BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Stock

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Stock Return
Return adalah keuntungan yang diperoleh perusahaan, individu dan institusi
dari hasil kebijakan investasi yang dilakukannya. Menurut Shook (Fahmi, 2014)
return merupakan laba investasi, baik melalui bunga ataupun deviden. Return
dapat berupa realized return (return realisasian) dan expected return (return
ekspektasian). Menurut Jogiyanto (2009), realized return adalah return yang
telah terjadi yang dihitung dengan menggunakan data historis, berguna untuk
mengukur kinerja perusahaan dan menentukan expected return. Expected return
adalah return yang belum terjadi dan merupakan return yang diharapkan akan
diperoleh investor dimasa yang akan datang.
Menurut Hartono (2011), return merupakan hasil yang diperoleh dari
investasi, return dapat berupa return realisasi yang sudah terjadi atau return
ekspektasi yang belum terjadi tetapi yang diharapkan akan terjadi di masa
mendatang, return realisasi dihitung berdasarkan data historis. Salah satu
pengukuran return realisasi adalah return total. Return total, merupakan return
keseluruhan dari suatu investasi dalam suatu periode yang tertentu (Hartono,
2011). Return total terdiri dari capital gain (loss) dan yield (persentase dividen
terhadap harga saham periode sebelumnya).
9
10
Motivasi para investor melakukan investasi adalah harapan untuk
memperoleh return yang sesuai. Tanpa adanya return, tentunya para investor
tidak akan bersedia melakukan investasi. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan return
merupakan imbalan yang diharapkan investor akan diperoleh atas investasi yang
dilakukan di suatu perusahaan. Faktor yang mempengaruhi return suatu investasi
meliputi pertama, faktor internal dan faktor kedua, adalah menyangkut faktor
eksternal.
Halim (2010), komponen pengembalian (return) meliputi:
a. Untung/Rugi modal (capital gain / loss) merupakan keuntungan (kerugian) bagi
investor yang diperoleh dari kelebihan harga jual (harga beli) di atas harga beli
(harga jual) yang keduanya terjadi di pasar sekunder.
b. Imbal hasil (yield) merupakan pendapatan atau aliran kas yang diterima
investor secara periodik, misalnya berupa dividen atau bunga. Yield dinyatakan
dalam persentase dari modal yang ditanamkan.
Return merupakan hal terpenting dalam menentukan investasi. Penilaian atas
return yang diterima harus dianalisis, antara lain melalui analisis return diterima
pada periode sebelumnya (return historis). Berdasarkan hasil analisis tersebut
kemudian digunakan untuk menganalisis return yang diharapkan (expected
return).
2.1.2. Analisis Harga Saham
Harga Saham menurut Husnan dan Pudjiastuti (2005) adalah merupakan
nilai sekarang (present value) dari penghasilan yang akan diterima oleh pemodal
dan diterima oleh pemodal di masa akan yang akan datang. Sedangkan menurut
11
Jogiyanto (2009) harga saham merupakan harga yang terjadi di pasar bursa pada
saat tertentu dan harga saham tersebut ditentukan oleh pelaku pasar. Tinggi
rendahnya harga saham ini ditentukan oleh permintaan dan penawaran saham
tersebut di pasar modal. Dalam Keown (2010) dijelaskan bahwa tujuan utama
perusahaan adalah memaksimalkan nilai, atau harga saham perusahaan.
Keberhasilan atau kegagalan keputusan manajemen hanya dapat dinilai
berdasarkan dampaknya pada harga saham biasa perusahaan. Saham adalah tanda
penyertaan atau tanda kepemilikan seseorang atau badan usaha pada sebuah
perusahaan.
Dahlan (2005) mendefinisikan saham sebagai surat bukti atau tanda
kepemilikan bagian modal pada suatu perseroan terbatas. Sedangkan menurut
Halim (2010) saham merupakan klaim paling akhir urutannya atau haknya. Bila
perusahaan mengalami kebangkrutan, maka kas yang ada dipakai untuk melunasi
utang terlebih dahulu, baru kemudian jika terdapat sisa, kas tersebut digunakan
untuk membayar pemegang saham. Wujud saham adalah selembar kertas yang
menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang
menerbitkan kertas tersebut.
Harga saham menurut Ayu dan Edy (2009) adalah harga yang terkandung
dalam surat kepemilikan bagian modal berdasarkan penilaian pasar yang
dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran di bursa efek. Sedangkan menurut
Sartono (2000), harga saham pada prinsipnya adalah sebesar nilai sekarang atau
present value dari aliran kas yang diharapkan akan diterima. Jika perusahaan
mencapai prestasi yang baik, maka saham perusahaan tersebut akan banyak
12
diminati oleh banyak investor. Prestasi baik yang dicapai perusahaan dapat dilihat
di dalam laporan keuangan yang dipublikasikan oleh perusahaan. Menurut
Kesuma (2009), harga saham adalah nilai nominal penutupan (closing price) dari
penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau
perseroan terbatas yang berlaku secara reguler di pasar modal di Indonesia.
Menurut Husnan (2005), penentuan harga saham yang seharusnya telah
dilakukan oleh setiap analis keuangan dengan tujuan untuk bisa memperoleh
tingkat keuntungan yang menarik. Analisis saham bertujuan untuk menaksir nilai
intrinsik suatu saham, dan kemudian membandingkannya dengan harga pasar saat
ini saham tersebut. Nilai intrinsik menunjukkan present value arus kas yang
diharapkan dari saham tersebut. Pedoman yang digunakan adalah: (1) apabila NI
> harga pasar saat ini, maka saham tersebut dinilai undervalued (harganya terlalu
rendah), dan karenanya seharusnya dibeli atau ditahan apa saham tersebut telah
dimiliki; (2) apabila NI < harga pasar saat ini, maka saham tersebut dinilai
overvalued (harganya terlalu mahal), dan karenanya seharusnya dijual; (3) apabila
NI = harga pasar saat ini, maka saham tersebut dinilai wajar harganya dan berada
dalam kondisi keseimbangan.
