Kristologi Dalam Paham Pluralisme Agama Suatu Kajian Kristologi

advertisement
BAB II
AJARAN ALKITAB TENTANG KRISTOLOGI
2.1. Pendahuluan
Pertanyaan mengenai ‟Siapakah Yesus Kristus?‟ adalah pertanyaan yang
penting sekali untuk dijawab oleh setiap orang. Pembahasan di dalam bab ini
bertujuan untuk menjawabnya dengan meneliti ajaran-ajaran yang terdapat di
Alkitab khususnya di dalam PB. Sejak abad ke-18, di bawah pengaruh
rasionalisme, para pengarang teologi telah bertanya-tanya, apakah kepercayaan
para penulis Perjanjian Baru itu benar? Atau, apakah sebetulnya Yesus dalam
kenyataan sangat berbeda dibandingkan dengan gambaran yang mereka berikan?
Pandangan tradisional yaitu pandangan orang-orang Kristen yang percaya,
menyebutkan bahwa penulis kitab-kitab Injil mencatat apa yang mereka alami
secara tepat, dan dengan demikian kepercayaan mereka mengenai siapa Yesus itu
betul-betul tepat dan sesuai dengan apa yang Yesus sendiri inginkan agar mereka
percaya mengenai diri-Nya.13
Sehubungan dengan pertanyaan di atas tersebut, maka salah satu pokok
pembahasan mengenai 'Siapakah Yesus Kristus' (kristologi) yang paling
kontroversial ialah pokok tentang ke-Tuhanan Kristus. Pokok pembahasan ini
merupakan salah satu pokok yang paling penting dalam kekristenan. Pokok ini
merupakan inti iman Kristen. Hal ini didasarkan karena iman Kristen dilandaskan
pada kenyataan bahwa Yesus benar-benar Allah yang menjelma menjadi manusia.
13
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1: Allah, Manusia, Kristus (terjemahan),
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003) hlm, 243
Pengajaran ini sangat penting. Jika pengajaran ini benar maka kekristenan unik
dan otoritatif, jika tidak maka kekristenan tidak berbeda dengan agama-agama
yang lain. Prinsip dasar apologetika kekristenan mengenai ke-ilahian Yesus
Kristus adalah Perjanjian Baru yang mencatat kehidupan, pengajaran, kematian
dan kebangkitan Yesus Kristus adalah dokumen yang dapat diandalkan. Yesus
menyatakan bahwa Dia adalah Tuhan yang menjelma menjadi manusia. Yesus
membuktikan bahwa Dia adalah Tuhan dengan menggenapi nubuat (ramalan)
Perjanjian Lama, dengan hidup tanpa dosa, dengan mujizat-mujizat yang Dia
lakukan, dan dengan kebangkitan-Nya dari kematian. Dengan demikian Yesus
Kristus adalah Tuhan.
Berkaitan dengan penjelasan ini, maka dalam bab ini penulis membatasi
penelitian ini khususnya yang berkaitan dengan doktrin pluralisme dalam
Kristologi. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini penulis hanya membahas
tentang metodologi Kristologi, dan doktrin tentang ke-Tuhanan Yesus. Hal ini
disebabkan topik-topik inilah yang sangat ditekankan oleh kaum pluralis. Dengan
demikian, pembahasan dalam bagian ini tidak meluas.
2.2. Definisi Kristologi
Kristologi berasal dari dua kata, yaitu Khristós yang artinya Kristus dan
logia yang artinya ilmu atau pengetahuan. Maka kristologi berarti ilmu
pengetahuan tentang Kristus. 14 Dengan kata lain kristologi adalah bidang studi
dalam teologi Kristen yang terutama berkaitan dengan sifat dan pribadi Yesus
Kristus seperti yang tercatat dalam Injil dan surat-surat dari Perjanjian Baru. Jadi
Kristologi berkaitan dengan rincian kehidupan Yesus (apa yang dia lakukan) dan
14
Nico Syukur Dister, Kristologi: Sebuah Sketsa, ( Yogyakarta: Kanasius, 1993) hlm, 21
ajaran-ajaran-Nya (apa katanya). Kristologi membahas pengertian mengenai
Yesus dalam hubungan dengan siapakah Ia dan peran yang dilaksanakan-Nya
dalam rencana Allah.15 Akan tetapi sebagai ilmu pengetahuan, Kristologi tidak
berdiri sendiri tetapi merupakan bagian, bahkan sub bagian, dari sebuah ilmu
pengetahuan yang lebih luas, yakni teologi. 16 Berlainan dengan ilmu pengetahuan
lainnya, Kristologi merupakan ilmu yang berdasarkan wahyu dan iman (selain
berdasar pada pengalaman inderawi dan akal budi).17
Menurut Dister, wahyu dan iman yang mendasari teologi tersebut bukan
hanya wahyu dan iman pada umumnya tetapi juga dan terutama wahyu Allah
dalam Yesus Kristus, dan iman manusia kepada Yesus Kristus. Ini berarti bahwa
baru dalam Yesus Krisus, wahyu Allah mencapai puncak dan kepenuhannya.
Dalam Kristus itu juga iman manusia menjadi sempurna. Jadi, dari pihak Allah
ada wahyu, sedangkan dari pihak manusia ada reaksi terhadap wahyu tersebut.
Reaksi itulah yang disebut sebagai iman kepercayaan; dan kedua-duanya, baik
wahyu maupun iman, berpusat pada Yesus Kristus. Wahyu dan iman tersebut
sebagai dasar teologi. Dengan demikian, tugas Kristologi pada umumnya ialah
merenungkan, menyelidiki, dan mengutarakan keyakinan beriman bahwa Yesus
adalah Kristus dan Tuhan. 18
15
Raymond E. Brown, An Introduction to New Testament Crhistology, (Philadelphia:
Westminster, 1998) hal.3.
16
Istilah “teologi” pada dasarnya berarti ilmu pengetahuan tentang Allah (Yunani: theos
artinya Allah). Apabila dibandingkan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, kekhasan teologi
ialah bahwa tidak hanya didasarkan pada pengalaman inderawi manusia serta akal budi manusia
saja, tetapi juga pada wahyu Tuhan yang diterima dalam iman.
17
Nico Syukur Dister, Kristologi, hlm. 21-22
18
Ibid
2.3. Metodologi Kristologi
Ada dua pendekatan yang sering dipakai dalam metodologi19 Kristologi
yakni: metode Kristologi dari atas dan Kristologi dari bawah. Para teolog pada
umumnya memilih salah satu dari kedua pendekatan tersebut yang akan
menentukan arah dan penekanan pandangan Kristologi mereka. Istilah tinggi
rendah ini tidak ada hubungan dan sangkut pautnya dengan pengertian mana yang
lebih tinggi atau mana yang lebih rendah dari lainnya. Akan tetapi yang dimaksud
dengan Kristologi rendah ialah yang melihat Yesus dalam hubungannya dengan
kemanusiaan-Nya. Istilah Kristologi rendah atau Kristologi dari bawah, mengacu
pada pendekatan yang dimulai dengan aspek-aspek manusia dan pelayanan Yesus
(termasuk mukjizat, perumpamaan, dll) dan bergerak ke arah Ilahi dan misteri
Inkarnasi. Sedangkan Kristologi Tinggi, atau Kristologi dari atas melihat Yesus
dalam hubungan dengan ketuhanan-Nya. Istilah Kristologi dari atas mengacu
pada pendekatan yang dimulai dengan Keilahian dan pra-eksistensi Kristus
sebagai Logos (Firman), seperti yang diungkapkan dalam bagian pertama dari
Injil Yohanes. Pendekatan ini menafsirkan karya Kristus dalam hal keilahian-Nya.
