Status Imun Imunitas Pengertian awal imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi adalah perlindungan terhadap penyakit infeksi. Dalam keadaan sehat respon imun berfungsi secara efisien sehingga seseorang dapat terhindar dari dampak yang tidak menguntungkan akibat masuknya subtansi asing. Apabila ada kelainan dalam sistem pengaturan imunitas, seseorang mungkin tidak mampu melindungi tubuh dengan respon imun yang efisien. Akan tetapi sebaliknya mungkin juga pada keadaan tertentu respon imun berlangsung secara berlebihan sehingga menimbulkan berbagai penyakit (Kresno 2001). Menurut Surono (2004) kondisi imunitas menentukan kualitas hidup. Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur pathogen yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada anak normal umumnya singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen karena tubuh memiliki sistem imun yang memberikan respons dan melindungi tubuh terhadap unsur-unsur pathogen. Bellanti & Joseph (1993) menyatakan defisiensi zat gizi termasuk zat gizi mikro dapat menyebabkan sangat berkurangnya reaktifitas seluler pada pertumbuhan anak. Zat gizi mikro mempunyai peranan yang penting dalam proses imunologi sehingga adanya defisiensi zat gizi mikro akan berpengaruh terhadap respon imun (Muis 2001). Sistem imun Sistem imun dapat dibagi menjadi menjadi dua yaitu non spesifik dan sistem imun spesifik. Mekanisme imunitas spesifik timbul atau bekerja lebih lambat dibanding imunitas non spesifik. Pembagian sistem imun dalam sistem imun spesifik dan non spesifik hanya dimaksudkan untuk mempermudah pengertian saja. Sebenarnya antara kedua sistem imun teresbut terjadi kerja sama yang erat, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain (Bratawijaya dan Rengganis 2009). Berikut ini adalah gambaran umum sitem imun menurut Bratawijaya dan Rengganis 2009. SISTEM IMUN 53 SPESIFIK NON SPESIFIK FISIK Kulit Selaput lendir Silia Batuk LARUT Biokimia - Lisozim - Sekresisebaseus - Asam lambung - Laktoferin - Asam neuraminik Humoral - Komplemen - APP - Mediator asal lipid - Sitokinin SELULAR - Fagosit * Mononuklear * Polimononuklear - Sel NK - Sel mast - Basofil - Eosinofil - SD HUMORAL Sel B - IgG - IgA - IgM - IgE - IgD Sitokinin SELULAR Sel T - Th1 - Th2 - Ts/Tr/Th3 - ThTd - CTL/Tc - Th17 Gambar 1 Gambaran umum sistem imun Sumber: Baratawijaya dan Rengganis (2009). Menurut Tortora (2004) sistem imun non spesifik adalah sistem pertahanan tubuh, yang merupakan komponen normal tubuh yang selalu ditemukan pada induvidu sehat dan siap mencegah mikroba yang akan masuk kedalam tubuh. Untuk menyingkirkan mikroba tersebut dengan cepat, imunitas non spesifik melibatkan kulit dan selaput lendir, fagositosis, inflamasi, demam, serta produksi komponen-komponen antimikrobial (selain antibodi). Sistem imun ini disebut non spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Sistem ini merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon secara langsung (Bratawijaya 2006). Imunitas non spesifik jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi , misalnya jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada banyak penyakit. Disebut non spesifik karena tidak ditujukan pada mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas terhadap bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial. Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung (Samik dan Julia 2002). Berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh segera dikenal oleh 54 sitem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imum tersebut. Benda asing yang sama bila terpajang ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem ini disebut spesifik (Bratawijaya 2006). Peneliti lainnya menjelaskan bahwa disebut imun spesifik karena jika antigen 1 menyerang tubuh maka antibodi 1 diproduksi untuk melawan. Jika antigen 2 menyerang maka antibodi 2 diproduksi untuk melawan, begitu seterusnya (Tortora 2004). Sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun non spesifik, tetapi pada umumnya terjadi kerjasama yang baik antara antibodi, komplemen dan fagosit dengan sel-T makrofag. Antibodi akan muncul apabila ada antigen yang masuk kedalam tubuh. Sistem imun spesifik hanya dapat menghancurkan antigen yang telah dikenalnya (Kresno 2001). Secara garis besar sistem imun terdiri dari dua macam mekanisme, yakni pertahanan selular dan humoral, dalam hal ini mukosa usus merupakan sisi terpenting yang berhubungan dengan mikroba (Surono 2004). Sistem imunitas selular memegang peranan penting dalam pertahanan terhadap infeksi yang disebabkan oleh kuman-kuman intrasel contohnya virus, riketsia, mikrobakteria, dan beberapa protozoa (Kresno 2001). Imunitas humoral terdiri kelompok sel-B yang berperan dalam sintesis antibodi dan merupakan 20% dari limfosit tubuh. Bila sel B dirangsang oleh antigen, sel akan berpoliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibody. Antibodi ini berbentuk humoral (dalam cairan tubuh seperti darah, getah bening). Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus dan bakteri serta antitoksik (Baratawijaya dan Garna 2002). Antibodi yang lepas dapat ditemukan dalam serum. Terjadinya respon imun humoral oleh karena infeksi dengan toksoid atau virus/bakteri yang dimatikan/dilemahkan (kresno 2001). Penilaian Status Imun Intregritas respon imun sering dinilai dengan cara mengukur kadar berbagai jenis kelas immunoglobulin didalam serum seseorang atau dengan 55 mengukur titer antibodi setelah diberikan stimulus antigenis yang cukup (Suyitno 1985). Analisis untuk mengukur respon imun humoral (antibodi) dapat dibagi menjadi tiga kelas yaitu primary binding test, secondary binding test, dan tertiary binding test. Metode yang paling sensitif (jumlah antibodi yang dapat dideteksi) adalah primary binding test yang merupakan suatu metode pengukuran langsung yang dilakukan pada interaksi antibodi-antigen. Salah satu metode yang termasuk dalam primary binding test adalah metode ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) (Kindt et al 2007). IgG adalah antibodi yang paling banyak ditemukan dan mencakup sekitar 80% dari semua