BAB II Tinjauan Pustaka_ I11anm

advertisement
Status Imun
Imunitas
Pengertian awal imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan
lebih spesifik lagi adalah perlindungan terhadap penyakit infeksi. Dalam keadaan
sehat respon imun berfungsi secara efisien sehingga seseorang dapat terhindar
dari dampak yang tidak menguntungkan akibat masuknya subtansi asing.
Apabila ada kelainan dalam sistem pengaturan imunitas, seseorang mungkin
tidak mampu melindungi tubuh dengan respon imun yang efisien. Akan tetapi
sebaliknya mungkin juga pada keadaan tertentu respon imun berlangsung secara
berlebihan sehingga menimbulkan berbagai penyakit (Kresno 2001).
Menurut Surono (2004) kondisi imunitas menentukan kualitas hidup.
Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur pathogen yang
dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada anak normal
umumnya singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen karena tubuh
memiliki sistem imun yang memberikan respons dan melindungi tubuh terhadap
unsur-unsur pathogen. Bellanti & Joseph (1993) menyatakan defisiensi zat gizi
termasuk zat gizi mikro dapat menyebabkan sangat berkurangnya reaktifitas
seluler pada pertumbuhan anak. Zat gizi mikro mempunyai peranan yang penting
dalam proses imunologi sehingga adanya defisiensi zat gizi mikro akan
berpengaruh terhadap respon imun (Muis 2001).
Sistem imun
Sistem imun dapat dibagi menjadi menjadi dua yaitu non spesifik dan
sistem imun spesifik. Mekanisme imunitas spesifik timbul atau bekerja lebih
lambat dibanding imunitas non spesifik. Pembagian sistem imun dalam sistem
imun spesifik dan non spesifik hanya dimaksudkan untuk mempermudah
pengertian saja. Sebenarnya antara kedua sistem imun teresbut terjadi kerja
sama yang erat, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain (Bratawijaya dan
Rengganis 2009). Berikut ini adalah gambaran umum sitem imun menurut
Bratawijaya dan Rengganis 2009.
SISTEM IMUN
53
SPESIFIK
NON SPESIFIK
FISIK
Kulit
Selaput lendir
Silia
Batuk
LARUT
Biokimia
- Lisozim
- Sekresisebaseus
- Asam lambung
- Laktoferin
- Asam neuraminik
Humoral
- Komplemen
- APP
- Mediator asal lipid
- Sitokinin
SELULAR
- Fagosit
* Mononuklear
* Polimononuklear
- Sel NK
- Sel mast
- Basofil
- Eosinofil
- SD
HUMORAL
Sel B
- IgG
- IgA
- IgM
- IgE
- IgD
Sitokinin
SELULAR
Sel T
- Th1
- Th2
- Ts/Tr/Th3
- ThTd
- CTL/Tc
- Th17
Gambar 1 Gambaran umum sistem imun
Sumber: Baratawijaya dan Rengganis (2009).
Menurut Tortora (2004) sistem imun non spesifik adalah sistem
pertahanan tubuh, yang merupakan
komponen normal tubuh yang selalu
ditemukan pada induvidu sehat dan siap mencegah mikroba yang akan masuk
kedalam tubuh. Untuk menyingkirkan mikroba tersebut dengan cepat, imunitas
non spesifik melibatkan kulit dan selaput lendir, fagositosis, inflamasi, demam,
serta produksi komponen-komponen antimikrobial (selain antibodi). Sistem imun
ini disebut non spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah
ada dan siap berfungsi sejak lahir. Sistem ini merupakan pertahanan terdepan
dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon
secara langsung (Bratawijaya 2006).
Imunitas non spesifik jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi , misalnya
jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada banyak penyakit.
Disebut non spesifik karena tidak ditujukan pada mikroba tertentu, telah ada dan
siap berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas terhadap
bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial.
Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan
berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung
(Samik dan Julia
2002).
Berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun spesifik
mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing yang dianggap asing bagi
dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh segera dikenal oleh
54
sitem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imum tersebut.
Benda asing yang sama bila terpajang ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian
dihancurkan. Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan benda
asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem ini disebut spesifik
(Bratawijaya 2006). Peneliti lainnya menjelaskan bahwa disebut imun spesifik
karena jika antigen 1 menyerang tubuh maka antibodi 1 diproduksi untuk
melawan. Jika antigen 2 menyerang maka antibodi 2 diproduksi untuk melawan,
begitu seterusnya (Tortora 2004).
Sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun non
spesifik, tetapi pada umumnya terjadi kerjasama yang baik antara antibodi,
komplemen dan fagosit dengan sel-T makrofag. Antibodi akan muncul apabila
ada antigen yang masuk kedalam tubuh. Sistem imun spesifik hanya dapat
menghancurkan antigen yang telah dikenalnya (Kresno 2001). Secara garis
besar sistem imun terdiri dari dua macam mekanisme, yakni pertahanan selular
dan humoral, dalam hal ini mukosa usus merupakan sisi terpenting yang
berhubungan dengan mikroba (Surono 2004).
Sistem imunitas selular memegang peranan penting dalam pertahanan
terhadap infeksi yang disebabkan oleh kuman-kuman intrasel contohnya virus,
riketsia, mikrobakteria, dan beberapa protozoa (Kresno 2001). Imunitas humoral
terdiri kelompok sel-B yang berperan dalam sintesis antibodi dan merupakan
20% dari limfosit tubuh. Bila sel B dirangsang oleh antigen, sel akan berpoliferasi
dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibody. Antibodi
ini berbentuk humoral (dalam cairan tubuh seperti darah, getah bening). Fungsi
utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus dan
bakteri serta antitoksik (Baratawijaya dan Garna 2002). Antibodi yang lepas
dapat ditemukan dalam serum. Terjadinya respon imun humoral oleh karena
infeksi dengan toksoid atau virus/bakteri yang dimatikan/dilemahkan (kresno
2001).
Penilaian Status Imun
Intregritas respon imun sering dinilai dengan cara mengukur kadar
berbagai jenis kelas immunoglobulin didalam serum seseorang atau dengan
55
mengukur titer antibodi setelah diberikan stimulus antigenis yang cukup (Suyitno
1985). Analisis untuk mengukur respon imun humoral (antibodi) dapat dibagi
menjadi tiga kelas yaitu primary binding test, secondary binding test, dan tertiary
binding test. Metode yang paling sensitif (jumlah antibodi yang dapat dideteksi)
adalah primary binding test yang merupakan suatu metode pengukuran langsung
yang dilakukan pada interaksi antibodi-antigen. Salah satu metode yang
termasuk dalam primary binding test adalah metode ELISA (Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay) (Kindt et al 2007).