Kristologi dari atas ditekankan dalam Gereja kuno, dimulai dengan Ignatius dari
Antiokhia pada abad ke-2.20
Kedua pendekatan tersebut memang berbeda akan tetapi saling
melengkapi dan memperkaya pandangan Kristologis.
19
Menurut Dister, ada empat pendekatan yang dipakai dalam metodologi kristologi,
yakni pertama, mendekati Yesus ”sebagai sungguh-sungguh manusia” (kristologi dari bawah);
kedua, mendengarkan dan menghubungi Yesus melalui pewartaan dan kesaksian iman umat purba;
ketiga, menembusi kesaksian, lalu menggali peristiwa historis; keempat, mendekati Yesus sebagai
”Allah dari Allah” (kristologi dari atas). Nico Syukur Diester, Kristologi: sebuah sketsa, hlm 28
20
Lihat C. Groenen OFM, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran
Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen, (Yogyakarta: Kanasius, 1988) hlm. 265-276
2.3.1. Kristologi Dari Atas
Yang dimaksud dengan Kristologi dari atas adalah melihat siapa
Yesus Kristus sebelum Dia datang ke dalam dunia. Pandangan ini
mengatakan bahwa keAllahan Yesus Kristus terselubung ketika Dia di
dalam dunia. Supaya kita dapat mengenal Dia sebagai Allah yang sejati, kita
harus melihat siapa Yesus sebelum Dia datang ke dalam dunia. Sebagai
contoh adalah Yoh.1:1.
Kristologi dari Atas merupakan strategi dan
orientasi dasar dari Kristologi sejak awal berdirinya gereja. Kristologi ini
juga merupakan pandangan dari Kristologi ortodoks selama zaman sebelum
studi kritis terhadap Alkitab.21
Pendekatan ini secara khusus dianut oleh Karl Barth, Rudolf
Bultman, dan Emil Brunner. Beberapa ciri khas Kristologi dari atas yang
terungkap di The mediator antara lain22: Pertama, Landasan untuk
memahami Kristus bukanlah Yesus yang pernah hidup dalam sejarah,
melainkan kerygma, yaitu pengumuman gereja mengenai Kristus. Brunner
mengatakan, “Iman Kristen hanya muncul dari kesaksian terhadap Kristus
dari khotbah yang diberitakan serta tulisan dalam Alkitab. Memang
gambaran dari sejarah termasuk juga dalam Alkitab; namun gambaran itu
sendiri bukan landasan pengetahuannya.” Kedua, Dalam menyusun suatu
Kristologi, terdapat kecenderungan untuk lebih memperhatikan karya tulisan
Paulus dan Injil Yohanes dibandingkan dengan ketiga Injil yang lainnya.
Tulisan-tulisan Paulus berisi tafsiran-tafsiran teologis yang lebih jelas,
sedangkan ketiga Injil Sinoptis lebih merupakan laporan yang lazim saja
21
22
Ibid
Emil Brunner, The Mediator (London: Lutterwoth, 1934), hlm. 158
tentang tindakan dan ajaran Yesus. Ketiga, Iman pada Kristus tidak
dilandaskan pada bukti rasional juga tidak disahkan olehnya. Iman tersebut
tidak mungkin dibuktikan secara ilmiah. Isi dari iman tersebut terletak di
luar wawasan alamiah dan penelitian sejarah. Sekalipun penelitian sejarah
dapat meniadakan beberapa halangan (misalnya, yang menghalangi percaya
pada ke-Tuhanan Yesus Kristus), namun penelitian tersebut tidak akan
berhasil menegakkan kepercayaan-kepercayaan itu. “Yesus mengajar
sekelompok murid di tepi danau” merupakan sebuah pernyataan yang dapat
diletiti secara sejarah; “Yesus adalah oknum kedua Trinitas” tidak dapat
disebut pernyataan yang dapat dileliti. Kita menerima pernyataanpernyataan historis setelah diyakinkan secara rasional. Kita menerima
pewartaan Injil dengan iman.
Brunner membuat perbedaan yang menjelaskan pengertian yang
menurut anggapannya membedakan Kristologi sebagai bersifat historis dan
bukan bersifat historis. Perbedaan tersebut terdapat di antara “Kristus dalam
daging” dan “Kristus menurut daging.” Yang dimaksudkan dengan “Kristus
dalam daging” ialah bahwa Allah telah menjelma, yaitu Firman yang
menjadi daging dan memasuki sejarah. Sedangkan yang dimaksudkan
“Kristus menurut daging” ialah Kristus yang dikenal oleh ahli penulis
sejarah dengan metode riset tertentu yang dipakainya. Brunner menekankan
Kristus dalam daging. Namun ia juga tidak mengabaikan Kristus menurut
daging. Sebab sekalipun iman tidak pernah timbul sebagai hasil pengamatan
terhadap fakta, melainkan oleh kesaksian gereja dan firman Allah,
kenyataan bahwa firman itu telah datang “dalam daging” berarti bahwa
iman bagaimanapun ada juga kaitannya dengan pengamatan. 23
2.3.2. Kristologi Dari Bawah
Kristologi dari bawah, memiliki pendekatan yang justru kebalikan
dari pandangan tersebut di atas. Pandangan ini justru memperhatikan secara
sungguh-sungguh siapa Yesus ketika Dia berada di dalam dunia. Bagaimana
hidup-Nya, kuasa-Nya, serta apa yang dikatakan-Nya. Semua itu
menunjukkan siapa Dia sesungguhnya. Sebagai contoh, kita dapat melihat
khotbah Petrus pada Kis.2. Untuk mempelajari pendekatan Kristologi dari
bawah dapat ditemukan di dalam karya Wolfhart Pannenberg yang berjudul
Jesus – God and Man; dalam karya ini Pannenberg telah menghasilkan
diskusi yang saksama tentang Kristologi. 24
Pannenberg mengajukan tiga alasan mendasar mengapa dia sendiri
tidak dapat menggunakan metode Kristologi dari atas. Pertama, Tugas
Kristologi ialah menyajikan dukungan rasional terhadap kepercayaan akan
ke-Allahan Yesus, karena pokok inilah yang dewasa ini diperdebatkan.
Kristologi dari atas tidak dapat diterima karena sudah meyakini sebelumnya
akan ke-Allahan Yesus. Kedua, Kristologi dari atas cenderung untuk
mengesampingkan pentingnya ciri-ciri historis Yesus dari Nazaret.
Khususnya, hubungan Yesus dengan Yudaisme pada zaman-Nya, yang
merupakan bagian penting untuk memahami hidup dan amanat-Nya hal ini
hampir
tidak
diperhitungkan
oleh
Kristologi
dari
atas.
Ketiga,
Sesungguhnya, sebuah Kristologi dari atas hanya dapat dilakukan oleh
23
24
34-35
Ibid., hlm. 158
Wolfhart Pannenberg, Jesus – God and Man (Philadelphia: Westminster, 1968), hlm.
posisi Allah sendiri, dan tidak dapat dilakukan oleh manusia. Kita ini
terbatas, manusia yang terikat pada bumi ini, oleh karena itu kita harus
mengawali semua penelaahan kita dari sudut pandangan bumi pula. 25
Pannenberg memperjelas garis batas Kristologi dari bawah yang
memperlihatkan kontras dengan Kristologi dari atas antara lain. 26
Pertama, penelitian sejarah yang
melatarbelakangi pewartaan
Perjanjian Baru dimungkinkan dan bahkan diperlukan secara teologis.
