5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gagal Ginjal

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Gagal Ginjal Kronik
a. Definisi
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan tidak dapat balik dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, sehingga menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer dan Bare,
2008).
b. Etiologi
Menurut Suwitra (2009) Etiologi penyakit ginjal kronik sangat
bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya dan Perhimpunan
Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal
ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia sebagai berikut :
Glomerulonefritis (46,39 %), Diabetes militus (18,65 %), Obstruksi dan
Infeksi (12,85 %), Hipertensi (8,46 %), Sebab lain (13,65 %). Sebab
lain ini di kelompokkan diantaranya: nefritis lupus, nefropati urat,
intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab
yang tidak diketahui.
5
6
c. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didefenisikan berdasarkan
derajat penurunan Laju Filtrasi Glomerulusnya (LFG) dimana stadium
yang lebih tinggi memiliki nilai LFG yang lebih rendah. Penyakit ginjal
kronik dibagi menjadi 6 stadium seperti pada tabel di bawah ini
(KDIGO, 2013).
Tabel 2.1 Kategori LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik
LFG (ml/min/1.73 m2)
Batasan
G1
> 90
Normal atau Tinggi
G2
60-89
Penurunan ringan
G3a
45-59
Penurunan ringan
Kategori LFG
sampai sedang
G3b
30-44
Penurunan sedang
sampai berat
G4
15-29
Penurunan berat
G5
<15
Gagal ginjal
Sumber : KDIGO, 2013
Keterangan : LFG = Laju Filtrasi Glomerulus
d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi (Suwitra, 2009) :
1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya
adalah
sebelum
terjadinya
penurunan
LFG,
sehingga
pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Bila LFG sudah menurun
sampai 20 – 30 % dari normal, terapi terhadap penyakit dasar
sudah tidak banyak bermanfaat.
7
2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi kormobid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan
penurunan LFG pada pasien gagal ginjal kronik dimana hal ini
untuk mengetahui kondisi kormobid yang dapat memperburuk
keadaan pasien. Kondisi kormobid antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi
traktus
urinarius,
obstruksi
traktus
urinarius,
obat-obat
nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas
penyakit dasarnya.
3) Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama terjadinya perburukan fungsi ginjal adalah
terjadinya hiperfiltrasi glomerulus dan ini dapat dikurangi
melalui dua cara yaitu:
a) Pembatasan asupan protein yang mulai dilakukan pada
LFG ≤ 60 % ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut
pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
b) Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus. Selain itu sasaran terapi farmakologis
sangat terkait dengan derajat proteinuria.
4) Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler dan komplikasi
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi
penyakit
kardiovaskuler
pengendalian
hipertensi,
adalah
pengendalian
pengendalian
diabetes,
displipidemia,
8
pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi
terhadap
kelebihan
cairan
dan
gangguan
keseimbangan
elektrolit.
5) Terapi Pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal meliputi dialisis (hemodialisis dan
peritoneal dialisis) dan trasplantasi ginjal. Terapi pengganti
ginjal yang paling banyak dilakukan pada saat ini adalah
hemodialisis dimana jumlahnya dari tahun ke tahun terus
bertambah.
2. Hemodialisis
a. Definisi
Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal
selain dialisis peritoneal dan transplantasi ginjal. Indikasi hemodialisis
pada pasien penyakit ginjal kronik adalah bila laju filtrasi glomerulus
kurang dari 15 ml/menit/1,73 m2 atau memenuhi salah satu dari kriteria
berupa keadaan umum buruk dengan gejala klinis uremia yang nyata,
kalium serum < 6 mEq/L, ureum darah > 200 mg/dL, pH darah <7,1,
anuria berkepanjangan (> 5 hari), dan kelebihan cairan (Raharjo, 2009).
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan
biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal,
dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis
merupakan
salah
satu
bentuk
terapi
pengganti
ginjal
(Renal
Replacement Therapy/ RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari
9
fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK
stadium V dan pada pasien dengan Gagal Ginjal Akut yang memerlukan
terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan hemodialisis
dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: hemodialisis darurat (emergency),
hemodialisis persiapan/ (preparative), dan hemodialisis kronik (regular)
(Daurgirdas et al., 2007).
b. Indikasi
Indikasi
hemodialisis
dibedakan
menjadi
hemodialisis
emergency atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik.