IgG adalah antibodi yang paling banyak ditemukan dan mencakup sekitar
80% dari semua imunoglobulin dalam darah. Imunoglobulin dapat ditemukan
dalam darah, limpa, dan usus. Kadar IgG meningkat secara lambat selama
respons primer terhadap suatu antigen, tetapi meningkat secara cepat dengan
kekuatan yang lebih besar pada paparan kedua (Corwin 2001). Terdapat empat
subkelas pada IgG manusia yang dibedakan oleh jumlah dan urutan rantai yang
sesuai dengan penurunan rata-rata kosentrasi serum. Empat subkelas tersebut
antara lain : IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4 (Goldsby et al 2007). Menurut Roitt (1991)
Imunogllobulin G merupakan komponen utama immunoglobulin dalam serum.
Respon imun diukur dengan menganalisis titer IgG total terhadap sampel darah
anak. Kriteria IgG menurut Kurniati (2004) dikelompokkan menjadi tiga kelompok.
Klasifikasi status imun disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi status imun
Kadar titer IgG IU/ml
0,0-1,0 IU/ml
>1,0-1,5
> 1.5 IU/ml
Kategori
Rendah
Cukup
Tinggi
Sumber: Kurniati (2004)
Peran Vitamin dalam Pembentukan Imunitas
Vitamin adalah komponen organik yang diperlukan dalam jumlah kecil,
namun sangat penting untuk reaksi-reaksi metabolik didalam sel, serta
diperlukan untuk pertumbuhan normal dan pemeliharaan kesehatan. Mineral
terutama mineral mikro terdapat (Almatsier 2006). Peran vitamin lam jumlah
sangat kecil dalam tubuh, namun mempunyai peran sangat penting untuk
kehidupan, kesehatan dan reproduksi (Piliang 2006). Menurut IOM (2000) Peran
lain dari vitamin dan mineral adalah sebagai antioksidan yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup manusia.
56
Sistem kekebalan tubuh (imunitas) memerlukan zat gizi antioksidan
antara lain untuk memproduksi dan menjaga keseimbangan sel imun
(hematopoises), vitamin dan mineral sebagai antioksidan untuk melawan
mikroorganisme
penyebab
penyakit
(imunitas
bawaan/innate
dan
dapatan/adaptive). Tubuh memerlukan vitamin dan mineral dalam jumlah yang
cukup agar sistem imun dapat berfungsi secara optimal. Vitamin dan mineral
tertentu seperti vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B6, vitamin B12, zinc,
selenium dan zat besi mempunyai peranan dalam respon imun. Zat besi tersebut
membantu pertahanan tubuh pada tiga level yaitu pertahanan fisik (kulit/mukosa),
seluler dan produksi antibodi. Oleh karena itu kombinasi vitamin dan mineral
dapat membantu sistem perlindungan tubuh bekerja dengan optimal (Wintergrest
et al 2007).
Hasil penelitian Karyadi et al (2002) menunjukkan bahwa anak-anak
kekurangan vitamin A berisiko mengidap penyakit pernafasan dan meningkatkan
keparahan penyakit diare. Hal ini karena terganggunya sel ephitel pada sel
saluran cerna dan pernafasan. Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan
Semba et al (1993) dan Semba (1994) menunjukkan bahwa kekurangan vitamin
A berdampak pada kemampuan membangkitkan respon antibodi terhadap
antigen T. Vitamin A juga terbukti dapat meningkatkan respon antibodi terhadap
antigen spesifik, apositosis dan menjaga intregitas lapisan mukosa (Rahman et al
1999). Peran vitamin A pada sel-sel mukosa diantaranya mukosa saluran cerna
juga telah dibuktikan oleh Kotake-Nara et al (2000).
Status Vitamin A
Vitamin A
Vitamin A adalah sekelompok senyawa organik komplek yang dibutuhkan
oleh tubuh dalam jumlah yang relatif kecil tetapi sangat penting untuk
pertumbuhan dan menjaga kesehatan. Pada umumnya vitamin A tidak dapat
disintesis dari dalam tubuh. Oleh karena itu, untuk mendapatkan jumlah vitamin
yang cukup harus diperoleh dari asupan makanan (Linder 1992). Vitamin A
adalah vitamin larut lemak yang pertama kali ditemukan. Secara luas, vitamin A
merupakan
nama
generik
yang
menyatakan
semua
retinoid
dan
prekusor/provitamin A/Karotenoid yang mempunyai aktivitas biologi sebagai
retinol (Almatsier 2006).
57
Istilah Vitamin A biasa digunakan mencakup berbagai komponen kimia
yang memiliki aktivitas biologis vitamin, yakni karotenoid provitamin A, retinol dan
metabolit aktivnya. Secara fisiologis bentuk aktiv vitamin A yang utama adalah
retinaldehida a dan asam retinoat, keduanya merupakan turunan dari retinol
(Bender 2003).
Peran Vitamin A
Menurut Hartono (2000) Vitamin A diperlukan untuk pertumbuhan dan
perbaikan jaringan tubuh. Selain itu sangat penting untuk kesehatan mata,
melawan bakteri dan infeksi. Apabila kekurangan vitamin A akan mengakibatkan
buta senja, peningkatan kerentanan terhadap infeksi, sering marah dan lesu.
Vitamin A berfungsi membantu perkembangan tulang dan gigi, menyehatkan
struktur sel pada kulit dan membran mukosa, serta membantu penglihatan.
Kemampuan retinoid mempengaruhi perkembangan sel epitel dan kemampuan
meningkatkan aktivitas sistem kekebalan (Almatsier 2000).
Stipanuk (2000) menyebutkan Vitamin A dan metabolismenya dalam
spectrum yang luas mempunyai fungsi biologis antara lain adalah esensial untuk
penglihatan, reproduksi, fungsi imun serta berperan penting dalam diferensiasi
seluler, proliferasi dan pemberian isyarat (Signaling). Selain itu Vitamin A juga
berperan penting dalam proliferasi dan aktivasi limfosid. Vitamin A mempunyai
peran atau fungsi umum dan fungsi yang khas. Vitamin A mutlak dalam
memelihara sel-sel epitel dan memberikan rangsangan bagi pertumbuhan sel-sel
baru. Vitamin A juga memelihara ketahanan tubuh terhadap infeksi, juga
menyebabkan sel hidup lebih lama dan menghambat proses penuaan. Fungsi
Vitamin A yang paling banyak diketahui ialah pada fungsi penglihatan
(Moeljoharjo 1993).
Vitamin A dalam bahan pangan berbentuk beta karoten. Menurut Simon &
Macmillan (1995), beta karoten merupakan zat gizi mikro yang banyak ditemukan
pada buah dan sayur. Di dalam tubuh, beta karoten dikonversi menjadi Vitamin
A. Beta karoten memiliki keuntungan lain yaitu sebagai antioksidan. Antioksidan
adalah suatu subtansi yang dapat membantu melawan proses pembentukan
radikal bebas, molekul yang tidak stabil dan dapat merusak sel. Radikal bebas
yang terbentuk didalam tubuh saat metabolisme tubuh tidak normal diakibatkan
faktor lingkungan seperti sinar x, merokok, konsumsi alkohol, dan zat pencemar
58
lainnya. Aktivitas antioksidan dari beta karoten mengatur pencegahan kanker dan
sakit jantung serta dapat meningkatkan sistem imun.
