BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, studi-studi akademis mengenai fenomena LGBT atau Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender telah semakin ramai. Hal tersebut dipicu oleh banyaknya fenomena pemberitaan maupun aktivitas dari anggota LGBT sendiri. Kemudian diangkatnya wacana atau sosok LGBT dalam media populer sehingga masyarakat semakin familiar. Hal tersebut turut meramaikan pembahasan LGBT sekarang ini. Dalam disiplin ilmu Antropologi sendiri ada banyak karya berkaitan tentang gender dan seksualitas. Salah satu karya paling mengemuka tentang Gay, terutama di Indonesia, adalah Tom Boellstorff dengan Gay Archipelago (2005). Studi-studi tentang seksualitas yang ada berarti penting dengan memperkenalkan tiga terminologi penting menyangkut seksualitas manusia yaitu; identitas gender, orientasi seksual, dan perilaku seksual (Mulia, 2010). Namun nampaknya, studi akademis tadi kurang bisa merasuk ke masyarakat luas guna memberi mereka pemahaman permasalahan gender atau tiga terminologi tersebut. Hingga masyarakat luas kurang mengerti tentang pemahaman seperti apa itu lesbian, gay1, biseksual dan transgender. Sehingga mereka kerap mencampur adukkan istilah tersebut dengan pemahaman yang salah. Yang terjadi kemudian, masyarakat luas 1 Gay adalah istilah lain dari Homoseksual dan populer di negara barat dan lantas diserap secara utuh di Indonesia. Periksa kembali Boelstorff, Tom. 2005. Gay Archipelago. Priceton and Oxford, USA. 1 bahkan mahasiswa sebagai kalangan akademisi masih melahirkan stigma pandangan buruk terhadap anggota komunitas LGBT. LGBT tidak mengenal batasan usia, jenis kelamin, status sosial maupun pekerjaan bahkan agama. Dua tahun lalu atau tahun 2012 adalah masa dipertemukannya saya dengan isu LGBT terutama gay. Alasan kala itu tak lain karena ingin mengetahui seperti apa dinamika permasalahan LGBT khususnya gay secara langsung. Isu tersebut dipilih setelah mengamati masih adanya tindakan pemberian stigma pada kalangan LGBT. Di kesempatan magang itulah saya dipertemukan secara khusus dengan komunitas gay. Sebuah kesempatan yang cukup mengejutkan. Sebab apa yang dibayangkan tentang gay melalui cerita dan pandangan masyarakat sungguh berbeda. Penampilan luar mereka tidak ada beda dengan saya. Mereka tidak kemayu rese’ menggoda seperti dalam sinetron atau program komedi. Tidak pula memakai baju dengan warna mencolok mata. Sangat berbeda dari gambaran gay yang kerap muncul di layar kaca. Komunitas ini bernama HIMAG atau Himpunan Mahasiswa Gay. Selanjutnya diketahui berbasis universitas tempat anggotanya menimba ilmu. Bayangkan menjadi mahasiswa dengan kehidupan kampus yang menuntut waktu, fikiran dan tenaga. Diluar itu, masih dihadapkan pada persoalan status atau identitas gay-nya. Maka muncul rasa penasaran, bagaimana kehidupan para mahasiswa ini? Berdasarkan kesamaan status kemahasiswaan, seketika memori mengenai isu homoseksual di sekitar penulis muncul. Terkadang saat beberapa kawan bercerita mengenai hal tersebut sering kali disertai opini sinis tentang keberadaan 2 mereka. Dan tak jarang mucul olokan yang ditujukan pada anggota LGBT khususnya gay. Hal-hal seperti ini, opini pribadi akan ketidaksukaan pada gay atau LGBT secara umum, kemudian bergulir menjadi opini publik melahirkan pandangan gay itu mengganggu dan membahayakan apalagi jika ia dalam lingkungan kampus. Dengan anggapan utama gay dapat menular, serta dengan sengaja menularkan. Artinya, masih ada mispersepsi publik terhadap persoalan LGBT. Masih adanya pandangan buruk masyarakat membuat mahasiswa gay mesti sedikit mlipir alias menyingkir atau menepi. Mereka kemudian tidak bebas memilih kawan, juga tidak leluasa berekspresi sebagai bagian