Hemodialis segera adalah hemodialisis yang harus segera dilakukan.
Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
1) Kegawatan ginjal
a) Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b) Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c) Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d) Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG,
biasanya Kalium > 6,5 mmol/l )
e) Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f) Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g) Ensefalopati uremikum
h) Neuropati atau miopati uremikum
i) Perikarditis uremikum
j) Disnatremia berat (Natrium >160 atau <115 mmol/L)
10
k) Hipertermia
2) Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati
membran dialisis.
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika LFG <15 ml/mnt.
Keadaan pasien yang mempunyai LFG <15ml/menit tidak selalu sama,
sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu
dari hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007) :
1) LFG <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
2) Gejala uremia meliputi; lethargis, anoreksia, nausea, mual dan
muntah.
3) Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
4) Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
5) Komplikasi metabolik yang refrakter.
c. Proses
Fungsi ekskresi ginjal digantikan oleh tabung ginjal buatan
(dialiser) pada hemodialisis. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke
kompartemen darah yang dilapisi oleh selaput semipermeabel buatan
dengan kompartemen cairan dialisis (dialisat). Kompartemen dialisat
dialiri cairan yang bebas pirogen, memiliki komposisi seperti elektrolit
dalam serum normal, dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen.
Pada hemodialisis terjadi proses difusi dan ultrafiltrasi (Raharjo, 2009).
11
Proses difusi adalah proses pergerakan spontan dan pasif dari
zat terlarut. Molekul zat terlarut dari kompartemen darah akan
berpindah ke dalam kompartemen dialisat melewati membran
semipermiabel demikian juga sebaliknya sampai konsentrasi zat terlarut
sama di kedua kompartemen. Dalam proses difusi, antikoagulan
digunakan untuk mencegah aktivasi sistem koagulasi darah yang dapat
menimbulkan bekuan darah (Raharjo, 2009).
Proses ultrafiltrasi terdiri dari ultrafiltrasi hidrostatik dan
osmotik. Ultrafiltrasi hidrostatik adalah pergerakan air yang terjadi dari
kompartemen bertekanan hidrostatik tinggi ke kompartemen yang
bertekanan hidrosatik rendah. Ultrafiltrasi hidrostatik tergantung pada
tekanan transmembran dan koefisien ultrafiltrasi. Ultrafiltasi osmotik
adalah perpindahan air yang terjadi dari kompartemen yang bertekanan
osmotik rendah ke kompartemen yang bertekanan osmotik tinggi
sampai tercapai keadaan seimbang antara tekanan osmotik di dalam
kedua kompartemen (Ficheux, 2011).
Perpindahan air (fluid removal) pada proses ultrafiltrasi sangat
penting untuk mencapai keseimbangan cairan pada tubuh pasien
sehingga mengurangi komplikasi intradialitik yang dapat timbul
(Jaeger, 1999). Preskripsi untuk fluid removal ditentukan berdasarkan
target berat badan kering pasien. Berat badan kering adalah berat badan
terendah dari pasien yang dapat menoleransi gejala hipotensi, definisi
berat badan kering yang lebih tepat adalah berat badan pascadialisis
12
dimana pasien tetap dalam kondisi normotensi hingga sesi dialisis
berikutnya tanpa obat anti hipertensi (Charra, 2011).
Gambar 2.1 Proses hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013).
Pasien hemodialisis dirawat di rumah sakit atau unit
hemodialisis dimana mereka menjadi pasien rawat jalan. Pasien
membutuhkan waktu 12- 15 jam hemodialisis setiap minggunya yang
terbagi dalam dua atau tiga sesi dimana setiap sesi berlangsung selama
3-6 jam. Hemodialisis akan berlangsung terus menerus seumur hidup
kecuali pasien tersebut melakukan transplantasi ginjal (Raharjo,
2009).
d. Komplikasi
Hemodialisis
merupakan
tindakan
untuk
menggantikan
sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita
PGK stadium V atau gagal ginjal kronik. Walaupun tindakan
hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat,
namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat
13
menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita
yang menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik.
Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya
ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat hemodialisis. Hipotensi
intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani hemodialisis
reguler. Namun, sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan
darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik
(Agarwal dan Light, 2010). Komplikasi hemodialisis dapat dibedakan
menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik (Daurgirdas et al.,
2007).