Pangan Sumber Vitamin A
Pangan yang menjadi sumber beta karoten adalah wortel, brokoli, bayam,
dan apricot (Simon & Macmillan 1995). Berkenaan dengan karotenoid, wortel dan
sayuran hijau daun, seperti bayam secara umum mengandung karotenoid dalam
jumlah yang besar. Meskipun tomat mengandung beberapa vitamin A dengan
karotenoid aktif, pigmen yang dikandung yakni lycopene, yang tidak memiliki
aktivasi gizi. Buah-buahan seperti pepaya dan jeruk mengandung karotenoid
yang dapat diperhitungkan. Sedangkan sereal seperti gandum secara umum
mengandung sangat sedikit vitamin A (Olson 1990).
Sumber vitamin A adalah bahan makanan yang berasal dari hewani,
terutama minyak ikan laut yang berasal dari hati ikan. Ikan laut dan mamalia
menghasilkan vitamin A1, sedangkan ikan air tawar mengandung terutama
vitamin A2. Sumber vitamin A yang lazim dikonsumsi ialah susu segar dan telur.
Secara tidak langsung vitamin A berasal dari pigmen tumbuhan berupa senyawasenyawa karotena, yang dalam saluran pencernaan diubah menjadi vitamin A
(Moeljoharjo 1993). Pangan hewani asal ternak adalah sumber gizi yang dapat
daiandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat yang kaya akan
vitamin A. Termasuk kedalam pangan hewani adalah telur, daging, susu dan ikan
(Khomsan 2004).
Kecukupan Vitamin A
Banyak sekali keadaan yang mempengaruhi keadaan status vitamin A
seseorang. Salah satu faktor yang terpenting ialah kecukupan asupan vitamin A
dan provitamin A. Asupan yang dianjurkan bergantung pada usia, jenis kelamin
serta keadaan fisiologis (Arisman 2002). Angka kecukupan vitamin A adalah
jumlah vitamin A yang harus dikonsumsi per hari untuk mempertahankan status
vitamin A pada level memuaskan atau cukup.
Kecukupan protein merupakan persyaratan bagi transportasi dan
penggunaan vitamin A secara optimal, kadar retinol serum akan menurun jika
terdapat kekurangan energi dan protein (KEP). Tanda-tanda defisiensi vitamin A
dapat pula terjadi sebagai fenomena sekunder KEP tanpa tergantung apakah
asupan vitamin A nya mencukupi atau tidak. Keadaan ini disebabkan oleh
gangguan sintesis RBP ( retinol binding protein; protein pengikat retinol) yang
59
membuat protein tidak tersedia untuk mengangkut retinol. Keadaan ini turut
menimbulkan gangguan respon imun yang berat terhadap infeksi sebagai akibat
defisiensi fungsional vitamin A maupun gangguan respon imun yang menyertai
gizi kurang tersebut (Hartono 2009).
Mengingat penting dan banyaknya peran vitamin A, maka kekurangan
asupan vitamin A dapat menyebabkan beberapa konsekuensi serius (Muhilal &
Sulaeman 2004). Seseorang dikatakan memiliki level vitamin A cukup apabila
dalam hatinya mengandung >20 µg/g berat basah, dan tidak menunjukkan tanda
defisiensi walaupun tanpa asupan vitamin A selama 3 bulan. Ada berbagai
standard mengenai angka kecukupan vitamin A anak. Angka kecukupan vitamin
A anak yang digunakan untuk menghitung kecukupan vitamin A dalam penelitian
ini adalah menurut Muhilal dan Sulaeman (2004). Adapun kecukupan vitamin A
anak disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Angka kecukupan vitamin A untuk anak-anak (µg RE/hari)
Kelompok umur
Angka
IOM
Kecukupan (2002)
(1998)
1-3 tahun
350
300
4-6 tahun
400
400
7-9 tahun
400
400
Sumber: Muhilal dan Sulaeman (2004)
FAO/WHO
(2002)
FNRI
(2002)
400
450
500
400
450
400
Angka
Kecukupan
(2004)
400
450
500
Penilaian Status Vitamin A
Penentuan status vitamin A dilakukan untuk melihat kadar vitamin A
dalam tubuh seseorang. Tubuh menyimpan vitamin A di hati dalam bentuk retinil
ester. Pengukuran cadangan vitamin A dalam hati merupakan indeks terbaik
untuk mengetahui status vitamin A, namun pengukuran dengan cara biopsi tidak
mungkin dilakukan pada penelitian di lapangan. Karena tidak memungkinkan,
total serum vitamin A atau konsentrasi retinol serum lebih sering digunakan
sebagai gantinya (Gibson 2005).
Retinol serum diukur secara intra vena untuk mengetahui keadaan
defisiensi Vitamin A pada sampel. Seseorang dikatakan kekurangan vitamin A
jika kadar vitamin A dalam serumnya < 20 µg/dl. Menurut Sommer dan West
(1996) status vitamin A seseorang juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
kandungan vitamin A dalam serum darah Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3 Klasifikasi status vitamin A
60
Kadar Serum
µg/dl
µmol/liter
≥ 20
≥ 0,Ò
10 – 20
0,35 – 0,69
< 10
< 0,35
Sumber: Sommer dan West (1996).
Status vitamin A
Normal
Low
Deficient
Konsentrasi retinol serum dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan ras.
Selain itu, konsentrasi retinol serum juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi pengeluaran holo-RBP. Faktor lain yang berpengaruh adalah
asupan lemak yang rendah dalam makanan, misalnya asupan kurang dari 5-10
g/hari akan mengganggu absorpsi provitamin A (karoten) dan pada jangka
panjang
menurunkan
konsentrasi
retinol.
Kurang
energi
protein
dapat
menurunkan apo-RBP, kekurangan zinc dapat menurunkan kadar retinol karena
peranannya dalam sintesa hepatik atau sekresi RBP (Gibson 2005). Retinol
serum dapat ditentukan dengan spektrofotometri atau menggunakan HPLC (High
Perfomance Liquid Chromatography). HPLC dapat membedakan retinol dari
retinil ester sedangkan metode lain hanya mengukur total serum vitamin A
Menurut Linder (1992) Devisiensi Vitamin A menyebabkan sekresi sel
mukosa dan terjadinya penggantian sel epitel dengan lapisan tebal, bertanduk,
lapisan epithelium dibeberapa bagian tubuh, termasuk keratinisasi epitel korne,
paru-paru, kulit dan mukosa intestinal serta dapat menurunkan sel goblet
intestinal dan permukaan vilus. Menurunnya sel goblet dalam usus dapat
menurunkan kemampuan sistem untuk menahan organisme pathogen (Brody
1994). Devisiensi Vitamin A pada anak-anak berhubungan dengan angka infeksi
dan angka kematian. Indikator Defisiensi Vitamin A antara lain dapat dilihat dari
konsentrasi retinol dalam serum (Sommer dan West 1996; Beaten et al 2004).