imunoglobulin dalam darah. Imunoglobulin dapat ditemukan dalam darah, limpa, dan usus. Kadar IgG meningkat secara lambat selama respons primer terhadap suatu antigen, tetapi meningkat secara cepat dengan kekuatan yang lebih besar pada paparan kedua (Corwin 2001). Terdapat empat subkelas pada IgG manusia yang dibedakan oleh jumlah dan urutan rantai yang sesuai dengan penurunan rata-rata kosentrasi serum. Empat subkelas tersebut antara lain : IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4 (Goldsby et al 2007). Menurut Roitt (1991) Imunogllobulin G merupakan komponen utama immunoglobulin dalam serum. Respon imun diukur dengan menganalisis titer IgG total terhadap sampel darah anak. Kriteria IgG menurut Kurniati (2004) dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Klasifikasi status imun disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi status imun Kadar titer IgG IU/ml 0,0-1,0 IU/ml >1,0-1,5 > 1.5 IU/ml Kategori Rendah Cukup Tinggi Sumber: Kurniati (2004) Peran Vitamin dalam Pembentukan Imunitas Vitamin adalah komponen organik yang diperlukan dalam jumlah kecil, namun sangat penting untuk reaksi-reaksi metabolik didalam sel, serta diperlukan untuk pertumbuhan normal dan pemeliharaan kesehatan. Mineral terutama mineral mikro terdapat (Almatsier 2006). Peran vitamin lam jumlah sangat kecil dalam tubuh, namun mempunyai peran sangat penting untuk kehidupan, kesehatan dan reproduksi (Piliang 2006). Menurut IOM (2000) Peran lain dari vitamin dan mineral adalah sebagai antioksidan yang sangat mempengaruhi kualitas hidup manusia. 56 Sistem kekebalan tubuh (imunitas) memerlukan zat gizi antioksidan antara lain untuk memproduksi dan menjaga keseimbangan sel imun (hematopoises), vitamin dan mineral sebagai antioksidan untuk melawan mikroorganisme penyebab penyakit (imunitas bawaan/innate dan dapatan/adaptive). Tubuh memerlukan vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup agar sistem imun dapat berfungsi secara optimal. Vitamin dan mineral tertentu seperti vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B6, vitamin B12, zinc, selenium dan zat besi mempunyai peranan dalam respon imun. Zat besi tersebut membantu pertahanan tubuh pada tiga level yaitu pertahanan fisik (kulit/mukosa), seluler dan produksi antibodi. Oleh karena itu kombinasi vitamin dan mineral dapat membantu sistem perlindungan tubuh bekerja dengan optimal (Wintergrest et al 2007). Hasil penelitian Karyadi et al (2002) menunjukkan bahwa anak-anak kekurangan vitamin A berisiko mengidap penyakit pernafasan dan meningkatkan keparahan penyakit diare. Hal ini karena terganggunya sel ephitel pada sel saluran cerna dan pernafasan. Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan Semba et al (1993) dan Semba (1994) menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A berdampak pada kemampuan membangkitkan respon antibodi terhadap antigen T. Vitamin A juga terbukti dapat meningkatkan respon antibodi terhadap antigen spesifik, apositosis dan menjaga intregitas lapisan mukosa (Rahman et al 1999). Peran vitamin A pada sel-sel mukosa diantaranya mukosa saluran cerna juga telah dibuktikan oleh Kotake-Nara et al (2000). Status Vitamin A Vitamin A Vitamin A adalah sekelompok senyawa organik komplek yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang relatif kecil tetapi sangat penting untuk pertumbuhan dan menjaga kesehatan. Pada umumnya vitamin A tidak dapat disintesis dari dalam tubuh. Oleh karena itu, untuk mendapatkan jumlah vitamin yang cukup harus diperoleh dari asupan makanan (Linder 1992). Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama kali ditemukan. Secara luas, vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan prekusor/provitamin A/Karotenoid yang mempunyai aktivitas biologi sebagai retinol (Almatsier 2006). 57 Istilah Vitamin A biasa digunakan mencakup berbagai komponen kimia yang memiliki aktivitas biologis vitamin, yakni karotenoid provitamin A, retinol dan metabolit aktivnya. Secara fisiologis bentuk aktiv vitamin A yang utama adalah retinaldehida a dan asam retinoat, keduanya merupakan turunan dari retinol (Bender 2003). Peran Vitamin A Menurut Hartono (2000) Vitamin A diperlukan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh. Selain itu sangat penting untuk kesehatan mata, melawan bakteri dan infeksi. Apabila kekurangan vitamin A akan mengakibatkan buta senja, peningkatan kerentanan terhadap infeksi, sering marah dan lesu. Vitamin A berfungsi membantu perkembangan tulang dan gigi, menyehatkan struktur sel pada kulit dan membran mukosa, serta membantu penglihatan. Kemampuan retinoid mempengaruhi perkembangan sel epitel dan kemampuan meningkatkan aktivitas sistem kekebalan (Almatsier 2000). Stipanuk (2000) menyebutkan Vitamin A dan metabolismenya dalam spectrum yang luas mempunyai fungsi biologis antara lain adalah esensial untuk penglihatan, reproduksi, fungsi imun serta berperan penting dalam diferensiasi seluler, proliferasi dan pemberian isyarat (Signaling). Selain itu Vitamin A juga berperan penting dalam proliferasi dan aktivasi limfosid. Vitamin A mempunyai peran atau fungsi umum dan fungsi yang khas. Vitamin A mutlak dalam memelihara sel-sel epitel dan memberikan rangsangan bagi pertumbuhan sel-sel baru. Vitamin A juga memelihara ketahanan tubuh terhadap infeksi, juga menyebabkan sel hidup lebih lama dan menghambat proses penuaan. Fungsi Vitamin A yang paling banyak diketahui ialah pada fungsi penglihatan (Moeljoharjo 1993). Vitamin A dalam bahan pangan berbentuk beta karoten. Menurut Simon & Macmillan (1995), beta karoten merupakan zat gizi mikro yang banyak ditemukan pada buah dan sayur. Di dalam tubuh, beta karoten dikonversi menjadi Vitamin A. Beta karoten memiliki keuntungan lain yaitu sebagai antioksidan. Antioksidan adalah suatu subtansi yang dapat membantu melawan proses pembentukan radikal bebas, molekul yang tidak stabil dan dapat merusak sel. Radikal bebas yang terbentuk didalam tubuh saat metabolisme tubuh tidak normal diakibatkan faktor lingkungan seperti sinar x, merokok, konsumsi alkohol, dan zat pencemar 58 lainnya. Aktivitas antioksidan dari