masyarakat kampus. Akibatnya mahasiswa gay ini harus berhati-hati jika ingin berekspresi. Bahkan dalam dalam mencari teman cerita, tidak sembarang orang dapat dijadikan tempat curhat yang baik. Maka dicarilah solusi paling baik menurut mereka, bahwa mereka harus mencari dan mendapatkan teman sesama gay di kampus. Dimulailah masa mencari teman sesama gay dalam lingkungan kampus mereka. Mencari teman sesama gay dilakukan dengan berbagai cara, umumnya menggunakan jejaring sosial internet atau melalui kolega-kolega yang ada. Bukan dengan mendatangi seseorang secara acak lantas menodong pertanyaan, bukan pula asal mengubah seseorang menjadi gay. Keberadaan teman sesama gay didasari butuhnya dukungan kawan senasib sependeritaan, agar ada teman berbagi sekaligus tempat mengadu. Setelah mendapatkan teman sesama gay, pertemuanpertemuan pun terjadi. Individu yang awalnya tidak saling mengenal dapat 3 bertemu kawan baru, bahkan tidak menutup kemungkinan mendapatkan kekasih dari pertemuan ini. Atas dasar itu muncul wacana membuat perkumpulan khusus mereka dalam lingkup universitas. Hingga muncul lah HIMAG atau “Himpunan Mahasiswa Gay”. HIMAG pertama muncul di universitas negeri terbesar di Yogyakarta pada tahun 2011. Disusul setahun kemudian muncul di universitas negeri lain di Yogyakarta tahun 2012. HIMAG telah berdiri dan memiliki anggota. Anggotanya pun tersebar di berbagai fakultas dan jurusan. Lantas dimana mereka bertemu? Untuk mengatur pertemuan, apalagi membuat pertemuan di dalam kampus, masih menjadi tantangan bagi mereka. Kembali lagi pada persoalan stigma. Mereka ragu dan mungkin sedikit takut untuk langsung terbuka. Sarana alternatif yang dianggap baik adalah melalui media jejaring sosial alias internet2. HIMAG memiliki grup khusus anggotanya di situs Facebook yang tidak semua orang gampang temukan. Pun berusaha maksimal, Facebook ini tidak selalu mengakomodir kebutuhan komunikasi bersama. Tidak semua anggota merasa dapat dengan cepat mengakses informasi terkait HIMAG. Maka dibutuhkan alternatif lain agar informasi sampai lebih cepat. Aplikasi chatting atau obrolan digital bernama Line Mesengger kemudian dipilih sebagai ruang interaksi dan komunikasi. Dunia maya dianggap mampu menghadirkan sedikit rasa aman bagi mereka berkomunikasi. HIMAG kini hadir dengan bentuk samar-samar, tersembunyi apik dalam jejaring sosial, pertemuan terbatas dan jauh dari tempat-tempat ramai kampus. Kesamaran ini 2 Periksa kembali tulisan Andini, Maria. 2003. Deskriptif Penggunaan Internet Sebagai Media Komunikasi Komunitas Gay di Yogyakarta. (Skripsi) Jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Pembangunan Nasional, Yogyakarta. 4 yang membuat HIMAG kembang kempis dalam pembentukan dirinya, anggota yang tidak menentu hingga masih sulitnya menunjukan jati diri ditengah stigma masayarakat kampus. Selain itu, posisi sebagai mahasiswa memberikan tekanan tersendiri. Mahasiswa memiliki status sosial yang cukup tinggi di tengah masyarakat. Sebab identitas mahasiswa yang melekat diharapkan mampu menjadi 1) Iron Stock, diartikan sebagai stok generasi penerus bangsa yang tangguh, bermoral dan berintelektual. Karena itulah mahasiswa wajib menggali ilmu sebanyakbanyaknya juga memiliki kepekaan sosial. 2) Guardian of Values, mahasiswa sebagai penjaga nilai-nilai masyarakat seperti kejujuran, integritas, adil, berempati, tentu dengan pemikiran-pemikiran ilmiahnya. 3) Agent of Change, mahasiswa sebagai penggerak agar masyarakat bergerak ke arah yang lebih baik melalui aplikasi keilmuan, gagasan dan pengetahuan yang dimiliki. 