PILIHAN HUKUM DALAM PROSES PENYELESAIAN SENGKETA Rita Esti Sri P STIE “AUB” Surakarta Abstraksi Lembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal tersebut merupakan prinsip limited court involvement. Berdasarkan pasal 1338 (3) suatu perjanjian harus didasarkan atas asas itikad baik. Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa -peristiwa di pengadilan. Itikad baik dalam pelak- sanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan. Perjanjian harus dilaksanakan dengan menafsirkannya agar sesuai dengan kepatutan dan kepantasan, sesuai dengan pasal 1339 B.W., yang menyatakan bahwa,”suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang -undang”. Itikad baik dapat dibedakan menjadi itikad baik subjektif dan itikad baik o bjektif. Itikad baik subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedang itikad baik objektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad b aik. Kata Kunci : Arbitrase, Pasal 11 ayat (2) UU No. 30 tahun 1999 I. Pendahuluan D alam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagai mana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun dise-babkan hal lainnya. Untuk menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase. Pengertian arbitrase termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa No. 30 tahun 1999: “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pend apat yang mengi-kat mengenai suatu hubungan hukum ter-tentu dalam hal belum timbul sengketa.” Dalam Pasal 5 Undang -undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa: ”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang per-dagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan di-kuasai sepenuhnya oleh pihak yang ber sengketa.” Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan seba-gai pilihan penyelesaian se ngketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpi-sahkan dari perjanjian pokok (yang dimin-takan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebu t). Setiap pendapat yang berla -wanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun. Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak diper -kenankan memeriksa alasan atau pertim -bangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Dalam jurisprudensi, kita men getahui ada suatu kasus yaitu Arrest Artist de Labourer dimana perkara tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri padahal sudah memuat klausul arbitrase untuk penye-lesaian sengketanya. Pada praktek saat ini juga masih dijumpai pengadilan negeri yang melayani gugatan pihak yang kalah dalam arbitrase. Melihat permasalahan diatas, maka timbul beberapa pertanyaan : 1. Bagaimana cara-cara dalam proses penyelesaian sengketa ? 2. Apakah Pengadilan berwenang meme-riksa perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya? 3. Sejauh mana keterkaitan antara penga-dilan dengan lembaga arbitrase? II. Pembahasan 1. Cara Penyelesaian Sengketa Pada umumnya penyelesaian seng keta dapat dilakukan melaui forum penga-dilan, namun demikian bisa juga disele-saikan melalui kerangka pranata alter-native penyelesaian sengketa, termasuk di dalamnya pranata arbitrase. Pranata penyelesaian sengketa alter-native, termasuk didalamnya pranata Arbitrase di Indonesia saat ini telah diatur dalam suatu peraturan perundang-unda-ngan tersendiri, yaitu Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Menurut ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut, obyek perjanjian arbitrase atau dalam hal ini adalah sengket a yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase (dan atau lembaga alter-native penyelesaian sengketa lainnya) dapat dila -kukan hanya untuk sengketa di bidang per dagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasasi sepenuh-nya oleh pihak yang bersengketa. Tidak ada suatu penjelasan resmi mengenai maksud Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999 tersebut, namun jika kita lihat pada pasal 66 huruf b Undang -Undang nomor 30 Tahun 1999, yang berhu bungan dengan pelaksanaan putusan arbitrase inter-nasional, dimana pada penjelasan pasal 66 huruf b Undang -Undang nomor 30 Tahun 1999 tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang : - Perniagaan Perbankan Keuangan Penanaman modal Industry Hak kekayaan intelektual Maka ini berarti bahwa makna perda gangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1), seharusnya juga memiliki makna yang luas. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan selan jutnya dalam Pasal 5 ayat (2), yang memberikan perumusan negative, dimana dikatakan bahwa seng keta sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan per undang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Dengan adanya ketentuan sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 66 huruf b Undang Undang nomor 30 Tahun 1999 tersebut, maka sengketa yang berhubungan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual dapat diselesaikan melalui pranata Alternatif Penyelesaian Sengketa termasuk Arbitrase. 