2.1.3. Teori Stakeholder
Perusahaan adalah bagian dari beberapa elemen yang membentuk
masyarakat dalam sistem sosial. Kondisi tersebut menciptakan sebuah hubungan
timbal balik antara perusahaan dan para stakeholder. Hal ini berarti perusahaan
harus melaksanakan peranannya secara dua arah yaitu untuk memenuhi kebutuhan
perusahaan itu sendiri maupun stakeholders. Menurut Freemandan McVea (2001),
13
teori stakeholder adalah teori yang menggambarkan kepada pihak mana saja
(stakeholder) perusahaan bertanggung jawab. Januarti dan Apriyanti (2005)
mengemukakan bahwa teori stakeholder mengasumsikan bahwa eksistensi
perusahaan memerlukan dukungan stakeholder sehingga aktivitas perusahaan juga
mempertimbangkan persetujuan dari stakeholder.
Stakeholders merupakan individu, sekelompok manusia, komunitas atau
masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki
hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan. Ghozali dan Chariri (2007)
menjelaskan bahwa stakeholders theory mengatakan bahwa perusahaan bukanlah
entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus
memberikan
manfaat
bagi
stakeholder-nya
(pemegang
saham,
kreditor,
konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain).
2.1.4. Analisis Fundamental
Analisis fundamental merupakan analisis yang digunakan untuk mencoba
memprediksi harga saham diwaktu yang akan datang dengan mengestimasi nilai
faktor-faktor fundamental yang berpengaruh terhadap harga saham dan
menerapkan hubungan variabel-variabel tersebut sehingga diperoleh taksiran
harga saham. Model ini dikenal sebagai share price forecasting model. Dalam
model penelitian ini, langkah yang penting adalah mengidentifikasi faktor-faktor
fundamental (seperti penjualan, biaya, laba, pertumbuhan, penjualan, kebijakan
deviden dan lainlain) yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap harga saham.
Jika kemampuan perusahaan semakin meningkat (menghasilkan laba yang
meningkat) maka harga saham akan meningkat. Dengan kata lain profitabilitas
14
akan mempengaruhi harga saham (Husnan dan Enny, 2009). Natarsyah (2000)
menyatakan bahwa dalam analisis fundamental setiap investasi saham mempunyai
landasan kuat yaitu nilai intrinsik yang dapat ditentukan melalui suatu analisis
terhadap kondisi perusahaan pada saat sekarang dan prospeknya di masa yang
akan datang.
Nilai intrinsik merupakan suatu fungsi dari faktor-faktor perusahaan yang
dikombinasikan untuk menghasilkan keuntungan (return) yang diharapkan
dengan suatu risiko yang melekat pada saham tersebut. Nilai inilah yang akan
diestimasi oleh para investor atau analis, dan hasilnya akan dibandingkan dengan
nilai pasar sekarang (current market price) sehingga dapat diketahui saham-saham
yang overprice maupun yang underprice. Analisis fundamental bertolak dari
anggapan dasar bahwa setiap investor adalah mahkluk rasional, karena itu seorang
fundamentalis mencoba mempelajari hubungan antara harga saham dengan
kondisi peruashaan. Argumentasinya jelas bahwa nilai saham mewakili nilai
perusahaan, tidak hanya nilai intrinsik, tetapi tidak kalah pentingnya harapan akan
kemampuan perusahaan dalam meningkatkan nilai di kemudian hari (Martono,
2009).
Analisis fundamental mencoba memperkirakan harga saham yang akan
datang dengan cara (Husnan dan Pudjiastuti, 2009):
a. Mengestimasi nilai faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi harga saham
di masa yang akan datang.
b. Menerapkan hubungan variabelvariabel tersebut sehingga diperoleh taksiran
harga saham.
15
2.1.5. Price to Book Value (PBV)
Menurut (Ang, 1997) price to book value merupakan rasio pasar yang
digunakan untuk mengukur kinerja harga pasar saham terhadap nilai bukunya.
Rasio ini dihitung dengan membandingkan harga pasar saham dengan nilai buku
per lembar saham (book value per share). Book value per share digunakan untuk
mengukur nilai shareholder equity atas setiap saham dan dasarnya nilai book
value per share dihitung dengan membagi total shareholders equity dengan
jumlah saham yang diterbitkan (outstanding shares).
Nilai pasar adalah harga saham yang terjadi di pasar bursa pada saat
tertentu yang ditentukan oleh pelaku pasar. Nilai pasar ditentukan oleh permintaan
dan penawaran saham yang bersangkutan di pasar bursa. Semakin kecil nilai price
to book value maka harga dari suatu saham dianggap semakin murah (Leksmana
dan Gunawan dalam Martono, 2009). Price to book value merupakan rasio yang
penting sebagai salah satu indikasi perusahaan dalam uapaya komitmen yang
tinggi terhadap pasar. Upaya peningkatan rasio price to book value berarti
merupakan upaya peningkatan nilai perusahaan (Wahyudi dalam Martono, 2009).
