pengaruh pemberian vitamin c terhadap gambaran

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Monosodium Glutamate (MSG)
2.1.1. Kimia MSG
MSG pertama sekali ditemukan oleh Ritthausen (1866), dan berhasil
diisolasi dari rumput laut oleh Ikeda (1908), dengan rumus kimia MSG
adalah C5H8O4NNaH2O, terdiri atas Natrium sebanyak 12%, glutamat 78%
dan air 10%. MSG tersebut rasanya enak dan lezat, oleh karena itu Ikeda
menyebut rasa itu dengan Umami. Penemuan suatu reseptor rasa bagi
glutamat di lidah ini (Umami) menegaskan bahwa rasa glutamat, adalah rasa
yang kelima disamping rasa manis, asin, asam, dan pahit (Uke, 2008). Asam
glutamat digolongkan pada asam amino non essensial karena tubuh manusia
sendiri dapat menghasilkan asam glutamat. Glutamat dibuat dalam tubuh
manusia dan memainkan peran esensial dalam metabolisme. Hampir dua
kilogram glutamat terdapat secara alami dalam otak, ginjal, hati dan pada
jaringan lain pada tubuh manusia. Di samping itu glutamat terdapat dalam
jumlah besar di air susu ibu, sekitar sepuluh kali lipat yang terdapat dalam
susu sapi. Rata-rata seseorang mengkonsumsi antara 10 dan 20 g glutamat
terikat dan satu g glutamat bebas dari makanan yang kita makan setiap hari
terdapat pada bermacam-macam sayuran daging, seafood, dan air susu ibu.
Glutamat dalam bentuk alami didapat dari makanan seperti tomat, keju, susu,
daging, kacang kapri, jamur dan kecap yang merupakan hasil fermentasi
Universitas Sumatera Utara
(FDA, 1995). Menurut The Glutamic Association Amerika Serikat, protein
yang dikomsumsi sehari-hari mengandung 20-25% glutamat (Uke, 2008).
Tubuh manusia terdiri dari 14-17 % protein dan seperlimanya merupakan
asam glutamat, bila berat tubuhnya 70 kg rata-rata mengandung 2 kg
glutamat dalam protein tubuhnya (Sardjono, 1989).
Monosodium glutamat (MSG) adalah garam sodium “L glutamat
acid” yang mudah larut dalam air dan tidak berbau, dibuat melalui proses
fermentasi
dari
tetes-gula
(molases)
oleh
bakteri
Brevibacterium
lactofermentum. Dari fermentasi ini dihasilkan asam glutamat. Asam
glutamat kemudian ditambah soda (Natrium karbonat) sehingga terbentuk
monosodium glutamat (MSG), kemudian dimurnikan dan dikristalisasi,
sehingga merupakan serbuk kristal murni, yang siap dijual di pasar dan
merupakan ramuan makanan yang umum (Widharto et al., 2000). MSG
sendiri sebenarnya sama sekali tidak menghadirkan rasa yang enak, bahkan
sering menghadirkan rasa yang dideskripsikan sebagai rasa pahit, dan asin.
Akan tetapi ketika MSG ditambahkan dengan konsentrasi rendah pada
makanan yang sesuai maka rasa, kenikmatan dan penerimaan terhadap
makanan tersebut akan meningkat (Halpern et al., 2002). Rangsangan selera
dari makanan yang diberi MSG disebabkan oleh kombinasi rasa yang khas
dari efek sinergis MSG dengan 5 ribonukleotida yang terdapat di dalam
makanan, yang bekerja pada membran sel reseptor kecap. MSG kemudian
menjadi bahan penambah rasa yang dipakai di seluruh dunia (Geha et al,
2000) dan menjadi bahan penambah rasa yang banyak dipakai di Asia
Universitas Sumatera Utara
Tenggara (Widharto et al, 2000) dan di berbagai negara maju lainnya. Total
komsumsi per tahun dan rata-rata konsumsi MSG / orang / hari ditampilkan
pada Tabel I.
