BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LANDASAN TEORI Schiffman dan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
LANDASAN TEORI
Schiffman dan Kanuk (2004) mengatakan bahwa loyalitas merek
merupakan hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai
perilaku konsumen. Ada banyak definisi loyalitas merek ditinjau dari berbagai
macam sudut pandang. Definisi yang umum dipakai adalah penjelasan bahwa
loyalitas merek merupakan suatu preferensi konsumen secara konsisten untuk
melakukan pembelian pada merek yang sama pada produk yang spesifik atau
kategori pelayanan tertentu.
Loudon & Della Bitta (1993) menyatakan bahwa loyalitas merek (brand
loyalty) adalah pola membeli berulang karena ada komitmen terhadap suatu
merek tertentu. Mereka juga mendefinisikan loyalitas merek sebagai sesuatu
yang tidak bisa diduga, menghasilkan respon perilaku pembelian, dapat
diekspresikan sepanjang waktu dengan proses pengambilan keputusan untuk
membeli produk yang berkenaan dengan satu atau lebih pilihan merek diluar
merek-merek yang pernah dipakai dan merupakan suatu fungsi proses psikologis
dalam diri konsumen itu sendiri.
Loyalitas merek juga merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan
kepada sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang
mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek yang lain, terutama jika
pada merek tersebut didapati adanya perubahan, baik yang menyangkut harga
ataupun atribut. Pelanggan yang loyal pada umumnya akan melanjutkan
pembelian merek tersebut meski dihadapkan pada banyak alternatif merek
pesaing yang menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul. Sebaliknya,
pelanggan yang tidak loyal pada suatu merek, pada saat mereka melakukan
pembelian akan merek tersebut, pada umumnya tidak didasarkan karena
keterikatan mereka pada mereknya tetapi lebih didasarkan pada karakteristik
produk, harga dan kenyamanan pemakaiannya serta berbagai atribut lain yang
ditawarkan oleh merek lain (Durianto, 2001).
Pengukuran loyalitas merek terdiri atas pengukuran sikap dan pengukuran
perilaku konsumen terhadap suatu merek. Pengukuran sikap konsumen terhadap
suatu merek menyangkut seluruh perasaan konsumen mengenai produk dan
merek serta kecenderungan mereka untuk membeli produk dan merek tersebut.
Pengukuran perilaku bergantung pada respon perilaku konsumen terhadap
sebuah stimulus yang bertujuan untuk mempromosikan produk dan merek
tertentu. Oleh karena itu, pengukuran ini akan melibatkan ketiga komponen sikap
yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif; serta ditambah dengan komponen
aksi (Schiffman dan Kanuk, 2004).
Berdasarkan beberapa definisi diatas, pengertian loyalitas merek dalam
penelitian ini mengacu pada pendapat Schiffman dan Kanuk (2004) dimana
loyalitas merek merupakan bentuk preferensi konsumen secara konsisten untuk
melakukan pembelian pada merek yang sama pada produk yang spesifik atau
kategori pelayanan tertentu sehingga pengukuran loyalitas merek akan
mencakup pengukuran sikap (melibatkan aspek kognitif, afektif, dan konatif
konsumen terhadap merek) dan pengukuran perilaku.
Aspek-Aspek Loyalitas Merek Schiffman dan Kanuk (2004) menerangkan
bahwa komponen-komponen loyalitas merek terdiri atas empat macam, yaitu:
a. Kognitif (cognitive) merupakan representasi dari apa yang dipercayai oleh
konsumen. Komponen kognitif ini berisikan persepsi, kepercayaan dan
stereotype seorang konsumen mengenai suatu merek. Loyalitas berarti
bahwa konsumen akan setia terhadap semua informasi yang menyangkut
harga, segi keistimewaan merek dan atribut-atribut penting lainnya.