Perusahaan yang dapat beroperasi dengan baik, umumnya memiliki rasio price to
book value di atas satu, yang menunjukkan nilai pasar saham lebih tinggi dari nilai
bukunya. Semakin tinggi rasio price to book value, maka semakin tinggi pula
perusahaan dinilai oleh investor. Apabila suatu perusahaan dinilai lebih tinggi
oleh investor, maka harga saham akan semakin meningkat di pasar, yang pada
akhirnya return saham tersebut akan meningkat.
16
Investor dapat mempertimbangkan rasio pasar modal seperti rasio harga
terhadap nilai bukunya (Price to Book Value) yang selanjutnya disingkat PBV,
untuk membedakan saham mana yang harganya wajar, terlalu tinggi (overvalued),
atau terlalu rendah (undervalued) (Wardjono, 2010). Rasio harga pasar suatu
saham terhadap nilai bukunya memberikan indikasi pandangan investor atas
perusahaan. Rasio ini mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada
manajemen dan organisasi sebagai perusahaan yang terus tumbuh. Semakin tinggi
rasio Price to Book Value dapat diartikan semakin berhasil perusahaan
menciptakan nilai bagi pemegang saham. Dalam menganalisis harga saham dapat
menggunakan rasio keuangan yang sering dikaitkan dengan profitabilitas guna
mengukur kinerja perusahaan. Price to Book Value (PBV) digunakan untuk
mengukur kinerja harga pasar saham terhadap nilai bukunya. Price to Book Value
juga menunjukkan seberapa jauh perusahaan mampu menciptakan nilai
perusahaan relatif terhadap jumlah modal yang diinvestasikan. Semakin tinggi
nilai perusahaan semakin besar kemakmuran yang akan diterima oleh pemilik
perusahaan.
2.1.6. Debt to Equity Ratio (DER)
Menurut Sawir (2012), Debt To Equity Ratio adalah rasio yang
menggambarkan perbandingan hutang dan ekuitas dalam pendanaan perusahaan
dan menunjukkan kemampuan modal sendiri perusahaan tersebut untuk
memenuhi seluruh kewajibannya. Rasio ini bertujuan untuk mengukur tingkat
leverage (penggunaan utang) perusahaan terhadap seluruh ekuitas yang dimiliki
perusahaan. Semakin tinggi rasio tersebut semakin banyak uang kreditur yang
17
digunakan dalam usaha menghasilkan laba. Semakin tinggi rasio ini, maka
semakin rendah pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham.
Dari perspektif kemampuan membayar kewajiban jangka panjang, semakin
rendah rasio akan semakin baik kemampuan perusahaan dalam membayar
kewajiban jangka panjangnya.
Suatu perusahaan didirikan tentunya tidak lepas dari upaya memenuhi
tujuan pendiriannya yaitu memaksimalisasi harga saham dan pencapaian
profitabilitas. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan modal, baik modal
sendiri dari intern perusahaan yakni dengan mengeluarkan saham maupun modal
dari ekstern berupa hutang. Struktur modal diukur dengan leverage yakni ukuran
yang
digunakan
untuk
menggambarkan
kemampuan
perusahaan
yang
menggunakan aktiva atau dana yang mempunyai beban tetap untuk memperbesar
tingkat pengembalian atau laba bersih bagi pemilik perusahaan. Perusahaan yang
menggunakan hutang adalah perusahaan yang mempunyai financial leverage.
Semakin besar proporsi hutang yang dipergunakan oleh perusahaan, pemilik
modal sendiri akan menanggung resiko yang makin besar.
Penentuan struktur modal melibatkan adanya suatu pertukaran antara resiko
dan pengembalian Brigham dan Houston (2010). Menggunakan hutang dalam
jumlah yang lebih besar akan meningkatkan resiko yang ditanggung oleh
pemegang saham. Namun demikian menggunakan lebih banyak hutang pada
umumnya akan meningkatkan perkiran pengembalian atas ekuitas. Resiko yang
makin tinggi cenderung menurunkan harga saham. Karena itu struktur modal yang
18
optimal harus mencapai suatu keseimbangan antara resiko dan pengembalian
sehingga dapat memaksimalkan harga saham perusahaan.
Naimah (2008) dalam penelitiannya menerima hipotesis yang menyatakan
bahwa perusahaan yang memiliki rasio hutang terhadap total aktiva yang tinggi,
hubungan laba akuntansi dengan harga saham akan lebih rendah dibandingkan
dengan perusahaan yang memiliki rasio hutang terhadap total aktiva yang rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi resiko perusahaan, akan semakin
rendah respon harga saham terhadap informasi laba akuntansi. Semakin tinggi
tingkat leverage akan semakin tinggi resiko perusahaan yang pada akhirnya akan
menurunkan harga saham. Turunnya harga saham dapat mengakibatkan turunnya
Price to Book Value Ratio.
2.1.7. Resiko (Beta)
Menurut Husnan (2009) menyatakan risiko sistematis yaitu risiko yang
tidak dapat dihilangkan begitu saja dengan diversifikasi, sehingga investor
memiliki ketidak pastian terhadap keuntungan yang diperolehnya. Oleh karena itu
investor memiliki pilihan investasi sesuai dengan preferensi risiko portofolio yang
mereka miliki termasuk informasi tentang kebijaksanaan atau perubahan dividen.