Tabel 1. Total Komsunsi MSG Pertahun dan Rata-rata Komsumsi Perhari
di Beberapa Negara Maju (Uke, 2008).
Negara
Total per tahun
Komsumsi
(ton)
(g/orang/hari)
Taiwan
18000
3
Korea
30000
2,3
Jepang
65000
1,6
Italia
6000
0,4
Amerika
26000
0,35
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa Taiwan adalah negara yang paling
besar mengkomsumsi MSG yaitu 3 g / orang / hari. Dan Amerika adalah
negara yang paling kecil mengkomsumsi MSG yaitu 0,5 g / orang / hari.
2.1.2. Metabolisme MSG
Tubuh manusia membuat sekitar 50 g glutamat bebas setiap hari.
Sebagian besar glutamat dalam makanan dengan cepat dimetabolisme dan
digunakan sebagai sumber energi. Dari sudut nutrisi, glutamat adalah asam
amino non esensial yang berarti bahwa jika diperlukan badan kita dapat
Universitas Sumatera Utara
membuat sendiri glutamat dari sumber protein lain. Asam glutamat
merupakan metabolit yang penting dalam metabolisme asam amino dan
merupakan sumber energi utama pada sel otot jantung. MSG ditambahkan
dengan bentuk sediaan garam monosodium murni ataupun bentuk campuran
komponen asam amino dan peptida yang berasal dari asam atau enzim
hidrolisa protein (Geha et al., 2000). Metabolisme asam amino non esensial
glutamat, menyebar luas di dalam jaringan tubuh. Dilaporkan bahwa 57%
dari asam amino yang diabsorpsi dikonversi menjadi urea melalui hati, 6%
menjadi plasma protein, 23% absorpsi asam amino melalui sirkulasi umum
sebagai asam amino bebas, dan sisanya 14% tidak dilaporkan dan diduga
disimpan sementara di dalam hati sebagai protein hati /enzim. Kenyataannya
bahwa semua glutamat yang di makan dari bahan makanan hanya 4% yang
keluar dari tubuh (Uke, 2008).
Sementara itu Ohara dan kawan-kawan (2008) melaporkan bahwa
pemberian MSG dosis tunggal 1 g / kg berat badan mencit dewasa, yang
diberikan secara intraperitonial, subkutan, atau per oral selama 10 hari, 23
hari, dan 4 bulan, akan menyebabkan kadar asam glutamat plasma naik
dengan cepat mencapai nilai maksimal dalam 10-30 menit setelah pemberian
dan kembali ke normal dalam 90 menit. Kadar puncak asam glutamat setelah
pemberian per oral nyata lebih rendah dibanding dengan intraperitonial atau
subkutan. Olney (2008) juga melaporkan bahwa pemberian MSG secara
subkutan akan menyebabkan kadar glutamat plasma pada neonatus mencit
lebih tinggi daripada mencit dewasa. Jadi, kapasitas metabolisme asam
Universitas Sumatera Utara
glutamat oleh hati meningkat sejalan dengan meningkatnya umur.
Kadar asam glutamat plasma yang dapat dideteksi selalu lebih tinggi
jika MSG diberi melalui minum dibanding dengan melalui makan pada dosis
yang sama ( Sardjono, 1989). Bila MSG larut dalam air ataupun ludah akan
berdisosiasi dengan cepat menjadi garam bebas dalam bentuk anion
glutamat, kemudian ion ini akan membuka saluran Ca2+ pada sel saraf yang
terdapat kuncup perasa sehingga memungkinkan ion Ca2+ memasuki sel
sehingga menimbulkan depolarisasi reseptor. Depolarisasi selanjutnya
menimbulkan potensial aksi yang sampai ke otak untuk kemudian
diterjemahkan oleh otak sebagai rasa
lezat. Pemberian MSG secara
parenteral akan memberikan reaksi yang berbeda dibanding per oral karena
pada pemberian secara parenteral, MSG tidak melalui usus dan vena porta.
