PILIHAN HUKUM DALAM PROSES

advertisement
PILIHAN HUKUM DALAM PROSES PENYELESAIAN SENGKETA
Rita Esti Sri P
STIE “AUB” Surakarta
Abstraksi
Lembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana
yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa
pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat
dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur
tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal
tersebut merupakan prinsip limited court involvement.
Berdasarkan pasal 1338 (3) suatu perjanjian harus didasarkan atas asas itikad
baik. Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan,
sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa -peristiwa di
pengadilan. Itikad baik dalam pelak- sanaan perjanjian berkaitan dengan masalah
kepatutan dan kepantasan. Perjanjian harus dilaksanakan dengan menafsirkannya agar
sesuai dengan kepatutan dan kepantasan, sesuai dengan pasal 1339 B.W., yang
menyatakan bahwa,”suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan didalamnya tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang -undang”. Itikad baik
dapat dibedakan menjadi itikad baik subjektif dan itikad baik o bjektif. Itikad baik
subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya
bertentangan dengan itikad baik, sedang itikad baik objektif adalah kalau pendapat
umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad b aik.
Kata Kunci : Arbitrase, Pasal 11 ayat (2) UU No. 30 tahun 1999
I.
Pendahuluan
D
alam suatu hubungan bisnis atau
perjanjian,
selalu
ada
kemungkinan
timbulnya
sengketa.
sengketa yang perlu
diantisipasi adalah mengenai bagai mana cara melaksanakan klausul-klausul
perjanjian, apa isi perjanjian ataupun
dise-babkan hal lainnya.
Untuk menyelesaikan sengketa
ada beberapa cara yang bisa dipilih,
yaitu melalui negosiasi, mediasi,
pengadilan dan arbitrase.
Pengertian arbitrase termuat
dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang
Arbitrase dan Alternatif penyelesaian
sengketa No. 30 tahun 1999:
“Lembaga Arbitrase adalah badan yang
dipilih oleh para pihak yang bersengketa
untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu, lembaga tersebut
juga dapat memberikan pend apat yang
mengi-kat mengenai suatu hubungan
hukum ter-tentu dalam hal belum timbul
sengketa.”
Dalam Pasal 5 Undang -undang No.30
tahun 1999 disebutkan bahwa:
”Sengketa yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase hanyalah sengketa di
bidang per-dagangan dan hak yang
menurut
hukum
dan
peraturan
perundang-undangan
di-kuasai
sepenuhnya oleh pihak yang ber sengketa.”
Dengan demikian arbitrase tidak
dapat diterapkan untuk masalah masalah dalam lingkup hukum keluarga.
Arbitase hanya dapat diterapkan untuk
masalah-masalah perniagaan. Bagi
pengusaha, arbitrase merupakan pilihan
yang
paling
menarik
guna
menyelesaikan sengketa sesuai dengan
keinginan dan kebutuhan mereka.
Dalam banyak perjanjian perdata,
klausula arbitase banyak digunakan
seba-gai pilihan penyelesaian se ngketa.
Pendapat hukum yang diberikan
lembaga arbitrase bersifat mengikat
(binding) oleh karena pendapat yang
diberikan tersebut akan menjadi bagian
yang tidak terpi-sahkan dari perjanjian
pokok (yang dimin-takan pendapatnya
pada lembaga arbitrase tersebu t).
Setiap pendapat yang berla -wanan
terhadap pendapat hukum yang
diberikan tersebut berarti pelanggaran
terhadap perjanjian (breach of contract
- wanprestasi). Oleh karena itu tidak
dapat dilakukan perlawanan dalam
bentuk upaya hukum apapun.
Putusan
Arbitrase
bersifat
mandiri, final dan mengikat (seperti
putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap) sehingga ketua
pengadilan
tidak
diper -kenankan
memeriksa alasan atau pertim -bangan
dari putusan arbitrase nasional tersebut.
