PERLAMBATAN PERTUMBUHAN EKONOMI AS Pengaruhnya pada Asumsi APBN 2008 Oleh: Biro Humas dan TU Pimpinan Seberapa Besarnya Ancaman Perlambatan Pertumbuhan ? Berita yang diangkat akhir-akhir ini adalah apakah asumsi tentang tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6.8 persen yang tercantum di dalam APBN 2008 perlu diturunkan. Hal ini mengingat adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi AS, yang secara tradisional mempunyai bobot terbesar dalam pertumbuhan ekonomi dunia. Isue tentang perlambatan ekonomi AS dipicu oleh krisis sub-prime mortgage yang menjadi lebih nyata sejak pertengahan 2007 dan mencapai puncaknya pada awal tahun 2008 ini. Seberapa besar perlambatan ekonomi AS ini akan tergantung pada seberapa gawatnya masalah sub-prime mortage ini (sampai saat ini tidak dapat diketahui karena melibatkan sejumlah besar transaksi keuangan yang karena sifatnya yang sangat rumit hampir tidak mungkin dilacak) dan seberapa berhasilnya langkah-langkah yang ditempuh otoritas moneter AS (Bank Sentral/US Federal Reserve dan Departemen Keuangan/US Treasury) untuk meredam meluasnya dampak masalah tersebut. Semakin tidak efektifnya langkah-langlah ini akan menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi AS dari 3.9 persen pada tahun 2007 menjadi 1.9 persen pada tahun 2008 dan lebih buruk lagi dapat menjadi di bawah nol persen, yang kalau terjadi selama minimal dua triwulan secara berurutan akan secara resmi didefiniskan sebagai memasuki masa resesi. Awal Munculnya Krisis Sub-Prime Masalah sub-prime mortgage ( = pinjaman perumahan kepada debitur yang di bawah standar pinjaman yang berlaku untuk debitur yang bonafid) berawal dari diadakannya perubahan sistem pembiayaan perumahan (residential housing financing) di AS dari pola konvensional ke pola non-konvensional (lihat Diagram A). DIAGRAM A Pola Pembiayaan Perumahan di AS Pola Lama (Konvensional) Pembayaran Kembali Pembelian Rumah Pinjaman Mortgage Biro Humas dan TU Pimpinan, Bappenas Bank Masyarakat Penabung 1 Pola Baru (Non-Konvensional) Bank bayar pemegang Pembayaran Kembali Pembelian Rumah obligasi Pinjaman Mortgage Bank Pasar Obligasi Jual Obligasi Pada pola lama, pembeli rumah dengan kredit mendapat pinjamannya (mortgage loan) dari bank dan sumber dana bank untuk pinjaman ini berasal dari dana masyarakat yang dideposito di banknya. Karenanya, dalam pola lama ini, bank sangat berhati-hati dalam memutuskan pemberian pinjamannya agar dapat yakin akan kelayakan calon debiturnya. Pada pola non-konvensional, yang berlaku sekarang bank tetap berfungsi untuk memberi pinjaman kepada pembeli rumah, namun, berbeda dengan pola konvensional, bank selanjutnya meneruskan/menjual pinjaman ini dalam bentuk obligasi/securities (mortgage backed securities) kepada pasar obligasi. Dengan demikian, bank tidak lagi tergantung akan sumber dana pinjaman yang diberikannya kepada deposito masyarakat nasabahnya tetapi dapat secara luas mengakses sumber dana dari pasar obligasi. Namun akibatnya, bank tidak lagi merasa perlu untuk secara cermat meneliti kelayakan (tidak lagi melakukan “due diligence”) atas calon debitur pembeli rumah. Bahkan bank cenderung memberi pinjaman perumahan sebesar-besarnya, terutama kepada peminjam “sub-prime”, yaitu yang kurang atau tidak layak (banyak yang tidak mempunyai agunan dan bahkan tidak mempunyai