Kekurangan vitamin A menyebabkan intregitas mukosa epitel terganggu,
hal ini sebagian besar disebabkan karena hilangnya sel goblet penghasil mukus.
Konsekwensinya adalah meningkatkan kerentanan terhadap kuman pathogen di
mata dan saluran nafas serta saluran pencernaan. Hal ini dapat diperkuat
dengan penelitian dimana anak-anak kekurangan vitamin A menderita penyakit
saluran nafas (Karyadi et al 2002; Long et al 2006).
Kelebihan vitamin A dapat terjadi jika mengkonsumsi vitamin A dengan
jumlah
yang
berlebihan
dalam
jangka
waktu
lama.
Kelebihan
dapat
menyebabkan kerusakan hati, sakit pada tulang sendi, alopecia, sakit kepala,
muntah dan kulit mongering(FAO/WHO 2001). Kelebihan terjadi bila konsumsi
61
vitamin A dalam bentuk vitamin A. Beberapa studi menunjukkan, vitamin A dosis
tinggi dapat meningkatkan respon antibodi terhadap tetanus toxoid (Semba et al
1992). Perbaikan status vitamin A dapat memulihkan aktivitas IFN, dan aktivitas
sel NK dalam darah mononuklear anak-anak yang terkena campak stadium
parah (Griffin et al 1990).
Metabolisme Vitamin A dalam Tubuh
Proses metabolisme vitamin A secara keseluruhan dapat digambarkan
oleh dua fungsi biologis utama yaitu menyediakan jumlah retinoid yang cukup
untuk jaringan di tubuh yang digunakan dalam produksi asam retinoat untuk
proses diferensiasi jaringan dan ekspresi gen, dan menyediakan retinol untuk
produksi 11-cis-retinal yang berada dalam retina (Ross & Harison 2007). Vitamin
A dalam makanan sebagian besar terdapat dalam bentuk retinil ester, bersama
karotenoid bercampur dengan lipida lain di dalam lambung. Ester retinil
dihidrolisis oleh enzim-enzim pankreas esterase menjadi retinol yang lebih efisien
diabsorpsi daripada ester retinil di dalam sel-sel mukosa usus halus.
Sebagian dari karotenoid, terutama β-karoten di dalam sitoplasma sel
mukosa usus halus dipecah
menjadi retinol (Almatsier 2005).
Retinol
diesterifikasi dalam mukosa intestinal, diikat kedalam chylomicron dan dibawa ke
saluran darah melalui sirkulasi lymph. Vitamin A dalam tubuh disimpan dalam
hati dengan bentuk retinil ester sekitar 90%. Hati mempunyai kemampuan
menyimpan
vitamin
A
yang
cukup
untuk
beberapa
bulan.
Kapasitas
penyimpanan pada anak-anak lebih kecil dibanding dengan orang dewasa.
Bersama-sama dengan Retinol Binding Protein (RBP) dan transtiretin, retinol
keluar dari hati (Semba 2002).
Kehilangan simpanan vitamin A ini biasanya terjadi karena asupan
vitamin A tidak mencukupi selama satu periode waktu tertentu kendati kehilangan
vitamin A tersebut akan meningkat dengan infeksi yang menyertai. Laju
pemakaian vitamin A oleh jaringan tertentu dapat menunjukkan adanya adaptasi
terhadap ketersediaan vitamin A yang berkurang. Adaptasi homeostatik dan
pendaurulangan ini berfungsi untuk mempertahankan kadar vitamin A yang
relative konstan dalam darah sampai simpanan didalam tubuh terpakai dibawah
nilai batas yang menentukan Hartono (2009).
Pengambilan retinol oleh berbagai sel tubuh bergantung pada reseptor
pada permukaan membran yang spesifik untuk RBP. Retinol kemudian diangkut
62
melalui membran sel untuk kemudian diikatkan pada Cellular Retinol Binding
rotein (CRBP) dan RBP kemudian dilepaskan (Almatsier 2005). Menurut
Almatsier (2005), bila tubuh mengalami kekurangan konsumsi vitamin A, asam
retinoat diabsorpsi tanpa perubahan. Asam retinoat merupakan sebagian kecil
dari vitamin A dalam darah yang aktif dalam diferensiasi sel dan pertumbuhan.
Status Gizi Berdasarkan Antropometri
Status
gizi
sebagai
keadaan
kesehatan
tubuh
seseorang
yang
diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi)
zat-zat gizi makanan (Riyadi 1995). Menurut Almatsier (2001) status gizi adalah
keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.
Gibson (2005) mendefinisikan status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang
atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, peyerapan, dan
penggunaan zat gizi makanan. Menilai status gizi seseorang dapat memberikan
gambaran tentang baik atau tidaknya status gizi orang tersebut. Menurut
Astawan & Wahyuni (1988), status gizi seseorang merupakan refleksi dari mutu
makanan yang dimakan sehari-hari. Susunan makanan yang memenuhi
kebutuhan gizi tubuh dapat menciptakan status gizi yang memuaskan.
Penilaian status gizi seseorang dapat dilakukan dengan cara pengukuran
langsung dan tidak langsung. Pengukuran status gizi secara langsung menurut
Suparisa et al (2002) ada empat macam, yakni: secara antripometri, klinis,
biokimia, dan biofisik; sedangkan pengukuran tidak langsung seperti survei
konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Pada penilaian berbasis
masyarakat cara pengukuran yang sering digunakan adalah metode antropometri
gizi. Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya
tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri ialah ukuran dari tubuh.
Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai
ketidak seimbangan protein dan energi (Hartono A 2005, Suparisa IDN et al
2002).
Pengukuran Status Gizi
Pengukuran status gizi yang paling sering dan umum digunakan adalah
penilaian status gizi secara antropometri, yaitu menggunakan ukuran tubuh
manusia. Parameter yang digunakan antara lain berat badan (BB) dan tinggi
badan (TB). Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.
Indeks antropometri yang dugunakan antara lain BB/U, TB/U dan BB/TB.
63
Perbedaan penggunaan indeks akan memberikan gambaran status gizi yang
berbeda dan saling melengkapi keterbatasannya (Suharjo dan Riyadi 1990).
Status gizi berdasarkan indikator indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)
menunjukkan status gizi seseorang pada masa yang relative lama, sedangkan
berat badan menurut umur (BB/U) dan berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) menunjukkan status gizi seseorang pada masa kini dan relatif mudah
berubah (Roedjito 1989).
Suharjo & Riyadi (1990) mengungkapkan dalam keadaan normal tinggi
badan tumbuh dengan pertambahan umur. Pertambahan tinggi badan kurang
sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek, artinya pengaruh defisiensi gizi
terhadap tinggi badan akan nampak pada saat yang cukup lama. Kelebihan
indeks BB/U adalah lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat
umum, sensitif untuk melihat perubahan status jangka pendek dan meneteksi
kegemukan. Sedangkan kelemahannya adalah dapat mengakibatkan kekeliruan
interpretasi status gizi jika terdapat pembengkakan atau edema, memerlukan
data umur yang akurat, dan sering terjadi kesalahan pengukuran misalnya
pakaian atau gerakan anak pada saat menimbang.