Dalam jurisprudensi, kita men getahui ada suatu kasus yaitu Arrest Artist
de Labourer dimana perkara tersebut
diajukan ke Pengadilan Negeri padahal
sudah memuat klausul arbitrase untuk
penye-lesaian
sengketanya.
Pada
praktek saat ini juga masih dijumpai
pengadilan negeri yang melayani
gugatan pihak yang kalah dalam
arbitrase.
Melihat permasalahan diatas,
maka timbul beberapa pertanyaan :
1. Bagaimana cara-cara dalam proses
penyelesaian sengketa ?
2. Apakah
Pengadilan
berwenang
meme-riksa perkara yang sudah
dijatuhkan putusan arbitrasenya?
3. Sejauh mana keterkaitan antara
penga-dilan
dengan
lembaga
arbitrase?
II. Pembahasan
1. Cara Penyelesaian Sengketa
Pada umumnya penyelesaian seng keta dapat dilakukan melaui forum
penga-dilan, namun demikian bisa juga
disele-saikan melalui kerangka pranata
alter-native penyelesaian sengketa,
termasuk di dalamnya pranata arbitrase.
Pranata penyelesaian sengketa
alter-native, termasuk
didalamnya
pranata Arbitrase di Indonesia saat ini
telah diatur dalam suatu peraturan
perundang-unda-ngan tersendiri, yaitu
Undang-Undang No. 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Menurut ketentuan pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
tersebut, obyek perjanjian arbitrase
atau dalam hal ini adalah sengket a yang
akan diselesaikan di luar pengadilan
melalui lembaga arbitrase (dan atau
lembaga alter-native penyelesaian
sengketa lainnya) dapat dila -kukan
hanya untuk sengketa di bidang per dagangan dan mengenai hak yang
menurut
hukum
dan
peraturan
perundang-undangan
dikuasasi
sepenuh-nya
oleh
pihak
yang
bersengketa. Tidak ada suatu penjelasan
resmi mengenai maksud Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999
tersebut, namun jika kita lihat pada
pasal 66 huruf b Undang -Undang nomor
30 Tahun 1999, yang berhu bungan
dengan pelaksanaan putusan arbitrase
inter-nasional, dimana pada penjelasan
pasal 66 huruf b Undang -Undang nomor
30 Tahun 1999 tersebut dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan ruang
lingkup hukum perdagangan adalah
kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
-
Perniagaan
Perbankan
Keuangan
Penanaman modal
Industry
Hak kekayaan intelektual
Maka ini berarti bahwa makna perda gangan sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 5 ayat (1), seharusnya juga
memiliki makna yang luas. Hal ini juga
sejalan dengan ketentuan selan jutnya
dalam Pasal 5 ayat (2), yang
memberikan perumusan
negative,
dimana dikatakan bahwa seng keta sengketa yang dianggap tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase adalah
sengketa yang menurut peraturan per
undang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian. Dengan adanya ketentuan
sebagaimana
dijelaskan
dalam
Penjelasan Pasal 66 huruf b Undang Undang nomor 30 Tahun 1999 tersebut,
maka sengketa yang berhubungan
dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual
dapat diselesaikan melalui pranata
Alternatif
Penyelesaian Sengketa
termasuk Arbitrase.
2. Tinjauan
Proses
Penyelesaian
Sengketa
Banyak jalan untuk penyelesaian
sengketa. Berbagai model penyelesaian
sengketa, baik secara formal maupun
non formal, dapat dipakai sebagai acuan
untuk menja-wab berbagai sengketa
yang mungkin timbul. Adapun proses
yang dikenal adalah Proses Adjudikasi
dan Proses Konsensus.
Ada beberapa cara dalam proses penye lesaian sengketa :
1. Melalui mekanisme litigasi.
2. Melalui mekanisme Arbitrase.
3. Melalui mekanisme Alternatif Penyele saian Sengketa / APS.
Litigasi dan Arbitrase merupakan Proses
Adjudikasi
sedangkan
Alternatif
Penyele-saian Sengketa merupakan
Proses Kon-sensus.
1. Proses Adjudikasi.
a. Litigasi.
