BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Telinga 2.1.1. Anatomi Telinga Telinga dibagi menjadi telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Penjelasannya sebagai berikut : A. Telinga Luar Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditorius eksternus dan dipisahkan dari telinga tengah oleh membrana timpani. Aurikula berfungsi untuk membantu pengumpulan gelombang suara. Gelombang suara tersebut akan dihantarkan ke telinga bagian tengah melalui kanalis auditorius eksternus. Tepat di depan meatus auditorius eksternus terdapat sendi temporal mandibular. Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat tempat kulit melekat. Dua pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius eksternus berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen. Serumen mempunyai sifat antibakteri dan memberikan perlindungan bagi kulit (Kumar dan Clark, 2005). B. Telinga Tengah Bagian atas membrana timpani disebut pars flaksida, sedangkan bagian bawah pars tensa. Pars flaksida mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam. Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran di dalam Universitas Sumatera Utara telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membrana timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap oval yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah (Sherwood, 2001). Gambar 2.1. Anatomi telinga Sumber : Netter, 2010 C. Telinga Dalam Koklea bagian tulang dibagi menjadi dua lapisan oleh suatu sekat. Bagian dalam sekat ini adalah lamina spiralis ossea dan bagian luarnya adalah lamina Universitas Sumatera Utara spiralis membranasea.Ruang yang mengandung perilimfe terbagi dua, yaitu skala vestibuli dan skala timpani. Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea yang disebut helikotrema. Skala vestibuli berawal pada foramen ovale dan skala timpani berakhir pada foramen rotundum. Pertemuan antara lamina spiralis ossea dan membranasea kearah perifer membentuk suatu membrana yang tipis yang disebut membrana Reissner yang memisahkan skala vestibuli dengan skala media (duktus koklearis). Duktus koklearis berbentuk segitiga, dihubungkan dengan labirin tulang oleh jaringan ikat penyambung periosteal dan mengandung end organ dari nervus koklearis dan organ Corti. Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan perantaraan duktus Reuniens. Organ Corti terletak di atas membrana basilaris yang mengandung organel-organel yang penting untuk mekenisma saraf perifer pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi kira-kira 3000 sel dan tiga baris sel rambut luar yang berisi kira-kira 12.000 sel. Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang lengan horisontal dari suatu jungkat-jangkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel rambut terdapat strereosilia yang melekat pada suatu selubung yang cenderung datar yang dikenal sebagai membrana tektoria (sherwood, 2001). Universitas Sumatera Utara Gambar 2.2. Koklea Sumber : Netter, 2010 2.1.2. Fisiologi Pendengaran Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan mengenai membrana timpani sehingga membrana timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya, stapes menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfe dan membrana basalis ke arah bawah. Perilimfe dalam skala timpani akan bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah luar. Sel rambut luar dapat meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang berjalan dengan meningkatkan gerakan membran basilaris pada frekuensi tertentu. Keadaan ini disebut sebagai cochlear amplifier. (Tortora dan Derrickson, 2009). Universitas Sumatera Utara Pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok dan dengan terdorongnya membrana basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus. Rangsangan fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium dan Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang nervus vestibulokoklearis. Kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis (Sherwood, 2001). 2.2. Gangguan Pendengaran 2.2.1. Definisi Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan total atau parsial untuk mendengar suara di salah satu atau kedua telinga. Gangguan pendengaran diukur dengan jumlah tingkat ketulian yang disebut desibel (dB). Saat volume suara meningkat, jumlah desibel ikut meningkat. Percakapan normal biasanya antara 45-55 dB. Menurut World Health Organization (WHO), gangguan pendengaran adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kehilangan pendengaran di satu atau kedua telinga. Menurut Weber et al. (2009) dalam Yathavan (2011), gangguan pendengaran didefinisikan sebagai pengurangan dalam kemampuan seseorang untuk membedakan suara. 