PENDAHULUAN Latar Belakang Sampai saat ini masih terdapat

advertisement
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sampai saat ini masih terdapat empat masalah gizi utama di Indonesia
yaitu Kurang Energi Protein (KEP), Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI),
Kurang Vitamin A (KVA) dan Kekurangan Zat Besi (Anemia). Masalah gizi
tersebut semakin serius semenjak Indonesia mengalami krisis ekonomi dan
politik yang berkepanjangan. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya bencana
seperti kekeringan, banjir, dan longsor di berbagai daerah yang berdampak pada
penurunan produksi dan penurunan ketersediaan pangan di tingkat rumah
tangga. Keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah
(keluarga miskin) sehingga terjadi gangguan
pemenuhan kebutuhan pangan
yang akan mempengaruhi keadaan gizi dan kesehatan anggota keluarga di
antaranya anak balita.
Masalah gizi kurang pada balita bukanlah merupakan hal yang baru,
namun masalah ini tetap aktual, yang dicerminkan dengan adanya peningkatan
prevalensi KEP di daerah kantong-kantong kemiskinan. Berdasarkan laporan
Riskesdas 2007 (Depkes 2008) menunjukkan di Indonesia periode 2005-2007,
telah terjadi perbaikan status gizi balita yang melampaui target pembangunan
jangka menengah (20%), namun masih belum merata dan bahkan masih
terdapat 19 propinsi dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang yang masih
cukup tinggi. Lebih lanjut menurut Jalal (2009) jika dibandingkan dengan berat
badan rata-rata standar WHO 2005, posisi anak balita Indonesia setelah usia 6
bulan, semakin bertambah umur semakin menjauh dari berat badan rata-rata
rujukan. Hal yang lebih mencemaskan, bahwa rata-rata tinggi badan anak
Indonesia dari sejak lahir sudah mendekati garis merah standar WHO. Dengan
menggunakan nilai rata-rata Z_skor terlihat makin bertambah umur, tinggi badan
anak Indonesia juga semakin menjauhi standar WHO. Hasil Pemantauan status
gizi (PSG) pada 4 tahun terakhir (2005-2008) di Kabupaten Sukabumi (berdasar
indeks BB/U) menunjukkan terjadi sedikit penurunan prevalensi status gizi
kurang 12.2% (2005), 12.1 % (tahun 2006), 12.0% (tahun 2007) dan 11.6%
(tahun 2008), namun sebaliknya terdapat kecenderungan peningkatan prevalensi
status gizi buruk yaitu 1.5% (tahun 2005), 1.7 % (tahun 2006), 1.8 % (tahun
2007) dan 1.7 % dari 191,896 balita yang ditimbang (Dinkes 2008). Prevalensi
status gizi berdasarkan TB/U juga terdapat kecenderungan peningkatan yang
2
cukup tinggi balita yang pendek (stunted < -2 SD) dalam tiga tahun terakhir
yaitu: 20.9% (tahun 2005), 22.8% (tahun 2006) dan 23.0% (tahun 2007).
Disisi lain, Riskesdas (Depkes 2008) melaporkan bahwa di Indonesia
penyakit ISPA (>35.0%), campak (3.4%) dan diare (16.7%) tertinggi terdapat
pada usia balita, demikian juga penyebab kematian balita adalah diare dan
pnemonia.
Berdasarkan
Profil Kesehatan Kabupaten Sukabumi (2007) juga
menunjukkan masih tingginya kejadian sakit balita akibat berbagai jenis penyakit
infeksi, antara lain ISPA (13.0%), diare (20.2%), influenza (10.3%) dan dermatitis
lain (7.8%). Menurut Tomkins (2002) masalah gizi kurang (malnutrisi) merupakan
faktor penyebab utama tingginya penyakit infeksi dan menurut WHO dan
UNICEF hampir 60.0% kematian anak diasosiasikan dengan masalah gizi
kurang.
Kenyataan adanya KEP dan kejadian penyakit infeksi pada balita tersebut
diatas, merupakan masalah yang serius dan mendesak untuk segera dicari
penyebab dan upaya penanggulangannya mengingat dampaknya yang serius
terutama pada mutu sumber daya manusia Indonesia. Secara umum gizi kurang
pada balita dapat menciptakan generasi yang secara fisik maupun mental lemah.
