BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kedonganan Kedonganan adalah sebuah desa di kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Lokasinya berbatasan dengan desa Jimbaran dan desa Kelan. Kedonganan memiliki pantai eksotis yang dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata dan perikanan. Perpanjangan dari Pantai Jimbaran merupakan Pantai Kedonganan. Pantai Kedonganan merupakan pantai yang terletak tiga kilometer di sebelah selatan Bandara Udara Internasional Ngurah Rai. Di bagian utara Pantai Kedonganan terdapat sebuah pasar ikan tradisional. Wilayah Kedonganan yang berupa daratan dan pantai membuat penduduknya bisa bermata pencaharian sebagai nelayan atau petani. Prospek dari sektor perikanan lebih menjanjikan karena hamparan laut luas menyimpan anugerah yang berlimpah. Garis Pantai Kedonganan mencapai 1.010 meter (Wikipedia, 2008). Kedonganan merupakan sentra pelelangan ikan terbesar yang ada di Bali (Dinas Perikanan Provinsi Bali, 2008). 2.2 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Pisang - pisang (Pterocaesio diagramma) Menurut Bleeker (1864) taksonomi ikan Pisang - pisang diklasifikasikan sebagai berikut : Domain : Eukaryota Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Superclass : Gnathostomata Grade : Teleostomi Class : Actinopterygii Subclass : Neopterygii 6 7 Division : Teleostei Subdivision: Euteleostei Superorder : Cyclosquamata Order : Aulopiformes Suborder : Percoidei Family : Caesionidae Genus : Pterocaesio Species : diagramma Gambar 1. Ikan Pisang - pisang (Pterocaesio diagramma) (Randall, 2012) Menurut Carpenter dan Volker (2001), ikan Pisang - pisang merupakan ikan yang dapat ditemukan hampir di seluruh perairan Indonesia. Di perairan Indonesia bagaian tengah sampai ke timur ikan Pisang - pisang banyak dapat ditemukan. Ikan ini memiliki nama lokal ikan Pisang - pisang dan nama asing Doubleline fusilier. Bentuk tubuh Ikan Pisang - pisang memanjang. Panjang maksimumnya dapat mencapai 30 cm. Bagian ventral ikan Pisang - pisang putih sedikit kemerahan. Bagian dorsalnya berwarna putih sedikit kehitaman. Pada bagian dorsal sedikit kebawah ini dapat terlihat ada garis berwarna kuning melintang dari bagian depan tubuh ikan sampai ke bagian ekor. Jika kita lihat ikan Pisang pisang memang hampir menyerupai buah pisang. Ekor ikan Pisang - pisang berwarna merah muda dan bagian ujung ekornya berwarna hitam. Bagian ujung 8 ekornya yang berwarna hitam ini merupakan ciri khas dari ikan Pisang - pisang. Ikan ini dapat ditemukan di perairan pantai yang banyak terdapat terumbu karangnya. Ikan Pisang - pisang biasanya memakan zooplankton dan crustacea di perairan. Ikan ini biasanya ditemukan bergerombol dengan ikan lain yang berbeda spesies. 2.3 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Sulir Kuning (Caesio cuning) Menurut Bloch (1791) taksonomi ikan Sulir Kuning diklasifikasikan sebagai berikut : Domain : Eukaryota Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Superclass : Gnathostomata Grade : Teleostomi Class : Actinopterygii Subclass : Neopterygii Division : Teleostei Subdivision: Euteleostei Superorder : Cyclosquamata Order : Aulopiformes Suborder : Percoidei Family : Caesionidae Genus : Caesio Species : cuning Ikan Sulir Kuning (Caesio cuning), menurut Carpenter dan Volker (2001), memiliki morfologi badan yang memanjang, melebar, gepeng, mulut kecil, serong, gigi-gigi kecil lancip, tersusun beberapa baris pada rahangnya. Dua gigi taring pada rahang bawah, dan yang halus pada langit-langit. Jari-jari keras 9 sirip punggung 10 dan 15 lemah. 