beta karoten mengatur pencegahan kanker dan sakit jantung serta dapat meningkatkan sistem imun. Pangan Sumber Vitamin A Pangan yang menjadi sumber beta karoten adalah wortel, brokoli, bayam, dan apricot (Simon & Macmillan 1995). Berkenaan dengan karotenoid, wortel dan sayuran hijau daun, seperti bayam secara umum mengandung karotenoid dalam jumlah yang besar. Meskipun tomat mengandung beberapa vitamin A dengan karotenoid aktif, pigmen yang dikandung yakni lycopene, yang tidak memiliki aktivasi gizi. Buah-buahan seperti pepaya dan jeruk mengandung karotenoid yang dapat diperhitungkan. Sedangkan sereal seperti gandum secara umum mengandung sangat sedikit vitamin A (Olson 1990). Sumber vitamin A adalah bahan makanan yang berasal dari hewani, terutama minyak ikan laut yang berasal dari hati ikan. Ikan laut dan mamalia menghasilkan vitamin A1, sedangkan ikan air tawar mengandung terutama vitamin A2. Sumber vitamin A yang lazim dikonsumsi ialah susu segar dan telur. Secara tidak langsung vitamin A berasal dari pigmen tumbuhan berupa senyawasenyawa karotena, yang dalam saluran pencernaan diubah menjadi vitamin A (Moeljoharjo 1993). Pangan hewani asal ternak adalah sumber gizi yang dapat daiandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat yang kaya akan vitamin A. Termasuk kedalam pangan hewani adalah telur, daging, susu dan ikan (Khomsan 2004). Kecukupan Vitamin A Banyak sekali keadaan yang mempengaruhi keadaan status vitamin A seseorang. Salah satu faktor yang terpenting ialah kecukupan asupan vitamin A dan provitamin A. Asupan yang dianjurkan bergantung pada usia, jenis kelamin serta keadaan fisiologis (Arisman 2002). Angka kecukupan vitamin A adalah jumlah vitamin A yang harus dikonsumsi per hari untuk mempertahankan status vitamin A pada level memuaskan atau cukup. Kecukupan protein merupakan persyaratan bagi transportasi dan penggunaan vitamin A secara optimal, kadar retinol serum akan menurun jika terdapat kekurangan energi dan protein (KEP). Tanda-tanda defisiensi vitamin A dapat pula terjadi sebagai fenomena sekunder KEP tanpa tergantung apakah asupan vitamin A nya mencukupi atau tidak. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan sintesis RBP ( retinol binding protein; protein pengikat retinol) yang 59 membuat protein tidak tersedia untuk mengangkut retinol. Keadaan ini turut menimbulkan gangguan respon imun yang berat terhadap infeksi sebagai akibat defisiensi fungsional vitamin A maupun gangguan respon imun yang menyertai gizi kurang tersebut (Hartono 2009). Mengingat penting dan banyaknya peran vitamin A, maka kekurangan asupan vitamin A dapat menyebabkan beberapa konsekuensi serius (Muhilal & Sulaeman 2004). Seseorang dikatakan memiliki level vitamin A cukup apabila dalam hatinya mengandung >20 µg/g berat basah, dan tidak menunjukkan tanda defisiensi walaupun tanpa asupan vitamin A selama 3 bulan. Ada berbagai standard mengenai angka kecukupan vitamin A anak. Angka kecukupan vitamin A anak yang digunakan untuk menghitung kecukupan vitamin A dalam penelitian ini adalah menurut Muhilal dan Sulaeman (2004). Adapun kecukupan vitamin A anak disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Angka kecukupan vitamin A untuk anak-anak (µg RE/hari) Kelompok umur Angka IOM Kecukupan (2002) (1998) 1-3 tahun 350 300 4-6 tahun 400 400 7-9 tahun 400 400 Sumber: Muhilal dan Sulaeman (2004) FAO/WHO (2002) FNRI (2002) 400 450 500 400 450 400 Angka Kecukupan (2004) 400 450 500 Penilaian Status Vitamin A Penentuan status vitamin A dilakukan untuk melihat kadar vitamin A dalam tubuh seseorang. Tubuh menyimpan vitamin A di hati dalam bentuk retinil ester. Pengukuran cadangan vitamin A dalam hati merupakan indeks terbaik untuk mengetahui status vitamin A, namun pengukuran dengan cara biopsi tidak mungkin dilakukan pada penelitian di lapangan. Karena tidak memungkinkan, total serum vitamin A atau konsentrasi retinol serum lebih sering digunakan sebagai gantinya (Gibson 2005). Retinol serum diukur secara intra vena untuk mengetahui keadaan defisiensi Vitamin A pada sampel. Seseorang dikatakan kekurangan vitamin A jika kadar vitamin A dalam serumnya < 20 µg/dl. Menurut Sommer dan West (1996) status vitamin A seseorang juga dapat diklasifikasikan berdasarkan kandungan vitamin A dalam serum darah Tabel 3 berikut ini. Tabel 3 Klasifikasi status vitamin A 60 Kadar Serum µg/dl µmol/liter ≥ 20 ≥ 0,Ò 10 – 20 0,35 – 0,69 < 10 < 0,35 Sumber: Sommer dan West (1996). Status vitamin A Normal Low Deficient Konsentrasi retinol serum dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan ras. Selain itu, konsentrasi retinol serum juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran holo-RBP. Faktor lain yang berpengaruh adalah asupan lemak yang rendah dalam makanan, misalnya asupan kurang dari 5-10 g/hari akan mengganggu absorpsi provitamin A (karoten) dan pada jangka panjang menurunkan konsentrasi retinol. Kurang energi protein dapat menurunkan apo-RBP, kekurangan zinc dapat menurunkan kadar retinol karena peranannya dalam sintesa hepatik atau sekresi RBP (Gibson 2005). Retinol serum dapat ditentukan dengan spektrofotometri atau menggunakan HPLC (High Perfomance Liquid Chromatography). HPLC dapat membedakan retinol dari retinil ester sedangkan metode lain hanya mengukur total serum vitamin A Menurut Linder (1992) Devisiensi Vitamin A menyebabkan sekresi sel mukosa dan terjadinya penggantian sel epitel dengan lapisan tebal, bertanduk, lapisan epithelium dibeberapa bagian tubuh, termasuk keratinisasi epitel korne, paru-paru, kulit dan mukosa intestinal serta dapat menurunkan sel goblet intestinal dan permukaan vilus. Menurunnya sel goblet dalam usus dapat menurunkan kemampuan sistem untuk menahan organisme pathogen (Brody 1994). Devisiensi Vitamin A pada anak-anak berhubungan dengan angka infeksi dan angka kematian. Indikator Defisiensi Vitamin A antara lain dapat dilihat dari konsentrasi retinol dalam serum (Sommer dan West 1996; Beaten et al 2004). Kekurangan vitamin A menyebabkan intregitas mukosa epitel terganggu, hal ini sebagian besar disebabkan karena hilangnya sel goblet penghasil mukus. Konsekwensinya