BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Osteoarthritis Definisi osteoarthritis menurut American Rheumatism Association (ARA) adalah sekelompok kondisi heterogen yang menyebabkan timbulnya gejala dan tanda pada lutut yang berhubungan dengan defek integritas kartilgo, dan perubahan pada tulang di bawahnya dan pada batas sendi. Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif pada kartilago sendi dengan perubahan reaktif pada batas-batas sendi, seperti pembentukan osteofit, perubahan tulang subkondral, perubahan sumsum tulang, reaksi fibrous pada sinovium, dan penebalan kapsul sendi. Sendi yang bisa terkena OA adalah sendi-sendi benar („true joint‟ atau diarthrosis), yaitu sendi-sendi yang mempunyai kapsul sendi, membran sinovialis, cairan sinovialis, dan kartilago sendi (Hartanto, 2011). Gambar 2.1 : A. Lutut normal B. Lutut Osteoarthritis (Henley, 2010) 9 10 2.2 Anatomi Fungsional dan Biomekanika 2.2.1 Anatomi Lutut Lutut terdiri dari tiga persendian (artikulasi) yaitu tibio femoral, patelofemoral dan tibiofibular. Aktivitas sendi – sendi ini dipengaruhi oleh tenaga lokal dan sendi di atasnya yaitu sendi panggul (hip joint), maupun sendi di bawahnya yaitu sendi kaki (ankle joint). Sendi lutut ditutup oleh kapsul sendi, yang berfungsi sebagai pertahanan yang penting terhadap kerusakan sendi. Penahan statik primer pada gerakan tibiofemoral adalah ligamentum krusiatum, ada 2 jenis yaitu : ligamentum krusiatum anterior dan ligamentum krusiatum posterior. Ligamentum krusiatum anterior berfungsi melindungi gerakan ke depan dari plateu tibial dan membantu mengontrol rotasi. Ligamentum krusiatum posterior berfungsi mencegah pergeseran ke depan dari femur pada kondilus tibia dan menjaga stabilitas rotasi. Aksi valgus dan varus lutut dikontrol oleh kedua ligamentum kolateral medialis dan kolateral lateral (Lippert, 2001). Gambar 2.2 : Ligamentum pembentuk sendi (Anonim, 2013) 11 Gerakan ekstensi lutut dilakukan oleh otot quadricep yang terdiri dari empat bagian yang masing-masing bagian bernama sendiri-sendiri yaitu : rectus femoris, vastus lateralis, vastus medialis dan vastus intermedius. Lingkup gerak ekstensi 5-10 derajat hiperekstensi atau 0 derajat (Parjoto, 2000) Gerakan ekstensi dibatasi oleh ketegangan unsur-unsur pada fossa poplitea, ligament krusiatum, ligament kollateral dan ketegangan otot-otot fleksor lutut. Sebagai fiksasor dari gerakan ekstensi lutut adalah kontraksi otot-otot abdominal anterior dan berat dari paha dan pelvis. Otot hamstring adalah suatu kelompok atau grup yang terdiri dari beberapa otot, meliputi : otot bagian lateral yaitu otot biseps femoris, bagian medial otot yaitu semitendinosus dan otot semimembranosuss yang secara keseluruhan berada pada posisi posterior tungkai bagian atas (Yuniati, 2011). Otot hamstring merupakan otot tipe I (tonik) atau otot postural, yang berfungsi untuk melakukan gerakan fleksi hip, ekstensi knee, serta membantu gerakan eksternal dan internal rotasi hip. Frekuensi pemakaian kerja otot yang berlebihan akan mengakibatkan otot mengalami kelelahan berupa kontraktur sebagai reaksi pemendekan jaringan lunak. Kontraktur yang terjadi pada otot hamstring akan menimbulkan nyeri pada daerah posterior paha, keterbatasan gerak sendi hip dan lumbal yang berakibat pada gangguan postur serta pola jalan (Natalia, 2008). 12 Gambar 2.3 : Otot Hamstring (Peterson et al, 2001) Fleksi lutut terjadi karena adanya kontraksi otot hamstring yang terdiri dari otot semimembranosus, otot semitendinosus dan otot biceps femoris, serta otot garcilis, otot sartorius, otot popliteus, dan otot gastrocnemius. Rotasi medialis terjadi karena adanya kontraksi dari otot- otot rotator medialis yang terdiri dari otot Semimembranosus, otot semitendinosus, otot gracilis, otot sartorius dan otot popliteus. Rotasi lateralis dilakukan oleh otot biceps femoris, hampir merupakan satu-satunya rotator lateralis paha dan mengimbangi semua otot yang bekerja sebagai rotator medialis.bila tungkai tidak menompang beban ia akan dapat bantuan yang kurang berarti (pada akhirnya rotasi) dari otot tensor fascia latae. Fungsi fleksi lutut, ekstensi hip, maupun gerakan eksternal dan internal rotasi hip dengan menggunakan beban tubuh, beban yang dihasilkan sangat besar seperti : 13 jumping , melompat, berjalan, berlari, mengangkat, mendorong dan menarik (Natalia, 2008). 2.2.2 Biomekanika Sendi Lutut Biomekanik adalah ilmu yang mempelajari gerakan tubuh manusia. Dalam penulisan ini hanya akan membahas komponen kinematis yang ditinjau dari gerak secara osteokinematika dan artrokinematika yang terjadi pada sendi lutut. 