3 jari-jari keras pada sirip dubur, dan 11 lemah. Sisik tipis, terdapat 52-58 pada garis rusuknya. Sisik-sisik kasar pada bagian atas dan bawah garis rusuk tersusun horisontal, sisik pada kepala mulai dari mata. Ikan ini termasuk ikan buas, selai itu ikan ini memiliki warna yaitu pada bagian atas sampai punggung ungu kebiru-biruan, biru keputihan, bagian belakang punggung, batang ekor, sebagian dari sirip punggung yang berjari-jari lemah, sirip dubur dan ekor kuning. Bagian bawah kepala, badan, sirip perut dan dada merah jambu, pinggiran sirip punggung sedikit hitam dan ketiak sirip dada hitam. Ikan Sulir Kuning merupakan jenis ikan karnivora, sehingga mempunyai gigi taring untuk merobek mangsanya. Sistem pencernaan terdiri dari kelenjar pencernaan, yang terdiri dari rongga mulut (bibir, langit-langit, dasar mulut gigi dan faring); esofagus, lambung, usus besar dan usus halus, kelenjar pencernaan, yang teerdiri dari hati dan pankreas. Ikan ini memakan ikan-ikan kecil dan crustacean yang berada di daerah pantai yang terdapat karang-karang. Pada umumnya Ikan Sulir Kuning (Caesio cuning) hidup di perairan pantai, karang-karang, perairan karang membentuk gerombolan besar. Dapat mencapai panjang 60cm, umumnya 30-40 cm. Hidup di perairan karang seluruh Indonesia, Tl. Benggala, Tl.Siam, sepanjang pantai Laut Cina Selatan, bagian Selatan Ryukyu, ke Selatan sampai perairan panas Australia. Gambar 2. Ikan Sulir Kuning ( Caesio cuning ) (Randall, 2012) Ukuran Ikan Sulir Kuning (Caesio cuning) setelah dewasa bervariasi sesuai masing-masing individu yang ditemukan dekat dan jauh dari pantai. Ikan 10 Sulir Kuning (Caesio cuning) mencapai status dewasa pada saat panjang mereka mencapai 120 cm. Namun ada beberapa pengecualian dimana ikan Sulir Kuning diduga telah dewasa pada ukuran 50-60 cm. Perbandingan jenis kelamin adalah 1:1 pada ikan juvenil dan dewasa yang berukuran mencapai 140 cm. 2.4 Cacing pada Berbagai Organ Ikan Pisang - pisang (Pterocaesio diagramma) dan Ikan Sulir Kuning (Caesio cuning) 2.4.1 Digenea Menurut Olson et al. (2003), klasifikasi cacing digenea adalah: Kingdom : Animalia Sub Kingdom : Eumetazoa (unranked) : Bilateria Superphylum : Platyzoa Phylum : Platyhelminthes Class : Trematoda Subclass : Digenea (Carus, 1863) Gambar 3. Morfologi Umum Digenea (Rohde, 2005) 11 Karakteristik digenea ini adalah memiliki kulit pembungkus (kulit permukaan). Sebuah tegument serupa ditemukan pada anggota lain dari neodermata, sekelompok platyhelminths terdiri dari digenea, aspidogastrea, monogenea dan cestoda . Digenea memiliki bentuk bulat, badan bersegmen dan memiliki parenkim solid tanpa rongga tubuh, seperti dalam semua platyhelminths (Ruppert et al. 2004). Digenea biasanya memiliki dua alat pengisap, yaitu penghisap (sucker) anterior di sekitar mulut (oral sucker) dan penghisap ventral (ventral sucker) yang kadang-kadang disebut Acetabulum, pada permukaan ventral. Oral sucker mengelilingi mulut, sementara ventral sucker merupakan organ otot buta yang berhubungan dengan struktur internal (Rohde, 2008). Digenea jantan memiliki sepasang testis, juga memiliki vas