BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Stock Return Return adalah keuntungan yang diperoleh perusahaan, individu dan institusi dari hasil kebijakan investasi yang dilakukannya. Menurut Shook (Fahmi, 2014) return merupakan laba investasi, baik melalui bunga ataupun deviden. Return dapat berupa realized return (return realisasian) dan expected return (return ekspektasian). Menurut Jogiyanto (2009), realized return adalah return yang telah terjadi yang dihitung dengan menggunakan data historis, berguna untuk mengukur kinerja perusahaan dan menentukan expected return. Expected return adalah return yang belum terjadi dan merupakan return yang diharapkan akan diperoleh investor dimasa yang akan datang. Menurut Hartono (2011), return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi, return dapat berupa return realisasi yang sudah terjadi atau return ekspektasi yang belum terjadi tetapi yang diharapkan akan terjadi di masa mendatang, return realisasi dihitung berdasarkan data historis. Salah satu pengukuran return realisasi adalah return total. Return total, merupakan return keseluruhan dari suatu investasi dalam suatu periode yang tertentu (Hartono, 2011). Return total terdiri dari capital gain (loss) dan yield (persentase dividen terhadap harga saham periode sebelumnya). 9 10 Motivasi para investor melakukan investasi adalah harapan untuk memperoleh return yang sesuai. Tanpa adanya return, tentunya para investor tidak akan bersedia melakukan investasi. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan return merupakan imbalan yang diharapkan investor akan diperoleh atas investasi yang dilakukan di suatu perusahaan. Faktor yang mempengaruhi return suatu investasi meliputi pertama, faktor internal dan faktor kedua, adalah menyangkut faktor eksternal. Halim (2010), komponen pengembalian (return) meliputi: a. Untung/Rugi modal (capital gain / loss) merupakan keuntungan (kerugian) bagi investor yang diperoleh dari kelebihan harga jual (harga beli) di atas harga beli (harga jual) yang keduanya terjadi di pasar sekunder. b. Imbal hasil (yield) merupakan pendapatan atau aliran kas yang diterima investor secara periodik, misalnya berupa dividen atau bunga. Yield dinyatakan dalam persentase dari modal yang ditanamkan. Return merupakan hal terpenting dalam menentukan investasi. Penilaian atas return yang diterima harus dianalisis, antara lain melalui analisis return diterima pada periode sebelumnya (return historis). Berdasarkan hasil analisis tersebut kemudian digunakan untuk menganalisis return yang diharapkan (expected return). 2.1.2. Analisis Harga Saham Harga Saham menurut Husnan dan Pudjiastuti (2005) adalah merupakan nilai sekarang (present value) dari penghasilan yang akan diterima oleh pemodal dan diterima oleh pemodal di masa akan yang akan datang. Sedangkan menurut 11 Jogiyanto (2009) harga saham merupakan harga yang terjadi di pasar bursa pada saat tertentu dan harga saham tersebut ditentukan oleh pelaku pasar. Tinggi rendahnya harga saham ini ditentukan oleh permintaan dan penawaran saham tersebut di pasar modal. Dalam Keown (2010) dijelaskan bahwa tujuan utama perusahaan adalah memaksimalkan nilai, atau harga saham perusahaan. Keberhasilan atau kegagalan keputusan manajemen hanya dapat dinilai berdasarkan dampaknya pada harga saham biasa perusahaan. Saham adalah tanda penyertaan atau tanda kepemilikan seseorang atau badan usaha pada sebuah perusahaan. Dahlan (2005) mendefinisikan saham sebagai surat bukti atau tanda kepemilikan bagian modal pada suatu perseroan terbatas. Sedangkan menurut Halim (2010) saham merupakan klaim paling akhir urutannya atau haknya. Bila perusahaan mengalami kebangkrutan, maka kas yang ada dipakai untuk melunasi utang terlebih dahulu, baru kemudian jika terdapat sisa, kas tersebut digunakan untuk membayar pemegang saham. Wujud saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan kertas tersebut. Harga saham menurut Ayu dan Edy (2009) adalah harga yang terkandung dalam surat kepemilikan bagian modal berdasarkan penilaian pasar yang dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran di bursa efek. Sedangkan menurut Sartono (2000), harga saham pada prinsipnya adalah sebesar nilai sekarang atau present value dari aliran kas yang diharapkan akan diterima. Jika perusahaan mencapai prestasi yang baik, maka saham perusahaan tersebut akan banyak 12 diminati oleh banyak investor. Prestasi baik yang dicapai perusahaan dapat dilihat di dalam laporan keuangan yang dipublikasikan oleh perusahaan. Menurut Kesuma (2009), harga saham adalah nilai nominal penutupan (closing price) dari penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas yang berlaku secara reguler di pasar modal di Indonesia. Menurut Husnan (2005), penentuan harga saham yang seharusnya telah dilakukan oleh setiap analis keuangan dengan tujuan untuk bisa memperoleh tingkat keuntungan yang menarik. Analisis saham bertujuan untuk menaksir nilai intrinsik suatu saham, dan kemudian membandingkannya dengan harga pasar saat ini saham tersebut. Nilai intrinsik menunjukkan present value arus kas yang diharapkan dari saham tersebut. Pedoman yang digunakan adalah: (1) apabila NI > harga pasar saat ini, maka saham tersebut dinilai undervalued (harganya terlalu rendah), dan karenanya seharusnya dibeli atau ditahan apa saham tersebut telah dimiliki; (2) apabila NI < harga pasar saat ini, maka saham tersebut dinilai overvalued (harganya terlalu mahal), dan karenanya seharusnya dijual; (3) apabila NI = harga pasar saat ini, maka saham tersebut dinilai wajar harganya dan berada dalam kondisi keseimbangan. 