1. Osteokinematika Osteokinematika merupakan gerak sendi yang dipandang dari gerakan tulangnya dan merupakan gerakan fisiologis sendi. Lutut merupakan hinge joint dengan gerak rotasi ayun dalam bidang sagital dan menghasilkan gerakan fleksi dengan nilai ROM normal 130º-140º dan soft end feel juga posisi hiperekstensi berkisar antara 5º-10º dalam batas normalnya dengan hard end feel, selain rotasi ayun lutut juga mempunyai gerak rotasi spin dalam bidang tranversal pada posisi lutut fleksi dan menghasilkan gerakan internal rotasi 15º-30º dengan elastic end feel dan eksternal rotasi 40º-45º pada posisi awal, mid posisi dengan elastic end feel. Pada gerak akhir ektensi terjadi eksternal rotasi yang dikenal sebagai closed rotation (Sugijanto, 2008). 2. Artrokinematika Arthrokinematik merupakan gerakan pada permukaan sendi. Gerak arthrokinematik dari lutut yaitu : traksi dan kompresi dengan arah kaudal-kranial searah axis longitudinal. Gerak translasi ke dorsal dan ke medial terjadi saat fleksi sedangkan translasi ke ventral dan ke lateral terjadi saat gerak ekstensi. 14 Kondilus tibiofemoral yang tidak simetris dan permukaan sendi femur yang lebih besar daripada permukaan sendi tibia menunjukan bahwa ketika kondilus femur bergerak pada kondilus tibia (dengan kondisi menumpu berat badan), kondilus femur harus roll dan slide terhadap condilus tibia. Pada saat gerak fleksi, kondilus femur roll ke posterior dan slide ke anterior. Meniskus pada sendi lutut mengikuti roll dari kondilus dengan bergerak ke posterior saat fleksi. Saat ekstensi, kondilus femur roll ke anterior dan slide ke posterior. Pada akhir ekstensi, gerakan terhenti pada kondilus lateral femur tapi slide berlanjut pada kondilus medial femur untuk mengunci sendi lutut. Pada gerak aktif tanpa menumpu berat badan, terjadi slide oleh permukaan sendi tibia yang konkaf terhadap kondilus femur yang konfek. Kondilus tibia slide ke posterior terhadap kondilus femur saat gerak fleksi. Dari fleksi penuh ke ekstensi, kondilus tibia slide ke anterior pada terhadap kondilus femur (Sugijanto, 2008). 2.3 Etiologi Osteoarthritis Osteoarthritis penyebab utama tidak diketahui, akan tetapi ada beberapa faktor yang etiologinya telah diketahui berhubungan dengan penyakit ini diantaranya : 1. Usia Osteoarthritis lebih sering terjadi pada usia lanjut, tetapi keadaan ini masih belum jelas apakah osteoarthritis ini timbul sebagai konsekuensi dari proses penuaan. Pada umur 30 tahun, mulai terjadi proses degenerasi. 15 2. Jenis kelamin Prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih tinggi dibandingkan perempuan, tetapi setelah usia lebih dari 50 tahun prevalensi perempuan lebih tinggi menderita OA dibandingkan laki-laki. Perbedaan tersebut menjadi semakin berkurang setelah menginjak usia 80 tahun. Hal tersebut diperkirakan karena pada masa usia 50–80 tahun wanita mengalami pengurangan hormon estrogen yang signifikan (Felson, 2007) 3. Obesitas Pada keadaan normal berat badan akan melalui medial sendi lutut dan akan diimbangi otot-otot paha bagian lateral sehingga resultante gaya akan melewati bagian sentral sendi lutut, pada obesitas resultante gaya akan bergeser ke medial maka beban gaya yang diterima sendi lutut tidak seimbang, sehingga stress mekanik bertambah dan hal ini mempercepat perubahan biomekanik tulang rawan sendi/degenerasi (Parjoto, 2000). 4. Trauma pada sendi Trauma disini yaitu disebabkan oleh adanya pembebanan yang berlebihan pada sendi yang berlangsung lama. Trauma ini bisa disebabkan oleh aktivitas fisik atau pekerjaan tertentu. Pekerjaan yang banyak membebani sendi lutut akan mempunyai resiko terserang osteoarthritis lebih besar (Parjoto, 2000). 5. Faktor keturunan Berhubungan dengan efek pembentukan serabut kolagen, efek pembentukan proteaglicans atau hiperkaktivitas dari chondrocyte, yang kesemuanya mempermudah timbulnya kerusakan sendi (Hudaya, 2002) 16 6. Faktor hormonal/metabolisme Diabetes mellitus berperan sebagai faktor predisposisi timbulnya osteoarthritis. 7. Ras / Etnis Prevalensi OA lutut pada penderita di negara eropa dan amerika tidak berbeda, sedangkan suatu penelitian membuktikan bahwa ras Afrika – Amerika memiliki risiko menderita OA lutut 2 kali lebih besar dibandingkan ras Kaukasia. Penduduk Asia juga memiliki risiko menderita OA lutut lebih tinggi dibandingkan Kaukasia. Suatu studi lain menyimpulkan bahwa populasi kulit berwarna lebih banyak terserang OA dibandingkan kulit putih (Eka, 2007). 