4) Moral Force, diharapkan dengan tingkat intelektual dan pemikiran ilmiah serta pengetahuan yang dimiliki sebanding pula dengan moralnya. Agar dapat dijadikan contoh kebaikan bagi lainnya. Terakhir, 5) Social Control, melalui kemampuan intelektual, kepekaan sosial dan sikap kritisnya, mahasiswa diharapakan mampu berperan dalam kontrol sosial lewat kritik, saran serta solusi dalam berbagai permasalahan sosial3. 3 Sumber : http://bem.stan.ac.id/news/peran-fungsi-mahasiswa/ Diakses kembali pada 12 Oktober 2014. 5 B. Tinjauan Pustaka Kajian mengenai gender, seksualitas maupun LGBT bukan sesuatu hal “langka” dalam ilmu Antropologi. Telah banyak ahli Antropologi yang melakukan penelitian mengenai LGBT atau Gay secara khusus. Maka dapat dibilang saya hanya pengekor jejak tulisan mereka. Namun dalam lingkup mahasiswa Antropologi Budaya UGM sendiri, masih sedikit yang menyinggung permasalahan gay. Penelitian skripsi terakhir yang mengangkat tema Homoseksualitas yakni “Homoseksualitas, Masyarakat dan Negara” ditulis oleh Fitria Dyah Anggraeni, Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada tahun 2005. Penelitian ini menilik kembali posisi anggota komunitas LGBT dalam hal ini pola relasi gay dalam masyarakat dan negara, terkait dengan perundang-undangan yang tidak menguntungkan posisi mereka dalam masyarakat. Penelitian tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan kembali apa saja undang-undang serta kebijakan negara yang sekiranya merugikan kelompok gay. Sedangkan penelitian lain terkait LGBT adalah “Dari Waria Untuk Waria” ditulis oleh Pattar Febriandi, Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada tahun 2012. Meskipun terkait dengan isu LGBT namun tulisan ini menitik beratkan pada persoalan waria antara lain langkanya akses pekerjaan sektor formal, hak kesetaraan di mata hukum dan negara. Tulisan ini menjelaskan peran dan fungsi LSM Kebaya terkait masalah-masalah yang merundung anggotanya. Masih adanya ruang untuk mendiskusikan lebih dalam persoalan Gay ini kemudian menggerakkan sekaligus meyakinkan saya untuk mengangkat tema LGBT guna penulisan skripsi. 6 Mengenai apa itu gay atau homoseksual saya menggunakan penjelasan Suryakusma4, yakni adalah sebuah orientasi seksual, yang mengacu pada ketertarikan secara emosional dan seksual kepada sesama jenis baik untuk lakilaki dan perempuan. Orientasi seks ini termasuk dalam bahasan mengenai seksualitas, dimana seksualitas itu mencakup seluruh kepribadian, dan sikap atau watak sosial berkaitan dengan perilaku seks dan orientasi seksual (Suryakusuma, 1991) Sedangkan gay adalah istilah yang diberikan kepada laki-laki homoseksual. Istilah ini diberikan sebagai pembedaan fenomena homoseksual bagi laki-laki dan perempuan homoseksual. Pemberian istilah terkait pula dengan peran serta identitas gender dan seksual biologis. Identitas gender berupa kesadaran mengenai konsep gender dirinya lantas diwujudkan dengan cara ia memperlakukan diri sendiri . Kesadaran identitas seksual biologis adalah berdasarkan perbedaan jenis kelamin, penis menunjukan laki-laki dan vagina menunjukan perempuan. Sedangkan identitas gender berimbas pada ekspresi gender. Ekspresi gender adalah pengalaman panjang yang dialami seseorang lewat pikiran dan tubuh, kemudian lanjutkan dengan caranya berlaku, berpakaian dan berinteraksi5. Ketidakpahaman masyarakat akan pembagian istilah dalam gender dan seksualitas melahirkan tindak kekerasan baik verbal maupun fisik. Kekerasan bukan hanya diterima oleh anggota komunitas LGBT, namun dapat pula menimpa orang yang peduli akan permasalahan tersebut. Pada bulan Mei tahun 2012 terjadi tindak kekerasan berupa perusakan dan pengusiran oleh sejumlah organisasi 4 5 Suryakusuma. 