2.1.3. Teori Stakeholder Perusahaan adalah bagian dari beberapa elemen yang membentuk masyarakat dalam sistem sosial. Kondisi tersebut menciptakan sebuah hubungan timbal balik antara perusahaan dan para stakeholder. Hal ini berarti perusahaan harus melaksanakan peranannya secara dua arah yaitu untuk memenuhi kebutuhan perusahaan itu sendiri maupun stakeholders. Menurut Freemandan McVea (2001), 13 teori stakeholder adalah teori yang menggambarkan kepada pihak mana saja (stakeholder) perusahaan bertanggung jawab. Januarti dan Apriyanti (2005) mengemukakan bahwa teori stakeholder mengasumsikan bahwa eksistensi perusahaan memerlukan dukungan stakeholder sehingga aktivitas perusahaan juga mempertimbangkan persetujuan dari stakeholder. Stakeholders merupakan individu, sekelompok manusia, komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan. Ghozali dan Chariri (2007) menjelaskan bahwa stakeholders theory mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder-nya (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain). 2.1.4. Analisis Fundamental Analisis fundamental merupakan analisis yang digunakan untuk mencoba memprediksi harga saham diwaktu yang akan datang dengan mengestimasi nilai faktor-faktor fundamental yang berpengaruh terhadap harga saham dan menerapkan hubungan variabel-variabel tersebut sehingga diperoleh taksiran harga saham. Model ini dikenal sebagai share price forecasting model. Dalam model penelitian ini, langkah yang penting adalah mengidentifikasi faktor-faktor fundamental (seperti penjualan, biaya, laba, pertumbuhan, penjualan, kebijakan deviden dan lainlain) yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap harga saham. Jika kemampuan perusahaan semakin meningkat (menghasilkan laba yang meningkat) maka harga saham akan meningkat. Dengan kata lain profitabilitas 14 akan mempengaruhi harga saham (Husnan dan Enny, 2009). Natarsyah (2000) menyatakan bahwa dalam analisis fundamental setiap investasi saham mempunyai landasan kuat yaitu nilai intrinsik yang dapat ditentukan melalui suatu analisis terhadap kondisi perusahaan pada saat sekarang dan prospeknya di masa yang akan datang. Nilai intrinsik merupakan suatu fungsi dari faktor-faktor perusahaan yang dikombinasikan untuk menghasilkan keuntungan (return) yang diharapkan dengan suatu risiko yang melekat pada saham tersebut. Nilai inilah yang akan diestimasi oleh para investor atau analis, dan hasilnya akan dibandingkan dengan nilai pasar sekarang (current market price) sehingga dapat diketahui saham-saham yang overprice maupun yang underprice. Analisis fundamental bertolak dari anggapan dasar bahwa setiap investor adalah mahkluk rasional, karena itu seorang fundamentalis mencoba mempelajari hubungan antara harga saham dengan kondisi peruashaan. Argumentasinya jelas bahwa nilai saham mewakili nilai perusahaan, tidak hanya nilai intrinsik, tetapi tidak kalah pentingnya harapan akan kemampuan perusahaan dalam meningkatkan nilai di kemudian hari (Martono, 2009). Analisis fundamental mencoba memperkirakan harga saham yang akan datang dengan cara (Husnan dan Pudjiastuti, 2009): a. Mengestimasi nilai faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi harga saham di masa yang akan datang. b. Menerapkan hubungan variabelvariabel tersebut sehingga diperoleh taksiran harga saham. 15 2.1.5. Price to Book Value (PBV) Menurut (Ang, 1997) price to book value merupakan rasio pasar yang digunakan untuk mengukur kinerja harga pasar saham terhadap nilai bukunya. Rasio ini dihitung dengan membandingkan harga pasar saham dengan nilai buku per lembar saham (book value per share). Book value per share digunakan untuk mengukur nilai shareholder equity atas setiap saham dan dasarnya nilai book value per share dihitung dengan membagi total shareholders equity dengan jumlah saham yang diterbitkan (outstanding shares). Nilai pasar adalah harga saham yang terjadi di pasar bursa pada saat tertentu yang ditentukan oleh pelaku pasar. Nilai pasar ditentukan oleh permintaan dan penawaran saham yang bersangkutan di pasar bursa. Semakin kecil nilai price to book value maka harga dari suatu saham dianggap semakin murah (Leksmana dan Gunawan dalam Martono, 2009). Price to book value merupakan rasio yang penting sebagai salah satu indikasi perusahaan dalam uapaya komitmen yang tinggi terhadap pasar. Upaya peningkatan rasio price to book value berarti merupakan upaya peningkatan nilai perusahaan (Wahyudi dalam Martono, 2009). Perusahaan yang dapat beroperasi dengan baik, umumnya memiliki rasio price to book value di atas satu, yang menunjukkan nilai pasar saham lebih tinggi dari nilai bukunya. Semakin tinggi rasio price to book value, maka semakin tinggi pula perusahaan dinilai oleh investor. Apabila suatu perusahaan dinilai lebih tinggi oleh investor, maka harga saham akan semakin meningkat di pasar, yang pada akhirnya return saham tersebut akan meningkat. 