pekerjaan/penghasilan tetap). Menjalarnya Krisis Sub-Prime Sebenarnya dapat diketahui sejak awal bahwa proses pemberian kredit perumahan menurut pola baru ini tidak dapat berlangsung secara terus menerus. Hal ini menjadi kenyataan sejak pertengahan tahun 2007 ketika mulai banyak bermunculan kasus-kasus pembeli rumah yang tidak lagi mampu membayar kembali pinjamannya. Masalah yang dihadapi perbankan ini diperparah oleh tidak lagi bersedianya lembaga keuangan nonbank (investment banks dan hedge funds, yang berperan di pasar obligasi) untuk membeli mortgage backed securities yang ditawarkan perbankan setelah mengetahui akan banyaknya obligasi ini yang tidak layak mortgage loannya. Masalahnya menjadi lebih buruk lagi karena banyak dari lembaga non-bank ini telah lama mengakumulasi “mortage backed securities” ini yang dengan adanya krisis di pasar kredit perumahan ini menjadi turun harganya. Suatu sebab dari masih terus lembaga keuangan ini untuk terus memegang obligasi yang sebenarnya nilai agunannya dalam bentuk kredit perumahan ini telah menurun adalah karena obligasi (mortgage backed securities) sudah berubah bentuk, yaitu telah diramu dan dikemas menjadi instrumen pasar obligasi yang dinamakan CDO (Collateralzed Debt Obligation). Daya tarik instrumen ini semakin besar setelah Moody dan Standard & Poor memberi rating Triple A (AAA) yaitu rating tertinggi bagi suatu instrumen keuangan. Selanjutnya daya tarik dari instrumen, yang sebenarnya nilainya telah jatuh ini, sangat diminati oleh lembaga perbankan dalam dan luar negeri karena hendak memanfaatkan peraturan Basle 2 yang mengatakan bahwa pemegangan instrumen keuangan yang di rating Triple A akan memungkinkan lembaga Biro Humas dan TU Pimpinan, Bappenas 2 keuangan untuk memperbaiki pemenuhan persyaratan CAR (Capital Adequacy Ratio) lembaga ini sehingga dapat memberi pinjaman yang lebih besar. Dengan demikian, krisis yang tadinya terutama dilami lembaga keuangan non-bank telah menjalar luas ke lembaga bank, menjadikan krisis sub-prime ini berkembang menjadi krisis sistem keuangan di AS (sebenarnya juga meluas ke lembaga keuangan di luar AS yang ikut memegang instrumen CDO ini, seperti UBS dari Swiss). Krisis Keuangan Menjadi Krisis Ekonom & Perlambatan Pertumbuhani Seperti yang pernah dialami Indonesia pada akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998, krisis sistem keuangan dapat dengan mudah menjadi krisis ekonomi, dalam bentuk anjloknya pertumbuhan ekonomi, dari sebelumnya mencapai rata-ata 6-7 persen menjadi minus 13 persen pada tahun 1998. Dalam hal AS saat ini, perlambatan pertumbuhan ekonomi akan sangat mungkin terjadi karena beberapa sebab sebagai berikut. Pertama, krisis sub-prime telah menyebabkan menurunnya harga/nilai rumah yang telah dibeli oleh debitur bank, bahkan banyak yang telah gagal untuk membayar kembali utangnya dipaksa untuk mengosongkan rumahnya (disita/foreclosure). Karena mereka yang gagal membayar kembali kredit perumahannya merupakan bagian besar (30%) dari masyarakat konsumen di perekonomian AS, maka ini berakibat pada turunnya daya beli masyarakat yang selama ini menjadi penopang perbumbuhan ekonominya. Hal ini terlebih lagi karena selama ini peningkatan daya beli masyarakatnya mengandalkan meningkatnya harga/nilai rumahnya (wealth effect/capital gain) sebagai sumber pendapatan untuk membiayai