Sedangkan pada pemberian per oral, MSG akan melalui usus sebelum
memasuki
sirkulasi porta ke hati. Selanjutnya asam glutamat di
transaminasikan dengan piruvat menjadi alanin. Alanin hasil transaminasi,
oleh asam amino dikarboksilat, diubah menjadi ketoglutarat atau
oksaloasetat. Proses ini mengakibatkan berkurangnya jumlah asam amino
dikarboksilat yang dilepas ke dalam darah porta. Asam glutamat dan asam
aspartat yang lolos dari metabolisme mukose dibawa ke hati melalui vena
porta. Sebagian asam glutamat dan aspartat dikonversi menjadi glukosa dan
laktat sebelum memasuki pembuluh darah perifer. Hati mempunyai
kemampuan terbatas memetabolisme asam glutamat menjadi metabolit lain.
Karena itu, apabila kadar glutamat melebihi kemampuan kapasitas hati untuk
Universitas Sumatera Utara
metabolismenya, maka kadar glutamat plasma akan meningkat. Kadar asam
glutamat plasma tidak pernah melebihi / melampaui lima kali kadar basal
jika MSG diberi bersama makanan.
2.1.3. Efek Biologis MSG
Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan (Food and Drugs
administration, FDA) Amerika Serikat mengklasifikasikan MSG sebagai
bahan yang aman untuk dikonsumsi ( generally recognized as safe, GRAS)
seperti bahan makanan lainnya, misalnya garam, cuka dan pengembang kue
(FDA, 1995). Sejalan dengan itu, hasil penelitian di Indonesia juga
menunjukkan bahwa konsumsi MSG sampai dengan 1,5 - 3,0 g per hari tidak
menimbulkan efek apapun terhadap manusia (Widharto et al., 2000). Namun
demikian, berbagai penelitian juga melaporkan adanya efek yang timbul
setelah mengkomsumsi MSG. Misalnya telah dilaporkan adanya MSGSymptom complex yang timbul setelah satu jam mengkomsumsi MSG
sebesar 3 g melalui makanan, terutama jika dikomsumsi dalam kondisi perut
kosong (FDA, 1995). MSG-Symptom complex
ditandai dengan rasa
terbakar dan kebas di belakang leher, lengan dan dada, hangat di wajah dan
pundak, rasa nyeri didada, sakit kepala, mual, denyut jantung meningkat,
bronchospasme (FDA.,1995). Selain itu Ronald (2000) juga melaporkan
bahwa komsumsi MSG dapat memicu timbulnya penyempitan saluran nafas
pada penderita asma. Pemberian MSG 4 mg dan 8 mg / g bb secara subcutan
selama 6 hari menyebabkan hiperlipidemia, hiperglikemia, oksidatif stress
Universitas Sumatera Utara
serta meningkatkan total lipid, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak bebas
secara signifikan. MSG juga menyebabkan pengerasan pembuluh darah
(aterosklerosis) yang menjadi faktor risiko penyakit jantung koroner.(Akhtar,
2008)
2.1.4. Toksisitas MSG terhadap Hati
Dilaporkan bahwa pada pemberian MSG secara subkutan terhadap
anak tikus jantan dan betina yang baru dilahirkan dengan dosis berangsurangsur meningkat dari 2,2 g / kg berat badan sampai 4,2 g / kg berat badan
dari hari ke-2 sampai ke-11, tidak menimbulkan kerusakan histologis hati
(Uke, 2008). Sementara Chouldhary (1997) melaporkan bahwa pemberian
MSG dengan dosis 4 hingga 8 mg/g berat badan pada tikus jantan secara
subkutan selama 6 hari berturut-turut dapat meningkatkan peroxidasi lipid di
dalam mikrosom hati. Verity (1981) juga melaporkan bahwa pemberian
MSG secara oral akan merangsang efek parasimpatik dan menghasilkan
asetilkolin dalam darah sehingga kolinesterase meningkat dalam plasma dan
merusak jaringan hati. Peneliti lain juga melaporkan (Kazuko et al., 1974,
Eweka, 2008) bahwa pemberian MSG 5 % secara oral selama 30 hari akan
menyebabkan kerusakan hepatosit dan tampak inti sel hati menjadi kabur
(Gambar 2.1). (Eweka, 2008) melaporkan, bahwa pemberian MSG 3 g dan 6
g secara oral selama 14 hari akan menyebabkan dilatasi vena cebtral,
kerusakan hepatosit, nekrosis centrilobular, atrofi serta degenerasi sel-sel
Universitas Sumatera Utara
hati.