eferens, sebuah vas deferens, vesikula seminalis, saluran ejakulasi dan cirrus (mirip dengan penis) biasanya (tetapi tidak selalu) tertutup dalam kantung cirrus. Pada digenea betina biasanya terdapat satu ovarium dengan saluran telur , sebuah kantong semen, sepasang kelenjar vitelline dengan salurannya, ootype (ruang di mana telur terbentuk), koleksi kompleks dari sel-sel kelenjar disebut 'kelenjar Mehlis, yang dipercaya untuk melumasi rahim bagian telur. Selain itu, beberapa digenea betina memiliki kanal disebut Laurer's Canal, yang mengarah dari saluran telur ke permukaan punggung tubuh. Fungsi kanal ini masih belum jelas, tetapi dapat digunakan untuk inseminasi pada beberapa spesies atau untuk pembuangan produk limbah dari reproduksi pada spesies Trematoda lain (Olson et al. 2003). Sebagian besar digenea adalah hermaprodit. Hal ini menjadi faktor tingginya adaptasi digenea dalam host, yang memungkinkan siklus hidup untuk melanjutkan populasi bila hanya satu digenea yang berhasil menginfeksi host terakhir. Fertilisasi bersifat internal, dengan sperma yang ditransfer melalui cirrus ke Laurer's Canal atau aperture kelamin (Monteiro et al. 2007). Siklus hidup digenea adalah telur dikeluarkan melalui feses dan menggunakan berbagai strategi untuk menginfeksi hospes perantara pertama, di mana reproduksi seksual tidak terjadi. Digenea dapat menginfeksi hospes perantara pertama (biasanya siput) dengan baik atau aktif. Telur ini akan menetas, atau telur dapat menetas dalam air 12 menjadi larva bersilia, yang disebut mirasidium, yang harus mencari dan menembus dinding tubuh hospes pertama. Setelah menelan larva, mirasidium mengalami metamorfosis menjadi Sporokista, yang seterusnya menjadi sercaria, kemudian serkaria berenang bebas meninggalkan hospes pertama, yang akhirnya termakan oleh ikan (Ponce et al. 1998). Cacing ini biasanya menginfeksi insang, jaringan otot dan saluran pencernaan seperti perut dan usus. 2.4.2 Cestoda Klasifikasi cestoda pada ikan dapat diuraikan sebagai berikut (Rohde, 2005): Kingdom : Animalia Phylum : Platyhelminthes Kelas : Cestoda Cestoda adalah salah satu kelas dari Phylum Plathyhelminthes, yang merupakan salah satu kelompok parasit pada ikan. Studi tentang parasit cestoda pada ikan yang berhubungan dengan siklus hidupnya dan kesehatan manusia telah banyak dilakukan di negara maju yang berada di daerah sub tropis. Cestoda juga disebut sebagai cacing pita karena bentuknya pipih panjang seperti pita. Tubuh cestoda dilapisi kutikula dan terdiri dari bagian anterior yang disebut skoleks, leher (strobilus) dan rangkaian proglotid. Pada skoleks terdapat alat pengisap. Skoleks pada jenis cestoda tertentu selain memiliki alat pengisap, juga memiliki kait (rostelum) yang berfungsi untuk melekat pada organ tubuh inangnya. Di belakang skoleks pada bagian leher terbentuk proglotid. Setiap proglotid mengandung organ kelamin jantan (testis) dan organ kelamin betina (ovarium). Tiap proglotid dapat terjadi fertilisasi sendiri. Proglotid yang dibuahi terdapat di bagian posterior tubuh cacing. Proglotid dapat melepaskan diri (strobilasi) dan keluar dari tubuh inang utama bersama dengan tinja (Adhi, 2008). Siklus hidup cestoda yang menginfeksi ikan, membutuhkan lebih dari satu inang perantara untuk mencapai final host yaitu mamalia atau vertebrata. Parasit 13 ini pada final host hidup di