Diversifikasi risiko ini sangat penting untuk investor, karena dapat
meminimumkan risiko tanpa harus mengurangi return yang diterima. Mengetahui
beta (β) suatu sekuritas atau beta suatu portofolio merupakan hal yang penting
untuk menganalisis sekuritas atau portofolio tersebut. Menurut Hartono (2011)
untuk menghitung beta portofolio, maka beta masingmasing sekuritas perlu
dihitung terlebih dahulu. Beta portofolio merupakan rata-rata tertimbang dari
19
masing-masing sekuritas. Beta suatu sekuritas dapat dihitung dengan teknik
estimasi yang menggunakan data historis, data yang dihitung berdasarkan data
historis selanjutnya dapat menggunakan faktor-faktor lain untuk mengestimasi
beta masa mendatang. Beta historis dapat dihitung dengan menggunakan data
historis berupa data pasar (return-return sekuritas dan return pasar). Beta yang
dihitung dengan data pasar disebut dengan beta pasar.
Investor berinvestasi untuk masa depannya, untuk pengembalian yang
diharapkannya (expected return), namun saat waktu investasi selesai, mereka
akan menerima pengembalian yang sesungguhnya (realized return) yang
mungkin lebih kecil dari pengembalian yang diharapkan (expected return).
Pengembalian yang lebih kecil dari pengembalian yang diharapkan memberikan
penekanan penting bagi investor, kalau dalam berinvestasi selalu ada resiko (risk)
yang wajib untuk dipertimbangkan (Jones et al., 2009).
Resiko dapat ditafsirkan sebagai bentuk keadaan ketidakpastian tentang
suatu keadaan yang akan terjadi nantinya (future) dengan keputusan yang diambil
berdasarkan pertimbangan saat ini (Fahmi, 2014). Ada dua jenis resiko yang
sering dibahas dalam konteks portfolio pasar, yaitu :
a. Resiko tidak sistematis (unsystematic risk)
Unsystematic risk merupakan resiko yang membawa dampak pada perusahaan
terkait saja namun tidak akan menimbulkan dampak apapun pada perusahaan
lain.
b. Resiko sistematis (systematic risk)
Systematic risk adalah resiko yang tidak dapat diversifikasikan atau dengan kata
20
lain resiko yang sifatnya menyeluruh. Dalam systematic risk perubahan pasar
akan mempengaruhi variabilitas return suatu investasi. Systematic risk disebut
juga market risk atau resiko umum. Ukuran dari systematic risk adalah beta.
Menurut Fahmi (2014), beta menunjukkan hubungan (gerakan) antara
saham dengan pasarnya. Menurut Jogiyanto (2009) beta merupakan suatu
pengukur volatilitas return suatu sekuritas atau return portfolio terhadap return
pasar. Menurut Jones et al. (2009) saham dengan kemiringan yang berbeda-beda
akan memiliki sensitifitas yang berbeda pula terhadap indeks pasar. Jones et al.
menjelaskan, apabila beta bernilai sama dengan satu, artinya setiap satu persen
perubahan dalam market return, maka secara rata-rata stock return akan berubah
sebesar satu persen juga. Apabila volatilitas (fluktuasi harga) saham disebuah
pasar tinggi, maka beta akan bernilai lebih dari satu, sebaliknya semakin kurang
volatilitas saham disebuah pasar, maka beta akan bernilai kurang dari satu.
Beta berguna untuk membandingkan resiko sistematis dari berbagai saham.
Saham yang memiliki nilai beta yang besar maka dapat dinilai bahwa resiko
saham tersebut juga besar, begitu pula sebaliknya. Beta suatu sekuritas dapat
dihitung dengan teknik estimasi yang menggunakan data historis (Jogiyanto,
2009). Menurut Jogiyanto, beta dapat diestimasi secara manual dengan memplot
garis diantara titik-titik return atau dengan teknik regresi.
2.1.8. Ukuran Perusahaan (Size)
Firm size (ukuran perusahaan) merupakan ukuran besar kecilnya
perusahaan yang diukur melalui logaritma natural dari total asset (Ln total asset).
Total asset dijadikan sebagai indikator ukuran perusahaan karena sifatnya jangka
21
panjang dibandingkan dengan penjualan. Pada kenyataannya bahwa semakin
besar suatu perusahaan, maka kecenderungan penggunaan dana eksternal juga
akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena perusahaan yang besar memiliki
kebutuhan dana yang besar dan salah satu alternatif pemenuhan dana yang
tersedia menggunakan pendanaan eksternal.
Penjualan merupakan sumber dari hidupnya suatu perusahaan, karena dari
penjualan dapat diperoleh laba. Pertumbuhan penjualan merupakan manifestasi
keberhasilan investasi di masa lalu dan dapat dijadikan sebagai prediksi di masa
yang akan datang. Laju pertumbuhan suatu perusahaan akan mempengaruhi
kemampuan mempertahankan keuntungan pada masa yang akan datang.
Pertumbuhan penjualan yang tinggi akan mencerminkan pendapatan yang
meningkat, sehingga diharapkan pembayaran deviden pun akan meningkat.
Pembayaran deviden merupakan salah satu harapan dari para investor. Untuk
dapat mencapai pertumbuhan penjualan tentunya diperlukan aset yang juga
jumlahnya meningkat.
Besarnya aset yang digunakan perusahaan merupakan salah satu ukuran
besar kecilnya perusahaan tersebut (size). Ukuran perusahaan turut menentukan
tingkat kepercayaan investor. Semakin besar perusahaan, semakin dikenal
masyarakat yang berarti semakin mudah untuk mendapatkan informasi mengenai
perusahaan. Size menggambarkan kemampuan meningkatkan penjualan dan
earning dari total asset yang dimiliki perusahaan. Jadi, ukuran perusahaan
merupakan ukuran atau besarnya asset yang dimiliki oleh perusahaan. Ukuran
perusahaan diukur dengan total aktiva yang dimiliki perusahaan (Halim, 2010).