1991. Dalam Prisma 7, hal: 5-6 Majalah Gaya Nusantara vol.07 Tahun 2007 7 masyarakat atau ormas pada peserta diskusi buku “Allah, Liberty and Love” tulisan Irshad Manji di Yogyakarta6. Buku ini mencoba mengkritisi kembali posisi konsep religiusitas guna mengakomodir anggota LGBT. Sontak diskusi yang bahkan belum berjalan terpaksa batal. Diskusi serupa di Universitas Gadjah Mada pun dibatalkan oleh rektor saat itu atas alasan keamanan7. Tindakan penyerangan oleh sejumlah ormas serta pelarangan diskusi oleh Rektor UGM kala itu menunjukan pemahaman yang masih kurang akan gender dan seksualitas di masyarakat. Sehingga sedikit saja menyinggung permasalahan LGBT mampu menimbulkan reaksi berlebih. Tak lain karena masyarakat menciptakan kembali konsep baik dan buruk dalam pola perilaku dengan berpegangan pada nilai-nilai agama. Dalam hal ini, masyarakat luas beranggapan homoseks dan gay adalah sebuah dosa. Kejadian semacam ini bukanlah yang pertama, dahulu sebuah seminar yang mengangkat isu-isu LGBT di Kaliurang pada tahun 2000 mendapat serangan dari kelompok keagamaan yang mengatakan pertemuan seminar tersebut sebagai sebuah perbuatan maksiat. Sebab munculnya tindakan represif dipahami sebagai bentuk pemahaman masyarakat yang telah lama menerima heteroseksual sebagai suatu kebenaran alami dan normal. Didukung pula oleh negara yang secara publik menghubungkan agama yang diakui dengan penerimaan secara nasional (Bowen, 2003; dalam Boellstorff, 2005). Juga kebijakan keluarga berencana yang dahulu sempat menyebar luas, makin menegaskan bahwa bangsa ini tersusun dari keluarga inti heteroseksual (Suryakusuma, 1996; dalam 6http://regional.kompas.com/read/2012/05/09/21341758/Ormas.Bubarkan.Diskusi.Irsha d.Manji.di.Yogyakarta | Diakses kembali pada 26 Desember 2013 7 http://www.tempo.co/read/news/2012/05/09/058402606/Rektor-UGM-LarangDiskusi-Irshad-Manji | Diakses kembali pada 26 Desember 2013 8 Boellstorff, 2005).Hal tersebut membuat homoseksual bukan bagian identitas nasional (Dwyer, 2000). Akibatnya tentu saja diluar bentuk-bentuk tersebut dianggap sebagai penyakit, mengakibatkan masyarakat terbiasa melanggengkan sikap dan nilai homofobia (Mulia, 2010). Kuatnya pemahaman dan sikap homofobia juga terbentuk sebagai gagasan budaya (Davis, 1991). Disadari atau tidak perlakuan diskriminatif dalam masyarakat akan menimbulkan penderitaan para gay dan membuatnya semakin terasing atau termarjinalkan (Maunah, 2004). Serangkaian stigma, diskriminasi, penolakan bahkan penyerangan oleh oknum tertentu terkait gerakan LGBT semakin memperbesar tekanan yang dihadapi oleh anggota komunitas itu sendiri. Keadaan ini mengakibatkan ketidaknyamanan dalam bermasyarakat. Bukan hanya mereka yang terbuka tergabung dalam komunitas pergerakan, namun juga para gay yang masih in the closet8 akan makin takut jika harus berterus terang. Namun mengapa anggota komunitas LGBT masih saja menolak perlakuan tersebut? Berikut gambaran alam hirarki kebutuhan menurut Abraham Maslow: 1.Fisik : udara, air, makanan, pakaian, seks, dan biologis lainnya 2.Keselamatan, kemanan, rasa bebas ancaman dan ketakutan 3.Kebutuhan bermasyarakat, berkelompok sebagai anggota masyarakat 4.Kebutuhan penghormatan pribadi 8 In The Closet ini adalah istilah populer merujuk pada gay yang masih bersembunyi dari masyarakat karena orientasi seksualnya. In The Closet, atau “di dalam lemari” mengartikan para gay ini sembunyi, merasakan ketakutan, sekaligus mencari perlindungan diri dari dunia luar yang menolaknya. 