2.4 Patofisiologi OA Lutut Pada osteoartritis yang pertama kali mengalami perubahan adalah tulang rawan sendi, dimana permukaan sendi menjadi tidak beraturan dan membengkak yang diikuti erosi. Akibat pembengkakan ini akan mempengaruhi pada kapsul sendi yang menjadi sempit dan menimbulkan iritasi yang merangsang nosiseptor. Karena kapsul sendi menyempit maka ligamentum penguat sendi menjadi terulur dan mengakibatkan kemampuan untuk menjaga stabilisasi sendi menjadi menurun. Keadaan ini berakibat terjadi hipermobil pada persendian lutut. Akibat hipermobil sendi lutut meniscus sendi menjadi semakin tipis. Dikarenakan penurunan fungsi dari ligamentum maka fungsi ligamentum akan diambil alih oleh otot. 17 Kerja otot otot stabilisator lutut akan meningkat sehingga menimbulkan spasme pada otot tersebut. Keadaan spasme ini akan menghasilkan iskemik pada jaringan. Iskemik jaringan akan menimbulkan viscous circle reflek yaitu dampak dari spasme yang terus menerus akan mengakibatkan penurunan kemampuan otot untuk menjaga stabilisasi sendi lutut. Dengan kondisi sendi yang menyempit maka akan menimbulkan peningkatkan viskositas cairan sinovium, cairan sinovium adalah sumber makanan bagi tulang rawan. Maka dengan peningkatan reaksi inflamasi pada cairan sinovium maka nutrisi pada tulang rawan akan berkurang. Kekurangan nutrisi pada tulang rawan maka akan menambah kerusakan atau erosi pada tulang rawan. Pada proses selanjutnya maka akan terjadi kontraktur pada kapsul sendi yang menyebabkan peningkatan immobilisasi. Kondisi immobilisasi ini akan menyebabkan inaktivitas dari lutut dan menyebabkan kelemahan pada otot-otot sekitar lutut, khususnya otot-otot stabilisasi sendi (Kisner et al, 2007). 2.5 Diagnosis OA Lutut Diagnosis pada Osteoartritis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis akan didapatkan gejala-gejala yang sudah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan-lahan (Roy et al, 2005). Gejala utama adalah nyeri pada sendi yang terkena, terutama pada waktu bergerak. Awal mula terasa kaku, kemudian timbul rasa nyeri yang berkurang dengan istirahat. Terdapat hambatan pada gerak sendi, biasanya semakin 18 bertambah berat sejalan dengan bertambanya rasa nyeri. Kaku pada pagi hari dapat timbul setelah imobilisasi, seperti duduk dalam waktu yang cukup lama atau setelah bangun tidur. Krepitasi atau rasa gemeretak pada sendi yang sakit juga menjadi keluhan dari penderita osteoarthritis (Asviarty et al, 2000). Tes-tes provokasi yang dilakukan untuk memeriksa sendi lutut antara lain : 1. McMurray Test Tes ini merupakan tindakan pemeriksaan untuk mengungkapkan lesi meniskus medial dan lateral. Pada tes ini penderita berbaring terlentang dengan satu tangan pemeriksa memegang tumit penderita dan tangan lainnya memegang lutut. Tungkai kemudian ditekuk pada sendi lutut. Tungkai bawah eksorotasi dan endorotasi kemudian secara perlahan-lahan diekstensikan. Kalau terdengar bunyi “klek” atau teraba sewaktu lutut diluruskan, maka meniskus medial atau bagian lateral yang mungkin terobek (Miller et al, 2009). Gambar 2.4 : Pemeriksaan McMurray (Miller et al, 2009) 2. Appley Compresion Test Tes ini dilakukan untuk menentukan cedera ligamental atau meniskus. Penderita dalam posisi berbaring tengkurap dengan tungkai bawah difleksikan 19 90º. Kemudian dilakukan penekanan pada tumit pasien. Penekanan dilanjutkan sambil memutar tungkai ke arah dalam (endorotasi) dan luar (eksorotasi). Tes ini apabila pasien merasakan nyeri pada bagian lutut (Miler et al, 2009) 3. Appley Distraction Test Tes ini dilakukan untuk menentukan cedera meniskus atau ligamental pada persendian lutut. Tindakan pemeriksaan ini merupakan kelanjutan dari Appley Comppresion Test. Lakukan distraksi pada sendi lutut sambil memutar tungkai bawah keluar (eksorotasi) dan kedalam (endorotasi). Apabila pada distraksi eksorotasi dan endorotasi itu terdapat nyeri maka hal tes ini positif (Miller et al, 2009) Gambar 2.5 : Pemeriksaan Appley Compression dan Appley Distraction (Miller et al, 2009) 4. Test for Medial Stability Tes ini untuk menilai instabilitas ligamen kolateral medial. Penderita tidur telentang dengan lutut ekstensi penuh. Pegang tungkai bawah dengan satu tangan diletakkan pada lutut bagian posterior lateral dan memaksakan bagian distal tungkai bawah ke lateral. Buatlah daya valgus pada lutut dan tekanan pada ligamentum kolateral medial. Manuver dilakukan pada 0º dan fleksi lutut 30º. Tes 20 bernilai positif jika nyeri dan atau peningkatan pemisahan pada garis sendi medial (Miler et al, 2009) Gambar 2.6 : Test for Medial Stability (Miller et al, 2009) 5. Joint play movement test fleksi dan ekstensi sendi lutut firm end feel . Gambar 2.7 Tes Khusus Joint play movement (Sugijanto, 2008) Berdasarkan beberapa tes yang bisa dilakukan untuk pemeriksaan oa lutut, penelitian ini akan digunakan tes joint play movement test fleksi dan ekstensi sendi lutut firm end feel saat melakukan assemen fisioterapi. Pemeriksaan penunjang rutin yang dilakukan untuk evaluasi OA lutut adalah pemeriksaan rontgen konvensional. Gambaran khas pada OA lutut adalah adanya osteofit dan penyempitan celah sendi. 