1) Komplikasi akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah:
hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daurgirdas et al., 2007).
14
Tabel 2.2 Komplikasi Akut Hemodialisis
Komplikasi
Penyebab
Hipotensi
Penarikan cairan yang berlebihan, terapi
antihipertensi, infark jantung, tamponade,
reaksi anafilaksis
Hipertensi
Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang
tidak adekuat
Reaksi Alergi
Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi,
lateks
Aritmia
Gangguan elektrolit, perpindahan cairan
yang terlalu cepat, obat antiaritmia yang
terdialisis
Kram Otot
Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit
Emboli Udara
Udara memasuki sirkuit darah
Dialysis
Perpindahan osmosis antara intrasel dan
disequilibirium
ekstrasel menyebabkan sel menjadi bengkak,
edema serebral.
Penurunan konsentrasi urea plasma yang
terlalu cepat
Masalah pada dialisat/ kualitas air
Chlorine
Hemolisis oleh karena menurunnya kolom
charcoal
Kontaminasi Fluoride Gatal, gagguan
gastrointestinal, sinkop,
tetanus, gejala neurologi, aritmia
Kontaminasi
Demam, menggigil, hipotensi oleh karena
bakteri/endotoksin
kontaminasi dari dialisat maupun sirkuti air
Sumber : Bieber dan Himmelfarb, 2013.
15
Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan
hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat hemodialisis
atau hipertensi intradialisis. Komplikasi yang jarang terjadi adalah
sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade
jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara,
neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al.,
2007).
2) Komplikasi kronik
Komplikasi kronik adalah komplikasi yang terjadi pada pasien
dengan hemodialisis kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi yaitu
(Bieber dan Himmelfarb, 2013) :
a) Penyakit jantung
b) Malnutrisi
c) Hipertensi (karena kelebihan cairan)
d) Anemia
e) Renal osteodystrophy
f)
Neuropati
g) Disfungsi reproduksi
h) Komplikasi pada akses
i)
Gangguan perdarahan
j)
Infeksi
k) Amiloidosis
l)
Acquired cystic kidney disease
16
3. Hipertensi Intradialitik
a. Definisi
Hipertensi intradialitik sering ditemukan pada pasien-pasien
yang menjalani hemodialisis rutin, walaupun komplikasi hemodialisis
ini sudah dikenal sejak beberapa tahun lalu namun sampai saat ini
belum ada batasan yang jelas mengenai hipertensi intradialisis.
Berbagai penelitian mengemukakan definisi yang berbeda-beda.
Chazot dan Jean (2010).
Amerling et al. (1995) mendefinisikan hipertensi intradialitik
sebagai peningkatan MAP (Mean Arterial Pressure) sebesar 15
mmHg berdasarkan tekanan darah awal dan akhir sesi hemodialisis.
Cirit et al. (1995) pada tahun yang sama mendefinisikan hipertensi
intradialitik sebagai tekanan darah yang lebih tinggi pada akhir sesi
dialisis dibanding awal hemodialisis selama lebih dari 50% sesi
hemodialisis.
Gunal
et
al.
(2002)
mendefinisikan
hipertensi
intradialitik sebagai peningkatan tekanan darah yang terjadi selama
empat sesi dialisis yang berturut-turut.
Sedangkan Chou et al. (2006) mendefinisikan hipertensi
intradilalitik sebagai peningkatan MAP sebesar 15 mmHg selama
lebih dari dua per tiga dari 12 sesi hemodialisis terakhir pada pasien
dengan tekanan darah normal atau tinggi saat awal hemodialisis. Chen
et al. (2006) mendefinisikan hipertensi intradialitik sebagai hipertensi
yang muncul dan resisten terhadap ultrafiltrasi yang terjadi selama
17
hemodialisis atau segera setelah hemodialisis. Definisi terbaru dan
banyak dipakai untuk penelitian adalah definisi dari Inrig et al. (2007)
yang mendefinisikan hipertensi intradialitik sebagai peningkatan
tekanan darah sistolik pascadialisis dengan delta SBP (tekanan darah
sistolik pascadialisis- tekanan darah sistolik predialisis) > 10 mmHg.
b. Prevalensi
Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi yang cukup
sering dijumpai pada pasien yang menjalani hemodialisis rutin,
dengan prevalensi 5-15% (Locatelli et al., 2010). Penelitian kohort
yang terbaru mendapatkan prevalensi hipertensi intradialitik sebesar
12,2% (Inrig et al., 2009).