9 5.Kebutuhan penghormatan atas pribadi dan kecukupan (Maslow,1943 dalam Gibson dkk, 1996. Hal.189-190) Diskriminasi yang tak jarang disertai tindakan kekerasan, pelabelan dosa dengan membawa dalil agama, membuat mereka tidak mempunyai rasa aman dalam hidup bermasyarakat. Padahal rasa aman adalah hak asasi paling dasar bagi manusia jika melihat dalam tabel Maslow diatas. Artinya, isu utama bagi posisi eksistensi gay sebagai anggota masyarakat adalah pengakuan dan rasa aman dalam bermasyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Weeks dalam Sex, Politics and Society, dari semua variasi perilaku seksual yang ada, homoseksualitas memiliki tekanan sosial paling jelas, juga catatan sosial paling jelas. Hal ini, seperti juga banyak ahli seksologi dari Haverlock Ellis sampai Alfred Kinsey telah dicatat, dari bentuk paling tertutup pada norma heteroseksual di kebudayaan kita, dan sebagian karena hal tersebut sering menjadi target dari dominasi sosial yang berlanjutan (Weeks, 1989 : 96). C. Rumusan Permasalahan Uraian di atas telah menunjukan bagaimana posisi gay sebagai bagian masyarakat yang termarjinalkan. Termarjinalkan berdasarkan pilihan orientasi seksual mereka. Terkait persoalan stigma dan diskriminasi, dan belum ada pengakuan resmi masyarakat luas menyulitkan perjalanan mereka dalam menyuarakan identitas. Dalam lingkup kampus pengalaman tersebut terulang kembali, namun mahasiswa gay kini telah membentuk HIMAG sebagai wadah 10 berkumpul dengan berbagai kegiatannya. Maka muncul pertanyaan “Bagaimana cara HIMAG mewujudkan eksistensi identitas gay mereka di kampus?”. Pertanyaan besar ini akan dijawab dengan pertanyaan pula, yaitu: 1. Mengapa para anggota ingin bergabung dengan HIMAG? 2. Bagaimana bentuk interaksi dan komunikasi dalam HIMAG? 3. Apa manfaat bergabung dengan HIMAG? D. Kerangka Pemikiran Studi pembahasan gender dan seksualitas makin marak kalangan akademisi maupun masyarakat luas. Artinya perhatian masyarakat mengenai isu gender dan seksualitas tengah meningkat. Hal ini membuka kesempatan bagi siapa saja untuk sama-sama berdiskusi dan membahas permasalahan terkait gender dan seksualitas lebih luas lagi. Homoseksual adalah ketertarikan secara emosional juga seksual kepada sesama jenis (baik untuk laki-laki maupun perempuan) dimana ketertarikan tersebut tidak selalu diwujudkan dalam berhubungan seksual penis-anus (Oetomo, 1996). Hubungan seksual penis-anus bukan eksklusif milik pasangan gay, ini berupa satu dari banyak variasi perilaku seksual yang dapat juga ditemukan pada kalangan heteroseksual9. Artinya selama seseorang memiliki keterarikan emosional terhadap sesama jenis maka ia punya sikap atau perilaku homoseksual 9 Dalam kesempatan wawancara pribadi dengan Mbak Feri, Kord. Div. Gay PKBI DIY (2012) dan Mbak Renata PLUSH (2014). 11 dalam dirinya10. Sedangkan heteroseksual adalah kebalikan dari homosesksual, atau ketertarikan seksual terhadap lawan jenis. Laki-laki pada perempuan dan pula sebaliknya. Sedangkan biseksual hadir diantara homoseksual dan heteroseksual, maka posisi biseksual bila digambarkan akan menjadi seperti ini; “heteroseksual – hiseksual – homoseksual” (Oetomo, 2003). Biseksual menjadi diskursus tersendiri bagi kalangan LGBT akibat posisinya yang berada di tengah-tengah. Tidak Heteroseksual namun tidak pula Homoseksual sepenuhnya. Ini disebabkan sifat ketertarikan pada dua jenis kelamin yang sama kuat pada Biseksual. Seperti yang telah diuraikan diatas, gay adalah istilah yang merujuk pada lelaki homoseksual, sedangkan lesbian untuk perempuan homoseksual. Pemberian istilah ini mengacu pada persoalan identitas gender serta orientasi seksual yang meliputi emosional, pola pikir dan perilaku dari laki-laki atau perempuan homoseksual. Pada perkembangannya istilah gay diartikan bersifat meriah, riang, cerah dan penuh kehebohan dalam kamus Merriam Webster11. Sikap meriah, riang, dan cerah yang melekat gay diartikan juga sebagai bentuk keberanian mereka untuk memunculkan diri di masyarakat, dan memposisikan diri dalam tren budaya populer (Gauntlett, 2002). Sayangnya sikap riang, meriah, cerah serta