Konsumen yang loyal dari segi kognitif akan mudah dipengaruhi oleh strategi
persaingan dari merek-merek lain yang disampaikan lewat media komunikasi
khususnya iklan maupun pengalaman orang lain yang dikenalnya serta
pengalaman pribadinya.
b. Afektif (affective), yaitu komponen yang didasarkan pada perasaan dan
komitmen konsumen terhadap suatu merek. Konsumen memiliki kedekatan
emosi terhadap merek tersebut. Loyalitas afektif ini merupakan fungsi dari
perasaan (affect) dan sikap konsumen terhadap sebuah merek seperti rasa
suka, senang, gemar dan kepuasan pada merek tersebut. Konsumen yang
loyal secara afektif dapat bertambah suka dengan merek-merek pesaing
apabila merek-merek pesaing tersebut mampu menyampaikan pesan melalui
asosiasi dan bayangan konsumen yang dapat mengarahkan mereka kepada
rasa tidak puas terhadap merek yang sebelumnya.
c. Konatif (conative), merupakan batas antara dimensi loyalitas sikap dan
loyalitas perilaku yang direpresentasikan melalui kecenderungan perilaku
konsumen untuk menggunakan merek yang sama di kesempatan yang akan
datang. Selain itu, komponen ini juga berkenaan dengan kecenderungan
konsumen untuk membeli merek karena telah terbentuk komitmen dalam diri
mereka untuk tetap mengkonsumsi merek yang sama. Bahaya-bahaya yang
mungkin muncul adalah jika para pemasar merek pesaing berusaha
membujuk konsumen melalui pesan yang menantang keyakinan mereka
akan merek yang telah mereka gunakan sebelumnya. Umumnya pesan yang
dimaksud dapat berupa pembagian kupon berhadiah maupun promosi yang
ditujukan untuk membuat konsumen langsung membeli.
d. Tindakan (action), berupa tingkah laku membeli ulang sebuah merek oleh
seorang konsumen dalam kategori produk tertentu dan merekomendasikan
atau mempromosikan merek tersebut kepada orang lain. Konsumen yang
loyal secara tindakan akan mudah beralih kepada merek lain jika merek yang
selama ini ia konsumsi tidak tersedia di pasaran. Loyal secara tindakan
mengarah kepada tingkah laku membeli ulang sebuah merek oleh seorang
konsumen dalam kategori produk tertentu dan merekomendasikan atau
mempromosikan merek tersebut kepada orang lain.
Dari penjelasan mengenai aspek-aspek loyalitas merek diatas, peneliti
mengambil keempat aspek loyalitas merek yang dikemukakan oleh Schiffman
dan Kanuk (2004) sebagai komponen dasar yang dipakai dalam instrumen
penelitian.
2.1.1. Pengalaman Merek
(Brakus, Schmitt dan Zarantonello. 2009) Pengalaman Merek dimulai pada
saat
konsumen
mencari
produk,
membeli,
menerima
pelayanan
dan
mengkonsumsi produk. Pengalaman Merek dapat dirasakan langsung saat
konsumen mengkonsumsi, dan membeli produk. Pengalaman Merek dapat
dirasakan secara tidak langsung saat konsumen melihat iklan atau juga saat
pemasar mengkomunikasikan produk melalui website.
Menurut (Brakus, Schmitt, dan Zarantonello. 2009)
terdapat 4 dimensi
Pengalaman Merek:
1. Sensorik, menciptakan pengalaman melalui penglihatan, suara, sentuhan,
bau, dan rasa.
2. Afeksi, pendekatan perasaan dengan mempengaruhi suasana hati,
perasaan, dan emosi.
3. Perilaku, menciptakan pengalaman secara fisik, pola perilaku, gaya hidup.
4. Intelektual, menciptakan pengalaman yang mendorong konsumen terlibat
dalam pemikiran seksama mengenai keberadaan suatu merek.
Hubungan emosional dengan merek akan dengan sendirinya tercipta
melalui bagaimana konsumen menghabiskan sejumlah waktu dengan merek
tersebut. Pengalaman Merek akan menjadi sumber bagi konsumen atas
terciptanya Kepercayan Merek dan hal ini akan mempengaruhi kepuasan
konsumen pada saat mengkonsumsi suatu merek (Ferinnadewi, 2008:148).