16 Investor dapat mempertimbangkan rasio pasar modal seperti rasio harga terhadap nilai bukunya (Price to Book Value) yang selanjutnya disingkat PBV, untuk membedakan saham mana yang harganya wajar, terlalu tinggi (overvalued), atau terlalu rendah (undervalued) (Wardjono, 2010). Rasio harga pasar suatu saham terhadap nilai bukunya memberikan indikasi pandangan investor atas perusahaan. Rasio ini mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada manajemen dan organisasi sebagai perusahaan yang terus tumbuh. Semakin tinggi rasio Price to Book Value dapat diartikan semakin berhasil perusahaan menciptakan nilai bagi pemegang saham. Dalam menganalisis harga saham dapat menggunakan rasio keuangan yang sering dikaitkan dengan profitabilitas guna mengukur kinerja perusahaan. Price to Book Value (PBV) digunakan untuk mengukur kinerja harga pasar saham terhadap nilai bukunya. Price to Book Value juga menunjukkan seberapa jauh perusahaan mampu menciptakan nilai perusahaan relatif terhadap jumlah modal yang diinvestasikan. Semakin tinggi nilai perusahaan semakin besar kemakmuran yang akan diterima oleh pemilik perusahaan. 2.1.6. Debt to Equity Ratio (DER) Menurut Sawir (2012), Debt To Equity Ratio adalah rasio yang menggambarkan perbandingan hutang dan ekuitas dalam pendanaan perusahaan dan menunjukkan kemampuan modal sendiri perusahaan tersebut untuk memenuhi seluruh kewajibannya. Rasio ini bertujuan untuk mengukur tingkat leverage (penggunaan utang) perusahaan terhadap seluruh ekuitas yang dimiliki perusahaan. Semakin tinggi rasio tersebut semakin banyak uang kreditur yang 17 digunakan dalam usaha menghasilkan laba. Semakin tinggi rasio ini, maka semakin rendah pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham. Dari perspektif kemampuan membayar kewajiban jangka panjang, semakin rendah rasio akan semakin baik kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjangnya. Suatu perusahaan didirikan tentunya tidak lepas dari upaya memenuhi tujuan pendiriannya yaitu memaksimalisasi harga saham dan pencapaian profitabilitas. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan modal, baik modal sendiri dari intern perusahaan yakni dengan mengeluarkan saham maupun modal dari ekstern berupa hutang. Struktur modal diukur dengan leverage yakni ukuran yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan perusahaan yang menggunakan aktiva atau dana yang mempunyai beban tetap untuk memperbesar tingkat pengembalian atau laba bersih bagi pemilik perusahaan. Perusahaan yang menggunakan hutang adalah perusahaan yang mempunyai financial leverage. Semakin besar proporsi hutang yang dipergunakan oleh perusahaan, pemilik modal sendiri akan menanggung resiko yang makin besar. Penentuan struktur modal melibatkan adanya suatu pertukaran antara resiko dan pengembalian Brigham dan Houston (2010). Menggunakan hutang dalam jumlah yang lebih besar akan meningkatkan resiko yang ditanggung oleh pemegang saham. Namun demikian menggunakan lebih banyak hutang pada umumnya akan meningkatkan perkiran pengembalian atas ekuitas. Resiko yang makin tinggi cenderung menurunkan harga saham. Karena itu struktur modal yang 18 optimal harus mencapai suatu keseimbangan antara resiko dan pengembalian sehingga dapat memaksimalkan harga saham perusahaan. Naimah (2008) dalam penelitiannya menerima hipotesis yang menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki rasio hutang terhadap total aktiva yang tinggi, hubungan laba akuntansi dengan harga saham akan lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki rasio hutang terhadap total aktiva yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi resiko perusahaan, akan semakin rendah respon harga saham terhadap informasi laba akuntansi. Semakin tinggi tingkat leverage akan semakin tinggi resiko perusahaan yang pada akhirnya akan menurunkan harga saham. Turunnya harga saham dapat mengakibatkan turunnya Price to Book Value Ratio. 