keterbukaan kebanyakan gay ini membangun persepsi yang salah dalam masyarakat, yakni disamakan dengan waria (Oetomo, 2003). Penyamarataan gay dengan waria lantaran masyarakat tidak bisa menerima keberadaan lelaki, yang kadang kemayu atau bertingkah feminin (Budiman, 2000) sebab dianggap tidak 10 Lihat skala Kinsey. http://www.merriam-webster.com/dictionary/gay?show=0&t=1398688588 | Diakses pada 27 April 2014 11 12 memenuhi standart maskulin pada laki-laki dalam budaya masyarakat heteroseksual yang patriarki (Abdullah, 2001). Oleh sebab mereka berada diluar kebiasaan masyarakat Heteroseksual, maka lahirlah stigma dan diskriminasi. Undang-undang HAM 39/1999 pasal 1 ayat 3 mencatat definisi diskriminasi, adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak azasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Meskipun begitu, agama sering kali menjadi tameng bagi para penentang hak LGBT, dalam wilayah Indonesia terutama agama Islam. Oleh karena kajian komprehensif mengenai islam Indonesia sangat jarang menyinggung homoseksual, hal ini mencerminkan homoseksual atau gay menjadi sesuatu yang tidak dapat dibandingkan dengan Islam sebagai wacana publik di Indonesia (Boellstorff, 2005) Stigma dan diskriminasi telah merebut hak-hak para gay, antaranya hak mendapat perlindungan, rasa aman serta berkumpul sebagai sarana aktualisasi diri sebagai kebutuhan mendasar setiap manusia (Maslow,1943 dalam Gibson dkk, 1996). Hilangnya hak-hak dalam hidup seperti disebut oleh Maslow, ditanggapi Gibson dkk dengan lahirnya motivasi pada atau dalam diri individu masingmasing. Proses mendapatkan kembali hak mendasar ini, diwujudkan dengan merangkul individu berdasarkan kesamaan latar belakang, kesamaan motivasi dan 13 tujuan, lantas membangun perkumpulan atau komunitas. Komunitas yang dijadikan sebagai ruang membangun identitas mereka guna merespon proses kehidupan yang terus berlangsung (Friedman, 1994). Ruang yang dimaksud adalah HIMAG sebagai suatu bagian dari masyarakat dalam bentuk perkumpulan dimana mereka memiliki sistem interaksi antar anggota, adat-isitiadat, dan sistem norma yang mengatur interaksi, adanya kesinambungan, juga rasa identitas yang mempersatukan mereka, ditambah keorganisasian dan sistem kepemimpinan (Koentjaraningrat, 1983). Gibson dkk juga menjelaskan dalam mendapatkan tujuan dipengaruhi oleh internalisasi nilai atau konstelasi nilai dalam suatu organisasi. Dalam hal ini HIMAG setara dengan organisasi atau perkumpulan yang secara struktur terdapat unsur individu, kelompok dan tataran manajerial. Juga memiliki peraturan maupun nilai norma bagi anggota. Sehingga HIMAG bukan communitas yang disebutkan oleh Turner (1969) sebagai bebas struktur dengan kedudukan anggota seimbang tanpa ada aturan mengikat. Sebagai perkumpulan dengan unsur keorganisasian dan sistem kepemimpinan, maka peran pemimpin menjadi sangat penting. Pemimpin dianggap menjadi titik sentral juga kunci sebuah organisasi atau perkumpulan berproses (Knippenberg dan Hogg, 2003). Lebih lanjut, internalisasi nilai lambat laun dan sadar tidak sadar menjadi patokan anggotanya dalam bersikap berkaitan dengan peraturan serta tujuan kelompok. Identitas juga menjadi persoalan bagi HIMAG, tentang bagaimana mereka mewujudkan eksistensinya di kampus. Identitas terbagi menjadi dua ranah, pribadi dan sosial. Ranah pribadi, atau identitas diri adalah sebagai hasil dari 14 bagaimana seseorang melihat dirinya, bagaimana pemikiran atau pendapatnya tentang dirinya sendiri, dan bagaimana sikap terhadap diri sendiri (Noesjirwan, 1979). Sedangkan identitas sosial merupakan hasil dari adaptasi proses sosial budaya dengan lingkungan yang mengakibatkan adanya perubahan ekspresi kultural (Abdullah, 2010; Appadurai, 