Penelitian bentuk sastra telah menunjukkan bahwa urutan kronologi yang
tepat tentang kehidupan Yesus tidak dapat disusun. Apabila manusia hanya
melandaskan iman hanya pada pewartaan rasuli saja, dan sama sekali tidak
peka pada fakta-fakta historis dalam kehidupan Yesus juga, maka tidak
dapat menghilangkan kecurigaan dan ketakutan bahwa iman orang Kristen
salah. Kalau hal ini terjadi, maka Pannenberg akan mengatakan bahwa iman
Kristen bukan kepada Yesus Kristus, melainkan kepada Lukas, Matius,
Paulus atau salah seorang penulis kitab lain dalam Perjanjian baru.
Kesulitan lainnya apabila orang Kristen melandaskan imannya hanya pada
pewartaan rasuli saja ialah kenyataan bahwa saksi-saksi Perjanjian Baru itu
tidak
memberi
kesatuan,
melainkan
keanekaragaman
dan
bahkan
pertentangan. Orang percaya harus menerobos kesaksian yang beragam ini
untuk menemukan Yesus yang mereka tunjuk itu.
Kedua, sejarah itu sifatnya tunggal dan bukan rangkap. Hidup,
ajaran, dan pelayanan Yesus, termasuk kematian dan kebangkitan-Nya,
bukan merupakan bagian yang tersendiri dari sejarah yang unik, berbeda
25
26
Ibid
Ibid., hlm. 23-25
dari sejarah pada umumnya. Tidak ada suatu bidang yang dinamakan
sejarah penebusan atau sejarah suci atau nama apa saja. Bagi Pannenberg
sejarah Kristus merupakan bagian dari keseluruhan sejarah dunia. Hal itu
tidak dapat dipisahkan atau diasingkan dari sejarah pada umumnya. Oleh
karena itu, dalam mempelajari sejarah Kristus kita tidak perlu memakai
metode yang berbeda dari metode yang dipakai untuk memperoleh
pengetahuan tentang sejarah yang biasa.
Ketiga, jelas sudah bahwa sejarah Kristologi dari bawah
menyajikan
kepada
orang
percaya
Yesus
yang
sungguh-sungguh
manusiawi. Namun dapatkah Kristologi ini menegakkan ke-Tuhanan
Yesus? Bukti yang seringkali dikemukakan oleh Kristologi dari bawah
dalam usaha untuk membuktikan kesatuan Yesus dengan Allah adalah
pernyataan Yesus sebelum paskah yang berisi pernyataan tentang wibawaNya yang setara dengan Allah lewat perbuatan dan perkataan-Nya.
Penegasan ini terwujud dalam kebangkitan Yesus Kristus. Pannenberg
percaya bahwa kebangkitan Yesus merupakan suatu fakta sejarah.
2.4. Ke-Tuhanan Yesus
Harus diakui secara jujur bahwa untuk dapat menemukan Kristologi yang
lengkap, khususnya mengenai ke-Tuhanan Yesus, maka harus kembali kepada
Alkitab. Untuk menemukan Yesus yang riil, maka hanya bisa dilihat dibalik kitabkitab PB sebagai alur yang utama, karena telah terbukti bahwa tidak ada
kesepakatan di dalam pemikiran para perumus Kristologi kontemporer.27
27
Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2003) hlm 293
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pokok pembahasan mengenai keTuhanan Yesus merupakan pokok yang paling kontroversial. Pokok ini
merupakan inti dari iman Kristen. Hal ini didasarkan karena iman Kristen
dilandaskan pada kenyataan bahwa Yesus benar-benar Allah yang menjelma
menjadi manusia. Ia bukan hanya manusia yang luar biasa, sekalipun Dia memang
tokoh yang paling unik yang pernah hidup di dunia. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka dalam bagian ini akan di bahas mengenai pokok-pokok yang
berkaitan dengan ke-Tuhanan Yesus antara lain: inkarnasi Kristus, gelar keTuhanan Yesus, istilah Tuhan, bukti kebangkitan-Nya, dan kesadaran diri Yesus
tentang ke-Tuhanan-Nya serta implikasi dari ke-Tuhan Yesus.
2.4.1. Inkarnasi Kristus
Ajaran tentang inkarnasi pada dasarnya ingin menunjukkan sejauh
mana Allah ada dalam diri Yesus dari Nazaret dan hubungan antara Allah
dan manusia di dalam Yesus. Manusia dapat mengenal Allah kalau Allah
mewujudkan diri-Nya dalam suatu bentuk yang dapat dipahami oleh
manusia, yaitu dengan menjadikan diri-Nya seorang manusia. Rasul Paulus
berkata bahwa di dalam Kristus berdiam secara jasmaniah seluruh
kepenuhan ke-Allah-an. Kristus menjadi manusia supaya manusia dalam
batas-batas tertentu dapat memperoleh pengertian tentang Allah yang tidak
terbatas. Alasan kedua mengapa Allah mau menjadi manusia ialah untuk
menjembatani jurang pemisah antara Allah dan manusia. Seandainya Yesus
Kristus "hanyalah" seorang manusia atau makhluk ciptaan, maka jurang
pemisah antara Allah dan manusia - antara yang tidak terbatas dan yang
terbatas, antara Pencipta dan yang diciptakan, antara Yang Kudus dan yang
tidak kudus akan tetap ada. Supaya manusia dapat mengenal Allah, maka
Allah harus turun kepada manusia dalam diri Yesus yang dikenal sebagai
inkarnasi.28
Alasan inilah yang membuat penulis memasukan inkarnasi Kristus
sebagai salah satu aspek ke-Tuhanan Yesus. Inkarnasi Yesus menunjukkan
bahwa Ia adalah Allah sepenuhnya dan juga manusia sepenuhnya. Hal ini
akan lebih diperjelas dalam pembahasan berikutnya.
Istilah ”inkarnasi berasal dari kata latin incarnatio (in: masuk ke
dalam; dan carnis: daging) artinya ”masuknya Kristus ke dalam daging
manusia”. Jadi ”inkarnasi” berarti (dari luar) masuk ke dalam daging atau
keadaaan kedagingan. Yesus Kristus adalah firman Allah, yang dari luar,
dari atas, masuk ke dalam dunia manusia.29 Baik kata benda "inkarnasi"
maupun kata sifatnya tidak terdapat dalam Alkitab. Akan tetapi, Padanan
kata Yunani untuk bahasa Latin incarne, (Yunani, εν σαπκι - en sarki :
dalam daging) terdapat pada beberapa pernyataan penting dalam PB tentang
pribadi dan karya Yesus Kristus.
1 Timotius 3:16 ”...Dia, yang telah
menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia (inkarnasi), …”. Kristus membuat
karunia perdamaian-Nya „di dalam tubuh jasmani-Nya‟ (Kol. 1:22, bdk
dengan Ef. 2:15), dan bahwa dengan mengutus anak-Nya „dalam daging,
yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa‟ Allah „telah menjatuhkan
hukuman atas dosa dalam tubuh‟ (Roma 8:3). Petrus berkata tentang Kristus
28
Millard J. Erickson, Teologi Kristen Volume 2, (terjemahan) (Malang: Gandum Mas,
2003), hlm. 346
29
G.C. van Niftrik dan B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1981) hlm. 226-227
yang mati untuk kita „dalam keadaan-Nya sebagai manusia‟ (σαπκι - sarki,
kasus datif dari σαπξ - sarx : daging) 1 Petrus 3:18.