Gambar 2.1. Histologi hati tikus setelah pemberian 5 % MSG (Pewarnaan
HE, pembesaran 10 x 40). Inti sel hati tampak rusak dan
menjadi kabur ( Kazuko et al, 1974, Eweka, 2008)
2.2. Asam askorbat (Vitamin C)
2.2.1. Manfaat Vitamin C
Asam askorbat adalah vitamin yang larut dalam air dan sangat
penting untuk biosintesis kolagen, karnitin dan berbagai neurotransmitter.
Kebanyakan tumbuh-tumbuhan dan hewan dapat mensintesis asam askorbat
untuk kebutuhannya sendiri. Akan tetapi manusia dan hewan primata
lainnya, tidak mampu mensintesis asam askorbat karena tidak memiliki
enzim gulonolactone oxidase, begitu juga dengan marmut dan kelelawar
pemakan buah. Oleh sebab itu, pada manusia dan hewan asam askorbat harus
disuplai dari luar tubuh terutama dari buah, sayur atau tablet suplemen
vitamin C. Banyak keuntungan di bidang kesehatan yang diperoleh dari
Universitas Sumatera Utara
asam
askorbat, misalnya
sebagai anti oksidan, anti atherogenik,
imunomodulator dan mencegah flu (Naidu, 2003). Untuk dapat berfungsi
dengan baik sebagai antioksidan, maka kadar asam askorbat ini harus terjaga
agar tetap dalam kadar yang relatif tinggi dalam tubuh (Yi, 2007). Komsumsi
100 – 150 mg Vitamin C sehari sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan
jaringan organ (Thomas et al.,1978)
2.2.1. Sumber sumber Vitamin C
Asam askorbat banyak dijumpai dalam buah-buahan dan sayuran
segar. Buah yang banyak mengandung asam askorbat diantaranya adalah
jeruk, jeruk lemon, semangka, strawberi, mangga dan nenas. Sedangkan
sayuran yang banyak mengandung asam askorbat antara lain adalah sayuran
yang berwarna hijau, tomat, brokoli dan kembang kol. Kebanyakan
tumbuhan dan hewan mensintesis asam askorbat dari glukosa-D atau
galaktosa-D. Sebagian besar hewan memproduksi asam askorbat yang relatif
tinggi dari glukosa yang terdapat di hati (Naidu, 2003).
Asam askorbat merupakan molekul yang labil, sehingga dapat hilang
dari makanan pada saat dimasak. Asam askorbat sintetis tersedia dalam
berbagai macam suplemen bentuknya bisa bermacam macam baik dalam
bentuk tablet, kapsul, tablet kunyah, bubuk kristal, dan dalam bentuk larutan.
Baik asam askorbat yang alami maupun yang sintetis memiliki rumus kimia
yang
identik
dan
tidak
terdapat
perbedaan
aktifitas
biologi
dan
bioavailabilitasnya (Naidu, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Biokimia Vitamin C
Asam askorbat adalah merupakan 6 karbon lakton yang disintesis dari
glukosa yang terdapat dalam hati (Sebastian, 2003). Nama kimia dari asam
askorbat 2-oxo-L-threo-hexono-1,4-lactone-2,3-enediol. Bentuk utama dari
asam askorbat yang dimakan adalah L-ascorbic dan dehydroascorbic acid
(Naidu, 2003).