2.1.7. Resiko (Beta) Menurut Husnan (2009) menyatakan risiko sistematis yaitu risiko yang tidak dapat dihilangkan begitu saja dengan diversifikasi, sehingga investor memiliki ketidak pastian terhadap keuntungan yang diperolehnya. Oleh karena itu investor memiliki pilihan investasi sesuai dengan preferensi risiko portofolio yang mereka miliki termasuk informasi tentang kebijaksanaan atau perubahan dividen. Diversifikasi risiko ini sangat penting untuk investor, karena dapat meminimumkan risiko tanpa harus mengurangi return yang diterima. Mengetahui beta (β) suatu sekuritas atau beta suatu portofolio merupakan hal yang penting untuk menganalisis sekuritas atau portofolio tersebut. Menurut Hartono (2011) untuk menghitung beta portofolio, maka beta masingmasing sekuritas perlu dihitung terlebih dahulu. Beta portofolio merupakan rata-rata tertimbang dari 19 masing-masing sekuritas. Beta suatu sekuritas dapat dihitung dengan teknik estimasi yang menggunakan data historis, data yang dihitung berdasarkan data historis selanjutnya dapat menggunakan faktor-faktor lain untuk mengestimasi beta masa mendatang. Beta historis dapat dihitung dengan menggunakan data historis berupa data pasar (return-return sekuritas dan return pasar). Beta yang dihitung dengan data pasar disebut dengan beta pasar. Investor berinvestasi untuk masa depannya, untuk pengembalian yang diharapkannya (expected return), namun saat waktu investasi selesai, mereka akan menerima pengembalian yang sesungguhnya (realized return) yang mungkin lebih kecil dari pengembalian yang diharapkan (expected return). Pengembalian yang lebih kecil dari pengembalian yang diharapkan memberikan penekanan penting bagi investor, kalau dalam berinvestasi selalu ada resiko (risk) yang wajib untuk dipertimbangkan (Jones et al., 2009). Resiko dapat ditafsirkan sebagai bentuk keadaan ketidakpastian tentang suatu keadaan yang akan terjadi nantinya (future) dengan keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan saat ini (Fahmi, 2014). Ada dua jenis resiko yang sering dibahas dalam konteks portfolio pasar, yaitu : a. Resiko tidak sistematis (unsystematic risk) Unsystematic risk merupakan resiko yang membawa dampak pada perusahaan terkait saja namun tidak akan menimbulkan dampak apapun pada perusahaan lain. b. Resiko sistematis (systematic risk) Systematic risk adalah resiko yang tidak dapat diversifikasikan atau dengan kata 20 lain resiko yang sifatnya menyeluruh. Dalam systematic risk perubahan pasar akan mempengaruhi variabilitas return suatu investasi. Systematic risk disebut juga market risk atau resiko umum. Ukuran dari systematic risk adalah beta. Menurut Fahmi (2014), beta menunjukkan hubungan (gerakan) antara saham dengan pasarnya. Menurut Jogiyanto (2009) beta merupakan suatu pengukur volatilitas return suatu sekuritas atau return portfolio terhadap return pasar. Menurut Jones et al. (2009) saham dengan kemiringan yang berbeda-beda akan memiliki sensitifitas yang berbeda pula terhadap indeks pasar. Jones et al. menjelaskan, apabila beta bernilai sama dengan satu, artinya setiap satu persen perubahan dalam market return, maka secara rata-rata stock return akan berubah sebesar satu persen juga. Apabila volatilitas (fluktuasi harga) saham disebuah pasar tinggi, maka beta akan bernilai lebih dari satu, sebaliknya semakin kurang volatilitas saham disebuah pasar, maka beta akan bernilai kurang dari satu. Beta berguna untuk membandingkan resiko sistematis dari berbagai saham. Saham yang memiliki nilai beta yang besar maka dapat dinilai bahwa resiko saham tersebut juga besar, begitu pula sebaliknya. Beta suatu sekuritas dapat dihitung dengan teknik estimasi yang menggunakan data historis (Jogiyanto, 2009). Menurut Jogiyanto, beta dapat diestimasi secara manual dengan memplot garis diantara titik-titik return atau dengan teknik regresi. 2.1.8. Ukuran Perusahaan (Size) Firm size (ukuran perusahaan) merupakan ukuran besar kecilnya perusahaan yang diukur melalui logaritma natural dari total asset (Ln total asset). Total asset dijadikan sebagai indikator ukuran perusahaan karena sifatnya jangka 21 panjang dibandingkan dengan penjualan. Pada kenyataannya bahwa semakin besar suatu perusahaan, maka kecenderungan penggunaan dana eksternal juga akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena perusahaan yang besar memiliki kebutuhan dana yang besar dan salah satu alternatif pemenuhan dana yang tersedia menggunakan pendanaan eksternal. Penjualan merupakan sumber dari hidupnya suatu perusahaan, karena dari penjualan dapat diperoleh laba. Pertumbuhan penjualan merupakan manifestasi keberhasilan investasi di masa lalu dan dapat dijadikan sebagai prediksi di masa yang akan datang. Laju pertumbuhan suatu perusahaan akan mempengaruhi kemampuan mempertahankan keuntungan pada masa yang akan datang. Pertumbuhan penjualan yang tinggi akan mencerminkan pendapatan yang meningkat, sehingga diharapkan pembayaran deviden pun akan meningkat. Pembayaran deviden merupakan salah satu harapan dari para investor. Untuk dapat mencapai pertumbuhan penjualan tentunya diperlukan aset yang juga jumlahnya meningkat. Besarnya aset yang digunakan perusahaan merupakan salah satu ukuran besar kecilnya perusahaan tersebut (size). Ukuran perusahaan turut menentukan tingkat kepercayaan investor. Semakin besar perusahaan, semakin dikenal masyarakat yang berarti semakin mudah untuk mendapatkan informasi mengenai perusahaan. Size menggambarkan kemampuan meningkatkan penjualan dan earning dari total asset yang dimiliki perusahaan. Jadi, ukuran perusahaan merupakan ukuran atau besarnya asset yang dimiliki oleh perusahaan. Ukuran perusahaan diukur dengan total aktiva yang dimiliki perusahaan (Halim, 2010). 