dalam intestin dan lambung inangnya. Cestoda adalah hewan yang hermaprodit. Tubuh terdiri dari bagian kepala yang disebut Scolex dan bagian badan yang disebut Strobila. Strobila merupakan deretan segmen yang disebut proglotid- proglotid. Setiap proglotid mempunyai sepasang sel kelamin jantan dan betina dan dapat melepaskan/menghasilkan telur. Telur-telur ini dibuahi dengan cara pembuahan sendiri (self fertilisation) yaitu sel telur dibuahi oleh sel sperma dalam proglotid yang sama, perkawinan antara proglotid yang satu dengan yang lain pada strobila yang sama atau perkawinan antara proglotid dari strobila yang berbeda (Hickman, 1967). Jumlah telur yang dapat dihasilkan oleh satu ekor cacing seperti pada Diphylobothrium latum dapat mencapai 1 juta butir perhari dengan jumlah proglotid yang dapat mencapai 3.000 buah. Telur yang terbawa oleh kotoran yang masuk ke perairan akan menetas dan membentuk coracidium yang diperlengkapi silia untuk berenang bebas. Copepoda yang ada di perairan kemudian diinfeksi oleh coracidium yang berubah menjadi Procercoid. Procercoid termakan oleh ikan bersama copepoda dan berubah menjadi Plerocercoid. Apabila ikan ini termakan oleh manusia atau hewan yang memungkinkan cestoda tersebut dapat hidup, seperti ikan yang tidak dimasak atau setengah matang sehingga larva cestoda masih tetap hidup, maka cestoda akan menjadi dewasa dan siklus akan berlanjut. Jika ikan tersebut dimakan oleh ikan lain maka parasit tersebut pindah dan dapat hidup pada ikan tersebut tetapi tidak mengalami perkembangan, sehingga ikan tersebut berfungsi sebagai paratenic host/inang transport (Moravek, 2001). Pada final host Cestoda dapat mencapai ukuran sangat panjang dan dapat mencapai umur 30-35 tahun, misalnya Dibothriocephalus latus (Pseudophylidae) dengan demikian dapat menghambat proses pencernaan. 2.4.3 Nematoda Menurut Paperna ( 1996), baik ikan air tawar maupun payau berpotensi terinfeksi cacing nematoda, dengan infeksi terberat terjadi pada ikan predator. Nematoda sebagaian besar hidup sebagai endoparasit pada inangnya. Baik parasit 14 dewasa maupun larva dapat ditemukan di usus, hati, rongga tubuh, otot, aliran darah, rongga insang, dan gelembung renang (Klinke 1973). Nematoda mempunyai tubuh panjang, silindris dan dilindungi oleh lapisan kutikula yang kuat. Cacing ini sangat aktif, ramping, biasanya kedua ujungnya runcing dan mempunyai mulut serta anus (Adhi, 2008a). Menurut Kusumamihardja (1989), nematoda tidak mempunyai sistem peredaran darah, tidak memiliki sistem pernafasan dan alat kelamin terpisah antara cacing jantan dan betina. Menurut Suwignyo et. al. (1997), pembuahan nematoda terjadi di dalam uterus, dimana telur yang telah dibuahi mempunyai cangkang yang tebal dan keras. Telur ini menetas menjadi larva yang mirip bentuk induknya. Gradba (1991) menambahkan bahwa perkembangan nematoda melibatkan peran serta inang definitif dan 1-2 inang antara. Ikan dapat berperan sebagai inang antara dan inang definitif. Nematoda yang menginfeksi ikan sebagai inang antara akan mencapai dewasa didalam usus ikan predator, burung, dan mamalia. Ikan laut dapat terinfeksi oleh 300 spesies parasit nematoda ( Yamaguti 1961). Identifikasi nematoda berdasarkan bentuk kepala dan ekor, susunan daerah peralihan antara esophagus dan usus serta posisi lubang ekskresi. Nematoda jantan dan betina