Tinggi
badan
(TB)
merupakan
indikator
antropometri
yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam kondisi normal, TB
tumbuh seiring pertambahan umur. Namun indeks TB/U relatif kurang sensitif
terhadap masalah kekurangan gizi dalam kurun waktu pendek. Kelebihan indeks
TB/U yaitu baik untuk menilai status gizi masa lampau dan alat ukur panjang
badan
dapat
dibuat
sendiri,
murah
dan
mudah
dibawa.
Sedangkan
kelemahannya adalah TB tidak cepat naik, pengukuran relatif sulit karena harus
berdiri tegak sehingga diperlukan lebih dari satu orang untuk pengukuran TB
serta ketepatan umur sulit didapat (Suharjo & Riyadi 1990).
Pengukuran antropometri terbaik menurut Soekirman (2000) adalah
menggunakan indikator BB/TB karena ukuran ini dapat menggambarkan status
gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Artinya anak yang BB/TB kurang
dikategorikan sebagi kurus (wasted). Kelebihan berat badan indeks BB/TB
adalah bebas dari pengaruh umur dan ras, dapat memberi gambaran proporsi
berat badan relatif terhadap tinggi badan. Sedangkan kelemahannya adalah
sering terjadi kesulitan ketika mengukur panjang badan anak dan sering terjadi
kesalahan membaca angka hasil pengukuran
terutama bila pembacaan
dilakukan oleh tenaga non professional.
64
Indikator BB/TB , berat badan berkorelasi linear dengan tinggi badan,
artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti
pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat
badan anak yang normal akan proporsional dengan tinggi badan anak. Hal ini
terutama dapat dilihat setelah hasil pengukuran BB dan TB diolah dan ditentukan
nilai Z-skor. Penilaian status gizi berdasarkan Z-skor dilakukan dengan melihat
distribusi normal kurva pertumbuhan anak. Nilai tersebut menunjukkan jarak nilai
baku median dalam unit simpangan baku (standar deviasi) dengan asumsi
distribusi
normal.
Nilai
Z-skor
masing-masing
anak
dihitung
dengan
menggunakan rumus (Gibson 1990) sebagai berikut:
(Xi-Mi)
Zsci = ———
Sbi
Keterangan:
i
= umur (bulan)
Zsci = nilai Z-skor untuk nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan
ke-i
Xi
= nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i
Mi
= nilai baku median untuk umur bulan ke-i
Sbi
= nilai simpangan baku pada umur bulan ke-i
Ada tiga tingkatan niali Z-skor yang diperoleh, yaitu Z-skor BB/U, Z-skor
BB/TB dan Z-skor TB/U. penentuan Z-skor tersebut tersebut didasarkan pada
referensi WHO/NCHS. Hasil penentuan Z-skor terhadap masing-masing individu
kemudian dibandingkan dengan distribusi baku WHO/NCHS (2006) dengan titik
batas (cut-off-point) Z-skor adalah -2. Berikut adalah Tabel 4 klasifiksi status gizi
berdasarkan nilai Z-skor.
Tabel 4 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Z-skor WHO-NCHS (2006)
Indikator
BB/U
Kriteria
Gizi Lebih
Gizi Baik
Gizi Kurang
Gizi Buruk
TB/U
Normal
Pendek/Stunted
BB/TB
Gemuk
Normal
Kurus/Wasted
Sangat Kurus
Sumber: WHO NCHS (2006).
Standar
>2,0 SD baku WHO-NCHS
-2,0 SD s/d 2 SD
<-2,0 SD
<-3,0 SD
>-2,0 SD
<-2,0 SD baku WHO-NCHS
>2,0 SD baku WHO-NCHS
-2,0 SD s/d 2 SD
<-2,0 SD
<-3,0 SD
Penggunaan penilaian status gizi berdasarkan Z-skor mempunyai
keuntungan diantaranya adalah a) batas ambang yang digunakan untuk masingmasing indeks antropometri sama misalnya, untuk katergori KEP batas abangnya
65
dibawah -2 SD; b) Hasil perhitungan telah dibakukan menurut standar deviasi
sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks
antropometeri; c) Dapat dipergunakan untuk kebutuhan penilaian status gizi
secara darurat untuk melihat perbandingan antar waktu, antar wilayah dan antar
kelompok; d) Dapat mengetahui populasi yang mengalami kurang gizi akut dan
kronik dalam keadaan kurus atau pendek. Sedangkan kelamahan penilaian
dengan Z-skor adalah keadaan status gizi masing-masing indeks tidak sama
(Jahari dkk 2000).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Menurut Apriaji (1986) faktor-faktor yang berperan dalam menentukan
status gizi seseorang terdiri dari dua bagian, yaitu faktor eksternal dan faktor
internal. Faktor eksternal yaitu faktor yang berpengaruh dari luar diri seseorang
(konsumsi makan, tingkat pendidikan, pengetahuan gizi, latar belakang sosial
budaya serta kebersihan lingkungan). Faktor internal yang dimaksud adalah
faktor yang menjadi dasar pemenuhan tingkat kebutuhan gizi seseorang (status
kesehatan, umur, dan jenis kelamin).
Tingkat kecukupan gizi juga mempengaruhi status gizi seseorang.
Konsumsi zat gizi yang cukup sesuai dengan angka kebutuhan gizi yang
dianjurkan untuk setiap individu akan mengakibatkan status gizi yang baik pada
seseorang. Sebaliknya jika konsumsi zat gizi berlebih atau kekurangan akan
menimbulkan status gizi berlebih atau kurang pada seseorang. Kekurangan atau
kelebihan konsumsi gizi dari kebutuhan normal jika berlangsung dalam jangka
waktu yang lama dapat membahayakan kesehatan (Hardinsyah & Martianto
1992). Status gizi seseorang dipengaruhi oleh jumlah dan mutu pangan yang
dikonsumsi
serta
keadaan
tubuh
yang
dapat
menyebabkan
gangguan
penyerapan gizi atau parasit (Suharjo 1989).
Gizi kurang terjadi karena konsumsi energi memang tidak mencukupi
kebutuhan sehingga mengakibatkan hampir seluruh zat gizi lainnya ikut
berkurang. Kekurangan zat gizi khususnya energi dan protein pada tahap awal
akan menimbulkan rasa lapar, dalam jangka waktu tertentu berat badan menurun
disertai dengan menurunnya kemampuan kerja (Hardinsyah & Martianto 1989).