Vitamin C merupakan donor elektron, yang mendonorkan dua
elektron dari dua ikatan antara karbon kedua dan ketiga dari 6 molekul
karbon. Vitamin C disebut sebagai antioksidan karena dengan mendonorkan
elektronnya ia mencegah zat zat komposisi yang lain teroksidasi.
Bagaimanapun akibat dari reaksi ini secara alamiah vitamin C juga akan
teroksidasi. Setelah vitamin C mendonorkan elektronnya, dia akan
menghilang dan digantikan oleh radikal bebas semidehydroaskorbic acid
atau radikal ascorbyl, yang merupakan zat yang terbentuk akibat asam
askorbat kehilangan 1 elektronnya, bila dibandingkan dengan radikal bebas
yang lain, radikal ascorbyl ini relatif stabil dan tidak reaktif. Hal inilah yang
menyebabkan asam askorbat menjadi antioksidan pilihan, karena radikal
bebas yang reaktif dan berbahaya dapat berinteraksi dengan asam askorbat,
lalu
direduksi
dan
radikal
ascorbyl
yang
kemudian
terbentuk
menggantikannya ternyata kurang reaktif bila dibandingkan dengan radikal
bebas tersebut. Bila radikal ascorbyl dan dehydroascorbic acid sudah
dibentuk maka dia akan dapat direduksi kembali menjadi asam askorbat
sedikitnya dengan tiga jalur enzym yang terpisah dengan cara mereduksi
Universitas Sumatera Utara
komponen yang terdapat di sistem biologi seperti glutation, akan tetapi pada
manusia hanya sebagian yang direduksi kembali menjadi asam askorbat yang
lain tidak dapat direduksi kembali menjadi asam askorbat. Dehydroascorbic
acid yang telah terbentuk kemudian dimetabolisme dengan cara hidrolisis.
2.3. Fisiologi Hati
Hati adalah organ tubuh terbesar dan mempunyai fungsi yang sangat
kompleks di dalam tubuh, dengan berat 1/36 berat badan orang dewasa yaitu
berkisar 1200 - 1600 gr. Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang
berbentuk silindris dengan panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8
sampai 2 mm. Hati manusia berisi 50.000 sampai 100.000 lobulus. Hati
terdiri dari dua lobus utama, yaitu lobus kanan yang merupakan bagian
terbesar dan lobus kiri merupakan bagian yang lebih kecil. Organ ini terlibat
dalam metabolisme zat makanan, sebagian besar obat dan toksikan.
Hepatosit (sel parenkim hati) merupakan bagian terbesar organ hati
dan bertanggung jawab terhadap peran sentralnya dalam metabolisme. Selsel ini terletak diantara sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu,
sedangkan sel Kupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting
dari sistem retikuloendothelial tubuh. Darah mengalir ke hati melalui vena
porta dan arteri hepatika. Vena porta membawa zat makanan karena
menerima aliran darah dari saluran cerna, limpa dan pankreas. Sedangkan
sistem saluran empedu terbentuk mulai dari kanalikuli yang kecil sekali, dan
dibentuk oleh sel parenkim yang berdekatan. Kanalikuli bersatu menjadi
Universitas Sumatera Utara
duktula saluran empedu interlobular, dan saluran empedu yang lebih besar.
Saluran hati yang utama membungkus duktus kistik dari kandung empedu
dan membentuk saluran empedu yang mengalir ke dalam duodenum. Hati
merupakan organ yang sangat penting sebagai pusat metabolisme tubuh dan
memiliki fungsi yang banyak dan komplek (Guyton, 2002).