2.1.2. Persepsi Nilai
Persepsi Nilai merupakan dasar fundamental bagi seluruh aktivitas
pemasaran, dan nilai yang tinggi adalah salah satu motivasi utama pembelian
oleh konsumen. Persepsi Nilai adalah penilaian konsumen secara keseluruhan
terhadap manfaat produk dengan didasarkan pada apa yang mereka terima dan
apa yang mereka berikan. Nilai menunjukkan trade off antara komponen yang
diberikan dan diperoleh konsumen, Persepsi Nilai adalah perbedaan nilai total
konsumen dan total biaya konsumen (Lin, 2003). Menurut Payne dan Holt (2001)
Persepsi Nilai adalah trade off antara manfaat yang dipersepsikan dan
pengorbanan yang dipersepsikan (atau konsekuensi positif dan negatif). Manfaat
yang dipersepsikan merupakan kombinasi sejumlah elemen yaitu atribut fisik,
atribut pelayanan dan dukungan teknik yang diperoleh dalam menggunakan
produk, sedangkan pengorbanan yang dipersepsikan meliputi seluruh biaya
pembelian yang terjadi pada saat membeli; misalkan harga pembelian, biaya
akuisisi, transportasi, instalasi, biaya penanganan, perbaikan dan pemeliharaan,
dan resiko kegagalan atau kinerja yang buruk. Persepsi Nilai mengarahkan
pelanggan pada loyalitas dan berpengaruh secara signifikan pada kepuasan.
Kotler dan Keller (2009) menyatakan dalam keterbatasan biaya pencarian,
dan keterbatasan pengetahuan, mobilitas dan pendapatan pelanggan cenderung
pemaksimal nilai, sehingga sangat penting bagi pemasar mengetahui apa itu
customer perceived value (CPV), yaitu selisih antara evaluasi calon pelanggan
atas semua manfaat serta semua biaya tawaran dan alternatif-alternatif lain yang
dipikirkan. Total customer value adalah nilai moneter yang dipikirkan atas
sekumpulan manfaat ekonomis, fungsional, dan psikologis, yang diharapkan
oleh pelanggan atas tawaran pasar tertentu dan total customer cost adalah
sekumpulan biaya yang harus dikeluarkan pelanggan untuk mengevaluasi,
mendapatkan, menggunakan dan mengabaikan tawaran pasar tertentu termasuk
biaya moneter, waktu, energi dan psikis.
Konsumen dapat merasakan bahwa nilai yang ditawarkan berbeda
berdasarkan pada nilai personal, kebutuhan, preferensi dan sumber daya
keuangannya. Disamping itu, persepsi terhadap nilai juga dapat berbeda sesuai
dengan situasi pelangganannya. Riset yang dilakukan dua pakar pemasaran dari
University of Western Australia, Sweeney dan Soutar (2001) berusaha
mengembangkan 19 item ukuran customer perceived value. Skala yang
dinamakan PERVAL (Perceived Value) tersebut dimaksudkan untuk menilai
persepsi pelanggan terhadap nilai suatu produk konsumen tahan lama pada
level merek. Skala ini dikembangkan berdasarkan konteks situasi pembelian ritel
untuk menentukan nilai-nilai konsumsi yang mengarah pada sikap dan perilau
pembelian. Menurut mereka dimensi nilai terdiri empat aspek utama:
1. Emotional Value, yaitu utilitas yang berasal dari perasaan atau afektif /
emosi positif yang ditimbulkan dari mengkonsumsi produk.
2. Social Value, yaitu utilitas yang didapatkan dari kemampuan 51 produk
untuk meningkatkan konsep diri-sosial konsumen.
3. Quality/Performance Value, yaitu utilitas yang didapatkan dari produk
dikarenakan reduksi biaya jangka pendek dan biaya jangka panjang.