peningkatan konsumsinya. Dampak penurunan harga/nilai rumah ini akan lebih jauh lagi dalam hal rumah yang bersangkutan digunakan sebagai agunan untuk mendapat akses ke fasilitas kartu kredit. Untuk mengatasi masalah ini, Departeman Keuangan AS (US Treasury) telah meluncurkan suatu paket stimulus sebesar USD 150 miliar, untuk mencegah turunnya pengeluaran konsumsi masyarakat yang hasilnya sampai sekarang belum diketahui. Ringkasnya, penurunan nilai rumah akibat krisis sub-prime akan menurunkan belanja konsumsi (consumption spending) di dalam PDB sehingga akan menjadi penyebab yang sangat signifikan pada melambatnya pertumbuhan ekonomi AS. Kedua, selain mengakibatkan turunnya likuiditas perbankan, krisis sub-prime juga telah menyebabkan banyak lembaga keuangan non-bank yang besar, seperti Merril Lynch, Morgan Stanley, Goldman Sachs, dan Lehman Brothers terpaksa harus melaksanakan proses penghapusan (write-down) nilai mortgage backed securities yang ada di dalam portofolionya akibat nilai pasarnya telah menjadi jauh lebih kecil dari nilai bukunya. Lembaga-lembaga keuangan ini hanya agak tertolong oleh bantuan aliran dana dari sumber “sovereign wealth fund” yang berasal dari luar AS, misalnya dari Temasek Singapura dan dari dari Kuwait. Langkah pertolongan yang lain datang dari US Fed yang untuk menambah likuiditas perekonomian (untuk mengatasi terjadinya “credit crunch”) telah menurunkan Discount Rate dan Fed Funds Rate, terakhir pada pertengahan bulan Maret ini, sebesar masing-masing 75 base points. Nasib yang lebih parah dialami oleh Bear Stearns ketika akibat over-exposure pada sub-prime mortgage backed securities hampir dipaksa bangkrut andaikata pada saat-saat terakhir tidak dibantu oleh Bank Sentral AS (US Fed) dengan suntikan sebesar USD 30 miliar untuk mengoalkan upaya akuisisi Bear Stearns oleh JP Morgan dan yang menurut Menteri Keuangan (Secretary of Biro Humas dan TU Pimpinan, Bappenas 3 the Treasury) Henry Paulson “untuk menghindari terjadinya systemic risk” (CNN, 16 Maret, 2008).. Perkembangan ini mempunyai dampak yang tidak menguntungkan bagi perekonomian AS yang mempunyai tingkat monetisasi (M/PDB) yang hampir 100%. Gangguan pada lancarnya aliran kredit melalui lembaga-lembaga keuangan akan memandekkan sistem transaksi ekonomi yang selanjutnya akan memberi sumbangan lain pada perlambatan pertumbuhan ekonomi AS. Ketiga, krisis di industri real estate/property AS akan menjalar ke industri terkait lainnya antara lain pada industri penyedia alat-alat perumahan, seperti kulkas, ac, mesin cuci, dan dekorasi rumah, yang akan memperbanyak jumlah tenaga kerja yang akan di PHK. Hal ini telah dindikasikan oleh meningkatnya jumlah “jobless claims” untuk beberapa minggu terakhir (BBC, 19 Maret, 2008), yang selanjutnya memperkokoh dugaan bahwa pertumbuhan perekonomian AS sudah melambat. Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi AS Sama Dengan Perlambatan Ekonomi Dunia? Dalam situasi ekonomi dunia saat ini, yang perlu dipertanyakan lebih lanjut adalah: apakah melambatnya pertumbuhan ekonomi AS akan mengakibatkan perlunya asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia di APBN 2008 direvisi ke bawah. Jawabannya perlu dalam keadaan ekonomi sekitar lima tahun yang lalu dan jawabannya belum tentu jika dilihat adanya perubahan yang telah terjadi pada struktur bobot perekonomian