2.3.1. Histologi Hati
Histologi hati terdiri atas lobulus, yaitu lobulus anatomi dan
fungsional. Lobulus fungsional terdiri dari atas segi tiga Kierman sebagai
titik tengah dan vena centralis sebagai batas luar (Gambar 2.2). Tetapi dalam
mempelajari patologi maka lobulus anatomilah yang lebih penting (Gambar
2.3) terdiri dari:
a. Vena centralis sebagai titik tengah yang mengalirkan darah ke vena
sublobularis dan kemudian ke vena hepatica.
b. Parenchym hati yang terdiri lagi atas selapis sel hati dan kanal empedu
kecil-kecil.
c. Sinusoid yang berlapiskan sel Kupffer (susunan retikuloendotelial).
d. Ruang Disse yang terlatak antara sel hati dan sinusoid.
e. Segi tiga Kierman atau daerah portal sebagai batas luar lobulus.
Hati ialah alat tubuh yang tersering mengalami kerusakan
dan
beruntung sekali, bahwa alat ini mempunyai cadangan fungsional yang luar
biasa, hasil percobaan pada binatang menunjukkan bahwa 10 % parenkim
hati saja sudah cukup untuk mempertahankan fungsi hati normal. Pada
Universitas Sumatera Utara
manusia, kerusakan hati haruslah luas sekali untuk bisa menimbulkan gejala
klinik insufisiensi hepatik, sedangkan kelainan luas akibat intoksikasi,
infeksi virus, penyakit gizi dapat menyebabkan gangguan jaringan hati yang
cepat memburuk.
Gambar 2.2. Segi tiga Kierman (Portal triad) : 1. Vena portal, 2. Saluran
empedu,
3. Arteri hepatika (Luiz, 2007)
Gambar 2.3. Histologi lobus hati : Vena centralis, Hepatosit, dan Sinusoid
(Luiz,
2007)
Universitas Sumatera Utara
Apabila sel hati mengalami kerusakan oleh berbagai sebab, maka
serangkaian perubahan morfologi dapat dijumpai pada hati. Perubahan
tersebut dapat berupa perubahan subletal yang sering disebut dengan
perubahan degeneratif dan perubahan letal yang disebut nekrotik. Proses
degeneratif merupakan proses yang reversibel, yaitu jika rangsangan yang
menimbulkan cedera dapat dihentikan, maka sel akan kembali sehat seperti
semula, sedangkan proses nekrosis merupakan suatu proses irreversibel,
yaitu pada saat sel
telah mencapai titik dimana sel tidak dapat lagi
mengkompensasi dan tidak dapat lagi melangsungkan metabolisme atau
dengan kata lain telah terjadi kematian sel.
2.3.2. Degeneratif sel hati
Degeneratif terjadi pada sitoplasma atau inti, kadang-kadang disertai
kelainan inti sekunder, atrofi dan nekrosis sel, sehingga sel-sel menjadi
hilang karenanya.
Degeneratif pada sitoplasma ialah :
a. Perlemakan.
Yaitu tampaknya lemak dalam sel hati menunjukkan, bahwa dalam
tubuh
terdapat
ketidak
seimbangan
proses
normal
yang
mempengaruhi kadar lemak di dalam dan di luar jaringan hati akibat
gangguan metabolisme.
b. Degeneratif amiloid.
Penimbunan amiloid
suatu komplek protein karbohidrat, tampak
Universitas Sumatera Utara
dalam ruang Disse, yaitu antara sel hati dan sinusoid dan kadang –
kadang pada dinding pembuluh darah.
c. Degeneratif bengkak keruh .
Yaitu kerusakan hati sebelum meninggal, misalnya karena infeksi,
intoksikasi, keracunan kehamilan, mitokondria yang bengkak, asam
amino dalam sitoplasma yang bertambah, imbibisi sel oleh protein
serum dan ion natrium akibat permeabilitas dinding sel hati yang
terganggu. Sel hati bengkak dengan sitoplasma
berbutir keruh
mungkin disebabkan oleh pengendapan protein, sehingga dinamai
juga albuminous degeneration. Sitoplasma tampak lebih gelap dan
sedikit bervakuola daripada biasa akibat glikogen yang berkurang.
d. Degeneratif hidropik.