4. Price/Value of Money, yakni utilitas yang diperoleh dari persepsi terhadap
kualitas dan kinerja yang diharapkan atas produk. Dalam penelitian ini kami
akan menggunakan skala pengukuran yang telah dikembangkan oleh
Sweeney dan Soutar dengan sedikit perubahan disesuaikan dengan objek
yang akan diteliti, yaitu kendaraan roda dua jenis metik yang diproduksi oleh
Perusahaan Jepang.
2.1.3. Persepsi Kualitas
Persepsi Kualitas adalah penilaian umum dari seorang pelanggan mengenai
kualitas produk atau merek, kesesuaiannya dengan standar dan pemenuhan
fungsinya (Olsen, 2002, dalam Aysel Erci et al., 2012).
Persepsi Kualitas mempunyai peranan penting dalam membangun suatu
merek. Dalam banyak konteks Persepsi Kualitas sebuah merek dapat menjadi
alasan penting dalam pembelian serta merek mana yang akan dipertimbangkan
pelanggan yang pada gilirannya akan mempengaruhi pelanggan dalam
memutuskan merek yang akan dibeli. Persepsi Kualitas merupakan persepsi
konsumen terhadap keseluruhan kualitas, keunggulan suatu produk(Aaker
dalam Rangkuti 2004:41).
Menurut Durianto, dkk (2001:96) “Merek Persepsi Kualitas adalah persepsi
pelanggan terhadap kualitas suatu merek produk”. Merek Persepsi Kualitas
dapat didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas
dari suatu merek produk atau jasa layanan berkaitan dengan apa yang
diharapkan pelanggan. Persepsi Kualitas merupakan persepsi dari pelanggan,
maka Persepsi Kualitas tidak dapat ditentukan secara obyektif. Persepsi
pelanggan akan melibatkan apa yang penting bagi pelanggan karena setiap
pelanggan memiliki kepentingan yang berbeda beda terhadap suatu produk atau
jasa. Hal hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan kualitas tinggi menurut
Durianto dkk (2001:4), yaitu:Komitmen terhadap kualitas, Budaya kualitas,
Masukan pelanggan, Pengukuran/sasaran/standar, Mengizinkan karyawan
berinisiatif, Harapan harapan pelanggan.
2.1.4. Kepuasan
Menurut (Kotler:2009) menjelaskan bahwa kepuasan merupakan rasa
senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara
kinerja (hasil) produk yang digunakan pada kinerja (hasil) yang diharapkan. Jika
kinerja produk tidak sesuai harapan, maka pelanggan akan merasakan
ketidakpuasan. Sebaliknya, jika kinerja produk tersebut memenuhi harapan
konsumen makan pelanggan akan merasakan kepuasan. Selain itu ketika
kinerja melebihi harapan maka pelanggan akan sangat puas. Kepuasan yang
teramat tinggi akan menciptakan ikatan emosional dengan merek atau
perusahaan tersebut, tidak hanya sebatas perasaan suka secara rasional.
Sejalan dengan definisi kepuasan Kotler dan Keller, (2012) berpendapat bahwa
faktor penentu utama kepuasan pelanggan adalah gap antara pengalaman
pelanggan dengan harapan mereka dan pemosisian merek lah yang membentuk
harapan pelanggan.
Sedangkan menurut (Assael yang dikutip dalam Setyawan 2008) kepuasan
berasal dari sikap yang terbentuk sebagai bagian dari pengalaman sebelumnya
kemudian berdampak terhadap pembelian pembelian berikutnya. Kepuasan
merupakan perilaku positif terhadap sebuah merek, yang akan bermuara pada
keputusan konsumen untuk melakukan pembelian ulang terhadap merek
tersebut.
2.1.5. Kepercayan Merek
(Kertajaya, 2004:157) dari sudut pandang perusahaan, Kepercayan Merek
adalah merek yang berhasil menciptakan Pengalaman Merek yang berkesan
dalam diri konsumen yang berkelanjutan dalam jangka panjang, berdasarkan
integritas, kejujuran dan kesantunan merek tersebut. Dari sudut pandang
konsumen,
Kepercayan
Merek
merupakan
variabel
psikologis
yang
mencerminkan sejumlah asumsi awal yang melibatkan kredibilitas, integritas,
dan benevolance, yang dilekatkan pada merek tertentu.