2.2.2. Epidemiologi Menurut laporan Global Burden of Disease (GBD), estimasi penderita gangguan pendengaran derajat sedang di dunia pada tahun 2004 berjumlah 360,8 juta orang, dan jumlah penderita gangguan pendengaran derajat berat di dunia diperkirakan sebanyak 275,7 juta orang. Daerah Asia Tenggara mempunyai distribusi tertinggi penderita gangguan pendengaran dengan estimasi penderita sebanyak 178,3 juta orang, diikuti daerah Pasifik Barat (159,2 juta orang), Eropa (120,3 juta orang), Amerika (76,7 juta orang), Afrika (56,2 juta orang), dan Mediterranean Timur (56,2 juta orang). Universitas Sumatera Utara Estimasi penderita gangguan pendengaran derajat sedang di Asia Tenggara pada tahun 2004 berjumlah 88,5 juta orang, dan jumlah penderita gangguan pendengaran derajat berat di Asia Tenggara diperkirakan sebanyak 89,8 juta orang. (GBD, 2004). Prevalensi kasus gangguan pendengaran di Indonesia dijumpai sebanyak 4,6%, dengan estimasi penderita gangguan pendengaran sebanyak 9,6 juta orang. Indonesia mempunyai kasus gangguan pendengaran yang kedua tertinggi di Asia Tenggara selepas India (630 juta penderita) (WHO, 2001). 2.2.3. Etiologi Kehilangan pendengaran dapat konduktif (karena kesalahan transmisi gelombang suara) atau sensorineural (penerimaan suara yang rusak oleh sel saraf), atau keduanya. Penyebab umum gangguan pendengaran konduktif adalah laluan telinga terblokir akibat sumbatan kotoran, gendang telinga berlubang, atau adanya cairan di telinga. Penyebab umum untuk tuli sensorineural adalah paparan kebisingan, perubahan yang berkaitan dengan usia, dan obat-obatan ototoksik (yang merusak pendengaran). 2.2.4. Klasifikasi Gangguan pendengaran dapat dibagi menjadi: a. Gangguan pendengaran konduktif Terjadi karena masalah mekanis di telinga luar atau tengah yang mengakibatkan gelombang suara tidak secara adekuat dihantarkan. Tiga tulang kecil di telinga tidak dapat metranportasi suara dengan benar, atau mungkin gendang telinga tidak bergetar sebagai respons terhadap suara. Adanya cairan di telinga tengah juga dapat menyebabkan gangguan pendengaran konduktif (Sherwood, 2001). b. Gangguan pendengaran sensori-neural Pada tuli sensori-neural, gelombang suara disalurkan ke telinga dalam, tetapi gelombang tersebut tidak diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang diintepretasikan oleh otak sebagai sensasi suara. Defek mungkin Universitas Sumatera Utara terletak pada organ corti,saraf auditorius, jalur auditorius asendens atau pada korteks auditorius itu sendiri (Sherwood, 2001). c. Gangguan pendengaran campuran Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensori-neural. Mulamula gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis konduktif, kemudian berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensori-neural, dapat pula sebaliknya, dan dapat juga terjadi bersama-sama (Lassman, 1997 dalam Sukgandi, 2010). Menurut American Speech-Language Hearing Association (ASHA) tahun 2011, gangguan pendengaran jenis campuran terjadi akibat kerusakan pada telinga luar atau telinga tengah dan telinga dalam atau saraf pendengaran. 2.2.5. Diagnosis Pemeriksaan dan diagnosis gangguan pendengaran meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik atau otoskopi telinga, tes-tes pendengaran, yaitu tes berbisik, tes garputala dan tes audiometri serta melalui pemeriksaan-pemeriksaan penunjang lain. Pada anamnesis, pasien ditanya saat kapan dan sewaktu aktivitas apa gangguan tersebut dialami. Kemudian dilakukan pula pemeriksaan telinga dengan menggunakan auriskop atau otoskop, yaitu sebuah lampu suluh yg kecil, yang digunakan untuk melihat ke dalam telinga pasien. Menggunakan alat ini, akan dapat dilihat apakah ada terdapat cairan yang keluar dari dalam telinga, pembangkakkan gendang telinga, sumbatan di dalam telinga disebabkan cairan atau benda asing, atau terakhir sekali terdapat lubang pada gendang telinga (Supramaniam, 2011). Beberapa jenis pemeriksaan tambahan lain yang dilakukan untuk mendiagnosis gangguan pendengaran : A. Pemeriksaan Garpu Tala Pada pemeriksaan garpu tala, terdapat beberapa jenis pemeriksaan yaitu (Guyton dan Hall, 2007) : Universitas Sumatera Utara a. Tes Rinne Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien. Ada 2 macam tes rinne , yaitu; i. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan didepan meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya ii. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya secara tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garputala didepan meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah bunyi garputala didepan meatus akustikus eksternus lebih keras dari pada dibelakang meatus skustikus eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika pasien mendengar didepan maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus eksternus lebih lemah atau lebih keras dibelakang. Ada 2 interpretasi dari hasil tes Rinne yaitu normal apabila tes Rinne positif, tuli konduksi apabila tes Rinne negatif (getaran dapat didengar melalui tulang lebih lama). b. Tes Weber Tujuan dilakukan tes Weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien. Cara melakukan tes Weber adalah membunyikan garpu tala 512 Hz lalu tangkainya diletakkan tegak lurus pada garis horizontal kepala. Menurut pasien, telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras. Jika telinga pasien mendengar Universitas Sumatera Utara atau mendengar lebih keras ke arah 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama tidak mendengar atau sam-sama mendengar maka berarti tidak ada lateralisasi. Interpretasinya: i. Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan disebut lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri sama kerasnya. ii. Pada lateralisasi ke kanan terdapat kemungkinannya: - Tuli konduktif sebelah kanan, misal adanya ototis media disebelah kanan. - Tuli konduktif pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga kanan lebih hebat. - Tuli sensori-neural sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu, maka di dengar sebelah kanan. - Tuli sensori-neural pada kedua telinga, tetapi sebelah kiri lebih hebat dari pada sebelah kanan. B. Tes Berbisik Tes berbisik merupakan suatu tes pendengaran dengan memberikan suara bisik berupa kata-kata kepada telinga penderita dengan jarak tertentu. Telinga yang tidak diperiksa ditutup dan orang yang diperiksa tidak boleh melihat pemeriksa Hasil tes berupa jarak pendengaran, yaitu jarak antara pemeriksa dan penderita di mana suara bisik masih dapat didengar enam meter. Pada nilai normal tes berbisik ialah 5/6 - 6/6. 2.2.6. Penyakit Penyebab Gangguan Pendengaran Penyakit telinga dapat menyebabkan tuli konduktif atau tuli sensorineural. Tuli konduktif, disebabkan kelainan terdapat di telinga luar atau telinga tengah. Telinga luar yang menyebabkan tuli konduktif adalah atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta dan osteoma liang telinga. Kelainan di telinga tengah yang menyebabkan tuli konduktif adalah sumbatan Universitas Sumatera Utara tuba eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum dan dislokasi tulang pendengaran. Tuli sensorineural dibagi dalam tuli sensorineural koklea dan retrokoklea. Tuli sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia (kongenital), labirintitis (oleh bakteri atau virus) dan intoksikasi obat (streptomisin, kanamisin, garamisin, neomisin, kina, asetosal, atau alcohol). Selain itu, dapat juga disebabkan oleh tuli mendadak (sudden deafness), trauma kapitis, trauma akustik dan pajanan bising. Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut pons serebelum, myeloma multiple, cedera otak, perdarahan otak, dan kelainan otak lainnya. Kerusakan telinga oleh obat, pengaruh suara keras, dan usia lanjut akan menyebabkan kerusakan pada penerimaan nada tinggi di bagian basal koklea. Presbikusis ialah penurunan kemampuan mendengar pada usia lanjut. Pada trauma kepala dapat terjadi kerusakan di otak karena hematoma, sehingga terjadi gangguan pendengaran (Maqbool, 2000). 2.3. Hipertensi 2.3.1. Definisi Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg. Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat (Yogiantoro, 2006). 2.3.2. Epidemiologi Hipertensi lebih sering dijumpai pada laki-laki muda dibandingkan wanita muda, pada orang berkulit gelap dibandingkan orang berkulit cerah, pada orang dengan sosioekonomi rendah dan pada orang tua. Universitas Sumatera Utara Sampai saat inim data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari Negara-negara yang sudah maju. Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun 1999-2000, insidensi hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31% yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun 1988-1991. Hipertensi esensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi (Yogiantoro, 2006). 