Generasi yang demikian akan menjadi beban masyarakat dan pemerintah.
Sebagaimana yang dikaji dan diperkenalkan oleh UNICEF (1998) terdapat
berbagai penyebab timbulnya masalah gizi pada balita, yang dapat digolongkan:
pertama, sebagai penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi,
dan kedua, penyebab tidak langsung yaitu pola pengasuhan anak, pelayanan
kesehatan, kesehatan lingkungan dan ketahanan pangan keluarga.
Analisis
Atmarita et al. (2006) terhadap data status gizi SUSENAS (tahun 1989-2005)
juga membuktikan determinan utama gizi kurang pada anak balita adalah faktor
ekonomi, pendidikan ibu, makanan dan infeksi. Hal ini semakin menunjukkan
pentingnya pencegahan dan pemulihan masalah gizi kurang sebagai strategi
untuk mengurangi prevalensi, keparahan, dan mortalitas yang diasosiasikan
dengan penyakit infeksi.
Berdasarkan fakta tersebut diatas, maka program intervensi dalam bentuk
makanan tambahan bergizi dalam jumlah yang cukup pada balita, serta upaya
penguatan ketahanan tubuh balita merupakan hal yang perlu mendapat
perhatian serius agar anak balita tidak mudah jatuh ke keadaan kurang gizi dan
mudah sakit. Anak yang menderita gizi kurang mempunyai imunitas rendah dan
untuk menanggulangi, dapat dilakukan beberapa cara antara lain: peningkatan
3
pelayanan kesehatan masyarakat, pendidikan (penyuluhan) gizi, dan perbaikan
pola konsumsi.
Salah satu bentuk perbaikan konsumsi adalah melalui pemberian
makanan tambahan (PMT). Jenis makanan tambahan yang memiliki daya terima
baik,diantaranya adalah biskuit. Biskuit yang digunakan sebagai makanan
tambahan kenyataannya masih berupa makanan pabrikan yang berbasis tepung
terigu dan belum banyak diperkaya dengan menggali potensi pangan lokal yang
kaya akan gizi, seperti produk perikanan.
Di sisi lain Kabupaten Sukabumi
memiliki lebih dari 40% wilayah berupa laut, pantai dan pesisir. Selain itu sungaisungai yang mengalir di Kabupaten Sukabumi mempunyai potensi penghasil
produk perikanan ikan tawar dan ikan laut serta penghasil berbagai jenis produk
pertanian termasuk kacang-kacangan yang mengandung protein yang tinggi.
Optimalisasi penanganan masalah gizi pada balita melalui diversifikasi
pengembangan formula makanan tambahan sebaiknya mempertimbangkan
aspek gizi, manfaat kesehatan, daya terima, nilai ekonomi, keawetan serta
keunggulan sumberdaya pangan lokal. Biskuit yang diperkaya dengan tepung
protein ikan lele Dumbo, isolat protein kedelai dan probiotik Enterococcus
faecium IS-27526 (biskuit fungsional) merupakan salah satu solusi yang perlu
dikaji efikasinya untuk menurunkan prevalensi KEP balita. Selain dapat
menambah asupan energi dan protein, sifat fungsional probiotik juga bermanfaat
untuk membantu keutuhan mukosa usus, untuk proses metabolisme serta untuk
meningkatkan ketahanan tubuh balita sehingga balita tidak mudah sakit.
Perumusan Masalah
Prevalensi KEP masih tinggi
pada balita usia mulai 6 bulan sampai 59
bulan. Setelah usia enam bulan dengan bertambah umur maka balita Indonesia
makin mendekati garis merah baku rujukan WHO. Menurut UNICEF (1998)
penyebab langsung tingginya KEP pada balita adalah faktor makanan dan
penyakit infeksi. Menurut Jalal dan Atmojo (1998) secara menyeluruh masalah
gizi kurang dapat diatasi melalui pendekatan ketersediaan dan konsumsi pangan
(food based approach). Salah satu upaya penanggulanggan KEP berbasis
pangan yang sudah banyak dilakukan adalah dengan pemberian makanan
tambahan (PMT) berupa makanan selingan, namun belum optimal menurunkan
prevalensi balita gizi kurang dan gizi buruk.
