall, A.E. & Sternberg, R.J. (Eds.). The psychology of gender (pp.92-119). New York: The Guilford Press. Eisenberg, N. (2006). Empathy-related responding in children. In M. Killen & J.G. Smetana (Eds.). Handbook of moral development. Mahwah, New York: Erlbaum 13 Gershoff, E.T. (2002). Corporal punishment by parents and associated child behaviors and experiences: A meta-analytic and theoretical review. Psychological Bulletin, 128 (4), 539-579. Grusec, J.E. (2006). Development of moral behavior and conscience. In M. Killen & J.G. Smetana (Eds.). Handbook of moral development. Mahwah, New York: Erlbaum Lickona, T. (1992). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books. Monks, F.J., Knoers, A.M.P., Haditono, S.R. (2001). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Muslich, M. (2011). Pendidikan karakter: Menjawab tantangan krisis multidimensional. Jakarta: bumi Aksara. Rathus, S.A. (2007). Psychology: Concept and connections. (8th ed.). Belmont, California: Thompson Learning, Inc. Santrock, J.W. (2008). Children. (10th ed.). New York: McGraw-Hill. Suyanto. (2009). Urgensi pendidikan karakter. Diunduh http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html., tanggal 26 juni 2011. dari: pada 14