22
2.1.9. Return On Asset (ROA)
Profitabilitas yang tinggi merupakan suatu keberhasilan perusahaan dalam
memperoleh laba berdasarkan aktivanya maupun berdasarkan modal sendiri.
Menjaga tingkat profitabilitas merupakan hal yang penting bagi perusahaan
karena profitabilitas yang tinggi merupakan tujuan dari perusahaan. Jika dilihat
dari perkembangan rasio profitabilitas menunjukkan suatu peningkatan hal
tersebut menunjukkan kinerja perusahaan yang efisien (Riyanto dalam Martono,
2009). Return On Asset (ROA) adalah salah satu rasio profitabilitas yang
digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan didalam menghasilkan
keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya (Ang ,1997).
ROA mengukur efektifitas perusahaan dalam memanfaatkan seluruh sumber
dana yang sering juga disebut hasil pengembalian atas investasi (Ghozali dan
Irwansyah dalam Rasmin, 2007). Dari pengertian tersebut, maka rasio ini sering
juga disebut ROI karena menghubungkan laba dengan investasi, yaitu
mengukurtingkat pengembalian atas investasi (Horne & Wachowicz dalam
Rasmin, 2007). Perusahaan selalu berupaya agar ROA dapat selalu ditingkatkan.
Hal ini disebabkan karena semakin tinggi ROA menunjukkan semakin efektif
perusahaan memanfaatkan aktivanya untuk menghasilkan laba bersih setelah
pajak, dengan semakin meningkatnya ROA, maka profitabilitas perusahaan
semakin baik. Rasio ini mengukur seberapa banyak laba bersih yang bisa
diperolah dari seluruh asset yang dimiliki dan ditanamkan ke dalam sebuah
perusahaan (efisiensi aktiva). Semakin tinggi ROA menunjukkan semakin efektif
23
perusahaan dalam memanfaatkan aktivanya untuk menghasilkan laba bersih
setelah pajak.
Kemampuan perusahaan dalam mengelola aktiva untuk menghasilkan
keuntungan mempunyai daya tarik dan mampu mempengaruhi investor untuk
membeli saham perusahaan tersebut. Peningkatan ROA akan menambah daya
tarik investor untuk menanamkan dananya dalam perusahaan. Sehingga harga
saham perusahaan akan meningkat, dengan kata lain ROA akan berdampak positif
terhadap return saham.
2.1.10. Return on Equity (ROE)
Return On Equity (ROE) menggambarkan sejauh mana kemampuan
perusahaan menghasilkan laba yang bisa diperoleh pemegang saham. Menurut
Harahap (2009), ROE adalah rasio rentabilitas yang menunjukan berapa persen
perolehan laba bersih bila di ukur dari modal pemilik. Rasio yang dipergunakan
oleh investor guna melihat tingkat pengembalian terhadap modalyang mereka
tanamkan disebut juga dengan rentabilitas modal sendiri atau RO.
Rasio ROE sangat menarik bagi pemegang saham maupun para calon
pemegang saham, dan juga manajemen karena rasio tersebut merupakan ukuran
atau indikator penting. ROE sering disebut dengan rate of return on net worth,
yaitu kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan modal
sendiri yang dimiliki. Laba yang diperhitungkan adalah laba bersih dipotong
dengan pajak atau EAT.
24
2.1.11. Earning Per Share (EPS)
Earning Per Share (EPS) merupakan perbandingan antara laba bersih
setelah pajak pada satu tahun buku dengan jumlah saham yang diterbitkan
(Widiatmojo dalam Martono, 2009). Kenaikan EPS berarti perusahaan sedang
dalam tahap pertumbuhan atau kondisi keuangannya sedang mengalami
peningkatan dalam penjualan dan laba, atau dengan kata lain semakin besar
earning per share menandakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
keuntungan bersih setiap lembar saham.
Maksimalisasi laba (profit maximization) sering dipandang sebagai tujuan
yang tepat bagi sebuah perusahaan. Namun, hal ini sebenarnya memiliki
kelemahan karena dengan hanya menerbitkan saham dan menggunakan hasilnya
untuk berinvestasi dalam sekuritas yang tidak berisiko laba dapat meningkat. Hal
tersebut bagi kebanyakan perusahaan mengakibatkan jatuhnya laba per saham
(EPS), sehingga ukuran yang lebih tepat adalah memaksimalkan EPS (Horne &
Wachowicz, 2005 dalam Martono, 2009).
EPS adalah termasuk salah satu rasio pasar (Ang, 1997) rasio pasar pada
dasarnya mengukur kemampuan manajemen dalam menciptakan nilai pasar yang
melampaui pengeluaran investasi. Rasio ini merupakan pengukuran yang paling
lengkap mengenai prestasi perusahaan dan berkaitan langsung dengan tujuan
memaksimalkan nilai perusahaan dan kekayaan para pemegang saham (Ang,
1997). EPS adalah salah satu rasio pasar yang merupakan hasil atau pendapatan
yang akan diterima oleh para pemegang saham untuk setiap lembar saham yang
dimilikinya atas keikutsertaan dalam perusahaan. Munawir (Martono, 2009)
25
menyebutkan bahwa EPS (laba per lembar saham) biasanya merupakan indikator
laba yang diperhatikan oleh para investor. EPS adalah salah satu indikator
pendapatan sehingga berpengaruh positif dan signifikan terhadap pergerakan
harga saham (Taufik dalam Martono, 2009).
Semakin tinggi laba setelah pajak yang dihasilkan perusahaan maka
semakin besar EPS perusahaan (Subiyantoro & Andreani dalam Martono, 2009).