c. Etiologi dan Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi intradialitik pada penderita
dengan hemodialisis reguler sampai saat ini belum sepenuhnya
diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab hipertensi
intradialitik seperti kelebihan cairan (volume overload), aktivasi sistem
renin
angiotensin
aldosteron
(RAAS)
karena
diinduksi
oleh
hipovolemia saat dilakukan ultrafiltrasi, overaktivitas simpatis, variasi
dari ion K+ dan Ca2+ saat hemodialisis, viskositas darah yang
meningkat karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin, ultrafiltrasi yang
berlebih saat hemodialisis, obat antihipertensi terekskresikan saat
hemodialisis dan adanya disfungsi endotel (Locatelli et al., 2010).
18
1) Kelebihan cairan ekstrasel (Volume Overload)
Cairan ekstrasel yang berlebihan menyebabkan meningkatnya
curah jantung merupakan salah satu penyebab yang penting dari
meningkatnya tekanan darah. Hipervolumia diyakini berperan
dalam patogenesis hipertensi intradialitik (Locatelli et al., 2010).
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 7 pasien yang mengalami
hipertensi saat hemodialisis, di dapatkan gambaran dilatasi pada
jantung. Pada pasien ini tekanan darah meningkat saat dilakukan
ultrafiltrasi. Pasien ini kemudian diterapi dengan melakukan
ultrafiltrasi berulang yang intensif untuk menurunkan berat badan
keringnya dan dilakukan monitor terhadap fungsi jantung. Semua
pasien menunjukkan perbaikan tekanan darah, tekanan darah
menjadi normal tanpa pemberian obat antihipertensi. Pada
pemeriksaan ekokardiografi didapatkan perbaikan dari parameter
fungsi jantung. Dari hasil tersebut peneliti menyimpulkan bahwa
tekanan darah paradoksal meningkat dengan ultrafiltrasi biasanya
karena overhidrasi dan dilatasi jantung, dan disarankan untuk
melakukan ultrafiltrasi yang intensif pada pasien-pasien seperti ini
(Cirit et al., 1995).
Peneliti lain melakukan penelitian terhadap 6 pasien yang
mengalami hipertensi intradialitik yang resisten terhadap obat
antihipertensi. Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan sebelum
dan saat hemodialisis. Pada saat dilakukan ultrafiltrasi sedang
19
didapatkan perbaikan fungsi sistolik jantung, tetapi MAP (Mean
Arterial Pressure) dan indeks jantung juga meningkat. ultrafiltrasi
yang lebih agresif menghasilkan tekanan darah yang normal pada
semua pasien dan indeks jantung juga menjadi normal. Peneliti
menjelaskan fenomena ini dengan kurva Frank-Starling. Pasien
pada awalnya berada pada bagian yang menurun dari kurva,
dengan ultrafiltrasi sedang pasien berpindah ke kiri dan ke atas
kurva, dengan peningkatan indeks jantung, curah jantung dan
tekanan darah. Dengan ultrafiltrasi lebih jauh, pasien pindah ke
bagian yang bawah pada bagian kurva yang meningkat dengan
tekanan darah menjadi normal (Gunal et al., 2002). Penemuan
dari 2 penelitian ini mengindikasikan bahwa tekanan darah
meningkat paradoksal saat ultrafiltrasi mungkin disebabkan oleh
karena peningkatan curah jantung karena adanya overhidrasi dan
dilatasi jantung, dan disarankan dilakukan ultrafiltrasi yang
intensif untuk menurunkan berat badan kering pasien (Cirit et al.,
1995; Gunal et al., 2002; Chou et al., 2006). Peneliti lain
mengemukakan
bahwa
hipertensi
intradialitik
mungkin
berhubungan dengan delayed post hemodialysis hypotension.
Sehingga, bila dilakukan ultrafiltrasi yang agresif pasien yang
rawat
jalan
harus
dimonitor
ketat
dengan
mengunakan
ambulatory blood pressure monitoring (ABPM) (Chou et al.,
2006).
20
Hal yang penting harus dilakukan pasien adalah untuk
menurunkan konsumsi garam dan air, diantara sesi hemodialisis.