21 Gambar 2.8 : Rontgen OA Lutut Kellgren & Lawrence (Menkher , 2012) Grade Grade 0 Beratnya OA Tidak ada Temuan radiologis Tidak ada gambaran OA Grade I Diragukan Osteofit kecil, signifikansinya diragukan Grade II Minimal a. Osteofit jelas kelihatan b. Cela sendi tidak terganggu Grade III Moderat a. Osteofit jelas kelihatan b. Pengurangan moderat dari cela sendi 22 Grade IV Berat a. Osteofit jelas kelihatan b. Cela sendi amat terganggu atau menyempit c. Dengan adanya sklerosis tulang subkondral Tabel 2.1 : Grade kriteria OA sendi lutut secara radiologis, dari Kellgren dan Lawrence (Anwar, 2012) 2.6 Nyeri Pada Osteoarthritis Sendi Lutut Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak nyaman, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau berpotensi terjadinya kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan jaringan (Dharmady, 2004). Nyeri juga merupakan suatu refleks untuk menghindari rangsangan dari luar badan, atau melindungi dari semacam bahaya, tetapi perasaan nyeri itu terlalu keras atau berlangsung terlalu lama akan berakibat tidak baik bagi badan. Nyeri juga merupakan perasaan tidak menyenangkan yang menjadikan tanda bahwa tubuh telah mengalami kerusakan. Berdasarkan patofisiologinya nyeri terbagi atas : 1. Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi, yaitu nyeri yang timbul akibat adanya stimulus mekanis terhadap nociseptor. 2. Nyeri neuropatik, yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada system saraf. 3. Nyeri idiopatik, nyeri dimana kelainan patologi tidak dapat ditemukan. 23 4. Nyeri psikologik, penyebab nyeri tidak dapat ditemukan tetapi penderita mengeluh nyeri dan biasanya keluhan nyeri sering berubah-ubah. Nyeri diklasifikasikan dalam beberapa bagian yaitu sebagai berikut : 1. Nyeri perifer (peripheral pain) a) Superfisial : rangsangan secara kimiawi, fisik, pada kulit, mukosa, biasanya terasa nyeri tajam-tajam didaerah rangsangan. b) Deep : bila didaerah visceral, sendi, pleura, peritoneum terangsang akan timbul rasa nyeri dalam. Umumnya nyeri dalam banyak berhubungan dengan refered pain, keringat, kejang otot didaerah yang berjauhan dari asal nyerinya. c) Refered pain : rasa nyeri didaerah jauh dari tempat yang terangsang, biasanya terlihat pada nyeri dalam, yang dirasakan atau menyebarkan nyeri kearah superficial, kadang-kadang disamping rasa nyeri terjadi pada otototot atau kelainan susunan saraf otonom seperti gangguan vaskuler, berkeringat yang luar biasa. Penyebaran nyeri yang timbul bisa berupa : hiperalgesia, hiperasthesia dan allodynia, yang mana penjalaran nyeri ini dapat berasal dari system somatic maupun sistem otonom. 2. Nyeri sentral (central pain) Nyeri sentral adalah nyeri yang dirasakan akibat adanya rangsangan dari sistem-sistem saraf pusat. 24 3. Nyeri psikologik (psycologic pain) Penyebab nyeri tidak dapat ditemukan, atau tidak ditemukan kelainan organik tapi penderita mengeluh nyeri hebat, umumnya keluhan berupa sakit kepala, sakit perut, dan lain-lain (Tamsuri, A. 2007). Nyeri osteoartritis sendi lutut, terjadi pada saat menumpu berat badan dan diperberat pada saat berjalan, berlari, naik turun tangga, dari duduk ke berdiri atau jongkok-berdiri dan nyeri akan hilang jika di istirahatkan. Rasa nyeri awalnya ringan, timbul secara intermiten dan sembuh atau hilang dengan sendirinya. Pada perjalanan berikutnya nyeri menetap baik pada waktu istirahat maupun malam hari. Rasa nyeri pada saat menumpu berat badan, hal ini disebabkan oleh karena adanya ketegangan pada membrana sinovial dan tertekannya atau pembebanan berat badan pada permukaan tulang akibat rangsangan pada periosteum dimana periosteum kaya serabut - serabut saraf penerima rangsang nyeri. Nyeri pada malam hari dapat terjadi terutama setelah beraktifitas yang berlebihan, hal ini diduga terjadi karena pembedungan pembuluh darah vena pada ujung tulang, keadaan ini dapat lebih buruk lagi pada pasien dengan varises dan keluhan ini dapat berkurang jika tungkai ditinggikan. Sifat nyeri pada awalnya singkat dan kemudian menjadi lebih konstan, yang dapat digambarkan menjalar sampai ujung kaki dari sendi yang terkena. Nyeri tajam dan menusuk disebabkan loose body yang terjepit pada sendi. Nyeri berdenyut berhubungan dengan suatu episode peradangan dan akan lebih memburuk pada malam hari (Anwar, 2012). 