Dalam jangka pendek, rencana pembelian kembali saham mungkin dapat
menutupi kondisi perusahaan yang sebenarnya. Namun hal itu akan mengurangi
kepercayaan
pemodal
terhadap
perusahaan,
meskipun
bagi
pemodal
pendapatannya sendiri dari saham tersebut meningkat. Akibatnya permintaan akan
saham tersebut menurun dan harga saham juga mengalami penurunan (Ang,
1997).
2.1.12. Price Earnings Ratio (PER)
Price Earnings Ratio (PER) mengindikasikan besarnya rupiah yang harus
dibayarkan investor untuk memperoleh satu rupiah earnings perusahaan. Dengan
kata lain PER menunjukkan besarnya harga setiap satu rupiah earnings
perusahaan. PER merupakan ukuran harga relatif dari sebuah saham perusahaan
(Tandelilin, 2001:243). Rasio PER mencerminkan pertumbuhan laba perusahaan.
Semakin tinggi rasio ini, semakin tinggi pertumbuhan laba yang diharapkan oleh
pemodal (Husnan & Eny, 2002). PER membandingkan antara harga saham (yang
diperoleh dari pasar modal) dan laba per lembar saham yang diperoleh pemilik
perusahaan (disajikan dalam laporan keuangan) (Husnan, 2005). Sedangkan
menurut Hanafi dan Abdul (2003). PER merupakan bagian dari rasio pasar,
26
dimana sudut pandang rasio pasar ini lebih banyak berdasarkan pada sudut
investor atau calon investor. Keinginan investor melakukan analisis kesehatan
suatu saham melalui rasio-rasio keuangan seperti PER, dikarenakan adanya
keinginan investor atau calon investor akan hasil (return) yang layak atas suatu
investasi saham.
Menurut Farkhan dan Ika (2012), PER merupakan rasio yang
menunjukkan
seberapa
banyak
investor
bersedia
membayar
tiaplembar
saham.Price Earnings Ratio menghubungkan antara harga pasar per lembar
saham dengan Earnings Per Share saham yang bersangkutan. PER lebih banyak
digunakan untuk menilai saham karena PER menggambarkan indikator
kepercayaan pasar terhadap prospek perusahaan (Sartono, 1996). Meskipun diakui
bahwa analisa PER merupakan analisa yang relatif sederhana, tetapi karena
analisa ini membantu investor dalam memusatkan judgement mereka, maka
analisa PER ini tetap digunakan (Husnan, 1998). Pejabat Bursa Efek Indonesia
(BEI) dan para analis saham di media massa sering menyebutkan angka 15
sebagai PER wajar, sehingga saham yang memiliki nilai PER di atas 15 dikatakan
overvalued dan yang memiliki nilai PER di bawah 15 dikatakan masih relatif
murah.
PER merupakan ekspektasi dari nilai saham pada masa yang akan datang,
sehingga suatu saham dari perusahaan dengan kinerja dan prospek usaha yang
menguntungkan akan memiliki nilai PER yang tinggi. Sebaliknya saham
perusahaan yang tidak memiliki kinerja dan prospek usaha yang menguntungkan
akan memiliki nilai PER yang rendah. Investor mempertimbangkan rasio tersebut
27
guna memilah-milah saham mana yang nantinya memberikan keuntungan yang
besar dimasa yang akan datang dan pertimbangannya jika perusahaan mempunyai
PER yang terlalu tinggi tidak akan menarik karena harga saham kemungkinan
tidak naik lagi berarti kemungkinan memperoleh capital gain akan lebih kecil
(Mahmud & Abdul, 2003). PER menjadi tidak mempunyai makna apabila
perusahaan mempunyai laba yang sangat rendah (abnormal) atau menderita
kerugian. Pada keadaan ini, PER perusahaan akan begitu tinggi (abnormal) atau
bahkan negatif (Prastowo dan Rifky, 2002).
2.1.13. Book to Market Ratio
Book to Market Ratio merupakan rasio perbandingan antara nilai buku per
saham dibandingkan dengan harga pasar saham. Book to market ratio dihitung
dengan membagi equity per share dengan closing price bulan desember (akhir
tahun), untuk membagi perusahaan menjadi dua yaitu perusahaan dengan book to
market ratio rendah dan tinggi. Nilai pasar ditentukan oleh permintaan dan
penawaran saham bersangkutan di bursa.
Sedangkan nilai buku (book value per lembar saham) menunjukkan aktiva
bersih (net asset) yang dimiliki oleh pemegang saham dengan memiliki satu
lembar saham. Karena aktiva bersih adalah sama dengan total ekuitas pemegang
saham, maka nilai buku perlembar saham adalah total ekuitas dibagi dengan
jumlah saham beredar. Perusahaan yang berjalan dengan baik, umumnya memiliki
rasio book to market di bawah satu, yang menunjukkan bahwa nilai pasar saham
lebih besar dari nilai bukunya.
28
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian Nelia dan Nurul (2014) dengan judul “Pengaruh Faktor
Fundamental dan Risiko Sistematis terhadap Return Saham Manufaktur”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh faktor
fundamental (terdiri dari: firm size, book to market ratio, price earning ratio,
earnings per share, debt to equity ratio, return on equity) dan risiko sistematis
secara simultan dan parsial terhadap return saham manufaktur yang go public,
serta mengetahui dan menganalisis variabel yang berkontribusi paling besar
terhadap perubahan return saham manufaktur yang go public. Dari hasil pengujian
hipotesis penelitian diketahui bahwa secara simultan faktor fundamental (terdiri
dari: firm size, book to market ratio, price earning ratio, earnings per share, debt
to equity ratio, return on equity) dan risiko sistematis berpengaruh signifikan
terhadap return saham. Secara parsial, firm size, book to market ratio, price
earning ratio, earnings per share, debt to equity ratio, return on equity tidak
berpengaruh signifikan terhadap return saham. Sedangkan risiko sistematis secara
parsial berpengaruh signifikan terhadap return saham. Dengan demikian risiko
sistematis merupakan variabel yang berkontribusi paling besar terhadap
perubahan return saham.