Konsumsi energi dan zat gizi mempengaruhi keadaan gizi anak. Energi dan
protein berperan secara timbal balik antara keduanya terhadap pertumbuhan
anak. Kurang gizi merupakan hasil akhir kesinambungan mekanisme perubahan
66
anatomi dan penurunan fungsi tubuh akibat kekurangan asupan energi dan zat
gizi (Waterlow et al 1992)
Menurut Almatsier (2002) status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami
kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial, sehingga menimbulkan akibat
yang membahayakan, yakni terjadinya gangguan/masalah gizi. Gangguan gizi
disebabkan oleh masalah primer dan sekunder. Faktor primer, yakni susunan
makanan kurang berkualitas dan kurang kuantitasnya, dan faktor sekunder
adalah semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh
setelah makanan dikonsumsi.
Konsumsi Pangan
Konsumsi merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh
setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat gizi.
Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk
terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada
berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim dan aktivitas fisik
(Almatsier 2003). Menurut Wulandari (2000) konsumsi pangan secara garis
besar adalah kuantitas pangan dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok
orang dengan tujuan tertentu dengan jenis pangan tunggal ataupun beragam.
Frekuensi makan dapat menunjukkan tingkat kecukupan konsumsi gizi.
Semakin
tinggi
frekuensi
makan,
maka
semakin
besar
kemungkinan
terpenuhinya kecukupan gizi. Frekuensi makan pada seseorang dengan kondisi
ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan kondisi
ekonomi lemah. Hal ini disebabkan orang dengan kondisi ekonomi yang lebih
tinggi memiliki daya beli yang tinggi sehingga dapat mengkonsumsi makanan
dengan frekuensi lebih tinggi. Cerminan kebiasaan makan individu atau keluarga
merupakan fungsi dari pola konsumsi pangan individu atau keluarga. Salah satu
aspek kebiasaan makan adalah frekuensi makan per hari (Khomsan 1993).
Menurut Hardinsyah & Martianto (1992) ada tiga yang mempengaruhi
konsumsi pangan yaitu kualitas dan ragam pangan yang tersedia dari produksi,
pendapatan dan tingkat pengetahuan gizi. Konsumsi pangan adalah informasi
tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang
(sekeluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa
telaah tentang konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang
dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi.
67
Karakteristik individu anak sekolah dasar (umur, jenis kelamin, berat
badan, dan kondisi sosial ekonomi keluarga) dapat mempengaruhi pola dan
tingkat konsumsi pangannya. Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat
hidup sehat dan mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi
yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan untuk
melakukan kegiatan (internal dan eksternal), aktivitas dan mempertahankan daya
tahan tubuh. Kebutuhan gizi merupakan sejumlah zat gizi minimal yang harus
dipenuhi dari konsumsi makanan. Kekurangan atau kelebihan konsumsi zat gizi
dari kebutuhan normal jika berlangsung dalam jangka waktu lama dapat
membahayakan kesehatan (Hardinsyah & Martianto 1992).
Metode food recall adalah metode penilaian konsumsi pangan dimana
pewawancara menanyakan apa yang telah dikonsumsi oleh responden.
Wawancara dilakukan berdasarkan suatu daftar pertanyaan atau kuisioner yang
telah dipersiapkan terlebih dahulu. Ditanyakan dengan lengkap apa yang telah
dikonsumsi ketika makan pagi, siang, makan dan selingan/ makanan kecil diluar
waktu makan. Tanggal waktu makan serta besar porsi setiap makanan dicatat
dengan teliti. Hasil pencatatan wawancara kemudian diolah, dikembalikan
kepada bentuk bahan mentah dan dihitung zat-zat gizinya berdasarkan Daftar
Komposisi Bahan Makanan (DKBM) yang berlaku. Masing-masing zat gizi
dijumlahkan dan dihitung rata-rata konsumsi setiap hari (Sediaoetama 2006).
Kebutuhan Energi dan Zat Gizi
Zat gizi
merupakan unsur-unsur yang terdapat dalam makanan dan
diperlukan oleh tubuh untuk berbagai keperluan seperti menghasilkan energi,
mengganti jaringan aus serta rusak, memproduksi subtansi tertentu misalnya
enzim, hormone dan antibodi. Zat gizi dapat dibagi menjadi kelompok
makronutrien yang terdiri atas karbohidrat, lemak serta protein dan kelompok
mikronutien yang terdiri atas vitamin serta mineral (Harono 2006).
Energi yang diperlukan anak usia sekolah sangat beragam, oleh karena
itu penting mengetahui tinggi dan berat badannya tiap bulan untuk menentukan
kebutuhan energinya (Endres et al 2004). Menurut Almatsier (2003) menyatakan
pada anak-anak, ibu hamil dan ibu menyusui kebutuhan energi termasuk
kebutuhan untuk pembentukan jaringan-jaringan baru. Protein memiliki peran
yang sangat penting bagi tubuh yaitu sumber energi, pertumbuhan dan
pemeliharaan,
pembentukkan
ikatan-ikatan
esensial
tubuh,
mengatur
68
keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, membentuk antibodi dan
mengangkut zat-zat gizi (Almatsier 2003). Didalam tubuh lemak berfungsi
sebagai cadangan energi dalam bentuk jaringan lemak yang ditimbun ditempattempat tertentu (Soediaoetama 2006).
Kecukupan protein merupakan persyaratan bagi trasportasi pada
penggunaan vitamin A secara optimal, kadar retinol serum akan menurun jika
terdapat kekurangan energi protein (KEP). Tanda defisiensi vitamin A dapat pula
terjadi sebagai fenomena sekunder KEP tanpa tergantung apakah asupan
vitamin A-nya mencukupi atau tidak. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan
sintesis RBP (retinol binding protein; protein pengikat retinol) yang membuat
protein tersebut tersedia untuk mengangkut retinol. Keadaan ini turut
menimbulkan respon imun yang berat terhadap infeksi sebagai akibat defisiensi
fungsional vitamin A maupun gangguan respon imun yang menyertai gizi kurang
tersebut (Hartono 2009).
Perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi
yang dianjurkan disebut sebagai tingkat kecukupan zat gizi. Klasifikasi tingkat
kecukupan energi dan protein menurut Depkes (1996) diacu dalam Sukandar
(2007) adalah: 10 defisit tingkat berat (<70% AKG; 2) deficit tingkat sedang (7079% AKG); deficit tingkat ringan (80-89% AKG); 4) normal (90-119% AKG);
kelebihan (>120% AKG). Klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral
menurut Gibson (2005) yaitu, kurang (<77% AKG) dan cukup (> 77% AKG).
Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan
membandingkan antara konsumsi zat gizi actual (nyata) dengan kecukupan zat
gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen.
Morbiditas
Morbiditas dan status gizi merupakan variabel yang mencerminkan status
kesehatan. Morbiditas ini meliputi prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak
menular. Derajat kesehatan atau status kesehatan adalah tingkat kesehatan
perorangan, kelompok atau masyarakat yang diukur dengan angka kematian,
umur harapan hidup, status gizi, dan angka kesakitan (morbiditas). Kesehatan
merupakan masalah yang kompleks hingga tidak mungkin diukur semua faktor
yang mempengaruhinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena
itu diperlukan suatu alat yang dapat memberi indikasi untuk menggambarkan
keadaan kesehatan. Alat tersebut ialah indikator. Indikator kesehatan dapat
69
digunakan untuk mengukur status kesehatan, memonitor kemajuan keadaan
kesehatan dan merupakan alat bantu dalam mengadakan evaluasi program
kesehatan Depkes (2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi Morbiditas
Menurut Undang-undang No. 9 Bab I, pasal 2 tentang pokok-pokok
Kesehatan, yang dimaksud dengan sehat adalah sehat jasmani, rohani (jiwa dan
mental) dan sosial bukan hanya bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan.