25 2.7 Mekanisme Timbulnya Nyeri pada Osteoartritis Sendi lutut Nyeri osteoartritis sendi lutut, terjadi pada saat menumpu berat badan dan diperberat pada saat berjalan, naik turun tangga atau jongkok berdiri, nyeri akan hilang jika diistirahatkan. Rasa nyeri awalnya ringan, timbul secara intermiten dan sembuh atau hilang dengan sendirinya. Pada perjalanan berikutnya nyeri menetap baik pada waktu istirahat maupun malam hari. Rasa nyeri pada saat menumpu berat badan, hal ini disebabkan oleh karena adanya ketegangan pada membran sinovial dan tertekannya atau pembebanan berat badan pada permukaan tulang akibat rangsangan pada periosteum dimana periosteum kaya akan serabut-serabut saraf penerima rangsang nyeri. Kapsul sendi mengalami degenerasi dan proses peradangan kronis. Hal tersebut mengakibatkan menurunnya elastisitas kemudian menjadi kontraktur dan menyebabkan keterbatasan gerak dan nyeri regang. Nyeri pada malam hari dapat terjadi terutama setelah beraktifitas yang berlebihan, hal ini diduga terjadi karena vasokontriksi pembuluh darah vena pada ujung tulang. Nyeri tajam dan menusuk disebabkan loose body/serpihan tulang rawan yang terjepit pada sendi. Serpihan tulang rawan yang patah tersebut diantara permukaan sendi akan menyebabkan penguncian dan peradangan sehingga timbul nyeri. Spasme otot awalnya sebagai protektif terhadap adanya nyeri dan proses radang. Otot mengalami ketegangan ataupun kontraksi secara terus-menerus, maka akan menyebabkan spasme lokal pada extrafusal otot yang kemudian akan menyebabkan vasokontriksi yang disebabkan penjepitan mikrosirkulasi. Sehingga suplai nutrisi dan oksigen ke otot berkurang selanjutnya otot akan mengalami 26 hypogizi atau hipoksia yang kemudian akan menyebabkan ischemic pada spasme lokal. Berkurangnya O2 pada otot juga akan menimbulkan reaksi pada tubuh berupa inflamasi dimana terjadi vasodilatasi pembuluh darah dalam keadaan otot yang menegang (neurogenik inflamation). Sementara pada serabut otot yang tidak tegang, terjadi vasokonstriksi sehingga menyebabkan kurang baiknya penyerapan tropocolagen. Kondisi ini akan menyebabkan nyeri dimana nyeri akan menyebabkan spasme, spasme akan menyebabkan ischemic, ischemic akan menyebabkan nyeri dan seterusnya disebut viscous cyrcle of pain (Anwar, 2012). 2.8 Ultrasound (US) Ultrasound (US) adalah bunyi atau gelombang suara dimana terjadi peristiwa getaran mekanik dengan bentuk gelombang longitudinal yang berjalan melalui medium tertentu dengan frekwensi yang bervariasi (Prentice, 2002). Terapi US menggunakan transduser yang bergerak dinamis secara sirkular dan parallel yang dapat merambat melalui media padat, cair, dan gas karena gelombang suara merupakan rambatan energy sehingga merambat sebagian interaksi dengan molekul dan sifat enersia media yang dilaluinya. 27 Gambar 2.9 : Ultrasoud Enraf Nonius Tipe Sonopuls 992 (dokumen pribadi, 2015) Mekanisme gelombang US terhadap penurunan nyeri yaitu melalui beberapa efek yang dihasilkan gelombang tersebut. Efek-efek tersebut yang dapat menurunkan nyeri yaitu (Prentice, 2002) : a) Efek Mekanik Bila gelombang ultrasonik masuk ke dalam tubuh maka akan menimbulkan pemampatan dan peregangan dalam jaringan sama dengan frekwensi dari transduser ultrasonik sehingga terjadi variasi tekanan dalam jaringan. Dengan adanya variasi tersebut menyebabkan efek mekanik yang sering disebut dengan istilah mikro massage yang merupakan efek terapeutik yang sangat penting karena hampir semua efek yang timbul oleh ultrasonik disebabkan oleh mikro massage. b) Efek Panas Mikro massage pada jaringan akan menimbulkan efek friction yang hangat. Panas yang ditimbulkan oleh jaringan tidak sama tergantung dari nilai akustic impedence, pemilihan bentuk gelombang, intensitas yang digunakan dan 28 durasi yang pengobatan. Area yang paling banyak mendapatkan panas adalah jaringan interface yaitu antara kulit dan otot serta periosteum. c) Efek Piezoelectrik Adalah suatu efek yang dihasilkan apabila bahan-bahan piezoelectrik seperti kristal kwarts, bahan keramik polycrystalline seperti lead-zirconatetitanate dan barium titanate mendapatkan pukulan atau tekanan sehingga menyebabkan terjadinya aliran muatan listrik pada sisi luar dari bahan piezoelectric tadi. Gambar 2.10 : Efek Biofisik (Irfan, 2015) Indikasi intervensi US adalah untuk kondisi peradangan sub akut dan kronik OA, kondisi traumatik sub akut dan kronik OA, adanya jaringan parut atau scar tissue pada kulit sehabis luka operasi atau luka bakar, kondisi ketegangan, pemendekan dan perlengketan jaringan lunak (otot, tendon dan ligamentum) pada OA dan kondisi inflamasi kronik. Sedangkan kontra indikasi intervensi US adalah untuk penyakit jantung atau penderita dengan alat pacu jantung, kehamilan, khususnya pada daerah uterus, jaringan lembut (mata, testis, ovarium, otak), jaringan yang baru sembuh atau jaringan granulasi baru, pasien dengan gangguan sensasi, tanda-tanda 29 keganasan atau tumor malignan, insufisiensi sirkulasi darah (thrombosis, thromboplebitis atau occlisive occular disease), infeksi akut dan daerah epiphysis untuk anak-anak dan dewasa. Jadi mekanisme menurunkan intensitas nyeri dengan US yaitu pemberian modalitas US menimbulkan iritasi pada jaringan menyebabkan timbulnya reaksi peradangan fisiologis, hal ini disebabkan oleh pengaruh mekanik dan panas ultrasonik. Pengaruh mekanik juga merangsang syaraf polymodal