Ayat-ayat di atas tersebut dapat disimpulkan, bahwa ”inkarnasi”
berarti ”di dalam daging” dan menunjuk pada tindakan dimana pribadi kedua
dari Allah yang kekal mengambil bagi diri-Nya natur manusia, melalui
kelahiran dari seorang anak dara. Meskipun demikian, kemanusiaan-Nya
adalah tanpa dosa.30
Apabila dikatakan bahwa Yesus Kristus datang dan mati „di dalam
daging‟, itu berarti bahwa Dia datang dan mati dalam keadaan dan dalam
kondisi hidup jasmani dan rohani yang diciptakan: dengan perkataan lain,
bahwa Dia yang mati itu adalah manusia. Tetapi PB menegaskan pula,
bahwa Dia yang mati itu adalah dari kekal dan juga terus menerus adalah
Allah. Jadi, kebenaran tentang inkarnasi yang harus dirumuskan ialah,
bahwa Allah, tanpa berhenti sebagai Allah, juga menjadi manusia. Hal inilah
yang dinyatakan oleh Yohanes dalam pendahuluan Injilnya: „Firman itu‟
(pelaku Allah dalam penciptaan, yang „pada mulanya‟, sebelum penciptaan
bukan hanya „bersama-sama dengan Allah‟, melainkan juga „adalah Allah‟,
Yohanes 1:1-3) „menjadi manusia‟ (sarx-daging) Yohanes 1:14. 31
30
Ibid
Dalam Alkitab kata Ibrani
- Basar, Yunani σαπξ - sarx: daging, mempunyai arti
jasmani, yaitu bahan padat, yang bersama darah dan tulang merupakan organisme jasmani manusia
atau binatang. Karena itulah kata
- Basar menjadi istilah umum untuk manusia atau binatang
(bandingkan dengan Kej. 6:12; 7:15, 21 dst), dipandang sebagai ciptaan Allah, yang hidupnya di
dunia ini berlangsung singkat, selama Allah menyediakan nafas kehidupan dalam rongga
pernafasannya. Jadi
-- Basar dalam arti teologis yang berkembang bukanlah sesuatu yang
„dimiliki‟ seseorang, melainkan sesuatu yang „ada‟. Cirinya sebagai makhluk adalah lemah dan
lunak (Yesaya 40:6) dan dalam keadaan demikian berlainan dengan „roh‟, kekuatan yang abadi
dan yang tak kunjung padam, yang berasal dari Allah, dan adanya Allah (Yes. 31:3; bdk. dengan
Yes 40:6-31). http://www.sarapanpagi.org/inkarnasi-penjelmaan, (sabtu, 24 september, pkl.
16.00. Wib)
31
Apabila Allah berinkarnasi menjadi manusia melalui Yesus, maka
akan muncul pertanyaan, yaitu bagaimana cara inkarnasi itu terjadi?
Jawabannya ialah melalui kelahiran dari seorang perawan. Ketika Gabriel
memberitakan kepada Maria bahwa bahwa ia akan mengandung Mesias itu,
ia memprotes bahwa ia akan memerlukan seorang suami. Inti reaksi
malaikat itu adalah bahwa engkau tidak memerlukan seorang suami, karena
Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah yang Mahatinggi akan
menaungi engkau (Luk. 1:35) pernyataan ini lebih menekankan atas
kenyataan keturunan ilahi dan Anak tersebut daripada atas caranya.
PB sepakat mempertegas indentitas Yesus terkait pada hubunganNya dengan Allah yang Esa, monoteisme Yudaisme (PL), “karena Allah itu
esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia,
yaitu manusia Kristus Yesus” (I Tim. 2:5). Definisi asasi ialah bahwa Yesus
„Anak Allah‟, Gelar/identifikasi ini berakar pada pemikiran dan ajaran
Yesus sendiri. Gelar „Anak Allah‟ adalah khas dalam mengartikan bahwa
Dia berbeda dengan segenap manusia lainnya, hal ini dapat ditelusuri
sekurang-kurangnya pada saat Ia berumur 12 tahun (Lukas 2:49), dan yang
disahihkan kepada-Nya dalam dan suara Bapa-Nya dari Sorga sewaktu Ia
dibaptis, “Engkaulah Anak yang Ku-kasihi” (Mrk. 1:11, bandingkan dengan
Mat. 3:17, Luk. 3:22). Kata "αγαπητορ – “agapêtos" yang terdapat dalam
ketiga berita mengenai ucapan sorgawi itu, mengandung makna ”satusatunya yang dikasihi” (bentuk tunggal); begitu pula dalam perumpamaan
dalam Markus 12:632
32
ibid
Oleh karena itu, Yesus berada dalam hubungan kasih yang
sempurna dan tak kunjung berubah dengan Bapa, dan dalam kesatuan dan
persekutuan yang juga sempurna dan tak berubah dengan Bapa (Yoh. 1:18;
8:16, 29; 10:30; 16:32). Sebagai Anak, Dia tidak berprakarsa secara mandiri
(Yoh. 5;19); Dia hidup untuk memuliakan Bapa-Nya (Yohanes 17:1,4),
dengan melaksanakan kehendak Bapa yang „mengutus‟ Dia yang
memberikan suatu tugas kepada-Nya untuk dilaksanakan (Yoh. 4:34; 17:4
bnd. 19:30). Dia datang dalam nama Bapa-Nya, artinya Ia mewakili BapaNya (Yohanes 5:43), dan karenanya semua yang diucapkan-Nya dan
diperbuat-Nya adalah sesuai dengan perintah Bapa (Yoh. 7:16 dst. bnd
12:49 bnd; 14:10), maka hidup-Nya di dunia adalah menyatakan Bapa-Nya
dengan sempurna (Yoh. 14:7).33
Apabila Yesus mengatakan bahwa Bapa lebih besar dari Dia sendiri
(Yoh. 14:28; bnd 11:29), dan Dia menyatakannya dengan jelas, bukanlah
mengenai suatu kedudukan yang hakiki-Nya yang lebih rendah, melainkan
mengenai fakta bahwa penyerahan kepada kehendak atau prakarsa Bapa.
Bapa lebih besar dari Dia, karena dalam hubungan-Nya dengan Bapa, Ia
senantiasa menempatkan diri-Nya dalam kedaan-Nya sebagai manusia
dalam pelayanan-Nya di dunia ini, Dia bertindak sebagai Anak yang
mempunyai misi penyelamatan bagi orang berdosa. Akan tetapi hal ini
sekali-sekali tidak berarti bahwa Dia mesti direndahkan terhadap Bapa
dalam penghargaan dan penyembahan manusia kepada-Nya.
33
Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1; Allah,
Manusia, Kristus (terjemahan), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003) hlm, 243-250
Inkarnasi bermaksud menyatakan, bahwa Firman Allah telah menjadi
daging, yakni bahwa Allah telah menjadi manusia, di dalam Yesus orang
Nazaret. Akan tetapi, muncul pertanyaan mengapa Allah mengutus PutraNya dalam bentuk yang serupa dengan manusia berdosa? Alkitab
memberikan beberapa jawaban terhadap pertanyaan ini antara lain: 34
Pertama, untuk menyingkapkan Allah kepada manusia. Meskipun
Allah menyatakan diri-Nya dengan berbagai cara, termasuk kebesaran alam
di sekitar kita, namun hanya melalui inkarnasi sajalah yang telah
menyatakan hakikat Allah, meskipun terselubung (Yoh. 1:18; 14:7-11).
Jalan satu-satunya agar manusia dapat melihat Bapa ialah dengan mengenal
Putra-Nya, dan jalan satu-satunya kita dapat melakukannya sekarang ialah
dengan mempelajari catatan tentang kehidupan-Nya dalam Alkitab. Kedua,
untuk memberikan suatu teladan bagi kehidupan kita. Kehidupan Tuhan kita
di dunia ditegakkan bagi kita sebagai suatu pola untuk kehidupan kita
sekarang (1 Pet.2:21; 1Yoh. 2:26). Tanpa Inkarnasi maka manusia tidak
akan memiliki contoh tersebut. Sebagai manusia Ia mengalami perubahan
kehidupan yang drastis dan memberikan suatu contoh pengalaman bagi kita.