Penelitian Budialim (2013) dengan judul “Pengaruh Kinerja Keuangan dan
Resiko terhadap Return Saham Perusahaan Sektor Cosumer Goods di Bursa Efek
Indonesia Periode 2007-2011”. Penelitian ini bertujuan untuk menguji adanya
pengaruh kinerja keuangan (likuiditas, DER, profitabilitas, BVPS, dan Beta
terhadap Return Saham. Total sampel sebanyak 28 perusahaan. Alat analisis
29
regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CR, DER, ROA,
ROE, EPS, BVPS, dan Beta berpengaruh signifikan terhadap Return Saham.
Penelitian Husna dan Djumahir (2015) dengan judul “Pengaruh Pengaruh
Return on Equity, Debt to Equity Ratio, Earning per Share, Price Earning Ratio,
Price to Book Value dan Time Interest Earned terhadap Return Saham”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio keuangan terhadap
return saham pada perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia. Rasio keuangan pada penelitian ini adalah Return on Equity, Debt
to Equity Ratio, Earning per Share, Price Earning Ratio, Price to Book Value,
dan Time Interest Earned Ratio. Penelitian ini merupakan penelitian explanatory
research. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah sampling jenuh,
sehingga diperoleh 12 sampel perusahaan makanan dan minuman pada periode
penelitian 2011-2013. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi
linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel Earning per Share
dan Time Interest Earned Ratio berpengaruh signifikan terhadap Return saham.
Sedangkan variabel lain dalam penelitian ini yaitu Return on Equity, Debt to
Equity Ratio, Price Earning Ratio, dan Price to Book Value tidak berpengaruh
signifikan terhadap Return saham.
Penelitian Carlo (2014) dengan judul “Pengaruh Return On Equity,
Dividend Payout Ratio, dan Price to Earnings Ratio pada Return Saham”
Penelitian ini menguji pengaruh return on equity, dividend payout ratio, dan price
to earnings ratio pada return saham di Bursa Efek Indonesia, yang difokuskan
pada perusahaan yang terdaftar dalam indeks LQ45 tahun 2010-2012.
30
Menggunakan data sekunder berupa laporan keuangan tahunan perusahaan. Hasil
proses seleksi sampel memperoleh 105 sampel, yang terdiri dari 47 perusahaan
dan dianalisis menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil analisis
menunjukkan variabel ROE dan DPR berpengaruh positif dan signifikan pada
return saham, sedangkan variabel PER tidak berpengaruh pada return saham.
Penelitian Hendrawati dan Yulius (2014) dengan judul “Pengaruh Debt to
Equity Ratio, Arus Kas Operasi, dan Earnings terhadap Return Saham Perusahaan
Manufaktur Sektor Industri Barang Konsumsi di Bursa Efek Indonesia Periode
2008-2012’. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Debt to Equity
Ratio, arus kas operasi, dan earnings mempunyai pengaruh terhadap return
saham. Peneletian ini dilakukan karena penelitian sebelumnya yang berkaitan
dengan hal ini menghasilkan kesimpulan yang beragam dengan variabel yang
berbeda-beda dan tidak konsisten. Variabel bebas adalah Debt to Equity Ratio,
arus kas operasi, dan earnings. Variabel bebas diukur dengan menggunakan
pendekatan definisi operasional dan indikator empirik. Variabel terikat adalah
return saham. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari
laporan keuangan perusahaan dan dara harga saham. Sampel penelitiannya adalah
29 perusahaan manufaktur sektor barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia 2008-2012. Penelitian ini menggunakan alat bantu SPSS. Hasil
pengujian berdasarkan uji t menunjukkan bahwa Debt to Equity Ratio tidak
berpengaruh terhadap return saham, arus kas operasi berpengaruh signifikan
terhadap return saham, dan earnings tidak berpengaruh terhadap return saham.
31
2.3. Kerangka Penelitian
Model penelitian yang menggambarkan suatu kerangka konseptual sebagai
panduan sekaligus alur berpikir tentang pengaruh Price Book Value, Debt Equity
Ratio, Resiko, dan Size terhadap Stock Return adalah sebagai berikut :
Price Book Value
Debt Equity Ratio
Stock Return
Resiko
Size
Gambar 2.1
Kerangka Penelitian
2.4. Pengembangan Hipotesis
2.4.1. Pengaruh Price Book Value terhadap Stock Return
Price to Book Value (PBV) digunakan untuk mengukur kinerja harga pasar
saham terhadap nilai bukunya. Price to Book Value juga menunjukkan seberapa
jauh perusahaan mampu menciptakan nilai perusahaan relatif terhadap jumlah
modal yang diinvestasikan. Semakin tinggi nilai perusahaan semakin besar
kemakmuran yang akan diterima oleh pemilik perusahaan. Semakin tinggiPrice to
Book Value (PBV),
semakin baik pasar memandang perusahaan dan
prospeknya.Hal ini berarti semakin berhasil perusahaan menciptakan nilai bagi
pemegang saham. Hasil penelitian Ardiansyah (2013) menunjukkan bahwa PBV
berpengaruh signifikan terhadap return saham. Kemudian hasil penelitian
32
penelitian Nelia dan Nurul (2014) menunjukkan bahwa PBV secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap return saham.