22 2.1.9. Return On Asset (ROA) Profitabilitas yang tinggi merupakan suatu keberhasilan perusahaan dalam memperoleh laba berdasarkan aktivanya maupun berdasarkan modal sendiri. Menjaga tingkat profitabilitas merupakan hal yang penting bagi perusahaan karena profitabilitas yang tinggi merupakan tujuan dari perusahaan. Jika dilihat dari perkembangan rasio profitabilitas menunjukkan suatu peningkatan hal tersebut menunjukkan kinerja perusahaan yang efisien (Riyanto dalam Martono, 2009). Return On Asset (ROA) adalah salah satu rasio profitabilitas yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan didalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya (Ang ,1997). ROA mengukur efektifitas perusahaan dalam memanfaatkan seluruh sumber dana yang sering juga disebut hasil pengembalian atas investasi (Ghozali dan Irwansyah dalam Rasmin, 2007). Dari pengertian tersebut, maka rasio ini sering juga disebut ROI karena menghubungkan laba dengan investasi, yaitu mengukurtingkat pengembalian atas investasi (Horne & Wachowicz dalam Rasmin, 2007). Perusahaan selalu berupaya agar ROA dapat selalu ditingkatkan. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi ROA menunjukkan semakin efektif perusahaan memanfaatkan aktivanya untuk menghasilkan laba bersih setelah pajak, dengan semakin meningkatnya ROA, maka profitabilitas perusahaan semakin baik. Rasio ini mengukur seberapa banyak laba bersih yang bisa diperolah dari seluruh asset yang dimiliki dan ditanamkan ke dalam sebuah perusahaan (efisiensi aktiva). Semakin tinggi ROA menunjukkan semakin efektif 23 perusahaan dalam memanfaatkan aktivanya untuk menghasilkan laba bersih setelah pajak. Kemampuan perusahaan dalam mengelola aktiva untuk menghasilkan keuntungan mempunyai daya tarik dan mampu mempengaruhi investor untuk membeli saham perusahaan tersebut. Peningkatan ROA akan menambah daya tarik investor untuk menanamkan dananya dalam perusahaan. Sehingga harga saham perusahaan akan meningkat, dengan kata lain ROA akan berdampak positif terhadap return saham. 2.1.10. Return on Equity (ROE) Return On Equity (ROE) menggambarkan sejauh mana kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang bisa diperoleh pemegang saham. Menurut Harahap (2009), ROE adalah rasio rentabilitas yang menunjukan berapa persen perolehan laba bersih bila di ukur dari modal pemilik. Rasio yang dipergunakan oleh investor guna melihat tingkat pengembalian terhadap modalyang mereka tanamkan disebut juga dengan rentabilitas modal sendiri atau RO. Rasio ROE sangat menarik bagi pemegang saham maupun para calon pemegang saham, dan juga manajemen karena rasio tersebut merupakan ukuran atau indikator penting. ROE sering disebut dengan rate of return on net worth, yaitu kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan modal sendiri yang dimiliki. Laba yang diperhitungkan adalah laba bersih dipotong dengan pajak atau EAT. 24 2.1.11. Earning Per Share (EPS) Earning Per Share (EPS) merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak pada satu tahun buku dengan jumlah saham yang diterbitkan (Widiatmojo dalam Martono, 2009). Kenaikan EPS berarti perusahaan sedang dalam tahap pertumbuhan atau kondisi keuangannya sedang mengalami peningkatan dalam penjualan dan laba, atau dengan kata lain semakin besar earning per share menandakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan bersih setiap lembar saham. Maksimalisasi laba (profit maximization) sering dipandang sebagai tujuan yang tepat bagi sebuah perusahaan. Namun, hal ini sebenarnya memiliki kelemahan karena dengan hanya menerbitkan saham dan menggunakan hasilnya untuk berinvestasi dalam sekuritas yang tidak berisiko laba dapat meningkat. Hal tersebut bagi kebanyakan perusahaan mengakibatkan jatuhnya laba per saham (EPS), sehingga ukuran yang lebih tepat adalah memaksimalkan EPS (Horne & Wachowicz, 2005 dalam Martono, 2009). EPS adalah termasuk salah satu rasio pasar (Ang, 1997) rasio pasar pada dasarnya mengukur kemampuan manajemen dalam menciptakan nilai pasar yang melampaui pengeluaran investasi. Rasio ini merupakan pengukuran yang paling lengkap mengenai prestasi perusahaan dan berkaitan langsung dengan tujuan memaksimalkan nilai perusahaan dan kekayaan para pemegang saham (Ang, 1997). EPS adalah salah satu rasio pasar yang merupakan hasil atau pendapatan yang akan diterima oleh para pemegang saham untuk setiap lembar saham yang dimilikinya atas keikutsertaan dalam perusahaan. Munawir (Martono, 2009) 25 menyebutkan bahwa EPS (laba per lembar saham) biasanya merupakan indikator laba yang diperhatikan oleh para investor. EPS adalah salah satu indikator pendapatan sehingga berpengaruh positif dan signifikan terhadap pergerakan harga saham (Taufik dalam Martono, 2009). Semakin tinggi laba setelah pajak yang dihasilkan perusahaan maka semakin besar EPS perusahaan (Subiyantoro & Andreani dalam Martono, 2009). Dalam jangka pendek, rencana pembelian kembali saham mungkin dapat menutupi kondisi perusahaan yang sebenarnya. Namun hal itu akan mengurangi kepercayaan pemodal terhadap perusahaan, meskipun bagi pemodal pendapatannya sendiri dari saham tersebut meningkat. Akibatnya permintaan akan saham tersebut menurun dan harga saham juga mengalami penurunan (Ang, 1997). 