Ketiga, memberikan pengorbanan yang efektif bagi dosa. Tanpa Inkarnasi
tersebut, kita tidak akan memiliki seorang Juru Selamat. Dosa menuntut
maut untuk pembayarannya. Allah tidak dapat mati. Jadi Juru Selamat itu
harus manusia agar dapat mati. Akan tetapi kematian bagi seorang manusia
biasa tak dapat melunasi dosa yang abadi, sehingga Juru Selamat tersebut
juga harus Allah. Kita harus memiliki seorang Juru Selamat Manusia-Allah
34
Charles C. Ryrie, Teologi Dasar 1: Panduan Populer Untuk Memahami Alkitab,
(Yogyakarta: Andi,2007) hlm.362-365
dan kita memilikinya dalam Tuhan kita (Ibr. 10: 1-10). Keempat, agar
mampu menjadi seorang Imam Besar yang penuh rasa simpati (Ibr. 4:14-16).
Imam Besar kita mampu merasakan kelemahan kita karena Ia diuji seperti
kita. Namun Allah tak pernah diuji, sehingga perlulah bagi Allah menjadi
manusia untuk dapat diuji supaya dapat menjadi seorang Imam yang penuh
rasa simpati. Kelima, agar mampu menjadi seorang hakim yang memenuhi
syarat. Semua penghakiman akan dilakukan oleh Tuhan Yesus. Mengapa
hakim itu harus menjadi dan pernah hidup di dunia? Agar Ia bisa
menggugurkan semua alasan yang mungkin akan dibuat oleh manusia.
Mengapa hakim tersebut harus juga Allah? Agar penghakiman-Nya benarbenar jujur dan adil.
Oleh karena itu, Inkarnasi tersebut amat berpengaruh dalam
hubungannya dengan pengetahuan kita tentang Allah, dengan keselamatan
kita, dengan kehidupan kita sehari-hari, dengan kebutuhan-kebutuhan yang
mendesak, dan dengan masa depan kita. Hal ini sesungguhnya adalah pusat
fakta sejarah.
2.4.2. Gelar ke-Tuhanan Yesus
Gelar adalah sebutan yang menerangkan atau merujuk ke suatu tugas
atau kedudukan khusus seseorang. Jadi gelar bisa mengacu kepada
kehormatan yang harus diberikan kepada orang itu. Umpamanya Yohanes
digelari „pembabtis‟ karena istilah ini khas mencirikan tugasnya. Hal ini pun
ada kaitannya dengan gelar-gelar yang diberikan kepada Yesus dalam
Perjanjian Baru.35
35
Charles Ryrie, Teologi Dasar 1, hlm. 368
2.4.2.1. Anak Allah
Gelar 'Anak Allah' ini disebutkan sampai dua kali kepada
Maria. Maksudnya amat jelas, yaitu untuk meluruskan pengertian
Maria yang tadinya masih berpandangan tentang anak sebagai
pembuahan biologis. ”jawab Malaikat itu kepadanya: "Roh Kudus
akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi
engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus,
Anak Allah”
36
(Lukas 1:35). Sebutan kedua disusulkan untuk
mengkoreksi persepsi yang salah dari Maria, dan ternyata ia akhirnya
dapat
menerima
penjelasan
itu,
lalu
menyerahkan
konsepsi
(pembuahan) anak untuk dikuasai sepenuhnya oleh Allah yang
Mahatinggi.
Anak Allah yang dimaksud sama sekali bukan istilah insani,
melainkan istilah rohaniah, yang artinya Yesus benar-benar Allah
sejati. Istilah ini tepat, karena memang terjadi suatu “kelahiran” (keanak-an), dimana Sang Firman telah ber-inkarnasi menjadi manusia
dan diam di antara manusia (Yoh. 1:14). Sebagai 'Anak Allah', Ia
berkarya untuk menyatakan diri Allah sedemikian lengkap dan
sempurnanya, sehingga Allah yang tadinya tidak dapat dipahami,
menjadi dapat dipahami dan dapat diikuti keteladanan-Nya dan
36
Istilah "Anak Allah" itu tidak berarti Allah sebagai makhluk biologis, kawin, kemudian
mempunyai anak. Di era Perjanjian Lama, terdapat istilah “anak-anak Allah” yang ditujukan
kepada keturunan Adam lewat Set yang saleh (Kejadian 6), juga ditujukan kepada para malaikat
(Ayub 38:7) dan bangsa Israel (Ulangan 14:1). Cara penggunaan kepada bangsa Israel sebagai
keseluruhan dan kepada raja mereka secara khusus, menyatakan hubungan mereka dengan Allah
dalam arti Allah memelihara dan melindungi mereka di satu pihak, dan pada pihak lain, pelayanan
dan ketaatan manusia kepada Allah. Dalam hal ini Allah dipandang sebagai seorang Bapa
kedekatan-Nya. Itulah sebabnya Yesus dapat berkata: “Barangsiapa
telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yohanes 14:9). 37
Yesus Kristus tahu pasti hubungan-Nya yang khas dengan
Allah, yang disapanya dengan akrab "Abba". Dengan latar belakang
inilah dapat dipahami jika Yesus Kristus memakai istilah "Anak"
untuk menyatakan hubungan-Nya dengan Allah sebagai Bapa. Dia
menyatakan keakraban antara Dia dengan Allah persis sama keakraban
seorang anak dengan ayahnya (Mat.11:27). Dalam pengungkapan
keakraban-Nya dengan Bapa yang merupakan bukti keakraban anak
terhadap bapanya, maka, Yesus justru membuktikan bahwa Dia adalah
'satu-satunya' yang sanggup menyatakan Allah kepada Manusia.
Makna ke-Anak-an yang khas ini mengungguli makna umum bagi keAnak-an seorang Yahudi yang saleh terhadap Allah. Hal itu terlihat
jelas dengan cara Allah menyapa Yesus sebagai Anak-Nya dalam
peristiwa baptisan dan permuliaan (Markus 1:11, 9:7). 38
2.4.2.2. Raja dan Mesias
Pengharapan Yahudi berpusat akan didirikannya pemerintahan
atau Kerajaan Allah, dan pengharapan ini sering dihubungkan dengan
datangnya seorang tokoh yang mewakili Allah untuk menjalankan
pemerintahan-Nya. Tokoh seperti itu tentulah seorang „Raja‟, yang
diurapi oleh Allah dan dari suku Daud. Istilah 'yang Diurapi' biasanya
ditetapkan untuk raja, imam, atau nabi, pada zaman antar perjanjian
dapat digunakan sebagai istilah tekhnis bagi tokoh yang mewakili
37
38
Charles Ryrie, Teologi Dasar 1, hlm. 368
http://www.sarapanpagi.org/gelar-yesus- (selasa, 8/11/2011. pkl. 15.20).
Allah yang dinantikan. Gelar Mesias dipakai sebagai gelar resmi dari
tokoh utama yang dinanti-nantikan oleh orang Yahudi, yang
merupakan Juruselamat yang mereka tunggu. Hal ini dikarenakan
penguasa yang dinanti-nantikan itu memang diharapkan akan menjadi
Raja dan Anak
artinya keturunan) Daud, maka kedua istilah ini
digunakan juga sebagai gelar atau sebutan juga untuk Yesus. Dalam
Lukas 7:22, Yesus juga dengan secara tidak langsung menunjuk diriNya adalah Mesias. Namun Yesus mengajar murid-murid-Nya untuk
mempercayai bahwa Dia-lah Mesias atau Kristus (artinya : Raja yang
diurapi) yang datang dari Allah. Akan tetapi karena luasnya salah
pemahaman mengenai Mesias di antara orang Yahudi (bandingkan
dengan Yohanes 6:15), maka Ia melarang keras membicarakan keMesias-an-Nya di muka umum (Markus 9:7-9; Matius 16:20; 17:9).