adalah meningkatkan kerentanan terhadap kuman pathogen di mata dan saluran nafas serta saluran pencernaan. Hal ini dapat diperkuat dengan penelitian dimana anak-anak kekurangan vitamin A menderita penyakit saluran nafas (Karyadi et al 2002; Long et al 2006). Kelebihan vitamin A dapat terjadi jika mengkonsumsi vitamin A dengan jumlah yang berlebihan dalam jangka waktu lama. Kelebihan dapat menyebabkan kerusakan hati, sakit pada tulang sendi, alopecia, sakit kepala, muntah dan kulit mongering(FAO/WHO 2001). Kelebihan terjadi bila konsumsi 61 vitamin A dalam bentuk vitamin A. Beberapa studi menunjukkan, vitamin A dosis tinggi dapat meningkatkan respon antibodi terhadap tetanus toxoid (Semba et al 1992). Perbaikan status vitamin A dapat memulihkan aktivitas IFN, dan aktivitas sel NK dalam darah mononuklear anak-anak yang terkena campak stadium parah (Griffin et al 1990). Metabolisme Vitamin A dalam Tubuh Proses metabolisme vitamin A secara keseluruhan dapat digambarkan oleh dua fungsi biologis utama yaitu menyediakan jumlah retinoid yang cukup untuk jaringan di tubuh yang digunakan dalam produksi asam retinoat untuk proses diferensiasi jaringan dan ekspresi gen, dan menyediakan retinol untuk produksi 11-cis-retinal yang berada dalam retina (Ross & Harison 2007). Vitamin A dalam makanan sebagian besar terdapat dalam bentuk retinil ester, bersama karotenoid bercampur dengan lipida lain di dalam lambung. Ester retinil dihidrolisis oleh enzim-enzim pankreas esterase menjadi retinol yang lebih efisien diabsorpsi daripada ester retinil di dalam sel-sel mukosa usus halus. Sebagian dari karotenoid, terutama β-karoten di dalam sitoplasma sel mukosa usus halus dipecah menjadi retinol (Almatsier 2005). Retinol diesterifikasi dalam mukosa intestinal, diikat kedalam chylomicron dan dibawa ke saluran darah melalui sirkulasi lymph. Vitamin A dalam tubuh disimpan dalam hati dengan bentuk retinil ester sekitar 90%. Hati mempunyai kemampuan menyimpan vitamin A yang cukup untuk beberapa bulan. Kapasitas penyimpanan pada anak-anak lebih kecil dibanding dengan orang dewasa. Bersama-sama dengan Retinol Binding Protein (RBP) dan transtiretin, retinol keluar dari hati (Semba 2002). Kehilangan simpanan vitamin A ini biasanya terjadi karena asupan vitamin A tidak mencukupi selama satu periode waktu tertentu kendati kehilangan vitamin A tersebut akan meningkat dengan infeksi yang menyertai. Laju pemakaian vitamin A oleh jaringan tertentu dapat menunjukkan adanya adaptasi terhadap ketersediaan vitamin A yang berkurang. Adaptasi homeostatik dan pendaurulangan ini berfungsi untuk mempertahankan kadar vitamin A yang relative konstan dalam darah sampai simpanan didalam tubuh terpakai dibawah nilai batas yang menentukan Hartono (2009). Pengambilan retinol oleh berbagai sel tubuh bergantung pada reseptor pada permukaan membran yang spesifik untuk RBP. Retinol kemudian diangkut 62 melalui membran sel untuk kemudian diikatkan pada Cellular Retinol Binding rotein (CRBP) dan RBP kemudian dilepaskan (Almatsier 2005). Menurut Almatsier (2005), bila tubuh mengalami kekurangan konsumsi vitamin A, asam retinoat diabsorpsi tanpa perubahan. Asam retinoat merupakan sebagian kecil dari vitamin A dalam darah yang aktif dalam diferensiasi sel dan pertumbuhan. Status Gizi Berdasarkan Antropometri Status gizi sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat-zat gizi makanan (Riyadi 1995). Menurut Almatsier (2001) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Gibson (2005) mendefinisikan status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, peyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Menilai status gizi seseorang dapat memberikan gambaran tentang baik atau tidaknya status gizi orang tersebut. Menurut Astawan & Wahyuni (1988), status gizi seseorang merupakan refleksi dari mutu makanan yang dimakan sehari-hari. Susunan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi tubuh dapat menciptakan status gizi yang memuaskan. Penilaian status gizi seseorang dapat dilakukan dengan cara pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran status gizi secara langsung menurut Suparisa et al (2002) ada empat macam, yakni: secara antripometri, klinis, biokimia, dan biofisik; sedangkan pengukuran tidak langsung seperti survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Pada penilaian berbasis masyarakat cara pengukuran yang sering digunakan adalah metode antropometri gizi. Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri ialah ukuran dari tubuh. Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidak seimbangan protein dan energi (Hartono A 2005, Suparisa IDN et al 2002). Pengukuran Status Gizi Pengukuran status gizi yang paling sering dan umum digunakan adalah penilaian status gizi secara antropometri, yaitu menggunakan ukuran tubuh manusia. Parameter yang digunakan antara lain berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Indeks antropometri yang dugunakan antara lain BB/U, TB/U dan BB/TB. 63 Perbedaan penggunaan indeks akan memberikan gambaran status gizi yang berbeda dan saling melengkapi keterbatasannya (Suharjo dan Riyadi 1990). Status gizi berdasarkan indikator indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) menunjukkan status gizi seseorang pada masa yang relative lama, sedangkan berat badan menurut umur (BB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) menunjukkan status gizi seseorang pada masa kini dan relatif mudah berubah (Roedjito 1989). Suharjo & Riyadi (1990) mengungkapkan dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh dengan pertambahan umur. Pertambahan tinggi badan kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek, artinya pengaruh defisiensi gizi terhadap tinggi badan akan nampak pada saat yang cukup lama. Kelebihan indeks BB/U adalah lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, sensitif untuk melihat perubahan status jangka pendek dan meneteksi kegemukan. Sedangkan kelemahannya adalah dapat mengakibatkan kekeliruan interpretasi status gizi jika terdapat pembengkakan atau edema, memerlukan data umur yang akurat, dan sering terjadi