4
Selama
ini,
pengadaan
PMT
untuk
kesehatan
balita
masih
mengutamakan kandungan zat gizi makro saja tanpa mempertimbangkan
manfaat fungsional komponen lain
yang dikandungnya. Masalah KEP pada
balita selain karena kurangnya asupan energi dan protein, juga karena
rendahnya imunitas tubuh sehingga balita memiliki risiko yang tinggi terjadinya
morbiditas terutama karena penyakit infeksi. Pangan yang berpotensi fungsional
diantaranya adalah pangan yang berfungsi menstimulir immunitas tubuh selain
zat-zat gizi konvensional yang dikandungnya (Hasler 2001).
Masalah lainnya adalah pengenalan makanan tambahan berbasis bahan
baku pangan lokal yang diperkaya dengan pangan fungsional belum banyak
digali dan dikembangkan sebagai upaya percepatan penanggulangan masalah
KEP balita.
Ditinjau dari perspektif ketahanan pangan yang berkelanjutan
(sustainable), makanan alternatif berbasis potensi pangan lokal merupakan
sumberdaya pangan daerah (lokal) yang mempunyai keunggulan komparatif
ditinjau dari sisi agro-sosioekonomi dan gizi-kesehatan. Hasil studi (Harijono et
al. 2002a) menunjukkan bahwa diversifikasi konsumsi energi di daerah marjinal
(berlahan kering, kapur dan pesisir) lebih baik dibandingkan daerah perkotaan.
Hampir 10 % dari total asupan energi di daerah kapur sebanyak 10% berasal
dari umbi-umbian, sementara perkotaan hanya sebanyak 1.5%. Hal serupa
terjadi pada pangan sumber protein nabati yang
didominasi oleh kedelai.
Kedelai merupakan sumber protein nabati utama bagi masyarakat, terutama di
daerah perkotaan dan lahan basah (Harijono et al. 2000b). Produk olahan
kedelai berupa isolat protein mengandung protein paling sedikit sebanyak 95%
yang sangat baik sebagai bahan pengikat dan pengemulsi formulasi makanan,
namun memiliki asam amino esensial methionin yang terbatas. (McWilliams
2001; Sri Winarni 2010). Selanjutnya protein hewani yang sering dikonsumsi
masyarakat, diantaranya adalah ikan (BKP & UNAIR 2006), dimana kandungan
protein ikan cukup tinggi dan mengandung asam amino yang mendekati pola
kebutuhan tubuh manusia (Adawiyah 2007). Ikan lele mengandung semua asam
amino esensial dalam jumlah yang cukup dan juga merupakan salah satu
unggulan komuditas air tawar pada Program Revitaliasi Pertanian dan Perikanan
(Mahyudin 2007). Selain memiliki kelebihan, ikan memiliki beberapa kekurangan
diantaranya timbulnya bau amis yang berasal dari penguraian (dekomposisi),
terutama amonia, senyawa belerang dan amina (Adawiyah 2007). Bau amis
kurang disukai anak-anak dan menurut Miller et al (2001) anak usia antara 2 dan
5
3 tahun seringkali resisten untuk mengkonsumsi makanan-makanan baru (food
neophobia).
Indonesia selain memiliki keragaman hayati, juga memiliki keragaman
budaya termasuk keragaman dan produk olahan khas daerah yang mengandung
khasiat kesehatan. Dadih adalah susu fermentasi asal Sumatera Barat dan
dapat digolongkan pangan fungsional sebagai pangan pencernaan dan pangan
probiotik (Akuzawa & Surono 2002). Bakteri Enterococcus faecium IS-27526
yang merupakan hasil isolasi dadih susu fermentasi tradisional asal Sumatera
Barat terbukti mempunyai potensi sebagai probiotik (Collado et al. 2003).
Suplementasi Enterococcus faecium dadih IS-27526 pada susu UHT rendah
lemak selama 3 bulan dapat meningkatkan respon imun humoral secara
signifikan, terutama pada balita gizi kurang (Koestomo 2004).
Pengolahan pangan lokal untuk makanan PMT balita sampai saat ini
masih belum berkembang baik dari aspek kelompok sasaran, jaminan mutu,
kepraktisan dalam konsumsi maupun citranya. Hasil Evaluasi World Food
Program WFP (WFP & FKM UNAIR 2008) dan Widayani (2007) menunjukkan
bahwa PMT dalam bentuk biskuit memiliki daya terima yang baik pada balita.