Litigasi adalah :
“proses gugatan atas suatu konflik
yang diritualisasikan untuk meng gantikan konflik yang sesungguhnya,
dimana para pihak memberikan
kepada seorang pengambil kepu tusan dua pilihan yang berten tangan” (Suyud Margono,2002,23).
Jadi litigasi merupakan suatu proses.
Proses ini ditandai dengan bentuk
gugatan atas konflik yang ada melalui
pengadilan dan hakim yang memiliki
kewenangan
untuk
memutus
perkara. Proses ini yang paling
dikenal di masyarakat kita. Litigasi
diartikan sebagai proses administrasi
dan
peradilan.
Sistem
yang
dipergunakan untuk penyele -saian
sengketa adalah system perla -wanan
atau berlangsung atas dasar saling
bermusuhan atau bertikaian antara
para pihak. Proses ini selalu
menempatkan salah satu pihak
sebagai pemenang dan pihak lain
yang kalah.
Tentang Hukum Acara.
Hukum acara adalah kumpulan
ketentuan-ketentuan dengan tujuan
memberikan dasar pedoman dalam
mencari kebenaran dan keadilan bila
terjadi perkosaan atas sesuatu keten
tuan hukum dalam hukum materiil
yang berarti memberikan kepada
hukum acara suatu hubungan yang
mengabdi pada hukum materiil.
Dengan kata lain hukum a cara
sebagai peraturan hukum yang
mengatur bagaimana cara menjamin
ditaatinya hukum materiil. Di
Indonesia kita kenal hukum itu ada
Hukum Acara Perdata (HIR) dan
Hukum Acara Pidana yaitu Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 serta
Hukum Acara Peradilan Tata Usa ha
Negara yaitu Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004. Hukum acara memiliki fungsi
untuk menegakkan ketentuan hukum
materiil.
Secara tegas hukum acara meliputi
ketentuan-ketentuan tentang bagaimana cara orang harus menyelesaikan masalah dan mendapatkan
keadilan dari hakim apabila kepen tingannya atau hak-haknya dilanggar
oleh orang lain dan sebaliknya bagai mana cara mempertahankan kebe narannya bila ia dituntut oleh pihak
lain.
Pengadilan Niaga ditempatkan d i
bawah lingkup Peradilan Umum.
Menurut Pasal 280 ayat (1) Undang Undang Nomor 4 Tahun 1998,
Pengadilan Niaga berfungsi meme riksa dan memutus permohonan
pailit dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dan berwenang
pula memerikasa dan memutuskan
perkara lain di bidang perniagaan,
yang penetapannya dilakukan dengan
Peraturan Pemerintah.
Untuk
pertama kali lembaga ini hanya
dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dan kemudian disusul di empat
kota besar lainnya, yaitu Semarang,
Surabaya, Makasar dan Med an. Dari
kelima Pengadilan Niaga yang telah
dibentuk sampai awal tahun 2003
baru dua Penga-dilan Niaga (yaitu
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan
Surabaya) yang memeriksa dan
memutus perkara niaga, sedangkan
Pengadilan Niaga lainnya belum
berfungsi.
Permasalahan lain yang dihadapi
dengan keberdaan Pengadilan Niaga
adalah kompetensinya dalam meme riksa perkara yang menyangkut
dengan perjanjian dagang yang
memakai klausula arbitrase dan
dengan semakin meningkatnya keb u
tuhan masyarakat akan proses peny e
lesaian sengketa secara cepat dan
dengan proses yang tidak berbelit belit. Dengan semakin beragamnya
produk barang dan jasa yang diha silkan sebagai wujud perkembangan
teknologi dalam upaya memenuhi
kebutuhan hidup dan peningkatan
ekonomi masyarakat, berkembang nya berbagai lembaga pendukung
pembangunan ekonomi seperti pasar
modal,
perbankan,
lembaga
keuangan bukan bank dan lain lainnya, sengketa dagang akan
semakin meningkat pula. Hal itu
menyebabkan timbulnya kebutuhan
untuk penyelesaian sengketa secara
cepat dan tidak berbelit-belit dan
memenuhi rasa keadilan masya -rakat.