dibedakan dari ada tidaknya specula. Nematoda jantan mempunyai specula yang dapat keluar masuk pada bagian ekor (Moller and Andres.1986). Gambar 4. Morfologi umum Cacing Nematoda (Hirschmann, 1960) 15 Noga (1996) menyatakan bahwa ikan laut biasanya terinfeksi oleh nematoda yang berasal dari golongan Ascaridoidoiea (Contracecum, Pseudoterranova, Anisakis, Cotracaecum, Hysterothylacium), Camallanoidea (Camallanus, Culcullanus), Dracunculoidea (Philonema, Philometra), Raphidascaridinae ( Rhapidascaris) dan Spiruroidea (Metabronema, Ascarophis). Sebagian besar camallanoids, dracunculoids, dan spiruroids memiliki dua induk semang dalam siklus hidupnya dimana ikan bertindak sebagai induk semang definitif. Spirocamallanus dapat bersifat patogen bagi ikan laut tropis. Truttaedactitras, Philonema dan Philometra umum menyerang populasi ikan di alam dan menimbulkan berbagai kerusakan pada organ tubuh ikan (Dick et al., 1987). Parasit dari kelas nematoda juga dapat bersifat zoonosis atau menginfeksi manusia yang mengkonsumsinya, misalnya Anisakis yang menyebabkan anisakiasis (Pardede, 2000). Secara umum, di dalam tubuh ikan, cacing nematoda memiliki lima stadia dalam siklus hidupnya yang dipisahkan oleh empat kali pergantian kulit (moulting) (Buchmann dan Bresciani, 2001). Yanong (2008) membagi siklus hidup nematoda menjadi dua kategori utama, yaitu siklus hidup langsung dan tidak langsung. Siklus hidup langsung, dimana ikan bertindak sebagai induk semang definitif bagi nematoda dan tidak diperlukan induk semang antara sehingga infeksi dapat langsung disebarkan secara langsung dari satu ikan ke ikan lain melalui telur atau larva infektif yang termakan. Jika nematoda memiliki siklus hidup tidak langsung, telur atau larva akan dikeluarkan ke dalam air dan selama proses perkembangannya, larva yang belum dewasa ini setidaknya akan melewati dua organisme yang berbeda yang salah satunya adalah ikan. Berikut beberapa penjelasan mengenai jenis cacing nematode yang sering menginfeksi ikan. a. Hysterothylacium sp. Menurut Anderson (2002), Hysterothylacium memiliki ukuran tubuh sedang, anterior melebar dan posterior mengecil ke bawah. Kutikula tipis, striations tidak ada. Kepala membawa tiga bibir besar, yang terpisah satu sama lain dan ruang antara dua bibir yang berdekatan ditempati oleh interlabia sangat 16 menonjol. Bibir dorsal memiliki dua ujung bulat yang masuk ke dalam rongga dari dua bibir subventral. Interlabia besar dan ditutupi dengan kutikula tebal. Esofagus dibagi menjadi dua bagian, sebuah bagian otot anterior dan bagian posterior kelenjar. Sebuah lampiran esofagus besar dan posterior diarahkan diberikan ke ventriculus tersebut. Usus tebal, sekum panjang diusir anterior. Pori ekskretoris terletak pada tingkat dari cincin saraf. Ekor berbentuk kerucut pada kedua jenis kelamin. Pada cacing jantan memiliki panjang 18-19 cm dan lebar maksimum 0,288-0,312 cm. Tubuh terluas di daerah posterior dan sempit tepat di belakang bibir. Kepala diameter 0,132-0,156 cm. Mulut dikelilingi oleh tiga bibir. Ekor pendek, berbentuk kerucut,. Ujung posterior dari jantan melengkung. Secara keseluruhan 24 pasang papila sessile di wilayah ekor. 22 pasang precloacal dan 2 pasang postcloacal Sedangkan pada cacing betina, memiliki ukuran panjang 2021 cm dengan lebar maksimum 0,468-0,492 cm . Diameter kepala adalah 0,1200,132 