Hal ini untuk menurunkan peningkatan berat badan antar sesi
hemodialisis, sehingga menurunkan kecepatan ultrafiltrasi per
jam saat hemodialisis berikutnya. Meningkatkan waktu terapi
hemodialisis mungkin sangat berguna untuk menurunkan
kecepatan ultrafiltrasi per jam saat hemodialisis. Pembatasan dari
konsumsi garam dan penurunan dari volume cairan ekstrasel akan
menormalkan tekanan darah saat hemodialisis pada pasien dengan
hipertensi. Penurunan konsumsi garam 100-120 mmol per hari
berhubungan dengan penurunan tekanan darah dan menurunkan
peningkatan berat badan antar hemodialisis (Locatelli et al.,
2010). Pengontrolan terhadap kelebihan cairan adalah hal yang
paling penting dalam mencegah dan menangani pasien dengan
hipertensi intradialitik (Locatelli et al., 2010).
2) Aktivasi RAAS (Sistem Renin Angiotensin Aldosteron)
Mekanisme lain yang berperan terhadap kejadian hipertensi
intradialitik adalah aktivasi dari RAAS dan oversekresi renin dan
angiotensin II yang diinduksi oleh ultrafiltrasi saat hemodialisis.
Aktivasi dari RAAS dan oversekresi renin dan angiotensin II
menyebabkan peningkatan yang tiba-tiba dari resistensi vaskuler
dan meningkatkan tekanan darah (Chou et al., 2006).
21
Penelitian terhadap 30 pasien yang rentan terhadap hipertensi
intradialitik
dengan
30
kontrol
pasien
hemodialisis
yang
dikelompokan menurut umur dan jenis kelamin, didapatkan kadar
renin rata-rata sebelum dan sesudah hemodialisis sama pada
kelompok pasien yang rentan tehadap hipertensi intradialitik.
Sebaliknya, rata-rata kadar renin setelah hemodialisis meningkat
signifikan pada kelompok kontrol. Sehingga disimpukan bahwa
aktivasi RAAS bukan merupakan penyebab utama dari hipertensi
intradialitik. Namun, tidak dievaluasinya keseimbangan natrium
intradialitik pada penelitian Chou et al. merupakan sebuah
kelemahan karena keseimbangan natrium yang positif dapat
menjelaskan mengapa pasien dengan hipertensi intradialitik
mengalami penurunan konsentrasi renin plasma (Chou et al.,
2006).
3) Overaktivitas Simpatis
Pasien dengan PGK umumnya sudah terjadi overaktivitas
simpatis, ditandai dengan peningkatan konsentrasi katekolamin
plasma pada pasien PGK. Hal ini mungkin disebabkan oleh
menurunnya kliren renal terhadap katekolamin dan langsung oleh
karena aktivitas saraf simpatis. Overaktivitas simpatis pada PGK
menjadi normal setelah dilakukan nefrektomi, hal ini diduga
karena signal dari ginjal yang sakit berperan dalam aktivasi
simpatis
(Locatelli
et
al.,
2010).
Hipertensi
intradialitik
22
berhubungan
dengan
peningkatan
stroke
volume
dan
vasokonstriksi perifer, sehingga mungkin overaktivitas simpatis
berperan dalam onset hipertensi intradialitik. Pada penelitian lain
didapatkan kadar norepinefrin meningkat signifikan setelah
hemodialisis pada pasien kontrol, bukan pada pasien yang rentan
terhadap hipertensi intradialitik (Chou et al., 2006). Evaluasi akurat
dari aktivitas simpatis dengan mikroneurografi pada pasien dengan
hipertensi intradialitik belum dilakukan sehingga mekanisme
overaktivitas
simpatis
dalam hipertensi
intradialitik
belum
didukung oleh bukti percobaan klinis (Locatelli et al., 2010).
4) Perubahan kadar elektrolit
Komposisi yang adekuat dari dialisat dan kontrol terhadap
variasi kadar elektrolit sangat penting pada terapi hemodialisis.