Masuknya Pengadilan Niaga ke dalam
lingkungan
Peradilan
Umum,
ketentuan hukum acara yang dipakai
berdasarkan prosedur hukum acara
yang berlaku dalam mengajukan
gugatan sebagaimana pengajuan
gugatan pada umumnya.
b. Arbitrase.
Mekanisme arbitrase, para pihak
menyetujui untuk menyelesaikan
sengketanya kepada pihak netral
yang mereka pilih untuk membuat
keputusan. Arbitrase merupakan
suatu bentuk adjudikasi privat mes kipun dalam beberapa hal m emiliki
kemiripan dengan adjudikasi public.
Pasal 1 butir (1) UU Nomor 30 Tahun
1999 yang dimaksud dengan arbi trase adalah :
Penyelesaian sengketa perdata di luar
peradilan umum yang dida -sarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
Ada yang berpendapat bahwa arbi trase adalah suatu bentuk penga dilan, tapi bukan pengadilan Negara,
khususnya berkaitan dengan pende -
katan yang digunakan dalam menye lesaikan masalah.
Arbitrase pada dasarnya adalah
menghindari pengadilan sebab diban
dingkan dengan adjudikasi public
arbitrase lebih memberikan kebe basan, pilihan, otonomi dan kera hasiaan kepada para pihak yang
bersengketa.
Dalam arbitrase ini para pihak dapat
memilih hakim yang dikehendaki,
sehingga dapat menjamin kenetralan
dan keahlian sesuai dengan perseng ketaan mereka. Para pihak dapat
memilih hukum yang dikehendaki
untuk dipakai dasar penyelesaian
sengketa. Biaya lebih murah dan
cenderung lebih informal.
2. Proses Konsensus.
Jalur Alternatif Penyelesaian Seng keta /
Alternatif Dispute Resolution sering
diartikan sebagai Alternatif of litigation
dan alternative to adjudication. Ada
implykasi yang berbeda dari 2 (dua)
pengertian tersebut. Pengertian per tama ADR meliputi arbitrase sedangkan
pengertian yang kedua ADR tidak termasuk di dalamnya arbitrase.
Penyelesaian sengketa dimungkinkan
selain melalui jalur litigasi, arbitrase bisa
juga lewat cara sebagai berikut :
a. Negosiasi
Komunikasi dua arah yang diarahkan
untuk mencapai kesepakatan pada
saat kedua belah pihak memiliki
berbagai kepentingan yang sama
maupun berbeda.
b. Mediasi
Proses negosiasi pemecahan masalah
dimana pihak luar yang tidak
memihak bekerjasama dengan pihak
yang bersengketa untuk membantu
memperoleh kesepa-katan perjanjian
dengan memuas-kan. Dalam UndangUndang Nomor
30 tahun 1999
pengaturan mengenai mediasi dapat
dilihat dalam keten-tuan Pasal 6 ayat
(3), (4) dan (5).
c. Konsiliasi
Pihak yang bersengketa tidak mampu
merumuskan suatu kese-pakatan dan
pihak ketiga menga-jukan usulan
jalan keluar dari seng-keta. Perkataan
konsiliasi sebagai salah satu Alternatif
Penye-lesaian Sengketa dapat kita
temukan dalam ketentuan Pasal 1
angka 10 dan Alinea ke-9 Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 30
tahun 1999.
3. Pengaturan Mengenai Arbitrase
A. Definisi Arbitrase
Menurut Black's Law Dictionary:
"Arbitration. an arrangement for taking
an abiding by the judgement of selected
persons in some disputed matter,
instead of carrying it to establish
tribunals of justice, and is intended to
avoid the formalities, the de lay, the
expense and vexation of ordinary
litigation".Menurut Pasal 1 angka 1
Undang Undang Nomor 30 tahun 1999
Arbitrase adalah cara penye -lesaian
suatu sengketa perdata di luar
pengadilan umum yang didasarkan pada
Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Pada dasarnya arbitrase
dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk,
yaitu:
1. Klausula arbitrase yang tercantum
dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa
(Factum
de
compromitendo); atau
2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri
yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa (Akta Kompromis).