cm . Ekor berbentuk kerucut. Vulva 7-8 dari ujung kepala. Telur, dengan diameter 0,006-0,012 cm dan tidak ada kelenjar rektal. Spesies Hysterothylacium ditemukan pada tahap dewasa di dalam usus ikan. Larva telah dilaporkan secara luas dalam jaringan dari berbagai ikan laut dan invertebrata (termasuk gastropoda, cumi, kepiting, udang, bintang laut dan cacing panah) sebagai host intermediate (Deardorff dan Overstreet, 1981). Larva dan cacing dewasa sering disebut Contracaecum dan Thynnascaris tapi Deardorff dan Overstreet (1980) telah membedakan Hysterothylacium dengan Contracaecum. Pengetahuan tentang pengembangan dan transmisi spesies Hysterothylacium masih terpisah-pisah. Telur dari spesies yang paling khas (H. aduncum) inaktif dalam kotoran ikan inang definitif dan embryonate ke tahap kedua, menetas dan mempertahankan kutikula pada tahap pertama sebagai selubung. Larva yang tertelan oleh berbagai invertebrata (misalnya mysids, copepoda, isopoda) akan menyerang haemocoel tersebut. Pengembangan untuk tahap ketiga terjadi pada invertebrata dan cacing kemudian dapat berpindah ke inang definitif, mereka dapat mentransfer untuk ikan host paratenic atau inang paratenic lain . 17 Cacing Hysterothylacium menginfeksi ikan-ikan karnivora, namun pernah juga ditemukan menginfeksi ikan herbivora di perairan dangkal (Hui Shih dan Shiou Jeng, 2002). b. Cucculanus sp. Menurut Asri (2005), Cucculanus sp. merupakan cacing dari golongan nematoda. Karakterisasi dari Cucculanus sp. yaitu ukuran tubuh panjang dengan bentuk silinder dan mempunyai kutikula yang tebal. Mulut terbuka memanjang dari dorsoventral dan dikelilingi oleh gigi-gigi. Cucculanus sp. berkembang menjadi dewasa di air tawar, air payau, dan ikan laut dan secara tidak sengaja di kura-kura (Moravec 1998; Anderson 2000), beberapa spesies Cucculanus sp. telah dicatat di Indonesia berasal dari ikan laut yang berbeda. c. Raphidascaris sp. Menurut Anderson (2008), morfologi cacing Raphidascaris yaitu mempunyai tubuh mencapai lebar terbesar dekat midbody. Alae lateral terdapat hampir diseluruh panjang tubuh, serviks alae dekat dasar bibir, melengkung tajam terhadap sumbu dorsoventral. Masing-masing dengan panjang lebar dengan rasio 1:0.9 sampai 1,2. Esofagus 8-11% dari total tubuh panjang. Ventriculus hampir bulat, sempit daripada tingkat terluas esofagus, lebih luas daripada panjang. Saraf cincin terletak di tingkat dalam anterior 17-29% dari esofagus. Pori-pori ekskresi terletak sedikit posterior tingkat saraf cincin; Sistem ekskresi dengan saluran memperluas posteromesial dari pori-pori menuju esofagus sebelum memasuki kanal lateral kiri setidaknya melewati ventriculus. Parasit ini diisolasi dari usus, gonad, hati, rongga perut, perut dan pilorus dari tuan rumah mereka terisolasi. Raphidascaris berkembang ke tahap kedua dalam telur. Telur kemudian infektif untuk menginfeksi ikan. Larva tidak berkembang di amphipods eksperimental terinfeksi atau larva Chironomid. Larva berukuran 1,3 dan 2,2-2,5 mm pada ikan dan dapat tumbuh hingga 5-6 mm Oleh karena itu, invertebrata bertindak sebagai tuan rumah paratenic dan tersedia untuk larva ikan yang 18 bertindak sebagai host intermediate. Parasit mencapai tingkat dewasa dalam usus ikan. 2.4.4 Acanthocephala Menurut Shimek (2006), klasifikasi cacing acanthocephala adalah: : Animalia Kingdom Subkingdom : Eumetazoa (unranked) : Secementea Superphylum : Platyzoa Phylum : Acanthocephala (Kohlreuther, 1771) Gambar 5. Morfologi Umum Cacing Acanthocephala ( Rohde, 2005) Acanthocephala tidak memiliki mulut atau saluran pencernaan. Ini adalah fitur antara acanthocephala memiliki bentuk yang sama dengan cestoda (cacing pita), walaupun kedua grup ini tidak memiliki hubungan. Acanthocephala dewasa hidup di usus halus inangnya dan bersaing untuk memperoleh makanan dan tempat tinggal (Shimek, 2006). Ciri-ciri utama acanthocephala adalah pada bagian anteriornya, yaitu proboscis yang menonjol keluar dan dikelilingi oleh kait (sehingga sering disebut cacing berkepala duri) yang berbaris horizontal, dan kait ini digunakan untuk menyerang ke tubuh inangnya. Kaitnya mungkin hanya memiliki dua atau tiga bentuk, kait yang lebih halus biasanya terdapat pada proboscis yang lebih 19 panjang, dengan susunan yang lebih kokoh. Proboscis biasanya digunakan untuk menembus dinding usus host definitifnya, dan membantu melengkapi siklus hidupnya. Sama dengan badannya, proboscisnya juga tidak berongga, dimana rongga proboscis terpisah dari rongga badan oleh septum cangkang proboscis. Rongga proboscis melintang dari serat otot masuk ke ujung proboscis kemudian berakhir di septum. Kontraksinya menyebabkan proboscis mampu memasuki rongga badan. Beberapa acanthocephala dapat memasukkan probocisnya kedalam usus inangnya dan membuka jalan ke rongga perut (Monteiro, 2006). Ukuran tubuh acanthocephala tergantung pada besar inangnya mulai dari beberapa milimeter sampai ke Gigantorhynchus gigas, yaitu ukuran 10 sampai 65 centimeter. Badan acanthocephala ditutupi oleh kutikula yang tipis yang menutupi bagian epidermisnya, yang terdiri dari syncytium tanpa dinding sel. Acanthocephala bereproduksi dengan cara dioecious. Strukturnya sering disebut genital ligament yang melintang dari posterior cangkang proboscis hingga ke posterior badan. Acanthocephala jantan memiliki dua testis, dimana keduanya terbuka ke vas deferen yang mengandung diverticula atau vesikula seminalis dan juga memiliki tiga pasang glandula semen, yang ditemukan dibelakang testis. Sedangkan acanthocephala betina memiliki ovarium. Disinilah tempat telur mengalami fertilisasi sehingga embrio muda terbentuk dan mengirimnya ke uterus, dan dari situ, keluar dari tubuh melalui oviduk (Kelly et al. 2003). Acanthocephala jantan juga memiliki kelenjar semen bisa digunakan untuk menutup vagina betina setelah kopulasi. Telur yang dibuahi oleh sperma dalam tubuh betina dan perkembangan embrio terjadi didalamnya. Setelah tahap tertentu dari perkembangan larva menjadi encapsulated dan ini 'dikupas' atau 'terbungkus' Larva disebut Acanthors dan dilepaskan oleh acanthocaphala betina ke dalam host primer. Larva hanya bersifat sementara didalam tubuh host primer. Setelah masuk kedalam tubuh host sekunder larva 1 (L1) akan menetas menjadi larva 2 (L2) yang disebut Acanthella. Host sekunder kemudian termakan oleh host definitif. Tahap kista disebut Cystacanth (Schmidt, 1985). Acanthocephala dapat menyebabkan tubuh ikan kekurangan sari-sari makanan sehingga tubuh ikan menjadi kurus. Proboscis acanthocephala dapat menembus dinding usus yang 20 menyebabkan terjadinya perdarahan pada usus. Hal ini juga menyebabkan mudahnya masuk patogen lain ke usus (Lombok Marine Culture Laboratory, 2010).