Sehat rohani adalah kondisi sosial yang memungkinkan setiap warga negara
mampu
memelihara
kehidupannya
serta
keluarganya.
Faktor
yang
mempengaruhi kesehatan adalah penyebab penyakit, manusia, dan lingkungan.
Gangguan keseimbangan diantara ketiga faktor tersebut menimbulkan gangguan
kesehatan yang menyebabkan penurunan derajat kesehatan seseorang.
Penyebab penyakit dapat berasal dari dalam maupun luar tubuh. Daya tahan
tubuh manusia akan mempengaruhi kemudahan terkena penyakit. Lingkungan
adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia dan dapat mempengaruhi
kehidupannya (Subandriyo & Hartanti 1994).
Menurut
Subandriyo
(1993),
angka
kesakitan
(morbiditas)
lebih
mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya, sebab kejadian kesakitan
mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai faktor lingkungan, seperti
perumahan, air minum dan kebersihan serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi
serta pelayanan kesehatan di daerah tersebut. Sedangkan angka kematian lebih
banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi kedokteran sehingga kurang
mencerminkan keadaan kesehatan yang sesungguhnya.
Keterkaitan Morbiditas dengan Status Gizi
Antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak-balik. Infeksi
dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanisme. Yang paling
penting ialah efek langsung dari infeksi sistemik pada katabolisme jaringan.
Walaupun hanya terjadi infeksi ringan sudah akan menimbulkan kehilangan
nitrogen. Infeksi yang akut mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi
terhadap makanan. Orang yang mengalami gizi kurang, daya tahan tubuh
terhadap penyakit menjadi rendah, sehingga mudah terkena serangan penyakit
infeksi (Suhardjo 1989).
Keadaan kesehatan atau adanya infeksi akan berpengaruh terhadap
status gizi. Penurunan keadaan gizi dan pertumbuhan akibat adanya kejadian
70
sakit (morbiditas), mekanismenya mencakup penurunan asupan makanan,
gangguan penyerapan, gangguan peningkatan kebutuhan gizi, serta peningkatan
kerusakan jaringan (Latham 1997). Ada hubungan yang sinergistik antara
kejadian sakit dengan status gizi. Infeksi bersama-sama penurunan asupan
makanan merupakan sebab utama kurang gizi (Waterlow 1992).
Penyakit Infeksi
Penyakit
infeksi
merupakan
penyakit
yang
disebabkan
oleh
mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, protozoa, cacing dan sebagainya
(Shulman et al 1994; Entjang 2000). Proses terjadinya penyakit infeksi karena
adanya bibit penyakit (agent) yang masuk kedalam tubuh manusia rentan (host).
Morbiditas menyebakan berkurangnya aktivitas anak, menyebabkan terjadinya
anoreksia, pengurangan asupan makanan dengan sengaja (Satoto 1990)
Infeksi yang sering terjadi pada anak-anak adalah infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) dan Infeksi saluran makanan, yang umum adalah diare.
Infeksi saluran pernapasan akut merupakan penyebab masalah kesehatan paling
umum terjadi didunia. Meskipun penyakit ini belum didefinisikan kedalam
kelompok penyakit, namun infeksi pernapasan akut termasuk di dalamnya batuk
influenza, pneumonia, bronchitis, dan sejumlah penyakit infeksi lainnya.
Kebanyakan infeksi pernapasan ditemukan dibagian dunia yang lebih dingin atau
didataran tinggi daerah tropis (Webber 2005).
Defisiensi
vitamin
A
merupakan
predisposisi
yang
memudahkan
seseorang seseorang untuk menderita infeksi berat. Dalam sebuah penelitian
prospektif di Indonesia, anak-anak prasekolah yang menderita penyakit diare
akut atau infeksi saluran pernafasan akut menghadapi kemungkinan terkena
xeroftalmia dalam periode 3 bulan berikutnya sebesar dua kali lipat dibandingkan
anak-anak yang sehat. Defisiensi vitamin A dan infeksi saling berinteraksi ketika
satu kambuh, maka kerentanan terhadap yang lain akan meningkat. Infeksi dapat
menimbulkan defisiensi vitamin A melalui berbagai cara menurut penyebab,
durasi, dan intensitas infeksi, serta status vitamin A dalam tubuh penderita pada
saat infeksi. Kadar retinol darah akan menurun sesudah terjadinya infeksi dan
penurunan ini disebabkan oleh berkurangnya asupan atau penyerapan vitamin A
dari makanan sebagai akibat dari diare atau adanya kuman pahogen intestinal,
gangguan atau percepatan pemakaian simpanan retinol dalam hati, peningkatan
71
pemakaian retinol oleh jaringan target, atau peningkatan kehilangan retinol
melalui urin yang berkaitan dengan respon fase akut (Hartono 2009).
Diare berkaitan secara khusus dengan status gizi anak, dampak diare
terhadap status gizi lebih besar dari pada infeksi lain karena selama diare terjadi
gangguan asupan, gangguan absorbsi dan gangguan metabolisme secara
bersamaan (Scrimshaw et al 1983). Diare adalah suatu kondisi buang air besar
dengan konsistensi yang lembek sampai encer bahkan dapat berupa air saja
yang terjadi lebih sering dari biasa (tiga kali atau lebih sehari). Tanda-tanda diare
diantaranya adalah buang air besar encer terus-menerus (lebih dari tiga kali
sehari) kadang disertai muntah (muntaber) dan panas, nafsu makan berkurang
dan selalu haus serta badan lesu dan lemas (Latifah et al 2002).
Diare akut lebih mudah diobati dibandingkan yang kronis. Diare akut akan
segera hilang setelah gejala atau penyebabnya teratasi. Pengobatan diare kronis
lebih spesifik sebab terlebih dahulu harus menemukan penyebabnya sebelum
dilakukan tindakan pengobatan. Diare akut dapat menyebabkan tubuh kurang
cairan (dehidrasi). Sebaliknya diare kronis yang berkepanjangan dapat
menyebabkan kurang gizi (Subandriyo 2000).
Demam termasuk tanda bahwa tubuh terkena infeksi yang ditunjukkan
dengan naiknya suhu tubuh. Suhu tubuh manusia merupakan hasil akhir dari
produksi panas pada proses metabolic, aktivitas otot dan kehilangan panas.
Suhu normal tubuh sekitar 37 C. Pada saat demam, suhu tubuh mencapai 41 C.