Kepercayaan pada merek dikonsepkan sebagai suatu kepercayaan
kelompok atau konsumen pada partner dalam keandalan dan integritas (Morgan
dan Hunt, 1994. dalam Azize Sahin et al., 2011). Menurut Morgan dan Hunt,
kepercayaan merek berfungsi sebagai kunci sukses bagi perusahaan untuk:
a. Memelihara hubungan dengan konsumen
b. Menahan dan berbagai alternatif pilihan sehingga konsumen tetap bertahan
pada perusahaan.
c. Membuat konsumen untuk lebih berhati hati dalam melakukan tindakan
yang berpotensi terjadinya resiko yang tinggi jika melakukan perpindahan.
Menurut Shaw (dalam Ferinnadewi, 2008:152) terdapat tiga aktivitas yang
dapat dilakukan oleh perusahaan untuk menumbuhkan merek trust yang
dirumuskan sebagai berikut:
Achieving Result
+
Acting With
+
Demontration
=
Level of Trust
1. Achieving Result, harapan konsumen tidak lain adalah janji konsumen yang
harus dipenuhi bila ingin mendapat kepercayaan konsumen. Dalam rangka
memenuhi janjinya kepada konsumen, maka setiap karyawan dalam
perusahaan harus bekerjasama dengan memenuhi tanggung jawabnya
masing-masing.
2. Acting with integrity, bertindak dengan integritas berarti adanya konsistensi
antara ucapan dan tindakan dalam setiap situasi yang dilakukan oleh
perusahaan. Adanya integritas merupakan faktor kunci bagi konsumen
untuk percaya akan ketulusan dan kejujuran suatu perusahaan.
3. Demonstrate
perhatiannya
concern,
kepada
kemampuan
konsumen
perusahaan
dalam
bentuk
untuk
menunjukkan
menunjukkan
sikap
pengertian ketika konsumen menghadapi masalah dengan produk, akan
menumbuhkan kepercayaan konsumen kepada merek.
2.1.6. Loyalitas Merek
Menurut Durianto (2001), loyalitas merek terbagi menjadi lima tingkatan,
yaitu:
a. Switcher
Switcher disebut pula dengan pembeli yang berpindah-pindah, yaitu
merupakan tingkatan loyalitas yang paling dasar. Semakin sering pembelian
konsumen berpindah dari suatu merek ke merek yang lain mengindikasikan
bahwa mereka tidak setia, semua merek dianggap memadai. Dalam hal ini
merek memegang peranan yang kecil dalam keputusan pembelian. Ciri
paling jelas dalam kategori ini adalah mereka membeli suatu merek karena
banyak konsumen lain membeli merek tersebut karena harganya murah.
b. Habitual Buyer
Habitual buyer atau pembeli yang bersifat kebiasaan adalah pembeli yang
tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi suatu merek produk.
Tidak ada alasan yang kuat baginya untuk membeli merek produk lain atau
berpindah merek, terutama juka peralihan itu membutuhkan usaga, biaya
atau pengorbanan lain. Jadi, konsumen membeli suatu merek karena alasan
kebiasaan.
c. Satisfied Buyer
Satisfied buyer atau pembeli yang puas dengan biaya peralihan adalah
kategori pembeli yang puas dengan merek yang mereka konsumsi. Namun
mereka dapat saja berpindah merek dengan menanggung switching cost
(biaya peralihan), seperti waktu, biaya, atau resiko yang timbul akibat
tindakan peralihan merek tersebut. Untuk menarik peminat pembeli kategori
ini, pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung pembeli
dengan menawarkan berbagai manfaat sebagai kompensasi.
d. Liking of The Merek
Liking of the merek atau menyukai merek adalah pembeli yang sungguhsungguh menyukai merek tersebut. Rasa suka didasari oleh asosiasi yang
berkaitan dengan simbol, rangkaian pengalaman menggunakan merek itu
sebelumnya, atau persepsi kualitas yang tinggi.
e. Committed Buyer
Commited buyer atau pembeli yang berkomitmen adalah kategori pembeli
yang setia. Mereka mempunyai kebanggan dalam menggunakan suatu
merek. Merek tersebut bahkan menjadi sangat penting baik dari segi fungsi
maupun sebagai ekspresi siapa sebenarnya pelanggannya. Ciri yang
tampak pada kategori ini adalah tindakan pembeli untuk merekomendasikan
atau mempromosikan merek yang digunakan kepada orang lain.
Dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang benar, loyalitas merek dapat
memberikan suatu keuntungan bagi perusahaan. Beberapa potensi yang dapat
diberikan oleh loyalitas merek kepada perusahaan menurut Durianto dkk (2001)
antara lain, mengurangi biaya pemasaran, dalam kaitannya dengan biaya
pemasaran, akan lebih murah mempertahankan pelanggan dibandingkan
dengan upaya untuk mendapatkan pelanggan baru. Jadi biaya pemasaran akan
lebih mengecil jika loyalitas merek meningkat.
2.2.
PENELITIAN TERDAHULU
Untuk mengadakan penelitian ini, tidak terlepas dari penelitian yang
dilakkukan oleh peneliti terdahulu dengan tujuan untuk memperkuat hasil dari
penelitian
yang
sedang
dilakukan,
selain
itu
juga
bertujuan
untuk
membandingkan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Berikut
ringkasan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh penelit selama
melakukan penelitian:
Tabel II.1.
Penelitian Terdahulu
Peneliti & Judul
Azize Sahin et al. (2011)
The
Effect
of
Pengalaman
Merek,
Trust and Kepuasan on
Building Loyalitas Merek.
Aysel Erci et al. (2012)
The effect of merek
Kepuasan, trust, and
merek commitment on
loyalty and repurchase
intentions.
Variabel
Independen
 Brand
Experience
Variabel Mediasi
Variabel
Dependen
 Brand
Loyalty
Alat
Analisis
Regresi
linier
berganda
 Perceived
Value
 Perceived
Equity
 Perceived
Quality
 Brand
Satisfaction
 Brand Trust
 Affective
Commitment
 Continuance
Commitment
 Repurchas
e intention
 Advocacy/
Loyalty
Intention
Regresi
linier
berganda
 Loyalitas
Merek
Regresi
linier
berganda
 Kepuasan
Merek
 Kepercayan
Merek
 Loyalitas
Merek
Coding &
MAXQDA
 Satisfaction
 Brand Trust
Zaskia shaldy (2013)
Pengaruh
Kepercayan
Merek, Persepsi Nilai,
dan customer Kepuasan
terhadap
Loyalitas
Merek.
Yohanes Surya (2014)
Pengaruh Pengalaman
Merek
terhadap
Loyalitas Merek melalui
merek Kepuasan dan
Kepercayan Merek.
 Persepsi
Nilai
 Kepercayan
Merek
 Kepuasan
konsumen
 Pengalama
n Merek
Meyer Fosseta Hansort
et al. (2014)
Pengaruh
Brand
Experience
terhadap
Customer
Satisfaction
dengan Perceived Value
dan Perceived Quality
sebagai mediasi di De
Soematra Surabaya.
 Brand
Experience
 Perceived
Value
 Perceived
Quality
 Customer
Satisfaction
Regresi
linier
berganda
Penelitian Ini
 Persepsi
Nilai
 Pengalama
n Merek
 Persepsi
Kualitas
 Kepuasan
 Kepercayan
Merek
 Loyalitas
Merek
SEM
(Structural
Equation
Model)
Sumber: Data primer yang telah diolah, 2016
2.3. MODEL PENELITIAN
Setelah penulis menjabarkan teori teori yang berhubungan dengan variabel
Loyalitas Merek, Kepercayan Merek, Kepuasan, Persepsi Nilai, Pengalaman Merek,
dan Persepsi Kualitas. Maka berikut adalah model dalam penelitian ini:
Persepsi
Nilai
Kepuasan
Pengalaman
Merek
Loyalitas
Merek
Persepsi
Kualitas
Kepercayan
Merek
Gambar II.1. Model Penelitian
2.4. HIPOTESIS
Berikut ini adalah penjelasan landasan teori dan hubungan antar variabel yang
digunakan untuk mengkonstruksi model yang selanjutnya diikuti dengan perumusan
hipotesis.