kesalahan pengukuran misalnya pakaian atau gerakan anak pada saat menimbang. Tinggi badan (TB) merupakan indikator antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam kondisi normal, TB tumbuh seiring pertambahan umur. Namun indeks TB/U relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam kurun waktu pendek. Kelebihan indeks TB/U yaitu baik untuk menilai status gizi masa lampau dan alat ukur panjang badan dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa. Sedangkan kelemahannya adalah TB tidak cepat naik, pengukuran relatif sulit karena harus berdiri tegak sehingga diperlukan lebih dari satu orang untuk pengukuran TB serta ketepatan umur sulit didapat (Suharjo & Riyadi 1990). Pengukuran antropometri terbaik menurut Soekirman (2000) adalah menggunakan indikator BB/TB karena ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Artinya anak yang BB/TB kurang dikategorikan sebagi kurus (wasted). Kelebihan berat badan indeks BB/TB adalah bebas dari pengaruh umur dan ras, dapat memberi gambaran proporsi berat badan relatif terhadap tinggi badan. Sedangkan kelemahannya adalah sering terjadi kesulitan ketika mengukur panjang badan anak dan sering terjadi kesalahan membaca angka hasil pengukuran terutama bila pembacaan dilakukan oleh tenaga non professional. 64 Indikator BB/TB , berat badan berkorelasi linear dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan anak yang normal akan proporsional dengan tinggi badan anak. Hal ini terutama dapat dilihat setelah hasil pengukuran BB dan TB diolah dan ditentukan nilai Z-skor. Penilaian status gizi berdasarkan Z-skor dilakukan dengan melihat distribusi normal kurva pertumbuhan anak. Nilai tersebut menunjukkan jarak nilai baku median dalam unit simpangan baku (standar deviasi) dengan asumsi distribusi normal. Nilai Z-skor masing-masing anak dihitung dengan menggunakan rumus (Gibson 1990) sebagai berikut: (Xi-Mi) Zsci = ——— Sbi Keterangan: i = umur (bulan) Zsci = nilai Z-skor untuk nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i Xi = nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i Mi = nilai baku median untuk umur bulan ke-i Sbi = nilai simpangan baku pada umur bulan ke-i Ada tiga tingkatan niali Z-skor yang diperoleh, yaitu Z-skor BB/U, Z-skor BB/TB dan Z-skor TB/U. penentuan Z-skor tersebut tersebut didasarkan pada referensi WHO/NCHS. Hasil penentuan Z-skor terhadap masing-masing individu kemudian dibandingkan dengan distribusi baku WHO/NCHS (2006) dengan titik batas (cut-off-point) Z-skor adalah -2. Berikut adalah Tabel 4 klasifiksi status gizi berdasarkan nilai Z-skor. Tabel 4 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Z-skor WHO-NCHS (2006) Indikator BB/U Kriteria Gizi Lebih Gizi Baik Gizi Kurang Gizi Buruk TB/U Normal Pendek/Stunted BB/TB Gemuk Normal Kurus/Wasted Sangat Kurus Sumber: WHO NCHS (2006). Standar >2,0 SD baku WHO-NCHS -2,0 SD s/d 2 SD <-2,0 SD <-3,0 SD >-2,0 SD <-2,0 SD baku WHO-NCHS >2,0 SD baku WHO-NCHS -2,0 SD s/d 2 SD <-2,0 SD <-3,0 SD Penggunaan penilaian status gizi berdasarkan Z-skor mempunyai keuntungan diantaranya adalah a) batas ambang yang digunakan untuk masingmasing indeks antropometri sama misalnya, untuk katergori KEP batas abangnya 65 dibawah -2 SD; b) Hasil perhitungan telah dibakukan menurut standar deviasi sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometeri; c) Dapat dipergunakan untuk kebutuhan penilaian status gizi secara darurat untuk melihat perbandingan antar waktu, antar wilayah dan antar kelompok; d) Dapat mengetahui populasi yang mengalami kurang gizi akut dan kronik dalam keadaan kurus atau pendek. Sedangkan kelamahan penilaian dengan Z-skor adalah keadaan status gizi masing-masing indeks tidak sama (Jahari dkk 2000). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Menurut Apriaji (1986) faktor-faktor yang berperan dalam menentukan status gizi seseorang terdiri dari dua bagian, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu faktor yang berpengaruh dari luar diri seseorang (konsumsi makan, tingkat pendidikan, pengetahuan gizi, latar belakang sosial budaya serta kebersihan lingkungan). Faktor internal yang dimaksud adalah faktor yang menjadi dasar pemenuhan tingkat kebutuhan gizi seseorang (status kesehatan, umur, dan jenis kelamin). Tingkat kecukupan gizi juga mempengaruhi status gizi seseorang. Konsumsi zat gizi yang cukup sesuai dengan angka kebutuhan gizi yang dianjurkan untuk setiap individu akan mengakibatkan status gizi yang baik pada seseorang. Sebaliknya jika konsumsi zat gizi berlebih atau kekurangan akan menimbulkan status gizi berlebih atau kurang pada seseorang. Kekurangan atau kelebihan konsumsi gizi dari kebutuhan normal jika berlangsung dalam jangka waktu yang lama dapat membahayakan kesehatan (Hardinsyah & Martianto 1992). Status gizi seseorang dipengaruhi oleh jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi serta keadaan tubuh yang dapat menyebabkan gangguan penyerapan gizi atau parasit (Suharjo 1989). Gizi kurang terjadi karena konsumsi energi memang tidak mencukupi kebutuhan sehingga mengakibatkan hampir seluruh zat gizi lainnya ikut berkurang. Kekurangan zat gizi khususnya energi dan protein pada tahap awal akan menimbulkan rasa lapar, dalam jangka waktu tertentu berat badan menurun disertai dengan menurunnya kemampuan kerja (Hardinsyah & Martianto 1989). Konsumsi energi dan zat gizi mempengaruhi keadaan gizi anak. Energi dan protein berperan secara timbal balik antara keduanya terhadap pertumbuhan anak. Kurang gizi merupakan hasil akhir kesinambungan mekanisme perubahan 66 anatomi dan penurunan fungsi tubuh akibat kekurangan asupan energi dan zat gizi (Waterlow et al 1992) Menurut Almatsier (2002) status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial, sehingga menimbulkan akibat yang membahayakan, yakni terjadinya gangguan/masalah gizi. Gangguan gizi disebabkan oleh masalah primer dan sekunder. Faktor primer, yakni susunan makanan kurang berkualitas dan kurang kuantitasnya, dan faktor sekunder adalah semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi. Konsumsi Pangan Konsumsi merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim dan aktivitas fisik (Almatsier 2003). Menurut Wulandari (2000) konsumsi pangan secara garis besar adalah kuantitas pangan dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dengan jenis pangan tunggal ataupun beragam. Frekuensi makan dapat menunjukkan tingkat kecukupan konsumsi gizi. Semakin tinggi frekuensi makan, maka semakin besar kemungkinan terpenuhinya kecukupan gizi. Frekuensi makan pada seseorang dengan kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan kondisi ekonomi lemah. Hal ini disebabkan orang dengan kondisi ekonomi yang lebih tinggi memiliki daya beli yang tinggi sehingga dapat mengkonsumsi makanan dengan frekuensi lebih tinggi. Cerminan kebiasaan makan individu atau keluarga merupakan fungsi dari pola konsumsi pangan individu atau keluarga. Salah satu aspek kebiasaan makan adalah frekuensi makan per hari (Khomsan 1993). Menurut Hardinsyah & Martianto (1992) ada tiga yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu kualitas dan ragam pangan yang tersedia dari produksi, pendapatan dan tingkat pengetahuan gizi. Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (sekeluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa telaah tentang konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. 67 Karakteristik individu anak sekolah dasar (umur, jenis kelamin, berat badan, dan kondisi sosial ekonomi keluarga) dapat mempengaruhi pola dan tingkat konsumsi pangannya. Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan untuk melakukan kegiatan (internal dan eksternal), aktivitas dan mempertahankan daya tahan tubuh. Kebutuhan gizi merupakan sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan. Kekurangan atau kelebihan konsumsi zat gizi dari kebutuhan normal jika berlangsung dalam jangka waktu lama dapat membahayakan kesehatan (Hardinsyah & Martianto 1992). Metode food recall adalah metode penilaian konsumsi pangan dimana pewawancara menanyakan apa yang telah dikonsumsi oleh responden. Wawancara dilakukan berdasarkan suatu daftar pertanyaan atau kuisioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Ditanyakan dengan lengkap apa yang telah dikonsumsi ketika makan pagi, siang, makan dan selingan/ makanan kecil diluar waktu makan. Tanggal waktu makan serta besar porsi setiap makanan dicatat dengan teliti. Hasil pencatatan wawancara kemudian diolah, dikembalikan kepada bentuk bahan mentah dan dihitung zat-zat gizinya berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) yang berlaku. Masing-masing zat gizi dijumlahkan dan dihitung rata-rata konsumsi setiap hari (Sediaoetama 2006). Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Zat gizi merupakan unsur-unsur yang terdapat dalam makanan dan diperlukan oleh tubuh untuk berbagai keperluan seperti menghasilkan energi, mengganti jaringan aus serta rusak, memproduksi subtansi tertentu misalnya enzim, hormone dan antibodi. Zat gizi dapat dibagi menjadi kelompok makronutrien yang terdiri atas karbohidrat, lemak serta protein dan kelompok mikronutien yang terdiri atas vitamin serta mineral (Harono 2006). Energi yang diperlukan anak usia sekolah sangat beragam, oleh karena itu penting mengetahui tinggi dan berat badannya tiap bulan untuk menentukan kebutuhan energinya (Endres et al 2004). Menurut Almatsier (2003) menyatakan pada anak-anak, ibu hamil dan ibu menyusui kebutuhan energi termasuk kebutuhan untuk pembentukan jaringan-jaringan baru. Protein memiliki peran yang sangat penting bagi tubuh yaitu sumber energi, pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukkan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur 68 keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, membentuk antibodi dan mengangkut zat-zat gizi (Almatsier 2003). Didalam tubuh lemak berfungsi sebagai cadangan energi dalam bentuk jaringan lemak yang ditimbun ditempattempat tertentu (Soediaoetama 2006). Kecukupan protein merupakan persyaratan bagi trasportasi pada penggunaan vitamin A secara optimal, kadar retinol serum akan menurun jika terdapat kekurangan energi protein (KEP). Tanda defisiensi vitamin A dapat pula terjadi sebagai fenomena sekunder KEP tanpa tergantung apakah asupan vitamin A-nya mencukupi atau tidak. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan sintesis RBP (retinol binding protein; protein pengikat retinol) yang membuat protein tersebut tersedia untuk mengangkut retinol. Keadaan ini turut menimbulkan respon imun yang berat terhadap infeksi sebagai akibat defisiensi fungsional vitamin A maupun gangguan respon imun yang menyertai gizi kurang tersebut (Hartono 2009). Perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan disebut sebagai tingkat kecukupan zat gizi. Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Depkes (1996) diacu dalam Sukandar (2007) adalah: 10 defisit tingkat berat (<70% AKG; 2) deficit tingkat sedang (7079% AKG); deficit tingkat ringan (80-89% AKG); 4) normal (90-119% AKG); kelebihan (>120% AKG). Klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral menurut Gibson (2005) yaitu, kurang (<77% AKG) dan cukup (> 77% AKG). Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi actual (nyata) dengan kecukupan zat gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen. Morbiditas Morbiditas dan status gizi merupakan variabel yang mencerminkan status kesehatan. Morbiditas ini meliputi prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak menular. Derajat kesehatan atau status kesehatan adalah tingkat kesehatan perorangan, kelompok atau masyarakat yang diukur dengan angka kematian, umur harapan hidup, status gizi, dan angka kesakitan (morbiditas). Kesehatan merupakan masalah yang kompleks hingga tidak mungkin diukur semua faktor yang mempengaruhinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena itu diperlukan suatu alat yang dapat memberi indikasi untuk menggambarkan keadaan kesehatan. Alat tersebut ialah indikator. Indikator kesehatan dapat 69 digunakan untuk mengukur status kesehatan, memonitor kemajuan keadaan kesehatan dan merupakan alat bantu dalam mengadakan evaluasi program kesehatan Depkes (2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi Morbiditas Menurut Undang-undang No. 9 Bab I, pasal 2 tentang pokok-pokok Kesehatan, yang dimaksud dengan sehat adalah sehat jasmani, rohani (jiwa dan mental) dan sosial bukan hanya bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. Sehat rohani adalah kondisi sosial yang memungkinkan setiap warga negara mampu memelihara kehidupannya serta keluarganya. Faktor yang mempengaruhi kesehatan adalah penyebab penyakit, manusia, dan lingkungan. Gangguan keseimbangan diantara ketiga faktor tersebut menimbulkan gangguan kesehatan yang menyebabkan penurunan derajat kesehatan seseorang. Penyebab penyakit dapat berasal dari dalam maupun luar tubuh. Daya tahan tubuh manusia akan mempengaruhi kemudahan terkena penyakit. Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia dan dapat mempengaruhi kehidupannya (Subandriyo & Hartanti 1994). Menurut Subandriyo (1993), angka kesakitan (morbiditas) lebih mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya, sebab kejadian kesakitan mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai faktor lingkungan, seperti perumahan, air minum dan kebersihan serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi serta pelayanan kesehatan di daerah tersebut. Sedangkan angka kematian lebih banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi kedokteran sehingga kurang mencerminkan keadaan kesehatan yang sesungguhnya. Keterkaitan Morbiditas dengan Status Gizi Antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak-balik. Infeksi dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanisme. Yang paling penting ialah efek langsung dari infeksi sistemik pada katabolisme jaringan. Walaupun hanya terjadi infeksi ringan sudah akan menimbulkan kehilangan nitrogen. Infeksi yang akut mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan. Orang yang mengalami gizi kurang, daya tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah, sehingga mudah terkena serangan penyakit infeksi (Suhardjo 1989). Keadaan kesehatan atau adanya infeksi akan berpengaruh terhadap status gizi. Penurunan keadaan gizi dan pertumbuhan akibat adanya kejadian 70 sakit (morbiditas), mekanismenya mencakup penurunan asupan makanan, gangguan penyerapan, gangguan peningkatan kebutuhan gizi, serta peningkatan kerusakan jaringan (Latham 1997). Ada hubungan yang sinergistik antara kejadian sakit dengan status gizi. Infeksi bersama-sama penurunan asupan makanan merupakan sebab utama kurang gizi (Waterlow 1992). Penyakit Infeksi Penyakit infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, protozoa, cacing dan sebagainya (Shulman et al 1994; Entjang 2000). Proses terjadinya penyakit infeksi karena adanya bibit penyakit (agent) yang masuk kedalam tubuh manusia rentan (host). Morbiditas menyebakan berkurangnya aktivitas anak, menyebabkan terjadinya anoreksia, pengurangan asupan makanan dengan sengaja (Satoto 1990) Infeksi yang sering terjadi pada anak-anak adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan Infeksi saluran makanan, yang umum adalah diare. Infeksi saluran pernapasan akut merupakan penyebab masalah kesehatan paling umum terjadi didunia. Meskipun penyakit ini belum didefinisikan kedalam kelompok penyakit, namun infeksi pernapasan akut termasuk di dalamnya batuk influenza, pneumonia, bronchitis, dan sejumlah penyakit infeksi lainnya. Kebanyakan infeksi pernapasan ditemukan dibagian dunia yang lebih dingin atau didataran tinggi daerah tropis (Webber 2005). Defisiensi vitamin A merupakan predisposisi yang memudahkan seseorang seseorang untuk menderita infeksi berat. Dalam sebuah penelitian prospektif di Indonesia, anak-anak prasekolah yang menderita penyakit diare akut atau infeksi saluran pernafasan akut menghadapi kemungkinan terkena xeroftalmia dalam periode 3 bulan berikutnya sebesar dua kali lipat dibandingkan anak-anak yang sehat. Defisiensi vitamin A dan infeksi saling berinteraksi ketika satu kambuh, maka kerentanan terhadap yang lain akan meningkat. Infeksi dapat menimbulkan defisiensi vitamin A melalui berbagai cara menurut penyebab, durasi, dan intensitas infeksi, serta status vitamin A dalam tubuh penderita pada saat infeksi. Kadar retinol darah akan menurun sesudah terjadinya infeksi dan penurunan ini disebabkan oleh berkurangnya asupan atau penyerapan vitamin A dari makanan sebagai akibat dari diare atau adanya kuman pahogen intestinal, gangguan atau percepatan pemakaian simpanan retinol dalam hati, peningkatan 71 pemakaian retinol oleh jaringan target, atau peningkatan kehilangan retinol melalui urin yang berkaitan dengan respon fase akut (Hartono 2009). Diare berkaitan secara khusus dengan status gizi anak, dampak diare terhadap status gizi lebih besar dari pada infeksi lain karena selama diare terjadi gangguan asupan, gangguan absorbsi dan gangguan metabolisme secara bersamaan (Scrimshaw et al 1983). Diare adalah suatu kondisi buang air besar dengan konsistensi yang lembek sampai encer bahkan dapat berupa air saja yang terjadi lebih sering dari biasa (tiga kali atau lebih sehari). Tanda-tanda diare diantaranya adalah buang air besar encer terus-menerus (lebih dari tiga kali sehari) kadang disertai muntah (muntaber) dan panas, nafsu makan berkurang dan selalu haus serta badan lesu dan lemas (Latifah et al 2002). Diare akut lebih mudah diobati dibandingkan yang kronis. Diare akut akan segera hilang setelah gejala atau penyebabnya teratasi. Pengobatan diare kronis lebih spesifik sebab terlebih dahulu harus menemukan penyebabnya sebelum dilakukan tindakan pengobatan. Diare akut dapat menyebabkan tubuh kurang cairan (dehidrasi). Sebaliknya diare kronis yang berkepanjangan dapat menyebabkan kurang gizi (Subandriyo 2000). Demam termasuk tanda bahwa tubuh terkena infeksi yang ditunjukkan dengan naiknya suhu tubuh. Suhu tubuh manusia merupakan hasil akhir dari produksi panas pada proses metabolic, aktivitas otot dan kehilangan panas. Suhu normal tubuh sekitar 37 C. Pada saat demam, suhu tubuh mencapai 41 C. Demam biasanya terjadi akibat tubuh terpapar infeksi mikroorganisme (virus, bakteri, parasit). Demam juga bisa disebabkan oleh faktor non infeksi seperti