Yaitu sitoplasma agaknya bervakuola dengan pulasan rutin, tetapi
tidak mengandung
lemak atau glikogen. Zat asidofiliknya hanya
tampak sedikit saja sebagai gambaran halus tetapi kadang-kadang
tidak kelihatan, karena yang mengisi sitoplasma menyerupai cairan.
Degeneratif hidropik agaknya mendahului nekrosis dan masih
reversibel.
e. Degeneratif hialin.
Yaitu bergumpalnya sitoplasma yang disertai reaksi asidofilik protein
ialah tingkat lanjut degeneratif asidofilik. Gumpalan sitoplasma
asidofilik dinamai hialinisasi.
f. Penimbunan glikogen.
Universitas Sumatera Utara
Dalam keadaan normal dengan gizi yang baik glikogen ditemukan
dalam sitoplasma sel hati, secara biopsi kelihatan sebagai buih
bergaris halus-halus, sedangkan pada autopsi kelihatan glikogen lisis
setelah kematian berlangsung.
g. Atrofi.
Atrofi umum sel hati ditemukan pada penyakit gizi, penyakit
menahun dan pada orang tua. Bila disertai pigmen lipofuscin, maka
dinamai brown atrophy.
Degeneratif pada inti sel hati :
a. Vakuolisasi.
Inti tampak membesar dan bergelembung serta khoramatinnya jarang
dan tidak eosinofil. Kadang-kadang bila berbatas jelas, maka
vakuolisasi inti sukar dibedakan daripada inclusion bodies, kelainan
itu akibat infiltrasi glikogen. Vakuolisasi inti disebabkan oleh
perubahan keseimbangan cairan dalam sel hati akibat bertambahnya
cairan.
b. Inclusion bodies.
Inti sel hati kadang-kadang mengandung inclusion bodies eosinofilik,
yang berbatas jelas dari sekitarnya yang basofilik. Inclusion bodies
dapat dibedakan daripada inklusi glikogen karena tidak memberi
reaksi glikogen.
Universitas Sumatera Utara
c. Piknosis, karioreksis, kariolisis.
Bila sel mengalami kematian (nekrosis) biasanya inti sel yang mati
itu menyusut, batasnya tidak teratur dan berwarna gelap, proses ini
dinamakan
piknosis. Kemungkinan lain, inti dapat hancur dan
meninggalkan zat kromatin yang tersebar di dalam sel, proses ini
dinamakan karioreksis. Akhirnya pada beberapa keadaan inti yang
mati kehilangan kemampuan untuk diwarnai dan menghilang begitu
saja, proses ini disebut kariolisis (Susanti et al, 2002).
2.3.3. Nekrosis Sel Hati.
Kelainan ini adalah lanjutan degenerasi dan tidak reversibel, sebab
nekrosis sel hati ialah rusaknya susunan enzim daripada sel (Susanti et al,
2002), tampaknya fragmen sel atau sel hati nekrotik tanpa pulasan inti atau
tidak tampaknya sel disertai reaksi radang, kolaps atau bendungan rangka
hati dengan eritrosit. Tampak atau tidaknya sisa sel hati bergantung kepada
lamanya dan jenis nekrosis itu. Nekrosis dapat dibagi menurut lokasi dan
luasnya:
a. Nekrosis fokal.
Ialah kematian sel atau sekelompok sel kecil dimana saja dalam lobulus,
ditandai leukosit dan histiosit dengan proliferasi sel Kupffer, bagian sel
hati kecil-kecil dan bakteri kadang-kadang dapat ditemukan. Patogenesis
nekrosis fokal ialah kematian sel setempat akibat toksin, bakteri atau
penyumbatan sinusoid oleh proliferasi sel Kupffer atau trombus fibrin.
b. Nekrosis zonal.