Dengan demikian, hipotesis yang dapat dirumuskan :
H1 : Price Book Value berpengaruh positif terhadap stock return
2.4.2. Pengaruh Debt Equity Ratio terhadap Stock Return
DER menunjukkan tingkat hutang perusahaan, perusahaan dengan hutang
yang besar mempunyai biaya hutang yang besar pula. Hal tersebut menjadi beban
bagi perusahaan yang dapat menurunkan tingkat kepercayaan investor, sehingga
PBV akan menurun. Rosje dan Astuti (2003) dalam penelitiannya menunjukkan
bahwa DER mempunyai pengaruh yang negative terhadap PBV pada perusahaan
yang listed di BEI. Debt to Equity Ratio (DER) merupakan perbandingan antara
total hutang terhadap total shareholders equity yang dimiliki perusahaan. Semakin
besar Debt to Equity Ratio (DER) berarti semakin besar hutang yang ditanggung
perusahaan.
Tingkat struktur modal yang aman biasanya kurang dari 50 persen. Semakin
kecil struktur modal semakin baik bagi perusahaan atau semakin aman utang yang
harus diantisipasi dengan modal sendiri (Arifin dan Fakhruddin, 2001). Rasio ini
menunjukkan dan menggambarkan komposisi atau struktur modal dari
perbandingan total hutang dengan total ekuitas (modal) perusahaan yang
digunakan sebagai sumber pendanaan usaha. Rasio struktur modal ini
menggambarkan mengenai struktur modal yang dimiliki oleh perusahaan,
sehingga dapat dilihat tingkat risiko tidak terbayarkan suatu hutang (Suharli, 2005
dalam Ratnawati, 2009). Semakin besar DER menandakan struktur permodalan
33
lebih
banyak
memanfaatkan
hutang-hutang
terhadap
ekuitas
sehingga
mencerminkan risiko perusahaan yang relatif tinggi (Natarsyah, 2000). Demikian
juga menurut Ang (2007) semakin tinggi nilai DER menunjukkan semakin tinggi
risiko yang harus ditanggung perusahaan dengan menggunakan modal sendiri
apabila perusahaan mengalami kerugian.
Hasil penelitian Ardiansyah (2013) menunjukkan bahwa nilai t untuk LEV
sebesar 3,209 dengan tingkat signifikansi 0,002. Karena tingkat signifikansinya
lebih kecil dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa DER berpengaruh terhadap
return saham. Kemudian hasil penelitian Imran (2014) menunjukkan bahwa debt
to equity ratio berpengaruh positif terhadap return saham dengan koefisien regresi
sebesar 0,542.
Dengan demikian, hipotesis yang dapat dirumuskan :
H2 : Debt Equity Ratio berpengaruh negatif terhadap stock return
2.4.3. Pengaruh Beta terhadap Stock Return
Return dan risiko merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, karena
pertimbangan suatu investasi merupakan trade-off dari kedua faktor ini. Return
dan risiko mempunyai hubungan yang positif, semakin besar risiko yang harus
ditanggung, semakin besar return yang dikompensasikan (Jogiyanto, 2009). Hal
seperti inilah yang menjawab pertanyaan mengapa tidak semua investor hanya
berinvestasi pada asset yang menawarkan tingkat return yang paling tinggi
(Jogiyanto, 2009). Investor yang rasional tentu akan memilih saham-saham yang
memberikan tingkat keuntungan yang tinggi dengan risiko yang rendah. Rate of
return diperoleh dari laba perusahaan berupa deviden dan selisih harga saham.
34
Investor dapat menggunakan laba akuntansi sebagai salah satu dasar pertimbangan
dalam pengambilan keputusan untuk melakukan investasi. Hasil penelitian
Budialim (2013) menunjukkan bahwa Beta berpengaruh signifikan terhadap
return saham. Kemudian hasil penelitian penelitian Nelia dan Nurul (2014)
menunjukkan bahwa risiko sistematis secara parsial berpengaruh signifikan
terhadap return saham.
Dengan demikian, hipotesis yang dapat dirumuskan :
H3 : Beta berpengaruh positif terhadap stock return
2.4.4. Pengaruh Size terhadap Stock Return
Size (log total assets) menunjukkan angka yang terus naik. Hal ini
menunjukkan semakin besar aset yang digunakan perusahaan. Meningkatnya aset
perusahaan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan perusahaan untuk
meningkatkan perolehan laba. Besarnya aset yang digunakan perusahaan
merupakan salah satu ukuran besar kecilnya perusahaan tersebut (Size). Ukuran
perusahaan turut menentukan tingkat kepercayaan investor. Semakin besar
perusahaan, semakin dikenal masyarakat yang berarti semakin mudah untuk
mendapatkan informasi mengenai perusahaan. Size menggambarkan kemampuan
meningkatkan penjualan dan earning dari total asset yang dimiliki perusahaan.
Jadi, ukuran perusahaan merupakan ukuran atau besarnya asset yang dimiliki oleh
perusahaan. Ukuran perusahaan diukur dengan total aktiva yang dimiliki
perusahaan (Halim, 2010). Kemudian hasil penelitian Wijayanti (2011)
menunjukkan bahwa Size berpengaruh signifikan terhadap return saham dan hasil
35
penelitian Wijayanti dkk., (2011) menunjukkan bahwa Size berpengaruh
signifikan terhadap return saham.
Dengan demikian, hipotesis yang dapat dirumuskan :
H4 : Size berpengaruh positif terhadap stock return
Download