kompleks imun, atau inflamasi (peradangan) lainnya (Shulman et al 1994). Anak Sekolah Dasar Hurlock (1999) mengelompokkan anak usia sekolah dasar berdasarkan perkembangan psikologis yang disebut sebagai Late Childhood. Usia sekolah dimulai pada usia 6 tahun dan berakhir pada saat individu menunjukkan kematangan seksualnya antara usia 13 sampai 14 tahun. Menurut Yusuf dalam Kusumaningrum (2006), masa usia sekolah dasar dibagi menjagi dua fase, yaitu masa kelas rendah berumur 6 sampai 9 tahun dan masa kelas tinggi 12 sampai 13 tahun. Anak usia sekolah adalah masa dimana mereka harus bermain tanpa diperhatikan orang tua saat bermain dapat mengetahui cara bergaul dengan 72 teman sebaya secara baik. Pada usia ini anak diharapkan memperoleh dasardasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa, dan mempelajari berbagai keterampilan penting tertentu Hurlock (1999). Usia sekolah merupakan awal seorang anak belajar bertanggung jawab terhadap sikap dan perilakunya. Anak usia sekolah biasanya mempunyai lebih banyak perhatian dan aktivitas diluar rumah, sehingga sering melupakan waktu makan. Anak usia sekolah telah mempunyai daya tahan yang cukup terhadap berbagai penyakit (RSCM dan Persagi 1990) Anak usia sekolah dasar mempunyai sifat yang berubah-ubah terhadap makanan, selalu ingin mencoba makanan yang baru dikenalnya dan secara umum mereka tidak pernah mengalami masalah dalam hal nafsu makan (Komalasari 1991). Menurut Akbar (2005) menyatakan pada periode ini terjadi perkembangan sosialisasi yang menonjol pada anak. Diantaranya adalah pergaulan anak menjadi lebih luas, dan tidak terbatas hanya dengan anggota keluarga di rumah. Masa sekolah memberikan kesempatan kepada anak untuk lebih banyak bergaul dengan teman sebayanya. Selain itu, pada usia sekolah terjadi perkembangan intelegensi, minat, emosi dan kepribadian. Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Menurut Hartog et al (1995) karakteristik sosial ekonomi keluarga dinegara berkembang dikategorikan ke dalam tiga kelas yiatu tinggi, menengah dan bawah. Status sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari besarnya pendapatan atau pengeluaran keluarga, baik pangan maupun non pangan selama setahun terkhir. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan dari pada kebutuhan non pangan. Sebaliknya jika pendapatan meningkat maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan pokok makanan sudah terpenuhi (Husaini et al. 2000). Hal ini sesuai dengan Hukum Engel bahwa semakin tinggi pendapatan maka persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan semakin kecil. Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Menurut Sanjur (1982), banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan dalam hubungannya dengan pengeluran 73 pangan rumah tangga. Besar kecilnya anggota keluarga dapat mempengaruhi kebutuhan keluarga, semakin besar anggota keluarga maka kebutuhan pangan yang harus tercukupi semakin meningkat, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan pangan keluarga akan tinggi ( Lumeta 1987). Peningkatan jumlah keluarga menurunkan konsumsi pangan hewani dan pangan sumber karbohidrat diganti dengan yang lebih murah atau dalam porsi yang lebih kecil (Hartog et al. 1995). Menurut BKKBN (1998), jumlah anggota keluarga dapat diklasifikasikan sebagai besar keluarga dalam tiga kategori, yaitu kecil (<4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (>7 orang). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat nyata antara besar keluarga dengan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Pendidikan Orang Tua Keadaan gizi seseorang banyak titentukan oleh perilaku pengasuhannya. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa apabila pendidikan dan pengetahuan dalam berbagai bidang gizi yang dimiliki orang tua baik maka keadaan gizi anak juga baik (Riyadi 2006). Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka akan semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga lebih banyak informasi yang diserap. Hal tersebut akan berdampak positif terhadap ragam pangan yang dikonsumsi (Soewondo & Sadi 1990). Latar belakang pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk hal konsumsi pangan sehari-hari (Engle et al. 1997). Pekerjaan Orang Tua Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan. Besar pendapatan yang diterima individu akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan (Suhardjo 1989). Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar (Engel et al. 1994). Hardinsyah dan Suhardjo (1987) menyatakan bila mereka yang berpendidikan tinggi bekerja, maka akan diupah lebih tinggi dibanding dengan orang yang berpendidikan rendah. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan individu akan berpengaruh terhadap besar pendapatan yang akan diterimanya. Kemampuan individu menyediakan makanan dalam jumlah yang cukup dipengaruhi oleh pendapatan dan daya beli yang cukup dan berkualitas bahwa 74 pekerjaan secara tidak langsung melalui pendapatan dapat mempengaruhi kebiasaan makan individu. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan lebih dominan daripada kebutuhan non pangan. Sebaliknya, jika pendapatan meningkat maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan akan pangan sudah terpenuhi (Husaini et al. 2000). Menurut Martianto dan Ariani (2004) tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Selain itu, masyarakat berpendapatan rendah juga akan mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan jenis yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang seperti mengkonsumsi tahu dan tempe sebagai pengganti daging. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara pedidikan dengan status gizi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini akhirnya mempengaruhi kesehatan dan status gizi (Riyadi et al. 1990). KERANGKA PEMIKIRAN Anak merupakan aset penting bagi keberlangsungan masa depan suatu Negara. Untuk itu diperlukan asupan energi dan zat gizi yang cukup setiap hari. Konsumsi merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, dan berat badan. Selain faktor tersebut juga dipengaruhi 75