dan akan dihantarkan ke ganglion dorsalis sehingga memacu aktivasi “P substance” untuk selanjutnya terjadi inflamasi sekunder, atau dikenal “neorogenic inflammation”. Stimulasi “P substance” tersebut mengakibatkan proses induksi proliferasi akan lebih terpacu sehingga mempercepat terjadinya proses penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan. US dapat meningkatkan threshold aktivasi ujung-ujung syaraf melalui efek thermal. Panas yang dihasilkan terhadap serabut syaraf yang bermyelin besar dapat mengurangi nyeri melalui “gating mechanism”. Ultrasonik dapat meningkatkan konduksi velositas syaraf sehingga menimbulkan efek kontra iritasi melalui “thermal mechanism”. Dengan berkurangnya rasa nyeri maka aktivitas fungsional diharapkan dapat meningkat (Prentice, 2002). 2.9 Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation/TENS merupakan suatu cara penggunaan energi listrik guna merangsang sistem syaraf melalui permukaan kulit dan terbukti efektif untuk merangsang berbagai tipe nyeri. TENS mampu 30 mengaktivasi baik syaraf berdiameter besar maupun kecil yang akan menyampaikan berbagai informasi sensoris ke syaraf pusat. Efektifitas TENS dapat diterangkan lewat teori gerbang kontrol (Kuntono, 2000). Gambar 2.11 : Electroterapy/TENS Enraf Nonius Tipe Endomed 982 (Dokumen Pribadi, 2015) Pada TENS konvensional mempunyai bentuk pulsa monophasic, biphasic dan polyphasic. Monophasic mempunyai bentuk gelombang rektanguler, triangular dan gelombang separuh sinus searah pada biphasic simetris. Sedangkan pada polyphasic ada rangkaian gelombang sinus dan bentuk interferensi atau campuran. Pulsa monopasik atau simetrik bipasik yang mengandung arus galvanik memodulasi rasa nyeri pada level spinal dengan menghambat serabut syaraf bermielin tipis dan tak bermielin pada level supraspinal inhibisi produksi dari endorphin. Sedangkan pulsa simetrik bipasik dan rektanguler bipasik tidak mengandung arus galvanik dan hanya dapat memodulasi nyeri pada level spinal yaitu menghambat serabut syaraf bermielin tipis dan tak bermielin. 31 Pada TENS ini juga menggunakan burst sehingga akan menimbulkan kontraksi otot sangat jelas pada saat terapi dilakukan. Dari kontraksi ini akan dihasilkan efek samping pumping action pada otot sehingga akan memacu proses sirkulasi jaringan yang menyebabkan otot lemas atau tidak tegang (efek sedatif) yang pada akhirnya iritasi pada syaraf akan berkurang sehingga terjadi modulasi nyeri level sensoris (Kuntono, 2000). Metoda penempatan elektroda sebagai berikut : a. Di sekitar lokasi nyeri Cara ini paling mudah dan paling sering digunakan, sebab metoda ini dapat langsung diterapkan pada daerah nyeri tanpa memperhatikan karakter dan letak yang paling optimal dalam hubungannya dengan jaringan penyebab nyeri. b. Dermatom. Dasar pemikiran dari metoda ini ialah daerah kulit akan mempunyai persyaratan yang sama dengan struktur / jaringan yang tepat di bawahnya. c. Para vertebral Posisi elektroda diletakkan pada sisi kanan kiri vertebra. d. Kontra planar / Trough and Through Metoda ini diterapkan pada sendi yang terasa nyeri. Indikasi intervensi TENS adalah pada kondisi neurologi (Bell’s palsy, Erbs palsy, spinal cord injury, trigeminal neuralgia), kondisi musculoskeletal (osteoarthritis, rematoid arthritis, sakit setelah operasi, low back pain), Viseral pain dan dysmennore, angina pectoris, keterbatasan gerak dan post fracture. 32 Kontra indikasi intervensi TENS adalah pada kondisi pacu jantung/pase maker, kehamilan, inflamasi terlokalisir, thrombosis, metal inplant, tumor, tuberkulosa (Prentice, 2002). Mekanisme menurunkan intensitas nyeri dengan TENS yaitu dapat mengurangi nyeri dengan merangsang syaraf halus yang sedikit atau tidak bermyelin yang mengelilingi jaringan dan pembuluh darah. TENS dapat merangsang pelepasan endorphine dependen system dan serotonin dependen oleh tubuh, menghambat stimulasi substan “P”. Pelepasan endorphine dependen system oleh TENS frekwensi rendah dengan merangsang reseptor sensorik serabut saraf A-delta dan C sehingga dapat menghambat rasa nyeri pada cornu posterior medulla spinalis. Di samping berpengaruh pada syaraf, juga mempengaruhi otot sehingga terjadi pumping actions. Dimana akan terjadi peningkatan sirkulasi darah dan akan mereabsorbsi inflamasi dan sisa metabolisme sehingga menurunkan iritan pada tingkat noci sensoris sehingga nyeri berkurang. Dengan berkurangnya rasa nyeri maka aktivitas fungsional diharapkan dapat meningkat, sehingga panjang langkah akan meningkat pula (Kuntono, 2000). 