Kadar elektrolit pasien seperti sodium, kalium, kalsium dan
perubahan dari elektrolit saat hemodialisis sangat penting sebab
erat hubungannya dengan kontraktilitas jantung, resistensi vaskuler
perifer dan kontrol tekanan darah. Penarikan sodium saat dialisis
sangat penting karena berperan dalam menjaga stabilitas
kardiovaskuler saat hemodialisis dan mencegah overhidrasi saat
dialisis dan hipertensi intradialitik. Penarikan sodium yang adekuat
bisa dicapai dengan memilih kecepatan ultrafiltrasi dan konsentrasi
sodium dialisat yang tepat. Untuk mempertahankan keseimbangan
sodium, berat badan kering dan konsentrasi sodium saat akhir
23
dialisis harus dipertahankan konstan (Locatelli et al., 2010).
Perubahan kadar kalium saat hemodialisis dapat memberikan
dampak klinis yang penting. Hipokalemia dapat mencetuskan
disfungsi
otonomik
dan
mempengaruhi
inotropik
jantung.
Walaupun hipokalemia dapat menyebabkan vasokonstriktor secara
langsung, tidak ada data yang mendukung pengaruh konsentrasi
kalium pada dialisat terhadap kejadian hipertensi intradialitik
(Locatelli et al., 2010).
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 30 pasien yang
rentan terjadi hipertensi intradialitik didapatkan bahwa kadar
kalium dialisat tidak berhubungan dengan kejadian hipertensi
intradialitik, tidak ada perbedaan antara kadar kalium plasma pre
dan post hemodialisis pada pasien dengan hipertensi intradialitik
maupun tanpa hipertensi intradialitik (Chou et al., 2006). Kalium
tidak beperan dalam kejadian hipertensi intradialitik, tapi
perubahan kadar kalium yang tajam dapat memicu aritmia
(Locatelli et al., 2010). Hemodialisis dengan konsentrasi dialisat
kalsium yang rendah (1,25 mmol/l) berhubungan dengan
penurunan yang besar pada tekanan darah dibandingkan dengan
dialisis dengan konsentrasi kalsium dialisat yang tinggi (1,75
mmol/l).
Perbedaan
ini
berhubungan
dengan
penurunan
kontraktilitas ventrikel kiri pada cairan dialisat dengan kadar
kalsium yang rendah. Kadar kalsium dialisat yang tinggi juga
24
berhubungan dengan penurunan komplians arteri dan peningkatan
kekakuan arteri. Peranan dari dialisat dengan kalsium tinggi
dalam patogenesis hipertensi intradialitik belum sepenuhnya
ditemukan (Locatelli et al., 2010). Penelitian lain tidak
menemukan perubahan yang relevan dalam konsentrasi kalsium
plasma sebelum dan sesudah dialisis pada pasien dengan maupun
tanpa hipertensi intradialitik (Chou et al., 2006).
5) Eliminasi obat saat hemodialisis
Beberapa obat termasuk obat anti hipertensi ditarik saat
prosedur hemodialisis. Penarikan dari obat anti hipertensi saat
hemodialisis bisa menyebabkan hipertensi intradialitik. Golongan
obat penyekat kanal kalsium (CCB) tidak ditarik saat prosedur
hemodialisis, sedangkan sebagian besar dari penghambat ACE
secara komplit ditarik saat dialisis (Daugirdas et al., 2007).
Pengetahuan akan obat yang di tarik saat hemodialisis sangat
penting, sehingga terapi bisa disesuaikan pada pasien yang
mengalami hipertensi intradialitik. Tetapi penting diingat bahwa
penarikan obat anti hipertensi saat hemodialisis, tidak berperan di
dalam konsep dari hipertensi intradialitik (Locatelli et al., 2010).
6) Terapi agen perangsang eritropoesis (ESA)
Sejak diperkenalkannya agen perangsang eritropoesis (ESA)
sebagai terapi anemia pada pasien PGK lebih dari 20 tahun yang
lalu, prevalensi hipertensi pada pasien hemodialisis meningkat.
25
Peningkatan dari hematokrit dan viskositas darah serta peningkatan
dari konsentrasi ET-1 (Endothelin-1), dan peningkatan resistensi
vaskuler perifer mungkin berperan dalam kondisi ini (Krapf dan
Hulter, 2009).
7) Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi merupakan salah satu komponen dari peresepan
hemodialisis. Penentuan besarnya ultrafiltrasi harus optimal
dengan tujuan untuk mencapai kondisi pasien euvolemik dan
normotensi Pada saat hemodialisis dilakukan ultrafiltrasi untuk
menarik cairan yang berlebihan di darah, besarnya ultrafiltrasi
yang dilakukan tergantung dari penambahan berat badan
penderita antar waktu hemodialisis dan target berat badan kering
penderita (K/DOQI, 2006). Berat badan kering didefinisikan
sebagai berat badan dimana volume cairan optimal. Penentuan
berat badan kering ini harus akurat, tetapi pada klinik
hemodialisis tidak selalu tersedia alat untuk menentukan berat
badan
kering
yaitu
multiple
frequency
bioimpedance
spectroscopy. Oleh karena itu, penentuan berat badan kering
dilakukan secara klinis melalui evaluasi tekanan darah, tandatanda kelebihan cairan dan toleransi pasien terhadap ultrafiltrasi
saat hemodialisis untuk mencapai target berat badan (K/DOQI,
2006). Definisi berat badan kering menurut Argawal adalah berat
badan setelah dialisis yang terendah yang dapat ditoleransi oleh
26
pasien yang dicapai dengan perubahan secara bertahap BB setelah
dialisis, dan terdapat gejala yang minimal dari hipovolemia atau
hipervolemia (Agarwal dan Weir, 2010).
Pada penderita dengan hemodialisis reguler 2 kali seminggu,
kenaikan berat badan antar waktu hemodialisis disarankan tidak
melebihi 2 kg sehingga ultrafiltrasi yang dilakukan saat
hemodialisis sekitar 2 liter (Nissenson dan Fine, 2008). Tetapi,
umumnya
kenaikan
berat
badan
penderita
antar
waktu
hemodialisis melebihi 2 kg bahkan mencapai 5 kg. Pedoman
K/DOQI 2006 menyatakan bahwa kenaikan berat badan
interdialitik sebaiknya tidak melebihi dari 4,8% berat badan
kering. Sebagai contoh pada pasien dengan berat badan 70 kg,
kenaikan berat badan interdialitik sebaiknya tidak lebih dari 3,4
kg (K/DOQI, 2006). Pada kondisi kenaikan berat badan yang
berlebih ini banyak timbul masalah saat tindakan hemodialisis,
karena saat hemodialisis akan dilakukan dilakukan ultrafiltrasi
yang melebihi 4,0% berat badan kering. Saat hemodialisis bila
dilakukan ultrafiltrasi yang berlebihan akan timbul masalah baik
gangguan
hemodinamik
maupun
gangguan
kardiovaskuler
(Nissenson and Fine, 2008). Pada saat dilakukan ultrafiltrasi
terjadi hipovolemia yang kemudian merangsang aktivitas RAAS
sehingga bisa menimbulkan kejadian hipertensi intradialitik
(Chazot dan Jean, 2010). Pasien dengan terapi hemodialisis
27
memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi yang mungkin
berhubungan dengan efek hemodinamik karena ultrafiltrasi yang
cepat. Flythe et al. meneliti efek kecepatan ultrafiltrasi terhadap
mortalitas dan penyakit kardiovaskuler. Kecepatan ultrafiltrasi
dibagi menjadi 3 kategori yaitu <10 /ml/jam/kgBB, 10-13
ml/jam/kgBB, dan >13 ml/jam/kgBB. Dari penelitian ini
didapatkan bahwa ultrafiltrasi yang lebih cepat pada pasien
hemodialisis berhubungan dengan risiko yang lebih besar
terhadap berbagai sebab kematian dan kematian karena penyakit
kardiovaskuler (Flythe et al., 2011).
8) Disfungsi endotel
Disfungsi endotel dapat menyebabkan perubahan hemodinamik
yang signifikan selama hemodialisis. Proses ultrafiltrasi, faktor
mekanik,
dan
stimulus
hormonal
selama
hemodialisis
menyebabkan respon berupa sintesis faktor humoral oleh sel
endotel yang berpengaruh terhadap homeostasis tekanan darah.
Faktor humoral berupa substansi vasoaktif yang paling berperan
adalah nitric oxide (NO) sebagai vasodilator otot polos,
asymmetric dimethylarginine (ADMA) sebagai inhibitor sintesis
NO endogen, dan endothelin-1 (ET-1) sebagai vasokonstriktor.