dunia baru-baru ini (Lihat Diagram B). Pada pola lama, perekonomian AS merupakan “lokomotif” rangkaian “kereta api” dunia yang disusul oleh ekonomi Jepang dan ekonomi EU, baru diikuti oleh ekonomi negaranegara lain termasuk Indonesia. Pada saat itu dikenal berlakunya dalil “kalau ekonomi AS bersin, maka seluruh ekonomi dunia akan menderita flu”. Keadaan itu sekarang ini telah berubah dengan munculnya kekuatan ekonomi baru, yaitu China dan India, yang telah berhasil untuk terus tumbuh dalam angka double digit (di atas 10%). Dalam situasi ini, perlambatan pertumbuhan yang dialami AS dapat diimbangi tetap tingginya pertumbuhan ekonomi China dan India. Fenomena ini telah dikenal sebagai terjadinya “de-coupling”, yaitu tidak lagi tergantungnya nasib ekonomi dunia pada ekonomi AS. Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi AS Harus Disertai Penurunan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia? Dengan demikian, perlunya asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam APBN 2008 dirubah akan tergantung pada beberapa keadaan sebagai berikut : - Besarnya bobot perdagangan Indonesia dengan AS dan besarnya bobot ini dengan China dan India. - Dalam hal pertumbuhan ekonomi AS menurun, yang berarti akan menurunnya ekspor Indonesia ke AS dan akan memperkecil sumbangan X-M (ekspor dikurangi impor) sebagai sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia, apakah pengalihan kegiatan X-M Indonesia ke kedua negara ini dapat mengimbangi penurunan dari AS Biro Humas dan TU Pimpinan, Bappenas 4 (sesuai dengan skenario mesin pertumbuhan ekonomi dunia baru dengan adanya pergantian lokomotif. Hal ini tergantung pada butir pertimbangan berikut. - Perkembangan nilai tukar mata uang Rp terhadap setiap mitra dagang Indonesia, terutama dengan AS, China dan India selama tahun 2008. Perkembangan nilai tukar di ekonomi dunia juga perlu dikaji lebih lanjut karena adanya depresiasi USD terhadap EU dan terhadap Yen yang luar biasa besarnya, yaitu Euro/USD mencapai 1.54 dan Yen/USD mencapai sekitar 99. Perkembangan ini dapat mengimbangi tekanan penurun terhadap pertumbuhan ekonomi AS dari turunnya konsumsi dalam negeri (C) dengan dorongan peningkatan dari ekspor (X) AS, sehingga akan menunda perlambatan yang menuju ke resesi AS. Tetapi bagi pertumbuhan ekonomi dunia, perkembangan ini dapat merupakan “zero sum game” sebab peningkatan ekspor AS ke EU dan Jepang akan disertai oleh penurunan ekspor dari EU dan Jepang ke AS, sehingga dorongan pada pertumbuhan ekonomi di AS dari X akan disertai oleh tekanan ke bawah pada pertumbuhan ekonomi Jepang dan EU. . - Jikalau perekonomian dunia secara keseluruhan memang mempunyai dampak menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, apakah tidak ada opsi stimulus dalam negeri untuk mendorong sumber pertumbuhan dari konsumsi (C) dan investasi (I) dalam negeri (C+I mengimbangi X–M), sehingga sasaran pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan, tidak perlu terganggu oleh pengaruh luar negeri. DIAGRAM B Struktur Mesin Pertumbuhan Ekonomi Dunia Yang Berubah Mesin Pertumbuhan Ekonomi Dunia (Lama) Gerbong (Lainlain) Gerbong (Jepang) Gerbong (EU) Lokomotif (AS) Mesin Pertumbuhan Ekonomi Dunia (Baru) Gerbong (Lainlain) Gerbong (Jepang) Gerbong (EU) Gerbong (AS) Lokomotif (China & India) ****** Biro Humas dan TU Pimpinan, Bappenas 5