2.10 Latihan Isometrik Isometrik adalah kontraksi yang mempengaruhi tenaga melalui ketegangan intra muscular tanpa perubahan panjang otot. Ketika suatu otot bekerja secara isometrik maka panjang otot akan memendek dan komponen-komponen non 33 kontraktil sedikit memanjang serta tidak ada gerakan yang terjadi pada suatu sendi dimana otot melewati sendi tersebut. Respon isometrik terhadap penguatan otot adalah menghilangkan profokasi, efek fisiologis didapat. Pada isometrik selain penguatan otot juga meningkatkan stabilitas sendi (penguatan ligamentum dan struktur sendi). Juga terjadi gliding, serta pemekaran ligamentum (Sugijanto, 2008). Gerakan-gerakan isometrik yang terjadi yaitu kontraksi otot yang dilakukan dalam latihan ini disesuaikan dengan otot mana yang akan diberikan latihan. Bila tujuan latihan pada otot quadricep, maka seolah-olah terjadi gerakan ekstensi lutut (Rubensteins, 2005). Dosis latihan disini diberikan sebanyak 2 seri 10 repetisi. 6 detik kontraksi, 9 detik istirahat, kemudian istirahat selama 30 detik sebelum masuk pada seri berikutnya. Hal tersebut mengacu pada penghitungan 1 RM menurut Holten, dengan tujuan latihan untuk meningkatkan kekuatan aerobik lokal (Kisner, 2007). 2.11 Stretching 2.11.1 Pengertian Stretching atau peregangan merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu manuver terapeutik yang bertujuan untuk memanjangkan struktur jaringan lunak yang memendek baik secara patologis maupun non patologis sehingga dapat meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS). Stretching terdapat 3 tipe cara, yaitu static stretching, ballistic stretching, proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF) stretching (Freshmen, 2002). 34 Pada penelitian ini stretching otot hamstring dilakukan dengan metode auto static stretching, dimana didalam auto static stretching dilakukan proses penguluran otot dan diberikan tahanan selama 10-60 detik, banyak pengulangan dan menghasilkan sedikit nyeri tetapi kecil untuk mengalami cidera saat latihan. Auto static stretching adalah stretching otot pada posisi yang benar, yang dapat mencegah atau mengurangi kekakuan dan perasaan yang tidak nyaman. Auto static stretching dapat mengurangi iritasi terhadap saraf yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal cross link. Auto static stretching merupakan stretching yang efektif karena berpengaruh terhadap semua otot yang membatasi gerakan. (Evjenth et al,1997) Alasan penerapan teknik ini adalah bahwa kontraksi isotonik yang dilakukan saat auto static stretching dari otot yang mengalami pemendekan akan menghasilkan otot memanjang secara maksimal tanpa perlawanan. Pemberian auto static stretching yang dilakukan secara perlahan juga akan menghasilkan peregangan pada sarkomer sehingga peregangan akan mengembalikan elastisitas sarkomer yang terganggu pada saat melakukan auto static stretching (Ismaningsih, 2011). Auto static stretching merupakan stretching yang efektif, karena berpengaruh terhadap semua otot yang membatasi gerakan. Adapun prinsip untuk mengaplikasikan auto static stretching adalah sebagai berikut: 1. Posisi awal harus aman dan stabil 2. Fungsi dari otot atau grup otot yang sebenarnya adalah harus selalu dihitung. 35 3. Latihan harus selalu terkontrol dan mempunyai dampak yang sesuai (diharapkan). 4. Otot atau grup otot harus dalam keadaan terulur di berbagai posisi dan memanjang sebisa mungkin sehingga dapat mencapai batas dari mobilitas normal. Prinsip-prinsip vital ini yang membuat auto static stretching efektif dan aman. Auto static stretching membantu bergerak dengan mudah dan lebih baik. Tidak ada reaksi perlindungan yang ditimbulkan dan tidak terdapat resiko overstretch atau kerobekan pada otot jika stretching dilakukan secara perlahan dan lembut (Natalia, 2008). Auto static stretching dapat mengurangi iritasi terhadap saraf Aδ dan saraf tipe C yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal crosslink. Hal ini dapat terjadi karena pada saat diberikan auto static stretching serabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa serabut atau abnormal crosslink pada otot yang memendek. Auto static stretching dapat bermanfaat pada serabut otot yang mengalami pemendekan. Serabut otot yang terganggu akan menyebabkan penurunan elastisitas otot akibat adanya taut band dalam serabut otot. Sarkomer sebagai komponen elastis di dalam serabut otot akan mengalami gangguan. Pemberian auto static stretching yang dilakukan secara perlahan akan menghasilkan peregangan pada sarkomer sehingga peregangan mengembalikan elastisitas sarkomer yang terganggu (Natalia, 2008). akan 36 2.11.2 Respon Mekanik dan Neurofisiologi Pada Otot Terhadap Stretching Stretching yang diberikan pada otot maka akan memiliki pengaruh yang pertama akan terjadi pada komponen elastin (aktin dan miosin) dan tegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan bila dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini hanya bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan (Kisner, 2007). Respon