Demam biasanya terjadi akibat tubuh terpapar infeksi mikroorganisme (virus,
bakteri, parasit). Demam juga bisa disebabkan oleh faktor non infeksi seperti
kompleks imun, atau inflamasi (peradangan) lainnya (Shulman et al 1994).
Anak Sekolah Dasar
Hurlock (1999) mengelompokkan anak usia sekolah dasar berdasarkan
perkembangan psikologis yang disebut sebagai Late Childhood. Usia sekolah
dimulai pada usia 6 tahun dan berakhir pada saat individu menunjukkan
kematangan seksualnya antara usia 13 sampai 14 tahun. Menurut Yusuf dalam
Kusumaningrum (2006), masa usia sekolah dasar dibagi menjagi dua fase, yaitu
masa kelas rendah berumur 6 sampai 9 tahun dan masa kelas tinggi 12 sampai
13 tahun.
Anak usia sekolah adalah masa dimana mereka harus bermain tanpa
diperhatikan orang tua saat bermain dapat mengetahui cara bergaul dengan
72
teman sebaya secara baik. Pada usia ini anak diharapkan memperoleh dasardasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri
pada kehidupan dewasa, dan mempelajari berbagai keterampilan penting
tertentu Hurlock (1999). Usia sekolah merupakan awal seorang anak belajar
bertanggung jawab terhadap sikap dan perilakunya. Anak usia sekolah biasanya
mempunyai lebih banyak perhatian dan aktivitas diluar rumah, sehingga sering
melupakan waktu makan. Anak usia sekolah telah mempunyai daya tahan yang
cukup terhadap berbagai penyakit (RSCM dan Persagi 1990)
Anak usia sekolah dasar mempunyai sifat yang berubah-ubah terhadap
makanan, selalu ingin mencoba makanan yang baru dikenalnya dan secara
umum mereka tidak pernah mengalami masalah dalam hal nafsu makan
(Komalasari 1991). Menurut Akbar (2005) menyatakan pada periode ini terjadi
perkembangan sosialisasi yang menonjol pada anak. Diantaranya adalah
pergaulan anak menjadi lebih luas, dan tidak terbatas hanya dengan anggota
keluarga di rumah. Masa sekolah memberikan kesempatan kepada anak untuk
lebih banyak bergaul dengan teman sebayanya. Selain itu, pada usia sekolah
terjadi perkembangan intelegensi, minat, emosi dan kepribadian.
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga
Menurut Hartog et al (1995) karakteristik sosial ekonomi keluarga
dinegara berkembang dikategorikan ke dalam tiga kelas yiatu tinggi, menengah
dan bawah. Status sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari besarnya
pendapatan atau pengeluaran keluarga, baik pangan maupun non pangan
selama setahun terkhir. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan
cenderung lebih dominan dari pada kebutuhan non pangan. Sebaliknya jika
pendapatan meningkat maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin
besar, mengingat kebutuhan pokok makanan sudah terpenuhi (Husaini et al.
2000). Hal ini sesuai dengan Hukum Engel bahwa semakin tinggi pendapatan
maka persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan semakin kecil.
Besar Keluarga
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan
sumberdaya yang sama. Menurut Sanjur (1982), banyaknya anggota keluarga
akan mempengaruhi konsumsi pangan dalam hubungannya dengan pengeluran
73
pangan rumah tangga. Besar kecilnya anggota keluarga dapat mempengaruhi
kebutuhan keluarga, semakin besar anggota keluarga maka kebutuhan pangan
yang harus tercukupi semakin meningkat, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk
kebutuhan pangan keluarga akan tinggi ( Lumeta 1987).
Peningkatan jumlah keluarga menurunkan konsumsi pangan hewani dan
pangan sumber karbohidrat diganti dengan yang lebih murah atau dalam porsi
yang lebih kecil (Hartog et al. 1995). Menurut BKKBN (1998), jumlah anggota
keluarga dapat diklasifikasikan sebagai besar keluarga dalam tiga kategori, yaitu
kecil (<4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (>7 orang). Suhardjo (1989)
menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat nyata antara besar keluarga
dengan kurang gizi pada masing-masing keluarga.
Pendidikan Orang Tua
Keadaan gizi seseorang banyak titentukan oleh perilaku pengasuhannya.
Dari berbagai penelitian diketahui bahwa apabila pendidikan dan pengetahuan
dalam berbagai bidang gizi yang dimiliki orang tua baik maka keadaan gizi anak
juga baik (Riyadi 2006). Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka akan
semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga lebih banyak informasi yang
diserap. Hal tersebut akan berdampak positif terhadap ragam pangan yang
dikonsumsi (Soewondo & Sadi 1990). Latar belakang pendidikan ibu juga
berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk hal
konsumsi pangan sehari-hari (Engle et al. 1997).
Pekerjaan Orang Tua
Bekerja
adalah
kegiatan
melakukan
pekerjaan
dengan
maksud
memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan. Besar
pendapatan yang diterima individu akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang
dilakukan (Suhardjo 1989). Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis
pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk
mendapatkan pekerjaan semakin besar (Engel et al. 1994).
Hardinsyah dan Suhardjo (1987) menyatakan bila mereka yang
berpendidikan tinggi bekerja, maka akan diupah lebih tinggi dibanding dengan
orang yang berpendidikan rendah. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan individu
akan berpengaruh terhadap besar pendapatan yang akan diterimanya.
Kemampuan individu menyediakan makanan dalam jumlah yang cukup
dipengaruhi oleh pendapatan dan daya beli yang cukup dan berkualitas bahwa
74
pekerjaan secara tidak langsung melalui pendapatan dapat mempengaruhi
kebiasaan makan individu.
Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang
diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada
jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Jika pendapatan
masih rendah maka kebutuhan pangan lebih dominan daripada kebutuhan non
pangan. Sebaliknya, jika pendapatan meningkat maka pengeluaran untuk non
pangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan akan pangan sudah
terpenuhi (Husaini et al. 2000).
Menurut Martianto dan Ariani (2004) tingkat pendapatan seseorang akan
berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya.
Sesuai dengan Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan
pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan
pembelian bahan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya
lebih mahal dengan kualitas yang baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang
dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan
makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi
dua kali dalam sehari. Selain itu, masyarakat berpendapatan rendah juga akan
mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan jenis yang beragam untuk memenuhi
kebutuhan gizi yang seimbang seperti mengkonsumsi tahu dan tempe sebagai
pengganti daging.
Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap
kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Dengan demikian terdapat
hubungan yang erat antara pedidikan dengan status gizi. Rendahnya
pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan
konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini akhirnya mempengaruhi
kesehatan dan status gizi (Riyadi et al. 1990).
KERANGKA PEMIKIRAN
Anak merupakan aset penting bagi keberlangsungan masa depan suatu
Negara. Untuk itu diperlukan asupan energi dan zat gizi yang cukup setiap hari.
Konsumsi merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap
hari. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti
umur, jenis kelamin, dan berat badan. Selain faktor tersebut juga dipengaruhi
75
Download