Baru sesudah Ia menyelesaikan misi pelayanan-Nya untuk menderita
di kayu salib, Ia mengumumkan secara terbuka peranan-Nya sebagai
Raja-Mesias, saat Ia dielu-elukan memasuki Yerusalem (Matius 21:111; Markus 11:1-18; Lukas 19:1-48, Yohanes 12:12-50). Di hadapan
hakim-hakim yang mengadili-Nya dengan tegas Ia menyatakan bahwa
memang Dia adalah Mesias/Kristus (Matius 26:63-64; Markus 14:6162; Lukas 22:69-71; 23:2-3), tapi Dia bukan Mesias duniawi seperti
yang diharapkan orang Yahudi (Yohanes 18:26). 39
Yesus mengumumkan datangnya pemerintahan Kerajaan Allah
dan menghubungkan kedatangan Kerajaan Allah itu dengan aktivitas-
39
Ibid
Nya sendiri (Matius 12:28 ), dan Dia bertindak dengan otoritas ilahi
(Markus 2:7). Dalam pelayanan itu timbul pertanyaan apakah benar
Dia adalah Raja yang dinanti-nantikan itu (bandingkan dengan
Yohanes 4:29; 7:25-31), sehingga banyak orang ingin menjadikan Dia
raja (Yohanes 6:15). Pada saat Dia diadili, Dia ditanya apakah Dia
adalah Mesias? Dalam kesempatan ini Dia mengakui kenyataan itu
secara terbuka „Akulah Dia‟ (Markus 14:61-62, bandingkan dengan
Yohanes 18:33-38 ). Hal ini menyebabkan Yesus dihukum mati oleh
orang Roma dengan tuduhan Dia mengaku 'Raja orang Yahudi'
(Markus 15:26). Sebelum peristiwa pengadilan itu, Petrus menyebutNya Mesias, dan Yesus tidak menolak sebutan itu: Ia bertanya kepada
mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Maka jawab Petrus:
"Engkau adalah Mesias!" (Markus 8:29).
2.4.3. Istilah ”Tuhan”
Para penulis kitab dalam Perjanjian Baru menghubungkan istilah
κύριος (‟Tuhan‟) dengan Yesus, khususnya setelah Ia bangkit dan naik ke
surga. Istilah ini menandakan ke-Allahan apabila diterapkan pada Yesus.
Dalam Septuaginta κύριος biasanya adalah terjemahan dari nama JHWH
atau Yehovah. Dalam Perjanjian Lama, Tuhan menyatakan nama-Nya
sebagai JHWH atau Jehovah. Dalam bahasa Indonesia ditulis sebagai
TUHAN (kata 'tuhan' dengan huruf besar semua).
40
Misalnya dalam
Keluaran 6: 2-3, 'Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa: "Akulah
TUHAN. Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub
40
Bruce Milne, Mengenali Kebenaran, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 185
sebagai Allah Yang Mahakuasa, tetapi dengan nama-Ku TUHAN Aku
belum menyatakan diri. Orang Yahudi menganggap nama Jehovah
(TUHAN) begitu suci, sehingga mereka tidak berani mengucapkannya.
Jehovah adalah satu-satunya Tuhan, selain itu adalah berhala atau tuhan
yang palsu. Jehovah adalah Tuhan yang cemburu, yang tidak akan
membagikan nama maupun kemulian-Nya kepada yang lain.41
Selain daripada itu nama TUHAN (Kurios) juga berarti, bahwa Ia
memiliki „kekuasaan raja‟, sebagaimana kaisar Roma juga memiliki kuasa
raja. Tuhan Yesus adalah Raja di atas segala raja dan Tuhan di atas segala
Tuan (1 Tim. 6:15). Sebutan ini di berikan kepada Yesus sebagai Juru
Selamat setelah Ia menyelesaikan karya penyelamatan-Nya, dengan bangkit
dari antara orang mati. Maka di Fil. 2:11 disebutkan, bahwa Allah telah
meninggikan Dia, supaya segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah
Tuhan”, bagi kemuliaan Allah Bapa.42
Beberapa
perkataan Yesus yang menarik dipelajari: Yesus
mengatakan, 'Akulah gembala yang baik' (Yohanes 10:11), sedangkan
Perjanjian Lama mengatakan, 'TUHAN adalah gembalaku' (Mazmur 23:1).
Yesus menyatakan Dia adalah hakim atas segala bangsa (Yoh. 5:27; Mat.
25:31), Perjanjian Lama mengatakan TUHAN adalah hakim segala bangsa
(Yoel 3:12). Yesus mengatakan, 'Akulah terang dunia' (Yoh. 8:12),
41
Yesaya menulis, 'Beginilah firman TUHAN, Raja dan Penebus Israel, TUHAN
semesta alam: "Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari
pada-Ku."'(Yesaya 44:6). 'Aku ini TUHAN, itulah nama-Ku; Aku tidak akan memberikan
kemuliaan-Ku kepada yang lain atau kemasyhuran-Ku kepada patung. '(Yesaya 42:8). 'Aku tidak
akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain'. (Yesaya 48:11). TUHAN (Jehovah) tidak akan
membagikan nama, hormat dan kemuliaan-Nya kepada yang lain. Yang menarik adalah perkataanperkataan Yesus dan tindakan-tindakan-Nya membuat orang Yahudi abad pertama mengambil
batu menuduh Yesus menghujat (menyamakan diri-Nya dengan TUHAN)
42
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005) hlm. 321
Perjanjian Lama mengatakan ''TUHAN akan menjadi penerang abadi
bagimu" (Yesaya 60:19). Yesus berdoa kepada Bapa untuk berbagi
kemuliaan kekal-Nya, "Oleh sebab itu, ya Bapa, permuliakanlah Aku padaMu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia
ada" (Yohanes 17:5) Yesus mengatakan Dia adalah yang pertama dan yang
akhir (Wahyu 1:17), sama seperti Yehovah dalam Perjanjian Lama (Yesaya
44:6).43
Rujukan-rujukan ini menjelaskan bahwa para rasul bermaksud
memberikan kepada Yesus gelar Tuhan dalam pengertian yang setinggitingginya. Bagi orang Yahudi khususnya, istilah κύριος ini senantiasa
mengusulkan bahwa Kristus setara dengan Bapa.44
2.4.4. Bukti Kebangkitan Yesus
Bagi beberapa orang, pendekatan yang diambil dalam usaha
membuktikan ke-Allahan Yesus mungkin tampaknya seakan-akan tidak
bersifat kritis sama sekali, maksudnya kurang mempertimbangkan temuantemuan dari metode penelitian Alkitab yang lebih radikal. Akan tetapi,
masih ada cara yang lain untuk menetapkan ke-Allahan Yesus. Cara tersebut
bertumpu pada kebangkitan Yesus. Sebab justru di dalam kebangkitan itu
dinyatakan benar-benar, siapa Yesus Kristus, yakni bahwa Ia adalah Anak
Allah (Rm. 1:4).
43
Berbagai rujukan Perjanjian Baru kepada Yesus sebagai „Tuhan‟ merupakan kutipan
dari ayat-ayat Perjanjian Lama yang menggunakan salah satu nama Ibrani untuk Allah misalnya:
Kis. 2:20-21; dan Rm. 10:13 bandingkan dengan Yl. 2:31-32; I Pet. 3:15 bandingkan dengan Yes.