Sebelum
UU
Arbitrase
berlaku,
ketentuan mengenai arbitrase diatur
dalampasal 615 s/d 651 Reglemen Acara
Perdata (Rv). Selain itu, pada
penjelasanpasal 3 ayat(1) UndangUndang No.14 Tahun 1970 tentang
Pokok-PokokKekuasaan
Keha -kiman
menyebutkan bahwa penyelesaian
perkara di luarPengadilan atas dasar
perdamaian
atau
melalui
wasit
(arbitrase)
tetapdiperbolehkan.
B. Sejarah Arbitrase
Keberadaan arbitrase seba gai salah satu
alternatif penyelesaian sengketa sebe narnya sudah lama dikenal meskipun
jarang dipergunakan. Arbitrase diper kenalkan di Indonesia bersamaan
dengan dipakainya Reglement op de
Rechtsvor-dering (RV) dan Het Herziene
Indonesisch Reglement (HIR ) ataupun
Rechtsreglement Bitengewesten (RBg),
karena semula Arbitrase ini diatur dalam
pasal 615 s/d 651 reglement of de
rechtvordering.
Ketentuan -ketentuan
tersebut sekarang ini sudah tidak laku
lagi dengan diundang-kannya Undang
Undang Nomor 30 tahun 19 99. Dalam
Undang Undang nomor 14 tahun 1970
(tentang Pokok Pokok Kekuasaan
Kehakiman) keberadaan arbi -trase
dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3
ayat 1 yang antara lain menyebutkan
bahwa penyelesaian perkara di luar
pengadilan atas dasar perdamaian atau
melalui arbitrase tetap diperbolehkan,
akan tetapi putusan arbiter hanya mem punyai kekuatan eksekutorial setelah
mem peroleh izin atau perintah untuk
dieksekusi dari Pengadilan.
C. Objek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa
yang akan diselesaika n di luar
pengadilan melalui lembaga arbitrase
dan
atau
lembaga
alternatif
penyelesaian sengketa lainnya) menurut
Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor
30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”)
hanyalah
sengketa
di
bidang
perdagangan dan mengenai hak yang
menurut
hukum
dan
peraturan
perundang-undangan
dikuasai
sepenuhnya
oleh
pihak
yang
bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perda gangan itu antara lain: perniagaan, per bankan, keuangan, penanaman modal,
industri dan hak milik intelektual.
Sementara itu Pasal 5 (2) U U Arbitrase
memberikan perumusan negatif bahwa
sengketa-sengketa yang dianggap tidak
dapat diselesaikan melalui arbitrase
adalah
sengketa
yang
menurut
peraturan per undang-undangan tidak
dapat
diadakan
perdamaian
sebagaimana diatur dalam KUH Perdata
Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851
s/d 1854.
C. Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase semen tara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui
badan permanen (institusi). Arbitrase
Ad-hoc
dilaksanakan
berdasarkan
aturan-aturan yang sengaja dibentuk
untuk tujuan arbitrase, misalnya UU
No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyele-saian Sengketa
atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada
umumnya arbitrase ad-hoc direntukan
berdasarkan
perjanjian
yang
menyebutkan
penunjukan
majelis
arbitrase serta prosedur pelaksanaan
yang dise-pakati oleh para pihak.
Penggunaan arbitrase Ad -hoc perlu
disebutkan dalam sebuah klausul
arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga
permanen yang dikelola oleh berbagai
badan arbitrase berdasarkan aturan aturan yang mereka tentukan sendiri.