Universitas Sumatera Utara
Nekrosis dapat mengenai seluruh lobulus, nekrosis zonal dapat dibagi
dalam:
a.
Nekrosis sentral
Atrofi sel hati sentralobulus yang disebabkan oleh sumbatan sering
tidak dapat dibedakan daripada nekrosis toksik, keduanya
menyebabkan hilangnya sel, faktor sumbatan dan toksin sering
terjadi bersamaan. Sumbatan ditandai dengan vena centralis yang
melebar, hilangnya atau atrofi sel hati tanpa tertinggalnya sisa sel
dan sinusoid yang melebar terisi eritrosit. Sedangkan nekrosis
toksik tampak fragmen tidak berinti yang dikelilingi eksudat,
walaupun sinusoid sering melebar, namun vena centralis relatif
tidak melebar.
b. Nekrosis midzonal
Nekrosis midzonal tanpa kelainan pada daerah sentral dan tepi
lobulus jarang ditemukan pada manusia. Nekrosis midzonal terjadi
disekitar perlemakan sentral.
c.
Nekrosis Tepi
Nekrosis tepi atau periportal timbul bersamaan dan mungkin
disebabkan oleh radang tepi lobulus dan susunan portal (Sutisna,
1994).
c. Nekrosis masif dan submasif.
Nekrosis masif ialah hilangnya seluruh sel hati dalam lobulus
Universitas Sumatera Utara
dengan ciri khas kolaps yang tidak dapat berkembang lagi, sel hati dapat
tertinggal sebagai bayangan tanpa pulasan inti atau sebagai fragmen
kecil-kecil, diawali proliferasi sel Kupffer dan sel eksudat yang
melakukan fagositosis, tercampur dengan eritrosit didalam dan diluar
sinusoid serta menempati ruangan lebih banyak daripada lapisan hati
yang masih utuh. Selanjutnya sel darah dan eksudat yang berlebihan
hilang, sehingga lobulus hati menjadi kecil. Bila sel hati yang hancur
banyak lemak, maka warnanya kuning kelainan ini disebut acuta yellow
atropy. Bila sel hati telah lenyap dan warna eritrosit tampak pada hati
lisut yang penampangnya menyerupai limpa disebut red atropy.
d. Nekrosis anoksik
Kekurangan oksigen pada nekrosis zonal, masif atau submasif
biasanya tidak merusak rangka retikulin, sel kupffer atau sel jaringan
ikat lainnya. Sel-sel itu hanya menjadi nekrotik, bila anoxia itu lengkap
dan kemudian rangka retikulin pecah, setidak-tidaknya pada beberapa
tempat. Hal itu terjadi dekat permukaan yang kena trauma, setelah
periarteritis nodosa cabang arteri intrahepatik atau hipertensi ganas dan
pada infark anemik. Daerah nekrotik yang tidak menunjukkan inti sering
dikelilingi lekosit.
e. Kerusakan akibat obat-obatan (drug-induced injuries)
Obat-obatan
dapat
menimbulkan
kerusakan
jaringan
hati.
Universitas Sumatera Utara
Diantaranya terdapat benar-benar hepatotoksin, seperti cinchophen dan
chloroform yang digunakan sebagai zat pelarut yang dapat menimbulkan
kerusakan jaringan hati bila diberikan dalam jumlah yang cukup. Obatobatan dapat juga menimbulkan kerusakan pada jaringan hati tanpa
terjadi nekrosis. Sebaliknya banyak terdapat
obat yang dapat
menimbulkan kerusakan jaringan hati yang sangat sensitive, yang dikenal
dengan alergen hepatik. Mekanisme alergen hepatik ini belum diketahui
dengan pasti. Tidak diketahui pula mengapa yang satu hanya
menimbulkan nekrosis atau cholestasis dan yang lain kedua-duanya.
Agaknya reaksi ini berhubungan dengan jumlahnya yang dikomsumsi
atau dengan jangka waktu tertentu setelah mengkomsumsi obat tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Download