mekanik otot terhadap peregangan bergantung pada myofibril dan sarkomer otot. Setiap otot tersusun dari beberapa serabut otot. Satu serabut otot terdiri atas beberapa myofibril. Serabut myofibril tersusun dari beberapa sarkomer yang terletak sejajar dengan serabut otot. Sarkomer merupakan unit kontraktil dari myofibril dan terdiri atas filamen aktin dan miosin yang saling tumpang tindih. Sarkomer memberikan kemampuan pada otot untuk berkontraksi dan relaksasi, serta mempunyai kemampuan elastisitas jika diregangkan. Ketika otot secara pasif diregang, maka pemanjangan awal terjadi pada rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan tension meningkat secara drastis. Kemudian, ketika gaya regangan dilepaskan maka setiap sarkomer akan kembali ke posisi resting length. Kecenderungan otot untuk kembali ke posisi resting length setelah peregangan disebut dengan elastisitas. Respon neurofisiologi otot terhadap peregangan bergantung pada struktur muscle spindle dan golgi tendon organ. Ketika otot diregang dengan sangat cepat, maka serabut afferent primer merangsang α (alpha) motor -neuron pada medulla spinalis dan memfasilitasi kontraksi serabut ekstrafusal yaitu meningkatkan ketegangan (tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptik stretch 37 refleks. Tetapi jika peregangan dilakukan se- cara lambat pada otot, maka golgi tendon organ terstimulasi dan menginhibisi ketegangan pada otot sehinggga memberikan pemanjangan pada komponen elastik otot yang parallel (Natalia, 2008). 2.11.3 Indikasi, Kontra Indikasi dan Manfaat Stretching Indikasi stretching yaitu : a. Miostatik kontraktur: merupakan kasus yang paling sering terjadi biasanya tanpa disertai patologis pada jaringan lunak ( soft tissue ) dan dapat diatasi dengan gentle stretching exercise dalam waktu yang pendek misalnya pada otot hamstring, otot rektus femoris dan otot gastroknemius. b. Scar tissue contracture adhession : paling sering terjadi pada kapsul sendi bahu dan bila pasien menggerakkan bahu terdapat nyeri sehingga pasien cenderung melakukan imobilisasi akibatnya kadar glikoamino-glikans dan air dalam sendi berkurang sehingga fleksibilitas dan ekstensibilitas sendi berkurang. c. Fibrotic adhession : kasus yang lebih berat dari kondisi kedua di atas karena biasanya bersifat kronis dan terdapat jaringan fibrotik seperti pada kondisi tortikolis. d. Ireversibel kontraktur : biasanya digunakan untuk mengembalikan lingkup gerak sendi dengan tindakan operatif karena dengan penanganan manual tidak menghasilkan dampak yang baik. 38 e. Pseudomiostatik kontraktur : Pada umumnya diakibatkan gangguan pada susunan saraf pusat sehingga mengakibatkan gangguan sistem muskuloskeletal. Kontra indikasi stretching yaitu : a. Terdapat fraktur yang masih baru pada daerah hip joint, b. Post immobilisasi yang lama karena otot sudah kehilangan tensile strength. c. Ditemukan adanya tanda-tanda inflamasi akut. Manfaat stretching adalah : a. Meningkatkan lingkup gerak sendi. b. Menghilangkan spasme otot. c. Meningkatkan panjang jaringan lunak (soft tissue). d. Meningkatkan komplians jaringan sebagai persiapan pertandingan (Natalia, 2008). 2.12 Pengukuran Nyeri Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik dan pengobatan (Smeltzer, 2011). Visual Analogue Scale (VAS) telah digunakan sangat luas dalam beberapa dasawarsa belakangan ini dalam penelitian terkait dengan nyeri dengan hasil yang andal, valid dan konsisten (Jensen et al, 2001). VAS adalah suatu instrument yang 39 digunakan untuk menilai intensitas nyeri dengan menggunakan sebuah table garis 10cm dengan pembacaan skala 1-100 mm dengan rentang makna : 0-29 mm = tidak nyeri, 30-49 mm = kurang nyeri, 50-69 mm = nyeri, 70-89 mm = lebih nyeri dan 90-100 mm = sangat nyeri. Cara penelitian adalah penderita menandai sendiri dengan pensil pada nilai skala yang sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakannya setelah diberi penjelasan dari peneliti tentang makna dari setiap skala tersebut. Penentuan skor VAS dilakukan dengan mengukur jarak antara ujung garis yang menunjukkan tidak nyeri hingga ke titik yang ditunjukkan pasien. Price (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa VAS lebih baik untuk menilai nyeri fascial daripada penilaian numeric. Hasil pengukuran VAS dan NRS lebih teliti dibandingkan instrumen lain karena memiliki nilai skala yang lebih besar. Pada VAS penderita hanya diminta memberikan tanda pada sejauh millimeter sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakannya. Meskipun demikian, VAS memiliki kelemahan untuk member tanda pada skala bagi orang tua dan atau mereka yang mengalami gangguan penglihatan, karena itu peneliti harus menuntun mereka dengan sebaik-baiknya (Jensen et al, 2001). Gambar 2.12 : Visual Analogue Scale/VAS (Das, 2015)