Saat ini dikenal berbagai aturan
arbitrase yang dikeluarkan oleh badan badan arbitrase seperti Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI), atau yang
internasional seperti The Rules of
Arbitration dari The International
Chamber of Commerce (ICC) di Paris,
The Arbitration Rules dari The
International Centre for Settlement of
Investment
Disputes
(ICSID)
di
Washington. Badan-badan tersebut
mempunyai peraturan dan sistem
arbitrase sendiri-sendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional
Indonesia)
memberi
standar
klausularbitrase
sebagai
berikut:
"Semua sengketa yang timbul dari
perjan-jianini, akan diselesaikan dan
diputus oleh Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) menurut peraturan peraturan prosedur arbitrase BANI,yang
keputusannya mengi-kat kedua belah
pihak yang bersengketa, sebagai
keputusan dalam tingkat pertama dan
terakhir".
Standar klausul arbitrase UNCITRAL
(United
Nation
Comission
ofInternational Trade Law) adalah
sebagai berikut.
"Setiap sengketa, pertentangan atau
tuntutan yang terjadi atau sehubungan
dengan perjanjian ini, atau wan
prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya
perjanjian akan diselesaikan melalui
arbitrase sesuai dengan aturan -aturan
UNCITRAL.”
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua
BANI, yang diperiksa pertama kaliadalah
klausul arbitrase. Artinya ada atau
tidaknya, sah atau tidaknyaklausul
arbitrase, akan me-nentukan apakah
suatu sengketa akan diselesaikan lewat
jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan
bahwa bisa saja klausul atau perjanjian
arbitrase dibuat setelah sengketa
timbul.
D. Keunggulan dan Kelemahan
Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan
melalui Penjelasan Umum Undang
Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat
terbaca
bebe-rapa
keunggulan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase
dibandingkan dengan pranata peradilan.
Keunggulan itu adalah :
kerahasiaan sengketa para pihak
terjamin ;
 keterlambatan
yang diakibatkan
karena
hal
prosedural
dan
administratif dapat dihindari ;
 para pihak dapat memilih arbiter
yang berpengalaman, memiliki latar
belakang yang cukup mengenai
masalah yang disengketakan, serta
jujur dan adil ;
 para pihak dapat menentukan pilihan
hukum
untuk
penyelesaian
masalahnya
;
para pihak dapat memilih tempat
penyelenggaraan arbitrase ;
 putusan
arbitrase
merupakan
putusan yang mengikat para pihak
melalui prosedur sederhana ataupun
dapat langsung dilaksanakan.
Para ahli juga mengemukakan penda patnya mengenai keunggulan arbitrase.
Menurut Prof. Subekti bagi dunia perda gangan atau bisnis, penyelesaian
sengketa
lewat
arbitrase
atau
perwasitan, mem-punyai beberapa
keuntungan
yaitu
bahwa
dapat
dilakukan dengan cepat, oleh para ahli,
dan secara rahasia. Sementara HMN
Purwosutjipto mengemukakan arti pen tingnya peradilan wasit (arbitrase)
adalah:
1. Penyelesaian sengketa dapat dilaka sanakan dengan cepat.
2. Para wasit terdiri dari orang-orang
ahli dalam bidang yang diper sengketakan,
yang
diharapkan
mampu membuat putusan yang
memuaskan para pihak.
3. Putusan akan lebih sesuai dengan
perasaan keadilan para pihak.
4. Putusan
peradilan
wasit
dirahasiakan, sehingga umum tidak
mengetahui tentang kelemahan kelemahan perusa- haan yang
bersangkutan. Sifat rahasia pada

putusan perwasitan inilah yang
dikehendaki oleh para pengusaha.
Disamping keunggulan arbitrase seperti
tersebut diatas, arbitrase juga memiliki
kelemahan arbitrase. Dari pr aktek yang
berjalan di Indonesia, kelemahan
arbitrase adalah masih sulitnya upaya
eksekusi dari suatu putusan arbitrase,
padahal penga-turan untuk eksekusi
putusan arbitrase nasional maupun
internasional sudah cukup jelas.
4. Keterkaitan antara Arbitrase d engan
Pengadilan
A. Hubungan Arbitrase dan Pengadilan
Lembaga arbitrase masih memiliki
ketergantungan
pada
pengadilan,
misalnya dalam hal pelaksanaan
putusan arbitrase. Ada keharusan untuk
mendaftarkan putusan arbitrase di
pengadilan negeri. Hal ini menunj ukkan
bahwa
lembaga
arbitrase
tidak
mempunyai upaya pemaksa terhadap
para pihak untuk menaati putusannya.