2.4.1. Pengalaman Merek
Pengalaman Merek merupakan sebuah konsep hubungan emosional.
Pengalaman adalah sensasi, perasaan, kognisi, dan respon perilaku yang timbul
oleh rangsangan terkait merek. Pengalaman Merek bisa positif maupun negatif,
tidak bertahan lama atau awet. Pengalaman Merek dapat berpengaruh positif
terhadap Loyalitas Merek (Zarantenello dan Schmitt, 2000; Ha dan Perks, 2005).
Ketika seorang konsumen mendapat banyak pengalaman dengan suatu merek,
maka konsumen
tersebut dapat memahami merek secara lebih baik,
kepercayaannya pun akan semakin meningkat dan membuat pelanggan
akhirnya loyal terhadap merek tersebut. Selain itu menurut (Meyer Fosetta et al.
2014) pengalaman dengan suatu merek yang dinilai oleh pelanggan sangat
mempengaruhi persepsi mereka atas nilai dan kualitas yang didapat. Ketika
konsumen menilai kualitas pengalaman yang dirasakan tinggi, maka ia akan
mempersepsikan nilai yang didapat tinggi pula. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pengalaman konsumen dengan suatu merek sangat
berkaitan dengan persepsi nilai, persepsi kualitas dan loyalitas terhadap merek
tersebut. Untuk merangkum sebutan diatas, hipotesis hipotesis untuk penelitian
ini diusulkan sebagai berikut:
Hipotesis 1: Pengalaman merek berpengaruh terhadap persepsi nilai.
Hipotesis 2: Pengalaman merek berpengaruh terhadap persepsi
kualitas.
Hipotesis 3: Pengalaman merek berpengaruh tehadap loyalitas merek.
2.4.2. Persepsi Nilai
(Cronin dkk., 2000, dalam Aysel Erci et al., 2012) meneliti hubungan antara
persepsi nilai dengan kepuasan. Terdapat hubungan yang penting antara
persepsi nilai dengan kepuasan. Dan apabila persepsi nilai tinggi, kepuasannya
juga menjadi tinggi. Chaudhuri dan Holbrook (2001), dalam penelitian mereka,
membahas hubungan antara persepsi nilai merek dengan kepercayaan. Menurut
hasilnya, mereka mengetahui bahwa kepercayaan terhadap merek juga akan
meningkat ketika Persepsi Nilai oleh konsumen dari sebuah produk meningkat.
Hipotesis hipotesis yang ditentukan kearah ini dinyatakan sebagai berikut ini:
Hipotesis 4: Persepsi nilai berpengaruh terhadap kepuasan.
Hipotesis 5: Persepsi nilai berpengaruh terhadap kepercayan merek.
2.4.3. Persepsi Kualitas
Persepsi Kualitas diduga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
kepuasan pelanggan. Pada penelitian penelitian yang dilakukan oleh (Olsen
2002, dalam Aysel Erci et al., 2012), Darsono dan Junaedi (2006), dibahas
tentang hubungan antara persepsi kualitas dan kepuasan. Menurut hasilnya,
hubungan yang positif ditemukan antara persepsi kualitas dan kepuasan dan
ditentukan bahwa persepsi kualitas adalah faktor penentu kepuasan.
(Corritore dkk 2003, dalam Aysel Erci et al., 2012) meneliti pengaruh
persepsi kualitas terhadap kepercayaan. Sebagai hasil dari penelitian,
ditentukan
bahwa
persepsi
kualitas
memiliki
dampak
positif
terhadap
kepercayaan. Hipotesis hipotesis yang ditentukan kearah ini dinyatakan sebagai
berikut:
Hipotesis 6: Persepsi Kualitas berpengaruh terhadap Kepuasan.