2.1.12. Price Earnings Ratio (PER) Price Earnings Ratio (PER) mengindikasikan besarnya rupiah yang harus dibayarkan investor untuk memperoleh satu rupiah earnings perusahaan. Dengan kata lain PER menunjukkan besarnya harga setiap satu rupiah earnings perusahaan. PER merupakan ukuran harga relatif dari sebuah saham perusahaan (Tandelilin, 2001:243). Rasio PER mencerminkan pertumbuhan laba perusahaan. Semakin tinggi rasio ini, semakin tinggi pertumbuhan laba yang diharapkan oleh pemodal (Husnan & Eny, 2002). PER membandingkan antara harga saham (yang diperoleh dari pasar modal) dan laba per lembar saham yang diperoleh pemilik perusahaan (disajikan dalam laporan keuangan) (Husnan, 2005). Sedangkan menurut Hanafi dan Abdul (2003). PER merupakan bagian dari rasio pasar, 26 dimana sudut pandang rasio pasar ini lebih banyak berdasarkan pada sudut investor atau calon investor. Keinginan investor melakukan analisis kesehatan suatu saham melalui rasio-rasio keuangan seperti PER, dikarenakan adanya keinginan investor atau calon investor akan hasil (return) yang layak atas suatu investasi saham. Menurut Farkhan dan Ika (2012), PER merupakan rasio yang menunjukkan seberapa banyak investor bersedia membayar tiaplembar saham.Price Earnings Ratio menghubungkan antara harga pasar per lembar saham dengan Earnings Per Share saham yang bersangkutan. PER lebih banyak digunakan untuk menilai saham karena PER menggambarkan indikator kepercayaan pasar terhadap prospek perusahaan (Sartono, 1996). Meskipun diakui bahwa analisa PER merupakan analisa yang relatif sederhana, tetapi karena analisa ini membantu investor dalam memusatkan judgement mereka, maka analisa PER ini tetap digunakan (Husnan, 1998). Pejabat Bursa Efek Indonesia (BEI) dan para analis saham di media massa sering menyebutkan angka 15 sebagai PER wajar, sehingga saham yang memiliki nilai PER di atas 15 dikatakan overvalued dan yang memiliki nilai PER di bawah 15 dikatakan masih relatif murah. PER merupakan ekspektasi dari nilai saham pada masa yang akan datang, sehingga suatu saham dari perusahaan dengan kinerja dan prospek usaha yang menguntungkan akan memiliki nilai PER yang tinggi. Sebaliknya saham perusahaan yang tidak memiliki kinerja dan prospek usaha yang menguntungkan akan memiliki nilai PER yang rendah. Investor mempertimbangkan rasio tersebut 27 guna memilah-milah saham mana yang nantinya memberikan keuntungan yang besar dimasa yang akan datang dan pertimbangannya jika perusahaan mempunyai PER yang terlalu tinggi tidak akan menarik karena harga saham kemungkinan tidak naik lagi berarti kemungkinan memperoleh capital gain akan lebih kecil (Mahmud & Abdul, 2003). PER menjadi tidak mempunyai makna apabila perusahaan mempunyai laba yang sangat rendah (abnormal) atau menderita kerugian. Pada keadaan ini, PER perusahaan akan begitu tinggi (abnormal) atau bahkan negatif (Prastowo dan Rifky, 2002). 2.1.13. Book to Market Ratio Book to Market Ratio merupakan rasio perbandingan antara nilai buku per saham dibandingkan dengan harga pasar saham. Book to market ratio dihitung dengan membagi equity per share dengan closing price bulan desember (akhir tahun), untuk membagi perusahaan menjadi dua yaitu perusahaan dengan book to market ratio rendah dan tinggi. Nilai pasar ditentukan oleh permintaan dan penawaran saham bersangkutan di bursa. Sedangkan nilai buku (book value per lembar saham) menunjukkan aktiva bersih (net asset) yang dimiliki oleh pemegang saham dengan memiliki satu lembar saham. Karena aktiva bersih adalah sama dengan total ekuitas pemegang saham, maka nilai buku perlembar saham adalah total ekuitas dibagi dengan jumlah saham beredar. Perusahaan yang berjalan dengan baik, umumnya memiliki rasio book to market di bawah satu, yang menunjukkan bahwa nilai pasar saham lebih besar dari nilai bukunya. 28 2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian Nelia dan Nurul (2014) dengan judul “Pengaruh Faktor Fundamental dan Risiko Sistematis terhadap Return Saham Manufaktur”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh faktor fundamental (terdiri dari: firm size, book to market ratio, price earning ratio, earnings per share, debt to equity ratio, return on equity) dan risiko sistematis secara simultan dan parsial terhadap return saham manufaktur yang go public, serta mengetahui dan menganalisis variabel yang berkontribusi paling besar terhadap perubahan return saham manufaktur yang go public. Dari hasil pengujian hipotesis penelitian diketahui bahwa secara simultan faktor fundamental (terdiri dari: firm size, book to market ratio, price earning ratio, earnings per share, debt to equity ratio, return on equity) dan risiko sistematis berpengaruh signifikan terhadap return