Menurut Boobier et al. (2006) biskuit konvensional yang tinggi lemak trans
maupun lemak jenuh dan gula yang sering diasosiakan tidak sehat dapat
dimodifikasi menjadi produk fungsional yang sehat. Produk biskuit fungsional
berbasis konsentrat ikan laut dan probiotik sebagai makanan tambahan balita
telah dikembangkan Rieuwpassa (2006), namun masih mempunyai keterbatasan
daya tahan simpan probiotiknya jika disimpan pada suhu ruang.
Adanya
perkembangan teknologi mikroenkapsulasi dengan metode Fluid Bed Drier
(FBD), memungkinkan digunakan untuk mempertahankan viabilitas probiotik dari
lingkungan yang ekstrim pada saat penyimpanan dan ketika melewati saluran
pencernaan.
Upaya penanggulangan KEP balita dengan berbagai jenis makanan
tambahan (PMT) sudah lama dilakukan di masyarakat, namun kajian evaluasi
terhadap efektifitas PMT dalam menurunkan prevalensi KEP dan kejadian infeksi
balita di Indonesia hingga saat ini masih belum banyak dilakukan. Selain itu
menurut Hughes & Kelly (2006) penelitian klinik tentang keberhasilan
peningkatan status gizi dan pengukuran efek terhadap fungsi imunologi pada
rehabilitasi gizi juga masih sangat sedikit.
Adapun yang menjadi masalah dalam penelitian adalah :
6
1. Bagaimana daya terima dan tingkat kepatuhan sasaran (balita BBR dan
orangtua/pengasuh) yang diberi makanan tambahan biskuit yang diperkaya
dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS27526 yang dimikroenkapsulasi ?
2. Bagaimana
konsumsi gizi dan profil mikrobiota balita berat badan rendah
(BBR)?
3. Bagaimana efikasi (pengaruh) pemberian makanan tambahan biskuit yang
diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E.
faecium IS-27526 yang dimikroenkapsulasi terhadap status gizi balita BBR?
4. Bagaimana efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya
dengan tepung protein ikan, isolat kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526
yang dimikroenkapsulasi terhadap respon imun humoral (sIgA) balita BBR?
5. Bagaimana efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya
dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS27526 yang dimikroenkapsulasi terhadap tingkat morbiditas balita BBR?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efikasi
pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein
ikan lele Dumbo, isolat protein kedelai dan probiotik Enterococcus faecium IS27526 yang dimikroenkapsulasi terhadap status gizi, respon imun humoral (sIgA)
dan morbiditas balita BBR.
Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengevaluasi daya terima dan kepatuhan sasaran (pengasuh dan balita
BBR) terhadap makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung
protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526.
2. Mempelajari konsumsi gizi dan mikrobiota balita BBR.
3. Menganalisis efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya
dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium
IS-27526 terhadap status gizi balita BBR.
4. Menganalisis efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya
dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium
IS-27526 terhadap respon imun humoral (sIgA) balita BBR.
7
5. Menganalisis efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya
dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium
IS-27526 terhadap morbiditas balita BBR.
Manfaat Penelitian
Hasil yang diharapkan :
a. Makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan,
isolat
protein
kedelai dan
dimikroenkapsulasi
dapat
probiotik
E.
mempercepat
faecium
IS-27526
perbaikan
status
yang
gizi
(peningkatan nilai Z-skor indeks BB/U, BB/TB dan TB/U) balita BBR.
b. PMT biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein
kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 dapat meningkatkan sekresi
respon imun humoral (sIgA) balita BBR
c. PMT biskuit fungsional yang diperkaya protein ikan, isolat protein kedelai
dan probiotik E. faecium IS-27526 ke depan dapat menurunkan kejadian
penyakit infeksi yang sering diderita balita BBR.
Implikasi dari Penelitian
a. Diharapkan dapat menjadi dasar ilmiah pengembangan program
intervensi
makanan
tambahan
(PMT)
fungsional
dalam upaya
meningkatkan mutu (kuantitas dan kualitas) konsumsi masyarakat rawan
gizi dan menurunkan kejadian sakit (morbiditas), khususnya balita yang
mengalami BBR.
b. Diperoleh model intervensi PMT biskuit fungsional untuk
perbaikan gizi masyarakat rawan gizi, khususnya balita BBR.
percepatan
Download