Ketiga substansi vasoaktif tersebut berefek pada aktivitas sistem
syaraf simpatis, vasokonstriksi perifer, dan tekanan darah
intradialitik (Raj, 2002). Penelitian Chou et al dan El Shafey et al
28
di tahun yang berbeda membuktikan adanya peningkatan
signifikan ET-1 pascadialisis dan penurunan rasio NO/ET-1 pada
pasien dengan hipertensi intradialitik (Chou et al., 2006; El Shafey,
2008). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Inrig terbukti bahwa
adanya ketidakseimbangan endothelial-derived hormone seperti
NO dan ET-1 berpengaruh terhadap kejadian hipertensi maupun
hipotensi saat proses hemodialisis (Inrig, 2010a).
d. Penanganan
Penanganan pertama terhadap hipertensi intradialitik adalah
membatasi peningkatan berat badan antar dialisis dan menurunkan
secara bertahap berat badan kering. Hal ini bisa dicapai melalui
konseling melalui diet, pembatasan konsumsi garam dan ultrafiltrasi
yang agresif saat hemodialisis. Penentuan cairan yang akan ditarik saat
hemodialisis memerlukan panduan dengan alat yang non invasif
seperti bioimpedance, ultrasonografi vena kava inferior, atau monitor
volume darah (Peixoto, 2007). Penarikan cairan ini harus hati-hati
untuk menghindari instabilitas hemodinamik. Diperlukan hemodialisis
yang lebih lama dan sering untuk untuk menghindari komplikasi dari
ultrafiltrasi yang berlebihan saat hemodialisis.
Secara teori memperpanjang waktu dialisis dan penentuan laju
ultrafiltrasi yang tepat sangat diperlukan dalam penanganan hipertensi
intradialitik (Chazot dan Jean, 2010; Weir dan Jones, 2010).
Penambahan sodium saat hemodialisis akan meningkatkan pengisian
29
plasma yang akan meningkatkan curah jantung, oleh karena itu
peresepan cairan dialisat yang tinggi sodium harus dihindari. Begitu
juga peresepan dialisat yang tinggi kalsium akan meningkatkan
resistensi perifer dan curah jantung sehingga harus dihindari (Inrig,
2010a).
Beberapa obat disarankan dalam penanganan hipertensi
intradialitik untuk mencegah krisis hipertensi antara lain penyekat
kanal kalsium (CCB) tetapi keamanan obat ini pada kondisi hipertensi
intradialitik belum diteliti (Chazot dan Jean, 2010). Minoxidil,
merupakan vasodilator yang kuat juga dapat diberikan pada kondisi
ini. Obat ini bekerja dengan efek pada cAMP, menghasilkan
vasodilatasi dengan cara relaksasi langsung otot polos arteriolar
(Rizzioli et al., 2009). Obat - obat anti hipertensi seperti penghambat
ACE sudah digunakan dalam penanganan hipertensi intradialitik, obat
ini tidak difiltrasi saat hemodialisis sehingga bisa digunakan untuk
pasien hipertensi intradialitik (Inrig, 2010b).
30
B. Kerangka Pemikiran
Penyakit Ginjal
Kronik
Asupan Makanan dan
Cairan Berlebihan
selama Masa Interdialitik
Hemodialisis
Berat Badan
Ultrafiltrasi Berlebih
Disfungsi
Interdialitik Berlebih
(UF > 4,8% BB Kering)
Endotel
Ketidakseimbangan Faktor-
Hipovolemia
Faktor Humoral pada Sel Endotel
Peningkatan
Penurunan NO
Aktivasi RAAS
ADMA (Inhibitor
(Vasodilator)
sintesis NO
Peningkatan ET-1
(Vasokonstriktor)
endogen)
Oversekresi Renin
dan Angiotensin II
Peningkatan
Hipertensi
Peningkatan
Resistensi Vaskuler
Intradialitik
Mortalitas
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
UF
: Ultrafiltrasi
RAAS
: Sistem Renin Angiotensi Aldosteron
NO
: Nitric Oxide
ADMA
: asymmetric dimethylarginine
ET-1
: Endothelin-1
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
31
C. Hipotesis
Ha :
Ada hubungan antara besar ultrafiltrasi saat hemodialisis dengan kejadian
peningkatan tekanan darah intradialitik pada pasien penyakit ginjal kronik.
H0 :
Tidak ada hubungan antara besar ultrafiltrasi saat hemodialisis dengan
kejadian peningkatan tekanan darah intradialitik pada pasien penyakit
ginjal kronik.
Download