saham. Secara parsial, firm size, book to market ratio, price earning ratio, earnings per share, debt to equity ratio, return on equity tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham. Sedangkan risiko sistematis secara parsial berpengaruh signifikan terhadap return saham. Dengan demikian risiko sistematis merupakan variabel yang berkontribusi paling besar terhadap perubahan return saham. Penelitian Budialim (2013) dengan judul “Pengaruh Kinerja Keuangan dan Resiko terhadap Return Saham Perusahaan Sektor Cosumer Goods di Bursa Efek Indonesia Periode 2007-2011”. Penelitian ini bertujuan untuk menguji adanya pengaruh kinerja keuangan (likuiditas, DER, profitabilitas, BVPS, dan Beta terhadap Return Saham. Total sampel sebanyak 28 perusahaan. Alat analisis 29 regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CR, DER, ROA, ROE, EPS, BVPS, dan Beta berpengaruh signifikan terhadap Return Saham. Penelitian Husna dan Djumahir (2015) dengan judul “Pengaruh Pengaruh Return on Equity, Debt to Equity Ratio, Earning per Share, Price Earning Ratio, Price to Book Value dan Time Interest Earned terhadap Return Saham”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio keuangan terhadap return saham pada perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Rasio keuangan pada penelitian ini adalah Return on Equity, Debt to Equity Ratio, Earning per Share, Price Earning Ratio, Price to Book Value, dan Time Interest Earned Ratio. Penelitian ini merupakan penelitian explanatory research. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah sampling jenuh, sehingga diperoleh 12 sampel perusahaan makanan dan minuman pada periode penelitian 2011-2013. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel Earning per Share dan Time Interest Earned Ratio berpengaruh signifikan terhadap Return saham. Sedangkan variabel lain dalam penelitian ini yaitu Return on Equity, Debt to Equity Ratio, Price Earning Ratio, dan Price to Book Value tidak berpengaruh signifikan terhadap Return saham. Penelitian Carlo (2014) dengan judul “Pengaruh Return On Equity, Dividend Payout Ratio, dan Price to Earnings Ratio pada Return Saham” Penelitian ini menguji pengaruh return on equity, dividend payout ratio, dan price to earnings ratio pada return saham di Bursa Efek Indonesia, yang difokuskan pada perusahaan yang terdaftar dalam indeks LQ45 tahun 2010-2012. 30 Menggunakan data sekunder berupa laporan keuangan tahunan perusahaan. Hasil proses seleksi sampel memperoleh 105 sampel, yang terdiri dari 47 perusahaan dan dianalisis menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil analisis menunjukkan variabel ROE dan DPR berpengaruh positif dan signifikan pada return saham, sedangkan variabel PER tidak berpengaruh pada return saham. Penelitian Hendrawati dan Yulius (2014) dengan judul “Pengaruh Debt to Equity Ratio, Arus Kas Operasi, dan Earnings terhadap Return Saham Perusahaan Manufaktur Sektor Industri Barang Konsumsi di Bursa Efek Indonesia Periode 2008-2012’. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Debt to Equity Ratio, arus kas operasi, dan earnings mempunyai pengaruh terhadap return saham. Peneletian ini dilakukan karena penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan hal ini menghasilkan kesimpulan yang beragam dengan variabel yang berbeda-beda dan tidak konsisten. Variabel bebas adalah Debt to Equity Ratio, arus kas operasi, dan earnings. Variabel bebas diukur dengan menggunakan pendekatan definisi operasional dan indikator empirik. Variabel terikat adalah return saham. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari laporan keuangan perusahaan dan dara harga saham. Sampel penelitiannya adalah 29 perusahaan manufaktur sektor barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia 2008-2012. Penelitian ini menggunakan alat bantu SPSS. Hasil pengujian berdasarkan uji t menunjukkan bahwa Debt to Equity Ratio tidak berpengaruh terhadap return saham, arus kas operasi berpengaruh signifikan terhadap return saham, dan earnings tidak berpengaruh terhadap return saham. 31 2.3. Kerangka Penelitian Model penelitian yang menggambarkan suatu kerangka konseptual sebagai panduan sekaligus alur berpikir tentang pengaruh Price Book Value, Debt Equity Ratio, Resiko, dan Size terhadap Stock Return adalah sebagai berikut : Price Book Value Debt Equity Ratio Stock Return Resiko Size Gambar 2.1 Kerangka Penelitian 2.4. Pengembangan Hipotesis 2.4.1. Pengaruh Price Book Value terhadap Stock Return Price to Book Value (PBV) digunakan untuk mengukur kinerja harga pasar saham terhadap nilai bukunya. Price to Book Value juga menunjukkan seberapa jauh perusahaan mampu menciptakan nilai perusahaan relatif terhadap jumlah modal yang diinvestasikan. Semakin tinggi nilai perusahaan semakin besar kemakmuran yang akan diterima oleh pemilik perusahaan. Semakin tinggiPrice to Book Value (PBV), semakin baik pasar memandang perusahaan dan prospeknya.Hal ini berarti semakin berhasil perusahaan menciptakan nilai bagi pemegang saham. Hasil