1994; Ingold, 1995). Sejalan dengan hal tersebut identitas juga berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, proses kultural diikuti konteks-konteks tersendiri sebagai faktor berpengaruh, misal konteks tempat tinggal, latar belakang sosial, dan latar belakang budaya turut memberikan warna dalam hal proses identitas kelompok (Abdullah, 2001; Anderson, 1991; Barth, 1998). Oleh karena berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, kontekskonteks dimana ia berada, maka manusia sebenarnya multi identitas dengan banyak peran dalam masyarakat yang sebenarnya ditentukan oleh kebutuhan (Buttler, 1991). E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana langkah HIMAG berproses dalam membentuk identitas mereka di tengah berbagai persoalan yang ada. Mengetahui apa alasan anggota hingga tertarik bergabung dengan HIMAG. Menggali pengalaman anggota dalam menjalani kehidupan homoseksual. Mengerti seperti apa bentuk interaksi dan komunikasi di dalam HIMAG. Meninjau apa saja kontribusi dari HIMAG ke anggota dan sebaliknya, juga hubungan dalam konteks bermasyarakat yang lebih luas. Selanjutnya guna menambah wawasan, pemahaman, dan dinamika pembahasan isu LGBT dalam 15 ranah akademis, khususnya Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. F. Metode Penelitian F.1. Penentuan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta. Fokus penelitian pada HIMAG di universitas negeri terbesar di kota ini. Penelitian pertama diadakan pada bulan Desember 2012, kala mengikuti mata kuliah Praktek Profesi Antropologi selama dua bulan. Penelitian baru dapat dilanjutkan pada bulan November hingga Desember 2013 sebagai sesi kedua disebabkan kegiatan perkuliahan penulis. Penelitian dengan observasi dan wawancara tetap berlangsung selama proses penulisan skripsi. Dengan harapan didapat data-data terbaru terkait dinamika pandangan anggota terhadap HIMAG. F.2. Penentuan Informan Awal bertemu dengan informan saat penulis mengikuti mata kuliah Praktek Profesi Antropologi, yakni kerja magang di PKBI DIY Youth Centre. Dari sana didapatkan informasi mengenai keberadaan HIMAG. Selanjutnya dalam mendapatkan informan penulis dibantu oleh salah satu rekan di PKBI DIY Youth Centre, dan anggota HIMAG yang telah penulis kenal sebelumnya. Dalam menentukan informan, penulis menimbang kedudukan yang dimiliki dalam HIMAG, apakah ia anggota reguler atau masuk kedalam susunan pengurus yang 16 biasa disebut “Admin”, keaktifan mengikuti kegiatan internal, keikutsertaan di komunitas selain HIMAG. Syarat tambahan, informan diharuskan masih terdaftar sebagai mahasiswa aktif di universitas yang bersangkutan. Informan yang terpilih berjumlah lima orang, sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan. Antara lain : 1. Koko, 22 tahun, salah satu pendiri HIMAG dan Admin akun sosial media HIMAG 2. Tyan, 22 tahun, mantan Admin akun sosial media HIMAG 3. Nono, 22 tahun, aktif berkomunitas di luar HIMAG 4. Wawan, 21 tahun, anggota reguler 5. Amar, 21 tahun, anggota dan aktif berkomunitas di luar HIMAG Selain itu saya melibatkan informan pihak eksternal HIMAG untuk kebutuhan informasi terkait stigma dan diskriminasi dari penggiat isu LGBT di Yogya, yakni Mbak Renata, pengurus harian PLUSH (People Like Us Satu Hati). Keterkaitan beliau yakni untuk mengetahui gambaran organisasi LGBT di Indonesia dan Yogya, juga sebagai jembatan antara PLUSH dan HIMAG. F.3. Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan informasi dan data, digunakan metode wawancara mendalam bagi para informan. Selain wawancara, diskusi informal atau lewat obrolan lepas dengan informan juga dijadikan ajang mengumpulkan informasi. Observasi partisipan turut digunakan dalam penelitian ini, dengan mengikuti kegiatan bersama HIMAG. Salah satunya saat acara “Hari Peringatan Kehamilan 17 Remaja”, sebuah kegiatan kampanye kesehatan seksual remaja yang disponsori oleh BKKBN, PLU Satu Hati, UNFPA dan KPA di akhir tahun 2013. Dalam kesempatan itu HIMAG membantu PLU Satu Hati dalam mengedukasi tentang gender dan seksualitas dengan peserta para remaja. Kegiatan lain berupa pertemuan rutin anggota HIMAG atau disebut dengan “gathering”. Pertemuan tersebut bisa hanya berupa nongkrong di suatu café atau tempat sejenis di seputar Yogyakarta, sehingga memungkinkan penulis untuk mengobrol secara cair dan mengalir agar narasumber merasa terbuka dan nyaman dengan kehadiran peneliti. Dari sana diharapkan mereka mampu mengungkapkan ide, pandangan, dan perasaan mereka. Sayang, status vakumnya HIMAG di masa penelitian membuat gathering atau kumpul-kumpul anggota jarang terlaksana. Sebagai gantinya, penulis telah bergabung dan selalu mengikuti perkembangan yang ada dalam grup jejaring sosial Facebook HIMAG, dan turut serta dalam ruang obrolan maya bersama, atau group chatting Line Mesengger HIMAG. Dimana dengan layanan group chatting ini penulis dapat mengetahui dan mengikuti perkembangan terkini dari HIMAG secara cepat. Secara umum penelitian ini menggunakan pengalaman empiris peneliti bersama komunitas gay HIMAG. Hasil wawancara dan observasi partisipan yang dicatat digunakan sebagai data primer, serta studi pustaka dan referensi internet digunakan sebagai data sekunder. Bergabungnya peneliti dalam grup Facebook dan Line Messenger atas seizin Koko ketua HIMAG, setelah sebelumnya menemui Nono dan Tyan terlebih dahulu. Dalam kesempatan berbeda peneliti juga meminta izin untuk bergabung 18 serta meneliti HIMAG pada saat rapat yang dihadiri perwakilan anggota. Penelitian ini berlangsung dengan nota kesepahaman bahwa peneliti tidak akan menyantumkan nama asli informan HIMAG. Adapun hambatan selama penelitian ini dilaksanakan adalah gathering yang jarang terlaksana dikarenakan vakumnya HIMAG, sehingga informasi terkait interaksi dan komunikasi kala gathering lebih banyak didapat lewat wawancara. Batalnya gathering seringkali digantikan dengan nongkrong atau ngumpul beberapa anggota. Faktor dukungan berasal dari anggota HIMAG yang dengan terbuka menerima diwawancara terkait HIMAG ataupun hal pribadi mereka. F.4. Teknik Analisis Data Informasi yang didapat lewat wawancara dan observasi partisipan lantas diolah menjadi data, kemudian dianalisa menggunakan analisis deskriptif . Dalam menganalisa penulis akan turut menyertakan informasi terkini terkait permasalahan yang dibahas, agar mendapat gambaran aktual yang kemudian saling terhubung untuk menjelaskan fenomena komunitas gay HIMAG. G. Sistematika Penulisan Tulisan ini akan terbagi menjadi lima pokok bahasan atau terbagi dalam lima bab. Masing masing bab-nya akan mencoba menjelaskan fenomena terkait homoseksual dan HIMAG sendiri. BAB I akan membahas mengenai latar 19 belakang mengapa topik ini dipilih, tinjauan pustaka, rumusan masalah, kerangka pemikiran, tujuan penelitian serta metode penelitian. BAB II memberikan gambaran tentang gay sekarang ini. Antara lain gay di Indonesia, gay di Yogyakarta, dan komunitas dukungan gay atau organisasi LGBT di Yogya. Ditambah penjelasan mengenai apa dan bagaimana HIMAG terbentuk. BAB III akan mengulas HIMAG sebagai wadah para gay. Melalui penyajian data perjalanan anggota sebelum dan setelah bergabung HIMAG, komunikasi para anggota, dan hubungan dengan komunitas luar. BAB IV mencoba mengulas kembali pandangan para anggota akan HIMAG, terkait refleksi selama bergabung, pencapaian atau manfaat dan harapan bagi HIMAG. BAB V akan mengurai hasil penelitian, analisis dan kesimpulan. 20