2. Tinjauan Proses Penyelesaian Sengketa Banyak jalan untuk penyelesaian sengketa. Berbagai model penyelesaian sengketa, baik secara formal maupun non formal, dapat dipakai sebagai acuan untuk menja-wab berbagai sengketa yang mungkin timbul. Adapun proses yang dikenal adalah Proses Adjudikasi dan Proses Konsensus. Ada beberapa cara dalam proses penye lesaian sengketa : 1. Melalui mekanisme litigasi. 2. Melalui mekanisme Arbitrase. 3. Melalui mekanisme Alternatif Penyele saian Sengketa / APS. Litigasi dan Arbitrase merupakan Proses Adjudikasi sedangkan Alternatif Penyele-saian Sengketa merupakan Proses Kon-sensus. 1. Proses Adjudikasi. a. Litigasi. Litigasi adalah : “proses gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan untuk meng gantikan konflik yang sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada seorang pengambil kepu tusan dua pilihan yang berten tangan” (Suyud Margono,2002,23). Jadi litigasi merupakan suatu proses. Proses ini ditandai dengan bentuk gugatan atas konflik yang ada melalui pengadilan dan hakim yang memiliki kewenangan untuk memutus perkara. Proses ini yang paling dikenal di masyarakat kita. Litigasi diartikan sebagai proses administrasi dan peradilan. Sistem yang dipergunakan untuk penyele -saian sengketa adalah system perla -wanan atau berlangsung atas dasar saling bermusuhan atau bertikaian antara para pihak. Proses ini selalu menempatkan salah satu pihak sebagai pemenang dan pihak lain yang kalah. Tentang Hukum Acara. Hukum acara adalah kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan dasar pedoman dalam mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas sesuatu keten tuan hukum dalam hukum materiil yang berarti memberikan kepada hukum acara suatu hubungan yang mengabdi pada hukum materiil. Dengan kata lain hukum a cara sebagai peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum materiil. Di Indonesia kita kenal hukum itu ada Hukum Acara Perdata (HIR) dan Hukum Acara Pidana yaitu Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 serta Hukum Acara Peradilan Tata Usa ha Negara yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Hukum acara memiliki fungsi untuk menegakkan ketentuan hukum materiil. Secara tegas hukum acara meliputi ketentuan-ketentuan tentang bagaimana cara orang harus menyelesaikan masalah dan mendapatkan keadilan dari hakim apabila kepen tingannya atau hak-haknya dilanggar oleh orang lain dan sebaliknya bagai mana cara mempertahankan kebe narannya bila ia dituntut oleh pihak lain. Pengadilan Niaga ditempatkan d i bawah lingkup Peradilan Umum. Menurut Pasal 280 ayat (1) Undang Undang Nomor 4 Tahun 1998, Pengadilan Niaga berfungsi meme riksa dan memutus permohonan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan berwenang pula memerikasa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan, yang penetapannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah. Untuk pertama kali lembaga ini hanya dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan kemudian disusul di empat kota besar lainnya, yaitu Semarang, Surabaya, Makasar dan Med an. Dari kelima Pengadilan Niaga yang telah dibentuk sampai awal tahun 2003 baru dua Penga-dilan Niaga (yaitu Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Surabaya) yang memeriksa dan memutus perkara niaga, sedangkan Pengadilan Niaga lainnya belum berfungsi. Permasalahan lain yang dihadapi dengan keberdaan Pengadilan Niaga adalah kompetensinya dalam meme riksa perkara yang menyangkut dengan perjanjian dagang yang memakai klausula arbitrase dan dengan semakin meningkatnya keb u tuhan masyarakat akan proses peny e lesaian sengketa secara cepat dan dengan proses yang tidak berbelit belit. Dengan semakin beragamnya produk barang dan jasa yang diha silkan sebagai wujud perkembangan teknologi dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup dan peningkatan ekonomi masyarakat, berkembang nya berbagai lembaga pendukung pembangunan ekonomi seperti pasar modal, perbankan, lembaga keuangan bukan bank dan lain lainnya, sengketa dagang akan semakin meningkat pula. Hal itu menyebabkan timbulnya kebutuhan untuk penyelesaian sengketa secara cepat dan tidak berbelit-belit dan memenuhi rasa keadilan masya -rakat. Masuknya Pengadilan Niaga ke dalam lingkungan Peradilan Umum, ketentuan hukum acara yang dipakai berdasarkan prosedur hukum acara yang berlaku dalam mengajukan gugatan sebagaimana pengajuan gugatan pada umumnya. b. Arbitrase. Mekanisme arbitrase, para pihak menyetujui untuk menyelesaikan sengketanya kepada pihak netral yang mereka pilih untuk membuat keputusan. Arbitrase merupakan suatu bentuk adjudikasi privat mes kipun dalam beberapa hal m emiliki kemiripan dengan adjudikasi public. Pasal 1 butir (1) UU Nomor 30 Tahun 1999 yang dimaksud dengan arbi trase adalah : Penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang dida -sarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Ada yang berpendapat bahwa arbi trase adalah suatu bentuk penga dilan, tapi bukan pengadilan Negara, khususnya berkaitan dengan pende - katan yang digunakan dalam menye lesaikan masalah. Arbitrase pada dasarnya adalah menghindari pengadilan sebab diban dingkan dengan adjudikasi public arbitrase lebih memberikan kebe basan, pilihan, otonomi dan kera hasiaan kepada para pihak yang bersengketa. Dalam arbitrase ini para pihak dapat memilih hakim yang dikehendaki, sehingga dapat menjamin kenetralan dan keahlian sesuai dengan perseng ketaan mereka. Para pihak dapat memilih hukum yang dikehendaki untuk dipakai dasar penyelesaian sengketa. Biaya lebih murah dan cenderung lebih informal. 