Hipotesis 7: Persepsi Kualitas berpengaruh terhadap Kepercayan
Merek.
2.4.4. Kepuasan
Kepuasan adalah sebuah anteseden loyalitas merek, dengan peningkatan
dalam kepuasan yang mengakibatkan peningkatan dalam loyalitas merek
(Bennett, 2005, dalam Azize Sahin et al., 2011). Literatur pemasaran mengakui
asumsi bahwa kepuasan terkait dengan loyalitas, konsep sebelumnya
menjelaskan kebiasaan membeli konsumen termasuk semua perilaku pembelian
mereka yang konsisten. Kepuasan dengan merek yang disukai merupakan
faktor penentu loyalitas merek (Van Birgelen dkk., 1997; dll).
Adanya kepuasan pada pelanggan akan menimbulkan kepercayaan, karena
adanya konsistensi merek dalam memenuhi harapan pelanggan. Di samping itu,
merek yang dipilih dapat melindungi, menjaga keselamatan, keamanan, dan
kepentingan pelanggan. Dengan demikian, keyakinan mengenai kepuasan
merupakan hal yang penting dari trust (Riana, 2008). Untuk merangkum
penyebutan diatas, hipotesis penelitian diusulkan sebagai berikut:
Hipotesis 8: Kepuasan berpengaruh terhadap kepercayan merek.
Hipotesis 9: Kepuasan berpengaruh terhadap loyalitas merek.
2.4.5. Kepercayan Merek
Kepercayaan sangat penting dalam membangun hubungan yang kuat
antara konsumen dengan merek dan terkait secara positif dengan Loyalitas
Merek (Lau dan Lee, 2000). Konsumen, mengembangkan kepercayaan
terhadap sebuah merek berdasarkan keyakinan positif mengenai harapan
mereka
untuk
perilaku
organisasi
dan
kinerja
(hasil)
produk
yang
direpresentasikan oleh sebuah merek. Kepercayaan mencerminkan pengaruh
kumulatif dari waktu ke waktu terhadap loyalitas dalam keterlibatan tinggi, pasar
produk berpelayanan tinggi (Chiou dan Droge, 2006, dalam Azize Sahin et al.,
2011). Domain kepercayaan dalam penelitian ini adalah Pengalaman Merek
dalam keseluruhannya (yang meliputi aspek produk maupun jasa yang
ditawarkan oleh penyedia merek) tetapi tidak terfokus kepada atribut atribut
tertentu. Berdasarkan literature diatas, hipotesis untuk penelitian ini diusulkan
sebagai berikut:
Hipotesis 10: Kepercayan merek berpengaruh terhadap loyalitas merek.
2.4.6. Loyalitas Merek
Hubungan antara konsumen dengan merek sangat
penting
untuk
membangun Loyalitas Merek. Pengalaman Merek menimbulkan Loyalitas Merek,
perujukan yang aktif terhadap merek dan meningkatnya profitabilitas bagi merek
(Morrison dan Crane, 2007). Pengalaman Merek mendorong loyalitas dengan
menciptakan hubungan emosional melalui sebuah konteks yang melibatkan,
mendorong, dan konsisten. Konteks ini adalah lingkungan dimana pertemuan
jasa terjadi; hal ini meliputi karakteristik fisik dan hubungan dari lingkungan
dimana konsumen mengkonsumsi pelayanan serta segala sesuatu dimana
konsumen berinteraksi dengannya di lingkup tersebut. Definisi konteks
mengindikasikan dua komponen utama dari konteks, yaitu fisik dan hubungan.
Konteks fisik tersusun atas “petunjuk petunjuk” yang dihasilkan oleh pandangan,
suara, tekstur, dan bau lingkungan; konteks hubungan tersusun atas “petunjuk
petunjuk” yang timbul dari orang orang dan perilaku dimana mereka terlibat
(Morrison dan Crane, 2007).
Download