8:13
44
Millard J. Erickson, Teologi Kristen Vol. 2. (terjemahan), (Malang: Gandum Mas,
2003), hlm. 328-329
Kristus secara terus terang telah menyatakan diri-Nya sebagai Anak
Allah, maka kebangkitan-Nya dari kematian merupakan pengesahan Allah
atas kebenaran pernyataan-Nya itu. Kalau Dia tetap berada dalam kuasa
maut, berarti Allah tidak membenarkan pernyataan-Nya sebagai Anak Allah;
tetapi karena Dia sudah bangkit dari kematian, maka Allah telah mengakuiNya di hadapan dunia. Kebangkitan sesungguhnya berarti bahwa Allah pada
hakikatnya telah menyatakan diri di dalam Yesus. Kebangkitan Yesus telah
memastikan bahwa Anak Manusia adalah tidak lain dari Yesus sendiri. H.P.
Liddon yang dikutip oleh Josh McDowell mengatakan: ”Iman terhadap
kebangkitan adalah tonggak utama dari iman kristiani, dan bila ia
dihilangkan, semuanya akan hancur berantakan.”45
Khotbah Petrus pada hari Pentakosta sepenuhnya dan seutuhnya
dibangun atas dasar kebangkitan. Kepercayaan teguh para rasul kepada
Yesus berakar pada keyakinan bahwa Dia tidak tinggal dalam maut, tetapi
telah dibangkitkan oleh Allah. Bahwa Yesus sudah bangkit, berdasarkan apa
yang mereka alami bersama-Nya, tentu saja setelah mereka melihat-Nya
sendiri, adalah sama pastinya dengan kematian-Nya, dan menjadi unsur
utama dari khotbah mereka tentang Dia.
Kebangkitan Kristus sejak dulu telah dianggap sebagai doktrin utama
dari gereja. Sejak awal kelahiran-Nya yang ilahi, gereja Kristen telah
memberikan kesaksian secara bulat tentang imannya pada kebangkitan
Kristus. Inilah yang dapat kita sebut sebagai salah satu ajaran dan
kepercayaan gereja yang paling mendasar, sehingga bila kita menghilangkan
45
Josh McDowell, Apolegetika Volume 1: Bukti yang Meneguhkan Kebenaran Alkitab
(terjemahan), (Malang: Gandum Mas, 2002), hlm. 281
nats yang ada hubungannya dengan kebangkitan, maka kita akan
mendapatkan sebuah kumpulan yang begitu rusak sehingga apa yang tersisa
tidak akan dapat dimengerti lagi. Kebangkitan Kristus menentukan validitas
iman Kristen. Paulus menyerukan, ”Dan jika Kristus tidak dibangkitkan,
maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu”
(1Kor. 15:17). W.J. Sparrow-Simpson mengatakan: ”Kalau kebangkitan
bukan merupakan kenyataan sejarah, maka kuasa maut belum terpatahkan,
dan begitu pula pengaruh dosa; dan arti kematian Kristus juga belum
disahkan, dan oleh karenanya orang-orang percaya masih berada dalam
dosa, sama seperti ketika mereka belum pernah mendengar nama Yesus”.46
Yesus bukan hanya saja meramalkan kebangkitan-Nya tetapi juga
menegaskan bahwa kebangkitan-Nya dari antara orang mati akan menjadi
”tanda” untuk membenarkan pangakuan-Nya sebagai Mesias (Mat. 12;
Yoh.2). Kubur yang kosong adalah saksi bisu dari kebangkitan Kristus yang
belum pernah terbantah. Orang-orang Romawi dan orang-orang Yahudi
tidak dapat memperlihatkan jenazah Yesus atau menjelaskan ke mana
perginya, tapi bagaimana pun juga, mereka tidak mau percaya. Bukan
karena kurangnya bukti, tetapi meskipun bukti-buktinya sangat mencukupi,
manusia tetap menolak kebangkitan. John R.W Stott mengatakan: ”Mungkin
perubahan yang terjadi pada murid-murid Yesus adalah bukti yang paling
utama dari kebangkitan.”47
46
47
Dikutip oleh: Josh McDowell, Apologetika Vol, hlm. 282
Ibid, hlm. 350
2.4.5. Kesadaran Diri Yesus Tentang ke-Tuhanan-Nya
Pada saat mempelajari bukti yang disajikan Alkitab tentang keTuhanan Kristus, maka harus mempelajari tentang kesadaran diri Yesus.
Apa yang dipikirkan dan diyakini Yesus tentang jati diri-Nya sendiri. Ada
yang berpendapat bahwa Yesus tidak pernah menganggap diri-Nya sendiri
sebagai Allah. Amanat yang disampaikan-Nya adalah mengenai Allah Bapa
saja, dan sama sekali tidak mengenai diri-Nya. Oleh karena itu, kita
dipanggil untuk percaya kepada Allah bersama dengan Yesus, dan bukan
percaya kepada Allah di dalam Yesus.48
Berkaitan dengan hal itu, maka dalam bagian ini akan dibuktikan
apakah Yesus benar-benar percaya bahwa Ia adalah Allah? Menurut Matius
12:6, Yesus berkata kepada orang Farisi, "Aku berkata kepadamu: Di sini
ada yang melebihi bait Allah." Berapa lebihnya? Lihat ayat 8. Yesus
menegaskan sambil mengacu pada diri-Nya, "Anak Manusia adalah Tuhan
atas hari sabat." Menurut Josh McDowel, bahwa bagaimana seseorang dapat
menjadi Tuhan atas hari sabat kecuali Allah yang menetapkan hari itu? Hal
ini merupakan suatu tuntutuan langsung atas sifat ketuhanan.49 Dalam
Markus 2:1-12, Yesus berkata kapada orang lumpuh ”Hai anak-Ku, dosamu
sudah diampuni!”. pengertiannya jelas, bahwa tak seorang pun dapat
mengampuni dosa kecuali Allah. Siapa saja dapat berkata bahwa ia mampu
mengampuni dosa; tetapi Yesus membuktikan bahwa Ia berkuasa untuk
48
Adolf von Harnack, What is Chiristianity? (New York: Harper and Brothers, 1987),
hlm. 144
49
Josh McDowel, Apologetika Volume 3: Bukti yang meneguhkan kebenaran Alkitab,
(Malang: Gandum Mas, 2004) hlm. 462
mengampuni dosa ketika Ia menyembuhkan orang lumpuh itu. Yesus
dengan jelas manyatakan sifat ketuhanan.50
Pada akhir khotbah di bukit (Mat.7:21-23), Yesus berbicara tentang
diri-Nya sebagai hakim yang terakhir yang mempunyai kuasa untuk
melarang orang masuk ke dalam Kerajaan Surga. David Biven, seorang
peneliti latar belakang bahasa Ibrani dari kisah-kisah di Kitab Injil,
menyimpulkan: ”bukanlah cara yang digunakan-Nya untuk mengajar atau isi
yang umum dari ajaran-Nya yang menjadikan Yesus unik di antara para rabi.
Hal yang unik tentang Yesus adalah pernyataan-Nya tentang siapa Dia itu,
dan Ia jarang mengajar tanpa menyatakan bahwa ia bukan saja Mesias dari
Allah, tetapi yang lebih mengejutkan lagi, bahwa Ia adalah Imanuel,"Allah
menyertai kita”.51
Sering Yesus menerima penyembahan dan tidak berbuat apa-apa
untuk mencegahnya (Mat. 14:33; Yoh. 9:38). Satu kejadian penting tentang
Yesus menerima penyembahan terdapat dalam Matius 21:5,6. Anak-anak
berseru memuji Yesus ”Hosana bagi Anak Daud!”. Para imam kepala dan
ahli Taurat yang menyaksikan Yesus menerima pujian menjadi sangat
jengkel lalu mereka berkata kepada-Nya, "Engkau dengar apa yang
dikatakan anak-anak ini?" seakan-akan Yesus seharusnya mendiamkan
mereka; dan yang paling penting, Yesus menjawab dengan menghubungkan
sesuatu dengan diri-Nya yang dimaksudkan bagi Allah saja. Ia menjawab,
50
Robert Stein mencamkan bahwa reaksi para ahli Taurat ("Mengapa orang ini berkata
begitu? Ia menghujat Allah") menunjukkan bahwa mereka menafsirkan tanggapan Yesus “sebagai
melaksanakan hak istimewa ilahi, yaitu kuasa untuk benar-benar mengampuni dosa. Robert H.