2.3.3. Klasifikasi Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi: Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Darah (mmHg) Diastolik (mmHg) Normal < 120 <80 Prahipertensi 120-139 80-89 Hipertensi derajat 1 140-159 90-99 Hipertensi derajat 2 >160 > 100 Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7 2.3.4. Etiologi Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu (Yogiantoro, 2006) : a. Hipertensi esensial Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam Universitas Sumatera Utara ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul pada umur 30 – 50 tahun. b. Hipertensi sekunder Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain – lain. 2.3.5. Patofisiologi Hipertensi Mekanisme yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah pada hipertensi esensial antara lain (Gray, et al. 2005): a. Curah jantung dan tahanan perifer Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial curah jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan berpengaruh pada peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang irreversible. b. Sistem Renin-Angiotensin Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik. Universitas Sumatera Utara Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstriktor. c. Sistem Saraf Otonom Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama – sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon. d. Disfungsi Endotelium Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. e. Substansi vasoaktif Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin dapat meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon peningkatan volum darah. Universitas Sumatera Utara Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi. f. Hiperkoagulasi Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium), ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama akan semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah dengan pemberian obat anti-hipertensi. g. Disfungsi diastolik Hipertrofi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan input ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan ventrikel. 2.3.6. Gejala Klinis Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala pada hipertensi esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi esensial berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung (Hanifa, 2011). Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila terdapat gejala biasanya bersifat tidak spesifik, misalnya sakit kepala atau pusing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat dapat mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium, stroke atau Universitas Sumatera Utara gagal ginjal. Namun deteksi dini dan parawatan hipertensi dapat menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas (Hanifa, 2011). 2.3.7. Pengaruh Hipertensi Terhadap Pendengaran Hipertensi diduga sebagai salah satu penyakit yang menyebabkan terjadinya gangguan pendengraran. Pada penelitian yang dilakukan oleh Santoso dan Muyassaroh (2012), dikemukakan bahwa hipertensi mempunyai risiko terjadinya gangguan pendengaran sensori-neural yang lebih besar dibandingkan normotensi. Menurut Sigsbee, et al (1997), hipertensi menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel-sel rambut koklea organ pendengaran.Kerusakan sel-sel rambut koklea ini disebabkan oleh proses arteriosklerosis vaskuler telinga dalam. Penelitian terkait oleh Mondelli dan Lopes (2009) menyatakan bahwa terjadinya gangguan pendengaran sensori-neural pada pasien hipertensi adalah akibat ganguan pada mikrosirkulasi organ pendengaran oleh karena emboli, hemoragik dan vasospasme pembuluh darah. Telinga dalam yang mendapatkan vaskularisasi end artery sangat rentan terhadap efek dari vasospasme dan iskemia. Suplai darah koklea yang normal sangat penting untuk proses depolarisasi dan repolarisasi sel rambut, dimana mekanisme energi suara diubah menjadi signal listrik yang diteruskan sepanjang jalur saraf pendengaran hingga ke pusat saraf pendengaran. Jika jaringan kapiler pada stria vaskularis tidak tersuplai darah, potensial endolimfatik akan turun, sirkulasi kalium menjadi minimal. Dengan demikian iskemia koklea diikuti penurunan fungsi koklea secara dramatis dalam beberapa detik. Dalam jangka panjang, suplai darah kaya oksigen yang tidak adekuat akan mengganggu fungsi koklea (Suryaatmaja, 2012). Universitas Sumatera Utara