2. Proses Konsensus. Jalur Alternatif Penyelesaian Seng keta / Alternatif Dispute Resolution sering diartikan sebagai Alternatif of litigation dan alternative to adjudication. Ada implykasi yang berbeda dari 2 (dua) pengertian tersebut. Pengertian per tama ADR meliputi arbitrase sedangkan pengertian yang kedua ADR tidak termasuk di dalamnya arbitrase. Penyelesaian sengketa dimungkinkan selain melalui jalur litigasi, arbitrase bisa juga lewat cara sebagai berikut : a. Negosiasi Komunikasi dua arah yang diarahkan untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda. b. Mediasi Proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepa-katan perjanjian dengan memuas-kan. Dalam UndangUndang Nomor 30 tahun 1999 pengaturan mengenai mediasi dapat dilihat dalam keten-tuan Pasal 6 ayat (3), (4) dan (5). c. Konsiliasi Pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kese-pakatan dan pihak ketiga menga-jukan usulan jalan keluar dari seng-keta. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu Alternatif Penye-lesaian Sengketa dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan Alinea ke-9 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999. 3. Pengaturan Mengenai Arbitrase A. Definisi Arbitrase Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the de lay, the expense and vexation of ordinary litigation".Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penye -lesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: 1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau 2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis). Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalampasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasanpasal 3 ayat(1) UndangUndang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-PokokKekuasaan Keha -kiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luarPengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetapdiperbolehkan. B. Sejarah Arbitrase Keberadaan arbitrase seba gai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebe narnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diper kenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvor-dering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR ) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan -ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundang-kannya Undang Undang Nomor 30 tahun 19 99. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbi -trase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mem punyai kekuatan eksekutorial setelah mem peroleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan. C. Objek Arbitrase Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaika n di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun kegiatan dalam bidang perda gangan itu antara lain: perniagaan, per bankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) U U Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan per undang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854. C. Jenis-jenis Arbitrase Arbitrase dapat berupa arbitrase semen tara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyele-saian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang dise-pakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad -hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase. Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri. BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausularbitrase sebagai berikut: "Semua sengketa yang timbul dari perjan-jianini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan peraturan prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya mengi-kat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir". Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational Trade Law) adalah sebagai berikut. "Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan -aturan UNCITRAL.” Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kaliadalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknyaklausul arbitrase, akan me-nentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul. D. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca bebe-rapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah : kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ; keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari ; para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil ; para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya ; para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ; putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan. Para ahli juga mengemukakan penda patnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perda gangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mem-punyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara HMN Purwosutjipto mengemukakan arti pen tingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah: 1. Penyelesaian sengketa dapat dilaka sanakan dengan cepat. 