Stein, The Method and Message oh Jesus Teaching, (Phildelphia: Westminster, 1978) hlm. 114
51
Dikutip oleh: Josh Mcdowel, Apologetika Volume 3: Bukti yang Meneguhkan
Kebenaran Alkitab, hlm. 461
”Belum pernakah kamu baca: Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang
menyusu Engkau telah menyediakan puji-pujian?” pada hakikatnya Ia
berkata, ”ketika anak-anak itu memuji Aku, mereka sedang memuji Allah”.
Pernyataan ke-Tuhanan Yesus sangat jelas di Yohanes 8:58, “Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada”
(Yohanes 8:58). Ia sedang menuntut dua aspek dari sifat ketuhanan bagi diriNya sendiri, yakni eksistensi Allah yang abadi; dan nama Allah. Orang
Yahudi tanpa ragu-ragu mengerti maksud perkataan ini. Mereka tahu bahwa
Yesus tidak hanya menyatakan keberadaan-Nya sebelum Abraham, tetapi
Yesus juga menyatakan sama dengan Tuhan. Ini menyebabkan mereka
mengambil batu hendak melempari Yesus. Dalam kisah perjumpaan Yesus
dengan perempuan Samaria, wanita itu mengatakan bahwa ada hal-hal
tertentu yang akan ditangani oleh Mesias apabila Ia datang. Sebagai
jawabannya Yesus berkata, "Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan
engkau" (Yoh.4:26). Wanita ini benar-benar memahami ucapan Yesus.
Maka ia pergi ke kampungnya dan mengundang orang-orang dengan
berkata, "Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala
sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?" (ay.29).
Beberapa waktu kemudian orang-orang itu menyatakan percaya kepada
Yesus, bukan karena kesaksian wanita itu, karena mereka berkata, "Kami
sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, Dialah benar-benar Juruselamat
dunia" (ay. 42). Ungkapan yang dipakai lain, tetapi yang dimaksud adalah
bahwa Yesus itu Mesias.52
52
316-317
Leon Moris, Teologi Perjanjian Baru (terjemahan), (Malang: Gandum Mas, 2001) hlm.
Suatu pernyataan lain dari Yesus bahwa Ia adalah Allah terjadi
ketika Ia diadili di hadapan imam besar, Kayafas, imam-imam kepala, tuatua dan para ahli Taurat (Mat. 26:57-58; Mrk. 14:53-65). Ketika imam besar
bertanya secara langsung kepada Yesus, “Apakah Engkau Mesias, Anak dari
yang Terpuji?”, Yesus menjawab, “Akulah Dia, dan kamu akan melihat
Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di
tengah-tengah awan di langit.” Yesus dengan jelas berbicara tentang diriNya sendiri. Istilah “Anak Manusia” adalah cara yang biasanya Dia gunakan
untuk mengacu kepada diri-Nya.
Surat Ibrani juga sangat jelas dalam menonjolkan ke-Tuhanan Yesus.
Dalam pasal satu, penulis berbicara tentang Sang Anak sebagai cahaya
kemuliaan Allah serta gambar wujud dari Allah (Ibr.1:3). Anak ini, yang
oleh-Nya Allah menciptakan dunia (ay.2), juga menopang segala sesuatu
dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan (ay.3). dalam ayat ke-8 yang
merupakan kutipan Mazmur 45:7, Sang Anak disebut sebagai ”Allah”.
Alasannya ialah bahwa Anak itu lebih tinggi daripada Malaikat (1:4-2:9),
dari Musa (3:1-6), dan dari semua imam besar (4:14-5:10). Dia itu lebih
tinggi karena Dia memang bukan sekedar manusia atau Malaikat, melainkan
sesuatu yang lebih tinggi dari semuanya itu, yaitu Allah.
William Barclay mengatakan, dalam Injil Sinoptik kita dapat
menyaksikan Yesus sebagai seorang pribadi yang hidup-Nya dimulai,
dilanjutkan, dan diakhiri dalam kesadaran bahwa diri-Nya adalah Anak
Allah.53 Berdasarkan hal itu semuanya, maka rasul Paulus berkata, bahwa
Kristus adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya (Rm. 9:5).
2.4.6. Implikasi Dari ke-Tuhanan Kristus
Terdapat beberapa implikasi penting yang berhubungan dengan
doktrin mengenai ke-Tuhanan Kristus: (1). Manusia dapat memiliki
pengenalan yang benar tentang Allah. Yesus berkata, ”Barangsiapa telah
melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh. 14:9). Apabila manusia ingin
mengetahui bagaimana kasih Allah, kekudusan-Nya, maka kita hanya perlu
melihat Kristus. (2). Penebusan tersedia bagi manusia. Kematian Kristus
memadai bagi semua orang berdosa yang pernah hidup, karena yang mati
bukanlah manusia yang fana saja, melainkan Allah yang tak terbatas. Dia,
sumber hidup itu, yang memberi dan menopang kehidupan, yang sebenarnya
tidak harus mati, telah mati karena kita. (3). Allah dan manusia telah
bersekutu kembali. Yang datang bukanlah malaikat atau manusia yang
diutus oleh Allah kepada manusia, melainkan Allah sendiri yang telah
melintasi jurang akibat dosa. (4). Menyembah Kristus itu layak. Kristus
bukanlah sekedar yang tertinggi dari semua makhluk ciptaan, tetapi Dialah
Allah sendiri yang setara dengan Bapa. Ia pantas menerima pujian, dan
ketaatan kita sama seperti Allah Bapa.
53
Dikutip oleh: T. Sutarman, Yesus Kristus Allah, Manusia Sejati, (Surabaya: Pasti dan
Yakin, 1983) hlm. 35
2.5. Kesimpulan
Kristologi adalah bidang studi dalam teologi Kristen yang terutama
berkaitan dengan sifat dan pribadi Yesus Kristus seperti yang tercatat dalam Injil
dan surat-surat dari Perjanjian Baru. Akan tetapi sebagai ilmu pengetahuan,
Kristologi tidak berdiri sendiri tetapi merupakan bagian, bahkan sub bagian, dari
sebuah ilmu pengetahuan yang lebih luas, yakni teologi. Kekhasan teologi ialah
bahwa tidak hanya didasarkan pada pengalaman inderawi manusia serta akal budi
manusia saja, tetapi juga pada wahyu Tuhan yang diterima dalam iman. Jadi,
berlainan dengan ilmu pengetahuan lainnya, Kristologi pun merupakan ilmu yang
berdasarkan wahyu dan iman (selain berdasar pada pengalaman inderawi dan akal
budi). Berdasarkan wahyu dan iman itulah maka dapat dilihat fakta-fakta di atas,
bahwa Yesus, telah menunjukkan jati diri-Nya yang inklusif di dalam keilahian
Bapa-Nya. manusia tidak akan menemukan lagi sosok lain manapun (termasuk
malaikat ataupun nabi besar yang lain) yang berani mengklaim diri-Nya menyatu
dengan Allah Bapa. Oleh karena itu, pemahaman bahwa Kristus adalah Allah dan
juga manusia tidak bisa diragukan. Kristus merupakan oknum kedua dari Trinitas
yang tidak pernah diciptakan. Ia adalah sehakekat dengan Allah.
Download