Peranan pengadilan dalam penyeleng garaan arbitrase berdasar UU Arbitrase
antara lain mengenai penunjukkan
arbiter atau majelis arbiter dalam hal
para pihak tidak ada kesepakatan (pasal
14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan
putusan arbitrase nasional maupun
nasional yang harus dilakukan melalui
mekanisme sistem pera -dilan yaitu
pendafataran putusan tersebut dengan
menyerahkan salinan autentik putusan.
Bagi arbitrase internasional mengambil
tempat di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase
1. Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional
diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30
Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak
harus melaksanakan putusan secara
sukarela. Agar putusan arbitrase dapat
dipaksakan pelaksanaanya, putusan
tersebut
harus
diserahkan
dan
didaftarkan
pada
kepani -teraan
pengadilan negeri, dengan mendaf tarkan dan menyerahkan lembar asli
atau salinan autentik put usan arbitrase
nasional oleh arbiter atau kuasanya ke
panitera pengadilan negeri, dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari setelah
putusan arbitase diucapkan. Putusan
Arbitrase nasional bersifat mandiri, final
ddan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat
mandiri, final dan mengikat (seperti
putusan yang mempunyai kekeuatan
hukum
tetap)
sehingga
Ketua
Pengadilan Negeri tidak diperkenankan
memeriksa alasan atau pertimbangan
dari putusan arbitrase nasional tersebut.
Kewenangan memeriksa yang dimiliki
Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada
pemeriksaan secara formal terhadap
putusan arbitrase nasional yang
dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30
Tahun 1999 sebelum memberi perintah
pelaksanaan , Ketua Pengadilan
memeriksa dahulu apakah putusan
arbitrase meme-nuhi Pasal 4 dan pasal 5
(khusus untuk arbitrase internasional).
Bila tidak meme-nuhi maka, Ketua
Pengadilan Negeri dapat menolak
permohonan arbitrase dan ter -hadap
penolakan itu tidak ada upaya hukum
apapun.
2. Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan -putusan
arbitrase asing di indonesia didasarkan
pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927,
dan
pemerintah
Belanda
yang
merupakan negara peserta konvensi
tersebut menya-takan bahwa Konvensi
berlaku juga di wilayah Indo nesia. Pada
tanggal 10 Juni 1958 di New York
ditandatangani UN Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral
Award.
Indonesia
telah
mengaksesi Konvensi New York tersebut
dengan Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan
didaftar di Sekretaris PBB pada 7
Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mah kamah Agung mengeluarkan Peraturan
mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990
tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan
arbitrase Asing sehubungan dengan
disah-kannya Konvensi New York 1958.
Dengan adanya Perma tersebut
hambatan bagi pelaksanaan putusan
arbitrase asing di Indonesia seharusnya
bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya
kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam
eksekusi putusan arbitrase asing.
C. Kewenangan Pengadilan Memeriksa
Perkara yang Sudah Dijatuhkan
Putusan Arbitrasenya
Lembaga Peradilan diharuskan meng hormati lembaga arbitrase sebagaimana
yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2)
UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan
bahwa
pengadilan
negeri
tidak
berwenang menga-dili sengketa para
pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri
wajib menolak dan tidak ikut campur
tangan dalam suatu penyelesaian
sengketa yang telah ditetapkan H
melalui
arbitrase.
Hal
tersebut
merupakan prinsip limited court
involvement.