penelitian Ardiansyah (2013) menunjukkan bahwa PBV berpengaruh signifikan terhadap return saham. Kemudian hasil penelitian 32 penelitian Nelia dan Nurul (2014) menunjukkan bahwa PBV secara parsial berpengaruh signifikan terhadap return saham. Dengan demikian, hipotesis yang dapat dirumuskan : H1 : Price Book Value berpengaruh positif terhadap stock return 2.4.2. Pengaruh Debt Equity Ratio terhadap Stock Return DER menunjukkan tingkat hutang perusahaan, perusahaan dengan hutang yang besar mempunyai biaya hutang yang besar pula. Hal tersebut menjadi beban bagi perusahaan yang dapat menurunkan tingkat kepercayaan investor, sehingga PBV akan menurun. Rosje dan Astuti (2003) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa DER mempunyai pengaruh yang negative terhadap PBV pada perusahaan yang listed di BEI. Debt to Equity Ratio (DER) merupakan perbandingan antara total hutang terhadap total shareholders equity yang dimiliki perusahaan. Semakin besar Debt to Equity Ratio (DER) berarti semakin besar hutang yang ditanggung perusahaan. Tingkat struktur modal yang aman biasanya kurang dari 50 persen. Semakin kecil struktur modal semakin baik bagi perusahaan atau semakin aman utang yang harus diantisipasi dengan modal sendiri (Arifin dan Fakhruddin, 2001). Rasio ini menunjukkan dan menggambarkan komposisi atau struktur modal dari perbandingan total hutang dengan total ekuitas (modal) perusahaan yang digunakan sebagai sumber pendanaan usaha. Rasio struktur modal ini menggambarkan mengenai struktur modal yang dimiliki oleh perusahaan, sehingga dapat dilihat tingkat risiko tidak terbayarkan suatu hutang (Suharli, 2005 dalam Ratnawati, 2009). Semakin besar DER menandakan struktur permodalan 33 lebih banyak memanfaatkan hutang-hutang terhadap ekuitas sehingga mencerminkan risiko perusahaan yang relatif tinggi (Natarsyah, 2000). Demikian juga menurut Ang (2007) semakin tinggi nilai DER menunjukkan semakin tinggi risiko yang harus ditanggung perusahaan dengan menggunakan modal sendiri apabila perusahaan mengalami kerugian. Hasil penelitian Ardiansyah (2013) menunjukkan bahwa nilai t untuk LEV sebesar 3,209 dengan tingkat signifikansi 0,002. Karena tingkat signifikansinya lebih kecil dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa DER berpengaruh terhadap return saham. Kemudian hasil penelitian Imran (2014) menunjukkan bahwa debt to equity ratio berpengaruh positif terhadap return saham dengan koefisien regresi sebesar 0,542. Dengan demikian, hipotesis yang dapat dirumuskan : H2 : Debt Equity Ratio berpengaruh negatif terhadap stock return 2.4.3. Pengaruh Beta terhadap Stock Return Return dan risiko merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, karena pertimbangan suatu investasi merupakan trade-off dari kedua faktor ini. Return dan risiko mempunyai hubungan yang positif, semakin besar risiko yang harus ditanggung, semakin besar return yang dikompensasikan (Jogiyanto, 2009). Hal seperti inilah yang menjawab pertanyaan mengapa tidak semua investor hanya berinvestasi pada asset yang menawarkan tingkat return yang paling tinggi (Jogiyanto, 2009). Investor yang rasional tentu akan memilih saham-saham yang memberikan tingkat keuntungan yang tinggi dengan risiko yang rendah. Rate of return diperoleh dari laba perusahaan berupa deviden dan selisih harga saham. 34 Investor dapat menggunakan laba akuntansi sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk melakukan investasi. Hasil penelitian Budialim (2013) menunjukkan bahwa Beta berpengaruh signifikan terhadap return saham. Kemudian hasil penelitian penelitian Nelia dan Nurul (2014) menunjukkan bahwa risiko sistematis secara parsial berpengaruh signifikan terhadap return saham. Dengan demikian, hipotesis yang dapat dirumuskan : H3 : Beta berpengaruh positif terhadap stock return 2.4.4. Pengaruh Size terhadap Stock Return Size (log total assets) menunjukkan angka yang terus naik. Hal ini menunjukkan semakin besar aset yang digunakan perusahaan. Meningkatnya aset perusahaan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan perusahaan untuk meningkatkan perolehan laba. Besarnya aset yang digunakan perusahaan merupakan salah satu ukuran besar kecilnya perusahaan tersebut (Size). Ukuran perusahaan turut menentukan tingkat kepercayaan investor. Semakin besar perusahaan, semakin dikenal masyarakat yang berarti semakin mudah untuk mendapatkan informasi mengenai perusahaan. Size menggambarkan kemampuan meningkatkan penjualan dan earning dari total asset yang dimiliki perusahaan. Jadi, ukuran perusahaan merupakan ukuran atau besarnya asset yang dimiliki oleh perusahaan. Ukuran perusahaan diukur dengan total aktiva yang dimiliki perusahaan (Halim, 2010). Kemudian hasil penelitian Wijayanti (2011) menunjukkan bahwa Size berpengaruh signifikan terhadap return saham dan hasil 35 penelitian Wijayanti dkk., (2011) menunjukkan bahwa Size berpengaruh signifikan terhadap return saham. Dengan demikian, hipotesis yang dapat dirumuskan : H4 : Size berpengaruh positif terhadap stock return