2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak. 3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak. 4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan kelemahan perusa- haan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha. Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari pr aktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal penga-turan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas. 4. Keterkaitan antara Arbitrase d engan Pengadilan A. Hubungan Arbitrase dan Pengadilan Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunj ukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya. Peranan pengadilan dalam penyeleng garaan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem pera -dilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengambil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase 1. Putusan Arbitrase Nasional Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepani -teraan pengadilan negeri, dengan mendaf tarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik put usan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final ddan mengikat. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase meme-nuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak meme-nuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan ter -hadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun. 2. Putusan Arbitrase Internasional Semula pelaksanaan putusan -putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menya-takan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indo nesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mah kamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disah-kannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing. C. Kewenangan Pengadilan Memeriksa Perkara yang Sudah Dijatuhkan Putusan Arbitrasenya Lembaga Peradilan diharuskan meng hormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang menga-dili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan H melalui arbitrase. Hal tersebut merupakan prinsip limited court involvement. Berdasarkan pasal 1338 (3) suatu perjan-jian harus didasarkan atas asas itikad baik. Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumus- kannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan. Perjanjian harus dilaksanakan dengan menafsir -kannya agar sesuai dengan kepatutan dan kepantasan, sesuai dengan pasal 1339 B.W., yang menyatakan bahwa, ” suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dida-lamnya tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang”. Itikad baik dapat dibedakan menjadi itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedang itikad baik objektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah berten tangan dengan itikad baik. Ketertiban umum dijadikan dalih untuk menolak permohonan arbitrase. Ketertiban umum sendiri adalah suatu sendi-sendi asasi dari hukum suatu negara. UU Arbitrase pada bagian penjelasannya tidak mendefinisikan atau membatasi ketertiban umum. Akibatnya, definisi ketertiban umum dijadikan legitimasi bagi salah satu pihak untuk meminta pembatalan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Sulit untuk meng-klasifikasikan putusan arbitrase yang ber-tentangan dengan ketertiban umum, namun dapat digunakan kriteria sederhana sebagai berikut : 1. putusan arbitrase melanggar prosedur arbitrase yang diatur dalam peraturan perundangan negara, misalnya kewa-jiban untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan setempat tidak dilaksanakan ; 2. putusan arbitrase tidak memuat alasan-alasan, padahal peraturan perundang-undangan negara tersebut mewajib-kannya; atau 3. jika salah satu pihak tidak mendapat kesempatan untuk didengar argument-tasinya sebelum putusan arbitrase dijatuhkan. Pada intinya terhadap perkara yang sudah memiliki klausul arbitrase tidak bisa diajukan ke pengadilan negeri, dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum, sehingga pihak yang dirugikan bisa menggugat ke pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik. IV. Kesimpulan Pengadilan tidak berwenang meme-riksa kembali perkara yang sudah dija-tuhkan putusan arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum. Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, dan dalam pelaksanaan suatu putu san arbitrase masih diperlukan peran pengadilan, untuk arbitrase asing dalam hal permohonan eksekuator ke pengadilan negeri. Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan pelaksanaannya bisa berjalan tanpa kendala namun dalam eksekusinya sering mengalami hambatan dari pengadilan negeri. Daftar Pustaka: Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal.3. Ibid., hal.4. Budhy Budiman. Mencari Model Ideal penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap praktik Peradilan Perdata Dan undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Soemartono, op.cit., hal 74. Budhy Budiman, ibid. Soemartono, Op.Cit., hal.27. Ibid. Indonesian Banking Restructuring Agency (IBRA). Arbitrase, Pilihan Tanpa Kepastian, http://www.gontha.com/view.php ?nid=104, diakses 10 Januari 2010.