Berdasarkan pasal 1338 (3) suatu
perjan-jian harus didasarkan atas asas
itikad baik. Itikad baik adalah suatu
pengertian yang abstrak dan sulit untuk
dirumuskan, sehingga orang lebih
banyak merumus- kannya melalui
peristiwa-peristiwa di pengadilan. Itikad
baik dalam pelaksanaan perjanjian
berkaitan dengan masalah kepatutan
dan kepantasan. Perjanjian harus
dilaksanakan dengan menafsir -kannya
agar sesuai dengan kepatutan dan
kepantasan, sesuai dengan pasal 1339
B.W., yang menyatakan bahwa, ” suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
dida-lamnya tapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan
dan undang-undang”. Itikad baik dapat
dibedakan menjadi itikad baik subjektif
dan itikad baik objektif. Itikad baik
subjektif,
yaitu
apakah
yang
bersangkutan sendiri menyadari bahwa
tindakannya bertentangan dengan itikad
baik, sedang itikad baik objektif adalah
kalau pendapat umum menganggap
tindakan yang demikian adalah berten tangan dengan itikad baik.
Ketertiban umum dijadikan dalih untuk
menolak
permohonan
arbitrase.
Ketertiban umum sendiri adalah suatu
sendi-sendi asasi dari hukum suatu
negara. UU Arbitrase pada bagian
penjelasannya tidak mendefinisikan
atau membatasi ketertiban umum.
Akibatnya, definisi ketertiban umum
dijadikan legitimasi bagi salah satu pihak
untuk meminta pembatalan eksekusi
dari Pengadilan Negeri. Sulit untuk
meng-klasifikasikan putusan arbitrase
yang ber-tentangan dengan ketertiban
umum, namun dapat digunakan kriteria
sederhana sebagai berikut :
1. putusan
arbitrase
melanggar
prosedur arbitrase yang diatur dalam
peraturan perundangan negara,
misalnya
kewa-jiban
untuk
mendaftarkan putusan arbitrase di
pengadilan
setempat
tidak
dilaksanakan ;
2. putusan arbitrase tidak memuat
alasan-alasan, padahal peraturan
perundang-undangan
negara
tersebut mewajib-kannya; atau
3. jika salah satu pihak tidak mendapat
kesempatan
untuk
didengar
argument-tasinya sebelum putusan
arbitrase dijatuhkan.
Pada intinya terhadap perkara yang
sudah memiliki klausul arbitrase tidak
bisa diajukan ke pengadilan negeri, dan
untuk perkara yang sudah dijatuhkan
putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan
lagi ke pengadilan, kecuali apabila ada
perbuatan melawan hukum, sehingga
pihak yang dirugikan bisa menggugat ke
pengadilan negeri atas dasar perbuatan
melawan hukum dalam hal pengambilan
putusan arbitrase yang tidak berdasar
itikad baik.
IV. Kesimpulan
Pengadilan
tidak
berwenang
meme-riksa kembali perkara yang sudah
dija-tuhkan
putusan
arbitrasenya,
kecuali apabila ada perbuatan melawan
hukum terkait dengan pengambilan
putusan arbitrase dengan itikad tidak
baik, dan apabila putusan arbitrase itu
melanggar ketertiban umum.
Peradilan harus menghormati
lembaga arbitrase, tidak turut campur,
dan dalam pelaksanaan suatu putu san
arbitrase masih diperlukan peran
pengadilan, untuk arbitrase asing dalam
hal
permohonan
eksekuator
ke
pengadilan negeri.
Pada prakteknya walaupun pengaturan
arbitrase
sudah
jelas
dan
pelaksanaannya bisa berjalan tanpa
kendala namun dalam eksekusinya
sering mengalami hambatan dari
pengadilan negeri.
Daftar Pustaka:
Gatot
Soemartono. Arbitrase dan
Mediasi di Indonesia. (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2006),
hal.3.
Ibid., hal.4.
Budhy Budiman. Mencari Model Ideal
penyelesaian Sengketa, Kajian
Terhadap
praktik
Peradilan
Perdata Dan undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999.
Soemartono, op.cit., hal 74.
Budhy Budiman, ibid.
Soemartono, Op.Cit., hal.27.
Ibid.
Indonesian
Banking
Restructuring
Agency (IBRA). Arbitrase, Pilihan
Tanpa
Kepastian,
http://www.gontha.com/view.php
?nid=104, diakses 10 Januari 2010.
Download